Anda di halaman 1dari 16

II.

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kacang hijau

Kacang hijau merupakan tanaman pangan semusim berumur pendek (60

hari) berupa semak yang tumbuh tegak (Purwono dan Hartono, 2012). Tinggi

tanaman kacang hijau 25-130 cm. Tanaman ini disebut juga mungbean, green

gram atau golden gram (Somaatmadja, 1993 dalam Bariza, 2010).

Menurut Purwono dan Hartono (2012), kacang hijau termasuk dalam

keluarga Leguminosae, dengan klasifikasi botani sebagai berikut:

Divisi : Spermatophyta

Subdivisi : Angiospermae

Kelas : Dicetyledonae

Ordo : Rosales

Keluarga : Leguminosae (Fabaceae)

Genus : Vigna

Jenis : Vigna radiata

Buah kacang hijau berbentuk polong. Panjang polong sekitar 5-16 cm

setiap polong berisi 10-15 biji. Polong kacang hijau berbentuk bulat silindris atau

pipih dengan ujung agak runcing atau tumpul. Polong muda berwarna hijau,

setelah tua berubah menjadi kecoklatan atau kehitaman (Rukmana, 1997 dalam

Bariza, 2010). Biasanya buah berbulu pendek, berbulu atau tanpa bulu, menyebar

dan menggantung dan seringkali lurus (Somaatmadja, 1993 dalam Bariza, 2010).

Trustinah (1993 dalam Muafifah 2006) menambahkan buah atau polong kacang

1
2

hijau dibedakan menjadi tiga yaitu berukuran pendek (12,0-13,5 cm), sedang

(15,2-16,8 cm) dan panjang (18,5-20,0 cm).

Biji kacang hijau berbentuk bulat. Biji kacang hijau lebih kecil

dibandingkan dengan biji kacang tanah atau kacang kedelai yaitu bobotnya hanya

sekitar (0,5-0,8 mg). Bijinya berwarna hijau atau kuning, sering kali coklat atau

kehitam-hitaman, memiliki kilap (lustre) yang kusam atau mengkilap

diasosiasikan dengan sisa-sisa dinding polong, hilumnya pipih dan putih

(Somaatmadja, 1993 dalam Bariza, 2010). Sedangkan hilumnya ada yang cekung

atau tidak cekung (Trustinah, 1993 dalam Muafifah, 2006). Bijinya sering dibuat

kecambah atau taoge (Purwono dan Hartono, 2012).

Benih kacang hijau merupakan benih ortodok, yaitu jenis benih yang

tahan terhadap pengeringan dan dapat disimpan pada suhu rendah. Daya simpan

benih dapat diperpanjang dengan menurunkan kadar air dan suhu (Hasanah,

2002). Menurut Kuswanto (1996) kadar air benih merupakan salah satu faktor

yang sangat mempengaruhi benih dalam penyimpanan. Kadar air benih yang

tinggi pada benih ortodok dapat menyebabkan terjadinya penurunan viabilitas

benih, begitu juga sebaliknya kadar air benih terlalu rendah 3%-5% dapat

menyebabkan penurunan waktu perkecambahan benih, benih menjadi keras,

sehingga pada waktu dikecambahkan air tidak dapat berimbibisi ke dalam benih

dan dapat menyebabkan kematian embrio. Selain termasuk benih ortodok, jenis

biji kacang hijau adalah dikotil yaitu biji berkeping dua, sedangkan tipe

perkecambahan yang dimiliki yaitu tipe perkecambahan epigeal.


3

Tipe perkecambahan epigeal ditandai dengan hipokotil yang tumbuh

memanjang sehingga plumula dan kotiledon terangkat ke atas (permukaan tanah).

Kotiledon dapat melakukan fotosintesis selama daun belum terbentuk. Organ

pertama yang muncul ketika biji berkecambah adalah radikula. Radikula ini

kemudian akan tumbuh menembus permukaan tanah. Untuk tanaman dikotil yang

dirangsang dengan cahaya, ruas batang hipokotil akan tumbuh lurus ke

permukaan tanah mengangkat kotiledon dan epikotil. Epikotil akan memunculkan

daun pertama kemudian kotiledon akan rontok ketika cadangan makanan di

dalamnya telah habis digunakan oleh embrio (Campbell dkk. 2000).

Proses pertumbuhan tanaman kacang hijau diawali dari biji yang akan

tumbuh menjadi tanaman muda. Selanjutnya tanaman muda tersebut menjadi

dewasa yang menghasilkan bunga dan berbuah. Untuk menghasilkan tanaman

kacang hijau dengan produksi maksimal, salah satunya dibutuhkan benih bermutu

tinggi. Benih bermutu (berkualitas) merupakan syarat mutlak untuk menghasilkan

tanaman kacang hijau yang tumbuh subur dan menghasilkan buah maksimal

(Purwono dan Hartono, 2012).

B. Mutu Benih

Benih bermutu ialah benih yang telah dinyatakan sebagai benih yang

berkualitas tinggi dari jenis tanaman unggul. Benih yang berkualitas tinggi

memiliki daya tumbuh lebih dari 80 %. Benih unggul yaitu benih yang bermutu

tinggi, baik segi kemurnian, kebersihan, daya tumbuh, maupun kesehatan benih

(Kartasapoetra, 2003).
4

Mutu benih mencakup tiga aspek, yaitu: (a) mutu genetis, yaitu aspek

mutu benih yang ditentukan berdasarkan identitas genetik yang telah ditetapkan

oleh pemulia dan tingkat kemurnian dari varietas yang dihasilkan, identitas benih

yang dimaksud tidak hanya ditentukan oleh tampilan benih, tetapi juga fenotipe

tanaman; (b) mutu fisiologis, yaitu aspek mutu benih yang ditunjukkan oleh

viabilitas benih meliputi daya berkecambah atau daya tumbuh dan vigor benih; (c)

mutu fisik, yaitu aspek mutu benih yang ditunjukkan oleh tingkat kebersihan,

keseragaman biji dari segi ukuran maupun bobot, kontaminasi dari benih tanaman

lain atau biji gulma, dan kadar air (Saenong dkk., 2006 dalam Kurniawati, 2012).

Untuk menentukan mutu benih, karakter yang diuji antara lain tingkat

kemurnian fisik benih, kotoran benih lain (kurang dari 0,2%), tingkat

perkecambahan (minimal 80 %), tingkat kesehatan benih (minimal 98 %),

kebenaran varietas (100%), dan daya simpan benih (1-5 tahun). Kemudian untuk

benih kacang hijau yang bermutu harus mempunyai syarat daya tumbuh minimal

80 %, benih harus sudah tumbuh kurang dari 4 hari, benih harus murni artinya

tidak tercampur varietas lain dan biji gulma, dan biji sehat secara fisik, bernas,

mengkilap, tidak keriput, dan tidak terdapat luka gigitan serangga (Purwono dan

Hartono, 2012).

Faktor-faktor yang mempengaruhi mutu benih antara lain: (a) faktor

genetik, merupakan faktor bawaan yang berkaitan dengan komposisi genetik

benih. Setiap varietas memiliki identitas genetika yang berbeda. Perbedaan

tersebut diakibatkan oleh perbedaan gen yang ada dalam benih; (b) faktor

lingkungan, faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap mutu benih berkaitan


5

dengan kondisi dan perlakuan selama prapanen, pascapanen, maupun saat

pemasaran benih; (c) faktor kondisi fisik dan fisiologis benih, yaitu berkaitan

dengan performa benih seperti tingkat kemasakan, tingkat kerusakan mekanis,

tingkat keusangan, tingkat kesehatan, ukuran dan berat jenis, komposisi kimia,

struktur benih, tingkat kadar air dan dormansi benih (Wirawan dan Wahyuni,

2002).

Salah satu masalah yang dihadapi dalam penyediaan benih bermutu

adalah penyimpanan. Penyimpanan benih kacang-kacangan di daerah tropis

lembab seperti di Indonesia dihadapkan kepada masalah daya simpan yang

rendah. Harrington (1972) mengatakan bahwa masalah yang dihadapi dalam

penyimpanan benih makin kompleks sejalan dengan meningkatnya kadar air

benih.

C. Penyimpanan Benih

Menurut Sutupo (1993) tujuan utama penyimpanan benih adalah untuk

mempertahankan viabilitas benih dalam periode simpan yang sepanjang mungkin,

sehingga benih dapat ditanam pada musim yang sama di lain tahun atau pada

musim yang berlainan dalam tahun yang sama, atau untuk tujuan pelestarian benih

dari sesuatu jenis tanaman. Selanjutnya Justice dan Bass (2002) menambahkan

bahwa penyimpanan benih adalah mengkondisikan benih pada suhu dan

kelembaban optimum untuk benih agar bisa mempertahankan mutunya. Tujuan

dari penyimpanan benih adalah untuk mengawetkan cadangan makanan tanaman

bernilai ekonomis dari satu musim ke musim berikutnya. Yudono (2012) juga
6

menambahkan bahwa penyimpanan benih bertujuan untuk mendapatkan benih

tetap bermutu tinggi sampai dengan waktu benih akan ditanam.

Bila ditinjau dari viabilitasnya secara umum benih dibedakan antara

berdaya simpan baik, sedang, dan jelek. Agar benih memiliki daya simpan yang

tinggi atau baik, maka benih harus bertitik tolak dari kekuatan tumbuh (vigor) dan

daya berkecambah yang semaksimum mungkin (Sutopo, 1993). Dalam periode

simpan terdapat perbedaan antara benih yang kuat dan lemah. Karena periode

simpan merupakan fungsi dari waktu maka perbedaan antara benih yang kuat dan

lemah terletak pada kemampuannya untuk tidak dimakan waktu (Sadjad, 1976

dalam Sutopo, 1993).

Yudono (2012) mengatakan bahwa faktor yang berpengaruh terhadap

daya simpan benih ortodoks adalah faktor dalam benih itu sendiri dan faktor

luar/lingkungan tempat simpan. Faktor dalam benih yang berpengaruh yaitu kadar

air awal penyimpanan (pada benih ortodoks antara 5-13% tergantung jenis benih

yang disimpan), tingkat pengisian biji (semakin bernas benih semakin besar daya

simpannya), tingkat kemasakan biji (semakin jauh dari masak fisiologis pada saat

panen semakin kecil daya simpannya), tingkat kerusakan biji (semakin rusak biji

semakin kecil daya simpannya), dan jenis benih. Kemudian faktor luar/lingkungan

yang berpengaruh yaitu suhu tempat simpan (bagi benih ortodoks, semakin rendah

suhu tempat simpan, daya simpan menjadi lebih besar karena kecepatan respirasi

benih dan kegiatan mikroorganisme yang menginvestasi benih berkurang),

kelembaban tempat simpan (bagi benih ortodoks, semakin tinggi kelembaban

lingkungan tempat simpan semakin kecil daya simpan benihnya karena


7

kelembaban yang tinggi memicu peningkatan kadar air dan dampaknya

meningkatkan laju respirasi dan kegiatan mikroorganisme yang merusak benih),

aerasi tempat simpan (semakin baik pengaturan aerasi tempat simpan, daya

simpan akan semakin besar karena aerasi akan menurunkan suhu dan kelembaban

lingkungan), kebersihan tempat simpan (semakin tidak bersih lingkungan tempat

simpan benih semakin berpotensi mempercepat kemunduran benih karena

kemungkinan gangguan hama/penyakit dan mikroorganisme), dan keamanan

tempat simpan (keamanan terhadap serangan hama tikus, penyakit, kehilangan

dan kerusakan lainnya).

Pedoman penyimpanan benih ortodoks, dikemukakan oleh Harington

(1959 dalam Yodono 2012) dikenal sebagai RULES OF THUMB yaitu setiap

penurunan 50C suhu lingkungan tempat simpan benih akan berpotensi

meningkatkan daya simpan 2 kali lipat, kemudian setiap penurunan kadar air

benih 1% potensi daya simpan meningkat 2 kali lipat, dan sebagai pedoman

penyimpanan benih, jumlah angka [kelembaban relatif (dalam %) + suhu simpan

(dalam Fahrenheit)] ≤ 100.

Selama penyimpanan, benih akan mengalami kemunduran / deteriorasi.

Proses kemunduran benih selama periode simpan terjadi secara alami dan

berkaitan dengan waktu, sedangkan kemunduran fisiologis disebabkan oleh faktor

lingkungan. Hal ini berarti bahwa semakin lama benih disimpan, maka benih akan

mengalami kemunduran dan dapat dipercepat laju kemundurannya oleh kondisi

lingkungan penyimpanan. Proses kemunduran benih tidak dapat dihindari tetapi

dapat diperlambat laju kemundurannya (Sadjad, 1993 dalam Yuningsih, 2009).


8

Kadar air benih merupakan faktor dominan dalam proses kemunduran

benih, menyusul suhu ruang simpan (Harrington, 1973 dalam Dinarto, 2010).

Pada benih kacang hijau saat dalam penyimpanan benih harus dalam kondisi

kering dengan kadar air 10-12 %. Biji yang telah bersih dikeringkan dengan cara

dijemur atau menggunakan alat pengering. Semakin kering akan semakin baik

sebab lebih tahan disimpan. Benih kacang hijau sebaiknya disimpan di ruangan

yang sejuk, kering, bersih, dan bersirkulasi udara baik (Purwono dan Hartono,

2012).

Faktor lingkungan simpan yang mempengaruhi daya simpan benih terdiri

atas faktor abiotik dan biotik. Faktor abiotik meliputi suhu, kelembaban, dan

komposisi gas sedangkan faktor biotik meliputi biji, cendawan, dan serangga

gudang (Justice dan Bass, 2002).

D. Callosobruchus chinensis L.

Menurut Kalshoven (1987), C. chinensis L. diklasifikasikan sebagai

berkut:

Kingdom : Animalia

Phylum : Arthropoda

Class : Insekta

Ordo : Coleoptera

Family : Bruchidae

Genus : Callosobruchus

Species : Callosobruchus chinensis L.


9

Kumbang ini menyerang kacang-kacangan dapat ditemukan pada

berbagai tempat. Kacang-kacangan tersebut sudah terserang sejak masih di

lapangan pada saat telah siap panen (Kalshoven, 1987).

Telur diletakkan pada permukaan biji, biasanya pada satu biji hanya

diletakkan satu telur. Telur berwarna keputih-putihan. Jumlah telur yang

diletakkan seekor kumbang betina berkisar antara 50-150 butir (Sudarmo, 1991).

Telur berbentuk jorong dengan panjang rata-rata 0,57 mm, berbentuk

cembung pada bagian dorsal serta rata pada bagian yang melekat dengan biji.

Telur menetas antara 4-8 hari (Sudarmo, 1991).

Larva yang baru menetas akan terus menggerek dengan cara memakan

kulit telur yang menempel pada biji dan kulit biji dan masuk ke dalam kotiledon.

Larva hidup dengan cara memakan dan menggerek kulit biji (Bato dan Sanches,

1998).

Larva berkembang sepenuhnya di dalam satu butir biji, membentuk satu

lubang keluar persis di bawah kulit biji, berupa semacam jendela bulat yang

terlihat dari luar, tetap tinggal di dalam biji sampai menjadi imago. Stadia larva

berlangsung selama 10-13 hari (Bato dan Sanches, 1998).

Larva instar keempat telah memakan isi biji dekat di bawah kulit biji,

maka akhirnya larva menjadi pupa dan tetap berada pada tempat tersebut sampai

menjadi dewasa (Mangoendihardjo, 1997). Pupa berwarna putih kekuningan.

Stadia pupa berkisar antara 4-6 hari (Mangoendihardjo, 1997).

C. chinensis yang baru dewasa, beberapa hari tetap berada dalam biji

kacang hijau, 2-3 hari keluar dari biji dengan cara mendorong kulit biji yang
10

dilubangi dengan mandibelnya sehingga terlepas dan terbentuklah lubang

(Greaves dkk., 1998). Imago berukuran 5 mm panjangnya dan berbentuk bulat

telur, cembung pada bagian dorsal. Panjang tubuh kumbang jantan antara 2,40 -3

mm, sedangkan betina 2,76-3,48 mm. Antena kumbang jantan bertipe sisir

(pectinate) dan betina bertipe gergaji (serrate). Stadia imago antara 25-34 hari

(Greaves dkk., 1998).

Hama C.chinensis menyerang pada bagian biji kacang hijau mulai dari

merusak biji hingga memakannya sampai tinggal bubuknya saja. Kerusakan yang

ditimbulkan menyebabkan benih kacang hijau berlubang, dan mengakibatkan

viabilitas benih menurun serta terjadinya penyusutan bobot yang sangat tinggi,

akibatnya kacang hijau tidak dapat lagi digunakan untuk benih maupun untuk

dikonsumsi (Gunawan, 2008 dalam Nuraeni, 2015). Selanjutnya Kartasaputra

(1991 dalam Nuraeni 2015) melaporkan bahwa produk yang diserang akan

tampak berlubang, karena larva terus menggerek biji dan berada di dalam biji

sampai menjadi imago. Slamet (1997) juga menambahkan bahwa gejala serangan

pertama pada kacang hijau tampak bintik-bintik putih, setelah itu kacang hijau

menjadi berlubang-lubang dan dari lubang itu keluar tepung.

Kerusakan produksi kacang-kacangan oleh hama gudang di Bangladesh

hampir 12,5% dari total produksi kacang - kacangan sebesar 0,2 juta ton per tahun

(Hein, 1997 dalam Dadang dan Undayasari, 2005). Kehilangan hasil akibat

serangan C. chinensis mencapai 70% (Ayyaz dkk., 2006 dalam Sari dkk., 2013).

Kehilangan hasil yang ditimbulkan oleh hama C.chinensis menandakan

bahwa perlu diadakan perbaikan teknik penyimpanan atau pengendalian yang


11

terjangkau sehingga dapat menekan kehilangan hasil kacang hijau di kalangan

petani. Selama ini pengendalian yang dilakukan adalah dengan menggunakan

pestisida sintesis karena pestisida dapat menekan hama dalam waktu singkat,

relatif mudah diaplikasikan dan sudah diformulasikan dalam bentuk yang sudah

siap digunakan. Namun penggunaan pestisida sintetis yang kurang bijaksana dapat

menimbulkan efek samping seperti kematian organisme bukan sasaran, terjadinya

resistensi dan resurjensi, serta residu pestisida pada bahan yang disimpan

(Kardinan, 2001 dalam Nuraeni, 2015). Untuk itu perlu upaya untuk mencari

alternatif bahan pengendalian yang dapat menekan populasi C. chinensis tapi

mampu mengurangi efek samping dari pengendalian yang dilakukan, salah

satunya adalah dengan penggunaan pestisida nabati.

E. Pestisida Nabati

Pestisida nabati dapat diartikan sebagai suatu pestisida dengan bahan

aktif tunggal (single active ingredient) atau majemuk (multiple active ingredient)

yang berasal dari tumbuhan. Pestisida nabati berasal dari tumbuhan (daun, buah,

biji atau akar) dan berfungsi sebagai penolak, penarik, antifertilitas (pemandul),

dan pembunuh . Pestisida nabati juga dapat digunakan untuk mengendalikan

organisme pengganggu tumbuhan (OPT). Pestisida nabati bersifat mudah terurai

(bio-degradable) di alam sehingga tidak mencemari lingkungan, dan relatif aman

bagi manusia dan ternak peliharaan karena residu mudah hilang (Kardinan, 2001

dalam Nuraeni, 2015).


12

Suatu tanaman yang akan dijadikan bahan pestisida harus memenuhi

beberapa kriteria, antara lain : (a) mudah dibudidayakan, (b) tanaman tahunan, (c)

tidak perlu dibasmi apabila suatu saat bagian tanamannya diperlukan, (d) tidak

menjadi inang bagi organisme pengganggu tanaman, (e) mempunyai nilai tambah,

(f) mudah diproses sesuai dengan kemampuan petani. Selain itu, tanaman yang

mengandung komponen aktif seperti alkaloid, terpenoid, kumarin, glikosida dan

beberapa sterol serta minyak atsiri dapat berpotensi sebagai pestisida (Dewi, 2007

dalam Nuraeni, 2015).

Secara garis besar pembuatan pestisida nabati dapat dilakukan dengan

cara penggerusan, penumbukan, pembakaran atau pemerasan untuk menghasilkan

produk berupa tepung, abu atau pasta. Ekstraksi juga dapat dilakukan dengan

menggunakan bahan kimia pelarut tetapi membutuhkan keterampilan dan alat

yang khusus (Kardinan, 2001 dalam Nuraeni, 2015).

Sa’diyah (2013 dalam Nuraeni 2015) menjelaskan bahwa pestisida nabati

dapat digunakan sebagai alternatif pengendalian serangga hama utama pada

tanaman atau pada penyimpanan benih karena memenuhi beberapa kriteria yang

diinginkan, yaitu aman, murah, mudah diterapkan petani dan efektif membunuh

hama. Keuntungan lainnya dari pestisida nabati adalah mudah dibuat dan berasal

dari bahan alami atau nabati yang mudah terurai (biodegradable) sehingga tidak

mencemari lingkungan dan relatif aman bagi manusia ataupun ternak. Salah satu

tanaman yang dapat digunakan sebagai pestisida nabati adalah bubuk dari daun

gamal.
13

F. Insektisida Nabati dari Daun Gamal

Tanaman gamal (Gliricidia sepium) merupakan tumbuhan asli daerah

tropis Pantai Pasifik di Amerika Tengah. Pada tahun 1600-an penyebaran tanaman

ini terbatas pada hutan musim kering gugur daun, tetapi banyak tumbuh di dataran

rendah yang tersebar di Meksiko, Amerika Tengah, Amerika Selatan bagian utara,

Asia dan diperkirakan masuk ke Indonesia pertama kali sekitar tahun 1900

(Elevitch dan Francis, 2006).

Tanaman gamal merupakan tanaman yang memiliki banyak manfaat.

Tanaman ini sering digunakan sebagai pagar hidup dalam penanaman lada, vanili,

dan ubi jalar. Daunnya dapat dimanfaatkan sebagai obat-obatan, rodentisida,

pestisida, dan pakan ternak, sedangkan kayu tanaman ini dapat dimanfaatkan

sebagai alat pertanian dan kayu bakar (Elevitch dan Francis, 2006).

Tanaman gamal mudah tumbuh dengan cepat di daerah tropis. Di

Indoensia dikenal oleh petani terutama di Jawa, Sumatera, dan Sulawesi

digunakan untuk pupuk, kayu bakar dan pencegah erosi. Beberapa peternak

memanfaatkannya untuk makanan ternak (ruminansia) karena daunnya

mengandung lebih dari 20% protein kasar meskipun cukup toksik untuk hewan

lain, seperti kuda (Duke, 1983).

Tanaman gamal merupakan salah satu jenis tanaman yang dapat

digunakan sebagai insektisida nabati. Gamal banyak mengandung senyawa yang

bersifat toksik seperti dikumarol, prussic acid, alkaloid, tannin, dan senyawa

pengikat protein yang juga tergolong zat anti nutrisi. Insektisida nabati dari gamal

bersifat sebagai penolak (repellents) pada hama (Setiawati dkk. 2008).


14

Pada genus Gliricidia, saat ini terdapat 3 spesies yang telah

teridentifikasi, Gliricidia sepium, Gliricidia brenninggii, Gliricidia maculate.

Gliricidia brenninggii memiliki banyak daun-daun berukuran kecil, dan

lembaran-lembaran kecil di pangkal batang daun, serta memiliki polong yang

lebih panjang dan gelap. Gliricidia maculate memiliki daun berbulu dan biasanya

bunganya berwarna putih pada bunga majemuk yang terjumbai. Gliricidia sepium

memiliki daun yang ukurannya lebih panjang dan lembaran daun yang seperti

kertas, serta bunga yang berwarna pink pada bagian ujung bunga majemuk yang

menjorok keluar (Elevitch dan Francis, 2006).

Dikumarol merupakan hasil konversi dari kumarin yang disebabkan oleh

bakteri ketika fermentasi. Kumarin merupakan senyawa golongan flavonoid yang

dapat mengiritasi kulit dan menghambat transportasi asam amino leusin.

(Robinson, 1995). Menurut Duke dan Wain (1981) senyawa ini sebagai pestisida

ini karena keaktifan senyawa toksik dikumarol sebagai derivatnya dari kumarin

yang dapat menyebabkan pendarahan lebih luas, paralysis dan mati apabila

kandungannya melebihi dari 10 ppm. Begitu juga pendapat dari Everist (1974)

bahwa ditemukan bentuk derivat kumarin dalam tanaman dan ada 4 bentuk

derivatnya, yaitu derivat pertama adalah dikumarol yang bersifat antikoagulan dan

dapat menyebabkan perdarahan lebih luas. Derivat kedua: dihydroxykumarin

glycoside yang mempunyai sifat racun akut karena mengandung glikosida.

Derivat ketiga: aflatoksin yang mempunyai sifat toksin hati yang sangat kuat dan

karsinogenik yang cukup tinggi dan merupakan hasil produksi dari Aspergillus.

Kemudian derivat keempat: furokumarin mempunyai sifat keaktifan


15

photosensitisasi yaitu bereaksi langsung merusak sel-sel jaringan dengan adanya

sinar matahari.

Alkaloid memiliki sifat metabolit terhadap satu atau beberapa asam

amino. Efek toksik lain bisa lebih kompleks dan berbahaya terhadap insekta, yaitu

mengganggu aktifitas tirosin yang merupakan enzim esensial untuk pengerasan

kutikula insekta (Harborne, 1982).

Tannin dapat bereaksi dengan protein membentuk kopolimer mantap

yang tidak larut dalam air. Dalam tumbuhan letak tanin terpisah dari protein dan

enzim sitoplasma. Bila hewan memakannya, maka reaksi penyamakan dapat

terjadi. Reaksi ini menyebabkan protein lebih sukar dicapai oleh cairan

pencernaan hewan kita menganggap salah satu fungsi utama tannin dalam

tumbuhan ialah sebagai penolak hewan termasuk serangga (Harborne, 1987).

Gejala yag diperlihatkan dari hewan yang mengkonsumsi tannin yang banyak

adalah menurunnya laju pertumbuhan, kehilangan berat badan dan gejala

gangguan nutrisi (Howe dan Westley, 1990 dalam Yus, 1996).

Berdasarkan penelitian dan pengalaman petani di San Fernando Filipina,

tanaman gamal dapat digunakan untuk pengendalian serangga hama Helicoverpa

armigera pada tanaman tembakau (Moralo-Rejesus, 1987 dalam Tukimin dan

Rizal, 2002). Insektisida nabati daun gamal ini potensial untuk digunakan dalam

pengendalian kutu tanaman. Hasil penelitian (Tukimin dkk., 2000) menunjukkan

bahwa ekstrak daun gamal mampu menimbulkan kematian 97,14% dan 96,59%

terhadap Myzus Persicae di laboratorium dan rumah kasa pada tanaman

tembakau. Kemudian pada hasil penelitian selanjutnya (Tukimin dan Rizal, 2002)
16

pada pengendalian serangga hama kutu daun Aphis gossypii pada tanaman kapas

menunjukan bahwa pada formulasi 9 gram daun gamal ditambah 31,5 ml minyak

tanah ditambah 6,25 gram detergen ditambah 1000 ml air sudah mampu untuk

menimbulkan kematian kutu Aphis gossypii sebesar 93,06% di laboratorium dan

83,87% di rumah kasa dalam waktu 72 jam setelah penyemprotan.

Bubuk daun gamal sebagai pestisida nabati mampu menekan populasi

C.chinensis dan mempertahankan mutu benih kacang hijau pada penyimpanan

selama empat bulan. Populasi C. chinensis dan mutu benih kacang hijau setelah

penyimpanan empat bulan yang diberi pupuk daun gamal pada dosisi 10, 20, 40%

pada penelitian sebelumnya sudah dapat menekan populasi C. Chinensis dan

menjaga mutu benih kacang hijau. Dan pada penelitian sebelumnya dari masing-

masing perlakuan pada dosis 10, 20, 40% tidak ada peningkatan populasi hama C.

Chinensis (Miswono, 2017).

G. Hipotesis

1. Bubuk daun gamal memberikan pengaruh yang nyata terhadap C. chinensis

dan mutu benih kacang hijau dalam penyimpanan.

2. Dosis bubuk daun gamal 20% adalah dosis terbaik dalam mengendalikan hama

C. chinensis dan mampu mempertahankan mutu benih kacang hijau dalam

penyimpanan.

Anda mungkin juga menyukai