Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH TEKNOLOGI PRODUKSI BENIH

Penyimpanan Benih Jagung


Dosen Pengampu : Sri Lestari P.

Oleh:
Whenni Kusumaningtyas

135040207111018

Kelas B

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2015

1. Pengertian dan Tujuan Penyimpanan Benih


Menurut Sutopo (2002), maksud dari penyimpanan benih di
waktu tertentu adalah agar benih dapat ditanam pada waktu
yang diperlukan dan untuk tujuan pelestarian benih dari sesuatu
jenis tanaman. Untuk maksud-maksud ini diperlukan suatu
periode simpan dari hanya beberapa hari, semusim, setahun
bahkan sampai beberapa puluh tahun bila ditujukan untuk
pelestarian jenis. Disamping watak genetiknya sendiri yang
menyebabkan perbedaan, faktor lingkungan juga berpengaruh
besar terhadap daya simpan benih. Bila ditinjau dari viabilitasnya
secara umum benih dibedakan antara berdaya simpan baik,
sedang, dan jelek. Penyimpanan benih adalah untuk
mempertahankan viabilitas yang maksimum selama mungkin,
sehingga simpanan energi yang dimiliki benih tidak menjadi
bocor dan benih mempunyai cukup energi untuk tumbuh pada
saat ditanam.
Justice dan Bass (2002) menyatakan bahwa tujuan utama
penyimpanan benih tanaman bernilai ekonomi ialah untuk
mengawetkan cadangan bahan tanam dari satu musim ke musim
berikutnya. Manan (1976) berpendapat bahwa penyimpanan
benih yang baik merupakan usaha pengawetan viabilitas tinggi,
sejak pengumpulan sampai penyebaran benih di persemaian
atau penanaman benih langsung di lapangan. Pertimbanganpertimbangan lain dalam hal penyimpanan benih adalah : (1)
musim panen tidak tepat dengan musim penanaman, (2)
spesies-spesies tanaman tidak berbuah setiap tahun, (3) biji-biji
harus diangkut dari jarak yang jauh, (4) biji-biji perlu dimasakkan
lebih dulu setelah dipanen agar perkecambahannya baik (after
ripening).
2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Viabilitas Benih
dalam Penyimpanan
Menurut Byrd (1983), faktor-faktor yang mempengaruhi
viabilitas benih dalam penyimpanan, antara lain faktor dari
dalam benih yaitu jenis dan sifat benih, sangat penting untuk
diketahui apakah benih tersebut berasal dari benih tanaman
daerah tropis, sedang, atau dingin dan termasuk jenis benih
ortodoks, semi rekalsitran atau rekalsitran. Beberapa sifat benih
ortodoks dan rekalsitran ditunjukkan pada Tabel 1.
Semua keterangan tentang jenis dan sifat benih ini sangat
penting guna dapat mempertahankan viabilitas benih selama

penyimpanan. Cara dan tempat penyimpanan benih pun harus


ditentukan sesuai jenis dan sifat yang akan disimpan. Selain sifat
benih dipengaruhi juga oleh viabilitas benih, benih yang akan
disimpan harus bertitik tolak dari viabilitas awal yang
semaksimum mungkin untuk dapat mencapai waktu simpan
yang lama. Karena selama masa penyimpanan yang terjadi
hanyalah kemunduran dari viabilitas awal tersebut, yang tidak
dapat dihentikan lajunya. Pemilihan benih serta cara
penyimpanan yang baik merupakan cara untuk mengurangi
kemunduran tersebut, sehingga laju kemunduran viabilitas benih
dapat diatasi sekecil mungkin. Selain itu juga dipengaruhi
kandungan air benih, dimana benih yang akan disimpan
sebaiknya memiliki kandungan air yang optimal yaitu kandungan
air tertentu di mana benih tersebut dapat disimpan lama tanpa
mengalami penurunan viabilitas benih.
Selain faktor dalam, penyimpanan juga dipengaruhi oleh
faktor luar antara lain temperatur dan kelembaban. Temperatur
yang
terlalu
tinggi
pada
saat
penyimpanan
dapat
membahayakan dan mengakibatkan kerusakan pada benih.
Karena akan memperbesar terjadinya penguapan zat cair dari
dalam benih, hingga akan kehilangan daya imbibisi dan
kemampuan untuk berkecambah. Kelembaban lingkungan
selama penyimpanan juga sangat mempengaruhi viabilitas
benih. Sifat biji yang higroskopis menyebabkan benih selalu
mengadakan kesetimbangan dengan udara di sekitarnya.
Kandungan air yang tinggi dalam benih dengan kelembaban
udara yang rendah dapat menyebabkan penguapan air dalam
benih dan mempertinggi kelembaban udara di sekitar benih. Nilai
kesetimbangan ini perlu diketahui, karena kemunduran viabilitas
benih dapat terjadi disebabkan oleh berbagai hal yang ada
kaitannya dengan Kandungan Air Benih.

3. Pengaruh Penyimpanan terhadap Benih


Benih yang baik untuk disimpan adalah benih yang sudah
masak, berukuran dan berbentuk baik, serta tak ada luka
mekanis
dan
mikroorganisme
penyimpanan. Benih juga tidak boleh terkena suhu dan
kelembaban
ekstrim
selama stadia pemasakan dan panen di lapangan. Jadi segala
faktor
lingkungan
sebelum panen yang dapat mempengaruhi kualitas benih,
berpengaruh
pula
pada
daya simpannya. Kira-kira 95% berat kering total benih
merupakan
cadangan
makanan yang disimpan agar dapat digunakan pada waktu benih
berkecambah
atau digunakan oleh kecambah sampai mampu melakukan
fotosintesa
dan
menghasilkan alat-alat penyerap haranya sendiri (Justice dan
Bass
2002).
Oleh
karena itu, benih yang belum masak dimana komposisi
kimiawinya
belum
seimbang atau benih yang kerusakan mekanis sehingga mudah
dimasuki
mikroorganisme penyimpanan, akan tidak bertahan selama di
penyimpanan.
Justice dan Bass (2002) mengatakan hal-hal yang terjadi
pada benih baik sewaktu masih di lapangan selama panen
maupun di tempat penyimpanan, dapat mempengaruhi benih
sedemikian rupa sehingga mengurangi kemampuannya untuk
dapat disimpan dengan baik. Benih dapat mengalami
kemunduran sebelum dipanen atau sewaktu masih berada pada

tanaman induknya kalau iklim sekitarnya panas dan lembab.


Benih belum masak dan benih rusak mekanis paling mudah dan
cepat kehilangan viabilitasnya di penyimpanan.
Pada
beberapa
keadaan
penyimpanan
dapat
mempengaruhi dormansi. Dormansi pada beberapa spesies
tanaman dapat menghilang, bila disimpan selama beberapa
bulan pada kondisi suhu dan kelembaban nisbi lingkungan
terkendali, asal saja suhunya berada di atas suhu titik beku.
Sewaktu disimpan benih dorman mengalami perubahanperubahan,
beberapa
diantaranya
perubahan
yang
menyebabkan pematahan dormansi atau kebalikannya, benih
non dorman menjadi dorman sewaktu disimpan. Beberapa
perubahan tersebut dipengaruhi oleh kondisi penyimpanan.
4. Pengaruh Ruang Simpan terhadap Viabilitas Benih
Suhu pada ruang penyimpanan dan kadar air benih
merupakan faktor penting yang mempengaruhi masa hidup
benih. Pada kisaran suhu tertentu, umur penyimpanan benih
sayuran, bunga-bungaan dan tanaman pangan menurun dengan
meningkatnya suhu, kecuali pada benih-benih tertentu yang
biasanya berumur pendek. Justice dan Bass (2002) menyatakan
bahwa setiap kenaikan suhu penyimpanan 5oC dan setiap
kenaikan 1% kadar air benih, maka masa hidup benihnya
diperpendek setengahnya.
Secara umum viabilitas dan vigor benih menurun sejalan
dengan meningkatnya suhu dan semakin lamanya benih terkena
suhu tinggi serta dengan meningkatnya kandungan air benih.
Pada suhu tertentu, kerusakan berkurang dengan berkurangnya
kadar air benih. Secara umum benih rekalsitran tidak dapat
disimpan di bawah suhu 10oC dan diatas 35oC. Penyimpanan
benih rekalsitran dengan suhu rendah dapat merusak daya
hidupnya dan beberapa spesies daerah tropik mudah terkena
chilling injury pada suhu 10-15oC (King dan Roberts 1980).
Kondisi ruang simpan mempengaruhi viabilitas benih yang
disimpan, terutama RH dan suhu yang merupakan faktor utama
yang harus diperhatikan dalam mempertahankan daya simpan
benih. Penyimpanan benih pada daerah beriklim tropis seperti
Indonesia sering mengalami kendala terutama karena adanya
fluktuasi
suhu.
Harrington
(1973)
menyatakan
untuk
penyimpanan benih selama mungkin tanpa menghilangkan daya
berkecambah dan vigor dapat dilakukan dengan mengkondisikan
lingkungan yang kering dan dingin. Untuk memperpanjang daya

perkecambah dan vigor benih dapat dilakukan dengan cara


penyimpanan dalam kamar dingin, penyimpanan dalam ruang
simpan yang dihumidifikasi dan penyimpanan dalam wadah
kedap uap air atau wadah yang resisten terhadap kelembaban.
Dari hasil peneliatian yang dilakukan oleh Ali , Andy dan
Arifin (2013) menunjukan hasil bahwa pada benih jagung manis
yang disimpan pada kadar air 8% dan temperature 10C sampai
umur simpan 6 bulan masih mampu memberikan daya
berkecambah lebih dari 80%. Pada perlakuan temperature 10C
pada umur simpan 4 bulan mampu mempertahankan viabilitas
daya berkecambah hingga 80.42%. Dari sini diperoleh gambaran
bahwa benih yang disimpan pada kisaran umur yang semakin
lama, perlakuan kadar air dan temperature yang semakin
meningkat maka daya kecambahnya semakin menurun, makin
rendah viabilitasnya. Hal ini dikarenakan seiring dengan
bertambahnya umur simpan maka respirasi dan metabolisme
akan semakin aktif. Benih yang disimpan masih melakukan
proses respirasi yang menghasilkan panas, air dan CO 2 serta
kelembaban yang tinggi mengakibatkan benih semakin aktif
mengadakan metabolisme. Benih yang disimpan pada kisaran
umur yang lama dengan perlakuan kadar air yang tinggi dan
penempatannya yang kurang memadai bisa menyebabkan benih
mudah mengalami deteriorasi yang ditandai adanya daya
berkecambah dan indeks vigor tanaman yang semakin menurun.
Dalam batas tertentu makin rendah kadar air benih makin lama
daya hidup benih tersebut sedangkan apabila kadar airnya
terlalu tinggi dalam penyimpanan akan menyebabkan terjadinya
peningkatan kegiatan enzim-enzin yang akan mempercepat
terjadinya proses respirasi dan mengakibatkan metabolisme
benih tinggi sehingga berdampak benih akan kehabisan energy
untuk berkecambah.
5. Pengaruh Media Simpan terhadap Viabilitas Benih
Salah satu cara untuk mempertahankan kadar air dan
viabilitas
benih
tetap
tinggi selama penyimpanan dapat dilakukan dengan pengaturan
kelembaban
media simpan. Beberapa media simpan yang sering digunakan
antara
lain
arang
sekam, serbuk kelapa, dan abu gosok.
Karakteristik arang sekam adalah sangat ringan (berat jenis
: 0,2 kg/l), kasar sehingga sirkulasi udara tinggi (banyak pori),

kapasitas
menahan
air
tinggi
(Douglas 1985). Menurut Suyekti (1993) sekam bakar
mengandung
N
0,32%,
P
0,15%, K 0,31%, Ca 0,96%, Fe 180 ppm, Mn 80,4 ppm, Zn 14,10
ppm
dan
pH
6,8.
Serbuk kelapa (cocopeat) berguna untuk campuran media
tumbuh, media ini mempunyai kapasitas memegang air,
menjaga kelembaban, kapasitas tukar kation dan porositas yang
baik. Campuran media ini cocok bagi tanaman karena
mempunyai kisran pH 5-6. Rasio karbon dan nitrogen dari serbuk
kelapa
adalah
80:1 sehingga memiliki kecenderungan untuk mengikat nitrogen
(Adams
et
al
1995).
Mulyono (1974) mengemukakan bahwa abu sekam padi
(abu
gosok)
merupakan sumber silika atau karbon yang cukup tinggi. Abu
dari
hasil
pembakaran sekam padi menunjukkan bahwa kandungan SiO2
mencapai
8090%.
15% berat abu akan diperoleh dari total berat sekam padi yang
dibakar.
Abu
sekam memberikan tambahan unsur hara, khususnya Si (silikat),
C
organik,
N
total dan P tersedia, disamping unsur K, Ca, P dan Mg. Campuran
media
ini
memiliki kisaran pH 9-9,5. Pemanfaatan abu sekam padi
digunakan
sebagai
bahan
penyerap lemak dan zat warna.
Dari hasil penelitian Lesilolo, J. Patty dan N. Tetty (2012)
menunjukan bahwa penggunaan kadar 15% desikan berupa abu
dapat mempertahankan kadar air benih jagung sebesar 12.20%
dan memiliki kecepatan tumbuh benih 24.84%. Desikan abu
bersifat higroskopis sehingga dapat menyerap dan menahan uap
air didalam benih selama penyimpanan. Penggunaan desikan ini
dipengaruhi oleh kondisi kelembaban relative ruang tempat
penyimpanan benih.
6. Pengaruh Wadah Simpan terhadap Viabilitas Benih
Kemasan yang akan diisi benih akan melindungi kualitas
fisik lot benih, terbuat dari bahan yang memiliki kekuatan

terhadap regangan (kekuatan untuk tidak pecah secara tiba-tiba)


serta tahan sobek agar tahan pada waktu menjalani proses
penanganan yang biasa dilakukan. Kartasapoetra (2003)
menyatakan bahwa pengemasan yang kurang baik dapat
mempengaruhi sifat fisik dari benih dan aspek fisiologis benih
(viabilitas, vigor dan dormansi).
Justice dan Bass (2002) menyatakan penyimpanan tertutup
tidak
dapat
langsung dibandingkan dengan penyimpanan terbuka karena
pada
wadah
tertutup
konsentrasi oksigen udara di dalamnya menurun, sedangkan
konsentrasi
karbondioksidanya meningkat sejalan dengan semakin lamanya
periode
penyimpanan. Sementara itu pada penyimpanan terbuka
komposisi
udaranya
tetap
konstan. Pada sistem penyimpanan tertutup, kadar air benih
tetap
konstan
selama
periode penyimpanan, tetapi pada penyimpanan terbuka kadar
air benih berubahubah sesuai dengan berubahnya kelembaban
nisbi udara di penyimpanan. Jadi, benih yang cukup kering pada
wadah tertutup biasanya dapat hidup lebih lama dibanding
dengan benih serupa yang disimpan pada wadah terbuka pada
suhu yang sama. Menurut Byrd (1983), terdapat 3 jenis wadah
yang bersangkutan dengan penetrasi kelembaban :
1.Sarang sempurna-peti curah, kain goni, katun, kertas
2.Resisten terhadap kelembaban-polietilin, aspal
3.Kedap udara air-peti baja tertutup, kaleng timah, tong
aluminium yang dilapisi serat dengan isolasi, dan kertas
aluminium
yang
berlapiskan
plasik.
Karung goni terbuat dari benang rami yang berkualitas
tinggi
dalam
berbagai bentuk rajutan. Karung goni memiliki kekuatan yang
luar
biasa,
maka
karung goni mampu disusun tinggi dan tahan terhadap
penanganan
yang
kasar,
serta dapat digunakan kembali hingga beberapa kali. Karung kain
terbuat
dari
bahan kain seprai, kain cetak dril, osnaburg, dan bahan khusus
tanpa
lipatan.

Karung yang terbuat dari bahan tersebut dapat digunakan


beberapa
kali,
sedangkan karung yang terbuat dari bahan katun lainnya dapat
digunakan
beberapa kali saja. Karung goni cocok untuk penyimpanan benih
semi
rekalsitran
dengan kadar air relatif rendah tetapi kurang baik untuk benih
rekalsitran
pada
kadar air tinggi.
Wadah logam apabila benar-benar tertutup rapat dapat
memberikan
kekedapan yang mutlak terhadap uap air dan gas serta cukup
melindungi
bahan
di
dalamnya dari pengaruh cahaya. Wadah logam memberi
perlindungan
sepenuhnya terhadap tikus, serangga, perubahan kelembaban,
banjir,
serta
uap
yang berbahaya. Kaleng logam sangat sesuai untuk proses
mengisi
dan
menutup
yang dilakukan secara otomatis pada kecepatan tinggi.
Kantong plastik digunakan apabila terbuat dari bahan yang tipis
dan
memungkinkan pertukaran gas. Plastik dengan ketebalan 0,10,25
mm
dapat
mencegah kehilangan kelembaban yang berlebihan tetapi tetap
memberikan
ventilasi yang cukup (Nurminah 2002).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Robiin (2007)
menunjukan bahwa bahan kemasan aluminum foil paling baik
untuk menyimpan benih jagung sampai periode simpan 4
minggu (kadar air 10,90%). Kemasan plastik mampu
mempertahankan kadar air benih 11,73% hingga periode simpan
4 minggu, namun tidak sebaik kemasan aluminum foil. Kemasan
kertas kurang sesuai untuk penyimpanan benih jagung karena
tidak mampu mempertahankan kadar air benih hingga periode
simpan 8 minggu. Namun demikian, kemasan kertas masih
mampu mempertahankan kadar air benih 12,39% pada periode
simpan 2 minggu. Kemasan kain paling buruk untuk menyimpan
benih jagung dengan kadar air 13,15-26,84% pada periode
simpan 2-8 minggu. Aluminum foil dapat digunakan sebagai
bahan kemasan benih jagung. Namun, dalam aplikasinya harus

dikombinasikan dengan bahan kemasan lain dan tetap mengacu


pada
sifat-sifat
bahan
kemasan
yang
ada,
seperti
impermeabilitas, kekuatan, ketebalan, dan keuletan. Bahan
kemasan plastic dapat disarankan sebagai alternatif kedua, dan
mungkin akan menjadi lebih baik jika ketebalan plastik
diperhatikan.
7. Pengaruh Periode Simpan terhadap Viabilitas Benih
Periode simpan merupakan periode penyimpanan jangka
pendek
dan
benih
tidak dalam kondisi stasioner, seperti selama benih dalam
perjalanan
menuju
tempat pengolahan menunggu saat pengolahan atau menunggu
saat
tanam
(Sadjad
1993).
Tujuan
utama
penyimpanan
benih
adalah
untuk
mempertahankan
viabilitas
benih dalam periode simpan yang sepanjang mungkin. Untuk
tujuan
ini,
diperlukan suatu periode simpan dari hanya beberapa hari,
semusim,
setahun
bahkan sampai beberapa puluh tahun bila ditujukan untuk
pelestarian
suatu
jenis
tanaman. Bila ditinjau dari viabilitasnya secara umum benih
dibedakan
antara
berdaya simpan baik, sedang, dan jelek. Agar benih memiliki
daya
simpan
yang
baik maka benih harus memiliki kekuatan tumbuh dan daya
kecambah
yang
semaksimal mungkin (Sutopo 2004).
Ketahanan benih untuk disimpan beraneka ragam
tergantung
dari
jenisnya
cara dan tempat penyimpanan. Tempat untuk menyimpan benih
juga
bervariasi
tergantung dari macam benih serta maksud dan lama
penyimpanan (Sutopo 2004).
Dalam penyimpanan benih perlu diketahui dimana dan
berapa
lama
akan
disimpan. Kebanyakan benih daerah kering mampu disimpan
lima
tahun
atau
lebih asal suhunya tidak terlalu tinggi. Sedangkan di daerah
subtropis
dan
tropis

lembab, benih serupa pada kondisi alami akan kehilangan


viabilitasnya
dalam
beberapa bulan bahkan beberapa minggu saja (Justice dan Bass
2002)
Hasil penelitian yang didapatkan oleh Lesilolo, J. Patty dan
N. Tetty (2012) yaitu lam simpan benih pada 30 hari memiliki
daya kecambah 100%, lama simpan 60 hari memiliki daya
kecambah 93.66% dan pada lama simpan 90 hari memiliki daya
kecambah 82.775%. Semakin lama masa penyimpanan benih
daya kecambah yang dimiliki benih semakin menurun. Menurut
Widodo (1991) mundurnya viabilitas benih merupakan proses
yang berjalan bertingkat dan kumulatif akibat perubahan yang
terjadi di dalam benih.
8. Viabilitas dan Kemunduran Benih
Viabilitas benih merupakan daya hidup benih yang
ditunjukkan melalui fenomena pertumbuhan atau struktur
tumbuh kecambah dan gejala metabolismenya. Viabilitas benih
dipengaruhi oleh faktor genetik, kondisi lingkungan saat proses
perkembangan benih pada tanaman induk dan kondisi
lingkungan
selama
penyimpanan.
Sadjad
(1993)
mengindikasikan viabilitas benih dalam beberapa tolak ukur, baik
tolak ukur yang secara langsung menilai pertumbuhan benih
maupun yang secara tidak langsung dengan menilai gejala
metabolisme atau mengamati beberapa komponen makro
molekul sitoplasma dan aberasi kromosom di dalam inti selnya.
Kemunduran benih merupakan suatu proses merugikan
yang
dialami
oleh
setiap jenis benih yang dapat terjadi segera setelah benih masak
dan
terus
berlangsung selama benih mengalami proses pengolahan,
pengemasan
dan
penyimpanan (Justice dan Bass 2002). Kemunduran benih
menimbulkan
perubahan yang menyeluruh pada benih baik fisik, fisiologis
maupun
kimiawi
yang akhirnya mengarah pada kematian (Byrd 1983). Gejala
kemunduran
benih
dapat dilihat dari gejala fisiologi dan kimiawi. Gejala fisiologi
seperti
perubahan
warna benih, mundurnya pertumbuhan perkecambahan dan
meningkatnya

kecambah abnormal. Gejala kimiawi pada benih yang mengalami


kemunduran
adalah terjadinya perubahan dalam aktivitas enzim, respirasi,
laju
sintesa,
perubahan membran, perubahan persediaan makanan dan
perubahan
kromosom
(Justice dan Bass 2002).
Selama penyimpanan, benih mengalami kemunduran
secara
fisiologis
maupun kronologis (Sadjad 1993). Kemunduran fisiologis
merupakan
kemunduran benih akibat berbagai faktor lingkungan simpan
sedangakan
kemunduran kronologis merupakan kemunduran benih akibat
perjalanan
waktu.
Proses kemunduran benih tidak dapat dihentikan namun dapat
dikendalikan
sehingga laju kemundurannya berlangsung dengan lambat.
Byrd (1983) menyatakan beberapa teori tentang penyebab
kemunduran
benih yaitu : (1) terjadinya penggumpalan protoplasma, (2)
kelaparan
lokal,
(3)
degradasi mitokondria, (4) terjadinya auto oksidasi lipid pada
kadar
air
yang
rendah, (5) kehabisan substrat atau berkurangnya bahan baku
untuk
respirasi,
(6)
degradasi dari nukleus, (7) degradasi enzim, (8) kerusakan kulit
benih,
(9)
penggumpalan protein pada embrio secara perlahan dan (10)
penimbunan
hasil
metabolisme beracun.
Hasil
penelitian
Rahmawati
dan
Ramlah
(2011)
menunjukankan hasil dari beberapa varietas jagung dengan
tahun
penyimpanan
yang
berbeda
yakni
Srikandi
Kuning-1 yang di simpan pada tahun 2006, 2007 dan 2009,
Gumarang dengan periode simpan 2006, 2007 dan 2010 dan
varietas Bisma dengan periode simpan 2006 dan 2010 bahwa
Mutu fisik benih baik biji pecah, retak, berlubang dan
berjamur masih di bawah 1%. Kondisi benih tergolong baik.
Benih dengan masa simpan 5 tahun (periode simpan 2006)
masih mempunyai daya berkecambah di atas 90%. Penggunaan

jenis kemasan plastic polietilen dengan ketebalan 0,09 mm dan


disimpan pada suhu ruang 18-21C dengan kelembaban nisbi 5055% mampu menekan penurunan mutu benih baik secara fisik
maupun fisiologis.

DAFTAR PUSTAKA
Adams C. R. K. M. Bamford and M P Early. 1995. Principles of
Horticulture.
2nd
Edition. Butterworth Heinemann Ltd. Oxford. 204p.
Byrd

HW. 1983. Pedoman Teknologi Benih. Hamidin E,


penerjemah.
Jakarta
:
PT Pembimbing Massa. Terjemahan dari : Seed Technology
Handboo.

Douglas J S. 1985. Advanced Guide to Hydrophonics (Soilless


Cultivation).
London : Pelham Books Ltd. 368p.
Harrington JF. 1973. Seed Storage and Longevity. Dalam
Kozlowski,
T.T.,
Seed
Biology, v. 3, hlm 145-245, illus. New York and London.
Justice OL dan Bass LN. 2002. Prinsip dan Praktek Penyimpanan
Benih.
PT
Raja
Grafindo : Jakarta.
Kartasapoetra A.G., 2003. Teknologi Benih : Pengolahan Benih
dan Tuntunan Praktikum. Rineka Cipta. Jakarta.
King MW and EH Roberts. 1980. The Storage of Recalcitrant Seed.
Rome
:
IBPGR Sec.. 96p.
Lesilolo, M. K., J. Patty dan N. Tetty. 2012. Penggunaan Desikan
Abu dan Lama Simpan Terhadap Kualitas Benih Jagung (Zea
mays L.) Pada Penyimpanan Ruang Terbuka. Agrologia Jurnal
Ilmu budidaya Tanaman. Vol. 1 No. 1.
Manan S. 1976. Silvikultur. Bogor : Proyek Peningkatan dan
Pengembangan
perguruan Tinggi. Institut Pertanian Bogor.
Mulyono H A. 1974. Studi Termo-Ekonomi terhadap Pengolahan
Natrium
Silikat
dari Sekam Padi. Laporan Penelitian Karja Utama. Jakarta :
Departemen
Teknologi Kimia.
Nurminah, M. 2002. Penelitian Sifat Berbagai Bahan Kemasan
Plastik dan Kertas serta Pengaruhnya terhadap Bahan yang
Dikemas. Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian USU.

Rahmawati dan Ramlah Arief. 2011. Evaluasi Mutu Benih Jagung


dalam Gudang Penyimpanan Benih UPBS. Balai Penelitian
Tanaman Serealia.
Robiin. 2007. Perbedaan Bahan Kemasan dan Periode Simpan
dan Pengaruhnya Terhadap kadar Air Benih Jagung dalam
Ruang Simpan Terbuka. Buletin Teknik Pertanian .Vol. 12 No.
1.
Sadjad S. 1975. Dasar-dasar
Departemen
Institut Pertanian Bogor.

Teknologi

Benih.

Bogor :
Agronomi

Schmidt L. 2002. Pedoman Penanganan Benih Tanaman Hutan


Tropis
dam
Sub
Tropis. Jakarta : Direktorat Jendral Rehabilitasi Lahan dan
Perhutanan
Sosial, Departemen Kehutanan.
Sutopo L. 2002. Teknologi Benih. Jakarta: CV Rajawali.
Suyekti. 1993. Pengaruh Jenis Media dan Larutan Hara pada
Tanaman
Dracaena
godseffina Fried manii yang Ditanam Secara Hidroponik
[Skripsi].
Bogor : Jurusan Budidaya Pertanian. Fakultas Pertanian. IPB.
Widodo, Ali Ari., Andy Soegianto dan Arifin Noor Sugiharto. 2013.
Kajian Evaluasi Mutu Benih Jagung Manis (Zea mays Var.
Sacharata Sturt) Dalam Penyimpanan Pada Berbagai
Temperatur dan Kadar Air. Agriekstensia Jurnal Penelitian
Terapan Bidang Sosial, Ekonomi dan Pangan. Vol. 12 No. 1.
Widodo, W. 1991. Penelitian Wadah Simpan dan Bahan
Pencampur Pada Penyimpanan Benih Mahoni. Balai Teknologi
Perbenihan Bogor.

Anda mungkin juga menyukai