Anda di halaman 1dari 10

Tong (2006: 190) menjelaskan bahwa feminisme psikoanalisis dan gender

mengemukakan gagasan bahwa penjelasan fundamental atas cara bertindak


perempuan berakar dalam psikis perempuan, terutama dalam cara berpikir
perempuan. Dengan mendasarkan pada konsep Freud, seperti tahapan odipal dan
kompleks oedipus, feminis psikoanalisis mengklaim bahwa ketidaksetaraan gender
berakar dari rangkaian pengalaman pada masa kanak-kanak awal mereka.
Pengalaman tersebut mengakibatkan bukan saja cara masyarakat memandang dirinya
sebagai feminin, melainkan juga cara masyarakat memandang bahwa maskulinitas
adalah lebih baik dari femininitas. Feminisme psikoanalisis berakar dari teori
psikoanalisis Freud, terutama teori perkembangan seksual anak yang berhubungan
dengan kompleks oedipus dan kartrasi (Tong, 2006:191). Menurut Freud,
maskulinitas dan femininitas adalah produk pendewasaan seksual. Jika anak laki-laki
berkembang “secara normal,” mereka akan menjadi laki-laki yang akan menunjukkan
sifat-sifat maskulin yang diharapkan, dan jika perempuan berkembang “secara
normal” maka mereka akan menjadi perempuan dewasa yang menunjukkan sifat-sifat
feminin. Menurut Freud, inferioritas perempuan terjadi karena kekurangan anak
perempuan akan penis (Tong, 2006: 196). Sebagai konsekuensi jangka panjang dari
kecemburuan terhadap penis (penis envy) dan kompleks oedipus yang dialaminya,
maka menurut Freud (dalam Tong, 2006: 195– 196) perempuan menjadi narsistis,
mengalami kekosongan, dan rasa malu. Perempuan menjadi narsistis ketika ia
mengalihkan tujuan seksualnya aktif menjadi pasif, yang termanifestasikan pada
keinginan untuk lebih dicintai dari pada mencintai. Semakin cantik seorang anak
perempuan, semakin tinggi harapannya untuk dicintai. Karena tidak memiliki penis,
anak perempuan menjadi kosong, dan mengkompensasikannya pada penampilan
fisiknya yang total. Dengan penampilan yang baik secara umum akan menutupi
kekurangannya atas penis. Rasa malu dialami anak perempuan karena tanpa penis, dia
melihat tubuhnya yang terkatrasi (tersunat). Teori Freud tersebut telah ditolak oleh
para feminis, seperti Betty Freidan, Shulamit Firestone, dan Kate Millett. Mereka
berargumen bahwa posisi serta ketidakberdayaan sosial perempuan terhadap laki-laki,
kecil hubungannya dengan biologi perempuan, dan sangat berhubungan dengan
konstruksi sosial atas femininitas (Tong, 2006: 196). Dalam hal ini Freidan
menyalahkan Freud karena telah mendorong perempuan untuk beranggapan bahwa
ketidaknyamanan serta ketidakpuasan perempuan berasal dari ketidakadaan penis saja
dan bukan karena status sosial ekonomi, serta budaya yang menguntungkan laki-laki.
Dengan mengisyaratkan kepada perempuan bahwa mereka dapat menggantikan penis
dengan bayi, menurut Freidan, Freud telah merayu perempuan untuk masuk ke dalam
jebakan mistik feminine. Oleh karena itu, Freidan menyalahkan Freud yang telah
menjadikan pengalaman seksual yang sangat spesifik (vaginalisme) sebagai
keseluruhan serta akhir dari eksistensi perempuan (Tong, 2006: 24 Dra. Wiyatmi,
M.Hum. 197). Freidan juga mengutuk Freud, karena telah mendorong perempuan
untuk menjadi reseptif, pasif, bergantung pada orang lain, dan selalu siap untuk
mencapai tujuan akhir dari kehidupan seksual mereka, yaitu hamil. Sementara itu,
Millett menganggap pandangan Freud bahwa perempuan mengalami kecemburuan
terhadap penis merupakan contoh transparan dari egoisme lakilaki. (Tong, 2006:
197–198). Firestone juga mengritik teori Freud, yang menganggap pasivitas seksual
perempuan sebagai hal yang alamiah. Menurutnya pasivitas seksual perempuan
terjadi sebagai hasil dari konstruksi sosial dari ketergantungan fisik, ekonomi,
emosional perempuan pada laki-laki (Tong, 2006: 197). Firestone bahkan
menyarankan agar manusia seharusnya menghapuskan keluarga inti, termasuk
menghapuskan tabu inses yang merupakan akar penyebab kompleks oedipus. Apa
yang dikemukakan oleh Freidan, Firestone, dan Millett, sejalan dengan keyakinan
para psikoanalisis awal seperti Alfred Adler, Karen Horney, dan Clara Thomson,
yang mengatakan bahwa identitas gender, perilaku gender, serta orientasi seksual
perempuan dan laki-laki bukanlah hasil dari fakta biologis, tetapi merupakan hasil
dari nilai-nilai sosial. Mereka juga yakin bahwa kecemburuan penis adalah mitos
yang diciptakan dalam masyarakat yang mengistimewakan laki-laki dari pada
perempuan (Tong, 2006: 200). Berbeda dengan feminisme psikoanalisis yang melihat
perbedaan laki-laki dan perempuan mendasarkan pada perkembangan psikoseksual
anak laki-laki dan perempuan, feminisme gender mendasarkan pada perkembangan
psikomoral. Menurut feminisme gender, anak laki-laki dan perempuan tumbuh
menjadi dewasa dengan nilai-nilai serta kebaikan gender yang khas, yaitu yang
merefleksikan pentingnya keterpisahan pada kehidupan laki-laki dan pentingnya
ketertarikan pada kehidupan perempuan dan berfungsi untuk memberdayakan laki-
laki dan melemahkan perempuan dalam masyarakat patriarkal (Tong, 2006: 224).

Kritik sastra feminis psikoanalisis memfokuskan kajian pada tulisan-tulisan


perempuan karena para feminis percaya bahwa pembaca perempuan biasanya
mengidentifikasikan dirinya dengan atau menempatkan dirinya pada si tokoh
perempuan, sedangkan tokoh perempuan tersebut pada umumnya merupakan cermin
penciptanya. Munculnya kritik sastra feminis psikoanalisis berawal dari penolakan
para feminis terhadap teori kompleks kastrasi Sigmund Freud (Tong, 2006: 196–197).
Kompleks kastrasi menurut Freud (2006: 106) adalah kecemasan (guncangan
emosional) yang dialami oleh anak laki-laki yang memiliki pandangan yang salah
ketika melihat perbedaan alat kelaminnya dengan saudara perempuannya.
Menurutnya, perempuan sebenarnya juga memiliki penis, tetapi telah dipotong.
Anggapan tersebut diperkuat oleh ancaman yang sering disampaikan oleh orang tua
akan mengebirinya atau menghukumnya karena tingkah laku seksualnya. Itulah
sebabnya, dia mangalami kecemasan kastrasi. Perbedaan alat kelamin perempuan
dengan laki-laki, teelebih karena perempuan tidak memiliki penis, menurut Freud
menimbulkan inferioritas perempuan, yang diistilahkann sebagai kecemburuan anak
perempuan akan penis (penis envy) (Tong, 2006: 196). Para feminis, seperti Betty
Freidan menolak teori Freud tersebut dan berargumen bahwa posisi serta
ketidakberdayaan sosial perempuan terhadap laki-laki kecil hubungannya dengan
biologi perempuan, tetapi sangat berhubungan dengan konstruksi sosial atas
feminisme (Tong, 2006: 196). Menurut Freidan (via Tong, 2006:196) gagasan Freud
dibentuk oleh kebudayaanya yang digambarkan sebagai “Victorian” (pengaruh
budaya Inggris yang hidup pada era Ratu Victoria, 1837–1910). Kritik 32 Dra.
Wiyatmi, M.Hum. Freidan terhadap teori Freud juga didukung oleh Firestone dan
Millet (Tong, 2006: 198). Menurut Firestone, bahwa pasivitas seksual perempuan
bukanlah suatu hal yang alamiah, melainkan semata-mata karena hasil sosial dari
kebergantungan fisik, ekonomi, emosional perempuan pada laki-laki. Oleh karena itu,
untuk mengakhiri opresi terhadap perempuan dan anak-anak, Firestone (via Tong,
2006: 198) menganjurkan agar manusia seharusnya menghapuskan keluarga inti, dan
bersamaan dengan itu juga menghapuskan tabu inses yang merupakan akar penyebab
kompleks oedipus. Sementara itu, Millet (via Tong, 2006: 198) menganggap bahwa
konsep kecemburuan terhadap penis merupakan contoh transparan dari egoisme laki-
laki. Kritik Freidan, Firestone, dan Millet terhadap teori Freud tersebut juga didukung
oleh para feminis psikoanalisis berikutnya, seperti Alfred Adler, Karen Horney, dan
Clara Thompson, yang menyakini bahwa identitas gender, perilaku gender, serta
orientasi seksual perempuan (dan laki-laki) bukanlah hasil dari fakta biologis, tetapi
merupakan hasil dari nilai-nilai sosial dalam struktur patriarki. Oleh karena itu,
perempuan seharusnya melawan hal tersebut (Tong, 2006: 197–200). Melalui kritik
sastra feminis psikoanalisis diselidiki hasrat, identitas gender, dan konstruksi
linguistik feminis untuk mendekonstruksi heirarki gender dalam sastra dan
masyarakat (Humm, 1986: 71).

Oedipus Complex dalam pandangan Freud ialah suatu gejala psikologis ketika
seorang anak laki-laki menginginkan ibunya, dan secara tak sadar mau menggantikan
posisi ayahnya. Namun, karena mengetahui ayahnya kuat, ia takut akan hukuman
kastrasi (castration anxiety).

Pada anak laki-laki, Oedipus complex diikuti Kastrasi Kompleks . Ia akan merasa
mencintai ibunya yang bersifat erotis dan menimbulkan rasa memiliki. Ini berlawanan
dengan rasa benci ke ayah dikarenakan anak merasa punya saingan terhadap rasa
memilikinya ke ibu. Anak akan merasa bahwa tidak mungkin bisa bersaing dengan
ayahnya karena sifat ayah yang terlihat otoriter di mata anak. Dari sifat otoriter ini,
anak merasa ketakutan terbesar muncul jika ia dikebiri oleh ayahnya. Makanya ia
akan mencoba mengidentifikasi berperilaku seperti ibunya.
Pada anak perempuan, Oedipus complex diikuti Penis Envy. Perbedaan jenis
kelamin dirasakan semua karena kesalah ibu yang tidak adil melahirkannya
berkelamin perempuan. Anak akan iri kepada ayah yang mempunyai kelamin yang
menurutnya berharga. Dari rasa itu, anak perempuan akan mengidentifikasi dan
berperilaku seperti ibunya yang bisa dicintai ayahnya.

APR

FEMINISME PSIKOANALISIS

FEMINISME PSIKOANALISIS
Berlawanan dengan feminisme liberal, radikal (libertarian dan cultural), serta
feminisme marxis dan sosialis, feminisme psikoanalisis dan gender mempercayai
bahwa penjelasan fundamental atas cara bertindak perempuan berakal pada psike
perempuan terutama pada cara berpikir perempuan. Berdasar pada konsep Freud,
seperti tahapan oedipal dan kompleks Oedipus. Feminisme psikoanalisis mengklaim
bahwa ketidaksetaraan gender berakar dari rangkaian pengalaman pada awal masa
kanak-kanak mereka. Hal ini berakibat bukan hanya cara pandang laki-laki yang
memandang dirinya sebagai maskulin dan dan perempuan memandang dirinya
sebagai feminin, melainkan juga cara masyarakat memandang bahwa maskulinitas
lebih baik daripada femininitas.
Berbeda dengan feminis psikoanalisis, feminis gender cenderung mempunyai
pendapat bahwa memungkinkan adanya perbedaan biologis dan juga perbedaan
psikologis atas maskulinitas laki-laki dan femininitas perempuan. Feminis gender
juga menekankan bahwa nilai-nilai yang secara tradisional dihubungkan dengan
perempuan (lembut, sederhana, berempati), secara moral lebih baik daripada
kelebihan nilai-nilai yang secara tradisional dihubungkan dengan laki-laki (keras hati,
ambisi, berani, rasionalitas). Karena itu, feminis gender berkesimpulan bahwa
perempuan harus berpegang teguh pada pada femininitas dan laki-laki harus
melepaskan paling tidak bentuk ekstrim dari sifat maskulinitasnya.
 Akar Feminisme Psikoanalisis Sigmund Freud
Menurut Freud, anak-anak mengalami tahapan perkembangan psikoseksual
yang jelas dan gender dari setiap orang dewasa adalah hasil dari bagaimana ia
mengatasi tahapan ini. Dengan kata lain, maskulinitas dan femininitas merupakan
produk dari pendewasaan seksual. Jika anak laki-laki berkembang secara normal,
maka mereka akan menjadi laki-laki yang menunjukkan sifat maskulin yang
diharapkan. Begitu juga dengan anak perempuan jika berkembang secara normal,
mereka akan menjadi perempuan dewasa yang menunjukkan sifat-sifat feminin.
Dasar teoritis atas pandangan Freud mengenai hubungan antara jenis kelamin
serta gender dapat ditemukan pada Three Contribution to the Theory of
Sexuality. Dalam tulisannya itu, Freud mendiskusikan tahapan seksual pada masa
bayi. Freud beragumentasi bahwa anak-anak sama sekali bukan manusia tanpa
ketertarikan seksual. Bagi anak-anak, keseluruhan tubuh mereka terutama lubang-
lubang yang ada di dalam tubuhnya adalah ranah seksual. Selama tahapan oral, bayi
menemukan kenikmatan dengan menghisap payudara ibunya atau ibu jarinya sendiri.
Selama tahapan anal ketika berusia 2-3 tahun, anak menyukai sensasi yang dikaitkan
dengan pengendalian pengeluaran kotorannya. Selama tahapan falik yaitu usia tiga
hingga empat tahun, mereka menemukan potensi kenikmatan genitalnya dan
kemudian menyelesaikan atau gagal menyelesaikan yang disebut sebagai kompleks
Oedipus dan kastrasi. Ketika usia enam tahun, anak-anak berhenti menunjukkan
seksualitasnya secara terang-terangan dan memulai masa laten yang berakhir sekitar
masa pubertas.
Menurut doktrin psikoanalisis, bahwa laki-laki mempunyai penis sedangkan
perempuan tidak memilikinya, berpengaruh pada cara laki-laki dan perempuan
meneruskan penyelesaian kompleks pada tahapan falik. Komplek Oedipus laki-laki
berasal dari kedekatan alamiah dengan ibu yang merawatnya. Karena itulah anak
laki-laki ingin memiliki ibunya dan membunuh ayahnya yang dianggap sebagai
pesaing dalam mendapatkan perhatian dan kasih sayang ibunya. Freud juga
menambahkan bahwa kebencian anak laki-laki pada ayahnya terbisukan oleh cintanya
yang bersamaan terhadap ayahnya.
Pengalaman perempuan atas kompleks Oedipus dan kastrasi sama sekali
berbeda dengan pengalaman laki-laki. Seperti laki-laki, objek cinta pertama anak
perempuan adalah ibunya. Tetapi tidak seperti anak laki-laki yang objek cintanya
akan tetap seorang perempuan sepanjang hidupnya, anak perempuan harus
mengalihkan hasratnya akan perempuan menjadi hasrat akan laki-laki. Menurut
Freud, transisi dari objek cinta perempuan ke objek cinta laki-laki ini dimulai ketika
anak perempuan menyadari bahwa ia tidak memiliki penis.
Ketika anak perempuan juga menyadari bahwa ibunya tidak memiliki penis,
kemudian ia berpaling pada ayahnya untuk memperbaiki dirinya. Meskipun demikian
berpalingnya dia kepada ayahnya merupakan suatu hal yang menyakitkan. Karena itu,
anak perempuan mencoba mengambil alih posisi ibunya bukan karena status inferior
ibunya sebagai manusia, melainkan ibunya merupakan pesaing dalam mendapatkan
kasih sayang ayahnya. Awalnya, anak perempuan ingin mendapatkan penis ayahnya,
tetapi perlahan-lahan ia mulai menginginkan suatu yang lebih berharga (seorang bayi)
yang baginya merupakan paripurna pengganti penis.
Konsekuensi jangka panjang dari kecemburuan terhadap penis dan penolakan
terhadap ibu, melampaui fredigitas yang mungkin terjadi. Pertama, perempuan
menjadi narsistik ketika ia mengalihkan tujuan seksual aktif menjadi fasif. Menurut
Freud anak perempuan lebih ingin dicintai daripada mencintai. Semakin cantik
seorang anak perempuan, semakin tinggi harapan dan tuntutannya untuk dicintai.
Kedua, ia menjadi kosong. Sebagai kompensasi dari kekurangannya atas penis, anak
perempuan memfokuskan diri pada penampilan fisik totalnya seolah-olah
penampilannya yang baik secara umum dengan berbagai cara menutupi
kekurangannya atas penis. Dengan kata lain, inferioritas perempuan terjadi karena
kekurangan anak perempuan akan penis.
 Kritik Feminis Standar terhadap Freud
Karena kecemburuan terhadap penis, serta gagasan yang berhubungan dengan
itu, mewarnai gambaran yang sangat tidak mengenakan tentang perempuan. Banyak
feminis dahulu hingga sekarang masih merasa gusar pada teori Freud yang
tradisional. Pada tahun 1970-an feminis yang sesungguhnya mempunyai agnenda
yang berbeda. Misalnya Betty Friedan, Shulamith Firestone, dan Kate Millet
menjadikan Freud target bersama mereka.
Menurut Betty Friedan, gagasan Freud dibentuk oleh kebudayaannya yang
digambarkan sebagai Victorian. Meskipun freud menulis dan kebanyakan tulisannya
berpengaruh pada tahun 1920-an hingga 1330. Hal yang paling mengganggu Friedan
tentang Freud adalah apa yang dianggap sebagai gagasan Freud atas determinisme
biologis. Dalam interpretasi Friedan, aforisme Freud anatomi adalah takdir berarti
peran reproduksi, identitas gender, dan kecenderungan seksual perempuan ditentukan
oleh ketidakadaan penis pada perempuan. Dan setiap perempuan yang tidak
mengikuti jalan yang ditentukan oleh alam adalah tidak normal.
Bukan hanya menolak metodologi Freud, Betty Friedan juga menolak apa
yang dianggapnya sebagai pengajegan Freud atas seks/jenis kelamin. Dengan
mendorong perempuan untuk beranggapan bahwa ketidaknyamanan dan
ketidakpuasan perempuan dari ketidakpunyaan penis, Freud mengarahkan perempuan
secara salah bahwa perempuan adalah cacat. Lebih dari itu, dengan mengisyaratkan
kepada perempuan bahwa mereka dapat menggantikan penis dengan bayi, Freud
merayu perempuan untuk masuk kedalam jebakan mistik feminin. Secara khusus
Betty Friedan mengutuk Freud karena telah mendorong perempuan untuk menjadi
reseptif, pasif, bergantung pada orang lain, dan selalu siap untuk mencapai apa yang
seharusnya menjadi tujuan akhir dari kehidupan seksual mereka yaitu penghamilan.
Sementara itu, Shulamith Firestone lebih menyalahkan terapis neo-Freudian
daripada Freud karena pembenaran mereka atas subordinasi perempuan. Firestone
mengklaim bahwa pasivitas seksual perempuan bukanlah suatu hal yang alamiah,
melainkan semata-mata hasil sosial dari kebergantungan fisik, ekonomi, dan
emosional perempuan pada laki-laki. Menurut Firestone, terapis neo-Freudian
seharusnya mendorong perempuan dan anak-anak itu untuk melawannya. Lebih
khusus lagi, terapis neo-Freudian tidak seharusnya menggunakan keahlian mereka
yang tinggi untuk meyesuaikan perempuan dan anak-anak yang memberontak
terhadap struktur patriarki yang dikenal sebagai keluarga inti. Sebaliknya, mereka
seharusnya melawan kekerasan yang dilakukan laki-laki terhadap perempuan dan
anak-anak di dalam penjara “rumah yang mnais”.
Seperti Firestone, Kate Millet juga mengarahkan kritiknya terhadap
Freudianisme lebih pada terapis neo-Freudian daripada Freud itu sendiri. Secara
tegas, Millet menentang terhadap semua determinisme biologis. Millet beranggapan
bahwa konsep kecemburuan terhadap penis merupakan contoh transparan dari
egosentrisme laki-laki. Alih-alih merayakan kekuatan perempuan untuk melahirkan,
menurut Millet terapis neo-Freudian menginterpretasi melahirkan sebagai usaha
menyedihkan untuk memiliki substitusi penis. Logika Freudian telah berhasil
mengubah kelahiran bayi merupakan suatu pencapaian yang luar biasa menjadi biasa
dan hanya sekedar perburuan laki-laki.

 Mencari Psikoanalisis dalam Arah Feminis


Feminis psikoanalisis menyimpulkan bahwa Freud dan terutama pengikutnya
Helene Deu, Erik Erikson, telah memberikan kontribusi atas opresi terhadap
perempuan. Meskipun demikian, mereka percaya bahwa teks Freudian dapat
digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan feminis dan bukannya tujuan nonfeminis.
Asalkan para feminis menginterpretasi teks-teks ini dengan menolak determinisme
biologis, menekankan pada tahapan pra-oedipal sebagai kebalikan tahapan oedipal
dari tahapn perkembangan seksual manusia. Atau, dengan menceritakan kisah oedipal
dengan suara yang nonpatriakal.
 Menolak Determinisme Biologis Freud
Psikoanalisis feminis awal seperti Alfred Adler, Karen Horney, dan clara
Thompson telah merasa yakin bahwa identitas gender, perilaku gender, serta orientasi
seksual perempuan dan laki-laki bukanlah hasil dari fakta biologis. Sebaliknya,
kesemua itu merupakan hasil dari nilai-nilai sosial. Dengan menegaskan bahwa
biologi perempuan bukanlah takdirnya. Kekurangannya akan penis menjadi penting
apabila hanya karena masyarakat lebih cenderung untuk mengistimewakan laki-laki
daripada perempuan. Ketiga teoris ini membantu memberdayakan perempuan.
Alfred Adler. Menurut Adler, laki-laki dan perempuan pada dasarnya sama
karena semua manusia lahir tidak berdaya. Dalam usaha untuk mencapai superioritas,
pengalaman keberdayaan, tidak ada yang ditentukan oleh semata-mata fakta bahwa
sebagian orang memiliki penis dan sebagian lain tidak memilikinya. Menurut Adler
setiap manusia mempunyai diri kreatif yang memberikan sejumlah makna yang
mungkin terhadap takdir biologis seseorang. Biologi dalam pandangan Adler adalah
takdir kita, yaitu semata-mata material yang digunakan untuk membentuk diri unik
kita.
Mengakui bahwa masyarakat kita adalah masyarakat patrialkal, yang
mengatur bahwa perempuan ditentukan dan dijaga oleh laki-laki yang mendapatkan
keistimewaan untuk mencapai kemegahan laki-laki. Adler berhipotesis bahwa selama
patriarki masih ada, maka perempuan neurotik akan terus ada. Karena perempuan
neurotik adalah semata-mata perempuan yang telah dihalang-halangi oleh patriarki
dalam usahanya mengatasi ketidakberdayaan masa kecilnya.
Karen Horney. Ia mengklaim bahwa perasaan inferior perempuan bukanlah
berasal dari kesadaran perempuan atas kastrasinya, melainkan dari kesadaran akan
subordinasi sosialnya. Meskipun Horney mengakui bahwa perempuan secara
simbolis terkastrasi, dalam arti perempuan tidak memiliki kekuatan yang
direpresentasi oleh penis, ia menolak bahwa perempuan biasa saja dan cacat ssecara
radikal hanya karena perempuan tidak mempunyai penis. Sebaliknya ia berargumen
bahwa kebudayaan patrialkal pertama-tama memaksa perempuan untuk menjadi
feminine yang pasif dan mencoba meyakinkan perempuan bahwa mereka menyukai
menjadi feminine. Dalam hal ini apabila perempuan menginginkan kemaskulinan,
maka akan diberi label sebagai orang sakit yang menderita kompleks maskulin.
Padahal menurut Horney ini merupakan gambaran perempuan sebagai manusia yang
berjuang untuk mencapai keseimbangan.
Clara Thompson. Thompson menjelaskan pasivitas perempuan sebagai
produk dari serangkaian hubungan laki-laki dan perempuan yang tidak simetris.
Dalam hal ini, kepatuhan konstan kepada otoritas laki-laki menyebabkan perempuan
mempunyai ego yang lebih lemah dibanding laki-laki. Thompson percaya bahwa
perasaan bersalah, inferioritas, serta kebencian terhadap diri sendiri bukan berasal
dari fakta biologis melainkan dari interpretasi kebudayaan terhadap fakta biologis itu
sendiri.

Anda mungkin juga menyukai