Anda di halaman 1dari 9

Modul 14

Akuntansi Akad Hawalah, Kafalah dan Sharf

Setelah mengikuti perkuliahan ini mahasiswa dapat secara tepat


1. Mengidentifikasi rukun akad hawalah, kafalah, dan sharf
2. Mendefinisikan jenis-jenis akad hawalah, kafalah, dan sharf
3. Membedakan jenis-jenis akad Musyarakah hawalah, kafalah, dan sharf
4. Menjelaskan tentang akad hawalah, kafalah, dan sharf

Pembahasan
Hawalah
Hawalah, Hawalah adalah pengalihan utang dari orang yang berutang
kepada orang lain yang wajib menanggungnya. Dalam mengaplikasikan akad
hawalah pada produk perbankan syariah paling tidak terdapat tiga pihak yang
diantaranya diikat dengan perjanjian, yaitu bank, nasabah, dan pihak yang
mempunyai utang kepada nasabah. Rukun hawalah yaitu: a) muhil, yakni orang
yang berutang dan sekaligus berpiutangl; b) muhal atau muhtal, yakni orang
berpiutang kepada muhil; c) muhal ‘alaih, yakni orang yang berhutang kepada
muhil dan wajib membayar utang kepada muhtal; d) muhal bih, yakni utang muhil
kepada muhtal; dan e) sighat (ijab qabul). Hawalah dilakukan harus dengan
persetujuan muhil, muhal/muhtal, dan muhal ‘alaih. Kedudukan dan kewajiban
para pihak harus dinyatakan dalam akad secara tegas. Jika salah satu pihak tidak
menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka
penyelesaiannya dilakukan melalui musyawarah;
Dalam hawalah ini terjadi perpindahan tanggungan atau hak dari satu
orang kepada orang lain. Dan pengalihan penagihan hutang ini dibenarkan oleh
syariah dan telah dipraktikan oleh kaum muslimin dari zaman Nabi SAW sampai
sekarang. Dalam Al-Qur’an kaum muslimin diperintahkan untuk saling tolong
menolong satu sama lain. Sebagaimana telah dijelaskan dalam firman
Allah, “Dan tolong menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan
takwa.” (QS. Al-Maidah: 2)
Akad hawalah merupakan suatu bentuk saling tolong-menolong yang
merupakan manifestasi dari semangat ayat tersebut. Kemudian berdasarkan hadits
barang siapa yang mempunyai hutang namun dia mempunyai piutang pada orang
lain yang mampu, kemudian dia memindahkan kewajiban membayar hutangnya
kepada orang lain yang mampu itu, maka orang yang mampu tersebut wajib
menerima kewajiban itu. Nabi SAW bersabda, “Penundaan orang yang mampu
(melunasi hutang) itu adalah dzalim, dan apabila seorang di antara kamu
menyerahkan (kewajiban menyerahkan hutangnya) kepada orang kaya, maka
terimalah.” (Shahihul Jami’us Shagir, 5876)Sebagai contoh, A mempunyai hutang
kepada B sebesar Rp 50.000 dan A memiliki piutang terhadap C dengan harga
yang sama yaitu Rp 50.000. dan ketika B menagih hutangnya terhadap A, si A
berkata “si C memiliki hutang Rp 50.000 kepadaku, dan kau dapat menagih
kepadanya.” Tetapi hawalah hanya dapat terjadi apabila terdapat sebuah
kesepakatan diawal di antara ketiganya.
Syarat-syarat hawalah ada empat yaitu:
1. Kerelaan orang yang menagih hutang,
2. Penerimaan oleh yang empunya piutang,
3. Keadaan piutang itu sudah tetap menjadi tanggungannya (bukan piutang
yang masih kemungkinan gugur),
4. Adanya persamaan sifat hutang yang ditanggung oleh pemindah hutang
dengan sifat hutang yang ditanggung oleh pengambil alih hutang dalam
jenis, macam, waktu bayar, dan waktu penangguhannya. Dengan hawalah
tersebut tanggungan si pemindah hutang itu menjadi lunas.

Menanggung hutang-hutang itu sah, asal keberadaannya sudah tetap dalam


tanggungannya (tidak mungkin berubah) dan hutang itu diketahui jumlahnya.
Bagi yang empunya hak boleh menagih siapa yang ia sukai dari penanggung atau
tertanggung, jika adanya penanggungan tersebut menurut apa yang telah
diterangkan tadi. Apabila penanggung sudah menutup hutang tersebut, maka
kembalilah wajib bayarnya pada si tertanggung jika penanggung dan pelunasan
hutang tadi dilakukan dengan seizin si tertanggung. Misalnya: Deni menanggung
hutang Ahmad kepada Roni, maka Roni boleh menagih hutangnya kepada Deni
atau Ahmad, dan apabila salah satu dari keduanya sudah membayar, maka
selesailah utang piutang antara Ahmad dan Roni.
Tidak sah menanggung hutang yang tidak terang, dan tidak sah pula menanggung
apa yang belum pasti terjadinya, kecuali menanggung barang yang dijual.
Demikian penjelasan mengenai akad Hawalah sebagaimana dijelaskan dalam
kitab Matn Al-Ghayah Wa Al-Taqrib. (Idah Mahmudah).

Kafalah
Kafalah adalah jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada
pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban
pihak kedua atau yang ditanggung. Dalam pengertian lain, kafalah juga berarti
mengalihkan tanggungjawab seseorang yang dijamin dengan berpegang kepada
tanggungjawab orang lain sebagai penjamin.
Dasar hukum untuk akad memberi kepercayaan ini dapat dipelajari dalam
Al-Qur’an pada bagian yang mengisahkan Nabi Yusuf,

Penyeru-penyeru itu berkata: "Kami kehilangan piala Raja, dan siapa


yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat)
beban unta, dan aku menjamin terhadapnya". (Yusuf: 72).
Kata za’im berarti penjamin dalam surah yusuf tersebut adalah Gharim, orang
yang bertanggung jawab atas pembayaran.

Al-Hadis
“kami pernah berada disisi Rasulullah SAW kemudian didatangkan jenazah, lalu
orang-orang berkata: “Wahai Rasulullah SAW, shalatkanlah dia. Beliau
bertanya, apakah ia meninggalkan sesuatu? Mereka menjawab, tidak. Beliau
bertanya: apakah ia mempunyai utang? Mereka menjawab “tiga dinar”. Beliau
bersabda: shalatlah kalian atas teman kalian. Abu Qatadah berkata: “shalatilah
dia, wahai Rasulullah dan aku yang menjamin (pembayaran) utangnya.
Kemudian beliau menshalatinya”. (HR. Ahmad, Bukhari dan Nasa’i).

Ijma’
Bahwa ulama sepakat tentang kafalah berdasarkan hadis diatas.

3. Rukun Al-Kafalah
a. Penjamin (kafil), yaitu dewasa dan berakal serta cakap hokum
b. Orang yang berhutang (ashil)
c. Orang yang berpiutang (makful lahu), yaitu identitasnya diketahui, hadir
pada saat akad dan berakal sehat
d. Utangnya (makful bihi)
e. Sighot
4. Macam-macam Kafalah
a. Kafalah bin nafs
Yaitu akad memberikan jaminan atas diri. (contoh: dalam praktik perbankan
adalah seorang nasabah yang mendapat pembiayaan dengan jaminan nama baik
dan ketokohan seseorang atau pemuka masyarakat. Walaupun bank secara fisik
tidak memegang barang apapun, tetapi berharap tokoh dapat mengusahakan
pembayaran ketika nasabah yang dibiayai mengalami kesulitan).
b. Kafalah bil-maal
Jaminan pembayaran barang atau pelunasan utang.
c. Kafalah bit-Taslim
Yaitu dilakukan untuk menjamin pengembalian atas barang yang disewa pada
waktu masa sewa berakhir. (jaminan ini dilaksanakan oleh bank untuk
kepentingan nasabahnya dalam perusahaan penyewaan. Jaminan pembayaran
berupa deposito/tabungan dan bank dapat membebankan uang jasa/fee kepada
nasabah itu)
d. Kafalah bi al-Darak
Yaitu penjaminan untuk melakukan pengejaran terhadap sesuatu yang keliru.
(contoh: seseorang menjamin melakukan pengejaran terhadap benda yang dijual
oleh pihak penggadai atau peminjam kepada pihak lain.
Aplikasi Kafalah Dalam Perbankan Syariah
Secara teknis perbankan syariah kafalah merupakan jasa penjaminan
nasabah dimana bank bertindak sebagai penjamin (kafil) sedangkan nasabah
sebagai pihak yang dijamin (makful lahu). Prinsip syariah sebagai dasar layanan
bank garansi, yaitu penjaminan pembayaran atas suatu kewajiban pembayaran.
Bank dapat mensyaratkan nasabah untuk menempatkan sejumlah dana untuk
fasilitas ini sebagai jaminan. Atas dana tersebut bank dapat memperlakukannya
dengan prinsip al-wadi’at dan dalam hal ini bank mendapatkan imbalan atas jasa
yang diberikan. Produk/jasa Akad Bank garansi Kafalah

Dasar Hukum
Kafalah sebagai akad yang dipergunakan untuk produk jasa perbankan
syariah disebut oleh UU No. 21 Tahun 2008 dalam pasal 19 ayat (1) dan (2) huruf
i. Kafalah dalam ayat ini merupakan salah satu alternatif pilihan, disamping ijarah,
musyarakah, mudharabah, murabahah dan hawalah untuk kegiatan usaha umum
bank syariah.
Tujuan/ Manfaat
 Bagi Bank sumber pendapatan dalam bentuk imbalan/fee/ujroh.
 Bagi Nasabah meningkatkan kelayakan ataupun creditworthiness sehingga
mudah diterima sebagai rekanan usaha.
Risiko kafalah
 Risiko Reputasi yang disebabkan oleh ketidakmampuan bank memenuhi
komitmen yang dijanjikan.
 Risiko Pembiayaan (credit risk) yang disebabkan oleh ketidakmampuan
nasabah untuk membayar piutang Qardh yang diterimanya.
SHARF

Pengertian Sharf
Menurut bahasa, Sharf memeliki beberapa arti yaitu kelebihan, tambahan
atau menolak. Adapun secara terminologisnya, sharf adalah pertukaran dua jenis
barang berharga atau jual beli uang atau disebut juga valas. Atau jual beli antara
dua barang sejenis secara tunai. Atau pertukaran antara mata uang suatu negara
dengan mata uang negara lainnya.
Landasan Syariah
Al Qur’an

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta


sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh
dirimu ; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.
Hadist
“menjual emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, garam
dengan garam (apabila sejenis) maka harus sama (kualitas dan kuantitasnya) maka
jual belikanlah sekehendakmu secara tunai.” (HR. Muslim dan Ahmad).

Rukun dan Syarat Sharf

Rukun dari akad sharf yang harus dipenuhi dalam transaksi ada beberapa
hal, yaitu :
1. Pelaku akad, yaitu ba’I (penjual) adalah pihak yang memiliki valuta untuk
dijual, dan musytari (pembeli) adalah pihak yang memerlukan dan akan
membeli valuta
2. Objek akad, yaitu sharf (valuta) dan si’rus sharf (nilai tukar)
3. Shighah yaitu ijab dan qabul
Sedangkan syarat dari akad sharf, yaitu :
a. Valuta (sejenis atau tidak sejenis) apabila sejenis, harus ditukar dengan
jumlah yang sama. Apabila tidak sejenis, pertukaran dilakukan sesuai
dengan nilai tukar
b. Waktu penyerahan (spot)

Tujuan/Manfaat
a. Bagi Bank
 Menyediakan mata uang (valuta asing) yang dibutuhkan nasabah.
 mendapatkan keuntungan dari selisih kurs (nilai tukar) dalam hal
penukaran mata uang yang berbeda.
b. Bagi Nasabah
memperoleh mata uang yang diperlukan untuk bertransaksi.

Risiko Sharf
 Risiko Operasional yang disebabkan oleh human error ataupun fraud.
 Risiko hukum terkait dengan tindak pidana pencucian uang menggunakan
fasilitas penukaran valas.

Batasan-batasan dilakukanya Ash-Sharf


Batasan-batasan pelaksanaan valuta asing yang juga didasarkan dari
hadits-hadits yang dijadikan dasar bolehnya jual beli valuta asing. Batasan-
batasan tersebut adalah :
1. Motif pertukaran adalah dalam rangka mendukung transaksi komersil,
yaitu transaksi perdagangan barang dan jasa antar bangsa, bukan dalam
rangka spekulasi.
2. Transaksi berjangka harus dilakukan dengan pihak-pihak yang diyakini
mampu menyediakan valuta asing yang dipertukarkan.
Dalam hal perdagangan mata uang asing ini, Imam al-Subki sebagaimana
dikutip Sura’i mengatakan bahwa pendapat yang populer pada mazhab Syafi’I
adalah boleh hukumnya melakukan transaksi dengan mata uang dirham yang
tengah berlaku walaupun ditukar dengan dirham biasa, sedangkan dirham sebagai
mata uang negara yang mempunyai cap, maka transaksi semacam ini dibolehkan.
Kemudian ia berkata berlakunya transaksi dengan mempertukarkan mata uang
yang tidak sejenis tidaklah ada halangannya, asalkan secara tunai, Namun
demikian apakah diperbolehkan mempertukarkan mata uang yang sama namanya
tetapi berbeda negara yang memilikinya seperti dinar Marokko dengan dinar
Maghribi. Dalam hal ini Imam al-Subki tidak menemukan adanya riwayat yang
melarang tetapi pendapat yang terkuat adalah membolehkannya.
Dari pernyataan di atas dapat dipahami bahwa tukar menukar uang yang
satu dengan uang yang lain diperbolehkan. Begitu pula memperdagangkan mata
uang asalkan nama dan mata uangnya berlainan atau nilainya saja yang berlainan,
namun harus dilakukan secara tunai
Al-Sharf Yang di Perbolehkan dan yang diLarang
Aktivitas perdagangan valuta asing, harus sesuai dengan norma-norma
syari’ah, antara lain harus terbebas dari unsur riba, maisir, gharar. Karena itu
perdagangan valas harus memperhatikan batasan sebagai berikut :
a. Pertukaran tersebut harus dilakukan secara tunai (spot), artinya masing-
masing pihak harus menerima/menyerahkan masing-masing mata uang
pada saat yang bersamaan.
b. Tidak dibenarkan menjual barang yang belum dikuasai atau dengan kata
lain, tidak dibenarkan jual beli tanpa hal kepemilikan.
c. Penukaran harta atas dasar saling rela atau tukar menukar suatu benda
(barang) yang dilakukan antara kedua pihak dengan kesepakatan (akad)
tertentu atas dasar suka sama suka.
d. Rukun dan syarat jual beli harus sempurna jika tidak maka dianggap batal.
e. Serah-terima dilakukan secara langsung dan tunai.

Anda mungkin juga menyukai