Anda di halaman 1dari 29

PENDAHULUAN

Abu Abdullah, Abu al Fadhl Muhammad ibnu Umar ar Razi, atau lebih popular
dengan nama Imam ar Razi dan Fakhr ar Razi, merupakan salah seorang
ensiklopedis Islam terbesar di sepanjang masa. Sebagian kalangan bahkan
menganggap beliau sebagai argumentator Islam (Hujjatul Islam), setelah Imam Al
Ghazali. Dengan multi-telenta yang dimilikinya, beliau mampu menguasai berbagai
bidang ilmu, seperti Filsafat, sejarah, matematika, astronomi, kedokteran, teologi
dan tafsir. Bahkan di setiap bidangnya, Al Razi mampu mengungguli pakar-pakar
di zamannya. Karena kepakarannya, ia diperbolehkan menyadang gelar Syeikh al-
Islam. Karya-karya magnum-opus nya antara lain: At Tafsir al Kabir, Al
Muhashashal, dan Lubab al Isyarat. Dalam makalah ini, penulis fokus untuk
meninjau beberapa pemikiran al Razi dalam bidang filsafat. Apa sajakah pemkiran
al Razi seorang imuwan Islam besar dalam bidang filsafat?

PEMBAHASAN

A. Riwayat Hidup Fakhruddin Al Razi


Abu Abdillah Muhammad bin Umar bin al-Husain bin al-Hasan bin
Ali al-Taimi al-Bakri al-Thibristani, terkenal dengan nama Fakhr al Din al-
Razi. Diberi julukan Ibn Khatib al-Ray karena ayahnya, Dhiya al Din Umar,
adalah seorang khatib di Ray. Ray merupakan sebuah desa yang banyak
ditempati oleh orang ajam (selain Arab). Di Herat Fakhr al Din mendapat
julukan Syaikh al-Islam. Al-Razi merupakan anak keturunan Quraisy yang
nasabnya bersambung kepada Abu Bakr al Shiddiq1.
Fakhr al-Din al-Razi dilahirkan pada 25 Ramadhan 544 H,
bertepatan dengan 1150 M di Ray, sebuah kota besar di wilayah Irak yang kini
telah hancur dan dapat dilihat bekas-bekasnya di kota Taheran Iran. Ray adalah
sebuah kota yang banyak melahirkan para ulama yang biasanya diberi julukan
al-Razi setelah nama belakang sebagaimana lazim pada masa itu. Diantara
ulama sebangsa yang juga diberi gelar al-Razi ialah Abu Bakr bin Muhammad
bin Zakaria, seorang filosof dan dokter kenamaan abad X M/IV H.

1
Fakhr al-Din al-Razi, Roh Itu Misterius, trj, Muhammad Abdul Qadir al-Kaf, Cendekia
Sentra Muslim, Jakarta, 2001, hlm. 17.

1
Beberapa sumber lain mengatakan bahwa al-Razi dilahirkan pada
tahun 543 H/1149 M. Ibn al-Subki mengatakan bahwa menurut pendapat yang
kuat al-Razi dilahirkan pada tahun 543 H. Tetapi pendapat ini menjadi lemah
jika dikaitkan dengan fakta melalui tulisan yang dibuat al Razi sendiri. Al-Razi
menulis dalam tafsir surah Yusuf bahwa ia telah mencapai usia 57 tahun dan
pada akhir surah menyebutkan bahwa tafsirnya telah selesai pada bulan
Sya‟ban tahun 601 H. Jika dikurangi, maka kelahiran al-Razi ialah tahun 544
H/1150 M2.
Fakhr al-Din memiliki seorang kakak yang bernama Rukn al-Din.
Dikatakan bahwa Rukn al-Din memiliki kedengkian terhadap al-Razi
dikarenakan kemasyhuran dan ketinggian ilmunya. Rukn senantiasa mengikuti
kemanapun al-Razi hendak pergi dan berusaha menyebat fitnah agar
masyarakat menjadi simpati kepadanya. Alih-alih mendapat simpati usaha
Rukn al-Din malah membuatnya dibenci masyarakat. Disamping perasaan
sedihkarena memiliki saudara yang dengkial-Razi menanggapinya dengan
senantiasa menasihati sebisa mungkin dan tidak memutuskan tali persaudaraan.
Al-Razi menikah di Ray sepulang dari perjalanan ke Khawarizm karena ditolak
oleh masyarakat di sana. Di Ray ada seorang dokter ahli yang memiliki
kekayaan melimpah dan juga dua anak perempuan. Ketika dokter itu sakit dan
yakin akan datangnya ajal, ia menikahkan salah seorang putrinya kepada al-
Razi. Sejak masa itu terjadi perubahan ekonomi pada al-Razi dari seorang yang
miskin dan kekurangan menjadi berkecukupan.
Dari pernikahannya itu al-Razi dikaruniai tiga orang anak lelaki dan
dua anak perempuan. Salah seorang anak lelaki yang bernama Muhammad
meninggal pada saat al-Razi masih hidup. Muhammad dikatakan sebagai anak
yang saleh sehingga benar-benar bersedih sepeninggalnya. Kesedihannya itu
diungkapkan dengan menyebutkannya Muhammad berkali-kali dalam
tafsirnya, yakni bertutut-turut dalam tafsir surah Yunus, Hud, Yusuf, al-Ra’d,
dan Ibrahim. Muhammad meninggal dalam usia muda beranjak dewasa di
perantauan, jauh dari teman dan keluarga.

2
Ali Muhammad Hasan al-Umâri, al-Imam Fakhr al-Din al-Razi; Hayâtuhû wa Atsâruhû,
al-Majlis al-A’la li al-Syu’un al-Islamiyah, 1969, hlm. 17

2
Dua anak lelaki lainnya ialah Dhiya al-Din dan Syams al-Din. Dhiya
al-din merupakan anak tertua yang bernama asli Abdullah. Ia dikenal sebagai
orang yang sangat perhatian kepada ilmu pengetahuan. Selanjutnya ia menjadi
tentara dan mengabdi kepada sultan Muhammad bin Taksy. Adapun Syams al-
Din ialah yang termuda dari ketiganya. Ia memiliki banyak kelebihan dan
kepandaian yang luar biasa. Syams al-Din mengikuti jejak al-Razi setelah
kematiannya, menyandang gelar Fakhr al Din, dan banyak ulama yang
menuntut ilmu kepadanya.
Salah satu anak perempuan al-Razi dinikahi dengan ‘Ala al-Mulk,
seorang wazīr (menteri) sultan Khawarazmsyah Jalal al-Din Taksy bin
Muhammad bin Taksy yang terkenal dengan julukan Minkabari. ‘Ala al Mulk
adalah seorang pakar dalam bidang sastra, khususnya dalam bahasa Arab dan
Persia. Sedangkan anak perempuan lainnya hanya disebutkan dalam riwayat
ketika pasukan Mongol di bawah pimpinan Jenghiz Khan memasuki kota Herat,
kediaman al-Razi dan keluarga. ‘Ala al-Mulk meminta perlindungan kepada
Jenghiz Khan atas anak-anak Syaikh Fakhr al-Din dan permohonannya itu
dikabulkan. Ketika itu disebutkan bahwa anak perempuan yang terakhir ini
termasuk di dalamnnya 3.
Al-Razi meninggal di Herat pada hari Senin tanggal 1 Syawal 606
H/1209 M, bertepatan dengan hari raya Idul Fitri. Sesuai dengan amanatnya,
al-Razi dimakamkan di gunung Mushaqib di desa Muzdakhan, sebuah desa
yang terletak tidak jauh dari Herat. Sebelum meninggal alRazi sempat
mendiktekan wasiat yang ditulis oleh salah seorang muridnya, Ibrahim al-
Asfahani. Wasiatnya berisi tentang penyerahan diri sepenuhnya (tawakal)
kepada kasih sayang Tuhan. Al-Razi mengakui bahwa ia telah banyak menulis
dalam berbagai cabang lapangan ilmu tanpa cukup memperhatikan mana yang
berguna dan mana yang merusak. Dalam wasiatnya al-Razi juga menyatakan
ketidakpuasannya dengan filsafat dan teologi (ilmu kalam). Dalam mencari
kebenaran ia lebih menyukai metode al-Quran dibandingkan metode filsafat.
Ia juga menasihati untuk tidak melakukan perenungan-perenungan filosofis

3
Ali Muhammad Hasan al-Umâri, al-Imam Fakhr al-Din al-Razi; Hayâtuhû wa
Atsâruhû...................Hlm. 27

3
pada problem-problem yang tak terpecahkan. Pernyataan terakhir al-Razi
mengenai nilai filsafat dan teologi ini mesti dicatat dalam meneliti pemikiran
al-Razi terutama dalam isu-isu kontroversial yang bermacam-macam.
Al-Razi hidup pada pertengahan terakhir abad keenam Hijriah atau
kedua belas Masehi. Masa-masa ini merupakan masa-masa kemunduran di
kalangan umat Islam, baik dalam bidang politik, sosial, ilmu pengetahuan, dan
akidah. Kelemahan Khalifah Abbasiyah telah mencapai puncaknya hingga
Baghdad sebagai pusat pemerintahan saat itu hancur luluh hanya dengan sekali
serangan dari tentara Mongol di bawah pimpinan Hulago Khan pada 656
H/1258 M 4 . Secara efektif, tidak ada kesatuan politik yang benar-benar
memerintah dunia Islam saat itu. Kekuasaan khalifah di Baghdad hanya diakui
secara simbolis karena dalam prekteknya masing-masing daerah diperintah
secara independen oleh para sultan Bani Abbas. Situasi ini disebut Karen
Amstrong sangat mirip dengan apa yang disebut monarki absolut. Sejak 1055
M praktis kekuasaan di Baghdad dipegang oleh orang-orang Turki Seljuk.
Salah satu peristiwa besar yang terjadi pada masa hidup al-Razi ialah
kemenangan Shalahuddin al-Ayyubi melawan pasukan Salib pada 1187 M.
Selama hidupnya, al-Razi mengalami tiga kali pergantian khalifah
di Baghdad. Pertama, al-Mustanjîd Billâh (555-556 H) yang pada masa
kekuasaannya belum ada pengaruh dari orang-orang Turki Seljuk. Kedua, al-
Mustadhi Billah (566-575 H) yang merupakan anak al-Mustanjid yang
memegang kekuasaan setelah ayahnya meninggal. Ketiga, al-Nashir liDinillah
(575-622 H), anak al-Mustadhi yang merupakan khalifah Abbasiyah dengan
masa kekuasaan terpanjang. Khalifah inilah yang berusaha mengembalikan
kebesaran dinasti Abbasiyah dengan mengadakan “kompromi” dengan
syari’ah yang saat itu biasa dikembangkan untuk memprotes para khalifah. Al-
Nashir juga bergabung dengan kelompok futuwwah di Baghdad. Namun
kebijakan al-Nashir sudah amat terlambat, sebab dunia Islam sudah dilanda
bencana yang akan membawa kepada keruntuhan dinasti Abbasiyah 5.

4
Karen Armstrong, Sepintas Sejarah Islam, Trj, Ira Puspita Rini, Ikon Teralitera, Surabaya
2004, hlm. 115.
5
Karen Armstrong, Sepintas Sejarah Islam......hlm. 114

4
Sementara di Khawarizmi, Khurasan, dan daerah-daerah sekitarnya
dikuasai oleh bani Khawarazamsyah. Pada masa hidup al-Razi sultan yang
menguasai daerah ini ialah Taksy bin Arselan (568-596 H), Ala al-Din
Muhammad bin Taksy (596-615 H), dan kemudia diikuti oleh anaknya Jalal al-
Din sampai tahun 628 H. Kabar mengenai perang salib di Syam dan serangan
bangsa Mongol di Timur selalu menyelimuti pikiran kaum Muslimin saat itu
di mana bayangan kehancuran berada di depan mata.
Mazhab empat (Maliki, Hanafi, Syafi‟i, dan Hanbali) masih menjadi
mayoritas mazhab yang diterima oleh sebagian besar umat Islam saat itu. Di
Ray, kota al-Razi, terdapat setidaknya tiga mazhab yang berpengaruh, yakni
Syafi‟i, yang merupakan minoritas, Hanafi sebagai mazhab mayoritas, dan
Syi‟ah yang berjumlah sangat sedikit. Sebelumnya terjadi pertentangan antara
Syi‟ah dan Ahlussunnah yang akhirnya dimenangkan oleh mazhab Syafī‟iyah
dari Ahlussunnah. Hal ini tentu tidak terlepas dari peran Bani Seljuk yang
cenderung kepada Sunni dan sufisme
Pada masa itu terdapat banyak aliran teologi. Ibn al-Subki
menyebutkan tidak kurang dari 27 golongan. Adapun yang termasyhur
daripadanya ialah Syi‟ah, Muktazilah, Murji‟ah, Batiniyah, dan Karamiyah.
Keilmuan didominasi pada pelajaran agama dan bahasa Arab, tidak sedikit pula
yang mempelajari ilmu hikmah (filsafat) yang pembahasannya mencakup
logika, fisika, dan metafisika. Termasuk cabang ilmu filsafat ialah ilmu ukur,
musik, dan astronomi.
Kaum Muslimin masih bergelut dengan filsafat yang banyak
dipelopori oleh kaum Muktazilah. Diantara para filosof terkenal yang
berpengaruh ialah al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Maskawaih yang lahir
di Ray dan meninggal di Isfahan pada tahun 1030 M 6. Pengaruh filsafat terus
meningkat hingga datang masa al-Ghazali pada akhir abad V H/X M. Kritik al-
Ghazali terhadap filsafat tertuang dalam kitabnya, Tahāfut al-Falāsifah. Sejak
saat itu timbul kebencian kaum Muslimin khususnya para fuqahā` dan
golongan Asy’ariyah yang menjadi mazhab mayoritas terhadap filsafat.

6
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, UI Press, Jakarta, 2002, hlm.
43-37.

5
Keadaan ini ditambah dengan dukungan khalifah Abbasiyah dalam menentang
filsafat, sehingga filsafat seakan punah dari tradisi umat Islam kecuali di
beberapa tempat seperti Iran dan Andalusia (Spanyol).
Abad keenam Hijriah juga merupakan puncak dari ajaran Bathiniyah
yang telah dirintis sejak abad ketiga. Diantara aliran Bathiniyah ini
sebagaimana dikatakan al-Ghazali ialah golongan Rafidhah yang merupakan
sekte dalam Syi’ah. Golongan ini menganggap tercapainya ilmu itu melalui
perkataan Imam yang ma‘shūm, Imam yang mengetahui semua rahasia
syari‟ah dan pada setiap zaman pasti terdapat seorang Imam yang dapat
menjadi sandaran dalam permasalahan keagamaan.
Sebelum masa al-Ghazali tasawuf masih belum dapat diterima oleh
mayoritas ulama dan bahkan dianggap bid’ah. Al-Ghazali berperan besar
dalam “mendamaikan” ajaran para sufi yang dianggapnya wali dengan para
ulama yang mengajarkan syari’at formal, seperti ilmu fiqh dan tauhid.
Pengaruh ini telah sampai hampir ke seluruh pelosok negeri Islam dari timur
sampai barat. Pengaruh ini juga tak pelak dirasakan oleh al-Razi karena
masanya tidak terlampau jauh dari al-Ghazali.
Dalam kondisi politik, sosial, dan keilmuan seperti inilah al-Razi
hidup. Faktor-faktor tersebut menjadi penting dalam mengkaji suatu pemikiran
al-Razi sebab tidak ada pemikiran yang dapat lepas dari pengaruh-pengaruhnya.
Atau dengan bahasa Edward Said “belum ada seorang pun yang menciptakan
metode untuk melepaskan cendekiawan dari lingkungan kehidupannya, dari
fakta keterlibatannya baik secara sadar maupun tidak dengan suatu kelompok,
seperangkat keyakinan, kedudukan sosial, ataupun sekedar aktivitasnya
sebagai anggota masyarakat”7.
Pembahasan lebih dalam ke arah kondisi politik, sosial, dan
keilmuan akan membawa pengetahuan mengenai kecenderungan seorang
ulama atau cendekiawan. Penerimaan masyarakat terhadap suatu karya
merupakan indikasi bahwa pemikiran tersebut sesuai dengan konsep kebenaran,
minimal pada saat itu. Al-Razi adalah seorang yang luas ilmunya, berbagai
macam ilmu pengetahuan ia pelajari, sehingga tidaklah mengherankan jika ia

7
Edward Said, Orientalisme, Trj, Asep Hikmat, Pustaka, Bandung, 1985, hlm. 12-13.

6
menjadi ensiklopedi dalam berbagai bidang ilmu; diantara karyanya adalah
sebagai berikut :
1. Karya Bidang Tafsir
a. Tafsir Kabir (Mafatih al Ghaib)
b. Asrar al Tanzil wa Asrar al Tafsir (Tafsir al Qur’an al Saghir)
c. Tafsir Surat al Fatihah
d. Tafsir Surat al Baqarah
e. Tafsir Surat al Ikhlas
f. Risalah fi Tanbih ‘ala Ba’d al Asrar al Mudi’ah fi Ba’d Ayat al Qur’an
al Karim
2. Dalam bidang Ilmu Kalam (Teolog)
a. Arba’in fi Ushul al Din
b. Asas al Taqdis
c. Asl al Haqq
d. Al Qada wa al Qadar
e. Syarh al Asma Allah al Husna
f. Ismah al Anbiya’
g. Al Mahsul (fi ‘Ilm Kalam)
h. Al Ma’alim fi Ushul al Din
i. Nihayah al Uqul fi Dirayah al Ushul
j. Ajwibat al Masa’il al Najjariyyah
3. Dalam bidang Ilmu Logika, Filsafat dan Etika
a. Ayat al Bayyinat fi al Mantiq
b. Mantiq al Kabir
c. Ta’jiz al Falasifah
d. Syarh al Isyarah wa al Tanbihat (Li Ibnu Sina)
e. Syarh ‘Uyun al Hikmah (Li Ibnu Sina)
f. Al Mabahith fi al Mashriqiyyah
g. Muhassah Afkar al Mutaqadimin wa al Muta’akhirin min ‘Ulama wa
al Hukama’ wa al Mutakalimin
h. Al Matalib al ‘Aliyyah
i. Al Akhlaq

7
4. Dalam Permasalahan Hukum
a. Ibtal al Qiyas
b. Ihkam al Ahkam
c. Al Ma’alim fi Ushul Fiqh
d. Muntakhab al Mahsul fi Ushul Fiqh
e. Al Barahim wa al Barahiyah
f. Nihayah al Bahaiyyah fi al Mabahith al Qiyasiyyah
5. Dalam llmu Bahasa
a. Syarh Nahj al Balaghah
b. Al Muharrir fi Haqa’ iq al Nahw
6. Dalam Bidang Sejarah
a. Fada’il al Shahabah al Rasyidin
b. Manaqib Imam al Syafi’i
7. Dalam Bidang Matematika dan Astronomi
a. Al Handasah
b. Al Risalah fi ‘Ilm Hay’ar
8. Dalam Bidang Kedokteran
a. Al Tib al Kaba’ir
b. Al Asyribah
c. Al Tashyir
d. Syarh al Qanun li Ibn Sina
e. Masa’il fi al Tib
9. Dalam Bidang Astrologi
a. Al Ahkam al ‘Ala’iyyah fi A’lan al Samawiyyah
b. Kitab fi Raml
c. Sir al Maktum
Dari sekian banyak karya-karyanya yang menjadi unggulan adalah Kitab
Mafatih al Ghaib atau Tafsir al Kabir yang fenomenal. 8 Adapun dalam
perjalanan intelektualnya, beberapa tokoh yang mempengaruhinya ialah Abi
Muhammad al Baghawi dalam bidang hadis. Adapun dalam bidang teologi dan

8
Akhmad Baiquni, Skripsi Penafsiran Fakhr al Din al Razi Tentang Perbuatan Manusia
Dalam Tafsir Mafatih al Ghaib, STAIN Kudus, 2017, hlm. 66

8
filsafat sendiri ia belajar kepada Madjid al Jaili yang merupakan murid Imam Al
Ghazali. Sedangkan dengan ayahnya sendiri ia belajar Ilmu Ushul Fiqh dan Fiqh
yang mana jika diteruskan silsilahnya ayahnya sendiri berguru dengan guru guru
yang silsilahnya akan sampai pada Imam Syafi’i. Maka tak heran jika ayahnya
Fakhr al Din al Razi dan ia sendiri merupakan salah satu pengikut mazhab
Asy’ariyyah.
B. Metodologi pemikiran al Razi
Metodologi pemikiran al Razi yang dimaksud disini ialah sebagai suatu
pendekatan atau kerangka kerja (framework) dalam memahami pemikirannya
tentang Islam khususnya. Dengan ungkapan lain bahwa metodologi pemikiran
Islam ahl al Sunnah wa al Jama’ah, Fakhr al Din al Razi disini lebih tepat
dimaksudkan sebagai manhaj al fikr atau bagaimana dan dengan apa
pemikirannya itu dikonstruk dan dikembangkan secara islami.9
Sebagai salah satu pendukung al Asy’ariyyah, al Razi dalam hal ini
tidak berbeda dalam menggunakan metodologi pemikiran dari al Asy’ariyyah
sebelumnya. Dalam beberapa karyanya, al Razi tampak lebih cenderung
menggunakan metode kombinasi. Hal ini bisa dilihat, pada integrasi antara
metode penetapan aqidah yang berdasarkan pada al nas dan metode filsafat
dalam beberapa karyanya, khususnya dalam karya kalamnya. Peran inilah yang
dimainkan al Razi dalam memahami dan menjelaskan pemikiran Arab yang ada
pada saat itu, yang tampak dalam beberapa karyanya.
Secara sederhana, dapat disampaikan bahwa metodologi yang
dibangun al Razi dalam menjelaskan pemikirannya itu, untuk istilah sekarang
ini, seperti telah disebutkan diatas lebih tepat jika disebutkan dengan
menggunakan istilah manhaj al fikr atau framework. Rumusan manhaj al fikr
ini berkaitan erat dengan keberadaan ilmu, ide, gagasan seseorang tentang
sesuatu tema. Dengan ungkapan lain, bahwa kualitas ilmu yang benar, cara yang
benar, sumber ilmu yang benar, pemikiran yang benar, manfaat yang benar
merupakan karakter dan konstruk framework atau manhaj al fikr Islami. Itulah

9
Jarman Arroisi, Disertasi Teori Jiwa Perspektif Fakhr al Din al Razi (Studi Model
Pemikiran Psikologi Islam, UIN Sunan Ampel, Surabaya, 2016, hlm. 61

9
manhaj al fikr yang digunakan oleh para ulama terdahulu termasuk metodologi
al Razi yang berhasil diteropong oleh beberapa peneliti.
C. Konsep Tuhan Menurut Fakhr al Din al Razi
Dalam Islam disebutkan bahwa ajaran dasar Islam adalah percaya
kepada kemahaesaan Tuhan (Tauhid). Tuhan dalam Islam adalah al Maujud ala
Wajib al Wujud. Tuhan adalah yang mewujudkan segala sesuatu yang tampak
dan yang tidak tampak. Pembahasan mengenai segala sesuatu yang tampak dan
yang tidak tampak ini dalam Islam disebut sebagai metafisika Islam. Metafisika
Islam sebagaimana dipahami dan diyakini al Attas adalah sintesis dari ide-ide
dan teori-teori yang secara tradisional dianut oleh para mutakalimun, hukama’
dan shufiyah. Sehingga dengan demikian apa yang diimani oleh umat Islam
mencakup sesuatu yang tampak seperti realitas alam beserta isinya dan juga
suatu yang tidak tampak atau al ghaibiyat termasuk di dalamnya adalah Tuhan,
yang mengadakan alam itu sendiri dan tiada menjadi ada. Tuhan dalam
pandangan Islam adalah Maha Pengasih dan Penyayang yang menghidupkan,
memelihara dan mematikan. Dia sebagaimana yang difirmankan Allah sendiri,
“.........Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku”. Keberadaan
Tuhan yang seperti itu telah jelas digambarkan dalam beberapa ayat Nya.
Konsep Tuhan dalam Islam merupakan konsep dasar. Dari konsep
tersebut lahirlah konsep-konsep lain dalam Islam atau Islamic Worldview seperti
konsep wahyu, kenabian, penciptaan, alam, manusia, nilai, kehidupan,
kebahagiaan dan lain sebagainya. Masing-masing konsep tersebut satu sama lain
selalu saling terkait dan tidak bisa dipisahkan. Konsep tersebut tidak berdiri
sendiri dan tidak terpisah, tetapi selalu teratur dalam suatu sistem atau sistem-
sistem. Begitu sentralnya konsep Tuhan dalam Islam, maka pembahasan
mengenai agama apapun tidak bisa lepas dari konsep Tuhan.
Dalam Islam Tuhan adalah al Haqq. Itulah sebabnya al Razi
mengatakan bahwa Tuhan dalam Islam adalah Tuhan yang mutlak, Maha
Sempurna dan berbeda sama sekali dengan ciptaan Nya. Bagi al Razi lafadz
Allah (Tuhan) berasal dari kata al Illah. Lafadz tersebut terdiri dari enam huruf,
namun ketika kata illah diganti dengan kata Allah, maka tinggal empay huruf
yaitu hamzah, dua lam, dan ha’ sehingga lengkap menjadi kata Allah. Al Razi

10
menyatakan jika lafadz Allah yang tersusun dari empat huruf tersebut
dihilangkan huruf pertamanya yaitu huruf alif, maka tinggal tiga huruf. Tiga
huruf itu memiliki makna symbol, alam semesta, wujud, yang mencakup alam
nyata (dunya) dan langit (ghaib) di atas cakrawala bintang gemilang, alam kubur
(barzakh) dan surga, akhirat. Huruf pertama alif, merupakan sumber segala
sesuatu dan huruf kedua ha’ merupakan sifat Allah yang paling sempurna, Yang
Maha Suci dari semua sekutu.10
Jadi, jika dilihat dari sisi makna simbol yang terekam pada lafadz
Allah, maka semua huruf tersebut memiliki makna yang saling terkait dengan
yang lain. Lafadz tersebut menggambarkan betapa Maha Sempurnanya Allah.
Allah adalah yang memelihara, menjaga dan mengendalikan alam nyata tentu
tidak dapat lepas dari pemeliharaan dan pengendalian Nya. Sebab itu, seperti
misi awal diciptakannya manusia, ia telah memilki tugas dan tanggung jawab
memakmurkan bumi beserta isinya sesuai dengan kehendak Nya. Dalam
menjalankan tugas kekhalifannya itu, manusia tidak bisa lepas dari kehendak
Tuhan, apalagi kalau sampai memisahkan diri dengan Tuhan Nya. Dengan
uraian konsep Tuhan seperti yang telah disampaikan al Razi tersebut, telah jelas
bahwa manusia sebagai ciptaan Nya niscaya membutuhkan keterlibatan Tuhan
dalam segala perbuatannya, Tuhan dalam pandangan Islam selalu hadir bersama
dan mengawasi segala tindakan manusia.
Di dalam konsep pemikiran filsafat, ditemukan konsep-konsep yang
memberikan penamaan kepada Zat yang transenden dengan sebutan yang
bermacam-macam. Zat yang transenden ada yang menamakan ultimate reality,
absolut being, mecessary being, supreme being, infinite reality yang semuanya
diidentikkan dengan “Tuhan”. Plato mengidentikkan Tuhan dengan The Idea of
Good, Aristoteles menyebutnya dengan Prima Clausa dan Unmoved Mover,
Plotinus mengajukan konsep “The One”, kaum Stoa menyatakan bahwa Tuhan
adalah “Logos” atau sesuatu yang sifatnya intelek. Tuhan dalam konsepsi Plato
bukanlah pencipta alam dari tiada menjadi ada. Menurutnya Tuhan hanya
menyusunnya dari materi yang telah ada. Materi itu adalah empat elemen : air,

10
Jarman Arroisi, Disertasi Teori Jiwa Perspektif Fakhr al Din al Razi (Studi Model
Pemikiran Psikologi Islam...........hlm. 74

11
udara, tanah dan api. Tetapi yang dibuat Tuhan pertama-tama adalah jiwa,
kemudian bodi atau benda jasmani. Istilah-istilah yang diberikan tersebut, terkait
dengan karakteristik-karakteristik Tuhan dalam pemikiran mereka.
Konsep Tuhan Aristotle yang terkenal dengan nama unmoved
mover diciptakan dari teori fisika. Teorinya yang terkenal itu menyatakan bahwa
Tuhan adalah aktualitas murni dan tidak mengalami perubahan sedikitpun.
Namun, aktualitas ini eksis tanpa memiliki potensial dan konekuensinya Tuhan
seperti ini tidak mempunyai kekuatan sedikit pun. Masalahnya adalah bahwa
Aristotle mengidentifikasi unmoved mover dengan aktualitas sempurna, tetapi
argumentasinya tidak menggambarkan alur dari wujud yang tidak sempurna
menjadi wujud yang sempurna. 11
Lebih lanjut, Aristoteles menegaskan adanya 4 kausa utama dalam
pergerakan di alam, yaitu, material, formal, efficient, dan final cause.12 Materi
atau bahan dasar merupakan asal dari segala alam semesta ini. Ia diolah oleh
tukang dengan bentuk yang diinginkan, dan dengan suatu tujuan tertentu. Segala
sesuatu diproses dari bahan yang sudah ada sebelumnya. Aristotelian seakan
ingin menunjukkan bahwa sebelum benda atau alam semesta itu ada, sudah ada
penyusun dan bahan dasar alam. Karena itu alam sebagaimana benda lainnya,
merupakan akibat dari adanya sebab, sebab sendiri merupakan akibat dari sebab-
sebab lain yang mendahuluinya. Akhirnya ide ini berakhir dengan adanya apa
yang disebut unmoved mover sebagai prima kausa.
Tuhan yang menurut Aristotle disebut sebagai unmoved mover
(penggerak yang tidak bergerak), itu karena dialam ini menurutnya ada sesuatu
yang hanya dapat digerakkan dan ada yang sekaligus bergerak dan digerakkan.
Adapun segala sesuatu yang digerakkan adalah digerakkan oleh sesuatu yang
lain, namun ini tidak mungkin berlangsung terus menerus. Disana harus ada
penggerak yang tidak digerakkan oleh yang lain. Artinya ia menggerakkan
sesuatu tanpa dirinya bergerak yaitu penggerak yang tidak bergerak atau Tuhan.
Tuhan menurut Aristotle hanya berhubungan dengan dirinya sendiri. Ia tidak

11
Hamid Fahmi Zarkasyi, “The Nature of God in Aristotle’s Natural Teology”, Tsaqafah
Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan Islam, Volume 4, No. 1, Zulqa’dah 1428, hlm. 40
12
Samuel Enoch Stumpf, Socrates to Sartre: A History of Philosophy, (New York: Hill
Book Company, 1982), hlm. 90.

12
berhubungan dengan alam, ia bukan persona, ia tidak memperhatikan do’a dan
keinginan manusia. Pada pemikiran Aristotle ini terlihat konsep Tuhan yang
hanya dicapai dengan akal. 13
Dengan memperhatikan hal-hal diatas, maka dapat dijelaskan disini
bahwa konsep Tuhan yang lahir dari konstruk akal manusia itu hanyalah
melahirkan permasalahan baru yang tidak menyelesaikan permasalahan yang
sesungguhnya. Sehingga Tuhan dalam pemikiran mereka bukanlah Tuhan yang
mampu memberikan bimbingan, dan arahan yang baik dan buruk, memberikan
rezeki dan mengambilnya tetapi sekedar sebuah ide yang hadir dalam
pemikirannya.
Dan konsep Tuhan seperti itulah yang kemudian hari diikuti oleh
beberapa filsuf Muslim dalam menerangkan wujud Tuhan seperti yang
dikemukakan oleh para filsuf Muslim aliran peripatetik, sebut saja salah satunya
Ibnu Sina yang kemudian mengemukakan konsep emanasi, teori yang bersikutan
dengan teori penciptaan alam semesta yang dikemukakan oleh Fakhr al Din al
Razi. Dalam perspektif Ibnu Sina, Prima Kausa adalah Tuhan yang Wajib al-
Wujud. 14 Sekilas Ibnu Sina tampaknya telah mengasimilasi ide Aristotelian
tersebut, khususnya tentang efficient cause. Salah satu yang membedakan
pendapat keduanya terletak pada pendapat Ibnu Sina yang lebih memilih untuk
mengklasifikasikan kausa ke dalam 2 poin: Kausa Esensi (‘Illat al-Mahiyyah)
dan Kausa Ontologi (‘Illat al-Wujud). Kausa Esensi menunjukkan hakikat segala
sesuatu yang tersusun dari material dan formal cause.
Adapun yang dimaksud dengan Kausa Ontologi adalah sebab yang
membawa segala sesuatu ke dalam eksistensi empiris di mana ia terdiri dari
efficient dan final cause. Klasifikasi dalam esensi dan ontologi ini kemudian ia
jadikan argumen dalam kasus wujud. Artinya, inti argumentasi Ibnu Sina tentang
eksistensi Tuhan terletak pada konsepsi Wajib al-Wujud. Al-Mawjud yang
membutuhkan usaha untuk meraih kesempurnaan tidak mungkin dikategorikan
sebagai Wajib al-Wujud. Segala sesuatu yang berkaitan dengan selain Wajib al-

13
Ahmad Taisir, Filsafat Umum : Akal dan Hati sejak Thales sampai James, cetakan VI,
(Bandung : Remaja Rosdakarya, 1998), hlm. 52
14
Ibnu Sina, Kitab al-Najat, Edited by Majid Fakhry, (Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah,
T.Th.), hlm. 261

13
Wujud sama sekali tidak bisa dihubungkan dengan upaya mencapai
kesempurnaan, baik dalam segi esensi ataupun eksistensi. Oleh karena itu, selain
yang Wajib al-Wujud, menurut Ibnu Sina adalah mumkin al-wujud. Mumkin al-
wujud adalah semua selain Tuhan.15 Setiap yang mumkin al-wujud butuh dan
selalu bergantung kepada mawjud lain dari dimensi zat, sifat hakiki, dan
kesempurnaan. Mumkin al-wujud tidaklah sempurna, lemah, dan selalu berada
dalam bayang-bayang Wajib al-Wujud. Oleh karena itu, sangat mustahil bagi
Tuhan melakukan sesuatu disebabkan oleh maujud maujud yang rendah seperti
manusia.
Tuhan itu sempurna, Dia adalah Penyebab dari alam semesta ini,
karenanya, Tuhan tidak bisa disamakan dengan materi lain di alam (lahiya Huwa,
wa la hiya ghairuhu).16 Sebab, wujud dengan substansi-Nya tidak terpisahkan.
Ibnu Sina seakan ingin mengutarakan bahwa Tuhan itu unik. Dia adalah ke-
maujud-an yang mutlak. Segala sesuatu bergantung kepada-Nya. Dia adalah
Penyebab Pertama dari segalanya, sudah tentu Dia harus Esa. Keesaan Tuhan
mencakup segala sesuatu yang berkaitan denganNya. Sebagai Kausa Pertama
tentunya Tuhan juga merupakan Penggerak Pertama alam ini.
Tuhan memainkan peran-Nya sebagai Mover, dimulai dengan
ta’aqqul dalam hierarki emanasi. Pertanyaannya adalah bagaimana mungkin
proses emanasi alam dimulai hanya dengan sebatas adanya pemikiran Tuhan?
Ibnu Sina menjawab bahwa di dalam Wujud Tuhan yang sempurna,
“pengetahuan” identik dengan “penciptaan” dan tidak ada jarak di antaranya.
Proses penggerakan alam oleh Tuhan sifatnya unik, sebab Tuhan tidak perlu
untuk bergerak guna menggerakkan segala sesuatu. Dia cukup dengan
beremanasi. Alasannya, setiap gerakan mengandung perpindahan, jarak dan
waktu, sehingga tidak mungkin bagi Tuhan untuk terbatas oleh itu semua. Proses
ta’aqqul Tuhan merupakan gerakan pertama yang terjadi di alam ini, walaupun
hal itu bukanlah gerakan sebagaimana dipahami manusia. Oleh karena itu, Ibnu
Sina mendefinisikan Tuhan sebagai “Sebuah Eksistensi yang benarbenar Ada,

15
Imron Mustofa, Kritik Fakhruddin al Razi terhadap Emanasi Ibnu Sina, (Kalimah Jurnal
Studi Agama dan Pemikiran Islam, Vol. 13, No. 2 : UNIDA Gontor : September 2015), hlm. 314
16
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2012), 76.

14
Dia tidak mungkin tidak ada untuk selama-lamanya, bahkan Dia akan selalu
ada.” 17 Definisi ini ia bangun dengan meminjam argumentasi kausalitas dan
penggerak yang tidak bergeraknya Aristoteles. Walaupun demikian, Ibnu Sina
jelas membedakan antara penyebab fisik dan metafisik, poin inilah yang
dilewatkan atau dikaburkan oleh Aristoteles.18 Ibnu Sina menilai bahwa sebab
dari ketidakadaan segala sesuatu adalah tidak adanya wujud segala sesuatu itu.
Adapun eksistensi, merupakan akibat dari yang mengadakannya. 19 Artinya,
adanya sesuatu diawali dengan adanya penyebab ia ada, tidak adanya sesuatu
didahului dengan tidak adanya sesuatu itu sendiri.
Fakhruddin al-Razi mengkritik model interpretasi seperti ini.
Menurutnya, gaya berpikir Ibnu Sina setidaknya akan membawa kepada sekian
permasalahan. Di antaranya, pandangan bahwa alam tidak bermula, kekal, dan
Tuhan tidak mempunyai sifat, serta hukum alam tidak berubah. Kegeraman al-
Razi ia tumpahkan dalam karyanya Syarh ‘Uyun al-Hikmah. Di situ ia
berpendapat bahwa yang qadim hanyalah Allah semata. Sebab, jika ada yang
selain-Nya maka ia akan melahirkan adanya banyak hal yang qadim, dan secara
tidak langsung ia ingin mengatakan bahwa alam yang qadim tidaklah
memerlukan Pencipta alias pengingkaran pada Tuhan sebagai al-Khaliq.
Pertentangan antara Ibnu Sina dan Fakhruddin al-Razi dimulai dari
perselisihan mereka tentang sifat Tuhan. Ibnu Sina menganggap bahwa Tuhan
tidak memiliki sifat. Sebab, sifat merupakan ciri bagi makhluk. Karenanya,
mengatakan Tuhan memiliki sifat sama artinya dengan menyamakan Tuhan
dengan ciptaan-Nya. Pandangan inilah yang ia maksud dengan tanzih.
Perjalanan tanzih dalam prosesnya ternyata tidak mulus tanpa rintangan.
Terutama semenjak ia dimaknai sebagai peniadaan segala sifat bagi Allah. Salah
satu rintangan tersebut adalah timbulnya hal yang mempertanyakan ataupun
mempertentangkan konsepsi ini, seperti : “Bagaimanakah alam ini ada?”,
“Bagaimana pula hubungan dan peran Tuhan dengan alam?”, dan sebagainya.

17
Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hlm.
122-123.
18
Imron Mustofa, Kritik Fakhruddin al Razi terhadap Emanasi Ibnu Sina............hlm. 315
19
Imron Mustofa, Kritik Fakhruddin al Razi terhadap Emanasi Ibnu Sina............hlm. 316

15
Fakhruddin al-Razi secara tegas mengkritik pendapat konsep Tuhan yang
dikemukakan oleh Ibnu Sina. Meskipun dalam beberapa hal ia juga sependapat
dengannya. Al-Razi memulai dengan memberikan penekanan bahwa segala
yang dapat dipersepsi akal manusia jauh berbeda dengan Tuhan. Sebab, tidak
ada satupun yang menyerupai-Nya, dalam artian bahwa Allah mutlak, dan sama
sekali berbeda dengan esensi dan eksistensi makhluk, namun tidak menutup
kemungkinan adanya kemiripan dalam sifat. 20 Pernyataan ini dapat ditarik ke
dalam dua konotasi. Pertama, Fakhruddin al-Razi sepakat dengan Ibnu Sina
dalam tanzih Tuhan dari segala makhluk-Nya. Bagi kedua tokoh tersebut, Tuhan
tidaklah sama dengan segala sesuatu yang tidak Esa. Kedua, jika Ibnu Sina
menolak adanya kemiripan antara Tuhan dengan selain Nya, maka al-Razi tidak
mengingkari kemungkinan adanya kemiripan tersebut, selama masih dalam
wilayah sifat. Poin ini sekaligus menjadi poin pemisah keduanya. Sebab, bagi
al-Razi kemiripan tersebut hanyalah sebuah al-isytirak al-lafzi. Ia tidak
bermakna tandingan, namun lebih merupakan cerminan dari keMaha Esaan
Tuhan dengan segala Sifat-Nya.
Dalam pandangan al-Razi, Allah memiliki sifat. Namun, sifatsifat
tersebut tidaklah sama dengan makhluk. Seperti halnya dalam memaknai “Allah
al-Samad,” ia memaknainya bahwa Allah tidak membutuhkan selain-Nya.
Sebab, jika Allah membutuhkan selainNya, maka Dia itu murakkab, dan setiap
yang murakkab selalu membutuhkan bantuan dari lainnya. Lafal “Allah al-
Samad” di sini juga telah menegaskan peniadaan jismiyyah, tempat, dan arah.
Dalam menafsirkan ayat-ayat semacam ini, al-Razi berpegang dengan prinsip
tanzih. Ayat-ayat tersebut saling memperkuat satu sama lainnya. Ia juga
mempunyai makna muhkamat dalam menggambarkan perbedaan Tuhan dengan
makhluk. Karenanya, kedudukan ayat semacam ini tidak dapat diganggu gugat
dengan berbagai macam ta’wil. Itulah arti pentingnya tanzih sifat Tuhan dalam
pandangan al-Razi.
Argumentasinya adalah sebagai berikut; pertama, Tuhan tidak
memiliki tandingan, persamaan, ataupun penyerupaan. Dia tidak boleh
dikelompok-kelompokkan sebagaimana klasifikasi dalam ilmu mantik. Namun

20
Imron Mustofa, Kritik Fakhruddin al Razi terhadap Emanasi Ibnu Sina............hlm. 316

16
jika ada persamaan dalam istilah-istilah sifat seperti ‘ilm, hayat, basar, dan
sebagainya, maka ini hanyalah persamaan dalam segi bahasa (al-isytirak al-lafzi).
Alasannya, persamaan dalam segi bahasa ataupun istilah tidak menunjukkan
adanya penyamaan dalam esensi ataupun eksistensi. Kedua, Ia menekankan
perbedaan mutlak sifat Allah dengan lain-Nya. Dalam arti bahwa tidak ada satu
aspek pun yang boleh disamakan antara Tuhan dengan ciptaan-Nya.
Ketiga, Tuhan juga tidak boleh dikatakan menempati ruang, sebab
ruang merupakan ciri jism. Poin terakhir ini tentunya berbeda dengan anggapan
bahwa Tuhan boleh ditunjuk dengan arah, Tuhan ada di atas, dan juga di bawah.
Sebab, pandangan ini akan berimplikasi pada satu dari dua hal; pertama,
anggapan bahwa Tuhan ada di dalam alam. Artinya Dia meruang dan mewaktu
yang akan memberikan pembenaran tentang terjadinya penyatuan Tuhan dengan
alam (hulul). Kedua; jika Tuhan terpisah dari alam, maka akan menafikan ayat
bahwa Tuhan lebih dekat daripada urat nadi manusia. Kedua pendapat ini, telah
dibantah oleh al-Razi dalam Mafatih al-Ghaib. Dengan ungkapan bahwa Tuhan
tidak mempunyai jism atau jawhar, karena bentuk tersebut bersifat pasif yang
menjadikan-Nya seperti ciptaan-Nya. Dengan menggambarkan bahwa Allah itu
mempunyai bentuk seperti penggambaran manusia atau setidaknya permisalan
makhluk dengan-Nya, maka hal tersebut bertentangan dengan ungkapan yang
menyatakan bahwa Allah itu berdiri sendiri. Maksudnya, pandangan seperti itu
akan berimplikasi pada pembatasan wilayah ketuhanan, dan secara bersamaan
menegaskan pengadaan sesuatu yang lebih dari Tuhan itu sendiri.21
Logika lainnya yang lebih spesifik ia kemukakan pada bagian penafsiran
Surah Thaha. Pertama, Allah ada tanpa permulaan sebelum menciptakan segala
sesuatu. Adapun setelah penciptaannya, Ia tetap tidak membutuhkan ciptaan-
Nya. Artinya, Allah Azali dengan segala sifat-sifat-Nya, Dia tidak berubah.
Tentunya hal ini tidak berlaku bagi mereka yang berkeyakinan bahwa Tuhan
sama Azalinya dengan ciptaan-Nya. Kedua, jikalau duduk-Nya Allah di ‘arsy
dimisalkan dengan duduknya manusia, maka dapat dipastikan bahwa ada
sebagian Zat Allah yang menyentuh ‘arsy itu. Padahal menurut logika, tidaklah

21
Al Imran Imam Santoso, Skripsi Tauhid Menurut Fakhr al Din al Razi dalam Mafatih al
Ghaib, (UIN Syarif Hidayatullah : Jakarta : 2017), hlm. 52

17
mungkin zat yang berada di bagian kanan ‘arsy sama dengan kiri. Karena, secara
empiris makhluk memang murakkab, dan setiap yang murakkab pastilah
membutuhkan zat lain yang menyusunnya. Oleh sebab itu, hal ini tidaklah
mungkin berlaku bagi Allah.
Ketiga, sesuatu yang duduk pastilah ia bergerak ataupun diam. Jika bergerak,
maka ‘arsy adalah tempat berpindah. Jika diam, maka bisa dikatakan bahwa
yang duduk dengan terdiam terus-menerus sama seperti orang lumpuh total atau
terikat, atau bahkan lebih buruk lagi. Sebab, orang lumpuh pun masih mampu
setidaknya menggerakkan kelopak matanya. Sementara, menurut keyakinan
tersebut Tuhan diam saja di atas ‘arsy.29 Keempat, jika Tuhan menempati ruang
berarti Dia berada dalam dua pilihan: baik berada di semua tempat, ataupun
hanya pada suatu tempat khusus saja. Jika pilihannya yang pertama, konsekuensi
logis yang lahir darinya adalah Tuhan bisa saja berada dalam tempat-tempat najis
dan menjijikkan. Hal yang demikian ini, jelas tidak akan diungkapkan oleh
seorang yang memiliki akal sehat. Jika sebaliknya, berarti Tuhan membutuhkan
hal lain yang menjadikanNya berada khusus pada suatu tempat tertentu.
Sehingga akan menimbulkan pertanyaan lainnya, apakah sesuatu yang mampu
menjadikan Tuhan untuk tetap di suatu tempat saja? Atau adakah sesuatu hal
yang dapat menampung Tuhan?
Dari pemaparan di atas, tampaknya perbedaan persepsi tentang Tuhan
antara Ibnu Sina dan al-Razi dimulai dari perspektif keduanya tentang sifat.
Untuk memfokuskan pendapat al Razi dalam konsep Tuhan, maka akan penulis
fokuskan menjadi dua titik atau pokok pembahasan yaitu :
1. Teori Gerak (Kausalitas)
Teori gerak al Razi, bisa dikatakan sebagai bentuk kritikan terhadap teori
Ibnu Sina mengenai emanasi. Tuhan sebagai Prima Kausa tidak ditolak oleh
al-Razi, namun lain halnya dengan ungkapan alam ada bersamaan dengan
Tuhan. Dalam menanggapi hal ini, al-Razi menyebutkan adanya faktor yang
terlupakan oleh Ibnu Sina, yaitu, iradah Tuhan dalam menentukan waktu
yang tepat untuk menciptakan alam. Logikanya al-Razi menilai bahwa
kausalitas Ibnu Sina telah menafikan kemungkinan adanya perubahan di
alam. Sebab sebagaimana dikemukakan Ibnu Sina, bahwa kausa yang sama

18
akan selalu melahirkan akibat yang sama. Padahal sebagaimana yang terjadi,
perubahan di alam tetaplah terus menerus terjadi.22 Sebagaimana terjadinya
segala kejadian dengan sebab yang berbeda-beda, namun berakibat sama
ataupun sebaliknya. Jika seandainya hal ini diterima, maka ia akan tetap
melahirkan sebuah penjelasan yang absurd tentang konsep “sebab awal
tanpa penyebab lain.” 23 Sebab, merupakan suatu kemustahilan dalam
perspektif Ibnu Sina, bagi Yang Maha Esa untuk berinteraksi dengan yang
tidak Esa.24 Padahal, ia sendiri menyatakan bahwa bumi ini terlahir dari akal
yang kesepuluh. Artinya, proses kelahiran alam adalah melalui media-media
dalam hierarki emanasinya. Lebih lanjut, akan terjadi penafian sifat
berkehendak Allah, yang secara tidak langsung akan mengerucut kepada
pernyataan bahwa Allah bukanlah Sang Pencipta. Hal ini bertolak belakang
dengan statemen Ibnu Sina sendiri:
“Meskipun kami tidak mengatakan bahwa Tuhan adalah yang
berkehendak atas kebermulaan alam, dan bahwa alam semesta memiliki
awal dalam kalkulasi rangkaian waktu, kami pun mengatakan bahwa alam
semesta adalah karya Nya, dan bahwa alam berasal dari-Nya. Namun, yang
ingin kami katakan ialah bahwa Dia masih tetap mempunyai sifat yang
dimiliki oleh para pelaku. Maka Dia masih tetap merupakan seorang pelaku
(fa’il). Tetapi di luar semua ini, kami tidak sepakat dengan yang lain. Sejauh
pertanyaan fundamental ‘apakah merupakan karya Tuhan’ diperhatikan,
mutlak tak ada perbedaan pendapat. Apabila telah disepakati bahwa seorang
pelaku harus mengetahui pekerjaannya, maka semuanya –menurut
keyakinan kami- berasal dari karya-Nya.”
Dalam teori atomnya sendiri al-Razi menolak kekekalan alam. Ia
menambahkan bahwa alam adalah sekumpulan jawhar dan aksiden-aksiden
yang membentuk suatu jism. Keberadaan atom tidak dapat bertahan lebih
dari sesaat, karenanya atom selalu ada dan lenyap. Sederhananya, bahwa
terwujudnya sesuatu di dunia ini karena adanya kekuasaan Tuhan. Di sini

22
Irwan Malik Marpaung, Melihat Sekilas Imam Fakhr al Din al Razi, (Jurnal Kalimah
Vol. 12, No. 1 : ISID Gontor : Maret 2014), hlm. 162
23
Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, (Kairo: Dar al-Ma’arif, T.Th.), hlm. 88-89
24
Sirajuddin Zar, Filsafat…, hlm. 76

19
Tuhan selalu mencipta. Segala makhluk-Nya mempunyai ukuran dan
aturannya masing-masing. Dalam artian, bahwa pada hakikatnya jism itu
berasal dari sekumpulan atom yang tak terbagi lagi, yang berada pada ilmu
Tuhan dan kemudian ber-determinasi pada benda-benda, sehingga mewujud
secara nyata serta memiliki bagian-bagian. Kesemuanya tunduk atas
ketentuan Tuhan. Dengan kata lain, keberlangsungan alam secara mutlak
berada di tangan Tuhan.
Bagi al-Razi penggerak yang hanya diam tanpa bergerak merupakan
kondisi yang tidak seharusnya disematkan kepada Tuhan. Alasannya
meskipun tujuan awal dari konsep tersebut adalah tanzih, namun ia tampak
menempatkan Tuhan menjadi sesuatu yang begitu transenden, dan pada saat
bersamaan menjadi tidak mengetahui yang partikular dan memerlukan
media-media untuk mengatur alam. Lebih lanjut al-Razi menilai bahwa teori
gerak (kausalitas) Ibnu Sina telah menafikan kemungkinan adanya
perubahan di alam dan menempatkan alam sebagai kekal menemani
kekekalan Tuhan. Hal semacam ini secara tidak langsung menjadi
‘boomerang’ bagi tanzih itu sendiri.
2. Titik singularitas 25
al-Razi telah menekankan arti pentingnya kausalitas untuk
memahami fenomena alam, namun, tidak ada jaminan kalau kausalitas juga
berlaku bagi Tuhan. Sebab, kausalitas (sunnatullah) merupakan sebuah
sistem yang berfungsi menjaga keteraturan alam, tetapi ia tidak mutlak
sampaisampai menghalangi qudrah dan iradah Allah. Dengan kata lain,
segala sesuatu memang terjadi dengan sebabnya masing-masing, namun ada
faktor “X” yang memegang kendali kesemuanya itu. Faktor tersebut adalah
Tuhan dengan qudrah dan iradah-Nya. Oleh karena itu, tidak mustahil jika
dalam suatu ketika terjadi perkaraperkara yang secara logis bertentangan
dengan konsepsi kausalitas, seperti halnya mukjizat para nabi dan rasul.
Memutlakkan prinsip kausalitas, sama halnya dengan ingin menyamakan

25
Singularitas dalam istilah Ibnu Sina menunjuk pada titik awal terbentuknya ruangwaktu
atau singularitas. Sedangkan al-Razi memandangnya sebagai titik di mana Tuhan menciptakan
makhluk dari ketiadaan.

20
Tuhan dengan makhluk-Nya. Hal ini berarti membatasi qudrah Allah, yang
tentu saja sangat bertolak belakang dengan konsepsi keesaan-Nya. Salah
satu bentuk pembatasan tersebut adalah pernyataan bahwa emanasi adalah
konsekuensi logis dari proses ta’aqqul. Jika kehendak Tuhan menjadi
terbatas, maka itu sama artinya dengan mengatakan Tuhan tidak absolut.
Jika demikian, apakah Dia masih bisa disebut sebagai Tuhan?
Lebih lanjut, al-Razi menegaskan bahwa Tuhan dapat meniadakan
dan menciptakan dalam sekejap. Karena itu, tidak mungkin dunia ini
berjalan dengan teratur hanya karena mengikuti hukum-hukum fisika. Tidak
mungkin juga terjadi kesinambungan antara satu peristiwa dengan peristiwa
yang lainnya dengan bersandar kepada teori sebab akibat. Satu perbuatan
tidaklah secara pasti menyebabkan akibat tertentu.68 Singkatnya menurut al-
Razi, Tuhanlah yang menjadi Penyebab semua peristiwa dan fenomena fisik
dan terus menerus campur tangan di alam. Sebagaimana al Ghazali, al-Razi
lebih jauh menjelaskan bahwa secara umum dalam proses penciptaan alam
ini tergantung pada iradah Allah sebagai sebab dari penciptaan alam ini,
alias alam ini dari creation ex nihilo. Argumentasi bahwa emanasi
merupakan konsekuensi logis dari ta’aqqul, secara tidak langsung telah
menafikan Prima Kausa yang Ibnu Sina canangkan sendiri. Karena itu,
emanasi merupakan sebuah konsepsi yang kontradiktif. Di satu sisi Ibnu
Sina menyatakan Tuhan sebagai Prima Kausa, di lain pihak ia
memarginalkan qudrah dan iradah Tuhan itu sendiri.
Al-Razi memandang berbeda dengan bagaimana Ibnu Sina menilai.
Baginya, titik singularitas adalah titik di mana Tuhan menciptakan makhluk
dari ketiadaan.26 Dengan demikian, terjadi proses penciptaan semesta terus-
menerus (creatio continua). Dalam creatio continua ini, al-Razi
menjelaskan pendapatnya melalui teori jauhar (atom) dan ‘ard (aksiden).
Keduanya secara kontinyu mengalami serangkaian proses penciptaan,
penghancuran, ataupun pemusnahan. Ketika Tuhan menciptakan atom suatu
makhluk, Dia juga menciptakan bersamanya aksiden-aksiden yang
menegaskan wujud atom itu. Adapun saat atom-atom itu lenyap, Tuhan

26
Imron Mustofa, Kritik Fakhruddin al Razi terhadap Emanasi Ibnu Sina............hlm. 330

21
menggantinya dengan jenis yang sama, selama Tuhan menghendakinya
untuk tetap ada. Sehingga, kehendak Tuhan tetaplah menjadi faktor utama
dalam penciptaan dan keberlangsungan alam ini. Logika inilah yang
menurut penulis paling dekat dalam menjelaskan mukjizat. Jika Tuhan
menginginkan suatu mukjizat terjadi, maka Tuhan cukup secara serentak
menggantikannya dengan atom dan aksiden-aksiden penyusun benda
tersebut. Sebagaimana yang terjadi dari berubahnya tongkat menjadi ular
dan Nabi Ibrahim yang tidak terbakar. Dalam teori atom ini, alam
didefinisikan sebagai suatu hal yang tersusun dari kumpulan atom dan
aksiden-aksiden.27
Lebih jauh tentang apa dan bagaimana semesta itu sebelum hal itu
terjadi sebagaimana al-Ghazali, al-Razi juga berpendapat tidak ada
keharusan bagi logika untuk menyimpulkan alam semesta itu tidak bermula.
Karena itu, tidak mustahil bagi akal manusia untuk berpikir bahwa Tuhan
ada, dengan tanpa ada apapun bersama-Nya. Creatio ex nihilo oleh Tuhan,
ataupun adanya ketiadaan sebelum penciptaan alam bukanlah sesuatu yang
mustahil.
Mengenai pertanyaan tentang alasan yang memengaruhi Tuhan
dalam menciptakan alam, al-Razi menilai bahwa hal inilah inti dari
pandangan yang melahirkan emanasi Ibnu Sina. Bagi alRazi, kehendak
Tuhan tidak bisa dianalogikan dengan kehendak manusia. Kehendak Tuhan
tidak mengalami perubahan. Karena makna kehendak adalah pilihan, bukan
perubahan, karena itu, pilihan Tuhan tidak mengandung makna perubahan
pada iradah Nya. Adapun waktu yang dipilih Tuhan saat menciptakan
merupakan kehendak Tuhan secara mutlak. Singkatnya, al-Razi ingin
menegaskan bahwa sebelum diciptakannya sesuatu, sesuatu bukanlah suatu
secara esensi (a’yan), substansi (jawhar), ataupun aksiden (‘ard). Ia adalah
ma’dum dan belum menjadi sesuatu. Allah menjadikan ia wujud dari
sesuatu yang tidak ada (creatio ex nihilo). Dalam kaitannya dengan
kausalitas Aristoteles, al-Razi hanya menegaskan bahwa menyamakan
penciptaan alam dengan proses pembuatan suatu barang tidaklah sesuai.

27
Imron Mustofa, Kritik Fakhruddin al Razi terhadap Emanasi Ibnu Sina............hlm. 331

22
Sebab, Allah tidak bisa dibandingkan dengan manusia. Lagi pula dalam
dunia empiris, Allah tidak hanya menciptakan jism, tapi juga atom dan
aksiden dari setiap jism.
Kemudian bagi al-Razi makna yang sebenarnya dari tanzih di sini
adalah ketidakmungkinan ada suatu apapun yang memiliki sifat yang sama
persis ataupun lebih dari-Nya. Namun, apabila ditemukan sifat-sifat yang
terlihat identik dengan sifat-sifat Tuhan, itu hanyalah sebatas persamaan
dalam wilayah bahasa (al-isytirak al-lafzi).
Menurut al-Razi mengagungkan Tuhan dengan mengatakan Dia
menggunakan perantara tidaklah benar. Sebab, adanya penghubung antara
Tuhan dan makhluk, tidak berarti secara otomatis menunjukkan Tuhan tidak
berinteraksi secara langsung dengan makhluk-Nya. Sebab, semua yang
dilakukan makhluk, termasuk malaikat pun tetap dalam kendali Tuhan.
Artinya, faktor di balik tindakan Tuhan adalah “apa” dan “karena”
kehendak-Nya sendiri. Implementasi dari “karena kehendak-Nya” inilah
28
yang kelak dikenal dengan istilah occasionalisme. Implikasi
occasionalisme ini adalah segala sesuatu dan peristiwa di alam secara
substansial bersifat tidak terkait dan saling terpisah. Tidak ada kaitan antara
satu peristiwa dengan peristiwa lain, kecuali melalui kehendak Tuhan.
Dalam perspektif kewenangan Tuhan ini, bila peristiwa “A” terkait atau
berhubungan dengan peristiwa “B,” hubungan ini tidak terjadi secara
alamiah, tapi karena Tuhan menghendaki demikian. Dengan begitu,
occasionalisme menyangkal kausalitas ala Ibnu Sina. Occasionalime ini
barangkali jika ditarik ke dalam bahasa al-Ghazali adalah apa yang ia sebut
sebagai al-sababiyyah atau talazum al-‘aqli dalam istilah al-Razi. Kedua hal
ini tidak sama seperti kausalitasnya Ibnu Sina. Sebab, selain mengakui
sebab-akibat tetap menyatakan bahwa sebab penentu dalam segala yang ada
adalah Tuhan dengan qudrah dan iradah-Nya. Dengan kata lain, al-Razi
menegaskan bahwa Tuhan dapat menciptakan segala sesuatu dari tanpa

28
Occasionalisme adalah sebuah keyakinan bahwa Tuhan Maha Kuasa dalam
kesendirian-Nya atas segala sesuatu, Ia berperan langsung dalam penciptaan semesta dan segala
peristiwa di dalamnya. Adapun alam ini sebagai manifestasi lahiriah kesempatanNya (occasion).

23
adanya media (ibtida’an). 29 Singkat kata, titik singularitas dalam istilah
Ibnu Sina menunjuk pada titik awal terbentuknya ruang-waktu atau
singularitas. Sedangkan al-Razi memandangnya sebagai titik di mana
Tuhan menciptakan makhluk dari ketiadaan.
D. Teori Jiwa Menurut Fakhr al Din al Razi
Berikut ini beberapa ulasan mengenai teori jiwa dalam perspektif Fakhr al
Din al Razi :
Pertama, secara ontologis esensi jiwa perspektif al-Razi merupakan suatu
yang berbeda dari badan, terpisah secara esensial dan terpengaruh dengannya
secara pengaturan dan instruksi. Semua anggota badan adalah alat bagi jiwa, jiwa
melihat dengan mata, mendengar dengan telinga, berbicara dengan mulut,
merasakan dengan lidah, mencium dengan hidung, berfikir dengan akal, dan
seterusnya. Sebab itu, jika jiwa bersih, sehat dan kuat maka akan mengalir dari
padanya perilaku baik, bisa membawa pada kehidupan yang tenang dan bahagia.
Tetapi sebaliknya, jika jiwa kotor, maka akan melahirkan perilaku negatif bahkan
bisa mengarah pada penyakit jiwa; tamak, bakhil, ujub, kufur, dosa besar, iri
dengki, dan sejenisnya yang bisa mengakibatkan pada kesengsaraan hidup.
Dengan kata lain, bahwa esensi jiwa al-Razi merupakan disiplin keilmuan yang
memusatkan kajiannya pada jiwa melalui pengamatan terhadap gejala-gejala yang
tampak pada perilaku berasaskan pada ajaran Islam bersumberkan pada al Qur’an
dan al-Hadith serta tradisi intelektual, yang tidak sekedar menekankan aspek
empiris saja, tetapi juga mengedepankan aspek non empiris-metafisis dengan
penguatan kegiatan spiritual Islam.
Esensi jiwa al-Razi yang seperti ini parallel dengan hembusan arus
argumentasi psikologi yang diusung oleh sebagian psikolog Muslim akhir-akhir
ini, yang menyatakan bahwa kajian yang membahas tentang perilaku yang
berasaskan pada ajaran Islam itu, disebut sebagai psikologi Islam atau ilmu al-
nafs. al-Islami (Arab), Islamic Psychology (Inggris), yang oleh al-Razi sendiri
disebut sebagai ilmu al-akhlaq.

29
Jarman Arroisi, Disertasi Teori Jiwa Perspektif Fakhr al Din al Razi (Studi Model
Pemikiran Psikologi Islam...........hlm. 311

24
Kendati demikian bukan berarti pemikiran jiwa al-Razi yang seperti itu
sempurna tanpa kekurangan. Sebagai manusia biasa, al-Razi juga tidak luput dari
kekurangan. Kekurangan itu misalnya bisa dilihat dari pernyataannya yang
semula menyatakan bahwa perilaku itu tidak bisa dirubah karena ia berasal dari
watak dan karakter seseorang. Tetapi pada karya terakhirnya ia mengatakan
bahwa tindakan itu bisa diperbaiki dengan pendidikan dan pelatihan, Artinya,
kematangan pemikiran al-Razi seiring dengan bertambahnya usianya.
Kedua, untuk menjelaskan esensi jiwa tersebut, al-Razi menggunakan
beberapa metode di antaranya metode al-naql (wahyu) dan al-‘aql (akal) serta
doktrin al-salaf al-salih} dan rasional secara bersamaan. Menurut al-Razi, al-
Qur’an telah memberikan informasi yang cukup untuk mengkaji manusia baik
secara fisik maupun psikis, sebab jiwa manusia pada awal diciptakannya telah
sempurnan.
Kendati demikian, ia belum memiliki pengetahuan, tetapi siap menerima
informasi. Untuk mendapatkan informasi dan pengetahuan, Allah memberikan
kepada manusia ilham kebaikan dan keburukan. Di sinilah akal manusia berperan
memilih dan memilah yang baik dan yang buruk. Artinya dengan akal yang
diberikan Tuhan kepadanya manusia bisa memutuskan untuk mengambil yang
terbaik. Tanpa akal sulit manusia memilih dua di antara satu. Dengan penjelasan
seperti itu, al-Razi tidak saja mampu menggunakan bukti, bahwa wahyu bisa
digunakan sebagai rujukan utama dalam menjelaskan jiwa manusia, yang
kemudian ia gunakan akal untuk menjelaskan informasi yang ada di dalamnya,
tetapi juga berhasil menggunakan metode integrasi antara doktrin al-salaf al-salih}
dengan rasional. Metode integrasi ini misalnya dapat dilihat bagaimana ia
menjelaskan bahwa jiwa bukan saja sebagai substansi yang berbeda dengan badan,
tetapi juga substansi yang tidak berdimensi. Karena masalah jiwa adalah urusan
Tuhan maka hakikat yang sesungguhnya yang mengetahui hanya Tuhan semata.
Inilah sikap ahl al-salaf dalam menjelaskan hal-hal yang bersifat immaterial yang
juga dipegang kuat oleh al-Razi.
Meskipun demikian, dengan akal al-Razi dapat menjelaskan substansi jiwa
yang immaterial itu secara rasional. Artinya, kendati hakikat jiwa tidak bisa dilihat
secara substansial, tetapi ia dapat diamati dari gejala-gejala yang tampak pada

25
perilakunya. Selain menggunakan kedua metode tersebut, al-Razi juga
menggunakan metode lain seperti jaringan konsep dalam al-Qur’an dan
interdisipliner keilmuan. Dengan menggunakaan beberapa metode tersebut, dapat
disampaikan bahwa bangunan esensi jiwa al-Razi yang seperti itu dapat disebut
sebagai “bangunan teori jiwa usuli ijtihadi” atau dengan kata lain sebagai
“bangunan psikologi usuli ijtihadi”.
Ketiga, dengan memperhatikan bahwa esensi jiwa al-Razi parallel dengan
psikologi Islam, maka apa yang dilakukannya dalam mengkonstruk esensi jiwa
seperti itu berkontribusi dalam mendorong hadirnya psikologi yang bernafaskan
ajaran Islam pada saat ini. Karakteristik pemikiran psikologi Islam al-Razi terletak
pada penekanannya terhadap terapi penyakit jiwa, hadirnya jiwa yang bersih,
sehat, kuat, bermartabat, tenang, dan selalu berusaha mewujudkan tercapainya
kebahagiaan yang tertinggi yaitu ma’rifatullah. Dengan kata lain, secara
aksiologis melalui bangunan esensi jiwa yang seperti itu, al-Razi mampu
mengintegrasikan antara filsafat Ibn Sina tentang esensi jiwanya dengan tasawuf
al-Ghazali tentang ma’rifatnya. Kemampuan al-Razi dalam mengintegrasikan
filsafat Ibn Sina dengan tasawuf al-Ghazali dalam teori jiwanya ini merupakan
salah satu kontribusi al-Razi dalam pengembangan ilmu pengetahuan pada saat
itu yang belum pernah diungkap oleh para peneliti sebelumnya. Kontribusi teori
jiwa al-Razi dalam pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam psikologi
Islam itu tidak saja ditunjukan melalui beberapa karyanya yang tersebar di
beberapa tempat, yang kemudian menjadi referensi penting dalam pengembangan
pengetahuan Islam setelahnya, tetapi juga dipraktikan melalui bimbingan dan
penyuluhan dalam sebuah majlis al-‘Ilm. Ketika mengurai problem psikologi, al-
Razi mampu menyampaikannya secara baik hingga menggugah perasaan dan
membuat orang yang hadir di dalamnya menangis.

KESIMPULAN

Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa peran Imam al-Razi


dalam kehidupan intelektual muslim. Analisis dan kritiknya terhadap filsafat
Peripatetik merupakan cara yang hampir tidak pernah ditandingi oleh siapa pun
kecuali al-Ghazali. Imam al-Razi dalam hal ini, memainkan peran penting

26
membawa kalam lebih dekat dengan pengetahuan lainnya, dan bahkan untuk
Sufisme, sebagaimana ia tunjukkan dalam karya-karyanya.
Pada abad-abad ketika dunia muslim berpaling dari rasionalisme Peripatetik
menuju cara-cara berpikir yang lebih mirip dengan semangat diri sendiri, Imâm al-
Razi memainkan peran utama dalam transformasi ini. Ia tetap sebagai salah satu
tokoh yang sangat menarik di kalangan teolog muslim, sosok kekuatan berpikir
yang tersebar di seluruh dunia. Komentar-komentar orang terhadapnya, berupa
pujian sampai ke tingkat kultus, dan kritik sampai ke tingkat alergi, terlalu banyak
untuk disebutkan. Namun demikian, masih terbuka jalan lebar untuk mengkaji
sosok Fakhr al-Din al-Razi beserta pemikirannya agar khazanah keilmuan Islam
semakin bertambah.

27
DAFTAR PUSTAKA

Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, (Kairo: Dar al-Ma’arif, T.Th.)

al-Razi, Fakhr al-Din, Roh Itu Misterius, trj, Muhammad Abdul Qadir al-Kaf,
Cendekia Sentra Muslim, Jakarta, 2001

al-Umâri, Ali Muhammad Hasan, al-Imam Fakhr al-Din al-Razi : Hayâtuhû wa


Atsâruhû, al-Majlis al-A’la li al-Syu’un al-Islamiyah, 1969

Armstrong, Karen, Sepintas Sejarah Islam, Trj, Ira Puspita Rini, Ikon Teralitera,
Surabaya, 2004

Arroisi, Jarman, Disertasi Teori Jiwa Perspektif Fakhr al Din al Razi (Studi
Model Pemikiran Psikologi Islam, UIN Sunan Ampel, Surabaya, 2016

Baiquni, Akhmad, Skripsi Penafsiran Fakhr al Din al Razi Tentang Perbuatan


Manusia Dalam Tafsir Mafatih al Ghaib, STAIN Kudus, 2017

Madkour, Ibrahim, Aliran dan Teori Filsafat Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995)

Marpaung, Irwan Malik, Melihat Sekilas Imam Fakhr al Din al Razi, (Jurnal
Kalimah Vol. 12, No. 1 : ISID Gontor : Maret 2014)

Mustofa, Imron, Kritik Fakhruddin al Razi terhadap Emanasi Ibnu Sina,


(Kalimah Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam, Vol. 13, No. 2 : UNIDA
Gontor : September 2015)

Nasution, Harun, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, UI Press, Jakarta,


2002

Said, Edward, Orientalisme, Trj, Asep Hikmat, Pustaka, Bandung, 1985

Santoso, Al Imran Imam, Skripsi Tauhid Menurut Fakhr al Din al Razi dalam
Mafatih al Ghaib, (UIN Syarif Hidayatullah : Jakarta : 2017)

Sina, Ibnu, Kitab al-Najat, Edited by Majid Fakhry, (Beirut: Dar al-Afaq al-
Jadidah, T.Th.)

Stumpf, Samuel Enoch, Socrates to Sartre: A History of Philosophy, (New York:


Hill Book Company, 1982)

Taisir, Ahmad, Filsafat Umum : Akal dan Hati sejak Thales sampai James,
cetakan VI, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 1998)

28
Zar, Sirajuddin, Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2012)
Zarkasyi, Hamid Fahmi, “The Nature of God in Aristotle’s Natural Teology”,
Tsaqafah Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan Islam, Volume 4,
No. 1, Zulqa’dah 1428

29

Anda mungkin juga menyukai