Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH METODOLOGI PENDIDIKAN

REVIEW JURNAL INTERNASIONAL


Education Journal Vol. 134 No. 4 Tahun 2014

PENELITIAN EXPOST FACTO

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 1
1. Surya Jatmika 14701251019
2. Rizki Nor Amelia 14701251022
3. Nursanti Dwi Yogawati 14701251032
4. Nur Ichsanuddin A.K. 14701251033

DOSEN PENGAMPU :
Prof. Dr. Badrun Kartowagiran

PENELITIAN DAN EVALUASI PENDIDIKAN


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2014
EFIKASI DIRI DAN BEBERAPA VARIABEL DEMOGRAFIS SEBAGAI
PREDIKTOR STRES KERJA PADA GURU SEKOLAH DASAR DI NEGARA
BAGIAN DELTA, NIGERIA

Dr. (Mrs.) G. O. Akpochafo


Universitas Negeri Delta, Abraka-Nigeria

Penelitian ini menyelidiki tentang faktor efikasi diri dan beberapa variabel
demografis sebagai prediktor stress kerja pada guru sekolah dasar di negara
bagian Delta. Ada tiga hipotesis yang dirumuskan untuk digunakan sebagai
panduan penelitian ini. Penelitian ini menggunakan desain penelitian survey
deskriptif yang merupakan tipe penelitian expost facto. Penelitian ini
menggunakan teknik sampel acak sederhana dari 120 orang guru sekolah dasar
yang dipilih. Instrumen utamanya berupa kuesioner, dengan analisis data
menggunakan korelasi product moment, regresi ganda, dan analisis data
deskriptif lainnya. Dari hasil analisis ditemukan bahwa efikasi diri, gender, dan
lama pengalaman mengajar merupakan prediktor stress bagi guru Sekolah
Dasar di negara bagian Delta, Nigeria. Sehingga dibuat pula beberapa
rekomendasi yang membantu dalam penelitian ini.

Kata kunci: efikasi diri, gender, dan pengalaman.

Pendahuluan
Stress merupakan epidemi global (WHO, 2002) atau yang menyebar secara
menyeluruh di semua bagian dunia, bahkan menurut Akinboye, dalam Akinboye dan
Adeyemo (2002), stress disebut sebagai penyakit Abad 20-an. Beberapa penelitian
menunjukkan fakta bahwa stress yang dialami oleh para guru merupakan masalah yang
sangat pelik (Akpochafo, 2011; Dick and Wagner, 2001; Kyriacou, 2001). Borg (1990) dan
Akinboye et al (2002) mengetahui bahwa para guru dan atau karyawan merasa bahwa
pekerjaan mereka sangatlah membuat stress. Adeyemo dan Ogunyemi (2003) menyatakan
bahwa pekerja yang bekerja dengan interaksi personal yang tinggi, contohnya perawat dan
guru, akan lebih mudah mengalami stress kerja daripada mereka yang bekerja dalam
organisasi. Samuel (2010) mengutip Shives (1990) mengatakan bahwa sekitar 25%
ketidakhadiran kerja yang disebabkan stress dapat membuat penurunan produktivitas, dan 80-
90% dari semua kesalahan industrial berkaitan dengan stress secara emosional. Maskch dan
Jackson (1982) memandang bahwa pekerjaan mengajar termasuk dalam salah satu peringkat
stress setelah dokter dan pengatur lalu lintas. Dengan menunjukkan intensitas mengajar yang
membuat stress, Selye (1978) melihat bahwa stress merupakan peristiwa ekternal atau
dorongan internal yang mengancam untuk mengacaukan keseimbangan organismik. Kyriacou
(2001) mendefinisikan stress terjadi ketika ada ketidaknormalan antara tuntutan yang dibuat
oleh seorang individu dan kemampuan individu ini untuk mengatasi tuntutan tersebut. Tentu
saja ada banyak penyebab stress di lingkungan sekolah, semacam organisasi, fisik, stress
kerja, hubungan, perkembangan karir dan penyebab stress lainnya. Okebukola dan Jegede
(1989) memandang beberapa penyebab stess seperti kelebihan jam mengajar, kurangnya
waktu, sumber pembelajaran yang sedikit, sarana dan prasarana yang kurang memadai,
sebagai masalah internal di profesi mengajar. Akpochafo (2011) menemukan bahwa stress
secara organisatoris yang meliputi gaji, tunjangan dan lainnya sebagai penyebab stress
tertinggi kemudian diikuti oleh faktor stres kerja lainnya seperti besarnya kelas yang diampu,
tingginya beban mengajar dan lainnnya. Pithers dan Soden (1998) dalam penelitiannya
mengungkapkan jika peran yang berlebihan adalah pemicu stress yang signifikan pada guru.
Lewis (1999) telah menemukan pemicu stress; sedangkan Bress(2006) mengungkapkan
tentang ketidakcukupan waktu, tidak perlunya observasi kelas, dan rendahnya hubungan
komunikasi yang terjalin antar guru, yang merupakan sumber stress bagi para guru.
Memang tepat jika dikatakan bahwa stress pasti membawa pengaruh yang negatif
pada guru, namun kemampuan masing-masing guru dalam mengatasi hal itu pastilah berbeda.
Beberapa guru mengatasi ketegangan tersebut dengan lebih mengembangkan diri, sedangkan
guru lain mengatasinya dengan mengembangkan lingkungan sekolah. Dengan latar belakang
inilah, maka penelitian ini disusun untuk mengetahui apakah faktor efikasi diri dapat
memprediksikan stress yang terkait dengan pekerjaan guru sekolah dasar.

Efikasi Diri
Bandura (1998) berdalil bahwa persepsi efikasi diri yang ada dalam masyarakat,
merujuk pada kemampuan para guru untuk menunjukkan kadar kinerja yang mempunyai
pengaruh atas peristiwa yang mempengaruhi kehidupan mereka. Tidak diragukan lagi hal
tersebut dapat mempengaruhi cara berpikir seseorang, tindakan, dan perasaan, yang
kemudian dikembangkan dalam empat sumber, yaitu: penguasaan diri yang tidak aktif,
pengalaman, persuasi verbal, serta keadaan fisiologis dan emosional.
Tschannem-Moran et al (1998) melihat bahwa faktor efikasi diri pada guru menjadi
sebuah keyakinan dalam kemampuan seseorang untuk mengatur dan melaksanakan program
tindakan yang diperlukan untuk berhasil menyelesaikan tugas pengajaran khusus dalam
konteks tertentu. Tentu saja tidak semua guru bisa menahan tekanan kerja tetapi pasti ada
yang berhasil dan ini dapat dikaitkan dengan begitu banyak alasan yang para penulis rujuk
seperti Tschannem-Moran (1998), Woolfolk Hoy dan Hoy (1998), Schwarzer, Schmitz dan
Tang (2000) bahwa persepsi seorang guru tentang rasa efikasi dirinya adalah sifat atau watak
pekerjaan yang dijalaninya. Schwarzer dan Hallum (2008) membuat perbedaan dengan pasti
bahwa persepsi tentang rasa efikasi diri dan beberapa faktor yang serupa lainnya seperti
konsep harga diri dan lokus efikasi mengikuti efikasi diri yang menyiratkan attribusi internal,
yang mana merupakan prospektif dan kontruk operatif. Tschannem-Moran dan Woolfolk
(2001), Coladarchi (1992), Ashton dan Webb (1986) dalam studinya mengungkapkan apabila
seorang guru memiliki tingkat efikasi diri tinggi, ia dapat menunjukkan entusiasme, rencana
yang lebih besar dalam menghadapi segala sesuatu yang berjalan diluar kendalinya. Mereka
tidak mengkritik meski siswanya menjawab salah, dan akan lebih sabar menghadapi siswa
yang sedang berusaha. Dapat dikatakan bahwa mereka benar-benar ingin menunjukkan yang
terbaik dari pari siswanya. Di sisi lain, guru dengan tingkat efikasi diri rendah, menurut
Adeyemo dan Ogunyemi (2003), akan mundur dari tugas-tugas yang sulit, memiliki aspirasi
yang rendah, dan lemah dalam berkomitmen atas apa yang mereka ingin raih. Guru yang
seperti inilah yang akan dengan cepat terpicu stress dan bahkan depresi. Bandura (1997),
Pajare (1994) menyebutkan dalam Ogunyemi (2003) menegaskan bila efikasi diri
berpengaruh terhadap tingginya stress dan rasa cemas terhadap pengalaman personal mereka
dan tertuang pada aktifitas mereka. Tidak diragukan lagi apabila rasa efikasi diri membantu
menguatkan kinerja guru atau bahkan melemahkan kinerjanya.
Konsep rasa efikasi diri telah diterapkan dalam berbagai sudut dan dapat dikatakan
berhasil. Sebagai contoh, Marlatt, Baer, dan Quigley (1995) menemukan hubungan antara
kepercayaan terhadap rasa efikasi diri dan rasa adiktif, Davis dan Yates (1982) menemukan
hubungannya dengan depresi, Jerussalem dan Mittas (1995) menemukan hubungannya
dengan stress atau tekanan, O’Leary (1985) juga menemukan hubungannya dengan
kesehatan.
Moran dan Hoy (2001) menegaskan bahwa rasa efikasi diri guru berhubungan dengan
perspektif guru, antusiasme, komitmen, perilaku intruksional, serta penghargaan dan
motivasi. Shahin Vaezl dan Nasser Fallah (2011) menemukan hubungan negatif yang
signifikan antara rasa efikasi diri dan tingkat stress guru. Penelitian mereka mengungkapkan
bahwa semakin tingginya tingkat efikasi diri guru, maka semakin sedikit mereka akan
mengalami tekanan atau stress. Lebih lanjut lagi, Grau, Salanova, dan Peiro (2001) secara
bersamaan mengungkapkan bahwa rasa efikasi diri dapat meringankan kerja yang berkaitan
dengan stress. Adeyemo dan Ogunyemi (2003) dalam penelitian mereka di staff akademik
pada sebuah universitas menunjukkan bahwa kemampuan emosi dan rasa efikasi diri adalah
pemicu stress kerja. Pertanyaan yang kini muncul adalah apakah sama dengan yang terjadi
pada guru sekolah dasar di negara bagian Delta? Beberapa penelitian yang ada di Nigeria
tentang hal tersebut sayangnya bukan terjadi di negara bagian Delta, dan juga bukan untuk
guru sekolah dasar, sebagai contoh penelitian dari Adeyemo, Akiboye, Adeyemo dan
Ogunyemi (2003). Sebagai bentuk kebutuhan untuk tahu tentang penelitian yang mengetahui
bahwa stress memiliki dampak negatif secara individual, maka penelitian ini juga dilakukan
untuk menyelidiki tentang peranan gender dan pengalaman para guru tentang rasa efikasi diri
sebagai bagian dari stress kerja.

Tujuan Penelitian
Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk menemukan hubungan antara tingkat
rasa efikasi diri guru sekolah dasar dengan stress kerja, atau jika efikasi diri seorang guru bisa
menjadi pemicu stress. Penelitian ini juga untuk mengetahui peranan variabel demografis dari
gender dan lama pengalaman mengajar guru sebagai pemicu stress kerja.

Hipotesis
Hipotesis yang diformulasikan adalah sebagai berikut:
1. Tidak ada hubungan yang signifikan antara rasa efikasi diri guru sekolah dasar dengan
stress kerja.
2. Tidak ada hubungan yang signifikan antara gender (jenis kelamin) seorang guru, rasa
efikasi dirinya, dan stress kerja.
3. Tidak ada hubungan yang signifikan antara lama pengalaman mengajar seorang guru, rasa
efikasi dirinya, dan stress kerja.

Metodologi
Penelitian ini mengadopsi bentuk penelitan survey deskriptif yang merupakan tipe
penelitian expost facto, serta yang menjadi perhatian utama adalah untuk mengetahui
pengaruh dari variabel independen terhadap variabel dependen.
Populasi dari penelitian ini terdiri dari semua guru sekolah dasar di Delta State.
Jumlah sampel yang diambil sebanyak 120 guru sekolah dasar (pria = 29 orang, wanita = 91
orang). Dengan usia guru antara 21 hingga 55 tahun, dan lama kerja (pengalaman mengajar)
antara 1 hingga 34 tahun.
Penelitian ini menggunakan dua instrumen utama yaitu General Perceived Self
Efficacy Scale (GPSS) dan Occupational Stress Scale (OSS). Instrumen lain yang digunakan
adalah kuisioner yang memuat data demografi responden yang terdiri dari : nama, umur, jenis
kelamin, kualifikasi, lokasi mengajar, dan lama pengalaman mengajar. Akan tetapi dari
kuisioner tersebut hanya ada 2 data yaitu jenis kelamin dan lamanya pengalaman mengajar
yang digunakan dalam analisis penelitian ini.

Instrumen yang digunakan


1. General Perceived Self Efficacy Scale (GPSS)
GPSS yang digunakan adalah versi inggris dari Self-efficacy Scale oleh Schwarzer
dan Jerusalem (1995). Instrumen ini terdiri dari 10 item spesifik untuk mengukur efikasi
diri guru. Contoh item dari kuisionernya, yaitu: (1) Saya bisa memecahkan masalah yang
sulit jika saya bekerja keras sebagai guru; (2) Saya bisa menyelesaikan apapun yang
datang kepada saya sebagai seorang guru. Respon untuk instrumen tersebut ada 4 skala
yang dimulai dari “tidak sepenuhnya benar” sampai “sangat benar sekali”. Skala yang
digunakan memiliki konsistensi internal yang tinggi jika nilai alpha cronbach antara 0,75
sampai 0,90 (Schwarzer dan Jerusalem, 1995). Sedangkan nilai validitas konten untuk
efikasi diri sebesar 76,50% dan validitas konstruk yang diestimasi menggunakan matrik
rotasi faktor memberikan hasil 0,51 sampai dengan 0,92.
Pada penelitian ini, alpha cronbach digunakan untuk mengestimasi konsistensi
internal dari instrumen dan menghasilkan nilai 0,84 yang berarti instrumen ini memiliki
reliabilitas yang sangat baik dan cocok untuk digunakan.
2. Occupational Stress Scale (OSS)
OSS diadaptasi dari Job Stress Scale milik Clifford (2005). Instrumen ini memiliki
25 item yang fokus pada faktor-faktor yang tidak menyenangkan pada profesi guru.
Contoh itemnya, yaitu: (1) Saya merasa stress dengan gaji saya yang sekarang; (2) Kelas
yang besar adalah sumber stress bagi saya. Instrumen ini terdiri dari 5 skala dimulai dari
“sangat setuju” sampai dengan “sangat tidak setuju”. Nilai alpha cronbach dari instrumen
ini sebesar 0,73 sehingga menunjukkan bahwa instrumen OSS memiliki konsistensi
internal yang tinggi.

Prosedur
Skala-skala dalam penelitian ini telah diuji secara personal oleh peneliti kepada guru
sekolah dasar.
Analisis Data
Data yang diperoleh dari penelitian ini dianalisis menggunakan korelasi produk
momen dari Pearson, regresi ganda dan statistik deskriptif lainnya.

Hipotesis 1:
Tidak ada hubungan yang signifikan antara rasa efikasi diri guru sekolah dasar dengan
stress kerja. Hipotesis ini dianalisis menggunakan korelasi produk momen dari Pearson.
Analisisnya disajikan dalam Tabel 1 di bawah ini :

Tabel 1: Pearson Product Moment Correlation Analysis of Primary School Teachers Self Efficacy
Beliefs and Stress

Variables N X SD DF t-cal t-crit. Level of Sig. Decision


Self Efficacy Beliefs 120 48,7 6,44 Significan
118 0,636 0,1946 0,05
Stress 120 38,77 4,95 Rejected

Tabel 1 menunjukkan r-hitung lebih besar daripada r-kritis (0,636>0,1946) yang


berarti menolak hipotesis nol. Artinya ada hubungan yang signifikan antara rasa efikasi diri
guru sekolah dasar dengan stress kerja.

Hipotesis 2
Tidak ada hubungan yang signifikan antara gender (jenis kelamin) seorang guru, rasa
efikasi dirinya, dan stress kerja. Hipotesis ini dianalisis menggunakan multiple regression
atau regresi ganda. Hasil analisisnya tersaji dalam Tabel 2 di bawah ini :

Tabel 2: Regression Analysis of Gender, Teachers Self Efficacy Beliefs and Stress
Model Summary
R R-Square Adjusted R-Square Std. Error of the Estimate
0,637 0,406 0,396 3,849

ANOVA
Sum of Square df Mean Square F Sign.
Regression 1184,307 2 592,153 39,974 0,000
Residual 1733,16 117 14,813
Total 2917,467 119

Coefficient
Unstandardized Coefficient Standardized Coefficient
B Std. Error Beta
Constant 15,817 3,037
Self Efficacy Beliefs 0,489 0,055 0,636
Gender of Teachers -0,494 0,821 -0,043
Self Efficacy Beliefs, Stress and Gender of Teachers Report
Self Efficacy Beliefs Stress
Gender of Teachers
N SD (X) N SD (X)
Male Teachers 29 6,23 48,55 29 4,42 39,07
Female Teachers 91 6,54 48,75 91 5,13 38,67

Hasil dari Tabel 2 menunjukkan bahwa rasa efikasi diri dan jenis kelamin guru
memiliki koefisien korelasi (R) sebesar 0,637 terhadap stress kerja.
Kombinasi dari kedua variabel tersebut berkontribusi 40,6% terhadap stress kerja. Hal
ini terbukti dari harga koefisien determinasi R2 sebesar 0,406. Hasil analisis variansi juga
menunjukkan bahwa ada kecenderungan peningkatan kadar stress seiring peningkatan rasa
efikasi diri dan jenis kelamin guru. Hal ini terbukti dari harga F sebesar 39,974 yang
signifikan pada p<0,05.
Hasil analisis selanjutnya menunjukkan bahwa koefisien korelasi parsial rasa efikasi
diri memiliki hubungan yang positif dengan stress kerja saat koefisien korelasi parsial jenis
kelamin guru bernilai negatif.
Pada rasa efikasi diri, stress kerja, dan jenis kelamin guru mengindikasikan bahwa
rata-rata efikasi diri laki-laki sebesar 48,55 lebih rendah dari rata-rata efikasi diri perempuan
sebesar 48,75 yang berarti perempuan memiliki efikasi diri yang lebih tinggi daripada laki-
laki; dan juga rata-rata stres laki-laki sebesar 39,07 lebih tinggi daripada rata-rata stres
perempuan sebesar 38,07. Meskipun sebenarnya guru perempuan lebih stres daripada guru
laki-laki.

Hipotesis 3
Tidak ada hubungan yang signifikan antara lama pengalaman mengajar seorang guru,
rasa efikasi dirinya, dan stress kerja. Hipotesis ini juga diuji dengan menggunakan regresi
ganda dan hasil analisisnya disajikan dalam Tabel 3 dibawah ini :
Tabel 3:
Model Summary
R R-Square Adjusted R-Square Std. Error of the Estimate
0,637 0,406 0,396 3,848

ANOVA
Sum of Square df Mean Square F Sign.
Regression 1184,307 2 592,153 40,017 0,000
Residual 1733,409 117 14,807
Total 2917,467 119
Coefficient
Unstandardized Coefficient Standardized Coefficient
B Std. Error Beta
Constant 15,868 3,031
Self Efficacy Beliefs 0,492 0,055 0,636
Gender of Teachers -0,576 0,896 -0,046

Self Efficacy Beliefs, Stress and Gender of Teachers Report


Self Efficacy Beliefs Stress
Experienced of Teachers
N SD (X) N SD (X)
Inexperienced Teachers 23 6,06 47,61 23 3,42 38,70
Experienced Teachers 97 6,53 48,96 97 4 38,78

Hasil pada Tabel 3 menunjukkan bahwa rasa efikasi diri dan pengalaman mengajar
guru memiliki koefisien korelasi (R) sebesar 0,637 terhadap stress kerja. Kombinasi dari
kedua variabel tersebut berkontribusi 40% terhadap stress kerja. Hal ini terbukti dari harga
koefisien determinasi R2 sebesar 0,406. Hasil analisis variansi juga menunjukkan bahwa ada
kecenderungan peningkatan kadar stres seiring peningkatan rasa efikasi diri dan lama
pengalaman mengajar guru. Hal ini terbukti dari harga F sebesar 40,017 yang signifikan pada
p<0,05.
Hasil analisis selanjutnya menunjukkan bahwa koefisien korelasi parsial pengalaman
mengajar guru memiliki hubungan yang negatif dengan stress kerja saat koefisien korelasi
parsial rasa efikasi diri bernilai positif.
Pada rasa efikasi diri, stress kerja, dan lama pengalaman mengajar guru
mengindikasikan bahwa rata-rata guru yang kurang berpengalaman sebesar 47,61 yang lebih
rendah dari rata-rata guru yang berpengalaman sebesar 48,96 yang berarti guru yang
berpengalaman memiliki efikasi diri yang lebih tinggi daripada guru yang kurang
berpengalaman. Selain itu, rata-rata stress guru yang berpengalaman sebesar 38,78 lebih
tinggi daripada rata-rata stress guru yang kurang berpengalaman sebesar 38,70. Meskipun
sebenarnya guru yang berpengalaman lebih stress daripada guru yang kurang berpengalaman.

Pembahasan
Hasil hipotesis pertama menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara
rasa efikasi diri guru sekolah dasar dengan stress kerja. Ini menyiratkan bahwa efikasi diri
merupakan prediktor stress kerja. Ini sesuai dengan studi Vaezl dan Fallah (2011), Adeyemo
dan Ogunyemi (2003) dan Grau, Salanova dan Peiro (2001).
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa jenis kelamin memiliki hubungan yang
signifikan dengan stress (Hipotesis kedua). Lebih lanjut hasil tersebut mengungkapkan bahwa
guru perempuan memiliki rasa efikasi diri yang lebih tinggi daripada guru pria, sehingga guru
pria memiliki tingkat stres yang lebih tinggi daripada guru perempuan. Hasil penelitian ini
semakin menguatkan hasil penelitian Betoret (2006) yang menemukan bahwa di Spanyol
guru yang memiliki efikasi diri yang tinggi memiliki tingkat stress yang rendah dan memiliki
motivasi yang lebih dan tingkat kepuasan dalam profesi mereka. Para guru perempuan dalam
penelitian ini tidak peduli dengan margin tipis dari perbedaan antara yang memiliki efikasi
diri yang tinggi dan yang tidak mudah stress.
Temuan terakhir dari penelitian ini (Hipotesis ketiga) adalah bahwa lama pengalaman
mengajar juga termasuk prediktor stress kerja. Guru yang berpengalaman memiliki rasa
efikasi diri yang tinggi daripada guru yang kurang berpengalaman, hasilnya menunjukkan
bahwa guru yang berpengalaman lebih stres daripada guru yang kurang berpengalaman,
tetapi mereka memiliki efikasi diri yang lebih tinggi untuk mengatasinya.

Kesimpulan dan Rekomendasi


Berdasarkan temuan dan diskusi dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa efikasi
diri adalah salah satu prediktor stress kerja. Variabel demografis yang berupa gender (jenis
kelamin) dan pengalaman kerja juga merupakan prediktor stress kerja. Implikasinya adalah
bahwa efikasi diri guru harus ditingkatkan sehingga dapat membantu mengurangi stress
kerjanya. Tidak diragukan lagi, ketika stress berkurang maka akan memiliki efek berantai
yang menyebabkan peningkatan kesejahteraan guru dan efektivitas yang selalu akan
mempengaruhi kinerja guru. Menurut Akpochafo (2011) terdapat empat sumber utama
efikasi diri seperti yang dinyatakan oleh Bandura (1977) yang harus menjadi bagian dari
program pelatihan guru, yaitu: penguasaan diri yang tidak aktif, pengalaman, persuasi verbal,
serta keadaan fisiologis dan emosional.
Selain itu, sumber-sumber stress harus ditangani dengan baik oleh pemerintah. Kepala
sekolah dari sekolah dasar di pihak mereka sendiri harus melakukan yang terbaik untuk
meringankan sumber stress melalui peningkatan perilaku dan administrasi. Kedua hal
tersebut haruslah memiliki hubungan yang baik.
ANALISIS JURNAL

Secara keseluruhan, isi artikel dari hasil penelitian Dr. (Mrs.) G.O. Akphochafo sudah
cukup baik, meskipun sebenarnya dari sudut tata tulis masih kurang baik. Hal ini terbukti dari
banyaknya paragraf yang tidak rapi (ada yang paragrafnya terlalu panjang, dan ada pula
paragraf yang terlalu pendek), padahal kerapian aspek tata tulis mempengaruhi minat
sesorang untuk membaca. Akan tetapi menurut kelompok kami terdapat dua poin yang lebih
penting dari sekedar aspek tata tulis yang menjadi bahan analisis, yaitu kelebihan dan
kekurangan artikel.

KELEBIHAN ARTIKEL
Peneliti berani mengangkat tema atau topik penelitian baru yang belum pernah diteliti
sebelumnya. Adeyemo dan Ogunyemi (2003) dalam penelitian mereka di staff akademik
pada sebuah universitas menunjukkan bahwa kemampuan emosi dan rasa efikasi diri adalah
pemicu stress kerja. Pertanyaan yang muncul di benak peneliti adalah apakah sama dengan
yang terjadi pada guru sekolah dasar di negara bagian Delta? Beberapa penelitian yang ada di
Nigeria tentang hal tersebut sayangnya bukan terjadi di negara bagian Delta, dan juga bukan
untuk guru sekolah dasar, sebagai contoh penelitian dari Adeyemo, Akiboye, Adeyemo dan
Ogunyemi (2003) tersebut. Oleh karena itu, sebagai bentuk kebutuhan untuk menguak
informasi bahwa stress memiliki dampak negatif secara individual, maka peneliti melakukan
penelitian ini untuk menyelidiki tentang peranan gender dan pengalaman para guru tentang
rasa efikasi diri sebagai bagian dari stress kerja.

KEKURANGAN ARTIKEL
A. JUDUL
Judulnya kurang spesifik mengenai variabel-variabel penelitiannya, dalam judul
hanya dicantumkan “Efikasi Diri dan Beberapa Variabel Demografis sebagai Prediktor
Stress Kerja pada Guru Sekolah Dasar di Negara Bagian Delta, Nigeria”, akan lebih baik
jika judulnya menjadi “Efikasi Diri, Gender, dan Lama Pengalaman Mengajar Guru
sebagai Prediktor Stress Kerja pada Guru Sekolah Dasar di Negara Bagian Delta,
Nigeria”.

B. KAJIAN TEORI
Pada bagian kajian teori maupun bagian pendahuluan, peneliti justru lebih banyak
membahas efikasi diri, sedangkan untuk peran gender dan pengalaman mengajar guru
sendiri tidak dibahas. Selain itu Teori efikasi diri yang dicantumkan terlalu banyak dan
tidak dilakukan pemilihan serta penyesuaian maupun penarikan kesimpulan mengenai inti
atau maksud penelitian yang dirancang peneliti.

C. RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah tidak dicantumkan peneliti dalam artikelnya. Menurut kelompok
kami, seharusnya rumusan masalah disampaikan sebagai berikut:
1. Apakah terdapat hubungan yang signifikan antara rasa efikasi diri guru sekolah dasar
dengan stress kerja.
2. Apakah terdapat hubungan yang signifikan antara gender (jenis kelamin) seorang guru,
rasa efikasi dirinya, dan stress kerja.
3. Apakah terdapat hubungan yang signifikan antara lama pengalaman mengajar seorang
guru, rasa efikasi dirinya, dan stress kerja.

D. HIPOTESIS
Meskipun pada hakikatnya kita menguji Hipotesis nihil (H0), alangkah baiknya apabila
peneliti mencantumkan Hipotesis alternatif saja yang diformulasikan dalam artikel
penelitian tersebut. Hal ini dikarenakan Hipotesis alternatif lebih menunjukkan bahwa
dalam merumuskan hipotesisnya, peneliti telah mengkaji dari berbagai teori. Oleh karena
itu, sebaiknya hipotesis yang dicantumkan, yaitu:
1. Ada hubungan antara efikasi diri guru Sekolah Dasar terhadap Stress Kerja.
2. Ada hubungan antara efikasi diri dan gender (jenis kelamin) guru Sekolah Dasar
terhadap Stress Kerja.
3. Ada hubungan antara efikasi diri dan lama pengalaman mengajar guru Sekolah Dasar
terhadap Stress Kerja.

E. JENIS PENELITIAN
Dalam artikel ini, tertulis desain penelitiannya adalah penelitian survei deskriptif yang
menggunakan jenis penelitian expost facto, sehingga jenis penelitian yang digunakan
tersebut masih ambigu antara penelitian survei deskriptif atau penelitian expost facto.
Namun menurut hasil analisis kami, penelitian ini cenderung pada jenis penelitian expost
facto karena ingin mengungkap fakta yang telah terjadi dan melakukan uji hipotesis.
Selanjutnya terkait penentuan jumlah sampel yang digunakan sebaiknya dijelaskan
terlebih dahulu dengan menggunakan pedoman apa? Pedoman Tabel Cohen, Tabel
Morgan, Nomogram Harry King ataukah pedoman yang lain.
Selain itu, prosedur penelitian yang dilakukan juga kurang jelas, sebaiknya dijelaskan
mengenai tahap-tahap proses penelitian serta tempat dan waktu penelitian juga perlu
dicantumkan.

F. KARAKTERISTIK INSTRUMEN
1. Karakter instrumen GPSS (Efikasi Diri)
 Dalam artikel tersebut item-item dari kuesioner GPSS menggunakan instrumen
penelitian yang sudah ada yaitu dari penelitian Schwarzer dan Jerusalem (1995).
Oleh karena itu juga uji validitas dan reliabilitas mengacu pada pengujian instrumen
yang dilakukan Schwarzer dan Jerusalem (1995).
 Penggunaan instrumen tersebut tidak dijelaskan indikator-indikator kisi-kisi
instrumennya apa yang digunakan.
 Untuk skala respon pilihan pada butir pertanyaan menggunakan 4 skala, tetapi tidak
menyebutkan 4 skala itu berarti (bermakna) apa saja dan tidak menyebutkan jenis
skala apa, kecenderungannya menurut analisis kami menggunakan skala Likert.
Sebaiknya seorang peneliti tidak menggunakan sepenuhnya instrumen dari
penelitian yang sudah ada tetapi juga menyusun instrumen sendiri sesuai dengan
teori dan kondisi yang akan dihadapi yang dituangkan dalam kisi-kisi instrumen
mencakup indikator-indikator instrumennya.
 Pilihan respon pertanyaan harus jelas apakah bentuknya persetujuan, frekuensi
(intensitas), atau yang lain dan menggunakan makna tingkatan angka skala yang
jelas.
 Pedoman dalam menginterpretasikan nilai validitas instrumen tidak mencantumkan
sumber yang menjadi acuan, sehingga menurut kami perlu dicantumkan agar lebih
jelas ukuran validitas yang baik (meskipun validitas rasional yang berupa validitas
konten dan validitas konstruk telah terpenuhi).
2. Karakter instrumen OSS (Stress Kerja)
 Dalam artikel tersebut item-item dari kuesioner OSS mengadaptasi dari instrumen
penelitian yang sudah ada yaitu dari penelitian Clifford (2005).
 Penggunaan instrumen tersebut juga tidak dijelaskan indikator-indikator kisi-kisi
instrumennya.
 Terkait dengan indikator apa saja yang digunakan dan dimanakah letak modifikasi
dari peneliti, tidak dicantumkan.
 Selain itu juga yang dicantumkan hanya hasil uji reliabilitas saja, terkait item-item
validnya nomor berapa saja tidak dicantumkan (hasil uji validitas rasional).
 Untuk skala respon pilihan pada butir pertanyaan menggunakan 5 skala, tetapi tidak
menyebutkan 5 skala itu berarti (bermakna) apa saja dan tidak menyebutkan jenis
skala apa. Menurut analisis kami skala yang digunakan juga skala Likert. Pilihan
respon pertanyaan harus jelas apakah bentuknya persetujuan, frekuensi (intensitas),
atau yang lain dan menggunakan makna tingkatan angka skala yang jelas.

G. TEKNIK ANALISIS DATA


Teknik analisis data yang digunakan (dipilih) sudah tepat, yaitu :
1. Untuk menguji hipotesis pertama digunakan korelasi Produk Moment Pearson karena
data yang didapatkan berupa data interval (skala likert) dari instrumen angket
(kuisioner).
2. Untuk menguji hipotesis kedua digunakan multiple regression (regresi berganda)
karena ingin mengetahui ada tidaknya pengaruh 2 prediktor (efikasi diri dan gender)
terhadap kriteriumnya (stress kerja). Selain itu juga digunakan teknik statistik
deskriptif yang memberikan informasi seputar standar deviasi dan rata-rata dari guru
berjenis kelamin perempuan dan laki-laki.
3. Untuk menguji hipotesis ketiga juga digunakan multiple regression (regresi berganda)
karena ingin mengetahui ada tidaknya pengaruh 2 prediktor (efikasi diri dan lama
pengalaman mengajar) terhadap kriteriumnya (stress kerja). Selain itu juga digunakan
teknik statistik deskriptif yang memberikan informasi seputar standar deviasi dan rata-
rata dari guru yang berpengalaman dengan guru yang kurang berpengalaman dalam
mengajar.
Namun berhubung dengan jenis software yang digunakan tidak dicantumkan oleh
peneliti tersebut (apakah digunakan software SPSS atau software yang lainnya), sehingga
menimbulkan kerancuan sebagai berikut:
1. Pada output analisis hipotesis pertama yang dicantumkan adalah nilai t-hitung dan t-
kritis padahal biasanya nilai t-kritis dicari sendiri dari tabel Fischer. Biasanya
koefisien korelasi menggunakan simbol “r” tapi pada output analisis koefisien
korelasi disimbolkan dengan “t”.
2. Pada output analisis hipotesis kedua tidak ada nilai signifikansi pada tabel Coefficient
sehingga tidak dapat diketahui persamaan garis regresinya. Selain itu juga tidak
disampaikan apakah asumsi-asumsi dalam regresi ganda telah terpenuhi atau belum.
3. Pada output analisis hipotesis ketiga juga tidak ada nilai signifikansi pada tabel
Coefficient sehingga tidak dapat diketahui persamaan garis regresinya. Terkait apakah
asumsi-asumsi dalam regresi ganda telah terpenuhi atau belum juga tidak
disampaikan. Selain itu variabel yang tertulis di output tersebut adalah gender of
teachers, padahal seharusnya adalah experience of teachers.

H. PEMBAHASAN
Pembahasan dalam artikel ini sudah sesuai dan menjawab rumusan masalah yang ada.

I. KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa efikasi diri, gender dan lama
pengalaman mengajar guru merupakan prediktor dari stres kerja. Jadi menurut kami,
kesimpulan yang ada sudah baik.

J. SARAN
Sebaiknya mengenai saran yang diberikan lebih nyata dan dapat dijelaskan. Misalnya
menurut kami, untuk mengatasi stress dapat dilakukan dengan meningkatkan perilaku diri
melalui pelatihan softskills atau pelatihan terhadap kompetensi guru. Sedangkan untuk
pengelolaan administrasi dapat dilakukan dengan adanya aturan mengenai pengurangan
beban mengajar.

Anda mungkin juga menyukai