Anda di halaman 1dari 5

Gebrakan Menteri Muda kepada Guru di Indonesia Melalui Pidatonya

Oleh : Rifka Annisa Firdausi (*)

Akhir November lalu, banyak warganet yang dikejutkan dengan viralnya pidato tentang Hari
Guru oleh bapak menteri pendidikan dan kebudayaan republik Indonesia, yakni Nadiem
Makarim disosial media. Pidato tersebut disampaikan ketika upacara memperingati Hari Guru
Nasional pada 25 November 2019. Bahkan pada hari itu juga, Nadiem mengunggah teks
pidatonya dilaman instagram pribadinya. Tak hanya warganet, ternyata banyak masyarakat luar
bahkan para politisi juga menanggapi perihal tersebut. Indra Charismiadji, yakni seorang
Pemerhati dan Praktisi Pendidikan 4.0 mengatakan bahwasanya baru kali ini pidato seorang
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dapat viral sepanjang sejarah bangsa Indonesia hingga
mengundang para politisi dan masyarakat untuk angkat bicara.

Momentum Nadiem Makarim ketika menyampaikan pidatonya hingga sekarang masih


lumayan hangat dibicarakan oleh banyak kalangan. Pidato yang disampaikan memang terlihat
singkat, padat dan langsung to the point. Pidato tersebut memang bukan merupakan sebuah
pidato yang berisi pesan inspiratif untuk para guru, bukan seperti pidato-pidato Hari Guru pada
umumnya. Walaupun demikian, harus tetap kita apresiasi. Namun, apasih yang membuat
banyak kalangan berkomentar mengenai pidato Menteri muda ini?. Pidato Nadiem Makarim
tersebut ternyata berisi tentang keresahan dan permasalahan yang selama ini dihadapi dan
dialami oleh para pengajar dan pendidik di Indonesia alias guru. Selain itu, pidato tersebut juga
berisi pesan tentang korelasi yang seharusnya dapat dibangun antara guru dan peserta didik.

Hal inilah yang memicu banyak kalangan untuk membicarakan perihal kondisi pendidikan
nasional yang bisa dikatakan amburadul dan kurang efisien. Bagaimana tidak? Dalam teks
pidato pak Nadiem sudah jelas tertulis diparagraf tiga hingga sembilan, yang memperlihatkan
permasalahan krusial yang dialami guru dalam mengelola sistem pembelajaran yang
diberlakukan oleh sistem pendidikan nasional, yang mana jika kita cermati isi pidato tersebut
saling berbanding terbalik.

Pada paragraf keempat tertulis, “Anda ingin membantu murid yang mengalami ketertinggalan
di kelas, tetapi waktu anda habis untuk mengerjakan tugas administratif tanpa manfaat yang
jelas.” Realita memperlihatkan bahwasanya beban administrasi sangatlah menggangu fokus
guru. Guru yang seharusnya mentransferkan ilmu yang dimilikinya kepada para peserta didik
secara intens, justru terhalang oleh beban administrasi yang kian hari kian memenjaranya.
Waktu guru pun tersita, sehingga sulit untuk mengenali potensi yang ada pada siswanya.

Pada Paragraf kelima tertulis, “Anda tahu betul bahwa potensi anak tidak dapat diukur dari
hasil ujian, tetapi terpaksa mengejar angka karena didesak berbagai pemangku kepentingan.”
Guru mendapat desakan dari para pemangku kepentingan pendidikan, agar mereka hanya
terfokus kepada sebuah nilai, padahal potensi dan kemampuan siswa tidak hanya diukur dari
hasil akademiknya saja. Hal ini menyebabkan guru terpaksa mengejar angka akademik karena
tuntutan sebuah kebijakan.

Pada paragraf keenam tertulis, “Anda ingin mengajak murid keluar kelas untuk belajar dari
dunia sekitarnya, tetapi kurikulum yang begitu padat menutup pintu petualangan.” Pada
kenyataannya, kurikulum yang dipakai saat ini tidak memiliki standar proses dalam
pembelajaran yang menyinggung aspek eksplorasi, sehingga guru pun sulit untuk melakukan
pembelajaran diluar kelas karena tidak sesuai dengan kurikulum yang berlaku.

Pada paragraf ketujuh tertulis, “Anda frustasi karena anda tahu bahwa di dunia nyata
kemampuan berkarya dan berkolaborasi akan menentukan kesuksesan anak, bukan
kemampuan menghafal.” Sebagaimana yang kita tahu bahwa setiap kesuksesan bukan dilihat
dari kemampuan menghafal yang sejalan dengan pemikiran akademik saja. Setiap siswa
tentunya memiliki skills yang dapat menunjang dirinya untuk berkarya. Jadi, tidak hanya
mengandalkan kemampuan akademisnya saja. Maka dari itu guru harus bisa balance antara
mengkolaborasikan kemampuan berkarya dan menghafal dalam membantu mewujudkan cita-
cita siswanya.

Pada paragraf kedelapan tertulis, “Anda tahu bahwa setiap anak memiliki kebutuhan berbeda,
tetapi keseragaman telah mengalahkan keberagaman sebagai prinsip dasar birokrasi.” Dalam
sistem pendidikan nasional memang diberlakukan keseragaman, contohnya dalam pakaian
seragam siswa sehari-hari ketika bersekolah. Hal ini menimbulkan pro kontra dimana-mana.

Pihak yang kontra menyebut dirinya tidak setuju karena itu akan membuat siswa tertuntut
hanya dengan seragam. Kita tahu bahwasanya setiap siswa memiliki kebutuhan yang berbeda,
baik itu kebutuhan finansial maupun yang lainnya. Namun bagaimana jika suatu saat seragam
yang mereka kenakan sudah tidak muat, sehingga mereka harus membeli lagi?. Bagaimana
dengan yang tidak mampu? Bukankah sekolah negeri yang dibiayai oleh pemerintah hanya
membagikan satu kali seragam gratis? Disisi lain mereka juga berpendapat, bukankah
keberagaman itu indah?. Namun bagi mereka yang pro dengan adanya keseragaman ini berfikir
bahwa itu akan menunjukkan identitas siswa masing-masing. Mana siswa yang sedang
menempuh pendidikan dasar, mana pula siswa yang sedang menempuh pendidikan menengah.

Memang benar, bahwa keseragaman telah mengalahkan keberagaman yang mana keberagaman
ini merupakan suatu prinsip dasar birokrasi, seperti yang sudah tertulis dalam naskah pidato
Mendikbud muda ini. Baik itu birokrasi secara umum, maupun birokrasi secara khusus seperti
birokrasi pada sektor pendidikan.

Paragraf kesembilan tertulis, “Anda ingin setiap murid terinspirasi, tetapi anda tidak diberi
kepercayaan untuk berinovasi.” Lagi-lagi karena kurikulum. Kurikulum menuntut siswa untuk
lebih aktif, kreatif dan inovatif dibandingkan gurunya, namun bagaimana siswa dapat
mengembangkan keaktifan, kreativitas dan inovasinya jika tidak ada dorongan motivasi dari
gurunya?. Guru pun tidak dibebaskan untuk berinovasi agar siswa juga mampu terinspirasi.

Poin-poin yang tertulis pada halaman pertama naskah pidato tersebut membuat sejumlah
organisasi guru yang ada di Indonesia pun ikut mengkritisi mengenai pidato Mendikbud ini.
Diantara yakni dari FSGI, IGI dan PGRI. Seorang Heru Purnomo merupakan Sekretaris
Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mengatakan bahwa dirinya melihat bahwa
pesan Pak Mendikbud dalam pidato Hari Guru Nasional tersebut memiliki sifat yang bias dan
paradoksal. Di satu sisi, pada halaman pertama poin satu hingga delapan, Pak Menteri memuji,
melihat dan mengakui guru terbelenggu. Sisi lain, pada halaman kedua, Pak Menteri
menginginkan adanya perubahan yang dilakukan dari para guru.

Sama persis yang saya katakan diawal tadi bahwa isi dari pidato Pak Menteri ini berbanding
terbalik. Perbaikan mutu pendidikan ini tidak cukup hanya menunggu perubahan dari guru saja,
tetapi harus ada sistem yang mengatur mengenai hal itu. Bagaimana bisa mutu pendidikan
ditingkatkan, jika tidak ada sistem yang memberlakukan aturan tersebut dan Kemendikbud
tidak mendukung serta mengayomi dengan cara memberikan tudung hukum? Hal tersebut
mengakibatkan upaya yang dilakukan oleh guru tidak akan berjalan dengan maksimal.

Tak lupa pula terkait kebijakan pengelolaan pendidikan, guru berada dibawah koordinasi
pemerintah daerah. Dikarenakan permerintah daerah sudah diberi wewenang untuk mengatur
daerahnya sendiri, baik dalam ekonomi, pendidikan maupun yang lainnya, maka hal ini dengan
semestinya harus ada sinkronisasi antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat, agar aturan
yang nantinya dikeluarkan dapat berjalan dengan lancar.
Sementara ketua Ikatan Guru Indonesia (IGI), Muhammad Ramli Rahim meminta Nadiem
Makarim agar para guru di Indonesia mendapatkan posisi terhormat sesuai dengan
pengorbanannya dalam mencerdaskan anak bangsa.

"Kami juga menangkap keinginan Nadiem Makarim untuk menempatkan guru pada posisi
terhormat, dan karena itu IGI mendorong agar Menteri Nadiem Makarim memastikan guru-
guru yang mengisi ruang kelas adalah guru-guru yang memiliki status yang jelas," kata Ramli.

Menurutnya, para guru yang bertugas mengisi ruang kelas untuk kegiatan belajar mengajar
harus memiliki status yang jelas sesuai dengan kriteria profesionalisme guru. Salah satunya
yaitu guru memperoleh gaji atau pendapatan di atas Upah Minimum Provinsi (UMP). Namun
pada faktanya, saat ini masih ada guru yang mendapatkan gaji jauh lebih rendah dari buruh
bangunan. Apabila pemerataan gaji guru sudah sesuai diatas UMP, maka bisa dikatakan
Nadiem Makarim memposisikan guru ditempat yang mulia, sehingga guru benar-benar dapat
berkonsentrasi pada kegiatan belajar mengajar untuk menyiapkan anak-anak bangsa di masa
yang akan datang.

Ketua Forum Honorer K2 Indonesia (FHK2I) DKI Jakarta, Nurbaiti juga merespon hal yang
serupa, yakni harapan untuk untuk mengangkat seluruh guru honor menjadi PNS. Ia berharap
agar pengabdian guru yang sudah bertahun-tahun menjadi honorer dapat dihargai. Adapun jika
untuk mengikuti tes CPNS, mereka terkendala oleh usia. Toh, apabila diperbolehkan maka
mereka harus bersaing dengan para CPNS yang usianya lebih muda dan tentunya lebih lihai
dalam penguasaan teknologi.

Tak hanya itu, dalam teks pidato Nadiem Makarim halaman kedua tertulis lima poin berisi
gebrakan untuk guru melakukan sebuah langkah menuju perubahan. Berkaitan dengan lima
poin tersebut yang disampaikan oleh Nadiem Makarim dalam pidatonya, sebagian kalangan
mahasiswa juga ramai berdiskusi mengenai hal ini. Sebab menurut mereka, merekalah yang
akan meneruskan pengelolaan pendidikan bangsa ini agar lebih baik dan maju kedepannya.

Tak sedikit mahasiswa yang mengapresiasi lima poin ajakan untuk perubahan yang telah
disampaikan Nadiem Makarim pada pidatonya tersebut. Kebanyakan dari mereka justru setuju
dengan ide yang dicetuskan oleh Menteri muda kita ini dengan mengajak guru untuk
melakukan langkah demi langkah menuju perubahan-perubahan kecil yang akan dapat
mengganti pola pikir siswa dengan lebih baik lagi, menghargai dan memberi kebebasan bagi
guru untuk berinovasi demi pendidikan, dan lebih menekankan tugas yang membuat siswanya
mampu berdiskusi dan berinteraksi dengan kelompok. Model pembelajaran ini sama persis
seperti di finlandia, dan tentunya akan berakibat baik pada pendidikan Indonesia.

Namun yang harus digaris bawahi adalah, guru belum bisa melakukan perubahan-perubahan
tersebut, jika belum ada regulasi yang mengikat dari pemerintah pusat yang diturunkan kepada
pemerintah daerah. Harapan besar dari seluruh kalangan, baik guru, masyarakat, maupun kami
sebagai mahasiswa adalah, dengen segera mas Menteri Nadiem Makarim untuk merealisasikan
ide dan juga program yang dicetuskan, sehingga dapat membawa mutu pendidikan Indonesia
menjadi pendidikan yang lebih baik dan maju serta dapat bersaing dikancah internasional.

(*) Mahasiswi prodi Pendidikan Bahasa Inggris, Universitas Muhammadiyah Malang.

Anda mungkin juga menyukai