Penetapan kadar obat dalam plasma adalah salah satu bagian dari
pemantauan kadar obat didalam darah. Teknik ini biasa digunakan klinisi untuk
mengoptimalkan dosis obat dengan memberikan dosis yang ditetapkan
berdasarkan konsentrasi target dengan cara mengukur kadar obat dalam darah dan
bila perlu melakukan penyesuaian dosis. Pemantauan kadar obat dalam darah ini
bertujuan untuk membantu meningkatkan penggunaan obat yang lebih rasional
baik keamanan dan efektifitas dosis pada individu penderita (Chamberlain,2014).
1. Darah
Prinsip kerja dari sentrifugasi yaitu objek diputar secara horizontal. Pada saat
objek diputar, partikel-partikel yang ada akan berpisah sesuai berat jenis masing-
masing partikel. Gaya yang berperan dalam sentrifugasi ini adalah gaya
sentrifugal. Setelah dilakukan sentrifugasi, spesimen terpisah menjadi dua bagian
yaitu pellet yang berada di bagian bawah berupa endapan yang memiliki bobot
jenis yang lebih besar dan supernatan yang berada pada bagian atas dengan warna
yang lebih jernih yang memiliki bobot jenis yang lebih kecil. Pellet berupa plasma
sedangkan supernatan adalah serum. Serum adalah bagian cairan darah, tanpa
faktor pembekuan atau sel darah. Sedangkan plasma adalah cairan darah sebelum
darah membeku yang mengandung unsur pembekuan darah (Bernasconi G. 2016).
Penentuan kadar suatu obat dalam plasma merupakan hal yang kompleks
disebabkan plasma merupakan suatu matriks yang kompleks. Perlakuan awal
terhadap sampel meliputi isolasi obat yang akan ditentukan dari sampel matriks
biologis harus dilakukan. Preparasi sampel plasma agar dapat memisahkan atau
mengisolasi obat diupayakan menggunakan prosedur seminimal mungkin untuk
menghindari kehilangan obat yang akan ditentukan didalam plasma. Semakin
panjang tahapan prosedur untuk preparasi sampel plasma hingga proses
memisahkan atau mengisolasi obat maka semakin besar kemungkinan hilangnya
obat yang akan ditentukan ( Hendra Adijuwana. 2011).
Beberapa cara preparasi sampel untuk penetapan kadar obat dalam plasma
(Evans, 2010), yakni :
Contoh zat pengendap protein: asam tungsat, amonium sulfat, tricloro acetic
acid (TCA), asam perklorat, ZnSO4, metanol, dan asetonitril. Protein dapat
diendapkan karena memiliki berbagai sifat diantaranya bersifat sebagai amfoter
yakni memiliki 2 muatan yang berlainan dalam 1 molekul, atau yang dikenal juga
sebagai zwitter ion. Sifat ini membuat protein memiliki muatan yang berbeda
pada pH yang berbeda pula. Akibatnya protein dapat larut pada rentang pH
tertentu dimana protein bermuatan.
Selain itu, protein juga dapat membentuk ikatan dengan logam dimana
beberapa asam amino dapat terikat pada satu logam sehingga molekulnya menjadi
besar, beratnya juga menjadi besar sehingga protein mengendap. Selain itu,
terdapat juga beberapa sifat lain yang berhubungan dengan presipitasi protein ini
yang dijelaskan pada mekanisme pengendapan oleh masing-masing reagen.
Urin, berbeda dengan plasma atau serum, biasanya bebas dari protein atau
lemak sehingga bisa diekstraksi langsung dengan pelarut organic. Meskipun
begitu, urin memiliki banyak variasi komposisi dan sangat tergantung pada jenis
makanan yang dikonsumsi. Normalnya senyawa yang ditemukan dalam urin
adalah larut air, sedangkan sebagian besar obat larut lipid sehingga dapat
diekstraksi dengan pelarut yang cocok.
Kesulitan dalam pengumpulan sampel urin adalah volume urin yang benar
yang diproduksi selama interval waktu sampling, bukan pada penetapan kadarnya.
Jumlah analit diperoleh dengan mengalikan volume dan konsentrasinya. Sampel
urin juga sering memberikan hasil negative palsu misalnya pada pemeriksaan
kreatinin. Urin juga memiliki variasi pH yang lebar, dipengaruhi oleh konsumsi
makanan atau obat-obatan. Penggunaan antasida misalnya, kemungkinan bisa
menyebabkan urin menjadi basa. Asam kuat tidak besar pengaruhnya, pH urin
normal berkisar 5,5-7.( Katzung.2011).
3. Feses
Penanganan sampel feses cukup rumit, mengingat bentuknya semi padat dan
juga berupa campuran sisa-sisa proses pencernaan maupun senyawa-senyawa sisa
proses metabolisme tubuh. Harus dipikirkan pengambilan cuplikan yang tepat dan
juga jenis pelarut yang cocok karena banyaknya senyawa yang terkandung,
apalagi jika kadar analit dalam sampel kecil ( Katzung.2011).
Sampel biologis yang lain bisa berupa air susu, cairan serebrospinal, empedu,
ludah dan lain-lain, masing-masing memiliki kekhasan sifat dan kandungan
senyawa yang berbeda. Kelarutan obat dalam tiap larutan juga berbeda sehingga
pemilihan pelarut harus dilakukan secara cermat ( Katzung.2011).
DAFTAR PUSTAKA