Anda di halaman 1dari 5

5 Kunci Sukses Sistem Pendidikan Finlandia

Oleh: Himam Miladi

himammiladi@gmail.com

"Saya nggak mau anak saya seperti boneka pintar, yang baru bisa bersuara kalau dipencet
tombolnya, yang baru bisa duduk kalau didudukkan, akan berdiri kalau diberdirikan, dan
akhirnya nggak bisa berbuat apa-apa lagi ketika baterainya habis. Saya ingin anak-anak
bergerak bebas, ceria, belajar karena desakan rasa ingin tahu, dan menikmati masa kanak-
kanak yang nggak akan kembali lagi.

Ranking bukan segalanya. Ranking juga nggak menjamin mereka sukses di kemudian hari.
Saya ingin mereka belajar langsung dari kehidupan, lalu mencari jawaban atas pertanyaan-
pertanyaan yang timbul. Ada hal penting yang dilupakan oleh sistem ranking ini, yaitu
Kreativitas. Betapa metode belajar yang harus dijalani anak-anak saat ini telah membunuh
kreativitas mereka. Anak-anak diajari sebanyak-banyaknya dengan segala macam pelajaran
sekolah, tapi lupa diajari bagaimana menghadapi hidup. Hidup itu membutuhkan banyak
kreativitas, lho!"

Beby Haryanti Dewi, "Hidup Kok Serba Salah?", dalam INDONESIA JUNGKIR BALIK,
karya Mas Prie GS dkk, hlm. 30

Keputusan Mendikbud Nadiem Makarim yang akan menghapus Ujian Nasional (UN) mulai
2021 menuai kontroversi. Belakangan, Mas Nadiem mengklarifikasi keputusan tersebut dan
mengatakan yang akan dihapus adalah Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN).

Desakan untuk menghapus Ujian Nasional tak lepas dari anggapan sebagian masyarakat
bahwa Ujian Nasional menjadi beban berat para siswa. Di luar itu, Ujian Nasional juga
dianggap representasi dari sistem pendidikan tradisional yang masih bersifat skolastik, hanya
mengandalkan kemampuan kognitif sederhana di tingkat paling rendah, seperti mengenal,
membandingkan, melatih, dan menghapal.
Lantas, apakah dengan rencana dihapuskannya Ujian Nasional akan membuat pendidikan di
negara kita menjadi lebih baik? Apakah tanpa Ujian Nasional peserta didik di tingkat dasar
dan menengah akan menjadi lebih kreatif?

Jawabannya tergantung dari kontribusi pendidiknya, yakni para guru. Ada atau tidak adanya
ujian (sekolah atau berstandar nasional), mutu pendidikan sekolah dan kreativitas para siswa
tergantung dari kualitas dan kompetensi guru itu sendiri.

Jika kita mau berpikir lebih jernih, akar masalah pendidikan kita tidak terletak pada sistem
pendidikan atau kurikulumnya. Sebaik apapun sistem pendidikan dan kurikulum yang
disusun, jika tidak didukung dengan tenaga pendidik yang berkualitas dengan kompetensi dan
pola pikir yang lebih fleksibel dan modern, itu semua akan menjadi percuma.

Dalam Surat Edaran Nomor 14 Tahun 2019 Tentang Penyederhanaan Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran, Mendikbud Nadiem Makarim memberi kebebasan bagi sekolah dan guru
dalam menyusun dan mengembangkan format Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) di
unit sekolah masing-masing. Dari 13 komponen RPP, Mas Nadiem hanya menyisakan 3
komponen inti yang wajib dilaksanakan, yakni: Tujuan Pembelajaran, Langkah-langkah
(Kegiatan) Pembelajaran, dan Penilaian Pembelajaran (Assessment). Selebihnya, setiap
sekolah dan individu guru bebas untuk mengembangkan format RPP secara mandiri untuk
keberhasilan belajar murid.

Namun ada persoalan pokok yang dilupakan Mas Nadiem, yakni kualitas dan kompetensi
guru itu sendiri. Karena setiap sekolah maupun individu guru diberi kebebasan untuk
mengembangkan format RPP, maka kualitas dan output pendidikan yang diperoleh siswa
juga tergantung dari kualitas guru-guru serta sekolah mereka masing-masing.

Bagi siswa yang sekolah dan gurunya punya kompetensi mumpuni, kualitas pengajaran yang
mereka terima sudah tentu berbeda dengan siswa yang sekolah dan guru-gurunya hanya
memiliki standar kompetensi sedang-sedang saja. Kemudian jika nanti Ujian Nasional resmi
dihapus, hal ini akan menjadi preseden buruk karena kualitas pendidikan kita tidak akan bisa
merata.

Dalam hal pendidikan, banyak pihak yang ingin kita bisa mencontoh sistem pendidikan
Finlandia. Begitu pula dengan rencana penghapusan Ujian Nasional, mereka yang setuju
selalu merujuk pada sekolah-sekolah di Finlandia yang tidak menyelenggarakan ujian mata
pelajaran apapun.
Benarkah demikian?

Memang benar. Tapi sistem pendidikan di Finlandia bisa begitu bagus karena didukung
dengan kualitas tenaga pendidik yang bagus pula.

Mungkin banyak yang belum tahu bahwa reformasi pendidikan di Finlandia dimulai sejak
tahun 1970-an dan hasilnya baru bisa terlihat pada 2001 ketika OEDC (Organization for
Economic Cooperation dan Development) memublikasikan hasil studi internasional
pertamanya tentang tes PISA Programme for International Student Assessment). Di luar
dugaan, Finlandia mengungguli 31 negara OECD lainnya. Bisa kita lihat berapa lama waktu
yang dibutuhkan pemerintah Finlandia untuk bisa mereformasi sistem pendidikan mereka.

Dalam pengantarnya di buku Teach Like Finland (Walker, 2017), Pasi Sahlberg
mengungkapkan ada 5 kunci sukses mengapa sistem pendidikan Finlandia dianggap sebagai
yang terbaik di dunia.

Pertama, kurikulum di sekolah Finlandia memberi porsi yang sama rata untuk semua mata
pelajaran. Dengan demikian para siswa punya kesempatan untuk mengolah berbagai aspek
kepribadian dan bakat mereka.

Mayoritas siswa di Finlandia belajar dalam kelas yang secara sosial bercampur tanpa melihat
atau memisahkan kemampuan atau status sosial ekonomi. Semangat inklusivitas ini akhirnya
membentuk pola pikir bagi guru dan orangtua siswa bahwa setiap orang dapat belajar apapun
yang diinginkan selama ada dukungan yang layak dan cukup. Sebagai hasilnya, fokus
terhadap kesejahteraan, kesehatan dan kebahagiaan siswa menjadi tujuan utama setiap
sekolah di seluruh penjuru Finlandia.

Kedua, otoritas pendidikan Finlandia menyadari bahwa keberhasilan dalam mengajar di kelas
yang heterogen mensyaratkan guru-guru yang terlatih dengan lebih baik dari sebelumnya.
Sebagai konsekuensi, pemerintah Finlandia mengubah haluan pendidikan keguruan dari
perguruan tinggi ke universitas berbasis penelitian.

Sebagai bagian dari reformasi pendidikan di Finlandia, para guru harus lulus dari program
magister berbasis penelitian yang sama dengan profesi lain di Finlandia. Para guru lulusan
baru harus mempelajari psikologi anak, pedagogi, pendidikan khusus, mata pelajaran
didaktik, dan kurikulum yang lebih banyak daripada rekan mereka di perguruan tinggi.
Semua tuntutan ini tak lain merupakan bekal tanggung jawab profesi mereka yang lebih luas.
Ketiga, sebagaimana tujuan utama dari sekolah di Finlandia yang fokus pada kesejahteraan
siswa, maka di setiap sekolah dibentuk Tim Kesejahteraan Siswa yang beranggotakan para
ahli, guru dan pemimpin terkait. Konsekuensi logis dari mekanisme pendidikan ini menuntut
adanya pendanaan yang lebih banyak. Tapi itu memang layak karena pada akhirnya bisa
menciptakan dasar kesetaraan pendidikan yang kuat dan luas di seluruh Finlandia.

Keempat, otoritas pendidikan Finlandia mewajibkan pemimpin di sekolah (kepala sekolah)


untuk ikut mengajar. Mereka sadar bahwa kepemimpinan pendidikan yang baik harus berada
di tangan pendidik yang berkualitas dan berpengalaman luas. Menurut pendapat Sahlberg,
(Sahlberg, 2015), para pemimpin adalah guru dan para guru adalah pemimpin (pedagogis).

Kelima, sistem pendidikan Finlandia memberi ruang lebih banyak untuk kegiatan ekstra
kurikuler. Mereka menjalin kerjasama dengan berbagai jaringan kegiatan di luar sekolah
(organisasi, perkumpulan, komunitas) untuk bisa menampung minat dan bakat siswa di luar
aktivitas pembelajaran sekolah.

Melihat 5 kunci sukses sistem pendidikan Finlandia tersebut, adakah yang bisa diterapkan di
Indonesia? Sahlberg sendiri mengatakan, sistem pendidikan itu seperti tanaman atau pohon
yang tumbuh baik hanya di tanah dan iklimnya sendiri. Dengan kata lain, mustahil untuk bisa
memindahkan sistem pendidikan Finlandia ke negara kita.

Namun, bukan berarti kita tidak bisa mengambil pelajaran, atau paling tidak menerapkan satu
dua diantara 5 kunci sukses di atas. Seperti yang sudah saya utarakan sebelumnya, satu poin
kunci sukses yang bisa kita ambil adalah kualitas tenaga pendidik.

Jadi Mas Nadiem, sebelum Anda menghapus Ujian Nasional, atau mereformasi total sistem
pendidikan Indonesia, alangkah baiknya apabila Anda fokus pada pengembangan guru. Baik
kesejahteraan mereka, maupun kualitas dan kompetensi yang disyaratkan. Apa yang Anda
cita-citakan saat ditunjuk menjadi Mendikbud akan menjadi percuma jika para guru, yang
merupakan inti dari sistem pendidikan, tidak Anda perhatikan.

Referensi:

Walker, Timothy. D (2017). Teach Like Finland: 33 Strategi Sederhana Untuk Kelas yang
Menyenangkan. Grasindo. Jakarta
Sahlberg, P (2015). Finnish Lessons 2.0: What can the world learn from educational change
in Finland. Teachers College Press. New York

Anda mungkin juga menyukai