Anda di halaman 1dari 11

Garap Hutan Lindung, Mahasiswa Tuntut HGU PT Siringo-ringo Dicabut

3 November 2014
953

LABUHANBATU | Puluhan massa mengatasnamakan Mahasiswa Dan Masyarakat Peduli Hutan Torpisang Mata (GMMPHL TM) berunjukrasa di kantor PT Siringo-ringo di kawasan jalan Siringo-ringo
Ujung, Kecamatan Rantau Utara, Labuhanbatu, Senin (3/11/2014). Dalam aksinya, massa menuntut pencabutan Hak Guna Usaha (HGU) PT Siringo-ringo karena diduga telah melakukan penggarapan
areal hutan lindung.

Mulkan Hasibuan, salah seorang orator dalam aksi unjukrasa itu menuding PT Siringo-ringo telah mengambil dan menggarap hutan lindung serta melakukan pembohongan terhadap luas areal yang di
kuasai perusahaan. “Karena itu, kita menuntut BPN mencabut HGU perusahaan perkebunan swasta ini,” ucapnya.

Tuntutan itu, katanya, bukan tak berdasar. Sebab katanya, data yang diberikan pihak Badan Pertanahan Nasional (BPN) Labuhanbatu menyebutkan jika luas HGU PT Siringo-ringo tersebut hanya seluas
539,38 hektare. Sementara pihak perusahaan telah menggarap menguasai lahan seluas 859,38 hektare. “Jadi ada kelebihan HGU sekitar 300-san hektar. Inilah yang kita duga kawasan hutan lindung yang
digarap perusahaan itu,” ucapnya.

Dalam aksinya, Mulkan juga mendesak aparat penegak hukum untuk menindak tegas perusahaan penggarap hutan lindung tersebut. Karena katanya, pihak PT siringo-ringo telah melanggar UU No 18
Tahun 2013 tentang pencegahan dan pembrantasan perusakan hutan. Juga melanggar UU No 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, UU No 41 Tahun 1999 tentang
kehutanan, UU No 05 Tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistem. “Serta bisa juga dijerat dengan pelanggaran UU No 30 tahun 2002 tentang pemberantasan tindak pidana
korupsi. Maka dari itu kita menuntut cabut HGU PT Siringo-ringo ini,” jelasnya.

Hal itupun dibenarkan oleh perwakilan pihak BPN Labuhanbatu yang turut hadir dalam
Wisata Air Terjun Linggahara di Kawasan Hutan Lindung Labuhanbatu
17 Maret 2013 04:49 Diperbarui: 24 Juni 2015 16:38 1 0 1

1363495699509846991

GUGUSAN lereng Bukit Barisan itu menjadi alternatif sebagai lokasi objek wisata bagi warga kota Rantauprapat dan di kabupaten Labuhanbatu pada umumnya. Tapi, seiring makin leluasanya
pengelolaan kawasan hutan disana juga bakal berkonsekwensi logis dan berpotensi terjadinya pengalihan fungsi areal hutan. Konon lagi, pengelolaan hutan tersebut tanpa ijin resmi dari pihak terkait.
Khususnya, Dinas Kehutanan Propsu.

Sebahagian warga menyebutnya Air Terjun Kembar, sebahagian lainnya menyebut dengan Air Terjun Baru. Namun, secara pasti sesuai dengan tulisan yang tertera di kertas sebagai karcis ketika
memasuki komplek objek wisata air terjun di Lingkungan Makmur, Kelurahan Lobusona, Kecamatan Rantau Selatan itu, nyata tertulis Taman Wisata Alam Air Terjun Linggahara.

Tak sukar menemukan lokasinya. Serta, hanya membutuhkan waktu tak lebih dari 20-an menit dari pertigaan jalan By Pass Rantauprapat dengan jarak tempuh sekira delapan kilometer. Dengan kondisi
jalanan yang belum tersentuh modernisasi berupa polesan aspal hotmix, jalanan disana hanya mendapat pengerasan ala kadarnya.

Syahdan, itu merupakan hasil upaya salahseorang pengusaha besar bermarga Sitorus yang kerap dikenal sebagai pengusaha Perkebunan Kelapa Sawit. Keironisan kian terlihat jelang mendapatkan
kawasan objek wisata itu. Sebab, bahu-bahu bukit Barisan disana sebahagian besar telah beralihfungsi sebagai areal perkebunan milik para warga. Parahnya, didaerah itu kini telah terlihat adanya
aktivitas milik warga yang melakukan pengalian bukit. Disebut-sebut, Galian C tanah timbun itu milik salahseorang warga yang datang dari Tapanuli Selatan. Tak ayal, satu tumpukan tanah bukit dalam
waktu dekat akan beralih menjadi hamparan tanah kuning sebagai maha karya alat berat yang dikerahkan untuk melakukan pengerukan tanahnya.
Cukup diakui, objek wisata Air Terjun itu kini kian diminati. Tingkat kehadiran warga pencari keindahan alam terus meningkat. Panorama alam sekitar objek wisata itu memang kawasan yang juga masih
mampu menyuguhkan suasana sejuk. Sebab, masih memiliki berbagai jenis tanaman hutan. Ditambah lagi, dibahu badan jalan masih kerap terlihat alur air yang mengalir jernih di anak sungai yang
berbatuan.

Menuju ke kawasan itu, pengunjung juga dipandu dengan arah petunjuk yang sengaja dipasang pihak pengelola kawasan wisata alam. Itu, sudah terlihat sejak memasuki pertigaan jalan by Pass Jalinsum
H Adam Malik. Tapi, untuk dapat menikmati suasana alami disana bukan hal yang gratis. Setiap pengunjung yang datang dan sejak memasuki kawasan, tepat di pintu Gerbang lokasi wisata setiap
orangnya mesti dipatok tiket masuk seharga Rp8000. Selain itu, untuk pengguna kenderaan mobil juga diharuskan membayar biaya parkir Rp4000 permobil. “Ini sudah ketentuan. Dan ini merupakan
pajak Wisata yang juga disetor ke Pemerintah,” tegas seorang sekuriti ketika penulis menyambangi kawasan itu. Bahkan, dari informasi yang ada, harga tiket akan terjadi kenaikan jika pada masa-masa
liburan.

Di kawasan itu, terdapat beberapa joglo-joglo yang disediakan pihak pengelola taman wisata. Di lereng Bukit Barisan, dari celah bebatuan yang ada, mengalir air terjun kembar dengan ketinggian
mencapai 40 meter. Melengkapi suasana rehat bagi pengunjung yang ada juga dihadirkan satu lokasi tempat hiburan bagi pecinta musik lengkap dengan fasilitasnya dibawah kerindangan pepohonan
hutan.

Tepat dibawah air terjun pertama, curamnya alur air seolah tumpah yang memperindah suasana bersantai dengan iringai gemericik air. Selain itu, pengelola juga menyediakan kolam buatan khusus untuk
orang dewasa jika ingin berenang. Sedangkan dibawah kucuran air terjun satunya lagi didapati beberapa bongkahan batu bukit berukuran besar sering dijadikan pengunjung sebagai tempat menggelar
makanan dan minuman yang sengaja dibawa sebelumnya. Berkisar lima meter menuju air mengalir, kembali didapati kolam pemandian yang disediakan pengelola khusus untuk tingkat anak dibawah
umur. Kepulan uap berasal dari air terjun yang hampir menutup lumut didinding bebatuan berwarna kehitam-hitaman juga menjadi pemandangan yang menyejukkan. Suara kicauan burung bersahutan
menguatkan nuansa alam yang kental.

Pondok-pondok yang berada diantara alur air mengalir dan juga dinding-dinding bebatuan tidak jarang terisi penuh oleh pasangan muda-mudi maupun keluarga yang berkunjung kesana. Tanaman
berbagai jenis bunga diantara lokasi pemandian kini semakin tertata dan tumbuh subur. Jika tidak ingin bersantai diantara dua air terjun, pengunjung juga memiliki alternatif lainnya. Mengikuti hulu alur
air yang berada diantara tebing bebatuan, ternyata juga menyuguhkan pemandangan dan alam yang tidak kalah menarik. Diatas dapat ditemui kolam-kolam yang dangkal dan dalam bentukan dari alam
itu sendiri, walau memang ada sebahagian tempat yang ditata oleh pengelola.

Diduga tanpa Ijin Pengelolaan Hutan


Dibalik upaya penyediaan fasilitas hiburan bernuansa alami, komplek itu dikhawatirkan akan menyebabkan terjadinya upaya pengalihfungsian lahan hutan ke pemanfaatan lainnya. Serta, proses perijinan
pemanfaatan kawasan hutan lindung tersebut oleh pegusaha bermarga Sitorus sebagai pengelola lokasi objek wisata juga terkesan tanpa memiliki kepastian hukum. “Apa dasar dan alas an kawasan
hutan lindung dijadikan sebagai kawasan wisata milik perorangan,” ungkap Thamrin Nasution, salahseorang warga kota Rantauprapat.

Uniknya, tambah dia, aktivitas pemanfaatan kawasan hutan itu seakan mendapat restu dari pihak Pemkab Labuhanbatu. Buktinya, dengan membebankan Pajak Wisata sebagai karcis masuk ke lokasi itu.
“Itu sama hal namanya merestui pihak pengelola untuk memanfaatkan kawasan hutan,” tambahnya.
Dia mengkhawatirkan dengan membebaskan dan mengijinkan pihak pribadi dan swasta sebagai pengelola kawasan hutan lindung akan berdampak pada terjadinya proses penggerusan hutan secara
perlahan. “Kita khawatirkan tentang itu,” jelasnya.

Kepala Dinas Pendapatan, Pengelolaan, Keuangan dan Aset Daerah (PPKAD) Labuhanbatu, Erwin Siregar mengakui jika pihaknya mendapatkan Pajak wisata dari pihak pengelolaa. Jumlahnya sekira Rp20-
an juta pertahun. “Ya, kita ada menerima setoran sebagai pajak wisata,” ujarnya.

Katanya, pihaknya menetapkan besaran Pajak senilai Rp5000 setiap tiket masuk. Dari nilai itu, pengelola mendapatkan pembagian sebesar sepuluh persen. Dia tidak mengetahui jika pengelola justru
menaikkan tariff masuk menjadi Rp8000 dan juga tidak membebankan kutipan perparkiran di kawasan itu. “Tidak ada untuk pajak parkir,” jelasnya.

Status lokasi wisata itu sebagai kawasan hutan lindung diperkuat oleh Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Labuhanbatu, Jumingan. Dia mengakui jika gugusan bukit barisan disana yang
membentang hingga ke kabupaten Padang Lawas merupakan kawasan hutan lindung. “Itu kawasan hutan lindung,” bebernya.

Dia juga mengaku heran dengan adanya pihak swasta yang melakukan aktivitas pengelolaan kawasan itu sebagai lokasi objek wisata. Dia, aku Jumingan selama menjabat sebagai Kadis Kehutanan dan
Perkebunan tidak pernah memberikan ijin kepada siapapun untuk mengelola kawasan hutan disana menjadi lokasi objek wisata. Tapi, menurutnya hal itu terjadi sejak kepemimpinan bupati pada periode
sebelumnya. “Mungkin itu terjadi pada kepemimpinan terdahulu,” jelasnya.

Pihaknya, kata dia hanya memiliki fungsi pengawasan dalam hal menjaga kelestarian hutan lindung. “Kita hanya sebagai pengawas,” jelasnya. Buktinya, Jumingan mengakui pernah memanggil pihak
manajemen pengelola kawasan itu untuk mempertanyakan status dan perijinan dalam pemanfaatan kawasan hutan lindung disana. “Sudah, pernah kita panggil untuk mempertanyakannya. Tapi, pihak
pengusaha tidak mau hadir,” tandasnya.

Senada dengan Jumingan, Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Sumut, JB Sirongo-ringo juga ketika dikonfirmasi terkait hal itu mengaku tidak pernah mengeluarkan selembar suratpun untuk memberikan ijin
untuk pengelolaan kawasan hutan lindung untuk dijadikan objek wisata. “Dishut Propinsi belum pernah mengeluarkan rekomendasi ataupun ijin,” ujarnya.

Namun, ketika ditanya langkah dan tindakan Dishut Propinsi terkait hal itu, konon halnya pihak Pemkab setempat melakukan kutipan berupa Pajak kepada setiap pengunjung ke lokasi tersebut, siringo-
ringo mengaku akan melakukan pengecekan kebenarannya. “Kita akan chek dulu,” tutupnya dalam pesan singkat ponsel pribadinya.

Hutan Lindung Dijadikan Perkebunan Sawit di Sumut

- detikNews

Jumat, 09 Des 2005 01:09 WIB

0 komentar
SHARE URL telah disalin

Medan - DPRD Sumatera Utara meminta pemerintah untuk mengembalikan fungsi hutan lindung pada kawasan Register 4/KL yang berada di Kabupaten Labuhan Batu. Pasalnya kawasan itu secara
sepihak telah dijadikan lahan perkebunan kelapa sawit.Anggota DPRD Sumut dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDIP) Efendi Naibaho, usai melakukan reses ke daerah tersebut
menyatakan, berdasarkan data yang dia peroleh di lapangan, kawasan yang menjadi areal kelapa sawit itu sebenarnya masih terhitung sebagai hutan lindung yang seharusnya dilestarikan, bukannya
dikonversi menjadi lahan perkebunan."Kita minta agar Menteri Kehutanan memberi perhatian pada masalah ini, sehingga tidak menjadi preseden di depan kelak," kata Efendi Naibaho kepada wartawan di
Kantor DPRD Sumut, Jalan Imam Bonjol Medan, Kamis (8/11/2005).Lahan yang dimaksud Naibaho adalah areal seluas 6.500 hektar di Kec. Kualuh Hulu dan Kualuh Leidong, Labuhan Batu, yang kini
dikelola PT Sawita Leidong Jaya (SLJ).Berdasarkan surat Kepala Badan Planologi Kehutanan, Departemen Kehutanan, Boon M Purnama kepada Bupati Labuhan Batu HT Milwan, pada 30 April 2005,
dinyatakan lahan itu sebenarnya masuk dalam kawasan lindung. Dalam surat itu disebutkan, data yang dimiliki Badan Planologi Kehutanan menunjukkan belum pernah ada yang mengajukan permohonan
pelepasan kawasan hutan kepada Menteri Kehutanan. Sesuai dengan UU Nomor 41 Tahun 1999, mengelola kawasan hutan tanpa izin dari kementerian terkait, merupakan pelanggaran hukum dan dapat
dipidanakan.Pada sisi lain di lahan ini juga ada sengketa pengelolaan lahan antara PT SLJ dengan 2.017 anggota Gabungan Kelompok Tani-KSU Sri Sahabat. Sebelumnya pada Agustus 2003 Bupati HT
Milwan menyetujui seluruh anggota Kelompok Tani Sri Sahabat sebagai peserta plasma untuk mengelola 2.800 hektar dari total lahan yang dikuasai PT SLJ itu.Namun nyatanya hingga melewati batas
waktu yang ditetapkan pada 1 Oktober 2004, PT SLJ juga tidak memberikan lahannya kepada kelompok tani tersebut.Kisruh masalah sengketa lahan ini, dalam beberapa kasus mengakibatkan rumah-
rumah dan lahan yang sempat dikerjakan penduduk dibakar dan dirusak.Berkaitan dengan persoalan ini, anggota DPRD Sumut Efendi Naibaho, menyatakan pemerintah harus bersikap proaktif dalam
masalah ini. Idealnya, kata Naibaho, lahan itu dikembalikan kepada fungsinya semula sebagai hutan lindung, namun masyarakat selaku penggarap lahan itu selama puluhan tahun diberikan solusi
lahannya.

Perusahaan Adik Wagub Sumut Sudah Garap Hutan Lindung


Sejak 1991
Dirkrimsus Polda Sumut Rony Santama saat memberikan keterangan kepada wartawan di Mapoldasu. (Foto: Rahmat Utomo/kumparan)
Pengusaha Musa Idishah alias Dody Shah telah ditetapkan sebagai tersangka karena diduga telah menguasai hutan lindung di Langkat,
Sumatera Utara lewat perusahaannya, PT Anugerah Langkat Makmur. Hutan itu ternyata sudah diubah menjadi lahan perkebunan kepala
sawit selama sekitar 28 tahun.
ADVERTISEMENT
"Sejak berdiri di tahun 1991, perusahaannya diduga sudah melakukan ahli fungsi hutan menjadi sawit," kata Direktur Reskrimsus Polda
Sumut, Kombes Rony Samtama, Kamis (31/1).
Rony mengatakan, hutan yang digarap perusahaan adik dari Wakil Gubernur Sumatera Utara Musa Rajekshah masuk dalam tiga
kecamatan yaitu Sei Lepan, Brandan Barat, dan Besitang. Ada 500 hektar hutan yang digunakan perusahaan Dody sebagai perkebunan kelapa sawit.
Polisi juga sudah menggeledah rumah Dody di Komplek Cemara Asri, Deli Serdang. Kantor PT Anugrah Langkat Makmur di Jalan Sei Deli, Medan Barat, ikut digeledah pada Rabu (30/1).
Di kedua tempat itu, polisi menyita dokumen keuangan PT Anugrah Langkat Makmur dan sejumlah senjata api. Belum jelas status kepemilikan senjata api yang ditemukan. Rony hanya
mengatakan, Dody menjadi tersangka setelah ada bukti yang dimiliki polisi.
ADVERTISEMENT
"Tersangka berdasarkan barang bukti pendukung terhadap pelanggaran Undang-undang Kehutanan,"
ungkapnya.

Musa Idishah (Dody) saat diamankan Polda Sumut. (Foto: Dok. Polda Sumut)
Meski sudah berstatus tersangka, polisi tidak menahan Dody. Padahal, sebelum penetapan tersangka, Dody
sempat ditangkap polisi karena mangkir setiap dipanggil. Rony mengatakan, keputusan untuk tidak menahan
Dody diambil karena adik Musa Rajekshah itu dianggap tidak bakal melarikan diri.
"Kami memandang yang bersangkutan (Dody) tidak akan mengulangi perbuatannya, tidak akan kabur, tidak
akan menghilangkan barang bukti dan tidak menghambat proses penyelidikan serta koperatif, kami pikir ini
bagian dari strategi penyidikan," ujar Ronny
Setelah menetapkan Dody sebagai tersangka, polisi berencana memanggil sejumlah saksi. Ada tiga saksi yang
rencananya diperiksa dalam waktu dekat, tapi Rony enggan mengungkap identitas para saksi.
Polisi juga tidak menampik kemungkinan Musa Rajekshah bakal menjadi saksi dalam penyidikan dugaan pemanfaat hutan lindung ini. Wagub Sumatera Utara diketahui pernah memimpin PT
Anugrah Langkat Makmur.
ADVERTISEMENT
"Semua pihak yang menguasai perusahan itu akan ditelusuri dan dimintai keterangan," ujar Rony.
Tak Hanya PT ALAM, Polda Garap Sejumlah Perusahaan Terlibat Alih Fungsi Hutan di Sumut
Jumat, 1 Februari 2019olehiwan-861 views

garudaonline, Medan: Polda Sumut melakukan pengusutan kasus alih fungsi hutan menjadi areal perkebunan yang melibatkan sejumlah perusahaan di Sumatera Utara. Tak hanya PT Anugerah Langkat
Makmur (PT ALAM) yang menjerat adik Wakil Gubernur Sumut, saat ini ada sedikitnya 12 perusahaan yang juga terlibat.

“Tidak benar Polda Sumut tebang pilih dalam penanganan perkara alih fungsi hutan. Kebetulan PT ALAM ini yang lengkap datanya. Makanya itu yang kita kerjakan duluan. Saat ini ada enam perusahaan
yang masih di penyidikan dan ada enam perusahaan lagi yang sudah P21,” kata Kabid Humas Polda Sumut, Kombes Pol Tatan Dirsan Atmaja, Jumat (1/2/2019).

Tatan menyebutkan kasus alih fungsi hutan yang tengah disidik Polda Sumut di antaranya alih fungsi hutan menjadi kawasan Mangrove di Wilayah Langkat, Kecamatan Brandan Barat yang luas lahannya
mencapai 750 hektar. Dalam kasus yang sudah P21 ini, polisi menetapkan S sebagai tersangka.

“Kemudian, kasus kawasan hutan seluas 635 hektar di Labuhan Batu Utara (Labura) yang ditanami sawit tanpa izin. Penyidik menetapkan seorang pimpinan perusahaan berinisial SBD sebagai tersangka.
Kasusnya juga sudah P21,” urainya.

Selain itu, lanjut Tatan, kasus alih fungsi hutan seluas 63 hektar dan 112 hektar HPL di Serdang Bedagai, ada satu orang tersangka yang ditetapkan dan kasusnya juga telah P21. Selanjutnya, alih fungsi
hutan seluas 250 hektar yang juga telah P21 dengan jumlah 2 orang tersangka yakni J dan R.

“Kemudian alih fungsi hutan di Kecamatan Gebang, Langkat dengan tersangka AS dan terakhir di Labura di kawasan hutan produksi terbatas dengan tersangka berinisial TM alias G. “Berkas kedua kasus
itu pun sudah P21,” terang Tatan.

Sedangkan yang masih dalam tahap penyidikan lanjut Tatan selain kasus PT ALAM yakni, alih fungsi hutan di Kelurahan Pasar Baru Batahan, Madina seluas 600 hektar. Dalam kasus ini, polisi sudah
menetapkan Dirut PT SN berinisial IS sebagai tersangka.

“Jika masyarakat mempunyai informasi terkait pelanggaran UU Kehutanan serupa, agar dapat melaporkannya ke pihak kepolisian. Jika ada yang menuding, polisi hanya menyidik satu perusahaan saja, itu
tidak benar. Kita bekerja profesional. Kalau ada informasi, ayo sama-sama kita tertibkan,” tegasnya.

Seperti diketahui, Wakil Gubernur Sumut Musa Rajekshah ( Ijeck), angkat bicara terkait penetapan adiknya, Musa Idishah (Dody Shah) sebagai tersangka alih fungsi hutan lindung menjadi perkebunan
sawit di Kabupaten Langkat. Ijeck mempertanyakan tindakan aparat kepolisian yang hanya menetapkan Musa Idishah, Direktur PT ALAM sebagai tersangka.
“Semua kan ada aturan hukumnya. Kalau memang menurut Dinas Kehutanan seperti apa, tanyakan. Kalau bisa diterapkan juga, kan di lokasi sana kan banyak pekebun, tidak hanya PT ALAM, banyak
juga masyarakat. Kalau memang itu mau diberlakukan secara hukum yang meratalah semuanya, kenapa mestinya muncul satu perusahaan saja,” tutur Ijeck. (dfnorris)

Aparat Hukum Labuhan Batu Tak Berdaya Tindak Pencurian Hasil Hutan Lindung Torpisang Mata
LABUHANBATU (utamanews.com)
Minggu, 12 Apr 2015 20:26

Thomson Ritonga

Aktifitas warga menimbang getah hasil hutan lindung Torpisang Mata, (11/4)

Maraknya pencurian getah karet dari dalam kawasan hutan lindung Torpisang Mata daerah wisata alam air terjun Kelurahan Lobusona Kecamatan Rantau Selatan Kabupaten Labuhanbatu telah
merugikan negara selama puluhan tahun lamanya serta merusak kawasan hutan lindung di kawasan Bukit Barisan.

Kapolres Labuhanbatu AKBP Teguh Yuswardhie SH SIK dan jajarannya diduga tak berdaya melakukan penangkapan atas aksi pencurian getah karet dari kawasan hutan lindung milik negara tersebut.

Padahal, dari pantauan wartawan yang bertugas di daerah Kabupaten Labuhanbatu, mafia dan sindikat pencurian getah karet secara terang terangan masuk ke kawasan hutan lindung dan melakukan
penimbangan getah karet.

Para mafia sindikat pencurian getah karet ini, tidak tanggung tanggung mengambil hasil dari kawasan hutan lindung Torpisang Mata tersebut. Sebab, dari pantau wartawan, puluhan ton hasil getah karet
tersebut dibawa keluar oleh mafia mafia sebagai penampung getah ataupun toke getah yang berasal dari daerah Sigambal Kecamatan Rantau Selatan Labuhanbatu.

Sindikat pencuri getah karet ini setiap hari Sabtu (satu minggu sekali) melakukan penimbangan getah karet. Informasi yang diterima dari warga yang bertempat tinggal di pinggiran kawasan hutan lindung
Torpisang Mata, Sabtu dan Minggu (11-12/04/2015) mengatakan, bahwa para mafia pencurian getah karet dari kawasan hutan lindung Torpisang Mata ini sudah cukup lama beroperasi. Namun, tidak ada
yang melarang atapun melakukan razia untuk ditangkap.

"Kapolres Labuhanbatu kita ini tidak berdaya melakukan tangkap di tempat terhadap para pelaku pencuri getah karet yang berasal dari kawasan hutan lindung ini", sebut warga yang disebut bermarga
Tambunan dan Panjaitan pada wartawan.

Keduanya menambahkan bahwa penadah toke getah karet tersebut adalah H Tagor Margolang dan H Alipin yang bertempat tinggal di daerah Sigambal Kecamatan Rantau Selatan Kabupaten
Labuhanbatu.
"Yang kami ketahui adalah H Tagor Margolang dan H Alipin dari Sigambal yang memuat getah karet tersebut dengan kenderaan angkutan motor gerobak colt diesel PS 120", ungkap warga.

Ironisnya lagi, Pemkab Labuhanbatu yang dipimpin Bupati Dr H Tigor Panusunan Siregar SpPD beserta Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Labuhanbatu walaupun pernah menerima
laporan masyarakat tentang pencurian getah dari kawasan hutan lindung Torpisang Mata tersebut. Namun, Bupati Dr H Tigor beserta Kadis Kehutanan dan Perkebunan Labuhanbatu tidak pernah peduli
dengan kondisi tersebut. Sehingga menimbulkan persepsi, bahwa telah terjadi dugaan pencucian uang dari hasil getah karet dari kawasan hutan lindung Torpisang Mata selama kurun waktu puluhan tahun
lamamnya.

Sementara itu, pihak Kepala Kejaksaan Negeri Rantau Prapat Hermon Dektristo melalui Kasi Pemeriksaan Ichan Ferri Kurniawan SH Mhum dan Kasi Inteljen AP Afrianto Naibaho SH mengatakan, tidak
bisa mencekal ataupun melakukan pemanggilan terkait laporan yang diterima Kejari Rantauprapat beberapa bulan lalu tersebut.

"Tidak ada payung hukumnya yang mengena terhadap pengambilan getah dari kawasan hutan lindung tersebut. Sebab, tidak ada Peraturan Bupatinya (Perbup) dan Perdanya telah dihapus", kata Kariksa
Ichan, di ruangan Kasi Inteljen Kejari Rantauprapat kemaren.

Menurut Kariksa Kejari Rantauprapat Ichan Ferri, sebaiknya hal pencurian getah karet dari kawasan hutan lindung Torpisang Mata Lobusona itu dilaporkan kepada Mapolres Labuhanbatu. "Itukan
kasusnya pencurian dalam kawasan hutan, jadi dilaporkan saja kepada Kapolres Labuhanbatu. Supaya dilakukan penangkapan dilokasi penimbangan getah di kawasan hutan tersebut", ucap Ichan.
(MT/TR

Garap Hutan Lindung, Polres Samosir Tetapkan TS Jadi Tersangka

MATA LENSA Kamis, 05 September 2019

SAMOSIR,MATALENSA.CO.ID.

PANGURURAN - Terjadinya pemanasan temperatur udara diwilayah Samosir yang belakangan dikeluhkan warga serta

wisatawan, salah satu penyebabnya di duga adalah maraknya penebangan kayu baik di sekitar Pulau Samosir maupun

daratan Kabupaten Samosir.

Maraknya penebangan kayu itu terbukti dengan penangkapan yang dilakukan Polres Samosir terhadap pelaku penebangan

hutan negara yang merupakan Hutan Lindung di Desa Marlumba, Kecamatan Simanindo Kabupaten Samosir pada Rabu,

(13/3/2019) lalu sekira pukul 19 Wib.

Hal itu dibenarkan Kasat Reskrim Polres Samosir melalui Kanit Tipidternya, Aiptu.Darmono Samosir ketika dikonfirmasi

wartawan diruang kerjanya pada Kamis,(5/9/2019).


"Benar, kita telah melakukan penyelidikan atas dugaan terjadinya penebangan kayu diwilayah Hutan Negara yang merupakan hutan lindung di Desa Marlumba, Kecamatan Simanindo. Setelah melalui

penyelidikan intensif dengan menyertakan ahli pemetaan dari Dinas Kehutanan, KPH XIII Dolok Sanggul, diperoleh bahwa area penebangan tersebut adalah hutan lindung, sehingga karenanya kami pada

sekitar Juli lalu menetapkan TS alias PB sebagai tersangka," ujar Darmono Samosir.

Menurutnya, kronologis kejadian terjadi pada Rabu, (13/9/2019) ketika Polres Samosir memperoleh informasi dari masyarakat bahwa di Desa Marlumba Kecamatan Simanindo Kabupaten Samosir ada

diduga kegiatan penebangan pohon di dalam kawasan Register 579 atau hutan lindung.

Berbekal laporan warga tersebut, selanjutnya petugas berangkat kelokasi kejadian dan menemukan di sekitar jalan menuju Simardopian Dusun I Desa Marlumba, petugas menemukan ada 1 (satu) unit

truk Fuso yang bermuatan kayu Log jenis pinus.

Petugas lalu menanyakan kepada supir truk Fuso yang mengaku bernama Sabungan Sigalingging asal usul kayu dan pemiliknya. Sang supir menjelaskan bahwa kayu – kayu yang diangkutnya tersebut

adalah milik TS alias PB(41) penduduk desa Pardomuan I, Kecamatan Pangururan, Kabupaten Samosir.

Petugas pun lalu mengamankan truk Puso tersebut dengan membawa truk tersebut ke Polres Samosir guna dilakukan penyelidikan lebih lanjut. Menindaklanjutinya, Tipidter Reskrim Polres Samosir pada

Kamis, (13/3/2019) serta pada Selasa (3/9/2019) melakukan pengecekan sebanyak dua kali kelokasi penebangan pohon kayu pinus tersebut dengan menyertakan ahli pemetaan dari Dinas Kehutanan,

KPH XIII Dolok Sanggul. Hasil penelitian diketahui lokasi penebangan berada di dalam kawasan hutan Lindung atau kawasan hijau. Berbekal pendapat ahli tersebut, selanjutnya Polisi meningkatkan

penyelidikan menjadi penyidikan dan menetapkan status tersangka kepada TS alias PB, guna dilakukan Proses hukum yang berlaku di Indonesia.

Akibat perbuatannya, Polisi Samosir menjerat tersangka dengan pasal 12 huruf b Yo Pasal 82 ayat (1) huruf b dari UU Republik Indonesia Nomor 18 tahun 2013 dengan ancaman hukuman minimal 1

(satu) tahun dan maksimal 5 (lima) tahun.

Polres Samosir juga mengaku telah melakukan pengiriman berkas perkara kepada Kejaksaan Negeri Samosir sekira Bulan Juli 2019 lalu.

Ketika hal itu dikonfirmasi kepada Kajari Samosir melalui Kasi Pidumnya, Jhon Keynes Siagian, SH.,MH mengaku telah menerima berkas pelimpahan kasus tindakan pidana lingkungan yang dilakukan TS

alias PB seminggu yang lalu.

"Kita sudah menerimanya seminggu lalu dan sedang melakukan penelitian sesuai dengan waktu yang ditentukan selama 14 hari ini, dan setelahnya apakah langsung kami P21 atau P19 (dikembalikan) kita
lihat nanti hasil penelitian tim kami," ujar Jhon K.Siagian.

Tambahnya, bahwa kasus pidana lingkungan sudah menjadi atensi dari Kejaksaan Agung untuk dilakukan penuntutan bila sudah terpenuhi alat bukti berdasarkan penelitian kejaksaan. "Buktinya pada

berkas terdahulu terkait pidana lingkungan sebanyak 3 tersangka yang dilimpahkan Polres Samosir sudah P21 dan langsung dilakukan penahanan dan sudah kami limpahkan ke Pengadilan dan sedang

menunggu jadwal sidang," tegas Jhon Siagian.

500 HA Hutan Lindung di Asahan di Garap, Pengusaha Diduga Kebal Hukum


6 Juli 2018
TASLABNEWS, ASAHAN- Sekitar 500 haktare (Ha) hutan lindung di Desa Rawasari
Kecamatan Aek Kuasan Kabupaten Asahan diduga digarap PT Umada yang
berlokasi.

Kebun sawit yang berada di lokasi hutan lindung.


Camat Aek Kuasan Asphian MAP, Jumat (6/7) mengatakan, sejumlah perusahaan
siluman mengelolah 500 Ha hutan lindung.
Baca Juga
Sambut Natal, GAMKI Asahan – SITARA Foundation – Lion Club Berbagi Sembako
Jelang Natal dan Tahun Baru, Pemkab Asahan Pantau Harga Sembako di Pasar Tradisional
Jelang Akhir Tahun 2019, GM PEKAT-IB Gelar Musabaqah Yasin dan Tahfizhul Qur’an

Sekira ratusan Ton Tandan Buah Segar (TBS) Kelapa sawit dihasilkan dari kawasan
hutan itu tak terserap Pendapatan Asli Daerahnya oleh pihak Pemkab Asahan.
“Saya disuruh mendata ulang sejumlah perusahaan perkebunan yang tak terserap
PADnya termasuk perusahaan yang disebut-sebut masyarakat setempat,” kata camat.
Terpisah di Kantor Kesatuan Pengelola Hutan (KPH) Asahan Kepala Polisi Hutan TR
Nainggolan membenarkan sejumlah perusahaan perkebunan sawit di Desa Rawasari
masuk dalam kawasan hutan lindung.
“Sekira 500 hektare lahan sawit di Desa Rawasari itu masuk kawasan Hutan Produksi
Terbatas (HPK), maslah ini merupakan PR bersama pihak Polres, Pemda dan KPH.
Seharusnya masyarakat setempat segera melaporkan kegiatan itu agar perkaranya dapat diperoses. Namun setau kita pengusaha sedang mengurus izin pelepasan kawasan hutan,”
kata TR Nainggolan.
Senada juga dikatakan Wahyudi SP selaku Kepala KPH III Asahan yang mengaku telah menyurati perusahaan.
Wahyudi mengatakan hukum pidana bisa ditegakkan jika bukti lengkap merusak dan mengelola hutan sebelum izin resmi diterbitkan.
“PT yang disebut sebut PT Umada telah dilaporkan ke kementerian kehutanan,” kata Wahyudi.
Kades Rawasari berinitial K (39) kepada wartawan meminta sejumlah pihak terkait membantu proses pelaporan didesanya dapat diselesaikan. (cr1/syaf)
Sejak November 2018, Hutan Panai Hilir Mulai Dipulihkan
Bangunan barak karyawan diruntuhkan di kawasan hutan produksi di Desa Wonosari, Kecamatan Panai Hilir, Labuhan Batu, yang kini sebagian
besar menjadi perkebunan kelapa sawit. (Dishut Sumut/dok)

Medanbisnisdaily.com-Medan. Sejak puluhan tahun lalu kawasan hutan di Kecamatan Panai Hilir, Kabupaten Labuhanbatu, Sumatra Utara
(Sumut), dirambah dan dijadikan permukiman serta perkebunan kelapa sawit. Dari ribuan hektare yang rusak, baru 70-an hektare (ha) yang
dipulihkan beberapa waktu lalu. Pemberdayaan masyarakat melalui skema perhutanan sosial dianggap sebagai jalan yang efektif untuk
melibatkan masyarakat dalam perlindungan kawasan.

Kepala Bidang Perlindungan Hutan Dinas Kehutanan (Dishut) Sumatra Utara, Yuliani Siregar, kepada medanbisnisdaily.com, Kamis
(20/12/2018), mengatakan, operasi pemulihan tersebut dilakukan akhir November 2018 di Desa Wonosari, Kecamatan Panai Hilir. Desa tersebut
keseluruhannya masuk dalam kawasan hutan produksi (3900 ha) yang berbatasan dengan hutan lindung (43 ha).

Selain menjadi permukiman masyarakat dan perkebunan kelapa sawit, kawasan itu juga sudah dibangun perladangan, persawahan dan fasilitas umum seperti rumah ibadah dan sekolah. Operasi
pemulihan yang dilakukan adalah memusnahkan perkebunan kelapa sawit, meruntuhkan barak karyawan sebanyak 32 unit, 1 unit vila dan membuka parit-parit yang ada di lokasi itu menggunakan 3
ekskavator agar tanaman sawit tergenang oleh air dari laut.

Dalam operasi itu tim menyita tanaman sawit yang tumbuh di atas kawasan hutan negara. Surat penyitaannya dikeluarkan Pengadilan Negeri (PN) Rantau Prapat. Pihaknya juga menyita 2 unit ekskavator,
1 unit truk dan mesin genset yang kemudian dititipkan di Kodim Labuhan Batu. Operasi pemulihan dilakukan di lahan yang selama ini dikelola oleh KSU Amelia dan H Ridwan.

"Kawasan itu umumnya sudah rusak dan jadi sawit. KSU Amalia itu ada 700-an hektare yang dikuasai, maka dari itu sekarang kita lakukan pembinaan melalui kelompok tani. Kalau mereka mendapat
manfaat pasti mereka akan menjaganya," kata Yuliani Siregar.

Dinas Kehutanan (Dishut) Sumut juga sudah memberitahu kepada masyarakat bahwa kawasan hutan tersebut adalah milik negara. Sebenarnya, lanjut Yuliani, pemerintah sudah menyediakan pola kerja
sama agar masyarakat bisa mengelola kawasan dengan perhutanan sosial dan program Tanah Objek Reforma Agraria (TORA). Hanya fasilitas/sarana umum yang bisa diajukan untuk TORA dengan
menyesuaikan pada prosedur dan melewati banyak verifikasi.

"Harus dipahami bahwa TORA bukan untuk bagi-bagi lahan ke masyarakat. Jangan salah kaprah dan disalahartikan misalnya dengan merambah agar nanti bisa memiliki lahannya. Bukan begitu! Kebun
kelapa sawit tidak akan bisa," katanya.

Yuliani mengakui baru sedikit yang dipulihkan. Namun ke depan Dishut Sumut berencana untuk mengembangkan tanaman arboretum seluas 300 hektare, sehingga bisa dimanfaatkan untuk berbagai
tujuan misalnya penelitian. Demikian juga masyarakat tetap bisa memanfaatkan dengan hasil hutan bukan kayu.
Untuk itu Dishut Sumut sudah menginstruksikan Kesatuan Pengelolaan Hutan Wilayah V Aek Kanopan agar berkoordinasi dengan Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BP DAS) Asahan Barumun.
"Masyarakat tetap bisa mengelola, tapi dia harus menanam pohon dan memeliharanya," kata Yuliani

Anda mungkin juga menyukai