Anda di halaman 1dari 18

MORFOLOGI KRANIOFASIAL PADA WANITA DENGAN OKLUSI

KELAS I DAN CROWDING ANTERIOR RAHANG ATAS YANG BERAT

Pendahuluan: tujuan kami adalah untuk meneliti morfologi kraniofasial pada


wanita dengan oklusi Kelas I dan maxillary anterior crowding (MxAC) dengan
posisi insisif lateral palatoversi dan kaninus yang ektopik.
Metode: tiga puluh tiga wanita dengan oklusi normal (usia rata-rata, 20,7 ± 2,3
tahun) dipilih sebagai kelompok kontrol, dan 33 wanita dengan MxAC berat (usia
rata-rata, 23,3 ± 3,8 tahun) dengan dengan posisi insisif lateral palatoversi dan
kaninus yang ektopik, dipilih sebagai kelompok MxAC. Dilakukan pengukuran
lebar mesiodistal gigi, ketidaksesuaian panjang lengkung rahang, posisi insisif
lateral palatoversi dan kaninus yang ektopik, dan dimensi lengkung gigi. Kemudian
dilakukan pengukuran pada empat belas titik pola skeletal dan 10 pengukuran
cephalometrik dental. Median, jarak interkuartil, rata-rata dan standar deviasi
dihitung untuk tiap parameter, dan uji Mann-Whitney U non parametric (p < 0,05)
digunakan untuk membandingkan 2 kelompok.
Hasil: dibandingkan dengan kelompok kontrol, kelompok MxAC memiliki sudut
yang lebih besar (P < 0,05) dan ukuran lebih pendek ( p<0,01) pada basis kranial,
sebuah basis rahang atas sagital yang lebih kecil (p < 0,01), dan pola skeletal
hiperdivergen (p < 0,01 dan p < 0,05).
Kesimpulan: wanita dengan oklusi kelas I dan MxAC berat memiliki sudut yang
lebih besar dan ukuran lebih pendek pada basis kranial, basis rahang atas sagital
yang lebih kecil ,dan pola skeletal hiperdivergen. Karakteristik skeletal, dental, dan
dismorfologi basis kranial dapat membantu sebagai indikator potensial perawatan
ortodontik dengan ekstraksi.

1
2

PENDAHULUAN

Pasien wanita remaja seringkali menjalani perawatan ortodontik, mengeluh


tentang maxillary anterior crowding (MxAC) sebagai pertimbangan utama dalam
estetik senyum. MxAC dikategorikan sebagai kombinasi perubahan fasial
(seringkali dideskripsikan sebagai labial, bukal, atau labiobukal) dari posisi insisif
lateral palatoversi dan kaninus yang ektopik. Maloklusi ini biasanya
dipertimbangkan sebagai hasil dari ketidaksesuaian antara gigi yang berukuran
relatif lebih besar dan ukuran lengkung gigi lebih kecil.
Etiologi perubahan kaninus rahang atas telah diteliti berhubungan dengan
morfologi kraniofasial. Larsen dkk menganalisis dimensi sagital, vertikal, dan
transversal dari kompleks rahang atas pada pasien dengan kaninus rahang atas
ektopik menggunakan sefalometri dan analisis model gigi. Mereka menemukan
bahwa pada pasien dengan kaninus ektopik, ukuran kompleks rahang atas sangat
transversal dan mengalami defisiensi secara sagital dan vertikal. Tetapi, tidak ada
perbedaan yang dipertimbangkan pada perubahan bukal atau palatal kaninus.
Sacerdoti dan Baccetti menilai morfologi kraniofasial vertikal pada pasien dengan
displasia kaninus palatal dan menemukan prevalensi pola skeletal hipodivergen
yang tinggi dibandingkan dengan subjek kontrol. Sebagai tambahan, Mucedero dkk
menilai 49 pasien dengan kaninus ektopik unilateral atau bilateral dan menemukan
prevalensi tinggi pola skeletal hiperdivergen dan lebar interkaninus rahang atas
yang lebih kecil pada mereka dibandingkan dengan subjek kontrol. Mereka
menyimpulkan bahwa etiologi displasia bukal dari kaninus rahang atas merupakan
hasil dari faktor lingkungan lokal, seperti yang dinyatakan terhadap kontrol genetik
predominan yang diobservasi pada displasia kaninus palatal.
Basis kranial umumnya dianalisis menggunakan 4 pengukuran: sudut basis
kranial (seringkali disebut sudut saddle), panjang anterior basis kranial, panjang
posterior basis kranial, dan panjang total basis kranial. Walaupun perbedaan dalam
morfologi basis kranial di antara klasifikasi Angle telah diteliti secara luas,
pengaruhnya terhadap crowding dental telah diteliti untuk lengkung gigi mandibula.
Melo dkk menemukan panjang basis kranial anterior yang relatif rendah pada 11
3

pasien dengan crowding rahang bawah dibandingkan 12 partisipan tanpa crowding


rahang bawah dalam gigi sulung. Kebalikannya, Türkkahraman dan Sayin
membandingkan kelompok dengan dan tanpa crowding anterior mandibula pada
gigi campuran dini dan diobservasi tidak ada perbedaan signifikan dalam sudut
basis kranial, panjang basis kranial anterior, atau panjang basis kranial posterior.
Hingga kini, tidak ada pengukuran spesifik untuk menilai derajat parahnya MxAC.
Penelitian sebelumnya telah menggunakan ketidaksesuaian panjang lengkung, atau
indeks iregularitas Little untuk insisif mandibula, yang diaplikasikan secara tidak
biasa pada lengkung rahang atas. Sehingga, lebih sulit untuk menilai secara
kuantitatif derajat beratnya posisi insisif lateral palatoversi dan kaninus yang
ektopik.. pada pasien dengan MxAC.
Tujuan dari penelitian ini adalah meneliti morfologi kraniofasial pada wanita
dengan oklusi Angle Kelas I dan MxAC berat yang dipilih oleh penilaian objektif
posisi insisif lateral palatoversi dan kaninus yang ektopik menggunakan persamaan
polynomial urutan keempat.

MATERIAL DAN METODE

Protokol penelitian ini disetujui oleh komite etik Nippon Dental University.
Didesain sebagai penelitian cross sectional retrospektif. Ukuran sampel diestimasi
memiliki efek ukuran 0,973 yang ditentukan berdasarkan penelitian sebelumnya
menggunakan program statistic G-Power. Analisis Power mengindikasikan bahwa
ukuran sampel minimum yang dibutuhkan untuk tiap kelompok sebesar 18 subjek
untuk menemukan hasil pengukuran dengan kekuatan 80% dan level signifikansi
5%.
Kurang lebih 100 subjek laki-laki dan wanita dengan oklusi normal yang
awalnya dipilih dari total populasi sebesar 4000 murid Nippon Dental University
dan sekolah yang berkaitan lainnya dievaluasi oleh 2 ortodontis. Kriteria inklusi
berikut ini digunakan dalam proses seleksi awal.
1. Usia 18 tahun atau lebih tua tanpa pengobatan ortodontik sebelumnya atau
anomali kraniofasial kongenital seperti celah bibir dan langit-langit.
4

2. Profil lurus tanpa cacat pada bibir atau otot mentalis


3. Gigi permanen yang erupsi normal dari molar kedua hingga molar kedua
pada rahang atas dan lengkungmandibula dengan hubungan Angle Kelas I
tanpa crossbite anterior atau posterior, dan tanpa lengkung gigi asimetris
yang jelas.
4. Tidak ada gigi dengan mahkota abnormal (termasuk gigi fusi, gigi
makrodonsia atau mikrodonsia, gigi rusak berat, fraktur gigi, restorasi
minimum yang menutupi sisi insisal atau cusp yang menghalangi
pengukuran untuk penelitian ini), tidak ada gigi rotasi, displasia, impaksi,
transposisi atau gigi desidua yang persistensi.
5. Jaringan periodontal sehat tanpa gingivitis atau resessi gingiva.

Berdasarkan kriteria inklusi ini, 69 wanita dipilih. Tujuan penelitian ini,


protokol, dan resiko potensial berdasarkan paparan radiasi selama radiografi
sefalografi dijelaskan dalam tulisan, dan 58 subjek setuju untuk berpartisipasi
dan memberikan persetujuan. Model gigi dan sefalometri subjek ini diambil.
Model gigi diukur menggunakan kaliper digital (NTD12-15C; Digimatic,
Mitutoyo, Kawasaki, Japan), dan subjek dengan kriteria berikut ini dipilih lebih
lanjut: overbite dan overjet +1,0-3,0 mm; kurva Spee <1,5 mm dalam lengkung
gigi rahang bawah; dan ketidaksesuaian panjang lengkung ± 2,0 mm dalam
lengkung rahang atas dan rahang bawah. Kemudian sefalometri lateral
dianalisis dengan program software (versi 11,5; Dolphin Imaging, Chatsworth,
Calif), dan subjek dengan kriteria berikut dipilih: sudut ANB, 2,5o ± 2,0o, yaitu
33 wanita (usia rata-rata 20,7 ± 2,3 tahun; rentang, 18-29 tahun) dipilih sebagai
kelompok kontrol.
Untuk kelompok MxAC, Model gigi, fotografi fasial dan intraoral,
sefalometri lateral, dan catatan perawatan kurang lebih 4200 pasien didiagnosis
di Nippon Dental University Hospital antara Juli 1998 dan Desember 2015
direview oleh 2 evaluator di Department of Ortodontik untuk memilih pasien
perempuan usia 18 tahun atau lebih tua dengan kriteria inklusi sebagai berikut:
1. Tidak celah bibir dan langit-langit
5

2. Profil fasial baik tanpa tanda inkompeten bibir.


3. Gigi permanen yang erupsi lengkap dari molar kedua hingga molar kedua
pada lengkung rahang atas dan mandibula kecuali untuk molar ketiga
(subjek dengan erupsi sebagian dari kaninus rahang atas dieksklusikan).
4. Crowding (ketidaksesuaian panjang lengkung, <- 4,0 mm) dalam lengkung
gigi rahang atas dan minimal 1 kaninus rahang atas displasia dalam arah
fasial dari lengkung gigi (misal, ujung kaninus diplasia pada sisi fasial dari
garis antara bagian tengah ujung insisal lateral dan ujung cusp bukcal pada
premolar pertama yang diobservasi dalam bidang oklusal).
5. Tidak ada mahkota abnormal (misal, gigi yang mengalami fusi atau gigi
makrodonsia atau mikrodonsia), gigi super numerari, gigi transposisi, gigi
sulung yang mengalami persistensi, gigi yang rusak berat, atrisi oklusal,
fraktur, restorasi minimum yang menutupi ujung insisif, atau ujung cusp
yang menghalangi pengukuran penelitian ini (kecuali molar ketiga).
6. Jaringan periodontal sehat tanpa gingivitis atau resessi gingiva.

Gambar 1. A, Refensi lokasi titik dan B, pengukuran lengkung gigi dari 3D foto
model
6

Gambar 2. Pengukuran sefalometri

Berdasarkan ini model gigi dan foto sefalometri lateral 174 pasien dievaluasi.
Untuk pasien yang memiliki hubungan molar satu dengan oklusi Angle kelas I tanpa
crossbite posterior dipilih. Sebagai tambahan, pasien dengan rotasi gigi lebih dari
45o dieksklusi berdasarkan observasi model gigi rahang atas dalam bidang oklusal.
Model gigi dari pasien yang dipilih diukur menggunakan kaliper digital, dan
kemudian subjek dengan overbite dan overjet dalam +1,0 hingga 4,0 mm dipilih.
7

Model gigi rahang atas dari subjek pada kelompok kontrol discan menggunakan
scanner laser 3 dimensional (3D), dan titik referensi diidentifikasi pada pusat ujung
insisif, ujung cusp kaninus, dan cusp bukal dari premolar menggunakan software
evaluasi cloud point 3D (Inspect version 7,5; GOM, Braunschweig, Germany).
Koordinat dari tiga dimensi kemudian dikonversi menjadi file untuk Microsoft
Office Excel 2013. Berikutnya, persamaan 4 polynomial menggunakan metode
untuk menentukan kurva melalui titik referensi tiap gigi kecuali insisif lateral dan
kaninus pada bidang oklusal. Jarak horizontal antara kurva dan titik referensi pada
insisif lateral dan kaninus dihitung sebagai displasia palatal-fasial dari insisif lateral
dan kaninus. Jarak terhadap arah fasial didefinisikan sebagai nilai negative. Pada
poin ini, subjek kelompok kontrol dianggap unilateral, dan displasia palatal dari
insisif lateral kemudian ditambahkan dari displasia fasial kaninus untuk 66 sisi dari
33 subjek. Data ini dikumpulkan, dan rata-rata dan standar deviasi (0,86 ± 0,72 mm)
dihitung. Untuk menilai displasia fasial-palatal dari insisif lateral dan kaninus dari
174 pasien yang awalnya dipilih untuk kelompok MxAC, 2 SD ditambahkan ke
dalam nilai rata-rata dalam kelompok kontrol dan ditentukan sebagai standar
deviasi (2,31mm) untuk hubungan posisional fasial-palatal antara insisif lateral dan
kaninus. Sehingga, pasien yang memiliki nilai yang melebihi nilai standar dipilih
sebagai subjek MxAC paling berat.
Konsekuensinya, pasien dengan sudut ANB dalam 2,5o ± 2,0o dipilih oleh
analisis sefalometri dan 33 wanita (rata-rata usia 23,3 ± 3,8 tahun; rentang, 18 – 31
tahun) dipilih sebagai kelompok MxAC.
Seluruh subjek dalam kedua kelompok dipilih dari populasi etnik yang sama di
Jepang. Kami menentukan usia minimum 18 tahun karena mempertimbangkan
pasien berusia 18 tahun atau lebih telah mengalami pertumbuhan sempurna. Pasien
dalam kelompok MxAC telah dipilih untuk menyesuaikan rentang usia kelompok
kontrol sebisa mungkin.
Diameter mahkota gigi mesiodistal untuk insisif sentral maksilla, insisif lateral,
kaninus, premolar pertama dan kedua, dan molar pertama, diukur menggunakan
kaliper digital, dan pengukuran bilateral dilakukan. Median dan jarak interkuartil
8

(IQR) dengan rata-rata dan standar deviasi kemudian dikalkulasi untuk kedua
kelompok.

Untuk hubungan insisif sentral, overjet dan overbite diukur dengan model gigi
menggunakan kaliper digital, dan median dan IQR dengan mean dan standar deviasi
dikalkulasi untuk kedua kelompok.
Hubungan ukuran lengkung rahang dan ukuran rahang diukur menggunakan
metode kaliper digital. Displasia fasial-palatal dari insisif lateral dan kaninus
kemudian diukur. Median dan IQR dengan mean dan standar deviasi untuk
pengukuran ini kemudian dikalkulasi untuk kedua kelompok.
9

Dimensi lengkung gigi kemudian diukur menggunakan software evaluasi cloud


3D. Lebar lengkung gigi kemudian diukur sebagai jarak antara titik referensi pada
kaninus bilateral, premolar pertama dan kedua, dan molar pertama (titik tengah dari
cusp bukal mesiodistal dari molar pertama). Lebar lengkung gigi diukur sebagai
jarak antara titik tengah ujung insisif sentral bilateral dan titik tengah bilateral titik
referensi kaninus, premolar pertama dan kedua, molar pertama. Median dan IQRs
dengan rata-rata dan standar deviasi untuk pengukuran ini kemudian dikalkulasi
untuk kedua kelompok.
Seluruh sefalografi diambil dengan mesin yang sama dan magnifikasi secara
otomatis disesuaikan menjadi 1:1 dengan program software analisis sefalometri.
Berdasarkan penelitian sebelumnya, 14 skeletal dan 10 pengukuran sefalometri
dental dilakukan dengan program software analisis, dan median dan IQRs dengan
rata-rata dan standar deviasi dikalkulasi untuk kedua kelompok. Seluruh titik
referensi diidentifikasi oleh 1 evaluator. Artikular digunakan sebagai referensi pada
titik posterior basis kranial, yang dipertimbangkan sebagai titik yang lebih reliable
secara biometrik dibandingkan basion.

Gambar 3 Hasil perbandingan dari pengukuran sefalometri pada kelompok


MxAc dan kelompok kontrol. Median dari lokasi titik referensi pada titik
koordinat x-y setiap kelompok superimpos pada sella dan garis S-N.
10

Sebagai tambahan, semua koordinat x-y dari setiap pasien dipindahkan sebagai
data tulisan dan dimasukkan ke dalam program excel. Titik koordinat superimpose
dengan sella dan pada garis sella-nasion 7° diatas garis horizontal tiap kelompok.
Median dari setiap titik referensi telah dihitung tiap kelompok dan grafik telah
digambarkan di gambar 3.
Untuk menganalisis error dengan formula Dahlberg’s , 10 subjek dipilih secara
acak dari dua kelompok (total 20 subjek). Pengukuran sefalometri dilakukan dua
kali dengan minimal interval 2 minggu oleh 1 evaluator (M.1) dan satu lagi dengan
evaloator yang lain (member dari departemen ortodontik) menggunakan prosedur
klinis yang umum tanpa kalibrasi. Nilai kesalahan maksimal dari intraminer dan
interexaminer untuk analisis sefalografi 0.55 dan 0.63 mm untuk pengukuran linear
dan 0.61° dan 0.79° untuk pengukuran angular, masing-masing. Untuk pengukuran
diameter mahkota mesiodistal dilakukan pada model gigi, 20 subjek telah
dievaluasi. Nilai kesalahan maksimal dari intraminer dan interexaminer masing-
masing 0.17 dan 0.36 mm.
Sebagai tambahan, untuk analisis kesalahan intraexaminer dan interexaminer
pada model gigi diperoleh dengan menggunakan 3D laser scanner, 5 model gigi
dari kedua kelompok (total 10 model)
juga dipilih secara acak. Seluruh landmark pengukuran diidentifikasi dua kali
dengan minimum interval 2 minggu oleh 1 evaluator (M1) ndan sekali oleh
evaluator lain dengan sesi kalibrasi yang hati-hati, karena kami tidak menggunakan
sistem ini secara klinis. Nilai error intrapemeriksaan dan interpemeriksaan
maksimum untuk pengukuran model gigi 3D adalah 0,10 dan 0,12 mm.

ANALISIS STATISTIK

Seluruh analisis statistik dilakukan menggunakan software SPSS untuk


Windows. Karena beberapa parameter tidak menunjukkan distribusi normal
berdasarkan test Kolmogorov-Smirnov, median dan IQRs dikalkulasi untuk tiap
parameter, dan uji Mann-Whitney U non parametric digunakan untuk
11

membandingkan 2 kelompok. Parameter yang tidak menunjukkan distribusi normal


diganti menjadi insisif lateral untuk kelompok kontrol, overbite dan jumlah
displasia untuk 1 sisi kelompok MxAC, dan tinggi fasial anterior bawah, tinggi
fasial anterior dan jarak L1-NB. Untuk analisis statistic, nilai P kurang dari 0,05
dianggap signifikan.

HASIL

Diameter mesiodistal untuk mahkota gigi kelompok MxAC lebih besar secara
signifikan dibandingkan kelompok kontrol untuk seluruh gigi kecuali untuk molar
pertama (P <0,01).
Overbite lebih kecil secara signifikan dalam kelompok MxAC dibandingkan
dengan kelompok kontrol (P <0,01).
Diskrepansi panjang lengkung dan pemindahan fasial-palatal dari insisif lateral
dan kaninus dari arkus dental lebih kecil dan besar secara signifikan, dalam
kelompok MxAC dibandingkan dengan kelompok kontrol (p <0,01).
Lebar lengkung gigi pada premolar pertama dan kedua (p < 0,01) dan molar
pertama (P <0,01) dan kedalaman lengkung gigi pada kaninus(P < 0,01), premolar
pertama (P <0,01), dan premolar kedua (P <0,05) dalam kelompok MxAC lebih
kecil secara signifikan dalam kelompok kontrol.
Sudut basis kranial lebih besar secara signifikan dalam kelompok MxAC
dibandingkan dengan kelompok kontrol (P <0,05). Pengukuran panjang basis
kranial median untuk panjang basis kranial anterior, panjang basis kranial posterior,
dan panjang basis kranial total (P <0,01) adalah 4,10 mm (5,89%) lebih pendek
dibandingkan kelompok MxAC dengan kelompok kontrol.
Sudut SNA dan SNB dan jarak A-Ptm lebih kecil secara signifikan dalam
kelompok MxAC dibandingkan dengan kelompok kontrol (P <0,01).
12

Secara signifikan lebih besar bidang SN-rahang bawah (MP), bidang SN-palatal
(PP) (P <0,01) diobservasi dalam kelompok MxAC dibandingkan dengan
kelompok kontrol, mengindikasikan pola skeletal hyperdivergen pada maloklusi ini.
Mengenai komponen dental, kelompok MxAC menunjukkan U1-PP lebih besar
secara signifikan (P <0,01) dan sudut U1-NA (P <0,05), sudut nterinsisial lebih
kecil (P <0,01), dan jarak U6D-Ptm lebih kecil (P <0,05) dibandingkan kelompok
kontrol.
13

DISKUSI

Dalam penelitian ini, lengkung gigi rahang atas dalam kelompok MxAC
memberikan jarak premolar dan molar satu lebih sempit dan kedalaman lengkung
gigi pada kaninus dan premolar yang lebih pendek dibandingkan kelompok kontrol.
Tetapi tidak ada perbedaan signifikan dalam jarak interkaninus rahang atas yang
diobservasi antara kedua kelompok. Sehingga arah displasia kaninus dapat
dievaluasi dalam arah anterior dibandingkan transversal dikarenakan kedalaman
lengkung gigi yang lebih pendek diobservasi pada kaninus dan premolar pertama.
Dalam bahasa Jepang,”yaeba” merujuk pada kondisi overlapping multipel gigi
anterior pada senyum frontal. Kontras terhadap subjek yang dipilih dari populasi
Jepang yang sama, pasien Italia dengan status maloklusi yang sama dan kaninus
rahang atas yang displasia secara bukal menggambarkan jarak interkaninus yang
lebih besar dan tidak ada perbedaan jarak intermolar. Sehingga, heritabiltas
morfologi basis kranial dapat menjelaskan perbedaan arah displasia kaninus rahang
atasrius antar etnis. Tetapi penelitian lebih lanjut dalam populasi lain penting
dilakukan untuk menentukan efek variasi etnis pada morfologi basis kranial dan
posisi kaninus rahang atas yang ektopik.
14

Dalam bidang ortodontik sudut basis kranial telah sering diteliti untuk
identifikasi perbedaan antara klasifikasi Angle. Penelitian sebelumnya menunjukan
bahwa sudut basis kranial kecil dan besar menentukan posisi posterior dan anterior
kondilus dalam basis kranial, menghasilkan hubungan skeletal Kelas II dan Kelas
III. Tetapi, hanya sedikit penelitian yang menggunakan sudut basis kranial untuk
membandingkan perbedaan antara pasien dengan dan tanpa crowding pada arkus
rahang bawahius, tanpa perbedaan signifikan dalam sudut basis kranial yang
diobservasi. Kami menemukan sudut basis kranial yang lebih besar secara
signifikan dalam kelompok MxAC dengan pola skeletal dan dental Kelas I.
penemuan ini mendukung hasil penelitian sebelumnya pada pasien Kelas I.
15

penemuan ini berhubungan terhadap korelasi topografi antara pengukuran


sefalometri dan titik referensi. Basis kranial, lengkung gigi, dan gigi merupakan
komponen anatomi tambahan sehingga dapat berhubungan satu dengan lainnya
selama periode pertumbuhan dari fase embrionik. Sehingga sudut basis kranial
dapat mempengaruhi terbentuknya MxAC. Tetapi mekanisme biologis sebenarnya
masih belum dipahami dan membutuhkan penelitian longitudinal lebih lanjut dari
subjek pertumbuhan.
Larsen dkk meneliti bahwa anak dengan kaninus rahang atas yang impaksi
secara fasial atau palatal membutuhkan operasi fenestrasi, memiliki panjang basis
kranial anterior yang lebih pendek (kurang lebih 1 mm) yang bukanlah hasil penting
crowding anterior dibandingkan dengan kelompok referensi. Walaupun kami
meneliti dewasa, kami meneliti perbedaan lebih besar untuk panjang basis kranial
anterior antara kelompok dengan penelitian sebelumnya pada pasien yang
bertumbuh. Sebagai tambahan, kami menemukan panjang basis kranial posterior
yang lebih kecil dan panjang basis kranial total pada kelompok MxAC
dibandingkan kelompok kontrol. Penemuan ini menunjukkan kemungkinan
prediksi dini MxAC bahkan sebelum terbentuknya dentisi permanen berdasarkan
basis kranial lebih kecil pada analisis cephalometrik.
Kelompok MxAC menggambarkan panjang basis kranial anterior lebih kecil
dan dimensi anteroposterior pada rahang atas (jarak A-ptm) dibandingkan
kelompok kontrol. Penemuan ini mendukung kesimpulan dari artikel review terbaru,
yang menunjukkan bahwa panjang basis kranial anterior memiliki pengaruh lebih
kuat pada pertumbuhan fasial dibandingkan panjang basis kranial posterior.
Walaupun korelasi antara ukuran basis kranial dan celah langit-langit tetap belum
jelas, ini memungkinkan bahwa sebuah riwayat perbaikan celah langit-langit sangat
mempengaruhi perkembangan rahang atas, tetapi perkembangan maksila yang
terganggu ini tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap ukuran atau morfologi
dari basis kranial. Sebagai tambahan, penggunaan ekspansi maksila pada usia 8
hingga 11 tahun mengakibatkan ekspansi terbatas pada synchondrosis spheno-
occipital. Sehingga intervensi ortodontik dengan perkembangan rahang atas untuk
16

memperbaiki diskrepansi panjang lengkung rahang pada pasien dengan MxAC


berat menjadi terbatas, bahkan pada pasien yang sedang bertumbuh.
Di Italia, Mucedero dkk menemukan kemungkinan lebih tinggi dari pola
skeletal hyperdivergen menggunakan sudut SN-GoGn pada analisis sefalometri
pada pasien dengan displasia bukal dari kaninus rahang atas. Kami mengobservasi
pola skeletal hiperdivergen signifikan yang mirip dengan sudut SN-MP, SN-PP,
PP-MP yang lebih besar pada kelompok MxAC dibandingkan kelompok kontrol.
Panjang basis kranial posterior lebih kecil dan sudut basis kranialyang obtuse
mengakibatkan fossa glenoid dan kondilus memiliki posisi lebih tinggi yang dapat
meningkatkan sudut SN-MP dan PP-MP.
Pada penelitian sebelumnya, subjek dengan wajah yang panjang biasanya
memiliki dimensi transversal yang lebih sempit, dan yang memilki wajah kecil
memiliki dimensi transversal lebih besar. Sebaliknya dalam kelompok MxAC
penelitian ini menunjukkkan maksila yang lebih kecil seperti yang diukur dengan
panjang fasial anterior atas, panjang fasial anterior, dan jarak A-Ptm, walaupun
mengalami pola skeletal hiperdivergen. Sehingga, dimensi vertikal dan sagittal
lebih kecil dari maksila dapat menjadi satu karakteristik dari MxAC dan
mengakibatkan dimensi lengkung gigi lebih kecil.
Secara tradisional, pola skeletal hiperdivergen lebih sering berhubungan
terhadap masalah fungsional termasuk pernapasan mulut dan postur lidah lebih
turun yang juga dipertimbangkan berhubungan dengan lengkung gigi rahang atas
lebih sempit. Foster dkk mengobservasi pasien dengan pola hiperdivergen yang
cenderung memiliki lengkung gigi lebih sempit dan menunjukkan bahwa fungsi
otot masseter bawah mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan mandibula dalam
arah transversal. Tetapi penelitian keluarga dan kembar menunjukkan pengaruh
genetik yang kauat dalam perkembangan basis kranial. Pengaruh morfologi basis
kranial pada pertumbuhan maksila dan mandibulla seringkali diobservasi pada
anomali perkembangan yang diturunkan seperti celah bibit dan langit-langit,
sindroma Down, sindroma Turner, dan kraniosynostosis. Sehingga, ditambah
dengan faktor lingkungan, faktor genetik dapat mengakibatkan dismorfologi basis
17

kranial dan berpotensi mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan maksilla,


seringkali mengakibatkan MxAC secara tidak langsung.
Sedikit pilihan perawatan untuk MxAC telah tersedia. Secara klinis ekspansi
lengkung rahang atas pada geligi campuran dan ekstraksi premolar pada gigi
permanen seringkali terjadi. Seperti hipotesis dari Enlow dan Hans serta
demonstrasi dari Klocke dkk, morfologi dan ukuran basis kranial ditentukan oleh
stadium dini perkembangan (sedini usia 5 tahun). Secara klinis, semakin besar sudut
basis kranial, semakin pendek basis kranial anterior dan basis kranial posterior, dan
lebar mesiodistal semakin besar pada insisif sentral rahang atasrius dideteksi pada
dentisi campuran dini dapat memprediksi MxAC. Sebagai tambahan, efek ekspansi
rahang atasrius dapat terbatas, dan ekstraksi serial dapat direkomendasikan untuk
pasien MxAC kelas 1.
Diskrepansi panjang lengkung dan displasia insisif dan kaninus rahang atas
yang makin besar, maka semakin kecil dimensi lengkung gigi, dan insisif sentral
rahang atas sedikit miring secara labial diobservasi pada kelompok MxAC
dibandingkan kelompok kontrol. Walaupun hasil ini diharapkan berdasarkan
kriteria seleksi dari subjek penelitian ini, penemuan ini menunjukkan pentingnya
ekstraksi premolar denngan pertimbangan anchorage pada pasien dengan MxAC.
Walaupun kriteria seleksi untuk overbite pada kelompok MxAC 1 mm lebih besar,
nilai overbite dengan median lebih kecil, yang merefleksikan variasi individu,
diobservasi pada kelompok MxAC dibandingkan dengan kelompok kontrol.
Kemudian, nilai overbite untuk kelompok MxAC tidak menunjukkan distribusi
normal. Penemuan ini menunjukkan bahwa subjek dalam kelompok MxAC
memiliki distribusi overbite lebih sedikit dan puncak nilai overbite lebih kecil dapat
disebabkan oleh pola skeletal hiperdivergen yang diobservasi ketika dibandingkan
dengan kelompok kontrol.
18

KESIMPULAN

Wanita dengan oklusi Kelas I dan MxAC yang berat mengalami sudut yang
lebih besar dan basis kranial yang lebih pendek, basis rahang atas sagital lebih kecil
dan pola skeletal hiperdivergen.

Anda mungkin juga menyukai