Makalah Feminisme Psikoanalisis and Gender
Makalah Feminisme Psikoanalisis and Gender
Oedipus Complex dalam pandangan Freud ialah suatu gejala psikologis ketika
seorang anak laki-laki menginginkan ibunya, dan secara tak sadar mau menggantikan
posisi ayahnya. Namun, karena mengetahui ayahnya kuat, ia takut akan hukuman
kastrasi (castration anxiety).
Pada anak laki-laki, Oedipus complex diikuti Kastrasi Kompleks . Ia akan merasa
mencintai ibunya yang bersifat erotis dan menimbulkan rasa memiliki. Ini berlawanan
dengan rasa benci ke ayah dikarenakan anak merasa punya saingan terhadap rasa
memilikinya ke ibu. Anak akan merasa bahwa tidak mungkin bisa bersaing dengan
ayahnya karena sifat ayah yang terlihat otoriter di mata anak. Dari sifat otoriter ini,
anak merasa ketakutan terbesar muncul jika ia dikebiri oleh ayahnya. Makanya ia
akan mencoba mengidentifikasi berperilaku seperti ibunya.
Pada anak perempuan, Oedipus complex diikuti Penis Envy. Perbedaan jenis
kelamin dirasakan semua karena kesalah ibu yang tidak adil melahirkannya
berkelamin perempuan. Anak akan iri kepada ayah yang mempunyai kelamin yang
menurutnya berharga. Dari rasa itu, anak perempuan akan mengidentifikasi dan
berperilaku seperti ibunya yang bisa dicintai ayahnya.
APR
FEMINISME PSIKOANALISIS
FEMINISME PSIKOANALISIS
Berlawanan dengan feminisme liberal, radikal (libertarian dan cultural), serta
feminisme marxis dan sosialis, feminisme psikoanalisis dan gender mempercayai
bahwa penjelasan fundamental atas cara bertindak perempuan berakal pada psike
perempuan terutama pada cara berpikir perempuan. Berdasar pada konsep Freud,
seperti tahapan oedipal dan kompleks Oedipus. Feminisme psikoanalisis mengklaim
bahwa ketidaksetaraan gender berakar dari rangkaian pengalaman pada awal masa
kanak-kanak mereka. Hal ini berakibat bukan hanya cara pandang laki-laki yang
memandang dirinya sebagai maskulin dan dan perempuan memandang dirinya
sebagai feminin, melainkan juga cara masyarakat memandang bahwa maskulinitas
lebih baik daripada femininitas.
Berbeda dengan feminis psikoanalisis, feminis gender cenderung mempunyai
pendapat bahwa memungkinkan adanya perbedaan biologis dan juga perbedaan
psikologis atas maskulinitas laki-laki dan femininitas perempuan. Feminis gender
juga menekankan bahwa nilai-nilai yang secara tradisional dihubungkan dengan
perempuan (lembut, sederhana, berempati), secara moral lebih baik daripada
kelebihan nilai-nilai yang secara tradisional dihubungkan dengan laki-laki (keras hati,
ambisi, berani, rasionalitas). Karena itu, feminis gender berkesimpulan bahwa
perempuan harus berpegang teguh pada pada femininitas dan laki-laki harus
melepaskan paling tidak bentuk ekstrim dari sifat maskulinitasnya.
Akar Feminisme Psikoanalisis Sigmund Freud
Menurut Freud, anak-anak mengalami tahapan perkembangan psikoseksual
yang jelas dan gender dari setiap orang dewasa adalah hasil dari bagaimana ia
mengatasi tahapan ini. Dengan kata lain, maskulinitas dan femininitas merupakan
produk dari pendewasaan seksual. Jika anak laki-laki berkembang secara normal,
maka mereka akan menjadi laki-laki yang menunjukkan sifat maskulin yang
diharapkan. Begitu juga dengan anak perempuan jika berkembang secara normal,
mereka akan menjadi perempuan dewasa yang menunjukkan sifat-sifat feminin.
Dasar teoritis atas pandangan Freud mengenai hubungan antara jenis kelamin
serta gender dapat ditemukan pada Three Contribution to the Theory of
Sexuality. Dalam tulisannya itu, Freud mendiskusikan tahapan seksual pada masa
bayi. Freud beragumentasi bahwa anak-anak sama sekali bukan manusia tanpa
ketertarikan seksual. Bagi anak-anak, keseluruhan tubuh mereka terutama lubang-
lubang yang ada di dalam tubuhnya adalah ranah seksual. Selama tahapan oral, bayi
menemukan kenikmatan dengan menghisap payudara ibunya atau ibu jarinya sendiri.
Selama tahapan anal ketika berusia 2-3 tahun, anak menyukai sensasi yang dikaitkan
dengan pengendalian pengeluaran kotorannya. Selama tahapan falik yaitu usia tiga
hingga empat tahun, mereka menemukan potensi kenikmatan genitalnya dan
kemudian menyelesaikan atau gagal menyelesaikan yang disebut sebagai kompleks
Oedipus dan kastrasi. Ketika usia enam tahun, anak-anak berhenti menunjukkan
seksualitasnya secara terang-terangan dan memulai masa laten yang berakhir sekitar
masa pubertas.
Menurut doktrin psikoanalisis, bahwa laki-laki mempunyai penis sedangkan
perempuan tidak memilikinya, berpengaruh pada cara laki-laki dan perempuan
meneruskan penyelesaian kompleks pada tahapan falik. Komplek Oedipus laki-laki
berasal dari kedekatan alamiah dengan ibu yang merawatnya. Karena itulah anak
laki-laki ingin memiliki ibunya dan membunuh ayahnya yang dianggap sebagai
pesaing dalam mendapatkan perhatian dan kasih sayang ibunya. Freud juga
menambahkan bahwa kebencian anak laki-laki pada ayahnya terbisukan oleh cintanya
yang bersamaan terhadap ayahnya.
Pengalaman perempuan atas kompleks Oedipus dan kastrasi sama sekali
berbeda dengan pengalaman laki-laki. Seperti laki-laki, objek cinta pertama anak
perempuan adalah ibunya. Tetapi tidak seperti anak laki-laki yang objek cintanya
akan tetap seorang perempuan sepanjang hidupnya, anak perempuan harus
mengalihkan hasratnya akan perempuan menjadi hasrat akan laki-laki. Menurut
Freud, transisi dari objek cinta perempuan ke objek cinta laki-laki ini dimulai ketika
anak perempuan menyadari bahwa ia tidak memiliki penis.
Ketika anak perempuan juga menyadari bahwa ibunya tidak memiliki penis,
kemudian ia berpaling pada ayahnya untuk memperbaiki dirinya. Meskipun demikian
berpalingnya dia kepada ayahnya merupakan suatu hal yang menyakitkan. Karena itu,
anak perempuan mencoba mengambil alih posisi ibunya bukan karena status inferior
ibunya sebagai manusia, melainkan ibunya merupakan pesaing dalam mendapatkan
kasih sayang ayahnya. Awalnya, anak perempuan ingin mendapatkan penis ayahnya,
tetapi perlahan-lahan ia mulai menginginkan suatu yang lebih berharga (seorang bayi)
yang baginya merupakan paripurna pengganti penis.
Konsekuensi jangka panjang dari kecemburuan terhadap penis dan penolakan
terhadap ibu, melampaui fredigitas yang mungkin terjadi. Pertama, perempuan
menjadi narsistik ketika ia mengalihkan tujuan seksual aktif menjadi fasif. Menurut
Freud anak perempuan lebih ingin dicintai daripada mencintai. Semakin cantik
seorang anak perempuan, semakin tinggi harapan dan tuntutannya untuk dicintai.
Kedua, ia menjadi kosong. Sebagai kompensasi dari kekurangannya atas penis, anak
perempuan memfokuskan diri pada penampilan fisik totalnya seolah-olah
penampilannya yang baik secara umum dengan berbagai cara menutupi
kekurangannya atas penis. Dengan kata lain, inferioritas perempuan terjadi karena
kekurangan anak perempuan akan penis.
Kritik Feminis Standar terhadap Freud
Karena kecemburuan terhadap penis, serta gagasan yang berhubungan dengan
itu, mewarnai gambaran yang sangat tidak mengenakan tentang perempuan. Banyak
feminis dahulu hingga sekarang masih merasa gusar pada teori Freud yang
tradisional. Pada tahun 1970-an feminis yang sesungguhnya mempunyai agnenda
yang berbeda. Misalnya Betty Friedan, Shulamith Firestone, dan Kate Millet
menjadikan Freud target bersama mereka.
Menurut Betty Friedan, gagasan Freud dibentuk oleh kebudayaannya yang
digambarkan sebagai Victorian. Meskipun freud menulis dan kebanyakan tulisannya
berpengaruh pada tahun 1920-an hingga 1330. Hal yang paling mengganggu Friedan
tentang Freud adalah apa yang dianggap sebagai gagasan Freud atas determinisme
biologis. Dalam interpretasi Friedan, aforisme Freud anatomi adalah takdir berarti
peran reproduksi, identitas gender, dan kecenderungan seksual perempuan ditentukan
oleh ketidakadaan penis pada perempuan. Dan setiap perempuan yang tidak
mengikuti jalan yang ditentukan oleh alam adalah tidak normal.
Bukan hanya menolak metodologi Freud, Betty Friedan juga menolak apa
yang dianggapnya sebagai pengajegan Freud atas seks/jenis kelamin. Dengan
mendorong perempuan untuk beranggapan bahwa ketidaknyamanan dan
ketidakpuasan perempuan dari ketidakpunyaan penis, Freud mengarahkan perempuan
secara salah bahwa perempuan adalah cacat. Lebih dari itu, dengan mengisyaratkan
kepada perempuan bahwa mereka dapat menggantikan penis dengan bayi, Freud
merayu perempuan untuk masuk kedalam jebakan mistik feminin. Secara khusus
Betty Friedan mengutuk Freud karena telah mendorong perempuan untuk menjadi
reseptif, pasif, bergantung pada orang lain, dan selalu siap untuk mencapai apa yang
seharusnya menjadi tujuan akhir dari kehidupan seksual mereka yaitu penghamilan.
Sementara itu, Shulamith Firestone lebih menyalahkan terapis neo-Freudian
daripada Freud karena pembenaran mereka atas subordinasi perempuan. Firestone
mengklaim bahwa pasivitas seksual perempuan bukanlah suatu hal yang alamiah,
melainkan semata-mata hasil sosial dari kebergantungan fisik, ekonomi, dan
emosional perempuan pada laki-laki. Menurut Firestone, terapis neo-Freudian
seharusnya mendorong perempuan dan anak-anak itu untuk melawannya. Lebih
khusus lagi, terapis neo-Freudian tidak seharusnya menggunakan keahlian mereka
yang tinggi untuk meyesuaikan perempuan dan anak-anak yang memberontak
terhadap struktur patriarki yang dikenal sebagai keluarga inti. Sebaliknya, mereka
seharusnya melawan kekerasan yang dilakukan laki-laki terhadap perempuan dan
anak-anak di dalam penjara “rumah yang mnais”.
Seperti Firestone, Kate Millet juga mengarahkan kritiknya terhadap
Freudianisme lebih pada terapis neo-Freudian daripada Freud itu sendiri. Secara
tegas, Millet menentang terhadap semua determinisme biologis. Millet beranggapan
bahwa konsep kecemburuan terhadap penis merupakan contoh transparan dari
egosentrisme laki-laki. Alih-alih merayakan kekuatan perempuan untuk melahirkan,
menurut Millet terapis neo-Freudian menginterpretasi melahirkan sebagai usaha
menyedihkan untuk memiliki substitusi penis. Logika Freudian telah berhasil
mengubah kelahiran bayi merupakan suatu pencapaian yang luar biasa menjadi biasa
dan hanya sekedar perburuan laki-laki.