Anda di halaman 1dari 306

Perpustakaan Nasional Republik Indonesia

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air 2014, Pengelolaan Sumber Daya Air Wilayah Perkotaan :
12 September 2015 : prosiding. Universitas Katolik Parahyangan : Jurusan Teknik Sipil,
2015
xiv, 299 halaman; 21 x 29,7 cm

ISBN 9786027143227
1.

Sumber Daya Air Seminar 1. Judul

Reviewer
1.
2.
3.
4.
5.

Doddi Yudianto, Ph.D


Olga Catherina Pattipawaej, Ph.D
Drs. Waluyo Hatmoko, M.Sc,. PU-SDA
Dr. Ir. Ariani Budi Safarina, M.T.
Stephen Sanjaya, S.T.

The statements and opinion expressed in the papers are those of the authors themselves and do not necessarily
reflect the opinion of the editors and organizers. Any mention of company or trade name does not imply endorsement
by organizers

ISBN 9786027143227

Copyright 2015, Jurusan Teknik Sipil Itenas Bandung


Not to be commercially reproduced by any meants without written permission
Printed in Bandung, Indonesia, September 2015
Penerbit : Jurusan Teknik Sipil Itenas Bandung

PRATAKA
Puji dan syukur kita panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas segala ridhoNya Seminar
Nasional Teknik Sumber Daya Air dapat kita selenggarakan bersama pada hari Sabtu, 12 September 2015 di Bale
Dayang Sumbi (GSG) Institut Teknologi Nasional Bandung. Seminar ini pada dasarnya merupakan kegiatan hasil
kerjasama antara 12 instansi yaitu: Jurusan Teknik Sipil Unjani, Program Studi Teknik Sipil Unpar, Program Studi
Teknik dan Pengelolaan Sumber Daya Air ITB, Jurusan Teknik Sipil Unla, Jurusan Teknik Sipil Itenas, Program
Teknik Sipil UK Maranatha, Departemen Teknik Sipil Polban, Pusat Litbang Sumber Daya Air (Pusair), Himpunan
Ahli Teknik Hidraulik Indonesia (HATHI) Cabang Jawa Barat, Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air (DPSDA) Provinsi
Jawa Barat, Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Citarum dan Dinas Bina Marga dan Pengairan (DBMP) Kota
Bandung.
Sebagaimana kita sadari bahwa permasalahan terkait sumber daya air di wilayah perkotaan yang kian
semakin kompleks seiring dengan pesatnya tingkat urbanisasi yang mengakibatkan meningkatnya berbagai aktivitas
sosial-ekonomi perkotaan, penggelontoran saluran, pemeliharaan sungai dan sebagainya. Selain itu seiring dengan
pesatnya pertumbuhan teknologi termasuk di bidang informasi dan komunikasi, pengelolaan sumber daya air di
kawasan perkotaan juga dihadapkan pada tuntutan layanan yang lebih tinggi tidak hanya secara kuantitas melainkan
secara kualitas dan keberlanjutannya.
Untuk itu melalui seminar yang bertemakan Pengelolaan Sumber Daya Air Wilayah Perkotaan ini diharapkan
dapat menjadi media bagi para akademisi, peneliti, praktisi, pengamat lingkungan, dan masyarakat untuk
memperoleh dan bertukar informasi serta pengalaman dalam rangka mendukung tercapainya pengelolaan sumber
daya air yang berkelanjutan. Tentu informasi yang disampaikan dalam seminar ini masih jauh dari sempurna, namun
demikian besar harapan bahwa kegiatan ini dapat memberikan kontribusi pemikiran atau gagasan bagi
pengembangan keilmuan dan penyelenggaraan praktis pengelolaan sumber daya air khususnya untuk wilayah
perkotaan. Sesuai dengan tema seminar, buku panduan ini telah disusun sedemikian rupa memuat seluruh abstrak
dari makalah yang disajikan dalam seminar dengan 4 (empat) sub tema yaitu konservasi sumber daya air,
pendayagunaan sumber daya air, pengendalian daya rusak air, serta pemberdayaan masyarakat dan penguatan
hukum dan kelembagaan.
Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kami sampaikan kepada semua pihak yang
telah membantu terselenggaranya seminar ini. Semoga seminar ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua demi
terwujudnya pengelolaan sumber daya air yang lebih baik di kemudian hari.

Bandung, September 2015


PANITIA

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

DAFTAR ISI
PRATAKA ....................................................................................................................................................................... i
DAFTAR ISI ................................................................................................................................................................... ii
SAMBUTAN KETUA PANITIA ....................................................................................................................................... v
SAMBUTAN REKTOR ITENAS .................................................................................................................................... vi
KEYNOTE SPEECH I
(Dr. Ir. Arie Setiadi - Kepala Balai Penelitian dan Pengembangan Kementerian PUPR)..............................................vii
SEKILAS TENTANG SEMNAS ...................................................................................................................................... x
Latar Belakang .......................................................................................................................................................... x
Tujuan ....................................................................................................................................................................... x
Tema ......................................................................................................................................................................... x
Sub Tema.................................................................................................................................................................. x
Peserta ..................................................................................................................................................................... xi
Sekretariat ................................................................................................................................................................ xi
Tim Reviewer ........................................................................................................................................................... xi
SUSUNAN KEPANITIAAN ........................................................................................................................................... xii
A.

Pengarah ........................................................................................................................................................ xii

B.

Panitia Pelaksana ........................................................................................................................................... xii

SUSUNAN ACARA SEMINAR .................................................................................................................................... xiv


UCAPAN TERIMA KASIH ........................................................................................................................................... xiv
SUB TEMA 1: KONSERVASI SUMBER DAYA AIR
IMPLEMENTASI MODEL XINANJIANG YANG BERBASIS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DALAM ANALISIS
NERACA AIR DAS JIANGWAN
(Steven Reinaldo Rusli, Jin Tao Liu, Doddi Yudianto)

STUDI EVALUASI KUALITAS AIR SITU GEDE KOTA TANGERANG


(Eka Wardhani, Kancitra Pharmawati, dan Indra)

16

KORELASI ANTARA SUBSIDEN AIR TANAH EMISI KARBON LAHAN RAWA GAMBUT
(L. Budi Triadi, Maruddin F. Marpaung)

30

KAJIAN TERHADAP KETEPATAN PEMETAAN KERENTANAN PENCEMARAN AIR TANAH MENGGUNAKAN


METODE DRASTIC PADA KONDISI DATA AKIFER TERBATAS
(Elly Kusumawati B)

41

SUB TEMA 2: PENDAYAGUNAAN SUMBER DAYA AIR


PEMODELAN PERAMALAN CURAH HUJAN PADA DAS PAMARAYAN DENGAN METODE ESIM
(Stephen Sanjaya, Bambang Adi Riyanto, Andreas Franskie Van Roy)
ii

60

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

APLIKASI PENGINDERAAN JAUH UNTUK MENDETEKSI KEKERINGAN LAHAN DI KABUPATEN KUPANG


(Basori)

68

APLIKASI TEKNOLOGI MEMBRAN PADA INSTALASI PENGOLAHAN AIR LIMBAH DI RSUD LEBONG
BENGKULU DALAM RANGKA PEMANFAATAN AIR RE-USE
(Mohammad Imamuddin)

78

STUDI EVALUASI OPTIMASI TURBIN PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA MINIHIDRO DESA PUSAKA JAYA,
KABUPATEN CIANJUR
(Steven Sergij Salim, Bambang Adi Riyanto)

93

TANTANGAN DAN PERBAIKAN SISTEM BENDUNG SUNGAI GESEK DALAM PENYEDIAAN AIR BAKU DI
PULAU BINTAN
(Slamet Lestari)

100

POLA PERGERAKAN ALIRAN DI MUARA SUNGAI MUSI DENGAN MENGGUNAKAN PROGRAM MIKE-21 FLOW
MODEL
(Achmad Syarifudin, Eka Puji Agustini)

111

SUB TEMA 3: PENGENDALIAN DAYA RUSAK AIR


PERENCANAAN PENGENDALIAN BANJIR DI JAKARTA
(Tri Hardhono, Beny Syahputra)

118

ANALISIS SISTEM CLUSTER SEBAGAI UPAYA PENGENDALIAN LIMPASAN PERMUKAAN PADA KAWASAN
INDUSTRI
(Obaja Triputera Wijaya, Doddi Yudianto, GUAN Yiqing)

123

SISTEM PENGENDALIAN EROSI UNTUK MEMPERTAHANKAN LAPISAN TANAH SUBUR PADA LAHAN
PERTANIAN PRODUKTIF STUDI KASUS: DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CITARUM HULU
(Dede Sumarna, H. Bakhtiar. AB).

132

PENGENDALIAN BANJIR PADA KAWASAN TAMBANG TIMAH DI KABUPATEN BANGKA


(Parindra A. Wardhana, Meru Condro Wiguno, Yudi Wachyudiana)

145

EVALUASI KAPASITAS SALURAN DRAINASE PADA KAWASAN PERMUKIMAN MANDIRI BERWAWASAN


PENDIDIKAN
(Sandy Sella Fajar, Doddi Yudianto)

155

EVALUASI DAMPAK PEMBANGUNAN GEDUNG TERHADAP KINERJA SISTEM DRAINASE KAMPUS


(Arnold Saputra, Doddi Yudianto)

163

EVALUASI KINERJA SISTEM DRAINASE PADA KAWASAN PEMUKIMAN DI BANDUNG TIMUR


(Mesta Saktina, Doddi Yudianto)

176

UPAYA PENGENDALIAN BANJIR SUNGAI CICADAS KOTA BANDUNG


(Dwi Aryani Semadhi, Winskayati)

188

PENGGUNAAN BIOPORI SEBAGAI ALTERNATIF MENGURANGI GENANGAN BANJIR DAERAH PERKOTAAN


(Achmad Syarifudin, Hendri, Mega Yunanda)
Bandung, 12 September 2015

196
iii

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

OPTIMASI SISTEM PERKUATAN TANGGUL BANJIR SUNGAI TEMBUKU DALAM MENANGGULANGI POTENSI
BANJIR KOTA JAMBI
(Slamet Lestari)

200

PENANGANAN EROSI PANTAI DI DESA PUSAKA JAYA UTARA SAMPAI DENGAN MUARA BUNTU
KABUPATEN KARAWANG
(Yati Muliati, Yunus Purwanto, Ahmad Luthfi)

214

SUB TEMA 4: PEMBERDAYAAN MASYARAKAT, PENGUATAN HUKUM, DAN KELEMBAGAAN


PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR TERPADU DALAM RANGKA PENYEDIAAN AIR BERSIH BERBASIS
MASYARAKAT DI KABUPATEN LAMONGAN
(Feril Hariati)

225

PERAN MASYARAKAT DALAM PENGENDALIAN DAYA RUSAK AIR DI KABUPATEN BOGOR


(Widya Nasarita Fitriz, Parindra Ardi Wardhana, Meru Condro Wiguno)

236

EVALUASI TINGKAT KEPEKAAN SISWA TERHADAP PELESTARIAN SUMBER DAYA AIR


(Anastasia Septya Wardaningrum dan Tidani Sillo Hines Aluhnia Zebua)

248

ANALISIS RISIKO KEMITRAAN PEMERINTAH SWASTA (KPS) PADA PROYEK PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA
MINIHYDRO (PLTMH)
(Ririn Rimawan)

258

PERLINDUNGAN KAWASAN PENYANGGA MATA AIR SEBAGAI UPAYA KONSERVASI MELALUI KKN-PPM
(Restu Wigati, Soelarso)

iv

291

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

SAMBUTAN KETUA PANITIA


Assalamualaikum. Wr. Wb. Salam sejahtera bagi kita semua.
Dengan mengucap syukur ke hadirat Allah SWT, kami bersyukur pada hari ini Sabtu,
12 September 2015 kita dapat berkumpul pada Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air di
Bale Dayang Sumbi (Gedung Serba Guna) Itenas Bandung dalam keadaan sehat wal afiat.
Penyelenggaraan seminar ini merupakan kelanjutan dari rangkaian seminar tahun
2006-2010 atas kerjasama 5 instansi dan seminar 20 September 2014 di Unpar, yang sejak
tahun 2014 terlaksana atas kerjasama yang baik antara 12 instansi, yaitu: Jurusan Teknik Sipil
Itenas, Jurusan Teknik Sipil Unjani, Program Studi Teknik Sipil Unpar, Program Studi Teknik
dan Pengelolaan Sumber Daya Air ITB, Jurusan Teknik Sipil UK Maranatha, Jurusan Teknik
Sipil Unla, Departemen Teknik Sipil Polban, DPSDA Provinsi Jawa Barat, Puslitbang Sumber
Daya Air, HATHI Cabang Jabar, BBWS Citarum dan DBMP Kota Bandung.
Pengelolaan Terpadu untuk Mendukung Ketahanan Air Berkelanjutan di Kawasan Perkotaan adalah tema
seminar yang dipilih atas beberapa pertimbangan antara lain permasalahan ketersediaan, pemanfaatan,
pengembangan dan pengelolaan air bagi wilayah perkotaan. Seiring dengan pesatnya tingkat urbanisasi, ketahanan
air di kawasan perkotaan merupakan faktor kunci terkait kemampuan masyarakat perkotaan untuk dapat
menyediakan akses dalam rangka pemenuhan kebutuhan air sehari-hari yang merupakan hak azasi setiap manusia.
Selain itu, air dibutuhkan kawasan perkotaan untuk menopang berbagai aktivitas sosial-ekonomi perkotaan,
penggelontoran saluran, pemeliharaan sungai dan sebagainya. Tidak hanya secara kuantitas, pemenuhan
kebutuhan air tetap harus menyertakan ketahanan kualitas air sesuai dengan baku mutunya. Dengan memanfaatkan
berbagai teknologi pintar atau smart technology yang tersedia, pengelolaan sumber daya air diupayakan untuk dapat
diimplementasikan secara lebih efisien dan efektif serta berkelanjutan.
Memperhatikan berbagai permasalahan tersebut di atas, peran serta pemerintah bersama masyarakat
menjadi langkah penting untuk dapat menyelenggarakan pengelolaan air secara terpadu untuk wilayah perkotaan
dengan mengintegrasikan kepentingan berbagai sektor, wilayah, dan para pemilik kepentingan dalam bidang sumber
daya air. Tidak terlepas dari itu, perguruan tinggi sebagai lembaga pendidikan memiliki peran kunci untuk
mendukung penyelesaian masalah dan penerapan konsep pembangunan yang berkelanjutan khususnya untuk
wilayah perkotaan.
Pada kesempatan ini kami ucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada para pemakalah yang telah
bersedia hadir dan berbagi ilmu sehingga dapat menambah wawasan para peserta seminar.
Akhir kata ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada para anggota panitia
Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air atas kerjasamanya selama ini dan kesediaannya untuk mencurahkan
segenap pikiran, waktu dan sebagian finansialnya dalam mempersiapkan acara ini. Kami mohon maaf jika terjadi
kekurangan dalam penyelenggaraan seminar ini. Semoga segala amal baik Ibu, Bapak, dan Saudara sekalian
mendapatkan imbalan dari Allah SWT.
Selamat Berseminar dan Terima kasih.
Wabillahi Taufik Walhidayah.
Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,
Panitia Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air 2015
Ketua,
Yati Muliati
Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

SAMBUTAN REKTOR ITENAS


Segala puji bagi Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, karena berkat
rahmat dan anugerahNya maka Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air 2015 dengan
tema Pengelolaan Terpadu untuk Mendukung Ketahanan Air Berkelanjutan di Kawasan
Perkotaan dapat dilaksanakan dengan baik. Seminar nasional ini terwujud atas kerjasama
antara Institut Teknologi Nasional Bandung (Itenas) dengan konsorsium enam perguruan
tinggi Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Katolik Parahyangan, Universitas Kristen
Maranatha, Universitas Jenderal Achmad Yani, Politeknik Negeri Bandung (Polban),
Universitas Lalangbuana, HATHI cabang Bandung, Pusair, Balai Besar Wilayah Sungai
Citarum, DPSDA Provinsi Jawa Barat dan DBMP kota Bandung. Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air ini
dilaksanakan tiap tahun yang merupakan wadah pertukaran ilmu, ide serta pengalaman dalam mengembangkan
dan mengaplikasikan ilmu sumber daya air, sekaligus juga merupakan ajang sambung rasa oleh segenap peserta
seminar khususnya anggota HATHI.
Tema Pengelolaan Terpadu untuk Mendukung Ketahanan Air Berkelanjutan di Kawasan Perkotaan sangat
relevan dan menarik untuk didiskusikan saat ini, hal ini dikarenakan permasalahan dan tantangan pemenuhan
kebutuhan air bersih dan berkualitas secara berkesinambungan dan merata bagi penduduk di kawasan perkotaan
makin sulit dan kompleks. Permasalahan dan tantangan yang dihadapi dalam pemenuhan air bersih dan berkualitas
di masa depan khususnya di kawasan perkotaan adalah pertumbuhan penduduk di kawasan perkotaan terus
meningkat tajam akibat urbanisasi, ruang terbuka hijau sangat terbatas akibat pengendalian penggunaan lahan dan
pembangunan yang belum baik, kebutuhan air terus meningkat sehingga pengambilan air tanah yang tidak
terkendali, infrastruktur sistem drainase yang belum tercukupi, menurunnya kualitas air akibat pertumbuhan sampah
dan limbah yang cenderung naik, koordinasi lembaga terkait belum optimal, dan presepsi pemangku kepentingan
tentang permasalahan utama air yang belum selaras, peran serta masyarakat dalam menjaga lingkungan yang
belum baik, serta potensi dampak perubahan iklim yang ekstrim akibat pemanasan global.
Sehubungan dengan itu, air sebagai sumber daya alam strategis perlu dikelola secara baik, sehingga tidak
menimbulkan dampak negatif terhadap kehidupan bermasyarakat yang pada akhirnya akan mengganggu
pembangunan nasional. Dengan demikian melalui seminar nasional ini, diharapkan dapat menghasilkan
pengembangan kebijakan yang dapat dirumuskan dalam mengelola sumber daya air sehingga mampu
meningkatkan ketahanan air yang berkelanjutan agar menjadi pendorong bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Semoga makalah-makalah teknis serta makalah kunci yang disajikan dalam Seminar Nasional Teknik
Sumber Daya Air ini mampu memberikan sumbangsih yang besar bagi semua pemangku kepentingan, baik praktisi,
perekayasa maupun pengambil kebijakan serta masyarakat. Akhirnya, atas kesempatan dan kepercayaan semua
pihak penyelenggara untuk dapat menyelenggarakan Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air 2015 di Itenas,
saya atas nama Institut Teknologi Nasional menyampaikan terimakasih kepada semua pihak yang telah bekerja
keras dan membantu terselenggaranya Seminar Nasional ini. Khususnya kepada panitia yang berkerja keras dan
berupaya mensukseskan acara seminar nasional ini serta pencetakan dan penerbitan buku ini.

Bandung, September 2015


Dr. Ir. Imam Aschuri, M.T.
Rektor Itenas

vi

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

KEYNOTE SPEECH I
KEPALA BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT
pada Seminar Teknik Sumber Daya Air Tahun 2015
Bandung, 12 September 2015
Assalamualaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh.
Selamat pagi dan salam sejahtera untuk kita semua
Yang saya hormati dan banggakan Bapak dan Ibu para akademisi, peneliti, perekayasa, penggiat dan pemerhati
bidang sumber daya air serta hadirin semua.
Merupakan suatu kehormatan dan tantangan besar bagi saya untuk menyampaikan sambutan dalam Seminar
Teknik Sumber Daya Air yang diselenggarakan atas kerjasama antara tujuh perguruan tinggi, empat instansi dan
HATHI cabang Bandung. Seminar hari ini sangat penting, karena hasil-hasil rangkaian seminar-seminar yang telah
dilaksanakan terdahulu oleh kerjasama antar instansi ini, saya yakin telah menjadi rujukan, mendewasakan dan
menempa para ahli dan pemerhati kebijakan bidang pengelolaan Sumber Daya Air Indonesia.
Bapak, Ibu dan hadirin yang terhormat.
Merupakan kepedihan yang sangat mendalam bagi saya sebagai peneliti bidang sumber daya air saat data hasil
evaluasi yang masuk menunjukkan bahwa masih banyak saudara-saudara kita di berbagai pulau di Indonesia saat
ini menghadapi kekeringan akibat kelangkaan air dan kualitas lingkungan yang makin buruk.
Pengalaman yang saya miliki sebagai peneliti dan pembantu para penentu kebijakan di bidang SDA menunjukan
bahwa permasalahan di atas diakibatkan oleh pengelolaan SDA yang belum memadai, dipicu oleh informasi dan
pengetahuan yang belum cukup, disiplin dan kepercayaan akan kebijakan di bidang SDA yang rendah serta dampak
di antara kita masih bekerja secara sektoral. Rasa tanggungjawab akan kekurangan-kekurangan ini yang mendorong
saya berani menghadiri dan berbicara di dalam Seminar ini.
Bapak, Ibu dan hadirin yang terhormat,
Berita tentang tantangan peningkatan kejadian bencana yang dipicu oleh air, isue tentang perubahan iklim global,
konflik kepentingan yang makin mendalam di antara para stakeholders karena perubahan pola kebutuhan air yang
terus berubah datang dari berbagai penjuru dunia. Terkait dengan hal ini, saya mengajak hadirin semua untuk tidak
hanyut dalam keributan tersebut. Namun marilah bersama kita menjadi bagian dari pembuat dan pelaksana aktif
solusi permasalahan.
Bapak, Ibu dan hadirin yang terhormat,
Isue utama pengelolaan sumber daya air dari dekade ke dekade selalu berubah. Hal ini menuntut kita untuk selalu
belajar dan menyesuaikan kebijakan-kebijakan pengelolaan sumber daya air.
1. Pada era 1970 an, isue utama dunia adalah ketersediaan air bersih. Untuk merespon isu ini, kebijakankebijakan terkait dengan peningkatan kualitas air sangat mengemuka.
2. Pada era 1980-an isue utama bertambah dengan tuntutan akan pembangunan yang berkelanjutan. Pada
era ini diperkenalkan program-program peningkatan kualitas lingkungan hidup.
3. Pada era 1990-an isue utama adalah krisis air, sehingga kebijakan yang dilansir untuk merespon hal ini
adalah pengelolaan sumber daya air yang terintegrasi (IWRM).
4. Memperhatikan fenomena perubahan iklim global, isue ketahanan air, pangan dan energi mengemuka pada
era 2000-an. Tuntutan Kebijakan untuk merespon isue ini adalah jaminan alokasi air yang terintegrasi
dengan kebutuhan air untuk produksi pangan dan energi ( Water, Food and Energy Nexus ).

Bandung, 12 September 2015

vii

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Memperhatikan perubahan-perubahan paradigma pengelolaan sumber daya air tersebut pertanyaan yang timbul
adalah apakah kita telah dan siap untuk dengan cepat merespon perubahan-perubahan paradigma tersebut dengan
baik.
Bapak, Ibu dan hadirin yang terhormat.
Agar bisa jadi bagian dari solusi, marilah bersama kita cermati juga prediksi tantangan di berbagai bidang yang harus
kita hadapi bersama.
1. Pertumbuhan penduduk Perkotaan
Sekitar setengah dari penduduk dunia pada tahun 2025 akan menghadapi kelangkaan air akibat
pertumbuhan penduduk (UN WWDR, 2009).
Pada saat yang sama kebutuhan air akan meningkat 50% pada negara-negara berkembang dan
18 % untuk negara-negara maju.
2. Kelangkaan Pangan dan Keterjangkitan Penyakit.
Penurunan volume air baku akan mempengaruhi produksi pangan (UNDP, 2004)
Kualitas Pengelolaan SDA akan sangat berperan dalam pencapian MDGs, termasuk pengentasan
kemiskinan dan peningkatan kesehatan masyarakat (UNDP, 2004)
3. Peningkatan Potensi Konflik International terkait air.
Peningkatan persaingan dalam penguasaan akses terhadap sumber-sumber air, seperti sungai dan
danau.
Peningkatan konflik bidang alokasi air dan biaaya jasa pengelolaan sumber daya air, baik dalam
tatanan antar negara, propinsi dan kabupaten/kota.
4. Penurunan Prosentase Layanan Air Minum bagi Penduduk.
Penurunan tingkat kepercayaan air minum dari PDAM karena kualitas sumber air baku menurun,
kualitas prasarana yang tidak terpelihara dengan baik dan transparansi informasi.
Prosentase penduduk yang bisa langsung menerima air dari layanan PDAM sangat rendah.
5. Peningkatan Konsumsi Energi dalam Pengelolaan SDA.
Porsi biaya energi untuk operasi dan pemeliharaan Instalasi Pengolah air meningkat hingga 60~70 %
dari biaya total pengolahan air (WIA, 2009)
Kebutuhan energi listrik untuk mengolah dan mendistribusikan air minum akan meningkat hingga lebih
dari 50 % dalam 30 tahun ke depan (EPRI, 2002)
Kerusakan Prasarana dan Sarana Pengelolaan Sumber Daya Air.
Peningkatan kerugian akibat penurunan kinerja infrastruktur.
Peningkatan biaya rehabilitasi untuk peningkatan kinerja infrastruktur.
Bapak, Ibu dan hadirin yang terhormat,
Sebagai landasan untuk perencanaan pengelolaan sumber daya air perlu juga dipahami beberapa resiko yang lebih
luas yang bisa mempengaruhi pengelolaan sumber daya air di Indonesia.
1. Dari sisi ekonomi, resiko terbesar adalah kekacauan tatanan ekonomi makro.
2. Dalam segi geo-politic perlu dicermati ancaman teroris.
3. Dari sudut pandang tatanan sosial, ancaman datang dari percepatan penyebaran penyakit menular melalui
air.
4. Terkait dengan perkembangan teknologi, maka ancaman terbesar datang dari kegagalan infrastruktur data
dan informasi.
5. Sedangkan dari sisi lingkungan, ancaman serious datang dari kegagalan kita dalam beradaptasi terdadap
perubahan iklim global serta kerusakan lingkungan akibat ulah manusia.

viii

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Dengan mengetahui ancaman-ancaman tersebut kita bisa menyusun kebijakan-kebijakan serta langkah-langkah
pendukung implementasi sesuai dengan kondisi lapangan.
Bapak, Ibu dan hadirin yang terhormat,
Jika tadi kita berbicara tantangan dan permasalahan secara global, pada bagian akhir dari uraian ini, marilah kita
secara sekilas melihat kondisi infrastruktur sumber daya air di Indonesia.
Terkait dengan Pengelolaan Sumber Daya Air, kesiapan kita dalam menghadapi permasalahan di atas perlu menjadi
perhatian kita bersama. Jumlah air yang dapat dikelola melalui tampungan baru sebesar 15 milyar m 3 dari 3,9 triliun
m3 potensi air Indonesia atau 63,5 m3 per kapita. Angka ini masih jauh dari kebutuhan minimun tampungan air per
kapita sebesar 150 m3. Luas lahan sawah irigasi yang didukung oleh reservoir baru 11 % dari luas lahan beririgasi
yang dimiliki Indonesia.
Pada kondisi tersebut, kerusakan hutan di Indonesia masih tetap relatif tinggi dari tahun ke tahun. Hal ini ditunjukkan
dengan meluasnya lahan kritis dari 13,1 jt Ha pada tahun 1992 menjadi lebih dari 18,5 jt Ha pada saat ini dan
meningkatnya sebaran DAS kritis dari 22 DAS pada tahun 1984 menjadi 68 DAS pada tahun 2012.
Terkait dengan pemenuhan kebutuhan perkotaan, rata-rata baru 70,3 % penduduk perkotaan mendapat akses
terhadap air minum, 62 % terhadap pengelolaan air limbah dan akses terhadap persampahan 83 %.
Memperhatikan kenyataan tersebut, rasanya kita sepakat bahwa pekerjaan rumah kita masih banyak dan penuh
tantangan.
Bapak, Ibu dan hadirin yang terhormat,
Menyikapi tantangan-tantangan di atas dan tuntutan persaingan tenaga ahli di masa mendatang, diharapkan
Perguruan Tinggi dan asosiasi profesi seperti HATHI dapat senantiasa membina dan meningkatkan kemampuan
teknis anggotanya agar dapat memenuhi kebutuhan dalam penanganan pengelolaan SDA. Untuk itu, saya
berkeyakinan bahwa melalui acara pertemuan semacam ini kita dapat saling bertukar pengalaman dan saling
menjalin hubungan profesional yang kuat.
Akhir kata saya mengucapkan selamat melaksanakan Seminar Nasional Sumber Daya Air. Semoga apa yang kita
lakukan di sini dapat memberikan manfaat bagi perkembangan pengelolaan sumber daya air di Indonesia.
Sekian dan Terima Kasih,
Wassalaamualaikum Warrahmatullahi Wabarakaatuh
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat

Dr. Ir. Arie Setiadi Moerwanto M.Sc

Bandung, 12 September 2015

ix

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

SEKILAS TENTANG SEMNAS


Latar Belakang
Kawasan perkotaan (urban) adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan
susunan fungsi sebagai permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan
sosial, dan kegiatan ekonomi. Seiring dengan pesatnya tingkat urbanisasi, ketahanan air di kawasan perkotaan
merupakan faktor kunci terkait kemampuan masyarakat perkotaan untuk dapat menyediakan akses dalam rangka
pemenuhan kebutuhan air sehari-hari yang merupakan hak azasi setiap manusia. Selain itu, air dibutuhkan kawasan
perkotaan untuk menopang berbagai aktivitas sosial-ekonomi perkotaan, penggelontoran saluran, pemeliharaan
sungai dan sebagainya. Tidak hanya secara kuantitas, pemenuhan kebutuhan air tetap harus menyertakan
ketahanan kualitas air sesuai dengan baku mutunya.
Kota Jonggol merupakan salah satu contoh dimana perkembangan sebuah kawasan menjadi terhambat
karena kekurangan air. Sebaliknya, Bale Endah sebagai ibukota Kabupaten Bandung terpaksa harus dipindahkan
karena setiap musim hujan selalu mengalami bencana banjir. Hingga saat ini, Kota Bandung dan sekitarnya belum
sepenuhnya berhasil menyediakan layanan air bersih yang memadai akibat kurangnya pasokan air. Sebagai
konsekuensinya, masyarakat dan sebagian industri masih sangat tergantung pada air tanah yang notabene pada
akhirnya menyebabkan penurunan muka air tanah dan permukaan tanah, meningkatnya risiko genangan, kerusakan
infrastruktur air perpipaan, dan sebagainya. Berkurangnya pasokan air pada musim kemarau dan semakin
meningkatnya frekuensi bencana banjir pada musim hujan kini kian semakin parah seiring dengan maraknya alih
fungsi kawasan konservasi dan perubahan iklim. Untuk itu, penguatan hukum dan kelembagaan serta peningkatan
pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya air mutlak harus dilakukan.
Di samping itu, seiring dengan pesatnya pertumbuhan teknologi termasuk di bidang informasi dan
komunikasi, pengelolaan sumber daya air di kawasan perkotaan dihadapkan pada tuntutan layanan yang lebih tinggi.
Dengan memanfaatkan berbagai teknologi pintar atau smart technology yang tersedia, pengelolaan sumber daya air
diupayakan untuk dapat diimplementasikan secara lebih efisien dan efektif serta berkelanjutan.
Tujuan
1. Sebagai media untuk berbagi pengalaman mengenai berbagai permasalahan dan solusi tentang
pengelolaan air di kawasan perkotaan.
2. Sebagai media untuk mengkomunikasikan pemikiran tentang upaya-upaya pengelolaan air terpadu di
kawasan perkotaan untuk mendukung pengembangan keilmuan di bidang teknik sumber daya air sekaligus
masukan bagi para pengambil keputusan.
3. Sebagai media yang menyediakan kesempatan bagi para pemangku kepentingan untuk dapat
berkolaborasi dalam rangka meningkatkan kinerja pengelolaan air di kawasan perkotaan.
Tema
PENGELOLAAN TERPADU UNTUK MENDUKUNG KETAHANAN AIR BERKELANJUTAN DI KAWASAN
PERKOTAAN
Sub Tema
1. Konservasi Sumber Daya Air
Upaya mengatasi kelangkaan air perkotaan terutama yang berkaitan dengan keterpaduan pemanfaatan air
permukaan dan air tanah, upaya pemanenan air hujan dan pengawetan air, pengendalian kualitas air dan daur
ulang air, tapak air, serta peningkatan sanitasi masyarakat.

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

2. Pendayagunaan Sumber Daya Air


Peningkatan infrastruktur penyediaan air bersih dan pengolahan limbah terkait isu-isu peremajaan dan
pengembangan sistem distribusi air, kebocoran air perpipaan, serta pengembangan dan pengadaan
teknologi pengolahan limbah
Keterpaduan teknologi dalam rangka meningkatkan efisiensi pemanfaatan air untuk mendukung
ketahanan pangan dan pengembangan energi terbarukan
Aplikasi teknologi pintar (smart technology), meliputi: meteran pintar, sistem informasi geografis dan
penginderaan jauh, telemetri, dan sistem pengambilan keputusan.
3. Pengendalian Daya Rusak Air
Perencanaan terpadu kawasan perkotaan, meliputi pembangunan dengan dampak minimum,
pengendalian banjir perkotaan, pengendalian tata guna lahan, pengelolaan sampah, restorasi sungai di
perkotaan
Perencanaan sistem yang adaptif terhadap bencana (sistem peringatan dini, adaptasi terhadap
perubahan iklim)
4. Pemberdayaan Masyarakat dan Penguatan Hukum dan Kelembagaan
Peningkatan peran masyarakat melalui penguatan kerjasama pemerintah, dunia usaha, dan
masyarakat akademik/peneliti.
Penguatan kelembagaan dan kerangka peraturan/perundangan
Peserta
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Pemerintahan
Konsultan
Kontraktor
Penelitian, LSM, Pemerhati masalah Keairan, Anggota HATHI
Dosen dan Mahasiswa
Umum

Sekretariat
Jurusan Teknik Sipil Universitas Jenderal Achmad Yani
Jl. Terusan jenderal Sudirman PO. BOX 148, Cimahi
Telepon

: (022) 6641743

Faximile

: (022) 6641743

Email

: seminar.tsda.bdg@gmail.com

Tim Reviewer
1.
2.
3.
4.
5.

Doddi Yudianto, Ph.D


Olga Catherina Pattipawaej, Ph.D
Drs. Waluyo Hatmoko, M.Sc,. PU-SDA
Dr. Ir. Ariani Budi Safarina, M.T.
Stephen Sanjaya, S.T.

Bandung, 12 September 2015

xi

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

SUSUNAN KEPANITIAAN
A.

Pengarah
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.

B.

Dekan Fakultas Teknik Universitas Jenderal Achmad Yani


Dekan Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Nasional, Bandung
Dekan Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan Institut Teknologi Bandung
Direktur Politeknik Negeri Bandung
Dekan Fakultas Teknik Universitas Langlangbuana
Dekan Fakultas Teknik Universitas Kristen Maranatha
Dekan Fakultas Teknik Universitas Katolik Parahyangan
Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air
Ketua Himpunan Ahli Teknik Hidraulik Indonesia Cabang Bandung
Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Citarum
Kepala Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air Provinsi Jawa Barat
Kepala Dinas Bina Marga dan Pengairan Kota Bandung

Panitia Pelaksana
Ketua I

: Ir. Yati Muliati, M.T.

- Itenas

Ketua II

: Ir. Agustin Purwanti, M.T.

- Unjani

Ketua III

: Ir. Teti Kurniati, M.T,

- Pusair

Ketua IV

: Prof. Ir. Iwan Kridasantausa, M.Sc, Ph.D

- HATHI Cab. Jabar

Ketua V

: Dr. Ir. Yadi Suryadi, M.T.

- ITB

Bendahara

: Yessi Nirwana, S.T., M.T., Ph.D

- Itenas

Sekretaris

: Yuyun Fauzi

- HATHI Cab. Jabar

Sekretariat

: Dian Indrawati, S.T., M.T.

- Unjani

Chairunissa, S.T., M.T.

- Unjani

Seksi Dana

Seksi Publikasi

Seksi Perlengkapan

xii

: Ir. Nana Nasuha, Sp1

- DPSDA Prov. Jabar

Lusie Musianty, S.T., MPSDA

- DPSDA Prov. Jabar

Gemilang, S.T., MPSDA

- DPSDA Prov. Jabar

Dr. Ir. Winskayati, Sp1

- HATHI Cab. Jabar

: Joko Nugroho, Ph.D

- ITB

Dhemi Harlan, ST, MT, M.Sc, Ph.D

- ITB

Supardi, S.T.

- ITB

Ir. Didi Ruswandi, M.T.

- DBMP Kota Bandung

Lisa Surya Lestari, S.T.

- DBMP Kota Bandung

Drs. Bambang Suryaman

- DBMP Kota Bandung

: Yedida Yosananto, S.T., M.T.

- Itenas

Fransiska Yustiana, S.T., M.T.

- Itenas

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Seksi Acara 1

Seksi Acara 2

Seksi Konsumsi

Seksi Dokumentasi

Seksi Makalah/Prosiding

Bandung, 12 September 2015

: Ir. Bambang Adi Riyanto, M. Eng

- Unpar

Alpino Sigalingging, S.T., M.T.

- Unpar

Obaja Triputera, S.T.

- Unpar

Ir. Eko Wahyu Utomo, M.T.

- Unla

Ir. Robby Gunawan Yahya, M.T.

- Unla

Ir. F. Yiniarti Eka Kumala, Dipl. HE

- Pusair

Ririn Rimawan, S.T., M.T.

- Pusair

James Zulfan, S.T.

- Pusair

Petty Kartina, S.T.

- Pusair

: Ir. Dra. Fauzia Mulyawati, M.T.

- Unla

Ig. Sudarsono, S.T., M.T.

- Unla

Ir. Salahudin Gozali, Ph.D

- Unpar

Steven Reinaldo Rusli, S.T.

- Unpar

Ir. Setio Wasito, Sp. M.T.

- HATHI Cab. Jabar

Ir. Alvadison

- Pusair

Hany Agustiani, S.T., M.T.

- Pusair

Slamet Lestari, S.T., M.T.

- Pusair

Mirwan Rofiq, S.T.

- Pusair

: Ir. Maria Christine Sutandi, M.T.

- UK. Maranatha

Olga Pattipawaej, Ph.D

- UK. Maranatha

Ir. Kanjalia Tjandrapuspa, M.T.

- UK. Maranatha

: Ir. Iin Karnisah, M.T.

- Polban

Ir. Asmawar Bakrie, M.T.

- Polban

Ir. Achmad Djihad, M.T.

- Polban

R. Yayat Yuliana, SE., MM.

- BBWS Citarum

Susilowati, S.T., M.T.

- BBWS Citarum

Ir. Sudrajat, M.T.

- BBWS Citarum

Windy, S.T., MPSDA.

- BBWS Citarum

: Doddi Yudianto, Ph.D

- Unpar

Drs. Waluyo Hatmoko, M.Sc.

- Pusair

Prof. Dr. Ir. Dede Rohmat, M.T.

- HATHI Cab. Jabar

Dr. Ir. Ariani Budi Safarina, M.T.

- Unjani

Eka Oktarianto, Ph.D

- Itenas

Stephen Sanjaya, S.T.

- Unpar
xiii

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

SUSUNAN ACARA SEMINAR


SUSUNAN ACARA SEMINAR NASIONAL TEKNIK SUMBER DAYA AIR
PENGELOLAAN TERPADU UNTUK MENDUKUNG KETAHANAN AIR BERKELANJUTAN DI KAWASAN PERKOTAAN
Institut Teknologi Nasional - Bandung, Sabtu, 12 September 2015
Waktu
Pembukaan
07.30-08.45

08.45-09.45

Acara
Penyaji/Pembicara
Gedung Serba Guna Itenas
Pendaftaran Ulang
Panitia
Pembukaan
MC
Menyanyikan Lagu Indonesia Raya
Panitia
Laporan Ketua Panitia
Yati Muliati
Sambutan Rektor Itenas
Rektor Itenas
Pembukaan Acara Secara Resmi oleh Rektor Rektor Itenas
Itenas
Pembacaan Doa
Yadi Suryadi

09.45-10.15

Rehat Kopi

Ruangan I
Sesi I

Gedung Serba Guna Itenas

10.30-10.45

xiv

Notulis

Pembicara Utama (Keynote Speaker)


Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Arie Setiadi
(Balitbang) Kementerian Pekerjaan Umum dan
Perumahan Rakyat
Denny Djuanda
Kepala BAPPEDA Provinsi Jabar

10.15-10.30

Moderator

Korelasi Antara Subsiden-Air Tanah-Emisi Karbon


Lahan Rawa Gambut
Pola Pergerakkan Aliran di Muara Sungai Musi
dengan Menggunakan Program MIKE-21 Flow
Model

Rektor Itenas &


Triweko

L. Budi Triadi, Maruddin Agustin


F. Marpaung
Purwanti
Achmad Syarifudin, Eka
Puji Agustini

Bandung, 12 September 2015

Mirwan
Rofig,
Ig.
Sudarsono

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Waktu
10.45-11.00
11.00-11.15

11.15-11.30

Acara
Perencanaan Pengendalian Banjir di Jakarta
Penerapan Sistem Kluster Sebagai Upaya
Pengendalian Limpasan Permukaan pada
Kawasan Industri
Sistem
Pengendalian
Erosi
untuk
Mempertahankan Lapisan Tanah Subur pada
Lahan Pertanian Produktif Studi Kasus: Daerah
Aliran Sungai (DAS) Citarum Hulu

Penyaji/Pembicara
Tri Hardhono, Benny
Syahputra
Obaja Triputera Wijaya,
Doddi Yudianto, Guan
Yiqing
Dede Sumarna, H.
Bachtiar AB

11.30-11.45

Parindra
Ardi
Pengendalian Banjir pada Kawasan Tambang Wardhana,
Meru
Timah di Kabupaten Bangka
Condro Wiguno, Yudi
Wachyudiana

11.45-12.15

Tanya Jawab

12.15-13.15

Ishoma

Sesi II
13.15-13.30
13.30-13.45
13.45-14.00
14.00-14.15
14.15-14.30
14.30-14.45

Bandung, 12 September 2015

Moderator

Gedung Serba Guna Itenas


Upaya Pengendalian Banjir Sungai Cicadas Kota
Bandung
Penggunaan
Biopori
Sebagai
Alternatif
Mengurangi Genangan Banjir Daerah Perkotaan
Evaluasi Dampak Pembangunan Gedung
Terhadap Kinerja Sistem Drainase Kampus
Optimasi Sistem Perkuatan Tanggul Banjir Sungai
Tembuku dalam Menanggulangi Potensi Banjir
Kota Jambi
Evaluasi Kinerja Sistem Drainase pada Kawasan
Permukiman di Bandung Timur
Penanganan Erosi Pantai di Desa Pusaka Jaya
Utara Sampai Dengan Muara Buntu Kabupaten
Karawang

Dwi Aryani Semadhi,


Winskayati
Achmad
Syarifudin,
Hendri, Mega Yunanda
Arnold Saputra, Doddi
Yudianto
Slamet Lestari
Mesta Saktina, Doddi
Yudianto
Yati Muliati, Yunus
Purwanto, Ahmad Luthfi

xv

Notulis

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Waktu
14.45-15.00
15.00.-15.30

Tanya Jawab

Ruangan II
Sesi I

Ruang 12305

10.15-10.30

10.30-10.45
10.45-11.00
11.00-11.15
11.15-11.30
11.30-11.45

Stephen
Sanjaya,
Pemodelan Peramalan Curah Hujan pada DAS Bambang Adi Riyanto,
Pamarayan dengan Metode ESIM
Andreas Franskie Van
Roy
Aplikasi Teknologi Membran pada Instalasi Mohammad Imamuddin
Pengolahan Air Limbah di RSUD Lebong Bengkulu
dalam Rangka Pemanfaaatan Air Re-Use
Studi Evaluasi Optimasi Turbin Pembangkit Listrik Steven Sergij Salim,
Tenaga Minihidro Desa Pusaka Jaya, Kabupaten Bambang Adi Riyanto
Cianjur
Tantangan dan Perbaikan Sistem Bendung Sungai Slamet Lestari
Gesek dalam Penyediaan Air Baku di Pulau Bintan
Studi Evaluasi Kualitas Air Situ Gede Kota Eka Wardhani, Kancitra
Pharmawati, Indra
Tangerang
Kajian Terhadap Ketepatan Pemetaan Kerentanan Elly Kusumawati B.
Pencemaran Air Tanah Menggunakan Metode
Drastic pada Kondisi Data Akifer Terbatas

11.45-12.15

Tanya Jawab

12.15-13.15

Ishoma

Sesi II
13.15-13.30

xvi

Acara
Penyaji/Pembicara
Evaluasi Kapasitas Saluran Drainase pada Sandy Sella Fajar,
Kawasan Permukiman Mandiri Berwawasan Doddi Yudianto
Pendidikan

Ruang 12305
Implementasi Model Xinanjiang yang Berbasis Steven Reinaldo Rusli,
Sistem Informasi Geografis dalam Analisis Neraca Jin Tao Liu, Doddi
Air DAS Jiangwan
Yudianto

Bandung, 12 September 2015

Moderator

Notulis

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Waktu
13.30-13.45

13.45-14.00

14.00-14.15

14.15-14.30
14.30-14.45

Acara
Penyaji/Pembicara
Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu dalam Feril Hariati
Rangka Penyediaan Air Bersih Berbasis
Masyarakat di Kabupaten Lamongan
Widya Nasarita Fitri,
Peran Masyarakat dalam Pengendalian Daya Parindra
Ardi
Rusak Air di Kabupaten Bogor
Wardhana,
Meru
Condro Wiguno
Anastasia
Septya
Evaluasi Tingkat Kepekaan Siswa Terhadap Wardaningrum, Tidani
Pelestarian Sumber Daya Air
Sillo Hines Aluhnia
Zebua
Analisis Risiko Kemitraan Pemerintah Swasta Ririn Rimawan
(KPS) pada Proyek Pembangkit Listrik Tenaga
Minihydro (PLTMH)
Pelindungan Kawasan Penyangga Mata Air Restu Wigati, Soelarso
Sebagai Upaya Konservasi Melalui KKN-PPN

14.45-15.15

Tanya Jawab

15.15-15.30

Mobilisasi ke GSG

15.15-15.30

Rehat Kopi

15.15-15.30

Gedung Serba Guna Itenas

15.30-16.30

Informasi Sertifikasi Keahlian HATHI


Pembagian Lucky Draw
Kesimpulan
Pembacaan Doa
Penutupan

Bandung, 12 September 2015

Moderator

Setio Wasito
Panitia
Doddi Yudianto
Yadi Suryadi
Dekan FTSP Itenas

xvii

Notulis

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

UCAPAN TERIMA KASIH


Direktur Jenderal Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum
Gubernur Jawa Barat
Walikota Bandung
Ketua Himpunan Ahli Teknik Hidraulik (HATHI) Indonesia Pusat
Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air (Pusair)
Ketua Himpunan Ahli Teknik Hidraulik (HATHI) Indonesia Cabang Jabar
Kepala Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Citarum
Kepala Dinas Pengelolaan Sumberdaya Air (Dinas PSDA) Prov. Jabar
Kepala Dinas Bina Marga dan Pengairan (DBMP) Kota Bandung
Rektor Universitas Jendral Achmad Yani (Unjani) - Cimahi
Rektor Institut Teknologi Bandung (ITB) - Bandung
Rektor Institut Teknologi Nasional (Itenas) - Bandung
Rektor Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) - Bandung
Rektor Universitas Kristen Maranatha (UKM) - Bandung
Rektor Universitas Langlangbuana (Unla) - Bandung
Direktur Politeknik Negeri Bandung (Polban) - Bandung
Dekan Fakultas Teknik Universitas Jenderal Achmad Yani
Dekan Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan ITB
Dekan Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Itenas
Dekan Fakultas Teknik Universitas Katolik Parahyangan
Dekan Fakultas Teknik Universitas Langlangbuana
Dekan Fakultas Teknik Universitas Kristen Maranatha
PT. Tamara Overseas Corporindo
PT. Mitraplan Enviratama - Bandung
PT. Mettana Bandung
PT. Rayakonsult
PT. Nasuma Putra

xiv

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

KONSERVASI SUMBER DAYA AIR

IMPLEMENTASI MODEL XINANJIANG YANG BERBASIS SISTEM INFORMASI


GEOGRAFIS DALAM ANALISIS NERACA AIR DAS JIANGWAN
Steven Reinaldo Rusli1,2,*, Jin Tao Liu2, dan Doddi Yudianto2*
1Program
2State

Studi Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung 40141, Indonesia
Key Laboratory of Hydrology-Water Resources and Hydraulic Engineering, Hohai University, Nanjing, People
Republic of China
*steven.reinaldo.rusli@gmail.com

Abstrak
Pemanfaatan Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai objek penelitian, dimana pengembangan instalasi
instrumentasi pengukuran hidrologi dilakukan, belum menjadi prioritas di negara berkembang seperti
Indonesia. Padahal, kebijakan alokasi DAS penelitian sangat berguna dalam menguji performa model
hujan-limpasan. Dengan menggunakan DAS Jiangwan yang merupakan DAS penelitian yang terletak di
Provinsi Zhejiang, China, dengan data hidrologi harian tersedia dari tahun 1971 - 1986, studi ini bertujuan
untuk menguji kestabilan model Xinanjiang, model hidrologi terdistribusi yang memanfaatkan data sistem
informasi geografis sebagai masukan data geospasialnya. Kestabilan yang dimaksud adalah kestabilan
parameter model yang dihasilkan, sesuai dengan hipotesa awal berdasarkan tata guna lahan pada DAS
yang tidak berubah. Metode yang digunakan berupa metode trial and error dalam kalibrasi parameter
yang ada. Hasil analisis menunjukkan kestabilan parameter tercapai, kecuali empat parameter yang
sedikit mengalami perubahan yaitu KG, KI, CG, CI dan dua komponen yaitu WUM dan WLM. Seluruh
perubahan terjadi pada unsur yang berhubungan dengan proporsi aliran bawah permukaan, yaitu interflow
dan aliran air tanah. Tanpa memperhatikan simulasi tahun 1977 yang kualitas datanya tidak memenuhi
kriteria keandalan, Nash-Sutcliffe dan relative error yang digunakan sebagai kriteria evaluasi menunjukkan
hasil yang memuaskan, dengan nilai rata-rata berturutan 0.59174 dan 0.0479. Hasil ini menunjukkan
kontribusi besar yang diberikan oleh aplikasi teknologi pintar dalam simulasi model neraca air.
Kata Kunci: Model Xinanjiang, Sistem Informasi Grafis, DAS Jiangwan

LATAR BELAKANG
Dewasa ini, ketersediaan informasi peramalan debit yang akurat menjadi sangat penting dilihat dari sisi
hidrologi, terutama mempertimbangkan aplikasinya dalam berbagai kebutuhan seperti perencanaan
sumber daya air pada tatanan lokal, regional dan nasional, kebijakan pengambilan air, perencanaan suplai
air untuk publik, perkiraan dilusi polutan air, navigasi, perencanaan pembangkit listrik tenaga air,
perencanaan daerah irigasi, pengelolaan sumber daya air pada musim kering dan sebagainya (World
Meterological Organization, 2009). Mengacu pada penggunaannya yang sangat luas dan fungsional,
perkembangan dari model hujan limpasan, atau biasa disebut juga model neraca air terjadi dengan
sangat cepat, terutama pada Negara-negara berkembang seperti Negara Republik Rakyat Cina (RRC).
Model Xinanjiang, dikembangkan oleh Zhao, et al. (1980) dari Negara RRC sudah terbukti memberikan
hasil yang lebih konsisten dibandingkan model neraca air lain, seperti model Pitman dari Afrika Selatan,
model NAM dari Eropa, model Sacramento dari Amerika Serikat dan model SMAR dari Irlandia (Gan, et
al. 1997), dikarenakan kapabilitas model Xinanjiang untuk memperhitungkan ketidakseragaman distribusi
spasial dari DAS yang berkontribusi terhadap volume limpasan. Meskipun pada umumnya model
Xinanjiang memiliki 15 buah parameter, berbagai modifikasi yang dimasukkan ke dalam model telah
menghasilkan sejumlah parameter tambahan, dengan tujuan memberikan hasil yang lebih maksimal.
Terkait dengan parameter model, Cheng, et al. (2002) menyebutkan, keberhasilan aplikasi model neraca

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

air sangat bergantung kepada kualitas proses kalibrasi parameter. Maka itu, penentuan parameter model
memiliki peran yang sangat penting dalam mensimulasikan proses siklus hidrologi suatu DAS.
Namun, fenomena equifinality dilihat sebagai salah satu problematika dalam kalibrasi model hujan
limpasan. Equifinality adalah kejadian di mana model hujan limpasan memberikan hasil evaluasi
simulasi yang sama dengan parameter yang berbeda, yang mengindikasikan ketidakstabilan model
tersebut. Untuk menghindari kejadian tersebut, dikembangkan batasan nilai untuk masing-masing
parameter model berdasarkan pengalaman aplikasi penggunaan model, sebagai contoh batasan nilai
parameter HBV96 yang disarankan oleh Lidn dan Harlin, (2000). Hasil studi ini diharapkan memberikan
evaluasi terhadap stabilitas parameter model Xinanjiang. Dengan menggunakan DAS Jiangwan, yang
relatif tidak berubah dari segi tata guna lahan dan karakteristik hidrologi, kecenderungan masing-masing
parameter akan diamati, dan diharapkan bahwa fluktuasi parameter yang dihasilkan seminimum mungkin.

METODOLOGI STUDI
Model Xinanjiang
Secara konsep, struktur model Xinanjiang terdiri dari empat tahap utama; perhitungan evapotranspirasi
(konsep tiga lapisan kelembaban tanah), generasi limpasan, (konsep repletion of storage), pemisahan
limpasan (konsep limpasan Horton) dan penelusuran limpasan (metode Muskingum), dengan total 15
buah parameter yang terdistribusi terhadap masing-masing tahapan analisis yang ada. Gambar 1 dan
Tabel 1 di bawah memberikan gambaran skematis mengenai proses analisis dan parameter.
Tabel 1. Deskripsi masing-masing Parameter Model Xinanjiang

Parameter
K
UM
LM
C
WM
B
IM
SM
Ex
KI
KG
CS
CI
CG
L

Deskripsi
Rasio antara potensi evapotranspirasi dan evapotranspirasi aktual
Batas maksimum evapotranspirasi pada lapisan atas
Batas maksimum evapotranspirasi pada lapisan bawah
Koefisien evapotranspirasi untuk lapisan dalam
Rata-rata kapasitas penyimpanan air tertekan seluruh DAS
Kontribusi berpangkat dari kurva distribusi spasial kapasitas penyimpanan air tertekan
Proporsi daerah kedap air terhadap total luasan DAS
Kapasitas penyimpanan air bebas
Kontribusi berpangkat dari kurva distribusi spasial kapasitas penyimpanan air bebas
Koefisien kontribusi air bebas ke aliran interflow
Koefisien kontribusi air bebas ke aliran air tanah
Parameter penelusuran limpasan permukaan
Konstanta tampungan interflow
Konstanta tampungan air tanah
Parameter penelusuran

Gambar 1. Struktur Model Xinanjiang

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Secara teknis, analisis spasial dalam studi ini didasarkan pada data fisik yang didapat dari data Digital
Elevation Model (DEM) yang biasa dianalisis dengan menggunakan perangkat lunak Arch-GIS. Setelah
proses pembagian DAS menjadi pias-pias yang lebih kecil, analisis dilakukan di dalam setiap pias,
kemudian dilanjutkan dengan penelusuran limpasan untuk memberikan pengaruh ketelitian dan akurasi
hasil simulasi yang menjadi kelebihan yang ditawarkan oleh model hidrologi yang terdistribusi.
Pada tahapan perhitungan evapotranspirasi, konsep tiga lapisan kelembaban tanah (lapisan atas, bawah
dan dalam) diterapkan, dengan batasan pada lapisan atas dan bawah (UM dan LM) yang sudah
ditetapkan terlebih dahulu. Modifikasi terhadap perhitungan evapotranspirasi Xinanjiang sudah dilakukan
beberapa peneliti, seperti penggunaan metode MODIS-LAI oleh Li, et al. (2009). Namun, dalam studi ini,
perhitungan yang dilakukan menggunakan formula seperti ditunjukkan persamaan di bawah ini, sesuai
dengan formula Xinanjiang.
(1)
(2)
(3)
Keterangan:
EU
: tinggi evapotranspirasi pada lapisan atas (mm)
EL
: tinggi evapotranspirasi pada lapisan bawah (mm)
ED
: tinggi evapotranspirasi pada lapisan dalam (mm)
UM, LM
: batas maksimum evapotranspirasi pada lapisan atas dan bawah (mm)
Kesitimewaan utama yang menjadi ciri khas dari model Xinanjiang adalah konsep repletion of storage,
yang berarti pada satu daerah tertentu, limpasan baru akan dihasilkan setelah kelembaban tanah sudah
mencapai titik maksimum. Untuk memperhitungkan ketidakseragaman spasial dari kondisi tanah yang
ada, disusunlah kurva parabolik seperti ditunjukkan oleh Gambar 2. Dewasa ini, terutama melihat
perkembangan yang begitu cepat di bidang teknologi spasial seperti sistem informasi geografis, banyak
modifikasi untuk memasukkan variasi spasial ke dalam model hidrologi, salah satunya model Xinanjiang.
Salah satu contohnya adalah penggunaan kurva parabolik ganda oleh Jayawardena, et al. (1999).

Gambar 2. Kurva Parabolik Distribusi Kelembaban Tanah

Area terarsir (R) menunjukkan limpasan yang dihasilkan pada suatu kondisi yang dimulai setelah kondisi
AU, dan kapasitas penyimpanan kelembaban tanah terbatas pada MM. Dengan berbagai kondisi yang
ada, jumlah limpasan yang dihasilkan dihitung berdasarkan rumus-rumus yang terhubung di bawah ini.
(4)
(5)
Jika

, maka

Jika tidak,

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

(6)
Keterangan:
R
: tinggi limpasan (mm)
f/F
: proporsi dari luasan DAS yang menghasilkan limpasan
WM, B, IM : parameter model
MM
: batas maksimum kapasitas penyimpanan kelengasan tanah
P
: tinggi presipitasi (mm)
AU
: batas kondisi di mana limpasan mulai dihasilkan (mm)
Setelah limpasan sudah dihasilkan, konsep yang sama digunakan untuk memisahkan limpasan
permukaan, aliran antara dan aliran air tanah. Adapun rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:
(7)
(8)
(9)
Jika

, maka

Jika tidak,
(10)
Keterangan:
f/FR
: proporsi dari limpasan yang menghasilkan limpasan permukaan
SM, Ex
: parameter model
MS
: batas maksimum kapasitas penyimpanan air bebas
BU
: batas kondisi di mana limpasan permukaan mulai dihasilkan (mm)
Proses penelusuran banjir dibagi menjadi dua bagian, pada permukaan DAS dan pada bagian saluran.
Peta digital dari DAS terkait awalnya dibagi-bagi terlebih dahulu menjadi pias-pias kecil, kemudian
perhitungan dilakukan di masing-masing pias sebelum ditelusuri menjadi satu, seperti studi yang
sebelumnya dilakukan oleh Liu, et al., (2006). Perhitungan dilakukan dengan persamaan kinematic wave.
(11)
(12)
(13)
(14)
Kriteria Evaluasi
Proses kalibrasi model dilakukan secara manual dengan menngiterasi nilai parameter model hingga
mendapatkan kecocokan terbaik yang mungkin didapatkan antara debit yang dihasilkan melalui
perhitungan dan pencatatan, baik dilihat secara kasat mata ataupun secara kuantitatif. Dalam melakukan
proses ini, fungsi tujuan yang digunakan untuk menilai hasil kalibrasinya adalah Nash-Sutcliffe dan relative
error, yang dihitung berdasarkan persamaan di bawah ini:
(15)
(16)
Mengkombinasikan dua fungsi tujuan tersebut, diharapkan bahwa nilai parameter evaluasi Nash-Sutcliffe
yang dihasilkan mendekati satu, sedangkan sebaliknya, nilai relative error mendekati nol. Nilai satu pada
evaluasi Nash-Sutcliffe menunjukkan simulasi yang berhasil dalam mengestimasi debit rata-rata,
sedangkan nilai nol pada relative error menunjukkan deviasi nol antara hasil simulasi dan pencatatan.

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Pembahasan Debit Tinggi dan Rendah


Pada studi ini, terdapat tambahan pembahasan hasil simulasi untuk memastikan kualitas dari proses
kalibrasi model, yaitu pembahasan mengenai debit tinggi dan debit rendah. Kecocokan model untuk
mengestimasi debit tinggi dievaluasi dengan menghitung rasio antara deviasi dengan debit pencatatan
tertinggi setiap tahunnya. Sedangkan untuk debit rendah, evaluasi dilakukan dengan membandingkan
kurva durasi yang terbentuk dari hasil simulasi dan pencatatan. Metode Weibull digunakan sebagai
bantuan untuk mengkonstruksi kurva durasi, dengan persamaan sebagai berikut:
(17)
Lokasi Studi
DAS yang diamati pada studi ini bernama DAS Jiangwan, terletak di Provinsi Zhejiang, Negara Republik
Rakyat China. Sejak tahun 1957, DAS Jiangwan telah ditetapkan sebagai DAS yang dimanfaatkan untuk
keperluan penelitian. Secara geografis, titik keluar DAS Jiangwater terletak pada koordinat 119050 BT dan
30035 LU (Liu, et al., 2012), dengan bentuk DAS ditunjukkan pada gambar 3 dibawah. Luas DAS
Jiangwan dapat dikategorikan sebagai DAS kecil (20.9 km2). Namun, melihat kapabilitas model
Xinanjiang untuk memperhitungkan variasi spasial ke dalam analisisnya, maka analisis pada studi ini
menggunakan konsep model hidrologi yang terdistribusi.
DAS Jiangwan, yang terletak di daerah sub-tropis dengan kelembab yang tinggi, memiliki potensi
evapotranspirasi yang tinggi pula. Temperatur rata-rata tahunan DAS Jiangwan tercata berada pada suhu
14.60C dengan jumlah penyinaran cahaya matahari selama 1579 jam per tahun dan kecepatan angin ratarata sekitar 1.5 m/s. Dengan kondisi iklim seperti disebutkan di atas, rata-rata tinggi evapotranspirasi
tahunan yang terjadi di DAS Jiangwan berkisar pada nilai 805 mm.
Tutupan lahan pada DAS Jiangwan secara umum didominasi oleh hutam bambu yang menutupi sekitar
90% lahan, di mana sisanya ditutupi oleh persawahan, perkebunan the dan penanaman berbagai jenis
tumbuhan lainnya. Beberapa pemukiman kecil dapat ditemukan dalam bentuk desa-desa. Dilihat dari
susunan tanah dan batuannya, didapati bahwa lapisan tanah di DAS Jiangwan memiliki kapasitas
penyimpanan air yang cukup tinggi. Hal yang menjadi penting untuk diamati adalah kondisi geologi DAS
Jiangwan yang sebelumnya telah diteliti oleh Le, et al. (2014). Lapisan dan horizon tanah DAS Jiangwan
memiliki banyak patahan yang memudahkan terjadinya aliran air dari permukaan menuju ke lapisan ke
bawah permukaan. Seperti yang sebelumnya sudah disebutkan, kondisi geologi suatu DAS sangat
berpengaruh terhadap penentuan parameter model hidrologi (Zhao, et al. 1980; Troch, et al. 2002).
Data hidro-meteorologi DAS Jiangwan dicatat oleh Biro Statistik Hidrologi pemerintah Provinsi Zhejjang,
dan terlebih dahulu melalui proses validasi kualitas pencatatan data sesuai standar yang ada sebelum
dapat digunakan oleh publik (Liu, et al., 2012). Walaupun secara umum, data yang tersedia cukup
memadai, namun beberapa data yang hilang masih terlihat, terutama pada pencatatan sebelum tahun
1970. Karena Xinanjiang membutuhkan data kontinyu untuk analisisnya, maka simulasi yang dimasukkan
dalam studi ini dimulai dari tahun 1970 hingga tahun 1986. Selain data pencatatan debit, terdapat juga
pencatatan hujan harian dari 10 stasiun hujan dengan penyebaran lokasi yang dapat dilihat juga pada
Gambar 3. Beberapa hujan yang cukup besar dapat dilihat pada pencatatan, seperti hujan pada tanggal
13 Juni 1984 (hujan tertinggi dengan tinggi 209.8 mm), yang kemudian berkontribusi pada debit tertinggi
yang tercatat pada hari esoknya (14 Juni 1984) dengan nilai 30.5 m3/s.

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Gambar 3. DAS Jiangwan

HASIL STUDI DAN PEMBAHASAN


Curah Hujan Wilayah
Analisis curah hujan wilayah untuk menentukan satu nilai hujan yang dapat mewakili DAS Jiangwan
dilakukan dengan menganalisis luas pengaruh masing-masing stasiun hujan yang ada. Dari hasil analisis,
didapat bahwa stasiun yang memberikan pengaruh terbesar adalah stasiun Jiangwan dengan bobot
pengaruh 20%, kemudian stasiun He Mu Qiao (15%), Gao Wu Cun (13%), Fan Wu Li (13%), Fo Tang
(12%), Gao Wu Ling (8%), Ge Ling 7%), Li Jiao Wu (5%), Tao Shu Ling (4%) dan Yang Shan (3%).
Kalibrasi Parameter
Seperti sudah diketahui bahwa karakteristik hidrologi DAS Jiangwan di permukaan secara relatif tidak
berubah karena terbatasnya campur tangan manusia terhadap tata guna lahan yang ada, diharapkan
bahwa kalibrasi parameter model Xinanjiang memberikan hasil yang stabil, direfeleksikan oleh nilai
parameter model yang cenderung konstan. Namun, karaketeristik geologi yang ada memberikan toleransi
pada perubahan nilai parameter yang berkaitan dengan kondisi di bawah permukaan tanah. Kalibrasi
manual dilakukan dengan variasi temporal tahunan, dan hasilnya dapat dilihat pada gambar-gambar di
bawah ini dengan garis merah adalah hasil simulasi dan garis biru sebagai pencatatan debit kontinyu.
1971
20
18

DISCHARGE (M3/S)

16
14
12
10

8
6
4
2

1
6
11
16
21
26
31
36
41
46
51
56
61
66
71
76
81
86
91
96
101
106
111
116
121
126
131
136
141
146
151
156
161
166
171
176
181
186
191
196
201
206
211
216
221
226
231
236
241
246
251
256
261
266
271
276
281
286
291
296
301
306
311
316
321
326
331
336
341
346
351
356
361

DAY
Observed Runoff

Simulated Runoff

Bandung, 12 September 2015

1
6
11
16
21
26
31
36
41
46
51
56
61
66
71
76
81
86
91
96
101
106
111
116
121
126
131
136
141
146
151
156
161
166
171
176
181
186
191
196
201
206
211
216
221
226
231
236
241
246
251
256
261
266
271
276
281
286
291
296
301
306
311
316
321
326
331
336
341
346
351
356
361

DISCHARGE (M3/S)

1
6
11
16
21
26
31
36
41
46
51
56
61
66
71
76
81
86
91
96
101
106
111
116
121
126
131
136
141
146
151
156
161
166
171
176
181
186
191
196
201
206
211
216
221
226
231
236
241
246
251
256
261
266
271
276
281
286
291
296
301
306
311
316
321
326
331
336
341
346
351
356
361

DISCHARGE (M3/S)

1
6
11
16
21
26
31
36
41
46
51
56
61
66
71
76
81
86
91
96
101
106
111
116
121
126
131
136
141
146
151
156
161
166
171
176
181
186
191
196
201
206
211
216
221
226
231
236
241
246
251
256
261
266
271
276
281
286
291
296
301
306
311
316
321
326
331
336
341
346
351
356
361

DISCHARGE (M3/S)

1
6
11
16
21
26
31
36
41
46
51
56
61
66
71
76
81
86
91
96
101
106
111
116
121
126
131
136
141
146
151
156
161
166
171
176
181
186
191
196
201
206
211
216
221
226
231
236
241
246
251
256
261
266
271
276
281
286
291
296
301
306
311
316
321
326
331
336
341
346
351
356
361

DISCHARGE (M3/S)

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

10

1972

Observed Runoff
DAY

Observed Runoff

Bandung, 12 September 2015


Simulated Runoff

18

1973

16

14

12

10

Observed Runoff
DAY
Simulated Runoff

30

1974

25

20

15

10

Observed Runoff
DAY
Simulated Runoff

1975

DAY

Simulated Runoff

1
6
11
16
21
26
31
36
41
46
51
56
61
66
71
76
81
86
91
96
101
106
111
116
121
126
131
136
141
146
151
156
161
166
171
176
181
186
191
196
201
206
211
216
221
226
231
236
241
246
251
256
261
266
271
276
281
286
291
296
301
306
311
316
321
326
331
336
341
346
351
356
361

DISCHARGE (M3/S)

1
6
11
16
21
26
31
36
41
46
51
56
61
66
71
76
81
86
91
96
101
106
111
116
121
126
131
136
141
146
151
156
161
166
171
176
181
186
191
196
201
206
211
216
221
226
231
236
241
246
251
256
261
266
271
276
281
286
291
296
301
306
311
316
321
326
331
336
341
346
351
356
361

DISCHARGE (M3/S)

1
6
11
16
21
26
31
36
41
46
51
56
61
66
71
76
81
86
91
96
101
106
111
116
121
126
131
136
141
146
151
156
161
166
171
176
181
186
191
196
201
206
211
216
221
226
231
236
241
246
251
256
261
266
271
276
281
286
291
296
301
306
311
316
321
326
331
336
341
346
351
356
361

DISCHARGE (M3/S)

1
6
11
16
21
26
31
36
41
46
51
56
61
66
71
76
81
86
91
96
101
106
111
116
121
126
131
136
141
146
151
156
161
166
171
176
181
186
191
196
201
206
211
216
221
226
231
236
241
246
251
256
261
266
271
276
281
286
291
296
301
306
311
316
321
326
331
336
341
346
351
356
361

DISCHARGE (M3/S)

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

14

1976

12

8
10

Observed Runoff
DAY

Observed Runoff

Simulated Runoff

20

1977

18

16

14

12

10

Observed Runoff
DAY
Simulated Runoff

12

1978

10

Observed Runoff
DAY
Simulated Runoff

10

1979

DAY

Simulated Runoff

Bandung, 12 September 2015

1
6
11
16
21
26
31
36
41
46
51
56
61
66
71
76
81
86
91
96
101
106
111
116
121
126
131
136
141
146
151
156
161
166
171
176
181
186
191
196
201
206
211
216
221
226
231
236
241
246
251
256
261
266
271
276
281
286
291
296
301
306
311
316
321
326
331
336
341
346
351
356
361

DISCHARGE (M3/S)
1
6
11
16
21
26
31
36
41
46
51
56
61
66
71
76
81
86
91
96
101
106
111
116
121
126
131
136
141
146
151
156
161
166
171
176
181
186
191
196
201
206
211
216
221
226
231
236
241
246
251
256
261
266
271
276
281
286
291
296
301
306
311
316
321
326
331
336
341
346
351
356
361

DISCHARGE (M3/S)

1
6
11
16
21
26
31
36
41
46
51
56
61
66
71
76
81
86
91
96
101
106
111
116
121
126
131
136
141
146
151
156
161
166
171
176
181
186
191
196
201
206
211
216
221
226
231
236
241
246
251
256
261
266
271
276
281
286
291
296
301
306
311
316
321
326
331
336
341
346
351
356
361

DISCHARGE (M3/S)

1
6
11
16
21
26
31
36
41
46
51
56
61
66
71
76
81
86
91
96
101
106
111
116
121
126
131
136
141
146
151
156
161
166
171
176
181
186
191
196
201
206
211
216
221
226
231
236
241
246
251
256
261
266
271
276
281
286
291
296
301
306
311
316
321
326
331
336
341
346
351
356
361

DISCHARGE (M3/S)

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

14

1980

12

10

Observed Runoff
DAY

Observed Runoff

Bandung, 12 September 2015


Simulated Runoff

14

1981

12

10

Observed Runoff
DAY
Simulated Runoff

1982

DAY

Observed Runoff
Simulated Runoff

30

1983

25

20

15

10

DAY

Simulated Runoff

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

1984
50
45

DISCHARGE (M3/S)

40
35
30
25

20
15
10
5

1
6
11
16
21
26
31
36
41
46
51
56
61
66
71
76
81
86
91
96
101
106
111
116
121
126
131
136
141
146
151
156
161
166
171
176
181
186
191
196
201
206
211
216
221
226
231
236
241
246
251
256
261
266
271
276
281
286
291
296
301
306
311
316
321
326
331
336
341
346
351
356
361

DAY
Observed Runoff

Simulated Runoff

1985
35

DISCHARGE (M3/S)

30

25
20
15
10
5

1
6
11
16
21
26
31
36
41
46
51
56
61
66
71
76
81
86
91
96
101
106
111
116
121
126
131
136
141
146
151
156
161
166
171
176
181
186
191
196
201
206
211
216
221
226
231
236
241
246
251
256
261
266
271
276
281
286
291
296
301
306
311
316
321
326
331
336
341
346
351
356
361

DAY
Observed Runoff

Simulated Runoff

1986
14

DISCHARGE (M3/S)

12

10
8
6
4
2

1
6
11
16
21
26
31
36
41
46
51
56
61
66
71
76
81
86
91
96
101
106
111
116
121
126
131
136
141
146
151
156
161
166
171
176
181
186
191
196
201
206
211
216
221
226
231
236
241
246
251
256
261
266
271
276
281
286
291
296
301
306
311
316
321
326
331
336
341
346
351
356
361

DAY
Observed Runoff

Simulated Runoff

Gambar 4. Hasil Simulasi dari Kalibrasi Manual Tahunan

Secara kasat mata, simulasi model Xinanjiang memberikan hasil yang sangat baik karena hanya terdapat
sedikit perbedaan antara debit simulasi dan pencatatan, terutama dari pola naik turunnya debit. Secara
umum, besaran nilai debit yang dihasilkan pun cukup baik. Penilaian secara kuantitatif dengan evaluasi
Nash-Sutcliffe dan relative error memberikan nilai seperti dapat dilihat pada Tabel 2 berikut.
Tabel 2 Nilai Evaluasi Simulasi

Tahun
1971
1972
1973
1974
1975
1976
1977

10

Nash-Sutcliffe
0.83502
0.77686
0.56944
0.81488
0.81997
0.35591
-1.38926

Relative Error
0.09863
0.01239
0.02668
0.06438
0.00430
0.00118
0.29617

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

1978
1979
1980
1981
1982
1983
1984
1985
1986

0.71592
0.58711
0.21890
0.54429
0.77485
0.69214
0.62114
0.16006
0.38969

0.06203
0.7721
0.02512
0.06014
0.05583
0.02576
0.05549
0.08827
0.06111

Secara umum, hasil dari evaluasi yang ada menunjukkan hasil yang memuaskan, terutama dari nilai
relative error. Terlepas dari hasil yang kurang memuaskan di tahun 1977, nilai Nash-Sutcliffe berkisar
pada nilai 0.59174 dan relative error berkisar pada nilai 0.04790. Pada beberapa tahun seperti 1973,
1976, 1979, 1980, 1981, 1985 dan 1986, nilai Nash-Sutcliffe berada di bawah 0.60, namun nilai relative
error mengkompensasi dengan hasil yang sangat memuaskan. Di seluruh tahun selain 1977, nilai relative
error selalu kurang dari 0.1, yang menunjukkan hasil simulasi yang sangat baik. Hanya pada tahun 1977,
nilai dari Nash-Sutcliffe dan relative error berturut-turut adalah -1.38926 dan 0.29617. Secara visual, hasil
tersebut dikarenakan kegagalan model Xinanjiang untuk mensimulasi respon dari DAS terhadap hujan
yang ada. Pola aliran yang didapat cukup berbeda dengan hasil pencatatan, dan terutama kegagalan
model dalam mensimulasi debit tinggi memberikan pengaruh yang cukup besar. Simpulan dari proses
kalibrasi manual tahunan ini, simulasi menggunakan model Xinanjiang dapat diterima dan dapat
diandalkan untuk diaplikasikan sesuai kebutuhan hidrologi.
Pembahasan Nilai Parameter Terkalibrasi
Pada bagian ini, pembahasan mengenai hasil kalibrasi parameter model dievaluasi. Tentu saja,
mendapatkan parameter model pada suat DAS tidak berarti bahwa pemahaman mengenai karakteristik
DAS secara menyeluruh telah didapatkan; pembahasan dan pengertian mengenai arti dari nilai-nilai
parameter menjadi lebih penting daripada hanya menampilkan suatu angka. Pada Tabel 3 dapat dilihat
kompilasi dari nilai parameter tiap-tiap tahun berdasarkan proses kalibrasi parameter yang sudah
dilakukan.
Dari Tabel 3 di bawah, dapat dilihat bahwa secara relatif, mayoritas nilai parameter yang digunakan untuk
mendapatkan simulasi yang terbaik tidak banyak berubah, yang juga menunjukkan stabilitas parameter
model Xinanjiang dalam memodelkan fenomena hidrologi di DAS Jiangwan. Parameter yang tidak
berubah adalah parameter yang berhubungan dengan evapotranspirasi (K dan C), penghasilan limpasan
(B, WM, IM), pemisahan limpasan (SM, Ex) dan parameter penelusuran aliran (CS dan L). Namun,
terdapat juga beberapa parameter yang nilainya berubah, yaitu KG, KI, CG dan CI; di mana semua
parameter tersebut berhubungan dengan aliran di bawah permukaan. Terlebih lagi, terdapat dua
komponen yang juga berubah nilainya yaitu WUM dan WLM, dan perubahan yang ada terjadi hanya pada
periode antara tahun 1975 dan 1978.
Tabel 3. Kompilasi Nilai Parameter Model Xinanjiang

Tahun
1971
1972
1973
1974
1975
1976
1977
1978
1979
1980

K
0.98
0.98
0.98
0.98
0.98
0.98
0.98
0.98
0.98
0.98

C
0.2
0.2
0.2
0.2
0.2
0.2
0.2
0.2
0.2
0.2

B
0.1
0.1
0.1
0.1
0.1
0.1
0.1
0.1
0.1
0.1

Bandung, 12 September 2015

WM
130
130
130
130
130
130
130
130
130
130

WUM WLM
60
40
20
80
20
80
60
40
34
66
35
65
90
10
60
40
60
40
60
40

IM
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0

SM
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5

Ex
1.2
1.2
1.2
1.2
1.2
1.2
1.2
1.2
1.2
1.2

KG
0.05
0.05
0.05
0.05
0.25
0.20
0.05
0.05
0.05
0.05

KI
0.05
0.05
0.05
0.05
0.25
0.20
0.05
0.05
0.05
0.05

CG
0.45
0.45
0.45
0.45
0.25
0.40
0.45
0.45
0.45
0.45

CI
0.45
0.45
0.45
0.45
0.35
0.40
0.45
0.45
0.45
0.45

CS
0.5
0.5
0.5
0.5
0.5
0.5
0.5
0.5
0.5
0.5

L
0.6
0.6
0.6
0.6
0.6
0.6
0.6
0.6
0.6
0.6

11

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

1981
1982
1983
1984
1985
1986

0.98
0.98
0.98
0.98
0.98
0.98

0.2
0.2
0.2
0.2
0.2
0.2

0.1
0.1
0.1
0.1
0.1
0.1

130
130
130
130
130
130

60
60
60
60
60
60

40
40
40
40
40
40

0
0
0
0
0
0

5
5
5
5
5
5

1.2
1.2
1.2
1.2
1.2
1.2

0.05
0.05
0.05
0.05
0.05
0.05

0.05
0.05
0.05
0.05
0.05
0.05

0.45
0.45
0.45
0.45
0.45
0.45

0.45
0.45
0.45
0.45
0.45
0.45

0.5
0.5
0.5
0.5
0.5
0.5

0.6
0.6
0.6
0.6
0.6
0.6

100.00
90.00

80.00

Component Value

70.00
60.00
50.00
40.00
30.00
20.00
10.00
0.00
1971

1973

1975

1977

1979

1981

1983

1985

1979

1981

1983

1985

Year

0.50
0.45

0.40

Parameter Value

0.35
0.30
0.25
0.20
0.15
0.10
0.05
0.00
1971

1973

1975

1977

Year

Gambar 5. Perubahan Komponen dan Parameter Model Xinanjiang

Perubahan yang terjadi pada komponen WUM dan WLM dari tahun ke tahun sebenarnya mendukung
fakta yang ada mengenai perubahan empat parameter lainnya; dan kesemuanya berhubungan dengan
aliran antara dan aliran air tanah. Melihat penyebaran parameter dan perubahannya, maka disimpulkan
bahwa simulasi model Xinanjiang pada bagian presipitasi, infiltrasi, evapotranspirasi dan limpasan
permukaan sudah stabil pada model Xinanjiang yang diterapkan di DAS Jiangwan. Namun, pola
pengaliran di bawah permukaan memberikan parameter yang cukup berfluktuasi, yang didukung oleh
kondisi geologi DAS Jiangwan seperti sebelumnya diteliti oleh Le, et al. (2014). Patahan-patahan yang
ditemukan pada pengamatan lapangan akan menyebabkan terjadinya kehilangan air permukaan ke
lapisan bawah permukaan. Fakta inilah yang kemudian menyebabkan adanya perbuahan parameter dan
komponen yang ada. Terlebih lagi, perubahan yang terjadi tidak begitu signifikan; perubahan hanya terjadi
di tahun-tahun tertentu, dengan kapasitas total maksimum yang tetap.
Pembahasan Debit Tinggi dan Debit Rendah
Terkait dengan peramalan debit, maka hal penting yang menjadi latar belakang diperlukannya informasi
tersebut adalah pengelolaan bencana terutama menghadapi banjir (debit tinggi) dan kekeringan (debit
rendah). Maka dari itu, bagian ini secara khusus membahas kemampuan model Xinanjiang untuk
mengestimasi baik debit tinggi ataupun debit rendah yang terjadi di DAS Jiangwan. Gambar 6 di bawah
menunjukkan nilai debit tertinggi tahunan hasil simulasi (garis biru) dan hasil pengamatan (garis merah).
Tabel 4 di bawahnya memberikan informasi kuantitatif evaluasi debit tinggi. Hal yang sama dilakukan
untuk debit rendah, dengan Gambar 7 menampilkan hasil plotting debit andal dengan tingkat keandalan
50% hingga 75%, dan hasilnya secara kuantitatif dapat dilihat di Tabel 5.

12

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

50
45
40

Flow (m3/s)

35
30
25
20
15
10
5
0
1970

1972

1974

1976

1978

1980

1982

1984

1986

1988

Year

Gambar 6. Debit Tertinggi Tahunan Hasil Simulasi vs Pengamatan


Tabel 4 . Debit Tertinggi Tahunan Hasil Simulasi vs Pengamatan

Tahun
1971
1972
1973
1974
1975
1976
1977
1978
1979
1980
1981
1982
1983
1984
1985
1986

Debit Simulasi (m3/s)


19.09
7.55
16.2
18.97
7.02
12.31
18.92
6
9.15
12.57
12.44
6.16
17.17
43.41
32.72
13.19

Debit Pengamatan (m3/s)


14.5
9
15.5
25.5
6.11
5.73
17.1
9.93
7.19
10.6
9.28
6.9
25.2
30.5
21.1
8.78

Duration Curve

Penyimpangan
31.03%
16.67%
4.52%
25.88%
14.75%
115.79%
10.53%
39.39%
28.17%
17.92%
34.78%
11.59%
32.14%
42.30%
54.98%
50.57%

0.16
0.14

Flow (m3/s)

0.12
0.10
0.08
0.06
0.04
0.02
0.00
Q50

Q55

Q60

Q65

Observed Flow

Q70
Q75
Flow Probability

Q80

Q85

Q90

Q95

Xinanjiang Simulation

Gambar 7. Kurva Durasi Debit Hasil Simulasi vs Pengamatan

Bandung, 12 September 2015

13

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Tabel 5. Debit Andal Hasil Simulasi vs Pengamatan

Q50
Q55
Q60
Q65
Q70

Debit Simulasi (m3/s)


0.13
0.11
0.09
0.08
0.07

Debit Pengamatan (m3/s)


0.15
0.11
0.09
0.07
0.05

Penyimpangan
13.33%
0.00%
0.00%
14.29%
40.00%

KESIMPULAN
Pada studi ini, stabilitas model Xinanjiang dalam melakukan simulasi aliran air di DAS Jiangwan yang
secara relatif tidak berubah diamati. Selain itu, sebagai pengamatan tambahan, hubungan antara
karakteristik geologi dengan parameter model Xinanjiang juga diamati. Dari pekerjaan-pekerjaan tersebut,
maka beberapa kesimpulan dapat ditarik sebagai berikut:
Dengan menggunakan model Xinanjiang untuk melakukan analisis hidrologi terkait model hubungan hujan
limpasan di DAS Jiangwan didapatkan hasil yang memuaskan, baik secara kasat mata ataupun
secara kuantitatif. Hasil evaluasi terbaik adalah nilai Nash-Sutcliffe pada nilai 0.83502 (tahun 1971)
dan relative error pada nilai 0.00118 (tahun 1976).
Simulasi terburuk yang didapatkan ada pada tahun 1977, dengan nilai Nash-Sutcliffe dan relative error
berturut-turut -1.38925 dan 0.29617. Namun, kalibrasi yang dilakukan secara manual tidak dapat
memberikan hasil yang lebih optimum lagi. Secara visual, respon limpasan terhadap hujan sudah
terlihat baik, namun hasil simulasi menunjukkan nilai yang terlambau tinggi.
Dari seluruh hasil kalibrasi dan simulasi, secara umum parameter model Xinanjiang ditemui stabil, sesuai
dengan karakteristik hidrologi di DAS Jiangwan. Parameter yang tidak berubah adalah parameter
evapotranspirasi (K dan C), parameter penghasilan limpasan (B, WM, IM), parameter pemisahan
limpasan (SM, Ex) dan parameter penelusuran (CS dan L).
Terdapat 4 parameter dan 2 komponen yang berubah selama periode kalibrasi, yaitu KG, KI, CG, CI WUM
dan WLM. Dari pengamatan perubahan nilai tersebut, dapat dilihat bahwa perubahan parameter yang
ada sesuai dengan kondisi DAS Jiangwan, di mana kondisi geologi DAS Jiangwan menyebabkan
adanya aliran dari limpasan permukaan menuju lapisan bawah.
Perubahan WUM dan WLM mendukung perubahan parameter KG, KI, CG dan CI yang terjadi. Baik
diperhatikan juga bahwa total kapasitas penyimpanan air (WM) tidak berubah, komponen WUM dan
WLM terkait satu dengan lainnya dengan jumlah yang konsisten. Hal tersebut mengindikasikan
variasi yang terjadi di bawah permukaan tanah, di saat aliran akhir menuju sungai utama tetap sama.
Menimbang informasi geologi DAS Jiangwan yang memiliki beberapa patahan di bawah lapisan
permukaan tanah, hasil studi ini memberikan hasil yang sesuai dengan kondisi DAS yang
sesungguhnya. Dapat disimpulkan bahwa model Xinanjiang tidak hanya stabil untuk digunakan, tetapi
juga dapat menggambarkan keadaan DAS Jiangwan dengan baik.
Debit tinggi tahunan yang dihasilkan melalui simulasi memberikan penyimpangan yang cukup berarti
ketika dibandingkan dengan debit tinggi pencatatan, dengan rata-rata penyimpangan sebesar
39.05%. Penyimpangan terbesar ditemukan pada tahun 1976 dengan debit hasil simulasi dan
pencatatan berturut-turut adalah 12.30 m3/s dan 5.74 m3/s. Sebaliknya, hasil memuaskan terdapat
pada simulasi tahun 1973 dengan debit simulasi dan pencatatan berturut-turut adalah 16.20 m3/s dan
15.50 m3/s.
Debit rendah dari hasil kurva durasi mengindikasikan kemampuan model Xinanjiang dalam
menggambarkan keadaan yang terjadi. Karena tipe sungai pada DAS Jiangwan diketahui adalah
sungai tipe ephemeral, yaitu sungai yang mengalir hanya pada musim basah, hasil simulasi yang ada

14

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

hanya dilakukan hingga debit dengan keandalan 70%. Penyimpangan hamper 0% ditemukan pada
debit dengan keandalan berkisar antara 55% hingga 60%.

UCAPAN TERIMA KASIH


Studi ini didukung oleh National Natural Science Foundation of China (grants 41271040), dan Special
Fund of State Key Laboratory of Hydrology-Water Resources and Hydraulic Engineering (No.
20145028012).

REFERENSI
Bronster, A., Niehoff, D., Burger, G. (2002). Effects of Climate and Land Use Change on Storm Runoff
Generation: Present Knowledge and Modeling Capabilities. Hydrological Processes. 16, 509-529.
DOI: 10.1002/hyp.326Hu, T. and Desai, J.P. (2004) Soft-Tissue Material Properties under Large
Deformation: Strain Rate Effect. Proceedings of the 26th Annual International Conference of the
IEEE EMBS, San Francisco, 1-5 September 2004, 2758-2761.
Cheng, C.T., Ou, C.P., Chau, K.W. (2002). Combining a Fuzzy Optimal Model with A Generic Algorithm
to Solve Multi-Objective Rainfall-Runoff Model Calibration. Journal of Hydrology 268 (2002) 72-86
Gan, T.Y., Dlamini, E.M., Biftu, G.F. (1997). Effects of Model Complexity and Structure, Data Quality and
Objective Functions on Hydrologic Modelling. Journal of Hydrology 192 (1997) 81-103
Jayawardena, A.W., Zhou, M.C. (2000). A Modified Spatial Soil Moisture Storage Capacity Distribution
Curve for the Xinanjiang Model. Journal of Hydrology 227 (2000) 93-113
Kuok, K.K., Chan, C.P. (2012). Particle Swarm Optimization for Calibrating and Optimizing Xinanjiang
Model Parameters. International Journal of Advanced Computer Science and Applications, Vol. 3,
No. 9, 2012
Li, H.X., Zhang, Y.Q., Francis, H.S.C. and Xu, S.G. (2009). Predicting Runoff in Ungauged Catchments
by Using Xinanjiang Model with MODIS Leaf Area Index. Journal of Hydrology 370, 155-162
Liden, R. And Harlin, J. (2000),Analysis of Conceptual Rainfall-Runoff Modelling Performance in Different
Climates, Journal of Hydrology, 238, 231-247
Liu, J.T., Chen, X., Zhang, J.B., and Flury, M. (2009). Coupling the Xinanjiang Model to a Kinematic Flow
Model Based On Digital Drainage Networks for Flood Forecasting. Wiley InterScience DOI:
10.1002/hyp.7255
Liu, J.T., Chen, X., Wu, J.C., Zhang, X.N., Feng, D.Z. and Xu, C.-Y. (2012). Grid Parameterization of a
Conceptual, Distributed Hydrological Model through Integration of a Sub-Grid Topographic Index:
Necessity and Practicability. Hydrological Sciences Journal, 57 (2), 282297
Manfreda, S., Fiorentino, M. (2008). A Stochastic Approach for the Description of the Water Balance
Dynamics in a River Basin. Hydrology and Earth System Sciences. 12, 1189-1200
Troch, P., van Loon, E., Hilberts, A. (2002). Analytical Solutions to a Hillslope Storage Kinematic Wave
Equation for Sub-Surface Flow. Advances in Water Resources 25(6). DOI: 10.1016/S03091708(02)00017-9
World Meteorological Organization. (2009). Manual on Low-Flow Estimation and Prediction. Operational
Hydrology Report No. 50. WMO-No. 1029. Koblenz, German.
Zhao, R.J., Zuang, Y.L., Fang, L.R., Liu, X.R., Zhang, Q.S. (1980). The Xinanjiang Model. Proceedings
of the Oxford Symposium, IAHS AISH Publ. no. 129

Bandung, 12 September 2015

15

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

KONSERVASI SUMBER DAYA AIR

STUDI EVALUASI KUALITAS AIR SITU GEDE KOTA TANGERANG


Eka Wardhani*, Kancitra Pharmawati, dan Indra
Jurusan Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik Sipil Dan Perencanaan, Itenas
*ekw_wardhani@yahoo.com

Abstrak
Situ Gede merupakan salah satu situ yang berada di Kota Tangerang, Propinsi Banten. Situ ini berfungsi
sebagai pengendali banjir dan juga pemasok cadangan air tanah. Seperti kebanyakan situ lainnya yang
berada di Kota Tangerang, Situ Gede mengalami kerusakan berupa penurunan kualitas air, penyusutan
luasan lahan dan pendangkalan yang meningkatnya aktivitas penduduk di sekitar areal sempadan situ.
Langkahawal untuk melakukan konservasi situ adalah dengan melakukan evaluasi untuk mengetahui
tingkat kerusakan dan penyebab terjadinya pencemaran dan kerusakan pada situ ini dengan cara
melakukan kaian terhadap morfologi, kualitas air, tata air, pertumbuhan gulma dan kondisi bantaran situ.
Hasil dari evaluasi ini diharapkan dapat mengetahui akar masalah penyebab terjadinya kerusakan dan
pencemaran terhadap situ sehingga dapat ditentukan langkah pengelolaan yang tepat untuk dijadikan
bahan masukan bagi pengambil kebijakan dalam upaya pengelolaan dan pelestarian dari situ. Penelitian
ini dilakukan dengan metode analisis deskriptif berdasarkan data primer yang diperoleh melalui
pengukuran dan observasi lapangan yang didukung oleh data sekunder yang berasal dari instansi terkait
di Kota Tangerang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas air Situ Gede sudah tidak memenuhi
baku mutu PP No 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air
karena terdapat lima parameter yang tidak memenuhi baku mutu tersebut yaitu: Dissolved Oxygen (DO),
Biochemical Oxygen Demand (BOD5), Chemical Oxygen Demand (COD), Total Fosfat, Surfaktan Anion
(Methylene Blue Active Subtance /MBAS) dengan Indeks Pencemaran (IP) mengalami penurunan dari
tercemar ringan pada tahun 2009 menjadi tercemar sedang dengan rentang nilai 6,01-7,45. serta terjadi
penyusutan luas situ dari 6,8 Ha tahun 2009 menjadi 5,4 Ha. Kondisi bantaran situ pun telah mengalami
perubahan saat ini Situ Gede berada dalam penguasaan Perumahan Modern Land yang menyebabkan
kondisi situ lebih terawat dibanding sebelumnya.
Kata Kunci: Evaluasi, Kerusakan, Situ Gede, Tangerang

LATAR BELAKANG
Keberadaan situ sangat penting dan dibutuhkan bagi keberlangsungan tersedianya cadangan air pada
musim kemarau dan sebagai kawasan resapan air sehingga diharapkan dapat meningkatkan cadangan
air tanah serta mengendalikan banjir pada musim penghujan. Situ juga dapat berfungsi sebagai sumber
mata pencaharian dan sebagai objek wisata bagi masyarakat. Mengingat pentingnya keberadaan situ,
maka harus dilakukan upaya konservasi agar situ bisa berfungsi dengan optimal.
Jumlah situ yang berada di Kota Tangerang semula sebanyak 9 situ, saat ini yang tersisa hanya 6 buah
situ, 3 situ yang telah hilang yaitu Situ Plawad, Situ Kompeni dan Situ Kambing. Ketiga situ itu telah
menjadi tanah lapang dan dijadikan kawasan pemukiman penduduk. Kondisi situ yang ada telah
mengalami penurunan fungsi dan menyusut misalnya Situ Cipondoh yang semula luasnya 142 Ha, saat ini
telah menjadi 119,43 Ha. Demikian juga situ yang lainnya yaitu Situ Bulakan luas semula 30 hektar,
menjadi 21,90 Ha, Situ Cangkring luas semula 6 Ha menjadi 5,17 Ha, Situ Gede/Besar yang luas`semula
6,8 Ha turun menjadi 5,06 Ha. Dua buah situ lainnya, yaitu Situ Bojong dan Situ Kunciran yang semula
luasnya masing-masing 6 Ha dan 3 Ha, turun drastis menjadi masing-masing 0,6 Ha dan 0,3 Ha. Ini
artinya hanya tinggal 10 % dari luas semula (SLH Kota Tangerang, 2011).

16

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Enam situ yang ada di Kota Tangerang selain mengalami penyusutan luas juga telah mengalami
degradasi akibat dari penyempitan luasan/badan air situ, pendangkalan, serta alih fungsi lahan. Kondisi ini
berdampak pada tidak optimalnya fungsi situ sebagai pengendali banjir, yang antara lain ditunjukan dari
semakin meluasnya lokasi, tinggi dan lamanya genangan banjir yang terjadi di Kota Tangerang (SLH
Kota Tangerang, 2009). Apabila hal ini terus berlanjut tanpa adanya upaya penanganan yang serius maka
kemungkinan besar Kota Tangerang akan mengalami krisis sumberdaya air dan ancaman banjir yang tak
terkendali dimasa yang akan datang.
Situ Gede atau yang biasa disebut Situ Besar yang merupakan lokasi studi berada di Kelurahan Cikokol,
Kecamatan Tangerang, Kota Tangerang merupakan salah satu situ prioritas untuk diperbaiki kondisinya.
Situ ini berada di tengah kota dan merupakan situ dengan luasan sebesar 5,4 Ha. Saat ini Situ Gede
berfungsi sebagai buangan limbah dari rumah tangga (pemukiman), penampungan air, budidaya ikan dan
kolam pemancingan.
Penelitian ini dilakukan dengan maksud melakukan evaluasi mengenai kualitas air Situ Gede yang
bertujuan untuk mengetahui kondisi kualitas air situ terkini, mengetahui factor-faktor yang mempengaruhi
kualitas air, mengevaluasi status mutu perairan dan tingkat kerusakannya, serta memberikan rekomendasi
upaya pengelolaan dan pelestarian sebagai masukan bagi pihak yang berwenang dalam mengambil
kebijakan dalam upaya pelestarian daripada Situ Gede.
Penelitian ini dibatasi oleh ruang lingkup sebagai berikut:
1. Data primer merupakan data yang diberoleh melalui observasi serta pengukuran lapangan mengenai
kualitas air di Situ Gede yaitu: kekeruhan, Total Suspended Solid (TSS), pH, Dissolved Oxygen (DO),
Biochemical Oxygen Demand (BOD5), Chemical Oxygen Demand (COD), Fosfat, Nitrit, Bakteri
Coliform;
2. Data sekunder yang diteliti meliputi: nama situ, alamat/wilayah administrasi, kelembagaan situ, foto,
peta, jumlah penduduk sekitar situ, jenis pemanfaatan perairan situ, tipe pembentukan dan
kepemilikan, fungsi situ, luas dan kedalaman situ, kondisi tata air (kondisi air, sumber air, inlet dan
outlet), kondisi pencemaran, kondisi penggunaan lahan sekitar situ, situ (pendangkalan/sedimentasi,
eutrofikasi, konversi lahan, kualitas air), keberadaan flora dan fauna, permasalahan serta penilaian
kondisi situ (berdasarkan kriterian kerusakan situ)

METODOLOGI STUDI
Penelitian ini dimulai dengan melakukan studi literatur yaitu pengumpulan teori atau pustaka yang
berkaitan dengan penelitian seperti: pengertian situ, fungsi dan potensi situ, ekosistem perairan situ,
klasifikasi situ, pencemaran perairan situ, eutrofikasi situ, dan gulma air yang diperoleh dari text book,
karya ilmiah, dan browsing melalui media internet.
Setelah melakukan studi literatur selanjutnya dilakukan pengumpulan data sekunder berupa: nama situ,
alamat/wilayah administrasi, kelembagaan situ, foto, peta, jumlah penduduk sekitar situ, jenis
pemanfaatan perairan situ, tipe pembentukan dan kepemilikan, fungsi situ, luas dan kedalaman situ,
kondisi tata air (kondisi air, sumber air, inlet dan outlet), kondisi pencemaran, kondisi penggunaan lahan
sekitar situ, situ (pendangkalan/sedimentasi, eutrofikasi, konversi lahan, kualitas air), keberadaan flora
dan fauna, permasalahan serta penilaian kondisi situ (berdasarkan kriterian kerusakan situ) sedangkan
data primer yang dibutuhkan adalah kualitas air situ dan kondisi pertumbuhan gulma air.
Langkah untuk mengetahui kualitas air dari Situ Gede ini, yaitu dengan melakukan kegiatan sampling
kualitas air yang dilaksanakan pada tanggal 22 Nopember 2011 terhadap lima titik sampling seperti yang
disajikan pada Gambar 1. Penentuan lokasi titik sampling, pengawetan sampel, serta metode pengukuran
parameter kualitas air sesuai baku mutu Peraturan Pemerintah No 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan
Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.
Lokasi 5 (lima) titik sampling yaitu: Titik 1 berada di dekat Apartemen Modern dengan posisi S 0611'95.6",
E. 106 38' 26,2" Titik 2 dekat Mall Metropolis dengan posisi S 0611'87.4" , E. 106 38' 16,9", Titik 3

Bandung, 12 September 2015

17

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

berada dekat STMIK Raharja yang terletak pada posisi LS. 06 11 73,6 BT. 106 3803,3, Titik
berada dekat Restoran Telaga Modern yang terletak pada posisi LS. 06 11 93,5 BT. 106 3819,8,
dan Titik 6 berada pada bagian Tengah Situ Gede yang terletak pada posisi S. 06 12 014 E. 106
38 24,5, penentuan titik sampling berdasarkan lokasi pengukuran rutin oleh BPLH Kota Tangerang.
Parameter air yang dianalisis merupakan parameter yang dianggap mewakili atau menggambarkan
kondisi kualitas air Situ Gede, diantaranya adalah; suhu, kekeruhan, derajat keasaman (pH), residu
tersuspensi (TSS), oksigen terlarut (DO), Chemical oxygen demand (COD), Biological oxygen demand
(BOD), Nitrit (NO2-), Ortofosfat (PO4-), Bakteri Coli dan Colifecal. Adapun titik pengambilan sampel
ditentukan dengan cara melihat bagian dari situ yang banyak ditempati penduduk atau pada bagian yang
paling banyak menerima pencemar yang berasal dari luar situ seperti pemukiman, pertanian dan hotel,
serta lokasi kegiatan keramba jaring apung (Purposive Sampling). Penentuan titik-titik pengambilan
contoh air di situ dengan pertimbangan bahwa lokasi pengambilan sampel air diduga sebagai aliran
limbah dari berbagai kegiatan aktivitas penduduk yang mengalir ke perairan situ.

Gambar 1. Lokasi Pengambilan Sampel

Sampel air diambil dengan menggunakan botol kaca yang sudah dicuci dan dibersihkan terlebih dahulu.
Parameter DO, pH dan suhu langsung diukur ditempat dengan menggunakan alat masing masing DO
meter, pH meter, dan Thermometer. Sedangkan parameter yang harus diukur di laboratorium di awetkan
dengan cara didinginkan dengan menggunakan es batu dan disimpan dalam kotak pendingin (Cooler
Box). Khusus untuk parameter COD sampel air sebelumnya ditambahkan asam H2SO4 sehingga pH
menjadi 2 lalu disimpan dalam kotak pendingin. Tabel 1 menjabarkan metoda pengujian kualitas air di
laboratorium Teknik Lingkungan Itenas.
Data mengenai kedalaman dan luasan situ diperoleh dari instansi terkait di Kota Tangerang yaitu Balai
Besar Wilayah Sungai (BBWS) Cisadane-Ciliwung serta Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH)
Kota Tangerang, sedangkan luasan tutupan gulma air diperoleh adalah dengan cara melihat persentase
penutupan gulma terhadap luasan situ.

18

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Tabel 1. Metoda Pengujian Kualitas Air

Parameter

Satuan

Baku Mutu

Suhu (in situ)

oC

Deviasi 3

Kekeruhan

NTU

TSS

mg/L

50

Acuan

Pengawetan

Metoda Uji

SNI 066989.3:2009
SNI 066989.:2009
SNI 06-6989.132004
SNI 066989.8:2009

In situ

Thermometri

Dinginkan
2oC
Dinginkan
2oC

Turbidimetri

In situ

Potensiometri

In situ

Potensiometri

Dinginkan
2oC
Dinginkan
2oC
Dinginkan
2oC
Dinginkan
2oC

Titrimetri

FISIKA

pH (in situ)

6--9

Gravimetri

KIMIA ANORGANIK
DO (in situ)

mg/L

BOD5

mg/L

COD

mg/L

25

Fosfat

mg/L

0,2

Nitrit
mg/L
MIKROBIOLOGI
Coliform
jumlah/100mL

SNI 066989.4:2009
SNI
6989.72:2009
SNI
6989.2:2009

0,06

SM 4500 - P.D
SNI 06-6989.92004

5000

SM 9221 B

Titrimetri
Fotometri
Fotometri

Dinginkan
Pengenceran/tabung
2oC
fermentasi
E.Coli
jumlah/100mL
1000
SM 9221 E
Dinginkan
Pengenceran/tabung
2oC
fermentasi
Metode penilaian kerusakan ekosistem situ ini menggunakan acuan kriteria penilaian kualitas situ
berdasarkan data ekosistem situ antara lain: morfologi situ, kualitas air situ, tata air situ, pertumbuhan
gulma air, dan kondisi bantaran situ. Penilaian status mutu air menggunakan metoda Indeks Pencemaran
(IP) air yang diatur dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.115 Tahun 2003. Metoda IP
ini berfungsi untuk mengetahui tingkat pencemaran yang terjadi pada suatu badan air. Pengelolaan
kualitas air atas dasar Indeks Pencemaran (IP) ini dapat memberi masukan pada pengambil keputusan
agar dapat menilai kualitas badan air untuk suatu peruntukan serta melakukan tindakan untuk
memperbaiki kualitas jika terjadi penurunan kualitas akibat kehadiran senyawa pencemar.
Perhitungan Metode Indeks Pencemaran Air menggunakan rumusan seperti yang dijelaskan pada uraian
berikut:
1. Pilih parameterparameter yang jika harga parameter rendah maka kualitas air akan membaik
Pilih konsentrasi parameter baku mutu yang tidak memiliki rentang
Hitung harga Cij/Lij untuk tiap parameter pada setiap lokasi pengambilan cuplikan
Untuk parameter yang jika nilai konsentrasinya menurun menyatakan tingkat pencemaran meningkat,
misal DO. Maka:
Tentukan nilai teoritik atau nilai maksimum Cim (misal untuk DO, nilai Cim merupakan nilai DO jenuh).
Nilai Cij/Lij hasil pengukuran digantikan oleh nilai Cij/Lij hasil perhitungan, yaitu :
Jika nilai baku Lij memiliki rentang, maka :

Bandung, 12 September 2015

Lij baru

Cim Ci hasil pengukuran


Cim Lij

19

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Untuk C1/L1j rata rata

Lij baru

C L
L L
ij rata rata

ij min imum

Untuk C1/L1j > rata rata

Lij baru

ij rata rata

C L

L
ij rata rata

ij maksimum

ij rata rata

Keraguan timbul jika dua nilai (Ci/Lij) berdekatan dengan niali acuan 1,0, misal C1/L1j = 0,9 dan C2/L2j = 1,1
atau perbedaan yang sangat besar, misal C3/L3j = 5,0 dan C4/L4j = 10,0. maka tingkat kerusakan
badan air sulit ditentukan
Cara mengatasi kesulitan no.e yaitu:
a. Jika (C1/L1j)hasil pengukuran < 1,0 maka gunakan nilai (C1/L1j)hasil pengukuran
b. Jika C1/L1j)hasil pengukuran > 1,0 maka gunakan nilai (C1/L1j)baru , dimana:
c. (C1/L1j)baru = 1,0 + P.Log (C1/L1j)hasil pengukuran
Tentukan nilai rata rata dan nilai maksimum dari keseluruhan Ci/Lij
Tentukan harga PIj

PI j

Lij M Ci Lij R
2

Tabel 2. Evaluasi Nilai PI

Nilai PI
0 PIj 1,0
1,0 < PIj 5,0
5,0 < PIj 10
PIj > 10

Status Mutu Air


memenuhi baku mutu (kondisi baik)
cemar ringan
cemar sedang
cemar berat

HASIL STUDI DAN PEMBAHASAN


Situ Rawa Besar (Situ Gede), mempunyai luas 5,4 Ha, berada di Kelurahan Kelapa Dua, Cikokol,
Sukasari, Kota Tangerang. Berdasarkan pengamatan makro pada tanggal 22 November 2011 kondisi situ
pada saat dilakukan observasi yaitu: situ terawat, bersih, tumbuhan Eceng gondok dan sampah selalu
dibersihkan. Terdapat khusus lokasi pemancingan yang dikelola oleh perseorangan, daerah pemancingan
tersebut dipisahkan oleh jaring yang membelah situ. Situ terbagi dua, Situ Gede ukuran lebih luas dan Situ
yang masuk ke wilayah perumahan Modernland. Ketika dilakukan pemantauan fauna yang berada di situ
tersebut banyak terdapat ikan khususnya ikan Mujair, Patin, Gabus, Bawal, Ikan Mas, dan sapu-sapu
selain itu banyak juga Keong Mas. Di daerah sempadan banyak ditumbuhi oleh vegetasi Sengon/Albisiah.
Di tepi situ terpampang papan nama, Pemerintah Provinsi Banten, Dinas Sumber Daya Air dan
Pemukiman, tertulis Undang-undang No. 7 tahun 2004, tentang Sumber Daya Air Pasal 21, Ayat 1. Selain
itu Peraturan Pemerintah No. 26 tahun 2008, tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, juga
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 63/PRT/1993, tentang garis Sempadan Sungai, daerah manfaat
sungai, daerah pengusaan sungai dan bekas sungai. Situ Gede tidak memiliki status kepemilikan lahan
yang jelas. Secara yuridis pengelolaan Situ Gede merupakan wewenang dari pemerintah Kota Tangerang,
akan tetapi pemilik Kawasan Modernland mengaku memiliki wewenang terhadap lahan dan pengelolaan
daripada situ ini. Sekarang Situ Gede dikelola dan digarap oleh penggarap liar yang tidak memiliki status
resmi atas kepemilikan situ ini. Ketidakjelasan status kepemilikan lahan dari situ ini merupakan masalah
bagi aparat pemerintah daerah yang seharusnya memiliki wewenang terhadap upaya pengelolaan,
pemanfaatan dan pelestarian daripada Situ Gede.

20

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Morfologi Situ
Morfologi situ adalah bentuk fisik dari situ yang terdiri dari luasan dan kedalaman dari situ. Situ Gede
berdasarkan data pada tahun 2005 memiliki luas 6,8 ha dengan rata-rata kedalaman 1 meter pada pinggir
situ dan yang paling dalam berada di tengah situ yaitu hingga 3 meter. Namun pengukuran pada tahun
2009 telah terjadi penyusutan luasan situ sebesar 25% dari luas awalnya, hingga saat ini luasan situ gede
hanya sebesar 5,4 ha dengan kedalaman rata-rata sekitar 60 cm pada pinggiran situ hingga 2 meter pada
bagian tengah (SLH Kota Tangerang, 2011). Penyusutan luasan Situ Gede diakibatkan oleh
pembangunan yang terjadi di sekitar areal bantaran situ. Sedangkan pendangkalan diakibatkan oleh
sampah dan limbah rumah tangga yang masuk ke dalam situ selain itu terjadi pula sedimentasi akibat air
hujan yang masuk membawa sedimen yang berasal dari bantaran situ. Penyusutan luasan situ ini
berdampak buruk bagi wilayah sekitar situ, dengan menyusutnya luasan situ maka akan mengurangi
kemampuan penampungan volume air sehingga dapat menyebabkan meluapnya air ke areal sempadan
situ pada musim penghujan.
Kondisi Bantaran Situ Gede
Bantaran situ adalah suatu area yang berkontribusi dalam pergerakan air yang masuk ke dalam situ,
sehingga area tersebut sangat dipengaruhi oleh bentuk rupa permukaan lahan dari area sekitar situ. Area
sebelah selatan dari Situ Gede lebih tinggi daripada sebelah utara, sehingga pergerakan air adalah dari
selatan ke Utara. Letak Situ Gede berada di tengah Kota Tangerang dengan tutupan lahan yang tinggi
diapit oleh Perumahan, Pertokoan, Jalan Raya, Mall, Pabrik dan Sarana Pendidikan seperti yang terlihat
pada Gambar 2 sampai dengan Gambar 5. Hal ini akan mempengaruhi debit limpasan air hujan yang
mengalir, akibatnya adalah debit limpasan air hujan akan menjadi tidak terkendali dan meluap ke areal
sempadan situ sehingga dapat menyebabkan banjir. Hal ini tentu saja akan menyebabkan masalah bagi
masyarakat yang tinggal disekitar bantaran situ. Situ Gede berada diantara tiga kelurahan yaitu Kelurahan
Cikokol, Kelurahan Kelapa Indah dan Kelurahan Babakan. Kondisi tutupan lahan yang berada di tiga
kelurahan tersebut disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Kondisi Tutupan Lahan Kelurahan Sekitar Bantaran Situ Gede

Kelurahan
Cikokol
Kelapa Indah
Babakan

Kondisi Tutupan Lahan


Pabrik PT.Kumatex, Jalan Raya Cikokol, Terminal Cikokol, Pasar Cikokol,
Carefour
Metropolis Town Square, Kawasan Modernland, Perumahan Pulau Putri, STMIK
Raharja.
Perumahan Babakan, Perumahan Babakan Bintang.

Gambar 2. Lokasi Situ Gede Yang Diapit Oleh Mall

Bandung, 12 September 2015

21

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Gambar 3. Lokasi Situ Gede Yang Diapit


Oleh Pabrik

Gambar 4. Lokasi Situ Gede Yang Diapit


Oleh Sarana Pendidikan

Tata Air Situ Gede


Situ Gede merupakan situ alami dengan sumber air utama berasal dari mata air bawah tanah yang
berasal dari bagian Timur situ tersebut seperti yang terlihat pada Gambar 6. Sumber air Situ Gede lainnya
berasal dari limpasan air hujan, air tanah dan air buangan yang berasal dari aktivitas domestik sekitar
bantaran situ seperti yang disajikan pada Gambar 7. Di sebelah utara situ terdapat saluran kecil yang
berfungsi untuk mengalirkan air situ keluar menuju saluran utama Sungai Cisadane pada saat musim
penghujan dimana volume air meningkat. Saluran ini dilengkapi dengan pintu air 3 x 5 meter yang hanya
dibuka pada saat debit air tinggi seperti disajikan pada Gambar 8.

Gambar 5. Lokasi Mata Air Bawah Tanah Situ Gede

22

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Gambar 6. Saluran Masuk/Inlet Limbah Rumah


Tangga Ke Situ Gede

Gambar 7. Saluran Keluar/Outlet Situ Gede

Kualitas Air Situ


Pengukuran kualitas air yang telah dilakukan pada tanggal 22 Nopember 2011 terhadap 5 (lima) titik
sampling yaitu: Titik 1 berada di dekat Apartemen Modern dengan posisi S 0611'95.6", E. 106 38' 26,2"
Titik 2 dekat Mall Metropolis dengan posisi S 0611'87.4" , E. 106 38' 16,9", Titik 3 berada dekat STMIK
Raharja yang terletak pada posisi LS. 06 11 73,6 BT. 106 3803,3, Titik berada dekat Restoran
Telaga Modern yang terletak pada posisi LS. 06 11 93,5 BT. 106 3819,8, dan Titik 6 berada pada
bagian Tengah Situ Gede yang terletak pada posisi S 06 12 014 E. 106 38 24,5. Penentuan titik
sampling berdasarkan lokasi pengukuran rutin oleh BPLH Kota Tangerang.
Berdasarkan data hasil pengukuran terhadap lima titik tersebut dari 32 parameter yang dianalisis terdapat
lima parameter yang melebihi baku mutu PP No 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan
Pengendalian Pencemaran Air golongan II peruntukan air baku air minum. Parameter yang melebihi baku
mutu tersebut: Dissolved Oxygen (DO), Biochemical Oxygen Demand (BOD5), Chemical Oxygen Demand
(COD), Total Fosfat, Surfaktan Anion (Methylene Blue Active Subtance /MBAS).
COD, BOD5, dan DO
Parameter COD dalam air menyatakan jumlah oksigen yang diperlukan agar bahan buangan yang ada
dalam air dapat teroksidasi melalui reaksi kimia baik yang dapat didegradasi secara biologis maupun yang
susah didegradasi. Jika pada perairan terdapat bahan organik yang resisten terhadap degradasi biologis,
misalnya tannin, fenol, polisacharida dansebagainya, maka lebih cocok dilakukan pengukuran COD
daripada BOD. Kenyataannya hampir semua zat organik dapat dioksidasi oleh oksidator kuat seperti
kalium permanganat dalam suasana asam, diperkirakan 95%-100% bahan organik dapat dioksidasi.
Seperti pada BOD, perairan dengan nilai COD tinggi tidak diinginkan bagi kepentingan perikanan dan
pertanian. Nilai COD pada perairan yang tidak tercemar biasanya kurang dari 20 mg/L, sedangkan pada
perairan tercemar dapat lebih dari 200 mg/L dan pada limbah industri dapat mencapai 60.000 mg/L
(UNESCO,WHO/UNEP, 1992). Berdasarkan hasil pengukuran COD di Situ Gede seperti yang disajikan
pada Gambar 9 di lima titik pengamatan tidak memenuhi baku mutu yang ditetapkan yaitu sebesar 25
mg/L.

Bandung, 12 September 2015

23

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Gambar 8. Konsentrasi COD di Situ Gede Kota Tangerang

Tingginya nilai BOD5 dan COD mengindikasikan bahwa perairan Situ Gede ini sudah tercemar oleh limbah
bahan organik. Limbah organik ini kemungkinan berasal dari kegiatan disekitar bantaran situ yang
membuang limbahnya ke situ seperti kegiatan perkantoran,budiidaya perikanan dan limbah yang berasal
dari rumah tangga yang masuk kebadan air mengkontribusi tingginya nilai BOD5 dan COD tersebut.

Gambar 9. Konsentrasi BOD5 di Situ Gede Kota Tangerang

BOD5 adalah banyaknya oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme dalam lingkungan air untuk
mendegradasi materi buangan organik yang ada dalam air menjadi karbondioksida dan air secara
biokimia. Semakin besar kadar BOD5 dalam air merupakan indikasi bahwa perairan tersebut telah
tercemar, sebagai contoh adalah kadar maksimum BOD5 yang diperkenankan untuk kepentingan air
minum dan menopang kehidupan organisme akuatik adalah 3,06,0 mg/L (UNESCO/WHO/UNEP, 1992).
Berdasarkan Gambar 12 nilai BOD5 jauh melebihi baku mutu yang ditetapkan yaitu 3 mg/L, dimana nilai
BOD tertinggi terdapat pada titik Tengah yaitu sebesar 10 mg/L.

24

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Gambar 10. Konsentrasi DO di Situ Gede Kota Tangerang

Kandungan Oksigen Terlarut (DO) di empat titik pantau telah memenuhi baku mutu yang ditetapkan yaitu
lebih besar dari 4 mg/L hanya di titik tengah danau yang konsentrasi DO tidak memenuhi baku mutu yaitu
sebesar 3,6 mg/L lebih kecil dari baku mutu yang ditetapkan.Tanpa adanya oksigen terlarut, banyak
mikroorganisme dalam air tidak dapat hidup karena oksigen terlarut digunakan untuk proses degradasi
senyawa organik dalam air. Oksigen dapat dihasilkan dari atmosfir atau dari reaksi fotosintesa algae.
Oksigen yang dihasilkan dari reaksi fotosintesa algae tidak efisien, karena oksigen yang terbentuk akan
digunakan kembali oleh algae untuk proses metabolisme pada saat tidak ada cahaya. Kelarutan oksigen
dalam air tergantung pada suhu dan tekanan atmosfir. Suhu dan tekanan, maka kalarutan oksigen jenuh
dalam air pada 25o C dan tekanan 1 atmosfir adalah 8,32 mg/L (Warlina, 1985).
Total Fosfat dan Surfaktan
Fosfat terdapat dalam air alam sebagai senyawa ortofosfat, polifosfat dan fosfat organis. Setiap senyawa
fosfat tersebut terdapat dalam bentuk terlarut, tersuspensi atau terikat di dalam sel organisme dalam air.
Di daerah pertanian ortofosfat berasal dari bahan pupuk yang masuk ke dalam situ melalui drainase dan
aliran air hujan. Polifosfat dapat memasuki situ melaui air buangan penduduk dan industri yang
menggunakan bahan detergen yang mengandung fosfat, seperti industri pencucian, industri logam dan
sebagainya.

Gambar 11. Konsentrasi Fosfat Total di Situ Gede Kota Tangerang

Bandung, 12 September 2015

25

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Fosfatorganis terdapat dalam air buangan penduduk (tinja) dan sisa makanan. Fosfat organis dapat pula
terjadi dari ortofosfat yang terlarut melalui proses biologis karena baik bakteri maupun tanaman menyerap
fosfat untuk pertumbuhannya. Keberadaan senyawa fosfat dalam air sangat berpengaruh terhadap
keseimbangan ekosistem perairan.
Berdasarkan hasil pengukuran kandungan Total Fosfat diseluruh lokasi pemantauan tidak memenuhi baku
mutu yang ditetapkan seperti yang disajikan pada Gambar 12. Kandungan fosfat yang tinggi di badan air
menyebabkan nutrisi perairan menjadi subur dan memicu terjadinya algae blooming dan Eutrofikasi.
Eutrofikasi merupakan masalah lingkungan hidup yang diakibatkan oleh limbah fosfat (PO3-), khususnya
dalam ekosistem air tawar. Berdasarkan pengamatan di lapangan kandungan Fosfat yang tinggi di Situ
Gede berasal dari proses alamiah di lingkungan air itu sendiri (background source), industri, detergen,
pupuk pertanian, dan dari limbah manusia, karena Situ Gede berada di tengah-tengah pemukiman.
Surfaktan merupakan zat aktif permukaan yang termasuk bahan kimia organik. Ia memiliki rantai kimia
yang sulit didegradasi (diuraikan) alam. Sesuai namanya, surfaktan bekerja dengan menurunkan
tegangan air untuk mengangkat kotoran (emulsifier, bahan pengemulsi). Pada mulanya surfaktan hanya
digunakan sebagai bahan utama pembuat deterjen. Namun karena terbukti ampuh membersihkan
kotoran, maka banyak digunakan sebagai bahan pencuci lain. Dengan makin luasnya pemakaian
surfaktan sebagai bahan utama pembersih maka risiko bagi kesehatan dan lingkungan pun makin rentan.
Berdasarkan hasil pengukuran konsentrasi Surfaktan anion MBAS di semua titik pemantauan tidak sesuai
dengan baku mutu yang ditetapkan sebesar 0,2 mg/L seperti yang disajikan pada Gambar 13.
Konsentrasi Total Fosfat dan Surfaktan yang tidak memenuhi baku mutu menunjukkan bahwa Situ Gede
telah menerima pencemaran limbah domestik yang cukup besar

Gambar 12. Konsentrasi Surfaktan Anion (MBAS) di Situ Gede Kota Tangerang

Perhitungan Indeks Pencemaran


Indeks Pencemaran Air (Water Pollution Index) digunakan untuk menentukan tingkat pencemaran relatif
terhadap parameter kualitas air yang diizinkan. Pengelolaan kualitas air atas dasar Indeks Pencemaran
(IP) ini dapat memberi masukan pada pengambil keputusan agar dapat menilai kualitas badan air untuk
suatu peruntukan serta melakukan tindakan untuk memperbaiki kualitas jika terjadi penurunan kualitas
akibat kehadiran senyawa pencemar (KEPMEN LH 115, 2003).
Berdasarkan hasil perhitungan Indeks Pencemaran Air Situ Gede terhadap lima titik pengujian sampel air,
maka perairan Situ Gede masuk kedalam kategori Tercemar Sedang untuk baku mutu air Golongan II

26

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

berdasarkan Peraturan Pemerintah No 82 Tahun 2001 tentang tentang Pengelolaan Kualitas Air dan
Pengendalian Pencemaran seperti disajikan pada Tabel 4.
Berdasarkan Tabel 4 bahwa terjadi penurunan status kualitas air Situ Gede pada tahun 2011
dibandingkan dengan pengukuran sebelumnya pada tahun 2009 dimana kategori pencemaran Situ Gede
berada dalam kategori tercemar ringan dengan rentang nilai 3,13-4,46, sedangkan pada pengukuran
tahun 2011 indeks pencemarannya adalah tercemar sedang dengan rentang nilai 6,01-7,45. Hal ini tentu
saja menandakan bahwa dibandingkan dengan tahun 2009 Situ Gede mengalami penurunan kualitas
sehingga harus dilakukan upaya perlindungan dari pencemaran air terhadap situ ini.
Tabel 4. Perbandingan Indeks Pencemaran Tahun 2011 dan 2009
(Sumber: Hasil Analisa Tahun 2011 *) Pengolahan Data SLH Kota Tangerang Tahun 2009)

2011
2009*
Indeks Pencemaran
Status Pencemaran
Indeks Pencemaran
Status Pencemaran
1
6,45
Tercemar Sedang
3,13
Tercemar Ringan
2
6,32
Tercemar Sedang
4,17
Tercemar Ringan
3
6,01
Tercemar Sedang
4,46
Tercemar Ringan
4
6,96
Tercemar Sedang
3.02
Tercemar Ringan
5
7,45
Tercemar Sedang
3.55
Tercemar Ringan
Berdasarkan hasil analisa tahun 2011 indeks pencemar tertinggi berada di titik pemantauan 5 yaitu di
tengah Situ Gede sedangkan terendah berada di titik pemantauan 3 yaitu di dekat STMIK Raharja.
Titik Sampling

Indeks

6
4
2
0

SP
Mall
Apartemen Metropolis

STMIK
Raharja

RM Telaga
Modern

Tengah

2011

6.45

6.32

6.01

6.96

5.45

2009

3.13

4.14

4.46

3.02

3.55

Gambar 13. Perbandingan Indeks Pencemaran di Situ Gede Tahun 2009 dan Tahun 2011

Pertumbuhan Gulma Air Situ Gede


Perairan Situ Gede terbilang cukup bersih dari gangguan gulma air, tidak seperti situ yang lainnya yang
terdapat di Kota Tangerang. Sedikitnya hanya ditemukan tanaman kangkung liar (Ipomoea aquatica)
tumbuh di pinggir perairan situ sebelah barat. Terdapat beberapa tanaman enceng gondok yang terlihat di
sekitar keramba jaring apung milik warga setempat akan tetapi jumlahnya tidak banyak. Warga yang
Bandung, 12 September 2015

27

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

mengurus situ ini terlihat cukup merawat situ ini dari gangguan gulma air. Tanaman enceng gondok
(Eichornia crassipes) yang terlihat tumbuh dibersihkan secara manual oleh pengelola pada waktu tertentu.
Oleh karena itu jika dilihat secara kasat mata persentase penutupan gulma terhadap badan air Situ Gede
dapat dikatakan kurang dari 15 % seperti yang disajikan pada Gambar 15.

Gambar 14. Gulma Perairan Situ Gede

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI


Kesimpulan
Kualitas air Situ Gede di Kota Tangerang berdasarkan hasil penelitian sudah tidak memenuhi baku mutu
PP No 82 Tahun 2001 karena terdapat lima parameter yang melebihi baku mutu PP No 82 Tahun 2001
tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air golongan II peruntukan air baku air
minum. Parameter yang melebihi baku mutu tersebut: Dissolved Oxygen (DO), Biochemical Oxygen
Demand (BOD5), Chemical Oxygen Demand (COD), Total Fosfat, Surfaktan Anion (Methylene Blue Active
Subtance /MBAS) dengan Indeks Pencemaran (IP) mengalami penurunan dari tercemar ringan pada
tahun 2009 menjadi tercemar sedang dengan rentang nilai 6,01-7,45. serta terjadi penyusutan luas situ
dari 6,8 Ha tahun 2009 menjadi 5,4 Ha. Perubahan kualitas air situ tersebut disebabkan karena
meningkatnya jumlah pencemar yang masuk ke Situ Gede yang berasal dari aktivitas di sempadan situ
berupa pemukiman, perkantoran, dan industri. Perubahan kualitas air ini harus menjadi perhatian
mengingat jika terus dibiarkan akan menyebabkan proses pendangkalan situ akan terus terjadi.
Rekomendasi
Penelitian akan lebih baik dan sempurna jika dilakukan pengamatan bathimetri dan perhitungan laju
sedimentasi untuk mengetahui penyusutan luasan situ yang lebih tepat.

UCAPAN TERIMA KASIH


Ucapan terimakasih penulis haturkan kepada BPLH Kota tangerang yang telah mendukung penelitian ini
beserta kepada semua pihak yang telah membantu selesainya tulisan ini.

REFERENSI
Anonim 2009., Laporan Status Lingkungan Hidup Kota Tangerang Tahun 2009., Badan Pengendalian
Lingkungan Hidup Kota Tangerang, Indonesia.
Anonim 2001., Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001, Pengelolaan Kualitas
Air Dan Pengendalian Pencemaran Air. Pemerintah Republik Indonesia.

28

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Anonim 2003. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 115 Tahun 2003, Pedoman Penentuan
Status Mutu Air, Kementerian Lingkungan Hidup Jakarta, Indonesia.
Anonim 2005., Dinas Pengairan. Metode Pengambilan Sampel Air Permukaan SNI 6989.57. 2008.
Jakarta: Kementerian Pekerjaan Umum
Anonim 2009., Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 28 Tahun 2009 tentang Daya Tampung
Beban Pencemaran Air Danau dan/atau waduk. Menteri Negara Lingkungan Hidup.
Anonim. 2012. Potensi Air Tawar. Diakses tanggal 8 Oktober 2012 dari http://id.wikipedia.org
Carlson RE., & Simpson, J. 2013. A Coordinators Guide to Volunteer Lake Monitoring Methods. North
American Lake Management Society
Departemen Sumberdaya Air. 2012. Pengelolaan Danau dan Waduk di Indonesia. Jakarta: Puslitbang
Gunatilaka W.M.P, Wijayeratne S.C. 2009. A Study of Water Quality of Bolgoda Northlake.
Vidyodaya Journal of Science Vol.14(2):113-133. Srilanka: Srilanka Journals Online
Marganof. 2007. Model Pengendalian Pencemaran Perairan di Danau Maninjau Sumatera Barat.
Disertasi. Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Wijana, I.N. 2008. Penentuan Kualitas Air Danau Batur Melalui IndeksPencemaran Biologis. Jurnal
Penelitian dan Pengembangan Sains Humaniora Vol.10(2): 236-241
Wikipedia. Situ Gede. http://id.wikipedia.org/wiki/Situ Gede (diakses tanggal 07 Mei 2014)

Bandung, 12 September 2015

29

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

KONSERVASI SUMBER DAYA AIR

KORELASI ANTARA SUBSIDEN AIR TANAH EMISI KARBON LAHAN


RAWA GAMBUT
L. Budi Triadi*, Maruddin F. Marpaung
Balai Rawa Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air
Jalan Gatot Subroto No. 6, Banjarmasin. Telpon/Fax: (0511) 3256623
*Email: buditriadi@yahoo.com

Abstrak
Dalam beberapa dekade terakhir ini hutan di lahan gambut mulai dieksploitasi melalui deforestrasi,
didrainase dan dikeringkan untuk pengembangan kebun kelapa sawit, hutan tanaman industri, pertanian
dan penebangan kayu. Sebagai akibat dari drainase yang berlebihan terjadi penurunan permukaan air
tanah, dan ketebalan gambut mulai menipis melalui proses subsiden. Drainase mengubah suasana
anaerobik menjadi aerobik, sehingga terjadi dekomposisi bahan organik dengan adanya proses oksidasi.
Dekomposisi bahan organik menghasilkan emisi CO2. Dalam tulisan ini dilakukan analisis hubungan
antara parameter subsiden air tanah emisi karbon dengan metode GIS yang bertujuan untuk
mendapatkan korelasi dari ketiga parameter tersebut dan mendapatkan gambaran dari kondisi eksisting
serta kondisi setelah terjadi kenaikan muka air tanah akibat intervensi hidraulik (canal blocking) dengan
mengambil studi kasus di Desa Sei Ahas Kalimantan Tengah. Dari hasil penelitian diperoleh besarnya
emisi karbon untuk kandungan karbon 50 % pada musim kemarau sebesar 3,2375 Mton dan pada musim
hujan sebesar 2,1338 Mton, selanjutnya untuk kandungan karbon 55 % pada musim kemarau sebesar
3,5612 Mton dan musim hujan 2,3472 Mton. Sementara itu diperoleh subsidence rate tanpa perlakuan
apapun pada musim kemarau besarnya 3,71 cm/tahun dan pada musim hujan sebesar 2,95 cm/tahun.
Sedangkan subsidence rate setelah adanya canal blocking pada musim kemarau sebesar 2,61 cm/ tahun
dan pada musim hujan sebesar 2,23 cm/tahun. Simpulan utama dari penelitian ini adalah besaran emisi
karbon dan subsiden gambut akan semakin kecil bila muka air tanah semakin tinggi. Sementara manfaat
yang diperoleh adalah kerusakan lahan gambut dapat dikurangi dengan menaikkan muka air tanah
melalui pengaturan tata air.
Kata Kunci : Gambut, Subsiden, Air Tanah, Emisi Karbon

LATAR BELAKANG
Kubah gambut umumnya terbentuk dari penumpukan bahan organik selama ribuan tahun diantara dua
sungai utama. Dalam kondisi alami, air tanah mendekati permukaan sehingga lingkungan kubah gambut
secara alami dalam kondisi anaerobic. Dalam kondisi anaerobik proses dekomposisi bahan organic
sangat terbatas, dan demikian pula emisi CO2 sangat terbatas. Dalam beberapa dekade terakhir ini hutan
di lahan gambut mulai dieksploitasi melalui deforestrasi, didrainase dan dikeringkan untuk pengembangan
kebun kelapa sawit, hutan tanaman industri, pertanian dan penebangan kayu. Sebagai akibat dari
drainase yang berlebihan terjadi penurunan permukaan air tanah, dan ketebalan gambut mulai menipis
melalui proses subsiden. Drainase mengubah suasana anaerobik menjadi aerobik, sehingga terjadi
dekomposisi bahan organik dengan adanya proses oksidasi. Dekomposisi bahan organik menghasilkan
emisi CO2. Apabila drainase dilanjutkan dengan memperdalam saluran mengakibatkan proses subsiden,
kekeringan dan bahaya kebakaran, serta emisi karbon akan semakin meningkat. Demikian juga fungsi
lahan gambut sebagai penahan air akan semakin berkurang yang akan meningkatkan bahaya banjir pada
muara sungai. Dalam jangka waktu beberapa puluh tahun seluruh kubah gambut akan hilang, dan
seluruh karbon dari lahan gambut teremisi ke atmosfer.

30

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Lokasi penelitian adalah Desa Sei Ahas, Blok A, Eks lahan PLG, Propinsi Kalimantan Tengah dengan
luasan area sebesar 28,6 km2 or 28.600 hektar. Desa Sei Ahas terletak sejauh 160 km (mengikuti alur
sungai Kapuas) dari muara sungai Kapuas. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas lihat Gambar
1. Sei Ahas terletak di tepi sungai Kapuas dan merupakan areal gambut dangkal dengan kedalaman 3
meter. Areal ini dipilih karena merupakan batas dari gambut dalam sehingga dengan mengendalikan
muka air tanah di areal ini
berarti juga mengendalikan muka air tanah dilahan gambut dalam. Di samping itu kawasan ini merupakan
kawasan budidaya terbatas yang diupayakan oleh pemerintah sebagai kawasan yang diijinkan untuk
dibudidayakan secara terbatas dengan tanaman yang sesuai dengan lahan gambut dangkal.

Gambar 1. Lokasi Studi Sei Ahas, Kalimantan Tengah


(Sumber, KFCP-2009)

Masalah yang dihadapi di kawasan ini adalah lahan gambut yang telah mengalami degradasi akibat
pembuatan saluran-saluran besar dan rapat sehingga mengakibatkan drainase berlebih pada periode
Proyek Lahan Gambut sejuta hektar (lihat Gambar 2). Saat ini permukaan gambut telah mengalami
penurunan seiring dengan turunnya permukaan air tanah, akibatnya kerap terjadi banjir dan genangan
pada musim hujan dan lahan menjadi tidak produktif.

Gambar 2. Lahan Gambut Sei Ahas yang Terdegradasi

Analisis korelasi antar parameter penurunan gambut kedalaman air tanah emisi karbon ini mempunyai
sasaran untuk mendapatkan korelasi dari ketiga parameter tersebut di Desa Sei Ahas Kalimantan Tengah
dengan tujuan untuk memperoleh mendapatkan gambaran dari kondisi eksisting dan kondisi setelah
terjadi kenaikan muka air tanah akibat intervensi hidraulik (canal blocking) yang dilakukan. Dengan
demikian sekaligus memberikan masukan kepada pengambil kebijakan dan para pemangku kepentingan
Bandung, 12 September 2015

31

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

yang lain perihal besaran emisi karbon yang dapat ditekan sehubungan dengan rencana pemerintah untuk
menurunkan emisi karbon sebesar 26 % pada tahun 2020 dari BAU (business as usual).
Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah GIS (Global Information System) dengan perangkat
lunak Arc GIS 9.3. serta penggunaan rumus dasar empiris linear yang menghubungkan antara tingkat
penurunan permukaan lahan gambut dengan tinggi muka air tanah rata-rata baik untuk lahan hutan alami
dan lahan perkebunan Akasia (Hooijer et al., 2012a).
Penelitian ini dibatasi pada gambut dangkal dengan kedalaman 3 meter di kawasan budi daya terbatas.
Subsiden dan emisi karbon dihitung berdaarkan metode empiris dan beberpa asumsi sebagai berikut :
Kondisi lahan adalah hutan alami dan perkebunan akasia ; Bulk Density didasarkan pada nilai yang
berlaku umum atau standar; nilai oksidasi diambil berdasarkan ketentuan umum, yaitu 90 % ; nilai
kandungan karbon di gambut dangkal juga diambil dari ketentuan yang berlaku umum, yaitu 50% dan
55% (Dommain et al. 2011, Page et al. 2011b, Warren et al. 2012, Couwenberg, J., and Hooijer, A. 2013);
kenaikan muka air tanah akibat pembangunan canal blocking diambil 50 %; batas dranase dianggap
mempunyai kemiringan 20 cm/km.

STUDI PUSTAKA
Dari studi pustaka diperoleh hubungan antara kedalaman air tanah dan emisi karbon, CO2 yaitu: pertama
adalah studi pemantauan emisi gas CO2 dalam hubungannya dengan kedalaman air (Murayama and
Bakar, 1996; Jauhiainen et al., 2004; Melling et al., 2005; Ali dkk, 2006). Yang kedua adalah pemantauan
jangka panjang penurunan gambut di lahan gambut yang kering dikombinasikan dengan kandungan
karbon gambut dan pengukuran bobot isi (bulk density) untuk memisahkan kontribusi pemadatan dari
tingkat penurunan total yang sisanya disebabkan oleh emisi CO2 (W. Osten et al., 1997; W Osten and
Ritzema, 2001). Analisis ini menghasilkan hubungan regresi sebagai berikut di Gambar 3:

Gambar 3. Grafik hubungan antara kedalaman air tanah di lahan gambut dan emisi CO2 yang disebabkan oleh
dekomposisi gambut

Selanjutnya hubungan antara kehilangan karbon dan muka air tanah rerata pada lahan gambut
tropis, setelah drainase lebih dari 5 tahun disajikan pada Gambar 4 (Hooijer et al., 2012a), dimana
hubungan Florida Everglades dihitung dari data Stephens and Speir (1969), yang juga digunakan
dalam perhitungan Wsten and Ritzema (2001). Hubungan yang diperoleh Hooijer et al. (2006, 2010)
dan Couwenberg et al. (2010) sebagian didasarkan pada sumber literatur yang berbeda. Hubungan
yang didapatkan oleh Jauhiainen et al. (2012) didasarkan pada pengukuran CO2 flux harian di lahan
perkebunan Akasia yang sama yang dilakukan oleh Hooijer et al (2012a).

32

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Gambar 4. Grafik hubungan antara kedalaman air tanah rerata di lahan gambut dan kehilangan CO2

Simpanan karbon di lahan gambut akan stabil jika lahan gambut tidak dikeringkan melalui proses
drainase. Dalam hal ini, mengendalikan air tanah adalah kunci utama agar karbon tidak dilepaskan ke
udara.
Selain itu, laju penurunan/subsiden pada lahan gambut mempunyai hubungan regresi linier dengan
kedalaman muka air tanah rerata. Hubungan antara keduanya pada lahan perkebunan Akasia setelah
drainase 6 tahun atau lebih disajikan pada Gambar 5. Semakin rendah muka air tanah akan
mengakibatkan semakin tingginya tingkat penurunan tanah (Hooijer et al., 2012b). Menurut penelitian oleh
Hooijer et al. (2012a), pada kedalaman air tanah rerata 0,7 m, "perkebunan akasia" dan "hutan alam"
memiliki laju subsiden yang sama (Gambar 5) dan garis linear "perkebunan akasia" dapat digunakan
untuk lahan gambut alami yang terdrainase. Nilai rerata ini, saat ini merupakan ketentuan yang relatif
cukup baik untuk mengelola perkebunan di Indonesia (Hooijer et al., 2012b)

Gambar 5. Hubungan antara Subsiden dan Kedalaman Muka Air Tanah Rerata

Gambar 4 di atas juga menunjukkan dampak dari penggunaan lahan terhadap laju subsiden, diman laju
subsiden lahan pertanian lebih tinggi dari pada hutan alami. Tidak seluruh volume gambut akan
teroksidasi, sebagian besar gambut akan tersimpan sebagai karbon pada gambut yang terendam air
tanah atau gambut yang berada di bawah batas drainase dengan kemiringan 20 cm/km dari muka air di
sungai (Hooijer, et al, 2012b).

Bandung, 12 September 2015

33

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

METODOLOGI STUDI
Perhitungan volume gambut
Data awal yang digunakan adalah peta elevasi (peta yang dihasilkan dari LIDAR pengindraan dengan
menggunakan teknologi laser) lokasi studi Sei Ahas yang sudah dilengkapi dengan layout saluran dengan
detail elevasi permukaan lahan dan elevasi air pada saluran. Peta ini ditampilkan dalam bentuk raster
dengan resolusi 10 m (KFCP, processed by Deltares) sebagai layer pertama dalam pemodelan yang
menggunakan perangkat lunak Arc GIS 9.3.
Data kedua yang digunakan adalah data sebaran kedalaman gambut ( CKPP, 2005-2010, KFCP, 2014,
Balai Rawa-Puslitbang SDA, 2012) yang diperoleh dari pengukuran lapangan (bor tangan) dan
selanjutnya dimodelkan dalam bentuk shape file (format titik coklat pada Gambar 6) pada lokasi yang
sama. Peta kedalaman gambut ini kemudian dikonversi menjadi peta kontur sebaran ketebalan gambut
(data raster). Tahap selanjutnya peta elevasi dikombinasikan dengan peta kontur sebaran kedalaman
gambut dengan cara interpolasi data raster dengan menggunakan raster calculation (peta elevasi
dikurangi dengan peta sebaran kedalaman data gambut) untuk menghasilkan peta elevasi dasar gambut
(lihat Gambar 6). Peta elevasi kemudian dikurangkan dengan peta elevasi dasar gambut, untuk
menentukan ketebalan gambut. Volume gambut diperoleh setelah ketebalan gambut dikalikan resolusi
raster sebesar 10 x 10.
Selanjutnya peta elevasi di atas dikurangkan dengan peta elevasi permukaan air tanah, sehingga
diperoleh ketebalan gambut yang dapat terkosidasi (gambut yang berada di atas permukaan air tanah).
Permukaan air tanah pada lahan gambut sangat bervariasi, pada musim hujan lebih tinggi dibanding
dengan musim kering. Selain itu, kondisi tinggi muka air saluran juga berpengaruh terhadap tinggi muka
air tanah. Dalam penelitian ini digunakan tinggi muka air tanah rerata berdasarkan pengukuran lapangan
(tahun 2012 dan 2013) yang dibagi dalam 2 (dua) musim yaitu musim kemarau (44 cm) dan musim hujan
(29 cm ) untuk menentukan hubungan antara tinggi muka air tanah dengan tingkat penurunan permukaan
lahan gambut. Kemudian ketebalan gambut yang dapat teroksidasi dikalikan dengan resolusi 10 m x 10 m
sehingga diperoleh jumlah volume gambut yang dapat teriksodasi. Volume gambut yang dapat teroksidasi
ini selanjutnya dikali dengan nilai persen oksidasi, yaitu diambil 90% (Hooijer et al., 2012) untuk
memisahkan dari nilai kompaksi (murni teroksidasi).
Simpanan karbon
Volume gambut kering diperoleh dengan mengalikan volume gambut yang murni teroksidasi ini dengan
nilai Bulk Density. Perhitungan jumlah simpanan karbon yang ada dari total berat kering gambut dapat
diketahui dengan mengalikan peta volume gambut yang murni dapat teroksidasi dengan faktor 50% dan
faktor 55% kandungan karbon (Hooijer et al., 2012a).
Emisi karbon
Selanjutnya simpanan karbon dapat diubah menjadi emisi CO2 ekivalen dengan mengalikan angka
simpanan karbon dengan faktor 3,66.

34

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Data Point Shape


File Sebaran
Ketebalan Gambut

Interpolasi dari Point Shape File menjadi


Peta Kontur Ketabalan Gambut

Peta Kontur
Ketebalan Gambut

Peta Elevasi Sei.


Ahas (PETA LIDAR)

Raster Calculation (Peta LIDAR Peta


Kontur Ketebalan Gambut)

Peta Elevasi Dasar Gambut (Peat


Bottom Map)

Gambar 6. Proses Analisa untuk memperoleh Peta Elevasi Dasar Gambut

Penurunan gambut dan laju emisi karbon


Skenario dari perhitungan kecepatan penurunan gambut, waktu penurunan gambut dan laju emisi karbon
dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Kondisi tidak ada canal blocking;
2. Kondisi ada canal blocking
Selanjutnya metode perhitungan yang digunakan dapat diuraikan sebagai berikut:
Kecepatan penurunan gambut (subsidence rate) (Hooijer et al., 2012a):
(1)
Dimana:
WD = Water Depth average (WD) sebesar 44 cm (musim kemarau) dan 29 cm (musim hujan)
Selanjutnya waktu penurunan gambut yang dibutuhkan diketahui dari ketebalan gambut rerata pada
ketinggian muka air tanah tertentu dibagi dengan nilai subsidence rate:
(2)
Sementara itu laju emisi karbon dapat dihitung dengan cara membagi emisi karbon dengan waktu
penurunan gambut, sebagai berikut:
(3)
Pada kondisi ada canal blocking, diambil nilai WD yang tereduksi sebesar 50%, yaitu 22 cm pada musim
kemarau dan 14.5 cm pada musim hujan.

Bandung, 12 September 2015

35

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

HIPOTESIS
Besaran dan durasi subsiden serta jumlah emisi karbon bergantung pada kedalaman muka air tanah.
Semakin tinggi elevasi air tanah maka akan semakin berkurang besar dan durasi subsiden serta semakin
rendah pula besarnya emisi. Oleh karena itu, dengan dibangunnya canal blocking, maka muka air saluran
dan muka air tanah akan naik, sehingga dengan demikian gambut menjadi basah dan subsiden serta
emisi karbon akan berkurang.
HASIL STUDI DAN PEMBAHASAN
Dari hasil analisis diperoleh hasil bahwa besaran emisi karbon bergantung pada kedalaman muka air
tanah atau ketebalan gambut di atas muka air tanah (gambut kering). Untuk mendapatkan gambaran yang
lebih jelas, hubungan ini disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Kedalaman Muka Air Tanah dan Emisi Karbon di Kawasan Sei Ahas

Keterangan

Volume
Gambut
Kering
(m3)

90% Volume
Gambut
Kering
(m3)

Kandungan Karbon
50 %

55 %

Emisi Karbon
(Mton)
50 %

55 %

Muka Air Tanah


17.732.000
15.958.800
884.553 973.008
3,2375
3,5612
Musim Kemarau
Muka Air Tanah
11.687.000
10.518.300
583.001 641.301
2,1338
2,3472
Musim Hujan
Dari hasil komputasi emisi karbon, terlihat bahwa besaran emisi karbon akan semakin kecil bila muka air
tanah semakin tinggi karena volume gambut kering semakin kecil. Pada Tabel 1 terlihat di musim hujan
emisi karbon lebih kecil dari pada musim kemarau, demikian pula volume gambut kering di musim hujan
juga lebih kecil dari pada musim kemarau. Volume gambut kering adalah volume gambut di atas muka air
tanah (MAT), dimana gambut yang terendam air tidak mengalami oksidasi sehingga tidak menghasilkan
emisi. Ketinggian muka air tanah sangat bergantung pada musim dan jenis intervensi hidraulik yang
diterapkan pada lahan tersebut. Intervensi hidraulik seperti misalnya pembangunan bendung atau canal
blocking akan mempercepat dan mempertinggi kenaikan muka air tanah.
Nilai 90 % volume gambut kering pada Tabel 1 di atas menunjukkan volume yang mengalami emisi,
dimana 10% adalah volume yang terkompaksi. Sementara itu pada Tabel 1 di atas disajikan 2 (dua) buah
nilai kandungan karbon pada tanah gambut, yaitu dalam penelitian ini diasumsikan sebesar 50% dan
55%. Jumlah emisi karbon selain ditentukan oleh ketinggian muka air tanah juga bergantung pada
besarnya kandungan karbon yang ada, dimana besar kandungan bergantung antara lain pada jenis dan
kematangan gambut. Pada Tabel 1 terlihat bahwa kandungan karbon yang lebih besar akan memberikan
emisi karbon yang besar pula pada kedalaman muka air tanah yang sama.
Selanjutnya korelasi antara kedalaman muka air tanah, laju subsiden dan kecepatan serta waktu
penurunan gambut disajikan pada Tabel 2.

36

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Tabel 2. Laju Subsidensi, Kecepatan dan Waktu Penurunan Gambut sebelum dan sesudah ada Canal Blocking

URAIAN

KONDISI EKSISTING
LAJU /
WAKTU
KECEPATAN
PENURUNAN
PENURUNAN
GAMBUT
GAMBUT
(Tahun)
(cm/Tahun)

CANAL BLOCKING
LAJU /
WAKTU
KECEPATAN
PENURUNAN
PENURUNAN
GAMBUT
GAMBUT
(Tahun)
(cm/Tahun)

Volume Gambut
3.49
54
2.50
75
Keseluruhan
Volume Gambut di
atas Muka Air Tanah
3.71
11
2.61
16
(Musim Kemarau)
Volume Gambut di
atas Muka Air Tanah
2.95
9
2.23
13
(Musim hujan)
Dari hasil komputasi diperoleh laju/kecepatan penurunan gambut keseluruhan untuk kondisi sebelum ada
canal blocking (eksisting) sebesar 3,49 cm/tahun, lebih cepat bila dibandingkan dengan laju/kecepatan
penurunan setelah ada intervensi hidraulik, yaitu bangunan canal blocking, sebesar 2,50 cm/tahun.
Sementara itu waktu penurunan gambut juga untuk kondisi eksisting sebesar 54 tahun, lebih singkat bila
dibandingkan dengan waktu penurunan setelah ada intervensi hidraulik, yaitu 75 tahun. Demikian pula
untuk gambut di atas muka air tanah musim kemarau dan musim hujan mempunyai perilaku yang sama
seperti di atas. Berkurangnya laju penurunan gambut setelah ada canal blocking membuktikan bahwa
kenaikan muka air tanah akan mengurangi laju/kecepatan penurunan.
Pada Tabel 1 di atas telah terbukti bahwa kenaikan muka air tanah juga menurunkan besaran emisi
karbon, dengan demikian kenaikan muka air tanah berdampak ganda, yaitu mengurangi laju penurunan
gambut dan sekaligus mengurangi emisi karbon. Dengan demikian upaya untuk meninggikan muka air
tanah memang diperlukan untuk mengatasi masalah subsiden dan emisi karbon. Adanya canal blocking,
secara langsung meninggikan muka air permukaan di saluran tetapi secara tidak langsung juga
meninggikan muka air tanah. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat ilustrasi sebagaimana disajikan pada
Gambar 7 dan 8.

KONDISI SEBELUM CANAL BLOCKING (EKSISTING)


Emisi Karbon akibat Dekomposisi Gambut
Gambut Kering
Drainase

Gambar 7. Dampak dari Drainase dan Penurunan MAT terhadap Emisi Karbon

Bandung, 12 September 2015

37

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

KONDISI SETELAH CANAL BLOCKING (INTERVENSI HIDRAULIK)


Emisi berkurang akibat kenaikan MAT

Gambut

Canal
Blocking

MAT naik

Gambar 8. Dampak dari kenaikan MAT akibat pembangunan Canal Blocking

Kecepatan dan waktu penurunan gambut berjalan seiring, semakin besar kecepatan maka semakin cepat
pula waktu penurunan gambut dan berlaku pula sebaliknya, semakin lambat kecepatan maka semakin
lama pula waktu penurunannya. Kondisi ini bergantung pada ketinggian muka air tanah yang dalam Tabel
2 dinyatakan sebagai volume gambut kering (di atas muka air tanah). Semakin tinggi muka air tanah atau
semakin kecil volume gambut kering yang dapat teroksidasi dan memproduksi emisi karbon maka
semakin lambat laju/kecepatan penurunan gambut dan semakin pendek waktu penurunannya. Dengan
adanya canal blocking maka laju penurunan gambut turun sebesar: (1 (2,50/3,49)) * 100% = 28,5% bila
dibandingkan dengan kondisi eksisting. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dikatakan emisi karbon
dapat tertahan sekitar 14% - 15% per tahun dengan asumsi kandungan karbon sebesar 50% dan 55%.
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Kesimpulan
Sebagai kesimpulan khusus, dapat disimpulkan bahwa ketinggian muka air tanah sangat penting untuk mengurangi
penurunan gambut dan untuk mengurangi jumlah emisi karbon di lahan gambut. Penurunan gambut dan emisi
karbon akan lebih besar dengan terjadinya penurunan muka air tanah karena gambut yang tidak terendam oleh air
akan mengalami oksidasi sehingga menghasilkan emisi karbon. Ketinggian muka air tanah sangat bergantung pada
musim dan intervensi hidraulik yang dilakukan pada lahan gambut.
Penelitian ini membuktikan bahwa dengan membangun canal blocking, laju subsidensi dan besaran emisi karbon
(pada perkebunan Akasia), lebih kecil dibandingkan tanpa bentuk intervensi apapun (kondisi eksisting).
Sementara itu, sebagai kesimpulan umum, dapat disimpulkan bahwa meskipun penelitian ini dan penelitian yang
dilakukan oleh Hooijer, et al, 2012 berbeda lokus dan waktu penelitian, kedua penelitian memiliki topik dan
pendekatan yang sama .
Dari hasil penelitian di atas, dapat disimpulkan bahwa mengendalikan muka air tanah lebih jauh perlu dilakukan
untuk mengurangi degradasi lahan gambut yang sudah dibuka dan telah terdegradasi. Pembangunan canal blocking
adalah cara yang sangat efektif untuk menaikan muka air tanah sehingga penurunan gambut dan emisi karbon dapat
dikurangi.

Rekomendasi
Pemulihan atau tindakan mitigasi terhadap lahan gambut yang terdegradasi cukup sulit, mahal dan
membutuhkan waktu yang panjang. Oleh karena itu disarankan perlunya perlidungan, konservasi dan
pengelolaan lahan gambut secara terpadu dari semua pemangku kepentingan untuk melindungi lahan
gambut dari kerusakan. Tindakan pencegahan jauh lebih baik dari pada pemulihan.

Ucapan Terima Kasih


Ucapan terima kasih dan penghargaan disampaikan kepada seluruh petugas lapangan Balai Rawa
Puslitbang SDA Banjarmasin yang telah memberikan kontribusinya dalam pengumpulan data primer dan
sekaligus mengolah data menjadi data siap pakai serta dalam pembuatan dan penyusunan tabel dan
gambar sehingga makalah ini selesai dibuat. Terima kasih dan penghargaan kami sampaikan pula kepada
Parlinggoman Simanungkalit selaku Kepala Seksi Penelitian dan Pengembangan Balai Rawa yang telah

38

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

memberikan masukkannya dan kepada Dedi Junarsah selaku Kepala Balai Rawa yang telah memberikan
dukungan penuh.

REFERENSI
Ali, M., Taylor, D., and Inubushi, K., 2006. Effects of environmental vari- ations on CO2 flux from a tropical
peatland in eastern Sumatra, Wetlands, 26, 612618.
Balai Rawa Puslitbang SDA, 2012. Laporan Akhir Penelitian Pengaruh Perubahan Iklim Terhadap
Daerah Rawa.Bandung
Budi Triadi1, Alosja Hooijer2, Ronald Vernimmen3, Surya Dharma, 2013. Hydraulic Intervention Impact of
Subsidence And Carbon Emission in Peatland as a Disaster Mitigation effort, International Seminar
of HATHI, 6 8 September, Yogyakarta.
The Central Kalimantan Peatland Project, 2005 2010. Impact of Oil Palm Plantations on Peatland
Conversion in Sarawak 2005 2010, Alll CKPP Materials, Current Publications | Search.
CKPP, 2005 2010. Impact of Oil Palm Plantations on Peatland Conversion in Sarawak 2005 2010, Alll
CKPP Materials, Current Publications | Search.
Couwenberg, J., and Hooijer, A., 2013. Towards robust subsidence-based soil carbon emission factors fro
peat soils in south-east Asia, with special reference to oil palm plantations, Mires and Peat, Volume
12 (2013), Article 01, 1-13. ISSN 1819-745X.
Dommain, R., Couwenberg, J. and Joosten, H, 2011. Development and carbon sequestration of tropical
peat domes in south-east Asia: links to post-glacial sea-level changes and Holocene climate
variability. Quaternary Science Reviews, 30, 999-1010.
Hooijer, A., Page, S., Jauhiainen, J., Lee, A..A., Lu, X.X., Idris, A., Anshari, G., 2012a. Subsidence and
Carbon Loss in Drained Tropical Peatlands, Biogeosciences, 9, 1053 1071, 2012, doi :
10.5.5194/bg-9-1053-2012.
Hooijer, S. Page, J. G. Canadell, M. Silvius, J. Kwadijk, H. Wosten, and J. Jauhiainen. 2010. Current and
Future CO2 emissions From Drained Peatlands in Southeast Asia
Hooijer, A.1, Triadi, B.2, Karyanto, O.3, Page, S.4, Van der Vat, M.1 and Erkens, G.1 , 2012b. The impact
of subsidence: can peatland drainage be sustainable in the long term, ICWF Paper.
Jauhiainen, J., Jaya, A., Inoue, T., Heikkinen, J., Martikainen, P. and Vasander, H., 2004. Carbon Balance
in Managed Tropical Peat in Central Kalimantan. In: Pivnen, J. (ed.) Proceedings of the 12th
International Peat Congress, Tampere 6 - 11.6.2004. pp. 653-659.
Kalimantan Forests and Climate Partnership, 2009. Strategic Peatland Rehabilitation Plan for Block A
(North-West) in the Ex-Mega Rice Project Area, Project No : IFCI-C0011, Central Kalimantan.
Kalimantan Forests and Climate Partnership, 2014. Carbon Emissions from Drained and Degraded
Peatland in Indonesia and Emission Factors for Measurement, Reporting and Verification (MRV) of
Peatland Greenhouse Gas Emissions. Scientific Paper : A Summary of KFCP Research Result for
Practitioners.
Melling, L., Hatano, R., and Goh, K. J., 2005. Soil CO2 flux from three ecosystems in tropical peatland of
Sarawak, Malaysia, Tellus B, 57, 111.
Murayama, S. and Bakar, Z. A.,1996. Decomposition of tropical peat soils, estimation of in situ
decomposition by measurement of CO2 flux, JARQ-JPN. Agr. Res. Q., 30, 153158.
Page, S.E., Rieley, J.O. and Banks, C.J., 2011b. Global and regional importance of the tropical peatland
carbon pool. Global Change Biology, 17, 798-818.

Bandung, 12 September 2015

39

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Warren, M.W., Kauffman, J.B., Murdiyarso, D., Anshari, G., Hergoualch, K., Kurnianto, S., Purbopuspito,
J., Gusmayanti, E., Afifudin, M., Rahajoe, J., Alhamd, L., Limin, S. and Iswandi, A. 2012. A costefficient method to assess carbon stocks in tropical peat soils. Biogeosciences, 9, 4477-4485.
Wsten, J. H. M. and Ritzema, H. P., 2001. Land and water management options for peatland
development in Sarawak, Malaysia, International Peat Journal, 11, 5966, 2001.

40

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

KONSERVASI SUMBER DAYA AIR

KAJIAN TERHADAP KETEPATAN PEMETAAN KERENTANAN PENCEMARAN


AIR TANAH MENGGUNAKAN METODE DRASTIC PADA KONDISI DATA
AKIFER TERBATAS
Elly Kusumawati B.
Jurusan Teknik Sipil Universitas Kristen Krida Wacana
elly.kusumawati@ukrida.ac.id

ABSTRAK
Informasi penting dalam startegi konservasi air tanah adalah tingkat kerentanan air tanah terhadap
pencemaran. Untuk ini pendekatan Index &amp; Overlay, metode DRASTIC yang berdasarkan
factor hidrogeologi dapat digunakan. Metode yang berasal dari Amerika ini, memerlukan data cukup
intensif sehingga perlu diuji kemungkinannya untuk bias akibat kendala data yang terbatas yang
merupakan kondisi umum di Indonesia. Pengujian dilakukan dengan membandingkan distribusi
kerentanan pencemaran antara hasil DRASTIC dengan simulasi komputer. Simulasi dikerjakan dengan
bantuan software GMS (Groundwater Modelling System) yang membagi kelas distribusi berdasarkan
kecepatan dan arah aliran air tanah serta penyebaran partikel pencemar. Selanjutnya hasil simulasi
diujitingkat sensitivitasnya untuk mencari parameter yang sensitif. Wilayah studi yang digunakan dalam
pengujian ini adalah Jakarta dan sekitarnya. Perbandingan di atas menunjukkan bahwa distribusi
kelaskerentanan dipengaruhi oleh besaran kecepatan dan arah vektor kecepatan. Perbandingan peta
kerentanan Metode DRASTIC dengan simulasi menunjukkan hasil yang sudah mendekati. Selanjutnya
hasil analisis sensitivitas terhadap parameter K dan constant head menunjukkan bahwa kedua
parameterini tidak sensitif. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa DRASTIC dapat digunakan dalam
kondisi keterbatasan data karena ketidakakuratan parameter akifer tidak akan mengakibatkan
penyimpangan informasi yang berarti.
Kata Kunci: konservasi air tanah, kerentanan air tanah, metode DRASTIC, Groundwater Modelling
System.

LATAR BELAKANG
Dalam upaya menjaga keberlanjutan sumber daya alam, diperlukan suatu strategi pengembangan wilayah
yang bertujuan menata ruang kegiatan manusia. Strategi ini mencakup perencanaan ruang yang akan
dikembangkan untuk aktivitas manusia dan ruang yang harus dikonservasi untuk menjaga proses
keseimbangan alam.
Berbagai macam informasi diperlukan untuk menyusun strategi konservasi air tanah yang tepat, salah
satunya informasi mengenai tingkat kerentanan air tanah terhadap pencemaran. Tingkat kerentanan
menunjukkan seberapa mudah pencemar mencapai air tanah, makin tinggi kerentanannya, makin mudah
air tanah tercemari. Tingkat kerentanan ditentukan oleh kondisi hidrogeologi setempat yang umumnya
bervariasi sehingga akan membentuk tingkat kerentanan yang bervariasi pula.
Ada beberapa pendekatan yang digunakan untuk mengukur tingkat kerentanan air tanah antara lain
Pendekatan Index & Overlay, Simulasi Komputer, dan Analisis Statistik. Salah satu metoda dengan
pendekatan Index & Overlay yang sering digunakan adalah Metoda DRASTIC. Dalam metoda yang telah
distandarisasi oleh EPA (Environmental Protection Agency) ini, faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
kerentanan air tanah diinterpretasikan melalui pemberian skor dan klasifikasi untuk memperoleh indeks,
ranking atau kelas kerentanan. Metoda ini membutuhkan banyak data masukan untuk menghasilkan
keluaran yang akurat.

Bandung, 12 September 2015

41

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Di negara maju yang ketersediaan datanya lengkap, penggunaan metoda DRASTIC memberikan hasil
yang memuaskan. Namun di Indonesia dimana ketersediaan datanya tidak lengkap, belum diketahui
apakah metoda ini dapat digunakan. Akan tetapi di India, dimana kondisi ketersediaan data serupa
dengan Indonesia, metoda ini telah memberikan hasil yang memuaskan (Shamsuddin Shahid ; A Study of
Groundwater Pollution Vulnerability Using DRASTIC/GIS, West Bengal, India ; Journal Environmental
Hydrology Volume 8, 2000). Dengan demikian metoda DRASTIC perlu diuji tingkat implementasinya
terhadap keterbatasan data yang ada dilihat dari sisi seberapa jauh informasinya dapat dipercaya untuk
pengambilan keputusan.
Pengujian dilakukan dengan membandingkan distribusi kerentanan pencemaran antara hasil DRASTIC
dengan simulasi komputer. Simulasi dikerjakan dengan bantuan software GMS (Groundwater Modelling
System) yang membagi kelas distribusi berdasarkan kecepatan dan arah aliran air tanah serta
penyebaran partikel pencemar. Selanjutnya hasil simulasi diuji tingkat sensitivitasnya untuk mencari
parameter yang sensitif dalam pembuatan peta kerentanan pencemaran. Data masukan dari parameter
yang sensitif harus akurat agar DRASTIC dapat diimplementasikan dengan benar.
TUJUAN PENELITIAN
Menguji tingkat implemetansi DRASTIC terhadap keterbatasan data yang ada di Indonesia sehingga
dapat diketahui tingkat keyakinan informasinya untuk pengambilan keputusan.
KAJIAN PUSTAKA
Pemodelan Air Tanah
Dalam usaha memahami sistem air tanah diperlukan suatu model yang mendekati sistem riil. Tujuan
utama dari pemodelan adalah memahami perilaku sistem saat ini dan memperkirakan pola perilakunya di
masa yang akan datang. Model air tanah telah diterapkan untuk 4 permasalahan pokok yaitu aliran air
tanah, transport zat terlarut, aliran termal, dan deformasi akifer. Seluruh model diawali dengan
penyelesaian persamaan dasar aliran air tanah sehingga diperoleh distribusi hydraulic head dari akifer.
Model transport zat terlarut diperoleh dengan menambahkan persamaan perubahan konsentrasi kimia ke
dalam model aliran. Model aliran termal diperoleh dengan menerapkan persamaan transfer termal pada
akifer. Model deformasi akifer diperoleh dengan mengkombinasikan persamaan aliran dengan persamaan
lain yang menggambarkan perubahan struktur fisik dari akifer yang diikuti dengan perubahan hydraulic
head.
Model merupakan representasi dari sistem riil, model konseptual dikembangkan untuk mempelajari sistem
aliran air tanah. Meski model konseptual jauh lebih sederhana dibanding sistem riil, namun model ini
sangat membantu dalam memahami perilaku aliran. Model konseptual bersifat statis, hanya
menggambarkan kondisi sistem saat ini. Untuk dapat memprediksi perilaku sistem di masa datang
diperlukan model dinamis yang dapat dimanipulasi. Ada beberapa macam model dinamis, antara lain
model fisik dengan skala tertentu, model analog dan model matematik.
Model fisik dan model analog memerlukan biaya sangat mahal dan waktu penelitian yang cukup lama
sebaliknya model matematik jauh lebih murah, cepat dan akurat. Oleh karena itu, model ini banyak
dikembangkan oleh para ahli. Solusi model matematik dikembangkan dari persamaan dasar aliran air
tanah, termal, dan transport massa. Model matematik aliran air tanah yang paling sederhana adalah
Hukum Darcy. Untuk menerapkan Hukum Darcy diperlukan model konseptual dan data karakteristik fisik
dari sistem akifer, medan potensial, dan karakteristik fluida. Ada 2 macam model matematik yaitu model
analitis dan model numerik. Hukum Darcy merupakan salah satu contoh dari model analitis yang
memerlukan masukan berupa kondisi awal dan kondisi batas pada lokasi studi. Kondisi ini harus
sederhana sehingga persamaan aliran dapat diselesaikan dengan kalkulus. Model analitis aliran telah
dikembangkan untuk mensimulasi aliran, termal dan transport massa menuju sumur bor atau sungai.
Model numerik dikembangkan untuk mengakomodir variasi parameter hidrogeologi pada lokasi studi atau
komplektivitas kondisi batas. Solusinya diperoleh dengan mengubah persamaan aliran, termal dan
transport massa ke dalam bentuk aljabar dan selanjutnya disusun dalam bentuk matriks untuk

42

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

diselesaikan dengan bantuan komputer. Persamaan dalam bentuk aljabar merupakan pendekatan
numerik sehingga hasilnya juga merupakan pendekatan.
Program GMS yang digunakan dalam studi ini merupakan model numerik.
Transformasi model konseptual menjadi model matematik memerlukan beberapa data masukan untuk
dapat menyelesaikan persamaan yang ada. Seluruh model diawali dengan model aliran air tanah. Data
mengenai konfigurasi fisik akifer seperti lokasi akifer, bentang lokasi, dan ketebalan akifer dan kondisi
batas, karakteristik hidraulik akifer seperti variasi transmitivitas T atau permeabilitas dan koefisien storage
Ss, hydraulic head, laju pengisian air tanah dan debit sungai diperlukan untuk dapat menyelesaikan
persamaan aliran air tanah. Dari simulasi ini diperoleh data keluaran berupa arah dan kecepatan fluida.
Selain data konfigurasi fisik akifer, data mengenai kondisi batas juga diperlukan untuk dapat
menyelesaikan persamaan aliran air tanah. Ada 2 tipe dasar kondisi batas, yaitu Dirichlet dan Neumann.
Pada tipe Dirichlet nilai hydraulic head di sekeliling area studi diketahui, sedangkan pada kondisi
Neumann yang diketahui adalah nilai fluksnya. Kadangkala kondisi batas yang diketahui campuran antara
nilai hydraulic head di sebagian lokasi dan nilai fluksnya di bagian lain.
Metoda DRASTIC
DRASTIC merupakan salah satu metoda yang dikembangkan untuk menilai potensi pencemaran air tanah
berdasarkan informasi dasar yang tersedia, yaitu hidrogeologi. Karakteristik hidrogeologi merupakan
gambaran kombinasi dari faktor geologi dan hidrologi yang mempengaruhi dan membentuk aliran air
tanah yang masuk dan keluar di suatu area.
Asumsi dasar yang digunakan dalam metoda DRASTIC:
1. Sumber pencemar berasal dari permukaan tanah
2. Pencemar masuk ke akifer melalui proses infiltrasi (pengisian air tanah oleh hujan)
3. Penyebaran pencemar dalam akifer mengikuti pola aliran air tanah
4. Area yang dievaluasi oleh drastic harus 40,47 ha (100 acre)
5. Diterapkan untuk akifer bebas dan tertekan, namun tidak dapat diaplikasikan secara langsung pada
akifer semi- tertekan atau leaky aquifer.
Tujuh parameter hidrogeologi yang dianggap paling berpengaruh terhadap kerentanan air tanah adalah
D Depth to Water
R (Net) Recharge
A Aquifer Media
S Soil Media
T Topography (Slope)
I Impact of the Vadose Zone Media
C Conductivity (Hydraulic) of the Aquifer
Ketujuh parameter inilah yang merupakan singkatan dari nama DRASTIC. Penjelasan pengaruh dari
masing-masing parameter tehadap kerentanan air tanah adalah sebagai berikut:
a. Depth to Water
Parameter ini menggambarkan jarak yang harus ditempuh pencemar untuk mencapai akifer dan
menentukan waktu kontak antara pencemar dengan lingkungan sekitar yang berperan dalam proses
oksidasi. Semakin jauh jarak muka air tanah dari permukaan, makin besar waktu tempuh yang diperlukan
pencemar untuk mencapai akifer sehingga kesempatan beratenuasi makin besar. Keberadaan lapisan

Bandung, 12 September 2015

43

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

kedap air juga menghambat pergerakan pencemar. Pengelompokan range dari parameter ini dibuat atas
dasar perubahan jarak yang menimbulkan peningkatan konsentrasi pencemar.
b. Net Recharge
Sumber pengisian air tanah berasal dari infiltrasi hujan melalui permukaan tanah dan perkolasi ke dalam
muka air tanah. Net recharge adalah jumlah air per satuan luas yang mengisi akifer. Proses ini
mengendalikan mobilitas vertikal dan horisontal pencemar ke dalam air tanah serta mempengaruhi jumlah
air yang tersedia untuk proses dispersi dan dilusi pada lapisan tak jenuh dan lapisan jenuh. Dengan
demikian proses pengisian air tanah merupakan sarana utama pembentukan lindi dan mobilitas
pencemar, baik padat atau cair, menuju muka air tanah. Makin tinggi laju pengisian air tanah, makin besar
potensi pencemarannya.
c. Aquifer Media
Akifer adalah lapisan yang terletak dibawah permukaan tanah yang memiliki kandungan air cukup tinggi
sehingga dapat dieksplorasi. Sedangkan pengertian aquifer media merujuk pada jenis tanah/batuan
penyusun akifer. Kandungan air pada akifer terletak pada pori yang terbentuk dari susunan butir
tanah/batuan dan rekahan atau patahan. Makin besar ukuran butir atau makin banyak rekahan/patahan di
media akifer, permeabilitasnya makin tinggi sehingga kapasitas atenuasi media akifer makin rendah.
Media akifer mempengaruhi pola aliran yang mengontrol arah pergerakan pencemar.
d. Soil Media
Soil media (media tanah) merupakan bagian teratas dari lapisan tak jenuh dengan ciri khas memiliki
aktivitas biologi yang tinggi. Pada metoda ini, media tanah didefinisikan memiliki kedalaman 6 feet (1,8
m) dari permukaan tanah dan masih dipengaruhi oleh perubahan cuaca. Laju infiltrasi yang merupakan
sumber pengisian air tanah dan pergerakan vertikal kontaminan dipengaruhi oleh jenis tanah. Tanah
dengan tekstur halus seperti silt atau clay memiliki permeabilitas rendah sehingga menghambat proses
migrasi kontaminan. Ketebalan lapisan tanah juga mempengaruhi proses degradasi kontaminan. Secara
umum, potensi pencemaran pada tanah dipengaruhi oleh keberadaan lapisan clay. Makin kecil potensi
kembang/susut lapisan clay dan makin kecil ukuran butirnya, makin kecil pula potensi pencemarannya.
e. Topography (Kemiringan lahan)
Data mengenai kemiringan lahan diperoleh dari data topografi. Kemiringan lahan merupakan faktor yang
mengontrol arah aliran air permukaan yang merupakan sumber infiltrasi. Makin curam kemiringannya
makin rendah laju infiltrasi sehingga potensi pencemaran air tanah makin kecil. Bentuk gradien, arah
aliran dan muka air tanah, secara tak langsung mengikuti topografi permukaan, makin besar kemiringan
lahan makin besar kecepatan alirannya.
f. Impact of Vadose Zone
Lapisan tak jenuh (vadose zone) adalah lapisan di atas muka air tanah yang tak jenuh air. Jenis tanah
penyusun lapisan tak jenuh menentukan karakterisitik atenuasi. Proses-proses degradasi kontaminan
seperti biodegradasi, filtrasi, reaksi kimia terjadi pada lapisan ini. Semakin jauh dari permukaan tanah
proses biodegradasi dan volatilasi makin jarang terjadi. Media ini juga mengontrol panjang alur dan rute
yang mempengaruhi waktu untuk proses atenuasi.
g. Hydraulic Conductivity
Hydraulic conductivity menggambarkan kemampuan material akifer untuk melalukan air. Perbedaan nilai
hydraulic conductivity pada suatu akifer akan menimbulkan gradien hidraulik sehingga mengakibatkan
terjadinya aliran air tanah. Aliran inilah yang menjadi media bagi pergerakan kontaminan. Nilai hydraulic
conductivity diperoleh dari hasil pumping test. Informasi secara lengkap dapat diperoleh dari laporan
hidrogeologi. Jika data ini tidak tersedia nilai hydraulic conductivity dapat diestimasi dari buku referensi.

44

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Penilaian DRASTIC menggunakan sistem ranking. Sistem ini memiliki 3 hal pokok yaitu bobot, range dan
peringkat.
1. Bobot
Tiap parameter DRASTIC diberi bobot sesuai dengan tingkat relevansinya terhadap potensi pencemaran.
Rentang nilainya berkisar dari 1-5 (Tabel 1). Parameter yang paling signifikan diberi bobot 5 dan yang
paling kecil tingkat signifikansinya diberi bobot 1.
2. Range
Tiap-tiap parameter DRASTIC dibagi ke dalam range yang dikelompokkan menurut signifikansi jenis
media terhadap potensi pencemaran (Tabel 2 sampai 8).
3. Peringkat
Tiap range dari parameter DRASTIC diberi nilai peringkat dari angka 1-10 (Tabel 2 sampai 8). Parameter
D,R,S,T,C memiliki satu nilai peringkat pada tiap range. Sedangkan tiap range dari parameter A dan I
memiliki rentang nilai peringkat dan typical rating. Rentang peringkat digunakan jika informasi parameter
secara detail diketahui dan sebaliknya untuk typical rating.
Tabel 1. Bobot dari masing-masing parameter DRASTIC
(Sumber: Aller, et al., 1987)

Parameter
Depth of groundwater
Recharge Rate
Aquifer Media
Soil Media
Topography
Impact of Vadose Zone
Hydraulic Conductivity

Bobot
5
4
3
2
1
5
3

Tabel 2. Range dan peringkat depth of groundwater


(Sumber: Aller, et al., 1987)

Depth to Groundwater
Range
(feet)
(meter)
0 - 1,5
0-5
1,5 - 4,6
5-15
4,6 9,1
15-30
9,1 15,2
30-50
15,2 22,9
50-75
22,9 30,5
75-100
>30,5
>100

Bandung, 12 September 2015

Peringkat
10
9
7
5
3
2
1

45

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Tabel 3. Range dan peringkat recharge rate


(Sumber: Aller, et al., 1987)

Recharge Rate
Range
(inches/year)
(mm/tahun)
0 - 50,8
0-2
50,8 - 101,6
2-4
101,6 - 177,8
4-7
177,8 - 254
7-10
>254
>10

Peringkat
1
3
6
8
9

Tabel 4. Range dan peringkat aquifer media


(Sumber: Aller, et al., 1987)

Aquifer Media
Range
massive shale
metamorphic/igneous
weathered metamorphic/igneous
glacial till
bedded sandstone, limestone,shale sequences
massive sandstone
massive limestone
sand&gravel
Basalt
karst limestone

Typical Rating
2
3
4
5
6
6
6
8
9
10

Peringkat
1-3
2-5
3-5
4-6
5-9
4-9
4-9
4-9
2-10
9-10

Tabel 5. Range dan peringkat soil media


(Sumber: Aller, et al., 1987)

Soil Media
Range
thin/absent
gravel
sand
shrinking and/or aggregated clay
sandy loam
loam
silty loam
clay loam
nonshrinking&nonaggregated

46

Peringkat
10
10
9
7
6
5
4
3
1

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Tabel 6. Range dan peringkat topography


(Sumber: Aller, et al., 1987)

Topography (% slope)
Range
Peringkat
0-2
10
2-6
9
6-12
5
12-18
3
>18
1
Tabel 7. Range dan peringkat impact of vadose zone
(Sumber: Aller, et al., 1987)

Impact of Vadose Zone


Range
confining layer
silt/clay
Shale
Limestone
Sandstone
bedded limestone,sandstone shale, sand&gravel with
siginificant silt&clay
metamorphic/igneous
sand&gravel
Basalt
karst limestone

Peringkat
1
2-6
2-5
2-7
4-8

Typical Rating
1
3
3
6
6

4-8

2-8
6-9
2-10
8-10

4
8
9
10

Tabel 8. Range dan peringkat hydraulic conductivity


(Sumber: Aller, et al., 1987)

Hydraulic Conductivity
Range
(gpd/ft2)
(m/hari)
0,04 - 4,08
1-100
4,08 12,23
100-300
12,23 28,55
300-700
28,55 40,78
700-1000
40,78 81,56
1000-2000
> 81,56
>2000

Peringkat
1
2
4
6
8
10

Setelah masing-masing parameter dikelompokkan ke dalam range, diberi bobot dan peringkat, DRASTIC
index dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
DRDW + RRRW + ARAW + SRSW + TRTW + IRIW + CRCW = Potensi Pencemaran

(2-93)

Dimana:
R = peringkat
W= bobot

Bandung, 12 September 2015

47

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Setelah DRASTIC indeks dihitung, dapat diidentifikasi tingkat kerentanan suatu area terhadap
pencemaran.Makin tinggi nilai indeksnya makin rentan terhadap pencemaran.
Korelasi Parameter Drastic Dengan Parameter Simulasi Model Aliran Jenuh
Dalam simulasi komputer, ketujuh parameter DRASTIC diwakili oleh parameter hidraulik akifer yang
korelasinya sebagai berikut:
Tabel 9. Korelasi parameter DRASTIC dengan parameter akifer
(Sumber: Aller, et al., 1987)

Parameter DRASTIC
Depth of groundwater
Recharge rate
Aquifer media
Soil media
Impact of vadose zone
Topography
Hydraulic conductivity

Parameter Simulasi Model


Ketebalan akifer
Laju pengisian air tanah
Nilai K (hydraulic conductivity)
Laju pengisian air tanah
Laju pengisian air tanah
Koordinat dan elevasi permukaan
Nilai K

Sensitivitas Parameter
Model numerik menyederhanakan komplektivitas sistem akifer di lapangan agar simulasi dapat diproses
dengan lebih mudah. Dengan penyederhanaan ini ada kemungkinan bahwa data masukan tidak presisi
dengan kondisi lapangan sehingga mempengaruhi data keluaran. Untuk mengetahui seberapa jauh
perubahan data keluaran akibat perubahan data masukan dilakukan analisis sentivitas.
Kegunaan lain dari analisis sensitivitas adalah untuk menentukan arah aktivitas pengumpulan data di
masa yang akan datang. Data yang sensitif memerlukan pengamatan yang lebih detail, sebaliknya untuk
data yang tidak sensitif. Jika ditemukan data yang tidak sensitif terhadap variasi perubahan data masukan,
pemodel harus dapat menjelaskan alasan ketidaksensitifan ini.

Gambar 1. Variasi perubahan hydraulic head sebagai hasil perubahan parameter model
Sumber : Users Manual for GMS-Sensitivity Analysis

48

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

METODOLOGI PENELITIAN
Pemberian skor pada tiap parameter DRASTIC harus tepat sehingga memberikan hasil yang benar.
Pemilihan skor yang tidak tepat akan mempengaruhi hasil keseluruhan. Dengan demikian hasil DRASTIC
perlu dicek dengan hasil simulasi numerik agar pemilihan skornya tepat.
Setelah hasil DRASTIC benar, ingin diketahui sejauh mana perbedaan distribusi kelas kerentanan
DRASTIC dengan hasil simulasi, apa penyebabnya, serta parameter hidraulik akifer yang sensitif terhadap
penilaian kerentanan pencemaran. Data dari parameter yang sensitif harus akurat sehingga dapat
memberikan hasil DRASTIC tepat.
Secara skematis metoda penelitian yang dilakukan untuk mencapai tujuan dapat dilihat pada Gambar 1.
MULAI
Pengumpulan Data

Menguji sensitivitas
parameter dari
model simulasi

Simulasi migrasi pencemar


pada beberapa titik sumber
pencemar dengan bantuan
program GMS

Ya

Penilaian kerentanan
dengan parameter
DRASTIC lengkap

Bandingkan
apakah hasil
penilaian DRASTIC
cocok dengan hasil
simulasi?

Periksa penerapan
DRASTIC
Tidak

Periksa sejauh mana


perbedaan distribusi kelas
kerentanan yang terjadi

Simpulkan bahwa data dari


parameter sensitif harus akurat

Simpulkan penyebab
perbedaan yang terjadi

Buat kesimpulan secara menyeluruh

SELESAI

Gambar 2. Skema metoda penelitian

Bandung, 12 September 2015

49

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

HASIL STUDI DAN PEMBAHASAN


METODA DRASTIC
Depth to Groundwater
Akifer yang dikaji pada studi ini terletak pada zona II dengan kedalaman 40 100 m. Jarak akifer ini cukup
jauh dengan permukaan tanah sehingga memperpanjang waktu tempuh pencemar untuk mencapai akifer.
Menurut DRASTIC kondisi ini diberi peringkat nilai 1 karena potensi pencemarannya kecil.
Aquifer Media
Jenis media akifer pada sebagian besar wilayah studi didominasi oleh pasir, namun sedikit di bagian
selatan tanah pasir bercampur lanau. Media pasir lebih permeabel dibanding pasir sisipan lempung,
sehingga kemampuannya meloloskan air dan pencemar lebih besar. Dengan demikian untuk penilaian
DRASTIC media pasir diberi peringkat 8 dan pasir lanau 6.
Soil Media
Jenis tanah permukaan di wilayah studi dikelompokkan menjadi 2 bagian, di wilayah utara clay loam
dengan peringkat DRASTIC 3 dan wilayah selatan sandy loam dengan peringkat 4 (Gambar 2). Tanah
clay loam memiliki permeabilitas yang lebih kecil dibanding sandy loam sehingga memberikan proteksi
pencemaran yang lebih baik.

Clay loam

Sandy loam

Gambar 3. Peta jenis tanah permukaan/penutup di wilayah studi


(Sumber: Hasil olahan dari peta geologi dan plotting data litologi)

Impact of Vadose Zone


Istilah vadose zone pada DRASTIC untuk tinjauan akifer tertekan tidak sepenuhnya berarti zona tak jenuh
air. Awalnya metoda DRASTIC dikembangkan untuk mengkaji akifer bebas saja sehingga yang dimaksud
dengan vadose zone memang benar-benar lapisan tak jenuh air di atas akifer bebas. Namun setelah
metoda ini dikembangkan untuk akifer tertekan, istilah tersebut tidak diubah, hanya pemahamannya
bergeser menjadi lapisan kedap air yang berada di atas akifer tertekan yang menjadi filter bagi pencemar.
Jenis tanah vadose zone pada wilayah studi didominasi oleh lempung sisipan pasir. Jenis tanah lempung
menjadi filter pencemar yang baik, dengan demikian untuk penilaian DRASTIC masing-masing diberi nilai
3.
Recharge Rate
Akifer yang ditinjau adalah jenis akifer tertekan yang terletak dibawah akifer bebas dan lapisan kedap air.
Infiltrasi akifer ini berasal dari aliran vertikal dari lapisan di atasnya. Di samping itu pengisian secara
horisontal juga terjadi dari recharge area di wilayah utara ke discharge area di wilayah selatan. Laju
infiltrasi pada akifer tertekan jauh lebih kecil dibanding infiltrasi pada akifer bebas. Dengan demikian pada
penilaian DRASTIC diberi nilai 1. Kegiatan pemompaan /bangunan resapan mempengaruhi percepatan
50

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

gerak pencemar menuju akifer. Pemompaan akan menghambat kecepatan sebaliknya peresapan akan
mempercepat pergerakan pencemar menuju akifer. Kedua faktor tersebut tidak diperhitungkan pada studi
ini, karena informasi mengenai laju pemompaan dan peresapan tidak diperoleh.
Topography
Data kemiringan lahan (topography) diperoleh dari peta tematik kemiringan lahan. Kemiringan lahan di
wilayah studi landai hanya berkisar 0 0,5% (Gambar 3). Menurut DRASTIC permukaan lahan yang
landai memperlambat kecepatan aliran permukaan dan mempertinggi laju infiltrasi sehingga meningkatkan
potensi masuknya sumber pencemar dari permukaan. Mengacu pada Tabel 6 pada kajian pustaka,
DRASTIC memberikan peringkat 10 untuk kondisi ini.

Wilayah Studi

Gambar 4. Peta kemiringan lereng di wilayah Jabotabek dan sekitarnya


(Sumber: Hasil olahan dari peta kemiringan lereng)

Hydraulic Conductivity (K)


Data K diperoleh dari peta tematik K. Nilai K diturunkan dari data transmitivitas rata-rata yang diperoleh
dari pengujian pumping test di lapangan. Nilai parameter K pada wilayah studi berkisar antara 0,6 2,3
m/hari (Gambar 4). Menurut DRASTIC range K ini diberi peringkat 1 karena berpotensi rendah dalam
melalukan air berikut pencemar.

Kh = 1,1 m/hari
Kh = 1,1 m/hari
Kh = 2,3 m/hari
Kh = 1,7 m/hari
Kh = 0,6 m/hari
Kh = 0,6 m/hari
Gambar 5. Peta tematik konduktivitas hidraulik
(Sumber: Hasil olahan dari laporan B. Soefner, M. Hobler, G. Schmidt, 1986)

Bandung, 12 September 2015

51

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Sebagai rangkuman hasil penilaian peringkat pada masing-masing parameter DRASTIC dapat diTabelkan
sebagai berikut:
Tabel 10. Hasil penilaian peringkat untuk masing-masing parameter DRASTIC

Parameter DRASTIC
Peringkat
Bobot
Potensi Pencemaran
Depth to groundwater
1
5
sangat rendah
Recharge rate
1
4
rendah
Aquifer media
6,8
3
sangat tinggi, tinggi
Soil media
3,4
2
rendah
Topography
10
1
sangat tinggi
Impact of vadose zone
3
5
rendah
Hydraulic conductivity
1
3
sangat rendah
Cat: (peringkat DRASTIC) = (potensi pencemaran)
1-2 = sangat rendah, 3-4 = rendah, 5-6 = sedang,
7-8 = tinggi, 9-10 = sangat tinggi
Secara keseluruhan akifer di wilayah studi yang memiliki produktivitas tinggi cukup rentan terhadap
pencemaran. Tingkat potensi pencemaran dapat dilihat dari hasil penilaian peringkat parameter DRASTIC
pada Tabel 10 di atas.

Gambar 6. Peta kerentanan air tanah berdasarkan DRASTIC Index


Tabel 11. Perhitungan DRASTIC Index di Tiap Kelas Kerentanan

Bobot
Peringkat
Skor
ZONA 2
Peringkat
Skor
ZONA 3
Peringkat
Skor
ZONA 4
Peringkat
Skor
ZONA 5
Peringkat
Skor
ZONA 6
Peringkat
Skor
Catatan : skor = bobot x peringkat
ZONA 1

52

5
1
5
1
5
1
5
1
5
1
5
1
5

4
1
4
1
4
1
4
1
4
1
4
1
4

3
8
24
8
24
8
24
8
24
8
24
6
18

2
3
6
3
6
4
8
4
8
4
8
4
8

1
10
10
10
10
10
10
10
10
10
10
10
10

5
3
15
3
15
3
15
3
15
3
15
3
15

3
1
3
1
3
1
3
1
3
1
3
1
3

Total

67
67
69
69
69
63

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Simulasi Migrasi Pencemar Dengan Software Gms (Groundwater Modelling System)


Berdasarkan peta kontur head dengan interval 10 m (Gambar 6) yang diperoleh dari hasil simulasi aliran
dengan GMS Modflow menunjukkan bahwa head di wilayah selatan lebih tinggi dibanding wilayah utara,
dengan demikian aliran air tanah akan mengalir dari wilayah selatan (Depok) ke wilayah utara (Jakarta).
Kondisi di lapangan memang benar demikian mengingat arah aliran dari daerah resapan (recharge area)
di wilayah utara ke daerah pelepasan (discharge area) di wilayah utara. Arah vektor kecepatan yang
nampak pada Gambar 8 juga menunjukkan hal yang serupa dimana arah aliran menjauhi lapisan batuan
(no flow boundary) di batas studi bagian selatan dan bergerak menuju utara. Aliran yang terjadi di no flow
boundary berasal dari air permukaan yaitu sungai-sungai yang hulunya di Bogor bukan berasal dari aliran
air tanah di luar batas wilayah studi.
Pada kontur head yang intervalnya lebih rapat (Gambar 7) nampak bahwa bentuk kontur mengikuti
punggung sungai.
Pada Gambar 9 memperlihatkan bahwa distribusi kecepatan aliran di bagian utara dan sebagian wilayah
di dekat no flow boundary lebih rendah dibanding di bagian tengah. Hal ini disebabkan karena kontur head
di wilayah utara tidak rapat sehingga kemiringan hidrauliknya kecil meskipun nilai K-nya cukup besar. Di
wilayah yang mendekati no flow boundary terjadi sebaliknya, meskipun kemiringan hidrauliknya lebih
besar (kontur head rapat) namun nilai K-nya nol karena merupakan lapisan kedap air. Di bagian tengah
wilayah studi, distribusi kecepatan di sekitar punggung sungai lebih rendah dibanding sekelilingnya karena
elevasi sungai yang lebih rendah dibanding elevasi permukaan.

dalam satuan
1000 m

Gambar 7. Kontur head dengan interval 10 m

Gambar 8. Kontur head dengan interval 1 m

Bandung, 12 September 2015

53

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Gambar 9. Arah vektor kecepatan aliran di wilayah studi

(Kecepatan aliran dalam 1000


m/hari)

Catatan :
anak panah dalam gambar
ini hanya menunjukkan
arah vektor kecepatan
aliran

Gambar 10. Distribusi kecepatan aliran di wilayah studi dalam satuan 103 m/hari

Hasil analisis terhadap penyebaran partikel pencemar menunjukkan bahwa tingkat kerentanan tidak
hanya dipengaruhi oleh besar kecepatan namun juga arah vektor kecepatannya. Jadi meskipun nilai
kecepatannya sama namun kemiringan vektornya lebih curam maka akan lebih jauh menghantarkan
partikel pencemar. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 10 yang merupakan penggabungan peta distribusi
kecepatan dengan arah vektor kecepatan (Gambar 8 dan 9). Pada gambar tersebut disimulasikan
beberapa partikel pencemar pada lokasi yang distribusi kecepatannya sama, namun arah vektornya
berbeda. Terlihat bahwa jarak tempuh partikel B lebih panjang dibanding partikel A, karena kemiringan
vektor kecepatannya lebih besar. Begitu pula dengan partikel C dan D.
Jadi secara garis besar pengelompokan kelas kerentanan berdasarkan simulasi, dapat dibagi menjadi 3
wilayah, yaitu kerentanan tinggi di wilayah tengah dan kerentanan rendah di wilayah utara dan selatan.
Secara detail dengan memperhatikan arah vektor, hasil analisis menunjukkan bahwa wilayah barat dan
timur memiliki tingkat kerentanan yang lebih tinggi dibanding wilayah tengah meskipun kelas distribusi
kecepatannya yang sama.

54

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

(Kecepatan aliran dalam 1000


m/hari)
Kerentanan Rendah

D
A

B
Gambar 11. Kerentanan
Distribusi kecepatan
Tinggi dan arah vektor aliran

Analisis Sensitivitas
Perubahan data masukan K dan constant head akan mengakibatkan perubahan data keluaran head di
seluruh wilayah studi. Untuk mengukur tingkat sensitivitasnya dibuat grafik yang menyatakan hubungan
data keluaran awal (Hmean) dengan selisih perubahan data keluaran terhadap keluaran awal (h) (Gambar
11 dan 12). Hasil analisis grafik menunjukkan bahwa kedua parameter tidak sensitif. Pada perubahan
constant head 1 m, h-nya juga 1m bahkan banyak yang mendekati nol. h pada wilayah utara
(dekat laut) dan selatan (dekat no flow boundary) lebih sensitif dibanding tengah. Hal ini terjadi karena di
utara constant head-nya kecil dan di selatan nilai K-nya kecil (0,6 m/hari), sehingga sedikit gangguan akan
mengakibatkan perubahan head yang besar. Pada perubahan nilai K satu ordo lebih tinggi dan satu ordo
lebih rendah, hampir semua h-nya mendekati nol. Meskipun kedua parameter ini tidak sensitif, namun
jika dibandingkan parameter constant head lebih sensitif dibanding parameter K.
Pada kenyataan di lapangan, ketidakuratan data parameter akifer tidak akan berpengaruh besar terhadap
head keluarannya, namun sangat sensitif terhadap data besarnya debit pemompaan/pengimbuhan.
constant headmean -1m
1.5

0.5

-0.5

-1

-1.5

-2
-10

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

Hmean (m)

Gambar 12. Grafik analisis sensitivitas terhadap constant head - (elevasi muka air sungai rata-rata dikurangi 1m)

Bandung, 12 September 2015

55

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

constant headmean +1m


1.5

0.5

-0.5

-1

-1.5
-10

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

Hmean (m)

Gambar 13. Grafik analisis sensitivitas terhadap constant head+ (elevasi muka air sungai rata-rata
ditambah 1m)
10 * Kh
1.E+00
9.E-01

8.E-01
7.E-01
6.E-01
5.E-01
4.E-01
3.E-01
2.E-01
1.E-01
0.E+00
-10

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

Hmean (m)

Gambar 14. Grafik analisis sensitivitas terhadap K+


1/10 * Kh
5.E-07

0.E+00

-5.E-07

-1.E-06

-2.E-06

-2.E-06

-3.E-06

Hmean (m)

-3.E-06
-10

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

Gambar 15. Grafik analisis sensitivitas terhadap K-

Perbandingan Peta Kerentanan Metoda Drastic Dengan Hasil Simulasi


Secara garis besar, kelas kerentanan menurut hasil simulasi dapat dikelompokkan berdasarkan distribusi
kecepatannya. Hasil analisis menunjukkan wilayah studi terbagi menjadi 3 wilayah kerentanan yaitu
kerentanan rendah di utara dan selatan dan kerentanan tinggi di wilayah tengah (Gambar 10).
Dari analisis sensitivitas diperoleh hasil bahwa parameter K dan constant head tidak sensitif. Simpangan
data masukan kecil sekali pengaruhnya terhadap data keluaran. Meski demikian penentuan nilai constant
head perlu lebih akurat dibanding K karena sebagaimana terlihat pada Gambar 11, constant head lebih
sensitif terutama di wilayah yang Hmean-nya ekstrim (sangat besar atau sangat kecil).
Menurut Metoda DRASTIC pengelompokkan kelas kerentanan di wilayah studi terbagi atas 3. DRASTIC
indeks menunjukkan kerentanan tertinggi berada di bagian tengah wilayah studi, di bagian utara lebih
rendah dan bagian selatan (mendekati batas wilayah studi) paling rendah. Pada wilayah penelitian dalam
studi ini parameter yang mempengaruhi distribusi kerentanan adalah aquifer media (A), soil media (S),
dan hydraulic conductivity (C).
56

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Dengan demikian pengelompokkan kelas kerentanan menurut DRASTIC dan hasil simulasi sudah
mendekati (Gambar 13). Namun tentu saja pengelompokkan dari hasil simulasi lebih detail, karena data
parameter akifernya juga lebih detail sedangkan DRASTIC hanya memanfaatkan informasi hidrogeologi
secara global. Berdasarkan analisis sensitivitas, tidak ditemukan parameter data masukan yang sensitif.
Dengan demikian informasi hidrogeologi yang tidak mendetail masih dapat digunakan oleh DRASTIC
untuk membuat peta kerentanan pencemaran air tanah karena tidak akan mengakibatkan penyimpangan
informasi yang berarti.

Kerentanan rendah, DI = 67

Kerentanan rendah, DI = 67

Kerentanan tinggi, DI = 69
Kerentanan tinggi, DI = 69
Kerentanan tinggi, DI = 69
Kerentanan rendah, DI = 63
(a)
(Kecepatan aliran dalam 1000
m/hari)

Kerentanan rendah
D

A
Kerentanan tinggi
B

Kerentanan rendah

(b)

Gambar 16. Hasil perbandingan peta kerentanan pencemaran air tanah (a) hasil DRASTIC (b) hasil simulasi
komputer

Bandung, 12 September 2015

57

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

KESIMPULAN dan SARAN


Berdasarkan hasil analisis pembuatan peta kerentanan pencemaran air tanah dengan metoda DRASTIC
dan simulasi dapat disimpulkan bahwa :
1. Dasar pengelompokan kelas kerentanan dengan simulasi adalah distribusi kecepatan dan arah vektor
kecepatan
2. informasi parameter DRASTIC sebagai dasar pembobotan dalam pembuatan peta kerentanan
pencemaran air tanah dapat menggunakan informasi umum maupun kajian-kajian studi yang lebih
detail
3. hasil analisis sensitivitas menunjukkan bahwa simpangan data parameter akifer tidak berpengaruh
besar terhadap perubahan data keluaran
4. perbandingan peta kerentanan hasil simulasi dengan DRASTIC tidak menunjukkan perbedaan yang
signifikan
5. penilaian DRASTIC dapat menggunakan data hidrogeologi yang umum karena ketidakakuratan data
parameter akifer tidak akan mengakibatkan penyimpangan informasi yang berarti
Saran
Untuk memperoleh peta kerentanan pencemaran air tanah dengan metoda DRASTIC yang lebih akurat
diperlukan skala peta tematik dari masing-masing parameter DRASTIC yang cukup besar. Dengan
demikian informasi hidrogeologi yang terekam akan lebih detail. Pengujian ini hanya mengasumsikan
bahwa pergerakan partikel pencemar dipengaruhi oleh proses adveksi saja. Pada kenyataannya, proses
dispersi dan biodegradasi juga ikut mempengaruhi migrasi pencemar. Untuk itu perlu diteliti lebih lanjut
mengenai hal tersebut. Selain itu kegiatan eksplorasi air tanah (pemompaan dan pengimbuhan) yang
berperan dalam proses menghambat / mempercepat migrasi pencemar juga belum diperhitungkan,
karena informasi data mengenai kegiatan tersebut tidak diperoleh. Jika kegiatan tersebut hendak
diperhitungkan, parameter recharge pada DRASTIC perlu dijustifikasi. Kegiatan pengimbuhan
mempercepat proses recharge sehingga meningkatkan potensi pencemaran dengan demikian peringkat
DRASTIC-nya perlu dinaikkan. Sebaliknya proses pemompaan memperlambat aliran air tanah secara
vertikal sehingga mengurangi potensi pencemaran, untuk itu peringkat DRASTIC-nya dapat diturunkan.

REFERENSI
PT. Luhung Media Sarana Kreasi, Pemetaan Geologi Lingkungan dan Tata Guna Air Tanah Kawasan
Jabodetabek-Punjur, Direktorat Jendral Penataan Ruang Departemen Permukiman dan Prasaran
Wilayah, 2002
Abdurrahman Asseggaf, Hidrodinamika Air Tanah Alamiah Cekungan Jakarta, Tesis Magister, 1998
Elang Erlangga, Bernt Soefner, Joachim Zaepke, Evaluation of DEG-Well Files 1874-1984, Aquifer
Parameters and Piezometric Heads, Groundwater Properties, Jakarta Groundwater Study 19831985, Working Paper 102 (Bandung : Directorate of Environmental Geology, 1985)
A. Djaeni, G. Koehler, B. Soefner, Piezometric Heads of the Confined Aquifer System, Jakarta
Groundwater Study 1983-1985, Working Paper 103 (Bandung : Directorate of Environmental
Geology, 1985)
Haryadi Tirtomihardjo, River Water Levels in the Jakarta Basin Area, Jakarta Groundwater Study 19831985, Working Paper 114 (Bandung : Directorate of Environmental Geology, 1985)
G. Schmidt, Haryadi Tirtomihardjo, G. Koehler, Groundwater Modelling of Jakarta Groundwater Study
1983-1985, Working Paper 116 (Bandung : Directorate of Environmental Geology, 1985)
B. Soefner, M. Hobler, G. Schmidt, Final Report of Jakarta Groundwater Study 1983-1985, Working Paper
117 (Bandung : Directorate of Environmental Geology, 1986)

58

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Freeze, Allan R., Cherry, John A., Groundwater (New Jersey : Prentice Hall, 1979)
Fetter, C.W., Applied Hydrogeology (Ohio : Merril Publishing Company, 1988)
Linda Aller, et al., DRASTIC : A Standarized System for Evaluating Groundwater Pollution Potential Using
Hydrogeologic Settings (Oklahoma : U.S. Environmental Protection Agency, 1987)
Sahid, Shamsuddin (2000), A Study of Groundwater Pollution Vulnerability Using DRASTIC/GIS, West
Bengal, India. Journal of Environmental Hydrology Volume 8
http:// www.hydroweb.com
Fatta, D, et al., Numerical Simulation of Flow and Contaminant Migration at a Municipal Landfill. Journal
of Environmental Hydrology Volume 8
http:// www.hydroweb.com
Prahasta, Eddy, Sistem Informasi Geografis : Tutorial ArcView (Bandung : Informatika, 2005)
Budiyanto, Eko, Sistem Informasi Geografis Menggunakan ArcView GIS (Yogyakarta : Andi, 2002)
Environmental Modelling Research Laboratory, Groundwater Modelling System Tutorials (Brigham Young
University, 2004)
Pollock, David W., Users Guide for Modpath/Modpath Plot, Version 3: A particle tracking post processing
package for Modflow, the US Geological Survey Finite Difference Groundwater Flow Model,
(Virginia : US Geological Survey, 1994)
Harbaugh, Arlen W., et al., Modflow-2000, The US Geological Survey Modular Groundwater Model User
Guide to Modularization Concepts and The Groundwater Flow Process (Virginia : US Geological
Survey, 2000)

Bandung, 12 September 2015

59

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

PENDAYAGUNAAN SUMBER DAYA AIR

PEMODELAN PERAMALAN CURAH HUJAN PADA DAS PAMARAYAN


DENGAN METODE ESIM
Stephen Sanjaya1*, Bambang Adi Riyanto1, dan Andreas Franskie Van Roy1
1Program Studi Teknik Sipil, Universitas Katolik Parahyangan
*sanjaya.stephen@hotmail.com

Abstrak
Hujan sebagai salah satu komponen hidrologi memiliki sifat stokastik dan sulit diprediksi, namun secara
bersamaan memegang peranan penting dalam penentuan alokasi kebutuhan air. Dalam sebuah sistem
sungai, alokasi kebutuhan air umumnya direncanakan untuk pelayanan air baku di wilayah perkotaan atau
irigasi untuk wilayah pedesaan. Atas dasar pelayanan tersebut maka diperlukan perencanaan yang baik
dalam menentukan alokasi kebutuhan air. Salah satu metode untuk mendapatkan prediksi data penentuan
alokasi kebutuhan air adalah dengan cara meramalkan curah hujan. Dalam proses peramalan, penelitian
ini menggunakan Evolutionary Support Vector Machine Inference Model (ESIM), yang merupakan
kombinasi dari Support Vector Machine (SVM) dan fast messy Genetic Algorithm (fmGA), dengan data
histori curah hujan bulanan DAS Pamarayan sebagai objek studi. Dengan membandingkan 2 skenario
yang berbeda dengan metode peramalan yang sama, akan diramalkan curah hujan bulanan selama 1
tahun kedepan untuk 3 stasiun curah hujan pilihan, yang mewakili wilayah DAS hulu, tengah dan hilir di
dalam DAS Pamarayan. Kedua skenario ini hanya dibedakan atas penggunaan peramalan datanya, data
curah hujan bulanan hasil peramalan untuk skenario 1, sedangkan data curah hujan bulanan hasil
observasi untuk skenario 2. Dari hasil peramalan tersebut, penggunaan data hasil pengamatan
memberikan nilai RMSE rata-rata yang lebih kecil untuk ketiga stasiun, sebesar 80,20% terhadap curah
hujan rata-rata bulanan tahun 2003. Secara grafis, penggunaan data hasil observasi memberikan pola
fluktuasi grafik yang lebih baik daripada penggunaan hasil peramalan itu sendiri. Merujuk pada besar
persen penyimpangan yang terjadi maka metode ESIM tidak memberikan hasil yang memuaskan. Hal ini
dapat disebabkan oleh berbagai hal sehingga penelitian lebih lanjut terhadap penyebab besarnya
penyimpangan yang terjadi patut dilakukan untuk menghasilkan peramalan yang lebih baik.
Kata Kunci: ESIM, SVM, fmGA, DAS Pamarayan, Curah Hujan Bulanan

LATAR BELAKANG
Dalam siklus hidrologi, hujan merupakan salah satu komponen dasar yang paling banyak memberikan
kontribusi besar dalam kuantitas air yang berada di muka bumi ini. Hujan juga memiliki peranan besar
dalam kondisi suatu badan tangkapan air, seperti sungai, waduk, atau danau. Karakteristik yang dimiliki
oleh hujan adalah sifatnya yang acak atau stokastik, dan sulit untuk diprediksi. Namun pada
kenyataannya, peranannya dalam menentukan kuantitias air sangatlah penting, karena hal tersebut akan
mempengaruhi sistem penggunaan air yang ada di sungai. Sistem tersebut berhubungan erat dengan
alokasi kebutuhan air yang perlu direncanakan untuk kepentingan bersama. Kebutuhan pelayanan air
baku, di Indonesia, sangatlah dipengaruhi oleh kondisi kuantitas air yang berada di sungai. Sebagai
contoh, kebutuhan air baku di daerah pedesaan akan sangat mempengaruhi pengaturan sistem air dalam
irigasi, sedangkan di daerah perkotaan, kebutuhan air baku sangatlah penting untuk pembagian sistem air
untuk kebutuhan sehari-hari, seperti air minum. Oleh sebab itu mengetahui dan memiliki perencanaan
pelayanan air baku sangatlah penting, karena merupakan kebutuhan dasar bagi seluruh umat manusia.

60

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Gambar 1. Siklus Hidrologi


(Sumber: www.riholtz.com)

Atas dasar kebutuhan pelayanan tersebutlah, penerapan sistem perencanaan alokasi kebutuhan air dapat
dilakukan dengan memberikan kejelasan mengenai jumlah air yang dapat dimanfaatkan, dalam hal ini air
hujan. Permasalahan tersebut dapat dijawab dengan mengestimasi atau melakukan prediksi terhadap
kondisi air hujan yang ada. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk memprediksi air hujan adalah
membuat model peramalan. Melalui model peramalan inilah nilai estimasi dari curah hujan dapat
diketahui, dan digunakan apabila tingkat akurasinya dapat diandalkan. Metode ini telah digunakan untuk
penerapan banjir yang datang di suatu daerah, dan mengurangi resiko bencana yang dihadapi. Dengan
kata lain, permasalahan kelebihan atau kekurangan air dapat diatasi dengan mudah, apabila nilai estimasi
yang digunakan mampu memberikan estimasi yang akurat.

Gambar 2. Peta Lokasi Stasiun Hujan dan Poligon Thiessen


(Sumber: Sanjaya, 2015)

Bandung, 12 September 2015

61

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Permasalahan tersebut telah muncul di banyak daerah di Indonesia, salah satunya kebutuhan pelayanan
air yang ada di daerah Banten, yaitu Bendung Pamarayan. Bendung ini merupakan salah satu bendung
yang berpengaruh besar terhadap keberlangsungan kebutuhan air di Banten. Oleh sebab itu penelitian ini
dilakukan didaerah Bendung Pamarayan. Namun, oleh karena keterbatasan data yang ada, dipilihlah 3
stasiun curah hujan di DAS Pamarayan yang mampun memberikan kontribusi terhadap model yang akan
dibuat, yaitu dibagian DAS hulu, DAS tengah dan DAS hilir. DAS tersebut masing-masing diwakilii oleh
Stasiun Curah Hujan Pamarayan, Cimarga dan Bojongmanik.

METODOLOGI STUDI
Evolutionary Support Vector Machine Inference Model
ESIM sebagai sebuah perkembangan ilmu pengetahuan terkini yang berkaitan dengan Artificial
Inteligence, yang memiliki kemampuan untuk memperbaiki diri secara dinamis dengan pemberian data.
Dengan kata lain, ESIM merupakan alat pembelajaran yang mampu memperbaiki diri dengan kombinasi
dari Support Vector Machine (SVM) dengan alat bantu fast messy Genetic Algorithm (fmGA). SVM
sebagai metode dasar akan berusaha membentuk sebuah model black box yang prosesnya sulit untuk
dijelaskan, oleh sebabnya kadang kala hasil akhir yang ada memiliki dasar yang kurang begitu kuat dan
jelas. Sama halnya dengan metode statistikal lainnya, seperti AR atau MA, SVM juga memiliki nilai
parameter yang harus diberikan sesuai dengan pembentukan model yang ada. Penentuan parameter
itulah yang menjadi tantangan tersendiri untuk dapat digunakan oleh model, sehingga disinilah fungsi
fmGA terhadap SVM, yaitu mengoptimalisasikan nilai parameter yang digunakan oleh model. Ada batasan
parameter yang perlu dipatuhi dalam penggunaan metode ini yang tersaji dalam tabel 1.
Tabel 1. Daftar Konfigurasi Parameter pada Metode ESIM
(Sumber: Sanjaya, 2015)

Metode
SVMs

Parameter
Rentang Nilai
C
0 200

0.0001 1
fmGA
probability of cut
0.6
probability of splice
1.0
probability of mutation
0.001
era
12
Secara garis besar, berdasarkan studi mengenai SVM oleh Anton (2003), SVM memiliki karakteristik
tertentu, antara lain:
1. Secara prinsip, SVM adalah linear classifier
2. Pattern Recognition dilakukan dengan mentransformasikan data pada input-space ke ruang yang
berdimensi lebih tinggi dan optimasi dilakukan pada ruang vector yang baru tersebut.
3. Menerapkan strategi Structural Risk Minimization (SRM)
4. Prinsip kerja SVM, pada dasarnya hanya mampu menangani klasifikasi dua kelas.
Dalam penggunaannya, seperti yang telah dijelaskan bahwa SVM merupakan sebuah metode
pembelajaran, sehingga dibutuhkan sebuah set data sebagai acuan yang mampu merepresentasikan
model yang terbentuk, yang kedepannya disebut sebagai training data. Berdasarkan karakteristiknya,
SVM merupakan usaha mencari hyperplane terbaik untuk memisahkan dua buah kelas (classifier) pada
input space dengan menggunakan dot product atau yang lebih sering disebut sebagai fungsi kernel.
Dalam penentuan fungsi itu sendiri, akan sangat menentukan akurasi dari model yang dihasilkan. Namun
dalam pemilihan fungsi tersebut, fungsi kernel yang paling sering digunakan dan dianggap mampu
memetakan data yang paling baik adalah RBF atau Radial Basis Function, sehingga dalam penelitian ini
digunakan fungsi RBF sebagai fungsi kernel.

62

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Sebagai alat optimasi, fmGA mampu memberikan solusi yang lebih efisien untuk permasalahan permutasi
skala besar, dan didasarkan pada pendekatan akan fleksibilitas dalam kemungkinan proses hibridisasi
dengan metode lain dalam mendapatkan solusi yang lebih baik, dalam hal ini SVM. Menggunakan konsep
gen dalam kromosom, fmGA mampu menyelesaikan permutasi dari kombinasi antara posisi (allele locus)
dengan nilai (allele value) yang kurang baik atau berlebihan dengan susunan yang berbeda dan yang
paling optimum yang dapat diberikan.
Root Mean Square Error
Dalam menentukan perbandingan hasil peramalan setiap skenario, alat bantu yang digunakan untuk
menghitung penyimpangan yang terjadi terhadap data sesungguhnya dilapangan adalah RMSE. RMSE
merupakan rata-rata jumlah penyimpangan absolut yang terjadi pada kedua data secara keseluruhan,
yang diformulasikan kedalam persamaan berikut.
n

RMSE

(a
t 1

bt ) 2
n

(1)

Keterangan:
at: data sesungguhnya pada urutan ke-t
bt: data hasil peramalan pada urutan ke-t
n: jumlah data
Metode Penelitian
Secara garis besar, sebelum data dapat digunakan, dibutuhkan sebuah proses agar SVM dapat membaca
dan mempelajari data yang digunakan berupa proses normalisasi. Normalisasi juga memiliki tujuan agar
dalam pembuatan model yang ada, nilai penyimpangan yang dihasilkan akan memberikan ruang 10% dari
data terendah dan tertinggi dalam proses peramalan. Setelah itu, proses penyusunan data juga sangat
berpengaruh terhadap model yang akan disusun, dari jenis variabel yang berkaitan dengan data utama.
Dalam pelaksanaan analisis yang ada, penelitian ini menggunakan data 3 bulan sebelumnya terhadap
variabel utama yang akan diramalkan. Selain itu, pada proses penyusunan data, sangatlah penting untuk
memberikan ruang untuk validasi data terhadap model. Sehingga proses pembagian data menjadi 80 dan
20 persen untuk data training dan data testing menjadi bagian yang krusial. Setelah pembagian ini siap,
akan dilakukan penentuan nilai C dan gamma sebagai parameter model. Pada akhrinya proses peramalan
dapat dilakukan apabila model telah siap digunakan. Susunan pelaksanaan model disajikan dalam
gambar berikut.

Gambar 3. Proses Analisis Pemodelan


(Sumber: Dokumentasi pribadi)

Seperti yang telah dijelaskan bahwa, perbandingan akan dibuat dengan pembeda 2 skenario. Dengan
tujuan membandingkan hasil ada, skenario 1 menggunakan hasil ramalan untuk diramalkan kembali
sebagai pembaharuan data dalam proses peramalan kedepannya. Sedangkan skenario 2 menggunakan
hasil observasi lapangan sebagai pembaharuan data untuk proses yang sama. Skenario 1 didasarkan
pada peramalan yang dilakukan selama setahun untuk sebuah objek studi, yang akan dibandingkan
penyimpangannya terhadap data asli, terhadap proses peramalan skenario 2 yang didasarkan pada data
yang sesungguhnya. Sedangkan untuk segala jenis variabel yang ada dibuat sama, demikian disajikan
pada tabel 2.

Bandung, 12 September 2015

63

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Tabel 2. Jenis Variabel untuk Setiap Skenario


(Sumber: Sanjaya, 2015)

Variabel

Skenario 1

Skenario 2

Metode

Linear

linear

Parameter

C dan

C dan

Fungsi Kernel

RBF

RBF

Data Tambahan

Hasil Ramalan

Hasil Observasi

HASIL STUDI DAN PEMBAHASAN


Hasil Studi
Berdasarkan seluruh proses analisis yang telah dilakukan, hingga tahap akhir, berikut nilai evaluasi
penyimpangan rata-rata yang terjadi pada kedua skenario untuk seluruh stasiun curah hujan.
Tabel 3. Nilai Evaluasi Rata-rata untuk Kedua Skenario
(Sumber: Sanjaya, 2015)
Stasiun Curah Hujan
Pamarayan
Cimarga
Bojongmanik
Rata-rata
Maksimum

Rata-rata
Curah Hujan
Bulanan
Tahun 2003
165,00
167,50
110,46
-

RMSE (mm)
Skenario 1

Deviasi (%)

Skenario 2

Deviasi (%)

142,18
126,68
142,14
137,00
142,18

86,17
75,63
128,68
96,83
128,68

142,41
128,41
85,74
118,85
142,41

86,31
76,66
77,62
80,20
86,31

Apabila ditinjau dari stasiun curah hujan pilihan, pada skenario 1, nilai evaluasi penyimpangan terkecil
jatuh kepada Stasiun Cimarga, sebesar 126,68 mm, sedangkan pada skenario 2 adalah Stasiun
Bojongmanik, yaitu 85,74 mm. Namun secara rerata keseluruhan stasiun curah hujan yang ada, nilai
skenario 2 memberikan nilai kesalahan yang lebih kecil dibandingkan skenario 1. Peninjauan yang
dilakukan pada perbandingan rata-rata curah hujan bulanan tahun 2003 terhadap setiap skenario,
menunjukkan bahwa penyimpangan terkecil yang terjadi pada skenario 1 juga pada Stasiun Cimarga,
dengan persentasi sebesar 75,63%, sedangkan terhadap skenario 2 nilai deviasi terkecil jatuh kepada
Stasiun Cimarga juga sebesar 76,66%. Dengan kata lain, pada kedua skenario, Stasiun Cimarga
merupakan stasiun dengan penyimpangan peramalan yang lebih baik dibandingkan dengan stasiun
lainnya.
Pembahasan
Secara garis besar, peramalan dengan skenario 1 memberikan hasil yang kurang memuaskan karena
reliabilitas tidak dapat dipertanggungjawabkan untuk peramalan berikutnya. Namun dengan demikian
skenario 2 juga tidak memberikan hasil peramalan yang memuaskan mengingat nilai persentasi yang
diberikan melebih batas 5-10% yang dapat diandalkan. Oleh sebab itu, SVM kurang memberikan hasil
yang memuaskan terhadap DAS Pamarayan. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa pertimbangan
bahwa penggunaan varibel pendukung berupa data yang sama, mengingat bahwa variabel bebas yang
digunakan juga merupakan variabel utama. Pada kasus ini, variabel bebas yang dapat digunakan sebagai
fakto pendukung hujan adalah faktor iklim, seperti suhu, kelembaban, dan lama penyinaran matahari.
Berdasarkan stasiun curah hujan yang ada, pola grafik yang paling baik dihasilkan adalah Stasiun Curah
Hujan Bojongmanik skenario 2 dibandingkan dengan stasiun curah hujan lainnya. Sedangkan yang
lainnya belum mampu memberikan hasil peramalan yang sesuai dengan data observasi. Hal ini mungkin
disebabkan oleh penggunaan data (training data) belum mampu merepresentasikan model peramalan.
64

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Oleh sebab itu, untuk penelitian lebih lanjut jumlah data yang mempengaruhi peramalan juga perlu diteliti
terlebih dahulu, atau yang lebih sering disebut sebagai analisis sensitivitas. Hal ini bertujuan untuk
meningkatkan akurasi peramalan yang akan dihasilkan, sehingga data yang digunakan mampu
merepresentasikan model untuk peramalan.
Selain itu, mengingat bahwa metode ini merupakan metode black box, perlu diperhatikan juga kualitas
data yang digunakan untuk model peramalan, baik dari konsistensi, kecenderungan, dan stabilitasnya.
Apabila data yang digunakan memiliki ketiga permasalahan tersebut, perbaikan data untuk model dapat
dilakukan dengan smoothing data.

Gambar 4. Grafik Hasil Peramalan Stasiun Curah Hujan Pamarayan


(Sumber: Sanjaya, 2015)

Gambar 5. Grafik Hasil Peramalan Stasiun Curah Hujan Cimarga


(Sumber: Sanjaya, 2015)

Gambar 6. Grafik Hasil Peramalan Stasiun Curah Hujan Bojongmanik

Bandung, 12 September 2015

65

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

(Sumber: Sanjaya, 2015)

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI


Kesimpulan
Simpulan yang dapat diberikan, berdasarkan hasil studi dan pembahasan adalah sebagai berikut:
1. Dengan evaluasi metode RMSE, hasil peramalan skenario 2 dianggap lebih baik dengan nilai
deviasi yang lebih kecil dibandingkan dengan hasil peramalan skenario 1, yaitu sebesar 118,85
mm dan 137,00 mm secara berurutan.
2. Sedangkan untuk stasiun curah hujan pilihan, Pos Pencatat Curah Hujan Bojonmanik memliliki
hasil peramalan yang lebih baik dari kedua stasiun lainnya, dengan penyimpangan yang terjadi
sebesar 85,74 mm pada skenario 2.
3. Pola pergerakan grafik yang ditunjukkan berdasarkan perbandingan kedua skenario menunjukan,
hasil peramalan skenario 2 lebih baik daripada skenario 1.
4. Merujuk pada kedua hasil peramalan dan perbandingannya terhadap curah hujan pada tahun
2003, metode ESIM dirasa kurang memberikan hasil yang memuaskan, karena persentase
deviasinya terhadap nilai hasil observasi lapangan mencapai lebih dari 10%.
Rekomendasi
Berdasarkan hasil analisa dan simpulan yang telah ditarik, ada beberapa rekomendasi yang dapat
diberikan untuk studi lebih lanjut, antara lain:
1. ESIM sebagai metode black-box akan sangat dipengaruhi oleh kualitas data, sehingga dalam
peramalan curah hujan, apabila data yang belum diperoleh dianggap kurang baik, dapat
dilakukan perbaikan kualitas data terlebih dahulu, seperti smoothing data.
2. Dalam penelitian ini, data curah hujan yang digunakan untuk peramalan curah hujan itu sendiri,
sedangkan pada kenyataannya bahwa hujan dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti suhu,
kelembaban, dan arah angin. Dengan demikian, untuk penelitian lebih lanjut, data iklim dapat
diikutsertakan dan dianalisis pengaruhnya terhadap curah hujan untuk peramalan curah hujan itu
sendiri.
3. Penggunaan data sebagai training data harus mampu mengindikasikan serta merepresentasikan
data secara baik, sehingga penentuan analisis sensitivitas sebelum proses peramalan dilakukan
menjadi factor penting dalam menjaga efektivitas peramalan.

UCAPAN TERIMA KASIH


Terima kasih penulis ucapkan kepada Tuhan yang Maha Esa, berkat seluruh kerja keras dan doa,
makalah ini mampu diikutsertakan seminar TSDA 2015. Selain itu juga kepada rekan-rekan yang
mendukung selama penelitian ini berlangsung.

REFERENSI
Adhikari, Ratnadio and R.K. Agrawal, An Introductory Study on Time Series Modelling and Forecasting,
Master thesis.
Cheng, Min-Yuan and Yu-Wei Wu. 2008. Evolutionary Support Vector Machine Inference System for
Construction Management. Elsevier: Automation in Construction
Mansell, M G. 2003. Rural and Urban Hydrology. Thomas Telford Ltd, Heron Quay, London

66

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Nugroho, Anto Satriyo et al. 2003. Support Vector Machine: Teori dan Aplikasinya dalam Bioinformatika.
www.ilmukomputer.com
Prasetya, Herry dan Fitri Lukiastuti. 2009. Manajemen Operasi. Medpress, Yogyakarta
Roy, Andreas F.V. 2010. Evolutionary Fuzzy Desicion Model for Construction Management using
Weighted Support Vector Machine. PhD Dissertaion, The National Taiwan University of Science
and Technology, Taiwan

Bandung, 12 September 2015

67

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

PENDAYAGUNAAN SUMBER DAYA AIR

APLIKASI PENGINDERAAN JAUH UNTUK MENDETEKSI KEKERINGAN


LAHAN DI KABUPATEN KUPANG
Basori
Balai Wilayah Sungai Nusa Tenggara II
E-mail: jebasori@gmail.com

Abstrak
Kekeringan lahan terjadi ketika suatu lahan mengalami kekurangan air yang disebabkan oleh
berkurangnya jumlah curah hujan. Dampak kekeringan di Indonesia dapat terlihat di lahan pertanian.
Salah satu daerah yang selalu mengalami bencana kekeringan adalah Kabupaten Kupang. Bencana
kekeringan di Kabupaten Kupang rutin terjadi dikarenakan kurangnya data peta yang menyediakan
informasi daerah potensi kekeringan, hal ini dapat menjadi salah satu factor penghambat dalam
perencanaan penyelesaian masalah kekeringan. Oleh karena itu perlu dilakukan pemantauan kekeringan
lahan secara actual untuk mengetahui kondisi kekeringan lahan di Kabupaten Kupang. Penginderaan jauh
dapat digunakan untuk pemantauan kekeringan lahan secara actual dengan menggunakaan indeks
kekeringan. Pada penelitian ini menggunakan citra satelit Landsat 8 tahun 2014 dan model TVDI
(Temperature Vegetation Dryness Index) untuk memantau kekeringan lahan. Indeks TVDI dapat
memberikan informasi kondisi ketersediaan lengas lahan di permukaan Bumi. Indeks TVDI dihitung
berdasarkan suhu permukaan lahan dan indeks vegetasi. Pada penelitian ini dilakukan pengembangan
model TVDI dengan menggunakan indeks vegetasi NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) dan
suhu permukaan lahan dari data Landsat 8 bulan November tahun 2014 di wilayah Kupang, Nusa
Tenggara Timur. Dari model TVDI tersebut diperoleh daerah dengan nilai TVDI 0 0.2 (basah), 0.2-0.4
(agak basah), 0.4 0.6 (normal), 0.6 0.8 (agak kering), dan lebih dari 0.8 (kering) memiliki luas secara
berturut turut 92,021 km2, 1124,546 km2, 3514,166 km2, 1608,646 km2, dan 40,563 km2.
Kata Kunci: Kekeringan, Landsat, NDVI, TVDI

LATAR BELAKANG
Kekeringan lahan dapat dijelaskan sebagai suatu periode di mana terjadi kekurangan air yang disebabkan
oleh berkurangnya jumlah curah hujan. Kekeringan merupakan salah satu bencana yang sulit dicegah dan
terjadi berulang. Sebanyak 10 Kabupaten di Nusa Tenggara Timur (NTT) mengalami gagal tanam akibat
kekeringan. Kabupaten Kupang termasuk salah satu Kabupaten di Nusa Tenggara Timur yang mengalami
kekeringan. Di Kupang pada setiap musim kemarau hampir selalu terjadi kekeringan pada lahan sehingga
pemantauan kekeringan lahan secara aktual sangat penting dilakukan. (Emmy, F. 2007)
Salah satu komponen penting dari strategi kekeringan nasional adalah sistem pemantauan kekeringan
secara komprehensif yang dapat memberi peringatan pada awal dan berakhirnya kekeringan,
menentukan tingkat keparahan, dan menyebar-luaskan informasi pada berbagai sektor terutama sektor
pertanian, air bersih, energi, dan kesehatan. Pemantauan kekeringan dapat dilakukan dengan
memanfaatkan teknologi penginderaan jauh yang dikombinasikan dengan suatu indeks
kekeringan.(Hatmoko, W. 2012)
Salah satu indeks kekeringan untuk memantau kekeringan lahan adalah Temperature Vegetation
Dryness Index (TVDI). Indeks kekeringan TVDI dapat diformulasikan berdasarkan parameter indeks
vegetasi dan suhu permukaan. Indeks vegetasi merupakan indicator yang baik untuk mengetahui tingkat
kehijauan dan kondisi suatu vegetasi. Suhu permukaan (land surface temperature) merupakan indicator
untuk mengetahui besarnya panas yang dikeluarkan oleh suatu permukaan berkaitan dengan proses
68

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

evaporasi dan transpirasi. Indeks kekeringan TVDI memanfaatkan kombinasi dari indeks vegetasi dan
suhu permukaan untuk mencerminkan kondisi kekeringan di suatu lahan. (Hung and Yosuoka dalam
Parwati, 2008).
Seiring dengan kemajuan teknologi penginderaan jauh dan Sistem Informasi Geografis (SIG), informasi
spasial suatu wilayah dapat dilakukan dengan lebih cepat. Teknologi penginderaan jauh daoat digunakan
untuk mendapatkan kondisi kekeringan suatu lahan di daerah tertentu. Salah satu data penginderaan jauh
yang mampu secara spektral menghasilkan parameter indeks vegetasi dan suhu permukaan adalah data
citra satelit Landsat 8. Citra satelit landsat 8 memiliki resolusi spasial 30 meter serta dapat memantau
kondisi lahan setiap hari. Oleh karena itu model TVDI dengan menggunakan data Landsat 8 perlu
dibangun untuk dapat memantau kekeringan lahan di Kabupaten Kupang sehingga strategi penanganan
kekeringan ke depan dapat disusun dengan baik.
Kajian Pustaka
Indeks Vegetasi (Normalized Difference Vegetation Index)
Beberapa penelitian telah menunjukkan hubungan antara reflektan merah dan inframerah dekat untuk
menggambarkan vegetasi di permukaan. Reflektan merah mengalami penurunan terhadap perkembangan
tanaman karena penyerapan klorofil untuk proses fotosintesis. Sedangkan reflektan inframerah dekat
akan meningkat terhadap perkembangan tanaman karenan proses pemantulan. Satu band tidak dapat
digunakan untuk melakukan pengukuran sederhana maupun pengamatan vegetasi secara global.
Masalah ini telah dapat diselesaikan dengan melakukan kombinasi dua atau lebih band ke dalam
persamaan yang disebut Indeks Vegetasi.
Indeks vegetasi merupakan pengukuran secara empiris dari aktifitas vegetasi. Tujuan utamanya adalah
untuk membuat persamaan dari pengukuran secara presisi dari variasi spasial atau temporal dari
vegetasi. Perbandingan sederhana (SR) merupakan indeks pertama yang digunakan yang terbentuk
dengan membagi inframerah dekat dengan band merah.
(1)
Keterangan: SR
= Simple Ratio
Band 5 = band near infrared for Landsat 8
Band 4 = band red for Landsat 8
Untuk area vegetasi yang padat, jumlah dari reflektan merah yang diterima sangat kecil dan rasio akan
meningkat tanpa batas. Untuk menormalisasi rasio ini dari -1 ke +1 digunakan indeks vegetasi NDVI
dengan membagi perbedaan antara Infra merah dekat dan merah dengan jumlah infra merah dekat dan
merah.
(2)
Keterangan: NDVI = Normalized Difference Vegetation Index
Band 5 = band near infrared for Landsat 8
Band 4 = band red for Landsat 8
NDVI memiliki kelebihan dalam mengurangi gangguan tertentu dengan hubungan band dan pengaruhnya
dikaitkan dengan variasi tidak langsung, awan dan bayangan awan, matahari dan sudutnya dan topografi.
(Huete, A., Justice, C. dan Leeuwen, W.1999)
Secara aritmatis teknik normalisasi semacam ini digunakan untuk mendapatkan angka rasio yang tidak
bersatuan (indeks) yang bernilai antara -1 hingga +1. Oleh karena spektrum inframerah dekat
berkarakteristik high reflectance dan spektrum merah berkarakteristik minimum reflectance (penyerapan
maksimum) oleh daun tumbuhan, maka nilai NDVI vegetasi akan selalu positif dan berbanding lurus
dengan biomassa daun per satuan luas. (Saptarini, 2001)

Bandung, 12 September 2015

69

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Land Surface Temperature (LST)


LST dapat diperoleh dari citra satelit dengan melakukan perhitungan perhitungan tertentu. LST
merupakan salah satu parameter yang dibutuhkan untuk indeks kekeringan TVDI. Tahapan untuk
mendapatkan nilai LST sebagai berikut:
Konversi Digital Number (DN) ke Top of Atmosfer Radiance
Persamaan yang digunakan untuk konversi DN ke TOA Radiance adalah sebagai berikut:
(3)
Dimana:
L = Top of Atmosfer Radiance
ML = Band Specific Multiplicative factor from the metadata (Radiance_MULT_Band_X, dimana x
adalah nomor band)
AL = Band specific additive rescaling factor from the metadata (Radiance_Add_Band_X, dimana X
adalah nomor band)
Qcal= Digital Number
Koreksi atmosfer
Persamaan untuk koreksi atmosfer adalah sebagai berikut:
(4)

Di mana:
CVR2
CVR1
L
L

= koreksi atmosfer dari nilai radiance


= Top of atmosfer radiance atau L
= upwelling radiance
= downwelling radiance
= transmittance

= emissivity
Data upwelling dan downwelling serta transmittance didapatkan dari website http://atmcorr.gsfc.nasa.gov/
dengan mengisi parameter parameter informasi jam, tanggal, bulan, tahun perekaman data dan juga
pusat koordinat lintang dan bujur dari citra yang digunakan.
Konversi Radian TOA terkoreksi ke suhu Kelvin
Persamaan yang digunakan untuk untuk konversi ke suhu kelvin adalah sebagai berikut:
2

( 1

(5)

Dimana:
T

= suhu dalam kelvin

K1, K2

= band specific thermal convertion constant from the metadata

CVR2

= Radian TOA terkoreksi

Konversi suhu kelvin ke celcius


Untuk mendapatkan nilai dalam satuan celcius maka perlu dilakukan konversi menggunakan persamaan
berikut:
70

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

(6)
Dimana:
= suhu dalam celcius
= suhu dalam kelvin
Temperature Vegetation Dryess Index (TVDI)
TVDI merupakan salah satu indeks kekeringan berdasarkan kepekaan spektrum cahaya tampak
(visible) dan inframerah dekat (near infrared) terhadap perilaku vegetasi dan kondisi stres vegetasi
yang berkaitan dengan kekurangan air. Pada suatu lahan, umumnya indeks vegetasi NDVI
(Normalyzed Difference Vegetation Index) akan meningkat seiring dengan menurunnya suhu
permukaan (LST). Hal ini berkaitan dengan kemampuan vegetasi untuk mengatur suhunya melalui
perpindahan panas laten yaitu perpindahan panas melalui evapotranspirasi. Radiasi yang diserap dan
jumlah air yang tersedia di suatu permukaan lahan merupakan dua unsur utama yang mengatur
suhu permukaan. Pada saat ketersediaan air menjadi minim baik di lahan yang bervegetasi maupun
tidak, maka suhu permukaan akan meningkat.

Gambar 1. Hubungan LST dan NDVI


(Sumber: Parwati et al, 2008)

Kemiringan grafik pada hubungan antara LST dan NDVI berkaitan dengan laju evapotrans-pirasi,
resistansi stomata vegetasi, dan kondisi lengas tanah. TVDI bernilai 1 berindikasi ketersediaan air
yang terbatas (batas kering), sedangkan TDVI bernilai 0 berindikasi terjaminnya ketersediaan air. Jika
permukaan lahan basah, maka suhu permukaannya rendah. Namun seiring dengan mengeringnya
permukaan maka suhu permukaan akan meningkat. Pada permukaan lahan yang mempunyai tingkat
NDVI tinggi, perubahan suhu permukaan (LST) tidak begitu nyata karena vegetasi mampu untuk
mengatur air. Hubungan antara LST dan NDVI adalah negatif, yang berarti semakin tinggi suhu
permukaan maka indeks vegetasinya menurun (Daruati, D. 2012). Persamaan untuk indeks kekeringan
TVDI adalah sebagai berikut:
(7)
Dimana LST merupakan suhu permukaan yang diamati pada suatu pixel citra. LST min merupakan suhu
permukaan minimum untuk nilai NDVI tertentu sedangkan LST max merupakan suhu permukaan
maksimum untuk nilai NDVI tertentu.

Bandung, 12 September 2015

71

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Hasil dari persamaan TVDI tersebut kemudian dilakukan klasifikasi untuk mengelompokkan nilai TVDI ke
dalam kelas tertentu.
Tabel 1. Tingkat Kekeringan Berdasarkan TVDI
(Sumber: Parwati et al, 2008)

Tingkat Kekeringan
Basah
Agak Basah
Normal
Agak Kering
Kering

TVDI
0 < TVDI 0.2
0.2 < TVDI 0.4
0.4 < TVDI 0.6
0.6 < TVDI 0.8
0.8 < TVDI 1

METODOLOGI STUDI
Pemetaan kekeringan lahan menggunakan perhitungan Temperature Vegetation Drynes Index (TVDI)
yang didasarkan pada hubungan antara suhu permukaan (LST) dan indeks kekeringan (NDVI).
Indeks tersebut dikaitkan dengan kelembaban tanah dan diperoleh hanya berdasarkan input dari informasi
satelit penginderaan jauh. Data NDVI dan LST diintegrasikan untuk mendapatkan nilai maksimum
dan minimum pada setiap nilai NDVI. Pengambilan sampel dilakukan di beberapa titik di Kabupaten
Kupang. Hasil dari pengambilan sampel selanjutnya akan diplot ke dalam grafik dan dianalisa
secara statistik (regresi linier) untuk memperoleh model TVDI. Kemudian dilakukan klasifikasi tigkat
kekeringan berdasarkan nilai TVDI. Diagram alir pengolahan data sebagai berikut:
DATA LANDSAT 8

DATA LANDSAT 8

NDVI

LST
Training
Sample Area di
Kupang
Menghitung LST minimum dan maksimum
untuk setiap nilai NDVI pada setiap pixel
Analisa regresi antara
LST min dan NDVI
LST max dan NDVI
Perhitungan Nilai TVDI
Klasifikasi TVDI
Peta Kekeringan Lahan

Gambar 2. Diagram Alir Pengolahan Data

72

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

HASIL STUDI DAN PEMBAHASAN


Hasil Penghitungan NDVI
Nilai spektral hasil perhitungan NDVI di Kabupaten Kupang berkisar antara -0,856 sampai dengan 0,820.
Nilai NDVI yang tinggi menunjukkan vegetasi yang lebih rapat. Nilai spektral tersebut dikelaskan
berdasarkan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: P.12/Menhut-Ii/2012 dalam Dzulfikar et all,
2013 mengenai kelas kerapatan vegetasi berdasarkan nilai spektral transformasi NDVI.

Gambar 3. Hasil pengolahan NDVI citra satelit landsat 8

Pada gambar 3 ditunjukkan hasil pengolahan citra Landsat 8 menggunakan indeks vegetasi NDVI. Dari
hasil tersebut, perlu dilakukan klasifikasi kerapatan vegetasi berdasarkan nilai NDVI tersebut. Hasil
klasifikasi NDVI ditunjukkan pada gambar 4.

Gambar 4. Klasifikasi NDVI

Dari hasil klasifikasi tersebut dapat diperoleh informasi mengenai kondisi kerapatan vegetasi di Kabupaten
Kupang. Gambar 4 menunjukkan bahwa sebagian besar wilayah Kupang memiliki vegetasi dengan
kerapatan tinggi. Luasan dari hasil klasifikasi tersebut dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2. Luas Klasifikasi NDVI

No
1
2
3
4
5

Interval Nilai
-1 s/d -0.03
-0.03 s/d 0.15
0.15 s/d 0.25
0.25 s/d 0.35
0.35 s/d 1

Bandung, 12 September 2015

Klasifikasi
Lahan tidak bervegetasi
Vegetasi sangat rendah
Vegetasi rendah
Vegetasi sedang
Vegetasi tinggi

Luas (Km)
32,734
187,253
515,734
1791,198
3972,977
73

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Hasil Pengolahan Land Surface Temperature


Hasil pengolahan LST di Kupang berkisar antara 2,6540C sampai dengan 60,0420C. Nilai tersebut sangat
beragam pada tiap tiap piksel citra. Oleh karena itu dilakukan klasifikasi untuk mendapatkan nilai yang
lebih homogen.

Gambar 5. Hasil Pengolahan LST

Pada gambar 5 ditunjukkan hasil pengolahan citra Landsat 8 untuk Land Surface Temperature. Dari hasil
tersebut, perlu dilakukan klasifikasi berdasarkan nilai LST tersebut. Hasil klasifikasi LST terdapat di
gambar 6.

Gambar 6. Klasifikasi LST

Dari hasil klasifikasi tersebut dapat diperoleh informasi mengenai kondisi suhu permukaan di Kabupaten
Kupang. Luasan dari hasil klasifikasi tersebut dapat dilihat pada tabel 3.

74

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Tabel 3. Luas Klasifikasi LST

No
1
2
3
4
5
6

Interval Nilai
0 10
10 20
20 30
30 40
40 - 50
50 - 60

Luas (Km)
8,724
40,513
388,044
3230,088
2645,488
111,957

Model TVDI
Untuk mendapatkan nilai TVDI, diperlukan perhitungan LST minimum dan LST maksimum untuk setiap
nilai NDVI pada setiap pixel citra satelit.

Gambar 7. Persebaran Sampel

LST

Pada gambar 7 menunjukkan persebaran sampel yang digunakan untuk mendapatkan persamaan TVDI
berdasarkan data LST dan NDVI. Dari data data tersebut dilakukan analisa regresi untuk mendapatkan
persamaan LST minimum dan LST maksimum terhadap nilai NDVI. Perhitungan TVDI dilakukan dengan
memanfaatkan hubungan antara NDVI dan LST untuk menentukan indeks kekeringan.
y = -40.856x + 55.224
Persamaan Garis Batas Kering

60
50
40
30
20
10
0

y = 4.2611x + 17.161
Persamaan Garis Batas Basah
0

0.2

0.4

0.6

0.8

NDVI
LST_MAX

LST_MIN

Linear (LST_MAX)

Linear (LST_MIN)

Gambar 8. Korelasi NDVI dan LST

Bandung, 12 September 2015

75

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Gambar 8 menunjukkan bahwa persamaan LST maksimum = -40,856*NDVI + 55,224, sedangkan LST
minimum = 4,2611*NDVI + 17,161. Dari hasil tersebut dapat diperoleh persamaan model TVDI sebagai
berikut:

Hasil dari persamaan tersebut kemudian diekstraksi untuk mendapatkan peta kekeringan di Kabupaten
Kupang.

Gambar 9. Peta Kekeringan Model TVDI

Dari peta kekeringan tersebut dapat diperoleh kondisi kekeringan di Kabupaten Kupang, hal ini dapat
dijadikan sebagai data untuk pengelolaan dan pengembangan Sumber Daya Air di Kota Kupang dan
Kabupaten Kupang. Dari peta tersebut juga diperoleh luasan area kekeringan sebagai berikut.
Tabel 4. Luas Klasifikasi TVDI

KELAS
BASAH
AGAK BASAH
NORMAL
AGAK KERING
KERING

LUAS (KM2)
92,021
1124,546
3514,166
1608,646
40,563

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI


Kesimpulan
Model TVDI yang diperoleh berdasarkan integrasi antara parameter indeks vegetasi (NDVI) dan suhu
permukaan lahan (LST) dari data Landsat 8 untuk Kabupaten Kupang telah menghasilkan rumus TVDI
sebagai berikut : TVDI = (LST (4,2611*NDVI+17,161))/(-45,1171*NDVI+38,063).

76

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Dari persamaan tersebut didapatkan persebaran indeks kekeringan dengan kelas basah, agak basah,
normal, agak kering, dan kering secara berurutan memiliki luasan 92,021 km2, 1124,546 km2, 3514,166
km2, 1608,646 km2, dan 40,563 km2.
Rekomendasi
Verifikasi dan validasi model TVDI perlu dilakukan pada penelitian selanjutnya untuk mengetahui tingkat
akurasi model TVDI.

DAFTAR PUSTAKA
Daruati, D. 2012. Pola Wilayah Kekeringan Lahan Basah (Sawah) di Propinsi Jawa Barat. Thesis Magister
Ilmu Geografi Universitas Indonesia
Emmy,

F. 2007. Ribuan Orang di NTT Terancam kelaparan Akibat Kekeringan.


<URL:http://news.detik.com/read/2007/02/15/152530/742708/10/ribuan-orang-di-ntt-terancamkelaparan-akibat-kekeringan> [diakses pada tanggal 27 Juni 2015]

Hatmoko, W. 2012. Indeks Kekeringan Hidrologi untuk Alokasi Air di Indonesia. MHI Bandung
Huete, A., Justice, C. dan Leeuwen, W.1999. Modis Vegetation Index (Mod 13) Algorithm Theoretical
Basis Document. <URL:http://modis.gsfc.nasa.gov/ > [diakses pada tanggal 15 Juni 2015]
Ibrahimi, A.A dan Handayani, H.H. 2013. Aplikasi Penginderaan Jauh untuk Memetakan Kekeringan
Lahan dengan Metode Temperature Dryness Index (TVDI) (Studi Kasus: TN Bromo Tengger
Semeru). Jurnal Teknik POMITS Vol X, No. X, (Jun, 2013) ISSN: 2301-9271
Jamil, D. H., Tjahjono, H., Parman, S., 2013. Deteksi Potensi Kekeringan Berbasis Penginderaan Jauh
dan Sistem Informasi Geografis di Kabupaten Klaten. Geo image (Spatial Ecological Regional)
2, 2013, ISSN: 2252-6285
Parwati dan Suwarsono, 2008. Model Indeks TVDI (Temperature Vegetation Dryness Index) untuk
Mendeteksi Kekeringan Lahan Berdasarkan Data Modis-Terra. Jurnal Penginderaan Jauh Vol.5,
2008: 35 44.
Saptarini, D. 2001. Analisis Penggunaan Greenness Index Tasseled Cap Transformation dalam
Penentuan Kondisi Mangrove Menggunakan Data Inderaja (Landsat TM). Prosiding Seminar
Nasional Pusat SIG dan Penginderaan Jauh LP-ITS

Bandung, 12 September 2015

77

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

PENDAYAGUNAAN SUMBER DAYA AIR

APLIKASI TEKNOLOGI MEMBRAN PADA INSTALASI PENGOLAHAN AIR


LIMBAH DI RSUD LEBONG BENGKULU DALAM RANGKA PEMANFAATAN
AIR RE-USE
Mohammad Imamuddin
Fakultas Teknik Jurusan Sipil Universitas Muhammadiyah Jakarta.
email : imamuddin0001@gmail.com

Abstrak
Rumah Sakit Umum Daerah Lebong adalah salah satu rumah sakit pemerintah yang ada di Provinsi
Bengkulu, didirikan sebagai Rumah sakit type D dan memiliki ruang rawat inap sebanyak 100 tempat tidur.
Seiring tuntutan masyarakat akan pelayanan kesehatan yang bermutu, RSUD yang semula bertype D
ingin meningkatkan akreditasi menjadi Rumah Sakit Type C dengan kapasitas rawat inap mencapai 200
tempat tidur. Sesuai Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1204/Menkes/SK/X/2004 tentang
Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit, RSUD Lebong harus mempunyai fasilitas pengelohan
limbah sendiri. Pengolahan limbah itu sendiri diperlukan untuk menghindari pencemaran air tanah yang
dikhawatirkan akan berdampak pada tidak dapat digunakannya air tanah untuk memenuhi kebutuhan
akan air bersih. Pengolahan limbah cair rumah sakit yang umum digunakan saat ini adalah menggunakan
cara tradisional yang mempunyai beberapa kelemahan, yaitu waktu pengolahan yang lama, kualitas
effluent yang tidak stabil dan dibutuhkan lahan yang luas untuk proses pengendapan. Untuk itu perlu
dikembangkan proses pengolahan alternatif untuk mengatasi kelemahan yang ada pada proses
pengolahan secara konvensional. Salah satunya dengan system Membran yaitu proses pengolahan
biologis menggunakan jasa mikroba pendegrasi limbah cair. Membran disini untuk memisahkan padatan
biomassa dengan cairan, sehingga effluent yang dihasilkan bebas dari biomassa. Untuk mewujudkan hal
ini dapat dilakukan dengan menggunakan teknologi Membrane pada Intalasi Pengolahan Air Limbah
(IPAL) sehingga air yang dihasilkan dapat dimanfaatkan kembali untuk kebutuhan air bersih.
Kata Kunci: rumah sakit, air limbah, teknologi membran

Pendahuluan
Latar Belakang
Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Lebong Kabupaten Lebong Provinsi Bengkulu didirikan sebagai
Rumah sakit type D. Seiring tuntutan masyarakat akan pelayanan kesehatan yang bermutu, RSUD yang
semula bertype D ingin meningkatkan akreditasi menjadi Rumah Sakit Type C, RSUD Lebong merupakan
salah satu Rumah Sakit di Provinsi Bengkulu yang belum memiliki fasilitas kesehatan yang cukup
memadai. RSUD Lebong beralamat di Jl. Muara Aman- Curup Desa Muning Kecamatan Lebong Sakti
Kabupaten Lebong. RSUD Lebong melayani rawat inap, rawat jalan, pemeriksaan laboratorium, gawat
darurat, yang dilengkapi tenaga medis dan perawat
Sebagai sarana pelayanan kesehatan umum, tempat berkumpulnya orang sakit dan sehat, sangat
potensial terjadi penularan penyakit, pencemaran lingkungan, serta gangguan kesehatan. Untuk
meminimalkan dampak tersebut perlu dilakukan kegiatan pengelolaan kesehatan lingkungan Rumah Sakit
sesuai dengan persyaratan perundangundangan kesehatan dan lingkungan hidup. Pengelolaan
lingkungan rumah sakit tidak hanya dilakukan dalam rangka memenuhi peraturan, tetapi juga untuk

78

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

meningkatkan kualitas higenitas rumah sakit dan keamanan pengunjung maupun pasien dari potensi
terkontaminasi bahan berbahaya dan penyebaran bibit penyakit;
Pengelolaan limbah di rumah sakit saat ini telah bergeser menjadi masalah strategis dalam pengelolaan
sebuah rumah sakit. Rumah sakit yang mengelola limbahnya dengan mengabaikan standarisasi
pengelolaan, akan menghadapi persoalan baik teknis, prosedural dan sistem yang berdampak pada
persoalan hukum lingkungan, baik terkait dengan pelanggaran peraturan perundangan maupun tuntutan
masyarakat akan potensi pencemaran lingkungan. Untuk itu, dimasa mendatang pengelolaan limbah
harus ditangani dengan prinsip-prinsip teknis dan administrasi yang benar, agar keluaran pengelolaan
limbah akan menggambarkan model rumah sakit yang ramah lingkungan (green hospital);
Untuk mewujudkan model rumah sakit yang ramah lingkungan tersebut, maka limbah yang dihasilkan
secara terus menerus harus dikelola dengan pendekatan manajemen strategis. Dengan pendekatan
strategis ini, maka rumah sakit dapat memproteksi resiko limbah dan memperkecil paparannya dengan
pendekatan teknis, sistem dan manajemen dengan berbasis pada pelaksanaan yang memenuhi standar,
efisiensi dan menjamin perlindungan dampak lingkungan hidup dan dampak kesehatan masyarakat;
Kompleksnya permasalahan lingkungan di rumah sakit memerlukan pengelolaan lingkungan hidup yang
dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan. Perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan perbaikan
berkelanjutan atas pengelolaan lingkungan rumah sakit harus dilaksanakan secara konsisten;
Untuk mengoptimalkan upaya penyehatan lingkungan Rumah Sakit dari pencemaran limbah yang
dihasilkannya maka rumah sakit harus mempunyai fasilitas pengelolaan limbah sendiri yang ditetapkan
Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1204/Menkes/SK/X/2004 tentang Persyaratan Kesehatan
Lingkungan Rumah Sakit;
Dalam rangka mendukung upaya-upaya tersebut diatas, Jajaran Manajemen Rumah Sakit Umum Daerah
(RSUD) Lebong Kabupaten Lebong Provinsi Bengkulu memandang perlu menindakanjuti dengan
membangun instalasi pengolah air limbah (IPAL) dengan memanfaatkan teknologi membran sebagai
langkah awal dalam mendukung upaya pengendalian pencemaran dan dan daya rusak air.
Maksud dan Tujuan
Maksud dan Tujuan dari penelitian ini adalah termanfaatkannya air setelah pengelolaan air limbah dengan
menggunakan teknologi membran guna meminimalkan daya rusak air di Rumah Sakit Umum Daerah
(RSUD) Lebong Kabupaten Lebong Provinsi Bengkulu.
Metodologi
Metodologi pelaksanaan kegiatan ini adalah sebagai berikut:
1. Survai lapangan yang dilaksanakan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Lebong Kabupaten
Lebong Provinsi Bengkulu.
2. Melakukan observasi lapangan dan perencanaan penentuan pengambilan data-data sekunder. Selain
itu juga dilakukan analisis sistem pengolahan air limbah.
3. Pengumpulan data, dengan target mendapatkan data-data sebagai berikut:
a.
b.
c.
d.

Peta lokasi.
Peta pengelolaan air.
Jumlah pemakaian air.
Peta penyebaran sumber limbah.

4. Pengolahan data dan analisis, yaitu dengan melakukan pengolahan data sekunder dan data primer
dengan bantuan perangkat lunak basis data dan statistik kemudian hasilnya dianalisa.
Hasil Yang Diharapkan
Hasil yang diharapkan dari penulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Diperolehnya data tentang sebaran sumber buangan limbah.
Bandung, 12 September 2015

79

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

2. Diperolehnya gambaran tentang rencana penghematan pemakaian air bersih.


3. Diperoleh satu desain perencanaan pengelolaan limbah.
4. Mendapatkan gambaran keuntungan yang akan diperoleh jika melakukan pengolahan air limbah
dengan memanfaatkan teknologi membran

KAJIAN PUSTAKA
Rumah sakit yang meliputi kegiatan rawat jalan, rawat inap, dan pemeriksaan penunjang seperti
laboratorium, radiologi, pathologi, kedokteran nuklir serta kamar operasi/bersalin dan lain-lain, tentunya
menghasilkan limbah yang bila dibiarkan akan mengganggu kesehatan dan lingkungan sekitarnya. Ada
pelbagai macam pembagian jenis limbah yang dihasilkan oleh rumah sakit antara lainnya :
1.

Limbah Non-medis :

Limbah ini mempunyai karakteristik seperti limbah yang dihasilkan oleh lingkungan rumah tinggal dan
lingkungan hidup masyarakat pada umumnya. Limbah non-medis ini bisanya berasal dari kegiatan
pelayanan administrasi umum/medis, poliklinik (out patient department), dapur, loundry dan gudang dari
suatu rumah sakit.
2. Limbah Medis :
Limbah ini mempunyai karakteristik seperti yang dihasilkan industri farmasi, dll atau seperti limbah medis
di rumah sakit pada umumnya, limbah ini bisa berasal dari antara lain; kamar operasi/bersalin, pathologi,
laboratorium, rotgen (x-ray) dan lain-lain. Limbah yang dihasilkan dari kegiatan-kegiatan ini berpotensi
untuk menghasilkan bahan/zat-zat yang mengandung B3 (bahan berbahaya dan beracun).
Limbah yang dihasikan oleh rumah sakit dapat dipisahkan, menurut sumber dari setiap fungsi kegiatan
yang dilakukan dalam rumah sakit.
a. Limbah dari pelayan Unit Rawat Jalan, Administrasi .
Kegiatan pemeriksaan, poliklinik, laboratorium, X-Ray, administrasi menghasilkan jenis
limbah.
Limbah padat/kering: Seperti spuit/jarum suntik, perban, kapas, plester
Limbah cair

: Seperti faeces, urine, dan cairan lainnya. Sumber limbah dari klosed,
wastafel, orinoar

b. Limbah dari pelayanan Unit Rawat Inap .


Kegiatan pemeriksaan, dan perawatan pasien di kamar / bangsal menghasilkan limbah,
Limbah padat

: Seperti spuit/jarum suntik, perban, kapas, plester, Sisa makanan, anatomi


tubuh, darah dll

Limbah cair

: Seperti facces, urine, darah, dahak, dan cairan Sumber limbah dari
klosed,wastafet,spoel hok dll

c. Limbah dari pelayanan Dapur/Kitchen .


Kegiatan penerimaan barang, pengolahan dan memasak bahan makanan serta minuman, limbah
yang dihasilkan:
Limbah padat

: Seperti sisa bahan makanan, bungkusan plastik/kertas

Limbah cair

: Seperti bekas cucian beras, sayuran, daging dan Ikan serta minyak, lemak /
grease. Sumber limbah dari bak kontrol atau penangkap lemak.

80

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

d. Limbah dari aktifitas/kegiatan Laundry.


Kegiatan pembersihan/mencuci pakaiaan, menjahit, menyeterika dan
menghasilakan limbah,
Limbah padat

desinfectan

dan

: Seperti kain-kain bekas, benang , deterjen/sabu, baju pasien, masker, baju


dokter operasi

Limbah cair

: Merupakan hasil cucian dari pakaian yang mengandung deterjen/


sabun dan zat desinfectan. Sumber limbah dari tempat cuci/ bak
penampunga air

e. Limbah kegiatan dari Laratorium, Radiologi/X-Ray dan Farmasi :


Kegiatan pemeriksaan dan penelitian (infections) serta foto rongen dari penyakit pasien RS
maupun dari luar, limbah yang dihasilkan,
Limbah padat

: Seperti spuit, botol-botol percobaan, tabung gelas, botol obat obatan bekas

Limbah Cair

: Cairan yang mengadung zat kimia, dan organ tubuh. Sumber limbah dari
wastafel / Spoel Hok dan bak cuci foto Rongen dan bak penampungan
khusus.

f.

Limbah dari kegiatan Operasi/Bersalin :


Kegiatan pemeriksaan, diaknosa/pembiasan, operasi dan melahirkan, limbah yang dihasilkan :
Limbah padat

: Seperti spuit / jarum suntik, kapas, perban, plester, Sisa makanan, organ
tubuh

Limbah cair

: Darah, abses, ketuban, urine, air cucian Sumber limbah dari Spoel hok,
wastafel dan bak

Semua hasil limbah yang ada dalam gedung rumah sakit seperti yang disebutkan diatas perlu ditangani
dengan seksama, karena limbah yang dihasilkan termasuk limbah yang kompleks dan rumit serta
berpotensi untuk mencemari lingkungan maupun air tanah disekitarnya, karena mengandung bahan
senyawa polutan. Penanganan limbah cair, antara lain :
a. Limbah padat kering (Rubbish) :
Yang mengandung bahan B.3 limbah ini berasal dari Laboratorium, Operasi, Bersalin, Rongen/XRay berupa spuit/ jarum suntik, kemasan obat, perban, kapas, plester dll ini dimasukkan kedalam
incenerator, yang merupakan alat pemanasan / pembakaran dengan bahan bakar solar yang
temperaturnya 1.000 C dan diberi corong asap tinggi agar cukup aman untuk lingkungan
sekitarnya.
b. Limbah padat basah (Garbage) :
Limbah yang banyak mengandung air dan berasal dari gedung dapur (kitchen) dan Laundry
(cuci), rawat inap. Hasil limbah ini dimasukkan atau dibuang kedalam tempat pembuangan yang
disediakan oleh rumah sakit dan kemudian dapat diangkut ke Tempat Pembuangan Sampah
(TPS) atau langsung ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA). (Proses dan cara kerja diatas ad 1
dan ad 2 tidak dibahas lebih lanjut)
c.

Limbah cair :
Merupakan air limbah yang dihasilkan dari semua kegiatan dalam rumah sakit dan
memungkinkan mengandung migro-organisme, bahan kimia beracun dan bahan organik. Hasil
limbah cair ini sebelum dialirkan ke Unit Pengolahan Limbah cair (UPL) harus terlebih dahulu
melalui Pretreatment (pengolahan pendahuluan).

Bandung, 12 September 2015

81

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Agar limbah cair yang akan diolah tidak mengandung bahan-bahan yang mengganggu proses
pertumbuhan bakteri pendegradasian limbah cair dalam UPL nanti, seperti lemak (grease) dari
dapur, bahan kimia dari laboratorium, zat Pb dari Rongen/X-Ray deterjen dari laundry dll.
Sehingga beban pencemar (polutan) sudah dapat dikurangi dengan pretreatment, limbah cair
yang sudah melewati pretreatment bergabung dalam sistem sewerage menuju ke UPL untuk
dikelolah lebih lanjut.
1. Jenis/definisi
Air Kotor: Air limpasan septic tank yang berasal dari buangan WC/ kamar mandi
Air Bekas: Air buangan dari washtafel, tempat wudlu atau tempat tempat lain selain kamar
mandi
Air Limbah: Pada Rumah Sakit air limbah dapat berupa limbah cair infeksius (limbah klinis)
dan limbah padat infeksius.
Limbah cair rumah sakit adalah seluruh limbah cair (air buangan sisa aktivitas dan tinja) yang
berasal dari kegiatan rumah sakit dan seluruh fasilitas penunjangnya. Pada dasarnya air kotor
dan air bekas dapat disalurkan langsung ke Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Dengan
meningkatnya kegiatan akan meningkat pula kapasitas air limbah / air kotor yang dihasilkan.
2. Asal limbah:
Toilet/spoel hook dan wastafel, Closet, Urinoir, Cuci film, Tempat cuci di Laundry, Tempat
pemandian di Kamar jenasah, RadiologiLaboratorium, CSSD (Sterilisasi), Ruang Bedah /
operasi.
Limbah padat berasal dari : laboratorium, ruang bedah, ruang operasi, limbah padat infeksius
rumah sakit seperti : kain kasa, botol infus, anatomi tubuh, darah, baju operasi, baju pasien,
masker, jarum suntik bekas (khusus jarum suntk harus dihancurkan terlebih dahulu sebelum
masuk incinerator).
3. Kapasitas Instalasi Air Limbah,
Dihitung dari jumlah tempat tidur dan potensi limbah dari asal limbah rumah sakit.
Kapasitas limbah padat : dihitung dari banyaknya limbah yang dihasilkan rata-rata di tempat
penyimpanan sementara limbah per hari nya.
4. Identifikasi data kualitas air limbah sebelum diolah
5. Kualitas mutu limbah cair ;
Output enfluent sesuai Kep Men KLH No : kep 58 / MENLH/12/1995 untuk baku mutu limbah
cair bagi kegiatan Rumah Sakit, yaitu:
Suhu : < 30 C
BOD5

: < 30 mg/l

COD : < 80 mg/l


TSS : < 80 mg/l
NH3 bebas

: 0,1 mg/l

PO4 : 2 mg/l
Mikrobiologik : 10.00/100ml
PH : 6 9
6. Karakteristik Air Limbah :
Untuk mengetahui komposisi dari air limbah, maka perlu diketahui analisis sifat-sifat air
limbah .

82

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

1. Sifat Fisik Air Limbah :


Merupakan penentuan derajat kekotaran air limbah sangat dipengaruhi oleh adanya sifat fisik
yang mudah terlihat, jadi sifat fisik air limbah adalah zat padat yang dikandung oleh air limbah
yang mempunyai efek estetika, kejernian, bau dan warna serta temperaturnya.
2. Sifat Kimia Air Limbah dan Limbah Padat :
Sifat kimia air limbah adalah kandungan bahan kimia dalam air limbah dan sering merugikan
lingkungan dan Bahan kimia yang sering terdapat antara lain :
a. Bahan organik: mengandung Protein, Karbohidrat dan lemak serta Deterjen/Sulfactant
dan Fonol.
b. Bahan anorganik: mengandung Klorida, Sulfur, Zat beracun/ logam berat, Metan,
Netrogen, Fosfor dan Gas.
c. Limbah Padat: mengandung Mercury, Timbal, Sulfur, Amonia
3. Sifat Biologis Air Limbah dan Limbah Padat :
Sifat biologis air limbah adalah kandungan bahteri patogen yang ada dalam air limbah dan
digunakan untuk keperluan pengukuran kwalitas air serta penaksiran tingkat kekotoran air
limbah.
Sifat biologis limbah padat adalah kandungan bakteri atau kuman yang terdapat dlaam limbah
anatomi tubuh atau dari limbah padat organik lainnya
7. Teknologi Membran
Membran ialah sebuah penghalang selektif antara dua fasa. Membran memiliki ketebalan
yang berbeda - beda, ada yang tebal dan ada juga yang tipis serta ada yang homogen dan
ada juga ada heterogen. Ditinjau dari bahannya membran terdiri dari bahan alami dan bahan
sintetis. Bahan alami adalah bahan yang berasal dari alam misalnya pulp dan kapas,
sedangkan bahan sintetis dibuat dari bahan kimia, misalnya polimer.
Membran berfungsi memisahkan material berdasarkan ukuran dan bentuk molekul,
menahan komponen dari umpan yang mempunyai ukuran lebih besar dari pori-pori
membran dan melewatkan komponen yang mempunyai ukuran yang lebih kecil. Larutan
yang mengandung komponen yang tertahan disebut konsentrat dan larutan yang mengalir
disebut permeat. Filtrasi dengan menggunakan membran selain berfungsi sebagai sarana
pemisahan juga berfungsi sebagai sarana pemekatan dan pemurnian dari suatu larutan
yang dilewatkan pada membran tersebut.
Struktur Membran Berdasarkan jenis pemisahan dan strukturnya, membran dapat dibagi
menjadi 3 kategori yaitu:
1. Porous membrane. Pemisahan berdasarkan atas ukuran partikel dari zat-zat yang akan
dipisahkan. Hanya partikel dengan ukuran tertentu yang dapat melewati membran
sedangkan sisanya akan tertahan. Berdasarkan klasifikasi dari IUPAC, pori dapat
dikelompokkan menjadi macropores (>50nm), mesopores (2-50nm), dan micropores
(<2nm). Porous membrane digunakan pada microfiltration dan ultrafiltration.
2. Non-porous membrane. Dapat digunakan untuk memisahkan molekul dengan ukuran
yang sama, baik gas maupun cairan. Pada non-porous membrane, tidak terdapat pori
seperti halnya porous membrane. Perpindahan molekul terjadi melalui mekanisme difusi.
Jadi, molekul terlarut di dalam membran, baru kemudian berdifusi melewati membran
tersebut.
3. Carrier membrane. Pada carriers membrane, perpindahan terjadi dengan bantuan carrier
molecule yang mentransportasikan komponen yang diinginkan untuk melewati membran.

Bandung, 12 September 2015

83

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Carrier molecule memiliki afinitas yang spesifik terhadap salah satu komponen sehingga
pemisahan dengan selektifitas yang tinggi dapat dicapai.
Beberapa keunggulan teknologi membran:
1. Pemisahan dapat dilakukan secara continue
2. Konsumsi energi umumnya relatif rendah
3. Proses membran dapat dengan mudah digabungkan dengan proses pemisahan lainnya
(hybrid processing)
4. Pemisahan dapat dilakukan dengan kondisi operasi yang dapat diatur
5. Mudah dalam scale up
6. Tidak memerlukan bahan tambahan
7. Pemakaiannya mudah diadaptasikan karena material penyusun membran yang bervariasi
Kekurangan teknologi ini antara lain adalah fluks dan selektivitas, karena pada proses
pemisahan menggunakan membran umumnya fenomena yang terjadi adalah fluks
berbanding terbalik dengan selektivitas. Semakin tinggi fluks sering kali berakibat
menurunnya selektivitas, dan sebaliknya. Sedangkan yang diinginkan dalam proses
pemisahan berbasis membran adalah mempertinggi fluks dan selektivitas.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja membran antara lain:
1. Ukuran molekul
2. Bentuk molekul
3. Bahan membrane
4. Karakteristik larutan
5. Parameter operasional (tekanan, suhu, konsentrasi, pH, ion strength, polarisasi)
Teknologi membran dalam pengolahan air dan limbah merupakan proses pemisahan secara
fisika yang memisahkan komponen yang lebih besar dari yang lebih kecil. Berbagai jenis
proses membran dikategorikan berdasarkan driving force, jenis dan konfigurasi membran dan
kemampuan penyisihannya. Proses membran dipergunakan dalam sistem pengolahan air
minum dan air buangan seperti dalam proses desalinasi, pelunakan, penyisihan bahan
organik, penyisihan warna, partikel dan lain-lain. Proses membran telah ada sejak 25 tahun
yang lalu dan saat ini proses tersebut telah mengalami perkembangan yang pesat.
Proses membran dapat diklasifikasikan berdasarkan driving force untuk menyokong proses
pengolahan air. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penggunaan teknologi
membrane adalah:
1. Tekanan
2. Daya listrik
3. Suhu
4. Gradien konsentrasi
5. Kombinasi lebih dari satu driving force
Proses membran dengan menggunakan tekanan dan tenaga listrik hanya tersedia secara
komersial dan telah umum dipergunakan untuk proses pengolahan air minum dan
buangan. Proses membran yang paling umum adalah proses yang dijalankan dengan
tekanan, dimana tekanan di dalam dan di luar membran berbeda.

84

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Berdasarkan ukuran pori membrane, membran dapat dibagi menjadi empat tipe:
1. FESF (RO)
2. Nanofiltration (NF)
3. Ultrafiltration (UF)
4. Microfiltration (MF)
Reverse osmosis merupakan proses filtrasi yang paling baik, yang dapat menyisihkan
partikel-partikel berukuran 1Ao sampai 10Ao, demikian pula dengan ultrafiltrasi yang mampu
menyisihkan partikel berukuran 10Ao sampai 1000Ao. Virus influenza dapat disisihkan oleh
alat ini. Mikrofiltrasi dapat juga menyisihkan bakteri, pseudomonas dan bakteri-bakteri
lainnya. Dalam proses filtrasi membran ini, terhadap air yang akan diolah harus dilakukan
pengolahan pendahuluan supaya partikel-partikel yang berukuran besar tidak ikut masuk,
sehingga tidak mengganggu kinerja alat yang nantinya akan merusak membran.

HASIL DAN PEMBAHASAN


KEBUTUHAN AIR
Berdasarkan hasil survai lapangan dan dilanjutkan diskusi dengan pihak rumah sakit, diperoleh
keterangan tentang pemakaian air di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Lebong Kabupaten Lebong
Provinsi Bengkulu. Air ini digunakan untuk memenuhi kebutuhan sebanyak 200 kamar tempat tidur dan
jumlah tenaga kerja sebanyak 20 orang dengan asumsi penggunaan air sebanyak 500 liter per hari. Untuk
memenuhi kebutuhan air tersebut, maka digunakan satu sumber air, yaitu dari air tanah dalam. Dari hasil
diskusi, diketahui pemakaian air rata-rata per hari adalah sekitar 110 m3/hari.
JUMLAH AIR LIMBAH
Pada umumnya, untuk menentukan jumlah limbah yang dihasilkan didasarkan dari pemakaian air yang
berpotensi menjadi limbah. Untuk keperluan domestik pada umumnya jumlah limbahnya sebesar 80
90% dari pemakaian air yang berpotensi menjadi limbah. Berdasarkan asumsi tersebut, maka jumlah
limbah yang dihasilkan oleh Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Lebong Kabupaten Lebong Provinsi
Bengkulu sebesar 90 % x 110 m3/hari yaitu 99 m3/hari.
Perkiraan jumlah limbah ini akan digunakan sebagai dasar disain IPAL yang direncanakan.
Sumber limbah yang ada dari kamar mandi (grey water), laundry, dapur, dan dari overflow septik tank
(black water), air bekas wudludan lain-lain menyebar di seluruh area rumah sakit. Saat ini semua limbah
tersebut diresapkan ke dalam tanah, dan kalau dibiarkan dalam jangka waktu lama suatu ketika
akan mencemari air tanah yang saat ini digunakan untuk memenuhi kebutuhan rumah sakit. Jika
hal ini terjadi, maka air tanah tersebut tidak dapat lagi digunakan untuk memenuhi kebutuhan air rumah
sakit yang memerlukan air dengan kualitas tinggi. Untuk menghindari hal ini, maka diperlukan sistem
penghematan pemakaian air dan system pengolahan air limbah yang dapat menghilangkan polutan yang
ada sehingga lingkungan tetap terjaga dengan baik. IPAL yang dilengkapi dengan re-use ini ternyata
dapat menjawab dan menyelesaikan kedua persoalan tersebut sekaligus, dimana sistem IPAL akan
mendegradasi polutan yang ada sehingga akan menjaga lingkungan dari bahaya pencemaran dan sistem
re-use akan mensuplay air untuk kebutuhan lain sehingga akan terjadi penghematan pemakaian air.
SISTEM PENGUMPULAN AIR LIMBAH
Karena di rumah sakit hanya tersedia satu calon lokasi IPAL yang sesuai, maka pengolahan limbah rumah
sakit ini akan menggunakan sistem terpusat. Untuk itu diperlukan satu sistem yang dapat menyalurkan
semua limbah yang ada menuju lokasi IPAL. Karena area rumah sakit yang sangat luas ( 2 Ha) dan
datar serta sumber limbah saat ini berada di tengah-tengah taman yang sudah tertata rapi, maka
diperlukan suatu sistem yang tidak sederhana. Agar sistem dapat berjalan dengan baik, sesuai dengan
rencana yang diinginkan serta tidak mengganggu secara estitika dan keindahan, maka diperlukan
Bandung, 12 September 2015

85

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

perencanaan jaringan yang tepat sesuai dengan tempat tersebut. Ada dua alternatif sistem pengumpulan
limbah yang dapat dikerjakan serta jenis dan sumber limbah yang akan diolah di IPAL ini
nanti. Gambar 1 menunjukkan system pengumpulan limbah dari sumbernya.

Gambar 1. Denah Eksisting, Rencana Lokasi IPAL dan Permipaan

TEKNOLOGI IPAL YANG DIGUNAKAN


Dalam menentukan teknologi proses pengolahan air limbah Rumah Sakit, didasarkan atas beberapa
kriteria antara lain:
a. Efisiensi pengolahan dapat mencapai standar Baku Mutu Lingkungan,
b. Pengelolaannya harus mudah,
c. Lahan yang diperlukan tidak terlalu besar,
d. Konsumsi energi sedapat mungkin rendah,
e. Biaya operasinya rendah,
f. Lumpur yang dihasilkan sedapat mungkin kecil,
g. Dapat digunakan untuk air limbah dengan beban BOD yang cukup besar,
h. Dapat menghilangkan padatan tersuspensi (SS) dengan baik,
i. Perawatannya mudah dan sederhana.
Berdasarkan kriteria tersebut di atas untuk pengolahan air limbah Rumah Sakit yang tepat digunakan
adalah kombinasi proses biofilter anaerob-aerob. Skema proses biofilter anaerob-aerob seperti
diperlihatkan di bawah ini.

Gambar 2. Layout IPAL

86

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

URAIAN SISTEM IPAL DAN PEMANFAATAN TEKNOLOGI MEMBRAN


1. PROSES PENGOLAHAN LIMBAH DI IPAL
Unit Pengolahan Air Limbah (IPAL) merupakam salah satu bagian dari kegiatan Rumah Sakit dalam
upaya mewujudkan lingkungan Rumah Sakit yang bersih dan sehat, Oleh karena itu dibutuhkan
suatu penanganan serius dan khusus dalam mengelolah hasil limbah yang dihasilkan oleh kegiatan
Rumah Sakit. Limbah cair Rumah Sakit yang sudah melewati proses pengolahan pendahuluan
(Pretreatment) bergabung dalam sistem sewerage menuju Unit Pengolahan Air Limbah (IPAL)
terdapat beberapa tahap pengolahan, yaitu:
a. Grit Chamber:
Dari manhole terakhir dari sistem sewerage air limbah mengalir ke Grit Chamber, yang berfungsi:
Mengendapkan padatan padatan dari limbah cair (influen )
Perbedaan berat jenis menyebabkan limbah cair dan sampah yang terbawah saja yang
mengalir ke screen kasar.
Secara periodik dilakukan pengurasan dan dibuang ke pembuangan sampah.
b. Screen Kasar dan Halus :
Limbah cair dari Grit Chamber akan mengalir ke Screen Kasar, dan limbah dari Screen Kasar
ke Screen Halus.
Menyaring sampah yang terbawah (daun, sayuran, plastik dsb). Screen Kasar menyaring
sampah dengan ukuran > 15 mm dan Screen Halus menyaring sampah dengan ukuran > 8
mm.
Tiap hart harus diambil sampahnya dan dibuang ke pembuangan sampan
c. Comminutor ( Penggiling/penghancur) :
Air limbah yang lewat dari Screen Halus masih mengandung bahan-bahan organik kasar yang
berukuran > 1 6 mm. Menghancurkan bahan-bahan organik kasaryang berukuran > 1- 6 mm
secara mekanik. Dalam keadaan off, lubang comminutor mampu dilewati aliran limbah cair
(rotaring cutting teeth), motor penggerak ini dilengkapi. Dengan exhaust fan serta penutup dan
berada 200c m dari penghancur sehingga terhindar dari rendaman air saat darurat banjir dan
terkena hujan.
d. NetraLisasi:
Air limbah yang mengandung padatan berukuran < 1- 6 mm akan mengalir ke dalam bak
Netralisasi. Disini pH dinetralkan hingga mencapai pH = 7,0 karena pH dari air limbah influen
bervariasi antara < 7,0 (asam)Atau > 7,0 (basa). Dalam proses netralisasi ini menggunakan
beberapa peralatan antara lain
1) pH Controller dan Sensor: alat ini menera pH yang ada pada limbah cair dan
sekaligusmengontrol kerja dari Dozing Pump (2) Apabila pH
2) Terbaca < 7,0 maka Dozing PumpAlkali ( Na OH ) Caustic soda. Akan bekerja sampai stop
pada pH = 7,0 juga bila Ph terbaca > 7,0 maka Dozing Pump asam ( H2SO4 ) asam alkali
akan berkerja sampai stop pada pH = 7,0
3) Dozing Pump: adalah pompa kimia yang akan mendosis larutan asam sulfat (acid) atau
larutan caustic soda (alkali) secara tepat dan bekerja berdasarkan input dari pH Controller (1).
4) Mixer dan Tangki Kimia: mixer adalah pengaduk bahan kimia (asamsulfat atau caustic
soda) di dalam tangki kimia. Blade dan Shaftnya dari stainless steel.Tangki kimia terbuat dari
bahan polyethylene (PE) yang tahan terhadap larutan asamsulfat dan caustic soda.
e. Ekualisasi:
Limbah yang telah netral pH nya dialirkan dalam bak ekualisasi unuk menampung limbah pada
saat-saat peak hour dan memberikan kualitas limbah cair yang homogen Terdapat 4 ruangan bak
ekualisasi yang harus dibersihkan tiap minggu dan endapan kotoran yang terbentuk secara
manual dan selanjutnya dibuang ke pembuanan sampah atau dibakar dalam incinerator.

Bandung, 12 September 2015

87

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Submersible Pump (Pompa Proses) air Umbah yang sudah homogen dan pH netral ditransfer
kedalam Splitter Tank (D4) secara kontinyu dengan pompa celup yang dilengkapi dengan
WLC (water level controller) dan chek valve.
Splitter Tank (Tangki pembagi) dari Splitter Tank limbah cair akan dibagikan ketempat
Reaktor Anaerobik secara merata untuk selanjut nya diproses secara biologis tanpa
menggunakan oksigen (anaerobik).
f. Membran Bio Reaktor
Sistem Membran Bio Reaktor dimana limbah cair dialirkan dan difiltrasi dengan menggunakan
membran, dimana dibagi melalui tahapan:
Dalam reaktor ini limbah cair dari bak ekualisasi akan mengalami proses biologis secara
aerobik beban polutan mengalami degradasi selama 4-6jam. Dalam proses ini akan terjadi
penurunan beban polutan :
BOD 5: (70-80) %
COD: (65 - 75) %
TSS: (65-75) %
Aliran limbah cair dari bawah ke atas melalui pipa didalam reaktor. Kecepatan aliran limbah
cair diatur oleh valve butterfly yang ada pada tanki pembagi.
Bakteri aerobik tumbuh dan berkembang dalam media bakteri yang ada didalam tanki reaktor.
Gas metana dan volatile yang terjadi dalam tanki raeaktor akan dibuang ke udara lewat pipa
gas.
Lumpur bakteri yang terjadi dikeluarkan setiap 30 - 35 hari sekali (lumpur sudah berwarna
hitam) denganmembuka kran /velve 6" yang berada didasar tanki reaktor dan dialirkan ke
penirisan lumpur. Lumpur/sludge yangterjadi sedikit karena sebagian besar COC ( 55-65 )%
aerasi menjadi gas. Dalam sistem ini dilengkapi dengan diffuser yang dapat mendistribusikan
oksigen dalam butiran-butiran halus kelimbah cair. Oksigen (02) yang didistribusikan
disIPALai oleh ROOTS BLOWER. DalamprosesAerobik initerdapat beberapa alat antara lain :
Roots Blower : adalah Blower dengan type Roots yang mensIPALay Oksigen, udara yang
disIPALay sudah melalui proses filtrasi dan kompresi Disediakan 2 unit Blower (1 running dan
1 standby) yang diproses paralel dan dilengkapi dengan check valve.
Diffuser: adalah alat pendistribusi Oksigen menjadi butiran - butiran halus dalam limbah cair
sehingga oksigen terlarut dalamair limbah. Untuk itu digunakan bakteri Aerob dalam proses
filtrasi fisiologis dalam mendekomposisi limbah cair. Lumpur bakteri yang terjadi dalam tanki
Aerobik dikeluarkan tiap bulan (lumpur sudah berwarna hitam) dengan membuka kran/valve
6 yang berada dibawah dasar tanki Aerobik dan dialirkan kepenirisan lumpur.
Vacuum Flat Membrane : Dengan kemampuan filtrasi sampai 1.1 0.01 micron, sehingga
mampu menyaring zat terlarut dalam air.
g. Klorinasi:
Sebelum limbah cair yang sudah diolah (efluen) dibuang ke riol/sungai, maka harus melewari
proses desinfeksi dengan klorin. Larutan klorin yang digunakan dapat berupa NaOCl atau
CaOH2 (kaporit) dengan konsentrasi 10%. Larutan klorin didosiskan + 5 ppm. Dengan alat
dozing pump yang dikontrol oleh ORP controller agar residu klorin yang ada pada efluen stabil +
ppm alat ini setiap minggu dibersihkan agar pembacaan dan pengontrolan dosis tepat
h. Sludge Drying Bed (Penirisan Lumpur):
Sludge/lumpur yang dihasilkan dari tanki Reaktor (Anaerobik/ Aerobik) Lumpur inimengandung
kotoran dan sel bakteri yang telah mati, dibuang setiap 30-35 hari sekali dengan jalan membuka
valve lumpur. Kemudian lumpur ini ditiriskan diatas lapisan pasir dan kerikil yang ada pada bak
sludge drying bed, dapat dikumpulkan untuk digunakan sebagai pupuk tanaman/bunga.
88

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

i. Fish Pool ( Kolam Ikan ):


Sebagian besar air limah dariefluen sebelumdibuang dilewatkan pada bak klorinasi dan sebagian
kecil dialirkan ke kolam ikan untuk menguji kadar polutan yang masih tersisa pada efluen.
j. Manhole Terakhir
Manhole terakhir (diberi warna merah) dan merupakan influen dari IPAL ini sangat berguna untuk
mengontrol dan menjaga kondisi limbah cair yang diolah dalam IPAL, apakah terjadi carry over
dan grease/minyakterhadap bahan bahan organik dalam limbah cair.
k. Ruang Kontrol
Seluruh peralatan yang dipergunakan dalam IPAL dikendalikan dalam ruang kontrol dengan
sebuah panel. Dua buah Blower ditempatkan didalam ruang kontrol ini dan dilengkapi dengan
peredam suara, fres air ventilasi dan exhaust air ventilasi, serta semua instrumen IPAL seperti :
PH controller, ORP controller dan Flowmeter dipasang dalam satu box panel untu memudahkan
pengontrolan.
l. Pompa Drainase
Dalam keadaan hujan, pompa drainase yang berada pada platform reaktor akan memompa air
hujan keluar selokan secara otomatis, karena dilengkapi dengan WLC (water level control).
m. Outlet hasil pengolahan IPAL harus memenuhi baku mutu :
Output enfluent/mutu limbah cair sesuai Keputusan Menteri KLH No : kep 58 / MENLH/12/1995
untuk baku mutu limbah cair bagi kegiatan Rumah Sakit, yaitu:
Suhu
: < 30 C
BOD5
: < 30 mg/l
COD
: < 80 mg/l
TSS
: < 80 mg/l
NH3 bebas
: 0,1 mg/l
PO4
: 2 mg/l
Mikrobiologik
: 10.00/100ml
Dalam test commissioning di RSUD Lebong Bengkulu, menghasilkan seluruhnya dibawah
ambang baku mutu yang telah ditetapkan Keputusan Menteri KLH No: kep 58 / MENLH/12/1995.
2.

PENGOLAHAN SECARA FILTRASI


Tujuan penyaringan adalah untuk memisahkan padatan tersuspensi dari dalam air yang diolah. Pada
penerapannya filtrasi digunakan untuk menghilangkan sisa padatan tersuspensi yang tidak
terendapkan pada proses sedimentasi. Pada pengolahan air buangan, filtrasi dilakukan setelah
pengolahan kimia-fisika atau pengolahan biologi. Ada dua jenis proses penyaringan yang umum
digunakan, yaitu penyaringan lambat dan penyaringan cepat. Penyaringan lambat adalah
penyaringan dengan memanfaatkan energi potensial air itu sendiri, artinya hanya melalui gaya
gravitasi. Penyaringan ini dilakukan secara terbuka dengan tekanan atmosferik. Sedangkan
penyaringan cepat adalah penyaringan dengan menggunakan tekanan yang melebihi tekanan
atmosfir, biasanya dengan menggunakan pompa, seperti yang akan diterapkan di system re-use
rumah sakit ini. Berdasarkan jenis media filter yang digunakan, penyaringan dapat digolongkan
menjadi dua jenis, yaitu filter media granular (butiran) dan filter permukaan. Pada jenis media
granular, media yang paling baik mempunyai karakteristik sebagai berikut: Ukuran butiran
membentuk pori-pori yang cukup besar agar partikel besar dapat tertahan dalam media, sementara
butiran tersebut juga dapat membentuk pori yang cukup halus, sehingga dapat menahan suspensi.
Butiran media bertingkat, sehingga lebih efektif pada saat proses pencucian balik (backwash).
Saringan mempunyai kedalaman yang dapat memberikan kesempatan aliran mengalir cukup
panjang.
Sejauh ini media yang paling baik adalah pasir yang ukuran butirannya hampir seragam dengan
ukuran antara 0,6 hingga 0,8 mm. Laju operasi untuk penyaringan ditentukan oleh kualitas air baku
dan media filter. Pada umumnya laju penyaringan pada saringan pasir cepat adalah 82,4 liter per

Bandung, 12 September 2015

89

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

menit/m2. Sistem yang ada pada saat ini dapat menaikkan aliran hingga 206 liter per menit/m2.
Unggun saringan yang terdiri dari dua jenis media, yaitu arang dan pasir menghasilkan lapisan
media arang yang butirannya besar (berat jenis 1,4-1,6) berada diatas media pasir yang lebih halus
(berat jenis 2,6). Susunan media dari atas ke bawah kasarhalus, akan memudahkan aliran air. Flok
yang besar akan tertahan butiran arang di bagian atas/permukaan unggun.
a. PENGOLAHAN SECARA ADSORPSI
Adsorpsi adalah penumpukan materi pada interface antara dua fase. Pada umumnya zat terlarut
terkumpul pada interface. Proses adsorpsi memanfaatkan fenomena ini untuk menghilangkan materi
dari cairan. Banyak sekali adsorbent yang digunakan di industri, namun karbon aktif merupakan bahan
yang sering digunakan karena harganya murah dan sifatnya nonpolar. Adsorbent polar akan menarik
air sehingga kerjanya kurang efektif. Pori-pori pada karbon dapat mencapai ukuran 10 angstrom. Total
luas permukaan umumnya antara 500 1500 m2/gr. Berat jenis kering lebih kurang 500 kg/m3.
b. BIAYA OPERASIONAL LISTRIK
Biaya operasional dari instalasi pengolahan limbah dan sistem penggunaan air kembali ini terdiri dari
biaya listrik untuk pompa dan blower, biaya perawatan peralatan dan mesin dan biaya tenaga
operator. Secara rinci jumlah biaya operasional IPAL tersebut adalah:
Tabel 1. Kebutuhan Daya Listrik perhari

No
1
2
3
4

Peralatan
Listrik (watt)
Jam Operasi
Jumlah KwH per Hari
Inlete Pompa
800
24
19.2
Pompa Sirkulasi
400
24
9.6
Sludge Return Pump
400
6
2.4
Unit pensupply udara
4400
24
105.6
(Blower Unit)
5
Chemichal dosing pump
42
6
0.25
Jumlah
137.05
Biaya peralatan sebesar Rp. 600.000 dengan tenaga operator sebesar Rp. 1.250.000 per orang
diperlukan sebanyak 2 orang. Sehingga kebutuhan anggaran operasional perhari yaitu:
Tabel 2. Kebutuhan Operasional Perhari

No

Jenis Biaya

Jumlah Unit

Satuan

Total Biaya Listrik

137.05

Rp. 500 per


KwH

Total Biaya Per


Hari
Rp. 68.525,-

2
3

Biaya Perawatan
Rp. 20.000,Biaya Tenaga Kerja
2 Orang
Rp. 1.250.000
Rp. 83.333,Jumlah
Rp. 171.858,Dari total biaya operasional IPAL ini dapat dihitung juga besarnya biaya operasional untuk pengolahan
limbah setiap meter kubiknya, yaitu sebagai berikut:
-

Jumlah air limbah per hari = 99 m3

Biaya pengolahan air limbah = Rp.171.858 / 99 m3, atau = Rp 1.735 / m3 limbah

Effisiensi yang diperoleh dari sistem reuse ini diperoleh dari besarnya nilai rupiah dari jumlah air yang
dapat dihemat karena digantikan oleh air olahan IPAL ini. Secara rinci jumlah effisiensi yang diperoleh
adalah sebagai berikut:
= (Jumlah air yang di re-use x Harga air) Biaya Operasional IPAL
= (99 m3/hari x Rp.22.000/m3) - Rp.171.858,- /hari
= Rp. 2.178.000 - Rp. 171.858,- / hari
= Rp. 2.006.142 / hari.

90

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

= Rp. 60.184.260,- / bulan.


= Rp. 722.211.120 /tahun.
c. CALON LOKASI IPAL
IPAL dengan teknologi membrane Rumah Sakit dengan kapasitas 99 m3/hari rencananya akan
ditempatkan di ujung lahan kosong. Saat ini lokasi tersebut merupakan areal yang terendah secara
gravitasi dan belum termanfaatkan dengan luas area yang dapat digunakan seluas 8 x 15 m. Secara
foto lokasi tersebut ditunjukkan pada gambar dibawah ini.

Gambar 3. Lokasi IPAL

Gambar 4. IPAL yang sudah terbangun

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis tersebut di atas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan, antara lain:
a. Rencana pengelolaan limbah dengan teknologi Membran dan dilanjutkan dengan penggunaan air
kembali akan dapat digunakan sebagai solusi permasalahan bahaya pencemaran lingkungan dan
menghindari terjadinya defisit air bersih.
b. Teknologi membrane dapat menghemat pemakaian air bersih, tanpa mengurangi jumlah pemakaian
air. Program ini dapat menghemat pemakaian air sampai dengan 50%.
c. Ada banyak keuntungan yang akan diperoleh oleh rumah sakit jika gerakan Green Hospital (upaya
pemanfaatan kembali air dengan teknologi membrane) ini dilakukan.
Bandung, 12 September 2015

91

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

DAFTAR PUSTAKA
Adriaens, P., Kohler, HP.E, Kohler-Staub, D., and Focht, D.D. (1989). Bacterial dehalogenation 0f
Chlorobenzoates and coculture biodegradation of 4,4-dichlorobiphenyl. Appl. Environ. Microbiol.
5:887-892.
BPPT, (2002). Laporan akhir kegiatan Pengkajian Teknologi Pengolahan Air Limbah Industri Kecil
Pelapisan Logam. Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Lingkungan (P3TL) BPPT.
Chaney, R.L. 1980. Health Risks Assosiated with Toxic Metals in Minicipal Sludge, pp. 59-73. In G. Bitton,
B.L Risk of land Application. Proc. Ann Arbor Science Publisher, Inc.Michigan.
Forstner, W. 1978. Metal Pollution in the Aquatic Environment. Applied Science Publisher Ltd.
Overcash, M.R. (1981). Decomposition of Toxic and Nontoxic Organic Compounds in Soils. Ann Arbor
Science Publishers Inc./The Butterworth Group, Michigan USA.
Raka, I G., Zen, M.T., Soemarwoto, O., Djajadiningrat, S.T., and Saidi, Z. (1999). Paradigma Produksi
Bersih: mendamaikan pembangunan ekonomi dan pelestarian lingkungan. Penerbit Nuansa,
Bandung, Indonesia
Setiyono (2002). Sistem Pengelolaan Limbah B-3 di Indonesia. Kelompok Teknologi Air Bersih dan
Limbah Cair, Pusat pengkajain dan Penerapan teknologi Lingkungan (P3TL), Deputi Bidang
Teknologi Informasi, Energi, Material dan Lingkungan, Badan Pengkajain dan Penerapan
Teknologi (BPPT).
Setiyono (2009). Disain Perencanaan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Dan Re-Use Air Di
Lingkungan Perhotelan. Pusat Teknologi Lingkungan, Badan Pengkajain dan Penerapan Teknologi
(BPPT). JAI Vol 5. No. 2 2009
Sommers, L.E. 1980. Toxic Metals in Agricultural Crops, pp. 105-131. In G. Bitton, B.L. Damron, G. T.
Edds and J.M. Davidson; ed. Sludge: Health isk of Land Application. Proc. Ann. Arbor Science
Publisher, Inc. Michingan.
Stoewsand, G. S. 1986. Trace Metal Problems with Industrial Waste Materials Applied to Vegetable
Producing Soils, pp. 423-439. In H.D. Graham, ed. The Safety of Foods, 2nd Edition. AVI
Publishing Company; Inc. Wesport, Connecticut.
Suffet, I.H. (1977). Fate of Pollutants in the Air and Water Environments. Volume 8, Part 1, Mechanism of
interaction between environments and mathematical modeling and the physical fate of pollutants.
Advances in Environmental Science and Technology. John Wiley & Sons, A Wiley-Interscience
Publications, New York, USA.
----------- (1977). Fate of Pollutants in the Air and Water Environments. Volume 8. Part 2, Chemical and
biological fate of pollutants in the environment. Advances in Environmnetal Science and
Technology. John Wiley & Sons, A Wiley-Interscience Publications, New York,

92

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

PENDAYAGUNAAN SUMBER DAYA AIR

STUDI EVALUASI OPTIMASI TURBIN PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA


MINIHIDRO DESA PUSAKA JAYA, KABUPATEN CIANJUR
Steven Sergij Salim1* dan Bambang Adi Riyanto1
1Program

Studi Teknik Sipil, Universitas Katolik Parahyangan


*stevensergijsalim@gmail.com

Abstrak
Minihidro adalah pembangkit listrik tenaga air skala kecil, yang memiliki syarat dasar adanya air mengalir
atau debit (Q) dan perbedaan tinggi energi potensial atau biasa juga disebut perbedaan head (H). Desa
Pusaka Jaya dan sekitarnya yang berada di selatan Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat, Indonesia,
mempunyai potensi energi yang dapat dimanfaatkan, berupa aliran air di Sungai Cibuni. Potensi air yang
mengalir di Sungai Cibuni akan dimanfaatkan untuk menjadi sumber daya utama bagi pembangkit listrik
tenaga air dengan cara membangun PLTM Desa Pusaka Jaya. PLTM Desa Pusaka Jaya didesain dengan
dua buah turbin dengan debit desain 3,5 m3/s setiap turbin dan diasumsikan turbin bekerja pada rentang
40% debit desain sampai dengan 110% debit desain. Studi bertujuan untuk melakukan evaluasi terhadap
desain Pembangkit Listrik Tenaga Minihidro Desa Pusaka Jaya, terutama terhadap debit desain dan
jumlah turbin PLTM, sehingga melalui studi ini akan didapatkan desain PLTM yang menghasilkan nilai
keuntungan maksimum. Penelitian ini berlokasi pada DAS PLTM Desa Pusaka Jaya dengan luas 161,75
km2, dikarenakan data pencatatan debit yang tersedia pada Sungai Cibuni ada pada posisi AWLR
Tanggeung dengan luas DAS 296,69 km2 dengan periode pencatatan pada tahun 2003 sampai tahun
2012, maka perlu dilakukan koreksi terhadap faktor tinggi hujan rata-rata dari setiap DAS yang didapatkan
dari analisis curah hujan wilayah dengan menggunakan data pencatatan curah hujan pada stasiun Cibuni,
Rancabali dan Citambur dengan periode pencatatan 1996-2008 dan koreksi terhadap luas DAS, sehingga
mendapatkan nilai debit operasional pada posisi intake PLTM. Pemilihan desain turbin
mempertimbangkan analisis finansial dengan menggunakan metode NPV dan analisis pemanfaatan
potensi air secara maksimum. Pada kondisi awal, yaitu simulasi dengan 2 buah turbin dengan kapasitas
debit 3,5 m3/s memiliki nilai keuntungan sebesar 108.953.917.001 Rupiah dengan persentase volume air
yang tidak termanfaatkan sebesar 13,13% . Hasil analisis terhadap berbagai kondisi simulasi
menunjukkan bahwa simulasi dengan 2 buah turbin dengan kapasitas debit 3,99 m3/s memiliki nilai
keuntungan paling besar, yaitu sebesar 120.354.814.375 Rupiah dan memanfaatkan potensi air paling
maksimal yang ditunjukkan dari persentase volume air yang tidak termanfaatkan dengan nilai paling kecil,
yaitu sebesar 10,49%. Berdasarkan analisis tersebut dapat direkomendasikan desain dengan 2 buah
turbin dengan kapasitas debit desain 3,99 m3/s setiap turbin sebagai desain rencana pada PLTM Desa
Pusaka Jaya.
Kata kunci: DAS Cibuni, Pembangkit Listrik Tenaga Minihidro, Pola Operasi Turbin

LATAR BELAKANG
Tingginya tingkat pembangunan di Indonesia, berbanding lurus dengan tingginya tingkat kebutuhan
terhadap energi listrik. Berdasarkan data statistik PLN pada tahun 2012, sebagian besar penyediaan daya
listrik di Indonesia mengandalkan sumber daya alam berupa fosil fuel yang tidak dapat diperbaharui,
sehingga dibutuhkan suatu solusi terhadap kebutuhan energi listrik di masa depan. Salah satu solusi
untuk mengatasi masalah tersebut, adalah dengan memanfaatkan potensi air yang tersedia pada suatu
aliran sungai dengan membangun suatu Pembangkit Listrik Tenaga Minihidro (PLTM). Keuntungan utama
dari pembuatan PLTM adalah dapat diaplikasikan pada desa-desa terpencil, dimana untuk

Bandung, 12 September 2015

93

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

pengembangan pembangkit listrik dengan berbahan bakar fosil biasanya tidak ekonomis, walaupun
penyediaan energi listrik harus tetap dilakukan untuk kepentingan investasi sosial.
Sehubungan dengan uraian di atas, Desa Pusaka Jaya dan sekitarnya yang berada di bagian selatan
Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat, Indonesia memiliki potensi air yang dapat dimanfaatkan berupa
aliran Sungai Cibuni. Potensi air yang mengalir di Sungai Cibuni direncanakan akan dimanfaatkan dengan
mengembangkan PLTM Desa Pusaka Jaya.
PLTM Desa Pusaka Jaya memiliki tipe pengembangan berupa run-off river dan memiliki desain rencana
dengan menggunakan 2 buah turbin, dengan kapasitas masing-masing sebesar 3,5 m3/s berjenis
horizontal francis, dengan tinggi jatuh bersih sebesar 152,4 m. Berdasarkan studi yang telah dilakukan
Barrero, dapat disimpulkan bahwa untuk turbin Francis memiliki rentang operasional antara 40% debit
desain sampai dengan 110% debit desain. Pada pengembangan PLTM Desa Pusaka Jaya, perlu
dilakukan optimasi terhadap besaran debit desain turbin dan jumlah turbin pada desain rencana, sehingga
dari hasil optimasi tersebut akan didapatkan keuntungan maksimum dari pengembangan PLTM Desa
Pusaka Jaya.
Optimasi terhadap turbin PLTM Desa Pusaka Jaya akan mengakibatkan perubahan beberapa kompenen
pada desain rencana PLTM Desa Pusaka Jaya, diantaranya diameter pipa pesat dan luas power house,
sehingga akan memberikan beberapa perubahan biaya pada PLTM. Beberapa komponen lain akan
dianggap tidak berubah jika dilakukan optimasi terhadap turbin, diantaranya konstruksi bangunan peninggi
muka air, saluran pembawa, kolam penenang dan saluran buang.

METODOLOGI STUDI
Dalam melakukan analisis optimasi turbin perlu diketahui besaran debit secara runut waktu pada posisi
bangunan pengambil PLTM Desa Pusaka Jaya. Pada studi ini, data debit yang tersedia berada pada
posisi sebelah hilir lokasi PLTM pada pos duga air otomatis Tanggeung dengan luas DAS 296,96 km2,
sedangkan luas DAS PLTM Desa Pusaka Jaya adalah sebesar 161,75 km2, sehingga perlu dilakukan
koreksi terhadap faktor luas DAS dan terhadap faktor tinggi curah hujan wilayah.
Berdasarkan nilai debit secara runut waktu pada posisi bangunan pengambil PLTM Desa Pusaka Jaya,
dapat dilakukan analisis kurva durasi, yang akan menentukan berbagai kondisi simulasi dengan berbagai
debit desain turbin yang berbeda dari masing-masing simulasi.
Hasil analisis pola operasi dari berbagai kondisi simulasi, akan menghasilkan tingkat efisiensi rata-rata
dan daya rata-rata yang berbeda, sehingga perlu dilakukan evaluasi pemanfaatan potensi air dan analisis
nilai ekonomi, dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan maksimum.

HASIL STUDI DAN PEMBAHASAN


Berdasarkan analisis curah hujan wilayah dan luas DAS dari pos duga air otomatis Tanggeung dan luas
DAS dari PLTM Desa Pusaka Jaya, didapatkan faktor koreksi untuk nilai debit akibat luas DAS sebesar
0,98 dan faktor koreksi akibat curah hujan wilayah adalah sebesar 0,54, sehingga faktor koreksi total
adalah sebesar 0,52.
Dari debit runut waktu terkoreksi tersebut kemudian dilakukan analisis kurva durasi dengan hasil sebagai
pada Gambar 2.

94

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Kurva Durasi DAS PLTM Desa Pusaka Jaya


40.00
35.00

Debit (m3/s)

30.00
25.00
20.00
15.00
10.00
5.00
0.00
0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

Persentase (%)
Gambar 1. Kurva Durasi DAS Cibuni Titik Outlet Bendung PLTM

Nilai berbagai tingkat keandalan debit pada DAS Cibuni dengan titik outlet bendung PLTM dipaparkan
pada Tabel 1.
Tabel 1. Berbagai Nilai Debit Berdasarkan Tingkat Keandalan

Tingkat Keandalan
(%)

Debit
(m3/s)

20
7,98
30
6,8
40
6,16
50
5,57
60
4,88
70
4,41
80
3,98
Pada setiap tingkat keandalan dilakukan simulasi dengan membedakan jumlah turbin, yang memiliki
tujuan untuk memaksimalkan tingkat pemanfaatan sumber air yang tersedia pada posisi intake PLTM,
pada tahap analisis awal disimpulkan bahwa debit tingkat keandalan 50% sampai dengan 80% tidak
memberikan hasil yang memuaskan, sehingga tidak dilakukan analisis lebih lanjut. Berbagai kombinasi
turbin dan debit desain dari setiap tingkat keandalan debit dipaparkan pada Tabel 2.
Pada studi ini tidak dipertimbangkan jenis turbin lain, sehingga dilakukan asumsi bahwa semua turbin
yang digunakan berjenis Horizontal Francis seperti pada desain awal. Dikarenakan tidak ada perubahan
posisi bangunan pengambilan dan power house, maka untuk semua di simulasi tidak ada perubahan
tinggi jatuh air, yaitu tetap sebesar 152,4 m.
Tabel 2. Kombinasi Debit Desain Turbin Berdasarkan Tingkat Keandalan Debit

Debit Andalan
(m3/s)
7,98
6,8
6,16

Bandung, 12 September 2015

Jumlah Turbin
2
3
1
2
3
2
3

Debit Desain Turbin


(m3/s)
3,99
2,66
6,8
3,4
2,26
3,08
2,05

95

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Untuk berbagai kombinasi debit desain di atas, dilakukan simulasi pembangkitan energi dengan debit
runut waktu selama 10 tahun dengan metode seperti dipaparkan pada Gambar 2. Pada studi ini metode
perencanaan pola operasi turbin didasarkan kepada ketersediaan debit harian pada daerah aliran sungai
bendung PLTM Desa Pusaka Jaya. Ketersediaan debit harian akan dibandingkan dengan debit
operasional turbin rencana yang telah direncanakan pada tahap analisis debit rencana turbin. Prinsip dari
perencanaan pola operasi turbin adalah dengan melakukan variasi terhadap batas operasional dari debit
desain turbin, jumlah turbin dan daya pembangkitan turbin masing-masing. Analisis pola operasi turbin
dengan menggunakan metode yang sudah dijabarkan sebelumnya dilakukan dengan bantuan program
Microsoft Office Excel.

Gambar 2. Diagram Alir Perhitungan Pola Operasi Turbin

Untuk mendapatkan kombinasi jumlah turbin, penggunaan potensi air secara optimal dan menghasilkan
energi listrik maksimal, dilakukan 8 simulasi dengan penggunaan jumlah turbin dan debit desain seperti
disajikan pada Tabel 3.

96

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Tabel 3. Kondisi Batas Dalam Berbagai Simulasi

Debit Desain
Debit Desain
Debit Desain
Batas Operasional
Turbin 1 (m3/s)
Turbin 2 (m3/s)
Turbin 3 (m3/s)
Turbin
1
3,5
3,5
0
0,4 < Qd < 1,1
2
3,99
3,99
0
0,4 < Qd < 1,1
3
2,66
2,66
2,66
0,4 < Qd < 1,1
4
6,8
0
0
0,4 < Qd < 1,1
5
3,4
3,4
0
0,4 < Qd < 1,1
6
2,26
2,26
2,26
0,4 < Qd < 1,1
7
3,08
3,08
0
0,4 < Qd < 1,1
8
2,05
2,05
2,05
0,4 < Qd < 1,1
Simulasi satu merupakan Simulasi yang dijadikan sebagai pembanding dalam analisis pola operasi turbin,
hal ini disebabkan pada Simulasi satu merupakan kondisi yang menjadi rencana awal dalam perencanaan
PLTM Desa Pusaka Jaya.
Simulasi

Nilai efisiensi rata-rata, daya rata-rata yang dihasilkan dan persentase waktu turbin menyala dipaparkan
dalam Tabel 4
Tabel 4. Rekapitulasi Hasil Simulasi

Efisiensi
Daya Rata-Rata
Turbin 1
Turbin 2 Aktif Turbin 3 Aktif
Simulasi
Rata-Rata
(kW)
Aktif (%)
(%)
(%)
(%)
1
82,11
6587,09
99,78
54,34
0
2
81,33
6787,93
98,82
43,22
0
3
82,32
6008,31
100
79,55
29,15
4
76,82
6610,31
93,35
0
0
5
82,27
6534,79
100
56,94
0
6
82,60
5537,69
100
89,19
45,11
7
82,35
6319,39
100
65,23
0
8
82,76
5209,70
100
92,44
53,13
Berdasarkan hasil seluruh simulasi, simulasi 2 dan simulasi 4 memiliki daya rata-rata yang lebih besar jika
dibandingkan dengan simulasi 1 atau simulasi pada kondisi desain rencana, selain itu berdasarkan hasil
dari setiap simulasi dapat dilihat bahwa simulasi 7 memiliki persentase waktu aktif turbin lebih besar
dibandingkan simulasi lain, sehingga layak untuk dianalisis lebih lanjut.
Terhadap setiap simulasi yang memiliki potensi untuk menghasilkan keuntungan, dilakukan evaluasi
pemanfaatan potensi air. Untuk mengetahui pemanfaatan potensi air secara maksimum, dapat dilakukan
dengan cara membandingkan persentase volume yang tidak termanfaatkan dari masing-masing simulasi
terhadap volume air total selama 10 tahun pada Sungai Cibuni. Nilai volume yang tidak termanfaatkan dari
masing masing simulasi dipaparkan pada Tabel 5
Tabel 5. Nilai Volume Air Yang Tidak Termanfaatkan Dari Masing-Masing Simulasi

Simulasi

Persentase Volume Tidak


Termanfaatkan
(%)
1
13,13
2
10,49
4
12,99
7
16,69
Terilhat dari Tabel 5 bahwa simulasi 2 berhasil memanfaatkan potensi air lebih besar jika dibandingkan
dengan simulasi yang lain. Berdasarkan evaluasi pemanfaatan potensi air, perlu dilakukan analisis
ekonomi dengan menggunakan metode NPV, sehingga akan diketahui nilai keuntungan maksimum dari

Bandung, 12 September 2015

97

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

simulasi yang telah dilakukan. Dalam analisis ekonomi ini perlu diketahui sumber pengeluaran dan
sumber pemasukan dan perbedaan dari masing-masing simulasi.
Dari setiap simulasi, perbedaan sumber pengeluaran diakibatkan oleh perubahan diameter pipa pesat,
luas power house dan kapasitas serta jumlah turbin, sedangkan perbedaan sumber pemasukan
diakibatkan oleh harga jual listrik yang dihasilkan. Untuk sumber biaya lain seperti bendung, saluran
pembawa dan saluran pembuang, diasumsikan tidak mengalami perubahan dari setiap simulasi. Jumlah
pemasukan dan pengeluaran dari masing-masing simulasi dipaparkan pada Tabel 6
Tabel 6. Pemasukan dan Pengeluaran Pada Berbagai Simulasi

Harga Jual Listrik /


Biaya Operasional / Tahun
Investasi Awal (Rupiah)
Tahun (Rupiah)
(Rupiah)
1
41.177.366.318
119.144.811.451
16.980.787.544
2
42.432.859.232
119.579.320.227
16.980.787.544
4
40.850.450.893
110.171.262.188
16.980.787.544
7
39.503.901.309
118.745.952.538
16.980.787.544
Dengan diambil nilai suku bunga sebesar 10%, maka nilai biaya operasional dan harga jual listrik diubah
menjadi nilai saat ini, yang dipaparkan pada Tabel 7, berdasarkan nilai tersebut dapat dihitung present
worth dari setiap simulasi yang dipaparkan pada Tabel 8.
Simulasi

Tabel 7. Present Value Harga Jual Listrik dan Biaya Operasional

Present Value Harga Jual Listrik


Present Value Biaya Operasional
(Rupiah)
(Rupiah)
1
388.174.914.550
16.980.787.544
2
400.010.320.701
16.980.787.544
4
385.093.115.523
16.980.787.544
7
372.399.327.253
16.980.787.544
Berdasarkan hasil analisis nilai present worth, dapat disimpulkan bahwa simulasi 2 dengan desain 2 buah
turbin dengan debit desain masing-masing sebesar 3,99 m3/s akan memberikan hasil keuntungan
maksimum, yaitu sebesar 120.354.814.375 Rupiah.
Simulasi

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI


Kesimpulan
PLTM Desa Pusaka Jaya memiliki desain rencana dengan menggunakan 2 turbin dan memiliki debit
desain 3,5 m3/s untuk setiap turbin, dengan simulasi pada kondisi desain rencana, didapatkan hasil
analisis NPV yaitu nilai keuntungan sebesar 108.953.917.001 Rupiah.
Berdasarkan evaluasi pemanfaatan potensi air, memberikan nilai persentase volume yang tidak
termanfaatkan sebesar 13,13%. Berdasarkan analisis secara finansial dengan menggunakan metode NPV
dan evaluasi pemanfaatan potensi air, Simulasi 2 dengan desain dua turbin dan memiliki debit desain
masing-masing turbin sebesar 3,99 m3/s akan memberikan nilai keuntungan maksimal yaitu sebesar
120.354.814.375 Rupiah dan memanfaatkan potensi air secara maksimum jika dibandingkan dengan
simulasi lain, yaitu dengan memberikan persentase volume yang tidak termanfaatkan paling kecil, yaitu
sebesar 10,49%.
Rekomendasi
Perlunya kajian lebih lanjut mengenai pengaruh besaran kecepatan spesifik turbin dalam menentukan
pola operasi turbin. Besaran kecepatan spesifik pada setiap jenis turbin akan mempengaruhi besarnya
rentang debit operasional pada setiap turbin dan untuk perkembangan studi selanjutnya, disarankan
mempertimbangkan variasi jenis turbin sehingga akan menghasilkan hasil optimasi turbin yang lebih
optimum.

98

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Dalam melakukan analisis finansial dalam studi selanjutnya, sebaiknya mempertimbangkan aspek yang
lebih mendetail seperti aspek penggunaan generator dan luas kolam penenang, sehingga memberikan
hasil analisis ekonomi yang lebih akurat.

REFERENSI
Barrero, J.M.B., et al (t.t). Comparison in the Application of the Exploitation by Optimal Head Model to
Hydroelectric Power Stations in Run-Of-The-River Systems Equipped With Different Types of
Turbines. University of La Rioja Department of Mechanical Engineering, Logrono, Spain.
Direktorat Jendral Listrik dan Pemanfaatan Energi, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (2009).
Pedoman Studi Kelayakan PLTMH. IMIDAP-P-020-2008, Jakarta, Indonesia
European Small Hydropower Association (2004). Guide on How to Develop a Small Hydropower Plant.
ESHA, Europe
Fritz, J.J. (1984). Small and Mini Hydropower Systems McGraw-Hill, New York, N.Y.
Inversin, A.R. (1986). Micro- Hydropower Source Book, A Practical Guide to Design and Implementation in
Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia. (2015). Peraturan Menteri Energi dan
Sumber Daya Mineral. Nomor: 03 Tahun 2015, Jakarta, Indonesia
Sekretariat Perusahaan PT PLN (Persero). (2012). Statistik PLN 2012. No. Publikasi: 02501.130722,
Jakarta, Indonesia
Wibisono, A., Juwono, P.T., dan Wicaksono, P.H. Studi Perencanaan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro
Hidro (PLTMH) di Sungai Soko Desa Olung Siron Kecamatan Tanah Siang Kabupaten Murung
Raya Provinsi Kalimantan Tengah. In Press
Salim, S.S. (2015). Studi Evaluasi Optimasi Turbin Pembangkit Listrik Tenaga Minihidro Desa Pusaka
Jaya, Kabutpaten Cianjur. Universitas Katolik Parahyangan Fakultas Teknik Program Studi Teknik
Sipil, Bandung
http://www.gilkes.com/Turbine-Selection, diakses tanggal 27 Mei 2015

Bandung, 12 September 2015

99

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

PENDAYAGUNAAN SUMBER DAYA AIR

TANTANGAN DAN PERBAIKAN SISTEM BENDUNG SUNGAI GESEK DALAM


PENYEDIAAN AIR BAKU DI PULAU BINTAN
Slamet Lestari1
1Puslitbang

Sumber Daya Air

*mamet_ind@yahoo.com

Abstrak
Telah dilakukan penelitian berkaitan dengan permasalahan dan alternatif perbaikan yang dapat dilakukan
dalam pengelolaan Bendung Sungai Gesek, sebagai salah satu upaya penyediaan air baku di Pulau
Bintang. Lokasi penelitian berada di sekitar Bendung Sungai Gesek, tepatnya di sekitar Desa Toa Paya,
Kecamatan Tanjung Pinang Timur, Kepulauan Riau. Evaluasi dilakukan berdasarkan data pengukuran
topografi sungai, data desain sistem bendung, dan data debit banjir. Analisis dilakukan dengan cara
evaluasi sistem yang ada di lokasi penelitian dan analisis fungsi layanan bendung yang harus dipenuhi
sesuai dengan rencana awal. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa dijumpai adanya kinerja
bendung yang terganggu akibat adanya limpasan air laut yang masuk ke daerah tampung air. Agar fungsi
bendung tetap terjaga sesuai rencana awal, diperlukan perbaikan sistem bendung berupa peninggian
mercu bendung dan penyesuaian sistem pintu pelimpah banjir yang ada, sebesar 0,75 m, dan harus
diikuti dengan penyesuaian operasional sistem bendung / pelimpah saat banjir maupun saat air laut
pasang.
Kata Kunci: Penyediaan Air Baku, Bendung, Sungai Gesek, Pulau Bintan

LATAR BELAKANG
Dalam mendukung upaya pemerintah dalam penyediaan air baku di Pulau Bintan secara umum, telah
dilakukan pembangunan bendung di Sungai Gesek. Pembuatan bendung di Sungai Gesek tersebut
dilakukan untuk menahan muka air sekaligus menampung air dari Sungai gesek dan dimanfaatkan
sebagai salah satu sumber air baku di Pulau Bintan.
Sistem bangunan air yang ada di sekitar bendung di Sungai Gesek ini meliputi 3 bagian, yaitu sistem
pelimpah bendung, sistem pelimpah gorong-gorong, dan sistem intake PDAM. Sistem pelimpah bendung
dan sistem pelimpah gorong-gorong disiapkan sebagai sarana pelimpasan kelebihan air pada saat musim
penghujan, sedangkan sistem intake PDAM digunakan sebagai sarana pengambilan air dari daerah
tampungan untuk diolah menjadi air baku.
Dengan mempertimbangkan potensi banjir yang terjadi dan kapasitas tampungan air baku, muka air di
daerah tampungan dipertahankan pada elevasi El. +12,50, sehingga elevasi atas pelimpah bendung
dibangunan sama dengan elevasi dasar pelimpah gorong-gorong, yaitu El. +12,50 (Laporan SID
Penyediaan Air Baku Sungai Gesek, 2011). Namun pada perkembangannya saat air laut pasang, mercu
bendung terlimpasi oleh air laut. Kondisi ini membuat kinerja bangunan bendung tersebut tidak optimal,
dan ketersediaan air baku menjadi terganggu akibat tercampur dengan air laut.
Maksud dan Tujuan
Maksud dari penelitian ini adalah mendapatkan gambaran hasil evaluasi efektivitas sistem yang telah
dibangun dan alternatif penanggulangan yang dapat dilakukan untuk mencegah masuknya / melimpasnya
air laut di Bendung Sungai Gesek.

100

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Tujuan yang akan dicapai adalah didapatkannya gambaran / acuan dalam pengelolaan sungai secara
umum, terutama dalam pengelolaan bendung yang berbatasan dengan laut di bagian hilirnya agar
didapatkan fungsi bangunan sesuai rencana desain.
Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian yang telah dilakukan adalah di sekitar Bendung Sungai Gesek, Desa Toa Paya,
Kecamatan Tanjung Pinang Timur, Kepulauan Riau.

METODOLOGI STUDI
Tahapan dan metode penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi :
1. Pengumpulan data lapangan, dilakukan dengan cara kunjungan langsung lapangan, wawancara
dengan pihak-pihak terkait, dan pengumpulan data sekunder (data topografi dan sistem
pembendungan, data debit banjir, dan data teknis eksisting Bendung - Pelimpah Sungai Gesek).
2. Analisis masalah dan evaluasi alternatif penanggulangan, dilakukan dengan pemodelan / perhitungan
matematis.

HASIL STUDI DAN PEMBAHASAN


Data Topografi dan Sistem Pembendungan Sungai
Data topografi Sungai Gesek yang digunakan dalam penelitian ini didapatkan dari hasil pengukuran yang
dilakukan oleh Balai Wilayah Sungai Sumatera IV pada tahun 2011. Data pengukuran yang telah
dilakukan meliputi areal panjang dan lebar total 2 km x 2 km. Dari areal pengukuran tersebut 1,2
km di daerah genangan pembendungan, dan 0,8 km merupakan topografi Sungai Gesek di hilir
bendung. Gambaran data topografi Sungai Gesek di sekitar Bendung Sungai Gesek hasil pengukuran
tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.
Berdasarkan dari data yang ada, sistem pembendungan dalam penyediaan air baku tersebut, terbagai
dalam 2 sistem, yaitu sistem pembendungan dengan bangunan Bendung Sungai Gesek, dan pengaturan
operasional muka air dengan pembuatan sistem pelimpah. Kedua sistem pembendungan tersebut
dilakukan untuk mempertahankan elevasi retensi air tampungan dan sekaligus meminimalkan dampak
back water / banjir pada musim penghujan.
Bangunan bendung dibangun di hilir jalan yang ada, sedangkan bangunan pelimpah dibangun melintang
jalan. Gambaran sistem bendung dan pelimpah yang telah dibangun ini dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 1. Kondisi Topografi Sungai Gesek

Bandung, 12 September 2015

101

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Gambar 2. Sistem Bendung dan Pelimpah Sungai Gesek

Data Debit Banjir Sungai Gesek


Data debit sungai yang digunakan dalam penelitian ini adalah data debit banjir dari periode ulang 2
tahunan sampai periode ulang 100 tahunan berdasarkan hasil studi Pekerjaan SID Penyediaan Air Baku
Sungai Gesek, Tahun 2011. Besaran debit banjir Sungai Gesek periode ulangan 2 tahunan sampai 100
tahunan dapat dilihat pada Tabel 1. Dari pengukuran yang telah dilakukan, pada musim kemarau dan saat
pasang muka air laut, terjadi limpasan air pasang laut sampai di atas mercu bendung dengan kedalaman
mencapai 0,6 m.
Tabel 1. Data Debit Banjir Sungai Gesek
Sumber: Laporan SID Penyediaan Air Baku Sungai Gesek, 2011

Q banjir kala ulang


100
50
25
10
5

Q
(m3/s)
66.038
62.020
56.455
50.267
44.702

H
(m)
7.960
7.244
6.292
5.286
4.433

Data Teknis Eksisting Bendung-Pelimpah Sungai Gesek


Berdasarkan data desain bendung eksisting didapatkan data teknis Bendung Sungai Gesek sebagai
berikut:
1. Elevasi mercu bendung, El. +12,50.
2. Lebar efektif bendung, b = 28 m.
3. Bendung dilengkapi dengan 2 buah pintu bilas, dengan lebar masing-masing 1,5 m.
4. Tipe ruang olak adalah tipe datar dengan panjang ruang olak 9 m.
Gambar tata letak dan potongan bendung dapat dilihat dari Gambar 3 sampai Gambar 5.

102

Bandung, 12 September 2015

150,71

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

4,30

8,50

R1,50

86
13,

00
R2,

2,50

0,50

1,29
IP
X = 450.743,88
Y = 107.919,87
Z = + 11.81

4,30

X = 450.783,22
Y = 107919,08
Z = + 12.13

0,30

39,35

4,30

+13,618

0,30

107.904,792

0,30

450.703,084

4,30

0,30

4,30

R5,00

4,30

1,29

0,30

R1,72

R9,00

22,27

0,30

0,30

5,20

BM.02

,00
R1

0,30

2,43

5
72,9

3
97,8

BM.01

0
0,5

0
20,0

22,18

450.710,619

107.880,431

+13,810

0,50

+14.89

18,21

5,84

5,00

5,00

5,00

5,00

0,50
5,50

R0,
50

4,29
19,15

,00
R6

,50
R0

0,50

0,55

R1,00

30.00

AS BENDUNG GESEK
X = 450.710,41
Y = 107.855,60

5,00

5,00

5,00

5,00

5,00

5,00

IP
X = 450.796,31
Y = 107.870,14

5,23

0,50
5,50

28,00
+10.50

+10.00

+10.60

+10.60

0,50
5,50

X = 450.636,07
Y = 107.857,08

,00
R1

+14.89

50
R0,

6
6,3

6
2,3

IP
X = 450.616,33
Y = 107.874,03

24,78

,00
R1

0,50

2.50

0,50

0,50
5,50

4,29

X = 450.803,01
Y = 107.853,75
0,50
5,50

H
1,50

5,00

5,00

5,00

5,00

5,00

5,00

5,00

5,00

4,75

1,50

0,50

0
0,5

0
0,5

,00
R1

0,70

R1,0
0
1
3,1

4,5
0

0
R1,0

+15.00

0
0,5

IP
X = 450.762,88
Y = 107.824,86

0,50

+13.50

+14.89

1
3,1

27,5
4

R1,75

4,60
0,50

+15.00

Siar Dilatasi

R1,5
0

5,00

+14.89

0,5
0

5,00

R1,0
0

4,29

5,93

13,75
0,35
0,80

,00
R1

0,50

7
7,0

2,00

5,50

R0,50

R0
,50

0,50

R0,50

36.00

R1
,00
4,29

7,70

1,00

68.60

1,00

1,63

IP
X = 450.586,11
Y = 107.841,63

+15

.00

R1
,75

IP
X = 450.683,49
Y = 107.826,44

79,40

+15.00

+17,911

.00

450.787,223
107.834,543

+15

=
=

55,05

BM.08
X
Y

+15.00

G
,80
R0
0,50

0
2,8

R0,8
0
1,85

3
4

6
3,1

3
4
4,00
4,60

0
0,3

0,30

7,01

0
R0,8

IP
X = 450.770,66
Y = 107.770,36

0
0,3

Gambar 3. Tata Letak Bendung Sungai Gesek

0,60

IP
X = 450.801,68
Y = 107.759,31

4,60
4,00

Gambar 4. Potongan Memanjang Bendung Sungai Gesek

Gambar 5. Potongan Melintang Bendung Sungai Gesek

Bandung, 12 September 2015

103

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Sistem pelimpah dibangun berupa gorong-gorong melintasi / menyeberang jalan yang ada untuk
menambah kapasitas limpasan sistem bendung pada saat banjir. Data teknik sistem pelimpah yang ada
secara umum adalah sebagai berikut :

Sistem pelimpah berada di sebelah kanan lokasi Bendung Sungai Gesek.

Sistem pelimpah terdiri dari 6 buah gorong-gorong dari beton bertulang dengan dimensi masingmasing 2,1 m x 4 m.

Elevasi dasar pelimpah sama dengan elevasi mercu Bendung Sungai Gesek, yaitu El. +12,50.

Gambar tata letak dan detail dimensi sistem pelimpah yang ada di lapangan dapat dilihat dari Gambar 6
sampai Gambar 8.

Gambar 6. Tata Letak Sistem Pelimpah Eksisting

Gambar 7. Potongan Memanjang Sistem Pelimpah (Gorong-Gorong)

104

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Gambar 8. Potongan Melintang Sistem Pelimpah (Gorong-Gorong)

ANALISIS DAN PEMBAHASAN


Analisis Sistem Pembendungan dan Pelimpahan
Berdasarkan hasil evaluasi terhadap sistem yang dibangun terkait pembuatan Bendung Sungai Gesek ini,
didapatkan gambaran sistem pembendungan sebagai berikut :

Bendung didesain dan telah mempertimbangkan kondisi optimum untuk tampungan air baku dan
pengendalian banjir. Dimensi dan elevasi mercu bendung serta pelimpah, telah dilakukan analisa /
studi dengan mempertimbangkan potensi genangan banjir saat musim penghujan dan volume air
optimum yang didapatkan ditampung pada saat musim kemarau (Laporan SID Penyediaan Air Baku
Sungai Gesek, 2011).

Sistem bendung yang telah dibangun belum mempertimbangkan adanya air laut pasang. Hal ini
terlihat adanya limpasang air laut pasang sampai di atas mercu bendung.

Tinggi limpasan yang terekam (0,6 m) di atas mercu dianggap sebagai tinggi muka air laut maksimum
yang mungkin terjadi (Laporan Advis Teknik Evaluasi dan Alternatif Penanggulangan Bendung
Sungai Gesek, 2014).

Analisis Sistem Alternatif Penanggulangan


Konsep Dasar Penanggulangan
Konsep dasar penanggulangan yang dapat dilakukan dalam analisis ini mencakup beberapa hal sebagai
berikut :

Mengingat dimensi dan elevasi sistem bendung serta pelimpah telah mempertimbangkan optimasi
kinerja sistem bendung, maka konsep penanggulangan yang akan dilakukan sedapat mungkin tidak
merubah dimensi dan elevasi operasional bendung serta pelimpah.

Untuk mengatasi kemungkinan limpasan akibat pasang air laut (0,6 m), asumsi peninggian sistem
yang dapat dilakukan adalah sebesar (0,75 m).

Memperhatikan sistem bendung dan pelimpah yang ada, potensi pelimpasan dapat terjadi melalui atas
mercu dan sistem pelimpah. Sehingga kedua bagian ini menjadi kunci utama yang harus ditinggikan untuk
menanggulangi potensi limpasan air laut tersebut.
Alternatif Perbaikan Sistem
Seperti disampaikan pada pembahasan sebelumnya, 2 bagian utama yaitu sistem bendung dan pelimpah
beserta bangunan pelengkapnya perlu dilakukan peninggian.

Bandung, 12 September 2015

105

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

1. Perbaikan sistem bendung


Perbaikan sistem bendung dan bangunan pelengkapnya yang dapat diliakukan antara lain :

Menambah / meninggikan elevasi mercu bendung sebesar 0,75 m yang dilengkapi sistem angkur
untuk mengikat lapisan beton lama dengan lapisan beton baru pada mercu bendung.

Manambah tinggi daun pintu bilas sebesar 0,75 m mengikuti peninggian pada mercu bendung yang
akan dilakukan.

Menambah tinggi tembok pangkal dan tanggul banjir sebesar 0,75 m. Hal ini dilakukan agar terpenuhi
persyaratan tinggi jagaan terhadap tembok pangkal terkait dengan peninggian elevasi mercu
bendung.

Alternatif perbaikan sistem bendung dan bangunan pelengkapnya ini dapat dilihat pada Gambar 9 dan
Gambar 10.

Gambar 9. Peninggian Mercu Bendung

Gambar 10. Peninggian Sistem Pintu Bilas

106

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

2. Perbaikan sistem pelimpah


Perbaikan sistem pelimpah yang dapat diliakukan antara lain :

Menambah sistem pintu di hilir sistem pelimpah gorong-gorong. Sistem pintu ini akan diturunkan
sampai dengan elevasi El. +12,50 (sama dengan elevasi awal mercu bendung) untuk kondisi normal
(sedang tidak pasang), dan akan dinaikkan setinggi 0,75 m pada saat air laut pasang. Jadi pada saat
kondisi normal elevasi muka air sama seperti kondisi eksisting (El. +12,50).

Menambah sistem sekat balok di udik gorong-gorong. Sistem sekat balok dapat ditutup jika akan
dilakukan perawatan / perbaikan pada pintu yang ada di hilir gorong-gorong.

Gambaran alternatif perbaikan sistem pelimpah ini dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 11. Alternatif Perbaikan Sistem Pelimpah

Hal utama yang harus diperhatikan dalam skema alternatif perbaikan sistem ini adalah sebagai berikut :

Untuk kondisi normal, mempertahankan elevasi muka air pada elevasi El. +12,50 (seperti kondisi
eksisting), dengan membuka pintu yang dipasang di hilir pelimpah gorong-gorong.

Untuk kondisi pasang air laut, pintu air di hilir pelimpah gorong-gorong dinaikkan setinggi 0,75 m.

Dengan pola operasi sistem seperti tersebut di atas, secara umum kinerja sistem bangunan tidak berubah
dari rencana awal (baik untuk kepentingan tampungan air maupun untuk optimasi banjir), dan dapat
mengatasi kemungkinan limpasan air laut pasang. Perbandingan antara skema desain awal dan alternatif
perbaikan terhadap sistem bendung dan pelimpah dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Perbandingan Kinerja Sistem Bendung-Pelimpah Kondisi Awal dan Kondisi Perbaikan

Kondisi Eksisting
Elevasi mercu bendung dan pelimpah El. +12,50
untuk meminimalkan potensi banjir (back water)
Mempertahankan elevasi El. +12,50 untuk
tampungan air baku
Terjadi limpasan air laut pasang

Bandung, 12 September 2015

Kondisi Perbaikan
Mempertahankan elevasi muka air pada El. +12,50
dengan mengatur bukaan pintu pada pelimpah
gorong-gorong (kapasitas limpasan banjir masih
cukup)
Mempertahankan elevasi muka air pada El. +12,50
dengan mengatur bukaan pintu pada pelimpah
gorong-gorong (tidak mengurangi volume
tampungan awal)
Menaikkan pintu setinggi 0,75 m pada saat air laut
pasang (air laut tidak limpas ke daerah tampungan)

107

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

3. Analisis stabilitas sistem bendung


Penambahan tinggi bendung akan mempengahuri besaran gaya dan stabilitas yang terjadi pada bendung.
Dua stabilitas utama yang ditinjau adalah stabilitas geser dan stabilitas terhadap potensi guling. Nilai
stabilitas tersebut diperhitungkan terhadap potensi gaya-gaya maksimum yang meliputi : gaya hidrostatis,
berat sendiri, dan gaya gempa. Skematisasi perhitungan struktur dalam perhitungan stabilitas tersebut
dapat dilihat pada Gambar 12.
Dari hasil perhitungan didapatkan hasil perhitungan secara seperti disampaikan dari Tabel 3 sampai Tabel
5, dengan angka kemanan geser dan guling sebagai berikut :

Pt Rv. tan(2 / 3) 232.99kN


Tanpa tekanan pasif :

SF Pt / Rh 1,64
Keamanan guling

SF

MT
2.39
MG

Gambar 12. Skematisasi Bangunan dalam Perhitungan Stabilitas

108

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Tabel 3. Hasil Analisis Hidrostatis Sistem Bendung Sungai Gesek


Untuk Muka Air Kering, H = 3.25 m
Panjang Rembesan
Titik Line
Vertikal Hor 1/3 Hor Lw
0
0.00
0-1
2.00
1
2.00
1-2
0.50
0.17
2
2.17
2-3
1.00
3
3.17
3-4
1.75
0.58
4
3.75
4-5
1.00
5
4.75
5-6
0.50
0.17
6
4.92
6-7
1.00
7
5.92
7-8
2.50
0.83
8
6.75
8-9
1.00
9
7.75
9 - 10
0.50
0.17
10
7.92
10 - 11 1.00
11
8.92
11 - 12
2.75
0.92
12
9.83
12 - 13 0.50
13
10.33
13 - 14
2.30
0.77
14
11.10
14 - 15 1.10
15
12.20
15 - 16
2.07
0.69
16
12.89
16 - 17 1.50
17
14.39

DH

P = H - DH

0.00

2.15

2.15

0.45

4.15

3.70

0.49

4.15

3.66

0.72

3.15

2.43

0.85

3.15

2.30

1.07

4.15

3.08

1.11

4.15

3.04

1.34

3.15

1.81

1.52

3.15

1.63

1.75

4.15

2.40

1.79

4.15

2.36

2.01

3.15

1.14

2.22

3.15

0.93

2.33

3.65

1.32

2.51

3.65

1.14

2.76

4.75

1.99

2.91

4.75

1.84

3.25

3.25

0.00

Gaya Hor Lengan Momen Gaya Ver Lengan


(KN)
(m)
(KN.m)
(KN)
(m)
23.11
3.32
76.66
43.00
1.60
68.80
15.48
1.27
19.61
18.30
13.12
0.09
13.20
-24.35
1.10
-26.78
-6.13
0.93
-5.72
40.30
11.50
1.15
11.79
23.03
1.10
25.33
3.87
0.93
3.61
15.20
10.37
0.09
10.45
-1.81
1.10
-2.00
-6.13
0.93
-5.72
40.64
8.87
2.35
9.29
16.26
1.10
17.88
3.87
0.93
3.61
11.81
7.37
0.09
7.45
-1.14
1.10
-1.25
-6.13
0.93
-5.72
25.55
5.75
2.85
6.20
4.65
1.35
6.27
0.97
1.27
1.23
26.29
3.22
1.99
3.60
12.57
0.55
6.92
4.68
0.37
1.72
38.06
1.04
1.61
1.38
-13.79
92.02

0.50

-6.90
177.55

226.39

Momen
(KN.m)

240.14
1.24

463.29
13.59

157.60
0.98

360.46
21.85

87.04
0.70

146.79
17.66

84.65
7.18

39.39
2.23

1,644.79

Tabel 4. Hasil Analisis Gaya akibat Berat Sendiri

G
G0
G1
G2
G3
G4
G5
G6
G7
G8
G9

Luas Gaya Lengan x


(m2) (KN)
(m)
15.68 156.75
9.50
4.13
99.00
9.50
4.13
90.75
9.50
0.50
11.00
13.62
0.25
5.50
13.20
0.50
11.00
10.87
0.50
11.00
7.37
4.9613 109.15
4.10
1.525 33.55
3.60
3.105 68.31
1.04
596.01

Bandung, 12 September 2015

Momen
(KN.m)
1488.34
940.01
861.67
149.82
72.62
119.57
81.07
447.87
120.61
70.70
4,352.28

Lengan y Momen Gaya Gempa Momen Gempa


(m)
(KN.m)
(KN)
(KN.m)
3.55
556.46
7.52
26.71
2.35
232.65
4.75
11.17
1.85
167.89
4.36
8.06
1.10
12.10
0.53
0.58
1.27
6.97
0.26
0.33
1.10
12.10
0.53
0.58
1.10
12.10
0.53
0.58
2.65
289.24
5.24
13.88
1.35
45.29
1.61
2.17
0.75
51.23
3.28
2.46
2.33
1,386.03
28.61
66.53

109

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Tabel 5. Besaran Gaya-Gaya yang Terjadi pada Sistem Bendung

No.
1
2
3
4

Gaya
Hidrostatis
Berat Sendiri
Gaya Gempa
Tekanan Tanah

Vertikal (kN)Horisontal (kN)Momen (kN.m)


226.39
92.02
1,822.34
-596.01
-4,352.28
28.61
66.53
21.12
56.32
-369.61
141.74
-2,407.09

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI


Kesimpulan
Berdasarkan hasil evaluasi yang telah dilakukan, dapat disampaikan beberapa kesimpulan, sebagai
berikut:
1. Sistem penyediaan air baku di Sungai Gesek mempunyai 2 buah sistem pengoperasian, yaitu Sistem
Bendung Sungai Gesek dan Sistem Pelimpah Sungai Gesek.
2. Dua fungsi utama terkait pembangunan sistem Bendung Sungai Gesek dan sistem Pelimpah Sungai
Gesek, adalah sebagai sarana tampungan air baku, dan mempertimbangkan potensi genangan banjir
saat musim penghujan.
3. Sistem bendung secara umum telah berfungsi dengan baik, namun pada musim kemarau dan saat air
laut pasang, mercu bendung terlimpasi oleh pasang air laut, sehingga fungsi penyediaan air baku
menjadi terganggu.
4. Alternatif penanggulangan yang dapat dilakukan terbagi dalam 2 bagian, yaitu peninggian elevasi
mercu bendung beserta bangunan pelengkapnya, dan perbaikan sistem pelimpah gorong-gorong,
serta diikuti dengan pola operasional baik saat banjir maupun saat muka air laut pasang.
5. Peninggian elevasi mercu dengan melapis beton bertulang sebesar 0,75 m, diikuti dengan
penambahan tinggi daun pintu bilas setinggi 0,75 m.
6. Untuk perbaikan sistem pelimpah gorong-gorong dilakukan dengan pemasangan pintu pengatur di
hilir gorong-gorong yang dilengkapi dengan sekat balok tepat di udik gorong-gorong.

UCAPAN TERIMA KASIH


Ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian ini,
khususnya kepada yang terhormal : Kepala Balai Wilayah Sungai Sumatera IV beserta jajarannya, Ibu
Yiniarti, dan tenaga ahlli sampai teknisi di lingkungan Balai BHGK Puslitbang SDA.

REFERENSI
Balai Wilayah Sungai Sumatera IV, Pekerjaan SID Penyediaan Air Baku Sungai Gesek, 2011, Batam.
DHI Water & Environment, MIKE 11 A Modelling System for Rivers and Chanels User Guide, June 2002.
Eka Kumala, Yiniarti. 2015. Bahan Angkutan Sedimen. Program Magister PSDA ITB, Bandung.
Petersen, M. 1986. River Engineering, Prentice Hall, Englewood Cliffs, New Jersey.
Puslitbang SDA, Laporan Advis Teknik Evaluasi dan Alternatif Penanggulangan Bendung Sungai Gesek,
Agustus 2014.

110

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

PENDAYAGUNAAN SUMBER DAYA AIR

POLA PERGERAKAN ALIRAN DI MUARA SUNGAI MUSI DENGAN


MENGGUNAKAN PROGRAM MIKE-21 FLOW MODEL
Achmad Syarifudin1*, Eka Puji Agustini2
1Program
2Program

Studi Teknik Sipil, Universitas Bina Darma

Studi Ilmu Komputer, Universitas Bina Darma


*syarifachmad6080@yahoo.co.id

Abstrak
Sungai Musi merupakan sungai terbesar dengan panjang lebih dari 750 kilometer dan lebar rata-rata 540
meter dimana lebar maksimum 1.350 meter berada di sekitar Pulau Kemaro. Pada dasarnya, sedimentasi
yang terjadi di Sungai Musi memang termasuk sedimentasi tingkat tinggi disebabkan adanya pertemuan
arus antara Sungai Musi dan arus laut di selat Bangka. Kondisi pendangkalan sungai Musi kian parah
karena endapan lumpur mencapai sekitar 40 cm per bulan. Bahkan, volume endapan bisa mencapai 2,5
juta meter. Sepanjang alur pelayaran Sungai Musi dari Pelabuhan Boom Baru hingga selat Bangka
terdapat 13 titik pendangkalan. Empat titik sudah sangat rawan, karena pendangkalan mencapai 4 meter.
Lokasi yang cukup rawan itu yakni di Pulau Payung bagian utara dan Muara Jaram, sedangkan lokasi
yang mengalami pendangkalan paling parah antara lain di ambang luar, muara selat Jaran dan perairan
bagian Selatan Pulau Payung serta sedimentasi alur mencapai 7 km, sehingga kapal yang melintasi alur
Sungai Musi harus berpedoman pada pasang surut air yang terjadi. Penelitian ini dilakukan dengan
pendekatan model perangkat lunak MIKE-21 Flow Model dan hasil yang didapatkan dari penelitian ini
adalah pola pergerakan aliran antara lain arah dan kecepatan arus serta model hidrodinamika kedalaman
sungai mulai dari pada ambang luar Sungai Musi sampai dengan Sungai Musi yang terpengaruh air
pasang surut.
Kata kunci: Sungai Musi, MIKE-21 FM, pergerakan aliran

LATAR BELAKANG
Sungai Musi yang merupakan sungai terbesar dengan panjang 750 kilometer dan lebar rata-rata 540
meter (lebar terpanjang 1.350 meter) berada di sekitar Pulau Kemaro dan (lebar terpendek 250 meter)
berlokasi di sekitar Jembatan Musi II. Sungai Musi memiliki dua pulau yaitu Kembaro (Kemaro) dan Kerto.
Ketiga sungai besar lainnya adalah Sungai Komering dengan lebar rata-rata 236 meter, Sungai Ogan
dengan lebar rata-rata 211 meter dan Sungai Keramasan dengan lebar rata-rata 103 meter (Dinas PU BM
& PSDA kota Palembang, 2012).
Sungai Musi tak hanya dimanfaatkan oleh penduduk sekitar saja . tetapi juga oleh perusahaanperusahaan besar yang terletak di sepanjang aliran sungai Musi. Mereka menggunakan sungai Musi
untuk mengirimkan produk-produk dan mendatangkan bahan baku melalui kapal. Sehingga banyak
kapal-kapal besar dan bahkan sangat besar yang mondar-mandir di sungai Musi ini. Beberapa
perusahaan yang terdapat di sepanjang sungai Musi adalah PT. Pertamina, PT. Pupuk Sriwijaya (PUSRI),
Wilmar Group dan Pelabuhan Boom Baru, dan Pelabuhan Kapal Ferry di 35 ilir. Peranan sungai Musi
yang sangat vital dalam kehidupan sehingga di sebut urat nadi kota Palembang saat ini mulai di hantui
berbagai masalah, salah satu permasalahannya yaitu terjadinya pendangkalan sungai yang terus
meningkat setiap tahunnya. Tentu hal ini sangat merugikan Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan,
apalagi saat ini Provinsi Sumatera Selatan sedang gencar-gencarnya menarik minat investor untuk
menanam modal dalam bernagai sektor bisnis di Sumatera Selatan. Pada dasarnya, sedimentasi yang

Bandung, 12 September 2015

111

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

terjadi di sungai Musi memang termasuk sedimentasi tingkat tinggi disebabkan adanya pertemuan arus
angtara sungai Musi dan arus laut di selat Bangka.
Kondisi pendangkalan sungai Musi kian parah karena endapan lumpur mencapai sekitar 40 cm per bulan.
Bahkan, volume endapan bisa mencapai 2,5 juta meter. Sepanjang alur pelayaran Sungai Musi dari
Pelabuhan Boombaru hingga selat Bangka terdapat 13 titik pendangkalan. Empat titik sudah sangat
rawan, karena pendangkalan mencapai 4 meter. Lokasi yang cukup rawan itu yakni di Pulau Payung
bagian utara dan Muara Jaram, sedangkan lokasi yang mengalami pendangkalan paling parah antara lain
di ambang luar, muara selat jaran dan perairan bagian Selatan Pulau paying serta panjang sedimentasi itu
bisa mencapai 7 km. sehingga Kapal-kapal yang melintasi sungai Musi harus berpedoman pada pasang
surut Air Sungai Musi.

METODOLOGI STUDI
Penelitian ini akan dilaksanakan dengan pemodelan dan simulasi pola arus serta transpor sedimen di
perairan Selat Bangka pada posisi 2.07 2.38 LS dan 104.85 105.17 BT. Lokasi penelitian seperti
pada Gambar 1.

Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian


(Sumber: BPSDA, 2010)

Pergerakkan sedimen di sungai dapat diselesaikan berdasar persamaan sedimen menurut Exner adalah:

(1 p ).B.

Qs

(1)

dimana :
B : lebar saluran.
: elevasi saluran.
p : perositas lapisan aktif.
t : waktu.
x : jarak.
Qs : jumlah pergerakkan sedimen

ALAT DAN BAHAN


Alat yang akan digunakan dalam penelitian ini antara lain seperti pada Tabel 1. berikut
Tabel 1. Daftar alat yang digunakan dalam penelitian

No.
1
2
3
112

Nama Alat
Alat Tulis
Komputer (RAM 2
GB)
Printer

Banyaknya
2 buah
1 unit

Kegunaan
Alat bantu menulis hasil pencatatan data
Melakukan pemodelan secara umum\

1 unit

Menampilkan tulisan dalam bentuk laporan


Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Software MIKE-21
1 buah
Untuk melakukan pemodelan dan pengolahan data
Model, MS-Excel,
5
Dongle (lisensi
1 buah
Untuk mengaktifkan software MIKE-21 Flow Model
program)
6
Laptop dan Printer
1 buah
Membantu dalam pembuatan laporan
Data yang digunakan dalam analisis seperti pada Tabel 2 berdasarkan jenis, sifat, sumber dan satuan dari
data.
Tabel 2. Jenis dan Sumber Data yang Diperlukan

No

Jenis data

1
2
3

Pasang surut
Batimetri
Arah dan kecepatan arus

Debit Sungai

Arah dan kecepatan angin

Sedimen dasar

Konsentrasi sedimen
tersuspensi (TSS)
Debit sedimen dari sungai
8
Keterangan : P = Primer; S= Sekunder
7

Sifat Data
P
S

Sumber

Satuan

Lapangan
Bakorsurtanal/Pelindo
Lapangan

m
m
o
( ) dan m/s

Lapangan

m3/s

BMG

( o ) dan m/s

Lapangan

mm atau

Lapangan

mg/l

Lapangan

gr/s

Simulasi Program MIKE-21 FM


MIKE-21 Hydrodynamic Module (HD Module) adalah model matematika untuk menghitung perilaku
hidrodinamika air terhadap berbagai macam fungsi gaya, misalnya kondisi angin tertentu dan muka air
yang sudah ditentukan di open model boundary. HD Module mensimulasi perbedaan muka air dan arus
dalam menghadapi berbagai fungsi gaya di danau, estuari, dan pantai.

HASIL STUDI DAN PEMBAHASAN


Input model
1. Batimetri model

Gambar 2. Batimetri model global untuk daerah selat Bangka

Bandung, 12 September 2015

113

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

2. Mesh grid model Hidrodinamika Selat Bangka

Gambar 3. Mesh Grid Model

3. Boundary conditions

Gambar 4. Boundary Condition

4. Syarat Batas Utara:

Gambar 5. North water level

114

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Gambar 6. South Water Level

5. Output model untuk hidrodinamika

Gambar 7. Model hidrodinamika arah kecepatan air sungai

Gambar 8. Model hidrodinamika elevasi permukaan aliran sungai

Bandung, 12 September 2015

115

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Gambar 9. Model hidrodinamika total kedalaman aliran sungai

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI


Kesimpulan
Dari hasil analisis dari penelitian ini dapat disimpulkan program MIKE-21 FM dapat digunakan untuk
mensimulasi pergerakkan aliran di Sungai Musi dimana :
1. Arah kecepatan terbesar terjadi pada muara sungai Musi yaitu berkisar antara 300-350 derajat,
2. Elevasi permukaan ambang luar sungai Musi berkisar antara 0,20 m 0,40 m, hal ini akan
berdampak terhadap daerah bebas bagi kapal untuk melakukan pergerakkan secara baik dan aman,
3. Kedalaman air total terjadi sebesar 15 30 m sehingga berpengaruh terhadap alur pergerakkan kapal
yang masuk ke sungai Musi secara keseluruhan.
Rekomendasi
Hasil penelitian ini baru tahap model pergerakan arus, hidrodinamika kedalaman aliran dan elevasi
permukaan aliran. Oleh karena itu diperlukan data pengukuran pasang surut untuk daerah di luar sungai
musi pada suatu periode tertentu sebagai verifikasi model sediment transport.
Juga perlu dilakukan kajian yang lebih detail tentang korelasi pergerakkan sedimen serta gerakkan kapal
terhadap banyaknya sedimen di sungai Musi.

UCAPAN TERIMA KASIH


Disampaikan ucapan terima kasih kepada Kepala Balai Besar Wilayah Sungai VIII, Ir. Bistok Simanjuntak,
Dipl. HE dan Ir. H. Hendri, M.Si serta Prof. Ir. H. Bochari Rachman, M.Sc, Rektor Universitas Bina Darma
Palembang, Prof. Dr. H. Zainuddin Ismail, MM, Wakil Rektor I dan Dr. Sunda Ariana, MM, M.Pd, Wakil
Rektor II Universitas Bina Darma Palembang yang berkenan memberikan izin serta bantuan kepada
penulis terutama dalam penyiapan data sehingga makalah ini dapat diselesaikan.

116

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

REFERENSI
Hartoyo Suprianto, Sumarjo Gatot Irianto, Robiyanto H. Susanto, and FX BartSchult. Suryadi, 2006,
Potential and constrains of water management measures for tidal lowlands in South Sumatra. Case
study in a pilot area Telang I. In proceedings of the 9th Inter- Regional Confrence on water
environment. Enviro water, Concept for Water management and multifunctional land uses in
lowlands, Delft, the Netherlands.
Harinaldi, 2005, Principles of Statistics for Engineering and Science, Erland Jakarta, Indonesia
Indarto, 2010, Hydrology, Basic Theory and Application Model Example Hydrology, PT. Earth Literacy,
Jakarta, Indonesia Joint Working Group, Ministry of Public Works and Rijkwaterstaat., 2005.
Technical Guidelines On Tidal Lowland Development. Volume II: Water Management.
Munir, S, 2010, Role of sediment transport in operation and maintenance of supply and demand based
irrigation canals, PhD Thesis UNESCO-IHE, Delft, The Netherlands
Paudel, 2010,Role of sediment in the design and management of irrigation canals, Sunsari Morang
Irrigation Scheme, Nepal, Ph.D Thesis, UNESCO-IHE, Delft, The Netherlands
Schultz, B and Vries, W.S., 1993. 15th Congress on Irrigation and Drainage: Water Management in the
Next Century: Q.45 R.17: Some Typical Aspects of Maintenance Drainage Systems in Flat Areas.
The Hague
Schultz, E. 1993. Land and Water Development: Finding a balance between implementation, management
and sustainability. IHE Delft. Netherlands
Schultz, B, Zimmer, D, and Vlotman, W.F., 2007. Drainage under Increasing and Changing Requirements.
The Journal of the International Commission on Irrigation and Drainage. John Wiley and Sons Ltd
Supriyanto, H., 2004. Where do We Stand on Swamplands Development. Regional Teaching Seminar on
Tidal Lowlands
Supriyanto, H, Irianto, S.G, Susanto, R.H, Suryadi, F.X, Schultz, B., 2006. Potentials and Constraints of
Water Management Measures for Tidal Lowlands in South Sumatera. Case Study in a Pilot Area in
Telang I. In Proceedings 9th Inter-Regional Conference on Environment-Water. Delft.The
Netherlands
Suryadi, F.X, October 1996. Soil and Water Management Strategies for Tidal Lowlands in Indonesia.
Netherlands, A.A. Balkema, Rotterdam. The Netherlands
Suryadi, F.X, 2004. Pengembangan Daerah Rawa Pasang Surut di Sumatera Selatan, Pengalaman
Pengembangan Daerah Rawa dan O&P Telang I.Land and Water Management Tidal Lowlands
Suryadi, F.X, 2007. Lecture Notes. Unsteady Flow. Unesco IHE. The Netherlands
Warga Dalam, Djajamurni, 2008, policy development and management of swamp (now and in the future),
Papers in the Workshop on the Strengthening of Tidal Lowland Development (STLD), Jakarta.
Indonesia

Bandung, 12 September 2015

117

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

PENGENDALIAN DAYA RUSAK AIR

PERENCANAAN PENGENDALIAN BANJIR DI JAKARTA


Tri Hardhono1; Beny Syahputra1
Program Studi Teknik Sipil, Universitas Islam Sultan Agung
Program Studi Teknik Lingkungan, Universitas Islam Sultan Agung
abu_fadiyah@yahoo.com
1

Abstrak
Jakarta, dimana lebih dari 40% wilayahnya berada dibawah permukaa air laut rata-rata (low-land),
sehingga debit banjir sulit untuk mengalir secara gravitasi ke laut, inilah factor yang menyebabkan setiap
tahun Jakarta selalu mengalami banjir. Selain itu terlalu banyak kendaraan yang melintas dan kurangnya
fasilitas jalan hal ini menyebabkan Jakarta mengalami kemacetan. Metode yang dipakai menggunakan
filosofi pengendalian banjir berbasis siklus hidrologi dari suatu sistim sungai, dimana pada masing-masing
dari collecting, transporting & dispersal sub-sub sistim akan ditangani dengan kaidah-kaidah yang berlaku
yaitu watershed management, river engineering and coastal and river engineering, dan untuk low-land
diperlukan pengaliran gravitasi dan kombinasi sistim polder & pemompaan, sekaligus penataan areal
muara dengan sistim reklamasi yang postif. Sehingga untuk maksud tersebut dasar sungai-sungai yang
ada di Jakarta harus dinaikkan agar dicapai elevasi dasar sungai yang mampu mengalir ke laut secara
gravitasi. Kemacetan lalu-lintas diusulkan dengan membuat sub-way yang akan dibangun dibawah dasar
sungai yang dinaikkan sebagaimana usulan tersebut diatas, dan dipakai untuk dilalui kendaraan atau
KRL. Cara tersebut diharapkan dapat mengatasi masalah banjir dan kemacetan lalu-lintas di Jakarta.
Kata kunci: banjir , macet, reklamasi,

PENDAHULUAN
Ada 3 (tiga) masalah besar yang terjadi di Jakarta, pertama adalah banjir, dimana lebih dari 30% wilayah
Jakarta berada dibawah permukaan air laut rata-rata Sea Normal Water Level (SNWL) atau yang dikenal
sebagai low-land, sehingga debit banjir sulit untuk mengalir secara gravitasi ke laut. Inilah faktor yang
menyebabkan Jakarta selalu mengalami banjir setiap tahun.
Kedua adalah macet, dimana faktor penyebabnya adalah terlalu banyaknya kendaraan yang melintas di
kota Jakarta dan kurangnya fasilitas jalan sehingga Jakarta mengalami kemacetan lalu-lintas yang cukup
parah.
Ketiga adalah reklamasi pantai untuk pengembangan real-estate yang belum mempertimbangkan aspek
pengendalian banjir, sehingga tanpa disadari oleh pihak terkait bahwa dimulut muara sungai inilah debit
banjir Jakarta tersumbat oleh perilaku reklamasi pantai
Ketiga masalah tersebut diatas akan dibahas dan diusulkan sebagai program penanganan banjir,
kemacetan serta reklamasi pantai secara terpadu untuk kota Jakarta.

METODOLOGI STUDI
Metode yang dipakai menggunakan pendekatan filosofi pengendalian banjir dan kemacetan lalu lintas
adalah berbasis siklus hidrologi dari suatu sistim sungai, dimana pada masing-masing dari collecting,
transporting & dispersal sub-sub sistim akan ditangani dengan kaidah-kaidah yang berlaku yaitu
watershed management, river engineering and coastal and river engineering, dan untuk low-land
diperlukan pengaliran gravitasi dan kombinasi sistim polder & pemompaan, sekaligus penataan areal
muara dengan sistim reklamasi yang postif.

118

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

HASIL STUDI DAN PEMBAHASAN


1. Penyebab banjir di Jakarta (akibat banjir kiriman & banjir lokal )
Banjir akan dibedakan menjadi banjir kriman yaitu banjir yang terjadi pada suatu sistim sungai dan
banjir lokal yaitu banjir akibat curah hujan lokal pada kawasan yang relatif datar atau perkotaan.
Pemecahan masalah banjir kiriman perlu dilakukan dengans menggunakan filosofi pengendalian banjir
berbasis siklus-hidrologi dari suatu sistim sungai, maksudnya adalah curah hujan yang turun ke bumi
sebagai run-off dan mengalir sebagai debit banjir yang membawa serta kandungan sedimen melalui
sistim sungai atau river systems yang terdiri dari collecting sub system, transporting sub-system dan
dispersal sub system. Pada setiap sub-system mempunyai kaidah pemecahan banjir yang berbeda yaitu
masing-masing digunakan kaidah: watershed management, river engineering & coastal and river
engineering.
Banjir lokal seringkali dihadapkan pada kenyataan bahwa run-off terkumpul dan menggenang pada
suatu areal tertentu sebagai genangan banjir local hal ini disebabkan karena kecilnya energi pengaliran
untuk mengalir secara gravitasi.Solusi banjir lokal akan dilakukan langkah kombinasi: mengalirkan
genangan banjir kesuatu waduk-waduk lapangan dan memberikan energi pengaliran dengan pemompaan
untuk dibuang langsung ke laut atau melalui sistim sungai yang ada.
2. Existensi Kali Ciliwung (bercabang & menyebar di areal hilir)
Kali Ciliwung sebagai sungai utama di Kota Jakarta,mengalir dari hulu ke hilir dengan bercabang
layaknya kipas, fenomena ini menunjukan bahwa dataran rendah Kota Jakarta sesungguhnya terbentuk
dari endapan alluvial dengan sistim drainase alam yang menyebar di dataran Jakarta.Terjadi landsubsidence dengan existensi low-land adalah penegasan terjadinya proses konsolidasi jangka panjang
atas Kota Jakarta. Sebaran cabang Kali Ciliwung yang dalam usulan ini selain sebagai solusi
pengendalian banjir juga akan dipakai sebagai lines of proposal sub-way.
3. Penanganan banjir saat ini
Sejauh pengamatan kami pengendalian banjir telah dilakukan dengan normalisasi dan penambahan
kapasitas transporting debit banjir dengan membuat Kanal Banjir Barat & Timur dll.Akan tetapi secara
konseptual belum ada tindakan pembongkaran akumulasi sedimen muara sungai yang dilakukan oleh
pihak terkait.Hal ini menunjukan bahwa penanganan banjir di Jakarta masih belum terancang dengan
konsep berdasarkan filosofi yang seharusnya.
Prinsip Pengendalian Banjir Dan Proposal Solusi
1. Berbasis siklus hidrologi
Pengendalian banjir berbasis siklus hidrologi bermakna bahwa siklus perjalanan air dari laut akan kembali
lagi ke laut, maka besaran pengaliran run-off pada suatu sistim sungai akan dilakukan analisis tentang
besaran design discharge guna menentukan desain dimensi alur sungai dan juga analysis sediment
discharge sebagai acuan sejauh mana pemeliharaan alur sungai harus diperhitungkan. Debit banjir dan
debit kandungan sedimen akan mengalir melalui alur pengaliran sungai kembali ke laut.
Debit banjir dari hasil analisis diatas harus bisa tertampung oleh alur sungai dari hulu ke hilir termasuk
pada bagian dispersal sub-system, sebagai alur normal pengaliran debit banjir. Dalam hal pengaliran debit
banjir ini terjadi degradasi alur pengaliran atau dimensi profil sunga yang diakibatkan oleh pengendapan
sedimen di sepanjang alur sungai dan sebagian besar di mulut muara sungai.Dengan demikian dari siklus
hidrologi perlu diperhatikan hal-hal tersebut diatas.
2. Pengendalian banjir mengacu pada river-systems secara utuh
Sering terlupakan bahwa semboyan kerja dari Direktorat Jenderal Pengairan pada saat mengemban tugas
berdasarkan UU No.11 tahun 1974 adalah: One River One Plan One Management makna dari one
river adalah one river systems yang terdiri dari: 1. Collecting sub-system,(areal pengumpul air)
2.Transporting sub-system (jaringan pengangkutan air)
dan 3. Dispersal sub-system (bagian
menumpahkan air kembali ke laut), ketiganya adalah merupakan satu kesatuan utuh.. Dalam konteks ini

Bandung, 12 September 2015

119

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

perencanaan pengendalian banjir harus mengacu pada sistim ini menggunakan solusi sesuai dengan
kaidah penanganan banjir untuk masing-masing sub-sistim.
3. Perancangan pengendalian banjir setiap penggal river sub-systems
Difinisi banjir dapat disebutkan adalah suatu keadaan dimana permukaan air seteempat lebih tinggi dari
muka air dalam keadaan normal, yang disebabkan oleh berbagai macam penyebab. Pengendalian banjir
di areal collecting sub-system atau di areal catchment area akan dilakukan dengan kaidah watershed
management dimana hasil akhir yang diharapkan adalah rendahnya koeffisien run-off dan kecilnya erosi
dan sedimentasi. Realisasi jenis penanganan pekerjaan ini adalah dapat berupa greening programme,
terassering, reforrestation, dan lainnya.
Pengendalian banjir pada bagian transporting sub-system atau pada jaringan sungai akan dilakukan
dengan menggunakan kaidah flood control engineering yang pada prinsipnya akan dapat dilakukan
dengan kaidah river improvement atau normalisasi profil sungai sesuai dengan kapasitas desain debit
banir yang direncanakan dan discharges control atau pengendalian massa air dari debit banjir yang
dapat direncanakan dengan discharge distributions, retarding basin, retension basin, dan lainnya.
Pengendalian banjir pada areal dispersal sub-system, sedimen merupakan endapan yang terbawa dari
catchment area, yang juga merupakan material pembentuk delta, mengendap di mulut muara sungai ini
akan dibongkar dilakukan dengan tujuan membuat agar arel mulut muara sungai terbebas dari
discharges sediment blocking dan bebas dari pengaruh littoral sedimentations. Kaidah yang digunakan
adalah kombinasi dari flood control engineering dan coastal engineering. Upaya ini diwujudkan dengan
mengeruk sedimen yang ada di mulut muara sungai dengan cara dredging maupun floating back-hoe
dan lainnya dengan tujuan untuk mendapatkan dimensi normal alur di muara.sungai..Material hasil
pengerukan inilah yang bisa digunakan untuk material pengurukan reklamasi.Tindakan lain yang
diperlukan adalah dengan membuat bangunan penangkal proses sedimentasi di mulut muara sungai yang
disebabkan oleh penyebaran sediment laut oleh gerak gelombang, dengan bangunan berupa Jetty, breakwater, cribs, dan lainnya.
4. Perancangan banjir di areal low-land
Banjir yang terjadi di areal low-land terutama disebabkan karena curah hujan lokal akan berdampak
terjadinya genangan banjir di berbagai tempat. Hal ini terutama disebabkan karena tidak mempunyai lagi
energy-head atas massa air dimaksud untuk bisa mengalir secara gravitasi kepermukaan yang lebih
rendah. Sehingga dengan demikian ada 2 (dua) permassalahan yang akan menjadi focus penanganan
banjir yaitu mengumpulkan seluruh genangan yang ada ke suatu tempat yang memungkinkan atau yang
areal rendah (secara gravitasi) dalam suatu waduk lapangan atau polder dan dari waduk lapangan
dibuang dengan jalan dipompa (kalau memungkinkan) langsung ke laut atau melalui sistim drainase yang
tersdia untuk diteruskan menuju ke laut, dengan kapasitas pompa sesuai dengan debit pengaliran yang
dibutuhkan.
5. Fenomena banjir Jakarta dan proposal solusi pengendalian banjir Jakarta
Banjir yang terjadi di Jakarta dapat dibedakan menjadi 2 jenis: 1. Diakibatkan oleh luapan banjir kiriman
(yang tidak tertampung oleh kapasitas sungai yang ada) karena berbagai sebab, antara lain penyempitan
alur oleh hunian liar di bantaran sungai, pengendapan sedimen, penumpukan sampah dan lainnya dan
yang paling utama harus dikatakan bahwa alur drainase atau alur sungai belum normal sebagaimana
yang seharusnya secara teknis untuk suatu sistim-sungai. 2. Diakibatkan karena keadaan Kota Jakarta
sebagai low-land (terutama di Kota bawah) maka terjadinya genangan banjir local atau banjir sulit untuk
segera hilang, menjadi suatu hal yang tidak bisa dihindarkan.
Proposal solusi pengendalian banjir Jakarta, dibuat dengan mengacu pada kaidah-kaidah sebagaimana
telah diuraikan tersebut diatas, dalam bentuk:
a. Proposal pengendalian banjir kiriman, dilakukan dengan normalisasi sungai untuk seluruh sistimsungai (pada seluruh transporting sub-system dan dispersal sub-system).
b. Khusus untuk areal low-land dimana sebagian dari transporting sub-system juga mengalami
subsidenced akibat proses long period consolidation maka sistim sungai pada bagian yang
120

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

mengalami penurunan ini perlu dinormalkan dengan jalan mengangkat dasar sungai yang
bersangkutan dengan maksud agar bisa didapatkan kemiringan graviatsi dasar sungai tersebut. Hal ini
akan dilakukan dengan suatu perencanaan dan perancangan yang komperhensip secara bersamasama oleh stake holder terkait.
c. Sedangkan untuk proposal solusi banjir lokal, sifatnya hanya melengkapi dari apa yang telah dilakukan
oleh Pemerintah setempat, yaitu merancang kembali sistim-jaringan drainase lokal yang akan
bermuara ke waduk-waduk lapangan atau collecting storages yang disesuaikan dengan kebutuhan
pematusan genangan, untuk selanjutnya dari waduk-waduk lapangan atau collecting storages
tersebut air dipompa dan dibuang langsung ke laut atau dibuang masuk ke main-drainage system
(transporting sub-system) terdekat.
d. Sasaran penting dari proposal ini adalah: dengan mengangkat dasar sungai ke suatu elevasi yang
bisa mendapatkan potensi aliran sungai secara gravitasi,dengan cakupan disepanjang atau diseluruh
jaringan Kali Ciliwung diareal low-land kota Jakarta, maka akan mendapatkan space under the
Ciliwung rivers yang bisa dimanfaatkan untuk bangunan tunnel for sub-ways. Penekananan dari
solusi ini adalah upaya pengendalian banjir yang sekaligus mendapatkan space GRATIS hal ini
disebabkan karena digunakan lahan exs sungai sehingga tidak dibutuhkan pembebasan lahan serta
tidak ada masalah sosial (konflik dengan warga) sebagaimana yang biasa terjadi pada proses
pembebasan lahan.Penekanan solusi lain adalah terkait dengan diperolehnya alur transportasi darat
guna MENGURANGI KEPADATAN LALU-LINTAS PERMUKAAN di Jakarta.
Dampak Ikutan Pengendalian Banjir Jakarta
1. Terdapat space under the Ciliwung rivers
Tidak bisa bisa dipungkiri bahwa dengan penanganan banjir sebagaimana diuraikan diatas akan bisa juga
untuk dimanfaatkan guna kepentingan lain yaitu alternative mengatasi kemacetan lalu-lintas dan
sekaligus menata kembali proses reklamasi pantai Jakarta. Points ini didapatkan dari pengangkatan
elevasi dasar sungai sehingga menghasilkan space under the Ciliwung rivers yang bisa dimanfaatkan
sebagai sub-ways dan Proses pengerukan muara sungai untuk tujuan normalisasi alur sungai di
dispersal area, dengan material hasil pengerukannya akan bisa dipakai untuk pengurugan (reklamasi).
Sebagaimana telah disinggung diatas maka tunnel sub-way yang akan bisa dibangun dibawah dasar
sungai (yang diangkat agar bergravitasi) akan bisa dipakai untuk KRL maupun MRT adalah proposal
yang mungkin dapat diimplementasikan oleh Pemerintah dengan mengingat akan pentingnya sarana
transportasi serta keterbatastasan lahan yang tersedia, maka proposal ini bisa menjadi alternative solusi.
Space under the Ciliwung rivers akan dirancang untuk bisa dipakai sebagai tunnel sub-ways lengkap
berbagai fasilitas penunjangnya, dan dibangun dengan konstruksi concrete tunnel(dengan persyaratan
teknis yang berlaku) dan dimensi maximum selebar dasar Kali Ciliwung (yang tersedia gratis), namun
masih dimungkinkan untuk dioptimalkan sebagai proyeksi kebutuhan jangka panjang termasuk untuk
fasilitas stations & sub-ways facilities dengan upaya-upaya teknis terkait dengan kemungkinan
penambahan pembebasan lahan yang bisa diperoleh.
Keterlibatan semua unsure stake holders dalam perencanaan dan perancangan sub-way ini adalah
mutlak diperlukan, sehingga semua aspek persyaratan: teknis, konstruksi, suplai material, alat berat,
adminstratif, hukum keamanan, kesehatan, dampak sosial, lingkungan, RTRW Kota Jakarta dan lainnya
semua akan menjadi bahan pertimbangan dalam perencanan dan perancangan..
2. Hasil pengerukan sedimen di dispersal area bisa dipakai untuk reklamasi pantai
Sebagaimana telah diuraikan diatas terfokus dengan tujuan membuat agar areal mulut muara sungai
terbebas dari discharges sediment blocking dan bebas dari pengaruh littoral sedimentations.
Langkah nyata yang dilakukan adalah dengan mengeruk sedimen yang ada di mulut muara sungai
dengan cara dredging maupun floating back-hoe, dengan tujuan untuk mendapatkan dimensi normal
alur di muara.sungai serta membuat bangunan penangkal proses sedimentasi di mulut muara sungai
yang disebabkan oleh penyebaran sediment laut oleh gerak gelombang, dengan wujud bangunan berupa
Jetty, break-water, cribs, dan lainnya. Material hasil pengerukan akan bisa digunakan sebagai material
pengurukan lahan reklamasi.

Bandung, 12 September 2015

121

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Semua langkah-langkah yang telah diuraikan sebagaimana tersebut diatas merupakan keharusan untuk
dilakukan bagi pengembangan di areal pantai. Menjadi pertanyaan adalah apakah saat ini sudah ada
pengembang yang melakukan hal tersebut diatas? Apalagi sudah menjadi kenyataan dilapangan di Teluk
Jakarta bahwa reklamasi dilakukan dengan melupakan keberadaan Pelabuhan Tanjung Priok yang
seharusnya perlu dilindungi dari ancaman sedimentasi.Hal ini ditandai dengan semakin dekatnya areal
reklamasi dengan kolam Pelabuhan, dimana pada saat nanti sedimen pantai akan semakin terdorong ke
areal Parking Ships.atau mulut kolam Pelabuhan.

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI


Kesimpulan
1. Banjir kiriman maupun banjir lokal akan dapat diatasi
2. Kemacetan lalu-lintas akan dapat dikurangi
3. Reklamasi pantai dan pengembangan real estate di areal pantai akan dapat ditata ulang dengan
program yang lebih bersinergi untuk tujuan pengendalian banjir dan reklamasi.
Rekomendasi
1. Di Era Pemerintahan yang sekarang ini dikenal sangat responsip terhadap inovasi pembangunan dan
pembenahan Jakarta agar lebih baik, maka seyogyanya sumbang saran konsep ini bisa dikaji lebih
detail, untuk setidaknya menjadi bahan acuan menangani banjir dan kemacetan Jakarta.
2. Penyempurnaan konsep demi hasil yang lebih baik tentu akan sangat membantu terwujutnya Ibukota
RI Jakarta yang bebas dari banir dan macet adalah menjadi kewajiban kita semua.
UCAPAN TERIMA KASIH
Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang banyak membantu dalam penelitian
dan pembuatan makalah ini, terutama kepada civitas akademika Fakultas Teknik Universitas Islam Sultan
Agung Semarang.

122

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

PENGENDALIAN DAYA RUSAK AIR

ANALISIS SISTEM CLUSTER SEBAGAI UPAYA PENGENDALIAN LIMPASAN


PERMUKAAN PADA KAWASAN INDUSTRI
Obaja Triputera Wijaya1*, Doddi Yudianto1, dan GUAN Yiqing*
1Program Studi Teknik Sipil, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, Indonesia
2Collage of Hydrology and Water Resources Engineering, Hohai University, Nanjing, China
*obajaodie@gmail.com

Abstrak
Penerapan dari sistem drainase berkelanjutan mengharuskan sebuah sistem drainase mampu mengontrol
peningkatan dari limpasan akibat dari sebuah pembangunan. Tak hanya itu, sistem drainase
berkelanjutan juga harus mampu untuk melakukan konservasi air, salah satu contohnya adalah
penyediaan air baku. Sebuah daerah industri di Tangerang, dengan luas seluas 2400 ha direncanakan
untuk menjadi sebuah daerah industri dengan menggunakan sistem cluster. Sistem cluster yang dimaksud
adalah sistem dari penanganan banjir dilakukan dengan menyediakan kolam detensi dimasing-masing
cluster yang mana luasan dari cluster tersebut sangat bervariasi. Akibat dari pembangunan tersebut,
volume limpasan bertambah sebesar 83.25% untuk periode ulang 10 tahun. Dengan mengambil luas
lahan sebesar 4.65 ha atau 4,65% dari 100 ha untuk dijadikan kolam detensi, sistem drainase mampu
mengontrol limpasan untuk periode ulang 5 tahun. Dengan meningkatkan luas lahan untuk kolam detensi
sebesar per 1%, sistem drainase mampu mengontrol limpasan untuk periode ulang 10, 25, 50, dan 100
tahun.
Kata Kunci: Sistem Drainase Berkelanjutan, Sistem Cluster, Kolam Detensi, HEC-HMS

LATAR BELAKANG
Seiring dengan perkembangan keilmuan yang ada, konsep dari sistem drainase berkembang sesuai
dengan kondisi lingkungan ataupun kebutuhan di masa sekarang. Pada mulanya, sistem drainase
dimaksudkan untuk mengalirkan secepat-cepatnya kelebihan dari limpasan permukaan keluar dari sebuah
kawasan, sistem ini sering juga disebut sebagai konsep lama. Akibat dari perkembangan dan
pembangunan yang sangat pesat, konsep lama ini tak lagi menjadi sebuah solusi yang sesuai dengan
kondisi lingkungan yang ada sekarang. Oleh karena itu terjadilah pergeseran dari konsep yang lama
menjadi sebuah konsep paradigma yang baru (Triweko, 1993).Pada konsep paradigma yang baru ini,
kelebihan limpasan tidak harus segera dibuang keluar dari kawasan tetapi harus bisa dimanfaatkan
terlebih dahulu.
Sistem drainase yang berkelanjutan merupakan sebua konsep yang baru atau pendekatan untuk
mengatur sistem drainase sedemikian rupa sehingga sistem tersebut berkelanjutan. Konsep ini
merupakan turunan dari konsep paradigma yang baru, yang mana banyak digunakan oleh beberapa
negara dengan berbagai nama ataupun pendekatan yang berbeda. Seperti halnya di Amerika Serikat,
pendekatan ini disebut sebagai Low Impact Development (LID). Konsep dari LID sendiri adalah sebuah
pendekatan untuk mengontrol dampak dari sebuah pengembangan lahan, khususnya dampak dari
peningkatan limpasan permukaan, dengan berbagai cara yang ramah lingkungan sehingga kondisi
sebelum pembangunan tereduksi paling tidak mendekati kondisi sebelum terjadi pembangunan (Hunter,
2009; Mahmmod et.al, 2010).
Secara praktis, banyak cara dalam menerapkan konsep ini dalam sebuah kawasan pengembangan, salah
satunya dengan menampung sementara kelebihan limpasan permukaan disebuah bangunan yang disebut
sebagai kolam retensi atau kolam detensi sesuai dengan kebutuhan (Wanielista, 1978; Pazwash, 2011).
Sebagai salah satu negara berkembang terbesar di dunia, Indonesia akan direncanakan untuk
Bandung, 12 September 2015

123

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

berkembang ke sektor industri (www.mmmindustri.com), yang itu artinya akan ada perubahan tata guna
lahan secara masif. Penggunaan kolam retensi ataupun kolam detensi merupakan salah satu solusi
pengendalian limpasan permukaan yang cukup sering digunakan di Indonesia (Bita Engineering, 2013;
Wijaya, 2013; Millenium, 2014), namun nyatanya dalam upaya penerapan dari kolam retensi maupun
detensi ini tidaklah gampang. Isu terbesar di Indonesia dalam pengembangan sebuah kawasan adalah isu
pembebasan lahan. Kerap kali isu ini menyebabkan pelaksanaan sistem drainase menjadi tidak sesuai
dengan apa yang telah direncanakan sebelumnya. Seperti contoh pada sebuah kawasan industri di
daerah Bekasi mengalami kerugian akibat banjir yang disebabkan oleh sistem drainase yang ada tidak
mampu menanggung beban limpasan. Sistem drainase semula direncanakan berdasarkan master plan
rencana, namun dikarenakan adanya masalah pembebasan lahan, master plan tersebut berubah dan
mengakibatkan sistem drainase yang telah dibangun menjadi tidak efektif.
Pada penilitan ini akan dilakukan penerapan sistem cluster pada sebuah kawasan industri berlokasi di
kota Bekasi dengan luas 2400 ha. Kawasan akan direncanakan menjadi daerah yang datar dengan
kemiringan rata-rata lahan 0,0005 m/m. kawasan ini juga berada di bawah muka air banjir sungai yang
berbatasan langsung dengan kawasan disebelah utara, oleh karena itu berdasarkan master plan yang ada
sistem drainase direncanakan menjadi semi-polder. Seperti yang dapat dilihat pada gambar di bawah ini,
kawasan industri ini akan direncanakan menggunakan sistem cluster. Maksud dari sistem cluster ini
adalah pengendalian limpasan permukaan akan dikendalikan terlebih dahulu di masing-masing cluster
dengan menggunakan kolam detensi dan jika ada pengembangan lahan yang baru harus ada luasan
lahan yang dikorbankan untuk dimanfaatkan sebagai kolam detensi.

Gambar 1. Lokasi studi

METODOLOGI STUDI
Studi ini dilakukan dengan menggunakan bantuan perangkat lunak HEC-HMS 3.5 untuk mengubah hujan
menjadi limpasan menggunakan metode hidrograf satuan sintetis Soil Conservation Service (SCS).
Metode SCS ini sendiri mampu melakukan analisis hidrograf secara hipotetis terhadap perubahan lahan,
oleh karena itu metode ini sangat sering dipergunakan, khususnya di Indonesia. Konsep dasar dari SCS
adalah, debit diekspresikan sebagai rasio antara debit debit puncak dan waktu-waktu puncak dari
hidrograf satuannya (Chow, 1988). Nilai dari debit puncak dapat ditentukan dengan menggunakan
persamaan di bawah ini.

CA

Qp

(1)

t
Tp r t p
2

(2)

Dimana:

124

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Qp
C
A
Tp
trr
tp

: Debit puncak (m3/s)


: Konstanta (2,08 untuk satuan SI)
: Luas daerah (km2)
: Waktu puncak (menit)
: Waktu hujan efektif (menit)
: Waktu keterlambatan (menit)

Gambar 2. Ilustrasi UHS-SCS

Ada dua parameter yang digunakan dalam mengubah hujan menjadi limpasan menggunakan metode
SCS, Curve Number (CN) dan waktu konsentrasi (tc). Dalam penelitian ini, rumus yang digunakan untuk
menghitung waktu konsentrasi menggunakan rumus dari Natural Resources Conservation Service
(NRCS). Rumus ini cocok untuk area yang memiliki luas kurang dari 800 ha dan mempunyai parameter
salah satunya adalah CN, sehingga dengan menggunakan rumus ini dapat meninjau dampak dari
perubahan tata guna lahan (SCS, 1986). Rumus NRCS ini sesuai dengan lokasi studi dikarenakan pada
lokasi studi ini akan ada perubahan tata guna lahan dari sawah menjadi kawasan industri, selain itu juga
masing-masing cluster direncanakanakan seluas kurang lebih 1 km2. Seperti yang dapat dilihat di bawah,
rumus dari NRCS adalah:

L0.8 (1000 / CN ) 9
Tc
1900S 0.5

(3)

M 1 p(6.8 103 3.4 104 CN 4.3 107 CN 2 2.2 108 CN 3 )

(4)

0.7

Dimana :
Tc : waktu konsentrasi (menit)
L : panjang lahan (m)
S : kemiringan lahan (m/m)
M : faktor koreksi untuk daerah kedap air
p : persen daerah tertutup (%)
Berdasarkan ketentuan desain drainase di Indonesia, untuk daerah industri, sistem drainase harus
mampu menangani sampai dengan periode ulang 5-10 tahun (Suripin, 2004). Berdasarkan dari studi
sebelumnya (Wijaya, 2015) hujan di daerah kawasan tersebut mengikuti distribusi Log Pearson III dengan
periode ulang 5 tahun sebesar 127,9 mm dan 151,7 mm untuk periode ulang 10 tahun. Dikarenakan tidak
tersedianya data hujan durasi pendek, maka distribusi hujan diasumsikan menggunakan distribusi
mononobe, seperti gambar di bawah ini.

Bandung, 12 September 2015

125

Distribusi (%)

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0

69

3 Hours

63

4 Hours

55

6 Hours

18 16

14

13 11 10

9 8

7
5

6
6

Jam ke-

Gambar 3. Distribusi hujan Mononobe

HASIL STUDI DAN PEMBAHASAN


Dalam menggunakan HEC-HMS, perlu ada beberapa data dan model yang harus disiapkan terlebih
dahulu. Terdapat 4 buah model yang harus disiapkan secara terpisah sehingga model HEC-HMS dapat
digunakan. Salah satu model yang harus dibuat terlebih dahulu adalah basin model, seperti yang dapat
dilihat pada gambar di bawah. Terdapat dua basin model yang dibuat, yaitu kondisi untuk sebelum
pembangunan dan sesudah pembangunan.

Gambar 4. Basin model untuk dua kondisi

Setelah membangun model fisik dari kawasan, tentunya dibutuhkan data masukkan sehingga model dapat
digunakan. Seperti yang dapat dilihat dari tabel di bawah, terdapat beberapa parameter untuk basin
model. Kebutuhan atau volume kolam yang harus disediakan, berdasarkan konsep dari LID, adalah selisih
dari hidrograf sebelum terbangun dan hidrograf setelah terbangun. Menuruti Pazwash (2011), dari nilai
yang telah didapatkan dengan menggunakan metode tersebut, volume kolam harus dikalikan dengan 1,51,75 dikarenakan routing yang dilakukan untuk kolam diasumsikan mengikuti hubungan yang linear
(Pazwash, 2011). Oleh karena itu volume dari kolam harus diperbesar untuk mengantisipasi jika terjadi
gelombang di dalam kolam.

126

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Tabel 1. Parameter untuk basin model

Seksi

Total
Area

CN

(m2)

Composite

Panjang Impervious
(meter)

(%)

Faktor
(M)

Slope

Tc

Tc
Terkoreksi

Lag
time

(m/m)

(min)

Tc (min)

min

A1
16,64
85,77
600,00
70,00
0,63
0,0008 23,33
14,65
8,79
A2
70,98
88,00
1440,00
70,00
0,66
0,0008 43,28
28,74
17,25
A3
95,23
84,85
1440,00
60,00
0,67
0,0005 61,45
41,12
24,67
A4
69,02
77,07
1534,26
60,00
0,59
0,0007 70,75
41,98
25,19
A5
11,09
49,00
1300,00
0,00
1,00
0,0025 69,29
69,29
41,58
A6
73,00
61,00
1500,00
20,00
0,85
0,0005 128,24
109,40
65,64
B1
32,07
92,00
1300,00
80,00
0,70
0,0005 43,69
30,72
18,43
B2
100,00
88,00
2000,00
70,00
0,66
0,0005 72,66
48,26
28,96
B3
100,00
88,00
2000,00
70,00
0,66
0,0005 72,66
48,26
28,96
B4
85,51
83,54
1700,00
60,00
0,65
0,0005 74,88
48,92
29,35
B5
66,54
65,63
1000,00
40,00
0,70
0,0005 82,30
57,80
34,68
B6
99,27
79,82
1800,00
50,00
0,68
0,0004 104,61
71,08
42,65
C1
32,07
92,00
1300,00
80,00
0,70
0,0005 43,69
30,72
18,43
C2
100,00
88,00
2000,00
70,00
0,66
0,0005 72,66
48,26
28,96
C3
100,00
88,00
2000,00
70,00
0,66
0,0005 72,66
48,26
28,96
C4
100,00
88,00
2000,00
70,00
0,66
0,0005 72,66
48,26
28,96
C5
100,00
88,00
2000,00
70,00
0,66
0,0005 72,66
48,26
28,96
C6
74,80
81,84
2400,00
70,00
0,57
0,0004 123,48
70,87
42,52
D1
100,00
77,40
1200,00
80,00
0,46
0,0005 68,80
31,71
19,03
D2
100,00
90,00
1700,00
80,00
0,66
0,0005 58,95
38,77
23,26
D3
100,00
90,00
1700,00
80,00
0,66
0,0005 58,95
38,77
23,26
D4
100,00
82,86
1700,00
60,00
0,65
0,0005 76,60
49,46
29,68
E1
97,64
79,40
2000,00
85,00
0,45
0,0005 97,46
43,83
26,30
E2
100,00
81,80
2000,00
85,00
0,48
0,0005 90,32
43,54
26,12
E3
100,00
81,80
2000,00
85,00
0,48
0,0005 90,32
43,54
26,12
E4
103,95
85,02
1750,00
80,00
0,56
0,0005 72,82
40,91
24,54
F1
16,52
70,00
925,00
80,00
0,41
0,0005 68,87
28,39
17,04
F2
35,49
70,00
1000,00
80,00
0,41
0,0005 73,31
30,22
18,13
F3
16,43
70,00
1000,00
80,00
0,41
0,0005 73,31
30,22
18,13
GOLF
95,70
61,00
2165,00
0,00
1,00
0,0001 384,61
384,61
230,76
Up
255,00
61,00
5000,00
0,00
1,00
0,0003 450,52
450,52
270,31
Stream
Total
2400,00
61,00
0,00
1,00
557,24
557,24
334,34
Area
Berdasarkan hasil analisis, untuk periode ulang 10 tahun limpasan permukaan meningkat untuk kondisi
setelah terbangun sebesar 1.115.776 m3. Sedangkan untuk periode ulang 5 tahun limpasan permukaan
meningkat sebesar 991.018 m3. Membandingkan hasil dari beberapa periode ulang yang ada, untuk
periode ulang yang semakin besar, persen peningkatan limpasan semakin menurun. Seperti yang dapat
dilihat pada grafik di bawah, untuk periode ulang 5 tahun limpasan permukaannya meningkat sebesar
105,69% dan period ulang 10 tahun limpasan permukaan meningkat sebesar 83,25% dari kondisi
sebelum terbangun.

Bandung, 12 September 2015

127

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

110
100

Persentase (%)

90
80
70
60
50

40
30
0

20

40

60

80

100

120

Periode Ulang (Tahun)

Debit (m3/s)

Gambar 5. Persentase peningkatan limpasan permukaan


160.00
150.00
140.00
130.00
120.00
110.00
100.00
90.00
80.00
70.00
60.00
50.00
40.00
30.00
20.00
10.00
0.00

0.00

5.00

10.00

15.00

20.00

25.00

30.00

35.00

40.00

Waktu (jam)

Setelah Pembangunan 3 jam

Setelah Pembangunan 4 jam

Setelah Pembangunan 6 jam

Sebelum Pembangunan 3 jam

400

400

350

350
300

250

Sebelum Pembangunan 10 tahun

200

Setelah Pembangunan 10 tahun

Debit(m 3 /s)

Debit (m 3 /s)

300

150

200

Setelah Pembangunan 25 tahun

150

100

100

50

50

Sebelum Pembangunan 25 tahun

250

0
0

10

15

20

25

30

35

10

Waktu (jam)

400

400

350

350

300

20

25

30

35

30

35

300
Sebelum Pembangunan
50 tahun
Setelah Pembangunan 50
tahun

250
200
150

Debit (m 3 /s)

Debit (m 3 /s)

15

Waktu (jam)

250
150

100

100

50

50

Sebelum Pembangunan
100 tahun
Setelah Pembangunan 100
tahun

200

0
0

10

15

20

Waktu (jam)

25

30

35

10

15

20

25

Waktu (jam)

Gambar 6. Hidrograf sebelum dan sesudah pembangunan untuk beberapa periode ulang

Dari gambar di atas, dapat disimpulkan bahwa akibat dari pembangunan debit puncak dari limpasan akan
meningkat dan waktu menuju puncak yang semakin cepat. Berdasarkan dari hasil analisis, periode atau
distribusi hujan yang sangat menentukan adalah hujan dengan durasi 3 jam. Dari hasil ini, maka
kebutuhan dari kolam detensi untuk masing-masing cluster dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

128

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Pada dasarnya, untuk mendistribusikan kebutuhan akan kolam detensi secara merata maka total
kebutuhan kolam detensi akan dibagi sesuai dengan total luas dari kawasan seluas 2400 ha, sehingga
didapat kebutuhan tampungan per ha. Setelah itu, karena kolam hanya akan direncanakan pada kawasan
industri (74%) tersebut maka akan dihitung kembali kemampuan dari sistem drainase untuk
mengendalikan dampak dari peningkatan limpasan permukaan. Dikarenakan pada biasanya,
pengembang hanya ingin mengetahui luasan yang harus dikorbankan untuk dijadikan menjadi kolam
detensi, maka dalam penelitian ini diasumsikan bahwa kedalam kolam sedalam 2 meter dengan bentuk
kolam adalah persegi. Selain itu juga, outlet dari kolam juga dibatasi dengan menggunakan spillway
dengan lebar pelimpah bervariasi dari 1-4 m dan dilengkapi juga dengan pintu dengan ukuran 0,8 m x 1 m
untuk alat penguras kolam. Berdasarkan dari asumsi-asumsi tersebut maka didapatlah luas total
kebutuhan kolam detensi untuk masing-masing cluster.
Secara garis besar hasil dari perhitungan kebutuhan tampungan dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 2. Kebutuhan tampungan untuk masing-masing cluster
Storage
(5)*

Storage
(10)

Storage
(25)

Storage
(50)

Storage
(100)

Surface
(5)

Surface
(10)

Surface
(25)

Surface
(50)

Surface
(100)

m3

m3

m3

m3

m3

m2

m2

m2

m2

m2

A1

15475

18803

22131

25459

15475

7738

9402

11066

12730

14394

A2

66007

80202

94397

108592

66007

33003

40101

47198

54296

61393

A3

88568

107614

126661

145708

88568

44284

53807

63331

72854

82377

A4

64188

77991

91795

105599

64188

32094

38996

45898

52800

59701

B2

93000

113000

133000

153000

93000

46500

56500

66500

76500

86500

B3

93000

113000

133000

153000

93000

46500

56500

66500

76500

86500

B4

79521

96622

113723

130824

79521

39760

48311

56861

65412

73963

B5

61884

75192

88501

101809

61884

30942

37596

44250

50905

57559

B6

92323

112178

132032

151886

92323

46162

56089

66016

75943

85870

C2

93000

113000

133000

153000

93000

46500

56500

66500

76500

86500

C3

93000

113000

133000

153000

93000

46500

56500

66500

76500

86500

C4

93000

113000

133000

153000

93000

46500

56500

66500

76500

86500

C5

93000

113000

133000

153000

93000

46500

56500

66500

76500

86500

C6

69563

84523

99483

114443

69563

34782

42261

49741

57221

64701

D2

93000

113000

133000

153000

93000

46500

56500

66500

76500

86500

D3

93000

113000

133000

153000

93000

46500

56500

66500

76500

86500

D4

93000

113000

133000

153000

93000

46500

56500

66500

76500

86500

E2

93000

113000

133000

153000

93000

46500

56500

66500

76500

86500

E3

93000

113000

133000

153000

93000

46500

56500

66500

76500

86500

E4

96671

117460

138250

159039

96671

48335

58730

69125

79520

89914

Seksi

Dengan data kebutuhan yang telah didapatkan, maka dengan menggunakan simulasi penulusuran banjir
tampungan, didapat bahwa dengan jumlah luasan yang telah ditentukan, seperti yang disajikan pada tabel
di atas, menunjukkan bahwa kolam mampu mereduksi hidograf banjir sampai paling tidak mirip dengan
hidograd banjir sebelum terjadinya pembangunan. Seperti yang dapat dilihat pada tabel di bawah,
perbandingan antara setelah implementasi dari sistem cluster dengan kondisi yang ingin dicapai. Dan
pada gambar di bawah juga dapat terlihat jelas bahwa dengan menggorbankan lahan sebesar 5,65%
untuk dijadikan kolam detensi sedalam 2 m mampu mereduksi banjir dengan periode ulang 10 tahun.
Untuk periode ulang yang lebih besar, 25, 50, dan 100 tahun, kebutuhan lahan untuk kolam detensi
dengan kedalaman yang sama akan bertambah sebesar 1% untuk setiap peningkatan periode ulang.

Bandung, 12 September 2015

129

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Tabel 3. Kebutuhan tampungan untuk masing-masing cluster

Debit Puncak S.
Cluster
(m3/s)
34,43

Debit Puncak
yang ditargetkan
(m3/s)
28,44

Waktu Puncak
S. Cluster
(Jam)
6,58

Waktu Puncak
yang ditargetkan
(Jam)
7,00

10

42,96

43,72

6,58

7,00

25

66,52

63,06

6,50

7,00

50

81,42

79,30

6,50

7,00

100

100,20

97,05

6,42

7,00

Periode
Ulang

40

35

Debit (m 3/s)

30

Kondisi Sebeleum
Pembangunan
Setelah Implementasi S.
Cluster, 5 tahun

25
20
15
10
5
0
0

10

15

20

25

30

35

40

Waktu (jam)
50

70

45

60

40
30
25
20

Debit (m 3/s)

35

Debit (m 3/s)

50

Kondisi Sebelum
Pembangunan
Setelah Implementasi S.
Cluster, 10 Tahun

15

Kondisi Sebelum
Pembangunan

40

Setelah Implementasi S.
Cluster, 25 tahun

30
20

10

10

5
0

0
0

10

15

20

25

30

35

40

10

15

Waktu (jam)
90

25

30

35

40

35

40

120

80

100

70
60

Kondisi Setelah
Pembangunan

50

Debit (m 3/s)

Debit (m 3/s)

20

Waktu (jam)

Setelah Implementasi S.
Cluster, 50 Tahun

40

30
20

80

Kondisi Sebelum
Pembangunan

60

Setelah Implementasi S.
Cluster, 100 Tahun

40
20

10
0

0
0

10

15

20

25

30

Waktu (jam)

35

40

10

15

20

25

30

Waktu (jam)

Gambar 7. Hasil hidrograf banjir setelah implementasi dari sistem cluster

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI


Kesimpulan
Berdasarkan hasil dari beberapa analisis yang telah dilakukan pada penelitian ini, ada beberapa
kesimpulan yang dapat ditarik:
1. Industrisasi membawa dampak pada perubahan tata guna lahan yang masif. oleh sebab itu,
peningkatan limpasan permukaan pada kawasan-kawasan yang dikembangkan meningkat seiring
dengan perubahan tata guna lahan tersebut. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, untuk

130

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

periode ulang yang lebih besar, persentase peningkatan dari volume limpasan permukaan jika
dibandingkan dengan kondisi sebelum terbangun ternyata menurun. Untuk periode ulang 100 tahun,
volume limpasan hanya meningkat 47,29% dibandingkan dengan kondisi sebelum terbangun.
Persentase ini jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan periode ulang 5 tahun yang mana volume
limpasannya meningkat sampai dengan 105, 69% dari kondisi sebelum terbangun.
2. Implementasi dari sistem cluster ternyata berhasil dalam mengontrol kelebihan limpasan akibat dari
industrisasi. Pada penilitian ini, dengan mengorbankan lahan sebesar 5,65% dari total lahan untuk
digunakan menjadi kolam detensi dengan kedalam 2 m, mampu mengontrol limpasan untuk periode
ulang 10 tahun. Dengan meningkatkan persentase lahan sebesar 1%, kolam mampu untuk
mengontrol limpasan untuk periode ulang yang lebih besar yaitu 25, 50, dan 100 tahun untuk setiap
penambahan 1% lahan.
Rekomendasi
Dalam sebuah penelitian tentunya ada sebuah kekurangan yang bisa menjadi peneilitain berikutnya. Pada
penilitain kali ini terdapat kekurangan khususnya pada masalah data hujan durasi pendek, yang mana
sangat dibutuhkan dalam melakukan analisis penulusuran banjir tampungan. Oleh karena itu perlu adanya
kajian mengenai distribusi dari hujan-hujan pendek dan simulasi kapasitas kolam jika terjadi hujan yang
berurutan.

REFERENSI
Bita Engineering. (2010) DED Flood Control Study and New Retention Ponds of MM2100 Industrial Town
Technical Recommendation, Bandung, Indonesia
Chow, V.T., Maidment, D.R. and Mays, L.W. (1998) Applied Hydrology, McGraw-hill, New York
Hunter, H.G., Engel, B. And Quansah, J. (2009) Web-Based Low Impact Development Decision Support
and Planning Tool. 2009 AWRA Annual Water Resources Conference, United States, 10
November 2009
Mahmmod, R et al. (2010) Impacts of Land Use/Land Cover Change on Climate and Future Research
Priority.American Meteorogical Society
Media Manufaktur Indonesia.(2014). National Construction of Indonesia.http://www.mmindustri.co.id
Millenium.(2014) Macro Drainage System Design of Industrial Area Cikande, Banten.Final Report
Technical Recommendation, Bandung, Indonesia (in Indonesia)
Pazwash, H. (2011) Urban Storm Water Management, Taylor and Francis group, USA
Soil Conservation Service (SCS). (1986) Urban Hydrology for Small Watersheds. Technical Release 55,
U.S. Department of Agriculture, Washington DC
Triweko, RobertusWahyudi. (1993) Integrated Urban Drainage Management in Indonesia: Challenge and
Opportunity. Inauguration Speech of Professor in Water Resources Engineering, Parahyangan
Catholic University, Bandung, 1 December 2007.A Paradigm
Wanielista, M.O. (1978) Storm Water Management Quantity and Quality, Ann Arbor Science Publisher,
Incs., Ann Arbor Mich
Wijaya, ObajaTriputera. (2013) Drainage System Design ASTRA Honda Motor Storehouse Cibereum 47
Bandung.Undergraduate Thesis of Parahyangan Catholic University, Bandung, Indonesia (in
Indonesia)

Bandung, 12 September 2015

131

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

PENGENDALIAN DAYA RUSAK AIR

SISTEM PENGENDALIAN EROSI UNTUK MEMPERTAHANKAN LAPISAN


TANAH SUBUR PADA LAHAN PERTANIAN PRODUKTIF
STUDI KASUS: DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CITARUM HULU
Dede Sumarna1*, H. Bakhtiar. AB.1
1Program

Magister Teknik Sipil, Manajemen Infrastruktur Sumber Daya Air.USB-YPKP Bandung


*d_sumarnahk@yahoo.com

Abstrak
Pembangunan mengakibatkan pergeseran lahan dari hutan ke pertanian dari pertanian ke non pertanian.
Tanah longsor dan erosi menjadi permasalahan lingkungan, akibat menurunnya kondisi lahan di kawasan
DAS Citarum Hulu. Erosi menurunkan kemampuan fungsi lingkungan, baik sebagai media pengendali tata
air, media pertumbuhan tanaman maupun pada produktivitas lahan. Curah hujan yang relatif tinggi dan
didukung kondisi topografi yang berbukit-bukit di sebagian besar DAS Citarum menjadi pemicu timbulnya
erosi. Penelitian ini penulis mengkaji permasalahan yang dihadapi di DAS Citarum Hulu. Solusi
pengendalian erosi yang tepat untuk mempertahankan lapisan tanah subur, menjaga keseimbangan
hidrologi, meningkatkan hasil produktifitas pertanian. Metode yang digunakan adalah Universal Soil
Losses Equation untuk memprediksi besaran erosi dan Structural Equation Model dalam bentuk Path
Analysis dengan menggunakan regresi berganda, yaitu melihat pengaruh variabel eksogen terhadap
variabel endogen. Variabel yang diteliti erosi, sosial, ekonomi, kelembagaan dan produktivitas. Hasil
penelitian, erosi pada DAS Citarum Hulu Kecamatan Pangalengan 0,131 ton/ha/th-878,2 ton/ha/th.
Pengaruh erosi terhadap sosial 13,46%, erosi terhadap kelembagaan 4,61%, sosial terhadap
kelembagaan 20,59%, sosial terhadap ekonomi 0,23%, kelembagaan terhadap ekonomi 0,008%, sosial
terhadap produktifitas sebesar 62,09%, kelembagaan terhadap produktifitas 10,67% dan ekonomi
terhadap produktifitas 0,001%. Kesimpulan penelitian, erosi adalah permasalahan mayor, aplikasi
teknologi konservasi tanah oleh petani sayuran adalah solusi mengatasi erosi.
Kata Kunci: Erosi, Konservasi Tanah dan Air, Produktivitas Lahan

LATAR BELAKANG
Pertumbuhan ekonomi nasional rata-rata pada lima tahun terakhir periode 2009-2013 adalah sebesar 5,9
% hal ini menunjukan bahwa Indonesia merupakan Negara dengan tingkat pertumbuhan rata-rata tertinggi
di Asia Pasifik, pertumbuhan ekonomi berbanding lurus dengan pertumbuhan penduduk, laju
pertumbuhan penduduk Indonesia sebesar 1,49% pertahun (Yudhoyono, Kompas.com, 2015).
Pertumbuhan penduduk Indonesia 1,40% pertahun, dan pertumbuhan penduduk terbesar adalah Jawa
Barat (43.021.826 Jiwa Jatim (37.476.011 jiwa), Jateng (32.380.687 jiwa). Hal ini menyebabkan
kebutuhan lahan yang semakin besar, adanya pergeseran penggunaan lahan dari hutan-pertanian-non
pertanian, kerusakan lingkungan kawasan situ Cisanti serta karakteristik tanaman sayuran yang tidak
mampu menyerap air dan menahan tanah dengan kemiringan lereng 30%, pemanfaatan kawasan
sempadan sungai untuk kegiatan yang tidak semestinya (perdagangan, pemukiman, industri), terjadinya
erosi dan sedimentasi yang menyebabkan banjir dan genangan air, penurunan kualitas air karena
banyaknya limbah rumah tangga dan industri yang masuk ke aliran sungai citarum menyebabkan lahan
kritis pada umumnya akibat adanya erosi lahan dan kerusakan tanah akibat erosi dapat mengakibatkan
penurunan produktifitas lahan. Sungai Citarum dibagian hulu berperan penting dalam menampung
limpasan air permukaan. Sedang dibagian hilir Sungai Citarum dimanfaatkan sebagai sumber air baku
Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) beberapa kab/kota di Propinsi Jawa Barat. DAS Citarum juga
merupakan salah satu pemanfaatan untuk jaringan irigasi, karena mengairi seluruh areal persawahan.

132

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Permasalahan yang dihadapi Sungai Citarum dibagian Hulu antara lain pemanfaatan kawasan sempadan
sungai untuk kegiatan, seperti : perdagangan, permukiman dan lain-lain, terjadinya erosi dan sedimentasi.
sehingga menyebabkan banjir dan adanya genangan air, dan penurunan kualitas air karena banyaknya
limbah rumah tangga dan industri yang masuk ke aliran Sungai Citarum.
Dengan melihat permasalahan ini, sehingga berbagai upaya akan dilakukan untuk menanggulangi
permasalahan yang dihadapi pada DAS Citarum Hulu tersebut. Tingginya laju erosi lahan akan
meningkatkan laju sedimentasi, yang berdampak pada kesuburan tanah dan menurunnya produktifitas
lahan pertanian.
Berbagai penelitian yang telah dilakukan untuk mengetahui tinggkat/laju erosi dan sedimentasi di berbagai
DAS antara lain (Sutrisno.J,dkk, 2012) melakukan penelitian di DAS Keduang, kabupaten Wonogiri yang
dikaitkan dengan umur waduk di daerah sekitar sungai. Variabel yang diukur yaitu Erosivitas hujan,
Erodibilitas tanah, panjang dan kecuraman lereng, vegetasi penutup dan pengolahan tanaman, konservasi
tanah dan biaya untuk evaluasi ekonomi. Dari hasil penelitian mereka diperoleh bahwa erosi dan
sedimentasi yang berasal dari DAS tersebut dapat membahayakan umur ekonomis waduk. (Tarigan. D.R
& Mardiatno, 2011) melakukan penelitian dengan melihat variabel yang sama seperti Sutrisno, dkk. DAS
yang diteliti adalah DAS Secang Desa Hargotirto kabupaten Kulonprogo. Peneliti ingin mengukur dan
membandingkan pengaruh erosivitas terhadap kehilangan tanah. (Saidah, H, 2007) melakukan penelitian
untuk mengetahui laju erosi lahan di DAS Dodokan, Lombok dengan memodifikasi persamaan baru
Suripin. (Nurhayati, L. et.,al, 2012) melakukan penelitian pada Lahan DAS Walikan untuk mengetahui
kekuatan hubungan erosi terhadap produktifitas lahan.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui tingkat erosi pada DAS Citarum Hulu dan mempertahankan
lapisan tanah subur pada lahan pertanian produktif dengan pola konservasi tanah dan vegetasi , sehingga
meningkatkan produktifitas lahan pertanian serta meminimalkan kerusakan lingkungan akibat kerusakan
lahan yang signifikan pada DAS Citarum Hulu, erosi yang masih dapat diteloransi, mengetahui besarnya
hubungan dua arah antar variabel eksogen dengan endogen, mengetahui produktifitas lahan pertanian
yang dipengaruhi erosi, sosial, ekonomi, dan kelembagaan, teknik mengetahui penerapan konservasi
tanah dan air baik vegetative ataupun mekanik dilahan usahatani sayuran dataran tinggi Pangalengan
dan memberikan rekomendasi teknik konservasi tanah dan air baik vegetative ataupun mekanik yang
sesuai dilahan usahatani sayuran dataran tinggi Pangalengan Adapun lokasi studi dapat dilihat pada
Gambar 1.

Gambar 1. Lokasi Studi DAS Citarum Hulu

Bandung, 12 September 2015

133

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

METODOLOGI STUDI
Erosi dan DAS
DAS merupakan rangkain kesatuan biologis dan hampir semua pengelolaan DAS mempunyai pengaruh
pada ekosistmnya, sehingga masalah yang terjadi pada hulu seperti larutan bahan organik akan dapat
mempengaruhi eksistensi kawasan pada bagian hilir (Susanto, 1994). Erosi adalah suatu proses dimana
tanah dihancurkan (detached) dan kemudian dipindahkan ketempat lain oleh kekuatan air, angin atau
gravitasi (Hardjowigeno, 1987). Perkiraan besarnya erosi yang terjadi di suatu DAS dapat menggunakan
model USLE (Universal Soil Loss Equation). Model ini telah lama dikembangkan oleh USDA (United
States Department of Agriculutre) dan banyak dipakai secara praktis untuk mengestimasi besarnya erosi
permukaan tahunan suatu kawasan. Faktor yang digunakan meliputi faktor erosivitas hujan, faktor
erodibilitas tanah, faktor kemiringan dan panjang lereng, jenispenutup lahan, dan faktor pengolahan tanah.
Rumus yang digunakan untuk menghitung tingkat erosi (jumlah tanah yang hilang) adalah (Wischmeier
dan Smith, 1965, 1978 dalam Sitanala Arsyad, 1989)

A R.K .LS.C.P

(1)

dimana :
A = jumlah tanah hilang (ton/Ha/tahun).
R = indeks erosivitas curah hujan tahunan rata-rata.
K = indeks erodibilitas tanah.
LS = indeks panjang dan kemiringan lereng.
Produktivitas Lahan
Produktivitas lahan adalah besarnya hasil produksi (Kg) dari lahan keluarga petani per satuan luas per
tahun (Peraturan menteri Kehutanan No. P.04/V-SET/2009). Satuan lahan yang dihitung adalah satuan
lahan dengan penggunaan lahan sebagai perkebunan, kebunan campran dan tegalan yaitu sejumlah 100
satuan lahan. Produktivitas dihitung dengan cara mengurangi hasil produktivitas brutto (Rp) dengan biaya
produksi (Rp) dan dibagi dengan luas lahan. Satuan produktivitas lahan adalah Rp/Ha/Th
Konservasi Tanah dan Air
1. Metode Mekanik
Suatu metode konservasi yang diberikan terhadap tanah dengan perlakuan fisik/mekanik untuk
mengurangi run off, memperbesar infiltrasi dan meningkatkan kemampuan penggunaan tanah al.
Pengolahan tanah (tillage), Pengolahan tanah menurut kontur(countur cultivation), Guludan dan guludan
bersaluran, menurut kontur, Parit pengelak, Teras, Dam penghambat (chek dam), Waduk, Kolam atau
balong (farm ponds), Rorak, Tanggul,Perbaikan drainase, Irigasi.
2. Metode Vegetasi
a. Penghutanan Kembali
Penghutanan kembali (reforestation) secara umum dimaksudkan untuk mengembalikan dan
memperbaiki kondisi ekologi dan hidrologi suatu wilayah dengan tanaman pohon-pohonan.
b. Wanatani
Wanatani (agroforestry) adalah salah satu bentuk usaha konservasi tanah yang menggabungkan
antara tanaman pohonpohonan, atau tanaman tahunan dengan tanaman komoditas lain yang
ditanam secara bersama-sama ataupun bergantian.
c. Strip Rumput
Teknik konservasi dengan strip rumput (grass strip) biasanya menggunakan rumput yang
didatangkan dari luar areal lahan, yang dikelola dan sengaja ditanam secara strip menurut garis
kontur untuk mengurangi aliran permukaan dan sebagai sumber pakan ternak

134

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

d. Mulsa
Mulsa adalah bahan-bahan (sisa tanaman, serasah, sampah, plastik atau bahan-bahan lain) yang
disebar atau menutup permukaan tanah untuk melindungi tanah dari kehilangan air melalui
evaporasi
e. Penutup Tanah (cover crop)
Tanaman penutup tanah adalah tanaman yang biasa ditanam pada lahan kering dan dapat
menutup seluruh permukaan tanah
Analisis Regresi Berganda
Adalah mengetahui hubungan variabel erosi (x1), sosial (x2), kelembagaan (x3), ekonomi (x4), terhadap
variabel produktifitas (Y) digunakan regresi linier berganda. Regresi linier berganda dapat dinyatakan
dengan persamaan berikut.

Y a b1 x1 b2 x2 ....bn xn

(2)

Dimana:
Y adalah variabel terikat (endogen)
X adalah variabel-variabel bebas (eksogen)
a adalah konstanta
b adalah koefisien regresi/ nilai parameter
Pada analisis data dengan regresi linier ganda dilakukan juga uji asumsi klasik : multikolinieritas,
normalitas, autokorelasi, dan heteroskesdastisitas. Jika semua hasil uji asumsi tersebut memenuhi
ketentuan, maka analisis regresi ganda yang telah dilakukan dapat digunakan sebagai hasil akhir uji
hipotesis penelitian mengenai hubungan hubungan variabel erosi (x1), sosial (x2), kelembagaan (x3),
ekonomi (x4), terhadap variabel produktifitas (Y)
Analisis Jalur
Analisis jalur yang dikenal dengan path analysis dikembangkan pertama pada tahun 1920-an oleh
seorang ahli genetika yaitu Sewall Wright (Joreskog dan Sorbom, 1996; Johnson dan Wichern, 1992).
Kegunaan model path analysis adalah untuk penjelasan terhadap fenomena yang dipelajari atau
permasalahan yang diteliti, prediksi nilai endogen berdasarkan nilai eksogen, dan prediksi dengan path
analysis ini bersifat kualitatif, faktor determinan yaitu penentuan eksogen mana yang berpengaruh
dominan terhadap endogen, juga dapat digunakan untuk menelusuri mekanisme (jalur-jalur) pengaruh
eksogen terhadap endogen dan pengujian model, menggunakan teori trimming, baik untuk uji reliabilitas
konsep yang sudah ada ataupun uji pengembangan konsep baru. Model Analisis Jalur antara lain :
1. Analisa Jalur Model Trimming
2. Analisis Jalur Model Dekomposisi
3. Model Regresi Berganda
Model ini merupakan pengembangan regresi berganda dengan menggunakan dua variabel
eksogenous, yaitu X1 dan X2 dengan satu variabel endogenous Y.
4. Model Mediasi
Model mediasi atau perantara dimana variabel Y memodifikasi pengaruh variabel X terhadap variabel
Z.
5. Model Kombinasi Regresi Berganda dan Mediasi
Model ini merupakan kombinasi antara model regresi berganda dan mediasi, yaitu variabel X
berpengaruh terhadap variabel Z secara langsung dan tidak langsung mempengaruhi variabel Z
melalui variabel Y.

Bandung, 12 September 2015

135

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

6. Model Kompleks
Model ini merupakan model yang lebih kompleks, yaitu variabel X1 secara langsung mempengaruhi
Y2 dan melalui variabel X2 secara tidak langsung mempengaruhi Y2, sementara variabel Y2 juga
dipengaruhi oleh variabel Y1.
7. Model Reksrusip Dan Non Rekrusip
Dari sisi pandang arah sebab dan akibat, ada dua tipe model jalur, yaitu jalur rekursif dan non rekursif.
Model rekursif ialah jika semua anak panah menuju satu arah.
Metodologi Penelitian
A

Start

Kajian Pustaka
Erosi (X1)

Sosial (X2)

Ekonomi (X3)

Kelembagaan (X4)

Produktifitas (Y)

Kajian Empirik
Penentuan Sampel
Metodologi
Penyusunan
Kuesioner
Kawasan Pertanian Sayuran Dataran Tinggi
Pangalengen DAS Citarum Hulu

Pengisian
Kuesioner
Data Ordinal Hasil
Survey

Analisis Kualitatif dan


Kuantitatif

Keadaan Lingkungan

Penentuan Variabel
penelitian Eksogen dan
endogen

Erosi Tanah

Tranpormasi Data ordinal Menjadi data Interval Menggunakan


MSI (Method od Successvive Internal)

Rumus Pedugaan Erosi


(USLE)

Pengolahan Data Analisis Jalur


Pengolahan Data Dengan
Menggunakan Excel

Interpretasi dan Pembahasan


Teknik dan Penerapan Teknologi Konservasi
Tanah dan Air

Tingkat Bahaya Erosi

Sistem Pengendalian
Erosi

Selesai

Gsmbar 2. Metode Penelitian

Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Structural Equation Model dalam bentuk
Path Analysis atau analisis jalur, yaitu untuk melihat pengaruh variabel eksogen terhadap variabel
endogen. Analisis jalur digunakan untuk menerangkan akibat langsung dan tidak langsung seperangkat
variabel. Sebagai variabel penyebab terhadap seperangkat variabel lainnya yang merupakan variabel
akibat. Sebelum mengambil keputusan mengenai hubungan kausal dalam jalur, terlebih dahulu dilakukan
uji keberartian (signifikasi) untuk setiap koefisien jalur yang telah dihitung. Skala pengukuran baik pada
variabel penyebab maupun pada variabel akibat harus sekurang-kurangnya interval. Dengan Succession
Interval Methods, skala ordinal dapat ditransformasikan ke dalam skala interval.
Variabel yang digunakan yaitu tata erosi, sosial ekonomi dan kelembagaan pada DAS Citarum Hulu
sebagai variabel bebas (Independent Variable) dan produktifitas sebagai variabel terikat (Dependent
Variable). Pengolahan data dilakukan dengan menguji validitas dan realibilitas, instrumen yang digunakan
dalam penelitian ini adalah kuesioner. Model penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.
Sosial (X2)

Kelembagaan
(X4)

Erosi (X1)

Produktifitas (Y)

Ekonomi(X3)

Gsmbar 3. Paradigma Penelitian

136

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Model kemudian dimasukan kedalam rumus :

yx1 yx 2 yx3 yx 4
Dimana
Y
yx1
yx2
yx3
yx3
X1
X2
X3
X4

(3)

:
= Nilai variabel dari kedua Variabel eksogen
= Koefisien jalur yang berhubungan dengan X1
= Koefisien jalur yang berhubungan dengan X2
= Koefisien jalur yang berhubungan dengan X3
= Koefisien jalur yang berhubungan dengan X3
= Harga konstan
= Variabel eksogen aspek erosi
= Variabel eksogen aspek sosial
= Variabel eksogen aspek kelembagaan
= Variabel eksogen aspek ekonomi

HASIL STUDI DAN PEMBAHASAN


1. Karakteristik Responden
Sampel sebanyak 100 responden yang berada di Kecamatan Pangalengan. Usia Responden dapat
secara umum pada daerah kajian didominasi usia sangat produktif yaitu sebanyak 24 responden atau
24%. Pendidikan Responden dikatagorikan dilokasi penelitian tingkat pendidikan yang relatif baik 2,5%2,90% lulus sekolah menengah, hal ini mengindikasikan bahwa meskipun mata pencaharian responden
adalah bercocok tanam, namun memiliki tigkat pendidikan yang baik.

Gsmbar 4. Karakteristik Usia,Pendidikan dan Kepemilikan Lahan Responden

Dari sisi kepemilikan lahan pada lokasi penelitian diketahui sebanyak 35 orang atau 35% sebagai pemilk
lahan, sebagai peyewa lahan sebanyak 29 orang atau 29%, dan 36 orang atau 36% sebagai penggarap
lahan.
2. Pendugaan Besaran Erosi
Berdasarkan analisis dengan menggunakan rumus Universal Soil Loss Equation (USLE) dapat di lihat
pada Tabel 1 Pendugaan Besaran Erosi per Satuan Lahan pada satuan lahan Kecamatan Pangalengan
terdapat beberapa lahan pertanian dan pemukiman yang memiliki besaran erosi kategori sangat baik
sampai dengan sedang. Dari perhitungan yang dilakukan besar erosi di Kecamatan Pangalengan berkisar
antara 0,131 Ton/Ha/Th sampai 262,9 Ton/Ha/Th. Berdasarkan Grafik 2 Tingkat Besaran Erosi Vs Luas
Tanah diperoleh Kelas erosi Sangat Rendah (SR) memiliki laju erosi sebesar 0,131 Ton/Ha/Th -3,83
Ton/Ha/Th dengan sebaran yaitu 1.069,18 Ha (16,15%).

Bandung, 12 September 2015

137

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Tabel 1. Pendugaan Besaran Erosi Persatuan Lahan


Sumber : Hasil Pengolahan Data, 2015

Kode lahan
R
K
No
1
P_1_Pmk
912.8 0.4
2
P_2_Kbn
912.8 0.2
3 P_3_Kbn_Cmp 912.8 0.1
4 P_4_Kbn_Cmp 912.8 0.1
5
P_5_Pmk
912.8 0.4
6
P_6_Kbn
9128 0.2
7
P_7_Htn
912.8 0.04
8
P_8_Pmk
912.8 0.04
9 P_9_Kbn_Cmp 912.8 0.1
10
P_10_Kbn
912.8 0.2

LS
0.6
6.6
18.7
26.4
8.1
25.9
9.5
9.8
30.4
21.4

A
(ton/ha/th)
54.8
65.7
116.4
155.2
262.9
232.8
0.131
26.3
116.4
232.8

Kelas Erosi

Kriteria

Sedang
Rendah
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
S. Rendah
Rendah
Sedang
Sedang

Sedang
Baik
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
S. Baik
Baik
Sedang
Sedang

Gsmbar 5. Tingkat Besaran Erosi

3. Produktifitas Lahan
Untuk produktivitas lahan adalah besarnya hasil produksi (Kg) dari lahan keluarga petani per satuan luas
per tahun (Peraturan menteri Kehutanan No. P.04/V-SET/2009). Produktivitas dihitung dengan cara
mengurangi hasil produktivitas brutto (Rp) dengan biaya produksi (Rp) dan dibagi dengan luas lahan.
Pendugaan Besaran Erosi Persatuan Lahan
Sumber : Hasil pengolahan data, 2015

Prod.
Biaya Produksi (Rp)
Tot Biaya Prod. Net
Prod.Lahan
Bruto
Rp/ha/th
Pupuk
Bibit
Obat
Rp
Rp/ha/th
(Rp/th)
1
P_1_Kbn
0.8
18,800
1,600
780
300
2,680
16,120
16,120
2
P_2_Kbn
1.9
35,000
1,640
720
450
2,810
32,190
32,190
3
P_3_Kbn
1.1
28,000
1,625
600
650
2,875
25,125
25,125
4
P_4_Kbn
1.9
25,000
1,875
850
550
3,275
21,725
21,725
5
P_5_Kbn
1.9
18,750
1,500
750
600
2,850
15,900
15,900
6
P_6_Kbn
1.9
18,750
1,600
780
300
2,680
16,070
16,070
7
P_7_Kbn
1.5
30,000
1,640
720
450
2,810
27,190
27,190
8
P_8_Kbn
1.4
28,000
1,625
600
650
2,875
25,125
25,125
9
P_9_Kbn
1.0
18,750
1,875
850
550
3,275
15,475
15,475
10 P_10_Kbn
1.1
24,000
1,600
780
600
2,950
21,050
21,050
Kelas produktivitas Rendah (R) memiliki produktivitas netto antara Rp. 15.900.000/Ha/Th sampai Rp.
16.120.000/Ha/Th dengan luas 101 Ha (29,97%). Rendahnya produktivitas lahan pada kebun disebabkan
oleh berkurangnya kesuburan tanah akibat erosi, kondisi lereng yang curam sampai sangat curam
mengakibatkan jarak tanam lebih renggang dari jarak normal serta mengakibatkan tingginya biaya
No

138

Kode

Bandung, 12 September 2015

Ket
Rendah
Tinggi
Tinggi
Sedang
Rendah
Rendah
Tinggi
Sedang
Rendah
Sedang

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

produksi karena sulitnya lahan untuk diolah. Rendahnya produktivitas lahan pada lahan pertanian
jagungjuga diakibatkan karena tingginya biaya produksi Desa Margaluyu, Warnasari.
Kelas produktivitas Sedang (S) memiliki produktivitas netto antara Rp.21.050.000/Ha/Th sampai Rp.
25.125.000/Ha/Th. Kelas produktivitas lahan sedang memiliki sebaran yang paling luas yaitu 143 Ha
(41,45% ). Produktivitas lahan sedang terjadi karena biaya produksi yang rendah pada lahan dengan
kemiringan lereng curam sehingga produktivitasnya kurang optimal. Kelas produktivitas lahan sedang
tersebar di Desa, Banjarsari, Wanasuka.
Kelas produktivitas Tinggi (T) memiliki produktivitas netto antara Rp. 27.190.000/Ha/Th sampai Rp.
32.190.000/Ha/Th. Kelas produktivitas lahan tinggi memiliki sebaran paling kecil yaitu 71Ha atau 20,58%.
Tingginya produktivitas lahan pada lahan pertanian yang ditanami kentang, kubis, cabe kriting diakibatkan
kondisi lahannya yang baik dengan erosi yang sangat ringan sehingga tanah tidak kehilangan unsur hara
yang dibutuhkan tanaman. Kondisi lahan yang datar hingga landai mengakibatkan lahan ini mudah diolah
sehingga dapat menekan biaya produksi. Kelas produktivitas lahan tinggi tersebar di Desa Purnasari,
Cibeureum, Sukamenak, Srikandi dan Pasir Mulya
4. Regresi Ganda
Analisis regresi bertujuan untuk menaksir atau meramalkan suatu nilai variabel dependent dengan adanya
perubahan dari nilai variabl independent. Dengan terlebih dahulu diadakan uji validitas dan reliabilitas. Uji
validitas akan dilakukan dengan metode Pearson atau metode Product Momen, yaitu dengan
mengkorelasikan skor butir pada kuisioner dengan skor totalnya. Nilai-nilai butir kemudian dibandingkan
dengan nilai r pada Tabel product moment, untuk N = 100 pada signifikansi 5% diperoleh titil kritis 0,3.
Nilai-nilai korelasi pada semua item pertanyaan di atas lebih dari 0,0,3 dengan demikian, maka semua
item pertanyaan dinyatakan valid.Uji reliabilitas dilakukan untuk mengetahui tingkat kestabilan suatu alat
ukur. Dengan mengunakan bantuan aplikasi program IBM SPSS 17.00 hasilnya bahwa Nilai reliabilitas
butir pernyataan pada kuesioner untuk kelima variabel variabel erosi (X1), sosial (X2), ekonomi (X3),
kelembagaan (X4) danproduktivitas (Y). yang sedang diteliti lebih besar dari 0,70 hasil ini menunjukkan
bahwa butir kuesioner pada kelima variabel andal untuk mengukur variabelnya masing-masing
5. Analisis Jalur
Untuk menganalisis hubungan kausalitas dan pengaruh antara variabel erosi(X1), sosial(X2), ekonomi
(X3), kelembagaan (X4) terhadap produktifitas(Y). digunakan suatu metode analisis yang disebut dengan
analisis jalur (Path Analysis). Berdasarkan pada hasil kuesioner yang telah disebarkan pada sampel
sebanyak 100 petani penggrap diperoleh hasil sebagai berikut
Tabel 2. Standar Koefisien
Sumber : Hasil Pengolahan Data, 2015

Model

Un-std Coeff

Std
Coeff
Beta

Correlations

T
Sig
B
Std.Er
Zorder Partial Part
(Constant) 13.077 3.083
4.241
.000
X1
-.252 .198
-.191 -1.269 .207
.761
-.129
-.005
X2
1.096 .154
.788
7.097
.000
.881
.589
.310
X3
.367 .082
4.475 4.475
.000
.818
.417
.195
X4
.004 .160
.025
.025
.980
.743
.003
.001
Model structural berdasarkan standardized coefficients erosi (X1), sosial (X2),
kelembagaan(X4) terhadapproduktifitas (Y).adalah :

Collinearity
Statistics
Toloran
VIF
.084
11.849
.154
6.479
.357
2.801
.105
9.516
ekonomi (X3),

0.191* X 1 0.788 X 2 0.327 X 3 0.003 * X 4

(4)

Error var . 0.181R 2 0.819

(5)

Bandung, 12 September 2015

139

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Tabel 3. R Square Untuk Menentukan Pengaruh Simultan


Sumber : Hasil Pengolahan Data, 2015

Model
1

R
Square

AdjusR
Square

Std.
Err.of
the
Estimate

.819

.812

5.89938

.905a

Change Statistics
R Square
Change
.819

F
Change

df1

107.631

df2
4

DurbinWatson

Sig. F
Change

95

.000

1.734

Berdasarkan pada tabel diatas dapat dilihat bahwa pengaruh secara simultan atau bersama-sama erosi
(X1), sosial (X2), ekonomi (X3), kelembagaan (X4) terhadap produktifitas (Y). sebesar 0,819 atau 81.9%.
Artinya hasil tersebut menandakan bahwa 81.9% variabel produktifitas (Y). diterangkan dengn erosi (X1),
social (X2), ekonomi (X3), kelembagaan (X4) Sedangkan sisanya 18.1% dipengaruhi oleh variabel lain
diluar model yang diketahui.
Tabel 4. Menentukan Koofesien Jalur
Sumber : Hasil Pengolahan Data, 2015

X1
X2
X3
X4
Y

Pearson
Sig
N
Pearson
Sig
N
Pearson
Sig
N
Pearson
Sig
N
Pearson
Sig
N

X1
1
100
.896**
.000
100
.741**
.000
100
.945**
.000
100
.761**
.000
100

X2
.896**
.000
100
1
100
.800**
.000
100
.886**
.000
100
.881**
.000
100

X3
.741**
.000
100
.800**
.000
100
1
100
.721**
000
100
.818**
.000
100

X4
.945**
.000
100
.868**
.000
100
.721**
.000
100
1
100
.743**
.000
100

Y
.761**
.000
100
.881**
.000
100
.818**
.000
100
.743**
.000
100
1
100

Tabel 5. Pengaruh Antar Variabel


Sumber : Hasil Pengolahan Data, 2015

Pengaruh tidak langsung (melalui)


(%)
X2

X3

X4

Pengaruh
Tdk
Langsung

-13.46%

-4.61%

-0.06%

-18.13%

-14.50%

20.59%

0.23%

7.37%

69.46%

0.08%

16.06%

26.73%

0.250%

0.251%

5.541%

81.94%

Koefisien
Jalur

Pengaruh
Langsung

X1

-.191

3.633%

X2

.788

62.093%

-13.46%

X3

.327

10.671%

-4.61%

20.59%

X4

.003

0.001%

-0.061%
18.133%

0.23%

0.08%

7.366%

16.059%

Var

Total

140

76.399%

X1

0.250%

Total (%)

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Errorvar()X2 1,069

3,
46

Sosial (X2)

62,093%

-4

1
,6

Erosi (X1)

Errorvar()X1 -0,252

-0,006%
20,59%

0,800

-1

0 ,2

3%

0,001%
Ekonomi (X4)

0,0

8%

Kelembagaan
(X3)

Errorvar () X3 0,367

Produktifitas
(Y)

%
10,67

Errorvar () X4 0,004

Gsmbar 6. Pengaruh Antara Variabel Erosi (X1), Sosial (X2), Ekonomi (X3), Kelembagaan (X4) dan Produktifitas (Y)

Pengujian Secara Parsial


H0: YX1= 0 tidak terdapat pengaruherosi (X1) terhadap produktifitas (Y)
H1: YX2= 0 terdapat pengaruherosi (X1) terhadap produktifitas (Y)
H0: YX2= 0 tidak terdapat pengaruhsosial (X2) terhadap produktifitas (Y)
H1: YX2= 0 terdapat pengaruhsosial (X1) terhadap produktifitas (Y)
H0: YX3= 0 tidak terdapat pengaruhekonomi (X3) terhadap produktifitas (Y)
H1: YX3= 0 terdapat pengaruhekinomi (X3) terhadap produktifitas (Y)
H0: YX4= 0 tidak terdapat pengaruhkelembagaan (X4) terhadap produktifitas (Y)
H1: YX4= 0 terdapat pengaruhkelembagaan (X4) terhadap produktifitas (Y)
Tabel 6. Signifikasi Antar Variabel
Sumber : Hasil pengolahan data, 2015

Unstandardized
Standardized
Coefficients
Coefficients
Std. Error
t
Sig
B
Beta
(Constant)
13.077
3.083
4.241
.000
X1
-.252
.198
-.191
-1.269
.207
X2
1.096
.154
.788
7.097
.000
X3
.367
.082
.327
4.475
.000
X4
.004
.160
.003
.025
.980
Berdasarkan perhitungan diatas dengan menggunakan Program SPSS 17.00 diperoleh nilai signifikansi
untuk erosi x1sebesar 0.207 dibandingkan dengan alpha 0.05 sehingga H0 diterima karena nilai
signifikansi lebih besar dari alpha, artinya dapat disimpulkan bahwa dapat diartikan tidak terdapat
pengaruh secara parsial Variabel erosi (X1) terhadap produktifitas (Y). nilai signifikansi untuk x2sebesar
0.000 dibandingkan dengan alpha 0.05 sehingga H0 ditolak karena nilai signifikansi lebih kecil dari alpha,
artinya dapat disimpulkan bahwa dapat diartikan terdapat pengaruh secara parsial Variabel social (X2)
terhadap produktifitas (Y). nilai signifikansi untuk x3 sebesar 0.000 dibandingkan dengan alpha 0.05
sehingga H0 ditolak karena nilai signifikansi lebih kecil dari alpha, artinya dapat disimpulkan bahwa dapat
diartikan terdapat pengaruh secara parsial Variabel ekonomi (X3) terhadap produktifitas (Y). nilai
signifikansi untuk x4 sebesar 0.207 dibandingkan dengan alpha 0.05 sehingga H0 diterima karena nilai
signifikansi lebih besar dari alpha, artinya dapat disimpulkan bahwa dapat diartikan tidak terdapat
pengaruh secara parsial Variabel kelembagaan (X4) terhadap produktifitas (Y).
Model

Teknik dan Penerapan Konservasi Tanah


Hasil analisis data tingkat penerapan teknologi konservasi tanah di Kecamatan Pangalengan, Kabupaten
Bandung diperoleh data sebagai berikut :
Skor tingkat penerapan teknologi konservasi tanah pada lahan usahatani sayuran dataran tinggi di
Kecamatan Pangalengan dengan metode vegetatif adalah 1.085, dan metode mekanis adalah 1.811.
Total skornya 2.986, menunjukkan bahwa tingkat penerapan teknologi konservasi tanah pada lahan
Bandung, 12 September 2015

141

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

usahatani sayuran di Kecamatan Pangalengan termasuk sedang. Skor penerapan metode vegetatif
sebesar 349,90 atau 70,69% menunjukkan tingkat penerapan konservasi tanah yang tinggi. Hasil analisis
menunjukkan bahwa dari ke empat metode vegetatif, petani lebih banyak mengaplikasikan penanaman
penutup tanah dan penggunaan mulsa 267 atau 53% pada lahan mereka.
Metode konservasi secara mekanis mempunyai dua fungsi yaitu memperlambat aliran permukaan dan
menampung serta mengalirkan aliran permukaan dengan kekuatan yang tidak merusak. Hasil analisis
menunjukkan skor 366 atau 73% yang berarti bahwa tingkat penerapan teknik konservasi tanah dengan
metode mekanis masih tergolong dalam kategori tinggi. Masyarakat sangat mengerti pentingnya
konservasi tanah dan faktor pendidikan masyarakat yang rata-rata adalah lulusan Sekolah Menengah
Atas juga mempengaruhi tingkat penerapan teknologi konservasi di Kecamatan Pangalengan. Kondisi
tindakan konservasi tanah yang dilakukan oleh petani sayuran dataran tinggi di Kecamatan Pangalengan,
Kabupaten Bandung adalah:

Penutup tanah skor 349 atau 70%

Tanaman Ganda 233 atau 47%

Penggunaan mulsa 267 53%

Reboisasi 236 atau 47%

Sistem Pengolahan Tanah 240 atau 48%

Penterasan 366 atau 73%

Saluran Pembuangan 283 atau 57%

Bangunan Penterjunan 267 atau 53%

Bendung Pengendali 329 atau 66%

Saluran Air Lokal 326 atau 65 %

Permasalahan yang dihadapi petani dalam penerapan teknologi konservasi tanah adalah :

Sebagian besar lahan yang digarap bukan miliknya karena status mereka adalah petani penggarap.

Penerapan teknologi konservasi tanah memerlukan modal yang cukup besar sehingga hanya petani
yang bermodal besar dan mempunyai luas lahan yang besar yang mengaplikasikan teknik konservasi
tanah dan air

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI


Kesimpulan
Aplikasi teknologi konservasi tanah oleh petani sayuran di dataran tinggi Pangalengan, Kabupaten
Bandung termasuk kategori tinggi yaitu mencapai 70%-73%. Salah satu penyebab penerapan teknologi
konservasi tanah termasuk kategori tinggi antara lain karena sebagian besar status petani pemilik lahan,
memiliki modal yang cukup karena pangasa pasar hasil pertaniannya jelas sebagian besar pemasok
pasar modern serta telah melakukan kerjasama dengan berbagai indsutri makanan siap saji terkemuka
sehingga kualitas hasil pertanian diutamakan, selain itu tingkat pendidikan petani relative tinggi serta ada
kontribusi dari pemerintah dengan mengadakan penyuluhan pertanian. Teknologi konservasi tanah yang
diterapkan/ sistem pengendalian erosi meliputi teknologi secara mekanis dan vegetatif, dengan nilai
tingkat penerapan masing-masing sebesar 70% untuk pentup lahan dan 73% untuk penterasan.
Erosi yang terjadi pada daerah studi memiliki kategori sangat rendah (SR) sampai sedang (S) 0,131
ton/ha/th-262,9ton/ha/th, tofografi lahan daerah studi bervariasi dari mulai landai sampai sangat curam
namun besarn erosi masih dalam kategori rendah, hal ini disebabkan pada lereng yang sangat curam/
curam petani penggarap memiliki pemahan yang baik tentang pengolahan lahan pertanian Untuk lereng

142

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

>40%, 25-50% dibuat guludan bersaluran dan menerapkan pola agroforestry. Jenis pohon kayu-kayuan
dan buah-buahan dan tanaman industri, jeruk, dan kopi.
Produktifitas lahan pertanian daerah studi kelas produktifitas sedang sangat dominan memiliki sebaran
yang paling luas yaitu 143 Ha (41,45% ), kemudian kelas produktivitas lahan tinggi memiliki sebaran
paling kecil yaitu 71Ha atau 20,58%, faktor erosi yang relative kecil dan pengolahan lahan yang baik serta
tuntutan kualitas hasil pertanian relative tinggi yang diterapkan oleh pembeli, sehingg mendorong petani
untuk mempertahankan kondisi lahan subur pertaniannya.
Model structural berdasarkan perhitungan diatas dengan menggunakan Program SPSS 17.00 erosi (X1),
sosial (X2), ekonomi (X3), kelembagaan(X4) terhadap produktifitas (Y). adalah :

0.191* X 1 0.788 X 2 0.327 X 3 0.003 * X 4

Error var . 0.181R 2 0.819


Berdasarkan model structural diatas dapat dilihat bahwa pengaruh erosi (X1), sosial (X2), ekonomi (X3),
kelembagaan (X4) terhadap produktifitas (Y). sebesar 0,819 atau 81.9%. Artinya hasil tersebut
menandakan bahwa 81.9% variabel produktifitas (Y). diterangkan dengn erosi (X1), sosial (X2), ekonomi
(X3), kelembagaan (X4) Sedangkan sisanya 18.1% dipengaruhi oleh variabel lain diluar model yang
diketahui. Erosi (X1) berpengaruh terhadap produktivitas lahan dengan kekuatan hubungan -0,191 yang
artinya cukup berarti atau sedang. Bentuk hubungan erosi (X1) terhadap produktivitas lahan yaitu
negative, artinya semakin besar faktor erosi (X1) maka produktivitas (Y) lahan semakin menurun, namun
variabel sosial (X2), ekonomi (X3), kelembagaan (X4) memiliki kekuatan hubungan positif (hubungan yang
sangat kuat) artinya semakin besar fakor sosial (X2), ekonomi (X3), kelembagaan (X4) maka
produktivitas (Y) lahan semakin besar, dengan demikian kesejahteraan petani akan semakin tinggi.
Rekomendasi
Perlu pengendalian perubahan penggunaan lahan hutan menjadi lahan pertanian, pemukiman terutama
pada kondisi lereng >15%, melalui penyusunan peraturan yang mengatur tentang batasan-batasan
penggunaan lahan dalam bentuk peraturan zonasi untuk menjaga keseimbangan antara lahan terbangun
dan tidak terbangun. Untuk itu, perlu dilakukan pemetaan potensi lahan yang bisa dikembangkan menjadi
lahan pertanian di DAS Citarum hulu yang sesuai dengan kriteria penggunaan lahan pertanian tanpa
mengurangi luas hutan
Kebijakan pengendalian alih fungsi lahan pertanian harus benar-benar terintegrasi dengan Rencana Tata
Ruang Wilayah (RTRW) yang tegas dan konsisten. Harmonisasi penataan ruang dengan pengelolaan
DAS sangat diperlukan sebagai antisipasi dari perubahan iklim yang terjadi sehingga penyusunan RTRW
sebagai Peraturan Daerah (Perda) haruslah mengacu pada prinsip konservasi tanah dan air
Besarnya laju erosi menyebabkan berkurangnya kesuburan tanah dan menurunnya produktifitas . Untuk
itu perlu dibangun bangunan pengendali check dam yang lebih banyak khususnya di daerah hulu yang
memiliki tingkat erosi lahan yang tinggi
Pembuatan Sistem Informasi Manajemen DAS terkait sumber daya tanah dan sumber daya air yang
akurat dengan pembaharuan secara periodik yang mencakup seluruh informasi terkait. Hal ini sangat
diperlukan untuk menyusun dan menentukan kebijakan dalam pengelolaan DAS pada saat ini maupun
pada masa yang akan datang

UCAPAN TERIMA KASIH


Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan limpahan rahmat dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan Paper dengan judul Sistem Pengendalian Erosi
Untuk Mempertahankan Lapisan Tanah Subur Pada Lahan Pertanian Produktif Studi Kasus DAS Citarum
Hulu dalam rangka Seminar Nasional Teknik Konservasi Sumber Daya Air. Dengan dorongan dan

Bandung, 12 September 2015

143

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

dukungan dari berbagai pihak maka Paper ini dapat terselesaikan dengan baik, dengan demikian,
penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada yth

Orang Tua, Istri, terima kasih atas dukungan moril dan materil terutama
terkandung dalam hati.

Dr. Ir. Bakhtiar AB., MT selaku Dekan Fakultas Teknik Universitas Sangga Buana (USB)-YPKP
Bandung, dan sebagai Pembimbing

Panitia Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air dan semua pihak yang tidak disebutkan sat
persatu

segala doa-doanya

REFERENSI
Alwi. L.O, dkk. 2011. Study of Land Use Dynamic Impacts to Land Erosion and Hydrology Conditions in
Wanggu Watersheds. Jurnal Hidrolitan, Vol 2 : 2 : 74 84. ISSN 2086-4825.
Arsyad, S. 1989. Konservasi Tanah dan Air. Bogor : IPB Press
Asdak, C. 2004. Hidrologi dan Pengelolaan DAS. Gadja Mada University Press. Yogyakarta.
Badan Pusat Statistik Kementrian Kehutanan Provinsi Jawa Barat. 2011.
Dinas Kehutanan Prop. Jabar, Perum Perhutani Unit III, Dinas Kehutanan Kab/Kota dan Balai Pengelola
DAS.
Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Barat, 2012. Luas Lahan kritis di DAS Citarum Berdasarkan Kab/ Kota.
Departemen Kehutanan, 1988.
Hardjowigeno, Sarwono. 1987. Ilmu Tanah. Bogor: PT. Mediyatama Sarana Perkasa
Ismiyati. 2011. Statistik dan Probabilitas untuk Teknik. Bagi Peneliti Pemula. Magister Teknik Sipil
Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro.
Kodoatie, R J & Sjarief. R. 2010. Tata Ruang Air. Penerbit Andi Yogyakarta.
Legowo, S, 2008. Pendugaan Erosi dan Sedimentasi dengan Menggunakan Model GeoWEPP (Studi
Kasus DAS Limboto, Propinsi Gorontalo). Junal Jurusan Teknik Sipil, FTSL Institut Teknologi
Bandung.
Montarcih, dkk. Studi Optimasi Pengelolaan dan Pengembangan Sub DAS (DAS) Lesti Kabupaten
Malang. Jurnal Penelitian.
Morgan, R.C.P., 1996. Soil Erosion and Conservation. Second Edition. Addison Wesley Longman Limited
Edinburgh Gate, Harlow. England.
Nursaban. M. 2006. Pengendalian Erosi Tahan sebagai Upaya Melestarikan Kemampuan Fungsi
Lingkungan. Jurnal Jurusan Pendidikan Geografi, FISE UNY Volume 4, Nomor 2.
Nurhayati. L. dkk. 2012. Pengaruh Erosi Terhadap Produktivitas Lahan Das Walikan Kabupaten
Karanganyar Dan Wonogiri. Program Studi Pendidikan Geografi PIPS, FKIP, UNS Surakarta,
Indonesia.
Suripin, 1998. Hubungan antara Karakteristik Daerah Tangkapan Air (DTA) dan Sediment Delivery Ratio
(SDR). Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan XV HATHI, Bandung.
Suripin, 2001. Pelestarian Sumber Daya Tanah dan Air. Penerbit : Andi Yogyakaarta.
Undang-undang Republik Indonesia No. 7 tahun 2007 tentang Sumber Daya Air.
Wilson. E. M. 1993. Hidrologi Teknik. Edisi Empat. Penerbit ITB Bandung.

144

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

PENGENDALIAN DAYA RUSAK AIR

PENGENDALIAN BANJIR PADA KAWASAN TAMBANG TIMAH DI


KABUPATEN BANGKA
Parindra A. Wardhana*, Meru Condro Wiguno, dan Yudi Wachyudiana
Unit Kerja Sumber Daya Air, Environmental, Jalan-Jembatan dan Manajemen Konstruksi PT Kwarsa Hexagon
*parindra444@gmail.com

Abstrak
Musibah bencana alam berupa banjir pada tahun 2013 yang melanda Kabupaten Bangka, Provinsi
Kepulauan Bangka Belitung, menyebabkan kerusakan insfrastruktur dan prasarana publik. Penyebab
terjadinya bencana banjir di Kabupaten Bangka tersebut disebabkan oleh luapan banjir pada beberapa
area bekas penambangan yang merubah karakteristik morfologi sungai. Di dalam daerah aliran sungai
Pompong seluas 65,19 km2 terdapat beberapa eksplorasi tambang timah inkonvensional dengan galian
tambang (kolong) yang tidak teratur di sepanjang sungai menjadi penyebab utama melimpasnya aliran
sungai ke wilayah perumahan penduduk terutama di wilayah Kampung Pasir. Konsep pengendalian banjir
pada daerah tersebut adalah rekonstruksi areal kolong seluas sebagai tampungan banjir sehingga
naiknya muka air sungai ke daerah hilir secara berlebih dapat dikendalikan. Dengan laju erosi sebesar
8.755 ton/tahun dan puncak banjir kala ulang 50 tahun sebesar 274,2 m3/detik maka rekonstruksi areal
kolong seluas 69,98 ha menjadi prasarana pengendali banjir dan penampungan sedimen limbah tambang
sebesar 1,19 juta m3 didukung dengan perkuatan peraturan daerah oleh Pemerintah Daerah Kabupaten
Bangka tentang pengelolaan pemanfaatan kolong sebagai pengawasan, pengendalian dan konservasi
sumberdaya alam dapat diterapkan dengan efektif mengurangi dampak banjir di daerah hilir.
Kata Kunci: banjir, tambang timah, Sungai Pompong, Kabupaten Bangka

LATAR BELAKANG
Provinsi Bangka Belitung merupakan wilayah penghasil timah, akibat dari penambangan timah tersebut
maka banyak daerah aliran sungai (DAS) terdampak dari yang berukuran kecil sampai yang besar
(Wilayah Sungai Baturusa) hingga bagian muara dimana terdapat permukiman penduduk secara turuntemurun. Sejalan dengan perkembangan jaman, perkampungan di daerah hilir turut berkembang, dan
penduduk yang mendiami daerah hilir telah terdampak aktivitas penambangan diantaranya masalah
kebanjiran dan kesulitan air baku yang serius.
Kabupaten Bangka terletak di Pulau Bangka dengan luas administratif 3.028.794 Km 2 berbatasan
langsung dengan wilayah Kota Pangkalpinang, Kabupaten Bangka Tengah dan Kabupaten Bangka Barat.
Pengembangan wilayah tanpa peningkatan dan pengelolaan prasarana drainase menyebabkan banjir di
Kabupaten Bangka. Daerah Aliran Sungai Pompong merupakan wilayah sungai dengan luas 65,19 km2
yang berada di kabupaten Bangka dengan daerah hulu masuk dalam wilayah Kecamatan Pemali dan
daerah hilir bermuara di Kecamatan Sungailiat sebagaimana disajikan pada Gambar 1 sebagai berikut :

Bandung, 12 September 2015

145

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Aliran Sungai Pompong

Gambar 1. Lokasi daerah studi

Kejadian banjir yang terjadi pada tanggal 28 Desember 2013 dan 11 Januari 2014 di hampir seluruh
wilayah Kabupaten Bangka mengakibatkan meluapnya air di beberapa sungai sehingga menyebabkan
banjir dan merusak infrastruktur jalan, jembatan dan merendam permukiman penduduk. Aktivitas
penambangan liar (tambang inkonvensional) dan penambangan besar yang dilakukan oleh mitra PT.
Timah mengakibatkan lubang-lubang besar yang menjadi penampungan air (kolong) yang disaat musim
hujan tiba, aliran air meluap dan mengalir ke daerah lebih rendah dan selanjutnya ke daerah aliran sungai
membawa sedimen yang tinggi sehingga membuat pendangkalan pada daerah aliran sungai dan muara
sungai sebagaimana disajikan pada Gambar 2 sebagai berikut :

Lokasi Kolong
Lingkungan
kampung Pasir

Lokasi Kolong
Lingkungan
kampung Pasir

Gambar 2. Citra udara eksplorasi timah pada sungai Pompong (Lingkungan Kampung Pasir)

DASAR TEORI
Persyaratan data hujan dalam perhitungan ini meliputi ketersediaan dan kualitas record data sebaiknya
lebih dari 20 tahun. Data hujan tersebut harus ketiadaan outlier dan trend sebelum digunakan untuk
analisis frekuensi atau untuk suatu simulasi hidrologi. Sebelum data hujan digunakan dalam analisis
hidrologi, terlebih dahulu dilakukan analisa statistik terhadap data hujan. Analisa statistik yang digunakan
untuk memastikan bahwa data hujan tersebut layak digunakan untuk analisa selanjutnya meliputi :

146

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

1. Uji Outlier
Pemeriksaan adanya outlier, pada seri data hujan harian maksimum tahunan, baik outlier atas maupun
outlier bawah akan dilakukan dengan metoda yang dikembangkan oleh Water Resource Council (1981).
Menurut Water Resource Council, bila:
a. koefisien skew dari data sampel > +0,4, maka perlu dilakukan pemeriksaan outlier atas,
b. koefisien skew dari data sampel < -0,4, maka perlu dilakukan pemeriksaan outlier bawah,
c. 0,4 <koefisien skew < + 0,4, maka perlu dilakukan pemeriksaan outlier atas dan outlier bawah
sekaligus sebelum menghilangkan data yang dipandang sebagai outlier.
Bila terdapat outlier, maka data outlier harus dibuang sebelum seri data digunakan untuk analisis
hidrologi lebih lanjut. Persamaan frekuensi untuk mendeteksi adanya outlier atas adalah:

Yh y K n s y

(1)

Dimana:

YH

= batas (threshold) dari outlier atas, dalam logaritma

y
sy

= nilai rata-rata dari data dalam bentuk logaritma


= simpangan wilayah dari data dalam bentuk logaritma

Kn

= konstanta uji outlier, merupakan fungsi dari jumlah data sampel

2. Uji Ketiadaan Trend


Deret berkala yang nilainya menunjukkan gerakan yang berjangka panjang dan mempunyai
kecendrungan menuju ke satu arah, arah naik atau turun disebut dengan pola atau trend. Umumnya
meliputi gerakan yang lamanya lebih dari 10 tahun. Deret berkala yang datanya kurang dari 10 tahun
kadang-kadang sulit untuk menentukan gerakan dari suatu trend. Hasilnya dapat meragukan, karena
gerakan yang diperoleh hanya mungkin menunjukkan suatu sikli (cyclical time series) dari suatu trend.
Sikli merupakan gerakan tidak teratur dari suatu trend. Apabila dalam deret berkala menunjukkan adanya
trend maka datanya tidak disarankan untuk digunakan untuk beberapa analisis hidrologi, misalnya analisis
peluang dan simulasi. Untuk deret berkala yang menunjukkan adanya trend maka analisis hidrologi harus
mengikuti garis trend yang dihasilkan, misal analisa regresi dan moving average (rata-rata bergerak).
Analisa trend sendiri sebenarnya dapat digunakan untuk menentukan ada atau tidaknya perubahan dari
variable hidrologi akibat pengaruh manusia atau faktor alam.
Beberapa metode statistik yang dapat digunakan untuk menguji ketiadaan trend dalam deret berkala
adalah metode Spearman yang dapat bekerja untuk satu jenis variabel hidrologi saja, dimana dalam hal
ini adalah hujan tahunan. Metode Spearman menggunakan sistem koefisien korelasi peringkat sebagai
berikut :

6.i 1 (dt ) 2
n

KP 1

n3 n

(2)

n 2 2
t KP
2
1 KP

(3)

dimana :
KP = koefisien korelasi peringkat Spearman
n = jumlah data
dt = selisih Rt dangan Tt
Tt = peringkat dari waktu

Bandung, 12 September 2015

147

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Rt = peringkat dari variabel hidrologi dalam deret berkala.


t = nilai hitung uji t
3. Uji Independency
Untuk melakukan pemeriksaan independensi dari seri data digunakan serial-correlation coefficient.
Apabila seri data adalah acak sempurna, maka fungsi auto-correlation dari populasi akan sama dengan
nol untuk semua lag kecuali nol. Untuk pemeriksaan independensi ini cukup dilakukan perhitungan
digunakan serial-correlation coefficient dengan lag 1, yaitu korelasi antara data pengamatan yang
berdekatan dalam seri data. Menurut Box dan Jenkins (1970), serial-correlation coefficient dengan lag 1
adalah:
n 1

r1

(x x) (x
i 1

i 1

x)

(x x)
i 1

(4)

Tidak ada korelasi data (data independen) bila:

{1, (1 1,96 n 2 ) /( n 1)} r1 {(1 1,96 n 2 ) /( n 1),1}

(5)

Sebelum digunakan untuk analisis curah hujan rancangan, data dilakukan uji lanjutan untuk mengetahui
konsistensi data dan kemungkinan adanya kesalahan pencatatan. Metode uji konsistensi yang digunakan
adalah Uji Chi-Square dan Uji Smirnov Kolmogorof dengan menggunakan 3 (tiga) metode distribusi pada
masing-masing metoda uji, Rangkaian data hujan yang digunakan untuk analisis adalah hujan bulanan.
Metode-metode distribusi yang digunakan dalam pengujian statistik data hidrologi yaitu:
1. Metode Distribusi Gumbel Tipe I
Persamaan PDF dari Distribusi Gumbel Tipe I adalah:

p ( x) e

( x ) e

( x )

(6)

sedangkan persamaan CDF adalah:

p ( x) e e

( x )

(7)

Distribusi ini mempunyai 2 parameter, yaitu


= Parameter konsentrasi
= Ukuran gejala pusat
Karakteristik dari distribusi ini adalah:
Koefisien skew (g)

: 1.139

Koefisien Kurtosis

: 5.4

2. Metode Distribusi Log Normal 2 Parameter


Bila logaritma dari variabel acak x, Ln (x), terdistribusi normal, maka dikatakan bahwa variabel acak x
tersebut mengikuti distribusi log normal 2 parameter. Persamaan PDF dari distribusi Log Normal 2
Parameter adalah:

P( x)

148

1
x y

(ln x y ) 2
2

(8)

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

dimana:
y = Nilai rata-rata dari logaritma sampel data variabel x (ln x)

= Nilai simpangan baku dari logaritma sampel data variabel x (ln x)

3. Metoda Distribusi Log Pearson Tipe III

1
ln x
p ( x)
x ( )

ln x

(9)

Distribusi ini mempunyai 3 parameter, yaitu:

: Parameter skala

: Parameter bentuk

: Parameter lokasi

Uji Chi-Kuadrat efektif bila jumlah data pengamatan besar, karena sebelum dilakukan pengujian, data
pengamatan akan dikelompokkan terlebih dahulu. Pengelompokkan ini akan mengakibatkan akurasi
hasilnya berkurang. Untuk menghindari hal ini, maka dikembangkan metode uji dari data yang tak
dikelompokkan. Salah satu metoda yang banyak digunakan adalah Uji Kolmogorov-Smirnov.
Pengujian Kolmogorov - Smirnov dilaksanakan dengan cara menggambarkan distribusi empiris maupun
distribusi teoritis pada kertas grafik probabilitas sesuai dengan distribusi probabilitas teoritisnya. Kemudian
dicari perbedaan maksimum antara distribusi empiris dan teoritisnya:

D Maksimum Pteoritis Pempiris

(10)

Apabila nilai D < sesuai Tabel Kolmogorov-Smirnov Test (merupakan fungsi dari banyaknya data
pengamatan dan significance level), maka distribusi teoritisnya dapat diterima, bila terjadi sebaliknya,
maka distribusi teoritisnya tak dapat diterima.
Debit banjir rancangan dihitung dengan metode HSS Nakayasu untuk menghasilkan debit banjir
rancangan terbesar dengan karena pada lokasi studi tidak ditemukan data pembanding untuk dilakukan
kalibrasi numeriknya dengan persamaan sebagai berikut:

Qp

C A R 0
3.6 0.3 Tp T0.3

(11)

Keterangan:
Qp =
debit puncak banjir rancangan (m3/det)
C =
koefisien pengaliran
A =
luas daerah pengaliran (km2)
T0,3 =
waktu yang diperlukan oleh penurunan debit, dari debit puncak sampai menjadi 30%
dari debit puncak
R0 =
hujan satuan (mm)
Tp =
tenggang waktu (time lag) dari permulaan hujan sampai puncak banjir rancangan (jam)=
tg + 0.8 tr
Tg =
waktu konsentrasi (jam), tenggang waktu dari titik berat hujan sampai titik berat
hidrograf (time lag)
Limpasan air hujan mengalir pada sebuah Daerah Aliran Sungai (DAS) dan diklasifikasikan dalam tiga
zona, yaitu Zona Hulu (Up Stream), Zona Tengah (Central), dan hili (downstream) (Asdak, 2004).

Bandung, 12 September 2015

149

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

1. Daerah hulu DAS dicirikan dengan sungai sampai dengan orde 4, kerapatan sungai yang tinggi,
kondisi morfologi sungai terdiri dari pegunungan dengan kemiringan lereng >15% dan merupakan
daerah konservasi dengan jenis vegetasi berupa tanaman hutan.
2. Daerah tengah merupakan daerah tangkapan hujan yang terletak antara hulu dan hilir yang terdiri
atas lembah dan area terjadinya sedimentasi. Kemiringan lereng berada diantara 15% - 8%
3. Daerah hilir DAS dicirikan dengan kemiringan lereng < 8% dan sungai yang ada hanya sampai orde 2
dengan kerapatan sungai kecil dengan vegetasi didominasi oleh tanaman pertanian sedangkan pada
estuari didominasi dengan bakau/gambut.
Sedangkan untuk mengetahui besarnya angkutan sedimen layang dapat ditentukan melalui hasil
pengukuran debit aliran dan pengambilan contoh angkutan sedimen melayang dengan alat Suspended
Load Sampler. Berdasarkan hasil pengukuran debit dan pengambilan contoh air dan material dasar dapat
dicari hubungan antara debit aliran dan debit angkutan sedimen sebagai berikut :

Qs Qw C k
Dimana
Qs =
Qw =
C =
K =

(12)

:
debit sedimen melayang (ton/hari)
debit aliran (m3/det)
konsentrasi (mg/l)
0,0864 (konstanta pengubah dimensi satuan)

METODOLOGI STUDI
Kajian ini difokuskan pada merumuskan kerangka perancangan bangunan pengendalian banjir pada
kawasan pertambangan timah di sekitar areal permukiman secara menyeluruh yang terintegrasi dengan
Rencana Tata Ruang Wilayah Pemerintah Kabupaten Bangka. Diawali dengan melakukan inventarisasi
dan kajian terhadap permasalahan dan kendala yang merupakan dasar dalam menentukan melakukan
konsep pengendalian banjir yang sesuai di lokasi studi. Pada kawasan kolong seluas 69,98 ha dilakukan
analisa penelusuran banjir rencana menggunakan perangkat lunak Hec-HMS versi 4.0 dengan kala ulang
50 tahun sesuai dengan metoda distribusi hujan rancangan yang sesuai. Desain bangunan pengendali
banjir direncanakan dengan memanfaatkan luas dan tinggi bangunan maksimum sesuai dengan kondisi
daya dukung tanahnya dan ketersediaan bentang outlet karena adanya prasarana transportasi perkotaan.
Perancangan kelembagaan yang berkaitan dengan permasalahan teknis di lokasi studi ditentukan kriteria
dan indikator dari aspek sosial dan masyarakat menjadi faktor yang mempengaruhi perencanaan,
pengembangan dan pembangunan kawasan di derah berupa diterbitkannya rumusan peraturan daerah
untuk menjaga dan memelihara daerah aliran sungai dari kerusakan alam.

HASIL STUDI DAN PEMBAHASAN


Dari beberapa lokasi terdampak daya rusak air tersebar di Kabupaten Bangka, perencanaan
pengendalian banjir di Lingkungan Kampung Pasir memberikan keluaran yang lengkap dan dapat
diterapkan di wilayah lainnya yang sejenis. Pengendalian banjir yang menerapkan konsep pemanfaatan
kapasitas tampungan wilayah bekas tambang sebagai kolam detensi pengendali waktu tiba banjir,
tampungan sedimen akibat penambangan di hulu dan penerapan peraturan pengendalian tata guna lahan
di daerah hulu.
Penerapan analisa hujan wilayah pada lokasi studi menggunakan satu stasiun hujan yang ada di pulau
bangka yaitu Stasiun Hujan Depati Amir dengan hujan maksimum tahunan sebagaimana disajikan pada
Tabel 1.

150

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Tabel 1. Hujan Maksimum Tahunan Stasiun Hujan Depati Amir 1990 2009

Hujan Maksimum
Hujan Maksimum
Tahun
(mm)
(mm)
1980
88
1995
113.5
1981
114.6
1996
162.1
1982
95.5
1997
68.8
1983
126
1998
101.3
1984
105.4
1999
90.7
1985
77.9
2000
96.4
1986
135.1
2001
99
1987
96.8
2002
75.6
1988
87.6
2003
93.6
1989
96.9
2004
54.7
1990
62
2005
121.5
1991
86.5
2006
80
1992
64.4
2007
148.6
1993
74
2008
107.1
1994
152
2009
92
Hasil pengujian Outlier menunjukkan nilai koefisien skewness dari data tersebut di atas adalah 0.7065
(n>0.4) sehingga dengan hasil pemeriksaan outlier atas sebesar R=188.1 mm. Dengan Rmaks sebesar
162.1 maka data hujan maksimum stasiun Depati Amir lolos uji outlier atas.
Tahun

Uji statistik adanya trend dinyatakan bilamana t t mempunyai distribusi Students t dengan derajat
kebebasan = n 2. Seri data menunjukkan hasil diuji tidak mengandung trend karena memenuhi: t {2.05, 2,5 %} < -0.19411 < t {2.05, 97,5 %}
Analisa hujan rencana ditentukan dengan menggunakan periode ulang 50 tahun sesuai dengan Peraturan
Pemerintah no 11 Tahun 2012 tentang Sungai. Dari hasil analisis frekuensi didapatkan distribusi
probabilitas terbaik adalah distribusi Log Normal 2 Parameter dengan curah hujan rencana sebesar 164,1
mm (lihat Tabel 2).
Tabel 2. Hasil Analisis Hujan Rancangan

Kala Ulang T
(Tahun)

2
0.0000
5
0.8416
10
1.2816
25
1.7507
50
2.0537
Penyimpangan Maksimum
Delta Kritis (Sig. Level 5 %)
Hasil Uji Chi- Square
Hasil Uji Smirnov Kolomogorof

Bandung, 12 September 2015

Normal
98.9
121.2
132.9
145.3
153.3
11.17
24.2
diterima

Lognormal
2 Paramet.
95.6
119.2
133.9
151.5
164.1
6.23
24.2
diterima

diterima

diterima

Distribusi Probabilitas
Lognormal Gumbel I
3 Paramet.
96.0
94.9
119.6
121.9
133.9
139.7
150.8
162.3
162.7
179.1
6.62
8.30
24.2
24.2
diterima
diterima
diterima

diterima

Pearson III
95.8
119.8
134.2
151.0
162.8
6.49
24.2
diterima

Log
Pearson III
95.5
119.4
134.3
152.4
165.4
9.87
24.2
diterima

diterima

diterima

151

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Penentuan distribusi hujan dipilih menggunakan metode Mononobe dengan durasi hujan selama 6 jam
sehingga membentuk distribusi hujan wilayah sebagaimana disajikan pada Gambar 3 dan hidrograf banjir
rancangan pada Gambar 4 sebagai berikut:
Grafik Intensitas Hujan Tiap Jam Masing-masing Kala Ulang
100.00

90.00
80.00

Intensitas Hujan

70.00
60.00
Kala Ulang 2 Tahun

50.00

Kala Ulang 5 Tahun


Kala Ulang 10 Tahun

40.00

Kala Ulang 25 Tahun


Kala Ulang 50 Tahun

30.00
20.00
10.00
0.00

0.50

1.00

1.50

2.00

2.50

3.00

3.50

4.00

4.50

5.00

5.50

6.00

6.50

Waktu Konsentrasi (jam)

Gambar 3. Distribusi Hujan Perioda 6 jam


Hidrograf Banjir Rancangan DAS Pompong
300

250

DEBIT (m3/dtk)

200

150

100

50

0
0

10

11

12

13

14

15

16

17

18

19

20

21

22

23

24

WAKTU (jam)

Gambar 4. Hidrograf Banjir Rancangan DAS Pompong

Untuk mereduksi debit banjir maksimum sebesar 274,2 m3/dtk yang terjadi di Sungai Pompong pada
lokasi Lingkungan Kampung Pasir maka konsep pengendalian banjir direncanakan kolam detensi yang
berfungsi sebagai pengendali waktu dan debit banjir yang terjadi serta penahan aliran sedimentasi dari
daerah hulu sungai. Hasil analisa kondisi lapangan direncanakan kolam tampungan dengan kapasitas
2,26 x 106 m3 untuk menahan debit banjir dengan kala ulang 50th dan laju sedimentasi sebesar 54.836
m3/th. Layout desain pengendali banjir disajikan sebagai berikut sebagaimana tersaji pada Gambar 5 dan
6:

152

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Lokasi Kolong
Lingkungan
kampung Pasir

Lokasi Kolong
Lingkungan
kampung Pasir

Gambar 5. Desain Pengendali Banjir di Lingkungan Kampung Pasir

Gambar 6. Desain Check Dam di Lingkungan Kampung Pasir

Kandungan sedimen layang pada lokasi studi diperoleh dari penyelidikan dilapangan dengan metoda grab
sample. Hasil uji laboratorium menunjukkan kandungan sedimen layang pada aliran sungai Pompong
sebesar 40,77 mg/liter. Dengan pemanfaatan areal kolong yang ada maka desain ambang pelimpah
check dam dengan tinggi 3 m dan tampungan mati 1,19 juta m3 dapat meredam dampak banjir yang
terjadi di sekitar kolong.
Penanganan struktural perlu didukung strategi yang perlu diterapkan untuk merestorasi daerah bekas
tambang untuk mengurangi dampak daya rusak air antara lain penerapan regulasi (payung hukum)
terhadap kolong tambang timah. Regulasi tersebut dapat diterapkan dalam bentuk terbitnya perda oleh
pemerintah daerah Kabupaten Bangka dengan menetapkan kriteria kawasan perlindungan setempat
sekitar kolong yaitu dengan unsur unsur sebagai berikut:
1. Penentuan daratan sepanjang tepian danau/kolong yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan
kondisi fisik kolong antara 50 (lima puluh) meter dari muka air tertinggi aliran sungai.
2. Penerapan aspek hukum lainnya yaitu dengan memberikan batasan dataran banjir sungai (dengan
simulasi banjir kala ulang 50 tahunan) sesuai dengan peraturan pemerintah no 38 tahun 2011 tentang
Sungai.
3. Pengelolaan areal pertambangan yang berwawasan lingkungan.
4. Pemanfaatan areal kolong sebagai zona publik yang dapat dimanfaatkan masyarakat sebagai tempat
berkumpul dan bersosialisasi yang dapat meningkatkan pendapatan daerah Kabupaten Bangka.

Bandung, 12 September 2015

153

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI


Kesimpulan
Kolong bekas tambang timah di wilayah Kabupaten Bangka yang terbengkalai karena belum adanya
payung hukum yang tegas kepada pengusaha timah inkonvensional dalam mengelola areal tambangnya
yang menyebabkan naiknya muka air banjir meluap ke wilayah sekitar kolong. Luas areal tambang 69,98
ha merupakan areal yang efektif dimanfaatkan untuk menahan limpasan banjir yang terjadi di aliran
sungai Pompong. Penerapan check dam sebagai penahan laju sedimentasi dan pereduksi outflow banjir
berkurang hingga 18% dilaksanakan efektif seiring dengan ditetapkannya pengendalian pemanfaatan
daerah aliran sungai yang berwawasan lingkungan. Konstruksi check dam dengan kapasitas tampungan
sebesar 1,19 juta m3 dirancang untuk mengendalikan laju sedimentasi dengan kandungan 40,77 mg/liter
harus didukung dengan pemahaman masyarakat yang jelas dan dengan perkuatan payung hukum oleh
pemerintah daerah setempat. Eksplorasi tambang disertai dengan tindakan konservasi areal tambang
berupa pengembalian galian pasir ke lubang yang tidak terpakai lagi sehingga tidak merubah kondisi
morfologi sungai semula atau dengan penerapan aspek tanggung jawab sosial pengelola tambang
menjadikan areal bekas tambang sebagai ruang terbuka publik.
Rekomendasi
Untuk mendapatkan hasil studi yang lebih baik dimasa yang akan datang, perlu digalakkan kembali
pemasangan stasiun pengamatan hidrologi pada masing masing daerah aliran sungai untuk mendapatkan
karakteristik klimatologi yang lebih akurat. Pemerintah daerah diharapkan tidak lagi mengedepankan
problem solving dengan konsep desain stuktural, tetapi non struktural dengan melibatkan partisipasi
masyarakat agar terjadi keselarasan antara pemerintah dengan masyarakat.

REFERENSI
Chow,Ven Te, David R.Maidment and Larry W. Mays. 1988. Applied Hydrology. McGraw-Hill Inc.
Asdak, Chay. 2010. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada University Press.
Bappeda Kabupaten Bangka. 2010. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bangka 2010-2030.
Kabupaten Bangka
DDC Consultants, PT. 2010. Laporan Akhir Identifikasi DAS Kritis Pulau Bangka. Pangkalpinang
Hegar Daya, PT. 2013. Laporan Akhir Penyusunan Rancangan Rencana Pengelolaan Sumber Daya Air
Wilayah Sungai Bangka Tahap I. Pangkalpinang.
Kwarsa Hexagon, PT. 2014. Masterplan Penanggulangan Banjir Kabupaten Bangka. Pangkalpinang.

154

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

PENGENDALIAN DAYA RUSAK AIR

EVALUASI KAPASITAS SALURAN DRAINASE PADA KAWASAN


PERMUKIMAN MANDIRI BERWAWASAN PENDIDIKAN
Sandy Sella Fajar1* dan Doddi Yudianto1
1Program

Studi Teknik Sipil, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, Indonesia


*sandysella@gmail.com

Abstrak
Seiring dengan pesatnya laju pertumbuhan penduduk di wilayah perkotaan di Indonesia termasuk Kota
Bandung, ketersediaan permukiman merupakan salah satu prioritas untuk mendukung pertumbuhan
ekonomi kota. Sesuai dengan konsep terkini, pengelolaan hujan seyogyanya memperhatikan faktor
konservasi dan keberlanjutan sistem. Studi ini dimaksudkan untuk mengevaluasi kapasitas saluran
drainase pada salah satu kawasan permukiman mandiri yang berwawasan pendidikan yang terletak di
Bandung Barat khususnya pada dua buah cluster terpilih dengan luas lahan masing-masing 11,56 hektar
dan 11,63 hektar. Guna mewujudkan lingkungan permukiman yang berwawasan lingkungan, setiap
cluster dikembangkan dengan memanfaatkan lahan hijau sebagai trotoar dan paving block sebagai
lapisan penutup lapisan jalan. Mempertimbangkan tidak tersedianya data curah hujan berdurasi pendek
pada lokasi studi, analisis curah hujan dilakukan dengan mengubah koefisien pada persamaan
Mononobe untuk Padalarang berdasarkan informasi hujan yang tercatat pada BMKG Kota Bandung
dengan periode data tahun 1986 2014. Hasil analisis yang diperoleh menunjukkan bahwa di periode
ulang 2 dan 5 tahun sejumlah ruas saluran memiliki kapasitas lebih kecil dibandingkan debit banjir yang
terjadi. Untuk cluster pertama terindikasi 3 buah saluran berpotensi menyebabkan terjadinya genangan
pada periode ulang 2 tahun dan 4 buah saluran pada periode ulang 5 tahun. Sedangkan pada cluster ke2, hasil analisis menunjukkan jumlah saluran yang berisiko pada periode ulang 5 tahun adalah 1 saluran.
Kata kunci: sistem drainase, kapasitas saluran, lahan hijau, permukiman Bandung Barat

LATAR BELAKANG
Pengembangan lahan tentu mengakibatkan perubahan tata guna lahan yang akan berdampak pada
kondisi alamiah serta siklus hidrologi. Secara alamiah suatu lahan telah menyediakan sistem drainase
alami yang mampu meresapkan air hujan ke dalam tanah serta mengalirkan limpasan ke bagian hilir.
Ketika lapisan permukaan tanah berubah menjadi lapisan yang kedap air maka hal ini akan berdampak
pada meningkatnya volume limpasan dan berkurangannya kapasitas tanah dalam menyerapakan air
sebagai infiltrasi. Menurut UU Nomor 37 tahun 2014 pasal 1 butir 2 menjelaskan bahwa konservasi tanah
dan air adalah upaya pelindungan, pemulihan, peningkatan, dan pemeliharaan fungsi tanah pada lahan
sesuai dengan kemampuan dan peruntukan lahan untuk mendukung pembangunan yang berkelanjutan
dan kehidupan yang lestari. Salah satu kawasan yang menerapkan konsep ini adalah Kota Baru
Parahyangan (KBP) yang terletak di Padalarang, Jawa Barat.
Kota Baru Parahyangan merupakan kawasan permukiman terpadu yang dibangun berdasarkan tiga dasar
utama yaitu budaya, sejarah, dan pendidikan. Lahan seluas 1.250 Ha dengan ketinggian berkisar antara
650 900 meter di atas permukaan laut ini berbatasan langsung dengan Waduk Saguling di bagian
selatannya. KBP sendiri dikembangankan sebagai permukiman dengan sistem cluster. Sampai saat ini
telah dibangun dengan total lima belas. Dalam menangani perubahan lahan di KBP, telah dilakukan
sebuah gerakan penghijauan untuk menanggulangi dampak pembangunan terhadap lingkungan alami.
Beberapa gerakan tersebut ialah dengan menggunakan biopori sebagai media untuk menyerapkan air
hujan ke dalam tanah dengan lebih efisien dan juga pemilihan paving block daripada aspal untuk

Bandung, 12 September 2015

155

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

perkerasan jalan agar air hujan masih bisa menyerap ke dalam tanah. Pada lokasi studi yang baru
sebagian terbangun perlu dilakukan evaluasi mengenai kapasitas saluran drainase yang ada apabila
seluruh kawasan telah menjadi perumahan. Hal ini berkaitan dengan peningkatan volume limpasan akibat
perubahan tata guna lahan yang semula lahan terbuka menjadi lahan kedap air berupa perumahan.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dampak dari pengembangan di kedua cluster dengan
cara :
Membandingkan debit di saluran pada kondisi yang telah terbangun saat ini dengan kondisi terbangun
seluruhnya.
Mengevaluasi kapasitas saluran drainase terhadap peningkatan debit akibat pengembangan lahan.
Metode rasional digungan di dalam menganalisis kapasitas saluran pada cluster di lokasi studi.
Penggunaan metode ini terbatas untuk daerah tangkapan hujan (DTH) kecil dengan luas wilayah kurang
dari 300 Ha.Persamaan umum metode rasional:

Q p 0,278 C I A

(1)

Keterangan :
QP : debit puncak ( m3/s)
C : koefisien aliran permukaan ( 0 C 1 ), yang ditentukan berdasarkan jenis tata guna lahan
I : intensitas hujan (mm/jam)
A : luas DTH (km2)
Untuk menentukan nilai C yang digunakan di dalam perhitungan tergantung dari jenis lahan di lokasi studi,
sesuai nilai C yang ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Koefisien Limpasan Metode Rasional
(Sumber : Suripin, Sistem Drainase Perkotaan Yang Berkelanjutan , 2003)

No
Deskripsi Lahan
Koefisien Aliran (C)
1
Batu bata dan paving
0,50-0,70
2
Taman tempat bermain
0,20-0,35
3
Multiunit, Tergabung
0,60-0,75
Di dalam intensitas hujan terdapat pengaruh waktu konsentrasi pada wilayah dimana hujan itu jatuh.
Waktu konsentrasi adalah waktu yang dibutuhkan oleh limpasan hujan untuk mengalir dari daerah
tangkapan yang paling jauh sampai ke lokasi yang ditinjau (outlet). Waktu konsentrasi diperlukan untuk
menentukan intensitas hujan pada analisis Intensitas Durasi Frekuensi (IDF). Secara umum waktu
konsentrasi merupakan penjumlahan dari waktu aliran di lahan dan saluran yang dirumuskan sebagai
berikut:

t c ti tt

(2)

Keterangan:
tc: waktu konsentrasi (menit)
ti : waktu aliran limpasan di permukaan (menit)
tt : waktu untuk mengalir dalam saluran (menit)
Formula empiris yang bisa digunakan untuk menghitung ti antara lain dengan persamaan berikut:
Formula Hathaway

ti

0,606( L n) 0, 467
S 0, 284

(3)

Keterangan:
ti : waktu konsentrasi aliran di permukaan (jam)
L : panjang lintasan aliran (km)

156

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

S : kemiringan lahan (m/m)


n : koefisien kekasaran lahan
Nilai kekasaran lahan berdasarkan sumber yang digunakan pada studi ini ada tiga macam, sesuai yang
ditunjukkan pada Tabel 2.
Tabel 2. Koefisien Kekasaran

No
1
2
3

tt

Jenis Permukaan
Halus, kedap air
Halus, tanah terbuka
Berumput jarang, tanaman berjajar

n
0,02
0,1
0,2

L
60 v

(4)

Keterangan:
tt : Waktu konsentrasi di saluran (menit)
L : Panjang saluran (m)
V : Kecepatan aliran (m/s)
Debit aliran seragam pada saluran (Q) dapat dihitung dengan rumus :

Q v A

(5)

Keterangan:
Q : debit aliran (m3/s)
V : kecepatan aliran rata-rata (m/s)
A : luas penampang basah aliran (m2)

METODOLOGI STUDI
Metode penelitian yang digunakan dalam studi ini ada tiga tahap yaitu, metode pengamatan yang
dilakukan untuk mengetahui kondisi studi secara langsung dan dibandingkan dengan gambar kerja yang
telah diberikan. Kemudian studi pustaka dilakukan untuk menunjang pemahaman tentang analisa data
curah hujan dan memahami peningkatan volume limpasan sebagai akibat dari pengembangan lahan serta
evaluasi mengenai saluran drainase serta analisis data dan penyusunan laporan untuk mencari seberapa
besar pengaruh peningkatan debit dan akibatnya terhadap kapasitas saluran yang telah
terbangun.Gambar 1 memperlihatkan diagram alir yang dilakukan pada studi ini.

Mulai

Identifikasi Masalah

Pengumpulan Site Plan


cluster

Evaluasi kapasitas saluran

Analisis debit banjir

Analisis curah hujan

Analisis dampak rencana


pengembangan

Kesimpulan dan saran

Selesai

Gambar 1. Diagram alir penelitian

Bandung, 12 September 2015

157

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

HASIL STUDI DAN PEMBAHASAN


Intensitas hujan merupakan tinggi atau kedalaman air hujan per satuan waktu. Sifat umum hujan adalah
semakin singkat hujan jatuh maka intensitasnya cenderung tinggi dan makin besar periode ulangnya
maka semakin tinggi juga intensitasnya. Hubungan antara intensitas, lama hujan dan frekuensi hujan
dinyatakan dalam sebuah kurva Intensitas-Durasi-Frekuensi (IDF). Untuk keperluan pada studi ini maka
digunakan periode ulang 2 tahun dan 5 tahun.
Di dalam mendapatkan kurva IDF selain dengan menggunakan persamaan Talbot, Sherman dan Ishiguro,
bisa juga digunakan persamaan Mononobe yang data hujannya berasal dari curah hujan maksimum
tahunan. Meskipun pada kenyataannya hasil kurva IDF menggunakan Mononobe kurang akurat bila
dibandingkan bila menggunakan persamaan Talbot, Sherman dan Ishiguro yang data hujannya berasal
dari curah hujan durasi pendek. Namun, karena pada lokasi studi hanya curah hujan maksimum tahunan
yang tersedia, maka dicari kurva IDF dengan persamaan Mononobe. Namun diperlukan perubahan
koefisien pada persamaannya yang diambil dari keofisien Mononobe di Bandung.
Berdasarkan hasil analisis frekuensi didapat intensitas hujan rencana untuk periode ulang 2 tahun adalah
Padalarang sebesar 68,8 mm dan Bandung sebesar 78,7 mm serta untuk periode ulang 5 tahun adalah
Padalarang sebesar 83,9 mm dan Bandung sebesar 92,8 mm .
Perhitungan perubahan koefisien untuk periode ulang 2 tahun dicari dengan melihat selisih terkecil antara
data asli yang dihasilkan dari analisis frekuensi durasi pendek Bandung dengan hasil dari Mononobe
Bandung. Pemilihan koefisien dibatasi dengan hanya melihat durasi yang kurang dari 10 menit. Karena
apabila melihat secara keseluruhan memang sulit menentukan nilai pangkat hingga persamaan
Mononobe tersebut mirip dengan data hujan aslinya. Hal ini didasari pada waktu konsentrasi yang terjadi
pada lokasi studi yang berkisar antara 5-15 menit. Setelah dicoba didapat pangkat untuk periode ulang 2
tahun adalah 0,735. Gambar 2 menunjukkan perbandingan antara hasil dari analisis frekuensi durasi
pendek Bandung dan Mononobe untuk periode ulang 2 tahun.
Intensitas (mm/jam)

250
200
150
100
50
0
0

15

30

45

60 75 90 105 120 135 150 165 180 195


Data Asli
Bandung
t (menit)

Gambar 2. Kurva Perbandingan Data Asli dengan Mononobe Bandung Periode Ulang 2 Tahun

Sedangkan Gambar 3 menunjukkan perbandingan antara hasil dari analisis frekuensi durasi pendek
Bandung dan Mononobe untuk periode ulang 5 tahun. Perhitungan yang dilakukan sama seperti pada
periode ulang 2 tahun, dimana perubahan pangkat hanya di fokuskan pada waktu konsentrasi 5-15 menit.

158

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

300

Intensitas (mm/jam)

250
200
150
100
50
0
0

15

30

45

60 75 90 105 120 135 150 165 180 195


data asli
bandung
t (menit)

Gambar 3. Kurva Perbandingan Data Asli dengan Mononobe Bandung Periode Ulang 5 Tahun

Dengan demikian selanjutnya analisis saluran drainase menggunakan persamaan Mononobe dari
intesitas hujan maksimum tahunan di Padalarang dengan nilai pangkat yang telah diubah sesuai dengan
nilai pangkat yang didapat dari persamaan Mononobe di Bandung. Untuk periode ulang 2 tahun
perubahan nilai pangkat menjadi 0,735 dan periode ulang 5 tahun perubahan nilai pangkat menjadi 0,742.
Sehingga perubahan pangkat dari persamaan Mononobe diambil rata-rata yaitu sebesar 0,739. Berikut
persamaan yang digunakan.

68,8 24
Periode ulang 2 tahun: I
.
24 t

0 , 739

83,9 24
Periode ulang 5 tahun : I
.
24 t

(6)
0 , 739

(7)

Seiring dengan berkembangnya lahan tentu akan meningkatkan volume limpasan di kawasan tersebut.
Analisis debit ini dilakukan untuk mengetahui seberapa besar debit yang mengalir di setiap saluran
dengan menggunakan periode ulang 2 tahun dengan kondisi kawasan yang telah terbangun saat ini.
Gambar 5 merupakan site plan dari Cluster Ratnasasih, dimana daerah yang diarsir merah menunjukkan
lahan yang masih kosong dan yang putih menunjukkan lahan yang telah terbangun dengan rumah.

Gambar 4. Kondisi Cluster Ratnasasih yang Telah Terbangun Saat Ini

Kondisi saat ini pada Cluster Mayangsunda ditunjukkan pada Gambar 5 dengan warna putih menunjukkan
lahan yang telah terbangun dan arsiran berwarna merah menunjukkan lahan yang belum terbangun
dengan keadaan masih berupa rerumputan. Pembangunan masih terpusat di bagian tengah , sedangkan
bagian tepi dari cluster masih sekitar 75 % belum terbangun.

Bandung, 12 September 2015

159

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Gambar 5. Kondisi ClusterMayangsunda yang Telah Terbangun Saat Ini

Hasil menunjukkan bahwa rentan tinggi jagaan di dalam saluran saat ini berkisar antara 2,9 cm sampai
dengan 38,7 cm dengan debit yang mengalir berkisar antara 0,005 m3/s sampai dengan 0,1428 m3/s
untuk cluster yang pertama dan hasil menunjukkan bahwa rentan tinggi jagaan di dalam saluran saat ini
berkisar antara 8,9 cm sampai dengan 33,8 cm dengan debit yang mengalir berkisar antara 0,0034 m3/s
sampai dengan 0,2208 m3/s untuk cluster yang kedua.Sehingga kapasitas saluran secara keseluruhan
masih mencukupi.
Sesuai dengan tujuan studi ini yaitu untuk mengevaluasi kapasitas saluran drainase dilihat dari seberapa
besar peningkatan tinggi air di dalam saluran untuk cluster Ratnasasih dan Mayangsunda terhadap data
intensitas hujan yang baru. Kedua cluster ini direncanakan pada tahun 2004 mengacu pada shop drawing
yang diberikan. Dengan melihat data hujan yang baru, akan dikaji apakah dimensi saluran yang telah
dibangun saat ini masih memenuhi kapasitasnya untuk mengalirkan air limpasan. Evaluasi dilakukan
dengan selalu menggangap aliran air yang terjadi di dalam saluran adalah dalam kondisi aliran pada
saluran terbuka serta menggunakan periode ulang 2 dan 5 tahun dan kondisi kedua cluster terbangun
secara penuh.
Untuk cluster yang pertama pada periode ulang 2 tahun nilai debit banjir berkisar antara 0,0043 m3/s
sampai dengan 0,1728 m3/s. Sedangkan untuk periode ulang 5 tahun nilai debit banjir berkisar antara
0,0052 m3/s sampai dengan 0,2501 m3/s. Dengan peningkatan debit banjir akibat lahan yang terbangun
mengakibatkan kapasitas salurannya tidak mencukupi. Tabel 3 menunjukkan saluran yang kapasitasnya
tidak mencukupi sesuai dengan periode ulang yang digunakan. Untuk periode ulang 2 tahun kapasitas
saluran yang tidak mencukupi menjadi 3 saluran yaitu saluran H-5, A3-2, dan B-1, sedangkan untuk
periode ulang 5 tahun bertambah menjadi 4 saluran termasuk saluran E-5.
Tabel 3. Kapasitas saluran yang tidak terpenuhi Cluster Ratnasasih

Debit Banjir (m3/s)


2 tahun
5 tahun
H-5
0,3
0,0735
0,0908
0,1163
A3-2
0,3
0,1375
0,1728
0,2501
B-1
0,3
0,0735
0,087
0,1041
E-5
0,3
0,1469
0,1347
0,1674
Tabel 4menunjukkan debit di setiap outlet yang terjadi untuk keadaan yang telah terbangun saat ini, dan
terbangun seluruhnya dengan periode ulang 2 dan 5 tahun.
Nama Saluran

160

Dimensi (m)

Debit Maks. (m3/s)

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Tabel 4. Debit di outlet dengan berbagai kondisi Cluster Ratnasasih

Kondisi Saat Ini


Terbangun Penuh
tc (menit)
Q (m3/s)
2-tc (menit)
2-Q (m3/s)
5-tc (menit)
5-Q (m3/s)
1
8,6
0,0793
6,1
0,1548
6,1
0,1971
2
12,6
0,3352
12,4
0,4041
12,4
0,5098
3
9,5
0,1702
6,9
0,2395
6,4
0,3228
4
10,6
0,2858
7,2
0,4627
7,5
0,5704
5
10,1
0,1081
6,5
0,1622
7,3
0,1901
6
8,2
0,0676
2,2
0,0961
4,0
0,0769
7
10,6
0,0212
6,7
0,0271
6,6
0,0345
Untuk cluster yang kedua hasil menunjukkan hasil peningkatan debit banjir setelah seluruh kawasan
terbangun. Pada periode ulang 2 tahun nilai debit banjir berkisar antara 0,0031 m3/s sampai dengan
0,3008 m3/s. Sedangkan untuk periode ulang 5 tahun nilai debit banjir berkisar antara 0,0034 m3/s
sampai dengan 0,3491 m3/s.Untuk periode ulang 2 tahun semua saluran terpenuhi kapasitasnya dan 5
tahun dampak dari pengembangan lahan berakibat pada satu saluran yang kapasitasnya tidak mencukupi
yaitu saluran KIRI-P9-P8 yang ditunjukkan pada Tabel 5.
Titik Outlet

Tabel 5. Kapasitas saluran yang tidak terpenuhi ClusterMayangsunda

Debit Banjir (m3/s)


2 tahun
5 tahun
KIRI-P9-P8
0,4
0,2502
0,2208
0,2676
Tabel 6 merupakan debit banjir yang terjadi di setiap outlet dengan keadaan yang telah terbangun saat ini
menggunakan periode ulang 2 tahun dan keadaan setelah terbangun seluruhnya dengan periode ulang 2
dan 5 tahun.
Nama Saluran

Dimensi (m)

Debit Maks. (m3/s)

Tabel 6. Debit di outlet dengan berbagai kondisi ClusterMayangsunda

Titik Outlet
1
2
3
4

Kondisi Saat Ini


tc (menit)
Q (m3/s)
9,6
0,2989
12,77
0,,517
12,75
0,58
11,65
0,189

2-tc (menit)
7,47
12,5
12,74
7,96

Terbangun Penuh
2-Q (m3/s)
5-tc (menit)
0,3422
7,35
1,733
14,22
0,609
12,7
0,233
7,87

5-Q (m3/s)
0,405
0,694
0,754
0,283

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI


Kesimpulan
Persamaan Mononobe dari data curah hujan Padalarang mengalami perubahan nilai pangkat menjadi
0,739. Peningkatan rata-rata debit di titik outlet berdasarkan kondisi yang telah terbangun saat ini
dibandingkan dengan keadaan terbangun sepenuhnya menggunakan periode ulang 2 tahun di Cluster
Ratnasasih adalah sebesar 48,93 % sedangkan untuk Cluster Mayangsunda sebesar 69,49 %. Di cluster
yang pertama terdapat 3 buah saluran yang terindikasi kapasitasnya tidak mencukupi pada periode ulang
2 tahun dan 4 saluran pada periode ulang 5 tahun sedangkan pada cluster yang kedua hanya terdapat 1
saluran pada periode ulang 5 tahun.
Rekomendasi
Diperlukan observasi secara berkala untuk mengukur ketinggian air di saluran, terutama saluran yang
kapasitasnya tidak terpenuhi.Dengan kondisi KBP yang masih dalam tahap pengembangan diperlukan
stasiun hujan otomatis untuk mendapatkan curah hujan berdurasi pendek yang akan digunakan di dalam
Bandung, 12 September 2015

161

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

perencaan sistem drainase.Analisis yang dilakukan pada studi menggunakan karakteristik saluran
terbuka, sehingga untuk studi selanjutnya digunakan bantuan peranti lunak Storm Water Model
Management (SWMM).

UCAPAN TERIMA KASIH


Penulis dengan segala kerendahan hati ingin mengucapkan terima kasih yang mendalam kepadaBapak
Doddi Yudianto, Ph.D., selaku dosen pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu dan
mencurahkan tenaga serta pikirannya selama proses bimbingan, tidak sedikit ilmu dan saran yang penulis
terima yang sangat bermanfaat di dalam menunjang keberhasilan studi ini.

REFERENSI
Suripin. (2004). Sistem Drainase Perkotaan Yang Berkelanjutan. Andy Offset, Yogyakarta.

162

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

PENGENDALIAN DAYA RUSAK AIR

EVALUASI DAMPAK PEMBANGUNAN GEDUNG TERHADAP KINERJA


SISTEM DRAINASE KAMPUS
Arnold Saputra1*, Doddi Yudianto1
1Program

Studi Teknik Sipil, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, Indonesia


*arnold.muljadi@gmail.com

Abstrak
Sehubungan dengan rencana pembangunan Gedung Pusat Pembelajaran Arntz Geise (PPAG) di
lingkungan kampus Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Ciumbuleuit sebagai upaya untuk
meningkatkan fasilitas pembelajaran, studi ini dimaksudkan untuk mengevaluasi dampak pengembangan
lahan dan perubahan curah hujan terhadap kapasitas sistem drainase yang ada. Selain menyajikan tata
saluran sesuai rencana pengembangan kampus, studi ini juga ditujukan untuk perencanaan kolam retensi
dan sumur resapan sebagai infrastruktur pengendali limpasan dan konservasi air tanah. Berdasarkan hasil
studi diketahui bahwa pembangunan gedung pada lahan seluas 0,4251 ha dengan menyertakan analisis
curah hujan dalam 29 tahun terakhir akan mengakibatkan terjadinya peningkatan limpasan permukaan
dimana puncak debit banjir pada periode ulang 2 tahun mengalami kenaikan dari 0,02360 m3/s menjadi
0,02722 m3/s. Meskipun terjadi peningkatan debit banjir, namun hasil analisis kapasitas saluran
mengindikasikan bahwa sebagian besar ruas saluran yang tersedia masih aman terhadap risiko
genangan. Tinggi jagaan minimum yang diperoleh pada kondisi banjir terkini adalah 0,03 m. Untuk
mengendalikan limpasan yang terjadi sekaligus melakukan upaya konservasi air, Unpar mutlak perlu
menyediakan sebuah kolam retensi dengan volume 115.5 m3 yang dikombinasikan dengan 2 sumur
resapan.
Kata Kunci: kampus Unpar, kolam retensi, pengembangan lahan, sumur resapan

LATAR BELAKANG
Universitas Katolik Parahyangan atau dikenal dengan Unpar adalah salah satu perguruan tinggi yang
terletak di Jalan Ciumbuleuit, Bandung. Sejak pertama kali didirikan pada tahun 1955, kawasan Unpar
sudah beberapa kali mengalami perubahan tata guna lahan. Perencanaan perubahan tata guna lahan di
kawasan Unpar yang direncanakan dilaksanakan mulai tahun ini adalah pembangunan Gedung Pusat
Pembelajaran Arntz Geise (PPAG) yang terdiri atas gedung sementara 2 lantai dan 3 basement. Dalam
pembangunan gedung PPAG tersebut diperlukan perencanaan sistem drainase yang matang dalam
upaya mengendalikan limpasan permukaan dan terjadinya genangan pada saat musim hujan serta
meresapkan kembali air hujan ke dalam tanah.
Sehubungan dengan adanya perubahan kembali atas pembangunan gedung PPAG dimana luas lahan
terbangun akan diperluas hingga gedung Workshop Arsitektur, studi dimaksudkan untuk mengkaji dampak
dari perluasan lahan sekaligus melakukan perencanaan sumur resapan di lingkungan kampus Unpar
Ciumbuleuit.
Sumur resapan sendiri merupakan rekayasa teknik konservasi air yang berupa bangunan yang dibuat
sedemikian rupa sehingga menyerupai bentuk sumur gali dengan kedalaman tertentu yang berfungsi
sebagai tempat menampung air hujan dari atas atap rumah dan meresapkannya ke dalam tanah (Dephut,
1994).
Unpar yang berada di kawasan pemukiman menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.
41/PRT/M/2007, perubahan tata guna lahan di kawasan perumahan harus dilengkapi dengan membuat

Bandung, 12 September 2015

163

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

sumur resapan air hujan mengikuti SNI 03 2453 2002 tentang Tata Cara Perencanaan Sumur
Resapan Air Hujan untuk Lahan Perkarangan.
Sistem Drainase Berkelanjutan
Drainase yang berasal dari bahasa Inggirs drainage mempunyai arti mengalirkan, menguras, membuang,
atau mengalihkan air. Dalam bidang teknik sipil, drainase secara umum dapat didefinisikan sebagai suatu
tindakan teknis untuk mengurangi kelebihan air, baik yang berasal dari air hujan, rembesan, maupun
kelebihan air irigasi dari suatu kawasan/lahan, sehingga fungsi kawasan/lahan tidak terganggu. Drainase
dapat juga diartikan sebagai usaha untuk mengontrol kualitas air tanah dalam kaitannya dengan salinitas.
Jadi, drainase menyangkut tidak hanya air permukaan tapi juga air tanah.
Berdasarkan prinsip pengertian sistem drainase di atas yang bertujuan agar tidak terjadi banjir di suatu
kawasan, ternyata air juga merupakan sumber kehidupan. Bertolak dari hal tersebut, maka konsep dasar
pengembangan sistem drainase yang berkelanjutan adalah meningkatkan daya guna air, meminimalkan
kerugian, serta memperbaiki dan konservasi lingkungan. Untuk itu diperlukan usaha-usaha yang
komprehensif dan integratif yang meliputi seluruh proses, baik yang bersifat struktural maupun non
struktural untuk mencapai tujuan tersebut (Suripin, 2004).
Sampai saat ini perancangan drainase didasarkan pada filosofi bahwa air secepatnya mengalir dan
seminimal mungkin menggenangi daerah layanan. Tapi dengan semakin timpangnya perimbangan air
(pemakaian dan ketersedian) maka diperlukan suatu perancangan draianse yang berfilosofi bukan saja
aman terhadap genangan tapi juga sekaligus berasas pada konservasi air (Sunjoto, 1987). Konsep sistem
drainase yang berkelanjutan merupakan prioritas utama kegiatan yang harus ditujukan untuk mengelola
limpasan permukaan dengan cara mengembangkan fasilitas untuk menahan air hujan. Berdasarkan
fungsinya, fasilitas penahan air hujan dapat dikelompokkan menjadi dua tipe, yaitu tipe penyimpanan
(storage types) dan tipe peresapan (infiltration types).

Gambar 1. Klasifikasi fasilitas penahan air hujan (Sumber: Suripin, 2004)

Kolam Retensi
Kolam retensi merupakan suatu cekungan atau kolam yang dapat menampung atau meresapkan air di
dalamnya, tergantung dari jenis bahan pelapis dinding dan dasar kolam. Kolam retensi dapat dibagi
menjadi 2 macam, yaitu kolam alami dan kolam non alami.
Fungsi dari kolam retensi adalah untuk menggantikan peran lahan resapan yang dijadikan lahan
tertutup/perumahan/perkantoran maka fungsi resapan dapat digantikan dengan kolam retensi. Fungsi
kolam ini adalah menampung air hujan langsung dan aliran dari sistem untuk diresapkan ke dalam tanah.

164

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

sehingga kolam retensi ini perlu ditempatkan pada bagian yang terendah dari lahan. jumlah, volume, luas
dan kedalaman kolam ini sangat tergantung dari berapa lahan yang dialihfungsikan menjadi kawasan
tertutup.
Sumur Resapan
Konsep dasar sumur resapan adalah memberi kesempatan dan jalan pada air hujan yang jatuh di atap
atau lahan yang kedap air untuk meresap ke dalam tanah dengan jalan menampung air tersebut pada
suatu sistem resapan. Sumur resapan ini merupakan sumurr kosong dengan kapasitas tampungan yang
cukup besar sebelum air meresap ke dalam tanah. Dengan adanya tampungan, maka air hujan
mempunyai cukup waktu utnuk meresap ke dalam tanah, sehingga pengisian tanah menjadi optimal.
Sumur resapan banyak mendatangkan manfaat, namun pembuatannya harus memperhatikan syarat
syarat yang diperlukan untuk mendapatkan hasil yang optimal, yaitu:
1. Sumur resapan air hujan dibuat pada lahan yang memiliki permeabilitas tinggi, atau memiliki lapisan
akuifer yang cukup tebal. Nilai permeabilitas disajikan dalam Tabel 2.
2. Sumur resapan hujan harus bebas kontaminasi limbah. Dengan kata lain, air yang diperbolehkan
untuk diresapkan hanyalah air hujan.
3. Untuk daerah sanitasi lingkungan buruk, sumur resapan air hujan hanya menampung air dari atap
dan disalurkan melalui talang
Dalam perencanaan perlu dipertimbangkan aspek hidrogeologi, geologi, dan hidrologi.
Terpenuhinya jarak minimum sumur resapan terhadap bangunan lainnya sepeti tersaji pada Tabel 1.
Tabel 1. Jarak minimum sumur resapan air hujan terhadap bangunan
(Sumber: SNI 03-2453-2002)

No.

Jenis bangunan

Jarak minimum dari sumur resapan air hujan (m)

Sumur resapan air hujan/sumur air bersih

Pondasi Bangunan

Bidang resapan/sumur resapan tangki septik

Tabel 2. Nilai koefisien permeabilitas tanah di kawasan Bandung


(Sumber: Puslitbang Pengairan, 1966)

No.

Lokasi

Nilai Permeabilitas (cm/s)

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12

Arjasari
Kp.Damur, Cimanggung
Bandung Highland
Dago
Hegarmanah, Cikeruh
Patal Cipadung
Gegerbeas, Cimaung
Cihampelas, Cililin
Gn. Batu, Cimindi
Cibeureum, Pangalengan
Sayang, Rancaekek
Jl. Anggrek

1,78 10-4
1,17 10-3
5,23 10-5
8,55 10-4
3,60 10-4
3,87 10-4
1,45 10-4
4,51 10-4
3,37 10-4
3,17 10-4
9,15 10-5
6,75 10-4

Bandung, 12 September 2015

165

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

METODOLOGI STUDI
Mulai

Studi Pustaka

Pengumpulan Data :

Data Karakteristik Tanah


Data Curah Hujan
Site Plan

Menentukan Lokasi
Sumur Resapan

Analisis Pelebaran Saluran


Drainase Akibat Perluasan Lahan

Analisis Debit dan


Dimensi Sumur
Resapan

Analisis Volume Kolam Parkir Banjir


Akibat Perluasan Lahan

Tidak Terpenuhi

Estimasi Dimensi
dan Volume Kolam
Retensi

Desain Dimensi
Ulang

Terpenuhi

Kesimpulan dan Saran

Selesai

166

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

HASIL STUDI DAN PEMBAHASAN


Analisis Uji Kelayakan Data Curah Hujan
Analisis uji kelayakan data curah hujan meliputi pemeriksaan outlier, pemeriksaan trend, pemeriksaan
stabilitas variance dan mean serta pemeriksaan independensi. Untuk mengidentifikasi data tersebut, akan
dilakukan pemeriksaan terhadap semua data curah hujan yang telah diperoleh yaitu data curah hujan dari
BMKG Kota Bandung dengan rentang data dari tahun 1986 sampai 2014, pemeriksaan data hujan ini
akan digunakan dalam pembuatan IDF (Intensitas Durasi Frekuensi). Hasil dari pemeriksaan kelayakan
dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Hasil pemeriksaan kelayakan data hujan BMKG Kota Bandung

Curah Hujan (menit)

Outliers

Trend

Independensi

5
10
15
20
45
60
120
180
360
720

tidak ada
tidak ada
tidak ada
ada
ada
ada
ada
ada
tidak ada
ada

ada
tidak ada
tidak ada
tidak ada
tidak ada
tidak ada
tidak ada
tidak ada
tidak ada
tidak ada

independen
independen
independen
tidak independen
tidak independen
tidak independen
tidak independen
independen
independen
independen

Analisis Lengkung IDF


Data hujan yang diperoleh pada studi ini, memiliki panjang tahun yang lebih besar di bandingkan pada
studi terdahulu. Data hujan yang diperoleh yaitu dari tahun 1986 sampai tahun 2014, lebih panjang 1
tahun di bandingkan studi terdahulu yang hanya sampai tahun 2013. Dengan trend data hujan yang
semakin besar, maka untuk melakukan evaluasi kapasitas saluran drainase perlu dilakukan analisis
lengkung IDF berdasarkan data hujan yang baru. Lengkung IDF diperlukan untuk menghasilkan debit
puncak yang mengalir pada ruas saluran. Dalam studi ini, pembuatan lengkung IDF menggunakan
periode ulang 2 tahun dan 5 tahun, untuk data hujan 1986 sampai 2014. Dengan menggunakan data
hujan tahun 1986 sampai 2014, maka perolehan hasil intensitas hujan dengan periode ulang 2 tahun dan
5 tahun dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Intensitas hujan periode 2 tahun dan 5 tahun untuk berbagai durasi hujan

Kala Ulang T
Durasi Hujan (menit)
t
Tahun
5
10
15
30
45
60
120 180 360 720
2
0.0000 165.6 126.7 108.9 80.8 65.3 51.5 28.9 20.9 11.6 6.1
5
0.8416 216.9 154.7 132.6
98
76.1 58.8 31.9 23.7 14.3 7.2
Dari ketiga persamaan Talbot, Sherman dan Ishiguro, maka selanjutnya akan dilakukan pemeriksaan
untuk mendapatkan rumus yang cocok. Pemeriksaan dilakukan dengan mencari deviasi rata-rata terkecil
yang dihasilkan dari ketiga persamaan tersebut. Dari hasil perhitungan yang disajikan pada Gambar 2 dan
Gambar 3, dapat disimpulkan bahwa rumus yang paling sesuai adalah Talbot.

Bandung, 12 September 2015

167

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

350

Intensitas Hujan (mm)

300
250
200
150
100
50
0
0

20

40

60

80

100

120

140

Waktu (menit)
DATA

TALBOT

SHERMAN

ISHIGURO

Gambar 2. Grafik kurva IDF dengan periode ulang 2 tahun


350
300

Intensitas Hujan (mm)

250
200
150
100
50
0
0

20

40

60

80

100

120

140

Waktu (menit)
DATA

TALBOT

SHERMAN

ISHIGURO

Gambar 3. Grafik kurva IDF dengan periode ulang 5 tahun

168

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Curah Hujan Maksimum Tahunan


Data curah hujan maksimum tahunan yang didapat dari BMKG Kota Bandung adalah dari tahun 1986
sampai 2014, untuk mengetahui curah hujan rencananya maka akan dilakukan analisis ferkuensi dengan
data hujan yang ada. Hasil dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Curah hujan rencana BMKG Kota Bandung

Periode Ulang Cemara


(tahun)
(mm)
2
78.3
5
91.7
10
99.1
20
105.4
25
107.3
Setelah mengetahui hasil dari curah hujan rencana, maka hasil tersebut akan diplot bersamaan dengan
data curah hujan asli. Dari Gambar 4 diketahui bahwa untuk mendesain saluran drainase pada lingkungan
kampus Unpar cukup menggunakan periode ulang 2 tahun.
450.00
400.00

Curah Hujan (mm)

350.00
300.00
250.00
200.00
150.00
5 Tahun

100.00

2 Tahun

50.00
0.00
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
Tahun
Stasiun Cemara
Gambar 4. Curah hujan maksimum tahunan BMKG Kota Bandung

Evaluasi Kapasitas Saluran Drainase


Perbedaan ketinggian air pada saluran sebelum pembangunan dengan menggunakan periode ulang 2
tahun dan 5 tahun dapat diliat pada Tabel 6 dan Tabel 8. Dapat dilihat bahwa salah satu daerah yang
ditinjau kedalaman saluran dan kedalaman basah pada kondisi terbangun sudah melebihi ketinggian
saluran drainase yang mengakibatkan meluapnya air, maka dari itu dilakukan pelebaran saluran agar
kapasitas saluran bertambah. Hasil perlebaran saluran dengan menggunakan periode 2 tahun dan 5
tahun dapat dilihat pada Tabel 7 dan Tabel 9. Lokasi daerah saluran dapat dilihat pada Gambar 5.

Bandung, 12 September 2015

169

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Pav GSG 2

Pav GSG 3

Pav GSG 1

Gambar 5. Skema saluran drainase


Tabel 6. Dimensi saluran drainase sebelum pelebaran saluran dengan periode ulang 2 tahun

Daerah

Y Kondisi Eksisting
(m)

Y Kondisi Terbangun
(m)

h (m)

b (m)

Kapasitas Saluran

Pav GSG 1
GSG
Pav GSG 2
Pav GSG 3

0.16
0.2
0.23
0.36

0.18
0.23
0.28
0.43

0.4
0.4
0.4
0.4

0.3
0.3
0.3
0.3

Tidak Meluap
Tidak Meluap
Tidak Meluap
Meluap

Tabel 7. Dimensi saluran drainase sesudah pelebaran saluran dengan periode ulang 2 tahun

Daerah

Y Kondisi Eksisting
(m)

Y Kondisi Terbangun
(m)

h (m)

b (m)

Kapasitas Saluran

Pav GSG 1
GSG
Pav GSG 2
Pav GSG 3

0.16
0.2
0.23
0.36

0.18
0.23
0.28
0.3

0.4
0.4
0.4
0.4

0.3
0.3
0.3
0.4

Tidak Meluap
Tidak Meluap
Tidak Meluap
Tidak Meluap

Tabel 8. Dimensi saluran drainase sebelum pelebaran saluran dengan periode ulang 5 tahun

Daerah

Y Kondisi Eksisting
(m)

Y Kondisi Terbangun
(m)

h (m)

b (m)

Kapasitas Saluran

Pav GSG 1
GSG
Pav GSG 2
Pav GSG 3

0.19
0.24
0.28
0.44

0.22
0.28
0.35
0.52

0.4
0.4
0.4
0.4

0.3
0.3
0.3
0.3

Tidak Meluap
Tidak Meluap
Tidak Meluap
Meluap

170

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Tabel 9. Dimensi saluran drainase sesudah pelebaran saluran dengan periode ulang 5 tahun

Daerah

Y Kondisi Eksisting
(m)

Y Kondisi Terbangun
(m)

h (m)

b (m)

Kapasitas Saluran

Pav GSG 1
GSG
Pav GSG 2
Pav GSG 3

0.19
0.24
0.28
0.44

0.22
0.28
0.35
0.37

0.4
0.4
0.4
0.4

0.3
0.3
0.3
0.4

Tidak Meluap
Tidak Meluap
Tidak Meluap
Tidak Meluap

Analisis Debit Banjir Rencana


Pemodelan dilakukan untuk mengetahui debit banjir dan volume limpasan yang dihasilkan pada Gedung
PPAG akibat dari perubahan lahan dan perubahan intensitas hujan. Debit banjir dihitung menggunakan
software HEC-HMS dengan metode unit hidrograf sintetis SCS (Soil Conservation Services). Ada
beberapa parameter yang perlu diinput seperti, CN (Curve Number) waktu konsentrasi (tc) dan waktu
keterlambatan (tt).
CN (Curve Number)
Kehilangan air akibat infiltrasi dipengaruhi oleh kondisi tanah permukaan, pada metode ini kondisi tanah
dilambangkan dengan CN. Nilai CN diklasifikasikan menjadi 4 tipe yaitu tipe A,B,C, dan D. Nilai CN yang
digunakan dalam studi ini akibat Gedung PPAG terbangun adalah 83.
Waktu Konsentrasi (tc) dan Waktu Keterlambatan (tt)
Waktu konsentrasi yaitu waktu yang diperlukan air hujan yang jatuh untuk mengalir dari titik terjauh
sampai ke tempat keluaran yang ditinjau. Rumus yang digunakan untuk menghitung waktu konsentrasi
pada studi ini adalah The SCS lag formula.
0, 7

1000 0,5
tc 0,00526 L
9 s
CN

0 ,8

(1)

dimana tc adalah waktu konsentrasi dalam jam, L adalah panjang saluran dalam ft, dan S adalah
kemiringan rata rata lahan dalam ft/ft. Berdasarkan data dimensi saluran drainase, panjang saluran
utama adalah sebesar 62,484 ft.
Waktu keterlambatan adalah waktu rata-rata dari semua kemungkinan waktu tempuh limpasan
permukaan pada daerah tangkapan. Pada metode hidrograf satuan sintetik SCS besarnya waktu
keterlambatan dapat diketahui dari waktu konsentrasi. Perhitungan waktu konsentrasi dan waktu
keterlambatan ditunjukan pada Tabel 10.
Tabel 10. Waktu konsentrasi (tc) dan waktu keterlambatan

L (ft)

S (ft/ft)

tc (menit)

Waktu Keterlambatan (menit)

62,484

0,001

9,918

5,951

Analisis Debit Banjir Akibat Perubahan Intensitas Hujan


Setelah seluruh data masukkan diketahui, maka perangkat HEC-HMS dapat melakukan simulasi untuk
menghasilkan hidrograf banjir. Data hujan yang digunakan adalah data hujan harian maksimum tahunan
untuk data tahun 1986 sampai 2014. Pola distribusi yang digunakan adalah 3 jam dengan persentase
49,49 %, 39,44 % dan 11,07 %. Hasil simulasi dan grafik hidrograf sebelum dan sesudah pembangunan
dapat dilihat pada Tabel 11 dan Gambar 6 dan 7.

Bandung, 12 September 2015

171

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Tabel 11. Hidrograf banjir sebelum dan sesudah pembangunan

Waktu (jam)

Q (m/s) Sebelum

Q (m/s) Sesudah

0
0.5
1
1,5
2
2,5
3
3,5
4

0
0.00532
0.02018
0.02094
0.0236
0.00688
0.00701
0
0

0
0.00614
0.02327
0.02415
0.02722
0.00794
0.00808
0
0

Gambar 6. Grafik hidrograf banjir sebelum pembangunan

Gambar 7. Grafik hidrograf banjir sesudah pembangunan

Dari hidrograf yang dihasilkan, debit puncak banjir mengalami kenaikan setelah pembangunan Gedung
PPAG mencapai 0,02722 m/s dari 0,02360 m/s yang merupakan debit puncak banjir kondisi eksisting.
Dengan demikian, volume limpasan yang terjadi mengalami peningkatan sebesar 20 m, dari 140 m
menjadi 160 m.

172

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Analisis Debit Sumur Resapan


Dengan skema sistem drainase yang ada pada Gambar 5, kolam parkir banjir dan sumur resapan akan
direncanakan terletak pada sisi belakang daerah studi. Menurut peraturan yang terdapat pada diagram alir
perencanaan teknis sumur resapan, sumur resapan dapat dibangun jika kedalaman muka air tanah lebih
atau sama dengan 3,0 m dan koefisien permeabilitas lebih atau sama dengan 3,6010-4 cm/s. Dari hasil
Borlog didapatkan bahwa kedalaman muka air tanah adalah 16 m.
Besar koefisien permeabilitas untuk lapisan tersebut adalah 3,6010-4 cm/s. Tebal lapisan akuifer adalah
2,0 m, ketinggian potentiomentric surface adalah 2,0 m dan jari - jari sumur resapan yang direncanakan
adalah 0,5 m. Setelah dihitung melalui rumus Suripin didapatkan debit sumur resapan sebesar 0,0065
m/s.

2KBH
B
ln
r

(2)

Keterangan:
Q : debit aliran (m3/s)
K : koefisien permeabilitas tanah (m/s)
B
: tebal confined aquifer (m)
H
: ketinggian potentiometric surface
R
: jari jari sumur
Tabel 12. Hubungan jumlah sumur resapan dengan waktu yang dibutuhkan untuk meresapkan

Jumlah Sumur Resapan

Waktu Yang Dibutuhkan Untuk Meresapkan (jam)

2
4
6
8

3,419
1,71
1,14
0,855

Perencanaan Kolam Retensi


Dimensi kolam retensi dapat ditentukan dengan melakukan penelusuran banjir berdasarkan metode SCS
yang dapat dilihat pada Gambar 8. Sesuai dengan kondisi lahan yang tersedia maka alternatif dimensi
kolam retensi yang paling sesuai adalah 7,0 x 11,0 m x 1,5 m dengan volume tampungan 115,5 m.
Untuk mengatasi debit banjir di atas dengan periode ulang 2 tahun, maka perlu penempatan sebuah
pelimpah dengan tinggi 1,5 m.

Gambar 8. Hasil simulasi kolam retensi

Bandung, 12 September 2015

173

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Dengan menggunakan dimensi kolam retensi tersebut maka sesuai dengan syarat jarak minimum sumur
resapan air hujan terhadap bangunan pada Tabel 1, jumlah sumur resapan yang dapat digunakan
berjumlah 2 buah sumur resapan dengan diameter 1,0 meter. Sumur resapan akan diletakan di kolam
retensi yang memiliki tinggi awal genangan sebesar 0,3 m sebagai fasilitas air cadangan untuk kebutuhan
cuci dan sebagainya. Secara jelas, sketsa layout kolam retensi yang direncanakan disajikan pada
Gambar 9.

11 m

3m

3m

3m

3m

3m

7m
Sumur Resapan
(d = 1 m)
3m

3m

Tampak Atas

1,5 m

2m

2m

Tampak Depan
1m

1m

Gambar 9. Sketsa layout kolam retensi dan sumur resapan

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI


Kesimpulan
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, diketahui bahwa pembangunan Gedung Arntz - Geise
menyebabkan peningkatan debit puncak limpasan meningkat dari 0,02722 m/s dari 0,02360 m/s.
Terjadinya peningkatan debit puncak limpasan permukaan mengakibatkan satu ruas saluran dalam sistem
174

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

saluran GSG mengalami luapan sehingga dimensi saluran tersebut perlu diperbesar dari 0,3x0,4m
menjadi 0,4x0,4m. Untuk mengendalikan kelebihan limpasan permukaan akibat pembangunan Gedung
Arntz - Geise sistem drainase harus dilengkapi dengan kolam parkir banjir dengan volume sebesar 115,5
m. Dalam studi ini, direncanakan bahwa kolam parkir banjir akan diletakan di depan Plaza Fisip dengan
dimensi 7,0 m x 11,0 m x 1,5 m. Dengan menggunakan dimensi kolam 7,0 m x 11,0 m x 1,5 m, jumlah
sumur resapan dengan diameter 1 meter berjumlah 2 buah dan debit sumur resapan mencapai 0,0065
m/s.
Rekomendasi
Mempertimbangkan bahwa lahan kampus Unpar memiliki potensi untuk dapat meresapkan air hujan
karena masih banyak terdapat lahan terbuka, disarankan agar studi selanjutnya menyertakan penyelidikan
geoteknik secara detail pada lokas kolam retensi rencana untuk mendukung studi perencanaan sumur
resapan.

UCAPAN TERIMA KASIH


Ucapan terima kasih disampaikan kepada Bapak Doddi Yudianto, Ph. D., yang telah banyak membantu
dan membimbing selama proses pembuatan tulisan ini.

REFERENSI
Sunjoto. (2011). Teknik Drainase Pro-Air, Yogyakarta.
Sunjoto. (1987). Sistem Drainase Air Hujan yang Berwawasan Lingkungan. Makalah Seminar Pengkajian
Sistem Hidrologi dan Hidrolika, PAU Ilmu Teknik Universitas Gajah Mada.
Soemarto, CD. (1986). Hidrologi Teknik Usaha Nasional, Surabaya.
Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah. (2003). Panduan dan Petunjuk Pengelolaan Drainase
Perkotaan, Jakarta.
Direktorat Jenderal Tata Perkotaan dan Tata Perdesaan. (2003). Buku Panduan dan Petunjuk Praktis
Pengelolaan Drainase Perkotaan, Jakarta.
Direktorat Jenderal Penataan Ruang. (2008). Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor :
41/PRT/M/2007 Tentang Pedoman Kriteria Teknis Kawasan Budi Daya.
Badan Standarisasi Nasional. (2002). SNI 03-2453-2002, Jakarta.
Butler, David and W. Davies, John. (2004). Urban Drainage Second Edition. Spon Press 11 New Fetter
Lane, London EC4P4EE.
Hutasoit, Lambok M. (2009). "Kondisi Permukaan Air Tanah dan Tanpa Peresapan Buatan di Derah
Bandung : Hasil Simulasi Numerik", Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 4 No. 3 September 2009 : 177188.
Gemilang, Galih dan Tarigan, Ahmad Perwira Mulia. (2013). Kajian Sumur Resapan Dalam Mereduksi
Debit Banjir Pada Kawasan Perumahan Anugerah Lestari Kuala Gumit, Langkat, Medan.
Suripin. (2004). Sistem Drainase Berkelanjutan, Penerbit Andi. Yogyakarta.
Dephut. (1994). Pedoman Penyusunan Rencana Pembuatan Bangunan Sumur Resapan Air. Direktorat,
Jakarta.

Bandung, 12 September 2015

175

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

PENGENDALIAN DAYA RUSAK AIR

EVALUASI KINERJA SISTEM DRAINASE PADA KAWASAN PEMUKIMAN DI


BANDUNG TIMUR
Mesta Saktina1*, Doddi Yudianto1
1Program

Studi Teknik Sipil, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, Indonesia


*msaktina@yahoo.co.id

Abstrak
Seiring dengan terjadinya peningkatan curah hujan di berbagai wilayah termasuk Kota Bandung dan
sekitarnya, studi ini dimaksudkan untuk mengevaluasi dampak peningkatan curah hujan terhadap
kapasitas saluran drainase, kapasitas kolam dan pola operasi pompa pada salah satu kawasan
permukiman yang terletak di sisi Timur Kota Bandung yang saat ini masih dalam tahap pembangunan
mengikuti hasil perencanaan pada tahun 2009. Berdasarkan hasil analisis yang diperoleh dengan
menyertakan data curah hujan terbaru tahun 2010-2014, diketahui bahwa terjadi peningkatan intensitas
hujan maksimum sebesar 18 %. Sebagai konsekuensinya, debit banjir periode ulang 5 dan 10 tahun ikut
meningkat dari 1,6 m3/s dan 1,84 m3/s menjadi 1,7 m3/s dan 2 m3/s. Namun demikian, sesuai dengan
hasil evaluasi kapasitas saluran diketahui bahwa beberapa ruas saluran drainase yang tersedia
mengalami luapan pada periode ulang 5 tahun dan 10 tahun. Dengan demikian untuk mengantisipasi
luapan tersebut, dimensi saluran drainase tersebut perlu diperlebar sebesar 10 cm, semula saluran yang
berdimensi 30x30 cm2, 40x40 cm2 dan 50x50 cm2 masing-masing berubah menjadi 40x30 cm2, 50x40
cm2 dan 60x50 cm2. Jika ditinjau dari kapasitas kolam dan pola operasi pompa, kapasitas kolam saat ini
masih mampu untuk menampung volume limpasan permukaan meskipun sistem pompa yang diterapkan
saat ini mengalami pola mati-hidup dengan banjir terkini pada periode ulang 2 dan 5 tahun.
Kata Kunci: kapasitas saluran drainase, perubahan hujan, pola operasi pompa

LATAR BELAKANG
Kota Bandung merupakan salah satu kota besar di Indonesia yang memiliki pertumbuhan penduduk serta
pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Seiring dengan hal itu, Kota Bandung dituntut untuk selalu
menyediakan fasilitas pemukiman yang baik. Wilayah Bandung yang direncanakan sebagai destinasi
pemukiman adalah Bandung Timur. Hal ini berdasarkan pada peraturan daerah nomer 18 tahun 2011 bab
4 pasal 9 tentang rencana tata ruang wilayah Kota Bandung yang berbunyi, pengembangan fasilitas sosial
dan fasilitas umum baru skala kota dan wilayah akan di arahkan ke Wilayah Bandung Timur. Menanggapi
peraturan tersebut, pengembangan suatu perkotaan harus diimbangi dengan pengembangan infrastruktur,
diantaranya adalah sistem drainase. Sistem drainase yang baik dapat membebaskan kota dari genangan
air, dimana kualitas dari suatu perkotaan dapat dilihat dari kualitas sistem drainase yang ada (Suripin,
2004).
Berdasarkan studi Jefry (2011) diketahui bahwa sistem drainase yang dibangun pada perumahan ini
adalah sistem drainase yang berbasis polder, dengan pertimbangan bahwa elevasi tanah dasar di lokasi
rencana (+7,099 m sampai +8,0814 m) lebih rendah dibandingkan dengan muka air banjir Sungai
Cipamokolan +9,118 m, yang menyebabkan limpasan permukaan tidak dapat mengalir secara gravitasi ke
badan air penerima. Selain itu perumahan ini dilengkapi dengan dua buah kolam detensi yang berfungsi
sebagai pengendali limpasan permukaan sebelum dibuang ke Sungai Cipamokolan sebagai badan
penerima dengan menggunakan pompa. Rendahnya daya dukung tanah asli dan keberadaan empat buah
saluran irigasi menjadi alasan lain dalam penggunaan sistem drainase berbasis polder.

176

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Namun, seiring dengan perubahan iklim global, upaya untuk mengevaluasi kinerja sistem drainase
menjadi langkah penting untuk menjamin kawasan tersebut menjadi bebas dari genangan. Jika dilihat
berdasarkan hasil studi yang dilakukan oleh Regi (2014) ada kecenderungan bahwa curah hujan yang
terjadi mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Sehingga akan berpengaruh terhadap perubahan
intensitas hujan. Oleh karena itu untuk menanggapi hal tersebut maka kapasitas saluran drainase yang
ada perlu di tinjau kembali guna untuk mengetahui apakah saluran masih mampu atau tidak untuk
mengendalikan limpasan permukaan. Disisi lain karena perumahan ini menerapkan sistem drainase yang
berbasis polder maka dalam studi ini akan melihat dampaknya terhadap volume kolam maupun kapasitas
atau pola operasi pompa. Gambar 1 dibawah ini merupakan site plan dari lokasi studi.

Gambar 1. Site Plan Kawasan Permukiman

METODOLOGI STUDI
Studi ini dititikberatkan pada evaluasi kapasitas saluran, volume kolam beserta pola operasi pompa pada
kawasan perumahan ini berdasarkan data hujan terbaru. Tahap awal dalam studi ini yaitu melakukan
survei lokasi mengenai kondisi sistem drainase beserta studi pustaka sebagai acuan dalam melakukan
analisis. Lalu melakukan pencarian data-data pada lokasi studi seperti data curah hujan, kapasitas kolam,
pola pompa dan karakteristik hidraulik saluran. Tahap selanjutnya adalah melakukan analisis hujan untuk
mengetahui adanya perubahan IDF serta perubahan debit banjir pada kawasan dengan tujuan untuk
mengevaluasi kapasitas saluran drainase. Evaluasi kolam beserta pola operasi pompa dilakukan dengan
perangkat lunak HEC-HMS. Jika pada tahap evaluasi saluran drainase terdapat ruas saluran yang meluap
maka perlu dilakukan desain ulang terhadap dimensi saluran tersebut. Lalu evaluasi kolam beserta pola
operasi pompa disimulasikan guna untuk mengetahui kapasitas kolam beserta pengaruhnya terhadap
pola operasi pompa. Secara lengkap diagram alir studi dapat dilihat pada Gambar 2.

Bandung, 12 September 2015

177

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

MULAI

Survei dan Identifikasi


masalah

Studi
Pustaka

Pengumpulan
data

Analisis Hujan

Analisis Debit Banjir :

Analisis Debit Banjir :

Metode Rasional

Hidrograf Satuan Sintetik SCS

Evaluasi Kapasitas Saluran


Drainase

Evaluasi Volume Kolam Detensi


dan Pola Operasi Pompa
Ya

Ya

Terpenuhi ?

Terpenuhi ?

Tidak

Tidak

Desain Ulang
Dimensi Saluran

Simulasi Pola
Operasi Pompa

Simpulan dan Saran

SELESAI

Gambar 2. Diagram Alir Studi

HASIL STUDI DAN PEMBAHASAN


Data hujan yang diperoleh yaitu dari tahun 1986 sampai tahun 2014, lebih panjang 5 tahun di bandingkan
studi terdahulu yang hanya sampai tahun 2009. Dengan trend data hujan yang semakin besar dari tahun
ke tahun, maka untuk melakukan evaluasi kapasitas saluran drainase perlu dilakukan analisis lengkung
IDF berdasarkan data hujan yang baru. IDF diperoleh dengan melakukan uji kelayakan data beserta
analisis frekuensi. Periode ulang rencana yang digunakan dalam analisis yaitu 5 tahun dan 10 tahun.
Berdasarkan analisis dapat disimpulkan bahwa terjadi kenaikan intensitas curah hujan dengan
penambahan data hujan 5 tahun terakhir. intensitas mengalami kenaikan maksimum sebesar 13,22 %
untuk periode ulang 5 tahun dan 18 % untuk periode ulang 10 tahun seperti yang tersaji pada Gambar 3.

178

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

200.00

200.00

150.00

150.00

100.00

100.00

50.00

50.00

0.00

Intensitas Hujan(mm)

250.00

Intensitas Hujan(mm)

250.00

0.00

50
100
Tahu Waktu (menit)

150

50
100
Tahun
Waktu (menit)

150

Gambar 3. Perbandingan IDF Tahun 1986-2009 dengan IDF Tahun 1986-2014 Periode Ulang 5 Tahun (kiri) dan 10
Tahun (kanan)

Curah Hujan (mm)

Pada studi ini terdapat data curah hujan maksimum tahunan yang diperoleh dari Stasiun Cemara yaitu
tahun 1986 dampai 2014, dan data dari Stasiun Cibiru-Cisurupan yaitu tahun 2004 sampai 2014. Apabila
dilakukan analisis frekuensi dengan data hujan yang ada seperti yang terlihat pada Gambar 4, dapat
dilihat bahwa curah hujan rencana Stasiun Cibiru-Cisurupan secara keseluruhan lebih tinggi dibandingkan
curah hujan rencana dari Stasiun Cemara.
160.0
140.0
120.0
100.0
80.0
60.0
40.0
20.0
0.0
2

Stasiun Cemara

5
10
20
Periode Ulang (tahun)

25

Stasiun Cibiru-Cisurupan

Gambar 4. Perbandingan Curah Hujan Rencana Stasiun Cemara dan Stasiun Cibiru-Cisurupan pada Berbagai
Periode Ulang

Selain itu, untuk menanggapi bahwa kecenderungan curah hujan rencana Stasiun Cibiru-Cisurupan yang
lebih besar dibandingkan dengan Stasiun Cemara dimana Stasiun Cibiru-Cisurupan yang lebih dekat dari
lokasi studi maka perlu dilakukan pencarian kurva IDF dengan menggunakan persamaan Mononobe.
Namun perlu dilakukan perubahan koefisien pada persamaannya yang diambil dari keofisien Mononobe
Bandung. Pemilihan koefisien dibatasi dengan melihat durasi hingga 11 menit. Hal ini didasarkan pada
waktu konsentrasi yang terjadi pada lokasi studi yang berkisar antara 2-11 menit. Setelah dilakukan
perhitungan didapat nilai pangkat untuk periode ulang 5 tahun dan periode ulang 10 tahun adalah 0,731.
Berdasarkan data hujan terkini, intensitas hujan yang terjadi mengalami peningkatan. Dengan demikian
akan dikaji apakah kapasitas saluran yang terbangun masih mampu untuk mengalirkan air limpasan atau
tidak, dimana saluran yang ada mengacu pada desain perencanaan tahun 2009. Evaluasi kapasitas
saluran dilakukan dengan menggunakan metode rasional dengan periode ulang 5 dan 10 tahun yang
merupakan syarat desain perencanaan sistem drainase yang berbasis polder. Hasil yang didapatkan
seperti pada Tabel 1 dan 2.

Bandung, 12 September 2015

179

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Tabel 1. Hasil Evaluasi Kapasitas Saluran Drainase Periode Ulang 5 Tahun

Nama

Dimensi Saluran

Ketinggian

Saluran

b (m)

h (m)

Muka Air (m)

GA16
GA12
SB13

0,3
0,3
0,3

0,3
0,3
0,3

0,33
0,32
0,35

Tabel 2. Hasil Evaluasi Kapasitas Saluran Drainase Periode Ulang 10 Tahun

Nama

Ketinggian
Muka Air (m)

Dimensi Saluran

Saluran

b (m)

h (m)

Nama

Dimensi Saluran

Ketinggian
Muka Air (m)

Saluran
b (m)
h (m)
0,31
SB26
0,5
0,5
0,36
SA1
0,3
0,3
0,43
SD10
0,3
0,3
0,34
SA15
0,4
0,4
0,31
SD11
0,4
0,4
0,47
SA36
0,3
0,3
0,41
SD23
0,3
0,3
0,33
SA41
0,4
0,4
0,53
SD33
0,3
0,3
0,33
SA42
0,5
0,5
0,37
SE17
0,4
0,4
0,43
GA12
0,3
0,3
0,37
SE19
0,5
0,5
0,52
GA16
0,3
0,3
0,4
SE26
0,3
0,3
0,32
SB13
0,3
0,3
0,33
SE39
0,3
0,3
0,31
SB24
0,3
0,3
3
Hasil evaluasi saluran drainase menunjukan kenaikan debit maksimum dari 1,6 m /s dan 1,84 m3/s yang
merupakan desain awal menjadi adalah 1,726 m3/s dan 2 m3/s untuk periode ulang 5 dan 10 tahun.
Akibatnya adalah muka air pada saluran mengalami kenaikan (Tabel 1 dan Tabel 2). Sehingga kapasitas
dari beberapa ruas saluran yang terbangun saat ini tidak mencukupi. Oleh karena itu saluran tersebut
perlu dilakukan pelebaran sebesar 10 cm agar kapasitas saluran bertambah. Hasil pelebaran saluran
tahun dapat dilihat pada Tabel 3 dan Tabel 4.
Tabel 3. Hasil Evaluasi Kapasitas Saluran Drainase Periode Ulang 5 Tahun setelah Pelebaran

Nama

Dimensi Saluran

Ketinggian

Saluran

b (m)

h (m)

Muka Air (m)

GA16
GA12
SB13

0,4
0,4
0,4

0,3
0,3
0,3

0,22
0,21
0,23

Tabel 4. Hasil Evaluasi Kapasitas Saluran Drainase Periode Ulang 10 Tahun setelah Pelebaran

Nama

Dimensi Saluran

Ketinggian

Nama

Dimensi Saluran

Ketinggian

Saluran

b (m)

h (m)

Muka Air (m)

Saluran

b (m)

h (m)

Muka Air (m)

SA1
SA15
SA36
SA41
SA42
GA12
GA16

0,4
0,5
0,4
0,5
0,6
0,4
0,4

0,3
0,4
0,3
0,4
0,5
0,3
0,3

0,20
0,33
0,20
0,32
0,42
0,24
0,24

SB26
SD10
SD11
SD23
SD33
SE17
SE19

0,6
0,4
0,5
0,4
0,4
0,5
0,6

0,5
0,3
0,4
0,3
0,3
0,4
0,5

0,29
0,22
0,36
0,22
0,22
0,33
0,41

180

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

SB13
0,4
0,3
0,26
SE26
0,4
0,3
0,21
SB24
0,4
0,3
0,22
SE39
0,4
0,3
0,20
Perlu diketahui bahwa kawasan ini dilalui oleh empat buah saluran irigasi eksisting. Fungsi dari saluran
irigasi ini yaitu untuk mendistribusikan air ke daerah selatan perumahan dimana terdapat daerah pertanian
dan juga sekaligus sebagai saluran drainase untuk mengalirkan limpasan dari sisi utara perumahan. Di
hilir dari saluran irigasi ini terdapat tiga buah gorong-gorong yang melintasi badan jalan tol PadalarangCileunyi. Saluran irigasi satu dan saluran irigasi dua menjadi satu saluran menuju gorong-gorong satu,
saluran irigasi tiga menuju gorong-gorong dua dan saluran irigasi empat menuju gorong-gorong tiga.
Namun keberadaan gorong-gorong dua ini tidak mampu untuk mengalirkan debit puncak saluran irigasi
tiga dengan periode ulang 5 dan 10 tahun sehingga limpasan yang dikeluarkan melalui pelimpah akan
masuk ke dalam sistem. Dengan demikian skema pemodelan HEC-HMS untuk evaluasi kapasitas kolam
beserta pola operasi pompa diperlihatkan pada Gambar 5.
SUB-KAWASAN 1

LIMPAHAN DARI SALURAN


IRIGASI 3
KOLAM 1

LenggorSUB-KAWASAN 2

AIR CINYUSU

Mekar SariSUB-KAWASAN 3

PENERIMA

Gambar 5. Skema Pemodelan

Kawasan ini dibagi ke dalam tiga sub-kawasan, yaitu sub-kawasan 1, sub-kawasan 2, dan sub-kawasan
3. Fungsi dari sub-kawasan ini yaitu untuk membagi perumahan ke dalam wilayah yang lebih kecil,
dimana sub-kawasan ini menentukan daerah mana saja yang berkontribusi terhadap masing-masing
kolam. Air hujan yang jatuh pada sub-kawasan 1 akan dialirkan melalui saluran drainase yang diiringi
dengan intervensi limpasan dari saluran irigasi 3 menuju kolam detensi 1. Sedangkan hujan yang jatuh di
atas sub-kawasan 2 dan sub-kawasan 3 akan langsung diarahkan melalui saluran menuju kolam detensi
2. Air yang berada di kolam detensi 1 tidak secara langsung dibuang menuju badan air penerima, tetapi
dipompa terlebih dahulu menuju kolam detensi 2. Kemudian air dari kolam detensi 2 langsung dipompa ke
badan air penerima. Curah hujan rencana yang digunakan berasal dari analisis frekuensi yang diperoleh
berdasarkan data hujan harian maksimum tahunan dari Stasiun Cibiru-Cisurupan. Studi ini
mengasumsikan bahwa durasi hujan yang terjadi tidak berubah, yaitu 3 jam. Durasi hujan berdasarkan
pada data pola distribusi hujan dari BMKG Bandung antara tahun 2005-2009 yang diperoleh dari studi
terdahulu. Tabel 5 merupakan hidrograf banjir yang dihasilkan dari masing-masing sub-kawasan, dimana
dalam perangkat lunak HEC-HMS hidrograf banjir ini akan menghasilkan besarnya volume limpasan.
Volume limpasan tersebut akan digunakan sebagai data dalam evaluasi kolam beserta pompa.

Bandung, 12 September 2015

181

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Tabel 5. Hidrograf Banjir Sub-kawasan 1, 2 dan 3

Wakt
u
Periode Ulang 2 Tahun
Periode Ulang 5 Tahun
Periode Ulang 10 Tahun
( jam
Q1
Q2
Q3
Q1
Q2
Q3
Q1
Q2
Q3
)
(m3/s)
(m3/s)
(m3/s)
(m3/s)
(m3/s)
(m3/s)
(m3/s)
(m3/s)
(m3/s)
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0,5
0,033
0,041
0,038
0,08
0,101
0,094
0,116
0,145
0,135
1
0,168
0,207
0,194
0,293
0,359
0,336
0,373
0,457
0,427
1,5
0,225
0,267
0,25
0,359
0,424
0,396
0,441
0,52
0,486
2
0,259
0,306
0,286
0,393
0,462
0,432
0,474
0,556
0,52
2,5
0,136
0,149
0,139
0,204
0,221
0,207
0,244
0,265
0,248
3
0,093
0,105
0,098
0,137
0,154
0,144
0,163
0,183
0,171
3,5
0,027
0,026
0,024
0,04
0,038
0,036
0,048
0,045
0,042
4
0,006
0,005
0,004
0,009
0,007
0,006
0,01
0,008
0,008
4,5
0,001
0,001
0,001
0,002
0,001
0,001
0,002
0,001
0,001
5
0
0
0
0
0
0
0
0
0
5,5
0
0
0
0
0
0
0
0
0
6
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Proses simulasi dilakukan dengan kondisi awal air pada level 0,2 m dari dasar kolam dengan posisi
elevasi intake pompa yang sama. Interval waktu yang digunakan adalah 2 menit, dengan tujuan untuk
mendapatkan hasil simulasi yang akurat. Pada studi ini dilakukan tiga jenis skenario. Skenario ini
berdasarkan pada data curah hujan rencana dengan berbagai periode ulang. Tabel 6 adalah rincian dari
skenario tersebut
Tabel 6. Simulasi Operasi Pompa dengan Data Hujan Stasiun Cibiru-Cisurupan

Skenario

Data Hujan
Tahun 2004-2014

Periode Ulang
2 Tahun

5 Tahun

10 Tahun

1
2

Pola operasi pompa yang digunakan adalah pola operasi existing yang didapat dari hasil studi
sebelumnya. Berdasarkan hal tersebut, akan dilihat pengaruh hujan terbaru terhadap volume kolam
detensi dan pola operasi pompa. Dengan demikian didapatkan hasil seperti pada Tabel 7.
Tabel 7. Hasil Evaluasi Kolam Detensi untuk Periode Ulang 2, 5 dan 10 Tahun

Parameter

Periode Ulang 2
Tahun
Kolam 1 Kolam 2

Periode Ulang 5
Tahun
Kolam 1 Kolam 2

Periode Ulang 10
Tahun
Kolam 1
Kolam 2

Tinggi air maksimum di kolam


1,793
2,062
2,821
(m)
1,206
0,721
1,402
1,707
0,438
0,679
Tinggi jagaan (m)
1,294
2,779
1,098
204
276
212
Waktu operasi pompa (menit)
92
160
206
50
40
42
Waktu mulai operasi (menit)
62
62
50
Volume air pada kolam saat ini masih berada pada kondisi aman, yaitu tidak melebihi kapasitas kolam
yang ada dan tinggi air di kolam masih berada pada batas kedalaman kolam. Dengan melihat ketinggian
air tersebut, dapat disimpulkan bahwa kolam detensi 1 maupun kolam detensi 2 masih mampu untuk
menampung limpasan yang terjadi. Selanjutnya yaitu melihat pengaruh pola operasi pompa terhadap
hujan terbaru. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan, hasil penerapan pola operasi pompa eksisting
182

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

yang mengikuti perencanaan tahun 2009 mengalami pola pompa yang berfluktuasi. Hal ini ditunjukan
dengan pola pompa yang mengalami mati-hidup untuk periode ulang 2 tahun dan 5 tahun. Untuk periode
ulang 2 tahun, pola pompa yang mengalami mati-hidup terlihat pada kolam detensi 1 maupun kolam
detensi 2. Khusus untuk kolam detensi 2 pola pompa mengalami mati-hidup dalam rentan waktu yang
singkat. Lalu untuk periode ulang 5 tahun pola pompa yang mengalami mati-hidup terlihat pada kolam
detensi 1. Sedangkan untuk hujan dengan periode ulang 10 tahun tidak terjadi masalah pada pola operasi
pompa. Pola pompa yang mengalami kejadian mati-hidup dapat dikatakan tidak efisien karena dapat
menyebabkan konsumsi listrik pompa lebih boros serta umur dari motor listrik akan lebih pendek yang
secara langsung ada kaitannya terhadap biaya, namun dalam studi ini tidak dibahas lebih lanjut. Setelah
dikaji lebih lanjut pola pompa yang mengalami mati-hidup untuk periode ulang 2 tahun untuk kolam
detensi 1 diakibatkan oleh 1 pompa utama dan untuk kolam detensi 2 diakibatkan oleh 3 pompa utama,
sedangkan untuk periode ulang 5 tahun untuk kolam detensi 1 diakibatkan oleh 2 pompa utama. Rincian
pola operasi pompa tersaji dalam Gambar 6, 7, dan 8.

Gambar 6. Pola Operasi Pompa Kolam Detensi 1 (kiri) dan Kolam Detensi 2 (kanan) Periode Ulang 2 Tahun

Gambar 7. Pola Operasi Pompa Kolam Detensi 1 (kiri) dan Kolam Detensi 2 (kanan) Periode Ulang 5 Tahun

Bandung, 12 September 2015

183

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Gambar 8. Pola Operasi Pompa Kolam Detensi 1 (kiri) dan Kolam Detensi 2 (kanan) Periode Ulang 10 Tahun

Untuk menyesuaikan pola pompa pada kondisi hujan terkini, maka perlu dilakukan perubahan pada pola
operasi pompa. Pola operasi pompa yang diperoleh harus dapat mengatasi hujan dengan periode ulang 2,
5 dan 10 tahun. Setelah simulasi dilakukan hasil penerapan pola operasi yang baru disajikan pada Tabel
8-10 dan Gambar 9-11
Tabel 8. Perbandingan Pola Operasi Pompa Lama dan Baru pada Kolam Detensi 1

Jenis Pompa
Pompa Utama
Grundfos SEN 1
Grundfos SEN 2
Grundfos SP 270 G 3
Pompa Cadangan
Grundfos SP 270 G 4

On Elevation (m)
Pola lama
Pola baru

Off Elevation (m)


Pola lama
Pola baru

1,2
1,2

0,8
1,4

0,75
0,55

0,75
0,4

1,25

1,25

0,5

0,3

1,7

1,7

1,4

1,4

Tabel 9. Perbandingan Pola Operasi Pompa Lama dan Baru pada Kolam Detensi 2

Jenis Pompa
Pompa Utama
Grundfos SEN 1
Grundfos SEN 2
Grundfos SEN 3
Grundfos SEN 4
Grundfos SEN 5
Pompa Cadangan
Grundfos SEN 6

184

On Elevation (m)
Pola lama
Pola baru

Off Elevation (m)


Pola lama
Pola baru

0,7
0,7
0,7
0,7
0,7

0,65
0,6
0,6
0,6
0,6

0,7
0,7
0,7
0,5
0,3

0,65
0,4
0,4
0,44
0,2

2,3

2,3

2,2

2,2

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Tabel 10. Hasil Penerapan Pola Operasi Pompa Baru untuk Periode Ulang 2, 5 dan 10 Tahun

Parameter
Tinggi air maksimum di kolam
(m)
Tinggi jagaan (m)
Waktu operasi pompa (menit)
Waktu mulai operasi (menit)

Periode Ulang 2
Tahun
Kolam 1 Kolam 2
1,272
1,228
256
54

0,617
2,883
180
56

Periode Ulang 5
Tahun
Kolam 1 Kolam 2
1,413
1,087
248
44

1,82
1,68
190
46

Periode Ulang 10
Tahun
Kolam 1
Kolam 2
2,058
0,442
276
40

2,77
0,73
204
42

Gambar 9. Pola Operasi Pompa Baru Kolam Detensi 1 (kiri) dan Kolam Detensi 2 (kanan) Periode Ulang 2 Tahun

Gambar 10. Pola Operasi Pompa Baru Kolam Detensi 1 (kiri) dan Kolam Detensi 2 (kanan) Periode Ulang 5 Tahun

Bandung, 12 September 2015

185

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Gambar 11. Pola Operasi Pompa Baru Kolam Detensi 1 (kiri) dan Kolam Detensi 2 (kanan) Periode Ulang 10 Tahun

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI


Kesimpulan
1. Berdasarkan penambahan data hujan yang baru (2010-2014), diketahui bahwa intesitas hujan tahun
1986-2014 mengalami kenaikan sebesar 13,22 % untuk periode ulang 5 tahun dan 18 % untuk
periode ulang 10 tahun jika dibandingkan hujan tahun 1986-2009
Kapasitas saluran drainase yang ada tidak mampu untuk mengendalikan limpasan permukaan dengan
periode ulang 5 tahun dan 10 tahun jika dihadapkan dengan IDF Mononobe Cibiru-Cisurupan,
beberapa ruas saluran pada sistem drainase mengalami luapan. Dengan demikian untuk
mengantisipasi luapan tersebut, dimensi saluran tersebut diperlebar 10 cm, yang semula berdimensi
30x30 cm2, 40x40 cm2 dan 50x50 cm2 menjadi 40x30 cm2, 50x40 cm2 dan 60x50 cm2
Dengan data hujan yang baru, kapasitas kolam saat ini masih mampu untuk menampung volume
limpasan permukaan meskipun pompa yang ada menunjukan pola operasi yang berfluktuasi. Hal ini
ditunjukan oleh pola operasi pompa utama pada masing-masing kolam detensi yang mengalami matihidup pada periode ulang 2 tahun dan 5 tahun.
Rekomendasi
Untuk mendapatkan informasi pengaruh pola operasi pompa terhadap hujan yang lebih rinci maka perlu
dilakukan kajian dengan data hujan maksimum yang berbasis bulanan.

REFERENSI
Soemarto, CD. (1986). Hidrologi Teknik. Usaha Nasional, Surabaya.
Butler, David., and W.D. John. (2004). Urban Drainage. Second Edition. Taylor & Francis e-Library.
Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah. (2003). Panduan dan Petunjuk Praktis Pengelolaan
Drainase Perkotaan. Jakarta.
Gandwinatan, Jefry. (2011),Perancangan Sistem Semi Polder Perumahan The Marakesh Margahayu
Kota Bandung, ST. Skripsi, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung.
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Republik Indonesia. (2014). Penyelenggaraan Sistem Drainase
Perkotaan. Nomor 12. Jakarta.
Peraturan Daerah Kota Bandung. (2011). Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bandung. Nomor 18 bab 4
pasal 9. Bandung.

186

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Kodoatie, Robert J. 2013. Rekayasa dan Manajemen Banjir Kota. Penerbit Andi,Yogyakarta.
Aryansyah, Regi. (2014),Evaluasi Kapastitas Saluran Drainase di Universitas Katolik Parahyangan Jalan
Ciumbuleuit, ST. Skripsi, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung.
Suripin. 2004. Sistem Drainase Perkotaan yang Berkelanjutan. Penerbit Andi,Yogyakarta.
Soil Conservation Services. (1972). National Engineering Handbook, section 4. U.S Department of
Agricultural. Washington D.C.
Chow, V.T. (1959), Open-Channel Hydraulics, McGraw-Hill.
Chow, V.T., D.R. Maidmant, and L.Z. Mays. (1988). Applied Hidrology. McGraw-Hill, Singapore.

Bandung, 12 September 2015

187

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

PENGENDALIAN DAYA RUSAK AIR

UPAYA PENGENDALIAN BANJIR SUNGAI CICADAS KOTA BANDUNG


Dwi Aryani Semadhi1, Winskayati1
1Balai

Besar Wilayah Sungai Citarum

Abstrak
Sungai Citarum memiliki beberapa anak sungai yang melalui Kota Bandung antara lain Sungai Cicadas,
,mengalir melewati Kota Bandung dari arah utara kearah selatan dan bermuara di Sungai Citarum. .
Sungai Cicadas sebagai salah satu sungai di kawasan perkotaan yang berhulu di daerah Dago, mengalir
melalui beberapa kecamatan di Kota Bandung dan bermuara di Sungai Citarum di Kabupaten Bandung,
sering mengalami banjir pada musim penghujan di lokasi-lokasi tertentu terutama di daerah Kelurahan
Cicadas. Banjir terjadi diakibatkan adanya sedimentasi dan sampah yang menutupi badan sungai, banyak
berdirinya bangunan liar di bantaran dan sempadan sungai yang mempersempit badan sungai serta
adanya utilitas yang terpasang sembarangan (kabel listrik, kabel telepon dan pipa PDAM) yang melintasi
sungai atau diletakan di tembok pasangan (TPT) sungai. Untuk mengatasi hal tersebut upaya BBWS
Citarum dalam pengendalian banjir Sungai Cicadas yaitu melakukan perbaikan sungai dan pemeliharaan
sungai dengan cara normalisasi sungai, menerapkan sempadan sungai sesuai dengan aturan dan
peraturan yang berlaku, melakukan pemberdayaan masyarakat yang berdomisili di sepanjang alur sungai,
dan berkoordinasi antar instansi dalam rangka memenuhi utilitas yang diperlukan masyarakat Dengan
melakukan kegiatan normalisasi sungai dan pemeliharaan sungai yang berwawasan lingkungan serta
peran serta masyarakat yang berdomisili disepanjang alur sungai diharapkan kondisi sungai dimasa yang
akan datang menjadi lestari
Kata Kunci: Sungai Cicadas, banjir, sempadan sungai, peran serta masyarakat

LATAR BELAKANG
Sungai Citarum merupakan sungai terpanjang dan terbesar di Jawa Barat, mengalir sepanjang lebih
kurang 269 km yang diawali dari mata air di Gunung Wayang di Kabupaten Bandung, mengalir melalui
Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Purwakarta, membagi
daerah administrasi Kabupaten Karawang dan Kabupaten Bekasi dari Kedung Gede ke hilir dan berakhir
dari Muara Gembong sebagai muara Sungai Citarum ke Laut Jawa.
Sungai Citarum memiliki beberapa anak sungai yang melalui Kota Bandung antara lain Sungai Cicadas,
Sungai Cidurian, Sungai Cipamokolan, Sungai Cikapundung Kolot, Sungai Citepus, Sungai Cingised dan
beberapa anak sungai lainnya yang mengalir melewati Kota Bandung dari arah utara kearah selatan dan
bermuara di Sungai Citarum.
Kota Bandung yang dilalui beberapa anak sungai dikarenakan ketidak pedulian masyarakatnya yang
berdomisili sepanjang alur sungai terhadap sungai dengan membuang sampah sembarangan, maka
anak-anak sungai tersebut kadang-kadang atau sering menimbulkan banjir di Kota Bandung.
Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Citarum mempunyai tugas dan fungsi antara lain melakukan
perbaikan sungai dan pemeliharaan sungai yang dilaksanakan oleh Satuan Kerja (Satker) Operasi dan
Pemeliharaan Sumber Daya Air Citarum.
Untuk melakukan rencana perbaikan dan pemeliharaan sungai sebelumnya diperlukan dahulu kegiatan
penunjang yaitu melakukan audit teknis sungai agar diketahui kondisi infra struktur yang berada di sungai
dan upaya apa yang akan dilakukan, apakah melakukan normalisasi sungai atau perbaikkan sungai yang
diperlukan atau kedua-duanya kegiatan tersebut

188

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Maksud dan Tujuan


Maksud dan tujuan dari kajian ini untuk menginformasikan kondisi anak Sungai di Wilayah Sungai
Citarum yang memerlukan perhatian khusus dan apa yang harus dilakukan BBWS Citarum dalam upaya
pengendalian banjir di kawasan sungai perkotaan, apakah dengan melakukan perbaikkan sungai atau
melakukan operasi dan pemeliharaan sungai dengan bertujuan agar anak sungai yang melalui perkotaan
dalam kondisi terpelihara serta pelaksanaannya dapat melibatkan peran serta masyarakat yang
berdomisili di sepanjang alur sungai sehingga masyarakat memahami dan peduli terhadap kelestarian
sungai
Ruang Lingkup Kajian
Ruang lingkup kajian ini dibatasi hanya untuk meninjau dan membahas terjadinya banjir dari Sungai
Cicadas sebagai salah satu sungai di kawasan perkotaan di Kota Bandung yang berhulu di daerah Dago,
kemudian mengalir melalui beberapa kecamatan di Kota Bandung dan bermuara di Sungai Citarum di
Kabupaten Bandung.
Gambaran Umum Kota Bandung
Secara topografi Kota Bandung terletak pada ketinggian 791 meter di atas permukaan laut, titik tertinggi di
daerah utara dengan ketinggian 1.050 meter dan terendah di sebelah selatan 675 mdpl, Di wilayah Kota
Bandung bagian selatan sampai lajur lintasan kereta api, permukaan tanah relatif datar sedangkan di
wilayah kota bagian Utara berbukit-bukit yang menjadikan panorama indah
Kota Bandung memliki Kecamatan yang masing-masing dikepalai oleh seorang camat, 139 kelurahan/
Desa yang masing-masing dikepalai oleh seorang lurah / kepala desa, 1.494 Rukun Warga (RW) yang
masing-masing diketuai oleh seorang Ketua RW, 9.205 Rukun Tetangga (RT) yang masing-masing
dikepalai oleh seorang Ketua RT.
Adapun batas wilayah Kota Bandung adalah sebagai berikut:
1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Bandung Barat
2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Bandung
3. Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Bandung
4. Sebelah Barat berbatasan dengan Kota Cimahi
Jumlah Penduduk Kota Bandung tahun 2012 adalah sebanyak 2.455.517 jiwa. Berikut adalah sebaran
dan kepadatan penduduk Kota Bandung tahun 2012. Komposisi penduduk laki-laki sebanyak 1.246.122
orang dan penduduk perempuan sebanyak 1.209.395 orang.
Rata-rata kepadatan penduduk Kota Bandung 14.676 Km . Bila dillihat dari per kecamatan yang
merupakan daerah terpadat dengan kepadatan penduduk 39.282 jiwa/Km. Jumlah rumah tangga di
Kota Bandung dengan rata-rata 4 jiwa per rumah tangga. Peta Kota Bandung dapat dilihat seperti pada
peta dibawah ini:

Bandung, 12 September 2015

189

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Gambar 1. Peta Kota Bandung. Sumber: Rencana Pola Ruang RT/RW Kota Bandung

Kondisi Eksisting
Sungai Cicadas adalah merupakan salah satu anak Sungai Citarum yang melintasi Kota Bandung dan di
lokasi-lokasi tertentu sering terjadi banjir. Sungai Cicadas mempunyai panjang 18 km dengan debit
maksimum rata-rata sebesar 17 m/detik dan debit minimum 0,6 m/det yang melewati Kecamatan
Cibeunying Kaler, Kecamatan Cibeunying Kidul, menuju Kelurahan Cikutra melintasi Kelurahan Cicadas,
kemudian ke Kecamatan Kiara Condong, menuju ke Kecamatan Buah Batu dan bermuara pada Sungai
Citarum di Kecamatan Bojongsoang Kabupaten Bandung
Sungai Cicadas saat ini secara umum terdapat beberapa kondisi alur sungainya yang kurang baik antara
lain adanya :
1. Sedimentasi dan sampah yang menutupi badan sungai
2. Kualitas air yang rendah akibat adanya limbah rumah tangga dan limbah pabrik
3. Banyak berdirinya bangunan liar di bantaran dan sempadan sungai
4. Utilitas yang terpasang sembarangan
Kondisi Sungai Cicadas di beberapa lokasi dapat dilihat pada gambar di bawah ini:

Gambar 2. Kondisi Sungai Cicadas di Lokasi Cikutra (Sumber Hasil Survei)

190

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Gambar 3. Kondisi Sungai Cicadas di Lokasi Dekat Jalan Surapati. Sumber: Hasil Survei

Gambar 4. Kondisi Sungai Cicadas di lokasi Jalan Katamso. Sumber: Hasil Survei

Gambar 5. Kondisi Sungai Cicadas di lokasi Pasar Cicadas. Sumber: Hasil Survei

Bandung, 12 September 2015

191

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Gambar 6. Kondisi Sungai Cicadas di lokasi Pasar Cicadas. Sumber: Hasil Survei

Gambar 7. Kondisi Sungai Cicadas Lokasi di Babakan Sari Kec. Kiara Condong . Sumber: Hasil Survei

Gambar 8. Kondisi Sungai Cicadas Lokasi setelah Jalan TOL. Sumber: Hasil Survei

192

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Gambar 9. Kondisi Sungai Cicadas Lokasi di dekat Perumahan PDAM. Sumber: Hasil Survei

METODOLOGI STUDI
Metodologi yang digunakan dalam kajian ini adalah dengan cara pengumpulan data-data primer yaitu
melakukan langsung Survei lapangan untuk mendapatkan kondisi lapangan saat ini , wawancara baik
dengan petugas di lapangan dan masyarakat setempat, mengumpulkan data sekunder dari laporan
konsultan dan literatur yang lain, mengkaji dan menganalisa data-data yang diperoleh serta mengkaji
kondisi lapangan, melakukan pembahasan.dilanjutkan dengan mengambil kesimpulan dan rekomendasi

HASIL kajian DAN PEMBAHASAN


Permasalahan yang pada Sungai Cicadas yang paling utama antara lain::
1. Masalah Sedimentasi dan Sampah
Masalah sedimentasi yang terjadi disebabkan oleh adanya alih fungsi lahan pada hulu sungai yang
tadinya lahan konservasi menjadi ladang dan pemukiman, sehingga apabila terjadi hujan akan terjadi
aliran permukaan yang cukup besar dikarenakan tidak ada peresapan sehingga akan mengakibatkan
terjadinya erosi di hulu dan terjadi sedimentasi di hilir sungai. Selain sedimentasi masih banyaknya
sampah yang dibuang sembarangan oleh masyarakat ke sungai, sehingga sering menyebabkan
terjadi banjir dilokasi-lokasi tertentu terutama di daerah kelurahan Cicadas
2. Masalah kualitas air
Masalah kualitas air yang terjadi pada Sungai Cicadas adalah disebabkan adanya limbah rumah
tangga dan limbah pabrik yang dibuang langsung ke sungai, sehingga menjadi penyebab pencemaran
terhadap kualitas air
3. Masalah Bangunan liar
Berdirinya bangunan liar seperti rumah penduduk yang menjorok ke sungai dan bangunan rumah yang
menggunakan sempadan sungai atau kios-kios pedagang yang berdiri di bantaran sungai, hal ini
mungkin disebabkan jumlah penduduk Kota Bandung yang terus berkembang.sehingga kebutuhan
lahan yang terus meningkat
4. Utilitas yang terpasang sembarangan
Adanya kabel-kabel listrik atau kabel telepon serta pipa-pipa PDAM yang terpasang secara
sembarangan yaitu kabel-kabel di tempel ditembok pasangan (Tembok Penahan Tanah) sungai atau
melintas sungai sehingga dapat menghalangi jalannya air apabila terjadi debit banjir..

Bandung, 12 September 2015

193

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

PEMBAHASAN PERMASALAHAN
Dengan melihat kondisi Sungai Cicadas seperti saat ini di lapangan, sehingga kemungkinan besar akan
terjadi genangan pada lokasi-lokasi tertentu, yang mana genangan banjir terjadi diakibatkan :
1. Banyaknya sedimen dan sampah di badan sungai, sehingga palung sungai tidak mampu untuk
melewatkan debit banjir
2. Adanya penyempitan badan sungai oleh masyarakat yang digunakan untuk pemukiman dan kios-kios
untuk berjualan
3. Adanya utilitas yang dipasang sembarangan yang menghambat jalannya air banjir
Dari kondisi Sungai Cicadas seperti itu, sebaiknya dari instansi yang berwenang (BBWS Citarum) dapat
melakukan kegiatan penanganan yang akan mendorong kepada pelestarian Sungai Cicadas sebagai
upaya pengendalian banjir di lokasi yang mempunyai penampang sungai bermasalah dan yang
mengalami penyempitan dengan cara:
1. Melakukan inventarisasi kondisi sungai, sehingga dari hasil inventarisasi dapat diketahui di lokasi
mana harus dilakukan normalisasi sungai dengan melakukan pengerukan atau mengembalikan lebar
sungai ke lebar semula disesuaikan dengan besarnya debit banjir tertentu (debit banjir rencana) yang
kemungkinan akan terjadi pada sungai tersebut.
2. Menerapkan sempadan sungai sesuai dengan aturan dan peraturan yang berlaku, yaitu untuk sungai
dalam kawasan perkotaan yang tidak bertanggul sempadan sungai:
a. paling sedikit berjarak 10 m (sepuluh meter) dari tepi kiri dan kanan palung sungai
sepanjang alur sungai, dalam hal kedalaman sungai kurang dari atau sama dengan 3 m
(tiga meter)
b. paling sedikit berjarak 15 m (lima belas meter) dari tepi kiri dan kanan palung sungai
sepanjang alur sungai, dalam hal kedalaman sungai lebih dari 3 m (tiga meter) sampai
dengan 20 m (duapuluh meter), dan
c. paling sedikit berjarak 30 m (tiga puluh meter) dari tepi kiri dan kanan palung sungai
sepanjang alur sungai, dalam hal kedalaman sungai lebih 20 m (dua puluh meter)
d. Sedangkan untuk sungai di kawasan perkotaan yang bertanggul garis sempadan sungai
ditentukan paling sedikit berjarak 3 m (tiga meter) dari tepi luar kaki tanggul sepanjang
alur sungai
3. Memberikan sanksi kepada instansi yang memanfaatkan badan sungai tanpa izin sesuai dengan
aturan dan peraturan yang berlaku
4. Pemberdayaan masyarakat yang berdomisi di sekitar sungai dengan melakukan sosialisasi agar
masyarakat memahami fungsi dan manfaat sungai serta masyarakat dapat berperan serta aktif dalam
kegiatan yang dilakukan oleh BBWS Citarum
5. Melakukan pemeliharaan sungai secra rutin, berkala ataupun apabila terjadi kondisi darurat
(bencana), sehingga Sungai Cicadas dapat terpelihara dengan baik dan bersih

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI


Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari kajian ini adalah antara lain:
1. Instansi yang berwenang (BBWS Citarum) untuk segera melakukan kegiatan penanganan Sungai
Cicadas sebagai upaya pengendalian banjir di lokasi yang mempunyai penampang sungai
bermasalah dengan adanya sedimentasi, penyempitan badan sungai akibat dari bangunan liar yaitu

194

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

dengan melakukan normalisasi sungai yang dilanjutkan dengan pelaksanaan pemeliharaan sungai
yang berkelanjutan.
2. Menerapkan pelaksanaan penetapan garis sempadan sungai sesuai dengan aturan peraturan yang
berlaku
3. Diperlukan pemberdayaan kepada masyarakat yang berdomisili disepanjang alur sungai, agar
masyarakat memahami fungsi dan manfaat dari sungai dan masyarakat secara sukarela dapat
berperan serta aktif dalam pemeliharaan sungai
4. Diperlukan koordinasi yang baik antar instansi dalam rangka memasang sarana dan prasarana
yang diperlukan masyarakat pada sempadan sungai
Rekomendasi
Dari kajian ini dapat direkomendasikan antara lain:
1. Dalam penerapan sempadan sungai diperlukan keberanian pemerintah untuk pelaksanaannya dalam
menerapkan peraturan yang berlaku, serta untuk pelaksanaannya dapat bekerjasama antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah dengan melibatkan peran serta masyarakat
2. Untuk kelestarian sungai di lokasi-lokasi tertentu dapat direncanakan suatu restorasi sungai, agar
masyarakat dapat menikmati keindahan suatu sungai kawasan perkotaan yang terpelihara dengan
baik

UCAPAN TERIMA KASIH


Ucapan terima kasih disampaikan kepada :
1. Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Citarum
2. Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Operasi dan Pemeliharaan SDA- II

REFERENSI
Anonim 2014. Laporan Akhir Audit Teknis Operasi dan Pemeliharaan Sungai
Anonim, 2012. Buku Pfofil Balai Besar Wilayah Sungai Citarum
Anonim 2012. Kota Bandung dalam Angka.
Anonim 2011. Peraturan Pemerintah tentang Sungai

Bandung, 12 September 2015

195

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

PENGENDALIAN DAYA RUSAK AIR

PENGGUNAAN BIOPORI SEBAGAI ALTERNATIF MENGURANGI GENANGAN


BANJIR DAERAH PERKOTAAN
Achmad Syarifudin1*, Hendri2, Mega Yunanda3
1Program Studi Teknik Sipil, Universitas Bina Darma / HATHI Sumatera Selatan
2BBWSS-VIII/HATHI Sumatera Selatan
3Program Studi Teknik Sipil, Universitas Palembang
*syarifachmad6080@yahoo.co.id

Abstrak
Salah satu teknologi sederhana dalam mengatasi genangan banjir adalah metode resapan air dengan
cara meningkatkan daya resap air ke dalam tanah yaitu biopori. Selain mempercepat peresapan air hujan,
biopori juga mengatasi sampah organic. Peningkatan daya resap air pada tanah dilakukan dengan
membuat lubang pada tanah dan menimbunnya dengan sampah organik untuk menghasilkan kompos.
Sampah organik yang ditimbunkan pada lubang ini kemudian dapat menghidupi fauna tanah, yang
seterusnya mampu menciptakan pori-pori di dalam tanah. Lubang resapan biopori merupakan teknologi
sederhana dan tepat guna yang dapat diterapkan oleh semua kalangan masyarakat dalam mengatasi
masalah banjir. Selain itu, lubang resapan biopori juga dapat membantu dalam mengurangi penumpukan
sampah organik serta membantu menyuburkan tanah. Pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini
adalah secara empiris analisis deskriptif.Hasil penelitian didapatkan terjadi penurunan debit aliran
sebelum dipasang biopori yang sebelumnya adalah sebesar Q = 0,2617 m3/det dengan priode ulang
banjir 2 tahun (Q2). Sedangkan setelah dibangun /dipasang biopori adalah sebesar Q = 0,1896 m3/det
atau terjadi penurunan debit aliran yang cukup signifikan yaitu sebesar 27,55% dengan asumsi C
(koefisien pengaliran) adalah 30% dari koefisien kedap air.
Kata kunci: banjir/genangan, biopori, debit aliran limpasan

LATAR BELAKANG
Kota Palembang sebagian besar merupakan daerah rawa dengan situasi yang hampir sepanjang tahun
dalam kondisi tergenang. Daerah rawa ini berfungsi sebagai penampung air hujan dan pengaliran air dari
lingkungan disekitarnya dan juga sebagai sarana pengaliran alami. Secara umum daerah rawa di kota
Palembang memiliki elevasi tanah yang rendah dari pada tanah disekitarnya. Sungai yang melintas di
daerah rawa seakan-akan hanya merupakan rawa yang diberi badan/dinding sungai, sehingga elevasi
dasar sungai tidak terlalu dalam dibanding elevasi dasar rawa itu sendiri.
Seiring dengan perkembangan kota Palembang efek buruknya pun timbul. Terjadinya penimbunan di
daerah rawa dan gangguan oleh bangunan disepanjang sungai serta adanya alih fungsi lahan rawa
menjadi daerah pemukiman atau fasilitas lainnya dengan cara penimbunan tentunya akan mengurangi
kapasitas penampungan air hujan Dengan kondisi kapasitas sungai yang nampaknya masih terlalu kecil
mengakibatkan wilayah kota Palembang ini sangat rentan terhadap banjir.
Salah satu teknologi sederhana dalam mengatasi genangan banjir adalah metode resapan air dengan
cara meningkatkan daya resap air ke dalam tanah yaitu biopori. Selain mempercepat peresapan air hujan,
biopori juga mengatasi sampah organik (Brata, K. R. dan Nelistya, 2008).
Peningkatan daya resap air pada tanah dilakukan dengan membuat lubang pada tanah dan menimbunnya
dengan sampah organik untuk menghasilkan kompos. Sampah organik yang ditimbunkan pada lubang ini
kemudian dapat menghidupi fauna tanah, yang seterusnya mampu menciptakan pori-pori di dalam tanah.

196

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Lubang resapan biopori merupakan teknologi sederhana dan tepat guna yang dapat diterapkan oleh
semua kalangan masyarakat dalam mengatasi masalah banjir. Selain itu, lubang resapan biopori juga
dapat membantu dalam mengurangi penumpukan sampah organik serta membantu menyuburkan tanah.
Pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah secara empiris analisis deskriptif dengan kondisi
eksisting yaitu pada kampus Universitas Bina Darma.

METODOLOGI STUDI
Pendekatan dalam penelitian ini adalah analisis empiris dengan menggunakan rumus Q = 0,278.C.I.A dan
hasil analisis di buat ploting secara deskriptif kualitatif dengan lokasi penelitian adalah kampus Universitas
Bina Darma. Data sekunder adalah data curah hujan maksimum bulanan yang tercatat di stasiun curah
hujan dari BMKG tahun 2012. Sedangkan data primer adalah soil investigation hand bor untuk
mengetahui struktur tanah di lokasi penelitian.

HASIL STUDI DAN PEMBAHASAN


Debit aliran pada daerah aliran yang mausk ke areal kampus Universitas Bina Darma sebelum dipasang
biopori adalah sebesar Q = 0,2617 m3/det dengan priode ulang banjir 2 tahun (Q2). Sedangkan setelah
dibangun /dipasang biopori adalah sebesar Q = 0,1896 m3/det dengan asumsi C (koefisien pengaliran)
adalah 30% dari koefisien kedap air.
Dari hasil perhitungan dapat dikatakan bahwa pemasangan biopori menghasilkan penurunan debit aliran
yang cukup signifikan yaitu sebesar 27,55%. Hal ini berarti limpasan yang terjadi akan berkurang karena
adanya biopori yang terpasang di daerah genangan banjir. Seperti terlihat pada grafik gambar 1.

0.35

Debit (m3/det)

0.3
y = 0,008x + 0,2517
R = 0,9364

0.25
0.2
0.15
0.1
0.05
0
0

10

12

Waktu (jam)
Gambar 1. Grafik debit aliran sebelum ada biopori
(Sumber: hasil analisis, 2014)

Bandung, 12 September 2015

197

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

0.3
0.25

Debit (m3/det)

0.2
y = 0,0058x + 0,1824
R = 0,9366

0.15
0.1
0.05
0
0

10

12

Waktu (jam)
Gambar 2. Grafik debit aliran setelah ada biopori
(Sumber: hasil analisis, 2014)

Dari grafik pada Gambar 1 dan Gambar 2 merupakan hasil ploting yang menunjukkan penurunan debit
sebelum dan sesudah dibangun biopori bukan merupakan gambar hidrograf aliran sehingga dari gambar
tersebut terlihat sebelum ada biopori debit aliran rerata sebesar 3 m3/det dan setelah ada biopori, maka
debit aliran menurun rerata sebesar 2 m3/det.
Biopori yang diperlukan sebanyak 180 buah berdasarkan laju peresapan aliran ke dalam tanah sebesar 9
liter/menit atau sebesar 1,5 x 10-4 m3/det.

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI


Berdasarkan hasil analisa perhitungan penggunaan biopori dapat disimpulkan bahwa :
1. Aliran limpasan yang terjadi sebelum dipasang sebesar 0,86 m3 dan setelah dibangun biopori adalah
menurun sebesar 0,62 m3. Terjadi penurunan sebesar 72,09%.
2. Debit limpasan untuk periode ulang 2 tahun (Q2) sebesar 0,2617 m3/det sebelum di pasang, turun
menjadi 0,1896 m3/det setelah dipasang biopori dengan laju peresapan aliran ke dalam tanah yaitu
sebesar 9 liter/detik atau sebsesar 1,5 x 10-4 m3/det.
3. Banyaknya biopori yang digunakan di daerah studi yaitu sebesar 180 buah dengan ukuran setiap
biopori adalah berdiameter 10 cm dan kedalaman 1,00 m.
4. Sebagai tindak lanjut penelitian ini adalah diperlukan kajian Interrelation system drainase yang
disesuaikan dengan sub-sistem antar DAS dan Sub DAS secara komprehensif dan berkelanjutan.

UCAPAN TERIMA KASIH


Disampaikan ucapan terima kasih kepada ketua HATHI Sumatera Selatan/Kepala BBWSS-VIII Ir. Bistok
Simanjuntak, Dipl. HE dan Sekretaris HATHI Sumatera Selatan, Ir. H. Hendri, ST, M.Si yang berkenan
memberikan bantuan kepada penulis terutama dalam penyiapan data sehingga makalah ini dapat
diselesaikan.

198

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

REFERENSI
Indarto, 2010. Hidrologi (Dasar Teori dan Contoh Aplikasi Model Hidrologi). Penerbit Bumi Aksara,
Jakarta.
Suripin, 2004. Sistem Drainase Perkotaan Berkelanjutan. Penerbit Andi, Yogyakarta.
Sibarani dan Didik Bambang., Penelitian Biopori untuk Menentukan Laju Resap Air. Jurusan Teknik
Lingkungan FTSP-ITS, Subabaya, yudika_as@yahoo.co.id
Brata, K. R. dan Nelistya, 2008. Lubang Resapan Biopori. Penebar Swadaya Jakarta
_____, 2010. Lubang Resapan Biopori. Kementerian Lingkungan Hidup

Bandung, 12 September 2015

199

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

PENGENDALIAN DAYA RUSAK AIR

OPTIMASI SISTEM PERKUATAN TANGGUL BANJIR SUNGAI TEMBUKU


DALAM MENANGGULANGI POTENSI BANJIR KOTA JAMBI
Slamet Lestari1*
1Puslitabang

Sumber Daya Air


*mamet_ind@yahoo.com

Abstrak
Telah dilakukan penelitian berkaitan dengan optimasi sistem perkuatan tanggul Sungai Tembuku sebagai
salah satu bagian dari sistem pengendali banjir di Kota Jambi dan sekitarnya. Lokasi penelitian terbagi
dalam 2 bagian, yaitu untuk identifikasi banjir dilakukan pada seluruh segmen Sungai Tembuku dengan
panjang total 6 km, sedangkan optimasi detail sistem perkuatan tanggul banjir difokuskan pada segmen
hilir Sungai Tembuku dengan panjang segmen sungai 400 m. Evaluasi dilakukan berdasarkan data
pengukuran topografi sungai, data debit banjir, data parameter geoteknik, dan data rencana bangunan
perkuatan tebing awal. Analisis dilakukan dengan cara evaluasi lapangan yang dibantu dengan
menggunakan bantuan piranti lunak Mike11 dan Plaxis. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa
sistem perkuatan tanggul masih terlewati oleh air banjir mulai dari debit banjir 2 tahunan. Sistem tiang
pancang yang direncanakan sebagai perkuatan dalam rencana penanggulangan awal kurang efektif
dalam meningkatkan stabilitas tanggul. Optimasi sistem perkuatan tanggul dapat dilakukan dengan
menghilangkan sistem tiang pancang atau memindahkan letak tiang pancang sebagai angkur dengan
jarak minimum 14,5 m dari turap. Angka keamanan untuk kondisi surut cepat yang didapatkan dapat
mencapai SF = 1,3.
Kata Kunci: Perkuatan Tanggul, Penanggulangan Banjir, Sungai Tembuku, Kota Jambi

LATAR BELAKANG
Permasalahan banjir, merupakan tantangan utama yang masih di hadapi dalam pengelolaan sumber daya
air di Propinsi Jambi. Salah satu sungai yang selama ini memberikan pengaruh terhadap kejadian banjir di
sekitar Kota Jambi adalah Sungai Tembuku (salah satu anak Sungai Batang Hari). Hampir tiap tahun
Sungai Tembuku mengalami limpasan yang menggenangi daerah di sekitar alur sungai. Daerah
genangan banjir yang paling sering terjadi adalah di segmen hilir / di sekitar muara sungai.
Salah satu upaya yang dilakukan dalam penanggulangan potensi banjir yang dilakukan adalah pembuatan
struktur perkuatan tebing sungai yang sekaligus sebagai tanggul banjir. Sistem perkuatan tanggul yang
dapat dilakukan sangat beraneka ragam, salah satunya adalah dengan pemasangan turap yang diperkuat
dengan tiang pancang sebagai angkur. Pemanfaatan sistem perkuatan tebing ini memerlukan analisis dan
evaluasi yang tepat agar didapatkan sistem perkuatan tebing yang optimal.
Maksud dan Tujuan
Maksud dari penelitian ini adalah mendapatkan gambaran potensi limpasan air banjir terhadap sistem
tebing sungai yang ada dan optimasi alternatif sistem perkuatan tebing yang dapat dilakukan, terutama
segmen Sungai Tembuku bagian hilir.
Tujuan yang akan dicapai adalah didapatkannya gambaran / acuan dalam pengelolaan sungai secara
umum, terutama terkait sistem perkuatan tebing sungai agar didapatkan fungsi bangunan sesuai rencana
desain.

200

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian yang telah dilakukan adalah di Sungai Tembuku, khususnya segmen sungai bagian hilir,
yang berada di Kota Jambi, Propinsi Jambi.

METODOLOGI STUDI
Tahapan dan metode penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi :
1. Pengumpulan data lapangan, dilakukan dengan cara kunjungan langsung lapangan, wawancara
dengan pihak-pihak terkait, dan pengumpulan data sekunder (data topografi - morfologi sungai, data
debit banjir, data parameter teknik tanah, dan data desain awal perkuatan tebing).
2. Analisis masalah dan evaluasi alternatif penanggulangan, dilakukan dengan pemodelan / perhitungan
matematis.

HASIL STUDI DAN PEMBAHASAN


HASIL PENGUMPULAN DATA
Data Topografi Sungai Tembuku
Data topografi Sungai Tembuku yang digunakan dalam penelitian ini terbagi dalam 2 bagian, yaitu
topografi Sungai Tembuku secara keseluruhan ( 6 km) dan detail topografi di bagian hilir sungai (dari
muara 400 m). Topografi sungai secara keseluruhan digunakan sebagai dasar dalam analisis potensi
banjir, sedangkan data sungai segmen hilir digunakan sebagai dasar dalam perhitungan sistem bangunan
perkuatan tebing sungai.
Gambaran data topografi Sungai Tembuku secara keseluruhan dapat dilihat pada Gambar 1, sedangkan
data detail topografi dan tipikal penampang segmen Sungai Tembuku bagian hilir dapat dilihat dari
Gambar 2 dan Gambar 3.

Gambar 1. Kondisi Topografi Keseluruhan Sungai Tembuku

Bandung, 12 September 2015

201

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Gambar 2. Kondisi Detail Topografi di Segmen Hilir Sungai Tembuku

Gambar 3. Kondisi Tipikal Penampang Melintang Topografi di Segmen Hilir Sungai

Data Debit Banjir Sungai Tembuku


Data debit sungai yang digunakan dalam penelitian ini adalah data debit banjir dari periode ulang 2
tahunan sampai periode ulang 100 tahunan. Besaran debit banjir Sungai Tembuku periode ulangan 2
tahunan sampai 100 tahunan dapat dilihat pada Tabel 1.

202

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Tabel 1. Data Debit Banjir Sungai Tembuku


Sumber: Pembangunan Prasarana Pengendalian Banjir Kota Jambi

Sub Das
Sub Das Asam
Sub Das Danau Kenali
Sub Das Danau Sipin
Sub Das Danau Teluk
Sub Das Kambang
Sub Das Kenali Besar
Sub Das Kenali Kecil
Sub Das Lubukrahman
Sub Das Teluk
Sub Das Tembuku

2th
126,3
136,9
96,8
25,7
33,8
109,4
164,5
71,3
24,8
101,0

Periode Ulang
5th
10th
171,2
204,2
194,5
226,0
139,4
163,3
41,5
50,6
46,5
53,1
153,8
177,5
232,9
269,4
100,1
120,8
39,3
47,5
133,6
157,4

25th
249,6
257,2
186,8
59,9
59,6
200,6
305,2
148,6
55,8
190,4

Data Parameter Teknik Tanah


Data parameter teknik tanah didapatkan dari hasil penyelidikan lapangan, berupa 6 titik bor mesin (3 titik
di tebing kiri sungai dan 3 titik di tebing kanan sungai). Tiga titik pada masing-masing sisi tebing sungai di
sebar batas hulu, tengah, dan batas hilir (muara di Sungai Batang Hari) di segmen hilir Sungai Tembuku
( 400 m). Berdasarkan hasil penyelidikan geoteknik tersebut didapatkan parameter teknik tanah seperti
disampaikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Parameter Teknik Tanah Segmen Hilir Sungai Tembuku

No

Lapisan
Tanah

Kedalaman
(m)

d
(gr/cm3)

1
2

1
2

0-5
>5

1,178
1,222

s
(gr/cm3)
1,734
1,736

Parameter
C
(kg/cm2)
0,37
0,1

C'
(kg/cm2)
0,36
0,16

10,2
15,8

'

10,68
17

Data Desain Awal Perkuatan Tebing


Berdasarkan data desain awal didapatkan konsep dasar perkuatan tebing sebagai berikut :
1. Perkuatan utama dilakukan dengan memasang turap / sheet pile tipe A325 dengan panjang, L = 12
m.
2. Sistem turap diperkuat dengan angkur berupa balok beton dan diikat dengan tiang pancang, dimensi
40cm x 40cm yang dipasang tiap 2 m. Jarak antara turap dengan tiang pancang 4 m.
3. Sistem perkuatan tersebut di atas dilakukan dari tepat di hilir bangunan pompa sampai ke muara
Sungai Tembuku.
Gambaran tipikal sistem perkuatan tebing Sungai Tembuku dapat dilihat pada Gambar 4.

Bandung, 12 September 2015

203

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Gambar 4. Tipikal Desain Awal Perkuatan Tebing Sungai Tembuku Hilir


(Sumber: Pembangunan Prasarana Pengendalian Banjir Kota Jambi, 2013

ANALISIS DAN PEMBAHASAN


Analisis Hidraulik Sungai
Analisis hidraulik sungai dilakukan untuk mengidentifikasi kemungkinan elevasi muka air sungai dan muka
air tanah akibat debit banjir yang terjadi. Identifikasi dilakukan untuk 2 debit banjir utama, yaitu debit banjir
periode ulang 2 tahunan dan 25 tahunan. Dari hasil analisis didapatkan kondisi potensi limpasan air banjir
terhadap elevasi tebing segmen Sungai Tembuku bagian hilir, mulai dari debit banjir 2 tahunan (tinggi
limpasan 0,5m sampai 1m). Adanya potensi limpasan air ini harus diakomodasi dalam perhitungan
stabilitas perkuatan tebing yang akan dilakukan.
Gambaran hasil analisis hidraulik sungai untuk debit banjir periode ulang 2 tahuan dan 25 tahunan dapat
dilihat pada Gambar 5 dan Gambar 6.

Gambar 5. Kondisi Muka Air Sepanjang Sungai Tembuku untuk Debit Banjir 2 Tahunan

204

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Gambar 6. Kondisi Muka Air Sepanjang Sungai Tembuku untuk Debit Banjir 25 Tahunan

Analisis Sistem Rencana Penanggulangan Awal


Evaluasi sistem rencana awal penanggulangan dilakukan untuk melihat efektivitas pemasangan tiang
pancang sebagai angkur yang akan membantu menahan beban lateral dari tiang pancang. Konsep umum
yang harus dipenuhi dari pembuatan angkur ini antara lain harus ditempatkan pada daerah yang stabil (di
luar daerah aktif tanah) dan menghasilkan gaya pasif tanah yang mampu menahan kelebihan beban
lateral yang tidak mampu ditahan oleh tiang pancang.
Berdasarkan parameter teknik tanah yang ada, kondisi jarak minimum daerah aktiv tanah berada pada
jarak 14.5 m dari atas turap. Dari hasil perhitungan tersebut terlihat bahwa posisi tiang pancang
(angkur) rencana awal masih berada di daerah aktiv tanah. Berdasarkan evaluasi tersebut dapat
dikatakan tiang pancang tidak dapat difungsikan sebagai angkur, sehingga beban gaya aktiv tanah
sepenuhnya akan dipikul oleh turap. Gambaran hasil evaluasi daerah aktiv tanah dan posisi tiang pancang
rencana dapat dilihat pada Gambar 7

Gambar 7. Gambaran Daerah Aktiv Tanah dan Posisi Rencana Tiang Pancang (Dead Man)

Berdasarkan hasil analisis tersebut dapat dikatakan tiang pancang dapat berfungsi sebagai angkur secara
optimum jika jarak antara tiang pancang dan turap 14.5 m.

Bandung, 12 September 2015

205

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Analisis Sistem Alternatif Penanggulangan


Dalam evaluasi ini dianalisis dua alternatif perkuatan tebing yang dapat dilakukan, yaitu : sistem turap
tanpa angkur dan sistem turap dengan tiang pancang sebagai angkur. Dalam analisis stabilitas sistem ini
dilakukan beberapa skenario kondisi muka air, yaitu :
1. Skenario 1 : kondisi muka air kering, yang mewakili kondisi lapangan pada musim kemarau.
2. Skenario 2 : kondisi muka air normal, yang mewakili kondisi elevasi muka air sungai rata-rata (tidak
ada perbedaan elevasi antara muka air di sungai dan di tebing).
3. Skenario 3 : kondisi air banjir (muka air di sungai dan tebing sampai dengan elevasi atas tebing
sungai).
4. Skenario 4 : kondisi surut cepat, yaitu adanya perbedaan muka air di tebing (masing tinggi) dengan
muka air di sungai (sudah surut).
Seluruh skenario analisis tersebut juga telah memperhitungkan adanya gerusan lokal yang mendekati kaki
turap.
Alternatif 1 : Perkuatan dengan Sistem Turap tanpa Angkur
Skematisasi analisis yang telah dilakukan dalam perhitungan stabilitas sistem ini dapat dilihat pada
Gambar 8, sedangkan hasil analisis dari skenario 1 sampai skenario 4 dapat dilihat dari Gambar 9 sampai
Gambar 12.

Gambar 8. Skematisasi Analisis Stabilitas Sistem Alternatif 1

Gambar 9. Hasil Analisis Pola Pergerakan Tanah Skenario 1 (Muka Air Kering) Alternatif 1 (SF = 1,86)

206

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Gambar 10. Hasil Analisis Pola Pergerakan Tanah Skenario 2 (Muka Air Normal) Alternatif 1 (SF = 2,01)

Gambar 11. Hasil Analisis Pola Pergerakan Tanah Skenario 3 (Muka Air Banjir) Alternatif 1 (SF = 2,8)

Gambar 12. Hasil Analisis Pola Pergerakan Tanah Skenario 4 (Muka Air Surut Cepat) Alternatif 1 (SF = 1,58)

Bandung, 12 September 2015

207

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Dari hasil analisis tersebut terlihat bahwa pemasangan turap, dengan panjang turap, L = 12 m memenuhi
persyaratan stabilitas sistem (angka keamanan, SF > 1,5). Besarnya gaya momen yang terjadi pada turap
dari hasil analisis dapat dilihat pada Gambar 13.

Gambar 13. Gaya Bending Momen yang Terjadi Sepanjang Turap (Maks = 26,5 t.m) Alternatif 1

Dari hasil analisis tersebut terlihat bahwa momen yang terjadi pada turap bisa mencapai, Mmaks = 26,5
t.m. Gaya tersebut yang digunakan sebagai acuan dalam penentuan jenis turap yang harus dipasang.
Berdasarkan contoh data produk turap yang ada (PT. Wijaya Karya Beton), salah satu tipe turap yang
mampu menahan momen, M > 26,5 t.m adalah tipe W-450-A-1000 B. Gambaran spesifikasi turap tersebut
dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Contoh Spesifikasi Turap Alternatif 1 (PT. Wijaya Karya Beton)

Analisis stabilitas struktur


Analisis stabilitas struktur dihitung berdasarkan gaya aktiv dan pasif yang terjadi pada turap. Langkah
awal dalam perhitungan stabilitas struktur ini adalah diperiksa untuk penerapan turap dengan panjang, L =
12 m dengan skematisasi gaya seperti disampaikan pada Gambar 14.

208

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Gambar 14. Skematisasi Gaya Analisis Stabilitas Strukur, Panjang Turap 12 m

Alternatif 2 : Perkuatan dengan Sistem Turap dan Tiang Pancang (Angkur)


Skematisasi analisis yang telah dilakukan dalam perhitungan stabilitas sistem ini dapat dilihat pada
Gambar 15, sedangkan hasil analisis dari skenario 1 sampai skenario 4 dapat dilihat dari Gambar 16
sampai Gambar 17.

Gambar 15. Skematisasi Analisis Stabilitas Sistem Alternatif 2

Bandung, 12 September 2015

209

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Gambar 16. Bending Momen, Gaya pada Tali Angkur, dan Angka Keamanan Sisterm Skenario 1 (Mmaks = 29,12
tm, F = 1,4 t, SF = 1,76) Alternatif 2

Gambar 17. Bending Momen, Gaya pada Tali Angkur, dan Angka Keamanan Sisterm Skenario 2 (Mmaks = 26,06
tm, F = 1,47 t, SF = 2,0) Alternatif 2

Gambar 18. Bending Momen, Gaya pada Tali Angkur, dan Angka Keamanan Sisterm Skenario 2 (Mmaks = 19,2 tm,
F = 1,16 t, SF = 2,82) Alternatif 2

210

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Gambar 19. Bending Momen, Gaya pada Tali Angkur, dan Angka Keamanan Sisterm Skenario 2 (Mmaks = 30,5 tm,
F = 1,07 t, SF = 1,65) Alternatif 2

Dari hasil analisis tersebut terlihat bahwa sistem perkuatan dengan pemasangan turap yang dilengakapi
dengan tiang pancang sebagai angkur, cukup kuat menahan beban aktiv tanah yang ada. Dari hasil
analisis tersebut juga dapat diketahui momen maksimum yang kemungkinan terjadi, Mmaks = 30,5 t.m
dan gaya maksimum yang mungkin terjadi pada tali angkur, F = 1,47 t. Besaran momen dan gaya tersebut
yang digunakan sebagai acuan dalam penentuan jenis turap dan tali angkur yang harus dipasang.
Berdasarkan contoh data produk turap yang ada (PT. Wijaya Karya Beton), salah satu tipe turap yang
mampu menahan momen, M > 30,5 t.m minimal tipe W-450-A-1000 B. Gambaran spesifikasi turap
tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Contoh Spesifikasi Turap Alternatif 2 (PT. Wijaya Karya Beton)

Penentuan besar diameter tali angkur didasarkan pada besar gaya yang dipikul, yaitu F = 1,47 t (14,7 kN).
Jika tiang angkur dipasang tiap jarak 3 meter-an, maka gaya total yang dipikul oleh tali (dengan angka
keamanan, SF = 1,5), Ftotal= 66,15 kN. Jika men
kg/cm2, maka diperlukan diameter tali baja, D = 2 cm.
Analisis stabilitas struktur dihitung berdasarkan gaya aktiv dan pasif yang terjadi pada turap. Langkah
awal dalam perhitungan stabilitas struktur ini adalah diperiksa untuk penerapan turap dengan panjang, L =
12 m dengan skematisasi gaya seperti disampaikan pada Gambar 20.

Bandung, 12 September 2015

211

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Gambar 20. Skematisasi Gaya Analisis Stabilitas Strukur, Panjang Turap 12 m, Alternatif 2

Untuk jarak tiap tiang pancang (angkur) 3 meter-an, didapatkan resume gaya dan angka keamanan
sebagai berikut :
Resume Gaya dan Momen Aktif
PATot =

757,37 KN/m'

MATot =

5134,65 KN.m/m'

Resume Gaya dan Momen Tahan :


PTTot

MTTot =

1100,34 KN/m'
6570,83 KN.m/m'

Angka Keamanan / Stabilitas :


SFGeser

1,57

SFGuling

1,49

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI


Kesimpulan
Berdasarkan hasil evaluasi yang telah dilakukan, dapat disampaikan beberapa kesimpulan, sebagai
berikut :
1. Rencnana awal pemasangan tiang pancang sebagai angkur dengan jarak 4 m dari turap tidak efektif
dalam mendukung stabilitas turap sebagai bangunan perkuatan tebing Sungai Tembuku .
2. Paling tidak ada 2 alternatif untuk mengoptimumkan sistem perkuatan tebing yang dapat dilakukan,
yaitu menghilangkan tiang pancang sebagai angkur / angkur (hanya memasang turap), atau
memodifikasi rencana awal dengan menggeser letak tiang pancang sampai dengan jarak 14,5 m dari
turap
3. Alternatif 1, yaitu jika hanya memasang turap tanpa tiang pancang untuk menjaga stabilitas sistem
dan struktur perkuatan tebing Sungai Tembuku, memerlukan panjang turap 12 m, dengan angka
keamanan kondisi surut cepat, SF = 1,2. Dan turap yang dipasang harus mampu menahan momen
maksimum, M = 26,5 t.m. Salah satu jenis turap yang dapat digunakan untuk mendukung struktur
perkuatan tebing Sungai Tembuku ini adalah tipe W-450-A-1000 B.
4. Alternatif 2, dengan memasang susunan turap yang diperkuat tiang pancang yang dipasang tiap 3
meter-an, dengan jarak pemasangan 14,5 m dari turap, memberikan angka keamanan yang lebih

212

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

baik dari alternatif 1, SF = 1,49. Panjang turap dan tiang pancang yang diperlukan untuk perkuatan
alternatif 2 adalah 12m, dengan spesifikasi turap harus mampu menahan momen maksimum, M =
30,5 t.m. Salah satu jenis turap yang dapat digunakan untuk mendukung struktur perkuatan tebing
Sungai Tembuku ini adalah tipe W-450-A-1000 B. Dimensi minimal tiang pancang yang diperlukan
sebagai angkur adalah 40cmx40cm, sedangkan diameter minimum tali baja sebagai penyalur gaya, D
= 2 cm.

UCAPAN TERIMA KASIH


Ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian ini,
khususnya kepada yang terhormal : Kepala Balai Wilayah Sungai Sumatera VI beserta jajarannya, dan
tenaga ahlli sampai teknisi di lingkungan Balai BHGK Puslitbang SDA.

REFERENSI
Balai Wilayah Sungai Sumatera VI, Pembangunan Prasarana Pengendalian Banjir Kota Jambi, 2013.
DHI Water & Environment, MIKE 11 A Modelling System for Rivers and Chanels User Guide, June 2002.
Eka Kumala, Yiniarti. 2015. Bahan Angkutan Sedimen. Program Magister PSDA ITB, Bandung.
Petersen, M. 1986. River Engineering, Prentice Hall, Englewood Cliffs, New Jersey.
Plaxis User Manual, 2D Version 8 Edited by R.B.J. Brinkgreve, Delf University of Technology & PLAXIS
b.v., The Netherlands.
Pradoto, Suhardjito. 1988/1989. Teknik Pondasi. Bandung : Laboratorium Geoteknik Pusat Antar
Universitas, ITB.
Puslitbang SDA, Laporan Advis Teknik Evaluasi dan Alternatif Penanggulangan perkuatan Tebing Sungai
Tembuku Kota Jambi, September 2014.

Bandung, 12 September 2015

213

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

PENGENDALIAN DAYA RUSAK AIR

PENANGANAN EROSI PANTAI DI DESA PUSAKA JAYA UTARA SAMPAI


DENGAN MUARA BUNTU KABUPATEN KARAWANG
Yati Muliati1, Yunus Purwanto2, Ahmad Luthfi1
1Program

Studi Teknik Sipil, Institut Teknologi Nasional Bandung


2CV.

Teknoyasa Konsultan Indonesia

1yatimsn@yahoo.com; 2teknoyasakonsultanindonesia@yahoo.co.id

Abstrak
Pantai di Desa Pusaka Jaya Utara sampai dengan pantai di Desa Sungaibuntu sekitar Muara Buntu
Kabupaten Karawang mengalami erosi pantai yang diakibatkan oleh angkutan sedimen menyusur pantai
dari arah Timur menuju Barat. Bila tidak segera ditanggulangi, maka banjir akan terjadi pada daerah
sekitarnya. Penanganan yang direncanakan adalah pembuatan tanggul laut type rubble mound dengan
pelindung/armor kubus beton 50 cm sebagai lapis pelindung kesatu, batu belah diameter 30 cm sebagai
lapis pelindung kedua dan diameter 5-10 cm sebagai lapis pengisi yang ditempatkan pada kedalaman
sekitar -0,59 m (posisi Lowest Water Spring, LWS atau LLWL), yaitu berjarak sekitar 200m dari garis
pantai, sehingga secara bertahap pasir di bagian belakang tanggul akan mengisi bagian yang kosong
akibat abrasi/erosi. Tanggul laut dilengkapi dengan pelindung kaki untuk menahan gerusan di dasar
perairan. Pelindung kaki berupa batu belah bulat kasar dengan dimensi minimal diameter 30 cm,
ditempatkan pada posisi 1,0 meter di bawah LWS. Elevasi puncak tanggul ditempatkan pada +2,0 m dari
MSL. Hasil simulasi numerik menunjukkan di beberapa lokasi garis pantai menjadi maju dan volume
sedimentasi yang bergerak dominan ke arah Barat berkurang secara signifikan, yaitu untuk area di
belakang struktur hanya sekitar 20.000 m3 sampai 40.000 m3 kumulatif dalam 10 tahun, sedangkan area
yang tidak dibangun struktur tetap mencapai 60.000 m3 dalam 10 tahun.
Kata kunci: erosi, tanggul laut, kubus beton,

LATAR BELAKANG
Kabupaten Karawang memiliki banyak pantai yang indah, prasarana jalan raya banyak yang dibangun di
tepi pantai dan dijadikan lokasi pariwisata. Namun akhir-akhir ini pantai tersebut telah terkikis/tererosi.
Usaha penanganan telah dilakukan secara parsial seperti penyelamatan jalan raya dari amukan
gelombang laut; namun kenyataannya konstruksi yang dibuat belum berhasil secara optimal dan masih
ada daerah yang belum dilakukan pengamanan pantai serta kondisinya sudah kritis. Apabila hal ini tidak
segera ditangani maka akan merusak dan mengganggu kelancaran transportasi darat, selain itu berakibat
banjir pada wilayah sekitarnya, sehingga dapat mengganggu daerah pemukiman penduduk serta fasilitas
umum. Oleh karena itu perlu dilakukan penanganan pantai dari permasalahan yang terjadi.

METODOLOGI STUDI
Permasalahan pantai atau yang menyebabkan kerusakan pantai dapat diidentifikasi sebagai abrasi, erosi,
sedimentasi, dan banjir rob. Faktor penyebabnya antara lain hilangnya pelindung alami pantai (seperti
penebangan pohon-pohon pelindung pantai, penambangan pasir dan terumbu karang), gelombang
badai/tsunami, tergenangnya dataran rendah pantai akibat kenaikan muka air laut, penurunan lateral
tanah, perkembangan permukiman pantai yang tidak terencana, maupun diakibatkan oleh pemanfaatan
daerah pantai yang tidak sesuai dengan potensi pantai, dan adanya bangunan pantai yang menjorok ke
laut, serta pemindahan muara sungai.

214

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Menurut Nur Yuwono (1992), erosi pantai adalah proses mundurnya pantai dari kedudukan semula yang
disebabkan oleh tidak adanya keseimbangan antara pasok dan kapasitas angkutan sedimen. Beberapa
faktor penyebab yang sering mengakibatkan terjadinya erosi pantai antara lain pengaruh dari adanya
bangunan pantai, penambangan material pantai dan sungai, pemindahan muara sungai, pencemaran
perairan pantai, dan kerusakan akibat bencana alam seperti tsunami. Menurut Nur Yuwono (1999), abrasi
adalah proses erosi yang diikuti longsoran (runtuhan) pada material yang massif (batu). Abrasi
disebabkan karena daya tahan material menurun akibat cuaca (pelapukan) yang mengakibatkan daya
dukung material terlampaui oleh kekuatan hidraulik arus dan gelombang.
Menurut Nur Yuwono (1992), pemecah gelombang merupakan struktur dekat pantai yang dibangun dalam
arah sejajar, dan terpisah dari pantai pada perairan dangkal dengan fungsi utama untuk mengurangi erosi
pantai. Pemecah gelombang dapat berupa struktur yang terhubung dengan pantai (misalnya pemecah
gelombang pelabuhan), dan struktur terpisah pantai.
Prinsip pengamanan pantai secara umum terdiri atas:
a. Melumpuhkan daya rusak sebelum daya rusak tersebut menyentuh subjek yang dilindungi yaitu
dengan pemasangan pemecah gelombang di laut lepas.
b. Memasang tameng tepat di sisi laut subjek yang dilindungi agar daya rusak tidak menyentuh
langsung subjek yang dilindungi yaitu dengan pemasangan revetment/seawall/tanggul laut.
c.

Memodifikasi pola daya rusak agar lebih bersahabat terhadap subjek yang dilindungi seperti
pemasangan groin/breakwater tegak lurus pantai.

Pemilihan alternatif penanganan pantai perlu mempelajari permasalahan yang terjadi dan
mempertimbangkan dampak dari pemilihan tipe pengaman terhadap kondisi yang ada.
Perencanaan Pemecah Gelombang Tumpukan Batu (Rubble Mound)
Rumus yang umum digunakan untuk menentukan berat batu lindung adalah Rumus Hudson (SPM,1984)
sbb.:
W

H3

K D S 1 cot
3

(1)

Keterangan:
W : berat butir batu pelindung (ton)
H : tinggi gelombang rencana (m)
Sr : rapat massa relatif
: sudut kemiringan sisi bangunan (0)
r : berat jenis batu (t/m3)
w : berat jenis air laut (t/m3)
KD : koefisien stabilitas yang tergantung pada bentuk batu pelindung (batu alam atau batu buatan),
kekasaran permukaan batu, ketajaman sisi-sisinya, ikatan antar butir, dan keadaan pecahnya
gelombang
Revetment/seawall/tanggul laut
Revetment/seawall/tanggul laut adalah bangunan berupa dinding penahan gempuran gelombang yang
ditempatkan di sepanjang kawasan yang akan dilindungi. Penggunaan struktur ini bertujuan untuk
memperkuat tepi pantai agar tidak terjadi pengikisan pantai akibat gempuran gelombang. Tetapi bila
dinding penahan tidak direncanakan dengan baik, dapat berakibat kerusakan yang terjadi berlangsung
relatif cepat. Oleh karena itu pada bagian dasar perlu dirancang suatu struktur pelindung erosi yang cukup
baik.

Bandung, 12 September 2015

215

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Kondisi Lapangan
Lokasi penelitian mulai dari Desa Pusaka Jaya Utara Kecamatan Cilebar sampai dengan Desa
Sungaibuntu Kecamatan Pedes Kabupaten Karawang,Provinsi Jawa Barat.

Gambar 1. Lokasi Penelitian

Pada beberapa lokasi telah dilakukan pengamanan pantai seperti di Pantai Muara Buntu berupa
pemasangan tetrapod yang kondisi strukturnya kurang baik seperti disajikan pada Gambar 2, kemudian
struktur pengaman pantai yang baru dibangun tahun 2011 dengan panjang 300 meter, yaitu di Desa
Sungaibuntu berupa pemasangan revertment dari armor batu belah (Gambar 3).

Gambar 2. Tetrapod di Pantai Muara Buntu

Gambar 3. Revetmen/Tanggul Laut dari Batu Belah di Desa Sungaibuntu

Daerah yang kerusakannya paling parah adalah antara Desa Sungaibuntu dan Desa Pusaka Jaya Utara
(daerah Cipucuk), Nampak badan jalan sudah mulai rusak (Gambar 4 dan Gambar 5).Kedua lokasi ini
menjadi prioritas pertama dalam pembangunan pengaman pantai, mengingat kerusakan mengganggu
infrastruktur yang ada.

216

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Gambar 4. Jalan yang rusak di antara Desa Sungaibuntu dan Desa Pusaka Jaya Utara

Gambar 5. Jalan yang rusak di Desa Pusaka Jaya Utara

Selain itu prioritas kedua adalah di Desa Cemara Jaya sebelah Timur Muara Sungai Cemara (Gambar 6).

Gambar 6. Rumah penduduk yang hancur di Desa Cemara Jaya sebelah


Timur Muara Sungai Cemara

Ke arah Barat dari lokasi rumah penduduk yang hancur (Gambar 7) masyarakat setempat berupaya
menanggulangi dengan membuat pengaman pantai berupa groin/breakwater tegak lurus dan tanggul dari
bongkahan batu bata bekas dinding rumah-rumah yang hancur. Meskipun panjang groin pendek,
sehingga area yang dilindunginya pun terbatas, namun hal ini setidaknya sudah membantu erosi yang
terjadi. Seandainya tidak ada groin sama sekali, niscaya kerusakan lebih cepat terjadi.

Gambar 7. Pemasangan pengaman pantai oleh Masyarakat Setempat

Desa Pusaka Jaya Utara bagian Timur atau yang sering disebut sebagai daerah Cipucuk tidak menjadi
prioritas untuk pengamanan. Pada desa ini terdapat lokasi penanaman pohon bakau yang tidak berhasil
(Gambar 8), dan lebih ke Timur, terdapat rumah yang nampak menjorok ke tengah laut. Sesungguhnya

Bandung, 12 September 2015

217

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

rumah tersebut bertahan karena dipasang batu pelindung untuk menahan gelombang.Jadi justru garis
pantai sekitarnya yang menjadi mundur akibat erosi yang terjadi, seperti pada Gambar 9.

Gambar 8. Upaya penanaman pohon bakau yang gagal di Desa Pusaka Jaya
Utara (Cipucuk) bagian Timur

Gambar 9. Desa Pusaka Jaya Utara (Cipucuk) bagian Timur

Hasil analisis dari data oseanografi menghasilkan elevasi pasut seperti pada Tabel 1, gelombang hasil
ramalan seperti pada Tabel 2, dan tinggi gelombang ekstrim seperti pada Tabel 3.
Tabel 1. Elevasi Acuan Pasut di Lokasi Studi

No

Elevasi Acuan

Nilai (m)

1
2
3

Highest Water Spring (HWS) = Highest High Water Level (HHWL)


Mean Sea Level (MSL)
Lowest Water Spring (LWS) = Lowest Low Water Level (LLWL)
Tunggang Pasang (m)

1,49
0,94
0,35
1,14

Terhadap
MSL (m)
0,55
0,00
-0,59
1,14

Tabel 2. Persentase Kejadian Gelombang pada Bulan Januari-Desember (2001-2011) di Lepas Pantai
Kerawang Diramal Berdasarkan Data Angin Jatiwangi

Arah
H (m)
Utara
Timur Laut
Timur
Tenggara
Selatan
Barat Daya
Barat
Barat Laut
Sub Total
Tidak bergelombang
Total

218

< 0,5
13,12
26,66
28,60
1,90
0,00
0,00
8,18
2,81

Persentase Kejadian Gelombang


0,5-1
1-1,5
1,5-2
>2
0,08
0,08
0,04
0,00
1,71
0,38
0,08
0,04
1,14
0,46
0,11
0,04
0,80
0,15
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,46
0,04
0,00
0,00
0,08
0,00
0,00
0,00

Total
13,31
28,87
30,35
2,85
0,00
0,00
8,67
2,89
86,95
13,05
100,00

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Tabel 3. Tinggi Gelombang Ekstrim Di Lepas Pantai Karawang

Periode Ulang (tahun)


Tinggi Gelombang Ekstrim (m)
2
1,76
3
2,38
5
2,79
10
3,12
25
3,45
50
3,81
100
4,04
200
4,56
Berdasarkan angin yang dominan datang dari arah Timur Laut, Utara, dan Timur, maka sudut datang
gelombang di perairan dalam adalah sebesar 30 derajat, dan untuk tinggi gelombang ekstrim di perairan
dalam dengan periode ulang 50 tahun, didapat periode gelombang 9,51 detik. Proses transformasi
gelombang menghasilkan tinggi gelombang (H) di lokasi rencana untuk kedalaman 1,1 m sebesar 0,86 m,
dan untuk kedalaman 1,5 m sebesar 1,17 m. Perairan direncanakan pada kedalaman 1,5 meter, yaitu
tunggang pasang 1 meter ditambah setengah dari tinggi gelombang di sekitar lokasi = 0,5 meter, sehingga
tinggi gelombang rencana adalah 1,17 meter.

HASIL STUDI DAN PEMBAHASAN


Setelah mempelajari permasalahan pantai yang ada dan penyebab terjadinya permasalahan, maka
penanggulangan yang diusulkan adalah pembangunan tanggul laut, yang bertujuan untuk mengurangi
energi gelombang yang mengenai pantai. Dengan adanya tanggul laut, gelombang yang datang akan
menghantam tanggul terlebih dahulu, sehingga daerah di belakang tanggul terlindungi. Penanggulangan
ini dipilih mengingat infrastruktur yang ada sudah sangat terganggu/rusak, sehingga diharapkan manfaat
yang didapat dari pemasangan struktur tanggul secara langsung dapat diterima oleh masyarakat sekitar.
Konstruksi tanggul laut serupa dengan revetmen, namun mengingat dasar laut sangat landai, sehingga
lokasi surut terendah (LLWL atau LWS) berada pada jarak yang cukup jauh dari jalan raya, maka istilah
tanggul laut lebih tepat digunakan.
Alternatif lain seperti pembuatan revetmen/tanggul laut dari sandbag tidak disarankan, mengingat umur
ketahanan sandbag, khususnya area di bagian yang terkena perubahan pasang surut lebih rendah bila
dibandingkan dengan material batu atau beton, karena mudah lapuk. Selain itu, pengalaman di daerah
Pisangan banyak sandbag yang dimanfaatkan untuk pengganti terpal plastik.
Tanggul laut menjadi prioritas utama, mengingat kondisi perumahan penduduk di tepi pantai yang sudah
sangat kritis terkena abrasi dan longsor di musim hujan, sehingga saat pembangunan dimulai, manfaat
pengamanan sudah langsung diterima.
Dengan mempertimbangkan tunggang pasut yang relatif rendah, yaitu HHWL-LLWL=1,14 m, maka
digunakan model rubblemound dari tumpukan armor/pelindung dengan kemiringan 1:1,5. Armor dipilih
dari kubus beton, mengingat lokasi quarry/batu cukup jauh, diameter batu berukuran besar sulit didapat
dalam jumlah yang banyak, dan pengawasan menjadi lebih mudah saat pelaksanaan konstruksi.
Perhitungan berat pelindung/armor tanggul laut adalah sebagai berikut :

2400 x 1,17 3
212,31kg
2400
3
5,0 x(
1) x 1,5
1025

(2)

Berat armor lapisan pelindung kesatu berupa kubus beton, W1 adalah 212,31 kg per butir atau dengan sisi
kubus 50 cm.

Bandung, 12 September 2015

219

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Berat armor lapisan pelindung kedua berupa batu belah, dengan type 3 layer : W2

W1batu

maka W2

W1batu
, dimana
10

2700 x 1,17 3
330,305kg
2700
3
2,0 x(
1) x 1,5
1025

(3)

W1batu
= 33,305 kg atau dengan diameter minimum 30 cm,
10

Lapisan pengisi, W p

W1batu
W
s.d . 1batu , yaitu 0,083 kg s.d 1,65 kg atau dengan diameter
4000
200

minimum 3,8 cm s.d 10,5 cm, jadi dipilih diameter 5 cm s.d 10 cm.

Tanggul laut dengan peletakan sejajar pantai seperti pada Gambar 10 diharapkan dapat mengembalikan
garis pantai ke kondisi semula mengingat tanggul laut ditempatkan pada kedalaman sekitar -0,59 m yaitu
berjarak sekitar 200m dari garis pantai, sehingga secara bertahap pasir di bagian belakang tanggul akan
mengisi bagian yang kosong akibat abrasi/erosi. Penempatan pada kedalaman -0,59 m adalah mengikuti
ketentuan yaitu menempatkan struktur pengaman pantai pada posisi LWS.
Pelindung kaki (toe protection) perlu diperhitungkan untuk menahan gerusan di bagian dasar akibat gaya
refleksi gelombang yang mengenai struktur tanggul laut. Dengan kedalaman air, d1 = 1,5 m, tinggi
pelindung kaki, t = 1,0 m, sehingga kedalaman total ds = d1 + t = 2,5 m dan lebar mercu, B= 0,4 ds = 1,16
m, diambil 1,5 meter, maka :

d1
0,6 didapat koefisien kestabilan untuk pelindung kaki, Ns3 = 180,
ds

xH3

Ns3Sr 1
r

2700 x 1,17 3

1802,63 1

5,55 kg
(4)

sehingga dimensi batu, s = 12,7 cm. Bila dibandingkan dengan armor batu lapis pelindung kedua, dimensi
batu 30 cm, maka diambil dimensi batu terbesar yaitu 30 cm.
Elevasi puncak tanggul laut dapat ditentukan dengan rumus sebagai berikut :
Elevasi Mercu Tanggul
Ru

= HHWL + Ru, dengan :

= Tinggi rayapan/Run Up, kenaikan muka air akibat gelombang pada bidang miring,

HHWL = Highest High Water Level = + 0,55 meter dari MSL (0,00)
Tinggi rayapan (run-up) pada lereng permeabel diperkirakan dengan salah satu metode yang sudah
dikenal cukup baik, yaitu bilangan Irribaren yang ditetapkan dari persamaan sbb. (Nur Yuwono, 1992) :
Ir

tg
H
0,5

Lo

(5)

Dengan :
= Sudut kemiringan bangunan (o)
H = Tinggi gelombang di lokasi bangunan (m)
L 0 = Panjang Gelombang di laut dalam (m)

I r = Bilangan Irribaren
Panjang gelombang laut dalam, L 0 :

220

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

L0

gT 2 9.8 x9,512

141,087 m
2
2 x3.14

Ir

2/3
7,32
(1,17 / 141,087) 0.5

(6)

Dengan menggunakan nomogram dari SPM untuk nilai I r = 5,491 untuk batu pecah diperoleh :

Ru
1,265
H
Ru 1,265 x1,17 1,48 m

(7)

Elevasi Puncak Tanggul = HHWL + Ru = 0,55 + 1,48 = +2,03 m, diambil +2,0m dari MSL
Hasil simulasi transpor sedimen dengan menggunakan pemodelan numerik GENESIS di lokasi studi
menyimpulkan bahwa secara umum akan mengalami erosi yang cukup parah dengan nilai kumulatif erosi
pantai selama 10 tahun dapat mencapai 70.000 m3. Erosi yang terbawa oleh arus sejajar pantai ini
diperkirakan akan tertumpuk di kawasan Timur Muara Buntu, sehingga akan memperdangkal kondisi
perairan di lokasi tersebut. Dengan rencana pemasangan tanggul laut, maka di beberapa lokasi garis
pantai menjadi maju dan volume sedimentasi yang bergerak dominan ke arah kiri pantai (ke arah Barat)
berkurang secara signifikan, yaitu untuk area di belakang struktur hanya sekitar 20.000 m 3 sampai 40.000
m3 kumulatif dalam 10 tahun, sedangkan area yang tidak dibangun struktur tetap mencapai 60.000 m3
dalam 10 tahun.

Bandung, 12 September 2015

221

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

TANGGUL LAUT
RENCANA

REVETMEN
EKSISTING

Gambar 10. Rencana Pengamanan Pantai di Desa Pusaka Jaya Utara s.d Pantai Muara Buntu

222

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Gambar 11. Tipikal Struktur Tanggul Laut dari armor kubus beton

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI


Kesimpulan
Permasalahan pantai yang terjadi di Desa Pusaka Jaya Utara sampai dengan pantai di Desa Sungaibuntu sekitar
Muara Buntu Kabupaten Karawang yaitu adanya erosi pada beberapa lokasi pantai, sehingga merusak infrastruktur
dan berakibat banjir pada wilayah sekitarnya, sehingga dapat mengganggu daerah pemukiman penduduk serta
fasilitas umum. Dari data angin dan gelombang diperoleh angin dan gelombang dominan datang dari arah Utara dan
Timur, sehingga terjadi angkutan sedimen menyusur pantai yang menyebabkan erosi.
Penanganan yang dilakukan terhadap masalah pantai ini adalah pembuatan tanggul laut type rubble mound dengan
pelindung/armor kubus beton 50 cm sebagai lapis pelindung kesatu, batu belah diameter 30 cm sebagai lapis
pelindung kedua dan diameter 5-10 cm sebagai lapis pengisi Tanggul laut dengan peletakan sejajar pantai
diharapkan dapat mengembalikan garis pantai ke kondisi semula mengingat tanggul laut ditempatkan pada
kedalaman sekitar -0,59 m (posisi LWS) yaitu berjarak sekitar 200m dari garis pantai, sehingga secara bertahap
pasir di bagian belakang tanggul akan mengisi bagian yang kosong akibat abrasi/erosi.
Tanggul laut dilengkapi dengan pelindung kaki untuk menahan gerusan di dasar perairan. Pelindung kaki berupa
batu belah bulat kasar dengan dimensi minimal diameter 30 cm, ditempatkan pada posisi 1 meter di bawah LWS
atau pada posisi -1,59 m dari MSL. Elevasi puncak tanggul ditempatkan pada +2,0 m dari MSL.
Dengan rencana pemasangan tanggul laut, maka hasil simulasi numerik menunjukkan di beberapa lokasi garis
pantai menjadi maju dan volume sedimentasi yang bergerak dominan ke arah kiri pantai (ke arah Barat) berkurang
secara signifikan, yaitu untuk area di belakang struktur hanya sekitar 20.000 m 3 sampai 40.000 m3 kumulatif dalam
10 tahun, sedangkan area yang tidak dibangun struktur tetap mencapai 60.000 m3 dalam 10 tahun.
Rekomendasi
Pada struktur tanggul laut, pengamanan pantai akan lebih maksimal bila dikombinasikan dengan penanaman pohon
mangrove di belakang tanggul setelah selesai pemasangan tanggul laut, sehingga kondisi pantai tetap sesuai
dengan perencanaan, seperti disajikan pada Gambar 12.

223

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Tanggul Laut

Gambar 12. Ilustrasi setelah selesai pemasangan tanggul laut.


(Sumber : Kementerian Pekerjaan Umum, 2012)

REFERENSI
Kementerian Pekerjaan Umum (2012). Bahan Rapat Penetapan Pedoman Perencanaan Pengamanan Pantai.
U.S. Army, Corp Of Engineering, Coastal Engineering Research Center. (1984). Shore Protection Manual (SPM) Vol
I dan II, U.S. Government Printing Office, Washington D.C.
Yuwono, N. (1992). Teknik Pantai Vol I dan II, Laboratorium Teknik Hidro, Teknik Sipil, Fakultas Yeknik Sipil,
Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.

224

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR TERPADU DALAM RANGKA PENYEDIAAN AIR


BERSIH BERBASIS MASYARAKAT DI KABUPATEN LAMONGAN
Feril Hariati
Program Studi TeknikSipil, Universitas Ibn Khaldun Bogor
feril.hariati@ft.uika-bogor.ac.id

Abstrak
Air bersih merupakan kebutuhan dasar bagi manusia, dan masih banyak masyarakat miskin yang memiliki kesulitan
dalam mengaksesnya. Hasil SUSENAS pada tahun 2009, 70% warga Indonesia mendapatkan air bersihnya sendiri
dengan mengambil air tanah, sumur, sungai, dan sumber lainnya. Akan tetapi dengan berkembangnya desa menjadi
kota dan perubahan iklim yang merubah siklus hidrologi, keberadaan sumberdaya air menjadi terancam, terutama
yang mengandalkan air tanah, dan salah satunya adalah sistem penyediaan air bersih berbasis masyarakat. Studi
yang dilakukan di Lamongan menunjukkan bahwa tingkat kerentanan sistem ini sangat tinggi, terutama dalam hal
ketersediaan air baku. Tidak adanya pengaturan pembatasan pengambilan air bersih, pengisian kembali air tanah,
mengancam keberlangsungan sistem. Penerapan konsep pengelolaan sumberdaya air terpadu atau IWRM dalam
operasional sistem dapat mengurangi tingkat kerentanan. Penelitian ini membahas bagaimana konsep IWRM dapat
diterapkan pada sistem penyediaan air bersih berbasis masyarakat dengan studi kasus di Kabupaten Lamongan.
Survey lapangan berupa pengumpulan data dan wawancara dengan pihak pemerintah sebagai fasiltator, pengelola,
dan pengguna sistem air berbasis masyarakat dilakukan untuk mendapatkan informasi terkini mengenai sistem yang
sedang berjalan. Sedangkan analisis SWOT dilakukan untuk mengetahui posisi strategis dari sistem, serta upaya
yang perlu dilakukan untuk memperbaikinya
Kata Kunci: IWRM, penyediaan air bersih berbasis masyarakat, Kabupaten Lamongan

LATAR BELAKANG
Pembangunan sistem air bersih dan sanitasi berbasis masyarakat di Indonesia mulai dimplementasikan sejak tahun
1984 melalui program Pembangunan Lima Tahun (PELITA) IV, dan menjadi titik awal keterlibatan masyarakat untuk
berpartisipasi dalam proyek-proyek pemerintah; baik skala lokal maupun nasional, yang didanai oleh lembaga donor
internasional dengan melibatkan organisasi non pemerintah (NGO). Konsep kepemilikan masyarakat dan
pendekatan pengadaan proyek berdasarkan permintaan dan kebutuhan masyarakat dapat diterima secara luas.
Model ini membuka kesempatan luas bagi masyarakat untuk terlibat dalam pembangunan dan pengelolaan
infrastruktur, dan pemerintah daerah bertindak sebagai fasilitator dan penasihat teknis. Meskipun keterlibatan
masyarakat dalam hal pengelolaan infrastruktur sangat besar, akan tetapi karena keterbatasan kemampuan
masyarakat dalam mengoperasikan dan memelihara infrastruktur air bersih, pemanfaatan sistem menjadi tidak
optimum. Studi terdahulu mengenai penilaian teknis terhadap efektivitas sistem penyediaan air dan sanitasi berbasis
masyarakat di Jawa Tengah yang diselenggarakan oleh pemerintah dengan sebagian pendanaannya berasal World
Bank dalam bentuk program WSSLIC dan VIP, dan NGO pada akhir tahun 1980 sampai awal tahun 1990,
menunjukan tingkat keberhasilan program yang kurang berhasil. Hasil penilaian dari mulai tahap konstruksi, operasi,
dan pemeliharaan terhadap 439 rumah tangga menyatakan bahwa mereka tidak mendapatkan pelayanan penuh dari
sistem penyediaan air bersih yang telah dibangun. Seratus lima puluh delapan atau 36% rumah tangga seringkali
mengambil air dari sungai, telaga, mata air, atau bak penampung air hujan. Sedangkan 275 rumah tangga
menyatakan bahwa mereka tidak mendapatkan semua air yang diperlukan untuk memasak dan minum dari sistem
penyediaan air yang ada karena tidak berfungsi, dan di antaranya terdapat 84 rumah tangga (31%) yang

225

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

menggantungkan kebutuhan air bersihnya dari sungai, telaga, mata air, atau bak penampung air hujan (Isham and
Kahkonen, 1999).
Evaluasi terhadap sistem penyediaan air bersih pedesaaan berbasis masyarakat di wilayah hilir DAS Brantas
menunjukkan bahwa keandalan dari suatu sistem penyediaan air bersih merupakan faktor penting bagi kepuasan
masyarakat (Masduki, 2008). Dari tiga desa yang disurvei, dua desa menyatakan tidak begitu puas dengan sistem
yang ada, terutama dari sisi sistem operasionalnya. Sedangkan dari studi kasus yang dilakukan di Wuran dan
Tarinsing, Kabupaten Barito Timur, Kalimantan Tengah, terjadi kegagalan sistem setelah masa pembangunan yang
berhubungan dengan masalah operasional dan pemeliharaan. Salah satu faktor penting yang menjadi hambatan
adalah aspek teknologi yang digunakan, termasuk di dalamnya kualitas dan kuantitas sumber air, serta operasi dan
pemeliharaan dari sistem itu sendiri (Lambok, 2010).
Air bersih merupakan kebutuhan vital bagi manusia, sehingga tersedianya akses air bersih bagi masyarakat menjadi
salah satu tujuan pencapaian pembangunan millennium, bahkan air bersih dan sanitasi yang layak merupakan
investasi kemanusiaan terbaik untuk mencapai pembangunan dan keberlangungan (Tipping, Adom, and Tibajiuka,
2005). Karena antara air, kesehatan, kesejahteraan, dan peningkatan ekonomi merupakan hal saling berkaitan,
maka sistem penyediaan air bersih bagi masyarakat tidak dapat dianggap sebagai bagian dari infrastruktur
masyarakat saja, akan tetapi harus dilihat secara menyeluruh sebagai bagian dari pembangunan sosial dan
ekonomi, serta menciptakan suatu kota yang nyaman dan lestari. Makalah ini menekankan pada diskusi yang
menyangkut kondisi terkini sistem penyediaan air bersih berbasis masyarakat dan kebijakan yang berkaitan dengan
sistem pengelolaan air bersih di Kabupaten Lamongan dan bertujuan untuk memperoleh konsep pengelolaan
sumber daya air yang dapat menjamin keberlangsungan sistem. Kekuatan, kelemahan, tantangan dan hambatan,
serta usulan pengelolaan sistem air bersih di Kabupaten Lamongan disajikan untuk memberikan gambaran
mengenai tindakan yang perlu dilakukan oleh seluruh pihak yang berkepentingan untuk mengatasi masalah
keberlangsungan sistem penyediaan air bersih berbasis masyarakat.

IDENTIFIKASI MASALAH
Penyediaan air bersih yang aman dan terjamin, sanitasi dasar, dan higienis yang baik merupakan kebutuhan dasar
untuk menyediakan kehidupan yang sehat, produktif, dan bermartabat. Masih banyak masyarakat miskin di
perdesaan yang tidak memiliki akses untuk mendapatkan fasilitas air bersih dan sanitasi yang layak. Data yang
diperoleh dari Joint Monitoring Program for Water and Sanitation (2006) menyatakan ada 900 juta penduduk di dunia
yang tidak mendapatkan pelayanan penyediaan air bersih yang layak, dan 2 milyar penduduk dunia yang tidak
memiliki fasilitas sanitasi yang layak. Berdasarkan hasil data Survei Ekonomi Nasional (SUSENAS) pada tahun
2009, tujuh puluh persen penduduk Indonesia mendapatkan air bersih untuk kebutuhan sehari-hari secara mandiri
dengan mengambil air tanah, sumur, sungai, atau sumber lainnya, dan terdapat perbedaan antara penduduk kota
dan penduduk desa dalam memenuhi kebutuhan air bersihnya. Lima puluh persen dari penduduk kota harus
membeli air, dengan rincian setengah dari 50% jumlah penduduk kota yang membeli air mendapatkannya dari
perusahaan air milik pemerintah kota, dan sisanya dari penjual air baku serta tetangga. Terdapat daerah abu-abu
antara air yang didapat melalui sistem perpipaan dan air yang dibeli dari penjual air baku, karena survei menemukan
bahwa banyak penjual air baku mendapatkan airnya dari sistem penyediaan air bersih yang terhubung dengan pipa
dan membawanya ke daerah yang tidak terlayani sistem penyediaan air bersih perpipaan. Lima puluh persen
penduduk kota lainnya mendapat air bersihnya dengan menggali sumur dangkal atau sumur dalam. Untuk kota
pesisir, peningkatan jumlah rumah tangga dan industry yang mengambil air tanah dapat mengakibatkan penurunan
muka tanah dan intrusi air laut. Untuk wilayah pedesaan, 15% rumah tangga membeli air, umumnya dari organisasi
penyediaan air bersih skala komunitas.
Derasnya arus urbanisasi mengakibatkan wilayah pedesaan berkembang menjadi kota, dan letak sumber daya air
menjadi semakin jauh. Kawasan padat penduduk harus melindungi dirinya dari polusi dan tergantung terhadap
sumber mata air yang terletak di luar daerah adminitrasi kawasan, karena distribusi sumber air tidak merata di setiap
daerah. Di beberapa daerah, sumber air berlimpah, akan tetapi memerlukan biaya yang sangat besar untuk
mengalirkan air tersebut ke kawasan perumahan.

226

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Selain itu, perubahan iklim berpengaruh terhadap siklus hidrologi yang akan berdampak pada kualitas dan kuantitas
sumber air. Penduduk miskin dan pedesaan merupakan komunitas yang paling rentan dalam hal mendapatkan air
bersih, karena umumnya kelompok masyarakat ini memperoleh airnya dari sistem penyediaan air bersih berbasis
masyarakat yang seringkali menggunakan sumur dalam sebagai sumber airnya. Kebutuhan air tanah cenderung
meningkat pada masa yang akan datang, dan akan memberikan dampak penurunan muka air tanah. Perubahan
iklim akan berdampak pada laju pengisian ulang air tanah, meskipun demikian perlu dilakukan penelitian lebih lanjut
mengenai dampak perubahan iklim terhadap air tanah (Alley, 2001). Dalam kondisi tertentu, seperti terhubungnya
kondisi hidraulik sungai dan akuifer dengan baik, serta laju pengisian air tanah yang rendah, perubahan ketinggian
muka air sungai akan lebih mempengaruhi ketinggian muka air tanah dibandingkan dengan perubahan laju pengisian
ulang air tanah (Allen et.al., 2003). Perubahan iklim juga akan merubah kondisi tanaman yang juga mempengaruhi
pengisian kembali air tanah. Semakin sedikit tumbuhan akan meningkatkan run-off dan mengurangi presipitasi untuk
mengisi ulang air tanah.

PENILAIAN KONDISI SISTEM PENYEDIAAN AIR BERSIH BERBASIS MASYARAKAT


Air adalah sumber daya alam milik masyarakat sehingga dalam pemanfaatannya dapat menimbulkan konflik sosial,
budaya, dan lingkungan, terutama sekali saat terjadi kekeringan dan pembatasan pemakaian air. Hukum di
Indonesia menempatkan air minum sebagai fungsi utama air di antara fungsi lainnya, seperti untuk pertanian,
industri, dan pelayanan lainnya, yang diatur dalam UU No. 77 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, Peraturan
Pemerintah No. 38 Tahun 2011 tentang Sungai, dan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 02/PRT/M/2013
tentang Pedoman Penyusunan Rencana Pengelolaan Sumber Daya Air. Meskipun demikian pemanfaatan air
permukaan juga diatur dalam undang-undang, seperti pemanfaatan air permukaan yang berada dalam daerah aliran
sungai yang berada dalam pengelolaan Kementrian Pekerjaan Umum, maka harus mendapatkan ijin pemakaian dari
Menteri Pekerjaan Umum, atau gubernur provinsi tempat sungai itu mengalir. Di samping itu, untuk pemanfaatan air
tanah, kebijakan pemanfaatannya berada pada pemerintah daerah di mana air tanah itu berada dalam batas
administrasinya. Apabila air tanah berada di antara batas adiministrasi dua daerah, maka kebijakan berpindah pada
pemerintah provinsi.
Program sistem penyediaan air bersih dan sanitasi berbasis masyarakat diadakan khusus untuk masyarakat
berpenghasilan rendah dan masyarakat pedesaan. Air baku umumnya diperoleh dari air tanah, mata air, atau air
hujan. Teknologi yang diterapkan dalam sistem ini merupakan teknologi sederhana untuk memudahkan operasional
dan perawatan, mengingat keterbatasan keahlian yang dimiliki oleh masyarakat, salah satunya yang terdapat di
Kabupaten Lamongan.
Kabupaten Lamongan terletak di Pantai Utara Jawa dan memiliki garis pantai sepanjang 47 km. Sebagai kota pantai,
topografinya didominasi dengan dataran rendah dan rawa yang memiliki elevasi antara 0 sampai 25 m di atas
permukaan laut. Intensitas curah hujan di Kabupaten Lamongan relatif rendah, dan sumber daya air yang dimiliki
sebagian besar berupa air permukaan yang kondisinya sangat tergantung dengan cuaca. Pada tahun 2010, tercatat
intensitas curah hujan di Kabupaten Lamongan mencapai 2.631 mm per tahun, dan dapat dikatagorikan sebagai
tinggi, akan tetapi kejadiannya tidak merata per bulannya. Perubahan iklim yang ekstrem merupakan salah satu
pemicu terjadinya ketidakseimbangan penyebaran air. Hasil wawancara dengan Bapak Agus dari Bappeda
Kabupaten Lamongan (2015), pada tahun 2014 terjadi kekeringan yang cukup lama di Lamongan, dengan kondisi
terkritis terjadi pada bulan November. Masyarakat banyak yang tidak mendapatkan air bersih, termasuk yang
dilayani oleh sistem penyediaan air bersih berbasis masyarakat, meskipun tercatat Kabupaten Lamongan memiliki
184 bendungan untuk keperluan pengairan dan sumber air baku, tiga sungai besar; (1) Bengawan Solo sepanjang
68 km, dan debit rata-rata 531.61 m3/bulan (maksimum debit 1,758.46 m3/bulan and minimum debit 19.58
m3/bulan); (2) Kali Blawi dengan panjang 27 Km, dan (3) Kali Lamong dengan panjang 65 Km. Selain itu, masih
terdapat cekungan alami yang secara periodik tergenang setengah sampai 3 bulan pada saat musim kemarau.
Pada umumnya, masyarakat lebih memilih menggunakan air tanah sebagai sumber air baku untuk keperluan
sanitasi dan kebutuhan sehari-hari, karena anggapan bahwa air tanah lebih baik dibandingkan air permukaan dan
memiliki jumlah yang stabil. Hasil wawancara dengan salah satu staf Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Lamongan

227

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

(2015), menyatakan bahwa kondisi air baku untuk di Lamongan berbeda antara satu desa dengan desa lainnya.
Demikian halnya dengan pengolahannya. Ada desa yang menggunakan air tanah, menggunakan air permukaan,
dan menggunakan sumur, baik melalui proses pengolahan maupun tidak. Untuk air yang tidak diolah, pihak
pengelola sistem penyediaan air bersih berbasis masyarakat memberlakukan tarif regular, sedangkan untuk yang
melalui proses pengolahan, tarif air akan menjadi lebih mahal, dan kontribusi masyarakat menjadi lebih besar. Selain
itu, terdapat pula sistem penyediaan air bersih yang menerapkan sistem gravitasi, akan tetapi tingkat
keberlanjutannya sangat kecil. Sistem ini sangat tergantung pada jumlah aliran air. Apabila aliran air kecil, air tidak
akan dapat masuk ke bangunan pengalihan.
Selain kualitas dan kuantitas air yang menjadi unsur penting dalam keberlanjutan sistem penyediaan air bersih
berbasis masyarakat, konflik pemakaian air juga sangat mempengaruhi. Dari keterangan yang disampaikan oleh
salah satu pengurus Himpunan Penduduk Pengguna Air Minum (HIPPAM) Tirto Agung Lamongan, Bapak Panggeng
(2015), diperlukan usaha yang keras untuk membangun sistem penyediaan air bersih di Lamongan karena adanya
konflik kepentingan dalam pemakaian air. HIPPAM Tirto Agung pada awalnya mengoperasikan sistem penyediaan
air bersih yang berada di Desa Bogem. Sumber air berasal dari air tanah dengan kedalaman sekitar 100 m, yang
terletak di tanah milik seorang warga, dan kemudian dihibahkan ke HIPPAM Tirto Agung. Setelah sistem berjalan
dengan baik, HIPPAM Tirto Agung mulai memperluas daerah pelayanannya ke desa tetangga, dan konflik muncul
karena pemilik tanah tempat sumber air meminta kepada pengurus HIPPAM Tirto Agung untuk membeli tanahnya.
Alasan utama pemilik tanah menghibahkan tanahnya saat itu adalah karena air yang diambil hanya akan digunakan
bagi warga Desa Bogem. Apabila desa lain mendapatkan pelayanan air bersih dengan sumber air yang berada di
dalam tanah miliknya, berarti HIPPAM telah menjual air dan mendapatkan keuntungan dari sistem yang telah
dibangun.
Untuk memecahkan persoalan tersebut, HIPPAM Tirto Agung membeli tanah dari pemilik dan melegalisasikannya
dengan akta notaris. Saat ini HIPPAM Tirto Agung sudah melayani 4 desa dengan jumlah masyarakat yang terlayani
6.310 jiwa. Untuk memenuhi kuantitas pelayanan, HIPPAM menggali sumur baru, dan saat ini HIPPAM telah memilik
dua sumur dalam, dengan kedalaman 106 m dan 100 m yang masing-masing memiliki kapasitas 5 l/dtk dan 6 l/dtk.
Dari keterangan Pak Sutrisno, salah seorang pelanggan (2015), suplai air berlangsung selama 24 jam, dengan
jumlah air yang memadai. Saat musim kemarau, air masih tetap mengalir tanpa diberlakukan pembatasan waktu
maupun sistem rotasi. Kualitas air pun baik, ditinjau dari parameter fisik seperti kejernihan, bau, dan rasa.
Pemeriksaan parameter biologi dan kimia dilakukan oleh Dinas Kesehatan secara berkala tiga bulan sekali. Pada
Gambar 1. disajikan skema sistem distribusi air bersih yang dikelola oleh HIPPAM Tirto Agung.

Gambar 1. Skema sistem distribusi air bersih HIPPAM Tirto Agung (Sumber: HIPPAM Tirto Agung, 2014)

Berdasarkan data yang diperoleh dari HIPPAM, rata-rata pemakaian air perhari mencapai 71.4 lt untuk setiap orang,
dan dalam kurun waktu sebulan, jumlah air yang diambil adalah 450.5 m3. Sistem yang mulai dioperasikan pada
tahun 2008 memiliki tingkat keberlangsungan yang sangat baik, bahkan dapat memperluas jaringan pelayanannya.
228

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Dalam hal ini menunjukkan bahwa air tanah yang digunakan sebagai sumber tahan terhadap kondisi perubahan iklim
dibandingkan air permukaan. Peraturan Pemerintah Daerah Kabupaten Lamongan No. 5 Tahun 2004, tentang
Pemanfaatan dan Pengelolaan Air Tanah, menyatakan bahwa penggunaan air tanah sebagai air minum merupakan
prioritas utama, yang selanjutnya diikuti dengan pemakaian rumah tangga, peternakan skala kecil, irigasi, industri,
pertambangan, bisnis komersial, dan kebutuhan lain-lain. Dengan demikian, berdasarkan peraturan daerah tersebut,
sistem penyediaan air berbasis masyarakat memiliki hak untuk mengambil air tanah tanpa dipungut bayaran, dan
sebagai konsekuensinya, kelompok masyarakat yang mengelola harus melindungi kawasan tangkapan airnya
dengan mengkonservasi hutan di sekitar sumber air tanah. Selain itu perlu dilakukan monitoring dengan
menggunakan sumur pantau yang digali di sekitar sumur dalam, untuk mengukur penurunan muka air tanah akibat
pengambilan air. Langkah lain untuk menjaga pengisian kembali air tanah adalah turut melibatkan kelompok
masyarakat pengguna air, seperti HIPPAM Tirto Agung, untuk menjadi salah satu anggota dewan air daerah. Akan
tetapi berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Kiswanto, salah seorang pengurus HIPPAM Tirto Agung (2015),
kegiatan berupa pebuatan sumur pantau oleh pihak pemerintah daerah dan keikutsertaan HIPPAM terhadap
perencanaan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya air sejauh ini tidak dilakukan oleh pihak pemerintah
daerah. Pada Gambar 2. disajikan kondisi sumber mata air sumur dalam yang dikelola oleh HIPPAM Tirto Agung.

Gambar 2. Kondisi sumur sumber air baku

Kesimpulan sementara dari hasil penilaian sistem penyediaan air bersih berbasis masyarakat di Lamongan,
permasalahan utamanya adalah ketersediaan air baku. Dengan jumlah pengambilan air yang cukup besar
perbulannya, tidak ada upaya untuk memonitoring kondisi air tanah, melakukan pengisian kembali air tanah, serta
jaminan tidak terjadi perubahan tata guna lahan yang berada di sekitar sumber air, maka sistem ini dapat dikatakan
rentan terhadap perubahan iklim. Oleh karena itu perlu diimplementasi konsep water security dan IWRM agar sistem
dapat tetap berjalan.
Konsep water security telah mendapatkan perhatian banyak dalam sepuluh tahun terakhir ini, baik dalam debat
politik maupun akademik (Cook and Baker, 2011). Beberapa definisi mengenai water security dikeluarkan oleh
organisasi-organisasi internasional, terutama Global Water Partnership dan World Economic Forum. Berdasarkan
deklarasi para menteri pada acara World Water Forum ke-2, water security didefinisikan sebagai menjamin bahwa
air bersih, pantai, dan ekosistem yang terkait terlindungi dan terus diperbaiki; sehingga terjadi peningkatan
pembangunan berkelanjutan dan stabilitas politik yang menjamin bahwa setiap orang memiliki akses air bersih yang
cukup dengan biaya yang terjangkau untuk memperoleh kehidupan yang sehat dan produktif, dan kelompok
masyarakat yang rentan terhindar dari resiko penyakit yang berhubungan dengan air (World Water Council, 2000).
Untuk mencapai tujuan ini, maka pembangunan di bidang penyediaan air bersih harus dapat memenuhi kriteria
berikut; (1) memenuhi kebutuhan dasar manusia, (2) menjamin ketersediaan pangan, (3) menjaga lingkungan, (4)
berbagi sumber air, (5) mengelola resiko, (6) menghargai air, dan (7) mengendalikan air dengan cara yang bijak.
Untuk kasus sistem penyediaan air bersih berbasis masyarakat di Lamongan, dalam hal ini diwakili oleh HIPPAM
Tirto Agung sebagai kelompok masyarakat pemakai air terbesar di Lamongan, water security menjadi masalah
utama dalam penyelenggaraan dan keberlanjutan sistem yang dipengaruhi oleh beberapa parameter. Berdasarkan

229

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

hasil wawancara dan survei lapangan, parameter yang mempengaruhi keberlangsungan sistem disajikan pada
Gambar 3.

Gambar 3. Konsep Water Security dan parameter yang mempengaruhinya

ANALISIS DAN BAHASAN


A. Analisis SWOT
Dengan mencermati hasil wawancara dengan para pemegang kepentingan serta kunjungan lapangan, analisis
SWOT dapat dilakukan untuk mengetahui kekuatan serta kelemahan yang merupakan faktor internal, dan peluang
serta ancaman yang merupakan faktor eksternal. Matriks analisis SWOT disusun dengan mengaplikasikan model
Kerns. Parameter kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman merupakan hasil penurunan parameter yang
mempengaruhi tercapainya konsep water security (Tabel 1.)
Pearce dan Robinson (1998) mengembangkan analisis SWOT secara kuantitatif dengan melakukan pembobotan
untuk masing-masing parameter yang dikelompokkan dalam dua matriks, yaitu matriks External Strategic Factors
Analysis Summary (EFAS) untuk mengetahui posisi sistem penyediaan air bersih saat ini terhadap ancaman dan
kekuatan tawar sistem ini (Tabel 2), serta matriks Internal Strategic Factors Analysis Summary (IFAS) untuk
mengetahui tingkat dominasi kekuatan dan kelemahan dari sistem untuk mendapatkan solusi perbaikan internal
(Tabel 3). Setelah analisis EFAS dan IFAS dilakukan, maka dapat diketahui posisi sistem dengan menggunakan
matrik grand strategies (Gambar 4)

230

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air


Tabel 1. Matrik Analisis SWOT Sistem Penyediaan Air Bersih Berbasis Masyarakat di Kabupaten Lamongan
Faktor Eksternal

1.

Opportunity (Peluang)

Perda No. 5 Tahun 2004

1.
2.

Faktor Internal

3.

Strenght (Kekuatan)

1.
2.
3.

Kualitas,
kuantitas,
serta
kontinuitas sumber mata air
yang baik
Kesediaan pemilik tanah untuk
memberikan hak tanahnya
kepada kelompok
Monitoring kualitas air secara
teratur dari pihak pemerintah

Weakness (Kelemahan)

1.
2.

3.
4.

Opini yang berkembang bahwa


air bukan merupakan sumber
daya milik masyarakat
Tidak tersedianya pemantauan
muka air tanah dengan
menyediakan sumur pantai
pada lokasi pengambilan air
Tidak
ada
perencanaan
pengisian ulang air tanah
Kemungkinan besar terjadinya
pengambilan
air
serta
konsumsi air secara berlebihan

Threat (Ancaman)

Perubahan tata guna lahan


akan meningkatkan koefisien
limpasan
Perubahan iklim meningkatkan
frekuensi kejadian bencana
iklim, dan kenaikan muka air
laut akan mengakibatkan
terjadinya intrusi air laut
Sumber mata air yang
digunakan
untuk
sistem
penyediaan
air
berbasis
masyarakat tidak termasuk
dalam
perencanaan
pengelolaan sumber daya air
terpadu Kabupaten Lamongan

Strategi SO
(Comparative Advantage)
Memungkinkan pencapaian
keberlangsungan bisa lebih cepat
Optimalisasi kekuatan (S), untuk meraih
peluang (O) dengan strategi:
1. Mengoptimalkan seluruh kekuatan yang
ada dan menerapkan hukum yang
berlaku,
sebagai
dasar
untuk
melindungi sumber air (S1,2,3: O1)

Strategi ST/ Mobilization


Menggunakan kekuatan yang dimiliki dg cara
menghindari ancaman

Strategi WO/ Divestment/ Investment


Pemanfaatan peluang dg cara mengatasi
kelemahan yang ada

Strategi WT/ Damage Control


(mengendalikan kerugian)
Meminimalkan kelemahan serta menghindari
ancaman.

1.

1.

2.

Perda mengatur tata cara


pemanfaatan, dan konservasi
air tanah (W1,2,3 : O1)

1.

2.

Menganalisis
kembali
kebutuhan air masyarakat
untuk
menghindari
pengambilan
air
secara
berlebihan (S1:T2)
Masyarakat bisa menjadi
kekuatan untuk menjadikan
sistem yang mereka miliki saat
ini, menjadi bagian dari
infrastruktur pemerintah (S2:
T1,3)

Sosialisasi masyarakat bahwa


air milik bersama dan perlu
dijaga kelestarian dengan
menyediakan lahan terbuka
hijau sebagai daerah resapan
air (W1 : T1,3)
Sosialisasi bahwa air bukan
sumber daya yang tak
terbatas. Pemakaian dan
pengambilan
air
secara
berlebihan
dapat
mengakibatkan
penurunan
tanah dan peluang masuknya
air laut ke daratan (W2,4 : T2)

Tabel 1. Matriks EFAS


No.

Opportunity (Peluang)

Skor

Bobot

Total

231

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air


1
1
2
3

Perda No. 5 Tahun 2004


Threats (Ancaman)
Perubahan tata guna lahan
Perubahan iklim
Sumber air tidak termasuk dalam
perencanaan
pengelolaan
dan
pengembangan sumber daya air terpadu
Kabupaten Lamongan

4
0.45
Total Peluang

1.80
1.80

4
3
3

0.80
0.40
0.45

0.20
0.20
0.15

Total Ancaman

1.65
0.15

Skor Bobot
4
0.15
4
0.10
4
0.10
Total Kekuatan

Total
0.60
0.40
0.40
1.40

0.05

0.10

4
4

0.20
0.20

0.80
0.80

Selisih O dan T = sumbu Y

Tabel 2. Matriks IFAS


No.
1
2
3
1
2
3
4

Strenght (Kekuatan)
Kualitas, kuantitas, dan kontinuitas air
Kepemilikan lahan sumber air
Monitoring kualitas air
Weakness (Kelemahan)
Air tidak dianggap sebagai sumber daya
milik bersama
Tidak terdapat sumur pantau
Tidak ada perencanaan konservasi air
tanah/pengisian ulang air tanah
Potensi pengambilan air secara berlebihan

4
0.20
Total Ancaman

Selisih S dan W = sumbu X

0.80
2.50
(1.10)

Gambar 4. Matriks Grand Strategies

Hasil analisis SWOT menunjukkan posisi sistem berada dalam kuadran III, yaitu memiliki water security yang lemah
tetapi memiliki kesempatan untuk diperkuat. Strategi yang perlu dilakukan adalah merubah strategi dengan
menggunakan peluang yang ada.
B. Bahasan
Dari hasil wawancara dan survei lapangan, peluang terbesar dari sistem penyediaan air berbasis masyarakat di
Lamongan adalah adanya kebijakan pemerintah daerah dalam hal pemanfaatan dan pengelolaan air tanah. Dalam
peraturan daerah tersebut, pemerintah daerah menjamin kemudahan masyarakat untuk dapat memanfaatkan air
tanah untuk air minum dan kebutuhan sehari-hari. Dalam beberapa pasal juga dibahas mengenai perlindungan dan
konservasi air tanah, serta keterlibatan masyarakat dalam merencanakan pemanfaatan dan pengelolaan air tanah.
232

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Dengan demikian, bila peraturan daerah ini diimplementasikan, maka penerapan water security, yaitu terjaminnya
kebutuhan air masyarakat dengan kualitas dan kuantitas yang baik, dan secara terus menerus dapat tercapai. Akan
tetapi diperlukan satu strategi untuk mencapai tujuan penerapan konsep water security, yaitu dengan pendekatan
Integrated Water Resources Management (IWRM) atau pengelolaan sumber daya air terpadu, yaitu proses yang
mengedepankan koordinasi dalam pembangunan dan pengelolaan air, tanah, dan sumber daya lainnya, untuk
mencapai kesejahteraan sosial dan ekonomi yang adil tanpa berkompromi dengan keberlangsungan dari ekosistem
penting (Global Water Partnership Technical Advisory Committee, 2000).
Dalam The International Conference on Water and Environment for the 21st century yang dilaksanakan di Dublin,
Ireland, Global Water Partnership (2000) menggarisbawahi pentingnya penerapan IWRM melalui pendekatan
partisipasi masyarakat, yang meliputi:
1. Partisipasi nyata dengan para pemangku kepentingan merupakan bagian dari pembuat keputusan
2. Partisipasi masyarakat tidak sekedar konsultasi publik saja
3. Partisipasi sebagai alat untuk mencapai konsensus dan kesepakatan dalam jangka waktu lama
4. Terwujudnya mekanisme dan kapasitas keterlibatan masyarakat
Meskipun HIPPAM Tirto Agung sudah menjadi salah satu anggota dewan air, akan tetapi keterlibatannya dalam
menentukan kebijakan masih sangat minim. Dan mengingat bahwa program penyediaan air berbasis masyarakat
merupakan salah satu program pemerintah, maka peran pemerintah pasca konstruksi infrastruktur air bersih harus
tetap ada, salah satunya dalam menjaga kelestarian air sehingga water security untuk sistem penyediaan air
berbasis masyarakat dapat tercapai. Selain itu pada tahap operasi dan perawatan pemerintah juga perlu melakukan
pengawasan dan evaluasi dari sistem, terutama dari segi keandalan teknologinya, agar keberlangsungan sistem
dapat tetap dipertahankan. Usulan model pelaksanaan sistem penyediaan air bersih bagi masyarakat disajikan pada
Gambar 5.

Gambar 5. Usulan model

Dalam usulan konsep tersebut, permasalahan air tidak dilihat dari bagaimana air itu bisa dimanfaatkan akan tetapi
bagaimana air itu dapat dilestarikan. Selain itu, keandalan infrastruktur air bersih juga merupakan parameter penting
yang menjadi indikator keberlangsungan sistem penyediaan air bersih berbasis masyarakat.

KESIMPULAN
Sistem penyediaan air bersih berbasis masyarakat harus dijaga keberlangsungannya, mengingat perannya yang
sangat penting untuk mencapai tujuan pembangunan millennium. Hasil studi terdahulu menunjukkan banyak sistem

233

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

air bersih berbasis masyarakat yang mengalami kegagalan, terutama disebabkan keandalan air sumber baik dari
segi kualitas, kuantitas, maupun kontinuitas. Konsep water security, yang mengutamakan pelestarian air perlu
diterapkan untuk merubah pola pikir masyarakat yang menganggap air adalah sumber daya yang dapat
diperbaharui. Peran pemerintah, dalam hal ini pemerintah daerah sangat diperlukan, karena air adalah sumber daya
milik masyarakat tanpa melihat batas administrasi, maka dibutuhkan adanya kebijakan lintas administrasi. Konsep
IWRM menjadi suatu alat yang dapat memecahkan masalah ini. Pengelolaan air tidak hanya disumbernya, tetapi
harus meliputi bagaimana air dibawa ke masyarakat, digunakan oleh masyarakat, dan bagaimana masyarakat
melestarikannya. Pemerintah sebagai pembuat kebijakan berperan dalam menyiapkan kerangka kebijakan
mengenai sistem penyediaan air berbasis masyarakat terutama dalam hal ketersediaan sumber daya air serta upaya
pelestariannya. Selain itu pemerintah juga harus memfasilitasi masyarakat dalam hal meningkatkan kemampuan
penguasaan manajemen dan teknologi sistem penyediaan air bersih, sehingga keberlangsungan sistem dapat
tercapai.

UCAPAN TERIMA KASIH


Terima kasih kami ucapkan kepada Center of Regulation and Governance, Universitas Ibn Khaldun Bogor, yang
telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk bergabung sebagai tim peneliti dalam proyek penelitian yang
didanai oleh INDII-AIRA yang berjudul Opportunities and Challenges In Integrating Community-Based Water
Services into The Legal Framework: An Indonesia Case Study.

REFERENSI
Alley,W.M., 2001. Ground water and climate. Ground Water. Vol.39, pp.161.
Allen,D.M., D.C. Mackie and M. Wei, 2003: Groundwater and climate change: a sensitivity analysis for the Grand
Forks aquifer, southern British Columbia, Canada. Hydrogeology Jounal. Vol.2, pp.270-290.
Carter, R., Tyrrel, S., Howsan, P., 1999. Impact And Sustainability Of Community Water Supply And Sanitation
Programmes In Developing Countries, Journal of the Chartered Institution of Water and Environmental
Management, Vol 13, pp 292-296.
Cook, C., Bakker, K., 2012. Water security: Debating an emerging paradigm. Global Environmental Change. No. 22,
pp. 94102
Davis, J. and F. Brikk, 1995. Making Your Water Supply Work: Operation and Maintenance of Small Water Supply
Systems. The Hague, the Netherlands: IRC International Water and Sanitation Centre.
Galvis, C., 2003. Technology selection for water treatment and pollution control, IRC, Netherland. Available from <
http://www.irc.nl> [28 Sepetember 2013]
Isham J., Kahkonen, S., 1999. What Determines The Effectiveness of Community-Based Water Projects? Evidence
From Central Java, Indonesia On Demand Responsiveness, Services Rules, and Social Capital, The World
Bank, Washington
Josmar, L., 2010. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kegagalan Dan Keberhasilan Pengelolaan Sistem Penyediaan
Air Minum Di Desa Wuran Dan Tarinsing Kabupaten Barito Timur. Magister Theses. Diponegoro University
Kundzewicz, Z.W., L.J. Mata, N.W. Arnell, P. Dll, P. Kabat, B. Jimnez, K.A. Miller, T. Oki, Z. Sen and I.A.
Shiklomanov. 2007. Freshwater resources and their management. Climate Change 2007: Impacts, Adaptation
and Vulnerability. Contribution of Working Group II to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental
Panel on Climate Change, M.L. Parry, O.F. Canziani, J.P. Palutikof, P.J. van der Linden and C.E. Hanson,
Eds., Cambridge University Press, Cambridge, UK, 173-210.

234

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Pribadi, K.N., Octavia, P. 2007. Pengelolaan Sumberdaya Air Terpadu Melalui Kebijakan Pengembangan
Pembangunan Berkelanjutan di Cekungan Bandung, Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, Vol. 18 No. 2,
Agustus 2007, pp. 1-32
Morrison, Jason, Mari Morikawa, Michael Murphy, and Peter Schulte. 2009. Water Scarcity & Climate Change. Ceres
and Pacific Institute. Available at http://www. Pacins org/reports/business_water_climate/full_report. pdf 12.
Masduqi, A. Endah, N., Soedjono, E.S. 2008. Sistem Penyediaan Air Bersih Perdesaan Berbasis Masyarakat: Studi
Kasus HIPPAM di DAS Brantas Bagian Hilir : Proceeding Seminar Nasional Pasca Sarjana VII-ITS,
Surabaya.
World Water Council: In Final Report Second World Water Forum & Ministerial Conference. 2000. From Vision to
Action. Edited by Water Management Unit c/o Ministry of Foreign Affairs. The Hague, NL
http://www.undp.org/content/undp/en/home/librarypage/corporate/undp_in_action_2006.html
http://unesdoc.unesco.org/images/0012/001295/129556e.pdf
http://www.un.org/waterforlifedecade/human_right_to_water.shtml

235

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

PERAN MASYARAKAT DALAM PENGENDALIAN DAYA RUSAK AIR DI KABUPATEN


BOGOR
Widya Nasarita Fitriz1, Parindra Ardi Wardhana2, dan Meru Condro Wiguno2*
11PT.

KWARSA HEXAGON
* widya.setyawam@gmail.com

Abstrak
Jumlah penduduk dan urbanisasi saat ini masih menjadi permasalahan dalam tatanan kependudukan Indonesia.
Tidak hanya menimbulkan permasalahan dalam aspek ekonomi, juga dalam aspek sosial yang berkaitan dengan
tata ruang dan dan tata guna lahan untuk menjaga keberlanjutan keseimbangan alam. Kabupaten Bogor merupakan
kabupaten dengan kepadatan penduduk yang relatif padat, merupakan hulu dari Sungai Ciliwung, Pesanggrahan
dan Kali Bekasi yang kerap meluap dan menimbulkan banjir saat musim penghujan. Kabupaten Bogor terdapat 95
buah situ yang terbentuk baik secara alami maupun buatan sejak pemerintahan Belanda, situ-situ tersebut
merupakan salah satu upaya pengendalian daya rusak air yang dapat menimbulkan kerusakan dan kerugian
terutama bagi masyarakat hilir. Salah satu situ yang difungsikan untuk membantu mengendalikan daya rusak air
tersebut adalah Situ Jampang sebagai pengendali banjir dan sumber mata pencaharian masyarakat sekitar.
Keberadaan situ berkaitan dengan partisipasi masyarakat serta tatanan kelembagaan yang bertanggungjawab. Hal
itu tidak terlepas dari kolaborasi aktif masyarakat di sekitar wilayah situ dan pemerintah pemangku tanggung jawab.
Diperlukan adanya peraturan yang mengatur intervensi masyarakat sehingga tidak menimbulkan konflik kepentingan
namun dapat saling memberikan manfaat salah satunya dengan penetapan area bebas pemukiman (Green Belt)
serta kegiatan swadaya masyarakat pada situ yang memberikan intervensi positif dalam pengendalian daya rusak
air.
Kata Kunci: swadaya masyarakat, daya rusak air, Kabupaten Bogor

LATAR BELAKANG
Indonesia sebagai salah satu negara beriklim tropis sering kali dihadapkan pada dua permasalahan musim di tiap
tahunnya, yakni musim kemarau yang sering minimbulkan kekeringan di sebagian wilayah timur Indonesia dan
musim penghujan yang tidak jarang menimbulkan banjir di sebagian wilayah barat Indonesia. Adanya perubahan
cuaca ekstrim yang belakangan menjadi isu global menjadi satu tantangan tersendiri dalam menjawab
permasalahan-permasalahan yang dtimbulkan salah satunya adalah permasalahan banjir. Berbagai upaya telah
dilakukan untuk menanggulangi daya rusak air yang menimbulkan kerugian cukup besar terhadap lingkungan dan
masyarakat.
Studi ini menganalisa terkait intervensi atau peran serta masyarakat dalam pengendalian banjir dengan mengambil
lokasi studi yakni wilayah Kabupaten Bogor. Kabupaten Bogor merupakan kabupaten dengan kepadatan penduduk
yang cukup padat dan merupakan hulu dari tiga sungai besar yakni Sungai Ciliwung, Pesanggrahan dan Kali Bekasi
dimana ketiga sungai tersebut kerap meluap dan menimbulkan banjir saat musim penghujan tiba. Salah satu upaya
yang dilakukan untuk mereduksi banjir yang terjadi di hilir tersebut adalah membangun situ sebagai tampungan air di
wilayah hulu yakni di Kabupaten Bogor agar air hujan yang mengalir tidak langsung masuk kesungai, selain itu juga
dengan melakukan konservasi terhadap Situ-situ yang telah ada sejak jaman pemerintah Belanda baik situ yang
terbuat secara alami maupun buatan.
Keberadaan situ di Kabupaten Bogor menjadi salah satu upaya tampungan air sementara sebelum air mengalir
langsung ke sungai, Situ situ terbuat secara interkoneksi mulai dari hulu hingga hampir menuju ke muara sungai.

236

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Beberapa Situ besar yang terdapat di wilayah Kabupaten Bogor yang difungsikan sebagai pengendali daya rusak air
adalah Situ Jampang.
Situ Jampang sebagai lokasi studi terletak di Kecamatan Kemang Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat dimana
sumber air situ berasal dari mata air larian dan berasal dari saluran situ Kemang yang berada di hulu. Luas
genangan Situ Jampang pada tahun 2008 adalah seluas 20,50 Ha (Program Konservasi Wilayah Sungai CiliwungCisadane, 2008), pada tahun 2009 adalah sebesar 17, 83 Ha (Daftar Situ Potensial Kabupaten Bogor, Subdit
Sungai, Danau, dan Waduk, Kementerian PU, 2009) sedangkan pada tahun 2014 adalah sebesar 16,9 Ha (Laporan
analisa Topografi, PT. Ganesha Piramida, 2014), berdasarkan hal ini memperlihatkan adanya penurunan angka luas
genangan dari Situ Jampang. Pada Gambar 1 dapat terlihat kondisi lokasi Situ Jampang dari citra google earth tahun
2014, dimana lahan yang berada di sekitar wilayah Situ Jampang tertutupi oleh pemukiman penduduk.

Gambar 1. Lokasi Situ Jampang Kabupaten Bogor (sumber : google earth)

Kondisi ini dinilai cukup memprihatinkan dimana terjadi penurunan angka luas genangan dari salah satu situ yang
berpotensi mereduksi banjir di hilir ini, dimana pengurangan dari luas genangan itu terjadi akibat adanya sedimentasi
dari kegiatan budidaya ikan, penyalah gunaan lahan situ dengan mendirikan bangunan semi permanen di sekitar
wilayah situ, okupasi yang menimbulkan adanya penurunan nilai manfaat. Adanya permasalahan sedimentasi
mengakibatkan berkurangnya kapasitas pengendalian banjir. Bayangkan jika semua situ-situ yang berpotensi
mereduksi banjir mengalami hal yang sama seperti di atas tanpa adanya suatu regulasi yang dapat menertibkan
kondisi tersebut, maka kapasitas tampungan situ dalam mereduksi banjir dan menjadi tampungan air sementara
akan berkurang kondisi nya dan tentunya akan semakin memperparah kondisi di wilayah hilir saat terjadi banjir.
Kondisi eksisting pada Situ Jampang dapat terlihat pada Gambar 2 berikut.

237

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Gambar 2. Kondisi Eksisting Situ Jampang (Dokumentasi, 2014)

Keberlangsungan dari keberadaan situ yang berperan dalam pengendalian daya rusak air ini tidak terlepas dari
peran serta masyarakat yang menempati wilayah di sekitar situ. Tidak jarang adanya intervensi masyarakat sekitar
terhadap keberlangsungan situ memberikan dampak yang buruk terhadap keberlanjutan dari kondisi situ. Sehinga
dalam hal ini perlu adanya suatu upaya untuk mengikutsertakan masyarakat untuk berperan aktif dalam upaya
melestarikan keberadaan situ sebagai langkah keikutsertaaan dalam pengendalian daya rusak air.

METODOLOGI STUDI
Metodologi pelaksanaan dari studi adalah sebagai berikut:
1. Pengumpulan data analisa studi terdahulu
2. Kegiatan ini dimaksudkan untuk mngumpulkan hasil analisa studi terdahulu Situ Jampang
3. Analisa Topografi & Tata Guna Lahan
4. Analisa Topografi dimaksudkan untuk mengetahui kondisi Topografi Situ Jampang dan kondisi tata guna lahan
wilayah Situ Jampang
5. Analisa tampungan Situ Jampang
6. Analisa tampungan Situ Jampang dilakukan dengan melakukan beberapa analisa hidrologi untuk mengetahui
kapasitas tampungan Situ Jampang dalam mereduksi banjir
7. Rencana Partisipasi masyarakat dalam upaya konservasi
8. Penyusunan konsep rencana keikutsertaan masyarakat dalam upaya konservasi Situ Jampang

HASIL STUDI DAN PEMBAHASAN


1. Analisa Studi Terdahulu
Konsep peningkatan efektifitas pengelolaan tata ruang wilayah telah menjadi prioritas utama, dimana konsep
perencanaan dan pengelolaan kawasan tersebut harus berfungsi dalam meningkatkan kualitas lingkungan. Namun
dengan pesat nya angka pertumbuhan penduduk, dan adanya konversi penggunaan lahan menyebabkan perubahan
yang cukup besar pada wilayah lingkungan tersebut. Berdasarkan analisa yang dilakukan pada kajian terdahulu (Oji
Hadijah, 2002) menyebutkan bahwa Situ Jampang memiliki dua fungsi utama, yakni fungsi ekologis dan fungsi
ekonomis. Secara ekologis, fungsi situ ini adalah sebagai daerah resapan air tanah bagi masyarakat sekitar, sebagai
pengendali banjir, suplesi irigasi/sumber air bagi kolam kolam ikan di desa setempat. Secara ekonomis, fungsi Situ

238

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Jampang adalah sebagai tempat bagi masyarakat setempat untuk melakukan kegiatan budidaya ikan dalam
keramba jaring tancap dan kolam-kolam di tepian situ yang dibendung dengan cara membuat pematang pada
perairan tepi situ.
Adanya perubahan tata guna lahan di sekitar situ menimbulkan dampak yang cukup buruk terhadap fungsi situ salah
satunya sebagai pengendali banjir. Adanya aktifitas manusia memiliki keterkaitan erat terhadap keberlanjutan dari
kondisi lingkungan, seperti halnya Situ Jampang yang terletak di tengah kawasan pemukiman Talaga Kahuripan.
Aktifitas di luar dan di dalam situ sangat mempengaruhi kualitas air dan morfometri situ. Aktifitas di luar situ
diantaranya adalah perkebunan, pemukiman, dan rekreasi, sedangkan aktifitas yang berlangsung di dalam situ
adalah kegiatan budidaya ikan keramba, penangkapan ikan.
Adanya perubahan tata guna lahan di sekitar situ menjadi masukan limbah yang menimbulkan ancaman
pendangkalan akibat endapan yang masuk serta adanya erosi lahan sekitar yang menyebabkan berkurangnya
kapasitas tampungan situ yang diikuti dengan menurunnya kualitas dan kuantitas perairan situ.
Analisa Topografi & Tata guna lahan
Untuk mengetahui kondisi Topografi dari Situ Jampang, dilakukan beberapa kegiatan pengukuran. Hasil pengukuran
ini penulis dapatkan dari laporan analisa Topografi Situ Jampang yang dilaksanakan oleh PT. Ganesha Piramida
pada tahun 2014 yang tertuang dalam Gambar 3, dalam kegiatan Rehabilitasi Situ Jampang. Dalam kegiatan survey
Topografi ini dilakukan beberapa pengukuran yakni pengukuran bathimetri dan Tachimetri. Berdasarkan hasil
pengukuran yang dilakukan, diketahui luas genangan Situ Jampang pada tahun 2014 adalah seluas 16,9 Ha.

BUDIDAYA IKAN AIR TAWAR


OUTLET SETU
JAMPANG
(CILALA)
BUDIDAYA IKAN AIR TAWAR

BUDIDAYA IKAN AIR TAWAR

JEMBATAN KOMPLEK
PERUMAHAN TELAGA
KAHURIPAN

Gambar 3. Kondisi sekitar wilayah Situ Jampang

Tata guna lahan di sekitar situ meliputi pemukiman penduduk di sebelah timur dan barat. Di sebelah utara situ
merupakan daerah outlet yang di sekitarnya terdapat kebun. Disebalah selatan terdapat taman dan jalan akses
komplek perumahan, dan di sebelah barat terapat perkebunan singkong dan pisang. Di pinggiran situ terdapat
banyak kolam ikan yang diberi pematang. Berdasarkan hasil survey dan infomasi masyarakat sekitar diketahui jenis
ikan yang dipelihara di dalam keramba antara lain jenis ikan betutu, ikan mujair, ikan tawes, ikan nilem, ikan mas,
ikan gurame, dan jenis udang air tawar.

239

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Analisa Tampungan Situ Jampang


Analisa kapasitas tampungan Situ Jampang dilakukan untuk mengetahui volume tampungan Situ Jampang dalam
menampung air maupun sebagai pereduksi banjir. Dalam analisa Hidrologi yang dilakukan, diketahui luas DAS dari
Situ Jampang adalah seluas 35, 49 Km2 seperti yang terlihat pada Gambar 4 berikut ini.

LUAS DAS
: 35,49 km
PEMUKIMAN
: 18,43 km
TANAH LADANG : 4,99 km
SAWAH
: 4,82 km
PADANG RUMPUT : 3,98 km
KEBUN
: 3,28 km

Gambar 4. Das Situ Jampang

Di dalam wilayah DAS Situ Jampang terdapat dua aliran sungai yakni Sungai Angke dan Sungai Cibeutung dimana
keduanya bermuara pada pada sungai Ciliwung. Dalam melakukan analisa hidrologi, data hujan yang digunakan
berasal dari dua stasiun hujan terdekat yakni stasiun Darmaga dan stasiun hujan Perk. Kuripan. Diagram alir analisa
hidrologi yang dilakukan adalah seperti pada Gambar 5 berikut:

Gambar 5. Diagram Alir Analisa Hidrologi Situ Jampang

240

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Perhitungan hujan rancangan dilakukan dengan melakukan analisis frekuensi. Analisa frekuensi dimaksudkan untuk
mencari hubungan antara besarnya kejadian ekstrim terhadap frekuensi kejadian dengan menggunakan analisa
distribusi probabilitas. Probabilitas yang dimaksud disini adalah suatu kejadian akan menyamai atau lebih besar dari
suatu nilai tertentu (hujan dengan kala ulang T). Kejadian ekstrim yang dimaksud dalam hal ini adalah hujan harian
maksimum setiap tahun yang diukur dalam beberapa tahun. Dari data hujan yang didapatkan, didapatkan hasil
analisa distribusi hujan rencana seperti yang terlampir pada Tabel 1 berikut ini;
Tabel 1. Analisa Distribusi Hujan Rencana

Dan dilakukan analisa uji probabilitas dengan menggunakan metode uji distribusi probabilitas Chi-Square dan uji
probabilitas Smirnov Kolmogorof. Setelah dilakukannya uji probabilitas maka dapat dilanjutkan dengan analisis
koefisien pengaliran DAS. Analisa koefisien pengaliran DAS merupakan satu tahapan yang dilakukan sebelum
menghitung analisa debit banjir rencana dengan menggunakan hidograf Banjir. Analisis koefisien pengaliran DAS
mencakup beberapa analisa yakni perhitungan intesitas hujan, durasi, dan frekuensi hujan, koefisien pengaliran (run
off). Koefisien aliran (run off) dihitung berdasarkan tata guna lahan serta kemiringan lahan. Dalam analisa hidrologi
Situ Jampang, wilayah DAS dibagi menjadi 4 Sub Das seperti yang terlihat pada Gambar 6, dan didapatkan hasil
perhitungan seperti pada Tabel 2 hingga Tabel 4 berikut:
Tabel 2. Uji Probabilitas Chi-Square
PERHITUNGAN CHI SQUARE TEST
Data, ( N )
=
Jumlah Kelas, K
K
= 1 + 3,322 Log N
K
=
Signifikansi (a, %)
=
D kritis
=
Expected Frequency, (EF)
=

12

5
5.00
21.026
2.40

Normal

No

Probability

1
2
3
4
5

0.00 < P <= 20.00


20.00 < P <= 40.00
40.00 < P <= 60.00
60.00 < P <= 80.00
80.00 < P <= 100.00

(P)

JUMLAH
D KRITIS
X2 hitung
KESIMPULAN

Log Normal 2 Par.


2

Observed Ef - Of ( Ef - Of )
Frequency
( Of )
3
1
1
5
2

12.00

0.60
1.40
1.40
2.60
0.40

0.36
1.96
1.96
6.76
0.16

Of

3
1
2
4
2

11.20
12.00
21.03
4.67
Diterima

Log Normal 3 Par.


2

Ef - Of ( Ef - Of )

0.60
1.40
0.40
1.60
0.40

Of

0.36
1.96
0.16
2.56
0.16

3
1
2
4
2

5.20
21.03
2.17
Diterima

12.00

Gumbel
2

Ef - Of ( Ef - Of )

0.60
1.40
0.40
1.60
0.40

Of

0.36
1.96
0.16
2.56
0.16

2
2
3
5
0

5.20
21.03
2.17
Diterima

12.00

Pearson III
2

Ef - Of ( Ef - Of )

0.40
0.40
0.60
2.60
2.40

Of

0.16
0.16
0.36
6.76
5.76

3
1
2
4
2

13.20
21.03
5.50
Diterima

12.00

Log Pearson III


2

Ef - Of ( Ef - Of )

0.60
1.40
0.40
1.60
0.40

Of

0.36
1.96
0.16
2.56
0.16

4
0
3
2
3

5.20
21.03
2.17
Diterima

12.00

Ef - Of ( Ef - Of )2

1.60
2.40
0.60
0.40
0.60

2.56
5.76
0.36
0.16
0.36

9.20
21.03
3.83
Diterima

241

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air


Tabel 3. Uji Distribusi Hujan Smirnov-Kolmogorof
Kala Ulang T
(Tahun)

Distribusi Probabilitas
t

Normal

Lognormal

Lognormal

2 Paramet.

3 Paramet.

Gumbel I

Pearson III

Log
Pearson III

0.0000

102.8

97.8

97.8

98.2

97.4

95.2

0.8416

131.0

127.7

127.7

136.7

128.0

125.0

10

1.2816

145.7

146.8

146.8

162.2

147.5

147.1

20

1.6449

157.8

164.7

164.7

186.7

165.4

170.2

25

1.7507

161.4

170.3

170.3

194.5

171.0

178.0

50

2.0537

171.5

187.5

187.4

218.4

187.9

203.1

100

2.3263

180.6

204.4

204.3

242.1

204.2

230.3

200

2.5758

189.0

221.3

221.1

265.8

220.1

259.8

1000

3.0902

206.2

260.5

260.1

320.6

256.1

338.8

Penyimpangan Maksimum

17.29

11.49

11.52

12.75

10.85

10.97

Delta Kritis (Sig. Level 5 %)

37.5

37.5

37.5

37.5

37.5

37.5

Hasil Uji Smirnov - Kolomogorof

diterima

diterima

diterima

diterima

diterima

diterima

Tabel 4. Analisa Koefisien Pengaliran DAS


Luas DPS
(km2)

Panjang Sungai
Utama (km)

1 Sub Das 1

2.78

1.96

0.75

125.00

2 Sub Das 2

1.52

2.48

0.75

150.00

3 Sub Das 3

9.58

5.00

0.75

4 Sub Das 4

21.61

12.34

0.75

No Nama DPS

Elevasi Hulu H1 Elevasi Hilir H2


Koefisien
(m)
(m)
Pengaliran ( C )

H (m)

Kemiringan rerata
Sungai (I)

112.50

12.50

0.0071

125.00

25.00

0.0112

175.00

125.00

50.00

0.0111

237.50

125.00

112.50

0.0101

Gambar 6. Pembagian Sub-DAS

Tahapan selanjutnya adalah melakukan analisa Debit Banjir Rancangan. Debit banjir rancangan dihitung
berdasarkan hubungaan antara hujan dan aliran. Salah satu metode yang digunakan untuk menentukan debit banjir
rancangan pada analisa ini adalah dengan metode hidrograf satuan sintetik menurut satuan sintetik Gama I (HSS
Gama I) yang sesuai dengan kondisi dan parameter DAS yang berada di pulau jawa dan analisa debit banjir
rancangan juga dapat dihitung dengan menggunakan pemodelan pada aplikasi HEC-HMS seperti pada Gambar 7.

242

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Gambar 7. Simulasi Pemodelan HEC-HMS

Parameter DAS yang digunakan dalam analisa Hidrograf Banjir Satuan Metode Gama I DAS Jampang dibagi dalam
4 Sub Das, berikut analisa Hidograf Banjir Satuan Metode Gam I DAS Situ Jampang ditunjukkan pada Tabel 5 :
Sub DAS Unit Hidograf
Hidrograf Banjir Metode Gama I DAS Jampang

Hidrograf Banjir Metode Gama I DAS Jampang

20

20

Q100 = 14,98 m3/dtk

Q100 = 14,98 m3/dtk


15

Debit (m3/det)

Debit (m3/det)

15

10

10

10

11

12

13

14

15

16

17

18

19

20

21

22

23

24

25

10

11

12

Waktu (jam)
Q2

Q5

Q10

Q20

Q50

13

14

15

16

17

18

19

20

21

22

23

24

25

19

20

21

22

23

Waktu (jam)
Q100

Q1000

Q2

Q5

(a) Sub DAS 1

Q10

Q20

Q50

Q100

Q1000

(b) Sub DAS 2

Hidrograf Banjir Metode Gama I DAS Jampang

Hidrograf Banjir Metode Gama I DAS Jampang

50

30

Q100 = 164,46 m3/dtk


40

Debit (m3/det)

Debit (m3/det)

Q100 = 110,44 m3/dtk

20

30

20
10

10

0
1

10

11

12

13

14

15

16

17

18

19

20

21

22

23

24

25

10

11

Q2

Q5

Q10

Q20

Q50

12

13

14

15

16

17

18

24

25

Waktu (jam)

Waktu (jam)
Q100

Q1000

(c ) Sub DAS 3

Q2

Q5

Q10

Q20

Q50

Q100

Q1000

(d) Sub DAS 4

Gambar 8. Hidograf Bajir Satuan Metode Gama I

243

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Dari hasil perhitungan yang dilakukan, didapatkan Hidograf Banjir Satuan Metode Gama I ditunjukkan pada Gambar
8. Untuk mengetahui kapasitas tampungan Situ Jampang, maka dilakukan analisa Routing banjir dalam kondisi
eksisting. Analisa Routing dilakukan dengan menggunakan aplikasi HEC-HMS. Berikut tahapan Routing banjir pada
kondisi eksisting seperti ditunjukkan pada Gambar 9 dan Gambar 10.

Gambar 9. Analisa Perhitungan Routing menggunakan HEC-HMS

Dari analisa, didapatkan data elevasi-storage Situ Jampang sebagai berikut:

Gambar 10. Hubungan Elevasi-Tampungan Situ Jampang hasil simulasi HEC-HMS

Dari data analisa tampungan dan elevasi pada kondisi eksisting, didapatkan debit banjir rencana dengan simulasi
banjir ditunjukkan pada Gambar 11:

Gambar 11. Simulasi Reservoir Situ Jampang

244

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Gambar 12. Hasil analisa routing banjir

Dari hasil simulasi tampungan pada kondisi eksisting yang dilakukan dan seperti yang dijelaskan pada Gambar 11,
dapat disimpulkan bahwa tampungan maksimum Situ Jampang adalah 749.4 m3, dan elevasi tertinggi banjir berada
pada elevasi +141,9 mdpl, untuk elevasi eksisting tanggul berada pada elevasi +142.00 mdpl ditunjukkan pada
Gambar 12. Pada kondisi ini kondisi tampungan Situ Jampang masih cukup untuk menampung debit banjir yang
ada, namun elevasi tinggi banjir rencana yang akan terjadi cukup mendekati elevasi kritis yankni pada elevasi
tertinggi tanggul yaitu +142. Oleh sebab itu hal ini menjadi sangat beresiko apabila terjadi banjir kala ulang seperti
yang telah disimulasikan, dapat dikatakan kondisi ini berbahaya sehingga dengan kondisi Situ Jampang saat ini
dengan sedimentasi yang tinggi dan semakin menyempitnya luas genangan akibat aktivitas masyarakat di pinggiran
Situ diperlukan adanya upaya konservasi salah satunya dengan melakukan pengerukan sedimen dan penataan
lahan di sekitar wilayah Situ.
Untuk mewujudkan hal ini tentunya membutuhkan koordinasi yang sinkron antara pemerintah, pengelola situ dan
peran aktif masyarakat.
1. Rencana Partisipasi Masyarakat dalam Upaya Konservasi
Mengingat pentingnya peran dari keberadaan Situ Jampang, maka dibutuhkan upaya upaya dalam pelestarian dan
langkah konservasi demi menjaga nilai manfaat dari keberadaan Situ Jampang sebagai pereduksi banjir atau
pengendali daya rusak air. Adanya aktifitas masyarakat baik di luar situ maupun di luar situ menimbulkan beberapa
resiko yang dapat mengurang potensi manfaat dari Situ. Hal ini lah yang perlu diberikan solusi agar intervensi yang
diberikan masyarakat di sekitar waduk tidak berdampak negatif terhadap Situ dimana salah satu ancaman utama
dalam kelestarian Situ Jampang adalah permasalahan Sedimentasi.
Untuk mencegah meningkatnya masukan padatan tersuspensi ke perairan Situ Jampang, maka penggunaan tata
guna lahan harus diperhatikan. Salah satunya adalah penggunaan lahan kebun. Kebun harus mempunyai bedengan
sehingga ketika hujan air yang mengandung padatan tersuspensi yang berasal dari kebun tidak langsung mengalir
dalam perairan Situ.
Segala bentuk kegiatan yang dapat mengakibatkan pendangkalan, pencemaran, dan perkembangan gulma air harus
dicegah atau diminimalkan. Salah satu solusi yang dapat diterapkan adalah penetapan area hijau berupa green belt
minimal 50 m dari sisi terluar situ. Penetapan area hijau dapat dilakukan misalnya dengan menanam pepohonan di
sekitar Situ sebagai pagar batas wilayah Situ. Hal lainnya adalah perlu pengendalian terhadap kegiatan keramba
ikan yang menjadi penyumbang sedimentasi pada Situ dari sisa pakan ikan dan sekresi. Untuk mencegah tumpang
tindih kegiatan di wilayah Situ Jampang perlu dibuat suatu aturan pembagian zona wilayah pemanfaatan, dimana
terdapat beberapa lokasi larangan adanya pembuatan keramba ikan untuk mengendalikan aktifitas tersebut.
Perencanaan partisipasi masyarakat didasarkan pada konsep mempelajari latar belakang sosial, ekonomi, budaya,
dan pemikiran masyarakat dalam upaya menggerakkan kesadaran masyarakat agar dapat berperan serta aktif
dalam upaya konservasi situ dan diharapkan dapat diterapkan pada Situ-situ lainnya. Hal ini dapat dilakukan dengan

245

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

kerja sama antar pihak pemegang kepentingan dengan masyarakat dengan melakukan sosialisasi dan pendekatan
kepada masyarakat serta melakukan beberpa upaya atau solusi yang tidak merugikan bagi masyarakat

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI


Kesimpulan
Dari hasil analisa yang dilakukan diketahui bahwa fungsi dari Situ Jampang sebagai pereduksi banjir mengalami
degradasi yang disebabkan oleh beberapa faktor. Dari faktor-faktor penyebab tersebut sebagian besar dikarenakan
adanya intervensi masyarakat terhadap keberlangsungan Situ.
Dari tahun ke tahun terjadi penurunan angka luas genangan dari Situ Jampang yang disebabkan adanya aktifitas
ikan keramba masyarakat dan akibat sedimentasi yang masuk ke dalam aliran Situ. Penurunan luas genangan ini
tentunya menyebabkan penurunan kapasitas tampungan Situ Jampang. Berdasarkan analisa yang dilakukan
diketahui saat ini kapasitas tampungan Situ Jampang adalah 749,4 (1000 m3) dan pada saat banjir kala ulang
maksimum terjadi, kondisi tampungan Situ Jampang ada dalam kondisi kritis terhadap batas aman tampungan Situ.
Besar nya resiko yang dapat ditimbulkan dari kerusakan dan degradasi manfaat situ seharusnya menjadi alasan
yang kuat untuk dapat mengikutsertakan masyarakat untuk berperan dalam konservasi pemeliharaan situ-situ
maupun tampungan air lainnya. Karena kerusakan yang terjadi dapat menimbulkan resiko yang cukup serius pada
jangka waktu kedepannya. Sehingga saat ini dibutuhkan upaya-upaya dari seluruh pihak terkait untuk mengantisipasi
bahaya dari kerusakan yang terjadi.
Rekomendasi
Beberapa langkah yang diharapkan dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dalam upaya konservasi lingkungan
tersebut antara lain:
1. Melakukan sosialisasi akan pentingnya konservasi Situ dan besarnya manfaat situ dan juga besarnya potensi
bahasa yang ditimbulkan
2. Pembagian zona pemanfaatan situ, dimana terdapat beberapa area larangan pembuatan keramba ikan,
terutama di wilayah cekungan cekungan di Situ, sehingga hal ini dapat menekan pertumbuhan jaring keramba
3. Penetapan jenis ikan yang diizinkan untuk dipelihara di Situ. Hal ini berkaitan dengan jenis pakan dan sekresi
yang ditimbulkan
4. Pengalihan kegiatan intervensi langsung masyarakat terhadap situ dengan kegiatan yang tidak berdampak
langsung dengan keberlanjutan situ, seperti misalnya pembuatan kolam ikan di hilir situ tentunya kegiatan ini
membutuhkan peran serta dari pemerintah setempat dan instansi terkait agar kegiatan konservasi tetap
berlanjut namun tidak menghilangkan mata pencaharian masyarakat setempat

UCAPAN TERIMA KASIH


Saya ucapkan terimakasih ini kepada:
1. Allah SWT atas nikmat kesehatan dan berkah ilmu pengetahuan sehingga dapat menyelesaikan makalah ini
2. PT. Kwarsa Hexagon atas kesempatan belajar dan mengembangkan potensi serta memberikan dukungan
dalam menyelesaikan makalah ini beserta rekan rekan yang telah memberikan kritik dan saran yang
membangun

246

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

REFERENSI
PT.GANESHA PIRAMIDA, 2014. Laporan Survey dan Analisa Topografi Situ Jampang, Bandung.
Program Koservasi Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane,2008.
Subdit Sungai, Danau dan Waduk, 2009. Daftar Situ Potensial Kabupaten Bogor. Kementrian PU.
Hadijah, Oji, 2002. Kajian Morfometri dan Karakteristik Kualitas Air Situ Jampang, Kemang, Bogor, Jawa Barat. Vol.1
(1): 34-39

247

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

EVALUASI TINGKAT KEPEKAAN SISWA TERHADAP PELESTARIAN SUMBER DAYA


AIR
Anastasia Septya Wardaningrum* dan Tidani Sillo Hines Aluhnia Zebua**
Jurusan Teknik Sipil Universitas Kristen Krida Wacana
*anastasia.wardaningrum@gmail.com ; **nestshaz383@gmail.com

Abstrak
Pencemaran sumber air dan penggunaan air secara besar-besaran menjadi faktor utama penyebab terjadinya krisis
air bersih. Ironisnya tindakan tersebut telah dilakukan dari generasi ke generasi, manusia cenderung meneladani
sikap generasi sebelumnya yang merasa bahwa kuantitas air bersih lebih dari cukup. Studi ini dilakukan dengan
tujuan untuk mengetahui tingkat kepekaan siswa/siswi terkait ketersediaan sumber air bersih di Indonesia serta
meningkatkan kepekaan siswa/siswi terhadap ketersediaan sumber air bersih di Indonesia. Penelitian terhadap
pemahaman siswa/siswi SD dan SMP dengan melakukan penyuluhan tentang konservasi air. Dalam kegiatan
penyuluhan tersebut peserta diminta untuk mengisi kuesioner baik sebelum dan sesudah kegiatan penyuluhan
dilaksanakan. Dari hasil analisis yang ada, tingkat pemahaman siswa/i sebelum penyuluhan konservasi air sangat
kurang, namun setelah dilakukan penyuluhan konservasi pengetahuan mulai meningkat dan ada keinginan dari para
siswa/i untuk berperan serta dalam konservasi air setelah dilakukan penyuluhan.
Kata Kunci: pencemaran sumber air, konservasi air, level of awareness, siswa/i, Ujung Menteng.

LATAR BELAKANG
Faktor utama krisis air bersih adalah kurangnya pemahaman masyarakat tentang air. Mereka berpikir bahwa air
mudah didapatkan karena air memenuhi 70% bagian dari bumi. Padahal tidak semuanya air layak digunakan untuk
memenuhi kebutuhan manusia. Kurangnya pemahaman tersebut secara tidak langsung menumbuhkan rasa
ketidakpedulian terhadap air. Hal tersebut terlihat dari tindakan masyarakat seperti menggunakan air secara tidak
efisien serta membuang sampah di sungai ataupun sumber-sumber air lainnya. Kegiatan mencemari dan
menghabiskan sumber daya air seakan telah menjadi budaya dari generai ke generasi selanjutnya. Banyak sumber
air kini telah dihiasi oleh tumpukan sampah yang terus bertambah tiap tahunnya. Tidak hanya itu, perlakuan
masyarakat dalam pemakaian air dapat dinilai terlalu boros. Penulis menyadari bahwa perlunya dilakukan pengkajian
kesadaran generasi muda terhadap air dan berharap generasi muda dapat memiliki pemahaman yang lebih baik.
Peran air di bumi sangat besar dalam menentukan kelangsungan makhluk hidup di bumi karena setiap makhluk
hidup khususnya manusia memiliki kebutuhan akan air. Air menjadi salah satu elemen di bumi yang perannya tidak
dapat tergantikan oleh yang lain. Menurut beberapa sumber yang Penulis dapatkan dari internet ada beberapa
sumber air yang dikenal oleh manusia, adalah air permukaan dan air tanah.
Air yang dibutuhkan oleh manusia adalah air bersih dan sehat yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan
hidup. Dengan mata telanjang manusia dapat membedakan suatu sumber daya air dapat dikatakan sebagai air
bersih atau tidak. Meski demikian perlu adanya penelitian apakah air tersebut dapat dikatakan sebagai air bersih.
Menurut beberapa sumber yang telah disimpulkan oleh Penulis, terdapat beberapa indikator air bersih, diantaranya
adalah sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.

248

Jernih.
Tidak berbau
Tidak berwarna
Tingginya nilai kelarutan oksigen.

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

5. pH netral (6,8 - 9,0)


Pada Gambar 1 terlihat skala dari pH mulai dari 0 hingga 14, dan terlihat juga indikasi kandungan yang ada dalam air
dan dampak yang diakibatkan jika air mencapai pH dengan angka tertentu.

Gambar 1. Skala pH
Sumber : http://aerofresh.blogspot.com/p/air-adalah-makhluk-hidup.html

Sumber daya air memiliki istilah kuantitas dan kualitas. Kuantitas dan kualitas sumberdaya air memiliki definisi
yang berbeda tetapi keduanya berkaitan satu sama lain. Kuantitas sumber daya air dapat diartikan sebagai
banyaknya air yang dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan makhluk hidup khususnya manusia. Sedangkan kualitas
sumber daya air merupakan indikator apakah air tersebut layak untuk dimanfaatkan atau tidak. Kuantitas suatu
sumber daya air tertentu belum tentu memiliki kualitas yang baik namun air yang berkualitas baik dalam jumlah
tertentu merupakan bagian kuantitas sumber daya air itu sendiri. Sumber daya air yang memiliki kualitas yang baik
untuk digunakan disebut air bersih. Ketika sumber daya air di suatu daerah berkualitas baik tetapi tidak mencukupi
dalam segi kuantitas hal itu tentu saja pertanda bahwa daerah itu terkena krisis air, dan begitu juga sebaliknya.
Indonesia adalah salah satu negara dari sepuluh negara yang kaya dengan air. Hal ini dapat dibuktikkan dengan
ketersediaan air di Indonesia mencapai 15.000 meter kubik per kapita per tahun. Namun kuantitasnya yang tidak
sebanding dengan penduduknya membuat Indonesia mengalami krisis air bersih. Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah Provinsi Jawa Barat memperkirakan krisis air pertama kali akan dialami oleh Pulau Jawa
karena penduduknya yang banyak, dan akan diikuti Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi Selatan. Beberapa
daerah di Indonesia mengalami krisis air bersih pada tahun 2012, contohnya adalah kota Semarang pada September
2012 akibat kemarau yang berkepanjangan masyarakat tidak memiliki akses untuk mendapatkan air bersih lalu
masyarakat terpaksa antri untuk mendapatkan air bersih bantuan dari PDAM Kota Semarang, dan bahkan ada yang
terpaksa memakai air yang tentunya tidak layak untuk urusan mandi, cuci, kakus (MCK). Kalau benar-benar terpaksa
mereka tetap menggunakan air sumur, yang harus didiamkan semalam dulu supaya kotorannya mengendap,
sehingga air yang menjadi bersih dan dapat dipakai.
Dalam studi ini, akan dibahas beberapa pokok-pokok permasalahan diantaranya:
1. Bagaimanakah kualitas salah satu sumber daya air yang ada di Ujung Menteng, Jakarta Timur?
2. Bagaimanakah tingkat kepekaan siswa/siswi terhadap sumber air bersih yang ada di sekitarnya?
3. Apakah dengan melihat fakta-fakta yang ada di sekitarnya para siswa/i akan berkeinginan untuk melakukan
konservasi sumber daya air?

249

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

METODOLOGI STUDI
Kegiatan penelitian ini dilakukan dengan beberapa tahap, yaitu:
1. Pengujian kualitas air yang melibatkan siswa/i secara langsung di sumber daya air terdekat dengan sekolah.
Adapun parameter-parameter yang diuji adalah tingkat kekeruhan air, kadar oksigen yang terlarut dalam air,
kadar pH, suhu air serta suhu udara di sekitar sumber daya air.
2. Membagikan kuesioner yang diisi oleh siswa/i sebelum dan sesudah dilakukan penyuluhan dengan butir-butir
pertanyaan yang sama. Tujuannya adalah:
a. Untuk mengukur tingkat kepekaan siswa/siswi terhadap sumber daya air sebelum dan sesudah penyuluhan
diadakan.
b. Untuk mengukur keinginan dan kepeduliaan siswa/i terhadap konservasi air.
3. Pengolahan data dengan Microsoft Excel.

HASIL STUDI DAN PEMBAHASAN


Kegiatan Pengujian Kualitas Air
Pengujian kualitas air merupakan kegiatan pengujian kualitas air di suatu sumber air (sungai) yang dalam
pengujiannya melibatkan siswa/i secara langsung. Kegiatan ini bertujuan agar siswa/i yang mengikuti kegiatan
tersebut dapat mengetahui secara langsung kualitas air di sumber air sekitar lokasi sekolah dan diharapkan dapat
meningkatkan rasa kepedulian terhadap kelestarian air. Kegiatan ini telah dilaksanakan di sungai Ujung Menteng,
Cakung Jakarta Timur. Tabel 1 merupakan kesimpulan dari hasil pengujian kualitas air yang telah dilakukan.
Tabel 1. Hasil Pengujian Kualitas Sumber Daya Air di Aliran Sungai Ujung Menteng

Parameter Pengujian
Data Pengujian
Turbidity (tingkat kekeruhan)
40.000 JTU
Dissolved Oxygen (kadar udara)
4.000 ppm
pH (tingkat keasaman)
7
Water Temperature (suhu)
28C
Air Temperature (suhu udara)
32C
Hasil pengujian kualitas air diperoleh:
Turbidity = 40.000 JTU
Kekeruhan yang menunjukkan angka 40.000 JTU membuktikan adanya partikel-partikel yang masih membuat
air tersebut keruh secara fisik. Keruhnya air tersebut dapat disebabkan oleh beberapa faktor, seperti:
kontaminasi dari tanah liat atau lumpur akibat adanya erosi; kontaminasi buangan limbah masyarakat;
kontaminasi bahan organik dan anorganik.
Dissolved Oxygen = 4.000 ppm
Kadar oksigen yang terlarut di dalam air sangat penting bagi kelangsungan hidup organisme akuatik. Semakin
rendah suhu ataupun tinggi suatu sumber air, maka semakin tinggi kadar oksigen yang terkandung di dalam air
tersebut. Hasil pengujian tersebut menunjukan bahwa air tersebut memiliki kadar oksigen yang baik.
pH = 7
Kadar pH sumber daya air sangat mempengaruhi kelangsungan hidup hewan akuatik yang hidup di air
tersebut. Kadar pH dapat di pengaruhi berbagai faktor, diantaranya adalah hujam asam, pembuangan air
limbah jenis batuan di sekitar lokasi sumber air. Dari hasil pengujian, terlihat bahwa air tersebut memiliki pH
yang normal dan baik untuk menjadi tempat hidup bagi hewan akuatik.

250

Water Temperature = 28C

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Suhu air tersebut belum mencapai suhu optimal meskipun suhu udara di sekitar lokasi pengujian mencapai
32C. Adanya hasil temperatur dari air tersebut menjelaskan bahwa air tersebut masih memiliki kadar oksigen
yang cukup baik sehingga organisme akuatik daerah tropis masih dapat hidup di lokasi tersebut. Akan tetapi
penggunaan air tersebut tidak berlaku untuk dikonsumsi karena belum diketahui kandungan kimia ataupun
bakteri apa saja yang terkandung dalam air tersebut.
Analisa Kepekaan Siswa/i terhadap Sumber Daya Air & Kepeduliaan terhadap Upaya Konservasi
1.1 Data Responden
Kegiatan yang melibatkan beberapa dosen dan mahasiswa ini telah terlaksana 59 orang siswa/i di tahun 2013.
Dalam kegiatan ini siswa/i diminta untuk mengisi kuesioner kepekaan siswa/i terhadap sumber daya air &
kepeduliaan siswa/i terhadap upaya konservasi sebanyak dua kali, dimana kuesioner tersebut diberikan sebelum
dan sesudah penyuluhan dilakukan. Adapun bentuk pertanyaan yang diajukan dalam kuesioner tersebut dibagi
menjadi dua tujuan:
a. Nomor pertanyaan 1,2,4,6 bertujuan untuk mengukur tingkat kepekaan terhadap sumber daya air.
b. Nomor 3,5,7 bertujuan untuk mengukur kepedulian siswa/i terhadap upaya konservasi air.
Adapun bentuk pertanyaan yang diajukan dalam kuesioner tersebut diperlihatkan pada Tabel 2.
Tabel 2. Bentuk Pertanyaan Kuesioner

No.

Pertanyaan

1.

Apa yang Anda ketahui tentang air?

2.

Seberapa banyak air yang bersih dapat dimanfaatkan


untuk kehidupan makhluk hidup, khususnya manusia
yang hidup di dunia ini?

3.

Apa itu konservasi air?

4.

Apa yang Anda ketahui tentang kualitas air?

5.

Jika kita hendak mengetahui kualitas air, ada berapa


parameter yang harus kita uji, diantaranya adalah :

6.

Bagaimana pendapat Anda tentang sumber-sumber


air seperti sungai, danau, waduk, dan lainnya yang
penuh dengan tumpukan sampah?

Jawaban Pilihan
Sumber daya yang tiada habisnya.
Sumber daya yang terbatas keberadaannya.
Sumber daya yang senantiasa mudah didapatkan
dimana saja dan kapan saja.
Sumber daya yang dapat dimanfaatkan sebesarbesarnya.
70% dari bumi dikelilingi air, dan sebanyak itulah
yang dapat dimanfaatkan manusia.
40% air bersih yang tersedia di dunia ini.
Hanya 1-2% air bersih dari semua air yang ada.
25% dari semua air di permukaan bumi ini.
Upaya untuk melakukan penghematan dari
pemakaian air.
Upaya untuk memaksimalkan penggunaan air.
Upaya untuk menjernihkan air.
Upaya untuk mengurangi pemakaian air.
Mutu air agar layak dimanfaatkan.
Jumlah air yang tersedia.
Banyaknya air yang tersedia.
Air yang jernih.
Keasaman (pH), kejernihan.
Kandungan oksigen.
Kandungan bakteri/ bahan padat lainnya.
Semuanya benar.
Tidak masalah, karena sampah-sampah tersebut
akan mengalir dibawa arus juga.
Akan menimbulkan masalah besar bagi kualitas
air dan keseimbangan ekosistem.
Akan menimbulkan masalah besar bagi penataan
kota yang memperlambat aliran air, sehingga
menyebabkan banjir.
Setuju dengan jawaban B dan C.

251

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Ya, karena air mahal harganya.


Ya, karena sumber daya air terbatas jumlahnya.
Apaka menurut Anda kita perlu berhemat dalam
7.
Tidak, karena kita masih mampu membayar dan
memanfaatkan air?
membeli air.
Tidak, karena air masih banyak jumlahnya
Tabel 3 adalah rincian hasil pemahaman siswa/i berdasarkan perhitungan jawaban kuesioner:
Tabel 3. Data Kuesioner Pemahaman Siswa/i Sebelum Penyuluhan

No.
1
2
3
4
5
6
7

A
29
25
41
47
13
1
2

Pilihan Jawaban Kuesioner


B
C
14
3
27
4
4
11
0
6
0
0
5
4
50
1

D
12
1
2
6
45
49
6

Abstain*
1
2
1
0
1
0
0

(*) Jawaban pada kuesioner tidak diisi/tidak jelas


Tabel 4. Data Kuesioner Pemahaman Siswa/i Sesudah Penyuluhan

Pilihan Jawaban Kuesioner


Abstain*
A
B
C
D
1
9
40
3
7
0
2
13
6
37
3
0
3
49
3
6
0
1
4
51
2
0
3
3
5
14
0
0
45
0
6
1
3
2
53
0
7
6
53
0
0
0
(*) Jawaban pada kuesioner tidak diisi/tidak jelas
2.2 Analisa Tingkat Kepekaan Siswa Terhadap Sumber Daya Air
No.

252

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Persentase Jumlah Siswa/i (%)

Diagram Evaluasi Kuesioner Pertanyaan Nomor


Satu
67.80

70.00
60.00

50.85

50.00
40.00
23.73

30.00

20.34
11.86

15.25

20.00

5.08
5.08

10.00

Pre Test
Post Test

0.00
A

Pilihan Jawaban
Gambar 2. Diagram Evaluasi Data Kuesioner Pertanyaan Nomor Satu

Evaluasi kuesioner pada butir pertanyaan nomor satu yang ditampilkan dalam gambar 2 menyinggung tentang
pengetahuan para siswa/i tentang kontinuitas air. Sebelum penyuluhan mayoritas dari siswa yaitu sebanyak 29
orang siswa/i menjawab pilihan A, menunjukkan bahwa siswa/i memahami bahwa air merupakan sumber daya yang
tidak akan habis. Adanya siswa/i yang menjawab pilihan A menunjukan bahwa siswa/i tidak memahami tentang air.
Siswa/i memiliki konsep bahwa air tersedia dalam jumlah yang banyak dan tidak akan mungkin berkurang
jumlahnya. Hal tersebut juga menjelaskan bahwa rasa kepedulian siswa/i terhadap air masih kurang. Namun setelah
adanya penyuluhan ini, jumlah siswa/i berkurang menjadi 9 orang, ini menunjukkan bahwa sebagian besar dari para
siswa/i menyimak dengan baik apa yang disampaikan pada saat penyuluhan.
Sebelum penyuluhan sebanyak 14 siswa/i memilih jawaban B dimana siswa/i mempunyai pemahaman bahwa air
merupakan sumber daya yang terbatas keberadaannya dan setelah mengikuti penyuluhan jumlah siswa/i yang
mempunyai pemahaman tersebut meningkat hingga 40 orang. Hal tersebut menunjukan bahwa pada awalnya hanya
sekitar 15,96% siswa/i yang memiliki rasa kepedulian terhadap air. Adanya kegiatan penyuluhan ini membuat rasa
kepedulian dari 29,64% siswa/i meningkat, siswa/i mulai menyadari bahwa saat ini keberadaan air bersih telah
menurun.

Persentase Jumlah Siswa/i (%)

Diagram Evaluasi Kuesioner Pertanyaan Nomor


Dua
62.71

70.00
60.00
50.00

49.15
42.37

40.00
30.00

Pre Test

22.03

20.00

10.17

10.00

Post Test
6.78

5.08
1.69

0.00
A

Pilihan Jawaban

253

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air


Gambar 3. Diagram Evaluasi Data Kuesioner Pertanyaan Nomor Dua

Evaluasi kuesioner pada butir pertanyaan nomor dua yang ditampilkan dalam gambar 3 menyinggung tentang
pengetahuan para siswa/i tentang kuantitas sumber daya air bersih yang dapat dimanfaatkan manusia. Sebelum
penyuluhan mayoritas siswa/i, yaitu sebanyak 27 siswa/i memilih jawaban B dimana siswa/i mempunyai pemahaman
bahwa terdapat 40% air bersih di dunia yang dapat dimanfaatkan manusia. Namun setelah mengikuti penyuluhan
jumlahnya menurun menjadi 6 orang. Adanya beberapa siswa/i yang memilih jawaban tersebut menunjukan bahwa
siswa/i tidak mengetahui jumlah air bersih sebenarnya. Jawaban tersebut menunjukan bahwa siswa/i mulai
menyadari keberadaan air bersih yang sudah mulai berkurang saat ini.
Dan sebelum, penyuluhan sebanyak 4 siswa memilih jawaban C dimana siswa/i memiliki pemahaman bahwa hanya
1-2% air bersih dari semua air yang ada di bumi dapat dimanfaatkan oleh manusia dan setelah kegiatan penyuluhan
dilakukan jumlah siswa/i meningkat menjadi pilihan yang didominasi para siswa/i, yaitu sebanyak 37 orang. Hal
tersebut menunjukan bahwa sebelum kegiatan penyuluhan dilakukan, 4,56% siswa/i memiliki rasa kepedulian yang
baik terhadap air, dimana siswa/i telah mengetahui bahwa keberadaan air bersih saat ini sudah menurun secara
drastis. Pemahaman siswa/i kemungkinan didapatkan dari bacaan media cetak maupun elektronik tentang
sosialisasi kelestarian air. Kenaikan jumlah siswa/i yang memilih jawaban C membuktikan bahwa kegiatan
penyuluhan cukup berpengaruh terhadap pemahaman siswa/i meskipun hanya sebatas 38,76% dari seluruh peserta
penyuluhan.

Persentase Jumlah Siswa/i (%)

Diagram Evaluasi Kusioner Pertanyaan Nomor


Empat
100.00

91.53
79.66

80.00
60.00
Pre Test

40.00

Post Test
20.00

3.39
0.00

10.17
0.00

10.17
5.08

0.00
A

Pilihan Jawaban
Gambar 4. Diagram Evaluasi Data Kuesioner Pertanyaan Nomor Empat

Evaluasi kuesioner pada butir pertanyaan nomor empat yang ditampilkan dalam gambar 4 menyinggung tentang
pengetahuan para siswa/i tentang kualitas air. Sebelum penyuluhan sebanyak 47 siswa menjawab pilihan A,
menunjukkan bahwa para siswa/i menjawab kualitas air adalah mutu air agar layak dimanfaatkan. Angka ini
menunjukkan bahwa sebagian besar siswa/i sebenarnya sudah paham akan kualitas air. Dan setelah penyuluhan
meningkat menjadi 51 siswa/i yang mempunyai pemahaman tersebut. Peningkatan ini menujukan bahwa materi
tentang kualitas air dalam penyuluhan yang disampaikan oleh pembicara dapat dimengerti dengan baik oleh
sebagian siswa/i.

254

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Persentase Jumlah Siswa/i (%)

Diagram Evaluasi Kuesioner Pertanyaan Nomor


Enam
90.00
80.00
70.00
60.00
50.00
40.00
30.00
20.00
10.00
0.00

89.83
83.05

Pre Test
Post Test
1.69
1.69

8.47
5.08

6.78
3.39

Pilihan Jawaban
Gambar 5. Diagram Evaluasi Data Kuesioner Pertanyaan Nomor Enam

Evaluasi kuesioner pada butir pertanyaan nomor enam yang ditampilkan dalam gambar 5 menyinggung tentang
pendapat siswa/i tentang kepedulian siswa/i terhadap pencemaran air. Sebelum penyuluhan sebanyak 49 siswa/i
yang memilih jawaban D dimana siswa/i mempunyai pendapat bahwa tumpukan sampah di sumber-sumber air
membawa dampak yang besar bagi kualitas air, keseimbangan ekosistem dan penataan kota karena dapat
menyebabkan banjir. Setelah penyuluhan, jumlah peserta yang menjawab pilihan ini meningkat menjadi 53 siswa/i.
Peningkatan ini membuktikan bahwa para siswa/i sudah menangkap dengan baik apa yang dijelaskan pembicara
dalam penyuluhan.
2.3 Analisa Tingkat Kepedulian Siswa/i Terhadap Upaya Konservasi Air

Persentase Jumlah Siswa/i (%)

Diagram Evaluasi Kuesioner Pertanyaan Nomor


Tiga
90.00
80.00
70.00
60.00
50.00
40.00
30.00
20.00
10.00
0.00

84.75
71.19

Pre Test
6.78
5.08
A

18.64
10.17

Post Test
3.39
0.00
D

Pilihan Jawaban
Gambar 6. Diagram Evaluasi Data Kuesioner Pertanyaan Nomor Tiga

Evaluasi kuesioner pada butir pertanyaan nomor tiga yang ditampilkan dalam gambar 6 menyinggung tentang
pengetahuan para siswa/i tentang konservasi air. Sebelum penyuluhan mayoritas siswa/i yaitu sebanyak 41 siswa/i
menjawab pilihan A, menunjukkan bahwa konservasi air adalah upaya untuk melakukan penghematan dari

255

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

pemakaian air. Dan setelah penyuluhan jumlah orang yang memilih A meningkat menjadi 49. Ini membuktikan
bahwa setelah penyuluhan siswa/i semakin memahami tentang konservasi air.

Persentase Jumlah Siswa/i (%)

Diagram Evaluasi Kuesioner Pertanyaan Nomor


Lima
80.00
70.00
60.00
50.00
40.00
30.00
20.00
10.00
0.00

77.97
76.27

Pre Test

23.73
22.03

Post Test
0.00
0.00

0.00
0.00

Pilihan Jawaban
Gambar 7. Diagram Evaluasi Data Kuesioner Pertanyaan Nomor Lima

Evaluasi kuesioner pada butir pertanyaan nomor lima yang ditampilkan dalam gambar 7 menyinggung tentang
pengetahuan para siswa/i tentang paramater yang harus diuji untuk mengetahui kualitas air. Sebelum penyuluhan
sebanyak 45 siswa/i memilih jawaban D dimana siswa/i mempunyai pemahaman tingkat kejernihan, kadar pH,
kandungan oksigen dan kandungan benda padat harus diuji untuk mengetahui kualitas air. Setelah penyuluhan,
jumlah peserta yang menjawab pilihan ini tetap sama. Hal tersebut menunjukan bahwa sebanyak 51,3% siswa/i
sudah mengerti parameter pengujian kualitas air.

Persentase Jumlah Siswa/i (%)

Diagram Evaluasi Kuesioner Pertanyaan Nomor


Tujuh
90.00
80.00
70.00
60.00
50.00
40.00
30.00
20.00
10.00
0.00

89.83
84.75

Pre Test
10.17
3.39
A

1.69
0.00

10.17
0.00

Post Test

Pilihan Jawaban
Gambar 8. Diagram Evaluasi Data Kuesioner Pertanyaan Nomor Tujuh

Evaluasi kuesioner pada butir pertanyaan nomor tujuh yang ditampilkan dalam gambar 8 menyinggung tentang
keinginan siswa/i untuk melakukan konservasi air. Sebelum penyuluhan terdapat 50 siswa yang memilih jawaban B
dimana siswa/i berpendapat bahwa perlu menghemat air karena sumber daya air terbatas. Namun setelah mengikuti
penyuluhan jumlahnya meningkat menjadi 53 orang. Adanya siswa/i yang memilih jawaban tersebut sebelum

256

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

penyuluhan menunjukan bahwa sebanyak 57% siswa telah mengerti faktor utama yang menjadi alasan untuk
menghemat air. Dengan adanya penyuluhan ini, siswa/i mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang alasan
untuk menghemat air.

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI


Kesimpulan
Adapun hasil yang dapat disimpulkan adalah sebagai berikut:
1. Kondisi air di aliran sungai Ujung Menteng masih dalam kualitas yang baik. Tetapi air ini belum dapat dikatakan
sehat, karena pengujian air yang dilakukan hanya secara fisik. Air tersebut secara fisik terlihat keruh namun air
tersebut mempunyai pH yang normal dan kadar oksigen yang baik. Air tersebut masih layak digunakan untuk
memenuhi kebutuhan manusia selain untuk dikonsumsi, namun perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk
memeriksa kandungan bakteri di air tersebut.
2. Pada awalnya pemahaman para siswa/i sangat sedikit dan siswa/i sangat tidak peduli dengan sumber daya air,
karena siswa/i berpikir sumber daya air bersih di dunia ini masih cukup. Namun dengan adanya kegiatan
penyuluhan ini pemahaman siswa/i bertambah dan menjadi lebih baik.
3. Dari 7 butir pertanyaan dalam kuesioner, juga dapat disimpulkan bahwa sebenarnya para siswa memahami
bahwa siswa/i perlu untuk menghemat air bersih, pengertian konservasi air, pengertian dari kualitas air, dampak
yang terjadi akibat tumpukan sampah di sumber air bersih, dan indikator apa saja untuk mengetahui kualitas air.
Namun jika dilihat di butir pertanyaan pertama dan kedua, mayoritas dari siswa/i tidak memahami apa alasan
sebenarnya perlu menghemat air.
Rekomendasi
Adapun rekomendasi yang dapat diberikan terkait dengan pembahasan adalah sebagai berikut:
1. Perlunya dilakukan penelitian lebih lanjut untuk memeriksa kandungan bakteri yang terkandung di sumber daya
air tersebut.
2. Perlunya penyuluhan kepada siswa/i sekolah tingkat dasar, menengah dan atas tentang keberadaan sumber
daya air bersih di Indonesia supaya siswa/i memahami alasan dibalik penghematan air bersih dan untuk
membiasakan bersikap bijaksana dalam menggunakan air bersih.
3. Perlunya dilakukan monitoring air secara berkala dan penyuluhan lanjutan secara berkelompok agar kepedulian
siswa/i meningkat lebih lagi.

UCAPAN TERIMA KASIH


Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak atas dukungannya. Adapun pihak-pihak tersebut adalah:
1. LPPM Universitas Kristen Krida Wacana
2. Jurusan Teknik Sipil Universitas Kristen Krida Wacana, terutama Ibu Amelia Makmur, S.T., M.T. dan Ibu Elly
Kusumawati, S.T., M.T.
3. Pihak sekolah dan siwa/i SD dan SMP Cahaya Bangsa, Jakarta.

257

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

REFERENSI
Barzilay, J.I., J.W. Eley, and W.G.Weinberg. 1999. The Water We Drink. New Brunswick, NJ: Rutgers University
Press.
International, Team Earth Echo.,Intructions/Intrucciones. World Water Monitoring Challenge Publishing.
Aerofresh. Retrivied February 25, 2013, from Aerofresh Blogspot: http://aerofresh.blogspot.com/p/air-akartaadalahmakhluk-hidup.html
Badan Perencanaan Daerah. Retrieved February 25, 2013, from Badan Perencanaan Daerah Provinsi Jawa Barat:
http://bappeda.jabarprov.go.id/docs/ perencanaan/ 20070524_073718.pdf
Rudi. (2012, September 17). Lensa Indonesia. Retrieved Februari 28, 2013, from Lensa Indonesia:
http://www.lensaindonesia.com/2012/09/07/kemarau-panjang-warga-kota-semarang-krisis-air-bersih.html
Ebhirazaituni. Retrivied February 25, 2013. http://ebhirazaituni.wordpress.com/ 2012/03/ 01/ciri-ciri-kualitas-airbersih/
Putu. Retrivied February 25, 2013 , from Blog Mahasiswa UI:http://mhs.blog.ui.ac.id /putu01 /2012/01/09/indikatorair-bersih-dan-air-kotor/

258

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

ANALISIS RISIKO KEMITRAAN PEMERINTAH SWASTA (KPS) PADA PROYEK


PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA MINIHYDRO (PLTMH)
Ririn Rimawan
Balai BHGK - Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Jl. Ir. H. Juanda No. 193 Bandung - 40135
*peott_ind@yahoo.com

ABSTRAK
Penyediaan infrastruktur merupakan tanggung jawab Pemerintah karena infrastruktur tidak hanya dipandang sebagai
public goods tetapi lebih kepada economic goods. Terbatasnya dana yang dimiliki oleh Pemerintah, membuat
Pemerintah berupaya untuk melibatkan sektor Swasta sebagai salah satu bentuk usaha dalam pelaksanaan
infrastruktur ketenagalistrikan. Setiap Proyek Kemitraan Pemerintah Swasta (KPS) memiliki karakteristik dan tingkat
risiko yang berbeda satu sama lainnya. Oleh karena itu penting bagi Penaggung Jawab Proyek Kerjasama (PJPK)
untuk melakukan manajemen risiko terhadap kemungkinan risiko yang terjadi dan langkah-langkah mitigasinya.
Sebagian besar dari investor yang akan berinvestasi khususnya bidang infrastruktur pasti akan menanyakan kepada
PJPK apakah proyek tersebut akan mendapat jaminan pemerintah atau tidak. Pemberian jaminan ini bagi Badan
Usaha Swasta akan lebih memberikan kenyamanan dan keyakinan dalam berinvestasi. Penelitian ini memaparkan
tentang analisis risiko dalam KPS pada proyek pemanfaatan potensi sumber daya air untuk pembangkit listrik tenaga
minihydro (PLTMH). Metode yang digunakan adalah melakukan penyebaran kuisioner. Objek studi meliputi para
pihak (Pemerintah, BUMN/perum, dan swasta) yang terlibat dalam proyek pembangkit listrik tenaga minihydro. Data
yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer berupa penyebaran kuisioner. Pada penelitian ini
teridentifikasi 8 risiko yang dinilai potensial dalam proyek KPS PLTMH. Risiko yang paling berpotensi terjadi adalah
risiko terkait data perencanaan dan kontinuitas sumber dana.
Kata Kunci: Infrastruktur, Kemitraan Pemerintah dan Swasta (KPS), PLTMH, Risiko.

LATAR BELAKANG
Dewasa ini ketergantungan pada ketersediaan energi listrik semakin tinggi. Mengingat sektor ketenagalistrikan
mempunyai peranan yang sangat strategis dan menentukan dalam upaya mensejahterakan masyarakat dan
mendorong berjalannya roda perekonomian nasional, seharusnya energi listrik tersedia dalam jumlah yang cukup
dan dengan mutu dan tingkat keandalan yang baik. Namun demikian, seiring dengan pertambahan jumlah
penduduk, pertumbuhan perekonomian, perkembangan dunia industri, kemajuan teknologi, dan meningkatnya
standar kenyamanan hidup di masyarakat, permintaan akan energi listrik semakin hari semakin meningkat. Di sisi
lain, pembangunan beberapa pembangkit yang semula sudah direncanakan, baik yang dikembangkan oleh swasta
maupun oleh PLN, menjadi terkendala pasca terjadinya krisis ekonomi yang melanda Indonesia beberapa tahun
yang lalu. Hal ini telah menyebabkan penambahan pasokan tenaga listrik tidak mampu mengimbangi pertumbuhan
permintaan akan tenaga listrik yang ada, sehingga di beberapa daerah terjadi kondisi kekurangan pasokan listrik.
Sebelum terjadinya krisis ekonomi global yang melanda seluruh dunia pada akhir Tahun 2008, pemerintah telah
memberikan subsidi yang cukup besar kepada PLN guna memenuhi kebutuhan listrik masyarakat ekonomi
menengah bawah. Disamping itu Pemerintah juga harus menanggung subsidi BBM yang semakin membengkak
karena pemakaian BBM bersubsidi yang terus meningkat. Sementara, pemakaian BBM secara berlebihan tidak
mendukung konsep keseimbangan karbon ataupun CDM yang dicanangkan secara internasional dalam Kyoto
Protocol untuk mengatasi pemanasan global. Dalam usaha mengurangi tekanan beban subsidi pada APBN dan

259

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

mendukung komitmen terhadap Kyoto Protocol, maka untuk penambahan pasokan tenaga listrik, Pemerintah
memprioritaskan pembangunan pembangkit berbasis energi primer baru dan terbarukan.
Pemerintah saat ini memiliki komitmen yang sangat kuat dalam rangka mengembangkan potensi energi baru
terbarukan. Komitmen pemerintah dalam pengembangan energi baru terbarukan juga ditunjukkan dengan
dikeluarkannya Peraturan Menteri ESDM Nomor 31 Tahun 2009 yang memberikan semangat baru bagi para
pengembang pembangkit tenaga listrik, khususnya para pengembang pembangkit listrik tenaga air. Peraturan
tersebut memberikan kepastian kepada para pengembang, terutama mengenai kepastian pembelian listrik oleh PLN
termasuk harga jual listriknya. Dalam Peraturan Menteri tersebut disebutkan bahwa PLN wajib membeli tenaga listrik
dari pembangkit tenaga listrik yang menggunakan energi terbarukan skala kecil dan menengah dengan kapasitas
sampai dengan 10 MW atau kelebihan tenaga listrik (excess power) dari badan usaha milik negara, badan usaha
milik daerah, badan usaha swasta, koperasi, dan swadaya masyarakat guna memperkuat sistem penyediaan tenaga
listrik setempat.
Untuk lebih memfokuskan rencana pengembangan infrastruktur ketenagalistrikan (pembangkitan, transmisi dan
distribusi tenaga listrik) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah menyusun Master Plan untuk
periode 5 (lima) Tahun (2010 s.d. 2014). Master Plan ini merupakan perencanaan ketenagalistrikan jangka pendek
sebagai bagian dari kombinasi dua perencanaan nasional tentang ketenagalistrikan, yaitu Rencana Umum
Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) dan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL). Dalam Master Plan ini
dikemukakan tentang Kebijakan Sektor Ketenagalistrikan Nasional, Tinjauan Kondisi Tenaga Listrik Nasional, dan
Rencana Pembangunan Ketenagalistrikan di 34 Propinsi di Indonesia.
Berdasarkan sumber Kementerian ESDM Master Plan Pembangunan Ketenagalistrikan sampai dengan akhir
Tahun 2008, total kapasitas terpasang tenaga listrik nasional adalah sebesar 30.527 MW yang terdiri atas
pembangkit milik PT. PLN (Persero) sebesar 25.451 MW (83 %), IPP sebesar 4.159 MW (14 %), dan PPU sebesar
916 MW (3 %). Sementara rasio elektrifikasi, didefinisikan sebagai jumlah rumah tangga yang sudah berlistrik dibagi
dengan jumlah rumah tangga yang ada, secara nasional meningkat dari tahun ke tahun, dan hingga Tahun 2008
mencapai 65,10%. Kapasitas terpasang tenaga listrik di pulau-pulau utama Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1 dan
rasio elektrifikasi di pulau-pulau utama di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 1. Kapasitas Terpasang Pembangkit Tenaga Listrik di Pulau-pulau Utama Indonesia
(Sumber: Kementerian ESDM 2010 - 2014)

No
1
2
3
4
5
6
7

Pulau
Kapasitas Terpasang (MW)
Sumatera
4.941
Jawa-Madura bali
22.599
Kalimantan
1.178
Sulawesi
1.195
Nusa Tenggara
265
Maluku
182
Papua
168
Indonesia
30.527
PT. PLN (Persero) telah membuat studi potensi tenaga air di Indonesia yang meliputi 1.275 lokasi dengan total
potensi sebesar 75.000 MW, namun demikian hingga saat ini potensi yang telah dimanfaatkan baru sekitar 21.000
MW. Potensi pembangkit listrik tenaga air dengan memanfaatkan kelebihan aliran sungai melalui bangunan
prasarana sumber daya air di sungai yang masih cukup besar (bendung atau bendungan) atau memanfaatkan
potensi energi aliran pada saluran suplai sebelum airnya digunakan untuk berbagai keperluan di hilir saluran (saluran
irigasi). Melihat besarnya potensi tersebut, maka peluang untuk pengembangan tenaga air untuk pembangkit tenaga
listrik di Indonesia masih cukup besar.
Penyediaan infrastruktur merupakan tanggung jawab Pemerintah bagi warga negaranya karena infrastruktur tidak
hanya dipandang sebagai public goods tetapi lebih kepada economic goods, oleh karena itu Pemerintah memiliki
kepentingan untuk membangun infrastruktur yang merupakan hal penting bagi masyarakat. Terbatasnya dana yang

260

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

dimiliki oleh Pemerintah, membuat pemerintah tidak mampu membiayai pembangunan seluruh infrastruktur yang
dibutuhkan masyarakat pada sektor ketenagalistrikan (pembangkit, transmisi, dan distribusi listrik), dan kemampuan
investasi infrastruktur ketenagalistrikan PLN terbatas sekitar 20% (RKUN: National Electricity General Plan Fast
Track Program 10.000 Mw Phase I). Dengan demikian Pemerintah merasa penting untuk berupaya untuk melibatkan
sektor Swasta dalam pelaksanaan pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan (pembangkit, transmisi, dan
distribusi listrik).
Tabel 2. Rasio Elektrifikasi di Pulau-pulau Utama Indonesia
(Sumber: Kementerian ESDM 2010 - 2014)

No
1
2
3
4
5
6
7

Pulau
Persen (%)
Sumatera
60,6
Jawa-Madura bali
72,0
Kalimantan
57,6
Sulawesi
55,3
Nusa Tenggara
28,6
Maluku
52,4
Papua
32,3
Indonesia
65,1
Salah satu bentuk usaha Pemerintah berupaya untuk melibatkan sektor Swasta dalam pelaksanaan infrastruktur
ketenagalistrikan yaitu dengan mengembangkan Kemitraan Pemerintah Swasta (KPS). Dengan demikian diperlukan
penelitian mengenai seberapa besar risiko KPS pada proyek pemanfaatan sumber daya air untuk pembangkit listrik.
Setiap Proyek KPS memiliki karakteristik dan tingkat risiko yang berbeda satu sama lainnya. Oleh karena itu penting
bagi penanggung jawab proyek kerjasama (PJPK) untuk melakukan manajemen risiko terhadap kemungkinan risiko
yang terjadi dan langkah-langkah mitigasinya. Sebagian besar dari investor yang akan berinvestasi khususnya
bidang infrastruktur pasti akan menanyakan kepada PJPK apakah proyek tersebut akan mendapat jaminan
pemerintah atau tidak. Pemberian jaminan ini bagi Badan Usaha Swasta akan lebih memberikan kenyamanan dan
keyakinan dalam berinvestasi. Manajemen risiko yang baik akan mampu memperbaiki keberhasilan proyek secara
signifikan (Santosa, 2009).
Santosa (2009) menjelaskan bahwa manajemen risiko adalah proses mengidentifikasi, mengukur dan memastikan
risiko serta mengembangkan strategi untuk mengelola risiko tersebut. Alokasi risiko merupakan pembagian risiko
proyek kerjasama dengan prinsip dasar bahwa risiko dibagi dan dibebankan kepada pihak yang paling mampu
mengendalikan risiko tersebut. Alokasi risiko meliputi pembagian risiko proyek antara pihak Pemerinatah dan Badan
Usaha Swasta berdasarkan prinsip alokasi risiko.
Tulisan ini untuk mengkaji risiko KPS pada proyek pemanfaatan potensi sumber daya air untuk pembangkit listrik
tenaga minihydro (PLTMH).

Penelitian Terdahulu Yang Relevan


Dalam penyusunan makalah ini, penulis melakukan kajian pada beberapa contoh penelitian yang serupa mengenai
KPS bidang infrastruktur. Penelitian yang telah dilakukan diantaranya: faktor-faktor kesuksesan kemitraan
pemerintah swasta, metode perhitungan cashflow dan perhitungan tingkat risiko, dan risiko-risiko proyek kemitraan
pemerintah swasta. Penelitian - penelitian tersebut dapat dilihat Lampiran.

METODOLOGI STUDI
Ketertarikan berinvestasi dalam suatu proyek dapat diukur berdasarkan variabel-variabel risiko yang dapat dikelola
dan ditransfer ke pihak lain. Variabel-variabel tersebut dibuat dalam bentuk kuisioner yang disebar kepada instransiinstransi yang mewakili populasi Pemerintah, BUMN/BUMD/Perum, dan Swasta. Sampel populasi yang mewakili
Pemerintah yaitu: Kementerian pusat Pekerjaan Umum, Badan Litbang Pekerjaan Umum, Balai Besar Wilayah

261

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Sungai (BBWS), Balai Sungai Kementerian Pekerjaan Umum, Akademisi, dan Pemerintah daerah. Sampel populasi
pemerintah tersebut mewakili bendung gerak yang ada di Indonesia sebanyak 21 bendung gerak. Propinsi Jawa
Timur terdapat Bendung Gerak: Gunung Sari, Lengkong, Lodoyo, Mrican, Sampean Baru dan Talang. Propinsi Jawa
Tengah terdapat Bendung Gerak: Serayu. Propinsi Jawa Barat terdapat Bendung Gerak: Curug, Manganti, Walahar
dan Rentang. Propinsi Banten terdapat Bendung Gerak: Pasar Baru dan Pamarayan. Propinsi Lampung terdapat
Bendung Gerak Aji Baru. Propinsi Sumatera Selatan terdapat Bendung Gerak Perjaya dan Danau Ranau. Propinsi
Sumatera Barat terdapat Bendung Gerak Batang Hari. Propinsi Sumatera Utara terdapat Bendung Gerak: Cinta
Maju, Perkotaan, Purwodadi, dan Simodong.
Sampel populasi yang mewakili BUMN/BUMD/Perum yaitu: PT Adhi Karya Tbk, PT Brantas Abipraya,
PT
Hutama Karya, PT Waskita Karya, PT Wijaya Karya, PT Bina Karya, PT Indah Karya, PT Indra Karya, PT Virama
Karya, Perum Jasa Tirta I, Perum Jasa Tirta II, PT. PLN (Persero) Penelitian & Pengembangan Ketenagalistrikan,
PT. PLN (Persero) Jasa Pendidikan & Pelatihan, PT. PLN (Persero) Jasa Enjiniring, PT. PLN (Persero) Jasa &
Produksi, PT. PLN (Persero) Jasa Manajemen Konstruksi, PT. PLN (Persero) Distribusi Jabar & Banten, dan PT.
PLN (Persero) Distribusi Jakarta Raya. Sampel populasi yang mewakili Swasta yatu: PT Panca Guna Duta, PT
Mitraplan, PT Allotrope Partners (Representative Indonesia Solar Development), PT. Bias Petrasia Persada, Nippon
Koei, Co.Ltd, PT. Firpec Graha Sarana, PT Cihanjuang Inti Teknik, PT Pro Rekayasa, PT Heksa Prakarsa Teknik
PT. Hydro Daya Kinerja, PT Kwarsa Energi, PT Somit Trakonat, PT Sarana Buana Jaya, PT Barata Indonesia, PT.
Inecco Wish. Ltd dan PT Wahana Pengembang Usaha.
Langkah-langkah yang dilakukan dalam melakukan manajemen risiko adalah:
a. Melakukan identifikasi variabel-variabel risiko, berdasarkan variabel-variabel risiko hasil penelitian terdahulu
disesuaikan dengan proyek KPS untuk pembangkit tenaga listrik.
b. Melakukan uji validasi terhadap variabel-variabel risiko hasil penelitian terdahulu dengan metode Delphi, agar di
dapat kesesuaian variabel risiko sesuai kondisi yang terjadi di Indonesia.
c. Hasil uji validitas variabel-variabel risiko tersebut di buat dalam suatu kuisioner. Kuisioner tersebut disebarkan
kepada instansi pemerintah, BUMN, swasta, akademisi, asosiasi di bidang kelistrikan, dan konsultan.
d. Melakukan uji validasi dan reabilitas, pengujian terhadap instrumen yang digunakan dalam studi ini yaitu
kuesioner.
e. Melakukan analisis risiko dengan mempertimbangkan semua risiko yang telah diidentifikasi dan diklarifikasi,
untuk dapat ditentukan variabel-variabel risiko apa saja yang dapat mempengaruhi kesuksesan proyek KPS.

HASIL STUDI DAN PEMBAHASAN


Analisis manajemen risiko yang dilakukan dengan cara kuisioner. Kuisioner bertujuan untuk mengetahui sejauh
mana variabel risiko dalam KPS pada proyek pemanfaatan sumber daya air untuk pembangkit tenaga listrik yang
mempengaruhi kesuksesan proyek KPS tersebut.
Identifikasi variabel-variabel risiko, berdasarkan variabel-variabel risiko hasil penelitian terdahulu disesuaikan dengan
proyek KPS untuk pembangkit tenaga listrik di bendung gerak. Variabel-variabel risiko hasil penelitian terdahulu di
validasi dengan metode Delphi. Metode Delphi dilakukan dengan cara melakukan wawancara terhadap variabelvariabel risiko hasil penelitian terdahulu kepada para narasumber, untuk mengetahui sejauh mana variabel-variabel
risiko tersebut sebagai usaha dalam mencapai tujuan penelitian ini. Narasumber dalam metode Delphi pada
penelitian ini bersifat anonim berjumlah 5 orang. Wawancara dilakukan sebanyak 2 putaran untuk mendapatkan
variabel-variabel risiko yang memiliki standar deviasi tidak begitu besar terhadap semua jawaban narasumber.
Setelah mendapat masukan dari para narasumber, kuisioner tersebut di sebarkan kepada para responden populasi
pembangkit listrik tenaga air mini hydro. Format kuisioner wawancara para narasumber disajikan pada Lampiran 2.
Populasi pihak-pihak yang terlibat dalam pemanfaatan sumber daya air untuk pembangkit tenaga listrik, diambil
dalam penelitian ini dibagi menjadi 3 pihak dengan sasaran koresponden di tingkat manajerial, yaitu:

262

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

a. Berdasarkan lokasi bendung gerak yang ada di Indonesia sebanyak 21 lokasi yang tersebar di 7 Provinsi.
Pengiriman kuisioner pihak pemerintah sebanyak 25 responden yang dikirim untuk mewakili Kementerian pusat
Pekerjaan Umum, Badan Litbang Pekerjaan Umum, Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS), Balai Sungai
Kementerian Pekerjaan Umum, Akademisi, dan Pemerintah daerah.
b. Pengiriman kuisioner pihak BUMN/Perusahaan Umum (Perum) sebanyak 30 responden yang dikirim untuk
mewakili PT Adhi Karya Tbk, PT Brantas Abipraya, PT Hutama Karya, PT Waskita Karya, PT Wijaya Karya, PT
Bina Karya, PT Indah Karya, PT. Pembangunan Perumahan, PT Indra Karya, PT Virama Karya, Perum Jasa
Tirta I, Perum Jasa Tirta II, dan PT. PLN (Persero) sebanyak 7 divisi.
c. Pengiriman kuisioner pihak swasta sebanyak 20 responden yang dikirim.
Pengumpulan Kuisioner
Besaran atau ukuran sampel sangat tergantung dari besaran tingkat ketelitian atau kesalahan yang diinginkan
peneliti. Sampel yang direspon dengan baik dan kembali dari responden sebanyak 36 sampel. Sampel tersebut
terdiri dari:
a. 25 sampel kuisioner yang dikirim ke pihak pemerintah, yang dikembalikan sebanyak 10 reponden, hal ini karena
sebagian besar responden yang tidak kembali, berasal dari Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS), koresponden
yang dituju sedang supervisi dan monitoring perkerjaan di lapangan.
b. 30 sampel kuisioner yang dikirim ke pihak BUMN/Perum, Jumlah kuisioner yang dikembalikan sebanyak 15
responden terdiri dari: PT. PLN sebanyak 6 sampel, PT. Brantas Abipraya sebanyak 6 sampel, PT Waskita Karya
sebanyak 1 sampel, PT Indra Karya sebanyak 1 sampel, dan Perum Jasa Tirta II sebanyak 1 sampel. Diantara
sekian banyak BUMN, yang paling serius bergerak di bidang pembangkit listrik tenaga air minihidro adalah PT
Brantas Abipraya, dengan membentuk anak perusahaan yang bergerak di bidang ketenagalistrikan yaitu PT.
Perjaya Brafo Energi. Sampel yang kembali dari PT Brantas Abipraya berasal dari kantor pusat sebanyak 2
sampel dan 4 sampel berasal dari kantor cabang yang berada di Surabaya dan Yograkarta.
c. 20 sampel kuisioner yang dikirim ke pihak swasta, yang dikembalikan sebanyak 11 reponden, hal ini karena
sebagian responden tidak bersedia mengisi kuisioner.
Sampel yang direspon dengan baik dan kembali dari responden sebanyak 36 sampel dari total sampel yang
direncanakan sebanyak 40 sampel. Dengan menggunakan formula Slovin didapat tingkat kesalahan 5%, tingkat
kepercayaan sebesar 95%.
Karakteriktik Data Responden
1. Tingkat pendidikan
Tingkat pendidikan responden berpendidikan S2 sebesar 52,78%, diikuti responden berpendidikan S1 sebesar
44,44% dan responden berpendidikan S3 sebesar 2,78%. Gambar sebaran pendidikan responden disajikan pada
Gambar 1.
S3
2.78%
S2
52.78%

S1
44.44%

Gambar 1. Tingkat Pendidikan Responden

263

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

2. Pengalaman di bidang perencanaan


Tingkat responden memiliki pengalaman di bidang perencanaan di atas 10 tahun sebesar 50%, pengalaman 5
10 tahun sebesar 38,89% dan pengalaman 0 5 tahun sebesar 11,11%. Gambar sebaran pengalaman
responden di bidang perencanaan disajikan pada Gambar. 2.

0 - 5 Tahun
11.11%
>10 Tahun
50.00%

5 - 10
Tahun
38.89%

Gsmbar 2. Pengalaman Responden di Bidang Perencanaan

3. Pengalaman di bidang konstruksi


Tingkat responden memiliki pengalaman di bidang konstruksi antara 5 - 10 tahun sebesar 40,54%, pengalaman
di atas 10 tahun dan pengalaman 0 - 5 tahun sebesar 29,73%. Gambar sebaran pengalaman responden di
bidang konstruksi disajikan pada Gambar. 3.
0-5
Tahun
29.73%

>10
Tahun
29.73%
5 - 10
Tahun
40.54%

Gsmbar 3.Pengalaman Responden di Bidang Konstruksi

4. Pengalaman di bidang administrasi dan kontrak


Tingkat responden memiliki pengalaman di bidang administrasi dan kontrak antara 5 - 10 tahun sebesar 61,11%,
pengalaman di atas 10 tahun sebesar 36,11% dan pengalaman 0 5 tahun sebesar 2,78%. Gambar sebaran
pengalaman responden di bidang administrasi dan kontrak disajikan pada Gambar. 4.

264

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

>10
Tahun
36.11%

0-5
Tahun
2.78%
5 - 10
Tahun
61.11%

Gsmbar 4 .Pengalaman Responden di Bidang Administrasi dan Kontrak

Menurut pendapat responden mengenai masalah utama yang mendasari proyek KPS adalah masalah
pendanaan sebesar 36,51%, masalah regulasi sebesar 28,57%, masalah pola kerjasama 19,05% dan masalah
alokasi risiko sebesar 15,87%. Gambar sebaran pendapat responden mengenai masalah utama yang mendasari
proyek KPS disajikan pada Gambar. 5. Pengalaman responden melakukan proyek/kajian/studi mengenai proyek
KPS yaitu pengalaman di atas 5 tahun sebesar 47,23%, pengalaman 0 5 tahun sebesar 33,33%, dan
pengalaman 0 tahun sebesar 19,44%. Gambar sebaran pendapat seberapa sering responden melalukan
proyek/kajian/studi mengenai KPS disajikan pada Gambar. 6.
Pendana
an
36.51%

Regulasi
28.57%
Alokasi
Risiko
15.87%

Pola
kerjasam
a
19.05%

Gsmbar 5. Pendapat Responden Mengenai Masalah Utama Yang Mendasari Proyek KPS

>5
Tahun
47.23%

0 Tahun
19.44%
0-5
Tahun
33.33%

Gsmbar 6. Pengalaman Responden Melakukan Proyek/Kajian/Studi Mengenai Proyek KPS

Pengalaman responden melakukan proyek/kajian/studi mengenai infrastruktur yaitu pengalaman di atas 5 tahun
sebesar 60 %, pengalaman 0 - 5 tahun sebesar 31,43% dan pengalaman 0 tahun sebesar 8,57%. Gambar

265

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

sebaran pendapat responden mengenai pengalaman responden melakukan proyek /kajian /studi mengenai
infrastruktur disajikan pada Gambar. 7.

> 5 Tahun
60.00%

0 Tahun
8.57% 0 - 5
Tahun
31.43%

Gsmbar 8. Pengalaman Responden Melakukan Proyek/Kajian/Studi Mengenai Infrastruktur

Karakteristik data hasil 36 responden menggambarkan variabel risiko pada saat pra konstruksi terdistribusi
secara merata di kalangan responden dengan kisaran antara 4,36% - 6,12%. Gambaran karakteristik variabel
risiko pada saat pra konstruksi disajikan pada Gambar 8.
Karakteristik data hasil 36 responden menggambarkan variabel risiko pada saat pelaksanaan konstruksi
terdistribusi secara merata di kalangan responden dengan kisaran antara 2,95% - 4,59%. Gambaran karakteristik
variabel risiko pada saat pelaksanaan konstruksi disajikan pada Gambar 9.
Karakteristik data hasil 36 responden menggambarkan variabel risiko pada saat pasca konstruksi terdistribusi
secara merata di kalangan responden dengan kisaran antara 5,97% - 8,22%. Gambaran karakteristik variabel
risiko pada saat pra konstruksi disajikan pada Gambar 10.

Perubahan Aturan
Teknis Proyek
4.71%
Misinterpretasi
Standar
4.58%
Perencanaan
5.68%

Dokumen
Perijinan Kontrak
4.80%
4.36%

Krisis Moneter
5.85%

Pemilihan Bentuk
Keterlambatan
Kerjasama
Persetujuan
4.58%
Perencanaan
4.97%
Proses
Tender
Dukungan
4.53%
pemerintah
4.93%

Lingkungan
5.19%
Data perencanaan
6.07%

Ketidakmampuan
Badan Usaha
4.67%

Sosialisasi
6.12%

Kajian Terhadap
semua peraturanperaturan KPS
4.53%

Perencanaan Desain
4.62%
Pengambilan Asumsi
Perhitungan, 4.58%

Perubahan
aturan Pajak
4.58%

Restrukturisasi
Keuangan
4.71%

Perubahan Undangundang/Regulasi/Kebij
akan
5.94%

Gsmbar 9. Karakteristik Data Variabel Risiko Pra Konstruksi

266

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air


Ketidakmampuan Badan
Usaha Dalam Memilih
Buruh Mogok Massal
Kontraktor
Kontinuitas Sumber
3.39%
3.60%
Dana
Kegagalan Kontraktor
4.59%
3.46%
Nilai Tukar Mata
Bencana Alam Revolusi
Kemampuan
Jaminan Keamanan
Uang
3.63%
2.95%
Badan Usaha
3.46%
3.84%
menyelesaian
Proyek
3.57%
Pelanggaran Kontrak
3.67%

Inflasi dan Suku Bunga


4.32% Ketidakpastian
Moneter di
Krisis
Dalam Negeri
Ekonomi
4.53%
Global
Pembiayaan
4.42%
Kembali
(Refinancing)
3.77%
Eskalasi
Biaya
4.32%

Wanprestasi Badan
Usaha
3.81%
Kebangkrutan
Badan Usaha
3.63%
Kinerja Teknologi Baru
Akses Ke Lokasi Kinerja Alat
3.67%
3.63%
Proyek, 3.87%
Kesulitan Menggunakan Keterlambatan Waktu
pelaksanaan
teknologi Baru
3.94%
3.53%

Perubahan
Metodologi
Pekerjaan
4.53%

Kondisi
Cuaca
3.70%
Pasokan Material
3.60%

Kondisi lapangan
4.56%

Gsmbar 10. Karakteristik Data Variabel Risiko Pelaksanaan Konstruksi


Bencana Alam,
8.22%

Pencabutan konsesi
5.97%

Kegagalan
Perencanaan
Menyebabkan
O&P Naik
6.61% Tidak sesuai
Spesifikasi
7.94%

Force Majeur Politik


5.97%

Cacat Konstruksi
8.08%

Pasokan Debit
8.08%

Sistem O&P
6.75%

Wanprestasi
Operator
6.68%

Rendahnya Harga
Biaya
Tarif penjualan
Operasional
7.94%
6.75%
Kebijakan
Pemerintah Tidak
Menaikkan Tarif
8.08%
Wanprestasi
permintaan
6.32%
Wanprestasi
Pembelian Kwh oleh
PLN
6.61%

Gsmbar 11. Karakteristik Data Variabel Risiko Saat Pasca Konstruksi

Uji Validitas dan Reliabilitas Kuisioner


Suatu skala pengukuran dikatakan valid apabila menunjukkan derajat ketepatan, yaitu ketepatan antara data
sesungguhnya terjadi pada objek dengan data yang dilaporkan oleh peneliti (Sugiono, 2014). Reliabilitas
menunjukkan adanya konsistensi dan stabilitas nilai hasil skala pengukuran tertentu. Reliabilitas berkonsentrasi pada
masalah akurasi pengukuran dan hasil. Uji validitas instrument pada penelitian ini dilakukan dengan dua cara yaitu:
1. Menguji Validitas dengan menggunakan pendapat dari ahli (judgment experts). Dalam hal ini setelah instrument
dikonstruksikan tentang aspek-aspek yang akan diukur dan berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan
sebelumnya, maka dikonsultasikan dengan ahli. Para ahli diminta pendapatnya tentang instrument yang telah
disusun itu. Para ahli akan memberikan pendapat: instrument dapat digunakan tanpa perbaikan, ada perbaikan,
dan mungkin dirombak total. Setelah pengujian konstruk dari ahli selesai, maka diteruskan uji coba instrument
kepada responden dimana populasi diambil.

267

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Menguji Validitas dengan perhitungan statistik menggunakan program SPSS. Data hasil responden dianalisis ke
dalam program SPSS untuk mengetahui validitas dan reliabilitas kuisioner. Metode Reliabilitas yang dipakai
adalah Tes Belah Dua. Tes ini dilakukan dengan cara membagi skor-skor secara random dalam bentuk genap
dan ganjil dari semua jawaban responden. Kemudian kelompok genap dan ganjil dihitung, hasilnya dikorelasikan
dengan menggunakan korelasi Spearman Brown. Jika hasil korelasinya 0,8, maka instrument tersebut
dinyatakan reliable. Hasil tiap tahapan pelaksanaan kontruksi, diantaranya:
a.

Tahap Pra Konstruksi


Tahap pra konstruksi terdapat 20 pertanyaan yang diberikan kepada 36 responden. Hasil analisis validitas
dan reliabilitas pada tahap ini menggunakan alat bantu program SPSS ver. 2.1 . Hasil menunjukkan bahwa
36 responden telah diproses atau 100% sudah valid. Setelah Hipotesis ditentukan, tahap selanjutnya adalah
menentukan besar nilai tabel r dengan ketentuan df = jumlah responden 2 atau 36 2 = 34 dan tingkat
signifikansi sebesar 5%, didapat angka r tabel = 0,339. Pada bagian output Correlated Item Total
Cerrelation (r kuisioner) angka terkecil 0,344, jika dibandingkan dengan r tabel sebesar 0,339 maka r
kuisioner (0,344) lebih besar daripada r tabel (0,339). Pada nilai Cronbachs Alpha sebesar 0,882 lebih
besar dari kriteria nilai korelasi sebesar 0,800. Semua butir pertanyaan sebanyak 20 pertanyaan yang
dianalisis sudah valid dan reliabel karena nilai Correlated Item Total Cerrelation > r tabel dan nilai
Cronbachs Alpha sebesar 0,882 > nilai kriteria korelasi sebesar 0,800 .

b. Tahap Pelaksanaan Konstruksi


Tahap pelaksanaan konstruksi terdapat 26 pertanyaan yang diberikan kepada 36 responden. Hasil analisis
validitas dan reliabilitas pada tahap ini menggunakan alat bantu program SPSS ver. 2.1. Hasil menunjukkan
bahwa 36 responden telah diproses atau 100% sudah valid. Setelah Hipotesis ditentukan, tahap selanjutnya
adalah menentukan besar nilai tabel r dengan ketentuan df = jumlah responden 2 atau 36 2 = 34 dan
tingkat signifikansi sebesar 5%, didapat angka r tabel = 0,339. Pada bagian output Correlated Item Total
Cerrelation (r kuisioner) angka terkecil 0,340, jika dibandingkan dengan r tabel sebesar 0,339 maka r
kuisioner (0,340) lebih besar daripada r tabel (0,339). Pada nilai Cronbachs Alpha sebesar 0,922 lebih
besar dari kriteria nilai korelasi sebesar 0,800. Semua butir pertanyaan sebanyak 26 pertanyaan yang
dianalisis sudah valid dan reliabel karena nilai Correlated Item Total Cerrelation > r tabel dan nilai
Cronbachs Alpha sebesar 0,922 > nilai kriteria korelasi sebesar 0,800 .
c. Tahap Pasca Konstruksi
Tahap pelaksanaan konstruksi terdapat 14 pertanyaan yang diberikan kepada 36 responden. Hasil analisis
validitas dan reliabilitas pada tahap ini menggunakan alat bantu program SPSS ver. 2.1. Hasil menunjukkan
bahwa 36 responden telah diproses atau 100% sudah valid. Setelah Hipotesis ditentukan, tahap selanjutnya
adalah menentukan besar nilai tabel r dengan ketentuan df = jumlah responden 2 atau 36 2 = 34 dan
tingkat signifikansi sebesar 5%, didapat angka r tabel = 0,339 . Pada bagian output Correlated Item Total
Cerrelation (r kuisioner) angka terkecil 0,367, jika dibandingkan dengan r tabel sebesar 0,339 maka r
kuisioner (0,340) lebih besar daripada r tabel (0,339). Pada nilai Cronbachs Alpha sebesar 0,878 lebih
besar dari kriteria nilai korelasi sebesar 0,800. Semua butir pertanyaan sebanyak 14 pertanyaan yang
dianalisis sudah valid dan reliabel karena nilai Correlated Item Total Cerrelation > r tabel dan nilai
Cronbachs Alpha sebesar 0,878 > nilai kriteria korelasi sebesar 0,800.

268

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Analisis Hasil Kuisioner


Analisis hasil kuisioner yang diperoleh dari isian kuesioner oleh 36 responden dianalisis secara statistik non
parametris yang digunakan untuk menguji signifikansi hipotesis komparatif sampel lebih dari dua (k sampel) yang
berpasangan. Sampel diambil secara randon, akan dianalisis apakah rata-rata (mean) antar kelompok sampel satu
dengan kelompok sampel yang lain berbeda secara signifikan atau tidak. Untuk mengetahui variabel-variabel risiko
pada pada setiap tahap konstruksi menurut pihak pemerintah, BUMN/Perum dan swasta dilakukan dengan
pendekatan dua pendekatan yaitu :
1. Pendekatan analisis uji beda (analisis Mann Whitney)
Hasil analisis uji beda dilakukan dengan 3 (tiga) kondisi yaitu:
a. Pihak pemerintah dengan pihak BUMN/perum
Hasil analisis uji beda kelompok responden antara pihak pemerintah dengan pihak BUMN/Perum, variabelvariabel risiko pada setiap tahap konstruksi sebanyak 60 variabel risiko terlihat nilai sig yang terjadi antara
0,098 sampai dengan 0,977, hal ini menunjukkan bahwa tidak terjadi perbedaan yang signifikan dari jawaban
kedua belah pihak tersebut terhadap variabel risiko.
b. Pihak pemerintah dengan pihak swasta
Hasil analisis uji beda kelompok responden antara pihak pemerintah dengan pihak swasta, variabel-variabel
risiko pada setiap tahap konstruksi sebanyak 60 variabel risiko terlihat nilai sig yang terjadi antara 0,122
sampai dengan 1,00, hal ini menunjukkan bahwa tidak terjadi perbedaan yang signifikan dari jawaban kedua
belah pihak tersebut terhadap variabel risiko.
c. Pihak BUMN/Perum dengan pihak swasta
Hasil analisis uji beda kelompok responden antara pihak BUMN/Perum dengan pihak swasta, variabelvariabel risiko pada setiap tahap konstruksi sebanyak 60 variabel risiko terlihat nilai sig yang terjadi antara
0,019 sampai dengan 1,00, hal ini menunjukkan bahwa ada sebagian variabel risiko terjadi perbedaan yang
signifikan dari jawaban kedua belah pihak tersebut terhadap variabel risiko yaitu risiko eskalasi biaya, risiko
akses ke lokasi proyek, risiko kinerja teknologi baru, dan kebijakan pemerintah tidak menaikkan tarif.
Hasil uji beda pada ketiga pihak tersebut disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Perhitungan Hasil Analisis Uji Beda Variabel Antara Pihak Pemerintah, BUMN, dan Swasta

No
Q1
Q2
Q3
Q4
Q5
Q6
Q7
Q8
Q9
Q10
Q11

Variabel Risiko
Perijinan
Dokumen Kontrak
Pemilihan Bentuk Kerjasama
Proses Tender
Keterlambatan Persetujuan Perencanaan
Dukungan pemerintah
Restrukturisasi Keuangan
Perubahan Undangundang/Regulasi/Kebijakan
Perubahan aturan Pajak
Kajian Terhadap semua peraturan-peraturan
KPS
Sosialisasi

Pihak
Pemerintah BUMN
P (Sig)

Pihak
Pemerintah Swasta
P (Sig)

0.578
0.203
0.535
0.661
0.712
0.516
0.647

0.310
0.122
0.970
0.737
0.410
0.700
0.688

0.105
0.914
0.567
0.378
0.524
0.826
0.978

0.905

0.265

0.297

0.389

0.684

0.568

0.773

0.849

0.913

0.098

0.466

0.600

Pihak BUMN Swasta


P (Sig)

269

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

No
Q12
Q13
Q14
Q15
Q16
Q17
Q18
Q19
Q20
Q21
Q22
Q23
Q24
Q25
Q26
Q27
Q28
Q29
Q30
Q31
Q32
Q33
Q34
Q35
Q36
Q37
Q38
Q39
Q40
Q41
Q42
Q43
Q44
Q45
Q46
Q47

270

Variabel Risiko
Data perencanaan
Pengambilan Asumsi Perhitungan
Perencanaan Desain
Ketidakmampuan Badan Usaha
Lingkungan
Standar Perencanaan
Misinterpretasi
Perubahan Aturan Teknis Proyek
Krisis Moneter
Kontinuitas Sumber Dana
Nilai Tukar Mata Uang
Inflasi dan Suku Bunga
Krisis Ekonomi Global
Ketidakpastian Moneter di Dalam Negeri
Pembiayaan Kembali (Refinancing)
Eskalasi Biaya
Perubahan Metodologi Pekerjaan
Kondisi lapangan
Kondisi Cuaca
Pasokan Material
Kinerja Alat
Akses Ke Lokasi Proyek
Keterlambatan Waktu pelaksanaan
Kinerja Teknologi Baru
Kesulitan Menggunakan teknologi Baru
Kebangkrutan Badan Usaha
Wanprestasi Badan Usaha
Pelanggaran Kontrak
Kemampuan Badan Usaha menyelesaian
Proyek
Kegagalan Kontraktor
Ketidakmampuan Badan Usaha Dalam
Memilih Kontraktor
Bencana Alam Saat Pelaksanaan
Revolusi Saat pelaksanaan
Buruh Mogok Massal
Jaminan Keamanan
Sistem O&P

Pihak
Pemerintah BUMN
P (Sig)

Pihak
Pemerintah Swasta
P (Sig)

0.190
0.953
0.954
0.617
0.881
0.341
0.681
0.439
0.711
0.390
0.835
0.349
0.234
0.136
0.371
0.138
0.138
0.480
0.575
0.448
0.492
0.054
0.788
0.252
0.171
0.217
0.344
0.771

0.939
0.532
0.793
0.382
1.000
0.345
0.267
0.694
0.358
0.969
0.911
0.341
0.559
0.600
0.911
0.409
0.691
0.690
0.206
0.882
0.968
0.643
0.471
0.225
0.432
0.599
0.940
0.940

0.306
0.297
0.892
0.762
0.912
0.977
0.380
0.443
0.454
0.342
0.719
0.908
0.437
0.175
0.254
0.030
0.528
0.748
0.056
0.568
0.367
0.038
0.762
0.019
0.355
0.370
0.340
0.482

0.708

0.581

0.849

0.954

0.851

0.868

0.602

0.605

1.000

0.954
0.305
0.532
0.955
0.766

0.276
0.529
0.217
0.651
0.609

0.229
0.114
0.117
0.978
0.908

Pihak BUMN Swasta


P (Sig)

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

No
Q48
Q49
Q50
Q51
Q52
Q53
Q54
Q55
Q56
Q57
Q58
Q59
Q60

Variabel Risiko
Biaya Operasional
Rendahnya Harga Tarif penjualan
Kebijakan Pemerintah Tidak Menaikkan Tarif
Wanprestasi Pembelian Kwh oleh PLN
Wanprestasi permintaan
Wanprestasi Operator
Pasokan Debit
Cacat Konstruksi
Tidak sesuai Spesifikasi
Kegagalan Perencanaan Menyebabkan O&P
Naik
Pencabutan konsesi
Bencana Alam Pasca Konstuksi
Force Majeur Politik Pasca Konstruksi

Pihak
Pemerintah BUMN
P (Sig)

Pihak
Pemerintah Swasta
P (Sig)

0.773
0.150
0.149
0.708
0.709
0.929
0.493
0.416
0.977

0.941
0.426
0.883
0.686
0.630
0.817
0.454
0.122
0.464

0.717
0.366
0.039
0.913
1.000
0.825
0.641
0.784
0.583

0.953

0.940

0.955

0.110
0.604
0.288

0.460
0.665
0.852

0.334
0.339
0.175

Pihak BUMN Swasta


P (Sig)

2. Pendekatan analisis Mean


Pendektan ini dilakukan berdasarkan karakteristik data responden yang menunjukkan nilai deviasi yang terjadi
tidak ektrim dan nilai kenaikan data merata. Pendekatan analisis Mean ini dibagi berdasarkan pihak, yaitu:
a. Hasil kuisioner menurut pihak BUMN/Perum
Sebanyak 15 responden yang mengembalikan kuisioner dari pihak BUMN/Perum. Nilai rata-rata hasil
pengisian kuisioner menurut pihak BUMN/PERUM dari 60 variabel risiko yang ada antara 2,467 3,933.
b. Hasil kuisioner menurut pihak Pemerintah
Sebanyak 10 responden yang mengembalikan kuisioner dari pihak Pemerintah. Nilai rata-rata hasil pengisian
kuisioner menurut pihak Pemerintah dari 60 variabel risiko yang ada antara 2,000 4,100.
c. Hasil kuisioner menurut pihak Swasta
Sebanyak 11 responden yang mengembalikan kuisioner dari pihak Swasta. Nilai rata-rata hasil pengisian
kuisioner menurut pihak Swasta dari 60 variabel risiko yang ada antara 1,909 3,909.
Dari hasil statistik jawaban responden teridentifikasi 8 variabel risiko agar menjadi fokus perhatian pihak
pemerintah, BUMN/perum, dan swasta untuk melaksanakan proyek KPS untuk pembangkit tenaga listrik, yaitu:
a. Sosialisasi, yaitu komunikasi antar badan usaha, pemerintah, dan masyarakat yang berada dalam lingkungan
proyek kerjasama KPS.
b. Akurasi data perencanaan dalam studi kelayakan
c. Kontinuitas sumber dana yaitu risiko muncul akibat ketidakpastian dalam hal kontinuitas sumber dana
pembiayaan sehingga dapat menimbulkan risiko keterlambatan dan biaya overhead.
d. Kondisi lapangan proyek yaitu kondisi lapangan yang tidak terduga sebelumnya sehingga membutuhkan
biaya yang lebih besar.
e. Ketidakpastian moneter di dalam negeri.

271

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

f. Pembekakan biaya terkait krisis moneter.


g. Perubahan undang-undang/regulasi/kebijakan proyek kerjasama KPS.
h. Pembekakan biaya terkait perubahan metodologi dan cakupan proyek KPS.

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI


Kesimpulan
Dari hasil analisis dan pembahasan yang telah dilakukan pada penelitian ini, dapat disampaikan kesimpulan sebagai
berikut:
a. Dari penelitian ini telah teridentifikasi 8 variabel risiko dengan nilai tertinggi agar dapat menjadi fokus perhatian
pihak BUMN/Perum, Pemerintah, dan Swasta untuk melaksanakan proyek KPS dalam pemanfaatan sumber
daya air untuk pembangkit listrik tenaga minihydro (PLTMH), yaitu:
1.

Sosialisasi, yaitu komunikasi antar badan usaha, pemerintah, dan masyarakat yang berada dalam
lingkungan proyek kerjasama KPS (Tahap Pra Konstruksi).

2.

Akurasi data perencanaan dalam studi kelayakan (Tahap Pra Konstruksi).

3.

Kontinuitas sumber dana yaitu risiko muncul akibat ketidakpastian dalam hal kontinuitas sumber dana
pembiayaan sehingga dapat menimbulkan risiko keterlambatan dan biaya overhead (Tahap Pelaksanaan
Konstruksi).

4.

Kondisi lapangan proyek yaitu kondisi lapangan yang tidak terduga sebelumnya sehingga membutuhkan
biaya yang lebih besar (Tahap Pelaksanaan Konstruksi).

5.

Ketidakpastian moneter di dalam negeri (Tahap Pelaksanaan Konstruksi).

6.

Pembekakan biaya terkait krisis moneter (Tahap Pra Konstruksi).

7.

Perubahan undang-undang/regulasi/kebijakan proyek kerjasama KPS (Tahap Pra Konstruksi).

8.

Pembekakan biaya terkait perubahan metodologi dan cakupan proyek KPS (Tahap Pelaksanaan
Konstruksi).

Risiko yang paling berpotensi terjadi pada pelaksanaan proyek PLTMH adalah risiko akurasi data perencanaan
dan risiko kontinuitas sumber dana.
b. Risiko-risiko yang berkaitan dengan risiko politik, risiko kinerja proyek dan risiko permintaan, dialokasikan
kepada pihak pemerintah sebagai pihak yang paling mampu untuk mengendalikan risiko tersebut.
Sedangkan risiko-risiko yang lainnya sepenuhnya dialokasikan kepada pihak swasta.
Rekomendasi
Pembangunan proyek pembangkit listrik tenaga minihydro (PLTMH) dalam bentuk proyek KPS sebagai salah satu
solusi krisis energi listrik nasional, hendaknya mendapat perhatian yang besar dari pemerintah agar menarik bagi
pihak swasta/investor untuk berinvestasi.

Ucapan Terima Kasih


Penulis menyampaikan hormat dan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu terselesaikannya
makalah ini.

272

Bandung, 12 September 2015

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

REFERENSI
Du, X., and Li, N.A., 2008. Monte Carlo Simulation and a Value- at-Risk of Concessionary project. Journal of
Management Research News. Vol. 31 Nomor 12, 2008 pp. 912-921.
Fischer, K., Leidel, K., Rieman, A., and Alfen, H.W., 2010. An Integrated Risk Management System (IRMS) for PPP
Projects. Journal of Financial Management of Property and Construction. Vol 15 Nomor 3, 2010 pp. 260-282.
Ismail, S., 2013. Critical Success Factors of Public Private Partnership (PPP) Implementation in Malaysia. AsiaPasific Journal of Business Adminitration. Vol. 5 Nomor 1, 2013 pp. 6-19.
Jacobson. C, 2008. "Success factors: public works and publicprivate partnerships", International Journal of Public
Sector Management, Vol. 21 Iss: 6, pp.637 657.
Ke, Y., and Wang, S., Nad Albert P.C Chan and Cheung, E., 2011. Understanding The Risk in Chinas PPP Project:
Ranking Of Their Probability and Consequence. Journal of Engineering Construction and Architectural
Management, Vol 18 Nomor. 5, 2011 pp. 481-496.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, 2009, Master Plan Pembangunan Ketenagalistrikan 2010 s.d.
2014, Jakarta, Desember 2009.
Li, B, Akintoye, A and Hardcastle, C, 2001. Risk analysis and allocation in public private partnership projects. In:
Akintoye, A (Ed.), 17th Annual ARCOM Conference, 5-7 September 2001, University of Salford. Association
of Researchers in Construction Management, Vol. 1, 895-904.
Santosa, Budi. (2009), Manajemen Proyek Konsep dan Implementasi, Graha Ilmu
Sugiono,2014, Buku Statistika Untuk Penelitian, Alfabeta, Bandung.
Trafford, S., Proctor, T., 2006. "Successful joint venture partnerships: publicprivate partnerships", International
Journal of Public Sector Management, Vol. 19 Iss: 2, pp.117 129.
Voelker, C., Permana, A., Sach, T., and Tiong, R., (2008). Political Risk Perception in Indonesia Power Project.
Journal of Financial Management of property and Construction 06/2008; 13(1); 18-34.
Wibowo, A., 2005b. Manajemen Risiko Dalam Industri Jalan Tol Yang Didanai Oleh Sektor Swasta. Prosiding 25
Tahun Pendidikan MRK di Indonesia, 18-19 Agustus 2005, Departemen Teknik Sipil, Institut Teknologi
Bandung.
Wibowo, A., 2012. Inovasi Model Risiko-Imbal Hasil Untuk Kemitraan Pemerintah-Swasta (KPS) Bidang
Infrastruktur. Orasi pengukuhan Profesor Riset Bidang Struktur dan Konstruksi, Jakarta, 19 Desember 2012,
Kementerian Pekerjaan Umum.

273

LAMPIRAN

Penulis
Carol
Jacobson
(2008)

Sektor
Umum

Sue Trafford
and Tony
Proctor
(2006)
Suhaiza
Ismail
(2013)

Umum

Conrad
Voelker,
Andre
Permana,
Timan Sach
and Robert
Tiong
(2008)
Bing Li,
Akintola
Akintoye
and Cliff
Hardcastle
(2001)
Yongjian Ke
and
ShouQing
Wang, Nad
Albert P.C
Chan and

288

Umum

Umum

Umum

Umum

Penelitian Risiko KPS Dalam Bidang Infrastruktur


Hal-hal yang dianalisis
Penulis menganalisis dan membandingkan faktor-faktor utama yang berkonstribusi terhadap
kesuksesan kemitraan pemerintah swasta dan proyek pekerjaan umum. Penelitian ini menemukan
sepuluh faktor keberhasilan kemitraan pemerintah swasta, yaitu: rencana spesifik/visi komitmen,
komunikasi terbuka dan kepercayaan, kemauan untuk berkompromi/berkolaborasi, menghormati,
penjangkauan masyarakat, dukungan politik, saran ahli dan review, kesadaran akan risiko, peran
dan tanggung jawab yang jelas
Penulis meneliti pentingnya karakteristik sesuatu yang diluar manajerial tetapi masih bisa dikelola
dengan kesuksesan kemitraan pemerintah swasta. Penelitian ini menemukan sebuah model
deskriptif yang disajikan dengan mengidentifikasi lima karakteristik utama, yaitu: komunikasi yang
baik, keterbukaan, perencanaan yang efektif, etos dan arah.
Penulis mengidentifikasi perbedaan mengenai pentingnya keberhasilan faktor antara sektor
pemerintah dan swasta. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Good Governance, komitmen
pemerintah dan swasta, kerangka hukum yang menguntungkan, kebijakan ekonomi dan
ketersediaan pasar keuangan merupakan lima faktor keberhasilan pelaksanaan PPP di Malaysia.
Penulis mengidentifikasi dan menilai risiko politik yang terkait dengan Public Private Partnership
(PPP) proyek pembangkit listrik di Indonesia dengan langkah-langkah mitigasi pada umumnya,
berdasarkan persepsi para pemangku kepentingan utama (pemerintah, investor, pemberi pinjaman
dan asuransi).Hasil penelitian ini mengidentifikasikan bahwa persepsi risiko pilitik untuk proyek
pembangkit listrik di Indonesia masih relatif tinggi, karena risiko hukum dan peraturan dan
pelanggaran risiko kontrak. Dukungan pemerintah yang layak, diinginkan oleh sebagian besar
investor, daripada harus asuransi risiko politik sebagai strategi mitigasinya.

Keterangan
Penulis melakukan Analisis yang digunakan secar
kualitatif dengan wawancara dan observasi.
Keterbatasan dari penelitian ini terbatas pada dua
studi kasus.
Penulis melakukan Analisis yang digunakan dengan
pendekatan Grounded Theory yang diadopsi
melibatkan wawancara dan diskusi kelompok dengan
para eksekutif dari organisasi yang terlibat.
Penulis melakukan Analisis yang digunakan dengan
melakukan survey kuesioner untuk memperoleh
persepsi sektor pemerintah dan swasta pada faktor
kunci keberhasilan proyek PPP di Malaysia.
Penulis melakukan pendekatan dengan kajian
literature yang komprehensif untuk mengidentifikasi
daftar awal risiko politik tertentu yang terkait dengan
proyek pembangkit listrik PPP di Indonesia dan
langkah-langkah mitigasi yang tersedia untuk risiko
ini.

Penulis mengevaluasi dan mengelola faktor risiko penting dalam PPP. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa struktur risiko terbagi atas tiga lapis yaitu: risiko mikro, risiko meso, dan risiko
makro. Risiko mikro mengeksploitasi faktor-faktor ketidakpastian dalam organisasi PPP, risiko
tingkat makro mengacu pada variabel ekologi, sedangkan faktor risiko meso jatuh antara tingkat
mikro maupun makro, dan sangat relevan untuk seluruh proyek.

Penulis melakukan Analisis yang digunakan dengan


melakukan analisis risiko yang komprehensif, diikuti
oleh tindakan yang tepat, terhadap beberapa faktor
penting yang berkontribusi terhadap keberhasilan
proyek PPP.

Penulis melakukan evaluasi yang lebih up to date dari potensi risiko dalam proyek PPP China.
Probabilitas terjadinya dan tingkat dampak yang ditimbulkan untuk risiko yang dipilih berasal dari
survey dan digunakan untuk menghitung relatif nilai indeks signifikansi risiko. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa sepuluh risiko teridentifikasi sesuai sesuai dengan signifikansi risiko nilai
indeks yaitu: intervensi pemerintah, pengambilan keputusan politik yang buruk, risiko keuangan,
keandalan pemerintah, perubahan permintaan pasar, korupsi, evaluasi subyektif, perubahan suku

Penulis melakukan pendekatan dengan survey dua


putaran Delphi dilakukan dengan praktisi yang
berpengalaman untuk mengidentifikasi risiko utama
yang bisa ditemui dalam proyek-proyek PPP China.

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air


Esther
Cheung
(2011)
Xiaofeng Du
and Amory
N. Li (2008)

bunga, system hukum yang belum matang, dan inflasi.


Umum

Penulis mengusulkan suatu pendekatan yang komprehensif untuk penilaian dari hak konsesi
infrastruktur dan proyek-proyek manajemen risiko kualitatif di Republik Rakyat China. Hasil
penelitian menunjukkan Simulasi Monte Carlo dilakukan untuk mengevaluasi kelayakan
investasi konsesi (yaitu evaluasi dinamis nilai dan risiko investasi konsesi dari pespektif investor)
dengan penentuan berikutnya dari tingkat rasional kembali, yang merupakan inti dari kontrak
konsesi. Pekerjaan di masa depan mencakup prinsip pembiayaan sekuritas asset dan
penerapannya dalam pembiayaan proyek, desain dan evaluasi infrastruktur produk
sekuritasaset (misalnya obligasi pendapatan tetap) sebagi instrument pembiayaan untuk
infrastruktur besar.
Penulis menyajikan IRMS di PPP. Sistem manajemen risiko yang terintegrasi (IRMS)
memungkinkan dapat memenuhi persyaratan proyek PPP seperti mengurangi kompleksitas,
membangun kesadaran risiko, meliputi perspektif yang berbeda dari pihak yang terlibat,
membangun pemahaman bersama tentang sifat risiko dan peluang memberikan petunjuk langkah
demi langkah kontingensi dan meningkatkan informasi yang tersedia

Penulis menggabungkan ekonomi model untuk


menilai nilai dinamis dan risiko investasi konsesi
dalam konteks desain kontrak konsesi.

Penulis
beranggapan
bahwa
infrastruktur yang didanai oleh sektor
swasta diselenggarakan dengan
konsep project finance, dimana
kreditor
hanya
mengandalkan
cashflow proyek dan asset-asetnya
untuk pembayaran utang. Dengan
demikian DER proyek akan
senantiasa berubah setiap saat
tergantung kepada kinerja keuangan
dari proyek yang bersangkutan.
Dengan alasan tersebut penulis
memanfaatkan risk-free discount rate
untuk mengambil risiko project
finance diindustri jalan tol
Mekanisme koordinasi yang selama ini menjadi
persoalan dalam KPS harus segera diatasi.
Pembentukan PPP Center atau PPP Unit mungkin

Katrin Fischer,
Katja Leidel,
Alexander
Riemann and
Hans Wilhelm
Alfen (2010)
Wibowo
(2005)

Umum

Jalan
Tol

Penulis mengembangkan metode adjusted Present Value (APV) dalam menilai kelayakan
investasi jalan tol. Metode APV merupakan pendekatan deterministic dimodifikasi oleh penulis.
Variabel-variabel yang mengandung unsur ketidakpastian dirubah dari deterministic menjadi
stokastik. Kekurangan data statistik diatasi dengan cara pendekatan subyektif melalui kuesioner
maupun wawancara dengan ahli.

Wibowo
(2012)

Umum

Penulis memaparkan perkembangan penyelenggaraan infrastruktur dengan melibatkan


pembiayaan swasta. Komitmen Pemerintah sangat dibutuhkan untuk menyukseskan KPS
infrastruktur. Komitmen ini termasuk dukungan politis dan finansial. Banyak model inovasi

289

Penulis melakukan pendekatan dengan survey


kuesioner dan wawancara ahli untuk
mengidentifikasi keadaan manajemen risiko
Kemitraan Pemerintah Swasta (PPP).

menyangkut relasi risiko-imbal hasil yang telah penulis paparkan untuk memberikan kontribusi
bagi existing body of knowledge, dimana beberapa model tersebut menyentuh langsung
berbagai isu praktis dalam penyelenggaraan KPS di tanah air.

dapat menjadi solusi.

Sumber :Carol Jacobson (2008), Sue Trafford (2006), Fitriani H., Farida, P.,Wibowo, A (2006), Suhaiza Ismail (2013), Conrad Voelker, Andre Permana, Timan Sach and Robert Tiong (2008), Bing Li,
Akintola Akintoye and Cliff Hardcastle (2001), Yongjian Keand ShouQing Wang, Nad Albert P.C Chan and Esther Cheung (2011), Xiaofeng Du and Amory N. Li (2008), Katrin Fischer, Katja Leidel,
Alexander Riemann and Hans Wilhelm Alfen (2010), Wibowo (2005), dan Wibowo (2012)

290

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

PERLINDUNGAN KAWASAN PENYANGGA MATA AIR SEBAGAI UPAYA


KONSERVASI MELALUI KKN-PPM
Restu Wigati1*, Soelarso1
1 Jurusan

Teknik Sipil, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa


*rezt.wiga@gmail.com

Abstrak
Konservasi sumber daya air yang berkelanjutan akan efektif apabila melibatkan masyarakat secara aktif dalam
setiap tahapan pelaksanaan. Desa Taman Sari merupakan salah satu bagian daerah yang memiliki beberapa
sumber mata air yang difungsikan sebagai air bersih bagi masyarakat. Melalui kegiatan konservasi baik vegetatif
maupun mekanis dengan pembuatan lubang biopori, sumur resapan diharapkan pengelolaan serta pemanfaatan
sumber mata air tetap lestari serta terjaga baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Kegiatan Kuliah Kerja NyataPembelajaran Pemberdayaan Masyarakat (KKN-PPM) diawali dengan memberikan pembekalan kepada seluruh
mahasiswa peserta KKN-PPM. Target capaian yang telah dilaksanakan di Desa Tama Sari Kecamatan Baros
Kabupaten Serang dimana mahasiswa dan masyarakat sebagai penggerak terjadinya proses pemberdayaan
masyarakat, diantaranya: bertambahnya pengetahuan masyarakat tentang konservasi sumber daya air,
bertambahnya keterampilan masyarakat tentang penerapan konservasi di lingkungan sekitar, tersosialisasikannya
pemahaman masyarakat tentang konservasi, terbentuknya tim pengelola konservasi sumber daya air, adanya visi,
misi dan slogan untuk menjaga kelestarian sumber Mata Air Cinyusu. Program KKN-PPM sangat membantu
masyarakat guna menambah pengetahuan serta menumbuhkan kepedulian masyarakat dalam hal menjaga
kelestarian sumber daya air. Melalui kegiatan KKN-PPM mahasiswa bersama masyarakat diharapkan dapat menjadi
penggerak dalam meningkatkan peran serta masyarakat sebagai pengguna air sekaligus sebagai pengelola sumber
daya air.
Kata Kunci: Konservasi, mata air Cinyusu, pemberdayaan masyarakat

LATAR BELAKANG
Air merupakan komponen pokok dalam memenuhi kebutuhan makhluk hidup di bumi ini, khususnya bagi manusia.
Ketersediaan air, terutama air tawar dan atau air bersih semakin lama semakin sulit karena perkembangan jumlah
penduduk dunia yang bertambah pesat serta adanya kerusakan alam yang menyebabkan berkurangnya atau
tercemarnya keberadaan air tawar dan air bersih. Kerusakan kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) dan pencemaran
terhadap air dianggap sebagai penyebab utama terjadinya krisis air. Berdasarkan Forum Air Dunia II (World Water
Forum) yang diselenggarakan di Den Haag pada bulan Maret tahun 2000, Indonesia sudah diprediksikan sebagai
salah satu negara yang mengalami krisis air pada tahun 2025.
Upaya konservasi air perlu segera ditingkatkan dalam rangka menanggulangi krisis air dan menjaga kelestariannya.
Upaya konservasi air dapat dilakukan dengan perbaikan di daerah tangkapan air (catchment area) berupa
penghutanan kembali (reboisasi), pembuatan bangunan penghambat aliran permukaan, dan penegakan aturan
penggunaan air dibatasi hanya untuk keperluan rumah tangga, serta menekan perkembangan pemukiman di
kawasan. Pembatasan eksploitasi air juga perlu dilakukan pada daerah aliran air yang terletak antara daerah
tangkapan air dan wilayah perkotaan (daerah eksploitasi air). Meskipun air merupakan sumber daya alam yang

291

dapat di perbaharui, sumber daya alam ini harus kita jaga kelestariannya agar tidak merusak keseimbangan
ekosistem.
Penghematan air atau konservasi air adalah perilaku yang disengaja dengan tujuan mengurangi penggunaan air
segar, melalui metode teknologi maupun perilaku sosial. Penggunaan air yang jatuh pada permukaan tanah
dilakukan seefisien mungkin dengan pengaturan waktu aliran yang tepat diharapkan dapat memperkecil terjadinya
banjir pada musim hujan dan dapat meningkatkan ketersediaan air pada musim kemarau.

PROGRAM KKN-PPM
Desa Taman Sari merupakan salah satu desa dari 14 desa yang ada Kecamatan Baros Kabupaten Serang Provinsi
Banten. Menurut Badan Pusat Statistik Kabupaten Serang jumlah penduduk di Kecamatan Baros yaitu sebanyak
48.996 jiwa dengan penduduk laki-laki 26.124 jiwa dan perempuan 22.872 jiwa dengan 3653 jiwa masyarakat
Kecamatan Baros berprofesi sebagai petani.
Desa Taman Sari mempunyai beberapa sumber mata air di mana sejak tahun 1975 salah satu sumber mata air
tersebut menjadi pemasok kebutuhan air bersih ke wilayah kota Serang melalui Dinas PDAM Kabupaten Serang.
Sumber air bersih yang ada di Desa Taman Sari sebagian besar memanfaatkan sumber lokal desa berupa mata air
salah satunya adalah sumber mata air Cinyusu.

Gambar 1. Mata Air Cinyusu

1. Mengingat potensi sumber daya alam yang terdapat di Desa Taman Sari Kecamatan Baros berupa sumber
mata air yang cukup banyak keberadaannya, maka dapat diidentifikasikan persoalan utama yang ingin
dikembangkan antara lain:
2. Masih rendahnya kesadaran serta pengetahuan masyarakat terkait pentingnya konservasi sumber daya air
3. Masih rendahnya kesadaran terkait upaya perlindungan kawasan penyangga mata air
4. Keterbatasan informasi dan pengetahuan serta cara yang dapat dilakukan dalam mengembangkan kegiatan
konservasi.
Dalam pelaksanaan KKN-PPM para peserta telah mempersiapkan beberapa program yang akan dilaksanakan
selama periode KKN-PPM berlangsung. Program tersebut meliputi program utama dan program pendukung yang
tercermin dalam tema Perlindungan Kawasan Penyangga Mata Air Cinyusu Sebagai Upaya Konservasi
Sumber Daya Air Berkelanjutan Melalui KKN-PPM. Target capaian program KKN - PPM untuk kelompok sasaran
dan lingkungan sekitar di Desa Taman Sari serta mahasiswa sebagai penggerak terlaksananya proses
pemberdayaan masyarakat adalah sebagai berikut:
1. Mewujudkan peran mahasiswa sebagai salah satu subyek serta sebagai penggerak pembangunan khususnya
pembangunan di pedesaan.
2. Mahasiswa melaksanakan kegiatan KKN PPM dengan terpenuhinya target minimal Jam Kerja Efektif
Mahasiswa (JKEM).

292

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

3. Bertambahnya pengetahuan masyarakat tentang konservasi sumber daya air.


4. Bertambahnya keterampilan masyarakat tentang penerapan konservasi di lingkungan sekitar dalam hal ini
masyarakat mampu membuat sumur resapan dan lubang biopori.
5. Tersosialisasikannya pemahaman masyarakat tentang konservasi di wilayah Kecamatan Baros.
6. Terbentuknya Tim Pengelola Konservasi Sumber Daya Air khususnya di Desa Taman Sari.
7. Adanya Visi, Misi dan Slogan untuk menjaga kelestarian sumber Mata Air Cinyusu
8. Deseminasi hasil dalam bentuk publikasi jurnal nasional.
Analisis Situasi

Proses

Outcome

Sebelum KKN-PPM

Penyuluhan, Pelatihan,
Pendampingan

Setelah KKN-PPM

Potensi sumber daya air


Pemanfaatan sumber mata
air yang cukup tinggi
Keterbatasan pengetahuan
tentang keseimbangan
ekosistem sumber daya air

Pelatihan teknik konservasi


sumber daya air
Pendampingan pembuatan
sumur resapan
Pendampingan pembuatan
lubang resapan biopori

Evaluasi Awal

Evaluasi Proses

Peningkatan pengetahauan
masyarakat tentang
konservasi
Meningkatnya kepedulian
masyarakat dalam
menjaga kelestarian
sumber mata air setempat
Evaluasi Akhir

Gambar 2. Kerangka Pembelajaran dan Pemberdayaan Masyarakat

Metode Pendekatan yang Ditawarkan


Masyarakat merupakan suatu komunitas yang majemuk dengan berbagai kreatifitas dan aktifitas baik sosial, budaya
dan ekonomi serta tingkat pendidikan yang berbeda beda. Terjun ke masyarakat bagi para mahasiswa merupakan
tingkat pembelajaran yang sangat berharga dan kreatif untuk diaplikasikan. Desa Taman Sari Kecamatan Baros
menjadi salah satu tempat dilaksanakannya kegiatan KKN-PPM tahun 2014. Desa Taman Sari merupakan desa
dengan sumber daya air yang melimpah. Pemanfaatan secara terus menerus tanpa diimbangi oleh usaha
pengawetan sumber air atau konservasi dapat berdampak terhadap menurunya jumlah ketersediaan air dikemudian
hari. Melalui kegiatan kuliah kerja nyata pembelajaran pemberdayaan masyarakat diharapkan akan mampu
meningkatkan kesadaran serta kepedulian masyarakat dalam menjaga kelestarian sumber mata air yang ada.
Kondisi sumber daya air ini harus tetap dijaga kelestariannya agar dapat terus bermanfaat untuk masa depan.
Pemanfaatan sumber daya air yang ada harus diimbangi dengan upaya-upaya pemeliharaan yang merujuk pada
suatu tindakan konservasi yang bertujuan untuk mempertahankan kondisi air yang ideal. Target capaian program
KKN-PPM yang diharapkan dari keseluruhan sebagaimana diuraikan di atas, dijelaskan dalam gambar 3 berikut ini.

293

MASYARAKAT MEMILIKI PENGETAUAN TENTANG


KONSERVASI SUMBER DAYA AIR

Masyarakat Kampung

Masyarakat Kampung

Masyarakat Kampung
CitamanBADAN AIR

Terampil membuat

Terampil membuat

Terampil membuat

Sumur Resapan,

Sumur Resapan,

Sumur Resapan,

Lubang Resapan

Lubang Resapan

Lubang Resapan

Biopori (Konservasi

Biopori (Konservasi

Biopori (Konservasi

Mekanis)

Mekanis)

Mekanis)

9 SUMUR RESAPAN
60 LUBANG RESAPAN BIOPORI

PENANAMAN 120 BIBIT TANAMAN JATI


(Konservasi Vegetatif)

MASYARAKAT Kampung Lenggor, Kampung Mekar Sari


dan Kampung Citaman MEMILIKI PENGETAUAN DAN
KEPEDULIAN dalam Menjaga Kelestarian SUMBER MATA

Gambar 3. Target Capaian Program KKN-PPM 2014 di Desa Taman Sari

Tahapan Pelaksanaan KKN-PPM


Selama maengikuti kegiatan KKN-PPM, seluruh program kerja yang telah direncanakan, direalisasikan melalui kerja
sama solid antar personil. Setiap program kerja ditangani oleh masing-masing penanggungjawab yang akan
mengatur jalannya program kerja yang dilaksanakan sehingga dapat berjalan dengan optimal. Metode dan
mekanisme pelaksanaan kegiatan KKN-PPM menjelaskan solusi yang ditawarkan untuk mengatasi permasalahan
yang memuat tahapan-tahapan berikut.
Peserta KKN-PPM
Peserta KKN-PPM terdiri dari mahasiswa Teknik Sipil, Teknik Kimia, Teknik Industri, Teknik Elektro, Teknik Mesin,
Teknik Metalurgi dan Manajemen, kemudian dilakukan seleksi mahasiswa disesuaikan dengan jumlah kebutuhan
mahasiswa yang diperlukan untuk diterjunkan di lapangan.
Observasi Lapangan
Obsevasi yang digunakan adalah survei lapangan bersama dengan masyarakat. Selain meninjau lokasi secara
langsung observasi dilakukan dengan berdialog secara langsung dengan masyarakat serta tokoh masyarakat
setempat guna memperoleh dan menggali informasi yang ada di desa untuk selanjutnya dibuat inventaris
masalah dan potensi yang dimiliki desa tersebut.

294

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Penyusunan Program Kerja


Pelaksanaan seluruh program kerja KKN-PPM tak lepas dari dukungan masyarakat. Seluruh program kerja kegiatan
KKN-PPM di Desa Taman Sari merupakan suatu upaya konservasi yang difokuskan pada pelestarian sumber daya
air. Adapun program kerja yang akan kami laksanakan adalah sebagai berikut:

Pembuatan Biopori

Pembuatan Sumur Resapan

Penanaman Pohon

Pemeriksaan kualitas air bersih

Pemeliharaan kebersihan saluran air

Sosialisasi tentang sumur resapan dan biopori ke 14 Desa di Kecamatan Baros

Pelaksanaan KKN-PPM
Setelah mahasiswa peserta KKN-PPM diberikan pembekalan oleh Dosen Pembimbing lapangan (DPL) dan Mitra
Kerja, maka langkah awal dalam pelaksanaan program kerja adalah melakukan kerjasama dengan pihak-pihak
terkait. Kerjasama ini dapat dilakukan antara lain dengan aparat kecamatan, Aparat desa, UPTD, dan seluruh
masyarakat Desa Taman Sari. Seluruh tahapan kegiatan KKN PPM terdokumentasi dalam bentuk Logbook yang
berisi uraian kegiatan terakumulasi dalam volume pekerjaan yaitu Jam Kerja Efektif Mahasiswa (JEKM). Tabel 1 di
bawah ini merupakan hasil rekapitulasi semua tahapan.
Tabel 1. Volume JEKM

No
1.
2.
3.

Uraian Kegiatan
Persiapan dan Pembekalan
Pelaksanaan Program KKNPPM
Penyusunan Laporan
Total JKEM
Peserta KKN-PPM (n)
TOTAL VOLUME KEGIATAN

Volume
(JEKM)
10
180
29

Keterangan
KKN-PPM
dilaksanakan
selama 72 hari
efektif
219
45
9.855

HASIL DAN PEMBAHASAN


Salah satu faktor pendukung pelaksanaan program kerja KKN-PPM adalah kondisi yang ada di lapangan. Pemilihan
program kerja utama (inti) dan program kerja tambahan dilakukan berdasarkan kondisi nyata di lapangan. Berbagai
masalah yang terjadi di lapangan memicu kami untuk menciptakan suatu tindakan nyata yang dapat membantu serta
meminimalisir risiko yang diakibatkan oleh permasalahan tersebut. Sesuai dengan tema kegian KKN-PPM UNTIRTA
Tahun 2014, yakni Perlindungan Kawasan Penyangga Mata Air Cinyusu Sebagai Upaya Konservasi Sumber Daya
Air Berkelanjutan Melalui KKN-PPM, dilakukanlah beberapa program kerja utama sebagai berikut :
Lubang Resapan Biopori
Dalam pelaksanaan program kerja KKN-PPM ini, kami membuat 60 titik biopori yang tersebar di seluruh bagian yang
masuk ke dalam wilayah Kampung Lenggor, Kampung Mekarsari dan Kampung Citaman. Pembuatan Biopori ini
hanya menghabiskan waktu tiga hari, mengingat antusias warga yang sangat baik dan alat yang digunakan pun
sudah standard, sehingga waktu yang dibutuhkan untuk membuat 60 lubang biopori pun cukup singkat. Biopori yang
telah kami buat adalah lubang silindris yang dibuat secara vertikal ke dalam tanah dengan diameter 10 cm dan
kedalaman sekitar 80-100 cm atau tidak melebihi kedalaman muka air tanah apabila permukaan tanah termasuk
dangkal.

295

Lubang tersebut diisi dengan sampah organik untuk memicu terbentuknya biopori. Biopori merupakan pori-pori yang
berbentuk lubang yang dibuat oleh aktivitas fauna tanah atau akar tanaman. Fauna tanah berupa cacing tanah
merupakan organisme dari kelas oligochaeta yang mampu menembus tanah hingga kedalaman 8 m. Tanah yang
mengandung cacing tersebut akan diperkaya dengan unsur hara hasil olahan perut cacing, sehingga akan menjadi
tempat yang subur bagi berbagai jenis tumbuhan.

Gambar 4. Pembuatan Lubang Resapan Biopori Bersama Masyarakat

Sumur Resapan
Dalam pelaksanaan program kerja KKN-PPM ini, kami membuat 9 (sembilan) titik sumur resapan yang bertempat di
masing kampung yaitu Kampung Lenggor, Kampung Mekar Sari dan Kampung Citaman. Kegiatan pembuatan
Sumur Resapan ini sangat lama, yakni menghabiskan waktu hampir tiga minggu. Proses pembuatannya dilakukan
secara bertahap, mulai dari penggalian, pengecoran, pengisian material penyaring, hingga pembuatan cover atau
penutup. Adapun urutan lengkap proses pembuatannya adalah sebagai berikut:

Tentukan lokasi yang memenuhi syarat dan jarak yang tepat. Gali lubang ukuran 1,5 x 1,5 x 2 m.

Masukkan batu kerikil atau ijuk ke dasar sumur sampaiketebalan 10-20 cm.

Buatlah pasangan bata dengan jarak 25 cm daridinding tanah, sampai ketinggian 30 cm daripermukaan tanah.

Bata pasangan diplester, Masukkan kerikil atau ijuk kesela tanah.

Saluran air dari talang diarahkan ke sumur resapan dilengkapi panyaring sampah dan penyadap lumpur.

Membuat Saluran limpasan dan tutup dari beton.

296

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

Tampak Atas dan Ukuran Sumur Resapan

Gambar 5. Potongan Melintang dan Ukuran Sumur Resapan

Gambar 6. Tahapan Pekerjaan Sumur Resapan

Konservasi Vegetatif
Kegiatan penanaman pohon merupakan salah satu upaya konservasi yang menjadi program kerja utama kami dalam
melaksanakan kegiatan KKN-PPM ini. Pohon yang kami berikan kepada masyarakat Desa Taman Sari merupakan
bibit-bibit pohon yang kami peroleh dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Banten yaitu sebanyak 120 bibit.
Bibit pohon yang didapat terdiri dari pohon Jati Bongsor (Jabon), pohon Mahoni, pohon Kayu Manis, pohon Kayu
Kalimantan, dan pohon Albasiah.

297

Gambar 7. Penanaman Pohon Bersama Masyarakat

Sosialisasi Hasil KKN-PPM


Kegiatan pembuatan Sumur Resapan dan Lubang Biopori menjadi program kerja unggulan dalam kegiatan KKNPPM di Kecamatan Baros Tahun 2014. Kegiatan sosialisasi dan penyuluhan program pembuatan Sumur Resapan
dan Biopori ini dilakukan di seluruh desa di Kecamatan Baros (14 desa termasuk Desa Taman Sari).

Gambar 8. Sosialisasi Konservasi Mekanis Bersama Tokoh Masyarakat

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI


Kesimpulan
Dari pelaksanaan kegiatan KKN-PPM yang sudah terlaksana banyak pelajaran yang telah diperoleh. Adapun poinpoin penting yang dapat kami simpulkan dalam kegiatan KKN-PPM ini kami antara lain sebagai berikut :
1. Desa Taman Sari yang dikenal sebagai desa dengan sumber daya air yang melimpah, potensi tersebut dapat
berkembang jika masyarakat mempunyai kemampuan serta kemauan untuk mengolahnya menjadi sumber daya
yang dapat dimanfaatkan bagi kehidupan sehari-hari.
2. Ketersediaan air bersih dengan kualitas sangat baik merupakan sebuah potensi dari Desa Taman Sari yang
dapat dikembangkan dalam upaya mewujudkan desa Taman Sari menjadi desa mandiri melalui pengelolaan
potensi sumber daya air dalam suatu lembaga seperti Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).

298

Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air

3. Pemanfaatan potensi sumberdaya air yang ada di Desa Taman Sari harus di imbangi dengan usaha pelestarian
atau konservasi untuk menjaga sumber daya air tersebut berada dalam kondisi ideal baik dari segi kualitas
maupun kuantitas.
Rekomendasi
1. Pemerintah diharapkan untuk terus meningkatkan pengelolaan potensi yang ada di Desa Taman Sari ini,
dengan demikian potensi yang ada dapat digunakan secara optimal dan dapat berguna bagi pembangunan
desa.
2. Adanya keberlanjutan program dan dorongan pendanaan dari pemerintah daerah maupun melalui Dillitabmas
Dikti bagi para dosen untuk menjalankan tridarma perguruan tinggi dalam konteks melanjutkan kegiatan
pengabdian kepada masyarakat.

UCAPAN TERIMA KASIH


Ucapan terima kasih disampaikan kepada Direktorat Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (DP2M)
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi serta semua pihak yang telah memberikan bantuan serta dukungan dalam
pelaksanaan kegiatan KKN-PPM.

REFERENSI
-----------, 2000. Pedoman Kuliah Kerja Nyata Mahasiswa Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Serang-Banten;
Lembaga Pengabdian pada Masyarakat Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
-----------, Dokumen Review Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes 2012 - 2015) Desa
Tamansari, 2011.
-----------, Tata Cara Perencanaan Sumur Resapan Air Hujan Untuk Lahan Pekarangan. SNI : 03-2453-2002.
Andi Maddeppungeng., dkk, 2012. Usulan Ipteks bagi Masyarakat; Pemberdayaan Masyarakat Melalui Pelatihan
dan Penerapan Potensi Sumber Mata Air Terhadap Pengelolaan Sistem Air Bersih di Desa Taman Sari Kec.
Baros Kab. Serang Provinsi Banten.
DP2M Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, 2013. Panduan Pelaksanaan Hibah KKN-PPM. Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan.
Kementerian Pekerjaan Umum, 2012. Drainase Berwawasan Lingkungan (Ecodrain). Bahan Ajar Diseminasi dan
Sosialisasi Keteknikan Bidang PLP Sektor Drainase.
Kulsum, dkk, 2012. Laporan Hibah KKM - PPM; Partisipatori Ergonomi Pemberdayaan Masyarakat Melalui
Pengelolaan Sampah Terpadu untuk Meningkatkan Kesehatan dan Kesejahteraan di Kota Serang.
Pusat Pengelolaan dan Pengembangan KKN UGM, 1998. Pedoman Kuliah Kerja Nyata Universitas Gadjah Mada.
Yogyakarta; LPM Universitas Gadjah Mada.

299

Anda mungkin juga menyukai