Anda di halaman 1dari 7

TEORI DASAR

Penetapan kadar obat dalam plasma adalah salah satu bagian dari
pemantauan kadar obat didalam darah. Teknik ini biasa digunakan klinisi untuk
mengoptimalkan dosis obat dengan memberikan dosis yang ditetapkan
berdasarkan konsentrasi target dengan cara mengukur kadar obat dalam darah dan
bila perlu melakukan penyesuaian dosis. Pemantauan kadar obat dalam darah ini
bertujuan untuk membantu meningkatkan penggunaan obat yang lebih rasional
baik keamanan dan efektifitas dosis pada individu penderita (Chamberlain,2014).

Penelitian farmakokinetik melibatkan penentuan kadar obat dalam sampel


biologis. Metode analisi yang digunakan untuk penentuan kuantitatif kadar obat
dalam suatu sampel biologis merupakan hal yang sangat penting dalam evaluasi
dan interpretasi data farmakokinetika. Berbagai sampel biologis dapat diambil
untuk penentuan kadar dalam tubuh untuk penelitian farmakokinetik, sebagai
contoh darah, urin, feses, saliva, jaringan tubuh, cairan blister, cairan spinal dan
cairan sinovial. (Chamberlain,2014)

Daftar Sampel Biologis Bergantung pada Fluiditasnya dalam Kaitanya


dengan Tingkat Kemudahan Analisisnya (Chamberlain,2014)

Tingkat Fluiditas Jenis Sampel Biologis


Cairan - Cairan serebrospinal
- Air mata.
- Keringat
- Ludah
- Urin
- Empedu
Campuran - Plasma
- Serum
- Darah
- Feses
Padatan - Otak
- Jantung, Ginjal dan Hepar
- Paru, Otot
- Tulang

1. Darah

Pengukuran konsentrasi obat dalam darah, serum, atau plasma merupakan


pendekatan paling baik untuk memperoleh profil farmakokinetik obat didalam
tubuh (Shargel, Wu Pong & Yu, 2015). Plasma adalah suatu cairan kompleks
yang berfungsi sebagai media transportasi untuk zat-zat yang diangkut dalam
darah. Konstituen plasma antara lain air, elektrolit, nutrien, zat sisa, gas, hormon,
dan protein plasma (Ganong, 2009). Plasma diperoleh dari supernatan darah yang
telah ditambah antikoagulan kemudian disentrifugasi (Shargel, Wu Pong & Yu,
2015).

Prinsip kerja dari sentrifugasi yaitu objek diputar secara horizontal. Pada saat
objek diputar, partikel-partikel yang ada akan berpisah sesuai berat jenis masing-
masing partikel. Gaya yang berperan dalam sentrifugasi ini adalah gaya
sentrifugal. Setelah dilakukan sentrifugasi, spesimen terpisah menjadi dua bagian
yaitu pellet yang berada di bagian bawah berupa endapan yang memiliki bobot
jenis yang lebih besar dan supernatan yang berada pada bagian atas dengan warna
yang lebih jernih yang memiliki bobot jenis yang lebih kecil. Pellet berupa plasma
sedangkan supernatan adalah serum. Serum adalah bagian cairan darah, tanpa
faktor pembekuan atau sel darah. Sedangkan plasma adalah cairan darah sebelum
darah membeku yang mengandung unsur pembekuan darah (Bernasconi G. 2016).

Penentuan kadar suatu obat dalam plasma merupakan hal yang kompleks
disebabkan plasma merupakan suatu matriks yang kompleks. Perlakuan awal
terhadap sampel meliputi isolasi obat yang akan ditentukan dari sampel matriks
biologis harus dilakukan. Preparasi sampel plasma agar dapat memisahkan atau
mengisolasi obat diupayakan menggunakan prosedur seminimal mungkin untuk
menghindari kehilangan obat yang akan ditentukan didalam plasma. Semakin
panjang tahapan prosedur untuk preparasi sampel plasma hingga proses
memisahkan atau mengisolasi obat maka semakin besar kemungkinan hilangnya
obat yang akan ditentukan ( Hendra Adijuwana. 2011).

Beberapa cara preparasi sampel untuk penetapan kadar obat dalam plasma
(Evans, 2010), yakni :

a. Pengendapan Protein Plasma

Contoh zat pengendap protein: asam tungsat, amonium sulfat, tricloro acetic
acid (TCA), asam perklorat, ZnSO4, metanol, dan asetonitril. Protein dapat
diendapkan karena memiliki berbagai sifat diantaranya bersifat sebagai amfoter
yakni memiliki 2 muatan yang berlainan dalam 1 molekul, atau yang dikenal juga
sebagai zwitter ion. Sifat ini membuat protein memiliki muatan yang berbeda
pada pH yang berbeda pula. Akibatnya protein dapat larut pada rentang pH
tertentu dimana protein bermuatan.

Suatu saat di pH tertentu protein akan mencapai titik isoelektriik, yakni pH


dimana jumlah obat total muatan protein sama dengan nol (muatan positif
sebanding dengan muatan negatif), hal ini akan mempengaruhi kelarutan protein.
Pada titik isoelektrik, kelarutan protein sangat rendah, sehingga protein dapat
mengendap.

Selain itu, protein juga dapat membentuk ikatan dengan logam dimana
beberapa asam amino dapat terikat pada satu logam sehingga molekulnya menjadi
besar, beratnya juga menjadi besar sehingga protein mengendap. Selain itu,
terdapat juga beberapa sifat lain yang berhubungan dengan presipitasi protein ini
yang dijelaskan pada mekanisme pengendapan oleh masing-masing reagen.

Larutan (NH4)2SO4 merupakan garam dengan konsentrasi tinggi. Mekanisme


(NH4)2SO4 sebagai anti presipitasi protein dikenal sebagai salting out, yakni
penurunan kelarutan protein dengan adanya peningkatan konsentrasi garam. Hal
ini terjadi karena interaksi antara air dengan gugus polar dari protein menurun.
Kelarutan protein akan berkurang bila terdapat garam-garam anorganik dalam
konsentrasi tinggi mengakibatkan pengendapan protein tersebut. Sifat ini terjadi
karena kemampuan ion garam untuk terhidrasi dan terjadi kompetisi antara garam
dengan molekul protein untuk mengikat air.

Mekanisme ZnSO4 – NaOH sebagai agen presipitasi adalah NaOH akan


memberikan suasana basa pada larutan dan mengakibatkan protein berada dalam
keadaan ion negatif atau anion. Anion protein ini akan berikatan dengan ion
positif yang berasal dari logam berat yakni Zn2+ membentuk logam protein yang
tidak larut. Logam berat juga akan merusak struktur sekunder dan tersier dari
protein. Ikatan dari ion logam bermuatan positif akan menurunkan kelarutan
protein. Ion logam akan berkompetisi dengan proton-proton pada larutan untuk
berikatan dengan asam amino. Semakin kuat ikatan ion-ion logam untuk
menggantikan ikatan oleh proton-proton akan menurunkan pH larutan. Kombinasi
dari perubahan pI, penurunan pH (baik akibat ion logam maupun NaOH) akan
menyebabkan protein mengendap.

Penambahan larutan organik seperti metanol dan asetonitril pada larutan


protein dalam air akan menurrunkan KD (Konestanta Dielektrik) pelarut/air yang
meningkatkan tarikan antara molekul-molekul bermuatan dan memfasilitasi
interaksi elektrostatik protein. Pelarut organik ini juga akan menggantikan
beberapa molekul air disekitar daerah hidrofob dari permukaan protein yang
berasosiasi dengan protein sehingga menurunkan konsentrasi air dalam larutan
dengan demikian kelarutan protein akan menurun dan memungkinkan terjadinya
pengendapan.

a. Ekstaksi Padat-Cair (Solid-Phase Extraction)

Ekstaksi padat-cair menggunakan catridge khusus untuk memisahkan obat


dari sampel dengan volume relatif lebih kecil (0,5-1mL) yang tersedia secara
komersial dengan harga yang cukup mahal (Khopkar, 2010).
b. Ekstraksi Cair-Cair

Ekstraksi cair-cair merupaka suatu metode yang paling banyak digunakan


karena relatif cepat, simpel, dan murah dibandingkan dengan ekstraksi padat-cair.
Ekstraksi ini menggunakan pelarut pengekstraksi diikuti proses pemekatan obat
yang akan dianalisis. Pemilihan pelarut pengekstraksi dalam ekstraksi cair-cair
harus didasarkan pada sifat fitokimia obat maupun metabolit yang akan diisolasi
(Khopkar, 2010). Berbagai faktor dapat menjadi pertimbangan dalam seleksi
pelarut yang akan digunakan antara lain :

 Tidak bercampur dengan air


 Mempunyai kemampuan melarutkan obat yang diinginkan dalam jumlah
yang besar sehingga memberikan nilai recovery yang besar
 Mempunyai titik didih yang relatif rendah sehingga waktu evaporasi
pelarut relatif lebih singkat
 Sedapat mungkin volume yang digunakan untuk ekstraksi adalah minimal
sehingga akan menekan biaya yang dikeluarkan
 Jika memungkinkan gunakan pelarut dengan berat jenis yang lebih kecil
dari berat jenis air sehingga proses pemisahan pelarut organik akan lebih
mudah karena pelarut organik akan berada pada lapisan atas
2. Urin

Urin, berbeda dengan plasma atau serum, biasanya bebas dari protein atau
lemak sehingga bisa diekstraksi langsung dengan pelarut organic. Meskipun
begitu, urin memiliki banyak variasi komposisi dan sangat tergantung pada jenis
makanan yang dikonsumsi. Normalnya senyawa yang ditemukan dalam urin
adalah larut air, sedangkan sebagian besar obat larut lipid sehingga dapat
diekstraksi dengan pelarut yang cocok.

Kesulitan dalam pengumpulan sampel urin adalah volume urin yang benar
yang diproduksi selama interval waktu sampling, bukan pada penetapan kadarnya.
Jumlah analit diperoleh dengan mengalikan volume dan konsentrasinya. Sampel
urin juga sering memberikan hasil negative palsu misalnya pada pemeriksaan
kreatinin. Urin juga memiliki variasi pH yang lebar, dipengaruhi oleh konsumsi
makanan atau obat-obatan. Penggunaan antasida misalnya, kemungkinan bisa
menyebabkan urin menjadi basa. Asam kuat tidak besar pengaruhnya, pH urin
normal berkisar 5,5-7.( Katzung.2011).

3. Feses

Penanganan sampel feses cukup rumit, mengingat bentuknya semi padat dan
juga berupa campuran sisa-sisa proses pencernaan maupun senyawa-senyawa sisa
proses metabolisme tubuh. Harus dipikirkan pengambilan cuplikan yang tepat dan
juga jenis pelarut yang cocok karena banyaknya senyawa yang terkandung,
apalagi jika kadar analit dalam sampel kecil ( Katzung.2011).

4. Sampel biologis lain

Sampel biologis yang lain bisa berupa air susu, cairan serebrospinal, empedu,
ludah dan lain-lain, masing-masing memiliki kekhasan sifat dan kandungan
senyawa yang berbeda. Kelarutan obat dalam tiap larutan juga berbeda sehingga
pemilihan pelarut harus dilakukan secara cermat ( Katzung.2011).
DAFTAR PUSTAKA

Bernasconi G. 2016. Teknologi Kimia . Jakarta: Pradya Paramita


Chamberlain, J., 2014. The Analysis of Drugs in Biological Fluids 2 nd Ed. New
York : CRC Press.
Evans, G. 2010. A Handbook of Bioanaysis and Drug Metabolism. USA : CRC
Press.
Ganong, W. F. 2009. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 22. Jakarta: EGC.
Hendra Adijuwana. 2011. Teknik pemisahan Dalam Analisis Biologis. Bogor: IPB
Press
Katzung.Bertram, G. 2011. farmakologi dasar dan klinik, edisi 10. Jakarta:
pustaka buku kedokteran
Khopkar.S.M. 2010. Konsep dasar Kimia Analitik. Jakarta : UI Press.
Shargel, Leon., Susanna Wu-Pong, Andrew B. C. Yu. 2015. Biofarmasetika dan
Farmakokinetika Terapan, Edisi V, terjemahan Fasich dan Budi Suprapti.
Surabaya : Airlangga University Press.

Anda mungkin juga menyukai