Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air 2014, Pengelolaan Sumber Daya Air Wilayah Perkotaan :
20 September 2014 : prosiding. Universitas Katolik Parahyangan : Jurusan Teknik Sipil,
2014
xiv, 259 halaman; 21 x 29,7 cm
ISBN 978–602–71432–0–3
Reviewer
1. Doddi Yudianto, M.Sc., Ph.D
2. Prof. Dr. Ir. Dede Rohmat, M.T., PMa-SDA
3. Olga Catherina Pattipawaej, Ph.D
4. Drs. Waluyo Hatmoko, M.Sc,. PU-SDA
The statements and opinion expressed in the papers are those of the authors themselves and do not
necessarily reflect the opinion of the editors and organizers. Any mention of company or trade name does
not imply endorsement by organizers
ISBN 978–602–71432–0–3
PRAKATA
Puji dan syukur kita panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas segala ridhoNya
Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air dapat kita selenggarakan bersama pada hari Sabtu, 20
September 2014 di GSG Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung. Seminar ini pada dasarnya
merupakan kegiatan hasil kerjasama antara 12 instansi yaitu: Program Studi Teknik Sipil Unpar, Program
Studi Teknik dan Pengelolaan Sumber Daya Air ITB, Jurusan Teknik Sipil Unla, Jurusan Teknik Sipil
Itenas, Program Teknik Sipil UK Maranatha, Departemen Teknik Sipil Polban, Jurusan Teknik Sipil Unjani,
Pusat Litbang Sumber Daya Air (Pusair), Himpunan Ahli Teknik Hidraulik Indonesia (HATHI) Cabang
Jawa Barat, Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air (DPSDA) Provinsi Jawa Barat, Balai Besar Wilayah
Sungai (BBWS) Citarum dan Dinas Bina Marga dan Pengairan (DBMP) Kota Bandung.
Sebagaimana kita sadari bahwa permasalahan terkait sumber daya air kini kian semakin
kompleks seiring dengan tingginya laju pertumbuhan penduduk, urbanisasi, industrialisasi, lemahnya
penegakkan hukum, kurangnya koordinasi antar pemangku kepentingan, perubahan iklim global, dan
sebagainya. Untuk itu melalui seminar yang bertemakan Pengelolaan Sumber Daya Air Wilayah
Perkotaan ini diharapkan dapat menjadi media bagi para akademisi, peneliti, praktisi, pengamat
lingkungan, dan masyarakat untuk memperoleh dan bertukar informasi serta pengalaman dalam rangka
mendukung tercapainya pengelolaan sumber daya air yang berkelanjutan. Tentu informasi yang
disampaikan dalam seminar ini masih jauh dari sempurna, namun demikian besar harapan bahwa
kegiatan ini dapat memberikan kontribusi pemikiran atau gagasan bagi pengembangan keilmuan dan
penyelenggaraan praktis pengelolaan sumber daya air khususnya untuk wilayah perkotaan. Sesuai
dengan tema seminar, buku panduan ini telah disusun sedemikian rupa memuat seluruh abstrak dari
makalah yang disajikan dalam seminar dengan 3 (tiga) sub tema yaitu pengendalian daya rusak air,
pendayagunaan sumber daya air, dan konservasi sumber daya air.
Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kami sampaikan kepada semua
pihak yang telah membantu terselenggaranya seminar ini. Semoga seminar ini dapat memberikan
manfaat bagi kita semua demi terwujudnya pengelolaan sumber daya air yang lebih baik di kemudian hari.
PANITIA
DAFTAR ISI
PRAKATA............................................................................................................................................. i
KEYNOTE SPEECH I
(Ir. Mudjiadi, M.Sc. - Direktur Jenderal Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum)
KEYNOTE SPEECH II
(Ridwan Kamil - Walikota Bandung)
Salahudin Gozali
Latar Belakang
Air sebagai salah satu sumber daya yang memiliki nilai strategis dalam peningkatan kesejahteraan hidup
dan pembangunan kini dihadapkan pada banyak permasalahan baik ketersediaan, pemanfaatan, maupun
pengembangan dan pengelolaan. Permasalahan ini kian pelik bagi wilayah perkotaan yang terus
mengalami perkembangan namun tidak memiliki kerangka pengelolaan yang matang dan terintegrasi.
Pelanggaran terhadap rencana tata ruang merupakan salah satu fakta yang secara tidak langsung telah
menyebabkan penurunan kinerja berbagai sarana dan prasarana yang tersedia. Tentunya hal ini didorong
dengan semakin meningkatnya kebutuhan seperti permukiman, industri, usaha perkotaan, transportasi,
dan sebagainya.
Banjir perkotaan, yang saat ini juga marak terjadi di sejumlah wilayah di Indonesia termasuk ibukota
Jakarta, tidak dapat dipungkiri merupakan salah satu tantangan yang masih memerlukan penanganan
secara intensif. Selain dipicu oleh tingginya curah hujan yang terjadi, banjir juga disebabkan oleh antara
lain buruknya sistem drainase yang ada, rendahnya kesadaran masyarakat akan lingkungan yang bersih
dan sehat, terbatasnya anggaran pemeliharaan, kurangnya koordinasi antar lembaga yang berwenang
dan lemahnya penegakkan hukum. Tidak hanya banjir, seiring dengan pertumbuhan laju penduduk yang
pesat di wilayah perkotaan, pemenuhan kebutuhan air bersih dan sanitasi pun sering kali terbengkalai.
Tingginya tingkat pencemaran air baik oleh limbah domestik, limbah industri, limbah pertanian, maupun
limbah peternakanserta rendahnya pelayanan dan kinerja pengelolaan air bersih yang ada menyebabkan
banyak daerah belum memiliki akses air bersih dan sanitasi yang memadai. Meskipun sejumlah upaya
restorasi telah dilakukan, namun hasil yang dicapai masih belum optimum.
Memperhatikan berbagai permasalahan tersebut di atas, peran serta pemerintah bersama masyarakat
menjadi langkah penting untuk dapat menyelenggarakan pengelolaan air secara terpadu untuk wilayah
perkotaan dengan mengintegrasikan kepentingan berbagai sektor, wilayah, dan para pemilik kepentingan
dalam bidang sumber daya air. Tidak terlepas dari itu, perguruan tinggi sebagai lembaga pendidikan
memiliki peran kunci untuk mendukung penyelesaian masalah dan penerapan konsep pembangunan yang
berkelanjutan khususnya untuk wilayah perkotaan.
Sehubungan dengan itu, seminar nasional teknik sumberdaya air yang dikelola secara berkala oleh
sejumlah perguruan tinggi dan pemangku kepentingan di Kota Bandung dan sekitarnya merupakan suatu
forum komunikasi antar praktisi, peneliti, dosen/akademisi, dan mahasiswa yang diharapkan dapat
memberikan kontribusi keilmuan terkait pengelolaan air di wilayah perkotaan yang mencakup antara lain
sinergisme tata ruang air dan wilayah perkotaan, upaya restorasi sungai perkotaan, konservasi air tanah,
upaya penyediaan air bersih dan sanitasi, pengelolaan sampah dan air limbah, pemberdayaan
masyarakat dan kelembagaan dalam pengelolaan air, penanganan banjir perkotaan, dan inovasi dalam
sistem drainase perkotaan.
Tujuan
1. Sebagai media untuk berbagi pengalaman mengenai berbagai permasalahan dan solusi tentang
pengelolaan sumber daya air wilayah perkotaan.
2. Sebagai media untuk mengkomunikasikan pemikiran tentang upaya-upaya pengelolaan sumber
daya air wilayah perkotaan untuk mendukung pengembangan keilmuan di bidang teknik sumber
daya air sekaligus masukan bagi para pengambil keputusan.
3. Sebagai media yang menyediakan kesempatan bagi para pemangku kepentingan untuk dapat
berkolaborasi dalam rangka meningkatkan kinerja pengelolaan sumber daya air wilayah perkotaan.
Tema
PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR WILAYAH PERKOTAAN
Sub Tema
1. Konservasi Sumber Daya Air
Sinergisme tata ruang air dan wilayah perkotaan
Restorasi sungai perkotaan
Konservasi air tanah
2. Pendayagunaan Sumber Daya Air
Penyediaan air bersih dan sanitasi
Pengelolaan sampah dan air limbah
Pemberdayaan masyarakat dan kelembagaan dalam pengelolaan air
3. Pengendalian Daya Rusak Air
Penanganan banjir perkotaan
Inovasi dalam sistem drainase perkotaan
Peserta
1. Instansi pemerintah
2. Konsultan
3. Peneliti, LSM dan pemerhati masalah keairan
4. Dosen dan mahasiswa
Sekretariat
Jurusan Teknik Sipil Institut Teknologi Nasional
Jl. PHH. Mustafa No. 23 Bandung 40124
Telepon : 022-7272215
Faximile : 022-7202892
Email : seminar.tsda2014@gmail.com
Tim Reviewer
1. Doddi Yudianto, M.Sc., Ph.D
2. Prof. Dr. Ir. Dede Rohmat, M.T., PMa-SDA
3. Olga Catherina Pattipawaej, Ph.D
4. Drs. Waluyo Hatmoko, M.Sc,. PU-SDA
SUSUNAN KEPANITIAAN
A. Pengarah :
Dekan Fakultas Teknik Universitas Katolik Parahyangan
Dekan Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Nasional
Dekan Fakultas Teknik Universitas Jenderal Achmad Yani
Dekan Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan Institut Teknologi Bandung
Direktur Politeknik Negeri Bandung
Dekan Fakultas Teknik Universitas Langlangbuana
Dekan Fakultas Teknik Universitas Kristen Maranatha
Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air
Ketua Himpunan Ahli Teknik Hidraulik Indonesia Cabang Jawa Barat
Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Citarum
Kepala Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air Provinsi Jawa Barat
Kepala Dinas Bina Marga dan Pengairan Kota Bandung
B. Panitia Pelaksana
Ketua I : Salahudin Gozali - Unpar
Ketua II : Yati Muliati - Itenas
Ketua III : Agustin Purwanti - Unjani
Ketua IV : Eko Winar Irianto - Pusair
Ketua V : Iwan Kridasantausa - HATHI
Bendahara : Yessi Nirwana - Itenas
Sekretaris : Yuyun Fauzi - HATHI
Sekretariat : Yedida Yosananto - Itenas
Hazairin - Itenas
Imas Rosniati - Itenas
Suwarno - Itenas
Abdul Fatah - Unla
Seksi Dana : Yadi Suryadi - ITB
Winskayati - BBWS Citarum
Alvadison - Pusair
Didi Ruswandi - DBMP Kota Bandung
Ignatius Sudarsono - Unla
Nana Nasuha - DPSDA Provinsi Jabar
Mira Mutiara - BBWS Citarum
Seksi Publikasi : James Zulfan - Pusair
Dian Indrawati - Unjani
Albert Wicaksono - Unpar
Maria Christine Sutandi - UK Maranatha
Fauzia Mulyawati - Unla
Seksi Perlengkapan : Bobby Minola Ginting - Unpar
Alexius Aben - Unpar
Eko Wahyu - Unla
Sudradjat - BBWS Citarum
R. Yayat Yuliana - BBWS Citarum
Abstrak
Intensitas hujan merupakan faktor pertimbangan sangat penting dalam perencanaan berbagai bangunan
air. Penentuan dimensi saluran drainase khususnya di perkotaan sangat ditentukan oleh berapa debit
limpasan hujan rencana yang akan dialirkan, yang dihitung berdasarkan intensitas hujan rencana.
Prediksi intensitas hujan rencana memerlukan data hujan menitan atau jam-jaman pada periode waktu
yang panjang. Selain sulit didapat,data ini juga sangat mahal.Tujuan kajian, mengembangkan persamaan
intensitas hujan (rata-rata dan maksimum), agar berlaku komprehensif pada berbagai lama dan
probabilitas hujan yang dibutuhkan, khususnya untuk kawasan Kota Bandung, dan dapat dikembangkan
untuk kawasan lainnya.Curah hujan dikumpulkan Stasiun Meteorologi dan Geofisika, Cemara Bandung.
Kajian dilakukan melalui tahapan: inventarisasi data hujan menitan atau jam-jaman (5 tahun); analisis
data; penyusunan persamaan akhir; dan verifikasi dan validasi persamaan. Penelitian ini menghasilkan
sebuah persamaan intensitas hujan untuk wilayah Bandung. Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk
intensitas hujan rata-rata, antara intensitas hujan model dengan intensitas empirik pada semua kelompok
durasi hujan mempunyai nilai yang sangat mendekati, nilai korelasi di atas 0,99. Sedangkan untuk
intensitas hujan maksimum, persamaan intensitas hujannya mempunyai nilai korelasi antara hasil model
dengan data empirik hampir sempurna (r mendekati 1). Dengan demikian, model ini akurat jika digunakan
untuk perhitungan intensitas hujan, khususnya untuk perencanaan drainase Kota Bandung.
Kata Kunci : intensitas hujan, durasi hujan, probabilitas hujan, drainase kota.
LATAR BELAKANG
Hujan merupakan peristiwa alam yang memberi manfaat besar bagi manusia dan makhluk hidup lainnya.
Namun demikian, hujan juga bisa mendatangkan bencana berupa banjir yang seringkali terjadi karena
manusia melakukan kerusakan lingkungan dan adanya prilaku buruk dalam membuang sampah. Banjir
juga bisa terjadi karena manusia kurang memperhatikan kemampuan rekayasa saluran atau drainase,
sehingga tidak sesuai dengan karakteristik atau pola intensitas hujannya. Saluran tidak mampu
menampung air hujan yang intensitasnya tidak selalu tetap, sehingga diperlukan kemampuan untuk
memprediksi besaran intensitas hujan.
Beberapa ahli kemudian mengembangkan metode atau persamaan untuk memprediksi besaran
intensitas hujan yaitu Talbot, Sherman, Ishiguro dan Mononobe. Kelemahan persaman ini adalah: (1)
dirumuskan hanya berdasarkan satu variabel yaitu durasi hujan (t); (2) memerlukan sebanyak n
persamaan untuk sekian n periode ulang yang diperlukan; dan (3) kebanyakan di kembangkan di luar
Indonesia, sehingga perlu penyesuaian untuk dapat diterapkan di Indonesia secara tepat.
Berbagai kelemahan atau keterbatasan pada metode yang dikembangkan peneliti tersebut, Soekarno
dan Rohmat (2006) memformulasikan pola umum intensitas hujan sebagai fungsi dari durasi dan
probabilitas hujan yang hasil prediksinya lebih baik dibandingkan dengan metoda-metoda yang telah ada
(Persamaan 1).
1
I t , p = a1e a2 , p + b1 e b2 , p (1)
t
Keterangan :
I : intensitas hujan
p : probabilitas hujan
t : durasi hujan
a1, a2, b1, b2 : tetapan-tetapan untuk probabilitas dan durasi hujan yang ditentukan berdasarkan data
empirik
Konstanta (tetapan) tersebut sangat bergantung durasi hujan dan probabilitas hujan. Sedangkan durasi
dan probalititas hujan sangat berbeda (variatif) untuk setiap wilayah tergantung pada karakteristik wilayah
yang bersangkutan. Akan sangat bermanfaat dan merupakan kemajuan besar dalam bidang ilmu keairan,
apabila seluruh nilai ketetapan-ketetapan tersebut dapat ditemukan dan mewakili berbagai karakteristik
wilayah yang berbeda.
Bandung sebagai salah satu kota yang menghadapi masalah banjir menarik untuk dijadikan daerah kajian.
Hujan di Kota ini seringkali menimbulkan aliran permukaan dan genangan yang bersumber dari saluran
drainase yang tidak sesuai dengan debit aliran air hujan. Karena itu, diperlukan prediksi intensitas hujan
untuk menentukan dimensi saluran. Penentuan dimensi saluran drainase khususnya di perkotaan sangat
ditentukan oleh berapa debit limpasan hujan rencana yang akan dialirkan, yang dihitung berdasarkan
intensitas hujan rencana. Prediksi intensitas hujan rencana memerlukan data hujan menitan atau jam-
jaman pada periode waktu yang panjang. Selain sulit didapat,data ini juga sangat mahal.
Tujuan kajian, mengembangkan persamaan intensitas hujan (rata-rata dan maksimum), agar berlaku
komprehensif pada berbagai lama dan probabilitas hujan yang dibutuhkan, khususnya untuk kawasan
Kota Bandung, dan dapat dikembangkan untuk kawasan lainnya.
METODOLOGI STUDI
Penelitian ini dilaksanakan di Kota Bandung dengan menganalisis data curah hujan menitan yang tersedia
di BMKG Cemara. Kajian dilakukan dengan alur pikir yang sistematis. Tahapan pengumpulan data dan
analisis dilakukan sebagai berikut: :
1. Inventarisasi data curah hujan dalam durasi menitan atau jam-jaman di Bandung.
2. Pengelompokan data intensitas hujan menurut kelompok durasi menitan.
3. Analisis data untuk mendapatkan nilai tetapan-tetapan probabilitas dan durasi hujan
4. Analisis data untuk mendapatkan formula intensitas secara lengkap yang merupakan fungsi dari
probabilitas dan durasi hujan.
5. Verifikasi dan Validasi persamaan/formula:
Tabel 1. Nilai I pada periode ulang dan lama hujan tertentu (data awal untuk pemodelan)
t (menit)
T 5 10 15 30 45 60 120 180 360 720
2 23.4 17.9 16.2 10.7 7.9 6.4 3.5 2.7 1.5 0.8
3 30.3 22.7 19.3 12.8 9.6 7.6 4.5 3.4 1.8 0.9
5 34.9 26.5 22.8 15.4 11.4 9.3 5.2 3.7 2.0 1.1
7 37.9 27.7 23.4 16.6 12.8 10.3 5.6 4.0 2.3 1.3
10 39.5 30.0 25.3 17.7 13.1 10.6 5.9 4.4 2.5 1.3
15 43.5 31.7 27.2 18.9 13.8 11.0 6.5 4.6 2.6 1.4
20 46.8 34.7 28.8 19.3 14.0 11.3 6.9 4.9 2.6 1.4
25 47.1 36.6 29.1 19.6 14.4 11.4 7.1 4.9 2.7 1.5
50 50.5 39.3 33.7 23.1 16.1 12.4 7.6 5.2 3.0 1.6
Nilai intensitas hujan ditransformasi dengan Ln(I) untuk setiap T pada masing-masing kelompok t
= 5, 10, 15, 30, 60, 120, 180, 360, dan 720. Transformasi periode ulang hujan (T) menjadi
1
probabilitas (P) dengan menggunakan P = ⋅ 100 . (3)
T
2) Hasil tranformasi periode ulang hujan menjadi probabilitas (P) menjadi dasar untuk menentukan
formula hubungan linier antara Ln(I) dengan P untuk setiap kelompok t = 5, 10, 15, 30, 60, 120,
180, 360, dan 720. Berdasarkan hubungan linier tersebut diperoleh konstanta hubungan linier dan
nilai determinasinya.
3) Persamaan hubungan linier antara Probabilitas (p) dengan Ln(I) pada setiap kelompok lama hujan (t)
digunakan untuk membuat proyeksi nilai ln(I). Nilai proyeksi tersebut disajikan pada tabel 2.
Tabel 2. Proyeksi nilai Ln (I) berdasarkan persamaan hubungan linier antara probabilitas (p) dengan Ln(I)
pada setiap kelompok lama hujan (t)
t
T
p 5 10 15 30 45 60 120 180 360 720
2 50.00 3.14 2.86 2.74 2.33 2.05 1.84 1.23 0.96 0.37 (0.28)
3 33.33 3.39 3.11 2.97 2.57 2.28 2.06 1.48 1.18 0.59 (0.04)
5 20.00 3.59 3.31 3.15 2.76 2.46 2.24 1.68 1.36 0.77 0.15
7 14.29 3.67 3.39 3.23 2.84 2.54 2.31 1.77 1.44 0.85 0.23
10 10.00 3.74 3.46 3.28 2.91 2.60 2.37 1.84 1.49 0.91 0.29
15 6.67 3.79 3.51 3.33 2.95 2.64 2.41 1.89 1.54 0.96 0.34
20 5.00 3.82 3.53 3.35 2.98 2.66 2.44 1.91 1.56 0.98 0.36
25 4.00 3.83 3.55 3.37 2.99 2.68 2.45 1.93 1.57 0.99 0.38
50 2.00 3.86 3.58 3.39 3.02 2.70 2.48 1.96 1.60 1.02 0.41
4) Proyeksi nilai intensitas hujan (I) dilakukan berdasarkan transformasi balik hubungan antara
probabilitas (p) dengan Ln (I) pada setiap kelompok t. Nilai proyeksi diperoleh dengan persamaan
lt = e ⋅ f ( p ) (4)
Keterangan :
I : nilai intensitas
e : nilai eksponensial (2.7183)
p : probabilitas
Nilai proyeksi dapat dilihat pada tabel 3.
Tabel 3. Proyeksi nilai I berdasarkan transformasi balik atas hubungan antara p dengan Ln (I) pada setiap
kelompok lama hujan t
t^(-0,5) 0.45 0.32 0.26 0.18 0.15 0.13 0.09 0.07 0.05 0.04
T P (%) 5 10 15 30 45 60 120 180 360 720
50.00 2.00 47.48 35.78 29.74 20.48 14.95 11.88 7.096 4.35 2.77 1.50
20.00 5.00 45.38 34.21 28.56 19.62 14.35 11.42 6.794 4.24 2.66 1.44
10.00 10.00 42.08 31.74 26.69 18.25 13.40 10.68 6.318 4.07 2.48 1.34
6.67 15.00 39.02 29.44 24.95 16.98 12.51 10.00 5.876 3.89 2.32 1.25
5.00 20.00 36.18 27.32 23.32 15.80 11.68 9.35 5.464 3.71 2.17 1.16
4.00 25.00 33.55 25.34 21.80 14.71 10.91 8.75 5.082 3.54 2.03 1.08
3.33 30.00 31.11 23.51 20.38 13.69 10.19 8.19 4.726 3.36 1.89 1.00
2.86 35.00 28.85 21.81 19.05 12.73 9.51 7.66 4.395 3.18 1.77 0.93
2.50 40.00 26.75 20.24 17.80 11.85 8.88 7.17 4.087 3.01 1.65 0.87
2.22 45.00 24.80 18.77 16.64 11.03 8.29 6.71 3.801 2.83 1.54 0.81
2.00 50.00 23.00 17.42 15.56 10.26 7.74 6.28 3.535 2.65 1.44 0.75
1.82 55.00 21.33 16.16 14.54 9.55 7.23 5.87 3.287 2.48 1.35 0.70
1.67 60.00 19.78 14.99 13.59 8.88 6.75 5.49 3.057 2.30 1.26 0.65
1.54 65.00 18.34 13.91 12.70 8.27 6.31 5.14 2.843 2.12 1.18 0.61
1.43 70.00 17.01 12.90 11.87 7.69 5.89 4.81 2.644 1.95 1.10 0.56
1.33 75.00 15.77 11.97 11.10 7.16 5.50 4.50 2.459 1.77 1.03 0.53
1.25 80.00 14.62 11.11 10.38 6.66 5.13 4.21 2.286 1.59 0.96 0.49
1.18 85.00 13.56 10.30 9.70 6.20 4.79 3.94 2.126 1.42 0.90 0.45
1.11 90.00 12.57 9.56 9.06 5.77 4.48 3.69 1.977 1.24 0.84 0.42
1.05 95.00 11.66 8.87 8.47 5.37 4.18 3.45 1.839 1.06 0.78 0.39
1.02 98.00 11.14 8.48 8.14 5.14 4.01 3.31 1.761 0.96 0.75 0.38
5) Transformasi data t menjadi 1/t0,5 dilakukan untuk membuat formulasi hubungan linear antara I
dengan t(-0,5) untuk masing-masing kelompok Periode ulang (P). Hasil transformasi data dari t menjadi
1/t-0,5 diformulasi ulang sehingga diperoleh formulasi hubungan linear antara I dengan t(-0,5) untuk
masing-masing kelompok Periode ulang (P); I = A + B ⋅ t (−0,5 ) . (5)
6) Nilai koefisien A dan B tersebut dikelompokan berdasarkan nilai intervasl probabilitas hujan.
Kemudian dianalisis lebih lanjut dengan mencari hubungan, masing-masing antara probabilitas
dengan nilai koefisien A; dan probabilitas dengan koefisien B (lihat Gambar 2).
Gambar 2. Formulasi hubungan antara koefisien A dan B dengan probabilitas hujan (P)
7) Substitusi pola hubungan antara A dan B dengan P, ke dalam pola persamaan linier ;
I = A + B ⋅ t (−0 ,5) . Model hubungan antara intensitas hujan rata-rata (I) sebagai fungsi dari
probabilitas (p) dengan lama hujan (t),adalah :
− 0,019 ⋅ p
I = 121,431⋅ t − 0,5 ⋅ e − 0,015 − (2,963 ⋅ e ) (6)
(t , p)
8) Berdasarkan persamaan pada langkah G, maka persamaan tersebut digunakan sebagai persamaan
untuk proyeksi intensitas hujan rata-rata hasil pemodelan untuk setiap P dan t (lihat Gambar 3).
60,00
2,00
5,00
50,00
10,00
20,00
25,00
40,00 30,00
Intensitas hujan (I; mm/jam)
35,00
40,00
45,00
30,00
50,00
20,00
10,00
-
1 10 100 1000
Gambar 3. Grafik proyeksi intensitas hujan rata-rata hasil pemodelan untuk setiap P dan t
9) Hasil perhitungan menunjukkan bahwa antara intensitas hujan model dengan Intemsitas empirik
pada semua kelompok durasi hujan mempunyai nilai yang sangat mendekati. Hal ini ditunjukkan oleh
nilai korelasi antara keduanya. Nilai korelasi tersebut berada di atas 0,99 (lihat Tabel 4).
Tabel 4. Hasil rekapitulasi validitas model intensitas hujan rata-rata stasiun hujan Bandung
T P (%) R2 r
2 50.0 0.981 0.990454
5 20.0 0.9879 0.993932
10 10.0 0.9891 0.994535
20 5.0 0.9944 0.997196
50 2.0 0.9833 0.991615
b. Intensitas Maksimum
Dengan menggunakan data intensitas hujan maksimum menitan, dan cara perhitungan identik dengan
penyusunan pola intensitas hujan rata-rata, diperoleh persamaan intensitas hujan pola Intensitas Hujan
maksimum untuk wilayah Bandung. Model hubungan antara intensitas hujan (I) maksimum sebagai fungsi
dari probabilitas (P) dengan lama hujan (t), ditulis dalam bentuk Persamaan 7.
I (t , p ) = 3,84,9 ⋅ t −0,5 ⋅ e −0, 015 − (1,7992 ⋅ ln( p) + 3,127) (7)
Persamaan diatas tersebut digunakan sebagai persamaan untuk proyeksi intensitas hujan rata-rata hasil
pemodelan untuk setiap P dan t. Hasilnya disajikan dalam bentuk Grafik (gambar 4).
180,00
160,00
140,00
5,00
10,00
120,00
25,00
50,00
100,00 15,00
20,00
30,00
80,00
35,00
40,00
60,00 45,00
50,00
40,00 2,00
20,00
0,00
1 10 100 1000
Gambar 4. Grafik proyeksi intensitas hujan maksimum hasil pemodelan untuk setiap P dan t stasiun
hujan Bandung.
Rekapitulasi validitas model intensitas hujan maksimum stasiun hujan Bandung, yang menggambarkan
pengaruh lama hujan terhadap intensitas hujan pada setiap P disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Hasil rekapitulasi validitas model intensitas hujan maksimum stasiun hujan Bandung.
T P (%) R2 r
2 50,0 0,9807 0,990303
5 20,0 0,9665 0,983107
10 10,0 0,9243 0,961405
20 5,0 0,9631 0,981377
50 2,0 0,9577 0,978621
Dengan nilai koefisien determinasi tersebut, secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa antara intensitas
hujan dengan lama hujan mempunyai nilai korelasi hampir sempurna atau r mendekati 1.
REFERENSI
Chow, V.T., Maidment, D.R., and Mays L.W., 1988. Applied hydrology, McGraw-Hill Book Company,
New York, St. Louis, etc.; 110-113.
Rohmat, Dede dan Indratmo Soekarno, 2004. Pendugaan limpasan hujan pada cekungan kecil melalui
pengembangan persamaan infiltrasi kolom tanah (Kasus di cekungan kecil Cikumutuk DAS
Cimanuk Hulu); Makalah PIT HATHI XXI, September-Oktober 2004, Denpasar-Bali.
Rohmat, Dede, 2002. Formulasi pola intensitas hujan berdasarkan kejadian hujan durasi pendek (contoh
kasus untuk DAS Cimanuk Hulu), Yayasan Geofera, Bandung.
Rohmat, Dede, Indratmo Soekarno, Darsiharjo, Model Infiltrasi Empirik Berdasarkan Sifat Fiik dan
Hidrauik Kolom Tanah untuk Menduga Infiltrasi di DAS Bagian Hulu (Kasus Tanah Sand).
Peningkatan Mutu Pendidikan Berbasis Riset, Seminar dan Bazar Penelitian, Lembaga Penelitian
UPI, Bandung, Januari 2008 (Pemakalah).
Soekarno, I., Dede Rohmat dan, Persamaan Pola Intensitas Hujan Fungsi dari Durasi dan Probabilitas
Hujan untuk Kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) Bagian Hulu. Jurnal Media Komunikasi
BMPTTSSI (Akreditasi A), Vol. No. 2006.
Soekarno, Indratmo dan Dede Rohmat, Pola Intensitas Hujan Menurut Durasi Hujan dan Probabilitas
Hujan pada DAS Cimanuk Bagian Tengah" Seminar "Banjir dan Kekeringan" Masyarakat Hidrologi
Indonesia, 7 Sept. 2005, Jakarta.
Subarkah, Iman,1980. Hidrologi untuk perencanaan bangunan air, Idea Dharma Bandung.
Abstrak
Debit aliran permukaan di Kota Bandung cenderung meningkat setiap tahun. peningkatan aliran
permukaan pada umumnya ditandai dengan beberapa hal yang terlihat di permukaan, seperti : tinggi
genangan yang selalu bertambah, durasi genangan yang makin lama serta luas daerah genangan yang
makin bertambah. Sesungguhnya ketiga hal tersebut terjadi di beberapa tempat di Kota Bandung.
Keberadaan genangan sangat merugikan dan berdampak buruk bagi masyarakat, seperti terganggunya
kesehatan masyarakat, kelancaran pengguna jalan terganggu akibat macet, kerugian akibat korosi dan
lain - lain akibat dari polusi air kotor. Pada umumnya yang dianggap sebagai penyebab peningkatan aliran
permukaan adalah tidak tersedianya saluran drainase yang tidak memadai atau bahkan tidak beroperasi,
akibat adanya sampah, saluran yang rusak atau tertutupi. Hal tersebut hanya masalah sarana saja,
dengan asumsi daya tampung saluran sudah sesuai dengan debit aliran permukaan yang sudah
direncanakan. Kemungkinan lain dari penyebab peningkatan aliran permukaan adalah perubahan debit
aliran. Debit aliran permukaan akan meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk,
peningkatan kuantitas dan ragam dari aktivitas manusia, dan lebih disebabkan oleh perubahan penutup
lahan akibat perubahan tata guna lahan. Perubahan tata guna lahan di Kota Bandung selama 10 tahun
menunjukkan adanya pertambahan lahan yang makin kedap air sehingga laju infiltrasi berkurang.
pertambahan ruang publik, perumahan dan jalan raya, terutama pada Kecamatan Bandung Kulon,
Kecamatan Bandung Wetan, Kecamatan Ujung Berung, Kecamatan Cibiru, Kecamatan Cinambo,
Kecamatan Bojongloa Kidul, Kecamatan Bojongloa Kaler, dan Kecamatan Batununggal.
Kata Kunci: Metode SCS, Limpasan Permukaan Kota Bandung
LATAR BELAKANG
Sejak beroperasinya jalan Tol cipularang dan urbanisasi yang selalu terjadi setiap tahun mengakibatkan
Kota Bandung mengalami perkembangan sangat cepat, aktivitas manusia bertambah banyak dan
terutama pada bidang pariwisata. Hal tersebut tentu saja menghasilkan pertumbuhan ekonominya yang
meningkat, pertambahan luas pemukiman, pembangunan hotel dan obyek - obyek wisata, pusat kuliner
dan fashion. Perkembangan tersebut menuntut beberapa perubahan, lalu lintas di jalan raya yang padat
dan tata guna lahan di Kota Bandung mengalami banyak perubahan.
Perubahan peruntukan suatu lahan akan merubah penutup lahan dengan permeabilitas berbeda - beda
hingga yang kedap air. Porositas penutup lahan menentukan laju infiltrasi lahan dan mempengaruhi aliran
permukaan atau tinggi genangan suatu lahan (jika penutup lahan kedap air). Nilai CN suatu lahan akan
bertambah jika laju infiltrasi yang terjadi makin kecil. Perubahan tinggi genangan akan terakumulasi
menjadi pertambahan tinggi muka air sungai atau dengan kata lain pertambahan tinggi genangan akan
berkontribusi pada peningkatan debit aliran permukaan. Hal tersebut dapat termanifestasi pada frekuensi
banjir yang makin besar dan pertambahan luas genangan air akibat luapan dari sungai atau bahkan
tanggul.
Metode SCS merupakan suatu metode yang berusaha mendefinisikan atau menyatakan karakteristik
DAS seperti struktur tanah (subur, berpasir, liat), penutup lahan di sekitar DAS, dan tata guna lahan
dengan nilai CN (Run Off Curve Number).
Dasar Teori
Neraca Air
Setiawan Wangsaatmaja (Badan Pengendalian Lingkungan Hidup), 2003, Permasalahan lingkungan yang
terjadi di Cekungan Bandung merupakan akibat dari perencanaan dan pengelolaan tata ruang dan lahan
yang tidak tepat. Masalah lingkungan yang timbul mencakup gangguan fungsi hidrologi DAS, kualitas dan
kuantitas air, baik air permukaan dan air tanah, maupun sampah, serta kualitas udara. Permasalahan
lingkungan di Cekungan Bandung telah diteliti melalui interpretasi perubahan tata guna lahan, pengukuran
rezim aliran permukaan, kualitas air, pengelolaan sampah, dan kualitas udara. Perubahan tata guna lahan
mengakibatkan kawasan vegetasi, seperti hutan dan sawah, berkurang sebesar 54%, dan terjadi
peningkatan area terbangun menjadi sebesar 223%. Kerusakan DAS diindikasikan oleh peningkatan
koefisien run off, dari 0,3 pada 1950 menjadi 0,55 pada 1998. Terjadi pula perubahan rezim aliran yang
ditunjukkan oleh kecenderungan meningkatnya debit ekstrem maksimum dari 217,6 m3/det pada 1951
menjadi 285,8 m3/det pada 1998, dan penurunan debit ekstrem minimum dari 6,35 m3/det pada 1951
menjadi 5,70 m3/det pada 1998. Indeks produktivitas air tanah terus menurun dari 0,1 juta m3/unit pada
tahun 1900 menjadi 0,0188juta m3/unit di tahun 2002.
Kerusakan DAS yang terjadi di Cekungan Bandung memerlukan perombakan sistem pengelolaan, tidak
lagi berbasis batas administrasi, melainkan pengelolaan DAS terpadu berdasarkan batas ekologi. Upaya
dan strategi yang perlu dilakukan mencakup penyusunan kembali kebijakan dan institusi, pengendalian
pencemaran, rehabilitasi, dan konservasi lahan, serta pemberdayaan masyarakat. Fenomena yang terjadi
di DAS Citarum Hulu pada saat ini adalah ketika musim kemarau terjadi kekeringan, dan sebaliknya pada
musim hujan terjadi banjir disertai dengan buruknya kualitas air.
Perbedaan antara debit maksimum dan debit minimum semakin besar, dan aliran sungai
sangatbergantung pada jumlah presipitasi (tidak stabil). Pada akhirnya, hal ini akan mengakibatkan banjir
pada musim hujan dan kekeringan di musim kemarau seperti yang terjadi di Cekungan Bandung.
Perubahan tata guna lahan juga mempengaruhi komponen hidrologi lainnya (dengan R>0,9), seperti
meningkatnya debit banjir sebesar 56%, tingginya perbedaan antara debit maksimum dan
minimumsebesar 33%, menurunnya indeks produktivitasair tanah sebesar 60%, dan menurunnya
frekuensi presipitasi (<300mm )
Laras Tursilowati (Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer Dan Iklim, LAPAN), 2003, Hubungan
kesinambungan antara perubahan Lahan dan perubahan Suhu Udara baik di Bandung, Bogor dan Cianjur
Utara, terjadi akibat makin banyak perubahan lahan yang cenderung menaikkan suhu udara yaitu
perubahan luas lahan pemukiman, industri dan lahan terbuka semakin besar maka suhu tinggi yang
terjadi. Perubahan Lahan Pemukiman yang paling tinggi prosentasenya terjadi di Bogor (11,3%), setelah
itu Cianjur Utara (10,2%), kemudian Bandung (5,39%). Sebaliknya penutup lahan yang bisa meredam
suhu seperti lahan bervegetasi tinggi (hutan), tanaman semusim, perkebunan dan tubuh air justru
berkurang. Ketiga wilayah pengamatan menunjukkan bahwa lahan hutan selalu mengalami pengurangan
luas, di Bogor bahkan mencapai 32,73%, di Bandung 26,64%, sedangkan di Cianjur 4,76%. Seiring
dengan perubahan peruntukan lahan ini maka ada perubahan suhu udara yang terjadi. Kenaikan suhu
udara yang terbesar adalah di wilayah Bogor (24-28)0C sebesar 29,56%, kemudian di Bandung (24-29) 0C
sebesar 21,79%, dan di Cianjur Utara (24-27) 0C sebesar 19,26%. Di Bandung suhu tertinggi yang
mengalami kenaikan adalah sampai suhu (28-29) 0C, sedangkan di Bogor adalah suhu (27-28) 0C, dan di
Cianjur Utara adalah suhu (26-27) 0C.
Metoda SCS
Metoda ini sering disebut sebagai metoda curve number, sekalipun memiliki nama metoda SCS, karena
dikembangkan oleh Soil Conservation Service. Metoda SCS merupakan metoda yang dapat menghitung
kedalaman hujan yang akan berubah menjadi limpasan (direct runoff) di tempat yang tidak tersedia data
hujan. Metoda SCS menggunakan nilai atau bilangan kurva (CN atau Curve Number) untuk menentukan
direct runoff. metoda SCS berasumsi bahwa perbandingan antara retensi aktual terhadap retensi
potensial maksimum sama dengan rasio antara kedalaman hujan aktual terhadap kedalaman hujan
potensial maksimum, retensi merupakan air yang terinfiltrasi ke dalam tanah. Persamaan yang berlaku
untuk metode SCS adalah sebagai berikut (Asdak, 1995) :
F P − Ia
=
S Q
hubungan antara infiltrasi awal (initial abstraction) dengan retensi potensial maksimum adalah :
F = P − Ia − Q
maka persamaan metoda SCS menjadi :
(P − I a ) 2
Q=
P − Ia + S
Jika I a = λ ⋅ S , dan untuk daerah di Indonesia diperkirakan nilai λ = 0,2 maka I a = 0,2 S , dan :
( P − 0,2S ) 2
Q=
P + 0,8S
Limpasan permukaan (Q) berkurang dengan meningkatnya air infiltrasi atau nilai S
Bilangan Kurva (CN /Curve Number)
Kepentingan mempermudah perhitungan kelembaban awal maka SCS mengembangkan suatu bilangan
kurva atau Curve Number (CN) yang berkisar antara 0-100. Persamaan menentukan besarnya S sebagai
berikut (Asdak, 1995) :
25.400 25.400
S= − 254 atau CN =
CN 254 + S
Nilai bilangan kurva (CN) mewakili karakteristik daerah genangan atau daerah layanan drainase. Nilai
bilangan kurva (CN) merupakan index penutup tanah dan jenis tanah, yang akan menggambarkan laju
infiltrasi suatu tanah dan di lain pihak akan menggambarkan jumlah hujan yang bertransformasi menjadi
genangan. Nilai CN ditentukan atau tergantung pada tataguna lahan, struktur tanah, kondisi hidrologi,
golongan tanah berdasarkan USCS, (antecedent moisture condition), dan konservasi tanah.
Nilai bilangan kurva suatu area ditentukan berdasarkan nilai CN dan luas poligon penggunaan lahan-jenis
tanah. Bilangan kurva timbangan area (nilai CN komposit) diperoleh dengan persamaan (Mary, et.al.):
n
CN =
∑ CN xA
i =1 i i
n
∑ A i =1 i
Pada umumnya bilangan kurva dari tabel nilai bilangan kurva merupakan nilai CN pada saat AMC II,
kemudian dilakukan konversi untuk kondisi AMC III dan AMC I. Konversi nilai bilangan kurva dari kondisi
AMC II ke kondisi AMC yang lain dapat dihitung dengan rumus berikut :
CN ( II )
CN ( I ) =
2,3 − 0,013CN ( II )
dan
CN ( II )
CN ( III ) =
0,43 + 0,0057CN ( II )
Perhitungan bilangan kurva sama seperti perhitungan koefisien aliran permukaan (coeffisien runoff), tetapi
bilangan kurva merefleksikan ketidakmampuan air menembus suatu lahan (impervious). Parameter ini
menggunakan lebih banyak besaran yang diperhitungkan dibandingkan dengan perhitungan koefisien
aliran permukaan. Hubungan antara nilai CN dan koefisien aliran permukaan adalah sebagai berikut :
25.400
S= − 254
CN
( P − 0,2S ) 2
Q=
P + 0,8S
P
C=
Q
METODOLOGI STUDI
Analisa data yang akan dilakukan adalah mengidentifikasikan semua nilai CN yang ada di Kota Bandung.
Identifikasi nilai CN dilakukan dengan mencocokkan data tataguna lahan dengan tabel dari SCS. Analisa
data hujan yang akan dilakukan meliputi perhitungan intensitas maksimum, hujan rata-rata wilayah dan
selanjutnya perhitungan debit aliran permukaan. Intensitas hujan maksimum dilakukan dengan
menggunakan sofware SMADA. Perhitungan curah hujan wilayah dilakukan dengan cara aljabar
menginggat data yang tersedia hanya dari 1 stasiun hujan saja. debit aliran permukaan dihitung
menggunakan metoda SCS.
Jika semua data dan hasil analisa sudah tersedia selanjutnya melakukan identifikasi aliran pemukaan
dengan limpasan yang besar hingga yang paling kecil (klasifikasikan) sesuai dengan tataguna lahan yang
ada. Data tersebut diverifikasi dengan melakukan survey langsung untuk melihat kesesuaian antara data
yang kita miliki, apakah ada perubahan tataguna lahan dan jika memungkinkan (saat musim hujan), akan
dilakukan survey atas genangan yang terjadi. hasil akhirnya disajikan dalam bentuk digital (peta GIS)
Neraca air Kota Bandung menunjukkan bahwa pada musim hujan akan surplus air sedangkan pada
musim kemarau menunjukkan kekeringan (ketersediaan air negatif). Neraca air Kota bandung dipengaruhi
oleh jumlah penduduk dan keragaman aktivitas penduduk yang menghasilkan tingkat konsumsi air yang
berbeda - beda. Intensitas hujan maksimum dari ketiga kala ulang menunjukkan pola yang sama hanya
nilainya makin meningkat sebanding dengan kala ulang yang digunakan. Pada kala ulang 5 tahun
diperoleh intensitas hujan kumulatif maksimum mencapai 214,297 inchi. Pada kala ulang 10 tahun
diperoleh intensitas hujan kumulatif maksimum mencapai 230,031 inchi.Pada kala ulang 25 tahun
diperoleh intensitas hujan kumulatif maksimum mencapai 246,805 inchi.
Tabel 1. Neraca air Kota Bandung
Data Ketersediaan Air Kota Bandung (m3/det)
Tahu Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des
n
2003 54,3 62,1 61,2 54,8 39,9 27,3 26,2 21,1 20,5 32,3 42,2 51,2
5 3 0 1 8 8 4 3 6 3 6 4
Neraca Air Kota Bandung (m3/det)
2003 32,8 33,2 28,3 28,5 -9,34 -6,47 -9,90 -10,5 -2,62 8,86 5,71 27.1
5 3 8 1 0
2025 31,5 32,9 28,5 27,8 -9,23 -6,16 -9,30 -10,5 -3,67 7,62 6,37 26,1
8 1 5 6 7
(Sumber : Hasil analisa Tim Dinamaritama)
45
Curah hujan rencana
40
35
curah hujan (inchi)
30
kala ulang 5thn
25
kala ulang 10thn
20
kala ulang 25thn
15
10
5
0
0 200 400 600 800
durasi (menit)
Gambar 2. Hujan maksimum dengan kala ulang 5tahun, 10 tahun dan 25 tahun.
Perubahan tata guna lahan di Kota Bandung selama 10 tahun menunjukkan adanya pertambahan lahan
yang makin kedap air sehingga laju infiltrasi berkurang. pertambahan ruang publik, perumahan dan jalan
raya, terutama pada Kecamatan Bandung Kulon, Kecamatan Bandung Wetan, Kecamatan Ujung Berung,
Kecamatan Cibiru, Kecamatan Cinambo, Kecamatan Bojongloa Kidul, Kecamatan Bojongloa Kaler, dan
Kecamatan Batununggal. Selisih nilai CN akibat perubahan tata guna lahan selama 10 tahun paling besar
dialami Kecamatan Ujung Berung dan Kecamatan Cibiru, sekalipun beberapa kecamatan di Kota
Bandung mengalami perubahan tata guna lahan yang cukup besar. Nilai CN lebih terpengaruh oleh
perubahan tata guna lahan dibanding nilai koefisien limpasan permukaan.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengumpulan data, analisa data dan studi literatur, diperoleh beberapa kesimpulan,
sebagai berikut :
1. Neraca air Kota Bandung menunjukkan bahwa pada musim hujan akan surplus air sedangkan
pada musim kemarau menunjukkan kekeringan (ketersediaan air negatif).
2. Neraca air Kota bandung dipengaruhi oleh jumlah penduduk dan keragaman aktivitas penduduk
yang menghasilkan tingkat konsumsi air yang berbeda - beda.
3. Perubahan tata guna lahan di Kota Bandung selama 10 tahun menunjukkan adanya
pertambahan lahan yang makin kedap air sehingga laju infiltrasi berkurang. pertambahan ruang
publik, perumahan dan jalan raya, terutama pada Kecamatan Bandung Kulon, Kecamatan
Bandung Wetan, Kecamatan Ujung Berung, Kecamatan Cibiru, Kecamatan Cinambo,
Kecamatan Bojongloa Kidul, Kecamatan Bojongloa Kaler, dan Kecamatan Batununggal.
4. Selisih nilai CN akibat perubahan tata guna lahan selama 10 tahun paling besar dialami
Kecamatan Ujung Berung dan Kecamatan Cibiru, sekalipun beberapa kecamatan di Kota
Bandung mengalami perubahan tata guna lahan yang cukup besar.
5. Nilai CN lebih terpengaruh oleh perubahan tata guna lahan dibanding nilai koefisien limpasan
permukaan.
Rekomendasi
Beradasarkan rangkaian analisa dan studi literatur dalam menyelesaikan tahapan - tahapan penelitian,
maka muncul gagasan dan ide baru serta menemukan beberapa kendala dan kekurangan sehingga bisa
dibuat beberapa saran, sebagaimana berikut ini:
1. Hasil penelitian akan lebih terlihat fungsi aplikatif nya jika sudah teruji dengan kondisi si
lapangan, maka sebaiknya dilakukan pengukuran langsung infiltrasi sehingga nilai initial
abstraction (Ia) bukan berdasarkan pengandaian (Ia = 0,2S).
2. Penelitian selanjutnya perlu melakukan pengecekan lapangan untuk penentuan kondisi
kelembaban awal (Antecedent moisture condition) bukan sekedar berdasarkan data sekunder
dan studi literatur.
3. Melakukan perhitungan hidrograf satuan untuk das yang ditinjau.
REFERENSI
Asdak, C. 1995. Hidrologi dan PengelolaanDaerah Aliran Sungai. Yogyakarta:Gadjah Mada University
Press
Hawkins R. H., 1978, Runoff Curve Numbers with Variying Site Moisture, Journal of Irrigation and
Drainage Devision.
Ria Junika, 2008, Identifikasi Aliran Permukaan di setiap Kecamatan Di DKI Jakarta dengan Metoda
SCS.Bogor, IPB
Tejram Nayak, dkk, 2012, SCS Curve number method in Narmada Basin, International Journal of
Geomatics and Geoscience, Volume 3, no 1, Raipur.
Untari adelia, 1995, Studi Pengaruh Perubahan Tata Guna Lahan Terhadap Debit di DAS Citepus Kota
Bandung., Institut Teknologi Bandung.
Yustiana Fransiska, 2008, Rekayasa Hidrologi, Bandung : Penerbit Pishon.
Abstrak
Seiring dengan perubahan iklim global yang terjadi, rekaman curah hujan BMKG Kota Bandung secara
umum menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan curah hujan dalam 25 tahun terakhir.
Berdasarkan analisis lengkung/kurva IDF teridentifikasi bahwa terhitung tahun 2007 intensitas curah hujan
untuk periode ulang 2, 5, dan 10 tahun mengalami peningkatan yang cukup signifikan khususnya untuk
hujan berdurasi kurang dari 60 menit. Besarnya persentase peningkatan intensitas curah hujan sejak
tahun 2007 sampai dengan 2013 untuk periode ulang 2 dan 5 tahun secara berurutan adalah 5,84% dan
8,36%. Mempertimbangkan bahwa perhitungan kapasitas saluran drainase sangat dipengaruhi oleh waktu
pengaliran baik di lahan maupun di saluran, dalam studi ini temuan tersebut diterapkan untuk
mengevaluasi kapasitas saluran drainase pada kawasan kampus Universitas Katolik Parahyangan Jalan
Ciumbuleuit No. 94. Hasil kajian menunjukkan bahwa seluruh ruas saluran drainase yang ada masih
mampu mengalirkan limpasan permukaan yang terjadi. Pada kondisi ketersediaan data hujan berdurasi
pendek adalah terbatas, besarnya intensitas curah hujan dapat diperkirakan berdasarkan persamaan
Mononobe. Dengan memodifikasi eksponen persamaan menjadi 0,728, selisih intensitas curah hujan
yang diperoleh menggunakan persamaan Mononobe dapat direduksi dari 36,05 % dan 22,05 % menjadi
24,95% dan 13,73% untuk masing-masing periode ulang 2 dan 5 tahun.
Kata kunci: perubahan intensitas hujan, drainase Kota Bandung, modifikasi persamaan Mononobe
LATAR BELAKANG
Pada dasarnya sistem drainase merupakan salah satu infrastruktur perkotaan yang sangat penting.
Karena perannya yang vital, kualitas manajemen suatu kota dapat dinilai dari kualitas sistem drainase
yang tersedia (Suripin, 2004). Seiring dengan pesatnya pertumbuhan ekonomi di sejumlah wilayah di
Indonesia termasuk Kota Bandung, alih fungsi lahan menjadi baik kawasan permukiman, kawasan
komersial, maupun kawasan industri sering kali tidak dapat dihindari. Sebagai konsekuensinya, kawasan
menjadi rentan terhadap genangan terutama jika tidak disertai dengan perencanaan sistem drainase yang
memadai (Ditgustiwa, 1997; Akalily, 2013).
Kota Bandung, sebagai ibu kota Provinsi Jawa Barat, secara umum memiliki curah hujan yang tinggi
dibandingkan sejumlah provinsi lainnya. Dengan topografi lahan yang terletak pada sebuah cekungan di
dataran tinggi, Kota Bandung mutlak memerlukan sistem drainase untuk mengendalikan limpasan
permukaan dengan tetap memperhatikan fungsi konservasi dan keseimbangan neraca air sebagai satu
kesatuan siklus hidrologi. Selain tata ruang wilayah, perubahan iklim global juga merupakan salah satu
aspek yang patut diperhitungkan dalam perencanaan sistem drainase yang berkelanjutan. Untuk itu,
perencanaan sistem drainase seyogyanya dilakukan secara terpadu dengan menyertakan berbagai sektor
terkait lainnya dimulai dari unit kawasan terkecil pada sebuah wilayah terbangun.
Studi ini dimaksudkan untuk mengkaji perubahan intensitas curah hujan sekaligus dampaknya terhadap
kinerja saluran drainase pada sebuah kawasan di Kota Bandung yang dalam hal ini adalah kampus
Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) yang terletak di Jalan Ciumbuleuit No. 94. Sebagai kampus yang
dibangun pada tahun 1973 dan resmi digunakan pada tahun 1974, sebagaimana disajikan pada Gambar
1, saat ini kampus Unpar yang dimaksud telah menjadi satu kawasan terbangun yang cukup padat
dengan ketersediaan ruang terbuka lolos air yang semakin terbatas. Seiring perubahan iklim global yang
terjadi, upaya untuk mengevaluasi kinerja saluran drainase yang ada merupakan langkah penting untuk
menjamin kawasan kampus terbebas dari genangan. Namun demikian, mempertimbangkan keterbatasan
data yang dimiliki, proses evaluasi ini dititikberatkan hanya pada kapasitas saluran drainase di dalam
lingkungan kampus Unpar tanpa memperhitungkan fluktuasi muka air banjir pada saluran drainase
penerima di luar sistem.
Gambar 1. Lay out sistem drainase kampus Unpar di Jalan Ciumbuleuit No. 94, Bandung
Kemudian, mempertimbangkan terbatasnya informasi hujan berdurasi pendek yang menjadi dasar bagi
perencanaan sebuah sistem drainase, melalui studi ini juga dilakukan suatu kajian sederhana dengan
memanfaatkan persamaan matematik Mononobe untuk menentukan besarnya intensitas curah hujan
pada sejumlah periode ulang.
METODOLOGI STUDI
Studi diawali dengan pengumpulan data curah hujan baik menitan atau jam-jaman maupun harian
maksimum tahunan selama 25 tahun terakhir yang diperoleh dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan
Geofisika (BMKG) Kota Bandung. Melalui serangkaian analisis statistik, informasi curah hujan yang
tersedia diolah untuk menghasilkan lengkung/kurva Intensity Duration Frequency (IDF) dengan periode
ulang 2 dan 5 tahun. Adapun metode analisis IDF yang digunakan antara lain metode Talbot, metode
Sherman, dan metode Ishiguro (Sosrodarsono, 1978). Kurva IDF ini kemudian diterapkan untuk
mengevaluasi kapasitas saluran drainase di lingkungan kampus Unpar Jalan Ciumbuleuit No. 94 dimana
besarnya debit banjir rencana periode ulang 2 tahun ditetapkan berdasarkan metode Rasional
(Departemen Pekerjaan Umum, 1990) dan perhitungan kedalaman aliran dilakukan menggunakan
persamaan Manning. Sejumlah data pengukuran curah hujan dan debit limpasan dilakukan untuk
mengestimasi besarnya koefisien limpasan yang digunakan dalam perhitungan debit banjir rencana.
Selain itu, informasi intensitas curah hujan yang ada juga dimanfaatkan lebih lanjut untuk memodifikasi
persamaan Mononobe (Sosrodarsono, 1978).
30 80
70
25
Curah Hujan (mm)
60
20
50
15 40
y = 0.7283x - 1404.9
30
10
y = 0.182x - 349.47 20
5
10
0 0
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
1986
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
Tahun Tahun
40 90
35 80
70
Curah Hujan (mm)
30
60
25
50
20
40 y = 0.7458x - 1433.1
15
30
y = 0.3039x - 586.38
10 20
5 10
0 0
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
1986
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
Tahun Tahun
45 100
40 90
35 80
Curah Hujan (mm)
30 70
60
25
50
20
y = 0.311x - 594.56 40 y = 0.8501x - 1637.7
15 30
10 20
5 10
0 0
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
1986
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
Tahun Tahun
Gambar 2. Kecenderungan curah hujan berdurasi pendek periode tahun 1989 - 2013
70 140
60 120
Curah Hujan (mm)
1986
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
Tahun Tahun
80 140
70 120
Curah Hujan (mm)
1986
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
Tahun Tahun
Gambar 3. Kecenderungan curah hujan berdurasi pendek periode tahun 1989 – 2013 (lanjutan)
Kurva IDE Periode Ulang 2 Tahun Perubahan Intensitas Curah Hujan Periode Ulang 2 Tahun
160 160
140 140
120 120
100 100
I (mm/jam)
I (mm/jam)
80 80
60 60
40 40
20 20
0 0
0 60 120 180 240 300 360 420 480 540 600 660 720 5 10 15 30 45 60 120 180 360 720
t (menit) t (menit)
89-98 89-99 89-00 89-01 89-02 89-03 89-04 89-05 89-98 89-99 89-00 89-01 89-02 89-03 89-04 89-05
89-06 89-07 89-08 89-09 89-10 89-11 89-12 89-13 89-06 89-07 89-08 89-09 89-10 89-11 89-12 89-13
Kurva IDF Periode Ulang 5 Tahun Perubahan Intensitas Curah Hujan Periode Ulang 5 Tahun
200 210
180
180
160
140 150
I (mm/jam)
I (mm/jam)
120 120
100
90
80
60 60
40 30
20
0
0 5 10 15 30 45 60 120 180 360 720
0 60 120 180 240 300 360 420 480 540 600 660 720
t (menit)
t (menit)
89-98 89-99 89-00 89-01 89-02 89-03 89-04 89-05 89-98 89-99 89-00 89-01 89-02 89-03 89-04 89-05
89-06 89-07 89-08 89-09 89-10 89-11 89-12 89-13 89-06 89-07 89-08 89-09 89-10 89-11 89-12 89-13
Gambar 4. Kurva IDF dan perubahan intensitas curah hujan untuk periode ulang 2 dan 5 tahun
Selain intensitas curah hujan, faktor lain yang juga memiliki peran penting dalam menentukan debit banjir
adalah koefisien limpasan. Untuk itu, di dalam studi ini telah dilakukan serangkaian pengukuran data
lapangan baik curah hujan maupun debit aliran sebagai dasar untuk mengestimasi besaran koefisien
limpasan yang digunakan dalam keseluruhan perhitungan. Berdasarkan hasil pengukuran yang dilakukan
selama 3 hari berturutan yaitu tanggal 23 – 25 Mei 2014 di lahan Fakultas Teknik, diketahui bahwa
koefisien limpasan rata-rata adalah 0,789. Secara rinci informasi mengenai koefisien limpasan tersebut
disajikan pada Tabel 1.
Tabel 3. Intensitas curah hujan berdasarkan persamaan Mononobe dengan eksponen 0,667
Tabel 4. Intensitas curah hujan berdasarkan persamaan Mononobe dengan eksponen 0,728
Durasi t
I 2 tahun (mm/jam) I 5 tahun (mm/jam) I 10 tahun (mm/jam) I 2 tahun I 5 tahun
(menit)
Persamaan Teoritis Mononobe Teoritis Mononobe Teoritis Mononobe Perbedaan (%)
5.00 167.02 196.89 220.47 289.47 254.90 389.98 15.17 23.84
10.00 126.60 118.87 154.32 174.76 171.15 235.45 6.11 11.70
15.00 108.28 88.49 130.71 130.09 144.23 175.27 18.28 0.47
30.00 79.63 53.42 96.78 78.54 107.17 105.81 32.91 18.85
45.00 61.82 39.77 75.34 58.47 83.54 78.77 35.67 22.40
60.00 51.86 32.25 59.39 47.42 63.75 63.88 37.81 20.16
120.00 29.43 19.47 33.26 28.63 35.46 38.57 33.83 13.93
180.00 21.00 14.50 23.83 21.31 25.47 28.71 30.96 10.58
360.00 11.67 8.75 13.84 12.87 15.12 17.33 25.03 7.01
720.00 6.12 5.28 7.11 7.77 7.69 10.47 13.73 8.42
Perbedaan rata-rata 24.95 13.73
3. Dengan memodifikasi nilai eksponen pada persamaan Mononobe dari 0,667 menjadi 0,728,
besarnya kesalahan dalam estimasi intensitas curah hujan direduksi dari 36,05 % dan 22,05 %
menjadi 24,95% dan 13,73% untuk masing-masing periode ulang 2 dan 5 tahun.
Rekomendasi
Memahami bahwa sebagian besar lahan di kampus Unpar Ciumbuleuit kini terbangun sebagai lahan
kedap air dan sistem drainase yang dimiliki lebih dititikberatkan untuk mengalirkan hujan secepat mungkin
menuju saluran drainase penerima guna menghindari terjadinya genangan, studi ini merekomendasikan
agar Unpar menyediakan infrastuktur pengisian air tanah berupa sumur resapan untuk menjaga
keseimbangan siklus hidrologi. Hal ini menjadi sangat penting mengingat kampus Unpar Ciumbuleuit
terletak di sisi utara Kota Bandung dan memiliki peran penting dalam konservasi air.
REFERENSI
Akalily, A., 2013. “Drainase Berwawasan Lingkungan”. http://inawf.org/v2013/drainase-berwawsan-
lingkungan/ (diakses pada tanggal 10 Februari 2014).
Departemen Pekerjaan Umum, 1990. Tata Cara Perencanaan Umum Drainase Perkotaan (SK SNI T-07-
1990-F). Yayasan Badan Penerbit Pekerjaan Umum, Jakarta.
Ditgustiwa, 1997. Drainase perkotaan. Gunadarma
Sosrodarsono, S., 1978. Hidrologi Untuk Pengairan. Pradnya Paramita, Jakarta.
Suripin, 2004. Sistem Drainase Perkotaan Yang Berkelanjutan. Andy Offset, Yogyakarta.
Abstrak
Pesatnya pembangunan dalam pengembangan kota dan perubahan tata guna lahan yang sangat cepat
dapat mengakibatkan meluapnya air dari sungai atau drainase utama yang melalui perkotaan tersebut
sehingga menimbulkan genangan air yang berdampak buruk terhadap lingkungan dan masyarakat. Lokasi
studi yang memiliki luas ±820 ha yang akan dikembangkan menjadi suatu kawasan industri dan
pemukiman ini terletak bersebelahan dengan Sungai Cipayaheun di mana pada sebelah hilirnya bertemu
dengan Sungai Cimanceuri. Berdasarkan hasil pemodelan hidrologi dengan menggunakan perangkat
lunak Watershed Modeling System 8.1, debit banjir dengan periode ulang 2 – 100 tahun Sungai
Cipayaheun untuk titik outlet pada lokasi pekerjaan memiliki rentang antara 266 – 363 m3/s sedangkan
kapasitas maksimum rata-rata sungai tersebut hanya berkisar 100 – 120 m3/s. Hal ini tentunya akan
menyebabkan limpasan air yang cukup besar yang lebih diperparah dengan efek air balik (backwater) dari
Sungai Cimanceuri yang memiliki debit banjir yang jauh lebih besar. Elevasi muka air banjir pada Sungai
Cipayaheun untuk setiap periode ulang yang dikaji diperoleh berdasarkan hasil pemodelan hidraulika
dengan menggunakan perangkat lunak HEC-RAS 4.1. Hasil pemodelan menunjukkan bahwa muka air
banjir rata-rata 2 tahunan Sungai Cipayaheun mencapai +19,50 m di mana hal ini akan menyulitkan air
pada sistem drainase kawasan tersebut untuk mengalir secara gravitasi karena terdapat beberapa luasan
area yang berada pada elevasi yang lebih rendah yaitu +16 m hingga +17 m. Penanganan banjir yang
mengacu pada konsep sistem polder akan diterapkan pada lokasi ini di mana akan membutuhkan kolam
tampungan (pond) dengan total luas ±20 ha. Dengan adanya penanganan yang tepat diharapkan
kawasan tersebut akan bebas dari banjir untuk periode ulang yang direncanakan.
Kata kunci: backwater, penanganan banjir, simulasi, sistem polder
LATAR BELAKANG
Suatu kawasan di daerah Balaraja merupakan lahan yang dimiliki oleh sebuah perusahaan memiliki luas
±820 ha dimana nantinya akan dikembangkan menjadi kawasan industri, komersial, perumahan, dan
sarana penunjang lainnya. Perusahaan tersebut telah melakukan suatu perencanaan awal yang tertuang
dalam Master Plan perencanaan kawasan di mana lahan tersebut akan dibangun sebagai suatu kawasan
terpadu untuk sarana industri dan permukiman, sehingga perlu dilengkapi dengan sarana hunian dan
pendukungnya. Pada kenyataannya rencana desain yang tertuang di dalam Master Plan tersebut sangat
sulit untuk direalisasikan dikarenakan oleh belum adanya suatu tatanan sistem drainase yang baik. Oleh
sebab itu, perlu dilakukan suatu studi yang komprehensif di mana perpaduan yang baik antara aspek
keindahan dan keamanan terhadap banjir tetap dipertahankan.
Kondisi lahan saat ini berada di dalam Daerah Aliran Sungai (DAS) Cipayaheun di sebelah Barat. Namun,
secara tidak langsung Kawasan Balaraja ini dipengaruhi oleh DAS Cimanceuri di sebelah Timur. Hal ini
disebabkan oleh pertemuan antara kedua buah sungai tersebut yang menyebabkan efek aliran balik
(backwater) yang berujung pada permasalahan banjir. Pada saat air pada Sungai Cipayaheun meluap, air
yang berasal dari internal Kawasan Balaraja ini tidak dapat mengalir langsung secara gravitasi karena
elevasi lahan yang berada di bawah elevasi muka air banjir sungai tersebut. Lokasi studi ini secara umum
dapat dilihat pada Gambar 1.
Elevasi (+ meter)
METODOLOGI STUDI
Secara umum metodologi studi dalam pengerjaan makalah ini dapat dilihat pada Gambar 2. Secara umum
proses pengerjaan makalah ini dimulai dari studi literatur mengenai analisis hidrologi dan prinsip-prinsip
penanganan banjir. Pada kenyataannya solusi penanganan banjir yang diperoleh beragam namun dalam
makalah ini solusi tersebut dipilih berdasarkan beberapa kajian dari sudut pandang penulis.
Berdasarkan hasil pemodelan dari perangkat lunak WMS 8.1 tersebut diperoleh luasan DTA masing-
masing untuk Sungai Cipayaheun dan Cimanceuri adalah 112 km2 dan 295 km2. Berdasarkan Gambar 3
tersebut dapat dilihat bahwa lokasi studi berada sepenuhnya di dalam lingkup DTA Sungai Cipayaheun
sehingga nantinya dalam penentuan elevasi sistem drainase dan elevasi grading lahan harus
memperhatikan aliran yang akan masuk ke dalam kawasan tersebut. Namun sebagaimana telah
dijelaskan sebelumnya, elevasi muka air banjir Sungai Cimanceuri juga harus diperhatikan. Data curah
hujan berhasil dikumpulkan dari 3 buah stasiun pencatatan yaitu Stasiun Cengkareng (26 a), Stasiun
Depok (9 TP) dan Stasiun Curug Tangerang. Hasil analisis dengan Metode Poligon Thiessen
menunjukkan bahwa dari ketiga buah stasiun tersebut hanya Stasiun Curug Tangerang yang memiliki
pengaruh signifikan, sehingga analisis debit banjir hanya akan menggunakan data pencatatan dari stasiun
ini. Dengan kata lain, data curah hujan wilayah yang mewakili kedua buah DTA ini adalah sama dengan
data Stasiun Curug Tangerang tersebut.
26a
656500
657000
657500
658000
658500
659000
659500
660000
660500
661000
661500
662000
662500
663000
663500
664000
664500
9315500
9315000
9314500
9314000
Lokasi Kawasan Balaraja
9313500
9313000
9312500
9312000
931500
9311000
9310500
9310000
Curug Tangerang
9309500
9309000
9308500
9308000
9307500
9307000
9306500
9306000
9305500
9305000
9304500
9304000
9303500
9303000
DAS Cipayaheun
DAS Cimanceuri
U
9TP
Berdasarkan hasil tersebut, distribusi yang paling sesuai yang mewakili data pencatatan stasiun tersebut
adalah distribusi Log Pearson III karena memiliki nilai penyimpangan maksimum yang terkecil yaitu 9,78.
Curah hujan hasil analisis frekuensi ini kemudian akan distribusikan berdasarkan suatu pola. Berdasarkan
penelitian Van Breen, curah hujan untuk wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya cenderung tersebar antara 5-
6 jam. Dalam kasus ini unutk analisis debit banjir pada DTA Sungai Cipayaheun dan Cimanceuri, distribusi
curah hujan yang digunakan adalah recesi berdasarkan persamaan Mononobe dengan lama total hujan
adalah 5 jam di mana dapat dilihat pada Gambar 4.
Data curah hujan rencana hasil analisis distribusi probabilitas pada Tabel 2 merupakan curah hujan kotor
(gross rainfall). Untuk menghitung besaran curah hujan efektif (effective rainfall), diperlukan besaran nilai
infiltrasi. Dalam pekerjaan ini besarnya infiltrasi dihitung dengan menggunakan persamaan SCS dengan
nilai CN (Curve Number) sebesar 88. Pertimbangan pengambilan nilai ini didasarkan bahwa wilayah DTA
Sungai Cipayaheun seluas 112 km2 dan Cimanceuri seluas 295 km2 didominasi oleh daerah pemukiman
yang padat penduduk pada bagian hilir, sedangkan pada bagian hulu masih terdapat daerah yang
didominasi oleh vegetasi.
100%
0%
0 1 2 3 4 5
Jam ke-
Gambar 4. Proporsi distribusi curah hujan rencana 5 jam untuk analisis debit banjir
Analisis debit banjir dilakukan dengan menggunakan prinsip superposisi beberapa SUH (Synthetic Unit
Hydrograph), di mana dalam hal ini dugunakan Metode SUH Nakayasu. DTA Sungai Cipayaheun seluas
112 km2 dan Cimanceuri seluas 295 km2 dibagi menjadi beberapa sub-DTA sehingga masing-masing
memiliki nilai SUH tersendiri. Analisis ini dilakukan dengan bantuan perangkat lunak WMS 8.1.
Sebenarnya, tingkat keakuratan model akan sangat dipengaruhi oleh banyak dan luasnya diskritisasi
masing-masing sub-DTA. Tetapi karena luasan DTA yang cukup luas yang tentunya akan memperlambat
kinerja perangkat lunak, maka pembagian DTA dapat dilakukan sewajarnya. Skema pemodelan dalam
analisis debit banjir untuk DTA Sungai Cipayaheun dan Cimanceuri dapat dilihat dalam Gambar 5.
0
0 5 10 15 20 25 30 35 40
Jam ke-
0
0 5 10 15 20 25 30 35 40
Jam ke-
g
n
ra
e
S
a
ay
R
n
la
ja
jalur gas
jalur gas
Sungai Cipayaheun
Kawasan terbangun ±20 Ha
Sungai Cimanceuri
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, setelah dilakukannya grading pada pembangunan kawasan
±820 Ha, maka terdapat lahan seluas ±475 Ha yang memberikan debit banjir kepada lahan terbangun
±20 Ha tersebut sehingga hal ini nantinya perlu diatasi. Analisis debit banjir kawasan dilakukan dengan
melihat terlebih dahulu permasalahan yang terjadi sebenarnya. Oleh sebab itu penulis membuat suatu
skema pentahapan penanganan solusi banjir dalam 2 tahap di mana tahap pertama ditujukan untuk
menangani banjir dalam jangka waktu pendek sedangkan tahap selanjutnya adalah penanganan banjir
untuk wilayah studi keseluruhan dalam jangka waktu yang lebih panjang. Tahap pertama yang
dimaksudkan di sini adalah pembangunan kawasan ±200 Ha terlebih dahulu serta memperhatikan aspek
penanganan banjir pada kawasan terbangun ±20 Ha. Penanganan banjir dalam tahap ini meliputi:
• Pembuatan tanggul di sekitar kawasan bagian selatan (kawasan ±200 Ha) untuk mencegah
masuknya luapan air dari Sungai Cipayahuen ke kawasan terbangun ±20 Ha.
• Peninggian jalan dengan cara menimbun berdasarkan kemiringan tertentu hingga sama dengan
elevasi puncak tanggul.
• Pemanfaatan saluran drainase utama eksisting pada kawasan ±20 Ha Ha serta pembangunan kolam
retensi banjir dan instalasi pompa untuk mengalirkan debit banjir yang hanya berasal dari kawasan
seluas ±20 Ha tersebut.
• Pembangunan pintu air pada inlet di sebelah barat laut dari kawasan ±20 Ha Ha tersebut di mana
inlet ini berbatasan dengan Sungai Cipayaheun.
• Pembangunan saluran drainase sementara (selama masa konstruksi kawasan ±20 Ha)
• Pembangunan pond 4 yang juga berfungsi sebagai penangkap aliran air yang berasal dari DTA
sebelah Timur dan Tenggara yang berasal dari luar Kawasan Balaraja.
• Pembangunan pond 3 beserta saluuran drainase utama (main drain) yang berfungsi untuk menahan
aliran banjir yang berasal dari kawasan rencana ±200 Ha.
• Pembangunan wilayah seluas ±200 Ha dengan elevasi grading rencana yang ditetapkan kemudian.
Tahap kedua dimaksudkan sebagai penanganan banjir khususnya untuk kawasan bagian selatan dan
bagian tengah di mana total luasan keduanya adalah ±600 Ha. Kedua buah skema pentahapan
penanganan banjir dapat dilihat pada Gambar 8. Selain itu pada Gambar 8 juga diberikan informasi
mengenai sumber air masuk pada kawasan terbangun ±20 Ha tersebut.
(2) (1)
Tahap 1
g
an
er
(3)
S
a
ay
R
n
la
ja
jalur gas
jalur gas
+20 m
s/d
Pond 3
Kawasan terbangun ±20 Ha + 25 m
n tinggi
teganga
jalur
Tahap 2
i
tingg
gan
r tegan
jalu
Pond 2 ±200 Ha
Pond 4
±300 Ha
Pond 1
±475 Ha Sumber masuknya air
±300 Ha
20
Kawasan Luar DTA Tenggara 35,22
Kawasan Luar DTA Tenggara
15
Kawasan 200 Ha
Kawasan 300 Ha (Tengah)
10
Kawasan 300 Ha (Bawah)
Kawasan Terbangun 20 Ha
5
0
0 2 4 6 8 10 12 14 16
Jam ke-
ma
Ci
Main
200
192
193.30
194
194.50
Main
197
196 195.3
C i p ay ah
198 eu n
200
Gambar 10. Skema pemodelan analisis hidraulika pada kondisi eksisting sungai
Simulasi hidrolika untuk kondisi eksisting sungai dilakukan dengan model steady-flow (aliran langgeng),
karena nilai yang ingin dicari berupa elevasi muka air banjir maksimum untuk setiap periode ulangnya.
Syarat batas hulu yang diterapkan adalah hidrograf banjir 2 tahun hingga 1000 tahun yang telah diperoleh
sebelumnya dari analisis hidrologi. Syarat batas hilir yang diterapkan adalah kedalaman normal yang
dihitung berasarkan kemiringan saluran yaitu 0,0014. Koefisien manning dianggap sebesar 0,035 di mana
nilai ini merupakan kriteria umum untuk besaran kekasaran pada sungai alami.
Hasil pemodelan baik tampang memanjang maupun tampak samping dari sungai tersebut dapat dilihat
pada Gambar 11. Dari hasil pemodelan dapat dilihat bahwa Sungai Cipayaheun pada dasarnya tidak
memiliki kapasitas yang cukup dalam mengalirkan debit banjir di mana hal ini diperparah dengan adanya
gorong-gorong dan pertemuan dengan Sungai Cimanceuri yang menyebabkan fenomena aliran balik
(backwater) yang menyebabkan bertambahnya tinggi muka air ke arah hulu. Selain itu dapat dilihat pula
bahwa air selalu melimpas di atas jalan pada daerah sekitar gorong-gorong baik untuk debit banjir periode
ulang 2 tahun sekalipun. Hal ini sejalan dengan informasi dari masyarakat sekitar bahwa di sekitar
gorong-gorong ini setiap tahunnya air selalu melimpas sekitar 1,20 m s/d 1,50 m di mana hasil pemodelan
menunjukkan tinggi limpasan sebesar 1,80 m. Rekapitulasi hasil pemodelan elevasi muka air banjir untuk
berbagai periode ulang dapat dilihat pada Gambar 12.
Elevation (m)
18
2
16
14
12
10
Tampak memanjang
8
0 1000 2000 3000 4000 5000
Balaraja Plan: OK-1-Balaraja EKSISTING 3/9/2014 Balaraja Plan: OK-1-Balaraja EKSISTING 3/9/2014
Cross 7 (pengukuran se belu m Jl. Ole k) Gorong-gorong Jalan Olek
.035 .03 5 .035 .035 .035 .035
20 22
Legend Legend
WS PF 1 WS PF 1
19
Ground 20 Ground
Bank Sta Bank Sta
18
18
Elevation (m)
Elevation (m)
17
16
16
14
15
Tampak samping:
Tampak samping:
14
Lokasi awal pengukuran 12
Lokasi gorong-gorong
13 10
-100 -80 -60 -40 -20 0 20 40 -100 -80 -60 -40 -20 0 20 40
Station (m ) Station (m )
Balaraja Plan: OK-1-Balaraja EKSISTING 3/9/2014 Balaraja Plan: OK-1-Balaraja EKSISTING 3/9/2014
WS PF 1 WS PF 1
18 Ground Ground
18
Bank Sta Bank Sta
16
16
Elevation (m)
Elevation (m)
14
14
12 Tampak samping:
Tampak samping: 12 Lokasi pertemuan sungai
10
Lokasi jembatan jalan tol
8 10
-100 -80 -60 -40 -20 0 20 40 -100 -50 0 50 100
Station (m ) Station (m )
Gambar 11. Hasil pemodelan hidraulika eksisting sungai untuk banjir 2 tahun
H
Elevasi Muka Air Banjir (+m)
Titik Keterangan
2 5 10 25 50 100 1000
ng
a
er
S
C
a
ay
R
D A Titik awal pengukuran 19,73 20,26 20,49 20,66 20,72 20,80 20,98
n
la
ja
ja lur gas
jalur gas
A
D - 19,75 20,25 20,47 20,64 20,69 20,77 20,95
ti nggi
ga n
r t e gan
ja u
l
Gambar 12. Rekapitulasi hasil pemodelan elevasi muka air banjir untuk
berbagai periode ulang
Elevasi minimum grading rencana kawasan nantinya dapat ditentukan berdasarkan elevasi muka air banjir
Sungai Cipayaheun dengan tujuan agar kawasan tersebut tidak akan tergenang air ketika musim hujan.
Pada dasarnya, pemilihan elevasi muka air banjir yang akan dijadikan sebagai acuan sangat ditentukan
oleh faktor resiko oleh pihak pengembang. Semakin kecil periode ulang yang digunakan, maka tingkat
resiko juga akan semakin besar dan sebaliknya.
Selanjutnya terkait dengan penanganan banjir kawasan maka pada tahap pertama terdapat 2 buah pond
yang akan dibangun yaitu pond 4 (untuk menangkap aliran dari DTA Tenggara) dan pond 3 (untuk
menangkap aliran kawasan ±200 Ha). Perhitungan luasan pond yang dibutuhkan didasarkan pada
hidrograf banjir dari masing-masing kawasan sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya. Karena belum
tersedianya data mengenai elevasi muka air tanah, maka seluruh perhitungan pond ini akan didasarkan
pada asumsi pada elevasi muka air tanah berada pada rentang +15 m s/d +16 m.
Pada dasarnya pond di kawasan terbangun ±20 Ha diperlukan karena pada daerah ini air banjir selalu
menggenangi kawasan yang diakibatkan oleh luapan air Sungai Cipayaheun yang juga merupakan
akumulasi dari efek backwater dari Sungai Cimanceuri. Selain itu elevasi grading kawasan ini (yang rata-
rata berada pada +17 m) cukup rendah dibandingkan dengan elevasi muka air banjir. Long storage ini
akan dilengkapi dengan sistem pompa, karena nantinya di sekeliling wilayah ini akan dibangun tanggul
untuk mencegah air luapan sungai masuk ke dalam kawasan, begitu pula dengan air dari sebelah
Selatan. Dengan adanya tanggul tersebut, maka air hujan yang turun pada kawasan seluas 20 Ha ini
nantinya tidak dapat lagi mengalir secara gravitasi karena elevasi dasar saluran eksisting yang cukup
rendah di bawah muka air banjir sungai. Maka, saluran drainase eksisting pada lokasi ini akan
dimanfaatkan sebagai long storage yang akan disinergikan dengan pemakaian pompa. Perhitungan
simulasi pompa untuk kawasan terbangun ±20 Ha ini dapat dilihat pada Gambar 13. Berdasarkan
perhitungan tersebut, maka kapasitas pompa yang dibutuhkan adalah 1,50 m3/s (3 x 0,50 m3/s) dan
elevasi muka air banjir maksimum adalah +16,94 m.
Elev. H Volume S/∆t
15 0 0 0,00
16 1 3.250 4,51
17 2 7.800 10,83
6 17,50
Waktu Inflow I/2 S/∆t + O/2 S/∆t O/2 O H Elev.
0 0,00 0,00 0,00 0,00 0 0 0,06 15,06
5
0,2 4,83 2,42 2,42 1,67 0,75 1,5 0,37 15,37 17,00
0,4 3,99 4,41 5,33 4,58 0,75 1,5 0,90 15,90
0,8 2,78 3,04 9,01 8,26 0,75 1,5 1,58 16,58 16,50
Gambar 13. Hasil perhitungan routing banjir pond internal kawasan terbangun ±20 Ha
Konsep perhitungan yang sama diterapkan pada pond 1 s/d pond 4 yang berturut-turut menerima debit
banjir dari kawasan rencana ±300 Ha (bagian bawah), kawasan rencana ±300 Ha (bagian tengah),
kawasan rencana ±200 Ha dan kawasan luar DTA Tenggara seluas ±475 Ha. Tipikal perhitungan routing
banjir hanya disajikan untuk pond 1 dan ditunjukkan pada Gambar 14. Rekapitulasi data teknis untuk pond
1 s/d pond 4 dapat dilihat pada Tabel 3. Untuk kebutuhan konservasi, maka pada setiap pond
direncanakan akan selalu terdapat air sedalam 1,00 m, sehingga tampungan yang akan efektif dalam
mengantisipasi debit banjir adalah sebesar 2,00 m. Layout perencanaan system penanganan banjir dapat
dilihat pada Gambar 15.
PENELUSURAN BANJIR
Waktu Inflow [(2S/t)-O] [(2S/t)+O] Outflow Kedalaman Elevasi
3 3 3 3
[jam] [m /s] [m /s] [m /s] [m /s] [m] [+m]
0 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 20,00
0,2 3,31 1,21 3,31 1,05 0,05 20,05
0,4 18,81 8,51 23,32 7,41 0,33 20,33
0,6 30,26 21,01 57,58 18,28 0,85 20,85
0,8 30,72 34,84 81,99 23,58 1,25 21,25
1 29,05 43,57 94,61 25,52 1,46 21,46
1,2 26,94 46,99 99,56 26,28 1,55 21,55
1,4 24,71 46,36 98,64 26,14 1,53 21,53
1,6 20,13 41,20 91,19 24,99 1,40 21,40
1,8 15,08 30,97 76,40 22,72 1,15 21,15
2 11,50 21,00 57,55 18,28 0,85 20,85
2,2 8,96 15,13 41,46 13,17 0,60 20,60
2,4 7,21 11,42 31,29 9,94 0,44 20,44
2,6 5,85 8,93 24,48 7,77 0,34 20,34
2,8 4,79 7,14 19,58 6,22 0,27 20,27
3 3,96 5,80 15,89 5,05 0,22 20,22
3,2 3,29 4,76 13,04 4,14 0,18 20,18
3,4 2,76 3,95 10,82 3,43 0,15 20,15
3,6 2,32 3,29 9,03 2,87 0,12 20,12
3,8 1,95 2,76 7,56 2,40 0,10 20,10
4 1,63 2,31 6,34 2,01 0,09 20,09
4,2 1,37 1,94 5,32 1,69 0,07 20,07
4,4 1,15 1,63 4,46 1,42 0,06 20,06
4,6 0,97 1,37 3,75 1,19 0,05 20,05
4,8 0,81 1,15 3,15 1,00 0,04 20,04
5 0,68 0,96 2,64 0,84 0,04 20,04
35,00 22,00
30,00 21,50
21,00
25,00
20,50
20,00
Elevasi Muka Air (+m)
Debit (m3/s)
20,00
15,00
19,50
10,00 Inflow
19,00
Outflow
5,00 Elevasi M.A. 18,50
0,00 18,00
0,00 2,00 4,00 6,00 8,00 10,00 12,00
Jam ke-
POND 3
POND 4 POND 3
KAWASAN TERBANGUN ±20 Ha
POND 2
POND 2
POND 4
POND 1
SALURAN
DRAINASSEMENTARA
POND 1
REFERENSI
Bedient, P. and Huber, W., 2002. Hydrology and Flood Plain Analysis 3rd Edition, Prentice-Hall, Inc.,
United States of America.
Chow, Ven Te, 1988. Open Channel Hydraulic, Mc Graw Hill, Singapore.
Chow, Ven Te, 1988. Applied Hydrology, Mc Graw Hill, Singapore.
Dingman, S. L., 2002. Physical Hydrology, Waveland Press, Inc., United States of America.
Linsley, and Franzini, 1972. Water Resources Engineering, Mc Graw Hill. Tokyo-USA.
Ponce, V. M., 1989. Engineering Hydrology Principles and Practices, Prentice-Hall, Inc., United States of
America.
PT. Arkonin EMP, 2013. Laporan Akhir Perencanaan Sistem Drainase Kawasan, Indonesia.
United States Department Of Interior, 1976. Design of Small Dams, Mohan Primlani, Oxford & IBH
Publishung Co., New Delhi,India.
US. Army Corps of Engineer, 2010. HEC-RAS User’s Manual Version 4.1, Hydrologic Engineering Center.
Abstrak
Fenomena banjir di kota Jakarta memberikan dampak buruk bagi kehidupan masyarakat ibukota.
Kerugian yang ditimbulkan baik materi dan non materi sudah tidak terelakkan lagi. Salah satu
penyebabnya adalah semakin berkurangnya kapasitas saluran sungai di Jakarta karena sedimentasi.
Oleh karena itu, diperlukan penanganan banjir yang terintegrasi baik secara struktural dan nonstruktural.
Salah satu solusi struktural yang bisa dilakukan adalah dengan penambahan pintu baru pada Pintu Air
Karet sekaligus normalisasi saluran Kali Krukut untuk meningkatkan debit pengaliran. Penelitian ini
bertujuan untuk mengkaji kinerja pengaliran dari Pintu Air Karet sebagai salah satu bangunan pengatur
aliran kali Krukut ke Banjir Kanal Barat dalam sistem tata air kota Jakarta. Kajian dilakukan dengan uji
model fisik 3 dimensi di Laboratorium Hidraulika Puslitbang SDA. Aspek yang ditinjau dalam kajian ini
yaitu efektivitas pengaliran dari pintu air Karet dengan skenario normalisasi sungai dan penambahan 1
pintu air pada bangunan yang sudah ada. Berdasarkan hasil pengujian didapatkan bahwa skenario
tersebut dapat meningkatkan debit banjir yang dapat dialirkan Pintu Air Karet sebesar ±200 m3/s.Selain
itu, penanganan banjir harus diselaraskan dengan solusi nonstruktural seperti konservasi di daerah hulu
dan sosialisasi kepada masyarakat di sepanjang alur sungai untuk tidak membuang sampah ke sungai.
Kata Kunci : banjir, pintu air, normalisasi saluran, sedimentasi, uji model fisik.
LATAR BELAKANG
Kota Jakarta sebagai ibukota Negara Indonesia merupakan salah satu kota yang sering mengalami banjir.
Fenomena ini memberikan dampak buruk bagi kehidupan masyarakat ibukota seperti terhambatnya akses
transportasi, pemukiman yang tergenang, kelangkaan bahan makanan, dan lain-lain. Bahkan menurut
data Badan Nasional Penanggulangan Bencana, kerugian yang ditimbulkan akibat banjir pada periode
Januari – Februari tahun 2014 diperkirakan mencapai 5 triliun rupiah. Jika kondisi ini terus dibiarkan maka
kehidupan masyarakat ibukota akan semakin terpuruk dan kesejahteraan masyarakat menurun.
Sebenarnya sudah banyak upaya yang dilakukan oleh berbagai pihak baik dari pemerintah daerah
maupun instansi lain yang terkait, seperti pembangunan saluran banjir kanal, normalisasi kali, modifikasi
cuaca dan lain-lain namun belum membuahkan hasil yang memuaskan.
Beberapa peneliti dan praktisi pun masih meragukan kinerja dari banjir kanal dan pintu-pintu air yang
dibangun di Jakarta untuk mengendalikan banjir karena tidak dibarengi dengan penyelesaian masalah
sedimentasi sungai. Salah satu sungai yang mengalami pengurangan kapasitas akibat sedimentasi
adalah sungai Ciliwung. Dalam buku “Gagalnya sistem kanal: pengendalian banjir Jakarta dari masa ke
masa”, diungkapkan bahwa sedimentasi yang tinggi di sungai-sungai di Jakarta membuat air tidak dapat
mengalir sesuai hukum gravitasi (Gunawan, 2010). Kemudian praktisi lain mengungkapkan bahwa
program penurunan laju sedimentasi daerah tangkapan di hulu yang belum dilakukan menyebabkan
saluran akan penuh lumpur dan sampah, sehingga kapasitas tampung air menurun (Irianto, 2004).
Selain itu, berdasarkan data dari BBWS Ciliwung Cisadane tahun 2012, laju erosi yang terbawa ke hilir
mengakibatkan terjadi sedimentasi dan hal ini diperparah dengan adanya tambahan limbah padat
(sampah) yang masuk ke badan air. Limbah padat (sampah) di kali Krukut inilah yang akan menghambat
kinerja Pintu Air Karet untuk mengalirkan air dari kali Krukut ke Banjir Kanal Barat. Penelitian ini bertujuan
untuk mengkaji kinerja pengaliran Pintu Air Karet sebagai salah satu pengendali banjir di Jakarta.
KAJIAN PUSTAKA
1. Pintu Air
Pintu air direncanakan pada sebiah saluran yang mempunyai perbedaan ketinggian muka air bagian
hulu dan hilir yang fungsinya untuk untuk mengatur debit sungai (Agus dkk, 2010).
Jenis-jenis pintu air :
a. Pintu Kembar / Kuku Tarung (Mitre Gate)
Jenis pintu ini digunakan pada saluran yang cukup lebar, yaitu jika lebar saluran lebih dari 6
meter. Pemasangan menyudut 45o dengan maksud untuk mengurangi tekanan air pada pintu,
sehingga dimensi pintu menjadi lebih kecil dan hemat. Jenis pintu ini biasanya menggunakan
bahan baja.
b. Pintu Angkat / Kerek (Lift Gate)
Pintu ini digunakan dengan cara mengangkat dan menurunkan pintu dari atas saluran dengan
menggunakan kabel pengerek/pengangkat. Jenis pintu ini ideal dipakai jika saluran tidak
terlampau lebar.
c. Pintu Sorong / Geser (Rolling Gate)
Jenis pintu ini digunakan pada saluran yang tidak terlampau lebar. Bahan pintu ini bisa memakai
baja atau kayu, sesuai dengakebutuhan dan perencanaan.
d. Pintu Rebah (Falling Gate)
Untuk membuka saluran, pintu ini ditarik/direbahkan kebawah sampai sejajar plat lantai,
sedangkan untuk menutupnya kembali dengan cara menegakkannya.
2. Uji Model Hidraulik Fisik
Model fisik biasanya dipakai untuk mensimulasi perilaku hidraulik pada prototip bangunan air
(bendung, pelimpah bendungan/embung, pelindung sungai tak langsung/krib, penangkap sedimen dan
lain-lain) yang direncanakan dengan skala lebih kecil. Uji model hidraulik dilakukan untuk menyelidiki
perilaku hidraulik dari seluruh bangunan atau masing-masing komponennya. Permasalahan yang ada
dalam bidang mekanika fluida dan hidraulika seringkali diselesaikan dengan uji model hidraulik fisik.
Prinsip penggunaan model merupakan suatu kondisi di mana memungkinkan untuk menirukan
masalah nyata di lapangan pada skala yang lebih kecil. Skala model adalah perbandingan antara
besaran di lapangan dan besaran di model, yaitu parameter n. Skala parameter hidraulik, n,
didefinisikan sebagai perbandingan nilai parameter di prototipdan nilai korespondensinya di dalam
model. Skala panjang horisontal dan vertikal yang digunakan pada model adalah sama, maka
digunakan model hidraulik tidak distorsi dimana nL = nh. Karena gaya gravitasi memegang peranan
penting dalam permasalahan, maka skala parameter hidraulik dihitung berdasarkan bilangan Froude
dimana nFr = 1. Skala model geometris ditentukan berdasarkan faktor-faktor yang telah dipaparkan
sebelumnya (Pusair, 2012).
METODE PENELITIAN
Dalam penelitian ini metode yang dilakukan adalah sebagai berikut :
1) Survei dan pengumpulan data pendukung,
2) Uji model hidraulik fisik 3 dimensi di Laboratorium Hidraulika.
Model yang dibuat merupakan model tanpa distorsi (undistorted model), dalam arti skala geometri
horizontal (nh) diambil sama dengan skala geometri vertikal (nv). Bagian-bagian yang ditirukan di
model, mencakup sungai Ciliwung dengan kondisi eksisting di hulu pintu air Karet sepanjang ±150
m dan hilir sepanjang ±150 m beserta bangunan Pintu Air Karet.
dibuat sesuai kondisi lapangan dengan skala 1 : 331/3 di laboratorium. Debit yang digunakan dalam
proses simulasi pengaliran juga sama yaitu mulai dari debit Q2th sampai dengan Q100th.
Berdasarkan hasil pengujian diatas diketahui bahwa kapasitas pengaliran pintu air maasih mampu
mengalirkan debit banjir keluaran sampai sebesar Q100 th (856,03 m3/s). Berdasarkan data pembacaan
elevasi muka air pada meteran taraf di udik pintu air dengan debit banjir keluaran (outflow) Q100th,
ketinggian muka air udik mencapai EL. + 6,19 m dimana elevasi dekzerk pada El. + 7,00 m, seperti
yang ditunjukkan pada Gambar 5 dan Tabel 2 diatas. Berdasarkan hasil pengujian di laboratorium
diketahui bahwa kapasitas kali Krukut beserta saluran Pintu Air Karet ini masih mampu mengalirkan
debit banjir Q25th. Hal ini ditunjukkan dengan masih terdapatnya tinggi jagaan sebesar 0,81 m. Namun
yang tinggi jagaan ini masih dirasa kurang karena seringkali terjadi limpasan banjir ke area sekitar
Pintu Air Karet. Oleh karena itu, untuk meningkatkan kapasitas saluran maka perlu melakukan
normalisasi Kali Krukut di hulu sebelum masuk ke Pintu Air Karet dan penambahan 1 pintu air untuk
meningkatkan kapasitas pengaliran Pintu Air Karet.
3. Pemodelan Kondisi Modifikasi (seri 2)
Pada seri 2 ini Pintu Air Karet dimodelkan dengan kondisi modifikasi yaitu dengan sudah menerapkan
normalisasi sungai di hulu dan menambahkan 1 pintu air di sebelah kanan pintu air utama. Lokasi dan
tata letak penambahan 1 pintu air baru dapat dilihat pada Gambar 6. Pada seri 2 ini dilakukan uji
model fisik 3 dimensi untuk melihat dampak dari normalisasi di hulu kali Krukut dan penambahan pintu
air seperti terlihat pada Gambar 7 dibawah ini. Simulasi pemodelan ini dilakukan dengan beberapa
alternatif debit pengaliran mulai dari debit Q2th sampai dengan Q100th.
Gambar 7. Model fisik PA karet seri 2 kondisi sebelum pengaliran dengan skala 1:331/3
200 m3/s
Gambar 10. Grafik lengkung debit hulu dan hilir PA karet seri 1 dan 2
masyarakat di sepanjang alur sungai untuk tidak membuang sampah ke sungai sehingga tidak terjadi
penumpukan sampah dan sedimentasi yang dapat mengurangi kapasitas pengaliran sungai
REFERENSI
Aji, Agus Setia dan Swandy D., Harmoko. 2010. Perencanaan Saluran Pintu Air Di Pertemuan 3
Sungai. Undergraduate Thesis, F. Teknik Undip. Semarang.
Dinas Pekerjaan Umum Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. 2009. Laporan Final Pengendalian Banjir.
Jakarta.
Gunawan, Restu, and Restu Gunawan Nuradji. 2010. Gagalnya sistem kanal: pengendalian banjir
Jakarta dari masa ke masa. Penerbit Buku Kompas.
Irianto, Gatot. 2004. Alih Fungsi Lahan: Dampaknya Terhadap Produksi Air DAS dan Banjir. Tabloid Sinar
Tani 28.
Puslitbang SDA. 2013. Laporan Akhir Uji Model Hidraulik Pintu Air Karet Provinsi DKI Jakarta. Bandung.
Rosliani, Dessy., Zulfan, James., Yiniarti. 2013. Kajian Optimasi Desain Saluran Dalam Rangka
Pengendalian Banjir Di Citarum Hulu. Jurnal Teknik Hidraulik Volume 4, No.1, ISSN 2087-3611.
Bandung.
Abstrak
Pedoman perencanaan sistem drainase berwawasan lingkungan hingga saat ini, umumnya
menggunakan kriteria debit maksimum dari sistem drainase setelah perubahan tata guna lahan harus
lebih kecil atau sama dengan debit maksimum sebelum perubahan tata guna lahan. Tulisan ini
mengusulkan kriteria keseimbangan volume air pada perencanaan sistem drainase, dimana volume
resapan dan volume limpasan sebelum perubahan tata guna lahan kurang lebih sama banyak dengan
volume setelah tata guna lahan berubah. Demikian juga dengan debit maksimum setelah tata guna lahan
berubah harus lebih kecil atau sama dengan debit maksimum tata guna lahan sebelumnya. Sumur
resapan direncanakan untuk meresapkan volume air akibat perubahan tata guna lahan, juga berfungsi
sebagai kolam retensi agar debit puncak dari sistem drainase tidak lebih besar dari sebelum perubahan
tata guna lahan. Pedoman ini coba di simulasikan pada perubahan tata guna lahan di daerah Bandung
Utara. Dari hasil simulasi didapat hubungan antara luas daerah perubahan tata guna lahan dengan
dimensi sumur resapan yang diperlukan. Untuk curah hujan dengan periode ulang 2 tahun, di dapat
hubungan kedalaman sumur resapan dengan luas daerah tadah hujan.
Kata Kunci: Sistem Drainase, Sumur Resapan, Volume Resapan, Volume Limpasan
LATAR BELAKANG
Perubahan fungsi lahan akibat pembangunan pemukiman menjadikan penurunan kapasitas penyerapan
air. Pustaka perencanaan sistem drainase umumnya tidak menggunakan kriteria untuk menjaga
keseimbangan kapasitas penyerapan air. Dengan menurunnya kapasitas penyerapan mengakibatkan
penurunan muka air tanah. Menurut Direktorat Geologi dan Tata Lingkungan (Perda KBU, 2008),
sedikitnya 60% dari air tanah yang masuk ke cekungan Bandung berasal dari Kawasan Bandung Utara.
Untuk menghindari penurunan muka air tanah dan meminimalkan potensi bencana kelongsoran tanah
perlu di jaga keseimbangan muka air tanah. Untuk itu diperlukan perencanaan sistem drainase yang
dapat menjaga kapasitas penyerapan air yang sama besar dengan sebelum pembangunan, dan dapat
menurunkan debit puncak sehingga juga tidak lebih besar dari debit puncak sebelum pembangunan.
Perencanaan sistem drainase saat ini bertujuan menurunkan permukaan air sehingga tidak terjadi
genangan dan menurunkan debit puncak agar tidak menyebabkan banjir di daerah hilir pembangunan.
Curah hujan rencana didapat dari analisis frekuensi, dan untuk kota besar dengan luas daerah pengaliran
saluran lebih kecil dari 10 HA menggunakan kala ulang 2 tahun.
Q C I A (1)
Q : debit aliran
C : koefisien limpasan
A : daerah tangkapan air
Tabel 1. Koefisien Limpasan Rata-rata Untuk Daerah Perkotaan
(Sumber: Urban Drainage Guidelines and Technical Design Standards)
s
I O (2)
t
I : debit aliran masuk
O : debit aliran keluar
: perubahan volume kolam retensi
: perubahan waktu (detik)
Gorong-gorong dapat digunakan untuk mengalirkan air dari kolam retensi ke saluran drainase. Besarnya
debit yang melalui gorong-gorong dengan penampang empat persegi panjang dan pemasukan tidak
tenggelam (H < 1,2 D) dapat dihitung dengan persamaan berikut (Henderson, 1966)
2 2
Q C B H g H (3)
3 3
Q : debit aliran
C : koefisien kontraksi (0,0 - 1,0)
B : lebar gorong-gorong
H : tinggi tekan pada pemasukan
Sumur resapan dapat digunakan untuk menjaga kapasitas penyerapan air kedalam tanah agar tetap
sama walaupun ada perubahan tata guna lahan. Beberapa metode persamaan sumur resapan yang
dapat digunakan (Suripin, 2004).
Metode Sunjoto (1988)
FKT
Q R2
H 1 e (4)
FK
D I At D k As
H (5)
As D k P
D : durasi hujan (jam)
I : intensitas hujan (m/jam)
: luas tadah hujan (m2), dapat berupa atap rumah atau permukaan tanah yang diperkeras
P : keliling penampang sumur (m)
As : luas penampang sumur (m2)
H : kedalaman sumur
Metode Thiem (Anderson and Woessner, 1992):
2 Q rp
H Hp ln (6)
k r
Material k ( cm/s )
METODOLOGI STUDI
Sistem drainase berwawasan lingkungan, menjaga agar volume air hujan yang meresap ke dalam tanah
mendekati sebelum pembangunan, dan debit puncak limpasan lebih kecil atau sama besar dengan debit
puncak limpasan sebelum ada perubahan tata guna lahan.
Data curah hujan untuk daerah Bandung Utara menggunakan data curah hujan dari jalan Cemara
Bandung. Data curah hujan jam-jam an maksimum periode 1986 - 2004, digunakan untuk mendapatkan
kurva IDF, yang digunakan mendapatkan besaran curah hujan rencana. Curah hujan harian maksimum
tahunan periode 1985-2012, digunakan juga untuk mendapatkan curah hujan rencana berdasarkan curah
hujan harian maksimum. Distribusi hujan berbentuk lonceng digunakan untuk mendapatkan distribusi
hujan jam-jam an dari curah hujan harian maksimum.
Metode Rasional digunakan untuk menghitung debit puncak limpasan. Volume air hujan yang meresap
sebelum ada perubahan dihitung dengan:
1 C1
Vresap (7)
A D
Vresap : Volume air hujan yang meresap sebelum pembangunan
C1 : koefisien limpasan sebelum pembangunan
A : luas daerah pembangunan
D : lama hujan
Dan volume limpasan sebelum pembangunan adalah:
C1
Vlim pasan (8)
A D
Sistem drainase direncanakan agar volume resapan setelah pembangunan dapat tetap mendekati volume
resapan sebelum pembangunan dan debit puncak setelah pembangunan tidak lebih besar dari debit
puncak sebelum pembangunan.
Beberapa metode persamaan (4), (5) dan (6), digunakan untuk menghitung dimensi sumur resapan.
Berdasarkan peta kondisi hidrologis, kawasan Bandung Utara termasuk konservasi potensial dan
Direktorat Geologi dan Tata Lingkungan (Perda KBU, 2008), sedikitnya 60% dari air tanah yang masuk
ke cekungan Bandung berasal dari Kawasan Bandung Utara, untuk simulasi dimensi sumur resapan
digunakan besaran koefisien permeabilitas tanah 0,01 cm/s – 0,03 cm/s.
Sumur retensi dan gorong-gorong digunakan untuk mengendalikan debit puncak aliran permukaan agar
tidak lebih besar dari sebelum pembangunan.
Volume sumur resapan yang berfungsi juga berfungsi sebagai sumur retensi, menggunakan persamaan
(2) untuk simulasi dimensi sumur yang diperlukan. Untuk debit aliran keluar terdiri dari aliran keluar yang
meresap ke dalam tanah dan aliran keluar melalui gorong-gorong.
Data dari Badan Meteorogi dan Geofisika, Jalan Cemara, Bandung yang merupakan stasiun yang berada
di daerah studi digunakan untuk mendapatkan besaran curah hujan rencana. Data curah hujan jam-jam
an maksimum periode 1986 - 2004 dan analisa frekuensi dengan kala ulang 2 tahun digunakan untuk
mendapatkan kurva IDF seperti pada grafik 1. Dari grafik tersebut persamaan IDF yang sesuai adalah
persamaan Sherman.
322,1
I (9)
t 0 , 48
I : intensitas hujan (mm/jam)
t : lama hujan (menit)
IDF CURVE
ST. CEMARA, BANDUNG
350
300
Intensitas hujan (mm)
250
200
150
100
50
-
- 60 120 180 240 300 360 420 480 540 600 660 720
Waktu (menit)
2 thn 5 thn
debit yang melimpas dari sumur digunakan persamaan (3). Dengan menggunakan penelusuran banjir
pada sumur didapat hydrograph debit aliran masuk, dan hydrograph debit aliran keluar dan dimensi
sumur. Dari hydrograph tersebut dapat diperoleh banyaknya volume air yang masuk kedalam tanah dan
volume air yang melimpas yang diusahakan mendekati sebelum ada perubahan tata guna lahan.
Hasil analisa simulasi penelusuran banjir pada sumur di dapat grafik hubungan kedalaman sumur dengan
luas daerah tadah hujan. Lihat Gambar 2
9 H = 0,028 A - 0,518
8
H = 0,026A - 0,831
7
Kedalaman Sumur H (m)
6
H = 0,024A - 0,974
5
0
0 50 100 150 200 250 300 350
Luas daerah tadah hujan A (m2)
Gambar 2. Grafik hubungan kedalaman sumur resapan dengan luas daerah tadah hujan
Untuk k = 0,01 cm/s didapat hubungan H = 0,028 A – 0,518
Untuk k = 0,02 cm/s didapat hubungan H = 0,026 A – 0,831
Untuk k = 0,03 cm/s didapat hubungan H = 0,024 A – 0,974
H : kedalaman sumur (m)
A : luas daerah tadah hujan (m2 )
Bila setiap 150 m2 penutup lahan di buatkan sumur resapan, maka diperlukan sumur dengan diameter 1
meter dan kedalaman berkisar 3 meter.
REFERENSI
F. M. Henderson, 1966. Open Channel Flow, halaman258-264, The Macmillian Company, New York
Mary P. Anderson and William W. Woessner. Applied Ground Water Modeling, halaman 146-150,
Academic Press,Inc, New York
Suripin, 2004. Sistim Drainase Perkotaan yang Berkelanjutan, halaman 298-310, Penerbit Andi,
Yogyakarta
Dinas Tata Ruang dan Pemukiman, Pemerintah Propinsi Jawa Barat, Perda Nomor 1 Tahun 2008,
Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Bandung Utara.
Abstrak
Wilayah Papua merupakan zona banjir yang cukup tinggi, sementara itu sejalan dengan Otsus , maka di Kota
Jayapura mulai banyak dibangun daearah-daerah pemukiman , maupun ruko-ruko yang merupakan daerah
pertokoan.Tetapi banyak terjadi kasus kegagalan sistem drainase yang terjadi pada daerah-daerah tersebut.
Kasus yang akan dikaji lebih lanjut disini adalah berkurangnya luasan aliran pada drainase di beberapa
daerah pemukiman yang ada di Kota Jayapura, sehingga menyebabkan kurang berfungsinya sistem drainase
sesuai fungsi semula. Hasil analisa menunjukkan bahwa kegagalan sistem drainase ini diakibatkan tidak
akuratnya data perencanaan sistem aliran drainase dimana daerah pembangunan pemukiman itu akan
dibangun. Umumnya para perencana kurang memperhatikan kondisi geografi dan topografi di Kota Jayapura
yang masuk dalam katagori tanah pasir yang mudah lepas, sehingga apabila terkena atau tertimpah air hujan
dan akibat gusuran untuk pembangunan pemukiman sehingga menyebabkan tanah mudah lepas. Kondisi
tanah pasir yang mudah lepas ini, maka pada kondisi ini memerlukan suatu sistem perencanaan
pembangunan pemukiman yang memperhatikan pola aliran air pada drainase yang akan direncanakan secara
baik dan akurat.
Kata Kunci : luasan aliran drainase, sedimentasi, kegagalan fungsi drainase
PENDAHULUAN
Latar belakang masalah
Peristiwa yang tidak bisa diprediksi terjadinya yaitu hujan yang dapat menyebabkan banjir pada daerah-
daerah tertentu. Pasilitas drainase pada suatu wilayah pemukiman, pertokoan, pasilitas umum kadang kala
tidak berfungsi secara maksimal dalam menghindari genangan air bahkan sampai terjadinya banjir. Beberapa
tempat (wilayah) di Propinsi Papua termasuk dalam zona banjir, bahkan ada yang berada pada tingkat
indentitas banjir yang tinggi termasuk Kota Jayapura. Pemerintah sebagai pengatur dan Pembina
pembangunan harus memperhitungkan aspek banjir dalam setiap perencanaan pembangunan. Jayapura
terletak di daerah pegunungan Cycloops dan mempunyai geografi, dan topografi yang spesifik dan perlu
diperhatikan karena setiap tempat mempunyai geografi dan topografy yang sangat berbeda.
Saat ini pembangunan pemukiman lebih dari satu tempat, dan sedang banyak dilakukan di Kota Jayapura,
antara lain beberapa pembangunan ruko di beberapa tempat di sepanjang ruas jalan pasar baru Kota
Jayapura.
Pembangunan drainase ini memerlukan persyaratan-persyaratan teknis dan administrasi dalam pemberian
izin bangunan. Kadang-kadang izin diberikan sebelum pengecekan tentang prosedur perencanaan konstruksi
drainase dan tenaga Ahli yang bertanggung jawab pada masalah-masalah ini akibat dari keterbatasan sumber
daya manusia (SDM) dan waktu. Akibatnya pada beberapa kegiatan pembangunan drainase terjadi kegagalan
sistem drainase, yaitu antara lain : terjadi penumpuhkan sampah, sedimentasi, akibat berkurangnya luasan
aliran pada drainase yang menimpah beberapa bangunan drainase di Kota Jayapura, seperti misalnya :
drainase pada Pasar Yotefa, Daerah Pasar PTC Entrop dan Derah Jalan Raya Abepura depan jalan masuk
Kantor Otonom Propinsi Papua dan juga Daerah APO Kota Jayapura.
1. Rumusan Masalah
Beberapa sistem drainase di Kota Jayapura tidak berfungsi seperti tujuan semula atau berfungsi tetapi
tidak optimal yang diakibatkan adanya kegagalan sistem drainase, khususnya fungsi drainase, karena itu
akan dilakukan kajian lebih lanjut terhadap faktor penyebab kegagalan fungsi drainase ini.
2. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dimaksudkan untuk mengindetifikasi penyebab kegagalan beberapa fungsi drainase yang
dibangun di Kota Jayapura, dimana kegagalan fungsi drainase ini adalah berupa terjadinya penumpukan
sampah, sedimentasi, dan berkurangnya luasan aliran air pada drainase-drainase tersebut.
TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian drainase
Drainase merupakan salah satu fasilitas dasar yang dirancang sebagai sistem, guna memenuhi kebutuhan
masyarakat dan merupakan komponen penting dalam perencanaan kota (perencanaan infrastruktur
khususnya). Berikut beberapa pengertian drainase : Menurut Dr. Ir. Suripin, M.Eng, (2004), drainase
mempunyai arti mengalirkan, menguras, membuang atau mengalihkan air. Secara umum, drainase
didefinisikan sebagai serangkaian bangunan air yang berfungsi untuk mengurangi dan atau membuang
kelebihan air dari suatu kawasan atau lahan, sehingga lahan dapat difungsikan secara optimal.
Drainase juga diartikan sebagai usaha untuk mengontrol kualitas air tanah dalam kaitannya dengan sanitasi.
Drainase yaitu suatu cara pembuangan kelebihan air yang tidak diinginkan pada suatu daerah, serta cara-cara
penanggulangan akibat yang ditimbulkan oleh kelebihan air tersebut, (Suhardjono, 1948). Dari sudut pandang
yang lain, drainase adalah salah satu unsur dari prasarana umum yang dibutuhkan masyarakat kota dalam
rangka menuju kehidupan kota yang aman, nyaman, bersih dan sehat. Prasarana drainase disini berfungsi
untuk mengalirkan air permukaan ke badan air (sumber air permukaan dan bawah permukaan tanah), dan
atau bangunan resapan. Selain itu juga berfungsi sebagai pengendali kebutuhan air permukaan dengan
tindakan untuk memperbaiki daerah becek, genangan air dan banjir.
Kegunaan dengan adanya saluran drainase ini adalah sebagai berikut :
- Mengeringkan daerah becek dan genangan air sehingga tidak ada akumulasi air tanah
- Menurunkan permukaan air tanah pada tingkat yang idial.
Drainase secara umum merupakan prasarana yang berfungsi untuk mengendalikan limpasan air hujan yang
berlebihan dengan tujuan agar tidak terjadi genangan air pada kawasan tersebut, agar tiddak terjadi banjir
pada kawasan tersebut. Bila tidak berfungsinya saluran drainase dikawasan tersebut, maka dapat
mengakibatkan genagan dan banjir dan juga menurunkan kuawalitas lingkungan hidup, masalah
kesehatan,masyarakat, pengrusahkan infrastruktur, kemacetan lalulintas dan beresiko pada kecelakaan.
Fungsi drainase
Fungsi drainase dari sistem air buangan yang dapat diperhatikan ada dua macam, yaitu air hujan dan air
kotor. Cara atau sistem air buangan tersebut dapat diklasifikasikan menjadi tiga bagian sebagai berikut :
a. Sistem terpisah
Kebanyakan kota-kota besar di dunia memiliki sistem saluran drinase terpisah, dimana salah satu
saluran mengumpulkan air limbah rumah tangga, serta limbah indutri, dan saluran drinase lainnya
mengumpulkan aliran air dari limpasan permukaan.
Pada sistem ini air hujan dan air kotor masing-masing dapat disalurkan secara terpisah sehingga dapat
melihat bahwa : Periode musim hujan dan musim kemarau yang terlalu lama, Kuantitas yang jahu
berbeda antara aliran air buangan dan air hujan, air buangan yang memerlukan pengolahan terlebih
dahulu, dan air hujan tidak perlu tetapi segera dibuang.
b. Sistem campuran
Untuk drainase sistem campuran yang menerima air hujan maupun air kotor dapat disalurkan melalui
satu saluran drainase, Sistem ini dapat didasarkan atas beberapa pertimbangan, yaitu : Debit masing-
masing buangan relative kecil sehingga dapat disatukan, Kuantitas air buangan dan air hujan tidak jahu
berbeda, Fluktuasi curah hujan dari tahun ke tahaun relative kecil.
c. Sistem kombinasi
Sistem drainase kombinasi merupakan perpaduan antara saluran drainase air buangan dan saluran
drainase air hujan. Dimana pada waktu musim hujan air buangan dan air hujan bercampur dalam saluran
drainase air buangan dan air hujan berfungsi sebagai pengecer.
Prisnsip Perencanaan Drainase
Ada beberapa faktor yang dapat digunakan dalam menentukan pemilihan sistem perencanaan drainase
meliputi :
1. Perbedaan yang besar antara kuantitas air buangan yang akan disalurkan melalui jaringan penyalur air
buangan dan kuantitas curah hujan pada daerah pelayanan.
2. Umumnya dalam kota dilalui sungai-sungai dimana air hujan secepatnya dibuang ke dalam sungai.
3. Periode musim hujan dan musim kemarau yang cukup lama dan fluktuasi air hujan yang tidak tetap.
Klasifikasi drainase
Drainase dapat diklasifikasikan dalam dua bagian besar yaitu :
a. Drainase Alamiah (Natural Drainage), yaitu drainase yang terbentuk secara alamiah dan tidak ada
unsure campur tangan manusia.
b. Drainase buatan (Artificial Drainage), yaitu drinase yang terbentuk berdasarkan analisis ilmu drainase
melalui pemikiran manusia, untuk menentukan besarnya debit aliran air hujan yang berhubungan dengan
ukuran dimensi saluran drainase yang di rencanakan dan yang di buat.
METODOLOGI PENELITIAN
Langkah pertama yang dilakukan adalah menginventarisir sistem drainase di Kota Jayapura yang mengalami
kegagalan fungsi saluran drainase khususnya pada pola sistem aliran air pada drainase. Kemudian
menentukan posisi sistem drainase yang bermasalah tersebut terhadap peta topografi dan luas tangkapan
air hujan yang akan mengalir melalui drainase di Jayapura-Papua. Peta topografi dan luas tangkapan air hujan
ini memuat perkiraan karakteristik pola aliran air dan luas tangkapan air hujan pada suatu daerah pemukiman
Jayapura, sehingga disini dapat dianalisa lebih lanjut sifat topografi dan luas tangkapan air hujan pada suatu
daerah pemukiman secara umum sistem drainase yang berada pada daerah tersebut. Ini merupakan kajian
awal dalam menetukan sistem aliran drainase dan sistem drainase yang sesuai dengan kondisi setempat.
Analisa lebih lanjut tentang dimensi saluran drainase dan luas aliran pada drainase yang diperlukan baru
dapat dilakukan setelah dilakukan kajian lebih dalam tentang topografi dan luasan tangkapan air hujan pada
lokasi pembangunan sistem drainase tersebut berada.
Lokasi-lokasi tersebut selain mengalami genangan air dan banjir, juga mengalami penimbunan sedimentasi
dan sampah, lihat Gambar.1, Gambar 2, Gambar.3. Gambar 4, Gambar 5, Gambar.6, dan Gambar.7, Gambar
8 di bawah ini.
Gambar 3. Drainase jalan raya daerah APO Kota Jayapura Propinsi Papua terserang banjir,
sedimentasi dan sampah yang disaksikan oleh masyarakat setempat.
Gambar 4. Drainase jalan raya tertimbun sedimentasi dan sampah di Lokasi Pusat perbelanjaan Pasar
PTC Entrop Kota Jayapura.
Gambar 5. Drainase jalan raya tertimbun sedimentasi dan sampah di Lokasi Pusat perbelanjaan Pasar
PTC Entrop Kota Jayapura.
Gambar 6. Sedimentasi, sampah, dan pipa-pipa yang melewati Drainase sebagai penyebab utama
berkurangnya luasan aliran pada drainase menyebakan genangan air dan luapan air atau
banjir di Lokasi Pusat perbelanjaan Pasar PTC Entrop Kota Jayapura.
Gambar 7. Sedimentasi, sampah, dan pipa-pipa yang melewati Drainase sebagai penyebab utama
berkurangnya luasan aliran pada drainase menyebakan genangan air dan luapan air atau
banjir di Lokasi Pusat perbelanjaan Pasar PTC Entrop Kota Jayapura.
Gambar 8. Genangan air pada Ruas JalanPasar PTC Entrop Kota Jayapura
Topografi Kota Jayapura dan sekitarnya
Pembangunan Kota Jayapura yang semakin pesat dewasa ini tentunya disertai dengan berbagai macam
persoalan yang kompleks. Salah satu masalah serius yang saat ini sedang dihadapi oleh Pemerintah Kota
Jayapura adalah masalah penanganan dan pengolahan sistem drainase. Dilihat dari kondisi geografi alam
Papua khususnya Kota Jayapura yang terdiri dari dataran tinggi dan rendah, yang meliputi pegunungan,
perbukitan, lembah, maupun rawa.
Abstrak
Sistem peringatan dini banjir (Early Warning System, EWS) yang dipasang di sungai-sungai yang rentan
banjir digunakan sebagai alat pendeteksi dan penyebaran informasi saat kondisi darurat. DAS
Cilemahabang termasuk daerah rawan banjir dengan titik genangan sering terjadi di sekitar lokasi kedua
bendung gerak, yaitu bendung Cilemahabang dan bendung Caringin. Oleh sebab itu, kontrol genangan
dilakukan dengan pembukaan/penutupan pintu bendung berdasarkan pedoman pengoperasian eksisting
yang disesuaikan dengan sinyal yang dikirim dari beberapa EWS di hulu bendung Cilemahabang. EWS
akan mengirimkan alarm saat level air sungai tiba-tiba meningkat. Ada tiga EWS yang beroperasi berikut
jaraknya dari bendung Cilemahabang, yaitu EWS 1 Delta Silicon (15 km), EWS 2 Gema Lapik (8 km), dan
EWS 3 Mekar Alam (7 km). Perhitungan waktu penjalaran debit puncak banjir perlu dilakukan untuk
mengetahui besarnya warning time sehingga dapat disusun aksi-aksi sebagai bentuk tanggap darurat
bencana. Perjalanan hidrograf banjir termasuk perkiraan waktu dan debit puncak di suatu titik di sungai
dapat diketahui dengan melakukan penelusuran aliran (routing) dari hulu ke hilir berdasarkan hidrograf
inflow di sisi hulu. Simulasi respon limpasan permukaan akibat input hujan dibantu dengan program HEC-
HMS. Pemodelan aliran di sungai (routing) menggunakan metode Muskingum, sedangkan pemodelan
limpasan permukaan menggunakan Hidrograf Satuan (HS) Snyder dan HS Clark. Hasil running dengan
HS Snyder didapat waktu penjalaran debit puncak banjir dengan kala ulang Q2th, Q5th, Q10th, Q25th, Q50th,
dan Q100th dari EWS 1 ke bendung Cilemahabang adalah selama 6 jam, sedangkan dari bendung
Cilemahabang ke bendung Caringin adalah selama 6-7 jam. Hasil running dengan HS Clark didapat waktu
penjalaran debit puncak banjir dengan berbagai kala ulang dari EWS 1 ke bendung Cilemahabang adalah
selama 7 jam, sedangkan dari bendung Cilemahabang ke bendung Caringin adalah selama 7-8 jam.
Selama selang waktu tersebut, dapat digunakan untuk memutuskan berapa jumlah pintu bendung gerak
yang harus dibuka dan pemberitahuan kepada warga jika diperlukan evakuasi.
Kata kunci: Cilemahabang, routing, waktu penjalaran debit puncak banjir, HEC-HMS
LATAR BELAKANG
Permasalahan
Dalam tiga tahun terakhir ini trend bencana hidrometeorologi di Indonesia, khususnya banjir terus
mengalami peningkatan. DAS Cilemahabang yang termasuk dalam satuan kerja BBWS Ciliwung-
Cisadane memiliki kondisi topografi sangat landai sampai landai sehingga merupakan daerah rawan
banjir. Secara administratif DAS Cilemahabang berada pada posisi 6°11’37” - 6°25’16” LS dan 107°4’32” -
107°14’6” BT yang mencakup Kabupaten Bogor (hulu) dan Kabupaten Bekasi (tengah dan hilir). Akan
tetapi, wilayah yang sering terkena banjir akibat luapan Sungai Cilemahabang adalah bagian tengah dan
hilir, tepatnya di Kota Cikarang. Menurut informasi Kepala Seksi Irigasi bendung Cilemahabang, lokasi
banjir berada di hulu bendung Cilemahabang dan di hulu Bendung Caringin, yang mana kedua bendung
tersebut merupakan bendung gerak dengan sejumlah pintu. Daerah di hulu bendung Cilemahabang yaitu
di sekitar wilayah Cikarang Baru yang sebagian besar berupa perumahan, ruko, dan kawasan industri
merupakan daerah rentan genangan dengan ketinggian air mencapai 1 m (sebatas dada orang dewasa)
dan lama genangan ± 1 hari. Kejadian banjir dan kondisi genangan yang cukup parah tersebut
mengakibatkan kerugian materiil yang tidak sedikit karena kegiatan produksi di kawasan industri terhenti.
Sering kali kontrol pencegahan banjir tergantung pada operasional bukaan pintu bendung. Kejadian banjir
yang pernah terjadi tahun 2007 diduga akibat keterlambatan membuka pintu air.
Keterlambatan membuka pintu air sebenarnya dapat dicegah jika operasional buka/tutup pintu
dikoordinasikan dengan sistem peringatan dini banjir (Early Warning System, EWS). Di ruas Sungai
Cilemahabang sudah ada tiga EWS yang masing-masing terletak di Delta Silicon (EWS 1), Gema Lapik
(EWS 2), dan Mekar Alam (EWS 3). Di dekat EWS Mekar Alam terdapat peilschaal atau papan duga air.
EWS akan mengirimkan alarm saat level air sungai tiba-tiba meningkat, sedangkan peilschaal untuk
memantau elevasi muka air. SOP (Standard Operating Prosedure) pintu Bendung Cilemahabang juga
sudah dikoordinasikan dengan ketiga EWS tersebut. Jika sudah demikian, mengapa kejadian
keterlambatan membuka pintu air dapat terjadi? Lalu, bagaimana cara meminimalisir kegagalan
pengoperasian pintu yang akan mengakibatkan terjadinya luapan sungai?
Idealnya, suatu ancaman banjir sudah dapat terdeteksi oleh EWS. Ketika EWS 1 yang letaknya 15 km
dari Bendung Cilemahabang mengirimkan sinyal, maka petugas bendung akan melakukan aksi
pembukaan sejumlah pintu. Sementara itu, ketika EWS 2 (8 km) dan EWS 3 (7 km) mengirimkan sinyal,
maka jumlah pintu yang dibuka akan semakin banyak dengan tinggi bukaan maksimal. Dengan demikian,
ketika EWS terdekat dari Bendung Cilemahabang mengirimkan alarm, maka ancaman banjir akan
semakin “gawat” sehingga membutuhkan sistem tanggap darurat yang lebih rumit.
Perkiraan besarnya waktu penjalaran debit puncak banjir dilakukan untuk mengetahui lama waktu yang
diperlukan besaran debit puncak di suatu lokasi (EWS atau bendung) akan sampai di lokasi kritis di
sebelah hilirnya. Jadi, selain mengandalkan kiriman alarm dari EWS, waktu penjalaran debit puncak banjir
dapat digunakan untuk meningkatkan kewaspadaan akan bahaya banjir. Selama selang waktu tersebut,
sejumlah tindakan preventif dapat disusun, salah satunya adalah penetapan jumlah pintu yang harus
dibuka untuk melewatkan debit banjir.
Tujuan Studi
Ada beberapa tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini, di antaranya adalah sebagai berikut:
1) Membuat suatu model hujan-aliran dengan bantuan software HEC-HMS untuk memodelkan perilaku
DAS dan sistem Sungai Cilemahabang terhadap berbagai input hujan rencana kala ulang tertentu;
2) Melakukan analisis hidrologi untuk menetapkan debit banjir rencana kala ulang tertentu di beberapa
lokasi rawan banjir;
3) Memperkirakan waktu penjalaran (travel time) debit puncak banjir dari suatu lokasi ke lokasi lainnya di
sebelah hilir;
4) Memberikan informasi terkait waktu yang tersedia untuk memerangi banjir atau flood warning (lead)
time yang dapat dikombinasikan dengan EWS yang sudah ada sebagai panduan SOP pembukaan
pintu bendung pada saat kondisi darurat.
Kajian Pustaka
Early Warning System (EWS)
Berdasarkan UU No.7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air pasal 54 (1), upaya penanggulangan daya
rusak air dilakukan dengan mitigasi bencana. Mitigasi bencana merupakan kegiatan yang dilakukan
sebelum bencana terjadi, salah satunya berupa identifikasi dan pengenalan terhadap bahaya/ancaman
bencana, yang diwujudkan dengan suatu sistem peringatan dini banjir (Early Warning System, EWS).
EWS merupakan sistem pengumpulan data dan penyebaran informasi terintegrasi yang terdiri atas model
peramalan banjir, sejumlah aksi dan langkah-langkah terkait respon terhadap ancaman, dan sumber daya
manusia (USACE, 2008).
SOP pembukaan pintu bendung digunakan sebagai manual penanggulangan banjir (flood fighting) yang
berupa pedoman pengoperasian pintu (membuka/menutup pintu) berdasarkan alarm yang dikirim oleh
EWS. Sebelum mengirimkan alarm, sistem EWS terlebih dahulu mengumpulkan data-data yang diperoleh
baik dari pengukuran alat maupun kiriman data dari stasiun lain melalui alat pemancar. Selanjutnya, data-
data yang berupa kedalaman curah hujan, tinggi muka air, dan data kondisi DAS dianalisis menggunakan
perangkat komputer yang canggih. Keluaran dari sistem tersebut berupa besaran banjir yang terjadi dan
prediksi ancaman banjir di masa mendatang. Setelah besaran banjir diketahui, sejumlah aksi dan langkah-
langkah sebagai respon terhadap ancaman ditetapkan oleh para decision maker, termasuk penyebaran
informasi, yang pertama kepada emergency responders, dan kemudian kepada warga sekitar yang
berupa pengiriman sinyal/alarm. Keberadaan EWS akan meningkatkan waktu untuk memerangi banjir
atau flood warning (lead) time, Tw. Dengan meningkatnya Tw, instansi terkait dan masyarakat dapat
mengambil tindakan untuk mengurangi kerugian dan menyelamatkan nyawa.
Model Hidrologi dengan Software HEC-HMS versi 3.5
HEC-HMS sebagai salah satu software keluaran US Army Corps of Engineers (USACE) dengan konsep
model hujan-limpasan yang merepresentasikan DAS sebagai suatu sistem hidrologi dengan komponen-
komponen hidraulika yang saling berhubungan. Hasil output program adalah perhitungan hidrograf aliran
sungai pada lokasi yang dikehendaki dalam DAS (USACE, 2000). Proses hujan-limpasan dalam suatu
DAS dibagi menjadi 6 komponen utama, yaitu (1) meteorologi; (2) losses; (3) direct runoff; (4) baseflow;
(5) routing; dan (6) tampungan/reservoir. Tabel 1 di bawah ini berisi metode untuk setiap komponen model
HEC-HMS yang dipakai dalam analisis.
Tabel 1. Metode yang digunakan untuk setiap komponen model HEC-HMS
No. Komponen Metode
1. Hujan User Hyetograph
2. Losess atau volume runoff Initial and constant-rate
3. Direct runoff (a) Clark’s UH
(b) Snyder’s UH
4. Baseflow Exponential recession
5. Routing Muskingum
Keterangan:
pet : hujan efektif atau hujan lebihan (mm)
pi : hujan tiap satuan waktu (mm)
fc : laju infiltrasi konstan (mm/jam)
Ia : kehilangan awal atau initial loss (mm)
Parameter constant loss rate mewakili sifat fisik tanah dan initial loss mewakili tata guna lahan dan kondisi
terdahulu. Karena parameter model ini bukan merupakan parameter terukur, maka besarnya lebih baik
ditetapkan dengan kalibrasi.
Keterangan:
Qt : debit pada periode waktu t
Qo : debit awal (pada t 0 )
k : konstanta resesi
Parameter dalam metode exponential recession meliputi: aliran dasar awal (m3/s), konstanta resesi, dan
aliran threshold (aliran saat dimulainya kurva resesi pada sisi menurun dari sebuah hidrograf). Aliran
threshold ditetapkan sebagai perbandingan terhadap aliran puncak (ratio to peak).
Parameter K, travel time (K) merupakan waktu tempuh aliran dari titik inlet sampai outlet, dipengaruhi oleh
penampang lintang saluran dan besarnya debit atau dapat diprediksi dengan kalibrasi. Parameter x,
merupakan bobot antara besarnya inflow dan outflow. Jika x = 0 menghasilkan atenuasi (penurunan
puncak hidrograf inflow – outflow) maksimal, sedangkan jika x = 0,5 maka tidak ada atenuasi. Untuk kasus
sungai pada umumnya, parameter x juga perlu dikalibrasi. Selain itu, jumlah subreaches juga harus
dimasukkan dalam running program. Banyaknya subreaches akan mempengaruhi atenuasi. Semakin
banyak subreaches akan menurunkan atenuasi, dan sebaliknya. Untuk menunjukkan pengaruh besarnya
parameter K dan x terhadap bentuk hidrograf hasil routing dapat dilihat pada gambar berikut.
METODOLOGI STUDI
Penelitian ini dimulai dari tahap pengumpulan data-data awal, seperti: topografi, data hujan, kondisi DAS
dan sungai, serta tata guna lahan. Data-data tersebut kemudian diolah untuk membuat model hidrologi
menggunakan software HEC HMS. Adapun tahapan secara lengkap dapat dilihat dalam flowchart berikut.
Analisis Hidrologi : Analisis Curah Hujan Rencana, Debit Banjir Rencana, & Waktu Penjalaran Debit Puncak Banjir
Curah hujan
harian
Uji Smirnov-
Kolmogorov dan
Chi-Square
Tata guna
lahan Debit maksimum di
Bd. Cilemahabang
Stasiun Bobot
Bd.Cikarang 0,906
T unggilis 0,094
Proses kalibrasi akan menggunakan kejadian banjir tanggal 11/05/2007 dan 14/01/2009. Dalam hal ini
akan dicari parameter optimum untuk setiap komponen model HEC-HMS yang mana besarnya debit
puncak hasil hitungan mendekati debit terukur untuk kedua kasus tersebut. Besarnya parameter
komponen model HEC-HMS hasil kalibrasi masing-masing untuk komponen direct runoff yang
menggunakan hidrograf satuan Snyder dan Clark adalah sebagai berikut
Tabel 5. Parameter komponen model HEC-HMS hasil kalibrasi (Komponen direct runoff menggunakan
hidrograf Snyder's
Hasil kalibrasi (Komponen Direct runoff menggunakan satuan Snyder)
UH)
Tabel 6. Parameter komponen model HEC-HMS hasil kalibrasi (Komponen direct runoff menggunakan
hidrografClark's
Hasil kalibrasi (Komponen Direct runoff menggunakan satuanUH)
Clark)
Loss Transform Baseflow
initial loss constant rate time of storage Area initial recession threshold
No. Subbasin ID
(mm) (mm/hr) concentration coefficient (m 2 ) discharge constant ratio
(hr) (hr) (m 3 /s)
1 17B 15,245 11,46 7,299 5,798 43,2988 1 0,9 0,05
2 19B 15,784 10,685 4,0147 4,987 12,8081 1 0,9 0,05
3 18B 15,995 11,419 4,305 4,69 8,6696 1 0,9 0,05
4 16B 11,231 8,094 9,086 6,078 16,3138 1 0,9 0,05
5 14B 16,945 12,995 8,3275 1,94 46,1596 1 0,9 0,05
6 15B 15,576 12,7501 6,0414 0,57 17,7928 1 0,9 0,05
7 13B 17,789 13,8706 8,3267 1,58 5,8294 1 0,9 0,05
8 12B 15,453 13,865 8,0324 0,69 3,2717 1 0,9 0,05
9 10B 14,985 13,7703 10,992 3,996 30,8155 1 0,9 0,05
10 11B 16,996 13,998 5,5519 0,519 0,9269 1 0,9 0,05
11 9B 14,989 10,5668 6,8678 1,947 2,5740 1 0,9 0,05
Gambar 5. Perbandingan hidrograf banjir hasil kalibrasi jika komponen direct runoff
menggunakan HSS Snyder dan Clark (untuk kasus banjir tanggal 11/05/2007)
Gambar 6. Perbandingan hidrograf banjir hasil kalibrasi jika komponen direct runoff
menggunakan HSS Snyder dan Clark (untuk kasus banjir tanggal 14/01/2009)
Sedangkan pada metode HSS Clark, salah satu parameter penentu adalah waktu konsentrasi, t c. Waktu
konsentrasi menunjukkan waktu yang dibutuhkan setetes air hujan yg jatuh di titik terjauh suatu DAS
(remote area) untuk mengalir sampai di titik outletnya. Tabel 11 berisi perbandingan nilai waktu
konsentrasi yang dihitung dengan cara manual dan yang didapat dari simulasi HEC-HMS.
Tabel 9. Perbandingan hasil perhitungan waktu konsentrasi, tc cara manual dan simulasi HEC-HMS
t c (jam) t c (jam)
No. Subbasin name Lms (mil) ars (ft/mil)
manual HEC HMS
1 18 B 3.93 0.0025 3.885 3
2 19 B 3.53 0.0027 3.938 3
3 17 B 5.49 0.0028 4.866 6
4 10 B 9.84 0.0013 7.892 8
5 16 B 5.45 0.0015 5.667 7
6 14 B 11.21 0.0015 8.127 5
7 12 B 4.08 0.0007 5.932 4
8 13 B 2.78 0.0005 5.327 5
9 9B 1.31 0.0001 5.468 4
10 11 B 0.46 0.0019 1.552 3
11 15 B 2.77 0.0003 6.041 3
26 jam
Junction 10 C
Bendung Caringin
19 jam
Junction 13 C
Bendung Cilemahabang
13 jam 9 jam
Junction 12 C
Hulu jalan toll : lokasi EWS 1 Junction 11 C
Hulu Sungai Cilemahabang
Gambar 7. Ilustrasi penjalaran debit puncak banjir dan besarnya waktu penjalaran (travel
time)
Waktu penjalaran debit puncak banjir
Waktu penjalaran debit puncak banjir didapat dari selisih antara waktu terjadinya debit puncak di suatu
lokasi (misal junction 12 C) dengan waktu terjadinya debit puncak di lokasi lainnya (misal junction 11 C).
Tabel berikut ini berisi rangkuman besarnya waktu penjalaran debit puncak banjir untuk berbagai kala
ulang yang dibedakan lagi menjadi dua, yaitu hasil simulasi dengan komponen direct runoff menggunakan
HSS Snyder dan HSS Clark.
Tabel 10. Waktu penjalaran debit puncak banjir di beberapa titik lokasi
Travel time dari hulu sungai ke EWS 1 (jam) t-Q2 t-Q5 t-Q10 t-Q25 t-Q50 t-Q100
Snyder 4 4 4 4 4 4
Clark 4 4 4 4 4 4
Travel time dari EWS 1 ke Bd. Cilemahabang (jam) t-Q2 t-Q5 t-Q10 t-Q25 t-Q50 t-Q100
Snyder 6 6 6 6 6 6
Clark 7 7 7 7 7 7
Travel time dari Bd. Cilemahabang ke Bd. Caringin (jam) t-Q2 t-Q5 t-Q10 t-Q25 t-Q50 t-Q100
Snyder 7 7 8 8 8 8
Clark 7 8 7 8 8 8
Berdasarkan Tabel 10, waktu penjalaran debit puncak banjir berbagai kala ulang dari hulu sungai
Cilemahabang ke EWS 1 (hulu jalan toll) yang ± berjarak 7 km adalah selama 4 jam. Sedangkan waktu
penjalaran debit puncak banjir dari EWS 1 ke bendung Cilemahabang yang jaraknya 15 km adalah
selama 6 – 7 jam. Waktu penjalaran debit puncak banjir dari bendung Cilemahabang ke bendung
Caringin dengan jarak ± 9 km adalah selama 7 – 8 jam. Cepat lambatnya waktu penjalaran debit puncak
banjir yang pertama tergantung pada jarak tempuh gelombang banjir tersebut. Selain itu, parameter lain
yang berpengaruh adalah kemiringan/slope ruas sungai dan kekasaran saluran.
Sinkronisasi pengoperasian pintu bendung dengan EWS dan travel time debit puncak banjir
Tabel 11 di bawah ini berisi SOP (Standard Operating Procedure) bendung Cilemahabang yang telah
disinkronisasi dengan ketiga EWS yang masing-masing terletak di Delta Silicon, Gema Lapik, dan Mekar
Alam. Sedangkan Gambar 8 menunjukkan posisi ketiga EWS di sepanjang sungai Cilemahabang yang
lokasinya masih di dalam kawasan industri Cikarang.
Tabel 11. SOP saat pembukaan pintu bendung Cilemahabang
(Sumber: Perum Jasa Tirta II Divisi Pengelolaan Air I Seksi Lemahabang)
No. Keadaan Aksi
A. Cikarang Baru hujan ringan Buka pintu semua dipertahankan level air -50 cm
B. Cikarang Baru hujan deras Buka pintu semua dipertahankan ngolong
C.1. Cibarusah/Cicau hujan deras Buka pintu semua dipertahankan level air -50 cm
2. EWS 1 Delta Silicon kirim alarm Buka pintu semua dipertahankan ngolong
3. EWS 2 Gema Lapik kirim alarm Buka pintu semua dipertahankan ngolong
4. EWS 3 Mekar Alam kirim alarm Buka pintu semua posisi bukaan maksimal
D. Level air Cikarang Baru Hijau 3 Tutup pintu dipertahankan level normal
Kondisi normal Pintu ditutup atau salah satu pintu dibuka 30-60 cm untuk
mempertahankan level normal
Debit meningkat di atas 15 m3/s Dibuka semua dengan tinggi bukaan pintu 1,5 m
50 m3/s – 90 m3/s Dibuka semua dengan tinggi bukaan pintu maksimal (2,5 m)
Pengoperasian pintu bendung juga tergantung dari besarnya debit yang terjadi. Dalam kondisi normal
(elevasi muka air dipertahankan sama dengan elevasi mercu bendung) semua pintu bendung ditutup atau
satu/dua pintu dibuka setinggi 30 cm – 60 cm. Pada kondisi debit besar (50 m3/s – 90 m3/s) semua pintu
dibuka dan dipertahankan “ngolong” (muka air sisi hulu tidak menyentuh pintu) dengan tujuan supaya
sampah dapat lewat dan tidak menyumbat aliran. Ketika debit meningkat dengan penambahan yang kecil,
pintu dibuka bertahap, yaitu 60 cm – 1 m dan dijaga supaya tinggi limpasan tidak lebih dari h = 0,3 m.
Ke bendung Cilemahabang
3) Besarnya waktu penjalaran debit puncak banjir berbagai kala ulang tergantung pada jarak tempuh
(panjang ruas sungai di antara dua lokasi), kemiringan/slope ruas sungai, dan kekasaran saluran.
4) Terkait dengan peristiwa keterlambatan membuka pintu air yang pernah terjadi, diduga kemungkinan
penyebabnya adalah sebagai berikut:
kondisi darurat di mana listrik mati/panel pembuka pintu otomatis rusak sehinggga
serangkaian pintu air (7-8 pintu) harus dibuka secara manual yang membutuhkan waktu lebih
lama dan petugas lebih banyak;
terjadi gangguan pada stasiun telemetri sistem peringatan dini banjir (sensor, transmitter)
sehingga tidak dapat mengirim alarm. Sementara, buka/tutup pintu bendung tergantung
alarm/sinyal yang dikirimkan EWS;
kejadian banjir yang melebihi besaran banjir rancangan/design flood pembuatan bendung;
human error, misalnya : saat banjir terjadi, petugas sedang tidak ada di tempat.
Beberapa saran/masukan di bawah ini dapat digunakan untuk menyempurnakan penelitian selanjutnya,
antara lain:
1) Data debit terukur yang lengkap sangat dibutuhkan dalam proses kalibrasi sebelum dilakukan analisis
debit banjir dengan HEC-HMS sehingga diperoleh hasil yang lebih akurat;
2) analisis lebih lanjut terkait sistem pengolahan data dan sistem evaluasi dari masing-masing EWS. Hal
ini penting untuk mengetahui besarnya threshold yang dijadikan pedoman pengambilan keputusan
dilakukannya tindakan tanggap darurat bencana, misalnya: pengiriman sinyal/alarm bahaya, dsb.
REFERENSI
Chapter 8 Hydrograph/Hydrological Processes. http://echo2.epfl.ch/VICAIRE/mod_1a/chapt_8/text.htm
[diakses pada tanggal 10 Agustus 2014]
Chow, V.T., Maidment, D.R., dan Mays, L.W. 1988. Applied Hydrology. McGraw-Hill, New York.
Natakusumah, D.K., Hatmoko, W., dan Harlan, D., 2011. Prosedur umum perhitungan hidrograf satuan
sintetis dengan cara ITB dan beberapa contoh penerapannya. Jurnal Teoritis dan Terapan Bidang
Rekayasa Sipil, Vol. 18 No. 3 Desember 2011 ISSN 0853-2982.
Rice University, February 2003. Handout of HEC-HMS and Hydrologic Modeling Tutorial ENVI 512.
Houston, Texas.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.
US Army Corps of Engineers, Hydrologic Engineering Center., 2008. Hydrologic Modeling System HEC-
HMS : Applications Guide. Davis, California.
US Army Corps of Engineers, Hydrologic Engineering Center., 2000. Hydrologic Modeling System HEC-
HMS : Technical Reference Manual. Davis, California.
Abstrak
Penggunaan software dapat mempermudah perhitungan prakiraan banjir, ada beberapa software yang
dapat memperkirakan besar genangan banjir, namun membutuhkan data debit (data hidrograf).
Pembuatan model pemantauan genangan banjir Sungai Code dimaksudkan untuk memberi informasi bagi
perancangan bangunan hidraulik atau bangunan pengendali banjir di sungai, dapat pula untuk
pengelolaan konservasi air dan lebih lanjut sebagai warning system dalam mitigasi bencana.
Tahapan yang dilakukan berupa penelitian tentang pemilihan metode prakiraan banjir yang tepat sesuai
dengan karakteristik Sungai Code. Pada penelitian I tahun 2013 diperoleh hasil bahwa metode hidrograf
satuan sintetik (HSS) Gama I sesuai karateristik Sungai Code. Kemudian dibuat model prakiraan banjir
dengan input data hujan berupa software perhitungan debit aliran di Sungai Code yang diberi nama
software JanaFlow_Code_13. Software tersebut dapat digunakan secara berulang sehingga waktunya
lebih singkat dan cepat. Penelitian II tahun 2014 adalah menggabungan software JanaFlow_Code_13
dengan Software HEC-RAS Version 4.0 Beta sehingga menghasilkan software baru untuk mengetahui
kondisi genangan di sungai Code yang diberi nama JanaFlow_Code_14.
Software tersebut untuk memberikan informasi daerah genangan banjir di DAS Code dari data hujan
secara cepat sehingga dapat digunakan sebagai peringatan dini yang bermanfaat untuk mitigasi
bencana.Tindakan antisipasi dan cara mengatasi bencana dapat dilakukan secara tepat dan cepat.
Kata Kunci : Banjir, Sungai Code, Software
LATAR BELAKANG
Bencana banjir merupakan bencana yang populer Indonesia. Banjir mengenangi Ibukota Negara Republik
Indonesia (RI) hampir tiap tahun, pada tahun 2008 Jakarta tidak luput dari amukan Sungai Ciliwung,
Cisadane, dan Pesanggrahan sehingga Bandara Soekarno-Hatta lumpuh total selama 2 hari. Banjir juga
melanda daerah lain di Indonesia seperti Bengawan Solo, Pasuruan, Bondowoson, dan lain-lain.
Malapetaka banjir akan terjadi di mana-mana dan terus meningkat baik intensitas maupun frekuensinya.
Banjir akan menyebabkan banyak kerugian material karena banjir akan memutus urat nadi perekonomian,
dan bahkan dapat menelan korban jiwa.
Sungai Code merupakan salah satu sungai yang melalui wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan
memiliki lokasi straregis, karena daerah aliran sungai (DAS) berada di 3 Kabupaten/Kota yaitu Kabupaten
Sleman, Kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul. Dalam beberapa tahun terakhir, Sungai Code
mengalami degradasi fungsi yang cukup tajam karena berbagai faktor yang terjadi di sepanjang sungai
mulai dari hulu sampai dengan hilir. Perubahan perilaku hidrologis dan perubahan tata guna lahan di
Daerah Aliran Sungai (DAS) Code juga telah terjadi, yang menyebabkan perubahan pola ketersediaan air,
ditandai dengan fenomena banjir di beberapa kawasan pada musim hujan, dan kekeringan di musim
kemarau.
Bagian tengah daerah pengaliran Sungai Code melintasi daerah perkotaan yang padat penduduk.
Semakin luas daerah perkotaan telah menyebabkan terjadi meningkatkan potensi banjir yang akan
membahayakan masyarakat di sekitar Sungai Code. Informasi banjir yang dapat digunakan untuk
mengantisipasi bencana yang akan atau sedang terjadi diperlukan untuk dibuat dan direaliasi, agar dapat
ditekan sekecil mungkin kerugian yang akan terjadi terutama korban jiwa.
Permasalahan dalam perancangan bangunan hidraulik salah satunya adalah tidak atau kurang
tersedianya data aliran terukur di titik yang ditinjau, termasuk data debit puncak banjir di suatu sungai.
Data debit banjir di sungai dapat diperoleh dari hasil pengukuran debit dari stasiun pengukuran yang
dipasang, namun jika data debit terukur tersebut tidak lengkap atau tidak dimiliki sama sekali, maka dapat
dilakukan dengan cara mengalihragamkan hujan menjadi aliran/debit. Ada beberapa metode empiris lain
yang dapat digunakan untuk mengalihragamkan hujan menjadi aliran antara lain metode Hidrograf Satuan
Sintetik (HSS). Metode tersebut adalah HSS Gama I, HSS Snyder, HSS Nakayasu, dan lain-lain.
Penelitian ini menggunakan metode prakiraan banjir dengan hidrograf satuan sintetik Gama I (Sri Harto,
2000) sesuai dengan kondisi Sungai Code.
Tujuan penelitian ini adalah model banjir di suatu DAS yang menyatukan aspek hidrologi dan hidraulika
yang memanfaat teknologi informasi sebagai warning system. Secara rinci dilihat pada Gambar 1.
Aspek Hidrologi Teknologi Informasi
Karakteristik
Modelling
DAS
Data
Genangan
HEC-RAS
Aspek Hidraulika
mengalami perubahan kecepatan di sepanjang aliran. Apabila ruang dijadikan kriteria itu, maka aliran
akan dikategorikan menjadi aliran uniform (seragam) dan nonuniform (tidak seragam).
(1)
Keterangan :
Q : debit (m3/s)
A : luas penampang melintang saluran (m2)
V : kecepatan rata-rata aliran (m/s)
Sementara itu, debit di sepanjang aliran dianggap seragam dengan kata lain aliran bersifat kontinu,
sehingga :
(2)
Akibat material yang berbeda pada setiap saluran, terutama saluran terbuka seperti sungai, aliran akan
mengalami gesekan dengan material salurannya. Perhitungan kecepatan aliran dilakukan dengan
memperhatikan faktor gesekan tersebut. Persamaan Manning dapat digunakan untuk melakukan
perhitungan yang dimaksud. Koefisien Manning (n) memperhitungkan koefisien kekasaran saluran pada
perhitungannya. Koefisien kekasaran merupakan pengerem dari aliran air baik di saluran (channel)
maupun dataran banjir (flood plain). Nilai n pada saluran ditentukan dengan mengevaluasi pengaruh-
pengaruh yang ditimbulkan oleh faktor-faktor kekasaran di dalam saluran. Persamaan Manning adalah
sebagi berikut :
(3)
Keterangan :
V : kecepatan aliran (m/s)
n : koefisien kekasaran Manning (berdasarkan material saluran jari-jari hidraulik saluran)
S : slope of energy grade line (m/m) → tipikal untuk masing- masing wilayah.
Berikut Tabel 1 yang menunjukan nilai koefisien Manning untuk beberapa material saluran :
Tabel 1. Nilai koefisien Manning (n)
(Sumber : Aldridge dan Garret, 1973)
HEC-RAS adalah sebuah sistem software yang didesain untuk melakukan berbagai analisis hidraulika.
HEC-RAS HEC-RAS merupakan program aplikasi untuk memodelkan aliran di sungai, River Analysis
System (RAS), yang dibuat oleh Hydrologic Engineering Center (HEC) yang merupakan satu divisi di
dalam Institute for Water Resources (IWR), di bawah US Army Corps of Engineers (Istiarto, 2011). HEC-
RAS merupakan model satu dimensi aliran permanen maupun tak permanen (steady and unsteady one-
dimensional flow model). Penampang dasar muka air diperkirakan dari satu cross section ke cross section
selanjutnya dengan menggunakan persamaan energi dengan prosedur iterasi yang disebut metode
standart step. Saluran alam contohnya sungai, biasanya mempunyai luas tampang yang berubah dan
berbentuk non prismatis. Kehilangan energi pada saluran tersebut adalah kehilangan energi karena
gesekan dasar atau perubahan bentuk tampang. Kehilangan energi tersebut dapat diformulasikan sebagai
berikut :
(4)
Keterangan :
Y1,Y2 : tinggi tekanan (m)
Z 1, Z 2 : tinggi tempat (m)
: koefisien kecepatan
hc : kehilangan energi (m)
Penelitian ini merumuskan 2 tahapan penelitian yang akan dilaksanakan dalam kurun waktu 2 tahun.
Penelitihan Tahun I yaitu meneliti metode prakiraan banjir dan membuat software/program komputer untuk
menghitung debit banjir yang terjadi sesuai metode empiris yang paling sesuai dengan kondisi sungai
Code berbasis teknologi informasi. Pengumpulan data sekunder mengenai data hujan, data debit (data
hidrograf) dan karakteristik DAS Code (dari peta topografi). Data primer diperoleh dengan pengamatan dan
pengukuran di DAS Code. Adapun metode prakiraan banjir yang digunakan untuk mengalihragamkan hujan
menjadi aliran (debit) antara lain adalah metode HSS Gama I (Sri Harto, 2000). Untuk kalibrasi metode
prakiraan banjir yang tepat dengan membandingkan hasil kedua metode tersebut dengan banjir aktual hasil
analisis frekuensi data debit ekstrem (banjir). Hasil penelitian berupa software program perhitungan debit
banjir sungai Code ini dijalankan dengan menginputkan/memasukkan data hujan dan keluaran/output
yang diperoleh berupa prakiraan besar debit dan bentuk hidrograf di sungai Code.
Penelitian Tahun II adalah pembuatan software program genangan banjir. Ada beberapa software yang
dapat memperkirakan besar dan lokasi genangan banjir, misal software HEC-RAS, namun program
tersebut butuh data debit (prakiraan banjir kala ulang) untuk mengetahui kondisi genangan banjir.
Penelitian Tahun II akan menggabungkan antara program perhitungan debit banjir yang diperoleh pada
penelitian Tahun I dengan software yang dapat menghitung genangan banjir di sungai Code, sehingga
diperoleh software baru untuk menghitung genangan banjir di penggal sungai Code. Software tersebut
selain dapat menghitung debit dan genangan banjir, keluaran dari software ini berupa peta genangan
khusus di penggal sungai yang melintasi pemukiman.
METODOLOGI STUDI
Secara administratif bagian hulu Sungai Code berada di wilayah utara Propinsi DIY, yaitu di Kabupaten
Sleman, dan mengalir ke arah selatan melalui daerah perkotaan yang padat penduduknya di Kota
Yogyakarta, dan bermuara di sisi kanan Sungai Opak di Desa Kembang Kabupaten Bantul. Lokasi yang
diteliti adalah bagian hulu Sungai Code sampai stasiun Automatic Water Level Recorder (AWLR) Pogung
yang berada di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Pemilihan lokasi tersebut didasarkan
pada ketersediaan data yang diperlukan untuk menentukan besarnya hujan rerata, hujan rancangan dan
banjir rancangan. Skema penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.
Alur penelitian dapat dilihat pada Gambar 4, sedangkan tahapan penelitian tahun II meliputi :
Gambar 1. Pengukuran penampang Sungai Code (cross section) untuk mengetahui kondisi morfologi
sungai Code.
Gambar 2. Inputing data cross section Sungai Code ke dalam program HEC-RAS Version 4.0 Beta
Gambar 3. Penggabungan software JanaFlow_Code_13 dengan program HEC-RAS dengan data
Sungai Code sehingga menghasilkan software baru untuk mengetahui kondisi genangan di
Sungai Code yang diberi nama JanaFlow_Code_14.
Mulai
Tahun I Tahun II
Model
Model Hujan Hidrolika
Aliran DAS Geometri
Code
Tahun I
Data Hujan JanaFlow_Code_13
Jam-jaman
Hidrograf Debit
Banjir
Tahun II HEC-RAS
JanaFlow_Code_14
Distribusi Aliran
&
Tinggi Genangan
Selesai
dihitung panjang sungai sebesar 5 km yang merupakan daerah pemukiman padat penduduk di sepanjang
sempadan sungai.
Pengukuran dan pengamatan situasi di sekitar dilakukan dalam 100 titik (P0 – P100) dengan jarak tiap
100 m kiri kanan tepi sungai. Hasil dari pengukuran terdiri darigambar sungai dilihat tampak atas (alur
sungai) dan penampang tiap-tiap lokasi dari P0 sampai dengan P100 dengan lebar 50 m kanan kiri
sempadan sungai. Pias penampang sungai terdiri dari lebar sungai, elevasi dan situasi di tepi sungai.
Hasil pengukuran penampang dan kondisi tepi sungai, salah satunya dapat dilihat pada Gambar 5. Lebar
dan elevasi sungai digunakan untuk dimasukan dalam perhitungan genangan banjir pada program HEC-
RAS.
120
EG Max WS
Crit Max WS
terjunan
150
WS Max WS
Ground
130
120
110
100
90
0 1000 2000 3000 4000 5000 6000
Main Channel Distance (m)
Di bagian hulu ini terdapat satu terjunan yang dimasukan dalam penampang. Penampang aliran di hilir
dengan muka air banjir maksimal hasil simulasi dapat dilihat pada Gambar 9.
REFERENSI
Aldridge, B.N. dan Garret, J.M., 1973. Roughness Coefficients for Stream Channels in Arizona,
Departement of Interior Geological Survey, United State,
Heryna, O., 2008. Pengaruh Kontraksi Penampang Saluran Terhadap Kualitas Fisik Air Sungai, Studi
Kasus : Sungai Sugutamu. http://www.lontar.ui.id/file?file=digital/1229469-R010852-
Pengaruh%20Kontraksi-Literatur.pdf.
Istiharto, 2011. Modul Pelatihan, Simulasi Aliran 1-Dimensi dengan Bantuan Paket Program
Hidrodinamika HEC-RAS, Jenjang Dasar : Simple Geometry River, Jurusan Teknik Sipil dan
Lingkungan, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Sri Harto, Br. 2000. Hidrologi : Teori, Masalah , Penyelesaian. Nafiri Offset, Yogyakarta.
Titiek, W., dan Nizar, A., 2014, Rintisan Pemantauan Banjir di Sungai Code Yogyakarta, disajikan pad
Konferensi Nasional I Forum Wahana Teknologi, 25 – 27 Maret 2014, Bantul, Daerah Istimewa
Yogyakarta.
Abstrak
Rencana pengembangan kawasan Gedebage menjadi kawasan terpadu memerlukan sebuah sistem
pengendalian limpasan yang optimum. Saat ini telah diaplikasikan Saluran Diversi Cinambo yang telah
mampu mengendalikan limpasan akibat debit banjir rencana periode ulang 20 tahun. Rencana
pengembangan kawasan menjadi pusat beberapa sarana-prasarana publik, menimbulkan adanya
perubahan debit banjir rencana menjadi 25 tahun. Kondisi ini tentunya akan memunculkan permasalahan
baru karena kapasitas saluran yang tidak mencukupi sehingga diperlukan solusi pengendalian limpasan
yang baru dan salah satu alternatif yang mungkin diterapkan adalah penggunaan kolam detensi. Terdapat
dua buah rencana kolam detensi, yang terletak di sisi Sungai Cilameta (Kolam A) dan di sisi Saluran
Diversi Cinambo (Kolam B). Berdasarkan hasil simulasi, diketahui kolam A akan bekerja optimum apabila
memiliki luasan 15 ha dengan pelimpah selebar 5 m sehingga mampu mereduksi limpasan sebesar 45
cm. Sementara itu, kolam B akan mampu mengurangi limpasan sebesar 28 cm apabila memiliki luas 10
ha yang dilengkapi dengan pelimpah selebar 15 m dan stoplog setinggi 2,5 m. Aplikasi kedua kolam
secara bersamaan, akan menghasilkan penurunan limpasan paling maksimum sebesar 84 cm. Hasil
evaluasi pada kondisi masa mendatang setelah terjadinya perubahan tata guna lahan menunjukkan
perlunya tanggul untuk mengoptimalkan sistem pengendalian banjir menggunakan kolam detensi.
Kata Kunci: Kolam detensi, Saluran Diversi Cinambo, Sungai Cilameta
LATAR BELAKANG
Rencana pengembangan daerah Bandung Timur menjadi salah satu rencana strategis Pemerintah Kota
Bandung untuk melakukan pemerataan pembangunan Kota Bandung pada masa mendatang. Pemerintah
telah menyiapkan sebuah kawasan seluas ±712 Ha di kawasan Gedebage yang akan dikembangkan
menjadi suatu kawasan terpadu. Pada kawasan ini akan dikembangkan berbagai fasilitas bisnis, sosial,
jasa, rekreasi dan olah raga yang berada dalam suatu kawasan, sebagaimana rencana pengembangan
tata ruang dan wilayah Kota Bandung pada masa mendatang (Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya Kota
Bandung, 2008). Secara administratif, lokasi studi berada di Kecamatan Rancasari yang dibatasi oleh
Jalan Soekarno-Hatta, Jalan Cimencrang, Jalan Tol Padaleunyi, dan Jalan Gedebage sebagaimana
ditunjukkan pada Gambar 1 berikut.
Jl. Soekarno-Hatta
Jl. Cimencrang
Jl. Gedebage
Saluran Diversi
Cinambo
Tol Padaleunyi
Sungai Cikeruh dan Sungai Citarum sebagai muara akhir dari aliran saluran diversi Cinambo. Dimensi
tipikal dari saluran diversi dan sungai-sungai yang terkait pada studi ini dapat dilihat pada Gambar 2.
Penampang Tipikal Saluran Diversi Cinambo Penampang Tipikal Saluran Cilameta
10 6
5
8
4
6
3
4
4,5 m 2 2,75 m
2
1
10 m 4m
0 0
-2 3 8 13 18 23 -1 1 3 5 7 9 11
6 5.5
4
4 7,5 m
5m
2.5
2
1
11 m 25 m
0 -0.5
-1 9 19 29 39 -4 6 16 26 36 46 56
METODOLOGI STUDI
Studi ini hanya memfokuskan pada analisis dan pemodelan hidraulik Sungai Cinambo, sementara
perhitungan hidrologi akan mengacu pada hasil studi sebelumnya. Studi dilakukan menggunakan model
matematik 1D dengan bantuan perangkat lunak HEC-RAS versi 4.0. Berdasarkan model hidraulik ini
dapat ditentukan kapasitas maksimum Sungai Cinambo eksisting, tinggi limpasan yang terjadi akibat
perubahan nilai debit banjir rencana dan perubahan tata guna lahan, serta melakukan analisis terhadap
berberapa alternatif solusi penanggulangan banjir pada daerah studi.
Langkah awal dalam melakukan simulasi adalah dengan mempersiapkan skema model sistem aliran
sungai tersebut. Pada studi ini, simulasi akan mencakup Saluran Diversi Cinambo yang dimulai dari
sebelah hilir rel kereta api hingga bermuara di Sungai Cikeruh dengan panjang aliran sebesar 8.500 m,
dan sebagian Sungai Cilameta pada pertemuan dengan Saluran Diversi Cinambo sepanjang 600 m. Pada
bagian hilir, dimodelkan Sungai Cikeruh bagian hilir mulai dari pertemuan dengan Saluran Diversi
Cinambo hingga bermuara di Sungai Citarum sepanjang 2.180 m, dan terakhir adalah sebagian Sungai
Citarum sepanjang 6.400 m. Berdasarkan sistem pengalirannya, maka model hidraulik pada studi ini
dapat dibuat seperti pada Gambar 3.
Sungai Cilameta
Sungai Cinambo
Sungai Cikeruh
Sungai Citarum
110
100
90
80
70
Debit (m3 /s)
60
50
40
30
20
10
0
0 8 16 24 32 40 48
Waktu (30 menit)
Gambar 4. Hidrograf debit rencana sebagai data masukan kondisi batas hulu
(sumber: Wicaksono, 2008)
Berdasarkan skema model dan data masukan yang ada, simulasi dan analisis pengendalian banjir pada
daerah studi dapat dilakukan. Adapun studi ini akan melakukan analisis beberapa simulasi, yang terdiri
dari evaluasi kapasitas saluran diversi pada kondisi eksisting, dilanjutkan dengan simulasi beberapa
dimensi optimum kolam detensi yang mungkin diterapkan pada lokasi studi, dan evaluasi kinerja kolam
detensi tersebut pada kondisi masa mendatang di saat telah terjadi pengembangan pada kawasan ini.
Penentuan dimensi optimum dilakukan dengan melihat elevasi muka air di dalam kolam detensi pada
beberapa kombinasi antara kapasitas kolam dan dimensi bangunan pelimpah. Simulasi hidraulik akan
dilakukan menggunakan model matematik 1 dimensi HEC-RAS dengan kondisi aliran tidak langgeng
(unsteady flow), dengan durasi model selama 24 jam.
berbagai nilai debit sehingga diperoleh ketinggian muka air yang sesuai denga tinggi jagaan yang
disyaratkan yaitu berkisar antara 0,5 m sampai 0,7 m. Berdasarkan analisis ini, diketahui bahwa kapasitas
Saluran Diversi Cinambo sebesar 100 m3/s, Sungai Cilameta sebesar 30 m3/s, Sungai Cikeruh sebesar
100 m3/s dan Sungai Citarum sebesar 350 m3/s.
Untuk mengevaluasi kapasitas Saluran Diversi Cinambo saat ini, dilakukan simulasi menggunakan debit
banjir periode ulang 25 tahun pada kondisi tata guna lahan eksisting. Berdasarkan hasil simulasi seperti
yang ditunjukkan oleh Gambar 5, diketahui bahwa kapasitas bagian hulu Saluran Diversi Cinambo masih
mampu mengalirkan debit banjir pada periode ulang 25 tahun sebesar 85,37 m3/s. Namun, dengan
adanya penambahan debit dari Saluran Cilameta sebesar 72,07 m 3/s di tengah saluran diversi,
mengakibatkan terjadinya genangan dengan ketinggian maksimum sebesar 30 cm pada bagian hilir
saluran diversi. Selain itu, dari simulasi tampak bahwa genangan juga terjadi di sepanjang Sungai
Cilameta dengan ketinggian genangan maksimum juga sebesar 30 cm di atas permukaan tanah.
Sementara itu, pada ruas Sungai Cikeruh dan Sungai Citarum tidak terdapat genangan karena kapasitas
sungai yang masih memadai.
675
Sungai Citarum Sungai Cikeruh Saluran Diversi Cinambo
665
660
Elevasi (m)
Sungai Cilameta
669
668
655
667
666
665
Elevasi (m)
664
650
663
662
661
660
645
659 limpasan di sepanjang sungai
658
0 100 200 300 400 500 600 700
Jarak kumulatif (m)
640
0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 9000 10000 11000 12000 13000 14000 15000 16000 17000
Gambar 5. Hasil simulasi evaluasi kapasitas saluran dan sungai pada kondisi saat ini
Alternatif Pengendalian Banjir dengan Kolam Detensi A
Alternatif pengendalian banjr yang diusulkan dalam studi ini adalah pembuatan kolam detensi yang akan
menampung sementara volume banjir yang terjadi. Rencana pemanfaatan kolam detensi ini pun sudah
sesuai dengan rencana tata ruang dan wilayah Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya Kota Bandung, dimana
pada kawasan ini direncanakan dibuat empat buah kolam detensi (Yodya Karya, 2006). Akan tetapi,
penelusuran lebih lanjut terhadap alinemen saluran dan kondisi daerah eksisting, hanya terdapat dua
kolam detensi yang mungkin dibangun sebagaimana tergambar pada Gambar 6. Masing-masing kolam
akan dilengkapi dengan bangunan pelimpah samping sebagai saluran inlet ke dalam kolam. Dimensi
pelimpah samping akan ditentukan secara simultan atau bersamaan dengan penentukan luas kolam
detensi. Sketsa penampang kolam detensi dan bangunan pelimpah sampingnya, dapat dilihat pada
gambar….
Kolam A
Kolam B
m
5
a h
li mp
S. Cilameta Pe
+ 665,71
2,75 m 3m
3m
1,5 m
+ 664,21
3,41 m
4m
Kolam Cimencrang 15 ha
+ 662,3
665.5 120
110
665
100
664.5
Persentase (%)
Elevasi (m) 90
664
80
663.5
70
663
60
662.5
50
662 40
10 15 20 25 30 10 15 20 25 30
Luas Kolam (Ha)
Luas (Ha)
675
670
665
Elevasi (m)
660
Sungai Cilameta
669
668
655
667
666
665
Elevasi (m)
664
650
663
662
661
660
645
659
640
0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 9000 10000 11000 12000 13000 14000 15000 16000 17000
Jarak Kumulatif (m)
90
665
80
664.5
70
60
664
Persentase (%)
Elevasi (m)
50
663.5
40
30
663
20
662.5
10
662 0
10 15 20 25 30 10 15 20 25 30
Luas Kolam (Ha) Luas (Ha)
675
Sungai Citarum S.Cikeruh Saluran Diversi Cinambo
670
665
660
Elevasi (m)
Sungai Cilameta
669
655
668
667
666
665
650
Elevasi (m)
664
663
662
661
645 660
659
658
0 100 200 300 400 500 600 700
Jarak kumulatif (m)
640
0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 9000 10000 11000 12000 13000 14000 15000 16000 17000
670
665
660
Elevasi (m)
Sungai Cilameta
669
655 668
667
666
665
650
Elevasi (m)
664
663
662
661
645 660
659
658
0 100 200 300 400 500 600 700
Jarak kumulatif (m)
640
0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 9000 10000 11000 12000 13000 14000 15000 16000 17000
Gambar 12. Profil aliran setelah aplikasi kombinasi Kolam Detensi A dan B
Pada Gambar 12 dapat dilihat bahwa pemanfaatan Kolam Detensi A dan B secara
bersamaan, dapat mengurangi tinggi limpasan di hilir Saluran Diversi Cinambo dengan
penurunan muka air maksimum sebesar 84 cm. Bahkan, pada lokasi yang menurut
analisis sebelumnya masih memerlukan tanggul tambahan, pada kondisi ini tidak lagi
memerlukan tambahan tanggul. Namun demikian, dapat dilihat bahwa pemanfaatan
kolam detensi pada Sungai Cilameta belum mampu mengurangi limpasan yang terjadi
pada bagian hulu Sungai Cilameta, walaupun pada bagian hilir sudah terjadi penurunan
muka air hingga 67 cm. Dengan demikian, pada dasarnya untuk mengurangi tinggi
limpasan yang terjadi pada Saluran Diversi Cinambo secara maksimum, maka kedua
kolam ini mutlak diperlukan.
Evaluasi Kinerja Kolam Detensi A dan B pada Kondisi Masa yang Akan Datang
Setelah melakukan simulasi dan analisis terhadap alternatif pengendalian banjir dengan kolam detensi
pada kondisi saat ini, kapasitas dan dimensi kolam yang ada akan dievaluasi pada kondisi terjadinya
peningkatan nilai debit akibat terjadinya pengembangan dan perubahan tata guna lahan pada daerah
aliran di masa mendatang. Menurut hasil analisis pada studi terdahulu, diketahui bahwa terjadi
peningkatan nilai debit rencana sebesar 16,50% (Wicaksono, 2008). Peningkatan nilai debit ini tentunya
akan diikuti dengan peninggian limpasan yang terjadi. Berdasarkan hasil simulasi dan analisis terhadap
dimensi saluran eksisting tanpa alternatif pengendalian banjir, diketahui limpasan maksimum yang terjadi
pada saluran diversi setinggi 47 cm dan pada Sungai Cilameta setinggi 36 cm, atau terjadi peningkatan
sebesar 62% pada Saluran Diversi Cinambo dan 24% pada Sungai Cilameta.
Evaluasi kinerja pengendali banjir dilakukan dengan memasukkan nilai hidrograf banjir akibat perubahan
tata guna lahan ke dalam model hidraulik sesuai dengan alternatif pengendalian banjir yang telah
ditetapkan sebelumnya. Kemudian, dilakukan evaluasi terhadap pengurangan tinggil limpasan yang terjadi
sebagaimana dilakukan pada simulasi sebelumnya. Berdasarkan hasil analisis terhadap profil aliran di
saluran diversi seperti pada Gambar 13, diketahui alternatif pengendali dengan kolam A, kolam B, dan 2
kolam detensi dapat menurunkan muka air sebesar 41 cm, 29 cm, dan 84 cm secara berurutan. Aplikasi
kolam A, dan 2 kolam dapat mengurangi tinggi limpasan sebesar 74 cm dan 71 cm pada Sungai Cilameta.
Sementara itu, penerapan kolam B tidak dapat mengurangi tinggi limpasan pada Sungai Cilameta. Profil
aliran di Sungai Cilameta pada kondisi masa yang akan datang, dapat dilihat pada Gambar 14.
Berdasarkan kedua hasil tersebut, perlu dibangun tanggul pada beberapa lokasi untuk mencegah
terjadinya limpasan.
675
Sungai Citarum Sungai Cikeruh Saluran Diversi Cinambo
670
665
Elevasi (m)
660
655
650
0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 9000 10000 11000 12000 13000 14000 15000 16000 17000
Gambar 13. Profil muka air di Saluran Diversi Cinambo pada masa yang akan datang
669
668
667
666
665
664
Elevasi (m)
663
662
661
660
659
658
0 100 200 300 400 500 600 700
Jarak kumulatif (m)
Gambar 14. Profil muka air di Sungai Cilameta pada masa yang akan datang
REFERENSI
BBWS Citarum. 2006. As Build Drawing Upper Citarum Basin Package I, VI, dan VII. Bandung.
DDC Consultant, PT. 2008. Laporan Hidrologi Studi dan D.D. Retention Basin untuk Pengendalian Banjir
dan Air Baku Kawasan Gedebage Kota Bandung. Bandung.
Wicaksono, Albert. 2008. Studi Alternatif Penanggulangan Banjir di Kawasan Primer Gedebage, Kota
Bandung, skripsi program sarjana Universitas Katolik Parahyangan, Bandung.
Yodya Karya, PT. 2006. Laporan Final Rencana Induk Kawasan Gedebage, Bandung
Abstrak
Muara Domas di Pantai Kronjo kabupaten Serang mengalami pendangkalan disertai dengan erosi pada
pantai sekitarnya yang diakibatkan oleh angkutan sedimen menyusur pantai dari arah Barat menuju
Timur. Bila tidak segera ditanggulangi, maka banjir akan terjadi pada daerah sekitarnya.Tujuan penelitian
ini adalah untuk membuat perencanaan desain teknis pengamanan pantai baik bangunan penahan
gelombang/pengaman pantai ataupun bangunan pelengkap lainnya secara rinci. Penanganan yang
dilakukan adalah pembuatan jeti sepanjang 100 m terbuat dari armor batu dengan dimensi 0,55–0,6 m,
pembuatan struktur pemecah gelombang bahan geotube dengan dimensi 2,4 m x 1,2 m x 20 m sepanjang
500 m, dan pengerukan alur setelah pembuatan jeti dilakukan. Perhitungan dimensi batu dilakukan
dengan membandingkan dua metode yaitu Hudson dan Van Der Meer. Dalam perencanaan struktur
digunakan metode perhitungan Hudson karena dimensi batu yang dihasilkan lebih besar demi memenuhi
faktor keamanan struktur.
Kata kunci: erosi, jeti, muara, pemecah gelombang, Van Der Meer
LATAR BELAKANG
Kawasan pesisir pantai di Provinsi Banten mempunyai area yang sangat panjang dari pantai Utara
kabupaten Serang hingga ke pantai Selatan perbatasan Provinsi Jawa Barat dengan panjang garis pantai
±501 km. Banten merupakan jalur perlintasan/penghubung dua pulau besar di Indonesia, yaitu Jawa dan
Sumatera. Wilayah Provinsi Banten juga memiliki beberapa pelabuhan laut yang dikembangkan sebagai
antisipasi untuk menampung kelebihan kapasitas dari pelabuhan laut di Jakarta dan sangat mungkin
menjadi pelabuhan alternatif dari Singapura. Bagi pemerintah daerah pesisir pantai Utara, pantai
merupakan aset dan dapat mendatangkan pendapatan bagi masyarakat dan pemerintah. Namun pantai
yang merupakan komponen utama dari sektor pariwisata dan menarik bagi wisatawan ini mengalami
permasalahan yaitu terjadi erosi dan pendangkalan muara. Studi kasus yang ditinjau yaitu penanganan
muara Domas yang terletak di sepanjang pesisir pantai Utara tepatnya pada pantai Kronjo. Muara Domas
yang terletak di Desa Domas Kabupaten Serang ini mengalami pendangkalan pada mulut muara sungai
Domas, sehingga menghambat alur pelayaran perahu nelayan. Selain itu, pantai di sekitarnya mengalami
erosi, sehingga bila tidak ditanggulangi akan berakibat banjir pada wilayah sekitarnya. Oleh karena itu
perlu dilakukan penanganan muara dan pantai dari permasalahan yang terjadi.
METODOLOGI STUDI
Permasalahan pantai atau yang menyebabkan kerusakan pantai dapat diidentifikasi sebagai abrasi, erosi,
sedimentasi, dan banjir rob. Faktor penyebabnya antara lain hilangnya pelindung alami pantai (seperti
penebangan pohon-pohon pelindung pantai, penambangan pasir dan terumbu karang), gelombang
badai/tsunami, tergenangnya dataran rendah pantai akibat kenaikan muka air laut, penurunan lateral
tanah, perkembangan permukiman pantai yang tidak terencana, maupun diakibatkan oleh pemanfaatan
daerah pantai yang tidak sesuai dengan potensi pantai, dan adanya bangunan pantai yang menjorok ke
laut, serta pemindahan muara sungai.
Menurut Nur Yuwono (1999), erosi pantai adalah proses mundurnya pantai dari kedudukan semula yang
disebabkan oleh tidak adanya keseimbangan antara pasok dan kapasitas angkutan sedimen. Beberapa
faktor penyebab yang sering mengakibatkan terjadinya erosi pantai antara lain pengaruh dari adanya
bangunan pantai, penambangan material pantai dan sungai, pemindahan muara sungai, pencemaran
perairan pantai, dan kerusakan akibat bencana alam seperti tsunami. Menurut Nur Yuwono (1999), abrasi
adalah proses erosi yang diikuti longsoran (runtuhan) pada material yang massif (batu). Abrasi
disebabkan karena daya tahan material menurun akibat cuaca (pelapukan) yang mengakibatkan daya
dukung material terlampaui oleh kekuatan hidraulik arus dan gelombang. Sedimentasi yang tidak
diharapkan terjadi di luar garis pantai adalah pada muara sungai jika muara sungai tersebut dipergunakan
untuk alur pelayaran, dan akibat dari sedimentasi yang menyebabkan penutupan muara sungai yang
terjadi banjir pada areal permukiman di sekitar muara sungai.
Menurut Nur Yuwono (1999), pemecah gelombang merupakan struktur dekat pantai yang dibangun dalam
arah sejajar, dan terpisah dari pantai pada perairan dangkal dengan fungsi utama untuk mengurangi erosi
pantai. Pemecah gelombang dapat berupa struktur yang terhubung dengan pantai (misalnya pemecah
gelombang pelabuhan), dan struktur terpisah pantai.
Perencanaan Pemecah Gelombang Tumpukan Batu
Dua buah rumus yang dapat digunakan untuk menentukan berat batu lindung adalah :
1. Hudson
y H3
W 3
(1)
K D S 1 cot
Keterangan:
W : berat butir batu pelindung (ton)
H : tinggi gelombang rencana (m)
Sr : rapat massa relatif
θ : sudut kemiringan sisi bangunan (0)
γr : berat jenis batu (t/m3)
γw : berat jenis air laut (t/m3)
KD : koefisien stabilitas yang tergantung pada bentuk batu Pelindung (batu alam atau batu buatan),
kekasaran permukaan batu, ketajaman sisi-sisinya, ikatan antar butir, keadaan pecahnya
gelombang
2. Van Der Meer
Untuk gelombang plunging adalah :
0, 2
H 2% S 0,5
8,7 P 0 ,18
m (2)
Dn50 N
Sr r
(5)
w
LamaHembus Angin
N (6)
PeriodeGel ombang
dengan :
W : berat butir batu pelindung (ton)
Dn50 : diameter batu (m)
HS : tinggi gelombang signifikan (m)
H2% : nilai karakteristik tertinggi dari distribusi tinggi gelombang (m)
Tm : periode gelombang (detik)
Sr : rapat massa relatif
γr : berat jenis batu (t/m3)
γw : berat jenis air laut (t/m3)
α : sudut kemiringan dasar laut (0)
S : tingkat kerusakan bangunan pada akhir umur rencana
P : faktor permeabilitas
Jeti
Jeti digunakan untuk stabilisasi saluran navigasi di mulut sungai dan inlet pasang surut. Jeti merupakan
struktur yang tersambung dengan pantai, pada umumnya dibuat pada satu atau kedua sisi saluran
navigasi dalam arah tegak lurus pantai dan memanjang ke laut. Penanggulangan penutupan mulut muara
dibedakan atas : penanggulangan untuk lalu lintas perahu nelayan (dapat dengan jeti panjang), dan
penanggulangan penutupan mulut muara yang menyebabkan banjir (cukup dengan jeti pendek).
Kondisi Lapangan
Permasalahan pantai yang terjadi yaitu pendangkalan di mulut Muara Domas, sehingga menganggu alur
pelayaran kapal nelayan dan juga terjadi masalah erosi. Kondisi Muara Domas dan garis pantai ditunjukan
pada Gambar 1 dan Gambar 2.
dan kemiringan dasar laut pada mulut muara Domas sebesar 1 : 50. Hasil analisis pengukuran pasang
surut berupa elevasi-elevasi muka air yang ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Karakteristik elevasi muka air
Bacaan Elevasi Terhadap Msl (M)
Kondirsi Muka Air
Peilskal (Cm)
Highest Water Spring (Hws ) 121.06 0.41
Mean High Water Spring (Mhws) 121.06 0.41
Mean High Water Level (Mhwl) 103.49 0.23
Mean Sea Level (Msl ) 80.29 0.00
Mean Low Water Level (Mlwl) 57.68 -0,23
Mean Low Water Spring (Mlws) 44.83 -0,35
Lowest Water Spring (Lws ) 44.83 -0,35
Pengukuran arus muara Domas untuk arus Spring Tide dan Neap Tide tertinggi yaitu :
1. Kecepatan arus spring tide: Koordinat 1 = 0,309 m/detik, dan Koordinat 2 = 0,332 m/detik
2. Kecepatan arus neap tide: Koordinat 1 = 0,383 m/detik, dan Koordinat 2 = 0,394 m/detik
Distribusi kejadian angin dan gelombang ditunjukkan pada Tabel 2 dan Tabel 3.
Tabel 2. Total kejadian angin Pantai Utara Serang tahun 1983 - 2010
Jumlah Jam Persentase
Arah
<4 4-8 8-12 12-16 > 16 Total <4 4-8 8-12 12-16 > 16 Total
Utara 11107 17126 1655 75 17 29980 4,53 6,98 0,67 0,03 0,01 12,21
Timur Laut 3078 5104 531 23 7 8743 1,25 2,08 0,22 0,01 0,00 3,56
Timur 5232 5037 300 20 0 10589 2,13 2,05 0,12 0,01 0,00 4,31
Tenggara 2359 1262 34 5 1 3661 0,96 0,51 0,01 0,00 0,00 1,49
Selatan 5537 3105 198 23 11 8874 2,26 1,27 0,08 0,01 0,00 3,62
Barat Daya 2588 2894 407 66 34 5989 1,05 1,18 0,17 0,03 0,01 2,44
Barat 9663 17030 3312 599 192 30796 3,94 6,94 1,35 0,24 0,08 12,55
Barat Laut 2448 3196 316 11 3 5974 1,00 1,30 0,13 0,00 0,00 2,43
Berangin = 104606 = 42,62
Tidak Berangin = 137930 = 56,20
Tidak Tercatat = 2912 = 1,19
Total = 245448 = 100,00
Tabel 3. Total presentase kejadian gelombang (1983 – 2010) di Lepas Pantai Utara Serang
(Sumber: Data Kementrian Pekerjaan Umum, Direktorat Jenderal Sumber Daya Air, 2012)
Windrose total tahunan dan waverose total tahunan ditunjukkan pada Gambar 4 dan Gambar 5.
Berdasarkan hasil penyelidikan lapangan yang dilakukan yaitu pemboran tangan sebanyak 3 titik (BT-7,
BT-8 dan BT-9) didapat satuan lapisan yaitu terdiri dari pasir lanauan, lempung dan lanau, berwarna
coklat muda, abu-abu muda, plastisitas sangat rendah, basah-sangat lunak. Dari hasil pengujian ini, maka
didapat kondisi pantai yaitu pantai berpasir dengan kemiringan sekitar 1 : 20 sampai 1 : 50.
Perhitungan desain dimensi jeti menggunakan metode Hudson ditunjukkan pada Tabel 6.
Tabel 6. Dimensi Jeti di Muara Domas
No Elevasi Tinggi Panjang Dimensi First Dimensi 2nd Dimensi core (Φ
(m) Struktur Struktur layer (batu layer (Φ batu) batu)
pecah)
1 -1,5 m 4m 50 m 0,55 – 0,6 m 0,3 – 0,4 m 0,1 – 0,2 m
2 -1,0 m 3,5 m 50 m 0,5 – 0,55 m 0,3 m 0,1 – 0,2 m
3 -0.5 m 3m 100 m 0,5 – 0,55 m 0,3 m 0,1 – 0,2 m
Contoh perhitungan dengan elevasi dasar laut -1,5 m (ujung) kepala :
Beberapa data yang digunakan untuk perhitungan desain jeti pada ujung kepala jeti adalah sebagai
berikut : γr = 2.6 t/m3, γw = 1,025 t/m3, H = 1,25 m, Batu pecah bulat halus penempatan acak, di ujung
kepala bangunan, maka KD = 1,9, dan cot Θ = 1,5
1. First Layer
Perhitungan berat butir lapis lindung untuk first layer adalah
3
yr H 3 2,6 1,25
W 3 3
= 0,491 ton = 491 kg
K D Sr 1 cot 2,6
1,9 1 1,5
1,025
Dengan berat butir lapis lindung pertama sebesar 491 kg (0,491 ton), maka diperoleh dimensi batu pecah
untuk perencanaan desain ini dengan γr batu pecah sebesar 2,6 t/m3 adalah :
γr = berat / volume
2,6 = 0,491 / (Sisi)3
(Sisi)3 = 0,491 / 2,6
(Sisi)3 = 0,1888
Sisi = 3√0,1888 = 0,57 m = 0,55 – 0,6 m
Jadi dimensi batu pecah yang dipakai untuk first layer adalah 0,55-0,6 m.
2. Secondary Layer
Perhitungan berat lapis lindung untuk secondary layer adalah :
3
yr H 3 2,6 1,25
W 3 3
= 0,491 ton = 491 kg
K D Sr 1 cot 2,6
1,9 1 1,5
1,025
3. Core Layer
Inti atau core dipakai sebagai bagian dalam dari struktur jeti ini. Berat butir batu yang dipakai adalah
sebagai berikut:
W200 =W/200 = 419/200 = 2,095 kg
Dengan volume batu sebesar 2,095 kg (0,00209 ton) dan γr batu adalah 2,6 t/m3, maka diperoleh diameter
batu yang dipakai adalah :
γr = berat/volume
volume = 0,00209/2,6
1/6πd3 = 0,000805
d3 = 0,00153
d = 3√0,00153 = 0,11 m = 0,1 m – 0,2 m.
Jadi dimensi batu yang dipakai untuk core layer adalah 0,1 m – 0,2 m.
Perhitungan desain dimensi jeti menggunakan metode Van Der Meer ditunjukkan pada Tabel 7.
Tabel 7. Dimensi Jeti di Muara Domas
Elevasi Metode Perhitungan
(m) Van Der Meer
-1,5 m 0,4 – 0,5 m
0, 2
H 2% 0 ,13 S
1,4.P . cot . mp
.Dn50 N
0, 2
1,25 0 ,13 2
1,4.0,4 . 1,5.4,4010, 4
1,537.Dn50 4800
0, 2
1,25 0 ,13 2
1,4.0,4 . .2,215
1,537.Dn50 4800
0, 2
1,25 2
3,494.
1,537.Dn50 4800
1,25
1,719
1,537.Dn 50
1,25 = 2,642 Dn50
Dn50 = 0,47 m = 0,4 – 0,5 m
Berat butir lapis lindung untuk first layer adalah :
Jadi dimensi batu pecah yang dipakai untuk first layer adalah 0,4 – 0,5 m.
2. Secondary Layer
Perhitungan berat lapis lindung untuk secondary layer adalah :
Dengan berat batu sebesar 27,5 kg (0,0275 ton) dan γ r batu adalah 2,6 t/m3, maka diperoleh diameter
batu (s) yang dipakai adalah : 0,22 m = 0,2 – 0,3 m
3. Core Layer
Inti atau core dipakai sebagai bagian dalam dari struktur jeti ini. Berat butir batu yang dipakai adalah
sebagai berikut :
W200 =W/200 = 275/200 = 1,38 kg
Dengan berat batu sebesar 1,38 kg (0,00138 ton) dan γ r batu adalah 2,6 t/m3, maka diperoleh diameter
batu (d) yang dipakai : 0,1 m
Pada Tabel 8 hasil perhitungan dimensi batu lapis lindung dari kedua metode didapat hasil dimensi yang
berbeda. Oleh karena itu, demi keamanan struktur digunakan dimensi batu yang lebih besar yaitu hasil
perhitungan metode Hudson. Metode Hudson lebih popular karena merupakan salah satu metode yang
tercantum dalam Shore Protection Manual U S Army (1984) sedangkan metode Van Der Meer dikenal
melalui publikasi jurnal penelitian dan belum banyak dilakukan pengujian/pengembangan dari penelitian
tersebut.
Tabel 8. Perbandingan hasil perhitungan
Elevasi Metode Perhitungan
(m) Hudson Van Der Meer
-1,5 m 0,55 – 0,6 m 0,4 – 0,5 m
Perhitungan metode Hudson jauh lebih praktis dibandingkan dengan metoda Van Der Meer yang perlu
cara coba-coba untuk penyelesaian persamaannya, meskipun kedua metode ini banyak menggunakan
parameter data yang sama seperti tinggi gelombang rencana (H), rapat massa batu (γ r), rapat masa air
laut (γw), kemiringan lereng (cot θ). Parameter yang khusus digunakan dalam metode Hudson adalah
koefisien kestabilan (Kd) dimana koefisien kestabilan ini tergantung pada lokasi kondisi gelombang pecah
dan tidak pecah serta penempatan pada struktur (kepala serta lengan struktur). Koefisien kestabilan ini
sudah banyak dikembangkan oleh para peneliti di berbagai negara. Parameter khusus dalam metode Van
Der Meer adalah level kerusakan (S), faktor permeabilitas (P), penggunaan data lama hembus angin, dan
perioda gelombang. Van Der Meer memberikan dua persamaan yang berbeda sesuai dengan kondisi
gelombang plunging atau surging.
PT Jasapatria Gunatama, sebuah konsultan perencana juga membandingkan hasil perhitungan 2 metode
di atas untuk perencanaan pengaman pantai di pantai Sedari–Muara Lempengan dan pantai Pisangan 2 –
muara Cemara, Kabupaten Karawang. Diperoleh hasil perhitungan dimensi batu lapis lindung yang
karakternya serupa dengan hasil penelitian di Muara Domas, seperti ditunjukkan pada Tabel 9.
Tabel 9. Perbandingan hasil dimensi batu lapis
Metode Perhitungan
Lokasi
Hudson Van der meer
Pantai Sedari - M Lempengan 0.65-0.7 m 0.4-0.5 m
Pantai M Pisangan 2 - M Cemara 0.88-0.95 m 0.59-0.65 m
Muara Domas 0.55-0.6 m 0.4-0.5 m
Pada Tabel 9 disajikan dimensi batu lapis lindung untuk metode Van der meer lebih kecil dibandingkan
dengan metode Hudson, yang tentunya hal ini menjadikan volume batu lebih kecil, sehingga biaya dapat
lebih ekonomis. Peta situasi penanganan, potongan melintang jeti dan potongan memanjang jeti
ditunjukkan pada Gambar 6, Gambar 7, dan Gambar 8.
REFERENSI
Departemen Pekerjaan Umum (2012). Bahan Rapat Penetapan Pedoman Perencanaan Pengaman
Pantai.
Jensthe,W, Van Der Meer. (1998). Application and Stability Criteria For Rock And Artifical Units.
U.S. Army, Corp Of Engineering, Coastal Engineering Research Center. (1984). Coastal Engineering Vol I
dan II, U.S. Government Printing Office, Washington D.C.
Yuwono, N. (1981). Teknik Pantai Vol I dan II, Laboratorium Teknik Hidro, Teknik Sipil, Fakultas Yeknik
Sipil, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
Abstrak
Kabupaten Penajam Paser Utara merupakan pemekaran wilayah Kabupaten Pasir Kalimantan Timur.
Pusat pemerintahan direncanakan dibangun di atas areal seluas 450 ha di Desa Penajam. Topografi
kawasan berbukit di bagian hulu dan sangat landai di bagian hilir dengan tata guna lahan berupa hutan
sekunder. Batas hilir kawasan berupa pemukiman, kebun kelapa sawit dan Sungai Sesumpu. Master plan
pusat pemerintahan terdiri dari kawasan perkantoran, perdagangan, pusat olah raga, Islamic Center,
permukiman serta kawasan tak terbangun. Sistem drainase kota direncanakan berdasarkan master plan
pusat pemerintahan dengan memanfaatkan alur-alur saluran pembuang yang ada serta lahan tak
terbangun dimanfaatkan untuk kolam detensi.
Debit rencana dihitung dengan Metode Kinematik, berdasarkan curah hujan periode ulang 5 tahun. Kurva
IDF dihitung dengan Metode Mononobe yang didistribusikan dengan Metode Alternating Block. Analisis
hidrolis dihitung menggunakan aliran tidak tetap 1D berdasarkan persamaan Saint Venant. Saluran
direncanakan berdasarkan konsep saluran ekonomis berbentuk segi empat. Perencanaan saluran
dilakukan dengan Metode EPA SWMM yang terdapat di dalam perangkat lunak Autodesk® Storm and
Sanitary Analysis.
Dimensi saluran drainase dipengaruhi oleh tata letak saluran (lay out saluran). Untuk memperoleh sistem
drainase yang ekonomis, dikembangkan 3 layout berdasarkan outletnya serta pemanfaatan lahan kosong
untuk kolam detensi dan memanfaatkan rawa-rawa yang ada sebagai penampung limpasan sementara
sebelum dibuang ke badan air penerima. Pemilihan alternatif lay out terbaik didasarkan pada dimensi
saluran, biaya konstruksi dan efektifitas penggunaan lahan. Lay-out terpilih adalah alternatif 3, terdiri atas
4 saluran primer, 4 alur pembuang eksiting serta satu buah kolam detensi seluas 2 ha.
Kata kunci : Drainase, EPA SWMM, Penajam Paser Utara
LATAR BELAKANG
Kota Penajam merupakan ibukota Kabupaten Penajam Paser Utara, merupakan pemekaran wilayah
Kabupaten Pasir Kalimantan Timur. Sebagai kelengkapan ibu kota kabupaten, kawasan pusat
pemerintahan direncanakan dibangun di atas areal seluas 450 ha dengan tata guna lahan awal berupa
hutan sekunder. Batas wilayah sebelah utara adalah Kecamatan Loa Kulu, sebelah barat adalah
Kecamatan Samboja, sebelah timur Teluk Balikpapan dan sebelah selatan adalah Sungai Sesumpu.
Master plan pusat pemerintahan Kota Penajam direncanakan terdiri atas kawasan perkantoran,
perdagangan, pusat olah raga, Islamic center, permukiman serta kawasan tak terbangun. Master plan
pusat pemerintahan ditunjukkan pada Gambar 1.
Topografi kawasan berbukit di bagian hulu dan sangat landai di bagian hilir yang berbatasan dengan
muara Sungai Sesumpu yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut, bagian hilir kawasan berupa daerah
rawa-rawa. Pada kawasan ini terdapat saluran drainase alam yang terdapat di bagian timur wilayah yang
bermuara di Sungai Sesumpu, sedangkan di bagian selatan terdapat dua alur yang mengalir ke rawa-
rawa sebelum bermuara di Sungai Sesumpu hilir. Saluran drainase alam ini akan dimanfaatkan sebagai
saluran pembuang limpasan air hujan yang jatuh di atas kawasan rencana.
Master plan pusat pemerintahan Kota Penajam belum memberikan arahan tentang sistem drainase kota,
sehingga sistem ini harus direncanakan dengan memanfaatkan saluran pembuang alamiah yang ada dan
potensi rawa-rawa sebagai penampung sementara sebelum dibuang ke pembuang akhir, yaitu Sungai
Sesumpu atau langsung ke laut.
DASAR TEORI
Pada bidang teknik sipil, drainase secara umum dapat didefinisikan sebagai suatu tindakan teknis untuk
mengurangi kelebihan air, baik yang berasal dari air hujan, rembesan, maupun kelebihan air irigasi dari
suatu kawasan/ lahan, sehingga fungsi kawasan/lahan tidak terganggu (Suripin, 2004).
Langkah awal untuk merencanakan saluran drainase adalah menetapkan hujan rancangan dengan kala
ulang 5 tahun (kota sedang, luas 101 – 500 ha). Hujan rancangan ini dapat diperoleh dari kurva Intensitas
– Durasi – Frekuensi (IDF) yang dapat dicari dari pengamatan curah hujan durasi pendek. Berhubung
data ini tidak ada, maka IDF ditentukan menggunakan metode empiris Mononobe dengan rumus:
2
R24 24 3
I (1)
24 t
Keterangan:
: intensitas hujan (mm/jam)
Debit banjir rancangan dihitung dengan menggunakan Metode Kinematik yang memerlukan hyetograf
hujan. Hyetograf ini diperoleh dari IDF Mononobe yang didistribusikan sehingga berbentuk genta dengan
menggunakan Metode Alternating Block. Dengan diketahui durasi hujan rencana (Td) dan periode
ulangnya (T), dapat dicari tinggi hujan pada n interval waktu masing-masing dengan durasi Δt selama
durasi total hujan Td = n Δt. (Ven Te Chow dkk, 1988).
Prosedur perhitungan distribusi hujan sebagai berikut :
1) Tetapkan periode ulang hujan yang akan digunakan (T).
2) Dengan menggunakan persamaan intensitas untuk periode ulang T, hitung intensitas I pada durasi
Δt, 2Δt, 3Δt,…nΔt.
3) Dari intensitas di atas di hitung tinggi hujan P = I T d pada Δt, 2Δt, 3Δt,…nΔt. Dengan demikian akan
dihasilkan hujan kumulatif.
4) Dari hujan kumulatif di atas, hitung hujan yang jatuh pada interval waktu yang ditinjau.
5) Atur posisi hujan sebagai berikut: hujan terbesar letakkan di tengah hyetograf, hujan kedua terbesar
letakkan di sebelah kanan hujan terbesar, letakkan hujan terbesar ketiga di kiri hujan terbesar,
demikian seterusnya sampai hujan terakhir.
6) Dengan cara ini akan dihasilkan hyetograf berbentuk genta (bell shape).
Waktu konsetrasi (Tc) secara umum adalah waktu yang dibutuhkan bagi hujan yang jatuh di titik terjauh
dari daerah drainase menuju titik outlet. Dalam perhitungan waktu konsentrasi, EPA SWMM
menggunakan rumus gelombang kinematik yang bergantung pada panjang daerah tangkapan, seperti
ditunjukkan pada rumus berikut :
1
m
L
Tc (2)
axi m 1
m 5 (3)
3
1 1
a AS 2 (4)
n
Keterangan :
: waktu konsentrasi ( s)
: panjang daerah tangkapan (ft)
: intensitas hujan (hujan dikurangi kehilangan) (ft/s)
: parameter gelombang kinematik
: koefisien Manning
: luas lahan (m2)
: kemiringan lahan
Pada model hidrologi EPA SWMM, aliran permukaan diidealisasikan mengalir akibat kemiringan pada
daerah tangkapan yang berbentuk segi empat,dengan intensitas hujan seragam pada daerah tangkapan
tersebut , seperti ditunjukkan pada Gambar 2a. Daerah tangkapan yang diidealisasi ini haruslah
mendekati kondisi daerah tangkapan sebenarnya.Untuk mengembangkan daerah tangkapan segi empat,
metode ini menggunakan lebar ekuivalen (equivalent width) yang diasumsi untuk menghitung limpasan
permukaan dan waktu konsentrasi. Estimasi awal dari lebar ekuivalen adalah luas daerah tangkapan
dibagi dengan rata-rata panjang aliran permukaan, seperti yang terlihat pada Gambar 2b. Panjang
maksimal aliran permukaan dihitung dari titik inlet menuju titik terjauh yang disebut titik konsentrasi. Jika
panjang maksimum dari aliran permukaan memiliki beberapa kemungkinan maka panjang tersebut dirata-
ratakan. Penyesuaian sebaiknya dilakukan pada parameter lebar ekuivalen ini untuk menghasilkan
hidrograf yang baik. Parameter lebar ekuivalen ini merupakan parameter kunci untuk mengkalibrasi debit
puncak. Parameter ini juga secara tidak langsung berpengaruh pada waktu konsentrasi di lahan karena
parameter masukan ini akan menghitung panjang pengaliran yang ada di lahan.
Batas Daerah
Intensitas Hujan Tangkapan
Seragam Pada
Daerah Tangkapan
Panjang Daerah
Tangkapan (L)
Lebar Daerah Tangkapan
(W)
(b)
(a)
Gambar 2. (a) Idealisasi Daerah tangkapan (b) Penentuan Lebar Ekuivalen Pada Permodelan
Hidrologi EPA SWMM
(Sumber: Autodesk Storm and Sanitary Analysis 2012, User’s Guide (2012:372))
Lebar ekuivalen ditentukan menggunakan persamaan berikut:
W (2 S k ) L (5)
Keterangan :
: faktor kemencengan (0 = Sk =1) = (A2 – A1) / (A2 + A1)
A1 : luas dari salah satu sisi saluran pada daerah tangkapan
A2 : luas dari sisi lain saluran pada daerah tangkapan
: panjang saluran
Daerah tangkapan dapat dibagi menjadi area tidak kedap air (pervious) dan area kedap air (impervious).
Limpasan permukaan dapat meresap ke tanah bagian atas dari area yang tidak kedap air, namun tidak
pada area yang kedap air. Area yang kedap air sendiri dibagi menjadi dua, yaitu yang mempunyai
simpanan depresi dan yang tidak memiliki simpanan depresi.
Konsep dari limpasan permukaan yang digunakan pada EPA SWMM diilustrasikan pada Gambar 3.
Daerah tangkapan diumpakan sebagai tampungan non-linear. Inflow berasal dari hujan dan daerah
tangkapan di bagian hulunya. Outflow berasal infiltrasi, evaporasi dan limpasan permukaan. Kapasitas
tampungan dari daerah tangkapan adalah simpanan depresi maksimum (simpanan permukaan
maksimum yang dihasilkan karena genangan, permukaan yang basah dan penangkapan (interception).
Limpasan permukaan, Q, hanya terjadi jika kedalaman air pada tampungan melebihi simpanan depresi
maksimum, dp, dalam hal ini outflow dihasilkan oleh persamaan Manning. Kedalaman air pada daerah
tangkapan, d, secara menerus diperbaharui sesuai waktu (t dalam detik) dengan menggunakan
persamaan keseimbangan air untuk daerah tangkapan. Perhitungan outflow ditunjukkan pada rumus
berikut:
1 5 1
Q W d dp 3 S 2
(6)
n
Keterangan :
: outflow daerah tangkapan hujan (m3/s)
: lebar daerah tangkapan (m)
Hujan
Evaporasi
d dp
Infiltrasi
Gambar 3. Model konseptual limpasan permukaan Metode Hidrologi EPA SWMM
(Sumber : Autodesk Storm and Sanitary Analysis 2012, User’s Guide (2012:373))
METODOLOGI STUDI
Kawasan pusat pemerintahan Kabupaten Penajam Paser Utara yang sedang dikembangkan memerlukan
suatu sistem drainase untuk menunjang sarana dan prasarana yang ada. Data yang tersedia untuk
melakukan analisis adalah data curah hujan maksimum tahunan, peta topografi, peta master plan
kawasan, dan data pasang surut rencana. Dalam analisis awal dibuat lay out sistem drainase sesuai
dengan master plan, kemudian dilakukan analisis data curah hujan dengan periode ulang 5 tahun dan
distribusi hujan.
Dikembangkan tiga alternatif lay out saluran drainase, yaitu lay out alternatif 1 yang terdiri atas empat
pembuang utama dan sebuah alur yang masih berada dalam kawasan pusat pemerintahan, lay out
alternatif 2 yaitu lay out alternatif 1 ditambah dengan pengoptimalan cekungan yang ada sebagai kolam
detensi dan lay out alternatif 3 yaitu lay out alternatif 2 ditambah dengan memanfaatkan pembuang
eksisting yang berada di luar kawasan pusat pemerintahan.
Dimensi awal untuk alternatif 1 ditentukan terlebih dahulu kemudian dilakukan simulasi, jika dimensi tidak
cukup, maka dimensi saluran diubah hingga kapasitasnya memenuhi syarat. Setelah dimensi saluran
untuk alternatif 1 diperoleh maka dilakukan simulasi untuk alternatif 2 dan ditinjau dimensinya, jika
dimensinya terlalu besar maka dilakukan pengurangan dimensi. Hal yang sama dilakukan untuk alternatif
3. Dari ketiga alternatif tersebut dipilih alternatif yang terbaik. Diagram alir pengerjaan analisis dapat
dilihat pada Gambar 4.
Alternatif 3 : layout Alternatif-2 ditambah pemanfaatan alur-alur di samping saluran pembuang utama
sebagai saluran pembuang samping.
Skema layout sistem drainase ditunjukkan pada Gambar 5.
Analisis Hujan Wilayah
Terdapat empat buah stasiun hujan yang tersebar di sekitar lokasi studi, yaitu Stasiun Penajam, Stasiun
Babulu Darat, Stasiun Sepaku dan Stasiun Long Kali. Dari hasil analisis menggunakan Poligon Thiessen
didapatkan bahwa hanya terdapat dua buah stasiun hujan yang berpengaruh pada lokasi studi yakni
Stasiun Penajam dan Babulu Darat dengan bobot masing- masing 80% dan 20%. Perhitungan curah
hujan wilayah diperlihatkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Perhitungan Curah Hujan Wilayah
Hujan Harian Maksimum (mm) P x Bobot Hujan
Tahun Wilayah
Penajam Babulu Darat Penajam Babulu Darat (mm)
1993 84 75 67,2 15 82,2
1994 98 102 78,4 20,4 98,8
1995 95 90 76 18 94
1996 83 83 83
1997 72 69 57,6 13,8 71,4
1998 97 103 77,6 20,6 98,2
1999 74 74 74
2000 88 70,4 70,4
2001 94 94 94
2002 86 82 68,8 16,4 85,2
MULAI
IDENTIFIKASI
MASALAH
YA
Terjadi Banjir ? Ubah dimensi saluran
TIDAK
YA
Dimensi besar ? Kecilkan dimensi saluran
TIDAK
SELESAI
40
35
Tinggi Hujan (mm)
30
25
20
15
10
5
0
0-10
90-100
140-150
170-180
10-20
20-30
30-40
40-50
50-60
60-70
70-80
80-90
100-110
110-120
120-130
130-140
150-160
160-170
180-190
190-200
200-210
210-220
220-230
230-240
Durasi (menit)
saluran paling signifikan terdapat pada Saluran Utama Timur bagian hilir dengan pengurangan lebar
sebesar 2 m.
Rekapitulasi perubahan dimensi dapat dilihat pada Tabel 3 sedangkan penurunan puncak banjir dapat
dilihat pada Tabel 4 dan contoh hidrograf pada salah satu ruas saluran disajikan pada Gambar 8.
Rain Gage-01
Kolam
Gambar 7. Skema sistem drainase dalam running model hidrologi EPA SWMM
10
8
Debit (m3/s)
6
Alternatif-1
4
Alternatif-2
2
Alternatif-3
0
0 2 4 6 8 10 12
Waktu (jam)
Gambar 8. Penurunan debit puncak banjir pada outlet saluran pembuang utama
KESIMPULAN
Telah dilakukan analisis hidrologi dan hidrolika menggunakan Model EPA SWMM pada master plan pusat
pemerintahan Kabupaten Penajam Paser Utara. Berdasarkan analisis dimensi saluran menggunakan
konsep penampang ekonomis diperoleh dimensi saluran untuk lay out alternatif 1 berkisar 0,6-6,0 m,
alternatif 2 berkisar 0,6-4,0 m dan lay out alternatif 3 berkisar antara 0,6-3,0 m. Kedalaman air saluran
untuk ketiga alternatif hampir sama yakni berkisar antara 0,5-1,75 m. Hal ini dikarenakan batasan
kedalaman saluran didasarkan pengaruh air pasang dari Sungai Sesumpu.
Penambahan kolam detensi mampu mengurangi puncak banjir di pembuang utama hingga 67% (dari
8,02 m3/s menjadi 2,64 m3/s) sementara penambahan saluran pembuang samping menunjang
pengurangan debit dari alternatif 2 sebesar 16,2 %, sehingga total penurunan debit puncak di saluran
pembuang utama pada alternatif 3 sebesar 83,3%.Dengan demikian maka lay out alternatif 3 adalah lay
out yang menghasilkan dimensi saluran terbaik.
REFERENSI
Autodesk, Inc. 2011.Autodesk Storm and Sanitary Analysis 2012 User’s Guide.USA : San Rafael
Butler,David and John W. Davies. 2004. Urban Drainage. 2nd Edition.London : Spon Press, Taylor &
Francis Group
Chow,Ven Te, David R.Maidment and Larry W. Mays. 1988. Applied Hydrology.1st Edition. McGraw-Hill
Departemen Pekerjaan Umum. 1989. Tata Cara Perencanaan Drainase Perkotaan.Bandung
Ditgutiswa. 1997. Drainase Perkotaan. Gunadharma
Heastad and S. Rocky Durrans. 2003. Stormwater Conveyance Modeling and Design.First
Edition.Waterbury : Heastad Method, Inc.
Rossman, Lewis A. . 2008. Storm Water Management Model User’s Manual Version 4.0. Cincinnati
Suripin.(2004).Sistem Drainase Perkotaan yang Berkelanjutan. Edisi 1.Yogyakarta : Andi
janeewuysang@gmail.com
Abstrak
Pengendalian banjir merupakan kegiatan yang dilakukan dalam rangka mengupayakan agar tidak
terjadi banjir, maka kegiatan pengendalian banjir meliputi dua kegiatan pokok yaitu mengurangi volume air
yang mengalir pada saluran dan memperbesar daya tampung (kapasitas) alur sungai. Tingginya
perubahan tata guna lahan dan pembangunan yang kurang memperhatikan konsep tata ruang
menyebabkan tumpang tindih pemanfaatan suatu lahan turut menambah kompleksnya permasalahan
banjir di daerah perkotaan seperti halnya Kota Pontianak yang terletak di lahan dengan topografi relatif
datar. Salah satu cara untuk menghindari genangan atau banjir di Kota Pontianak adalah dengan
meninggikan badan jalan hingga elevasi aman. Sejauh ini dari pengamatan, pembangunan peninggian
badan jalan cukup efektif menghilangkan genangan di jalan namun menimbulkan genangan-genangan
yang terisolasi dan sulit terbuang pada daerah dengan elevasi lebih rendah dari jalan. Dengan pola
peninggian jalan pada satu sisi saluran seperti yang telah dilakukan, membuat jalan tersebut berfungsi
pula sebagai tanggul, sehingga dengan acuan tersebut maka peninggian jalan akan lebih baik dilakukan
pada kedua sisi saluran primer, sehingga lahan yang tertanggul akan menjadi sistem polder dan memiliki
sistem tersendiri, tentunya sistem ini harus dilengkapi pula dengan pintu air dan pompa. Elevasi banjir
rata-rata untuk 3 saluran makro yaitu Sungai Kapuas Kecil +0,658 m, Sungai Kapuas Besar +0,487 m dan
Sungai Landak +0,692 m, sedangkan pada tujuh saluran primer berturut-turut Parit Sungai Raya +0,741
m, Parit Haji Husein +0,711 m, Parit Bangka Belitung +0,676 m, Parit Bansir +0,655 m, Parit Tokaya
+0,634 m, Parit Besar +0,603 m, dan Parit Sungai Jawi -0,539 m. Berdasarkan informasi ini maka elevasi
peninggian jalan minimal harus berada di atas elevasi banjir tertinggi yaitu 0,741 m, dan dari pembuatan
badan jalan pada kedua sisi saluran, terdapat 6 lahan yang terzonasi sebagai sistem polder.
Kata Kunci: zonasi lahan, peninggian jalan, sistem polder
LATAR BELAKANG
Kota Pontianak secara geografis terletak di tepi Sungai Kapuas Kecil yaitu pada pertemuan Sungai
Landak dan Sungai Kapuas Kecil, kurang lebih 13 kilometer dari muara Sungai Kapuas. Daerah ini
memiliki kemiringan lahan kecil, elevasi muka tanah rendah, elevasi muka air tanah tinggi, curah hujan
tinggi dan dipengaruhi pula oleh pasang surut sungai bahkan cukup jauh hingga ke hulu Kota Pontianak.
Limpasan di sepanjang saluran/sungai terjadi karena elevasi muka air akibat pasang surut lebih tinggi dari
elevasi tebing saluran/sungai. Elevasi tebing saluran/sungai berkisar antara -0,224 m sampai dengan
+1,959 m menyebabkan beberapa lokasi sering mengalami limpasan, baik akibat pengaruh hujan maupun
pengaruh pasang surut air sungai atau kombinasi dari keduanya. Kondisi ini semakin buruk karena
saluran drainase yang ada tidak memiliki kapasitas yang memadai, sehingga hujan yang jatuh ke lahan
dengan intensitas sedang saja tidak dapat segera terbuang dan menyebabkan genangan.
Beberapa dampak yang akan terjadi tentunya harus segera diantisipasi, mengingat akibat limpasan yang
menyebabkan genangan akan memperpendek umur/ketahanan berbagai infrastruktur yang telah
dibangun, dan mengganggu kelancaran kegiatan masyarakat baik dari kegiatan perekonomian,
pemerintahan, pendidikan, pertanian serta menimbulkan kerugian harta benda maupun jiwa.
STUDI LITERATUR
Analisis Hidrologi
Analisis hidrologi merupakan tahap awal alam perencanaan bangunan-bangunan air, dengan pengertian
adalah besaran-besaran yang diperoleh dalam analisis hidrologi merupakan masukan penting untuk
analisis berikutnya. Pada dasarnya bangunan-bangunan air harus dirancang berdasarkan suatu acuan
atau standar yang benar sehingga hasil rancangan tersebut layak dan berfungsi baik sesuai jangka waktu
yang ditetapkan (Sri Harto, 1993). Perancangan bangunan air selain memperhitungkan faktor teknis juga
mempertimbangkan faktor lainnya yaitu finansial, keamanan, dan prioritas, untuk itu ditetapkan suatu
batas (Estimated Limiting Value) dalam menentukan batas maksimum yang mungkin dapat terjadi, untuk
itu Chow (1988) menyebutkan bahwa rentang untuk periode ulang pada bangunan-bangunan kecil
berkisar 1-100 tahun, dengan memperhatikan hal ini maka analisa hidrologi dalam penelitian ini
menggunakan periode ulang 5 tahun.
Analisis Aliran Tidak Tetap (Unsteady Flow)
Mengingat di dalam studi ini aliran air dipengaruhi oleh pasang surut, maka analisis hidraulika yang
dilakukan didasarkan pada konsep aliran tidak permanen (unsteady flow). Untuk mempermudah proses
perhitungan, studi ini memanfaatkan model matematik aliran satu dimensi Duflow. (IHE Delft, 1992).
Selain menghasilkan profil muka air sepanjang saluran/sungai, hasil yang didapat juga adalah estimasi
volume untuk kolam retensi (kolam tampungan). Persamaan dasar yang digunakan adalah persamaan
aliran satu dimensi pada sungai yaitu persamaan kontinuitas dan momentum atau yang sering dikenal
sebagai persamaan St. Venant seperti yang disajikan pada persamaan berikut :
A Q
persamaan kontinuitas: q (1)
t x
Q Q2 A Y gQ Q
persamaan momentum: gA 0 (2)
t x x AC 2 R
Dengan menggunakan metode numerik beda hingga, persamaan diatas didiskritisasi dalam persamaan
diferensial, dalam hal ini yang digunakan adalah skema implisit Preismann untuk menyelesaikan
persamaan tersebut (Cahyono, 1999). Data lain yang diperlukan adalah skema model, geometri saluran,
kondisi awal dan kondisi batas.
Sistem Polder
Sistem Polder adalah salah satu cara penanganan banjir dengan kelengkapan sarana fisik yang meliputi
saluran drainase, kolam retensi, rumah pompa, dan tanggul atau hanya meliputi saluran drainase dan
kolam retensi saja. Dengan sistem polder maka daerah banjir akan dibatasi dengan jelas sehingga elevasi
muka air, debit dan volume air yang harus dikeluarkan dari sistem dapat dikendalikan. Sistem ini dipakai
untuk daerah-daerah rendah dan cekungan ketika air tidak dapat mengalir secara gravitasi, walaupun
biaya dan operasinya cukup mahal. Drainase sistem ini digunakan pada kondisi: elevasi atau ketinggian
muka tanah lebih rendah dari pada elevasi muka air laut pasang dan elevasi muka tanah lebih rendah dari
pada muka air banjir di sungai yang merupakan outlet saluran drainase kota (anonim, 2011).
Pusair (2007) menyebutkan keunggulan sistem polder adalah dapat mengendalikan banjir yang datang
dari hulu, banjir lokal dan banjir akibat rob/pasang surut laut. Sedangkan kelemahan sistem ini adalah
adanya ketergantungan pada sistem pompa Selain itu biaya operasi dan pemeliharaan sistem polder
relatif mahal. Kelengkapan sarana fisik meliputi: Saluran air/ kanal dan tampungan memanjang atau
waduk, tanggul, dan pompa air. Semua komponen ini harus direncanakan secara terintegrasi, sehingga
dapat bekerja optimal, sebab manajemen polder merupakan bangunan beresiko tinggi, menyangkut
operasi dan pemeliharaan yang ditujukan untuk mencegah penurunan fungsi dari semua elemen yang
ada dalam sistem polder. Berikut skema sistem Polder
(http://bencanaalam.wordpress.com/2007/03/23/menanggulangi-banjir-dengan-sistem-polder/).
Sungai Kapuas kecil dikembangkan dari simulasi untuk mendapatkan debit netto, Untuk mendapatkan
debit netto maka simulasi Duflow dijalankan dahulu dengan kondisi batas pada hilir (Sungai Kapuas
Besar) adalah data pasang surut pengukuran dan pada 2 simpul hulu yaitu Sungai Kapuas Kecil dan
Sungai Landak adalah debit konstan sebesar 0. Hasil simulasi berupa debit dijumlahkan dengan suatu
nilai sebesar 2000 m3/s yang didapat dari perhitungan kapasitas saluran/sungai pada saat penuh.
Sungai Landak
t t It P %Pt Pt
(jam) (jam) It (mm/jam) (mm) (mm)
1 0-1 25.29 25.29 25.29 8.15 13.882
2 1-2 19.17 38.33 13.04 9.45 16.091
3 2-3 16.30 48.89 10.56 11.99 20.410
4 3-4 14.53 58.10 9.21 28.72 48.891
5 4-5 13.29 66.43 8.32 14.81 25.214
6 5-6 12.35 74.10 7.68 10.46 17.807
7 6-7 11.61 81.29 7.18 8.72 14.845
8 7-8 11.01 88.07 6.78 7.70 13.108
Total rainfall 88.1 170.247
Gambar 5. Hyetograf curah hujan rencana dan Kurva IDF periode ulang 5 tahun
METODOLOGI STUDI
Studi ini berfokus pada analisis hidraulika dari profil muka air dan elevasi muka jalan rencana terhadap
elevasi muka air banjir. Karena perhitungan ini cukup kompleks maka model Duflow diterapkan untuk
menyelesaikan simulasi analisa hidraulika. Simulasi dimulai dengan membuat skema model sistem
saluran/ sungai, analisa mencakup elevasi muka air banjir, tinggi air genangan di atas tebing saluran dan
elevasi minimal sebagai acuan tinggi muka jalan yang akan dibangun. Dari hasil analisa akan didapat
zonasi lahan yang terbentuk akibat pembuatan jalan yang berfungsi sebagai tanggul.
Badan Jalan
Saluran/Sungai
El.badan jalan
El.ma banjir tertinggi
> 0,741 m
0,741 m
Lahan
El.tebing
REFERENSI
Anonim. 2011. Tata Cara Pembuatan Kolam Retensi dan Polder. Direktorat Pengembangan dan
Penyehatan Lingkungan Pemukiman Direktorat Jendral Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum.
Jakarta.
Cahyono, M. 1999. Pemodelan Hidraulik dan Kualitas Air Sungai. Diktat Kuliah. Fakultas Teknik Sipil dan
Perencanaan Institut Teknologi Bandung, Bandung.
Chow, V. T., Maidment, D.R., and Mays, L. W., 1988. Applied Hydrology. McGraw-Hill Book Co.,
Singapore.
Departemen Pekerjaan Umum Sub Dinas Pengairan Dinas Pekerjaan Umum Propinsi Kalimantan Barat,
1994. Laporan Akhir Perencanaan Detail Desain Pengendalian Banjir Propinsi Kalimantan Barat. PT.
Barunadri Engineering Consultant, Jakarta.
Doddi Yudianto and Andreas F. V. Roy, 2009. Pemanfaatan Kolam Retensi dan Sumur Resapan Pada
Sistem Drainase Kawasan Padat Penduduk. Jurnal Teknik Sipil Vol. 5 (2): 103-121.
IHE Delft, 1992. Duflow, A Micro Computer Package for the Simulation of Unsteady Flow and Water
Quality Process in One Dimensional Channel System. Bereau Icim, Netherlands.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air (PUSAIR), 2007. Laporan Akhir Kegiatan
Pengembangan Teknologi Pengendalian Banjir Perkotaan Menuju Waterfront City. Badan Penelitian
dan Pengembangan, Departemen Pekerjaan Umum.
Sri Harto, 1993. Hidrologi, Teori Masalah dan Penyelesaian. Nafiri Offset, Yogyakarta
Wuysang, Jane Elisabeth and Djoko Luknanto, 2004. Thesis Efektifitas Sistem Drainasi Pasang Surut
Kota Pontianak Propinsi Kalimantan Barat, Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta.
http://bencanaalam.wordpress.com/2007/03/23/menanggulangi-banjir-dengan-sistem-polder/
Abstrak
Pembangunan sumber daya air pada saat ini membawa banyak perubahan dalam berbagai aspek
kehidupan di masyarakat, yang berakibat semakin meningkatnya akan kebutuhanair dalam kuantitas dan
kualitas atau mutu dalam bentuk jenis keperluan yang harus dipenuhi dan ditanggapi oleh pemerintah.
Tugas dan fungsi Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Citarum dalam Peraturan Menteri Pekerjaan
Umum nomor 21/PRT/M/2010 yaitu antara lain pengelolaan sumber daya air yang meliputi konservasi
dan pendayagunaan sumber daya air serta pengendalian daya rusak air pada wilayah sungai.
Permasalahan yang ada di Sungai Citarum beserta anak-anak sungainya yaitu dikarenakan belum
adanya kesadaran dari masyarakat untuk tidak menghuni sempadan sungai dan membuang sampah
serta membuang limbah ke badan sungai yang akan mengakibatkan terjadinya banjir dan tingkat kualitas
air di sungai yang tidak sesuai ketentuan Salah satu upaya untuk penanganan hal tersebut sesuai dengan
salah satu dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya BBWS Citarum melalui PPK OP-SDA II, dimulai pada
tahun 2013 telah melaksanakan penataan sungai perkotaan di Kota Bandung dengan program
penerapan sempadan sungai yaitu dengan melaksanakan pembangunan restorasi sungai pada salah
satu anak sungainya yaitu pada Sungai Cikapundung, yang dinamakan Program BAKSIL. Program
BAKSIL ini diharapkan dapat berjalan dan terlaksana dengan baik apabila adanya kerjasama yang baik
antara Pemerintah Kota Bandung, dan Pemerintah Pusat sesuai dengan kewenangan dan tanggungjawab
masing-masing
Kata kunci : BBWS Citarum, Kota Bandung, Sungai Cikapundung, Restorasi Sungai
LATAR BELAKANG
Pembangunan sumber daya air yang dilaksanakan pada saat ini membawa banyak perubahan dalam
berbagai aspek kehidupan di masyarakat. Perubahan ini di satu sisi mendorong suatu pertumbuhan
dalam kehidupan di masyarakat, di sisi lain perubahan yang ditimbulkan oleh pembangunan dapat
berakibat semakin meningkatnya akan kebutuhan air, dalam kuantitas dan kualitas atau mutu air dalam
bentuk jenis keperluan yang harus di penuhi dan ditanggapi oleh pemerintah.
Sasaran dari pembangunan sumber daya air adalah meningkatnya pelayanan kepada masyarakat yang
semakin adil dan merata, serta dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat sebagai subjek dan objek
pembangunan . Pemerintah berfungsi melayani kegiatan masyarakat dengan kegiatan pemerintah yang
saling menunjang dan melengkapi dalam rangka mencapai tujuan pembangunan nasional.
Pembangunan Bidang Sumber Daya Air kewenangan Pusat di Provinsi Jawa Barat terutama pada wilayah
Sungai Citarum yang dibentuk dengan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 12/PRT/M/2006,
Nomor 13/PRT/M/2006 dan Nomor 26/PRT/M/2006, dan yang terakhir adalah Peraturan Menteri
Pekerjaan Umum Nomor 21/PRT/M/2010 mempunyai tugas dan fungsi yang harus dilaksanakan oleh
beberapa Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) atau Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pusat di Daerah, yaitu
melakukan pembangunan kewajiban pusat di daerah untuk pengelolaan sumber daya air antara lain
perbaikkan sungai dan anak-anak sungainya, melakukan operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi,
pembangunan bendungan berdasarkan usulan dari daerah serta pelayanan publik seperti rekomendasi
teknik (rekomtek) untuk perijinan.
Tugas dan fungsi BBWS yang tertuang dalam Peraturan Menteri nomor 21/PRT/M/2010 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Direktorat Sumber daya Air BBWS mempunyai tugas
dan fungsi sebagai perwakilan pusat di daerah dalam pengelolaan sumber daya air secara terpadu,
adalah sebagai berikut
1. Penyusunan pola dan rencana pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai
2. Penyusunan rencana dan program, studi kelayakan dan perencanaan teknis/desain/ pengembangan
sumber daya air
3. Persiapan, penyusunan rencana dan dokumen pengadaan barang dan jasa
4. Pelaksanaan pengadaan barang dan jasa serta penetapan pemenang selaku Unit Layanan
Pengadaan (ULP)
5. Pengendalian dan pengawasan konstruksi pelaksanaan pembangunan sumber daya air;
6. Penyusunan rencana pelaksanaan pengelolaan kawasan lindung sumber air pada wilayah sungai;
7. Pengelolaan sumber daya air yang meliputi konservasi dan pendayagunaan sumber daya air serta
pengendalian daya rusak air pada wilayah sungai;
8. Pengelolaan sistem hidrologi;
9. Pengelolaan sistem informasi sumber daya air;
10. Pelaksanaan operasi dan pemeliharaan sumber daya air pada wilayah sungai;
11. Pelaksanaan bimbingan teknis pengelolaan sumber daya air yang menjadi kewenangan provinsi dan
kabupaten/kota;
12. Penyiapan rekomendasi teknis dalam pemberian ijin atas penyediaan, peruntukan, penggunaan dan
pengusahaan sumber daya air pada wilayah sungai;
13. Fasilitasi kegiatan Tim Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air pada wilayah sungai;
14. Pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya air;
15. Pelaksanaan penyusunan laporan akuntansi barang milik Negara selaku Unit Akuntansi Wilayah;
16. Pelaksanaan pemungutan penerimaan dan penggunaan biaya jasa pengelolaan sumber daya air
(BJPSDA) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
17. Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga balai serta koordinasi dengan instansi terkait.
Sesuai dengan tugas dan fungsi sebagaimana ketentuan diatas, maka peran BBWS Citarum sebagai Unit
Pelaksana Teknis Direktorat Jenderal Sumber Daya Air semakin banyak dan komplek sehingga
diperlukan sumber daya manusia yang mumpuni untuk melaksanakan tugas dan fungsi tersebut
Suksesnya suatu implementasi kebijakan dapat dilihat dari akibat yang ditimbulkan sebagai konsekuensi
hasil dari pada implementasi kebijakan dan keberhasilan implementasi kebijakan bergantung kepada
penempatan sumber daya manusia yang memiliki rasa tanggungjawab untuk melaksanakan tugas dengan
sebaik-baiknya serta pelaksanaan pengembangan wilayah sungai yang mengacu kepada pola
pengelolaan wilayah suatu sungai.
Salah satu tugas BBWS Citarum di lapangan antara lain untuk pengelolaan Sungai Cikapundung yang
merupakan salah satu Sub DAS Citarum yang mengalami degradasi baik dari kondisi fisik maupun
lingkungan. BBWS Citarum bekerjasama dengan Wali Kota Madya Bandung untuk menata kondisi Sungai
Cikapundung terutama yang melintasi perkotaan yaitu dengan cara penataan sungai perkotaan, agar
Sungai Cikapundung terpelihara dan terlihat asri, antara lain dengan membuat Restorasi Sungai di lokasi
Babakan Siliwangi yang terkenal dengan istilah dan disingkat dengan Program BAKSIL
Gambar 1. Peta Sungai Cikapundung dari hulu sampai Kecamatan Cibeunying Kaler
Kondisi Eksisting
Kondisi eksisting sungai Cikapundung saat ini lahan kritis sebesar 3.865 Ha. Aliran permukaan sebesar
529,5 juta m³/thn dan sedimentasi sebesar 1.023.347 ton/thn dan pada lokasi-lokasi tertentu banyak
sampah, limbah dari peternakan sapi/industri dan pemukiman serta alih fungsi lahan yang cukup tinggi
Permasalahan yang ada
Permasalahan yang terjadi saat ini pada aliran Sungai Cikapundung adalah banyaknya sampah akibat
dari tidak disiplinnya masyarakat yang sengaja membuang sampah ke sungai
Gambar 2. Kondisi Sungai Cikapundung pada lokasi sungai di daerah Dago Bengkok
Gambar 4. Sedimentasi sebesar 1.023.347 juta m³/tahun yang memerlukan pengerukan minimal
pelaksanaannya 2 x dalam 1 tahun
Gambar 5. Alih fungsi tata guna lahan lahan yang mengakibatkan rusaknya ekosistem dan 10,5 km
kawasan hunian terdapat 1.058 bangunan
Gambar 6. Sungai Cikapundung yang tidak mempunyai ruang sempadan sungai dan lebar sungai
menjadi menyempit yang akan mengakibatkan banjir
METODOLOGI
Metodologi yang dilakukan dalam membuat makalah ini yaitu dengan cara antara lain :
1. Pengumpulan data primer dan sekunder
Dalam rangka pengkajian dilakukan pengumpulan data-data primer dengan cara mengikuti
kegiatan di lapangan atau rapat pembahasan sedangkan data sekunder diperoleh dari laporan –
laporan dan dokumentasi kegiatan.
2. Mengkaji data yang diperoleh
Yaitu dengan melakukan peninjauan terhadap laporan dan dokumentasi yang dilaksanakan serta
melakukan tanya jawab dengan pelaksana kegiatan yaitu dengan Pejabat Pembuat Komitmen
(PPK).
3. Melakukan pembahasan dari data
Melakukan pembahasan dari kegiatan yang dilaksanakan, dari maksud dan tujuan serta hasil
dan manfaat yang diharapkan dengan mengacu kepada kegiatan Pejabat Pembuat Komitmen
(PPK) serta peraturan yang digunakan.
4. Menarik kesimpulan dan saran
Dari data tersedia dan pembahasan mencoba menarik kesimpulan dan menyarankan pada
kegiatan yang dilaksanakan untuk penyempurnaan kegiatan tersebut.
Rekomendasi
Dari makalah ini sejumlah saran yang dapat disampaikan antara lain:
1. Dalam perencanaan suatu penataan sungai disarankan adanya perancangan yang matang atau
pembuatan detail desain yang komprehensif sehingga sudah diketahui biaya total dari pelaksanaan
suatu konstruksi. Oleh karena itu suatu rencana pelaksanaan konstruksi diharuskan adanya suatu
detail desain yang akurat.
2. Diperlukan adanya koordinasi yang baik antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah sesuai
kewenangan dan tanggungjawabnya.
Abstrak
Air merupakan materi esensial dalam kehidupan. Pemenuhan kebutuhan akan air bersih haruslah
memenuhi syarat kualitas dan kuantitas. Secara kualitas, air harus memenuhi syarat kesehatan seperti
yang ditetapkan dalam standar kualitas air bersih. Air gambut adalah air yang tersedia di lahan gambut
yang banyak ditemukan di Provinsi Riau dan menjadi sumber air bersih di banyak daerah meski secara
kualitas kurang baik. Air gambut mempunyai ciri-ciri berwarna merah kecoklatan hingga kehitaman (399-
953 PtCo), kadar organik yang tinggi (287,9-631,8 mg/l KMnO4), dan bersifat sangat asam (pH 3-3,3).
Kondisi ini membuat air gambut harus melalui proses pengolahan terlebih dahulu sebelum dikonsumsi.
Salah satu alternatif pengolahan air yang sederhana dan murah adalah biosand filter. Kinerja biosand filter
sangat dipengaruhi oleh ketebalan dan ukuran butir media yang digunakan. Tujuan penelitian ini adalah
mengetahui variasi ketebalan lapisan dan ukuran butir media yang paling baik dalam operasi biosand filter
untuk mengolah air gambut. Dalam penelitian ini digunakan reaktor biosand filter dari akrilik dengan
ukuran 30 x 30 x 130 cm. Ketebalan pasir 45, 60, dan 75 cm dan effective size >0,35 mm dan 0,15-0,35
mm. Hasil penelitian menunjukkan biosand filter dengan ketebalan 75 cm dan effective size media pasir
0,15-0,35 mm memiliki efisiensi tertinggi dalam menaikkan nilai pH sebesar 63,64 %, menurunkan kadar
warna air gambut sebesar 88,89 %, serta menurunkan kadar zat organik sebesar 90,27 %.
Kata kunci: air gambut, biosand filter, effective size, ketebalan
LATAR BELAKANG
Air sebagai materi esensial dalam kehidupan. Hal ini tampak dari kebutuhan terhadap air untuk keperluan
sehari-hari di lingkungan rumah tangga ternyata berbeda-beda di setiap tempat, setiap tingkatan
kehidupan atau setiap bangsa dan negara. Semakin tinggi taraf kehidupan seseorang semakin meningkat
pula kebutuhan manusia akan air (Suriawiria, 2005).
Pemenuhan kebutuhan akan air bersih haruslah memenuhi dua syarat yaitu kuantitas dan kualitas.
Secara kualitas, air harus tersedia pada kondisi yang memenuhi syarat kesehatan yaitu sesuai dengan
Peraturan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 492 Tahun 2010 tentang syarat-
syarat dan pengawasan kualitas air minum. Air dengan kualitas yang baik tidak selalu dapat dijumpai di
alam. Bahkan, di daerah-daerah tertentu air yang tersedia tidak memenuhi syarat kesehatan, sehingga
diperlukan pengolahan air yang baik dan tepat untuk mengatasinya.
Salah satu contoh air yang memiliki kualitas buruk tersebut adalah air yang terdapat di sekitar Kota
Pekanbaru. Adapun jenis airnya adalah air gambut. Menurut Kusnaedi (2006), air gambut adalah air
permukaan yang banyak terdapat di daerah berawa maupun dataran rendah yang mempunyai ciri-ciri
yaitu intensitas warna yang tinggi (berwarna coklat kemerahan), pH yang sangat rendah, kandungan zat
organik yang tinggi, kekeruhan dan kandungan partikel tersuspensi yang rendah, dan tingkat kesadahan
yang rendah.
Karakteristik air gambut relatif kurang menguntungkan untuk penyediaan air bersih. Kondisi yang kurang
menguntungkan dari segi kesehatan yaitu kadar keasaman (pH) yang rendah dapat menyebabkan
kerusakan gigi dan menimbulkan sakit perut, kandungan organik yang tinggi dapat menjadi sumber
makanan bagi mikroorganisme dalam air, sehingga dapat menimbulkan bau apabila bahan organik
tersebut terurai secara biologi. Selain itu bahan organik yang tinggi juga menimbulkan warna pada air
sehingga dari dari segi estetika dan kesehatan kurang baik untuk dilihat dan dikonsumsi.
Biosand filter merupakan salah satu pengembangan dari slow sand filter. Selama proses penyaringan, air
yang diolah akan dilewatkan pada media filter dengan kecepatan aliran yang rendah. Biosand filter telah
banyak dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan air bersih dan sehat pada negara-negara
berkembang, seperti: Nepal, Guatemala, Honduras, Nikaragua, Mozambique, Kenya, Kamboja, Vietnam,
dan lain-lain. Pada beberapa contoh penerapan, teknologi biosand filter mampu menghilangkan bakteri
virus tipus sebesar 99,99%, menurunkan hingga 83% - 99,6% bakteri Eschericia coli, menurunkan
kandungan besi dan arsen dengan rata-rata efesiensi penurunan 93%, dan menurunkan kekeruhan dan
jumlah padatan dalam air hingga 75% (Cawst, 2010). Keuntungan teknologi ini selain murah,
membutuhkan sedikit pemeliharaan, dan bisa beroperasi secara gravitasi.
Penelitian mengenai biosand filter sudah banyak dilakukan. Beberapa di antaranya adalah penelitian yang
dilakukan oleh Sari (2010) yaitu tentang studi kinerja biosand filter untuk pengolahan air minum terhadap
parameter kekeruhan dan besi. Media filter yang digunakan adalah pasir berdiameter 0,25 mm dengan
variasi ketebalan 40 cm dan 50 cm serta karbon aktif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ketebalan
50 cm memberikan hasil terbaik yaitu menurunkan kekeruhan 90 % dan besi 92,45 %. Demikian juga
Nugroho (2008) yang mengolah limbah cair menggunakan biosand filter dengan penambahan media
karbon aktif terhadap parameter phosphat. Dalam penelitian ini dilakukan variasi ketebalan dan ukuran
butir media pasir, yaitu 1) pasir halus 40 cm, pasir kasar 15 cm, dan kerikil 15 cm, 2) pasir kuarsa 30 cm,
pasir kasar 25 cm, dan kerikil 15 cm. Pasir halus memiliki diameter 0,25 mm, sedangkan pasir kasar 0,85
mm. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variasi 2 memberikan hasil terbaik yaitu menurunkan total
phosphat sebesar 53,23 %. Berdasarkan hasil-hasil penelitian tersebut terlihat biosand filter berpotensi
untuk mengolah air gambut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ketebalan dan ukuran butiran
media pasir yang baik dalam mengolah air gambut menjadi air bersih serta diharapkan mampu membantu
menyelesaikan permasalahan air bersih, khususnya bagi masyarakat yang berdomisili di daerah gambut.
METODOLOGI STUDI
Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Hidroteknik dan Laboratorium Bahan Bangunan Jurusan Teknik
Sipil Fakultas Teknik Universitas Riau.
Bahan Penelitian
Bahan penelitian yang digunakan adalah pasir, kerikil dan air gambut. Pasir yang digunakan dalam
penelitian ini adalah pasir kuarsa. Ada dua variasi pasir yang digunakan yaitu pasir dengan effective size :
0,15-0,35 mm dan uniformity coefficient (UC) : 2-3 dan pasir dengan effective size : > 0,35 mm dan
uniformity coefficient (UC) : 2-3. Pasir kuarsa ini berasal dari pesisir barat Pulau Jawa. Kerikil yang
digunakan dalam penelitian ini adalah kerikil sungai. Kerikil setebal minimal 30 cm yang terdiri atas 3
lapisan, setiap lapisan memiliki ketebalan 10 cm. Lapisan pertama memiliki effective size : 5,0 – 12,0 mm,
lapisan kedua memiliki effective size : 12 – 20 mm, dan lapisan ketiga memiliki effective size : 20 – 28
mm. Air yang digunakan adalah air gambut yang berasal dari lingkungan rumah penduduk yang berada di
atas tanah gambut di sekitar Kota Pekanbaru.
Alat Penelitian
Alat utama dalam penelitian ini adalah biosand filter. Biosand filter dibuat berbentuk prisma tegak dengan
alas bujursangkar dengan ukuran panjang 30 cm, lebar 30 cm dan tinggi 130 cm. Biosand filter yang
digunakan dapat dilihat pada Gambar 1.
Prosedur Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:
1. Membuat biosand filter dan mempersiapkan bahan dan media filtrasi, yaitu air gambut, pasir kuarsa,
dan kerikil.
2. Biosand filter yang sudah siap untuk digunakan diisi dengan media penyaringan. Urutan pengisian
dimulai dari kerikil, setelah itu dilanjutkan dengan pasir kuarsa. Ketinggian total dari media di dalam
biosand filter adalah 75, 90, dan 105 cm. Ketebalan media dilakukan tiga variasi. Pertama,
ketebalan pasir kuarsa 45 cm. Kedua, ketebalan pasir kuarsa 60 cm. Ketiga, ketebalan pasir kuarsa
75 cm. Setelah melakukan variasi ketebalan media, maka dilakukan variasi ukuran butiran pasir
kuarsa.
3. Variasi yang dilakukan adalah 2 variasi ukuran butiran pasir kuarsa dan 3 variasi ketebalan pasir
kuarsa. Untuk mempermudah dalam penyebutan, maka setiap variasi dinamai sebagai berikut:
i. Variasi A : Ketebalan pasir 45 cm dan ukuran butir pasir > 0,35 mm.
ii. Variasi B : Ketebalan pasir 60 cm dan ukuran butir pasir > 0,35 mm.
iii. Variasi C : Ketebalan pasir 75 cm dan ukuran butir pasir > 0,35 mm.
iv. Variasi D : Ketebalan pasir 45 cm dan ukuran butir pasir 0,15 – 0,35 mm.
v. Variasi E : Ketebalan pasir 60 cm dan ukuran butir pasir 0,15 – 0,35 mm.
vi. Variasi F : Ketebalan pasir 75 cm dan ukuran butir pasir 0,15 – 0,35 mm.
4. Melakukan aklimatisasi, yaitu menumbuhkan biofilm pada reaktor.
5. Melakukan pengujian kualitas air pada masukan (inlet) dan hasil keluaran (outlet) biosand filter yaitu
pengujian pH, warna, dan kandungan organik. Pengujian dilakukan sebanyak tujuh kali.
6. Prosedur yang sama diulangi untuk variasi B, variasi C, variasi D, variasi E, dan variasi F.
Diffuser Plate
Freeboard 15 cm
Air 5 cm
Pasir 75 cm
Kerikil 30 cm
dengan meraba lapisan paling atas pada media pasir kuarsanya. Jika terasa licin maka lapisan biofilm
sudah terbentuk, jika tidak terasa licin maka lapisan biofilm belum terbentuk dan perlu penambahan hari
untuk penumbuhan biofilm. Setelah selesai masa aklimatisasi maka dilanjutkan masa running. Running
dilakukan sebanyak 7 kali untuk setiap variasi.
Air gambut bersifat asam sehingga untuk memenuhi persyaratan air bersih, pH 6,5-8,5, yang diharapkan
adalah adanya peningkatan nilai pH setelah melewati biosand filter. Peningkatan nilai pH dari setiap
variasi yang dilakukan dapat dilihat pada Tabel 1 dan efisiensinya pada Gambar 2.
Tabel 1. Nilai pH pada semua variasi
Running Variasi A Variasi B Variasi C Variasi D Variasi E Variasi F
ke Inlet Outlet Inlet Outlet Inlet Outlet Inlet Outlet Inlet Outlet Inlet Outlet
1 3,1 3,9 3,0 3,9 3,2 4,3 3,2 4,2 3,2 4,7 3,2 5,2
2 3,0 3,9 3,0 3,8 3,2 4,5 3,2 4,3 3,1 4,5 3,3 5,2
3 3,0 3,9 3,1 4,0 3,3 4,7 3,3 4,5 3,1 4,5 3,3 5,4
4 3,2 3,8 3,1 4,1 3,2 4,7 3,3 4,7 3,2 4,8 3,2 5,2
5 3,1 3,8 3,2 4,1 3,2 4,5 3,1 4,4 3,2 4,7 3,2 5,1
6 3,0 4,0 3,2 4,2 3,2 4,5 3,2 4,4 3,2 4,4 3,3 5,1
7 3,0 3,8 3,1 4,2 3,3 4,7 3,1 4,3 3,2 4,5 3,3 5,3
baik untuk variasi ketebalan maupun ukuran butir pasir. Hal ini berarti variasi ketebalan dan ukuran butiran
media memberikan nilai rata-rata peningkatan pH berbeda secara signifikan atau adanya pengaruh yang
signifikan terhadap kenaikan nilai pH air gambut.
Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin tebal media pasir dan semakin halus ukuran butir yang
digunakan akan memberikan ruang yang semakin banyak untuk terjadinya proses-proses penyisihan
bahan penyebab keasaman yang tinggi dalam air gambut. Proses penyisihan yang terjadi dalam biosand
filter adalah mechanical straining, yaitu proses penyaringan partikel tersuspensi (suspended matter) yang
terlalu besar untuk dapat lolos melalui pori-pori pasir kuarsa. Proses ini terjadi di seluruh permukaan pasir.
Setelah melalui proses mechanical straining, maka proses selanjutnya yang terjadi adalah proses
sedimentasi pada media pasir kuarsa. Sedimentasi di dalam proses ini adalah pengendapan partikel air
gambut di dalam media pasir, dimana efisiensi sedimentasi dipengaruhi oleh kecepatan pengendapan
pada pori-pori pasir. Sedimentasi akan mengendapkan partikel-partikel suspended matter yang memiliki
ukuran lebih halus dari lubang pori pada permukaan butiran. Proses pengendapan terjadi pada seluruh
permukaan pasir. Setelah melalui proses mechanical straining dan sedimentasi, proses selanjutnya yang
paling berperan di dalam biosand filter adalah proses biologis. Proses biologis ini adalah terjadinya
penguraian zat organik yang terkandung dalam air gambut. Penguraian zat organik tersebut dilakukan
oleh mikroorganisme yang ada di dalam biosand filter, yaitu pada lapisan biofilm. Reaksi penguraian ini
berlangsung kompleks, namun secara sederhana penguraian ini menghasilkan zat organik yang lebih
sederhana dan akhirnya membentuk karbondioksida dan air itu sendiri. Adanya peningkatan nilai pH
menunjukkan bahwa proses-proses tersebut berlangsung dengan cukup baik.
Analisis Warna
Warna pada air gambut disebabkan adanya bahan-bahan organik yang terkandung di dalamnya, bahan
organik itu berupa asam humat. Pengukuran warna air gambut pada penelitian ini diukur berdasarkan SNI
06-6989-24-2005 yang merupakan metode standar untuk menguji cairan berwarna yang jernih (skala Pt-
Co). Kandungan warna maksimum yang dikandung oleh air disyaratkan oleh Permenkes No.416 Tahun
1990 adalah sebesar 50 TCU untuk air bersih dan 15 TCU untuk air minum. Pada penelitian ini parameter
warna diukur dengan satuan PtCo. Hasil penelitian untuk semua variasi dapat dilihat pada Tabel 2 dan
efisiensi penyisihannya pada Gambar 3.
Tabel 2. Penyisihan kadar warna (PtCo) air gambut pada semua variasi
Running Variasi A Variasi B Variasi C Variasi D Variasi E Variasi F
ke Inlet Outlet Inlet Outlet Inlet Outlet Inlet Outlet Inlet Outlet Inlet Outlet
1 905 395 502 164 728 203 640 181 660 159 690 77
2 905 407 502 177 728 225 640 193 660 164 690 90
3 905 420 502 189 728 253 640 204 660 181 690 123
4 905 444 502 199 728 291 640 217 660 199 690 141
5 953 480 399 160 947 384 800 265 740 227 704 168
6 953 548 399 199 947 399 800 271 740 239 704 190
7 953 589 399 225 947 415 800 283 740 248 704 207
Gambar 4. Perubahan warna pada air gambut setelah melewati biosand filter
Bandung, 20 September 2014 152
Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air
Dari grafik pada Gambar 3 dapat dilihat efisiensi penurunan warna yang terjadi makin berkurang dengan
semakin banyaknya running yang dilakukan. Hal ini terjadi pada semua variasi. Penurunan ini disebabkan
oleh berkurangnya kemampuan biosand filter untuk melakukan proses penyisihan karena media pasir
semakin jenuh dengan kotoran-kotoran yang telah terperangkap sebelumnya. Jika hal ini dibiarkan terus
maka kualitas air yang masuk mungkin tidak mengalami perubahan sama sekali. Untuk mengatasi hal ini
media pasir harus secepatnya dicuci sehingga semua pori dan rongga antar butirnya bisa berfungsi lagi
dalam menyisihkan bahan-bahan pengotor yang ada dalam air.
Selain efisiensinya yang terus menurun hal lain yang dapat dilihat pada Gambar 3 adalah adanya
perbedaan efisiensi antara semua variasi. Variasi dengan ukuran butir > 0,35 mm cenderung memberikan
efisiensi yang lebih kecil dengan variasi dengan ukuran butir 0,15-0,35 mm. Begitu juga dengan semakin
tebal media pasir yang digunakan memberikan efisiensi yang lebih tinggi baik untuk ukuran butir yang
sama maupun berbeda. Untuk mengetahui apakah ukuran butir dan ketebalan media memberikan
pengaruh yang signifikan terhadap efisiensi penyisihan warna dalam air gambut dilakukan perhitungan
dengan analisis varians dua arah. Dari hasil perhitungan ( =0,05) menunjukkan bahwa ukuran butir
maupun ketebalan media memberikan pengaruh yang signifikan terhadap efisiensi penyisihan warna air
gambut. Hasil terbaik didapatkan pada Variasi F dimana ukuran butir 0,15-0,35 mm dan ketebalan media
pasir 75 cm. Dari grafik juga dapat dilihat variasi dengan ukuran butir yang lebih besar menjadi lebih cepat
jenuh jika dibandingkan dengan ukuran butir yang halus.
Hasil yang didapat cukup baik jika dibandingkan dengan penelitian-penelitian sebelumnya meskipun
penelitian ini hanya menggunakan biosand filter untuk mengolah air gambut. Penelitian yang dilakukan
Said dan Widayat (2001) yang mengolah air gambut di daerah Kuala Kapuas Kalimantan Tengah dengan
kombinasi proses koagulasi-flokulasi dan proses injeksi kalium permanganat dengan mangan zeolit
mampu menurunkan warna sebesar 70,6%. Penelitian yang dilakukan oleh Eri (2009) tentang kajian
pengolahan air gambut menjadi air bersih dengan kombinasi proses upflow anaerobic filter dan slow sand
filter mampu menurunkan kadar warna. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kombinasi UAF bermedia
kerikil dengan SSF kecepatan filtrasi 0,15 m3/m2 jam memiliki efisiensi tertinggi dalam menurunkan warna
air gambut yang semula 804 PtCo menjadi 11 PtCo (efisiensi 98,6%). Penelitian yang dilakukan Suterisno
(2011) yang mengolah air gambut dengan biosand filter yang ditambah dengan media karbon
mendapatkan penyisihan warna terbaik dari 289 PtCo mejadi 14 PtCo (95,2%). Meskipun hasil yang
didapat sudah cukup baik dan efisiensi penyisihan cukup tinggi, kadar warna yang didapat pada outlet
masih belum memenuhi standar yang ditetapkan oleh pemerintah baik untuk air bersih (50 TCU) apalagi
air minum (15 TCU). Hal ini disebabkan terlalu tingginya kadar warna yang terdapat dalam air gambut,
selain itu juga menunjukkan bahwa warna pada air gambut sangat susah untuk diuraikan.
Analisis Zat Organik
Air gambut memiliki warna yang sangat mencolok, warna ini disebabkan karena adanya partikel koloid
organik yang merupakan hasil dekomposisi dari tanaman. Pengukuran zat organik dalam air gambut pada
penelitian ini diukur berdasarkan SNI 06-6989-22-2004 yang merupakan metode pengujian standar. Kadar
zat organik maksimum yang diperbolehkan dalam air bersih maupun air minum adalah 10 mg/l KMnO4.
Hasil penelitian untuk semua variasi dapat dilihat pada Tabel 3 dan efisiensi penyisihannya pada Gambar
5.
Tabel 3. Penyisihan zat organik (mg/l KMnO4) pada semua variasi
Running Variasi A Variasi B Variasi C Variasi D Variasi E Variasi F
ke Inlet Outlet Inlet Outlet Inlet Outlet Inlet Outlet Inlet Outlet Inlet Outlet
1 490,7 209,0 331,7 138,5 461,4 142,8 470,0 127,1 484,0 119,7 485,0 47,2
2 490,7 226,4 331,7 148,9 461,4 145,3 470,0 135,5 484,0 129,0 485,0 61,0
3 490,7 246,9 331,7 150,6 461,4 147,5 470,0 139,2 484,0 140,5 485,0 89,7
4 490,7 257,5 331,7 157,3 461,4 153,3 470,0 155,3 484,0 150,1 485,0 99,4
5 504,5 285,4 287,9 150,2 631,8 228,3 555,3 198,2 576,2 166,6 524,3 128,3
6 504,5 291,8 287,9 152,8 631,8 239,2 555,3 203,0 576,2 187,4 524,3 145,0
7 504,5 301,1 287,9 155,2 631,8 241,2 555,3 225,2 576,2 194,0 524,3 167,0
bersih yang ditetapkan pemerintah baik untuk air bersih maupun air minum yaitu sebesar 10 mg/l KMnO 4.
Hal ini disebabkan terlalu tingginya kadar zat organik yang terdapat dalam air gambut dan juga
menunjukkan zat organik tersebut termasuk yang susah untuk diuraikan baik secara fisik dan biologis,
proses yang terjadi dalam biosand filter.
REFERENSI
Center for Affordable Water and Sanitation Technology (CAWST). 2010. Biosand Filter Manual Design,
Construction, Installation, Operation, and Maintenance. Available
at:<URL:http://www.cawst.org/en/resources/pubs/file/43-pi-for-bsf-manualcomplete-english.pdf>
[diakses tanggal 12 Maret 2011].
Eri, Iva Rustanti. 2009. Kajian Pengolahan Air Gambut Menjadi Air Bersih dengan Kombinasi Proses
Upflow Anaerobic Filter dan Slow Sand Filter. Tesis Jurusan Teknik Lingkungan Fakultas Teknik
Sipil dan Perencanaan. Surabaya: Institut Teknologi Sepuluh November.
Kusnaedi. 2006. Mengolah Air Gambut dan Air Kotor untuk Air Minum, Penebar Swadaya, Jakarta.
Nugroho, Y Andhika dkk. 2008. Penurunan Kadar Phosphate (PO4) pada Limbah Cair Laundry
Menggunakan Reaktor Biosand Filter Diikuti dengan Reaktor Activated Carbon. Skripsi Jurusan
Teknik Lingkungan. Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia.
Rahayu, Dwi Ermawati. 2008. Kajian Intermitten Slow Sand Filter Skala Rumah Tangga untuk
Memperbaiki Kualitas Air PDAM. Skripsi Jurusan Teknik Lingkungan. Yogyakarta: Universitas
Islam Indonesia.
Said, Nusa Idaman & Widayat, Wahyu. 2001. Bab 8 Teknologi Pengolahan Gambut Sederhana. Available
at:URL:http://www.kelair.bppt.go.id/Publikasi/BukuAirMinum/BAB8GAMBUT.pdf (diakses: 25
September 2011)
Sari, Nur Maya. 2010. Studi Kinerja Biosand Filter untuk Pengolahan Air Minum Ditinjau Terhadap
Parameter Kekeruhan dan Besi. Skripsi Jurusan Teknik Lingkungan. Surabaya: Institut Teknologi
Surabaya.
Surawiria, U. 2005. Air Dalam Kehidupan dan Lingkungan yang Sehat. PT Rineka Cipta, Bandung.
Suterisno, Fadly. 2011. Pengolahan Air Gambut MenggunakanBiosand Filter dengan Penambahan Media
Karbon dari ArangTempurung Kelapa dan Kayu. Skripsi JurusanTeknik Sipil. Pekanbaru:
Universitas Riau
Abstrak
Klorin sebagai desinfektan diperlukan untuk memastikan air minum yang didistribusikan agar tetap
higienis, dimana konsentrasi sisa klorin yang harus dipertahankan dalam sistem distribusi air minum
adalah 0,2 - 5,0 mg/L. Konsentrasi sisa klorin ini dapat berkurang yang diakibatkan oleh laju kehilangan
klorin yang dipengaruhi oleh perilaku hidraulika jaringan distribusi. Studi ini bertujuan melakukan simulasi
hidraulika sisa klorin dengan mengambil studi kasus sistem distribusi air minum pada perumahan PT.
Pusri Palembang. Pembangunan model sistem distribusi dilakukan menggunakan perangkat lunak
EPANET 2.0, yang kemudian disimulasikan berdasarkan extended period simulation (EPS) selama 24
jam. Hasil simulasi hidraulika menunjukkan bahwa kapasitas jaringan distribusi masih sangat memadai
ditinjau dari segi penyediaan tekanan sisa. Walaupun demikian, kecepatan aliran hampir di seluruh
jaringan distribusi sangat lambat sehingga tidak memenuhi kriteria desain yang layak. Hal ini
menyebabkan waktu tinggal air menjadi sangat lama, sehingga konsentrasi sisa klorin yang memenuhi
syarat tidak dapat terpenuhi. Perbaikan hidraulika dilakukan dengan melakukan pembesaran dan
pengecilan diameter pipa dengan tujuan mengoptimalkan parameter kecepatan aliran dan kehilangan
tekanan. Simulasi sisa klorin pada jaringan distribusi setelah perbaikan hidraulika menunjukkan
konsentrasi sisa klorin hampir di setiap node telah memenuhi syarat. Walaupun demikian, diperlukan
penambahan booster klorin untuk menjaga konsentrasi sisa klorin agar tidak kurang dari 0,2 mg/L.
Kata Kunci: Sisa Klorin, Laju Kehilangan Klorin, Hidraulika Pipa, EPANET 2.0
LATAR BELAKANG
Air minum merupakan kebutuhan pokok bagi setiap manusia untuk dapat menjamin kelangsungan
hidupnya. Pasal 1 ayat 2 dalam PP No. 16 Tahun 2005 Tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air
Minum (SPAM) menyebutkan bahwa air minum adalah air minum rumah tangga yang melalui proses
pengolahan atau tanpa proses pengolahan yang memenuhi syarat kesehatan dan dapat langsung
diminum. Salah satu parameter kualitas air yang disyaratkan dalam air minum adalah klorin (chlorine).
Konsentrasi sisa klorin sangat diperlukan dalam sistem distribusi air minum dan harus diatur agar tidak
melampaui kisaran yang disyaratkan. Makalah ini memaparkan hasil studi tentang simulasi hidraulika sisa
klorin dalam sistem distribusi air minum dengan studi kasus pada perumahan PT. Pusri Palembang.
Fokus pemaparan adalah bagaimana mensimulasikan perilaku hidraulika dan sisa klorin, sehingga kriteria
desain hidraulika dan persyaratan air minum dapat terpenuhi. Perangkat lunak EPANET 2.0 dipilih karena
kemudahan dalam penggunaannya (Al Amin, 2011).
Klorin sebagai desinfektan diperlukan untuk memastikan air minum yang didistribusikan tetap higienis.
Konsentrasi sisa klorin dalam sistem distribusi air minum di Indonesia diatur dalam Permenkes No.
492/Menkes/Per/IV/2010 Tentang Persyaratan Kualitas Air Minum. Secara umum sisa klorin juga diatur
dalam Guidelines for Drinking-Water Quality oleh WHO. Kadar klorin maksimum yang diperbolehkan
adalah 5,0 mg/L, sedangkan kadar klorin minimal yang disyaratkan adalah 0,2 mg/L berdasarkan Surface
Water Treatment Rule dalam Mays (1999) dan WHO (2011). Kadar klorin yang berlebihan dapat
menyebabkan masalah rasa dan bau pada air, dapat mempercepat korosi pada pipa, dan dapat
menambah produk sampingan dari proses desinfeksi yang mengganggu kesehatan apabila air
dikonsumsi. Sisa klorin (chlorine residual) minimal 0,2 mg/L diperlukan untuk memastikan bahwa
organisme patogen tertentu telah mati atau dapat juga untuk mencegah hidupnya organisme patogen
tertentu selama air berada di dalam jaringan pipa (McGhee, 1991).
Konsentrasi sisa klorin dalam sistem distribusi air sangat bergantung pada laju kehilangan klorin (chlorine
decay rate) dan waktu tinggal (water age) yang dipengaruhi oleh kondisi hidraulika dalam jaringan pipa.
Laju kehilangan klorin dibedakan menjadi dua, yaitu bulk reactions dan pipe wall reactions (Rossman,
2000). Kehilangan klorin akibat bulk reactions dipengaruhi oleh temperatur air dan jumlah zat karbon
organik reaktif yang terdapat dalam air, sedangkan kehilangan klorin akibat pipe wall reactions
dipengaruhi oleh material pipa atau material yang ada di dinding pipa, seperti korosi atau lapisan biologis
(biofilm) dan juga umur pipa (Mays, 1999; Rossman, 2000; Al-Jasser, 2011). Rossman (2000)
memberikan kisaran nilai pipe wall reactions untuk first order reaction yaitu 0 – 5 ft/hari (0 – 1,524 m/hari)
tetapi dapat juga diabaikan (untuk pipa beton atau pipa plastik) atau bisa jadi sangat tinggi (khususnya
pada lokasi dimana korosi sangat tinggi). Triatmadja, et. al. (2010) memberikan nilai bulk reactions dan
pipe wall reactions (pipa plastik) masing-masing yaitu -1,68/hari dan -0,25 m/hari berdasarkan studi yang
dilakukan pada zona air minum prima (ZAMP) PDAM Tirta Gemilang, Magelang.
METODOLOGI STUDI
Studi ini dilakukan dengan memodelkan dan mensimulasikan sistem distribusi air minum yang ditinjau,
yaitu sistem distribusi pada perumahan PT. Pusri Palembang. Jenis simulasi yang dilakukan adalah
extended period simulation (EPS), dimana analisis dilakukan berdasarkan fluktuasi kebutuhan air selama
24 jam. Parameter hidraulika yang disimulasikan antara lain debit dan kecepatan aliran, tinggi tekanan air,
kehilangan tekanan, sedangkan parameter kualitas air yang disimulasikan adalah sisa klorin berikut laju
kehilangannya akibat bulk reactions dan pipe wall reactions. Perangkat lunak yang digunakan untuk
membantu analisis adalah EPANET 2.0 yang merupakan perangkat lunak bersifat public domain.
Studi diawali dengan pengumpulan data primer melalui survei dan pengukuran di lapangan sehingga
diperoleh data berupa volume pemakaian air harian pada meteran induk, dan luasan tiap rumah yang
digunakan selanjutnya dalam analisis kebutuhan air. Data sekunder secara umum diperoleh dari Divisi
Utilitas P.III PT. Pusri Palembang, diantaranya berupa peta sistem distribusi, jenis dan diameter pipa,
panjang pipa, kapasitas pompa, dosis injeksi klorin, dan sebagainya. Data yang telah diperoleh kemudian
diolah dan dimodelkan ke dalam EPANET 2.0 yang selanjutnya dilakukan simulasi terhadap parameter
hidraulika dan kualitas air yang ditinjau.
Pompa yang digunakan dalam sistem distribusi air minum di perumahan PT. Pusri Palembang merupakan
jenis pompa centrifugal. Kapasitas pompa diberikan dalam kurva pompa yang menunjukkan hubungan
antara debit (flow) dengan tinggi tekanan (head) seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 2.
(a) (b)
Percabangan Demin
Plant - Perumahan
Gambar 1. Diameter (a), dan panjang pipa (b) jaringan distribusi air minum perumahan PT. Pusri
Palembang
Pola kebutuhan air perumahan dibutuhkan untuk mengamati perilaku hidraulika jaringan distribusi akibat
variasi pemakaian air terutama pada saat jam-jam puncak. Pola kebutuhan air ini ditetapkan berdasarkan
pola kebutuhan air yang diusulkan oleh Trifunović (2006) seperti yang diberikan dalam Tabel 2 dan
Gambar 4. Hal ini dilakukan mengingat belum tersedianya pola pemakaian air yang baku khususnya untuk
perumahan di Indonesia, sehingga digunakan pola pemakaian air tipikal.
Tabel 1. Hasil pengamatan aliran keluar dari meteran induk ke perumahan selama 17 hari
No. Tanggal Vol. (m3) No. Tanggal Vol. (m3) No. Tanggal Vol. (m3)
Tabel 2. Koefisien kebutuhan air tiap jam (diadaptasi dari Trifunović, 2006)
1 0,57 13 1,30
2 0,40 14 1,17
3 0,31 15 1,08
4 0,27 16 1,04
5 0,33 17 1,08
6 0,37 18 1,16
7 0,71 19 1,40
8 1,41 20 1,37
9 1,61 21 1,17
10 1,47 22 1,02
11 1,43 23 1,10
12 1,37 24 0,92
Gambar 4. Pola kebutuhan air minum perumahan (diadaptasi dari Trifunović, 2006)
Simulasi Hidraulika Jaringan Distribusi Eksisting
Analisis hidraulika jaringan distribusi eksisting dilakukan dengan melakukan simulasi terhadap model yang
dibangun dengan EPANET 2.0. Jenis simulasi yang dilakukan adalah extended-period simulation (EPS)
dengan pengaturan waktu simulasi selama 24 jam, tahapan perhitungan dan pelaporan hidraulika tiap 1
jam, serta formula kehilangan tekanan Hazen-Williams seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 5. Seluruh
pipa ditetapkan terbuka penuh (full opened) dan faktor kehilangan tekanan sekunder akibat belokan,
katup, sambungan, pelebaran-penyempitan pipa, dan sebagainya diabaikan karena kehilangan tekanan
akibat gesekan lebih dominan (Triatmodjo, 2003).
(a) (b)
Gambar 6. Tekanan di setiap node pada jam 08.00 (a), dan kehilangan tekanan pada jam 08.00 (b)
Kehilangan tekanan yang sangat kecil tersebut dapat terjadi karena jenis pipa yang digunakan adalah
pipa HDPE yang memiliki permukaan halus/licin sehingga faktor gesekan sangat kecil. Disamping itu,
diameter pipa relatif besar dibandingkan dengan debit yang dialirkan sehingga secara signifikan
memperkecil laju kehilangan tekanan di sepanjang jaringan distribusi. Kehilangan tekanan tertinggi
sebelum percabangan demin plant – perumahan adalah sebesar 58,51 m/km, sedangkan kehilangan
tekanan tertinggi setelah percabangan hanya sebesar 0,94 m/km. Hal ini menunjukkan bahwa diameter
pipa distribusi terlalu besar (boros) sehingga jaringan distribusi menjadi tidak efisien. Selain itu, diameter
pipa yang terlalu besar juga dapat menyebabkan kecepatan aliran terlalu lambat sehingga berpotensi
menyebabkan terjadinya aliran laminer yang seharusnya dihindari untuk mencegah terjadinya sedimentasi
dan waktu tinggal (water age) yang terlalu lama di dalam jaringan. Kecepatan aliran di setiap pipa
seharusnya lebih dari 0,6 m/det. Debit dan kecepatan aliran dalam jaringan distribusi masing-masing
ditunjukkan dalam Gambar 7(a) dan 7(b).
(a) (b)
Gambar 7. Debit di setiap pipa pada jam 08.00 (a), dan kecepatan aliran pada jam 08.00 (b)
Perbaikan Hidraulika Jaringan Distribusi Eksisting
Perbaikan hidraulika jaringan distribusi eksisting dilakukan berdasarkan kriteria perancangan (design
criteria) jaringan pipa. Beberapa parameter/kriteria perancangan yang umumnya digunakan dalam
perancangan jaringan pipa yang efisien dan ekonomis, yaitu kecepatan aliran, tekanan, ukuran pipa,
kehilangan tekanan, masa layan, kebutuhan air rata-rata.
a. Kecepatan aliran
Kecepatan aliran seharusnya tidak kurang dari 0,6 m/det untuk mencegah terjadinya sedimentasi
dalam jaringan, dan tidak lebih dari 3 m/det untuk mencegah erosi dinding pipa dan kehilangan
tekanan yang tinggi. Trifunović (2006) memberikan rentang standar untuk kecepatan aliran sebagai
berikut:
1. ± 1,0 m/det dalam sistem distribusi
2. ± 1,5 m/det dalam pipa transport
3. 1 – 2 m/det dalam stasiun pompa.
Nilai kecepatan aliran dalam jaringan distribusi umumnya diambil 1 – 1,5 m/det.
b. Tekanan
Tekanan air dalam sistem distribusi air minum perkotaan berkisar antara 150 kPa – 300 kPa untuk
pemukiman/perumahan dengan bangunan berlantai empat atau kurang, dan 400 – 500 kPa untuk
wilayah komersial. Untuk pemadaman kebakaran, tekanan air seharusnya tidak kurang dari 150 kPa
(15 m). Secara umum untuk setiap titik dalam jaringan distribusi seharusnya tidak kurang dari 25 m
dan tidak lebih dari 70 m.
c. Ukuran Pipa
Ukuran pipa untuk jaringan penyediaan air bersih domestik dapat menggunakan pipa berdiameter 4
inchi, sedangkan untuk penyediaan air komunitas kecil dapat menggunakan pipa berdiameter 2 – 3
inchi. Diameter pipa utama untuk jaringan distribusi umumnya tidak kurang dari 6 inchi.
d. Kehilangan Tekanan
Besaran kehilangan tekanan yang menjadi kriteria perancangan sistem distribusi adalah (Trifunović,
2006):
1. 5 – 10 m/km, untuk diameter pipa kecil
2. 2 – 5 m/km, untuk diameter pipa menengah
3. 1 – 2 m/km, untuk pipa berukuran besar.
Nilai optimum kehilangan tekanan berkisar 1 – 4 m/km, dan tidak lebih dari 10 m/km.
Perancangan perbaikan hidraulika jaringan pipa untuk memperoleh jaringan distribusi yang efisien
ditetapkan dengan usaha penggantian diameter pipa eksisting dengan diameter pipa yang baru (Al Amin,
2012a; Al Amin, 2012b). Penetapan ukuran diameter pipa yang digunakan adalah berdasarkan kriteria
kecepatan aliran optimum, kehilangan tekanan maksimal yang diijinkan, tekanan yang disyaratkan, dan
ketersediaan pipa komersial. Walaupun demikian, tidak semua diameter pipa diperlukan penggantian
diameter, terutama pada pipa utama/induk dengan pertimbangan penyediaan tekanan yang cukup apabila
terjadi penambahan kebutuhan di masa yang akan datang.
Rancangan penggantian pipa baru dilakukan secara trial and error, dimana ukuran pipa yang diganti
adalah pipa dalam jaringan setelah percabangan melalui skenario dan hasil simulasi pada jam 08.00
seperti yang diberikan dalam Tabel 3 berikut.
Tabel 3. Rancangan penggantian diameter pipa setelah percabangan dan hasilnya
Skenario penggantian pipa seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 3 menunjukkan bahwa sampai dengan
skenario 3, telah terjadi perubahan yang sangat signifikan terhadap kecepatan aliran di sebagian besar
pipa dalam jaringan distribusi. Walaupun demikian, pengecilan diameter pipa berimplikasi terhadap
membesarnya kehilangan tekanan. Penggantian pipa tersebut dengan yang lebih kecil hanya akan
memperbesar laju kehilangan tekanan di dalam jaringan pipa. Kehilangan tekanan yang terlalu besar
dapat menyebabkan penggunaan pompa yang tidak efisien dari segi penyediaan tekanan (Al Amin,
2012b). Oleh karena itu, tinjauan perbaikan hidraulika harus dilakukan terhadap lingkup jaringan yang
lebih kecil, sehingga jaringan distribusi memerlukan pembagian wilayah (zonasi) untuk memudahkan
evaluasi jaringan.
Pada studi ini, jaringan distribusi perumahan PT. Pusri Palembang dibagi menjadi 4 (empat) zona seperti
yang ditunjukkan dalam Gambar 8. Dasar pembagian zona dilakukan dengan memperhatikan jalur pipa
yang menyusun suatu kelompok jaringan pipa.
Zona 1
Zona 4
Zona 2
Zona 3
(a) (b)
Gambar 9. Diameter pipa (a), dan debit aliran (b) hasil perbaikan akhir hidraulika jaringan distribusi
(a) (b)
Gambar 10. Kecepatan aliran (a), dan kehilangan tekanan (b) hasil perbaikan akhir hidraulika
jaringan distribusi
Perbaikan hidraulika jaringan pada Zona 1 berdasarkan hasil skenario 3 dilakukan dengan memperbesar
diameter pipa 3/4 inchi dengan diameter 1,25 inchi. Hasil simulasi menunjukkan bahwa kehilangan
tekanan terbesar adalah 10,89 m/km dan kecepatan aliran tertinggi 0,51 m/det. Pada Zona 2, perbaikan
hidraulika berdasarkan hasil skenario 3 dilakukan dengan memperbesar diameter pipa 1,5 inchi dengan
diameter 2 inchi, diameter 2 inchi dengan diameter 3 inchi, dan diameter pipa 3 inchi dengan diameter 4
inchi. Hasil simulasi menunjukkan bahwa kehilangan tekanan terbesar adalah 12,54 m/km dengan
kecepatan aliran tertinggi 0,95 m/det. Untuk Zona 3, perbaikan hidraulika berdasarkan skenario 3 juga
dilakukan dengan memperbesar diameter pipa 3/4 inchi dengan diameter 1,5 inchi, diameter pipa 1,5
inchi dengan diameter 2 inchi, dan diameter 2 inchi dengan diameter 3 inchi. Kehilangan tekanan terbesar
adalah 13,88 m/km dengan kecepatan aliran tertinggi 0,78 m/det. Perbaikan hidraulika jaringan pada Zona
4 berdasarkan skenario 3 dilakukan dengan memperkecil diameter pipa 2 inchi dengan diameter 1,5 inchi
dan 1 inchi, dan diameter pipa 1,5 inchi dengan diameter 1 inchi dan 3/4 inchi. Hasil simulasi
menunjukkan bahwa kehilangan tekanan terbesar adalah 16,73 m/km dengan kecepatan aliran tertinggi
0,56 m/det. Kondisi ini dianggap sudah cukup baik. Perbaikan hidraulika terakhir dilakukan terhadap pipa
induk sebelum percabangan, dimana kehilangan tekanan yang terjadi cukup besar, yaitu 59,62 m/km.
Oleh karena itu, diperlukan penggantian pipa dengan diameter yang lebih besar. Diameter pipa 6 inchi
kemudian diganti dengan diameter 8 inchi, sehingga kehilangan tekanan yang terjadi adalah sebesar
14,68 m/km. Hasil perbaikan hidraulika ditunjukkan dalam Gambar 13 dan 14.
Simulasi Sisa Klorin pada Jaringan Distribusi Eksisting
Konsentrasi sisa klorin yang disyaratkan dalam sistem distribusi air minum adalah 0,2 – 5,0 mg/L.
Kekurangan sisa klorin menyebabkan tidak terjaminnya kualitas air minum dari kontaminasi oleh bakteri
patogen, sedangkan kelebihan sisa klorin dapat memberikan efek samping terhadap kualitas air minum
yang dikonsumsi, diantaranya seperti air minum yang bau bahkan perasaan mual, muntah, dan gangguan
pencernaan bagi yang mengonsumsinya. Dampak lain dari kelebihan sisa klorin adalah potensi senyawa
hasil sampingan yang disebut Trihalomethane (THM) yang bersifat karsinogenik (pemicu kanker). Oleh
karena itu, penetapan dosis klorin yang diberikan dalam sistem distribusi memperhatikan konsentrasi sisa
klorin yang diijinkan.
Kehilangan klorin (chlorine decay) sangat dipengaruhi oleh reaksi klorin dengan zat-zat yang terdapat di
dalam air yang disebut sebagai bulk reactions, reaksinya dengan dinding (material) pipa yang disebut
sebagai pipe wall reactions, dan waktu tinggal air di dalam jaringan pipa (water age). Waktu tinggal air di
dalam jaringan pipa sangat bergantung pada kecepatan aliran. Semakin cepat kecepatan aliran, maka
waktu tinggal menjadi semakin singkat, sebaliknya semakin lambat kecepatan aliran, maka waktu tinggal
menjadi semakin lama.
Hasil simulasi hidraulika jaringan distribusi eksisting menunjukkan bahwa kecepatan aliran dalam jaringan
pipa sangat lambat dan tidak memenuhi kriteria perancangan. Oleh karena itu, waktu tinggal air dalam
jaringan pipa menjadi sangat lama. Jika waktu tinggal sangat lama, maka dosis optimum yang diberikan di
stasiun injeksi klorin (misalnya di reservoir) menjadi tidak efektif sehingga membutuhkan stasiun injeksi
klorin lagi yang disebut sebagai booster klorin (chlorine booster) di beberapa lokasi dalam jaringan
distribusi. Walaupun demikian, karena waktu tinggal yang terlampau lama, maka jumlah booster klorin
yang dibutuhkan akan sangat banyak yang berakibat pembubuhan klorin yang tidak efisien dan biaya
operasional yang terlalu mahal. Simulasi sisa klorin dalam jaringan distribusi eksisting tidak dilakukan di
dalam studi ini. Simulasi tersebut hanya akan dilakukan pada jaringan distribusi yang telah diperbaiki
perilaku hidraulikanya.
Simulasi Sisa Klorin pada Jaringan Distribusi Setelah Perbaikan Hidraulika
Simulasi sisa klorin pada jaringan distribusi setelah perbaikan hidraulika dilakukan dengan terlebih dahulu
menetapkan dosis klorin yang diberikan pada titik yang paling hulu, yaitu pada reservoir. Dosis klorin
maksimal yang diberikan adalah 5,0 mg/L. Koefisien laju kehilangan klorin akibat bulk reactions dan pipe
wall reactions digunakan berdasarkan nilai yang diberikan oleh Triatmadja, et. al. (2010). Konsentrasi sisa
klorin dalam jaringan distribusi setelah pembubuhan klorin sebesar 5,0 mg/L di reservoir ditunjukkan
dalam Gambar 15(a). Konsentrasi sisa klorin yang tidak memenuhi syarat (kurang dari 0,2 mg/L) dapat
diamati menggunakan fasilitas Query yang tersedia dan hasilnya ditunjukkan dalam Gambar 15(b).
Gambar 15(b) menunjukkan bahwa konsentrasi sisa klorin pada sebagian besar node di Zona 4 adalah
kurang dari 0,2 mg/L. Hal ini disebabkan karena lokasi Zona 4 yang relatif jauh dibandingkan dengan
node pada zona lainnya. Selain itu, waktu tinggal yang juga cukup lama menyebabkan laju kehilangan
klorin yang cukup besar di Zona 4 tersebut. Waktu tinggal terlama yaitu 10,81 jam. Gambar 16(a) dan
16(b) masing-masing menunjukkan waktu tinggal dan laju kehilangan klorin dalam jaringan distribusi.
Konsentrasi sisa klorin yang memenuhi syarat juga terlihat pada beberapa node di zona lainnya. Hal ini
disebabkan karena node tersebut berupa titik ujung dari pipa (dead end), sehingga tidak memiliki nilai
kebutuhan air. Oleh karena itu, EPANET 2.0 mensimulasikan pipa ke node tersebut dengan menganggap
tidak terjadi aliran yang menyebabkan tidak tersedianya konsentrasi sisa klorin (0,0 mg/L).
Perbaikan konsentrasi sisa klorin pada Zona 4 dapat dilakukan dengan menempatkan booster klorin
(chlorine booster) yang berfungsi titik injeksi tambahan sehingga konsentrasi sisa klorin pada zona
tersebut dapat memenuhi syarat.
Sisa klorin < 0,2 mg/L
(a) (b)
Gambar 11. Konsentrasi sisa klorin di tiap node (a), dan node yang sisa klorinnya kurang dari 0,2 mg/L
(a) (b)
Gambar 12. Waktu tinggal (a), dan laju kehilangan klorin (b) dalam jaringan distribusi
Simulasi Sisa Klorin dengan Penambahan Booster Klorin
Penempatan booster klorin dilakukan dengan meninjau konsentrasi sisa klorin di setiap node dan arah
aliran pipa pada Zona 4. Pemberian dosis klorin direncanakan untuk dilakukan secara konstan. Hal ini
bertujuan untuk memudahkan dalam hal pengoperasian booster klorin. Walaupun demikian, penggunaan
klorin dapat menjadi boros dan tidak efisien jika pada suatu waktu dosis yang dibutuhkan tidak sebanyak
pada saat pemakaian puncak. Penetapan dosis yang diberikan dilakukan secara trial and error sampai
diperoleh konsentrasi sisa klorin telah memenuhi syarat. Gambar 17 menunjukkan penempatan booster
klorin pada node dan dosis yang diberikan sebesar 2,5 mg/L secara konstan sehingga konsentrasi sisa
klorin pada Zona 4 telah memenuhi syarat ≥ 0,2 mg/L.
Gambar 13. Penempatan booster klorin dan dosis pembubuhannya pada Zona 4
2. Perlu dilakukan kalibrasi parameter hidraulika sebelum simulasi sisa klorin. Disamping itu, kalibrasi
sisa klorin juga diperlukan untuk mengetahui laju kehilangan klorin yang berlaku pada suatu sistem
distribusi air minum.
3. Penggunaan perangkat lunak lain yang sejenis, namun berbayar (misalnya WaterGEMS) dapat
digunakan untuk optimasi parameter hidraulika yang tidak disediakan oleh EPANET 2.0.
REFERENSI
Al Amin, M.B., 2011. Komputasi Analisis Hidraulika Jaringan Pipa Air Minum, disajikan pada Seminar
Nasional Kebumian 2011, 8 – 9 Desember 2011, Yogyakarta.
Al Amin, M.B., 2012a. Analisis Perbaikan Hidraulika Jaringan Pipa PDAM Lematang Enim untuk
Peningkatan Pelayanan Distribusi Air Bersih di Kota Muara Enim, Jurnal Rekayasa Sriwijaya, Vol.
21(3): 6 – 13 ISSN 0852-5366.
Al Amin, M.B., 2012b. Mengatasi Kehilangan Energi Primer yang Berlebihan pada Jaringan Pipa Distribusi
Air Menggunakan Model Komputer WaterGEMS, disajikan pada Seminar Nasional AVoER ke-4, 28 –
29 November 2012, Palembang.
Al-Jasser, A.O., 2011. Pipe Service Age Effect on Chlorine Decay in Drinking-Water Transmission and
Distribution Systems, CLEAN – Soil, Air, Water, Vol. 39(9): 827 – 832.
Hyde, N., 2005. Computer Modeling of Water Distribution Systems, Manual of Water Supply Practices –
M32, Second Edition, American Water Works Association, Denver.
Anonim, 2005. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2005 Tentang Pengembangan
Sistem Penyediaan Air Minum, Jakarta.
Anonim, 2010. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 492/MENKES/PER/IV/2010
Tentang Persyaratan Kualitas Air Minum, Jakarta.
Castro, P. dan Neves, M., 2003. Chlorine Decay in Water Distribution Systems Case Study – Lousada
Network, Electric Journal of Environmental, Agricultural, and Food Chemistry (EJEAFChe), Vol. 2(2):
261-266, ISSN 1579-4377.
Lin, S.H., 2007. Water and Wastewater Calculations Manual, Second Edition, McGrawHill Book Co., New
York.
Mays, L.W., 1999. Water Distribution Systems Handbook, McGraw-Hill Book Co., New York.
McGhee, T.J., 1991. Water Supply and Sewerage, Sixth Edition, McGrawHill Book Co., New York.
Mutoti, G., dkk., 2007. Combined Chlorine Dissipation: Pipe Material, Water Quality, and Hydraulic Effect,
American Water Works Journal: 96 – 106.
Rossman, L.A., 2000. EPANET 2 User Manual, EPA/600/R-00/057, National Risk Management Research
Laboratory, U.S. Environmental Protection Agency, Cincinnati, OH.
Sarbatly, R.HJ. dan Krishnaiah, D., 2007. Free Chlorine Residual Content within the Drinking Water
Distribution System, International Journal of Physical Sciences, Vol. 2(8): 196-201.
The American Water Works Association, Inc., 1971. Water Quality and Treatment, A Handbook of Public
Water Supplies, Third Edition, McGraw-Hill Book Co., New York.
Triatmadja, R., Al Amin, M.B., Kamulyan, B., 2010. Numerical Simulation of Water Quality in A Pipe
Network, disajikan pada The First Makassar International Conference on Civil Engineering
(MICCE2010), 9 – 10 Maret 2010, Makassar.
Triatmodjo, B., 2003. Hidraulika II, Edisi Ketiga, Beta Offset, Yogyakarta.
Trifunović, N., 2006. Introduction to Urban Water Distribution, UNESCO-IHE Lecture Note Series, Taylor
and Francis, London.
Walski, T.M., dkk., Advance Water Distribution Modeling and Management, Bentley Institute Press.
World Health Organization, 2011. Guidelines for Drinking-Water Quality, Fourth Edition, WHO Press,
Malta.
Abstrak
Seiring dengan berkembangnya Kabupaten Bengkalis, maka kebutuhan air bersih juga meningkat
kebutuhan air bersih adalah kebutuhan pokok bagi masyarakat sehingga pemerintah seharusnya
berperan aktif dalam menyediakan kebutuhan air bersih untuk masyarakat guna mendukung
kesejahteraan dan kesehatan masyarakat. Tujuan dari Penelitian ini untuk meninjau proses pengolahan
air baku (Raw Water) hingga menjadi air bersih, menganalisa kapasitas bangunan Water Treatment
Process (WTP), bangunan reservoir dan Menghitung kapasitas pompa Intake dan pompa distribusi.Hasil
proyeksi pertumbuhan penduduk dan analisa kebutuhan air bersih sampai pada tahun 2020 dengan
jumlah penduduk 178.442 jiwa dan kebutuhan air bersih untuk sambungan rumah (SR) sebesar
13.490.215 lt/hr dan hidran umum (HU) sebesar 963.587 lt/hr, total debit air bersih yang dibutuhkan
masyarakat pulau Bengkalis pada tahun 2020 adalah sebesar 14.453.802 lt/hr. Sedangkan debit air yang
mampu ditampung oleh (Water Treatment Process) WTP adalah sebesar 660.000 liter. Total debit air
yang mampu disimpan pada bangunan reservoir adalah sebesar 3.919.595 liter. Analisa Kapasitas pompa
intake yang digunakan untuk proses penyaluran air dari waduk ke bangunan Water Treatment Process
(WTP) yaitu dengan debit aliran sebesar 4.320.000 lt/hr. Debit aliran pada pompa distribusi adalah
sebesar 10.368.000 lt/hr. Pada tahun 2020 dengan kebutuhan air bersih yang mencapai 14.453.802 lt/hr
pompa Intake dan pompa distribusi PDAM Tirta Dharma Pulau Bengkalis masih belum bisa terpenuhi.Dari
hasil analisa kapasitas produksi dan pemenuhan air bersih bagi masyarakat sangat dipengaruhi oleh
kapasitas pompa intake dan pompa distribusi. untuk memenuhi kebutuhan air bersih pada tahun 2020
dengan jumlah kebutuhan air bersih mencapai 14.453.802 lt/hr diperlukan penambahan pompa intake
sebanyak 5 unit dengan kapasitas 30 l/detik dan penambahan pompa distribusi sebanyak 2 unit dengan
kapasitas 30 l/detik.
Kata kunci: Air Baku (Raw Water),Air Bersih, Intake, Reservoir, Water Treatment Process (WTP)
LATAR BELAKANG
Di Kabupaten Bengkalis khususnya di Pulau Bengkalis sebagian besar merupakan daerah rawa dan
gambut. Secara kasat mata keadaan air pada daerah ini sebagian besar berwarna kuning kecoklatan.
Dengan keadaan air yang demikian air pada daerah Pulau Bengkalis belum layak untuk dikonsumsi
secara langsung oleh masyarakat. Untuk mendapatkan air yang layak dikonsumsi oleh masyarakat air ini
harus melalui beberapa tahap pemrosesan atau pengolahan terlebih dahulu sehingga air yang tadinya
belum layak dikonsumsi oleh masyarakat dan setelah mengalami pemrosesan atau pengolahan air
tersebut menjadi layak untuk dikonsumsi oleh masyarakat.
Demi kelancaran dalam pengadaan air bersih bagi masyarakat Pulau Bengkalis segala sarana dan
infrastruktur dalam pengolahan air bersih harus dapat beroperasi secara maksimal sehingga kebutuhan
air bersih masyarakat Pulau Bengkalis untuk jangka panjang bisa terpenuhi. Sarana dan infrastruktur yang
paling vital dalam pengolahan air bersih yaitu pompa, Water Treatment Process (WTP), dan bangunan
reservoir.
Kriteria Pelayanan Air Bersih
Cara penyambungan yang umum dilakukan oleh suatu badan pengelolaan yang sudah ada seperti PDAM
terdiri dari dua jenis sambungan yaitu Sambungan Rumah (SR) dan Hidran Umum (HU). Sambungan
rumah (SR) adalah instalasi yang dipergunakan oleh masyarakat untuk menyuplai air bersih bagi
kepentingan individu atau keluarga, sedangkan Hidran Umum (HU) adalah sustu instalasi yang
dipergunakan untuk menyuplai air bagi kepentingan umum. Hidran Umum (HU) biasanya terletak dilokasi
yang mudah terjangkau oleh masyarakat umum dan berada dilokasi-lokasi umum seperti mall, pasar,
terminal, bandara, dan sebagainya. Untuk mengetahui kriteria perencanaan air bersih untuk tiap-tiap
kategori dapat dilihat pada Tabel 1
Tabel 1. Kriteria perencanaan Dinas PU, 1996.
KATEGORI KOTA BERDASARKAN JUMLAH PENDUDUK (JIWA)
500.000 100.000 20.000
> 1.000.000 s/d s/d s/d < 20.000
URAIAN
1.000.000 500.000 100.000
Kota Kota
Kota Besar Kota Kecil Desa
Metropolitan Sedang
1 2 3 4 5 6
Konsumsi Unit
Sambungan Rumah
> 150 150-120 90-120 80-120 60-80
(SR)
(Liter/Orang/Hari)
Konsumsi Unit
Hidran (HU) 20-40 20-40 20-40 20-40 20-40
(Liter/Orang/Hari)
50:50 s/d 50:50 s/d
SR:HU 80:20 70:30 70:30
80:20 80:20
Cakupan Layanan
90 90 90 90 70
(%)
Reservoir
4. Bak flokulasi.
Bangunan ini berfungsi untuk membentuk partikel-partikel kecil yang terlarut didalam air agar
menjadi padat dan lebih besar sehingga mudah untuk mengalami proses pengendapan.
5. Bak pengendap (Sedimentasi).
Sedimentasi adalah pemisahan padatan dan cairan dengan menggunakan pengendapan secara
gravitasi untuk memisahkan partikel tersuspensi yang terdapat dalam cairan tersebut. proses ini
sangat umum digunakan pada Instalasi Pengolahan Air (IPA).
6. Bak Saringan (filtrasi).
Setelah proses sedimentasi, proses selanjutnya adalah filtrasi. Unit filtrasi ini, sesuai dengan
namanya, adalah untuk menyaring dengan media berbutir atau media berongga. Media berbutir ini
biasanya terdiri dari antrasit, pasir silica, dan kerikil silica denga ketebalan berbeda. media berongga
biasanya terbuat dari asbes atau baja anti korosi. Proses filtrasi ini dilakukan secara gravitasi.
7. Reservoir.
Reservoir adalah tempat penyimpanan air yang berlokasi pada instalasi pengolahan. Air yang telah
diolah disimpan pada tangki ini untuk kemudian ditransfer ke system distribusi. Desain dari reservoir
meliputi pemilihan ukuran dan bentuknya. Reservoir terdiri dari dua jenis yaitu ground storage
reservoir dan elevated storage reservoir. Ground storage reservoir biasa digunakan untuk
menampung air dengan kapasitas besar dan membutuhkan pompa dalam pengoperasiannya.
Sedangkan elevated storage reservoir menampung air dengan kapasitas relatif lebih kecil dibanding
ground storage reservoir dan dalam pengoperasiannya dalam pendistribusian dilakukan dengan
gravitasi. Untuk menentukan kapasitas volume bangunan reservoir yang berbentuk silinder atau
tabung dapat dihitung dengan menggunakan formula sebagai berikut (Sudarto, 2000).
V r2 t (5)
Keterangan :
V : volume (m3)
π:
r : Jari-jari lingkaran tabung (m)
t : tinggi bangunan tabung (m3)
sedangkan untuk menentukan kapasitas volume bangunan reservoir yang berbentuk persegi empat
atau balok dapat dihitung dengan menggunakan formula sebagai berikut (Sudarto, 2000).
V p l t (6)
Keterangan :
V : volume (m3)
p : panjang bangunan balok (m2)
l : lebar bangunan balok (m)
t : tinggi bangunan balok (m3)
Pompa Sentrifugal
Pompa sentrifugal ialah jenis pompa yang headnya dibentuk oleh gaya sentrifugal maupun gaya angkat
(lift) yang ditimbulkan oleh sudu-sudu yang berputar. Pompa sentrifugal mempunyai sebuah baling-baling
(impeller) untuk mengangkat air dari tempat lebih rendah ke tempat lebih tinggi.
Electric Submursible Pump (ESP)
Electric Submursible Pump (ESP) merupaka pompa jenis khusus yang dipasang terbenam dibawah
permukaan fluida. ESP adalah pompa centrifugal yang terdiri susunan beberapastage atau tingkatan yang
dipasang pada poros pompa. Satu stage atau tingkat terdiri dari satu impeller dan satu diffuser. Impeller
yang berputar akan mengangkat fluida sedangkan diffuser akan mengarahkan fluida keatas atau ke
tingkatan berikutnya dan seterusnya hingga impeller yang terakhir (Danil, 2009).
Untuk mendapatkan kapasitas pemompaan pada pompa yakni dengan memakai persamaan berikut ini
(Pardyono, 2011).
Kapasitas Pompa (Kp)
Kp Qp t n (7)
Keterangan:
Kp : Kapasitas pompa (lt/hr)
Qp : Debit pemompaan (lt/dt)
t : Waktu (dt/hr)
n : Jumlah pompa
Adapun untuk menghitung jangka waktu atau durasi dalam proses penyaluran air bersih untuk
pemenuhan kebutuhan yang didistribusikan yaitu dapat dianalisa dengan menggunakan persamaan
berikut (Pardyono, 2011).
P
Tp t (8)
Qp n
Keterangan:
Tp : Durasi pemompaan (jam)
P : kebutuhan air bagi penduduk pada tahun perkiraan (Liter)
Qp : Debit pemompaan (lt/dt)
n : Jumlah pompa (unit)
t : Waktu (dt)
METODOLOGI STUDI
Lokasi penelitian Pemrosesan Air Baku (RAW WATER) Menjadi Air Bersih berada di Pulau Bengkalis.
Tepatnya Jl. HR Soebrantas, Desa Wonosari Timur.
Tahapan Pelaksanaan Penelitian
Tahapan pelaksanaan penelitian dilakukan dengan metode sebagai berikut:
1. Persiapan, meliputi pengurusan izin atau surat pengantar yang ditujukan untuk mengambil data-
data dilapangan.
2. Studi Literatur, digunakan untuk mendapatkan kejelasan konsep dalam penelitian yaitu dengan
mendapatkan referensi dari buku-buku atau tulisan yang berisikan tentang dasar-dasar teori serta
rumus-rumus perhitungan yang dapat mendukung penulisan penelitian ini.
3. Studi Observasi, Penulis mengadakan pengamatan dan kunjungan langsung ke lokasi penelitian
untuk melihat kondisi PDAM Tirta Dharma Kabupaten Bengkalis di Pulau Bengkalis.
4. Analisa dan pembahasan, dari hasil analisa dan pembahasan dapat diambil suatu kesimpulan.
Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini ada dua jenis data yang diperlukan yaitu data primer dan data sekunder.
a. Data primer adalah data yang diperoleh atau data yang diambil secara langsung dilokasi penelitian
dan tanya jawab dengan petugas yang bersangkutan. Data primer ini meliputi dimensi bangunan
Water Treatment Process (WTP), Bangunan Reservoir, dan Volume pompa.
b. Data sekunder yaitu data yang diperoleh melalui literatur, internet atau media yang lain. Data
sekunder ini terdiri dari data jumlah penduduk, dan data hasil analisa laboraturium air bersih.
Bagan alir penelitian Pemrosesan Air Baku (RAW WATER) Menjadi Air Bersih Pada PDAM Tirta Dharma
Kabupaten Bengkalis seperti pada Gambar 2
Mulai
Persiapan
Pengumpulan Data
Analisa Data
Perhitungan:
1. Proyeksi Jumlah Penduduk Untuk 10 Tahun Mendatang
2. Volume bangunan pengolahan Water Treatment Process
(WTP) dan reservoir
3. Kapasitas pompa Intake dan pompa Distribusi
Hasil Analisa
Kesimpulan
Selesai
Bangunan Reservoir
Bangunan reservoir merupakan suatu bangunan atau instalasi yang memiliki fungsi untuk menyimpan air
bersih yang telah diproses pada Water Treatment Proceas (WTP). PDAM Tirta Dharma Kabupaten
Bengkalis memiliki dua jenis reservoir yaitu reservoir yang berbentuk segi empat atau balok yang terbuat
dari beton dan bangunan reservoir yang berbentuk silinder atau tabung terbuat dari metal atau baja. Pada
PDAM Tirta Dharma Kabupaten Bengkalis terdapat dua unit bangunan reservoir yang berbentuk persegi
dari beton dan tiga unit bangunan reservoir berbentuk silinder dari baja. Berdasarkan perhitungan A.4
pada lampiran A dapat diketahui bahwa kapasitas bangunan reservoir yang berbentuk persegi atau balok
memiliki total kapasitas tampung yaitu sebesar atau 810.000 Liter. Sedangkan bangunan
reservoir yang terbuat dari metal dengan bentuk silinder memiliki kapasitas tampung sebesar
3.109,595 atau 3.109.595 liter. Jadi total keseluruhan kapasitas tampung bangunan reservoir yang
ada saat ini pada PDAM Thirta Dharma Kabupaten Bengkalis adalah sebesar 3.919,595 atau
3.919.595 liter.
Pompa
Pompa merupakan suatu alat yang memiliki peranan sangat penting dalam keberlangsungan proses dan
pendistribusian air bersih. Pada PDAM Tirta Dharma Kabupaten Bengkalis ditinjau dari fungsinya
dibedakan atas dua fungsi pompa yaitu pompa intake dan pompa distribusi. Pompa intake dilokasi PDAM
Tirta Dharma Kabupaten Bengkalis berjumlah dua unit. Pompa intake ini berjenis Electric Submersible
Pump (ESP). Pompa intake pada Instalasi Pengolahan Air (IPA.A) memiliki kapasitas sebesar 20
liter/detik dengan jumlah satu unit, sedangkan pada Instalasi Pengolahan Air (IPA.B) memiliki kapasitas
pompa intake sebesar 30 liter/detik dengan jumlah satu unit. Berdasarkan perhitungan kapasitas kedua
pompa intake adalah sebesar 4.320.000 lt/hr atau 4.320 /hr. Selain pompa intake terdapat pula pompa
distribusi, pompa distribusi adalah pompa yang memiliki peranan sebagai mendistribusikan air bersih
kepada penduduk melalui jaringan perpipaan. Pada Instalasi Pengolahan Air (IPA.A) terdapat 3 unit
pompa distribusi dengan jenis pompa sentrifugal yang memiliki kapasitas sebesar 20 liter/detik dan
kapsitas 30 liter/detik. Pada Instalasi Pengolahan Air (IPA.B) terdapat 2 unit pompa dengan jenis
sentrifugal dan kapasitas masing-masing adalah sebesar 20 liter/detik dan 30 liter/detik, sehingga total
keseluruhan pompa distribusi pada PDAM Tirta Dharma kabupaten Bengkalis adalah berjumlah 5 unit
dengan rata-rata kapasitas sebesar 24 liter/detik. Kapasitas total pompa distribusi yang ada dilokasi
Instalasi Pengolahan Air (IPA.A) berdasarkan perhitungan adalah sebesar . Sedangkan
kapasitas pompa pada Instalasi Pengolahan Air (IPA.B) dalam seharinya memiliki kapasitas
sebesar . Sehingga total keseluruhan kapasitas pompa distribusi dalam pemompaan
perharinya adalah sebesar 10.368.000 lt/hr atau 10.368 .
Dengan memperhatikan keadaan dan jumlah pompa distribusi yang ada pada saat ini yaitu tahun (2013)
dapat diketahui untuk pemenuhan debit pendistribusian air bersih pada tahun 2020 yang mencapai
14.453.802 liter/hari pompa distribusi ini belum bisa memadai. Dengan kapasitas pemompaan saat ini
yaitu sebesar 10.368.000 liter/hari hanya mampu untuk memenuhi kebutuhan air bersih masyarakat
sampai tahun 2012 yaitu sebesar 10.296.963 liter/hari dengan lamanya waktu pemompaan selama 23,8
jam. dan untuk pemenuhan kebutuhan air bagi masyarakat pada tahun 2020 harus diadakan penambahan
pompa intake sebanyak 5 unit dengan kapasitas 30 l/detik dan penambahan pompa distribusi sebanyak 2
unit dengan kapasitas 30 l/detik dengan adanya penambahan jumlah unit pompa diharapkan kebutuhan
air bersih di masa yang akan datang bisa terpenuhi.
Pemrosesan Air Baku (Raw Water) Menjadi Air Bersih
Berikut adalah skema sistem pengolahan air bersih pada PDAM Tirta Dharma Kabupaten Bengkalis.
Reservoir Reservoir
Kapasitas Kapasitas
WTP WTP
405.000 Liter 405.000 Liter
Kapasitas Kapasitas
330.000 Liter 330.000 Liter
Tangki Reservoir
Tangki Reservoir Kapasitas
Tangki Reservoir Kapasitas 445.095 114.4500 Liter
Kapasitas Liter
1.520.000 Liter
Distribusi
Konsumen
Gambar 3. Skema pemrosesan air bersih PDAM Tirta Dharma KabupatenBengkalis.
Penyadapan Air Baku(Raw Water Intake)
Raw Water adalah air baku untuk diolah menjadi air bersih. Pada PDAM Tirta Dharma Kabupaten
Bengkalis untuk menyuplai kebutuhan air baku pada kedua IPA berasal dari sebuah waduk yang berlokasi
kira-kira 600 meter dari lokasi Instalasi Pengolahan Air (IPA). Raw Water Intake yang berada di Desa
Wonosari ini adalah berbentuk waduk dengan kedalaman air maksimal 500 cm dan kedalaman minimal
40-50 cm. Sumber air baku yang berada di waduk ini adalah berasal dari aliran sungai-sungai kecil (parit)
yang terbentuk secara alami dan bermuara di waduk tersebut dan dari mata air yang berada disekitar
waduk. Secara keseluruhan daerah disekitar waduk ini adalah rawa.
Pompa Air Baku
Pompa air baku adalah pompa yang memiliki fungsi untuk mendistribusikan air baku dari waduk ke
Instalasi Pengolahan Air (IPA). Pompa intake atau pompa air baku pada Instalasi Pengolahan Air (IPA.A)
memiliki kapasitas sebesar 20 liter/detik dengan jumlah satu unit, sedangkan pada Instalasi Pengolahan
Air (IPA.B) memiliki kapasitas pompa intake sebesar 30 liter/detik dengan jumlah satu unit.
Air yang keluar dari saluran limpasan pada bak pengumpul akan langsung tercampur dengan zat
koagulan dan desinfektan pada bak koagulasi. Pada PDAM Tirta Dharma Kabupaten Bengkalis bak ini
memiliki dimensi panjang 10 m, lebar 1,5 m, dan tinggi 2 m.
Bak Flokulasi
Setelah air baku tercampur dengan zat koagulan akan terbentuk flok pada air atau gumpalan-gumpalan
pada air. Bak flokulasi pada PDAM Tirta Dharma terbuat dari beton dengan sistem Buffle Channal yaitu
saluran yang berbelok-belok dengan saluran opening berkisar 0,2 m sampai dengan 0,4 m. Dimensi bak
flokulasi Pada PDAM Tirta Dharama Kabupaten Bengkalis adalah . Proses flokulasi
yang terjadi bergantung pada panjangnya aliran yang terdapat pada bak flokulasi. Semakin panjang aliran
bak flokulasi menyebabkan flok yang terbentuk akan semakin banyak.
Bak Sedimentasi
Bak sedimentasi adalah suatu wadah yang berbentuk persegi dengan fungsi untuk mengendapkan air
yang telah mengalami flokulasi. Semakin berat suatu hasil flokulasi pengendapan yang terjadi akan
semakin cepat. Pada PDAM Tirta Dharma kabupaten Bengkalis berdimensi (Panjang) 10 m, (Lebar) 5 m,
Dan (Tinggi) 2 m. Bak sedimentasi ini terbuat dari beton dengan sistem aliran Buflle Channel. Bak
sedimentasi pada PDAM ini terdiri dari tiga tipe pengendapan yaituFree Settling (Tipe 1),Flocculent
Settling (Tipe 2), dan Zone Hindered Settling (Tipe 3).
Bak Filtrasi
Air yang telah mengalami sedimentasi merupakan air yang sudah bebas dari flok atau gumpalan-
gumpalan kasar. Gumpalan halus yang tidak bisa diendapkan akan diproses dalam bak filtrasi. Di dalam
bak filtrasi air ini disaring dengan menggunakan media saringan yang terbuat dari asbes dengan posisi
tube saling bersilangan selain itu pada akhir proses filtrasi juga menggunakan kerikil dan batu kuarsa
sebagai media filter agar kotoran halus yang tidak dapat mengendap di bak sedimentasi dapat tersaring
oleh media pasir sehingga air yang keluar dari bak filtrasi benar-benar bersih. Pada PDAM Tirta Dharma
Kabupaten Bengkalis dimensi bak filtrasi pada kedua (IPA) adalah 10 m x 2 m x 2 m.
Reservoir
Reservoir berfungsi untuk menampung air yang telah melalui proses filtrasi dan sebagai cadangan
penyimpanan air sementara waktu sebelum air itu didistribusikan. Reservoir yang digunakan pada kedua
instalasi pengolahan air PDAM ini adalah berjenis persegi dengan kapasitas total dari kedua IPA sebesar
810 atau 810.000 liter. Reservoir tabung yang terbuat dari baja memiliki kapasitas total sebesar
3.109,595 atau 3.109.595 liter.
Berdasarkan data dari pihak PDAM Tirta Dharama Kabupaten Bengkalis tahun 2013 air bersih yang
mampu diproduksi oleh kedua Instalasi Pengolahan Air (IPA) ini adalah sebesar 79.493.000 liter/bulan.
Jadi dalam seharinya PDAM Tirta Dharma Kabupaten Bengkalis rata-rata memproduksi air bersih sebesar
2.649.767 liter. Sedangkan kebutuhan air bersih pada tahun 2020 adalah sebesar 14.453.802 liter/hari.
Untuk pemenuhan air bersih pada tahun 2020 PDAM Tirta Daharma Kabupaten Bengkalis masih
kekurangan produksi air bersih sebesar 11.804.035 liter/hari.
Kualitas Air Bersih Yang Diproduksi Oleh PDAM Tirta DharmaKabupaten Bengkalis
Proses pemeriksaan air yang diproduksi oleh PDAM Tirta Dharama Kabupaten Bengkalis dilakukan oleh
petugas laboraturium PDAM Tirta Dharma dengan cara memeriksa sampel air yang telah diproduksi
sebelum didistribusikan kepada masyarakat. Hal ini dilakukan bertujuan agar air yang didistribusikan
kepada masyarakat telah layak untuk dikonsumsi dan telah memenuhi standar air bersih yang telah
ditetapkan oleh mentri kesehatan Republik Indonesia. Hasil analisa laboraturium pihak PDAM Tirta
Dharma Kabupaten Bengkalis adalah sebagai berikut.
Tabel 4. Hasil analisis laboraturium produksi air bersih PDAM Tirta Dharma
Kabupaten Bengkalis
Setelah Jaringan Pipa Distribusi
Standarisa Air Setelah Setelah
Uraian Sedimen Terde
si Baku Koagulasi Filtrasi Tengah Jauh
tasi kat
PH 6,5-8,5 3,65 3,78 3,28 7,04 7,28 6,89 7,29
Suhu Sesuai 28,8 30,6 30,6 27,8 30,2 30,6 309
Alam
Turbidity 5 12.44 3,39 1,33 2,40 2,66 3,27 3,27
Warna 25 70 20 20 15 20 20 20
TDS 500 35 164 163 231 246 259 273
Sisa 5 - 0,1 0,1 0,1 0,1 0.1 0,1
Khlorine
Dari hasil analisa laboraturium PDAM Tirta Dharma kabupaten Bengkalis kualitas air bersih yang
diproduksi oleh PDAM Tirta Dharma Kabupaten Bengkalis sudah memenuhi standar air bersih yang
distandarkan oleh pemerintah. Tingkat keasaman (Ph) yang distandarkan oleh pemerintah atau dinas
kesehatan Republik Indonesia adalah 6,5-8,5 dan Ph air yang diproduksi oleh PDAM Tirta Dharma
Kabupaten Bengkalis adalah 6,89-7,29. Suhu air yang distandarkan oleh pemerintah adalah sesuai
dengan suhu lingkungan dengan toleransi . Warna air yang ditetapkan oleh pemerintah adalah
maksimal sebesar 25 TCU, dan warna air hasil dari produksi PDAM Tirta Dharma kabupaten Bengkalis
adalah sebesar 20 TCU. Begitu juga halnya dengan tingkat turbidity atau kekeruhan yang diperbolehkan
oleh pemerintah adalah maksimal sebesar 5 NTU (Nephelo Metric Turbidity Unit), hasil produksi air bersih
PDAM Tirta Dharma Kabupaten Bengkalis memiliki tingkat turbidity atau kekeruhan sebesar 2,66-3,27
NTU. Kadar TDS (Total Dissolved Solid) menurut standar air bersih yang telah ditetapkan pemerintah
tahun 2010 adalah sebesar 500 mg/liter, pada air bersih PDAM Tirta Dharma Kabupaten Bengkalis kadar
TDS adalah sebesar 246-273 mg/liter. Gas Chlorine biasanya digunakan untuk desinfeksi pada proses
pengolahan air bersih, selain gas Chlor desinfeksi juga biasanya menggunakan kaporit, sisa gas Chlor
dan kaporit yang diperbolehkan oleh pemerintah adalah sebesar 5 mg/liter,pada PDAM Tirta Dharma
Kabupaten Bengkalis sisa gas Chlor adalah sebesar 0,1 mg/liter.
REFERENSI
Chay, Asdak,2007. “Pemberdayaan Sumber Daya Air”. Tri Media, Jakarta.
Kawamura, Susumu, 1991. Integrated Design of Water Treatment Facilites. John Willey & sons,Inc.
NewYork
Kurniawan,2012.”Air Bersih Dan Masyarakat”.Penebar Swadaya,Jakarta.
Kusnaedi,2007.”Mengolah Air Gambut Dan Air Kotor Untuk Air Minum”.Penebar Swadaya, Jakarta.
Noerbambang, S.,2005. Perencanaan dan Pemeliharaan Sistem Plembing. Pradya Paramita, Jakarta.
Silalahi. D.,1996. Pengaturan Hukum dan Sumber Daya Air di Indonesia.IKAPI,Bandung.
Sudarto,2000. “Matematika”.Pabelan,Surakarta.
Sutapa, 2011.Pengembangan Sistem Pengolahan Air Gambut Menjadi Air Bersih di Propinsi Kalimantan
Tengah “Prosiding Simposium Nasional Ekohidrologi”, Jakarta.
Sutrisno, C.,dkk,2010. “Teknologi Penyediaan Air Bersih”.Rineka Cipta.Jakarta
Abstrak
Perkembangan kawasan perkotaan yang cepat memunculkan permasalahan yaitu tumbuhnya kawasan
kumuh yang dibarengi dengan lambatnya penyediaan infrastrukutr dasar, diantaranya adalah fasilitas
sanitasi (air limbah domestik). Sanitasi merupakan salah satu aspek pembangunan yang merupakan
kebutuhan dasar bagi manusia dan berpotensi besar dalam pencemaran sumber daya air. Salah satu
kebijakan pembangunan sanitasi di Indonesia dilakukan dengan cara memperhatikan kebutuhan
masyarakat (demand driven) pada kawasan kumuh perkotaan. Pola pembangunannya memposisikan
masyarakat sebagai pelaku utama yaitu berperan aktif dalam perencanaan, pembangunan, pemanfaatan
dan pemeliharaan fasilitas. Penelitian ditujukan untuk mencari faktor-faktor yang dianggap penting oleh
masyarakat dalam pengelolaan sanitasi melalui metode Fishbein yang dilanjutkan dengan Importance
Performance Analysis (IPA) dengan diagram Cartesius. Lokasi penelitian adalah kawasan Bandung Raya
yang merupakan kawasan Ibukota Provinsi Jawa Barat. Diantara sepuluh faktor yang ditanyakan, faktor
pembiayaan menjadi faktor penting dan harus ditingkatkan, sedangkan faktor keterlibatan masyarakat,
dampak lingkungan dan dampak sosial adalah faktor yang penting dan sudah memuaskan. Hal ini
menunjukkan bahwa masyarakat di kawasan kumuh sudah memahami pentingnya pengelolaan sanitasi
meskipun dengan kemampuan yang ada.Masyarakat semakin terbuka bahwa penanganan sanitasi
memerlukan pengelolaan yang didukung dengan pembiayaan dan dibutuhkan keterlibatan masyarakat
dalam menciptakan dampak sosial dan lingkungan yang baik.
Kata kunci : sanitasi, demand driven, kumuh perkotaan, faktor penting
LATAR BELAKANG
Akses terhadap air minum dan sanitasi merupakan kebutuhan dasar manusia (UN, 2010). Data WHO
(2013) dalam Laporan Kemajuan Air Minum dan Sanitasi Dunia menyatakan bahwa tahun 2013 sekitar
768 juta penduduk dunia tidak mendapatkan akses terhadap air minum dan sekitar 2,5 milyar orang tidak
mendapatkan sarana sanitasi. Namun demikian terjadi penurunan prilaku buang air besar sembarangan
(BABS) dari tahun 1990 sebesar 24% menjadi 15 % di tahun 2011. Data Badan Pusat Statistik (2012)
menyatakan angka capaian sanitasi layak di Indonesia telah mengalami peningkatan dari sebesar 51.19%
pada tahun 2009 menjadi 55,60% pada tahun 2011, sementara target Millenium Development Goals
(MDGs) tahun 2015 adalah sekitar 62,41% (RPJMN, 2010/2014). Di Provinsi Jawa Barat yang memiliki
proporsi penduduk terbesar di Indonesia pada tahun 2012 sebesar 62,5% dan target tahun 2015 sebesar
70% (RPJMD, 2008/2013).
Jumlah penduduk Indonesia tahun 2011 mencapai 230 juta lebih (BPS, 2012) dan cenderung tinggal di
kawasan perkotaan dan berkembang dengan cepat. Lumanti (2004) mendefinisikan kawasan seperti ini
kawasan kumuh yang biasanya tidak hanya kekurangan sarana sanitasi, tetapi fasilitas lainnya seperti air
minum, drainase lingkungan dan penanganan persampahan. Dari aspek ekonomi cenderung masuk ke
dalam kategori miskin ditandai dengan penghasilan yang rendah dan bahkan tidak mempunyai pekerjaan.
Kondisi lingkungan yang tidak sehat baik fisik maupun sosial. Sanitasi ditujukan/diartikan sebagai
pengelolaan dan pembuangan yang aman dari buangan manusia (Parkinson et al., 2008).Dampak dari
kurangnya pelayanan sanitasi adalah munculnya penyakit bawaan sanitasi buruk seperti diare dan
pencemaran lingkungan khususnya pencemaran sumber air baku baik air tanah maupun air permukaan,
yang selanjutnya akan mengakibatkan dampak lanjutan seperti mempengaruhi terhadap pertumbuhan
anak (Checkley et al., 2008), kebugaran fisik dan fungsi kognitif (Guerrant et al., 1999; Niehaus et al.,
2002).
Upaya kebijakan yang telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia adalah diluncurkannya Program
Nasional Percepatan Pembangunan Sanitasi Permukiman (PPSP) untuk kurun waktu 2010-2014 dengan
target open defecation free (ODF) atau Stop BABS pada tahun 2014. Pola pembangunan dilakukan
melalui 2 pendekatan yaitu pertama berdasarkan target kebijakan (supply driven) yang lebih bersifat Top-
Down (diarahkan oleh pemerintah) yang sudah dilakukan bertahun-tahun dan kedua berdasarkan kepada
kebutuhan pengguna (demand driven). Pola pembangunan Top-Down atau diarahkan dan disebut juga
pendekatan konvensional mempunyai karakteristik melupakan keinginan konsumen, promosi yang tidak
efektif, kepedulian publik lemah dan tebatasnya keterlibatan para kunci pelaku (Schertenleib, 2002).
Sebaliknya pola pembangunan yang kedua (demand driven) dilakukan adalah melalui pelibatan berbagai
pelaku terutama masyarakat sebagai pengguna. Konsep pelibatan ini mengutamakan keterlibatan aktif
masyarakat dalam inisiatif dan tanggung jawab terhadap pembangunan sarana sanitasi yang dilakukan
melalui pemberdayaan masyarakat dan diarahkan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (Dayal et al.,
2000).
Secara prinsip sistem desentralisasi/tidak terpusat berbasis masyarakat merupakan pilihan yang secara
teknis dan ekonomi memungkinkan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (Paterson et al., 2007).
Beberapa pengalaman pengembangan sanitasi melalui pemberdayaan masyarakat banyak dilakukan di
negara-negara sedang berkembang seperti di Ghana (Osumanu, 2010), Peru (Hubbard et al., 2011),
Bostwana (Bolaane dan Ikgopoleng, 2011), Bangladesh (Ali dan Stevens, 2009), Salvador (Santos et al.,
2011), Kibera-Kenya (Schouten et al., 2010), Vanuatu (Stitt, 2005), Southern Etiopia (Baye et al., 2012),
dan lain-lain. Dari pengalaman ini menunjukkan bahwa perencanaan yang dilakukan sesuai pengguna
secara teknis dan pengelolaan lebih efektif (Deverill dan Smout, 2000; Mutume, 2004).
Keberlanjutan menjadi indikator utama berhasil tidaknya pembangunan yang dipengaruhi oleh faktor-
faktor penentu. Setiawati et al., (2013) merumuskan beberapa faktor yang mempengaruhi
keberlangsungan sistem sanitasi berkelanjutan yaitu terdiri dari pemilihan teknologi, pembiayaan,
lingkungan, kelembagaan dan budaya masyarakat. Prinsipnya keberlanjutan sistem sanitasi mempunyai
dimensi lingkungan, institusi, finansial, teknis dan sosial (WSSCC, 2000). Keberlanjutan sanitasi dapat
didefinisikan sebagai suatu pengelolaan dan pengolahan buangan tinja yang baik dalam jangka panjang
(Chinyama et al., 2012). Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi/menghambat pelaksanaan pola
sanitasi melalui pemberdayaan masyarakat adalah bahwa sanitasi belum menjadi prioritas bagi para
pemangku kepentingan, kurangnya pembiayaan, teknologi yang tidak tepat guna dan sulitnya pembagian
peran (Isunju et al., 2011; Hubbard et al., 2011; Schouten dan Mathenge, 2010; Cumming, 2008).
Jenkins dan Curtis (2005) motivasi konsumen untuk mendapatkan sanitasi dapat dikembangkan dari
beberapa teori seperti akhir dari rantai (mean-end chains), hubungan harapan dan kenyataan (belief-
attitude relation), teori perilaku yang direncanakan (planned behaviour), model pembuatan keputusan
konsumen orientasi tujuan (goal oriented consumer decision making model), inovasi adopsi dan difusi
(adoption and diffusion innovations). Penelitian di Benin dan Ghana membuktikan bahwa motivasi
masyarakat untuk menggunakan toilet paling besar ditentukan oleh parameter prestise, meningkatkan
kenyamanan, keselamatan, kebersihan, danketertiban.
Berdasarkan gambaran inilah penelitian ini ditujukan untuk mengidentifikasi pelaksanaan pengelolaan
sanitasi di kawasan kumuh dan mencari faktor-faktor yang dianggap penting oleh masyarakat di kawasan
kumuh sebagai pengguna dalam pengelolaan sanitasi.
METODOLOGI STUDI
1. Disain Penelitian
Disain penelitian ini adalah konklusif deskriptif karena menjelaskan karakteristik satu atau lebih
variabel secara terstruktur dan spesifik, untuk membantu dalam pengambilan keputusan atas suatu
masalah. Analisis yang digunakan adalah lebih bersifat kuantitatif (Firdaus, 2012). Tahapan
penelitian dapat dilihat pada Gambar 1 di bawah.
2. Variabel Penelitian
Variabel yang akan disurvei terbagi 2 bagian yaitu :
1. Variabel yang menjelaskan gambaran umum responden dan fasilitas pengelolaan sanitasi :
a. Identitas Responden
b. Pembuangan lumpur tinja
c. Tangki Septik
d. Lainnya, seperti : pemahaman sanitasi, dan wabah penyakit (diare)
3. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian adalah kawasan kumuh perkotaan di Kawasan Bandung Raya. Pemilihan lokasi
mengacu pada beberapa kriteria yaitu :
1. Kepadatan penduduk. Idealnya kepadatan penduduk maksimum adalah 75 jiwa per Ha (WHO,
2010), penelitian ini ditujukan pada kepadatan penduduk lebih dari 75 jiwa per Ha/kelurahan.
2. Dinyatakan sebagai kawasan kumuh.
3. Area Rawan Sanitasi, menurut studi Environmental Health Risk Assessment (EHRA) yang
dilakukan oleh Kabupaten/Kota dalam yang menggambarkan kondisi sanitasi.
4. Karakteristik kawasan adalah perkotaan.
Kenyataan Harapan
5. Survey Lapangan
Waktu pelaksanaan survey atau pengumpulan data pada tanggal 22 Juli – 13 September 2013.
Selain mengisi kuesioner, responden juga diajak diskusi/interview untuk memberikan tambahan
penjelasan pertanyaan di kuesioner.
6. Analisis Data
Data gambaran unum dianalis dengan statistik deskriptif, sedangkan variabel kelompok kedua akan
diolah dengan menggunakan model Fishbein dan Importance Performance Analysis (IPA)melalui
diagram cartesius.
6. Swasta
2,40 2,50 2,60 2,70 2,80 2,90 3,00 3,10 6. Swasta
3,90
2. Peraturan 8. Gender
7. Budaya
7. Budaya
5. Teknologi3,80
1. Kelembagaan 8. Gender
3,70
9. Dampak Sosial
3,60
10. Dampak Lingkungan
Kuadran III Kenyataan Kuadran IV
meskipun dengan kondisi seadanya. Sekitar 88,8% masyarakat memiliki fasilitas WC pribadi yang
dilengkapi dengan tangki septik. Namun demikian, masyarakat belum mampu mengelola atau
memelihara tangki septiknya sendiri dimana hasil survei menggambarkan tidak dilakukannya
pengurasan tangki septik yaitu sebesar 44,9% masyarakat menyatakan tidak tahu dan sebesar
40,9% tidak pernah dikuras. Sampai dengan saat ini, pemerintah belum mampu mengatasi masalah
pembiayaan sanitasi. Alokasi anggaran untuk sanitasi relatif lebih kecil dari pada air minum (Isunju et
al., 2011; Okot-Okomu dan Nyenje, 2011; Joyce et al., 2010). Pembiayaan untuk penyediaan
sanitasi rata-rata di Indonesia dari kabupaten/kota kurang dari 2% PAD (WSP, 2009). Dengan
kondisi ini membuktikan bahwa pembiayaan untuk sanitasi adalah faktor penting dan harus
ditingkatkan terus.
Teknologi pengolahan dan pembuangan sanitasi telah dikembangkan dalam upaya menangani
masalah sanitasi di kawasan kumuh perkotaan, tetapi semuanya dapat berkelanjutan jika berfungsi
sebagai bagian/elemen dalam suatu sistem besar (Katukiza et al., 2012).Keberlanjutan adalah
pemeliharaan sesuatu berjangka panjang (Carden et al., 2009). Dalam hal ini keberlanjutan sanitasi
dapat didefinisikan sebagai pengelolaan dan pembuangan yang aman dari buangan manusia jangka
panjang.Kepadatan penduduk, pengaturan permukiman, tata letak lahan, ketersediaan air,
pendapatan rumah tangga, kepemilikan dan sosio budaya adalah faktor-faktor kunci yang tidak boleh
dihindari (Avvannavar dan Mani, 2008; Mara, 2008). Melihat kondisi sosial, ekonomi dan fisik
kawasan kumuh yang padat, tidak teratur dan sempit, sistem desentralisasi/tidak terpusat berbasis
masyarakat merupakan pilihan yang secara teknis dan ekonomi memungkinkan bagi masyarakat
berpenghasilan rendah (Paterson et al., 2007). Dengan tersedianya fasilitas untuk BAB di setiap
rumah diperlukan fasilitas pengumpulan dan pengolahan yang lebih baik. Penyediaan sanitasi
individual di kawasan kumuh dinilai kurang fisibel karena kepadatan penduduk dan tingkat
kemiskinan (Schouten dan Mathenge, 2010), demikian juga dengan sewerage kota karena terhitung
mahal, memerlukan banyak air dan posisi perumahan yang tidak teratur menyulitkan dalam jaringan.
Kuadran II, faktor penting dan memuaskan (harus dipertahankan) adalah Keterlibatan Masyarakat,
Dampak Sosial dan Dampak Lingkungan.
Masyarakat secara sadar dan berpatisipatif secara sukarela (Bryant et al., 1987) bahwa mereka
harus menyelesaikan masalah sanitasinya sendiri untuk menghindari munculnya dampak sosial
maupun lingkungan, seperti munculnya penyakit bawaan sanitasi buruk seperti diare dan
pencemaran lingkungan khususnya pencemaran sumber air baku baik air tanah maupun air
permukaan, yang selanjutnya akan mengakibatkan dampak lanjutan seperti mempengaruhi terhadap
pertumbuhan anak (Checkley et al., 2008), kebugaran fisik dan fungsi kognitif (Guerrant et al., 1999;
Niehaus et al., 2002). Pemahaman masyarakat di lokasi ini terhadap sanitasi cukup tinggi yaitu
sebesar 85,9% memahami dampak buruk buang air besar sembarangan (BABS)yang diperoleh
melalui penyuluhan (41,3%) maupun secara mandiri (58,7%). Sosial budaya yang terdiri dari agama,
budaya, kepercayaan, kebutuhan dan pemilihan mempunyai peran penting dalam pemanfaatan,
operasi dan pemeliharaan (Schouten dan Mathenge, 2010).
Bentuk fisik dari kesadaran masyarakat terhadap sanitasi meskipun terbatas adalah melalui
penyediaan fasilitas secara mandiri menggunakan WC/jamban individu (88,8%) yang dilengkapi
dengan kloset jongkok leher angsa (79,7%), kloset duduk leher angsa (15,9%) dan tangki septik
(45,3%). Dengan ini kondisi ini diperlukan alternatif penanganan yang murah dan mudah serta tepat
diterapkan di kawasan kumuh yang memiliki kondisi fisik yang khas yaitu kepadatan penduduk,
pengaturan permukiman, tata letak lahan, dan ketersediaan air (Avvannavar dan Mani, 2008; Mara,
2008). Sistem pengolahan sanitasi secara desentralisasi yang dikelola secara komunal merupakan
alternatif penanganan sanitasi di kawasan kumuh (Schouten dan Mathenge, 2010). Dukungan
pemerintah mulai tumbuh dengan munculnya kebijakan pengelolaan sanitasi di kawasan kumuh,
dilakukan melalui pendekatan pemberdayaan masyarat dengan memperhatikan kebutuhan
masyarakat (demand driven). Konsep pelibatan ini mengutamakan keterlibatan aktif masyarakat
dalam inisiatif dan tanggung jawab terhadap pembangunan sarana sanitasi yang dilakukan melalui
pemberdayaan masyarakat dan diarahkan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (Dayal et al.,
2000).
Dengan dikelolanya sanitasi oleh masyarakat cukup memberikan dampak sosial yang baik di
lingkungan masyarakat. Tercatat di lokasi tersebut sebanyak 90,0% masyarakat menyatakan tidak
menderita diare. Kemudian pemanfaatan WC secara komunal atau bersama-sama sudah berkurang
(7%). Kondisi ini menunjukan tingkat privatisasi terhadap sanitasi dirasakan masyarakat sangat
tinggi dan sulitnya lahan untuk MCK umum.
Kuadran III, faktor tidak penting dan belum memuaskan (tidak perlu) adalah Kelembagaan,
Peraturan, Teknologi dan Peran Swasta. Masyarakat menyadari hasil pengelolaan sendiri sudah
mampu menangani masalah dampak sosial dan lingkungan. Oleh sebab itu masyarakat menilai
aspek kelembagaan pemerintah, peraturan, teknologi dan peran swasta merupakan faktor yang tidak
penting. Masyarakat sudah mampu melakukan sendiri, sehingga peran kelembagaan tidak
diperlukan lagi oleh masyarakat. Demikian pula halnya mengenai peraturan, peraturan yang ada
dinilai sudah merasa cukup bahkan tidak tahu adanya peraturan tetapi masyarakat sudah
memahami sendiri pentingnya sanitasi. Tidak diperlukan lagi adanya peraturan, hal ini menunjukan
tingkat kejenuhan masyarakat terhadap kinerja pemerintah. Demikian pula halnya dukungan lain
seperti teknologi dan peran swasta, masyarakat tidak memahami adanya potensi pengembangan
teknologi dan peran swasta.
Kuadran IV, faktor tidak penting tetapi memuaskan (berlebihan) adalah peran Budaya dan Gender.
Aspek budaya dan gender tidak dianggap penting di kawasan kumuh perkotaan, hal ini diakibatkan
sudah bergesernya budaya dan emansipasi di kalangan masyarakat perkotaan. Meskipun dinilai
bukan aspek penting secara kenyataan fasilitas yang ada sudah memberikan privatisasi dan
perlakukan yang sama bagi seluruh lapisan masyarakat
KESIMPULANDAN REKOMENDASI
Berdasarkan hasil survei dan analisis data dapat disimpulkan bahwa :
1. Perilaku Buang Air Besar Sembarangan (BABS) sudah dapat diatasi. Hal ini sebagai dampak
dari adanya pemahaman masyarakat terhadap dampak buruk dari buang air besar sembarangan
(BABS).
2. Fasilitas Sanitasi sudah dimiliki oleh setiap rumah dengan adanya WC/jamban individu meskipun
kondisinya kurang memenuhi syarat, dilengkapi dengan kloset jongkok leher angsa atau kloset
duduk leher angsa.
3. Dampak lingkungan (pencemaran) masih berpotensi besar karena penggunaan tangki septik
tidak dilakukan dengan pemeliharaan yang baik serta kualitas tangki septiknya sendiri masih
diragukan.
4. Faktor-faktor penting dalam pengelolaan sanitasimenurut masyarakat di kawasan kumuh
tersebut adalah biaya, keterlibatan masyarakat, dampak sosial dan dampal lingkungan.
Dengan kondisi di atas, beberapa rekomendasi dalam memperbaiki pengelolaan sanitasi yang lebih baik
diantaranya adalah :
1. Penanganan sanitasi di kawasan kumuh memerlukan penanganan serius mengingat berbagai
kendala di lapangan baik bersifat fisik, ekonomi dan sosial.
2. Dukungan pembiayaan dan program dari pemerintah harus ditingkatkan untuk menutupi
ketidakmampuan masyarakat serta sebagai bagian dari pelayanan publik
3. Diperlukan kajian teknis lebih detil diantaranya kualitas tangki septik. Disamping itu perlu ditinjau
kondisi lingkungan sekitar kawasan untuk melihat dampak lingkungan yang terjadi.
REFERENSI
Ali M & Stevens L. (2008)Integrated approaches to promoting sanitation : A case study of Faridpur,
Bangladesh, Presented at the Water and Sanitation in International Development and Disaster
Relief (WSIDDR) International Workshop Edinburgh, Scotland, UK, 28–30 May
Avvannavar SM, Mani M. A (2008) Conceptual model of people's approach to sanitation. SciTotal
Environ;390:1-12
Baye S., Kloos H., Mulat W., Assyie A., Gullis G., Kumie A., Yirsaw B. (2012) Assessment on the
Approaches Used for Water and Sanitation Program in Southern Ethiopia, Springer Science, Water
Resource Management 26:4295–4309
Biro Pusat Statistik (BPS), 2012
Biro Pusat Statistik (BPS) (2011)Jawa Barat Dalam Angka
Bolaane B., Ikgopoleng H. (2011) Towards improved sanitation : Constraints and opportunities in
accessing waterborne sewerage in major villages of Botswana, Habitat International 35
Carden, K., Winter, K., Armitage, N., (2009). Sustainable urban water management in Cape Town, South
Africa: Is it a pipe dream? In: Proceedings of the 34th WEDCInternational Conference. Addis
Ababa, Ethopia.
Checkley W., Buckley G., Gilman R., AssisA., GuerrantR., MorrisS., MolbekK. (2008) Multi-country
analysis of the effects of diarrhoea on childhood stunting, Int. J. Epidemiol. 37 (4), 816–830.
Chinyama, A., Chipato, P.T. , Mangore, E., (2012). Sustainable sanitation systems for low income urban
areas-A case of the city of Bulawayo, Zimbabwe. Physics and Chemistry of the Earth.
Cumming O. (2008) Thesanitation imperative: A strategic response to a development crisis, Water and
Sanitation in International Development and Disaster Relief (WSIDDR), International Workshop
Edinburgh, Scotland UK.
Dayal R., van Wijk C., Mukherjee N. (2000) Methodology for participatory assessments with communities,
institutions and policy makers: Linking sustainability with demand, gender and poverty. World
Bank,Washington
Deverill P. & Smout I. (2000) Designing to meet demand: Putting users first. 26th WEDC conference,
water, sanitation and hygiene, challenges of the millennium. Water, Engineering and Development
Centre, Loughborough University, Dhaka
Firdaus M Azis. (2012) Metode Penelitian, Jelajah Nusa, Cetakan Pertama
GuerrantD.I., MooreS.R., LimaA.A., PatrickP.D., SchorlingJ.B., GuerrantR.L. (1999) Association of early
childhood diarrhea and cryptosporidiosis with impaired physical fitness and cognitive function four-
seven years later in a poor urban community in northeast Brazil. Am. J. Trop. Med. Hyg. 61, 707–
713.
Hubbard B., John S., Richard G., Virginia B., Raul S., Carlos C. (2011) A community demand-driven
approach toward sustainable water and sanitation infrastructure development, International Journal
of Hygiene and Environmental Health.
Isunju J.B., Schwartz K., Schouten M.A., Johsnon W.P., van Dijk M.P.(2011) Socio-economic aspects of
improved sanitation in slums : reviews, Journa Public Health 125, 368-376.
Jenkins, M.W., Curtis, V., (2005). Achieving the ‘good life’: why some people want latrines in rural Benin.
Social Science and Medicine 61 (11), 2446–2459.
Joyce J, Granit J, Frot E, Hall D, Haarmeyer D, Lindström A. The impact of the global financial crisis on
financial flows to the water sector in Sub-Saharan Africa. Stockholm:SIWI; 2010
Jones J.A.A. (2010) Water Sutainability A Global Perspective, London : Hodder Education.
Robert M. Kaplan & Dennis P. Saccuzzo (1993)Phsycological Testing principles, application, and issues;
Brooks/Cole Publishing Company, Pacific Grove, California, p: 126
Joss A., Zabczynski S., Göbel A., Hoffmann B., Löffler D., McArdell C.S. (2006) Biological degradation of
pharmaceuticals in municipal wastewater treatment: proposing a classification scheme. Water Res
2006;40(8):1686–96.
Katukiza A.Y., Ronteltap M., Niwagaba C., Kansiime F., Lens P.N.L. (2010) Selection of sustainable
sanitation technologies for urban slums — a case of Bwaise III in Kampala, Uganda. Sci Total
Environ (409):52–62.
Katukiza A.Y., Ronteltap M., Niwagaba C.B., Foppen J.W.A., Kansiime F., Lens P.N. (2012) Sutainable
sanitation technology options for urban slums, Biotechnology Advances.
Kelompok Kerja Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (POKJA AMPL), 2012
Libralato G., Ghirardini A.V., Avezzu F. (2012) To centralize or to decentralize: An overview of the most
recent trends in waste water treatment management, Journal of Environmental Management.
Lumanti (2004) What is s slum ?URL: www.ngoforum.net
Mara D., Lane J., Scott B., Trouba D. (2010) Sanitation and health, PLoS Med;7(11):1–7.
Mara D. (2008) Sanitation now: what is good practice and what is poor practice? Proceedingsof
International IWA Conference 19–21 May;. Wageningen, the
Netherlands.McCommon C. (1993) Community management of rural water supply and sanitation
services.Water and sanitation for Health (WASH) Technical Report No. 67. Washington DC: United
States Agency for International Aid.
Murray B. (2011) Effective emergency WASH response using demand-driven methods: A case study from
Afghanistan. 35th WEDC international conference, Loughborough, UK
Murphy M.H., Edward A.M., Khosrow F. (2009)Appropriate Technology-A comprehensive approach for
water and sanitation in the developing world, Technology in Society.
Mutume G. (2004) Rough road to sustainable development: Water, sanitation and housing among Africa’s
environment priorities. Africa Renewal 18(2):19
Okot-Okumu J, Nyenje R. Municipal solid waste management under decentralisation in Uganda. Habitat
Int 2011;35:537–43.
Osumanu Issaka Kanton (2010)Community involvement in urban water and sanitation provision : The
missing link in partnerships for improved service delivery in Ghana, Journal of African Studies and
Development Vol. 2(8), pp. 208-215.
Ottoson J. & Stenström T.A. (2003)Faecal contamination of grey water and associated microbial risks.
Water Res 2003;37(3):645–55.
Parkinson, J., Tayler, K., Colin, J., Nema, A., (2008). A Guide to Decisionmaking: Technology Options for
Urban Sanitation in India. WSP/Ministry of Urban Development (Government of India), New Delhi.
Paterson C., Mara D., Curtis T. (2007) Pro-poor sanitation technologies. Geoforum;38:901e7.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010-2014
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Provinsi Jawa Barat, 2008-2013
Robert M. Kaplan & Dennis P. Saccuzzo (1993) Phsycological Testing principles, application, and issues;
Brooks/Cole Publishing Company, Pacific Grove, California, p: 126
Santos Andreia C., Roberts Jennifer A., Barreto Mauricio L., Cairncross Sandy (2011) Demand for
sanitation in Salvador, Brazil : A hybrid choice approach, Journa Social & Medicine 72 , 1325-1332.
Schouten dan Mathenge (2010)Communal sanitation alternatives for slums: A case study of Kibera,
Kenya, Physics and Chemistry of the Earth.
Schertenleib, R. (2002). Principles and implications of household centred-approach in environmental
sanitation. EcoSanRes.
Setiawati Endang, Suprihanto Notodarmojo, Prayatni Soewondo, Agus Jatnika Effendi, Bambang
Widjanarko Otok (2012)Infrastructure development strategy for sustainablewastewater system by
using SEM Method (Case study Setiabudi and Tebet Districts, South Jakarta), The 3rd International
Conference on Sustainable Future for Human Security SUSTAIN.
Stitt Tyler (2005) Evaluation of a rural sanitation program in Vanuatu with management recommendations,
Journal of Rural and Tropica Pubic Health 4:1-9.
United Nation (2010) Water for sustainable urban human settlements. Briefing note
http://unesdoc.unesco.org/images/0021/002112/211294e.pdf Accessed 11 August 2012
Water Supply and Sanitation Collaborative Council (WSSCC). (2000). Summary report of Bellagio expert
consultation on environmental sanitation in the 21st century, 1e4 February 2000. Duebendorf:
Swiss Federal Institute for Environmental Science and Technology.
Wellington Dibibhuka Thwala (2009)
World Health Organization/WHO (2008) Joint report on water supply and sanitation progress. UNICEF,
Geneva and World Health Organization, New York
World Health Organization/WHO (2010)Progress on drinking water and sanitation. Joint Monitoring
Program Report (JMP).
World Health Organization/WHO (2013)Progress on drinking water and sanitation. Joint Monitoring
Program Report (JMP).
Abstrak
Pengelolaan sampah di Kampus Universitas Muhammadiyah Malang hingga saat ini menggunakan pola
pengelolaan kumpul-angkut dan buang atau masih mengikuti paradigma lama. Pola ini telah dilakukan
sejak lama, diperlukan evaluasi dan pengembangan yang mengacu pada UU No. 18 tahun 2008 tentang
pengelolaan sampah. Pengelolaan sampah di masa mendatang diarahkan untuk mendukung terciptanya
green and clean campus (GCC) yang menjadi idaman dan sedang dicanagkan oleh Universitas
Muhammadiyah Malang.
Diawali dengan penelitian mengenai karakteristik sampah yang dibuang setiap hari, mengetahui jumlah
sampah pada setiap titik atau bangunan di lingkungan Kampus Universitas Muhammadiyah Malang.
Berbagai upaya yang telah dilakukan seperti pemilahan sampah (plastik, kertas dan sampah organik),
menyediakan mesin pemotong kertas, komposting, menyediakan TPS dan pemanfaatan biogas.
Selanjutnya mengacu pada informasi tersebut, dilakukan evaluasi dan pengembangan pengelolaan
persampahan. Pengelolaan sampah yang mengacu pada pengelolaan sampah yang sesuai dengan
paradigma baru, yakni meminimalkan jumlah sampah yang harus dibuang ke Tempat Pemrosesan Alhir
melalui penerapan konsep 3R (Reuse, Reduce dan Recycle).
Dengan demikian melalui kegiatan ini diharapkan diperoleh informasi karakteristik sampah dan kondisi
pengelolaan sampah saat ini dan sekaligus dilakukan pengembangan pengelolaan sampah yang
memungkinkan adanya penerapan konsep 3R sehingga clean and green campus yang dicanangkan oleh
Universitas dapat dirasakan dan dinikmasti oleh segenap warga kampus.
Kanta kunci: Pengelolaan sampah, Reduce, Reuse, Recycle.
LATAR BELAKANG
Salah satu tolok ukur keindahan dan kenyamanan suatu kampus adalah bagaimana kebersihan
lingkungan maupun bangunan terutama dari sampah yang dibuang oleh pemakai dalam hal ini adalah
civitas akademika Universitas Muhammadiyah Malang. Terlebih kampus yang mengambil nuansa putih,
tentunya apabila kebersihannya tidak dijaga maka sangat mudah untuk dilihat atau menganggu keindahan
kampus. Disamping itu jumlah mahasiswa dan karyawan serta dosen di Kampus III Universitas
Muhammadiyah Malang juga sebagai salah satu faktor yang sangat mempengaruhi dan berperan dalam
menjaga keindahan suatu lingkungan kampus. Pengelolaan sampah yang baik adalah salah satu upaya
yang dapat dilakukan untuk mewujudkan suasana kampus yang indah, bersih dan nyaman. Hal tersebut
memerlukan informasi yang lebih mendalam mulai dari bagaimana karakteristik sampah, jumlah timbulan
sampah dan apakah pemilihan pengelolaan yang ada sudah tepat.
Estimasi jumlah timbulan sampah tergantung dari jumlah penduduk (mahasiswa dan karyawan) dan
banyaknya sampah yang dibuang setiap harinya (SNI S 04-1993-03). Sementara itu menurut Bilgili dkk.
(2006), secara umum jumlah sampah padat perkotaan akan terus bertambah akibat adanya peningkatan
standar hidup dan perkembangan teknologi. Peningkatan jumlah sampah di kampus, mendorong
universitas untuk melakukan pengembangan pengelolaan sampah secara terpadu, yang meliputi kegiatan
daur ulang, pengomposan, insinerasi, atau pengurugan (landfilling). Namun di antara kegiatan tersebut,
pengurugan sampah adalah alternatif yang banyak dipilih karena dianggap lebih murah dibanding
insinerator atau pengomposan (Warith dkk., 2005). Walaupun kecenderungan pengelolaan sampah
sudah bergeser pada upaya 3R, namun sebagian besar jumlah sampah masih diurug dan ditimbun dalam
landfill atau lahan urug (Poulsen dan Moldrup, 2005). Hal yang sama juga dikemukakan oleh Damanhuri
dkk. (2010), dimana sebagian besar sistem pengelolaan sampah perkotaan masih mengandalkan adanya
lahan urug.
Keberadaan kampus III Universitas Muhammadiyah Malang yang terus mengalami peningkatan baik
jumlah mahasiswa, bangunan, kualitas akademiknya, dan sering sebagai rujukan atau kunjungan dari
berbagai pihak, menuntut adanya perbaikan dan pengembangan dalam segala hal termasuk dalam hal
pengelolan sampah di kawasan kampus III tersebut.
Pengelolaan sampah adalah sebagai disiplin yang terkait dengan bagaimana cara mengontrol timbulan,
penyimpanan, pemindahan, pengumpulan, transportasi, pengolahan, dan pembuangan sampah dengan
cara yang sesuai dengan prinsip-prinsip terbaik dari kesehatan masyarakat, ekonomi, teknik, konservasi,
estetika, dan pertimbangan lingkungan lainnya, dan juga responsif terhadap sikap masyarakat
(Tchobanoglous dkk., 1993).
Sedangkan apabila mengacu pada Undang-undang tahun 2008, pengelolaan sampah adalah kegiatan
yang sistematis, menyeluruh, dan berkesinambungan yang meliputi pengurangan dan penanganan
sampah. Di samping itu pengelolaan sampah diselenggarakan berdasarkan asas tanggung jawab, asas
berkelanjutan, asas manfaat, asas keadilan, asas kesadaran, asas kebersamaan, asas keselamatan,
asas keamanan, dan asas nilai ekonomi. Keberadaan undang-undang tersebut tentunya akan
memberikan arahan dan perbaikan dalam hal pengelolaan sampah terutama di tingkat pemerintah kota
dan kabupaten yang mana selama ini banyak masalah dan kendala-kendala yang terjadi. Ketersediaan
dana dan sumber daya lainnya adalah salah contoh masalah yang dijumpai hampir di semua pemerintah
kota maupun kabupaten di Indonesia, yang mengakibatkan pengelolaan sampah menjadi kurang optimal.
Mengacu pada uraian diatas, maka permasalahan studi adalah pengelolan persampahan di Kampus III
Universitas Muhammadiyah Malang masih belum maksimal terutama apabila mengacu pada paradigma
baru pengelolaan sampah sehingga perlu dikembangkan metode pengelolaan yang tepat dan dapat
diaplikasikan dalam penanganan sampa di kampus III UMM. Sehingga tujuan studi secara umum adalah
menghasilkan suatu metode pengelolaan sampah yang lebih tepat dilengkapi dengan Usulan Sistem
Pengelolaan Sampah sehingga metode yang dihasilkan dapat diaplikasikan dalam penganngana sampah
di suatu kampus.
METODOLOGI STUDI
Kegiatan studi dilakukan dalam 3 (tiga) tahap.
Kegiatan studi tahap ke-1 : Targetnya adalah mendapatkan informasi karakteristik sampah di Kampus III
UMM. Adapun kegiatan yang dilakukan antara lain mengamati bagaimana cara pengumpulan dan
pewadahan sampah di setiap titik penempatan bak sampah. Dilanjutkan dengan mengukur jumlah
sampah setiap hari dan melakukan analisis karakterisasi sampah yang dilakukan beberapa hari untuk
mengetahui kecenderungan sampah yang ada.
Sedangkan kegiatan studi pada tahap ke-2 : Mengetahui pengelolaan sampah saat ini, mulai dari sumber
sampah yang ada di kampus III UMM, mengetahui cara pengumpulan dan pewadahan serta
pengangkutan sampah yang berlangsung hingga saat ini.
Adapun kegiatan studi tahap ke-3 : Mengembangkan pengelolaan sampah untuk masa mendatang, yang
diawali dengan menganalisis kondisi saat ini dan dilanjutkan dengan merencanakan semua fasilitas yang
dibutuhkan termasuk peralatan, tenaga kerka serta biaya operasional yang dibutuhkan.
Tampak bahwa untuk mendukung pengelolaan sampah yang aman bagi lingkungan kampus dan
masyarakat, banyak komponen yang mempengaruhi yaitu kondisi lingkungan, karakteristik sampah,
jumlah dan perilaku manusia, serta teknologi yang digunakan dalam pengelolaan.
komposisi dari hasil pengamatan seperti ditunjukkan pada Tabel 1, Tabel 2, dan Tabel 3.
Tabel 1. Pengamatan komposisi sampah di Perpustakaan Kampus III UMM
Komposisi (%)
No Waktu Pengamatan
Organik Kertas Plastik
1 Senin 47 34 19
2 Selasa 50 31 19
3 Rabu 30 51 19
4 Kamis 9 36 55
Rata-rata 34 38 28
REFERENSI
Bilgili, M.S., Demir, A., dan Ozkaya, B. (2008) : Influence of Leachate Recirculation on Aerobic and
Anaerobic Decomposition of Solid Waste, Journal of Hazardous Material, 143, 177-183.
Damanhuri, E. (2008) : Landfilling Limbah, Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan Institut Teknologi
Bandung.
Damanhuri, E., Handoko, W., dan Padmi, T. (2010) : Municipal Solid Waste Management in Indonesia, 55-
112 dalam Agamuthu, P., dan Tanaka, M, Editor, Municipal Solid Waste Management in Asia and
the Pasific Islands, Penerbit ITB.
Poulsen, T.G, dan Moldrup, P. (2005) : Factors Affecting Water Balance and Percolate Production for a
Landfill in Operation, Waste Management & Research, 23, 72 - 78.
Qasim, S.R., dan Chiang, W. (1994) : Sanitary Landfill: Generation, Control and Treatment, Technomic
Publishing Company, Inc.
Tchobanoglous, G., Theisen, H., Vigil, S., 1993. Integrated Solid Waste Management Engineering
Principles and Management Issues. McGraw-Hill Publishers, New York.
Visvanathan, C., Trankler, J., Kuruparan, P., dan Xiaoning, Q. (2003) : Effects of Monsoon Conditions on
Generation and Composition of Landfill Leachate -Lysimeter Experiments with Various Input and
Design Features, Proceedings Sardinia 2003, Ninth International Waste Management and Lanfill
Symposium, S Margherita di Pula, Cahliari, Italy.
Warith, M., Li, X., dan Jin, H. (2005) : Bioreaktor Landfills : State of the Art Review, Emirats Journal for
Engineering, 10, 1-14.
Abstrak
Percobaan ini diangkat dari permasalahan adanya genangan air hujan di halaman depan rumah Prof. Ir.
Hardjoso Prodjopangarso yang terletak di jalan Yos Sudarso Nomor 23 Yogyakarta yang berasal dari jalan
raya dan kanan kiri rumah beliau yang letaknya lebih tinggi. Dengan adanya 1 pipa resapan diameter 5
inch, panjang 3,0 m, bisa memasukkan air cukup deras ke dalam tanah. Percobaan ini bertujuan untuk
menentukan formula daya resap tanah (k) dan formula debit pengisian air hujan (Q) ke dalam pipa
resapan pada tanah berpasir. Percobaan dilakukan dengan cara menanam pipa kedalam tanah dengan
diameter (D) 4 inch sebanyak 3 buah dengan panjang (l) masing-masing 1,0 m, 2,0 m, dan 3,0 m, yang
kemudian diisi dengan air pada berbagai macam variasi parameter percobaan seperti: daya resap tanah
(k), tinggi air dalam pipa (h), debit pengisian air (Q), percepatan grafitasi (g), luas pipa (A), waktu
pengisian air dalam pipa (t1), dan waktu pengosongan air dalam pipa (t2). Berdasarkan hasil percobaan
2
maka diperoleh formula daya resap: k 0,007 h 0,001h . Sedangkan formula debit pengisian air
k
melalui pipa: Q CD .A. g.h , dengan C D 1,067 adalah koefisien debit. Dua formula
g .h
inilah yang dapat digunakan untuk menghitung daya resap tanah dan debit pengisian air pada pipa
resapan air hujan pada tanah berpasir.
Kata Kunci: Pipa resapan, air hujan, tanah berpasir
LATAR BELAKANG
Pipa resapan air hujan telah diaplikasikan oleh Prof. Ir. Hardjoso Prodjopangarso di halaman depan rumah
beliau yang terletak di jalan Yos Sudarso Nomor 23 Yogyakarta pada tahun 2012. Genangan air hujan di
halaman depan yang biasanya hampir masuk rumah, tinggal setengahnya (± 30 cm), dengan adanya 1
pipa resapan Ø 5”, panjang 3 m. Juga selama beberapa hari hujan, air sumur naik hingga 1,6 m lebih
menjadi 9 m di bawah permukaan tanah. Dapat diambil kesimpulan bahwa sistem pipa resapan bisa
memasukkan air cukup deras ke dalam tanah. Meskipun kalau hujan deras jalanan tergenang tinggi,
saluran drainasi jalan hanya berisi setengah atau ¾ tinggi selokan. Kesimpulan yang paling nyata dari
pengamatan tersebut ialah bahwa jumlah lobang-lobang hubungan antara jalan dan selokan drainasi
menjadi sangat tidak memadai.
Hardiyatmo, 2002 menjelaskan bahwa untuk aliran air di dalam tanah, tinggi energi kecepatan (velocity
head) diabaikan karena nilainya sangat kecil. Sedangkan tekanan air dalam pipa pada dasar pipa dapat
dinyatakan oleh persamaan umum:
p w.h (1)
Keterangan:
p = tekanan air pada dasar pipa (t/m2)
w = berat volume air (t/m3)
METODOLOGI STUDI
Percobaan ini dilaksanakan di Laboratorium Ex. P4S Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Identifikasi parameter
Parameter yang berpengaruh di dalam percobaan dapat diidentifikasi sebagai berikut: diameter pipa (D),
tinggi air di dalam pipa (h), daya resap tanah (k), debit pengisian air (Q), percepatan grafitasi (g), luas pipa
(A), waktu pengisian air dalam pipa (t1), dan waktu pengosongan air dalam pipa (t2).
Bahan dan Peralatan
Model pipa resapan didesain dengan jumlah 3 buah. Bahan pipa resapan adalah pipa PVC dengan
diameter (D) 4 inch sebanyak 3 buah dengan panjang (l) masing-masing 1,0 m, 2,0 m, dan 3,0 m
sebagaimana terlihat pada Ganbar 1. Adapun peralatan yang digunakan terdiri dari pompa air, gelas ukur,
stop-watch, dan alat tulis. Pompa air digunakan untuk memompa air dari sumber air untuk dimasukkan ke
dalam pipa. Gelas ukur dan stop-watch digunakan untuk mengukur debit aliran yang masuk kedalam pipa.
Stop-watch juga digunakan untuk menghitung waktu pengisian air ke dalam pipa dan waktu pengosongan
air dari dalam pipa.
Pelaksanaan Penelitian
Percobaan dilakukan dengan cara menanam pipa kedalam tanah dengan diameter (D) 4 inch sebanyak 3
buah dengan panjang (l) masing-masing 1,0 m, 2,0 m, dan 3,0 m. Kemudian masing-masing pipa diisi
dengan air secara bergantian pada berbagai macam variasi parameter percobaan dan dicatat besarnya
debit yang masing-masing masuk ke dalam pipa. Waktu pengisian air dalam pipa sampai penuh dicatat.
Demikian pula waktu pengosongan air dalam pipa juga dicatat. Naiknya tinggi air di dalam pipa selalu
dicatat. Demikian pula turunnya air di dalam pipa selalu dicatat
Q1 Muka Tanah Q2 ± 0.00 m Q3
Ø 4 inch
- 1.00 m Ø 4 inch
Ø 4 inch
- 3.00 m
Gambar 1. Model percobaan pipa resapan
Analisis Dimensi
Parameter yang berpengaruh dalam percobaan ini adalah
Q f ( A, h, g, k ) (5)
1/ 2 5/ 4 2 Q4
1 g A Q g A 5Q 4
g 2 A5
1/ 2 1/ 4 2 k4
2 g A k g A 1k 4
g2A
h2
3 g0A 1/ 2
h
A
Jika analisis dilanjutkan maka:
1 Q4 A Q
4 2 5
. 2
4 g A h A gh
2 k4 A k
5 2
. 2
4 g A h gh
Dengan demikian bilangan tak berdimensi yang mewakili parameter-parameter yang mempengaruhi
percobaan ini dapat ditulis sebagai berikut.
Q k
f (6)
A gh gh
Sedangkan untuk menganalisis formula teoritis, maka digunakan rumus debit aliran berikut ini.
Q C D A gh (7)
k
dengan: CD = koefisien debit = f
gh
Adapun hasil hitungan besarnya daya resap tanah (k) dan debit rembesan air (q) adalah sebagai berikut
ini.
Pipa 1,0 m:
q 0,877.10 3
Daya resap: k 2,8992.10 3 m / det
2,75.d .h 2,75.0,11.1,0
1 / 4. .d 2 .h 1 / 4. .0,112 .1,0
Debit: q 4,9155.10 6 m 3 / det 4,9155.10 3 lt / det
t 615,4
Pipa 2,0 m:
q 0,877.10 3
Daya resap: k 1,4496.10 3 m / det
2,75.d .h 2,75.0,11.2,0
1 / 4. .d 2 .h 1 / 4. .0,112 .2,0
Debit: q 2,5571.10 5 m 3 / det 2,5571.10 2 lt / det
t 743,6
Pipa 3,0 m:
q 0,877.10 3
Daya resap: k 9,6639.10 4 m / det
2,75.d .h 2,75.0,11.3,0
1 / 4. .d 2 .h 1 / 4. .0,112 .3,0
Debit: q 6,7908.10 5 m 3 / det 6,7908.10 2 lt / det
t 420
Berdasarkan hasil analisis data regresi, diperoleh formula daya resap: k 0,007 h 0,001h 2 .
k
Sedangkan formula debit pengisian air melalui pipa: Q C D .A. g.h , dengan C D 1,067
g .h
adalah koefisien debit. Dua formula inilah yang dapat digunakan untuk menghitung daya resap tanah dan
debit pengisian air pada pipa resapan air hujan pada tanah berpasir.
Gambar 2. Kurva hubungan antara daya resap tanah k dengan kedalaman pipa h
Q
Dari Gambar 3, didapat CD 0,0005904
A g.h
Jadi besarnya debit air hujan yang bisa diresapkan ke dalam tanah = 0,2263 lt/det.
REFERENSI
Hardiyatmo, H.C., 2002. Mekanika Tanah I Edisi ketiga, halaman 141-258, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Kashef, A.I., 1986. Groundwater Engineering, halaman 141-258, McGraw-Hill Book Co. Inc., New York.
Prodjopangarso, H., 2013. Drainasi Air Hujan di Jalan Yos Sudarso Kotabaru Yogyakarta: Dokumentasi,
Lab. Ex. P4S FT UGM, Yogyakarta.
Sunjoto, 1987. Sistem Air Hujan Yang Berwawasan Lingkungan , disajikan pada Seminar
Pengkajian Sistem Hidrologi dan Hidraulika, PAU Ilmu Teknik UGM, 16 – 17 September 1987,
Yogyakarta.
Abstrak
Pada umumnya di kota besar di Indonesia sering terjadi banjir. Yang dikatakan banjir adalah sebuah
peristiwa yang terjadi ketika aliran air yang berlebihan merendam daratan, pada umumnya banjir
diakibatkan oleh volume air di suatu badan air seperti sungai, selokan, atau danau yang meluap yang
melebihi kapasitas, yang biasanya diakibatkan oleh turunnya curah hujan yang deras. Banjir juga sering
mengakibatkan dan mengalami kerusakan lingkungan yang cukup parah. Untuk meminimalisir akibat
banjir maka dapat dilakukan pembuatan Lubang Resapan Biopori, Lubang Resapan Biopori adalah
lubang yang dibuat dengan diameter 10-30 cm dan kedalaman 60-100 cm. Lubang Resapan Biopori
diambil dari Teknik Biopori yang berarti terowongan kecil di dalam tanah yang terbentuk akibat aktivitas
akar tanaman dan berbagai hewan tanah, seperti cacing, semut, dan lain-lain. Biopori yang
perkembangan akar tanaman serta populasi hewan tanah. Banyak manfaat dari Lubang Resapan Biopori
antara lain tempat pembuangan sampah khususnya sampah organik, dimana sampah biasanya
mengakibatkan banjir. Penggunaan Lubang Resapan Biopori mudah dibuat dan biayanya relatif murah
serta sampah organik yang dimasukkan ke dalam Lubang Resapan Biopori dapat memperbaiki struktur
tanah dan juga dapat menjadi kompos seperti pada penelitian kami di Desa Cipedes Kecamatan Sukajadi
Bandung dan dampak lingkungan yang terjadi akibat dibuatnya Lubang Resapan Biopori, sampah organik
tidak bertebaran dimana-mana dan tumbuhan menjadi lebih subur.
Kata Kunci: Sampah, Banjir, Lubang Resapan Biopori
LATAR BELAKANG
Pada umumnya di kota besar di Indonesia sering terjadi banjir karena curah hujan di Indonesia dapat
dikatakan relatif tinggi seperti yang terlihat pada gambar1
sampah di sepanjang jalan dan di tempat-tempat umum seperti taman kota, tempat sampah yang
disediakan seperti gambar2
Metode Penelitian
Metoda yang dipakai adalah penyuluhan dan pembuatan Lubang Resapan Biopori
Tinjauan Pustaka
Biopori (biopore) merupakan ruangan atau pori dalam tanah yang dibentuk oleh makhluk hidup, seperti
fauna tanah dan akar tanaman. Bentuk biopori menyerupai liang (terowongan kecil) dan bercabang-
cabang yang sangat efektif untuk menyalurkan air dan udara ke dan di dalam tanah. Liang pada biopori
terbentuk oleh adanya pertumbuhan dan perkembangan akar tanaman di dalam tanah serta
meningkatnya aktifitas fauna tanah, seperti cacing tanah, rayap, dan semut yang menggali liang di dalam
tanah. (Brata : halaman 22). Lubang Resapan Biopori adalah lubang silindris yang dibuat secara vertikal
ke dalam tanah dengan diameter 10cm dan kedalaman sekitar 100cm kemudian lubang diisi dengan
sampah organik untuk memicu terbentuknya biopori, sedangkan biopori adalah pori-pori berbentuk lubang
(terowongan kecil) yang dibuat oleh aktivitas fauna tanah atau akar tanaman
www.bipori.com/resapan_biopori.php) diunduh pada 13 Agustus 2014 seperti yang terlihat pada gambar6.
Tabel 1. Hubungan diameter lubang dengan beban resapan dan pertambahan luas permukaan resapan
Diameter Mulut Lubang Luas Dinding Pertambahan Volume Beban
Lubang (cm2) (m2) Luas (kali) (liter) Resapan
(cm) (liter/m2)
10 79 0,3142 40 7,854 25
30 707 0,9425 14 70,686 75
60 2829 1,8857 7 282,857 150
75 4418 2,3562 6 441,786 187,5
100 7857 3,1429 4 785,714 250
Tahapan pembuatan LBR
1. Siapkan alat-alat yang diperlukan seperti :
a. Bor biopori seperti gambar 7
5. Isi lubang dengan sampah organik seperti daun-daunan, sampah dapur (sayur) seperti pada
gambar 9 sampai penuh dan tidak terlalu padat kemudian tunggu sampai 2-3 hari baru diisi
kembali
Tabel 5. Data jumlah LBR yang dibuat pada Desa Cipedes Kecamatan Sukajadi
h (cm) Banyak LBR Luas Lahan Kedap (m2)
30 56 757,232
60 78 1004,172
75 81 1998,027
100 72 1601,856
287 4361,287
KESIMPULAN
Dengan diadakannya penyuluhan pada setiap RT dan tata cara pembuatan LBR yang mudah serta
manfaat dari LBR, Kemudian dibuatlah LBR disekitar lahan terbuka yang ada dan terhitung sebanyak 287
LBR dengan kedalaman berkisar 40 cm - 100 cm yang ada pada Desa Cipedes diperkirakan luas lahan
kedap air 4361,287 m2, hal demikian jauh lebih kecil dari luas area data yang ada yaitu 48456 m2
dikarenakan pada daerah tersebut adalah pemukiman padat penduduk. Meskipun demikian dengan
dibuatnya 287 LBR pada Desa Cipedes Kecamatan Sukajadi, saat ini sudah tidak mengalami banjir lagi
dan jarang sekali terlihat sampah bertebaran disekitar pemukiman padat penduduk tersebut, sehingga
daerah tersebut terlihat bersih dan indah.
REFERENSI
Brata K.R dan Anne Nelistya (2011). Lubang Resapan Biopori. Depok : Swadaya.
Brata K.R., The Effects of Plant Residue Addition on The aggregation of a Harsetting Western Australia
Wheatbelt Soil,MSc Thesis, Departement of soil Science and Plant Nutrition, Faculty of Agriculture,
The University of Western Australia (Nedlands,1990).
Wikipedia. “Biopori”. http://id.wikipedia.org/wiki/Biopori. Diunduh pada 13 Agustus 2014
Wikipedia. “Banjir”. http://id.wikipedia.org/wiki/Banjir. Diunduh pada 13 Agustus 2014
www.google.co.idsearchq=tempat+sampah&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ei=QDrsU7z3JIvs8AXYgoGg
CA&ved=0CAYQ_AUoAQ&biw=1366&bih=664#q=banjir+bandung+2014+di+pasopati&tbm=isch&im
gdii=_ Diunduh 2014-08-15
www.google.co.idsearchq=tempat+sampah&source=lnms&tbm=iscush&sa=X&ei=QDrsU7z3JIvs8AXYgo
GgCA&ved=0CAYQ_AUoAQ&biw=1366&bih=664#q=tempat+sampah+rusak&tbm=isch&imgdii=_
Diunduh 2014-08-15
dhee.pdd@gmail.com
Abstrak
Sejalan dengan kebijakan hard infrastructure BBWS Citarum dalam pengendalian banjir di DAS Citarum
hulu melalui sudetan dan pelurusan sungai sungai, pada beberapa lokasi kemudian terjadi fenomena
outbow lake (sungai mati) akibat diputusnya secara paksa aliran air di kelokan sungai tersebut. Tercatat
ada 13 sungai mati di wilayah cekungan Bandung yang tidak lagi dikelola dan kemudian hanya menjadi
tempat pembuangan sampah bagi pemukiman warga serta tumbuhnya vegetasi liar yang mengakibatkan
genangan serta menjadi salah satu penyebab banjir di wilayah sekitarnya. Amanat Undang-undang No. 7
Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA) menyatakan bahwa terdapat 5 (lima) konsep pengelolaan
SDA yaitu konservasi, pendayagunaan, pengendalian daya rusak, pemberdayaan masyarakat dan sistem
informasi SDA. Studi oleh Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Citarum merekomendasikan pemanfaatan
sungai mati untuk konservasi dengan sebelumnya menganalisis pengaruh pemanfaatan sungai mati
terhadap penurunan muka air banjir di citarum, namun diperoleh bahwa pemanfaatan sungai mati untuk
pengendalian banjir tidak efektif bahkan dapat dikatakan tidak ada pengeruhnya. Sofwan (2013)
mendapati bahwa urutan pengembangan sungai mati sebagai prasarana pendayagunaan SDA,
berdasarkan metode MIS dan Analytical Hierarchy Process (AHP) didapati bahwa sungai-sungai tersebut
masih dapat didayagunakan. Namun, penelitian tersebut masih menggunakan tujuan utama secara
terpisah (single objective), dimana konservasi, pendayagunaan dan pengendalian daya rusak dianalisis
secara terpisah sehingga kurang efektif untuk pengambilan kebijakan. Tujuan penelitian ini adalah
mendapatkan konsep pendayagunaan sungai mati di DAS Citarum hulu sesuai dengan potensi dan
kondisi masing-masing sungai mati, dengan metode AHP dengan multy objective purposes berdasarkan
aspek teknis dan non teknis. Hasil studi menunjukkan bahwa urutas prioritas pengelolaan SDA di sungai
mati adalah konservasi, pendayagunaan SDA dan pengendalian daya rusak SDA. Sementara itu untuk
pendayagunaan SDA diperoleh prioritas Secara keseluruhan prioritas pendayagunaan SDA untuk sungai
mati di wilayah cekungan Bandung adalah air baku (0,087), komersial (0,069), irigasi (0,054) dan rekreasi
(0,041).
Kata Kunci: Sungai Mati, DAS Citarum Hulu, Kabupaten Bandung, AHP, SWOT
LATAR BELAKANG
Salah satu permasalahan yang timbul akibat pelurusan alur sungai (sudetan) adalah terbentuknya sungai
mati (oxbow lake) pada lokasi ruas yang disudet. Hal ini menimbulkan permasalahan morfologi akibat
terputusnya aliran ke ruas sungai yang berkelok (meander) apalagi ditambah dengan dipasangnya pintu
outlet di ujung-ujung ruas meander seperti yang umumnya dilakukan di Indonesia.
METODOLOGI STUDI
Metodologi penelitian dalam rangka menetapkan tipe pendayagunaan sungai mati di Cekungan Bandung
dilakukan dalam 3 (tiga) tahap. Langkah pertama adalah pengumpulan data, kemudian penentuan fungsi
tujuan dari model Analitical Hyerarchi Process (AHP) dan selanjutnya adalah penentuan kriteria yang
digunakan sebagai dasar pembobotan beserta sub kriterianya. Secara umum tahapan metodologi
tersebut adalah:
Pengumpulan dan Pengolahan Data
Untuk dapat membuat analisis lapangan dibutuhkan beberapa data yang berpengaruh dalam aspek
pendayagunaan SDA. Data-data tersebut adalah:
Selanjutnya antar masing-masing alternatif kemudian dibobotkan berdasarkan sub kriteria sesuai dengan
kondisi yang ada pada masing-masing sungai mati. Landasan dari pembobotan itu sendiri adalah
kuisioner yang disebarkan kepada staf pengelola SDA di wilayah Citarum. Berdasarkan pilihan AHP
kemudian akan didapatkan ranking alternatif yang ada untuk diterapkan di masing-masing sungai mati
tersebut.
Nama Sungai Luas Sub DAS [km2] Volume Tampungan Debit Andalan Rata-
[m3] rata [m3/det]
Secara umum, pendayagunaan SDA yang memungkinkan dilaksanakan di sungai-sungai mati yang ada
pada wilayah cekungan Bandung adalah:
1) Air Baku
2) Irigasi
3) Komersial
4) Rekreasi
Gambar 1. Skema Hirarki AHP Alternatif Pengelolaan Sumber Daya Air Sungai Mati di Kabupaten
Bandung
7. Urutan pendayagunaan Sungai Mati berdasarkan kriteria teknis diperoleh prioritas: air baku 0,7%,
irigasi 0,7%, komersial 0,3% dan rekreasi 0,3%.
8. Urutan pendayagunaan Sungai Mati berdasarkan kriteria lingkungan diperoleh prioritas: air baku
1,0%, irigasi 5%, komersial 3% dan rekreasi 3%.
9. Secara keseluruhan prioritas pendayagunaan SDA untuk sungai mati di wilayah cekungan Bandung
adalah air baku (0,087), komersial (0,069), irigasi (0,054) dan rekreasi (0,041).
Rekomendasi
Dapat disarankan beberapa sebagai berikut :
1. Berdasarkan penilaian urutan prioritas pengembangan secara multy objective sungai mati di
cekungan Bandung, maka urutan pengelolaan SDA air di wiilayah tersebut adalah konservasi,
pendayagunaan dan pengendalian daya rusak.
2. Berdasarkan hasil studi ini, untuk tahap selanjutnya perlu dilakukan kegiatan desain hingga
perencanaan detail yang kemudian dilanjutkan dengan pelaksanaan fisik agar kawasan sungai mati
tidak disalahgunakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab
REFERENSI
Balai Hidrologi, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air, 2006 : Kajian Komprehensif
Penanganan Banjir di Sungai Citarum Hulu, Laporan Akhir.
Dr. Ir. Dede Rohmat, MT (1999), Solusi Aspiratif Penanganan Masalah Sungai Mati (Kasus: Desa Andir
Kecamatan Bale Endah Kabupaten Bandung, Jurnal GEA
Ervan Mukhamad Sofwan (2013), Kajian Pemanfaatan Sungai Mati untuk Konservasi, Pendayagunaan
dan Pengendalian Daya Rusak di Sungai Citarum, Kabupaten Bandung, Magister Tesis
Saaty, Thomas L., (1980), Fundamentals of Decision Making and Priority Theory with AHP, Vol. VI RWS
Publications, University of Pittsburgh USA
http://www.daviddarling.info/images/oxbow_lake.jpg, diakses tanggal 1 April 2013
Abstrak
Sesuai Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 33 Tahun 2009 Tentang Tata Cara
Pemulihan Lahan Terkontaminasi Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun di Lingkungan PT Kalrez
Petroleum, Pulo Seram diperlukan kajian hidrogeologi yang membahas kondisi bawah permukaan dan
sistem airtanahnya dan kaitnaya terhadap lahan dan limbah B3nya. Tujuan dari studi ini adalah sebagai
bahan pertimbangan dalam desain dan perencanaan bangunan pelengkap dalam sistem pengolahan
limbah (sluge pond) antara lain desain sumur pantau dan potensi pencemarann.Maksud dari studi ini
adalah untuk mengetahui parameter geologi dan hidrogeologi meliputi terhadap rencana pemulihan lahan
terkontaminasi di lokasi PT Kalrez Petroleum, Pulo Seram. Tujuan dari studi ini adalah sebagai bahan
pertimbangan dalam desain dan perencanaan bangunan pelengkap dalam sistem pengolahan limbah
(sluge pond)antara lain monitoring well design and potential contamination .Hasil dari kajian Dari hasil
pengujian di lapangan, menunjukan bahwa daerah penelitian didominasi oleh jenis tanah dengan tekstur
lempung lanauan, yang bersifat relatif kedap air dan kemampuan mengalirkan airtanahnya kecil, dengan
nilai K antara 7,32.10-7 sampai 5,44.10-6 cm/s. Sludgepond yang umumnya mengandung limbah B3 tidak
dijumpai pada semua airtanah yang ada di sumur-sumur pantaunya dan sumur sumur penduduk
disekitarnya. Hal ini kemungkinan disebabkan karena secara umum jenis tanahnya di kawasan pabrik
berupa lempung lanauan yang nilai permeabilitasnya kecil dan kontruksi sludgepond dengan kontruksi
pelindung GCL dan penataan airnya bekerja dengan baik.
Kata Kunci: hidrogeologi, pencemaran, air tanah
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dalam rangka mengikuti Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 33 Tahun 2009 Tentang
Tata Cara Pemulihan Lahan Terkontaminasi Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun di Lingkungan
PT Kalrez Petroleum, Pulo Seram diperlukan kajian hidrogeologi yang membahas kondisi bawah
permukaan dan sistem airtanahnya dan kaitnaya terhadap lahan dan limbah B3nya.
Dalam kajian ini didukung data-data antara lain kondisi kondisi geomofologi, kondisi geologi, kondisi
hidroklimatologi dan kondisi hidrogeologi.
Maksud dari studi ini adalah untuk mengetahui parameter geologi dan hidrogeologi meliputi terhadap
rencana pemulihan lahan terkontaminasi di lokasi PT Kalrez Petroleum, Pulo Seram.
Tujuan dari studi ini adalah sebagai bahan pertimbangan dalam desain dan perencanaan bangunan
pelengkap dalam sistem pengolahan limbah (sluge pond) antara lain desain sumur pantau dan potensi
pencemarannya.
Pekerjaan survey lapangan dilakukan guna mendapatkan data-data serta gambaran mengenai keadaan,
jenis dan sifat-sifat kondisi geologi dan hidrolgeologi di lokasi pekerjaan. Data-data tersebut untuk
selanjutnya digunakan analisa dan sebagai kriteria perencanan dalam pengolahan limbah.
Dalam pelaksanaan kegiatan survei di lapangan, dipakai peralatan/perlengkapan survei sebagai berikut:
1. SURVEY LAPANGAN
4. SURVEY GEOLISTRIK
Survey Lapangan
Survey lapangan merupakan bagain awal dalam tahap penyelidikan geoteknik dan dalam rangka
penentuan lokasi titik-titik penyelidikan di lapangan ditetapkan terpilih sedemikian rupa sehingga data
yang dihasilkan dapat mewakili kebutuhan data dalam perencanaan.
Sluge pond
o Kp.Tangsi Ambon
o Kp. Denser
melakukan pengambilan contoh tanah tak terganggu (Undisturbed Sample) dengan 1 sampel
mewakili perlapisan tanah, dengan ketentuan sbb;
o sesegera mungkin tanah hasil sampling di dalam tabung UDS yang harus ditutup dengan parafin,
supaya contoh tanah tidak berubah kadar airnya.
Metode kerja yang digunakan dalam pelaksanaan mengikuti kepada Standar Nasional Indonesia (SNI)
yaitu:
SNI 2436 : 2008 Tata Cara Pencatatan dan Identifikasi Hasil Pemboran Inti
SNI 03-4148.1-2000 Tata Cara Pengambilan Contoh Tanah dengan Tabung Dinding Tipis
Pekerjaan Geolistrik
Penyelidikan dengan survey geolistrik dilakukan atas dasar sifat fisika batuan terhadap arus listrik, dimana
setiap jenis batuan yang berbeda akan mempunyai harga tahanan jenis (nilai resitivity) yang berbeda
pula. Hal ini tergantung pada beberapa faktor, diantaranya umur batuan, kandungan elektrolit, kepadatan
batuan, jumlah mineral yang dikandungnya, porositas, permeabilitas dan lain sebagainya.
Berdasarkan hal tersebut di atas apabila arus listrik searah (Direct Current) dialirkan ke dalam tanah
melalui 2 (dua) elektroda arus A dan B, maka akan timbul beda potensial antara kedua elektroda arus
tersebut. Beda potensial ini kemudian diukur oleh pesawat penerima (receiver) dalam satuan miliVolt.
Dalam penyelidikan survey geolistrik ini telah digunakan susunan elektroda dengan menggunakan
susunan aturan Schlumberger dimana kedua elektroda potensial MN selalu ditempatkan diantara 2 buah
elektroda arus (Gambar 2.).
Pada setiap pengukuran, elektroda arus AB selalu dipindahkan sesuai dengan jarak yang telah
ditentukan, sedangkan elektroda potensial MN hanya bisa dipindahkan pada jarak-jarak tertentu dengan
syarat bahwa jarak MN/2 1/5 jarak AB/2.Oleh karena jarak elektroda selalu berubah pada setiap
pengukuran, maka Hukum Ohm yang digunakan sebagai dasar setiap penyelidikan geolistrik dalam
memperoleh harga tahanan jenis semu harus dikalikan dengan faktor jaraknya (K-Factor). Sehingga
rumus untuk memperoleh harga tahanan jenis semu dapat ditulis sebagai berikut :
a = .{(AB/2)2 - (MN/2)2}/MN. V/I
Pengukuran muka air tanah dilakukan dari sumur sumur gali (sumur penduduk) dan dari sumur pantau.
Keberadaan akifer akan menunjukan keterdapatan air sebagai sumber daya yang tersimpan pada suatu
media batuan baik yang merupakan media poros atau rekahan. Air tanah akan mengalir mengikuti tingkat
energi yang disimpannya. Energi yang tersimpan pada air tanah dinyatakan dalam head (total) yang
merupakan penjumlahan dari head (tekanan) dan head (elavasi). Pada pengukuran, head pada sistem
akifer air tanah tak tertekan dapat dilihat pada ketinggian muka air sumur terhadap suatu titik acuan
tertentu (datum; mean sea level, msl). Untuk mendapatkan nilai ketinggian air tanah terhadap mean sea
level maka selain data hasil survey posisi muka air tanah yang merupakan kedalaman muka air sumur
terhadap muka tanah setempat, diperlukan elevasi tanah posisi sumur terhadap mean sea level.
Data hasil pengukuran kedalaman muka air tanah kemudian dikonversi menjadi ketinggian (elevasi) muka
air tanah. Titik data tersebut kemudian diplot di atas peta. Selanjutnya kontur muka air tanah dibuat
dengan prinsip tiga titik menghubungkan nilai-nilai ketinggian muka air tanah yang sama. Garis-garis
tersebut kemudian dihubungkan hingga menutup seluruh daerah survey. Garis-garis aliran air tanah ditarik
dengan sudut 90o dari garis kontur muka air tanah.
150 (2)
Peta kontur ketinggian
BM B
(2)
50 125 • Garis penampang X-
100 Y melewati titik A dan
75 Garis penampang titik P pada
ketinggian 700 mdpl
BM A 125 • Nilai ketinggian titik A
diproyeksikan secara
tegak lurus pada
grafik ketinggian.
• Jika seluruh nilai
telah diproyeksikan,
maka dapat ditarik
garis yang
100 menghubungkan titik-
titik tersebut.
75
BM C
Akifer
Sumur pantau berfungsi untuk memantau fluktuasi muka airtanah pada akuifer tertentu. Oleh karena itu,
pembuatan sumur pantau memerlukan pengenalan sistem akuifer yang ada. Saringan (screen) hanya
diposisikan pada akuifer yang memang ingin dipantau muka airtanahnya. Selain itu perlu dipastikan tidak ada air
tanah dari akuifer lain yang bercampur.
Pembuatan lubang sumur pantau, dengan menggunakan alat handbor dan mengoptimalkan lubang bor hasil
sampling. Konstruksi sumur pantau beserta unit pengukur posisi muka air tanahnya dapat dilihat pada gambar 5.
Pengujian di laboratorium dilakukan terhadap contoh tanah hasil pengambilan pada saat pekerjaan pemboran
dilaksanakan di lapangan. Jenis pengujian yang dilaksanakan guna mengetahui sifat fisik dari sample tanah
tanah yang meliputi :
o Berat Isi
o Berat Jenis
o Analisa Butiran
Cara uji kelulusan air benda uji tanah di laboratorium SNI 2435 : 2008
Cara uji triaxial untuk tanah dalam keadaan
SNI 03-2455-1991
terkonsolidasi tidak terdrainase (CU)
Metode pengujian kadar bahan organic dalam tanah SN 03-2815-1992
Cara uji analisis ukuran butir tanah SNI 3423 : 2008
Air tanah cenderung untuk mencapai kesetimbangan kimia fisika dan hal ini akan dicapai setelah terjadi proses-
proses di dalam air tanah yang berlangsung dan waktu ke waktu. Oleh karena itu dari pengamatan properti kimia
fisika air tanah dapat diperkirakan proses yang telah atau sedang bekerja pada air tanah. Properti kualitas air
tanah dapat diketahui dengan pengujian laboratorium kualitas air parameter fisik, kimia dan biologi, termasuk
potensi logam berat.
Kondisi Fisiografi
Menurut Peta Fisiografi dari Badan Geologi (2010), Kawasan Pabrik PT. Kalrez berada pada fisiografi daerah
dataran rendah, dan litologi batuan sedimen pantai dan endapan pasang surut (Gambar 6).
Lokasi penelitian kawasan pabrik PT. Kalreztermasuk pada Peta Geologi Lembar Bula dan Watubela, Maluku (S.
Gafoer, dkk., 1993) yang secara geologi berada pada Formasi Aluvium, (Gambar 7). Stratigrafi regional
(Gambar 7) berdasarkan peta geologi didaerah penelitian secara umum mempunyai litologi sebagai berikut:
Formasi Fufa (Qpf); batu pasir, batu lanau, batu lempung, konglomerat, dan gambut
Aluvium (Qa); lanau, pasir, dan kerikil
Kompleks Salas (Qvb); terdiri dari berbagai macam bongkahan batuan asing, dengan massa dasar
lempungan.
Formasi Wahai (Tpw), napal berisisipan batu gamping pasiran dan batu pasir halus
(Sumber: Peta Geologi Bula dan Watubela, Maluku (S. Gafoer, dkk., 1993))
Hidrogeologi Regional
Kondisi batuan yang diperoleh dari informasi geologi regional sangat berkaitan dalam penyelidikan
hidrogeologi atau muka air tanah. Litologi yang ada pada daerah penelitian berdasarkan peta hidrogeologi
setempat (Gambar 9.) adalah hasil dari sedimen lepas atau setengah padu (kerikil, pasir, lanau, lempung).
Berdasarkan litologi tersebut, daerah ini termasuk daerah yang memiliki potensial dan prospek air
tanah rendah-sedang
Kondisi Hidroklimatologi
Banyaknya curah hujan sangat dipengaruhi oleh iklim, kondisi geografis dan perputaran arus udara. Data
curah hujan yang dapat disajikan adalah data curah hujan bulanan dalam setahun.
Data curah hujan daerah penelitia seperti terdapat dalam grafik berikut:
300
200
100
0
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agst Sept Okt Nov Desa
Dengan menggunakan data curah hujan bulanan rata-rata berdasarkan pembagian iklim Oldeman maka
daerah penelitian (Kalrez) memiliki bulan basah (>200 mm) selama 5 bulan berturut-turut maka daerah ini
termasuk dalam Iklim C (Sedang). Daerah penelitian memiliki nilai curah hujan paling tinggi pada bulan
Februari yaitu >300 mm/tahun dan nilai curah hujan paling rendah pada bulan Agustus yaitu <200
mm/tahun.
Telah dilakukan penyelidikan tanah dengan dengan alat handbor pada lokasi di daerah hulu dan hilirnya
dari setiap lokasi Sludge Pond. Pada titik ini, dilakukan pengambilan sample tanah dan pengujian
permeabilitas lapangan untuk mengetahui jenis tanahnya terhadap kemampuan meresap dan
mengalirkan air tanah. Selain itu, hasil lubang handbor ini dibuat sumur pantau dengan kontruksi lubang 3
inchi dan bahan casing dari PVC.
Dari hasil pengujian di lapangan, menunjukan bahwa daerah penelitian didominasi oleh jenis tanah
dengan tekstur lempung lanauan, yang bersifat relatif kedap air dan kemampuan mengalirkan airtanahnya
kecil, dengan nilai K antara 7,32.10-7 sampai 5,44.10-6 cm/s.
Gambar 11. Lokasi titik penyelidikan tanah dan Sumur Pantau (baru)
Selain dari pengujian lapangan, di lokasi tersebut juga dilakukan sample tanah untuk mengetahui tekstur
dan jenis tanah, dengan hasil sebagai berikut:
Sample Specific Grain Size Analysis Atterberg Limit
Location Depth Unit Weight Soil type Colour
no. Gravity
(nomor (analisis ukuran butir) (batas-batas Atterberg)
(lokasi) (Kedalaman) (Berat isi) (berat Jenis) (jenis tanah) (warna)
contoh)
gn Gs gravel ( Kerikil ) sand ( Pasir ) silt ( Lanau ) clay ( Lempung ) WL WP IP Classification
3
(m) (gr/cm ) (%) (%) (%) (%) (%) (%) (%) (klasifikasi)
DARK
Bula Tenggara SP.A 400 1.346 2.7266 silty CLAY
GRAY
0.00 0.74 32.26 67.00 72.37 31.35 41.02 CH
LIGHT
Bula Tenggara SP.B 300 1.352 2.7263 silty CLAY
BROWN
0.00 1.02 33.50 65.48 72.67 31.24 10.35 CH
LIGHT
MOS SP.C 400 1.351 2.7260 silty CLAY
BROWN
0.00 1.34 33.11 65.55 73.13 31.44 2.29 CH
LIGHT
MOS SP.D 400 1.353 2.7264 silty CLAY
BROWN
0.00 1.66 32.73 65.61 73.64 31.43 42.21 CH
LIGHT
S.6, S.7 SP.E 200 1.352 2.7254 silty CLAY
BROWN
0.00 1.98 32.35 65.67 74.36 31.43 42.93 CH
S.3, S.4 SP.F 200 1.350 2.7476 silty CLAY Greey 0.00 2.30 30.70 65.74 74.80 31.43 6.65 CH
S.12 SP.G 400 1.377 2.7483 silty CLAY Greey 0.00 2.06 32.14 65.80 75.30 29.14 46.16 CH
Light
S.11 SP.H 200 1.351 2.7465 silty CLAY
Brown
0.00 2.10 32.04 65.86 75.66 29.43 46.23 CH
S.9 SP.I 200 1.347 2.7338 silty CLAY Greey 0.00 2.06 32.02 65.92 76.16 29.28 46.88 CH
Light
S.8 SP.J 300 1.351 2.7240 silty CLAY
Brown
0.00 2.16 31.85 65.99 76.56 29.47 47.09 CH
Dari hasil laboratorium tanah, terlihat kondisi tanah di kawasan pabrik semuanya berjenis CH (Clay High
Plasticity) dengan nilai jenis tanahnya:
ukuran butir, gravel 0%, pasir 0.74 – 2.30%, lanau 30.70 – 33.50% dan ukuran butir lempung adalah
paling dominan 65.48 – 67.00%
1. Penyelidikan geolistrik sebanyak 10 titik yang menyebar merata untuk mengambarkan kondisi bawah
permukaan
2. Sampling untuk kualitas air dan pengukuran air tanah dengan rincian;
Survey geolistrik untuk mengetahui kondisi bawah permukaan yang mengambarkan potensi hidrogeologi
di kawasan pabrik telah dilakukan sebanyak 10 titik yang mewakili untuk mengetahui kondisi bawah
permukaan di area pabrik dan sekitarnya. Lokasi dan titik-titik geolistrik sebagai berikut:
LOKASI : MOS
titik 3 titik 4
Dari Sampai Resistvitas Dari Sampai Resistvitas
LITHOLOGI Unit Hidrogeologi LITHOLOGI Unit Hidrogeologi
(m) (m) (Ω m) (m) (m) (Ω m)
0 1.5 768 Tanah Timbunan 0 1.5 768 Tanah Timbunan
1.5 10 345 Lempung (Lanauan) Akitar 1.5 10 345 Lempung (Lanauan) Akitar
10 40 88 Tanah Lempung Akiklud 10 40 86 Tanah Lempung Akiklud
40 120 176 Batu Lempung Akiklud 40 115 176 Batu Lempung Akiklud
120 150 958 Batu Lanau (Pasiran) Akitar 115 150 958 Batu Lanau (Pasiran) Akitar
Hasil geolistrik yang ada kemudian dibuat 4 panampang geologi yang mengambarkan kondisi bawah
permukaan, dengan arah penambang selatan ke utara mengkuti kondisi permukaaan dan sistem aliran air
tanahnya. Keempat penampang tersebut dari arah barat ke timur adalah sebagai berikut:
Secara hidrogeologi dari hasil geolistrik disimpulkan bahwa kondisi geologi dan sistem air tanahnya
sebagai berikut:
1. Secara umum daerah ini didominasi oleh lapisan tanah dan batuan yang relatif kedap air dan
kemampuan mengalirkan airtanahnya kecil (bersifat akitar dan bersifat akitar)
2. Sistem air tanah didaerah ini terbagi menjadi 2 kelompok yaitu pada LEMPUNG (LANAUAN) pada
kedalaman 1-10 m dan pada BATU LANAU (PASIRAN) pada kedalaman > 120 m. Aliran air tanah
pada akitar tersebut bergerak dari selatan ke utara.
Kedua lapisan tersebut merupakan lapisan yang bersifat AKITAR yang yang mampu menyimpan air
tanah dan kemampuan mengalirkan airtanahnya kecil
3. Airtanah pada lapisan atas LEMPUNG (LANAUAN) merupakan airtanah yang terdekat dengan
permukaan, memilki kedalaman MAT rata-rata sekkitar -2.5 m. Airtanah pda lapisan ini merupakan air
tanah bebas (unconfined) dimana MATnya sangat dipengarahi curah hujan dan aliranya relatif
mengikuti topografi
4. Air tanah pada lapisan BATU LANAU (PASIRAN) merupakan air tanah yang terkekang (confined)
dimana bagian atasnya adalalah lapisan lempung yang cukup tebal dan bersifat kedap air.
Untuk mendapatkan muka air tanah sehingga dapat digambarkan pola pergerakan air tanahnya maka
telah diukur data muka air tanah dari sumur pantau (2011) dan sumur pantau (2012) serta dari sumur
sumur penduduk sekitar.
Data-data sumur sumur tersebut telah mewakili dan data digambarkan untuk mengetahui pola aliran di
kawasan tersebut dengan uraian data sebagai berikut:
KOORDINAT
NO TITIK LOKASI KEDALAMAN
S E
SUMUR PANTAU LAMA (2011)
1 SP.1 Bula Tenggara 0667396 9655820 2,42 m
2 SP.2 Bula Tenggara 0667375 9667375 2,40 m
3 SP.3 Bula Tenggara 03*06'45,8" 130*30'23,1" 2,50 m
4 SP.4 MOS 0666070 9655919 4,70 m
5 SP.5 MOS 0666212 9655976 3,84 m
6 SP.6 MOS 0666192 9656015 3,10 m
SUMUR PANTAU BARU (2012)
7 SP.A Bula Tenggara 0667069 9656376 3,82 m
8 SP.B Bula Tenggara 03*06'44,8" 130*30'23,5" 2,20 m
9 SP.C MOS 03*06'39,9" 130*29'45,9" 3,59 m
10 SP.D MOS 03*06'42,9" 130*29'42,8" 3,14 m
11 SP.E S.6 - S.7 03*06'20,7" 130*29'59,0" 0,50 m
12 SP.F S.3 - S.4 03*06'15,0" 130*30'03,0" 1,37 m
13 SP.G S.12 03*06'32,6" 130*30'02,3" 3,70 m
14 SP.H S.11 0668969 9656837 2,04 m
15 SP.I S.9 0668837 9656892 1,19 m
16 SP.J S.8 0668008 9656166 2,27 m
SUMUR-SUMUR PENDUDUK
17 A.1 Tangsi Ambon 0667069 9656376 1,38 m
18 A.2 Tangsi Ambon 0667337 9656340 3,02 m
19 A.3 Kampung Denser 0667924 9656524 2,26 m
20 A.4 Kampung Denser 0668207 9656307 2,26 m
21 A.5 Bula Air 0668748 9656360 3,50 m
22 A.6 Bula Air 0668912 9656495 3,41 m
Dari data-data tersebut dan dengan kompilasi dari data hasil penampang hasil geolistrik dibuat peta
pergerakan air tanah. Peta pola aliran air tanah di daerah industri dihasilkan sebagai berikut:
Peta pola aliran airtanah diatas mengambarkan arah aliran airtanah dangkal dari akitar LEMPUNG
(LANAUAN) yang bergerak dari selatan ke utara dan elevasi MAT atau kedalaman rata-rata -2.5 M.
Sumur-sumur pantau yang dibuat baik tahun 2011 dan tahun 2012 sudah sesuai/mengikuti dengan pola
aliran air tanah yang berada di daerah hulu dan hilirnya arah aliran.
Pengambilan contoh air (sampling) dari sumur pantau 2011 dan sumur pantau 2012 serta dari sumur
sumur penduduk dilakukan untuk mengetahui parameter fisika dan kimiawi terhadap potensi pencemaran
dari sluge pond yang ada.
Hasil laboratorium kualitas air dari sumur-sumur pantau di sketardan sumur penduduk dapat diketahui
bahwa:
Hampir semua air tanah di baik dari sumur sumur pantau maupun dari sumur sumur penduduk pada
parameter COD dan Amonia Total serta Mangan yang mebihin ambang batas kelas air
Hal ini menunjukkan bahwa air tanah di kawasan pabrik dan sekitaranya mengandung Amonia Total
dan Mangan secara alamiah (origin groundwater content)
Sludgepond yang umumnya mengandung limbah B3 tidak dijumpai pada semua air tanah yang ada di
sumur-sumur pantaunya dan sumur sumur penduduk disekitarnya. Hal ini kemungkinan disebabkan
karena secara umum jenis tanahnya di kawasan pabrik berupa lempung lanauan yang nilai
permebilitasnya kecil dan kontruksi sludgepond dengan kontruksi pelindung GCL dan penataan airnya
bekerja dengan baik.
1) Dalam rangka untuk mengetahui parameter geologi dan hidrogeologi terhadap rencana pemulihan
lahan terkontaminasi di lokasi PT Kalrez Petroleum, Pulo Seram sebagai bahan pertimbangan dalam
desain dan perencanaan bangunan pelengkap dalam sistem pengolahan limbah (sluge pond) antara
lain desain sumur pantau dan potensi pencemarannya, maka telah dilakukan rangkaian kegiatan
STUDI HIDROGEOLOGI dengan lingkup kegiatan sebagai berikut:
3. Melakukan analisa laboratorium air (22 titik) dan tanah (10 titik)
2) Dari data peta regional dan data-data sekunder daerah penelitan termasuk dalam;
1. berada pada fisiografi daerah dataran rendah, dan litologi batuan sedimen pantai dan endapan
pasang surut
2. yang secara geologi berada pada Formasi Aluvium (Qa); lanau, pasir, dan kerikil
3. berdasarkan peta hidrogeologi daerah ini termasuk daerah yang memiliki potensial dan prospek
air tanah rendah-sedang
4. Dengan menggunakan data curah hujan bulanan rata-rata berdasarkan pembagian iklim
Oldeman maka daerah penelitianmemiliki bulan basah (>200 mm) selama 5 bulan berturut-turut
yang termasuk dalam Iklim C (Sedang).
3) Dari hasil pengujian di lapangan, menunjukan bahwa daerah penelitian didominasi oleh jenis tanah
dengan tekstur lempung lanauan, yang bersifat relatif kedap air dan kemampuan mengalirkan
airtanahnya kecil, dengan nilai K antara 7,32.10-7 sampai 5,44.10-6 cm/s
4) Dari hasil laboratorium tanah, terlihat kondisi tanah di kawasan pabrik semuanya berjenis CH (Clay
High Plasticity) dengan nilai jenis tanahnya:
ukuran butir, gravel 0%, pasir 0.74 – 2.30%, lanau 30.70 – 33.50% dan ukuran butir lempung
adalah paling dominan 65.48 – 67.00%
5) Secara hidrogeologi dari hasil geolistrik disimpulkan bahwa kondisi geologi dan sistem air tanahnya
sebagai berikut:
a. Secara umum daerah ini didominasi oleh lapisan tanah dan batuan yang relative kedap air dan
kemampuan mengalirkan airtanahnya kecil (bersifat akitar dan bersifat akitar)
b. Sistem airtanah didaerah ini terbagi menjadi 2 kelompok yaitu pada LEMPUNG (LANAUAN) pada
kedalaman 1-10 m dan pada BATU LANAU (PASIRAN) pada kedalaman > 120 m. Aliran air tanah
pada akitar tersebut bergerak dari selatan ke utara.Kedua lapisan tersebut merupakan lapisan
yang bersifat AKITAR yang yang mampu menyimpan air tanah dan kemampuan mengalirkan
airtanahnya kecil
c. Airtanah pada lapisan atas LEMPUNG (LANAUAN) merupakan airtanah yang terdekat dengan
permukaan, memilki kedalaman MAT rata-rata sekkitar -2.5 m. Airtanah pada lapisan ini
merupakan airtanah bebas (unconfined) dimana MATnya sangat dipengarahi curah hujan dan
aliranya relatif mengikuti topografi
d. Airtanah pada lapisan BATU LANAU (PASIRAN) merupakan airtanah yang terkekang (confined)
dimana bagian atasnya adalalah lapisan lempung yang cukup tebal dan bersifat kedap air.
6) Peta pola aliran airtanah yagn dihasilkan dari data-data MAT sumur sumur pantau dan sumur
penduduk dihasilkan arah aliran airtanah dangkal dari akitar LEMPUNG (LANAUAN) yang bergerah
dari selatan ke utara dan elevasi MAT atau kedalaman rata-rata -2.5 M.
7) Sumur-sumur pantau yang dibuat baik tahun 2011 dan tahun 2012 sudah sesuai/mengikuti dengan
pola aliran airtanah yang berada di daerah hulu dan hilirnya daerai arah aliran.
8) Hasil laboratorium kualitas air dari sumur-sumur pantau di sketardan sumur penduduk dapat diketahui
bahwa:
a. Hampir semua airtanah di baik dari sumur sumur pantau maupun dari sumur sumur penduduk
pada parameter COD dan Amonia Total serta Mangan yang mebihin ambang batas kelas air
b. Hal ini menunjukkan bahwa airtanah di kawasan pabrik dan sekitaranya mengandung Amonia
Total dan Mangan secara alamiah (origin groundwater content)
c. Sludge pond yang umumnya mengandung limbah B3 tidak dijumpai pada semua airtanah yang
ada di sumur-sumur pantaunya dan sumur sumur penduduk disekitarnya. Hal ini kemungkinan
disebabkan karena secara umum jenis tanahnya di kawasan pabrik berupa lempung lanauan yang
nilai permebilitasnya kecil dan kontruksi sludgepond dengan kontruksi pelindung GCL dan
penataan airnya bekerja dengan baik.
REFERENSI
Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Provinsi Jawa Barat. 2005. Status Lingkungan
Hidup Provisi Jawa Barat.
Juari, S. S. 2006. Potensi Penggunaan Hidrotalsit dalam Remediasi Air Asam Tambang di Lahan Gambut.
Seminar Nasional RPKLT Pertanian UGM, 1 Februari 2006.
Keputusan Menteri Kesehatan. 2002. Syarat-syarat dan Pengawasan Kuanitas Ar Minum. KepMenKes RI
No. 907/MENKES/SK/VII/ 2002.
Mason, C.F. 1993. Biology of Freshwater Pollution. Second Edition. Longman Scientifis and Technical,
New York. 351 p. Peraturan Menteri Kesehatan. 1990. Air Minum.
Permenkes No. 41/MenKes/Per/IX/1990. Sayoga, R. G. 2007. Pengelolaan Air Tambang: Aspek Penting
dalam Pertambangan yang Berwawasan Lingkungan. Pidato Ilmiah, majelis Guru Besar ITB. Jurusan
Teknik Pertambngan ITB.
Subardja, A et al. 2007. Pemulihan Kualitas Lingkungan Penambangan Batubara: Karakterisaasi dan
Pengendalian air asam Tambang di Berau.
Laporan Teknis, Proyek DIPA Puslit Geoteknologi – LIPI TA 2007. Suripin. 2004. Pelestarian Sumber
Daya Tanah dan Air. ANDI – Yogyakarta. Witoro, S. S. 1997.
Lustrum IX Pendidiakan Teknik Lingkungan ITB, 15 Desember 2007, Dirjen Mineral, Batubara dan Panas
Bumi, Departemen ESDM.
Abstrak
Model NAM merupakan perangkat pemodelan hujan-limpasan yang menciptakan fungsi hidrologi
berdasarkan penyederhanaan langkah algoritma hasil pengamatan peristiwa hidrologi. Fungsi utama dari
model ini adalah untuk memprediksi nilai debit aliran berdasarkan nilai hujan wilayah. Pemodelan yang
dilakukan dalam studi ini bertujuan untuk mengetahui kelayakan penerapan model NAM dan kondisi
umum yang terjadi pada daerah studi dengan pemodelan basis harian pada DAS Cikapundung Hulu
outlet Maribaya tahun 2002 hingga 2005.Verifikasi pemodelan dengan analisis debit andalan untuk
probabilitas kejadian 50%, 75%, 80%, 90%, 95% dan 99% pada tahun 2002-2005 menunjukan selisih
antara debit simulasi dan debit observasi berkisar antara 1,4350 % hingga 40,9711 %. Sedangkan melalui
proses kalibrasi berbasis keseluruhan tahun 2002 hingga tahun 2005 menghasilkan nilai tingkat
kesalahan NS=-1,171, nilai RVE=0,000 % dan nilai R=0,441. Hal ini menunjukan bahwa pemodelan
hujan-limpasan dengan model NAM pada DAS Cikapundung Hulu outlet Maribaya tahun 2002-2005
sudah memiliki kesesuaian yang cukup baik pada nilai debit simulasi terhadap keseluruhan debit
observasi namun masih belum mampu memberikan hasil yang optimal pada kesesuaian aliran rendah.
Kata kunci: pemodelan hujan-limpasan, model NAM, Sub-DAS Cikapundung Hulu outlet Maribaya
LATAR BELAKANG
Model hidrologi hujan-limpasan merupakan suatu abstraksi terhadap fenomena-fenomena yang terjadi
dalam suatu siklus hidrologi, yang secara khusus memiliki fungsi untuk memperkirakan nilai debit aliran
(streamflow) berdasarkan pengalihragaman nilai hujan wilayah dengan mempertimbangkan kondisi
hidrologi yang terjadi pada wilayah tersebut. Salah satu bentuk model hidrologi hujan-limpasan adalah
model NAM (Nedbør-Afstrømnings Model) yang dikembangkan oleh Bagian Hidrologi di Institute of
Hydrodynamics dan Teknik Hidrolika di Technical University of Denmark, model ini juga banyak digunakan
di berbagai belahan dunia dengan berbagai macam kondisi iklim seperti Greenland, Tanzania, Zimbabwe,
Malawi India, Sri Lanka, Bangladesh, Thailand, Malaysia, Indonesia, dan Filipina (de Laat, 1999). Untuk
wilayah Indonesia, model NAM terindikasi memiliki kinerja yang baik untuk memprediksi ketersediaan air
pada DAS Tukad Yeh Ho di Bali (Sumiati dan Tika, 2005) serta pada Sub DAS Batang Arau (Saputra,
2010). Model NAM memiliki fungsi utama untuk memprediksi besar nilai debit aliran yang berasal dari data
masukan berupa nilai hujan wilayah dan evapotranspirasi potensial dengan mempertimbangkan kondisi
yang terjadi pada daerah tinjauan. Representasi dari kondisi daerah tinjauan ditunjukan dengan nilai
beberapa parameter model, berdasarkan indikasi tersebut maka model NAM ini pun dapat berfungsi untuk
memprediksi kondisi daerah studi secara umum.
Daerah studi yang ditinjau dalam pemodelan adalah pada DAS Cikapundung Hulu titik outlet Maribaya
yang memiliki luas sebesar 75.126.319,90 m2 atau 7513 ha, dengan periode waktu pemodelan pada
tahun 2002-2005. Pada daerah ini mengalir Sungai Cikapundung dari bagian hulu di Gunung Tangkuban
Parahu dan Gunung Bukit Tunggul sampai dengan Pos Duga Air Maribaya. Sebagai suatu kawasan
bagian hulu dari jaringan DAS Cikapundung, pengelolaan dan pengembangan kawasan ini harus terawasi
dan terkendali guna menjamin kuantitas dan kualitas air di bagian hilir. Salah satu bentuk pengawasan
dan pengendalian yang dapat dilakukan adalah dengan menjaga stabilitas ekosistem DAS agar tidak
terjadi perubahan tata guna lahan yang signifikan. Prediksi terhadap kondisi umum tata guna lahan dapat
dievaluasi dari penafsiran nilai beberapa parameter dari model NAM jika hasil pemodelan telah terindikasi
memiliki kinerja yang baik dalam memodelkan fenomena hujan-limpasan, sehingga hasil dari penafsiran
tersebut dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dan rujukan untuk menentukan arah
pengembangan dari daerah studi.
Tujuan dari dilakukannya studi ini adalah untuk menilai kinerja dari model NAM pada DAS Cikapundung
Hulu titik outlet Maribaya, sehingga dari hasil penilaian tersebut dapat diketahui sejauh mana model NAM
mampu memodelkan fenomena hujan-limpasan. Indikasi kinerja pemodelan yang baik ditunjukan dengan
kesesuaian nilai debit hasil simulasi model NAM dengan nilai debit observasi hasil pencatatan pada Pos
Duga Air Maribaya. Untuk membandingkan nilai debit simulasi dan nilai debit observasi tersebut maka
dilakukan pemodelan dengan basis harian. Mempertimbangkan terbatasnya ketersediaan data pada studi
ini, maka nilai masukan berupa evapotranspirasi potensial pada periode waktu pemodelan diasumsikan
sama dengan nilai evapotranspirasi potensial rata-rata pada tahun 1986-1994.
METODOLOGI STUDI
Studi ini dimulai dengan pengumpulan data masukan yang diperlukan dalam pemodelan dengan model
NAM pada DAS Cikapundung Hulu titik outlet Maribaya, yang terdiri dari curah hujan wilayah harian
(berasal dari Analisis Neraca Air Harian DAS Cikapundung Hulu Menggunakan Model HBV 96 (Sanata,
2012)), data evapotranspirasi potensial harian dan luasan daerah studi serta nilai debit observasi harian
sebagai data pembanding untuk nilai keluaran dari hasil pemodelan. Proses pemodelan hujan-limpasan
dengan model NAM dilakukan dengan kalibrasi parameter dan nilai-nilai awal (initial values) yang
dilakukan dengan cara menetapkan dan menyesuaikan nilai kombinasi dari 13 parameter yang dimiliki
oleh model, sehingga didapat suatu koherensi antara nilai debit simulasi terhadap nilai debit observasi.
Koherensi kedua nilai debit kemudian diverifikasi secara visual dan statistik agar didapat suatu penilaian
terhadap kinerja dari model NAM. Verifikasi secara visual dilakukan dengan melihat kemiripan hidrograf
yang dihasilkan dan kemiripan kurva durasi aliran (flow duration curve). Sedangkan verifikasi statistik
dilakukan dengan melihat nilai tingkat kesalahan yang dihasilkan berdasarkan uji statistik NS, RVE, dan
koefisien korelasi R. Proses kalibrasi kembali dilakukan apabila hasil verifikasi menunjukan hasil yang
tidak cukup baik.
menghasilkan nilai tingkat kesalahan yang relatif kecil. Hasil verifikasi ini menunjukan bahwa secara
umum nilai debit simulasi yang dihasilkan telah mampu mewakili pola debit observasi yang ada, namun
demikian untuk kesesuaian pada aliran rendah model NAM ini masih memiliki kekeliruan. Dari hasil
verifikasi visual pada Gambar 1 juga terlihat bahwa model NAM masih memiliki kekeliruan pada
kesesuaian debit puncak pada awal tahun 2005, namun demikian setelah model NAM ini dimodelkan
dengan model hujan-limpasan lain yaitu Model Sacramento dan Model HBV’96 untuk periode waktu
pemodelan dan lokasi studi yang sama, model-model tersebut juga memiliki indikasi ketidaksesuaian yang
relatif sama. Perbandingan antar model tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Perbandingan Model Hujan-Limpasan pada DAS Cikapundung Hulu outlet Maribaya Tahun
2002-2005
Dari perbandingan model pada Gambar 3 terlihat bahwa pada setiap model debit simulasi (garis merah)
untuk periode pemodelan di awal tahun 2005 menunjukan nilai yang relatif lebih besar dibandingkan
dengan nilai debit observasi (garis biru). Peristiwa ini mengindikasikan kemungkinan terjadinya suatu
kekeliruan pemodelan sebagai akibat dari :
1. Kesalahan acak yang berasal dari data masukan, berupa data hujan dan/atau data PET.
2. Kesalahan acak yang berasal dari data pengukuran, berupa data debit observasi.
3. Bias pemodelan akibat dari kelemahan atau ketidaksempurnaan pendekatan struktur model terhadap
peristiwa hidrologi yang terjadi pada daerah studi.
1,4350 % hingga 40,9711 %. Nilai ini menunjukan bahwa masih terdapat kekeliruan pada fokus
kesesuaian aliran rendah.
2. Proses kalibrasi paling baik yang digunakan untuk pemodelan adalah dengan mengkalibrasi
model dalam basis keseluruhan tahun dari tahun 2002 hingga tahun 2005. Proses kalibrasi ini
menghasilkan nilai NS = -1,171, RVE = 0,000 dan R = 0,441, yang menunjukan bahwa
kesesuaian nilai debit simulasi terhadap debit observasi secara menyeluruh sudah cukup baik.
Rekomendasi
Untuk meningkatkan akurasi pemodelan direkomendasikan untuk menggunakan data evapotranspirasi
potensial harian untuk Sub-DAS Cikapundung Hulu titik outlet Maribaya dengan periode waktu pada tahun
2002-2005. Selain itu perlu dilakukan studi lanjutan untuk menilai kinerja dari model NAM pada
keseluruhan DAS Cikapundung dengan titik outlet lain pada Sungai Cikapundung.
REFERENSI
de Laat, P.J.M. (1999). NAM Simplified Spreadsheet version Instruction Manual.
Giantie, Ajeng. (2013). Analisis Neraca Air DAS Cikapundung Hulu Menggunakan Model Sacramento.
Universitas Katolik Parahyangan Fakultas Teknik Program Studi Teknik Sipil, Bandung.
Sanata, Welly. (2012). Analisis Neraca Air Harian DAS Cikapundung Hulu Menggunakan Model HBV 96.
Universitas Katolik Parahyangan Fakultas Teknik Program Studi Teknik Sipil, Bandung.
Sumiati. dan Wayan Tika. (2005). Analisis Kelayakan
Model NAM (Nedbor Afstromnings Model) untuk
Prediksi Ketersediaan Air pada DAS Ho. Universitas Udayana Fakultas Teknologi Pertanian
Jurusan Teknik Pertanian, Denpasar.
KONSEP EKO-DRAINASE
DALAM PERENCANAAN MASTER PLAN DRAINASE KOTA MBAY
Susilawati
Program Studi Teknik Sipil, Universitas Katolik Widya Mandira, Kupang
srsusipi@yahoo.com; sr.susi.dp@gmail.com
Abstrak
Kota Mbay merupakan kota dataran rendah yang diapit oleh deretan pengunungan dan dataran sawah
pertanian. Deretan pegunungan yang gundul ini mengakibatkan air hujan yang jatuh sebagian besar
mengalir sebagai limpasan permukaan menuju dataran rendah perkotaan, sehingga menyebabkan banjir.
Untuk mengatasi banjir ini dikembangkan suatu konsep eko-drainase dalam perencanaan master plan
drainase Kota Mbay. Pada dasarnya konsep eko-drainase dalam perencanaan master plan drainase kota
Mbay ini didasarkan pada prinsip konservasi air, kearifan lokal dan pemberdayaan masyarakat sehingga
sistem dapat berkelanjutan. Kota Mbay yang terdiri dari 3 kelompok daerah dikembangkan dengan 3
macam inovasi yang berbeda pula. Deretan pegunungan dirancang dengan mengembangkan sistem
jebakan air berantai untuk mengurangi limpasan permukaan yang membebani dataran perkotaan. Dataran
rendah perkotaan dirancang dengan mengembangkan sistem jaringan drainase yang bermuara pada
danau-danau kota. Dataran persawahan yang mempunyai masalah masuknya air laut ke areal
persawahan, ditangani dengan mengembangkan sistem tulang ikan. Dari hasil rencana master plan dalam
program jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang, maka inovasi yang dikembangkan dalam
perencanaan master plan drainase Kota Mbay ini sangat ramah lingkungan dan bahkan mampu dibangun
oleh masyarakat sendiri dan juga dikelola sendiri, sehingga sistem akan lebih berkelanjutan.
Kata Kunci: eko-drainase, jebakan air berantai, danau kota, sistem tulang ikan
LATAR BELAKANG
Latar Belakang Permasalahan
Kota Mbay merupakan kota dataran rendah yang diapit oleh deretan pengunungan dan dataran sawah
pertanian (Gambar 1).
Deretan pegunungan yang gundul ini mengakibatkan air hujan yang jatuh sebagian besar mengalir
sebagai limpasan permukaan menuju dataran rendah perkotaan, sehingga menyebabkan banjir (Gambar
2).
Gambar 2. Deretan pegunungan yang gundul yang mengakibatkan banjir di pemukiman kota
(Sumber : Bappeda dan Statistik, 2010)
Banjir dan genangan yang cukup luas dan lama di setiap musim hujan tersebut disebabkan oleh beberapa
faktor antara lain:
1. Secara fisik alami jenis tanah di dataran perkotaan adalah jenis tanah sedimentasi yang mempunyai
daya resapan air rendah. Kondisi permukaan tanah yang sangat datar dan vegetasi yang sangat
jarang pada daerah tangkapan hujan, yaitu deretan pegunungan gundul menjadi penyebab terjadinya
erosi dan banjir yang secara berulang setiap tahun terjadi.
2. Geomorfologi dataran Mbay merupakan delta hasil endapan tanah alluvial yang sangat rata dan pada
beberapa lokasi menyulitkan aliran air secara gravitasi.
3. Kurangnya pemeliharaan drainase yang ada oleh dinas terkait maupun rendahnya kesadaran
masyarakat untuk ikut menjaga kondisi drainase di lingkungannya (Gambar 3 dan 4).
air tanah, dan penyediaan air bersih. Infiltration pada dasarnya dapat terjadi pada semua permukaan
yang porous dan ditumbuhi oleh tumbuhan.
4. Water harvesting, adalah menangkap dan menggunakan air hujan secara langsung. Dalam
aplikasinya, air hujan ditampung dalam kolam-kolam penampungan. Pada musim hujan, bila air hujan
yang harus ditampung melebihi kapasitas kolam, air ini akan dialirkan melalui outlet.
Pemilihan bentuk manajemen drainase yang tepat akan sangat tergantung pada karakteristik persoalan di
wilayah kajian. Oleh karenanya pemilihan bentuk manajemen drainase yang tepat seharusnya didasarkan
kepada kriteria-kriteria sosial, ekonomi, dan fisik lingkungan, serta visi dan misi wilayah kajian.
Proses Pengembangan Sistem Pengelolaan Drainase Secara Terpadu Berwawasan Lingkungan
(Eco-Drain)
Proses pengembangan sistem pengelolaan drainase secara terpadu berwawasan lingkungan (eco-drain)
meliputi beberapa tahapan kegiatan yaitu (Maryono, 2005):
1. Perencanaan sistem eco-drain. Perencanaan ini merupakan tahapan awal pengelolaan sebagai upaya
untuk menyusun rencana detail dan usulan program investasi yang komprehensif, berdasarkan kajian
dari berbagai aspek sebagai acuan dalam penyelenggaraan pengelolaan sistem. Hal ini dimaksudkan
untuk memaksimalkan segala upaya dan potensi di kawasan/lokasi sehingga rencana pengelolaan
drainase secara terpadu berwawasan lingkungan (eco-drain) dapat terlaksana secara
berkesinambungan dan berkelanjutan. (1) Identifikasi Masalah dan Penetapan Kawasan / Lokasi
Prioritas ditangani; (2) Penyusunan Studi Kelayakan (Feasibility Study) dan Penyusunan Program
Investasi; (3) Penyusunan Studi Pemberdayaan dan Pengelolaan Sampah Terpadu (3R); (4)
Penyusunan Studi Sanitasi Berbasis Masyarakat (SANIMAS). (5) Penyusunan Perencanaan Teknis
(Detail Engineering Design) untuk Saringan Sampah dan bangunan pelengkapnya, Unit perangkap dan
pengolahan sedimen dan Unit pengolahan air limbah dan bangunan pelengkapnya; (6) Penyusunan
Dokumen Usaha Pengelolaan Lingkungan (UKL/UPL).
2. Pelaksanaan sistem eco-drain. Pelaksanaan sistem ini meliputi: (1) Pengorganisasian; (2) Tahapan
pelaksanaan; (3) Pelaksanaan pengadaan barang dan jasa; dan (4) Pelaksanaan kegiatan 3 R
(Reduce, Reuse, Recycle).
3. Operasional dan pemeliharaan (O&P) sistem eco-drain. Fasilitas kegiatan fisik dan bantek pengelolaan
drainase secara terpadu berwawasan lingkungan (eco-drain) dari Pemerintah Pusat hanya merupakan
stimulan dari Pemerintah Pusat (Direktorat PLP – Ditjen Cipta Karya) yang selanjutnya setelah diserah
terimakan kepada Pemerintah Kota/Kabupaten, maka pengelolaan pasca pembangunan pada
dasarnya menjadi tanggung jawab Pemerintah Kota/Kabupaten
4. Sosialisasi dan penguatan peran serta masyarakat dan swasta. Dalam penerapan konsep pengelolaan
drainase secara terpadu berwawasan lingkungan, misalnya penanganan sampah dengan reduksi
sampah dari sumbernya merupakan langkah yang paling efektif dalam mengurangi timbulan sampah
yang akan dibuang ke TPA (tertangani) maupun sampah yang potensial dibuang ke
sungai/saluran/waduk dan atau prasarana dan sarana lainnya. Konsep yang dapat dikembangkan
adalah dengan pengelolaan sampah berdasarkan pendekatan 3R (Recycle, Reuse & Reduce) yang
didasari oleh pendekatan pengelolaan sampah terpadu berbasis masyarakat. Pengelolaan sampah
terpadu berbasis masyarakat adalah suatu pendekatan pengelolaan sampah yang didasarkan pada
kebutuhan dan permintaan masyarakat, direncanakan, dilaksanakan (jika feasible), dikontrol dan
dievaluasi bersama masyarakat. Dalam pengertian ini pemeran (penguasa, kekuatan) utama dalam
pengelolaan sampah adalah masyarakat. Pemerintah dan lembaga lainnya hanyalah sebagai motivator
dan fasilitator.
5. Pengendalian pelaksanaan kegiatan eco-drain. Pengendalian adalah segala tindakan yang dilakukan
dalam pengorganisasian pengelolaan drainase untuk meningkatkan kemungkinan tercapainya maksud
dan tujuan yang telah ditetapkan, yakni memulihkan/meningkatkan kualitas aliran saluran drainase/
sungai perkotaan dari pencemaran yang diakibatkan oleh sampah dan air limbah rumah tangga dan
memandu pengelolaan drainase secara terpadu agar berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
Tindakan pengendalian dapat bersifat preventif (untuk menghindarkan terjadinya sesuatu yang tidak
diinginkan), detektif (untuk menemukan dan memperbaiki sesuatu hal yang tidak diinginkan yang telah
terjadi), atau direktif (untuk menimbulkan atau mendorong terjadinya sesuatu yang diinginkan).
Pengendalian kegiatan ini dimaksudkan untuk meyakinkan terlaksananya tujuan yang telah ditetapkan,
menjamin pelaksanaan kegiatan berdasarkan dokumen dan meningkatkan efisiensi dan efektivitas
pelaksanaan kegiatan. Studi kelayakan dan Bantuan Teknis (Bantek) merupakan alat kendali
pelaksanaan pengelolaan Drainase secara terpadu berwawasan lingkungan (eco-drain). Kegiatan
pengendalian dilaksanakan pada setiap tahapan pelaksanaan sejak tahap perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan dan pengelolaan kegiatan eco-drain. Pengendalian pelaksanaan
dilakukan oleh Satuan Kerja Pengembangan PLP tingkat provinsi dan atau dinas teknis setempat atau
unit pengelola teknis/UPT/badan tertentu sesuai kewenangan yang ditetapkan oleh kelembagaan
pemrakarsa kegiatan eco-drain atau dapat ditetapkan kemudian berdasarkan kesepakatan para
pemangku kepentingan.
6. Monitoring dan evaluasi. Sistem monitoring dan evaluasi kegiatan Pengelolaan Drainase Secara
Terpadu Berwawasan Lingkungan (eco-drain) perlu dilakukan untuk mengendalikan kegiatan-kegiatan
yang dilaksanakan mulai dari tahap persiapan dan perencanaan, pelaksanaan sampai dengan
pemanfaatnannya di lapangan. Sistem di atas perlu dilengkapi dengan sistem informasi yang
terencana sebagai bahan masukan bagi upaya Pengelolaan Drainase Secara Terpadu Berwawasan
Lingkungan (eco-drain) pada lokasi/kawasan lainnya. Tujuan kegiatan ini adalah untuk
memantau/memonitor perkembangan pelaksanaan kegiatan, mengendalika kinerja pelaksanaan,
memberi masukan-kelengkapan pertanggung jawaban dan informasi yang terkait kegiatan.
Strategi Pengembangan Sistem Pengelolaan Drainase Secara Terpadu Berwawasan Lingkungan
(Eco-Drain)
Dalam pengelolaan drainase secara terpadu berwawasan lingkungan (eco-drain) diperlukan strategi dalam
implementasi dan pengembangannya. Strategi pengembangan konsep eco-drain meliputi:
1. Strategi dimulai dari sumber. Konsep strategi ini bersifat preventif, merupakan pendekatan
manajemen hujan yang meminimalkan daerah kedap air (permukaan yang terbangun), mereduksi
hubungan langsung antara daerah kedap air dengan sistem pengaliran drainase dan perencanaan
diupayakan agar dapat menyerupai seperti kondisi alamiah, yang akhirnya akan lebih ekonomis,
lebih estetika dan secara teknis lebih baik. Konsep ini sangat memperhatikan hujan ringan sekalipun
karena frekuensi yang sering akan menyebabkan volume yang banyak juga. Konsep ini sederhana
tapi efektif, karena dalam banyak hal mampu menyelesaikan masalah dengan baik.
2. Bertindak berdasarkan prioritas. Prioritas penanganan agar difokuskan dalam menangani suatu
kawasan/ruas/segmen sungai, saluran drainase dan atau badan air lainnya, yang rawan terjadi
pencemaran air, sampah perairan, banjir dan genangan. Selain kawasan/ruas/segmen tersebut
terjadi tekanan terhadap perubahan tata guna lahan dengan cepat (kepadatan penduduk dan
bangunan yang tinggi), terdapat permasalahan pencemaran air, sampah sungai dan banjir yang tidak
tertangani, dan memiliki nilai sumber daya ekologi yang tinggi. Penetapan prioritas penanganan
adalah berdasarkan hasil penilaian dengan menggunakan perangkat penilaian (scoring tools).
3. Pendekatan manajemen bencana. Kondisi banjir dan pencemaran air akibat sampah dan limbah cair
perkotaan yang masuk ke saluran drainase dapat digolongkan sebagai kondisi bencana
sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 7 Tentang Sumber Daya Air Tahun 2004. Sehingga
strategi pendekatan yang dapat dilakukan dalam pengelolaan drainase adalah strategi pendekatan
manajemen bencana (disaster management) yang bersifat menyeluruh dan terpadu.
Pengelolaan drainase secara terpadu berwawasan lingkungan (eco-drain) dilakukan secara
bertahap, dari pencegahan sebelum terjadi pencemaran air dan penumpukan sampah perairan
(prevention), penanganan saat pencemaran air dan penumpukan sampah perairan
(response/intervention), dan pemulihan setelah terjadi pencemaran air dan penumpukan sampah
perairan (recovery). Tahapan tersebut berada dalam suatu siklus kegiatan penanggulangan
bencana. Bilamana telah terjadi kondisi darurat bencana pencemaran air, sedimen dan sampah
sungai maka strategi penanganan (intervensi dan responsif) adalah dimulai dari (segmen) hilir yang
secara bertahap bersamaan dengan adanya pemulihan kualitas air menuju ke (segmen) lebih hulu.
4. Ujicoba solusi dan menghemat biaya dengan manajemen pengelolaan adaptif dan berkelanjutan.
Pelaksanaan kegiatan proyek percontohan kegiatan eco-drain yang diujicobakan di Kota Bandung,
Surabaya, Denpasar dan Badung merupakan bagian dari proses ujicoba solusi penanganan saluran
drainase secara terpadu berwawasan lingkungan. Diharapkan dari berbagai permasalahan, kendala
dan keberhasilan sejak proses perencanaan, pelaksanaan, pengendalian pelaksanaan dan
monitoring evaluasi kegiatan eco-drain di kota-kota tersebut dapat menjadi suatu pembelajaran
(lesson learned) bagi pelaksanaan kegiatan serupa dikota lain. Aplikasi berbagai teknologi dan solusi
permasalahan kegiatan ecodrain selanjutnya agar tidak hanya efektif tetapi juga efisien secara waktu
dan pembiayaan dalam suatu konsep pengelolaan yang fleksibel dan adaptif dengan kondisi dan
karakteristik permasalahan yang ditemui.
METODOLOGI STUDI
Metodologi dalam inovasi sistem ini dijelaskan seperti dalam diagram berikut ini.
3. Kawasan dataran persawahan yang terletak di bagian hilir atau utara Kota Mbay, yang merupakan
kawasan pesisir pantai, dengan batuan penyusun sama dengan dataran permukiman, berupa
material lepas yaitu aluvium dan endapan pantai.
Selain hal tersebut di atas, pembagian wilayah penanganan/zonasi juga didasarkan pada fungsi tata guna
lahan, dimana juga dapat dikategorikan dalam 3 kawasan (Gambar 5):
1. Kawasan perbukitan di bagian hulu atau selatan kota yang sebagian besar berupa hutan belukar,
rumput yang gundul dan tandus, sehingga mudah terjadi erosi ketika turun hujan.
2. Kawasan dataran permukiman di bagian tengah kota yang merupakan kawasan perkotaan dan pusat
kegiatan pemerintahan, yang sering terjadi genangan air atau banjir karena limpasan permukaan air
hujan dari kawasan perbukitan.
3. Kawasan dataran persawahan di bagian utara atau hilir di pesisir pantai, yang sebagian besar terdiri
dari sawah lahan basah dengan irigasi teknis dan sedikit permukiman serta rencana
dikembangkannya Bandara Surabaya II. Di kawasan ini sudah mulai terjadi interusi air laut, karena
hilangnya pelindung pantai berupa hutan bakau.
Atar dasar pertimbangan di atas, maka penanganan drainase Kota Mbay dilakukan dengan menggunakan
konsep pengelolaan drainase kota yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan (eko-drainase).
Konsep yang digunakan untuk memecahkan masalah drainase Kota Mbay ini, didasarkan pada prinsip
ekologi atau berwawasan lingkungan, konservasi dan berkelanjutan. Konsep ini berdasarkan prinsip tidak
hanya sekedar menghilangkan air genangan atau banjir yang mengganggu kegiatan perkotaan, tetapi
bagaimana dapat dimanfaatkan untuk kepentingan yang positif. Karenanya pendekatan dibagi dalam 3
metode, yaitu penanganan wilayah hulu, wilayah tengah atau permukiman dan wilayah hilir dan pantai
yaitu persawahan.
Penanganan Wilayah Hulu/Perbukitan
Untuk mengatasi permasalah erosi dan limpasan permukaan yang besar di wilayah hulu yang berupa
perbukitan gundul dan tandus, maka digunakan metode pendekatan yang memperlambat aliran
permukaan dan upaya konservasi dengan meningkatkan vegetasi di perbukitan. Sistem jebakan air
berantai dapat diterapkan di wilayah ini untuk memperlambat aliran permukaan dan meresapkan air
tersebut ke dalam tanah sehingga dapat menjadi imbuhan air tanah. Sedangkan untuk cara vegetasi
diterapkan dengan sistem lubang sisik ikan yang diterapkan untuk wilayah hulu ini. Sistem ini
memungkinkan terjadinya resapan air ke dalam tanah melalui lubang-lubang tanam yang dibuat, sehingga
dapat memberikan ketersediaan air bagi tanaman yang ditanam dalam lubang tersebut disamping
ketersediaan air juga diharapkan dari sistem jebakan air berantai yang diterapkan.
Jebakan air berantai Vegetasi sistem lubang sisik ikan Jebakan air dari bronjong batu
Jebakan air dari batang tanaman untuk alur alam dari tanah Jebakan air batang kayu tersusun
Gambar 6. Cara-cara penanganan wilayah hulu
Penanganan Wilayah Tengah/Dataran Permukiman
Untuk mengatasi permasalahan kawasan dataran permukiman di wilayah tengah yang merupakan
kawasan perkotaan dan pusat kegiatan pemerintahan, dimana sering terjadi genangan air atau banjir
karena limpasan permukaan air hujan dari kawasan perbukitan, maka penanganannya adalah simultan
antara penanganan wilayah hulu berupa perbukitan dan penanganan di wilayah tengah dengan konsep
eko-drainase. Penanganan wilayah tengah atau dataran permukiman ini dilakukan dengan 2 pendekatan
berupa:
1. Pendekatan secara fisik engineering, yaitu pendekatan eko-hidrolik berupa jaringan saluran drainase
dan kolam retensi dengan konsep kawasan, serta bangunan panen air hujan skala rumah tangga.
2. Pendekatan bersifat non fisik berupa kebijakan/peraturan daerah.
Yang dimaksud dengan pendekatan eko-hidrolik adalah pendekatan secara hidrolika saluran drainase kota
dengan berdasarkan konsep ekologi atau berwawasan lingkungan, artinya tidak serta merta membuang air
ke sungai atau laut, tetapi air banjir tersebut diarahkan pada suatu kolam retensi yang berfungsi sebagai
pengendali banjir dan sekaligus dapat bermanfaat sebagai danau kota yang dapat dikembangkan sebagai
tempat wisata kota. Danau kota dapat juga difungsikan sebagai cadangan air darurat dalam situasi
kebutuhan air untuk mengatasi kebakaran ataupun sebagai kolam budidaya ikan air tawar. Pendekatan
eko-hidrolik saluran drainase kota dapat juga dilakukan dengan konsep long storage channel, atau saluran
yang dapat berfungsi sebagai tampungan memanjang. Beberapa macam konstruksi danau kota atau
kolam retensi dijelaskan seperti pada Gambar 7. Konstruksi ini diterapkan sesuai dengan kondisi bahan
material yang tersedia di lapangan.
KESIMPULAN
Dari hasil studi ini dapat disimpulkan bahwa ketika suatu permasalahan terkait drainase kota diselesaikan
dengan sistem yang bertolak pada keadaan alam dan kearifan lokal yang ada, serta dipilah-pilah sesuai
dengan strategi penanganan yang ditemukan, maka perencanaan suatu sistem drainase menjadi lebih
terjamin keberlanjutannya.
REKOMENDASI
Rekomendasi yang dapat diberikan untuk mengembangkan inovasi dalam sistem ini adalah ketelitian
dalam investigasi awal, baik potensi-potensi kearifan lokal yang dapat ditangkap untuk dikembangkan,
maupun perwujudan penanganan yang teliti dan tetap.
REFERENSI
Bapeda dan Statistik, 2010. Laporan Akhir Penyusunan Master Plan Drainase Kota Mbay
Google Earth, 2003. Citra Satelit Wilayah Mbay.
Maryono Agus, 2005. Banjir, Kekeringan, dan Lingkungan. Gajah Mada University Press.
Susilawati, 2011. Pengelolaan Air Hujan untuk Pertanian pada Pulau Kecil di Kawasan Kering Indonesia.
Gita Kasih, Kupang, Indonesia