Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air 2014, Pengelolaan Sumber Daya Air Wilayah Perkotaan :
12 September 2015 : prosiding. Universitas Katolik Parahyangan : Jurusan Teknik Sipil,
2015
xiv, 299 halaman; 21 x 29,7 cm
ISBN 9786027143227
1.
Reviewer
1.
2.
3.
4.
5.
The statements and opinion expressed in the papers are those of the authors themselves and do not necessarily
reflect the opinion of the editors and organizers. Any mention of company or trade name does not imply endorsement
by organizers
ISBN 9786027143227
PRATAKA
Puji dan syukur kita panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas segala ridhoNya Seminar
Nasional Teknik Sumber Daya Air dapat kita selenggarakan bersama pada hari Sabtu, 12 September 2015 di Bale
Dayang Sumbi (GSG) Institut Teknologi Nasional Bandung. Seminar ini pada dasarnya merupakan kegiatan hasil
kerjasama antara 12 instansi yaitu: Jurusan Teknik Sipil Unjani, Program Studi Teknik Sipil Unpar, Program Studi
Teknik dan Pengelolaan Sumber Daya Air ITB, Jurusan Teknik Sipil Unla, Jurusan Teknik Sipil Itenas, Program
Teknik Sipil UK Maranatha, Departemen Teknik Sipil Polban, Pusat Litbang Sumber Daya Air (Pusair), Himpunan
Ahli Teknik Hidraulik Indonesia (HATHI) Cabang Jawa Barat, Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air (DPSDA) Provinsi
Jawa Barat, Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Citarum dan Dinas Bina Marga dan Pengairan (DBMP) Kota
Bandung.
Sebagaimana kita sadari bahwa permasalahan terkait sumber daya air di wilayah perkotaan yang kian
semakin kompleks seiring dengan pesatnya tingkat urbanisasi yang mengakibatkan meningkatnya berbagai aktivitas
sosial-ekonomi perkotaan, penggelontoran saluran, pemeliharaan sungai dan sebagainya. Selain itu seiring dengan
pesatnya pertumbuhan teknologi termasuk di bidang informasi dan komunikasi, pengelolaan sumber daya air di
kawasan perkotaan juga dihadapkan pada tuntutan layanan yang lebih tinggi tidak hanya secara kuantitas melainkan
secara kualitas dan keberlanjutannya.
Untuk itu melalui seminar yang bertemakan Pengelolaan Sumber Daya Air Wilayah Perkotaan ini diharapkan
dapat menjadi media bagi para akademisi, peneliti, praktisi, pengamat lingkungan, dan masyarakat untuk
memperoleh dan bertukar informasi serta pengalaman dalam rangka mendukung tercapainya pengelolaan sumber
daya air yang berkelanjutan. Tentu informasi yang disampaikan dalam seminar ini masih jauh dari sempurna, namun
demikian besar harapan bahwa kegiatan ini dapat memberikan kontribusi pemikiran atau gagasan bagi
pengembangan keilmuan dan penyelenggaraan praktis pengelolaan sumber daya air khususnya untuk wilayah
perkotaan. Sesuai dengan tema seminar, buku panduan ini telah disusun sedemikian rupa memuat seluruh abstrak
dari makalah yang disajikan dalam seminar dengan 4 (empat) sub tema yaitu konservasi sumber daya air,
pendayagunaan sumber daya air, pengendalian daya rusak air, serta pemberdayaan masyarakat dan penguatan
hukum dan kelembagaan.
Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kami sampaikan kepada semua pihak yang
telah membantu terselenggaranya seminar ini. Semoga seminar ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua demi
terwujudnya pengelolaan sumber daya air yang lebih baik di kemudian hari.
DAFTAR ISI
PRATAKA ....................................................................................................................................................................... i
DAFTAR ISI ................................................................................................................................................................... ii
SAMBUTAN KETUA PANITIA ....................................................................................................................................... v
SAMBUTAN REKTOR ITENAS .................................................................................................................................... vi
KEYNOTE SPEECH I
(Dr. Ir. Arie Setiadi - Kepala Balai Penelitian dan Pengembangan Kementerian PUPR)..............................................vii
SEKILAS TENTANG SEMNAS ...................................................................................................................................... x
Latar Belakang .......................................................................................................................................................... x
Tujuan ....................................................................................................................................................................... x
Tema ......................................................................................................................................................................... x
Sub Tema.................................................................................................................................................................. x
Peserta ..................................................................................................................................................................... xi
Sekretariat ................................................................................................................................................................ xi
Tim Reviewer ........................................................................................................................................................... xi
SUSUNAN KEPANITIAAN ........................................................................................................................................... xii
A.
B.
16
KORELASI ANTARA SUBSIDEN AIR TANAH EMISI KARBON LAHAN RAWA GAMBUT
(L. Budi Triadi, Maruddin F. Marpaung)
30
41
60
68
APLIKASI TEKNOLOGI MEMBRAN PADA INSTALASI PENGOLAHAN AIR LIMBAH DI RSUD LEBONG
BENGKULU DALAM RANGKA PEMANFAATAN AIR RE-USE
(Mohammad Imamuddin)
78
STUDI EVALUASI OPTIMASI TURBIN PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA MINIHIDRO DESA PUSAKA JAYA,
KABUPATEN CIANJUR
(Steven Sergij Salim, Bambang Adi Riyanto)
93
TANTANGAN DAN PERBAIKAN SISTEM BENDUNG SUNGAI GESEK DALAM PENYEDIAAN AIR BAKU DI
PULAU BINTAN
(Slamet Lestari)
100
POLA PERGERAKAN ALIRAN DI MUARA SUNGAI MUSI DENGAN MENGGUNAKAN PROGRAM MIKE-21 FLOW
MODEL
(Achmad Syarifudin, Eka Puji Agustini)
111
118
ANALISIS SISTEM CLUSTER SEBAGAI UPAYA PENGENDALIAN LIMPASAN PERMUKAAN PADA KAWASAN
INDUSTRI
(Obaja Triputera Wijaya, Doddi Yudianto, GUAN Yiqing)
123
SISTEM PENGENDALIAN EROSI UNTUK MEMPERTAHANKAN LAPISAN TANAH SUBUR PADA LAHAN
PERTANIAN PRODUKTIF STUDI KASUS: DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CITARUM HULU
(Dede Sumarna, H. Bakhtiar. AB).
132
145
155
163
176
188
196
iii
OPTIMASI SISTEM PERKUATAN TANGGUL BANJIR SUNGAI TEMBUKU DALAM MENANGGULANGI POTENSI
BANJIR KOTA JAMBI
(Slamet Lestari)
200
PENANGANAN EROSI PANTAI DI DESA PUSAKA JAYA UTARA SAMPAI DENGAN MUARA BUNTU
KABUPATEN KARAWANG
(Yati Muliati, Yunus Purwanto, Ahmad Luthfi)
214
225
236
248
ANALISIS RISIKO KEMITRAAN PEMERINTAH SWASTA (KPS) PADA PROYEK PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA
MINIHYDRO (PLTMH)
(Ririn Rimawan)
258
PERLINDUNGAN KAWASAN PENYANGGA MATA AIR SEBAGAI UPAYA KONSERVASI MELALUI KKN-PPM
(Restu Wigati, Soelarso)
iv
291
vi
KEYNOTE SPEECH I
KEPALA BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT
pada Seminar Teknik Sumber Daya Air Tahun 2015
Bandung, 12 September 2015
Assalamualaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh.
Selamat pagi dan salam sejahtera untuk kita semua
Yang saya hormati dan banggakan Bapak dan Ibu para akademisi, peneliti, perekayasa, penggiat dan pemerhati
bidang sumber daya air serta hadirin semua.
Merupakan suatu kehormatan dan tantangan besar bagi saya untuk menyampaikan sambutan dalam Seminar
Teknik Sumber Daya Air yang diselenggarakan atas kerjasama antara tujuh perguruan tinggi, empat instansi dan
HATHI cabang Bandung. Seminar hari ini sangat penting, karena hasil-hasil rangkaian seminar-seminar yang telah
dilaksanakan terdahulu oleh kerjasama antar instansi ini, saya yakin telah menjadi rujukan, mendewasakan dan
menempa para ahli dan pemerhati kebijakan bidang pengelolaan Sumber Daya Air Indonesia.
Bapak, Ibu dan hadirin yang terhormat.
Merupakan kepedihan yang sangat mendalam bagi saya sebagai peneliti bidang sumber daya air saat data hasil
evaluasi yang masuk menunjukkan bahwa masih banyak saudara-saudara kita di berbagai pulau di Indonesia saat
ini menghadapi kekeringan akibat kelangkaan air dan kualitas lingkungan yang makin buruk.
Pengalaman yang saya miliki sebagai peneliti dan pembantu para penentu kebijakan di bidang SDA menunjukan
bahwa permasalahan di atas diakibatkan oleh pengelolaan SDA yang belum memadai, dipicu oleh informasi dan
pengetahuan yang belum cukup, disiplin dan kepercayaan akan kebijakan di bidang SDA yang rendah serta dampak
di antara kita masih bekerja secara sektoral. Rasa tanggungjawab akan kekurangan-kekurangan ini yang mendorong
saya berani menghadiri dan berbicara di dalam Seminar ini.
Bapak, Ibu dan hadirin yang terhormat,
Berita tentang tantangan peningkatan kejadian bencana yang dipicu oleh air, isue tentang perubahan iklim global,
konflik kepentingan yang makin mendalam di antara para stakeholders karena perubahan pola kebutuhan air yang
terus berubah datang dari berbagai penjuru dunia. Terkait dengan hal ini, saya mengajak hadirin semua untuk tidak
hanyut dalam keributan tersebut. Namun marilah bersama kita menjadi bagian dari pembuat dan pelaksana aktif
solusi permasalahan.
Bapak, Ibu dan hadirin yang terhormat,
Isue utama pengelolaan sumber daya air dari dekade ke dekade selalu berubah. Hal ini menuntut kita untuk selalu
belajar dan menyesuaikan kebijakan-kebijakan pengelolaan sumber daya air.
1. Pada era 1970 an, isue utama dunia adalah ketersediaan air bersih. Untuk merespon isu ini, kebijakankebijakan terkait dengan peningkatan kualitas air sangat mengemuka.
2. Pada era 1980-an isue utama bertambah dengan tuntutan akan pembangunan yang berkelanjutan. Pada
era ini diperkenalkan program-program peningkatan kualitas lingkungan hidup.
3. Pada era 1990-an isue utama adalah krisis air, sehingga kebijakan yang dilansir untuk merespon hal ini
adalah pengelolaan sumber daya air yang terintegrasi (IWRM).
4. Memperhatikan fenomena perubahan iklim global, isue ketahanan air, pangan dan energi mengemuka pada
era 2000-an. Tuntutan Kebijakan untuk merespon isue ini adalah jaminan alokasi air yang terintegrasi
dengan kebutuhan air untuk produksi pangan dan energi ( Water, Food and Energy Nexus ).
vii
Memperhatikan perubahan-perubahan paradigma pengelolaan sumber daya air tersebut pertanyaan yang timbul
adalah apakah kita telah dan siap untuk dengan cepat merespon perubahan-perubahan paradigma tersebut dengan
baik.
Bapak, Ibu dan hadirin yang terhormat.
Agar bisa jadi bagian dari solusi, marilah bersama kita cermati juga prediksi tantangan di berbagai bidang yang harus
kita hadapi bersama.
1. Pertumbuhan penduduk Perkotaan
Sekitar setengah dari penduduk dunia pada tahun 2025 akan menghadapi kelangkaan air akibat
pertumbuhan penduduk (UN WWDR, 2009).
Pada saat yang sama kebutuhan air akan meningkat 50% pada negara-negara berkembang dan
18 % untuk negara-negara maju.
2. Kelangkaan Pangan dan Keterjangkitan Penyakit.
Penurunan volume air baku akan mempengaruhi produksi pangan (UNDP, 2004)
Kualitas Pengelolaan SDA akan sangat berperan dalam pencapian MDGs, termasuk pengentasan
kemiskinan dan peningkatan kesehatan masyarakat (UNDP, 2004)
3. Peningkatan Potensi Konflik International terkait air.
Peningkatan persaingan dalam penguasaan akses terhadap sumber-sumber air, seperti sungai dan
danau.
Peningkatan konflik bidang alokasi air dan biaaya jasa pengelolaan sumber daya air, baik dalam
tatanan antar negara, propinsi dan kabupaten/kota.
4. Penurunan Prosentase Layanan Air Minum bagi Penduduk.
Penurunan tingkat kepercayaan air minum dari PDAM karena kualitas sumber air baku menurun,
kualitas prasarana yang tidak terpelihara dengan baik dan transparansi informasi.
Prosentase penduduk yang bisa langsung menerima air dari layanan PDAM sangat rendah.
5. Peningkatan Konsumsi Energi dalam Pengelolaan SDA.
Porsi biaya energi untuk operasi dan pemeliharaan Instalasi Pengolah air meningkat hingga 60~70 %
dari biaya total pengolahan air (WIA, 2009)
Kebutuhan energi listrik untuk mengolah dan mendistribusikan air minum akan meningkat hingga lebih
dari 50 % dalam 30 tahun ke depan (EPRI, 2002)
Kerusakan Prasarana dan Sarana Pengelolaan Sumber Daya Air.
Peningkatan kerugian akibat penurunan kinerja infrastruktur.
Peningkatan biaya rehabilitasi untuk peningkatan kinerja infrastruktur.
Bapak, Ibu dan hadirin yang terhormat,
Sebagai landasan untuk perencanaan pengelolaan sumber daya air perlu juga dipahami beberapa resiko yang lebih
luas yang bisa mempengaruhi pengelolaan sumber daya air di Indonesia.
1. Dari sisi ekonomi, resiko terbesar adalah kekacauan tatanan ekonomi makro.
2. Dalam segi geo-politic perlu dicermati ancaman teroris.
3. Dari sudut pandang tatanan sosial, ancaman datang dari percepatan penyebaran penyakit menular melalui
air.
4. Terkait dengan perkembangan teknologi, maka ancaman terbesar datang dari kegagalan infrastruktur data
dan informasi.
5. Sedangkan dari sisi lingkungan, ancaman serious datang dari kegagalan kita dalam beradaptasi terdadap
perubahan iklim global serta kerusakan lingkungan akibat ulah manusia.
viii
Dengan mengetahui ancaman-ancaman tersebut kita bisa menyusun kebijakan-kebijakan serta langkah-langkah
pendukung implementasi sesuai dengan kondisi lapangan.
Bapak, Ibu dan hadirin yang terhormat,
Jika tadi kita berbicara tantangan dan permasalahan secara global, pada bagian akhir dari uraian ini, marilah kita
secara sekilas melihat kondisi infrastruktur sumber daya air di Indonesia.
Terkait dengan Pengelolaan Sumber Daya Air, kesiapan kita dalam menghadapi permasalahan di atas perlu menjadi
perhatian kita bersama. Jumlah air yang dapat dikelola melalui tampungan baru sebesar 15 milyar m 3 dari 3,9 triliun
m3 potensi air Indonesia atau 63,5 m3 per kapita. Angka ini masih jauh dari kebutuhan minimun tampungan air per
kapita sebesar 150 m3. Luas lahan sawah irigasi yang didukung oleh reservoir baru 11 % dari luas lahan beririgasi
yang dimiliki Indonesia.
Pada kondisi tersebut, kerusakan hutan di Indonesia masih tetap relatif tinggi dari tahun ke tahun. Hal ini ditunjukkan
dengan meluasnya lahan kritis dari 13,1 jt Ha pada tahun 1992 menjadi lebih dari 18,5 jt Ha pada saat ini dan
meningkatnya sebaran DAS kritis dari 22 DAS pada tahun 1984 menjadi 68 DAS pada tahun 2012.
Terkait dengan pemenuhan kebutuhan perkotaan, rata-rata baru 70,3 % penduduk perkotaan mendapat akses
terhadap air minum, 62 % terhadap pengelolaan air limbah dan akses terhadap persampahan 83 %.
Memperhatikan kenyataan tersebut, rasanya kita sepakat bahwa pekerjaan rumah kita masih banyak dan penuh
tantangan.
Bapak, Ibu dan hadirin yang terhormat,
Menyikapi tantangan-tantangan di atas dan tuntutan persaingan tenaga ahli di masa mendatang, diharapkan
Perguruan Tinggi dan asosiasi profesi seperti HATHI dapat senantiasa membina dan meningkatkan kemampuan
teknis anggotanya agar dapat memenuhi kebutuhan dalam penanganan pengelolaan SDA. Untuk itu, saya
berkeyakinan bahwa melalui acara pertemuan semacam ini kita dapat saling bertukar pengalaman dan saling
menjalin hubungan profesional yang kuat.
Akhir kata saya mengucapkan selamat melaksanakan Seminar Nasional Sumber Daya Air. Semoga apa yang kita
lakukan di sini dapat memberikan manfaat bagi perkembangan pengelolaan sumber daya air di Indonesia.
Sekian dan Terima Kasih,
Wassalaamualaikum Warrahmatullahi Wabarakaatuh
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
ix
Pemerintahan
Konsultan
Kontraktor
Penelitian, LSM, Pemerhati masalah Keairan, Anggota HATHI
Dosen dan Mahasiswa
Umum
Sekretariat
Jurusan Teknik Sipil Universitas Jenderal Achmad Yani
Jl. Terusan jenderal Sudirman PO. BOX 148, Cimahi
Telepon
: (022) 6641743
Faximile
: (022) 6641743
: seminar.tsda.bdg@gmail.com
Tim Reviewer
1.
2.
3.
4.
5.
xi
SUSUNAN KEPANITIAAN
A.
Pengarah
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
B.
Panitia Pelaksana
Ketua I
- Itenas
Ketua II
- Unjani
Ketua III
- Pusair
Ketua IV
Ketua V
- ITB
Bendahara
- Itenas
Sekretaris
: Yuyun Fauzi
Sekretariat
- Unjani
- Unjani
Seksi Dana
Seksi Publikasi
Seksi Perlengkapan
xii
- ITB
- ITB
Supardi, S.T.
- ITB
- Itenas
- Itenas
Seksi Acara 1
Seksi Acara 2
Seksi Konsumsi
Seksi Dokumentasi
Seksi Makalah/Prosiding
- Unpar
- Unpar
- Unpar
- Unla
- Unla
- Pusair
- Pusair
- Pusair
- Pusair
- Unla
- Unla
- Unpar
- Unpar
Ir. Alvadison
- Pusair
- Pusair
- Pusair
- Pusair
- UK. Maranatha
- UK. Maranatha
- UK. Maranatha
- Polban
- Polban
- Polban
- BBWS Citarum
- BBWS Citarum
- BBWS Citarum
- BBWS Citarum
- Unpar
- Pusair
- Unjani
- Itenas
- Unpar
xiii
08.45-09.45
Acara
Penyaji/Pembicara
Gedung Serba Guna Itenas
Pendaftaran Ulang
Panitia
Pembukaan
MC
Menyanyikan Lagu Indonesia Raya
Panitia
Laporan Ketua Panitia
Yati Muliati
Sambutan Rektor Itenas
Rektor Itenas
Pembukaan Acara Secara Resmi oleh Rektor Rektor Itenas
Itenas
Pembacaan Doa
Yadi Suryadi
09.45-10.15
Rehat Kopi
Ruangan I
Sesi I
10.30-10.45
xiv
Notulis
10.15-10.30
Moderator
Mirwan
Rofig,
Ig.
Sudarsono
Waktu
10.45-11.00
11.00-11.15
11.15-11.30
Acara
Perencanaan Pengendalian Banjir di Jakarta
Penerapan Sistem Kluster Sebagai Upaya
Pengendalian Limpasan Permukaan pada
Kawasan Industri
Sistem
Pengendalian
Erosi
untuk
Mempertahankan Lapisan Tanah Subur pada
Lahan Pertanian Produktif Studi Kasus: Daerah
Aliran Sungai (DAS) Citarum Hulu
Penyaji/Pembicara
Tri Hardhono, Benny
Syahputra
Obaja Triputera Wijaya,
Doddi Yudianto, Guan
Yiqing
Dede Sumarna, H.
Bachtiar AB
11.30-11.45
Parindra
Ardi
Pengendalian Banjir pada Kawasan Tambang Wardhana,
Meru
Timah di Kabupaten Bangka
Condro Wiguno, Yudi
Wachyudiana
11.45-12.15
Tanya Jawab
12.15-13.15
Ishoma
Sesi II
13.15-13.30
13.30-13.45
13.45-14.00
14.00-14.15
14.15-14.30
14.30-14.45
Moderator
xv
Notulis
Waktu
14.45-15.00
15.00.-15.30
Tanya Jawab
Ruangan II
Sesi I
Ruang 12305
10.15-10.30
10.30-10.45
10.45-11.00
11.00-11.15
11.15-11.30
11.30-11.45
Stephen
Sanjaya,
Pemodelan Peramalan Curah Hujan pada DAS Bambang Adi Riyanto,
Pamarayan dengan Metode ESIM
Andreas Franskie Van
Roy
Aplikasi Teknologi Membran pada Instalasi Mohammad Imamuddin
Pengolahan Air Limbah di RSUD Lebong Bengkulu
dalam Rangka Pemanfaaatan Air Re-Use
Studi Evaluasi Optimasi Turbin Pembangkit Listrik Steven Sergij Salim,
Tenaga Minihidro Desa Pusaka Jaya, Kabupaten Bambang Adi Riyanto
Cianjur
Tantangan dan Perbaikan Sistem Bendung Sungai Slamet Lestari
Gesek dalam Penyediaan Air Baku di Pulau Bintan
Studi Evaluasi Kualitas Air Situ Gede Kota Eka Wardhani, Kancitra
Pharmawati, Indra
Tangerang
Kajian Terhadap Ketepatan Pemetaan Kerentanan Elly Kusumawati B.
Pencemaran Air Tanah Menggunakan Metode
Drastic pada Kondisi Data Akifer Terbatas
11.45-12.15
Tanya Jawab
12.15-13.15
Ishoma
Sesi II
13.15-13.30
xvi
Acara
Penyaji/Pembicara
Evaluasi Kapasitas Saluran Drainase pada Sandy Sella Fajar,
Kawasan Permukiman Mandiri Berwawasan Doddi Yudianto
Pendidikan
Ruang 12305
Implementasi Model Xinanjiang yang Berbasis Steven Reinaldo Rusli,
Sistem Informasi Geografis dalam Analisis Neraca Jin Tao Liu, Doddi
Air DAS Jiangwan
Yudianto
Moderator
Notulis
Waktu
13.30-13.45
13.45-14.00
14.00-14.15
14.15-14.30
14.30-14.45
Acara
Penyaji/Pembicara
Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu dalam Feril Hariati
Rangka Penyediaan Air Bersih Berbasis
Masyarakat di Kabupaten Lamongan
Widya Nasarita Fitri,
Peran Masyarakat dalam Pengendalian Daya Parindra
Ardi
Rusak Air di Kabupaten Bogor
Wardhana,
Meru
Condro Wiguno
Anastasia
Septya
Evaluasi Tingkat Kepekaan Siswa Terhadap Wardaningrum, Tidani
Pelestarian Sumber Daya Air
Sillo Hines Aluhnia
Zebua
Analisis Risiko Kemitraan Pemerintah Swasta Ririn Rimawan
(KPS) pada Proyek Pembangkit Listrik Tenaga
Minihydro (PLTMH)
Pelindungan Kawasan Penyangga Mata Air Restu Wigati, Soelarso
Sebagai Upaya Konservasi Melalui KKN-PPN
14.45-15.15
Tanya Jawab
15.15-15.30
Mobilisasi ke GSG
15.15-15.30
Rehat Kopi
15.15-15.30
15.30-16.30
Moderator
Setio Wasito
Panitia
Doddi Yudianto
Yadi Suryadi
Dekan FTSP Itenas
xvii
Notulis
xiv
Studi Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung 40141, Indonesia
Key Laboratory of Hydrology-Water Resources and Hydraulic Engineering, Hohai University, Nanjing, People
Republic of China
*steven.reinaldo.rusli@gmail.com
Abstrak
Pemanfaatan Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai objek penelitian, dimana pengembangan instalasi
instrumentasi pengukuran hidrologi dilakukan, belum menjadi prioritas di negara berkembang seperti
Indonesia. Padahal, kebijakan alokasi DAS penelitian sangat berguna dalam menguji performa model
hujan-limpasan. Dengan menggunakan DAS Jiangwan yang merupakan DAS penelitian yang terletak di
Provinsi Zhejiang, China, dengan data hidrologi harian tersedia dari tahun 1971 - 1986, studi ini bertujuan
untuk menguji kestabilan model Xinanjiang, model hidrologi terdistribusi yang memanfaatkan data sistem
informasi geografis sebagai masukan data geospasialnya. Kestabilan yang dimaksud adalah kestabilan
parameter model yang dihasilkan, sesuai dengan hipotesa awal berdasarkan tata guna lahan pada DAS
yang tidak berubah. Metode yang digunakan berupa metode trial and error dalam kalibrasi parameter
yang ada. Hasil analisis menunjukkan kestabilan parameter tercapai, kecuali empat parameter yang
sedikit mengalami perubahan yaitu KG, KI, CG, CI dan dua komponen yaitu WUM dan WLM. Seluruh
perubahan terjadi pada unsur yang berhubungan dengan proporsi aliran bawah permukaan, yaitu interflow
dan aliran air tanah. Tanpa memperhatikan simulasi tahun 1977 yang kualitas datanya tidak memenuhi
kriteria keandalan, Nash-Sutcliffe dan relative error yang digunakan sebagai kriteria evaluasi menunjukkan
hasil yang memuaskan, dengan nilai rata-rata berturutan 0.59174 dan 0.0479. Hasil ini menunjukkan
kontribusi besar yang diberikan oleh aplikasi teknologi pintar dalam simulasi model neraca air.
Kata Kunci: Model Xinanjiang, Sistem Informasi Grafis, DAS Jiangwan
LATAR BELAKANG
Dewasa ini, ketersediaan informasi peramalan debit yang akurat menjadi sangat penting dilihat dari sisi
hidrologi, terutama mempertimbangkan aplikasinya dalam berbagai kebutuhan seperti perencanaan
sumber daya air pada tatanan lokal, regional dan nasional, kebijakan pengambilan air, perencanaan suplai
air untuk publik, perkiraan dilusi polutan air, navigasi, perencanaan pembangkit listrik tenaga air,
perencanaan daerah irigasi, pengelolaan sumber daya air pada musim kering dan sebagainya (World
Meterological Organization, 2009). Mengacu pada penggunaannya yang sangat luas dan fungsional,
perkembangan dari model hujan limpasan, atau biasa disebut juga model neraca air terjadi dengan
sangat cepat, terutama pada Negara-negara berkembang seperti Negara Republik Rakyat Cina (RRC).
Model Xinanjiang, dikembangkan oleh Zhao, et al. (1980) dari Negara RRC sudah terbukti memberikan
hasil yang lebih konsisten dibandingkan model neraca air lain, seperti model Pitman dari Afrika Selatan,
model NAM dari Eropa, model Sacramento dari Amerika Serikat dan model SMAR dari Irlandia (Gan, et
al. 1997), dikarenakan kapabilitas model Xinanjiang untuk memperhitungkan ketidakseragaman distribusi
spasial dari DAS yang berkontribusi terhadap volume limpasan. Meskipun pada umumnya model
Xinanjiang memiliki 15 buah parameter, berbagai modifikasi yang dimasukkan ke dalam model telah
menghasilkan sejumlah parameter tambahan, dengan tujuan memberikan hasil yang lebih maksimal.
Terkait dengan parameter model, Cheng, et al. (2002) menyebutkan, keberhasilan aplikasi model neraca
air sangat bergantung kepada kualitas proses kalibrasi parameter. Maka itu, penentuan parameter model
memiliki peran yang sangat penting dalam mensimulasikan proses siklus hidrologi suatu DAS.
Namun, fenomena equifinality dilihat sebagai salah satu problematika dalam kalibrasi model hujan
limpasan. Equifinality adalah kejadian di mana model hujan limpasan memberikan hasil evaluasi
simulasi yang sama dengan parameter yang berbeda, yang mengindikasikan ketidakstabilan model
tersebut. Untuk menghindari kejadian tersebut, dikembangkan batasan nilai untuk masing-masing
parameter model berdasarkan pengalaman aplikasi penggunaan model, sebagai contoh batasan nilai
parameter HBV96 yang disarankan oleh Lidn dan Harlin, (2000). Hasil studi ini diharapkan memberikan
evaluasi terhadap stabilitas parameter model Xinanjiang. Dengan menggunakan DAS Jiangwan, yang
relatif tidak berubah dari segi tata guna lahan dan karakteristik hidrologi, kecenderungan masing-masing
parameter akan diamati, dan diharapkan bahwa fluktuasi parameter yang dihasilkan seminimum mungkin.
METODOLOGI STUDI
Model Xinanjiang
Secara konsep, struktur model Xinanjiang terdiri dari empat tahap utama; perhitungan evapotranspirasi
(konsep tiga lapisan kelembaban tanah), generasi limpasan, (konsep repletion of storage), pemisahan
limpasan (konsep limpasan Horton) dan penelusuran limpasan (metode Muskingum), dengan total 15
buah parameter yang terdistribusi terhadap masing-masing tahapan analisis yang ada. Gambar 1 dan
Tabel 1 di bawah memberikan gambaran skematis mengenai proses analisis dan parameter.
Tabel 1. Deskripsi masing-masing Parameter Model Xinanjiang
Parameter
K
UM
LM
C
WM
B
IM
SM
Ex
KI
KG
CS
CI
CG
L
Deskripsi
Rasio antara potensi evapotranspirasi dan evapotranspirasi aktual
Batas maksimum evapotranspirasi pada lapisan atas
Batas maksimum evapotranspirasi pada lapisan bawah
Koefisien evapotranspirasi untuk lapisan dalam
Rata-rata kapasitas penyimpanan air tertekan seluruh DAS
Kontribusi berpangkat dari kurva distribusi spasial kapasitas penyimpanan air tertekan
Proporsi daerah kedap air terhadap total luasan DAS
Kapasitas penyimpanan air bebas
Kontribusi berpangkat dari kurva distribusi spasial kapasitas penyimpanan air bebas
Koefisien kontribusi air bebas ke aliran interflow
Koefisien kontribusi air bebas ke aliran air tanah
Parameter penelusuran limpasan permukaan
Konstanta tampungan interflow
Konstanta tampungan air tanah
Parameter penelusuran
Secara teknis, analisis spasial dalam studi ini didasarkan pada data fisik yang didapat dari data Digital
Elevation Model (DEM) yang biasa dianalisis dengan menggunakan perangkat lunak Arch-GIS. Setelah
proses pembagian DAS menjadi pias-pias yang lebih kecil, analisis dilakukan di dalam setiap pias,
kemudian dilanjutkan dengan penelusuran limpasan untuk memberikan pengaruh ketelitian dan akurasi
hasil simulasi yang menjadi kelebihan yang ditawarkan oleh model hidrologi yang terdistribusi.
Pada tahapan perhitungan evapotranspirasi, konsep tiga lapisan kelembaban tanah (lapisan atas, bawah
dan dalam) diterapkan, dengan batasan pada lapisan atas dan bawah (UM dan LM) yang sudah
ditetapkan terlebih dahulu. Modifikasi terhadap perhitungan evapotranspirasi Xinanjiang sudah dilakukan
beberapa peneliti, seperti penggunaan metode MODIS-LAI oleh Li, et al. (2009). Namun, dalam studi ini,
perhitungan yang dilakukan menggunakan formula seperti ditunjukkan persamaan di bawah ini, sesuai
dengan formula Xinanjiang.
(1)
(2)
(3)
Keterangan:
EU
: tinggi evapotranspirasi pada lapisan atas (mm)
EL
: tinggi evapotranspirasi pada lapisan bawah (mm)
ED
: tinggi evapotranspirasi pada lapisan dalam (mm)
UM, LM
: batas maksimum evapotranspirasi pada lapisan atas dan bawah (mm)
Kesitimewaan utama yang menjadi ciri khas dari model Xinanjiang adalah konsep repletion of storage,
yang berarti pada satu daerah tertentu, limpasan baru akan dihasilkan setelah kelembaban tanah sudah
mencapai titik maksimum. Untuk memperhitungkan ketidakseragaman spasial dari kondisi tanah yang
ada, disusunlah kurva parabolik seperti ditunjukkan oleh Gambar 2. Dewasa ini, terutama melihat
perkembangan yang begitu cepat di bidang teknologi spasial seperti sistem informasi geografis, banyak
modifikasi untuk memasukkan variasi spasial ke dalam model hidrologi, salah satunya model Xinanjiang.
Salah satu contohnya adalah penggunaan kurva parabolik ganda oleh Jayawardena, et al. (1999).
Area terarsir (R) menunjukkan limpasan yang dihasilkan pada suatu kondisi yang dimulai setelah kondisi
AU, dan kapasitas penyimpanan kelembaban tanah terbatas pada MM. Dengan berbagai kondisi yang
ada, jumlah limpasan yang dihasilkan dihitung berdasarkan rumus-rumus yang terhubung di bawah ini.
(4)
(5)
Jika
, maka
Jika tidak,
(6)
Keterangan:
R
: tinggi limpasan (mm)
f/F
: proporsi dari luasan DAS yang menghasilkan limpasan
WM, B, IM : parameter model
MM
: batas maksimum kapasitas penyimpanan kelengasan tanah
P
: tinggi presipitasi (mm)
AU
: batas kondisi di mana limpasan mulai dihasilkan (mm)
Setelah limpasan sudah dihasilkan, konsep yang sama digunakan untuk memisahkan limpasan
permukaan, aliran antara dan aliran air tanah. Adapun rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:
(7)
(8)
(9)
Jika
, maka
Jika tidak,
(10)
Keterangan:
f/FR
: proporsi dari limpasan yang menghasilkan limpasan permukaan
SM, Ex
: parameter model
MS
: batas maksimum kapasitas penyimpanan air bebas
BU
: batas kondisi di mana limpasan permukaan mulai dihasilkan (mm)
Proses penelusuran banjir dibagi menjadi dua bagian, pada permukaan DAS dan pada bagian saluran.
Peta digital dari DAS terkait awalnya dibagi-bagi terlebih dahulu menjadi pias-pias kecil, kemudian
perhitungan dilakukan di masing-masing pias sebelum ditelusuri menjadi satu, seperti studi yang
sebelumnya dilakukan oleh Liu, et al., (2006). Perhitungan dilakukan dengan persamaan kinematic wave.
(11)
(12)
(13)
(14)
Kriteria Evaluasi
Proses kalibrasi model dilakukan secara manual dengan menngiterasi nilai parameter model hingga
mendapatkan kecocokan terbaik yang mungkin didapatkan antara debit yang dihasilkan melalui
perhitungan dan pencatatan, baik dilihat secara kasat mata ataupun secara kuantitatif. Dalam melakukan
proses ini, fungsi tujuan yang digunakan untuk menilai hasil kalibrasinya adalah Nash-Sutcliffe dan relative
error, yang dihitung berdasarkan persamaan di bawah ini:
(15)
(16)
Mengkombinasikan dua fungsi tujuan tersebut, diharapkan bahwa nilai parameter evaluasi Nash-Sutcliffe
yang dihasilkan mendekati satu, sedangkan sebaliknya, nilai relative error mendekati nol. Nilai satu pada
evaluasi Nash-Sutcliffe menunjukkan simulasi yang berhasil dalam mengestimasi debit rata-rata,
sedangkan nilai nol pada relative error menunjukkan deviasi nol antara hasil simulasi dan pencatatan.
DISCHARGE (M3/S)
16
14
12
10
8
6
4
2
1
6
11
16
21
26
31
36
41
46
51
56
61
66
71
76
81
86
91
96
101
106
111
116
121
126
131
136
141
146
151
156
161
166
171
176
181
186
191
196
201
206
211
216
221
226
231
236
241
246
251
256
261
266
271
276
281
286
291
296
301
306
311
316
321
326
331
336
341
346
351
356
361
DAY
Observed Runoff
Simulated Runoff
1
6
11
16
21
26
31
36
41
46
51
56
61
66
71
76
81
86
91
96
101
106
111
116
121
126
131
136
141
146
151
156
161
166
171
176
181
186
191
196
201
206
211
216
221
226
231
236
241
246
251
256
261
266
271
276
281
286
291
296
301
306
311
316
321
326
331
336
341
346
351
356
361
DISCHARGE (M3/S)
1
6
11
16
21
26
31
36
41
46
51
56
61
66
71
76
81
86
91
96
101
106
111
116
121
126
131
136
141
146
151
156
161
166
171
176
181
186
191
196
201
206
211
216
221
226
231
236
241
246
251
256
261
266
271
276
281
286
291
296
301
306
311
316
321
326
331
336
341
346
351
356
361
DISCHARGE (M3/S)
1
6
11
16
21
26
31
36
41
46
51
56
61
66
71
76
81
86
91
96
101
106
111
116
121
126
131
136
141
146
151
156
161
166
171
176
181
186
191
196
201
206
211
216
221
226
231
236
241
246
251
256
261
266
271
276
281
286
291
296
301
306
311
316
321
326
331
336
341
346
351
356
361
DISCHARGE (M3/S)
1
6
11
16
21
26
31
36
41
46
51
56
61
66
71
76
81
86
91
96
101
106
111
116
121
126
131
136
141
146
151
156
161
166
171
176
181
186
191
196
201
206
211
216
221
226
231
236
241
246
251
256
261
266
271
276
281
286
291
296
301
306
311
316
321
326
331
336
341
346
351
356
361
DISCHARGE (M3/S)
10
1972
Observed Runoff
DAY
Observed Runoff
18
1973
16
14
12
10
Observed Runoff
DAY
Simulated Runoff
30
1974
25
20
15
10
Observed Runoff
DAY
Simulated Runoff
1975
DAY
Simulated Runoff
1
6
11
16
21
26
31
36
41
46
51
56
61
66
71
76
81
86
91
96
101
106
111
116
121
126
131
136
141
146
151
156
161
166
171
176
181
186
191
196
201
206
211
216
221
226
231
236
241
246
251
256
261
266
271
276
281
286
291
296
301
306
311
316
321
326
331
336
341
346
351
356
361
DISCHARGE (M3/S)
1
6
11
16
21
26
31
36
41
46
51
56
61
66
71
76
81
86
91
96
101
106
111
116
121
126
131
136
141
146
151
156
161
166
171
176
181
186
191
196
201
206
211
216
221
226
231
236
241
246
251
256
261
266
271
276
281
286
291
296
301
306
311
316
321
326
331
336
341
346
351
356
361
DISCHARGE (M3/S)
1
6
11
16
21
26
31
36
41
46
51
56
61
66
71
76
81
86
91
96
101
106
111
116
121
126
131
136
141
146
151
156
161
166
171
176
181
186
191
196
201
206
211
216
221
226
231
236
241
246
251
256
261
266
271
276
281
286
291
296
301
306
311
316
321
326
331
336
341
346
351
356
361
DISCHARGE (M3/S)
1
6
11
16
21
26
31
36
41
46
51
56
61
66
71
76
81
86
91
96
101
106
111
116
121
126
131
136
141
146
151
156
161
166
171
176
181
186
191
196
201
206
211
216
221
226
231
236
241
246
251
256
261
266
271
276
281
286
291
296
301
306
311
316
321
326
331
336
341
346
351
356
361
DISCHARGE (M3/S)
14
1976
12
8
10
Observed Runoff
DAY
Observed Runoff
Simulated Runoff
20
1977
18
16
14
12
10
Observed Runoff
DAY
Simulated Runoff
12
1978
10
Observed Runoff
DAY
Simulated Runoff
10
1979
DAY
Simulated Runoff
1
6
11
16
21
26
31
36
41
46
51
56
61
66
71
76
81
86
91
96
101
106
111
116
121
126
131
136
141
146
151
156
161
166
171
176
181
186
191
196
201
206
211
216
221
226
231
236
241
246
251
256
261
266
271
276
281
286
291
296
301
306
311
316
321
326
331
336
341
346
351
356
361
DISCHARGE (M3/S)
1
6
11
16
21
26
31
36
41
46
51
56
61
66
71
76
81
86
91
96
101
106
111
116
121
126
131
136
141
146
151
156
161
166
171
176
181
186
191
196
201
206
211
216
221
226
231
236
241
246
251
256
261
266
271
276
281
286
291
296
301
306
311
316
321
326
331
336
341
346
351
356
361
DISCHARGE (M3/S)
1
6
11
16
21
26
31
36
41
46
51
56
61
66
71
76
81
86
91
96
101
106
111
116
121
126
131
136
141
146
151
156
161
166
171
176
181
186
191
196
201
206
211
216
221
226
231
236
241
246
251
256
261
266
271
276
281
286
291
296
301
306
311
316
321
326
331
336
341
346
351
356
361
DISCHARGE (M3/S)
1
6
11
16
21
26
31
36
41
46
51
56
61
66
71
76
81
86
91
96
101
106
111
116
121
126
131
136
141
146
151
156
161
166
171
176
181
186
191
196
201
206
211
216
221
226
231
236
241
246
251
256
261
266
271
276
281
286
291
296
301
306
311
316
321
326
331
336
341
346
351
356
361
DISCHARGE (M3/S)
14
1980
12
10
Observed Runoff
DAY
Observed Runoff
14
1981
12
10
Observed Runoff
DAY
Simulated Runoff
1982
DAY
Observed Runoff
Simulated Runoff
30
1983
25
20
15
10
DAY
Simulated Runoff
1984
50
45
DISCHARGE (M3/S)
40
35
30
25
20
15
10
5
1
6
11
16
21
26
31
36
41
46
51
56
61
66
71
76
81
86
91
96
101
106
111
116
121
126
131
136
141
146
151
156
161
166
171
176
181
186
191
196
201
206
211
216
221
226
231
236
241
246
251
256
261
266
271
276
281
286
291
296
301
306
311
316
321
326
331
336
341
346
351
356
361
DAY
Observed Runoff
Simulated Runoff
1985
35
DISCHARGE (M3/S)
30
25
20
15
10
5
1
6
11
16
21
26
31
36
41
46
51
56
61
66
71
76
81
86
91
96
101
106
111
116
121
126
131
136
141
146
151
156
161
166
171
176
181
186
191
196
201
206
211
216
221
226
231
236
241
246
251
256
261
266
271
276
281
286
291
296
301
306
311
316
321
326
331
336
341
346
351
356
361
DAY
Observed Runoff
Simulated Runoff
1986
14
DISCHARGE (M3/S)
12
10
8
6
4
2
1
6
11
16
21
26
31
36
41
46
51
56
61
66
71
76
81
86
91
96
101
106
111
116
121
126
131
136
141
146
151
156
161
166
171
176
181
186
191
196
201
206
211
216
221
226
231
236
241
246
251
256
261
266
271
276
281
286
291
296
301
306
311
316
321
326
331
336
341
346
351
356
361
DAY
Observed Runoff
Simulated Runoff
Secara kasat mata, simulasi model Xinanjiang memberikan hasil yang sangat baik karena hanya terdapat
sedikit perbedaan antara debit simulasi dan pencatatan, terutama dari pola naik turunnya debit. Secara
umum, besaran nilai debit yang dihasilkan pun cukup baik. Penilaian secara kuantitatif dengan evaluasi
Nash-Sutcliffe dan relative error memberikan nilai seperti dapat dilihat pada Tabel 2 berikut.
Tabel 2 Nilai Evaluasi Simulasi
Tahun
1971
1972
1973
1974
1975
1976
1977
10
Nash-Sutcliffe
0.83502
0.77686
0.56944
0.81488
0.81997
0.35591
-1.38926
Relative Error
0.09863
0.01239
0.02668
0.06438
0.00430
0.00118
0.29617
1978
1979
1980
1981
1982
1983
1984
1985
1986
0.71592
0.58711
0.21890
0.54429
0.77485
0.69214
0.62114
0.16006
0.38969
0.06203
0.7721
0.02512
0.06014
0.05583
0.02576
0.05549
0.08827
0.06111
Secara umum, hasil dari evaluasi yang ada menunjukkan hasil yang memuaskan, terutama dari nilai
relative error. Terlepas dari hasil yang kurang memuaskan di tahun 1977, nilai Nash-Sutcliffe berkisar
pada nilai 0.59174 dan relative error berkisar pada nilai 0.04790. Pada beberapa tahun seperti 1973,
1976, 1979, 1980, 1981, 1985 dan 1986, nilai Nash-Sutcliffe berada di bawah 0.60, namun nilai relative
error mengkompensasi dengan hasil yang sangat memuaskan. Di seluruh tahun selain 1977, nilai relative
error selalu kurang dari 0.1, yang menunjukkan hasil simulasi yang sangat baik. Hanya pada tahun 1977,
nilai dari Nash-Sutcliffe dan relative error berturut-turut adalah -1.38926 dan 0.29617. Secara visual, hasil
tersebut dikarenakan kegagalan model Xinanjiang untuk mensimulasi respon dari DAS terhadap hujan
yang ada. Pola aliran yang didapat cukup berbeda dengan hasil pencatatan, dan terutama kegagalan
model dalam mensimulasi debit tinggi memberikan pengaruh yang cukup besar. Simpulan dari proses
kalibrasi manual tahunan ini, simulasi menggunakan model Xinanjiang dapat diterima dan dapat
diandalkan untuk diaplikasikan sesuai kebutuhan hidrologi.
Pembahasan Nilai Parameter Terkalibrasi
Pada bagian ini, pembahasan mengenai hasil kalibrasi parameter model dievaluasi. Tentu saja,
mendapatkan parameter model pada suat DAS tidak berarti bahwa pemahaman mengenai karakteristik
DAS secara menyeluruh telah didapatkan; pembahasan dan pengertian mengenai arti dari nilai-nilai
parameter menjadi lebih penting daripada hanya menampilkan suatu angka. Pada Tabel 3 dapat dilihat
kompilasi dari nilai parameter tiap-tiap tahun berdasarkan proses kalibrasi parameter yang sudah
dilakukan.
Dari Tabel 3 di bawah, dapat dilihat bahwa secara relatif, mayoritas nilai parameter yang digunakan untuk
mendapatkan simulasi yang terbaik tidak banyak berubah, yang juga menunjukkan stabilitas parameter
model Xinanjiang dalam memodelkan fenomena hidrologi di DAS Jiangwan. Parameter yang tidak
berubah adalah parameter yang berhubungan dengan evapotranspirasi (K dan C), penghasilan limpasan
(B, WM, IM), pemisahan limpasan (SM, Ex) dan parameter penelusuran aliran (CS dan L). Namun,
terdapat juga beberapa parameter yang nilainya berubah, yaitu KG, KI, CG dan CI; di mana semua
parameter tersebut berhubungan dengan aliran di bawah permukaan. Terlebih lagi, terdapat dua
komponen yang juga berubah nilainya yaitu WUM dan WLM, dan perubahan yang ada terjadi hanya pada
periode antara tahun 1975 dan 1978.
Tabel 3. Kompilasi Nilai Parameter Model Xinanjiang
Tahun
1971
1972
1973
1974
1975
1976
1977
1978
1979
1980
K
0.98
0.98
0.98
0.98
0.98
0.98
0.98
0.98
0.98
0.98
C
0.2
0.2
0.2
0.2
0.2
0.2
0.2
0.2
0.2
0.2
B
0.1
0.1
0.1
0.1
0.1
0.1
0.1
0.1
0.1
0.1
WM
130
130
130
130
130
130
130
130
130
130
WUM WLM
60
40
20
80
20
80
60
40
34
66
35
65
90
10
60
40
60
40
60
40
IM
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
SM
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
Ex
1.2
1.2
1.2
1.2
1.2
1.2
1.2
1.2
1.2
1.2
KG
0.05
0.05
0.05
0.05
0.25
0.20
0.05
0.05
0.05
0.05
KI
0.05
0.05
0.05
0.05
0.25
0.20
0.05
0.05
0.05
0.05
CG
0.45
0.45
0.45
0.45
0.25
0.40
0.45
0.45
0.45
0.45
CI
0.45
0.45
0.45
0.45
0.35
0.40
0.45
0.45
0.45
0.45
CS
0.5
0.5
0.5
0.5
0.5
0.5
0.5
0.5
0.5
0.5
L
0.6
0.6
0.6
0.6
0.6
0.6
0.6
0.6
0.6
0.6
11
1981
1982
1983
1984
1985
1986
0.98
0.98
0.98
0.98
0.98
0.98
0.2
0.2
0.2
0.2
0.2
0.2
0.1
0.1
0.1
0.1
0.1
0.1
130
130
130
130
130
130
60
60
60
60
60
60
40
40
40
40
40
40
0
0
0
0
0
0
5
5
5
5
5
5
1.2
1.2
1.2
1.2
1.2
1.2
0.05
0.05
0.05
0.05
0.05
0.05
0.05
0.05
0.05
0.05
0.05
0.05
0.45
0.45
0.45
0.45
0.45
0.45
0.45
0.45
0.45
0.45
0.45
0.45
0.5
0.5
0.5
0.5
0.5
0.5
0.6
0.6
0.6
0.6
0.6
0.6
100.00
90.00
80.00
Component Value
70.00
60.00
50.00
40.00
30.00
20.00
10.00
0.00
1971
1973
1975
1977
1979
1981
1983
1985
1979
1981
1983
1985
Year
0.50
0.45
0.40
Parameter Value
0.35
0.30
0.25
0.20
0.15
0.10
0.05
0.00
1971
1973
1975
1977
Year
Perubahan yang terjadi pada komponen WUM dan WLM dari tahun ke tahun sebenarnya mendukung
fakta yang ada mengenai perubahan empat parameter lainnya; dan kesemuanya berhubungan dengan
aliran antara dan aliran air tanah. Melihat penyebaran parameter dan perubahannya, maka disimpulkan
bahwa simulasi model Xinanjiang pada bagian presipitasi, infiltrasi, evapotranspirasi dan limpasan
permukaan sudah stabil pada model Xinanjiang yang diterapkan di DAS Jiangwan. Namun, pola
pengaliran di bawah permukaan memberikan parameter yang cukup berfluktuasi, yang didukung oleh
kondisi geologi DAS Jiangwan seperti sebelumnya diteliti oleh Le, et al. (2014). Patahan-patahan yang
ditemukan pada pengamatan lapangan akan menyebabkan terjadinya kehilangan air permukaan ke
lapisan bawah permukaan. Fakta inilah yang kemudian menyebabkan adanya perbuahan parameter dan
komponen yang ada. Terlebih lagi, perubahan yang terjadi tidak begitu signifikan; perubahan hanya terjadi
di tahun-tahun tertentu, dengan kapasitas total maksimum yang tetap.
Pembahasan Debit Tinggi dan Debit Rendah
Terkait dengan peramalan debit, maka hal penting yang menjadi latar belakang diperlukannya informasi
tersebut adalah pengelolaan bencana terutama menghadapi banjir (debit tinggi) dan kekeringan (debit
rendah). Maka dari itu, bagian ini secara khusus membahas kemampuan model Xinanjiang untuk
mengestimasi baik debit tinggi ataupun debit rendah yang terjadi di DAS Jiangwan. Gambar 6 di bawah
menunjukkan nilai debit tertinggi tahunan hasil simulasi (garis biru) dan hasil pengamatan (garis merah).
Tabel 4 di bawahnya memberikan informasi kuantitatif evaluasi debit tinggi. Hal yang sama dilakukan
untuk debit rendah, dengan Gambar 7 menampilkan hasil plotting debit andal dengan tingkat keandalan
50% hingga 75%, dan hasilnya secara kuantitatif dapat dilihat di Tabel 5.
12
50
45
40
Flow (m3/s)
35
30
25
20
15
10
5
0
1970
1972
1974
1976
1978
1980
1982
1984
1986
1988
Year
Tahun
1971
1972
1973
1974
1975
1976
1977
1978
1979
1980
1981
1982
1983
1984
1985
1986
Duration Curve
Penyimpangan
31.03%
16.67%
4.52%
25.88%
14.75%
115.79%
10.53%
39.39%
28.17%
17.92%
34.78%
11.59%
32.14%
42.30%
54.98%
50.57%
0.16
0.14
Flow (m3/s)
0.12
0.10
0.08
0.06
0.04
0.02
0.00
Q50
Q55
Q60
Q65
Observed Flow
Q70
Q75
Flow Probability
Q80
Q85
Q90
Q95
Xinanjiang Simulation
13
Q50
Q55
Q60
Q65
Q70
Penyimpangan
13.33%
0.00%
0.00%
14.29%
40.00%
KESIMPULAN
Pada studi ini, stabilitas model Xinanjiang dalam melakukan simulasi aliran air di DAS Jiangwan yang
secara relatif tidak berubah diamati. Selain itu, sebagai pengamatan tambahan, hubungan antara
karakteristik geologi dengan parameter model Xinanjiang juga diamati. Dari pekerjaan-pekerjaan tersebut,
maka beberapa kesimpulan dapat ditarik sebagai berikut:
Dengan menggunakan model Xinanjiang untuk melakukan analisis hidrologi terkait model hubungan hujan
limpasan di DAS Jiangwan didapatkan hasil yang memuaskan, baik secara kasat mata ataupun
secara kuantitatif. Hasil evaluasi terbaik adalah nilai Nash-Sutcliffe pada nilai 0.83502 (tahun 1971)
dan relative error pada nilai 0.00118 (tahun 1976).
Simulasi terburuk yang didapatkan ada pada tahun 1977, dengan nilai Nash-Sutcliffe dan relative error
berturut-turut -1.38925 dan 0.29617. Namun, kalibrasi yang dilakukan secara manual tidak dapat
memberikan hasil yang lebih optimum lagi. Secara visual, respon limpasan terhadap hujan sudah
terlihat baik, namun hasil simulasi menunjukkan nilai yang terlambau tinggi.
Dari seluruh hasil kalibrasi dan simulasi, secara umum parameter model Xinanjiang ditemui stabil, sesuai
dengan karakteristik hidrologi di DAS Jiangwan. Parameter yang tidak berubah adalah parameter
evapotranspirasi (K dan C), parameter penghasilan limpasan (B, WM, IM), parameter pemisahan
limpasan (SM, Ex) dan parameter penelusuran (CS dan L).
Terdapat 4 parameter dan 2 komponen yang berubah selama periode kalibrasi, yaitu KG, KI, CG, CI WUM
dan WLM. Dari pengamatan perubahan nilai tersebut, dapat dilihat bahwa perubahan parameter yang
ada sesuai dengan kondisi DAS Jiangwan, di mana kondisi geologi DAS Jiangwan menyebabkan
adanya aliran dari limpasan permukaan menuju lapisan bawah.
Perubahan WUM dan WLM mendukung perubahan parameter KG, KI, CG dan CI yang terjadi. Baik
diperhatikan juga bahwa total kapasitas penyimpanan air (WM) tidak berubah, komponen WUM dan
WLM terkait satu dengan lainnya dengan jumlah yang konsisten. Hal tersebut mengindikasikan
variasi yang terjadi di bawah permukaan tanah, di saat aliran akhir menuju sungai utama tetap sama.
Menimbang informasi geologi DAS Jiangwan yang memiliki beberapa patahan di bawah lapisan
permukaan tanah, hasil studi ini memberikan hasil yang sesuai dengan kondisi DAS yang
sesungguhnya. Dapat disimpulkan bahwa model Xinanjiang tidak hanya stabil untuk digunakan, tetapi
juga dapat menggambarkan keadaan DAS Jiangwan dengan baik.
Debit tinggi tahunan yang dihasilkan melalui simulasi memberikan penyimpangan yang cukup berarti
ketika dibandingkan dengan debit tinggi pencatatan, dengan rata-rata penyimpangan sebesar
39.05%. Penyimpangan terbesar ditemukan pada tahun 1976 dengan debit hasil simulasi dan
pencatatan berturut-turut adalah 12.30 m3/s dan 5.74 m3/s. Sebaliknya, hasil memuaskan terdapat
pada simulasi tahun 1973 dengan debit simulasi dan pencatatan berturut-turut adalah 16.20 m3/s dan
15.50 m3/s.
Debit rendah dari hasil kurva durasi mengindikasikan kemampuan model Xinanjiang dalam
menggambarkan keadaan yang terjadi. Karena tipe sungai pada DAS Jiangwan diketahui adalah
sungai tipe ephemeral, yaitu sungai yang mengalir hanya pada musim basah, hasil simulasi yang ada
14
hanya dilakukan hingga debit dengan keandalan 70%. Penyimpangan hamper 0% ditemukan pada
debit dengan keandalan berkisar antara 55% hingga 60%.
REFERENSI
Bronster, A., Niehoff, D., Burger, G. (2002). Effects of Climate and Land Use Change on Storm Runoff
Generation: Present Knowledge and Modeling Capabilities. Hydrological Processes. 16, 509-529.
DOI: 10.1002/hyp.326Hu, T. and Desai, J.P. (2004) Soft-Tissue Material Properties under Large
Deformation: Strain Rate Effect. Proceedings of the 26th Annual International Conference of the
IEEE EMBS, San Francisco, 1-5 September 2004, 2758-2761.
Cheng, C.T., Ou, C.P., Chau, K.W. (2002). Combining a Fuzzy Optimal Model with A Generic Algorithm
to Solve Multi-Objective Rainfall-Runoff Model Calibration. Journal of Hydrology 268 (2002) 72-86
Gan, T.Y., Dlamini, E.M., Biftu, G.F. (1997). Effects of Model Complexity and Structure, Data Quality and
Objective Functions on Hydrologic Modelling. Journal of Hydrology 192 (1997) 81-103
Jayawardena, A.W., Zhou, M.C. (2000). A Modified Spatial Soil Moisture Storage Capacity Distribution
Curve for the Xinanjiang Model. Journal of Hydrology 227 (2000) 93-113
Kuok, K.K., Chan, C.P. (2012). Particle Swarm Optimization for Calibrating and Optimizing Xinanjiang
Model Parameters. International Journal of Advanced Computer Science and Applications, Vol. 3,
No. 9, 2012
Li, H.X., Zhang, Y.Q., Francis, H.S.C. and Xu, S.G. (2009). Predicting Runoff in Ungauged Catchments
by Using Xinanjiang Model with MODIS Leaf Area Index. Journal of Hydrology 370, 155-162
Liden, R. And Harlin, J. (2000),Analysis of Conceptual Rainfall-Runoff Modelling Performance in Different
Climates, Journal of Hydrology, 238, 231-247
Liu, J.T., Chen, X., Zhang, J.B., and Flury, M. (2009). Coupling the Xinanjiang Model to a Kinematic Flow
Model Based On Digital Drainage Networks for Flood Forecasting. Wiley InterScience DOI:
10.1002/hyp.7255
Liu, J.T., Chen, X., Wu, J.C., Zhang, X.N., Feng, D.Z. and Xu, C.-Y. (2012). Grid Parameterization of a
Conceptual, Distributed Hydrological Model through Integration of a Sub-Grid Topographic Index:
Necessity and Practicability. Hydrological Sciences Journal, 57 (2), 282297
Manfreda, S., Fiorentino, M. (2008). A Stochastic Approach for the Description of the Water Balance
Dynamics in a River Basin. Hydrology and Earth System Sciences. 12, 1189-1200
Troch, P., van Loon, E., Hilberts, A. (2002). Analytical Solutions to a Hillslope Storage Kinematic Wave
Equation for Sub-Surface Flow. Advances in Water Resources 25(6). DOI: 10.1016/S03091708(02)00017-9
World Meteorological Organization. (2009). Manual on Low-Flow Estimation and Prediction. Operational
Hydrology Report No. 50. WMO-No. 1029. Koblenz, German.
Zhao, R.J., Zuang, Y.L., Fang, L.R., Liu, X.R., Zhang, Q.S. (1980). The Xinanjiang Model. Proceedings
of the Oxford Symposium, IAHS AISH Publ. no. 129
15
Abstrak
Situ Gede merupakan salah satu situ yang berada di Kota Tangerang, Propinsi Banten. Situ ini berfungsi
sebagai pengendali banjir dan juga pemasok cadangan air tanah. Seperti kebanyakan situ lainnya yang
berada di Kota Tangerang, Situ Gede mengalami kerusakan berupa penurunan kualitas air, penyusutan
luasan lahan dan pendangkalan yang meningkatnya aktivitas penduduk di sekitar areal sempadan situ.
Langkahawal untuk melakukan konservasi situ adalah dengan melakukan evaluasi untuk mengetahui
tingkat kerusakan dan penyebab terjadinya pencemaran dan kerusakan pada situ ini dengan cara
melakukan kaian terhadap morfologi, kualitas air, tata air, pertumbuhan gulma dan kondisi bantaran situ.
Hasil dari evaluasi ini diharapkan dapat mengetahui akar masalah penyebab terjadinya kerusakan dan
pencemaran terhadap situ sehingga dapat ditentukan langkah pengelolaan yang tepat untuk dijadikan
bahan masukan bagi pengambil kebijakan dalam upaya pengelolaan dan pelestarian dari situ. Penelitian
ini dilakukan dengan metode analisis deskriptif berdasarkan data primer yang diperoleh melalui
pengukuran dan observasi lapangan yang didukung oleh data sekunder yang berasal dari instansi terkait
di Kota Tangerang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas air Situ Gede sudah tidak memenuhi
baku mutu PP No 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air
karena terdapat lima parameter yang tidak memenuhi baku mutu tersebut yaitu: Dissolved Oxygen (DO),
Biochemical Oxygen Demand (BOD5), Chemical Oxygen Demand (COD), Total Fosfat, Surfaktan Anion
(Methylene Blue Active Subtance /MBAS) dengan Indeks Pencemaran (IP) mengalami penurunan dari
tercemar ringan pada tahun 2009 menjadi tercemar sedang dengan rentang nilai 6,01-7,45. serta terjadi
penyusutan luas situ dari 6,8 Ha tahun 2009 menjadi 5,4 Ha. Kondisi bantaran situ pun telah mengalami
perubahan saat ini Situ Gede berada dalam penguasaan Perumahan Modern Land yang menyebabkan
kondisi situ lebih terawat dibanding sebelumnya.
Kata Kunci: Evaluasi, Kerusakan, Situ Gede, Tangerang
LATAR BELAKANG
Keberadaan situ sangat penting dan dibutuhkan bagi keberlangsungan tersedianya cadangan air pada
musim kemarau dan sebagai kawasan resapan air sehingga diharapkan dapat meningkatkan cadangan
air tanah serta mengendalikan banjir pada musim penghujan. Situ juga dapat berfungsi sebagai sumber
mata pencaharian dan sebagai objek wisata bagi masyarakat. Mengingat pentingnya keberadaan situ,
maka harus dilakukan upaya konservasi agar situ bisa berfungsi dengan optimal.
Jumlah situ yang berada di Kota Tangerang semula sebanyak 9 situ, saat ini yang tersisa hanya 6 buah
situ, 3 situ yang telah hilang yaitu Situ Plawad, Situ Kompeni dan Situ Kambing. Ketiga situ itu telah
menjadi tanah lapang dan dijadikan kawasan pemukiman penduduk. Kondisi situ yang ada telah
mengalami penurunan fungsi dan menyusut misalnya Situ Cipondoh yang semula luasnya 142 Ha, saat ini
telah menjadi 119,43 Ha. Demikian juga situ yang lainnya yaitu Situ Bulakan luas semula 30 hektar,
menjadi 21,90 Ha, Situ Cangkring luas semula 6 Ha menjadi 5,17 Ha, Situ Gede/Besar yang luas`semula
6,8 Ha turun menjadi 5,06 Ha. Dua buah situ lainnya, yaitu Situ Bojong dan Situ Kunciran yang semula
luasnya masing-masing 6 Ha dan 3 Ha, turun drastis menjadi masing-masing 0,6 Ha dan 0,3 Ha. Ini
artinya hanya tinggal 10 % dari luas semula (SLH Kota Tangerang, 2011).
16
Enam situ yang ada di Kota Tangerang selain mengalami penyusutan luas juga telah mengalami
degradasi akibat dari penyempitan luasan/badan air situ, pendangkalan, serta alih fungsi lahan. Kondisi ini
berdampak pada tidak optimalnya fungsi situ sebagai pengendali banjir, yang antara lain ditunjukan dari
semakin meluasnya lokasi, tinggi dan lamanya genangan banjir yang terjadi di Kota Tangerang (SLH
Kota Tangerang, 2009). Apabila hal ini terus berlanjut tanpa adanya upaya penanganan yang serius maka
kemungkinan besar Kota Tangerang akan mengalami krisis sumberdaya air dan ancaman banjir yang tak
terkendali dimasa yang akan datang.
Situ Gede atau yang biasa disebut Situ Besar yang merupakan lokasi studi berada di Kelurahan Cikokol,
Kecamatan Tangerang, Kota Tangerang merupakan salah satu situ prioritas untuk diperbaiki kondisinya.
Situ ini berada di tengah kota dan merupakan situ dengan luasan sebesar 5,4 Ha. Saat ini Situ Gede
berfungsi sebagai buangan limbah dari rumah tangga (pemukiman), penampungan air, budidaya ikan dan
kolam pemancingan.
Penelitian ini dilakukan dengan maksud melakukan evaluasi mengenai kualitas air Situ Gede yang
bertujuan untuk mengetahui kondisi kualitas air situ terkini, mengetahui factor-faktor yang mempengaruhi
kualitas air, mengevaluasi status mutu perairan dan tingkat kerusakannya, serta memberikan rekomendasi
upaya pengelolaan dan pelestarian sebagai masukan bagi pihak yang berwenang dalam mengambil
kebijakan dalam upaya pelestarian daripada Situ Gede.
Penelitian ini dibatasi oleh ruang lingkup sebagai berikut:
1. Data primer merupakan data yang diberoleh melalui observasi serta pengukuran lapangan mengenai
kualitas air di Situ Gede yaitu: kekeruhan, Total Suspended Solid (TSS), pH, Dissolved Oxygen (DO),
Biochemical Oxygen Demand (BOD5), Chemical Oxygen Demand (COD), Fosfat, Nitrit, Bakteri
Coliform;
2. Data sekunder yang diteliti meliputi: nama situ, alamat/wilayah administrasi, kelembagaan situ, foto,
peta, jumlah penduduk sekitar situ, jenis pemanfaatan perairan situ, tipe pembentukan dan
kepemilikan, fungsi situ, luas dan kedalaman situ, kondisi tata air (kondisi air, sumber air, inlet dan
outlet), kondisi pencemaran, kondisi penggunaan lahan sekitar situ, situ (pendangkalan/sedimentasi,
eutrofikasi, konversi lahan, kualitas air), keberadaan flora dan fauna, permasalahan serta penilaian
kondisi situ (berdasarkan kriterian kerusakan situ)
METODOLOGI STUDI
Penelitian ini dimulai dengan melakukan studi literatur yaitu pengumpulan teori atau pustaka yang
berkaitan dengan penelitian seperti: pengertian situ, fungsi dan potensi situ, ekosistem perairan situ,
klasifikasi situ, pencemaran perairan situ, eutrofikasi situ, dan gulma air yang diperoleh dari text book,
karya ilmiah, dan browsing melalui media internet.
Setelah melakukan studi literatur selanjutnya dilakukan pengumpulan data sekunder berupa: nama situ,
alamat/wilayah administrasi, kelembagaan situ, foto, peta, jumlah penduduk sekitar situ, jenis
pemanfaatan perairan situ, tipe pembentukan dan kepemilikan, fungsi situ, luas dan kedalaman situ,
kondisi tata air (kondisi air, sumber air, inlet dan outlet), kondisi pencemaran, kondisi penggunaan lahan
sekitar situ, situ (pendangkalan/sedimentasi, eutrofikasi, konversi lahan, kualitas air), keberadaan flora
dan fauna, permasalahan serta penilaian kondisi situ (berdasarkan kriterian kerusakan situ) sedangkan
data primer yang dibutuhkan adalah kualitas air situ dan kondisi pertumbuhan gulma air.
Langkah untuk mengetahui kualitas air dari Situ Gede ini, yaitu dengan melakukan kegiatan sampling
kualitas air yang dilaksanakan pada tanggal 22 Nopember 2011 terhadap lima titik sampling seperti yang
disajikan pada Gambar 1. Penentuan lokasi titik sampling, pengawetan sampel, serta metode pengukuran
parameter kualitas air sesuai baku mutu Peraturan Pemerintah No 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan
Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.
Lokasi 5 (lima) titik sampling yaitu: Titik 1 berada di dekat Apartemen Modern dengan posisi S 0611'95.6",
E. 106 38' 26,2" Titik 2 dekat Mall Metropolis dengan posisi S 0611'87.4" , E. 106 38' 16,9", Titik 3
17
berada dekat STMIK Raharja yang terletak pada posisi LS. 06 11 73,6 BT. 106 3803,3, Titik
berada dekat Restoran Telaga Modern yang terletak pada posisi LS. 06 11 93,5 BT. 106 3819,8,
dan Titik 6 berada pada bagian Tengah Situ Gede yang terletak pada posisi S. 06 12 014 E. 106
38 24,5, penentuan titik sampling berdasarkan lokasi pengukuran rutin oleh BPLH Kota Tangerang.
Parameter air yang dianalisis merupakan parameter yang dianggap mewakili atau menggambarkan
kondisi kualitas air Situ Gede, diantaranya adalah; suhu, kekeruhan, derajat keasaman (pH), residu
tersuspensi (TSS), oksigen terlarut (DO), Chemical oxygen demand (COD), Biological oxygen demand
(BOD), Nitrit (NO2-), Ortofosfat (PO4-), Bakteri Coli dan Colifecal. Adapun titik pengambilan sampel
ditentukan dengan cara melihat bagian dari situ yang banyak ditempati penduduk atau pada bagian yang
paling banyak menerima pencemar yang berasal dari luar situ seperti pemukiman, pertanian dan hotel,
serta lokasi kegiatan keramba jaring apung (Purposive Sampling). Penentuan titik-titik pengambilan
contoh air di situ dengan pertimbangan bahwa lokasi pengambilan sampel air diduga sebagai aliran
limbah dari berbagai kegiatan aktivitas penduduk yang mengalir ke perairan situ.
Sampel air diambil dengan menggunakan botol kaca yang sudah dicuci dan dibersihkan terlebih dahulu.
Parameter DO, pH dan suhu langsung diukur ditempat dengan menggunakan alat masing masing DO
meter, pH meter, dan Thermometer. Sedangkan parameter yang harus diukur di laboratorium di awetkan
dengan cara didinginkan dengan menggunakan es batu dan disimpan dalam kotak pendingin (Cooler
Box). Khusus untuk parameter COD sampel air sebelumnya ditambahkan asam H2SO4 sehingga pH
menjadi 2 lalu disimpan dalam kotak pendingin. Tabel 1 menjabarkan metoda pengujian kualitas air di
laboratorium Teknik Lingkungan Itenas.
Data mengenai kedalaman dan luasan situ diperoleh dari instansi terkait di Kota Tangerang yaitu Balai
Besar Wilayah Sungai (BBWS) Cisadane-Ciliwung serta Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH)
Kota Tangerang, sedangkan luasan tutupan gulma air diperoleh adalah dengan cara melihat persentase
penutupan gulma terhadap luasan situ.
18
Parameter
Satuan
Baku Mutu
oC
Deviasi 3
Kekeruhan
NTU
TSS
mg/L
50
Acuan
Pengawetan
Metoda Uji
SNI 066989.3:2009
SNI 066989.:2009
SNI 06-6989.132004
SNI 066989.8:2009
In situ
Thermometri
Dinginkan
2oC
Dinginkan
2oC
Turbidimetri
In situ
Potensiometri
In situ
Potensiometri
Dinginkan
2oC
Dinginkan
2oC
Dinginkan
2oC
Dinginkan
2oC
Titrimetri
FISIKA
pH (in situ)
6--9
Gravimetri
KIMIA ANORGANIK
DO (in situ)
mg/L
BOD5
mg/L
COD
mg/L
25
Fosfat
mg/L
0,2
Nitrit
mg/L
MIKROBIOLOGI
Coliform
jumlah/100mL
SNI 066989.4:2009
SNI
6989.72:2009
SNI
6989.2:2009
0,06
SM 4500 - P.D
SNI 06-6989.92004
5000
SM 9221 B
Titrimetri
Fotometri
Fotometri
Dinginkan
Pengenceran/tabung
2oC
fermentasi
E.Coli
jumlah/100mL
1000
SM 9221 E
Dinginkan
Pengenceran/tabung
2oC
fermentasi
Metode penilaian kerusakan ekosistem situ ini menggunakan acuan kriteria penilaian kualitas situ
berdasarkan data ekosistem situ antara lain: morfologi situ, kualitas air situ, tata air situ, pertumbuhan
gulma air, dan kondisi bantaran situ. Penilaian status mutu air menggunakan metoda Indeks Pencemaran
(IP) air yang diatur dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.115 Tahun 2003. Metoda IP
ini berfungsi untuk mengetahui tingkat pencemaran yang terjadi pada suatu badan air. Pengelolaan
kualitas air atas dasar Indeks Pencemaran (IP) ini dapat memberi masukan pada pengambil keputusan
agar dapat menilai kualitas badan air untuk suatu peruntukan serta melakukan tindakan untuk
memperbaiki kualitas jika terjadi penurunan kualitas akibat kehadiran senyawa pencemar.
Perhitungan Metode Indeks Pencemaran Air menggunakan rumusan seperti yang dijelaskan pada uraian
berikut:
1. Pilih parameterparameter yang jika harga parameter rendah maka kualitas air akan membaik
Pilih konsentrasi parameter baku mutu yang tidak memiliki rentang
Hitung harga Cij/Lij untuk tiap parameter pada setiap lokasi pengambilan cuplikan
Untuk parameter yang jika nilai konsentrasinya menurun menyatakan tingkat pencemaran meningkat,
misal DO. Maka:
Tentukan nilai teoritik atau nilai maksimum Cim (misal untuk DO, nilai Cim merupakan nilai DO jenuh).
Nilai Cij/Lij hasil pengukuran digantikan oleh nilai Cij/Lij hasil perhitungan, yaitu :
Jika nilai baku Lij memiliki rentang, maka :
Lij baru
19
Lij baru
C L
L L
ij rata rata
ij min imum
Lij baru
ij rata rata
C L
L
ij rata rata
ij maksimum
ij rata rata
Keraguan timbul jika dua nilai (Ci/Lij) berdekatan dengan niali acuan 1,0, misal C1/L1j = 0,9 dan C2/L2j = 1,1
atau perbedaan yang sangat besar, misal C3/L3j = 5,0 dan C4/L4j = 10,0. maka tingkat kerusakan
badan air sulit ditentukan
Cara mengatasi kesulitan no.e yaitu:
a. Jika (C1/L1j)hasil pengukuran < 1,0 maka gunakan nilai (C1/L1j)hasil pengukuran
b. Jika C1/L1j)hasil pengukuran > 1,0 maka gunakan nilai (C1/L1j)baru , dimana:
c. (C1/L1j)baru = 1,0 + P.Log (C1/L1j)hasil pengukuran
Tentukan nilai rata rata dan nilai maksimum dari keseluruhan Ci/Lij
Tentukan harga PIj
PI j
Lij M Ci Lij R
2
Nilai PI
0 PIj 1,0
1,0 < PIj 5,0
5,0 < PIj 10
PIj > 10
20
Morfologi Situ
Morfologi situ adalah bentuk fisik dari situ yang terdiri dari luasan dan kedalaman dari situ. Situ Gede
berdasarkan data pada tahun 2005 memiliki luas 6,8 ha dengan rata-rata kedalaman 1 meter pada pinggir
situ dan yang paling dalam berada di tengah situ yaitu hingga 3 meter. Namun pengukuran pada tahun
2009 telah terjadi penyusutan luasan situ sebesar 25% dari luas awalnya, hingga saat ini luasan situ gede
hanya sebesar 5,4 ha dengan kedalaman rata-rata sekitar 60 cm pada pinggiran situ hingga 2 meter pada
bagian tengah (SLH Kota Tangerang, 2011). Penyusutan luasan Situ Gede diakibatkan oleh
pembangunan yang terjadi di sekitar areal bantaran situ. Sedangkan pendangkalan diakibatkan oleh
sampah dan limbah rumah tangga yang masuk ke dalam situ selain itu terjadi pula sedimentasi akibat air
hujan yang masuk membawa sedimen yang berasal dari bantaran situ. Penyusutan luasan situ ini
berdampak buruk bagi wilayah sekitar situ, dengan menyusutnya luasan situ maka akan mengurangi
kemampuan penampungan volume air sehingga dapat menyebabkan meluapnya air ke areal sempadan
situ pada musim penghujan.
Kondisi Bantaran Situ Gede
Bantaran situ adalah suatu area yang berkontribusi dalam pergerakan air yang masuk ke dalam situ,
sehingga area tersebut sangat dipengaruhi oleh bentuk rupa permukaan lahan dari area sekitar situ. Area
sebelah selatan dari Situ Gede lebih tinggi daripada sebelah utara, sehingga pergerakan air adalah dari
selatan ke Utara. Letak Situ Gede berada di tengah Kota Tangerang dengan tutupan lahan yang tinggi
diapit oleh Perumahan, Pertokoan, Jalan Raya, Mall, Pabrik dan Sarana Pendidikan seperti yang terlihat
pada Gambar 2 sampai dengan Gambar 5. Hal ini akan mempengaruhi debit limpasan air hujan yang
mengalir, akibatnya adalah debit limpasan air hujan akan menjadi tidak terkendali dan meluap ke areal
sempadan situ sehingga dapat menyebabkan banjir. Hal ini tentu saja akan menyebabkan masalah bagi
masyarakat yang tinggal disekitar bantaran situ. Situ Gede berada diantara tiga kelurahan yaitu Kelurahan
Cikokol, Kelurahan Kelapa Indah dan Kelurahan Babakan. Kondisi tutupan lahan yang berada di tiga
kelurahan tersebut disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Kondisi Tutupan Lahan Kelurahan Sekitar Bantaran Situ Gede
Kelurahan
Cikokol
Kelapa Indah
Babakan
21
22
23
Tingginya nilai BOD5 dan COD mengindikasikan bahwa perairan Situ Gede ini sudah tercemar oleh limbah
bahan organik. Limbah organik ini kemungkinan berasal dari kegiatan disekitar bantaran situ yang
membuang limbahnya ke situ seperti kegiatan perkantoran,budiidaya perikanan dan limbah yang berasal
dari rumah tangga yang masuk kebadan air mengkontribusi tingginya nilai BOD5 dan COD tersebut.
BOD5 adalah banyaknya oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme dalam lingkungan air untuk
mendegradasi materi buangan organik yang ada dalam air menjadi karbondioksida dan air secara
biokimia. Semakin besar kadar BOD5 dalam air merupakan indikasi bahwa perairan tersebut telah
tercemar, sebagai contoh adalah kadar maksimum BOD5 yang diperkenankan untuk kepentingan air
minum dan menopang kehidupan organisme akuatik adalah 3,06,0 mg/L (UNESCO/WHO/UNEP, 1992).
Berdasarkan Gambar 12 nilai BOD5 jauh melebihi baku mutu yang ditetapkan yaitu 3 mg/L, dimana nilai
BOD tertinggi terdapat pada titik Tengah yaitu sebesar 10 mg/L.
24
Kandungan Oksigen Terlarut (DO) di empat titik pantau telah memenuhi baku mutu yang ditetapkan yaitu
lebih besar dari 4 mg/L hanya di titik tengah danau yang konsentrasi DO tidak memenuhi baku mutu yaitu
sebesar 3,6 mg/L lebih kecil dari baku mutu yang ditetapkan.Tanpa adanya oksigen terlarut, banyak
mikroorganisme dalam air tidak dapat hidup karena oksigen terlarut digunakan untuk proses degradasi
senyawa organik dalam air. Oksigen dapat dihasilkan dari atmosfir atau dari reaksi fotosintesa algae.
Oksigen yang dihasilkan dari reaksi fotosintesa algae tidak efisien, karena oksigen yang terbentuk akan
digunakan kembali oleh algae untuk proses metabolisme pada saat tidak ada cahaya. Kelarutan oksigen
dalam air tergantung pada suhu dan tekanan atmosfir. Suhu dan tekanan, maka kalarutan oksigen jenuh
dalam air pada 25o C dan tekanan 1 atmosfir adalah 8,32 mg/L (Warlina, 1985).
Total Fosfat dan Surfaktan
Fosfat terdapat dalam air alam sebagai senyawa ortofosfat, polifosfat dan fosfat organis. Setiap senyawa
fosfat tersebut terdapat dalam bentuk terlarut, tersuspensi atau terikat di dalam sel organisme dalam air.
Di daerah pertanian ortofosfat berasal dari bahan pupuk yang masuk ke dalam situ melalui drainase dan
aliran air hujan. Polifosfat dapat memasuki situ melaui air buangan penduduk dan industri yang
menggunakan bahan detergen yang mengandung fosfat, seperti industri pencucian, industri logam dan
sebagainya.
25
Fosfatorganis terdapat dalam air buangan penduduk (tinja) dan sisa makanan. Fosfat organis dapat pula
terjadi dari ortofosfat yang terlarut melalui proses biologis karena baik bakteri maupun tanaman menyerap
fosfat untuk pertumbuhannya. Keberadaan senyawa fosfat dalam air sangat berpengaruh terhadap
keseimbangan ekosistem perairan.
Berdasarkan hasil pengukuran kandungan Total Fosfat diseluruh lokasi pemantauan tidak memenuhi baku
mutu yang ditetapkan seperti yang disajikan pada Gambar 12. Kandungan fosfat yang tinggi di badan air
menyebabkan nutrisi perairan menjadi subur dan memicu terjadinya algae blooming dan Eutrofikasi.
Eutrofikasi merupakan masalah lingkungan hidup yang diakibatkan oleh limbah fosfat (PO3-), khususnya
dalam ekosistem air tawar. Berdasarkan pengamatan di lapangan kandungan Fosfat yang tinggi di Situ
Gede berasal dari proses alamiah di lingkungan air itu sendiri (background source), industri, detergen,
pupuk pertanian, dan dari limbah manusia, karena Situ Gede berada di tengah-tengah pemukiman.
Surfaktan merupakan zat aktif permukaan yang termasuk bahan kimia organik. Ia memiliki rantai kimia
yang sulit didegradasi (diuraikan) alam. Sesuai namanya, surfaktan bekerja dengan menurunkan
tegangan air untuk mengangkat kotoran (emulsifier, bahan pengemulsi). Pada mulanya surfaktan hanya
digunakan sebagai bahan utama pembuat deterjen. Namun karena terbukti ampuh membersihkan
kotoran, maka banyak digunakan sebagai bahan pencuci lain. Dengan makin luasnya pemakaian
surfaktan sebagai bahan utama pembersih maka risiko bagi kesehatan dan lingkungan pun makin rentan.
Berdasarkan hasil pengukuran konsentrasi Surfaktan anion MBAS di semua titik pemantauan tidak sesuai
dengan baku mutu yang ditetapkan sebesar 0,2 mg/L seperti yang disajikan pada Gambar 13.
Konsentrasi Total Fosfat dan Surfaktan yang tidak memenuhi baku mutu menunjukkan bahwa Situ Gede
telah menerima pencemaran limbah domestik yang cukup besar
Gambar 12. Konsentrasi Surfaktan Anion (MBAS) di Situ Gede Kota Tangerang
26
berdasarkan Peraturan Pemerintah No 82 Tahun 2001 tentang tentang Pengelolaan Kualitas Air dan
Pengendalian Pencemaran seperti disajikan pada Tabel 4.
Berdasarkan Tabel 4 bahwa terjadi penurunan status kualitas air Situ Gede pada tahun 2011
dibandingkan dengan pengukuran sebelumnya pada tahun 2009 dimana kategori pencemaran Situ Gede
berada dalam kategori tercemar ringan dengan rentang nilai 3,13-4,46, sedangkan pada pengukuran
tahun 2011 indeks pencemarannya adalah tercemar sedang dengan rentang nilai 6,01-7,45. Hal ini tentu
saja menandakan bahwa dibandingkan dengan tahun 2009 Situ Gede mengalami penurunan kualitas
sehingga harus dilakukan upaya perlindungan dari pencemaran air terhadap situ ini.
Tabel 4. Perbandingan Indeks Pencemaran Tahun 2011 dan 2009
(Sumber: Hasil Analisa Tahun 2011 *) Pengolahan Data SLH Kota Tangerang Tahun 2009)
2011
2009*
Indeks Pencemaran
Status Pencemaran
Indeks Pencemaran
Status Pencemaran
1
6,45
Tercemar Sedang
3,13
Tercemar Ringan
2
6,32
Tercemar Sedang
4,17
Tercemar Ringan
3
6,01
Tercemar Sedang
4,46
Tercemar Ringan
4
6,96
Tercemar Sedang
3.02
Tercemar Ringan
5
7,45
Tercemar Sedang
3.55
Tercemar Ringan
Berdasarkan hasil analisa tahun 2011 indeks pencemar tertinggi berada di titik pemantauan 5 yaitu di
tengah Situ Gede sedangkan terendah berada di titik pemantauan 3 yaitu di dekat STMIK Raharja.
Titik Sampling
Indeks
6
4
2
0
SP
Mall
Apartemen Metropolis
STMIK
Raharja
RM Telaga
Modern
Tengah
2011
6.45
6.32
6.01
6.96
5.45
2009
3.13
4.14
4.46
3.02
3.55
Gambar 13. Perbandingan Indeks Pencemaran di Situ Gede Tahun 2009 dan Tahun 2011
27
mengurus situ ini terlihat cukup merawat situ ini dari gangguan gulma air. Tanaman enceng gondok
(Eichornia crassipes) yang terlihat tumbuh dibersihkan secara manual oleh pengelola pada waktu tertentu.
Oleh karena itu jika dilihat secara kasat mata persentase penutupan gulma terhadap badan air Situ Gede
dapat dikatakan kurang dari 15 % seperti yang disajikan pada Gambar 15.
REFERENSI
Anonim 2009., Laporan Status Lingkungan Hidup Kota Tangerang Tahun 2009., Badan Pengendalian
Lingkungan Hidup Kota Tangerang, Indonesia.
Anonim 2001., Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001, Pengelolaan Kualitas
Air Dan Pengendalian Pencemaran Air. Pemerintah Republik Indonesia.
28
Anonim 2003. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 115 Tahun 2003, Pedoman Penentuan
Status Mutu Air, Kementerian Lingkungan Hidup Jakarta, Indonesia.
Anonim 2005., Dinas Pengairan. Metode Pengambilan Sampel Air Permukaan SNI 6989.57. 2008.
Jakarta: Kementerian Pekerjaan Umum
Anonim 2009., Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 28 Tahun 2009 tentang Daya Tampung
Beban Pencemaran Air Danau dan/atau waduk. Menteri Negara Lingkungan Hidup.
Anonim. 2012. Potensi Air Tawar. Diakses tanggal 8 Oktober 2012 dari http://id.wikipedia.org
Carlson RE., & Simpson, J. 2013. A Coordinators Guide to Volunteer Lake Monitoring Methods. North
American Lake Management Society
Departemen Sumberdaya Air. 2012. Pengelolaan Danau dan Waduk di Indonesia. Jakarta: Puslitbang
Gunatilaka W.M.P, Wijayeratne S.C. 2009. A Study of Water Quality of Bolgoda Northlake.
Vidyodaya Journal of Science Vol.14(2):113-133. Srilanka: Srilanka Journals Online
Marganof. 2007. Model Pengendalian Pencemaran Perairan di Danau Maninjau Sumatera Barat.
Disertasi. Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Wijana, I.N. 2008. Penentuan Kualitas Air Danau Batur Melalui IndeksPencemaran Biologis. Jurnal
Penelitian dan Pengembangan Sains Humaniora Vol.10(2): 236-241
Wikipedia. Situ Gede. http://id.wikipedia.org/wiki/Situ Gede (diakses tanggal 07 Mei 2014)
29
Abstrak
Dalam beberapa dekade terakhir ini hutan di lahan gambut mulai dieksploitasi melalui deforestrasi,
didrainase dan dikeringkan untuk pengembangan kebun kelapa sawit, hutan tanaman industri, pertanian
dan penebangan kayu. Sebagai akibat dari drainase yang berlebihan terjadi penurunan permukaan air
tanah, dan ketebalan gambut mulai menipis melalui proses subsiden. Drainase mengubah suasana
anaerobik menjadi aerobik, sehingga terjadi dekomposisi bahan organik dengan adanya proses oksidasi.
Dekomposisi bahan organik menghasilkan emisi CO2. Dalam tulisan ini dilakukan analisis hubungan
antara parameter subsiden air tanah emisi karbon dengan metode GIS yang bertujuan untuk
mendapatkan korelasi dari ketiga parameter tersebut dan mendapatkan gambaran dari kondisi eksisting
serta kondisi setelah terjadi kenaikan muka air tanah akibat intervensi hidraulik (canal blocking) dengan
mengambil studi kasus di Desa Sei Ahas Kalimantan Tengah. Dari hasil penelitian diperoleh besarnya
emisi karbon untuk kandungan karbon 50 % pada musim kemarau sebesar 3,2375 Mton dan pada musim
hujan sebesar 2,1338 Mton, selanjutnya untuk kandungan karbon 55 % pada musim kemarau sebesar
3,5612 Mton dan musim hujan 2,3472 Mton. Sementara itu diperoleh subsidence rate tanpa perlakuan
apapun pada musim kemarau besarnya 3,71 cm/tahun dan pada musim hujan sebesar 2,95 cm/tahun.
Sedangkan subsidence rate setelah adanya canal blocking pada musim kemarau sebesar 2,61 cm/ tahun
dan pada musim hujan sebesar 2,23 cm/tahun. Simpulan utama dari penelitian ini adalah besaran emisi
karbon dan subsiden gambut akan semakin kecil bila muka air tanah semakin tinggi. Sementara manfaat
yang diperoleh adalah kerusakan lahan gambut dapat dikurangi dengan menaikkan muka air tanah
melalui pengaturan tata air.
Kata Kunci : Gambut, Subsiden, Air Tanah, Emisi Karbon
LATAR BELAKANG
Kubah gambut umumnya terbentuk dari penumpukan bahan organik selama ribuan tahun diantara dua
sungai utama. Dalam kondisi alami, air tanah mendekati permukaan sehingga lingkungan kubah gambut
secara alami dalam kondisi anaerobic. Dalam kondisi anaerobik proses dekomposisi bahan organic
sangat terbatas, dan demikian pula emisi CO2 sangat terbatas. Dalam beberapa dekade terakhir ini hutan
di lahan gambut mulai dieksploitasi melalui deforestrasi, didrainase dan dikeringkan untuk pengembangan
kebun kelapa sawit, hutan tanaman industri, pertanian dan penebangan kayu. Sebagai akibat dari
drainase yang berlebihan terjadi penurunan permukaan air tanah, dan ketebalan gambut mulai menipis
melalui proses subsiden. Drainase mengubah suasana anaerobik menjadi aerobik, sehingga terjadi
dekomposisi bahan organik dengan adanya proses oksidasi. Dekomposisi bahan organik menghasilkan
emisi CO2. Apabila drainase dilanjutkan dengan memperdalam saluran mengakibatkan proses subsiden,
kekeringan dan bahaya kebakaran, serta emisi karbon akan semakin meningkat. Demikian juga fungsi
lahan gambut sebagai penahan air akan semakin berkurang yang akan meningkatkan bahaya banjir pada
muara sungai. Dalam jangka waktu beberapa puluh tahun seluruh kubah gambut akan hilang, dan
seluruh karbon dari lahan gambut teremisi ke atmosfer.
30
Lokasi penelitian adalah Desa Sei Ahas, Blok A, Eks lahan PLG, Propinsi Kalimantan Tengah dengan
luasan area sebesar 28,6 km2 or 28.600 hektar. Desa Sei Ahas terletak sejauh 160 km (mengikuti alur
sungai Kapuas) dari muara sungai Kapuas. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas lihat Gambar
1. Sei Ahas terletak di tepi sungai Kapuas dan merupakan areal gambut dangkal dengan kedalaman 3
meter. Areal ini dipilih karena merupakan batas dari gambut dalam sehingga dengan mengendalikan
muka air tanah di areal ini
berarti juga mengendalikan muka air tanah dilahan gambut dalam. Di samping itu kawasan ini merupakan
kawasan budidaya terbatas yang diupayakan oleh pemerintah sebagai kawasan yang diijinkan untuk
dibudidayakan secara terbatas dengan tanaman yang sesuai dengan lahan gambut dangkal.
Masalah yang dihadapi di kawasan ini adalah lahan gambut yang telah mengalami degradasi akibat
pembuatan saluran-saluran besar dan rapat sehingga mengakibatkan drainase berlebih pada periode
Proyek Lahan Gambut sejuta hektar (lihat Gambar 2). Saat ini permukaan gambut telah mengalami
penurunan seiring dengan turunnya permukaan air tanah, akibatnya kerap terjadi banjir dan genangan
pada musim hujan dan lahan menjadi tidak produktif.
Analisis korelasi antar parameter penurunan gambut kedalaman air tanah emisi karbon ini mempunyai
sasaran untuk mendapatkan korelasi dari ketiga parameter tersebut di Desa Sei Ahas Kalimantan Tengah
dengan tujuan untuk memperoleh mendapatkan gambaran dari kondisi eksisting dan kondisi setelah
terjadi kenaikan muka air tanah akibat intervensi hidraulik (canal blocking) yang dilakukan. Dengan
demikian sekaligus memberikan masukan kepada pengambil kebijakan dan para pemangku kepentingan
Bandung, 12 September 2015
31
yang lain perihal besaran emisi karbon yang dapat ditekan sehubungan dengan rencana pemerintah untuk
menurunkan emisi karbon sebesar 26 % pada tahun 2020 dari BAU (business as usual).
Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah GIS (Global Information System) dengan perangkat
lunak Arc GIS 9.3. serta penggunaan rumus dasar empiris linear yang menghubungkan antara tingkat
penurunan permukaan lahan gambut dengan tinggi muka air tanah rata-rata baik untuk lahan hutan alami
dan lahan perkebunan Akasia (Hooijer et al., 2012a).
Penelitian ini dibatasi pada gambut dangkal dengan kedalaman 3 meter di kawasan budi daya terbatas.
Subsiden dan emisi karbon dihitung berdaarkan metode empiris dan beberpa asumsi sebagai berikut :
Kondisi lahan adalah hutan alami dan perkebunan akasia ; Bulk Density didasarkan pada nilai yang
berlaku umum atau standar; nilai oksidasi diambil berdasarkan ketentuan umum, yaitu 90 % ; nilai
kandungan karbon di gambut dangkal juga diambil dari ketentuan yang berlaku umum, yaitu 50% dan
55% (Dommain et al. 2011, Page et al. 2011b, Warren et al. 2012, Couwenberg, J., and Hooijer, A. 2013);
kenaikan muka air tanah akibat pembangunan canal blocking diambil 50 %; batas dranase dianggap
mempunyai kemiringan 20 cm/km.
STUDI PUSTAKA
Dari studi pustaka diperoleh hubungan antara kedalaman air tanah dan emisi karbon, CO2 yaitu: pertama
adalah studi pemantauan emisi gas CO2 dalam hubungannya dengan kedalaman air (Murayama and
Bakar, 1996; Jauhiainen et al., 2004; Melling et al., 2005; Ali dkk, 2006). Yang kedua adalah pemantauan
jangka panjang penurunan gambut di lahan gambut yang kering dikombinasikan dengan kandungan
karbon gambut dan pengukuran bobot isi (bulk density) untuk memisahkan kontribusi pemadatan dari
tingkat penurunan total yang sisanya disebabkan oleh emisi CO2 (W. Osten et al., 1997; W Osten and
Ritzema, 2001). Analisis ini menghasilkan hubungan regresi sebagai berikut di Gambar 3:
Gambar 3. Grafik hubungan antara kedalaman air tanah di lahan gambut dan emisi CO2 yang disebabkan oleh
dekomposisi gambut
Selanjutnya hubungan antara kehilangan karbon dan muka air tanah rerata pada lahan gambut
tropis, setelah drainase lebih dari 5 tahun disajikan pada Gambar 4 (Hooijer et al., 2012a), dimana
hubungan Florida Everglades dihitung dari data Stephens and Speir (1969), yang juga digunakan
dalam perhitungan Wsten and Ritzema (2001). Hubungan yang diperoleh Hooijer et al. (2006, 2010)
dan Couwenberg et al. (2010) sebagian didasarkan pada sumber literatur yang berbeda. Hubungan
yang didapatkan oleh Jauhiainen et al. (2012) didasarkan pada pengukuran CO2 flux harian di lahan
perkebunan Akasia yang sama yang dilakukan oleh Hooijer et al (2012a).
32
Gambar 4. Grafik hubungan antara kedalaman air tanah rerata di lahan gambut dan kehilangan CO2
Simpanan karbon di lahan gambut akan stabil jika lahan gambut tidak dikeringkan melalui proses
drainase. Dalam hal ini, mengendalikan air tanah adalah kunci utama agar karbon tidak dilepaskan ke
udara.
Selain itu, laju penurunan/subsiden pada lahan gambut mempunyai hubungan regresi linier dengan
kedalaman muka air tanah rerata. Hubungan antara keduanya pada lahan perkebunan Akasia setelah
drainase 6 tahun atau lebih disajikan pada Gambar 5. Semakin rendah muka air tanah akan
mengakibatkan semakin tingginya tingkat penurunan tanah (Hooijer et al., 2012b). Menurut penelitian oleh
Hooijer et al. (2012a), pada kedalaman air tanah rerata 0,7 m, "perkebunan akasia" dan "hutan alam"
memiliki laju subsiden yang sama (Gambar 5) dan garis linear "perkebunan akasia" dapat digunakan
untuk lahan gambut alami yang terdrainase. Nilai rerata ini, saat ini merupakan ketentuan yang relatif
cukup baik untuk mengelola perkebunan di Indonesia (Hooijer et al., 2012b)
Gambar 5. Hubungan antara Subsiden dan Kedalaman Muka Air Tanah Rerata
Gambar 4 di atas juga menunjukkan dampak dari penggunaan lahan terhadap laju subsiden, diman laju
subsiden lahan pertanian lebih tinggi dari pada hutan alami. Tidak seluruh volume gambut akan
teroksidasi, sebagian besar gambut akan tersimpan sebagai karbon pada gambut yang terendam air
tanah atau gambut yang berada di bawah batas drainase dengan kemiringan 20 cm/km dari muka air di
sungai (Hooijer, et al, 2012b).
33
METODOLOGI STUDI
Perhitungan volume gambut
Data awal yang digunakan adalah peta elevasi (peta yang dihasilkan dari LIDAR pengindraan dengan
menggunakan teknologi laser) lokasi studi Sei Ahas yang sudah dilengkapi dengan layout saluran dengan
detail elevasi permukaan lahan dan elevasi air pada saluran. Peta ini ditampilkan dalam bentuk raster
dengan resolusi 10 m (KFCP, processed by Deltares) sebagai layer pertama dalam pemodelan yang
menggunakan perangkat lunak Arc GIS 9.3.
Data kedua yang digunakan adalah data sebaran kedalaman gambut ( CKPP, 2005-2010, KFCP, 2014,
Balai Rawa-Puslitbang SDA, 2012) yang diperoleh dari pengukuran lapangan (bor tangan) dan
selanjutnya dimodelkan dalam bentuk shape file (format titik coklat pada Gambar 6) pada lokasi yang
sama. Peta kedalaman gambut ini kemudian dikonversi menjadi peta kontur sebaran ketebalan gambut
(data raster). Tahap selanjutnya peta elevasi dikombinasikan dengan peta kontur sebaran kedalaman
gambut dengan cara interpolasi data raster dengan menggunakan raster calculation (peta elevasi
dikurangi dengan peta sebaran kedalaman data gambut) untuk menghasilkan peta elevasi dasar gambut
(lihat Gambar 6). Peta elevasi kemudian dikurangkan dengan peta elevasi dasar gambut, untuk
menentukan ketebalan gambut. Volume gambut diperoleh setelah ketebalan gambut dikalikan resolusi
raster sebesar 10 x 10.
Selanjutnya peta elevasi di atas dikurangkan dengan peta elevasi permukaan air tanah, sehingga
diperoleh ketebalan gambut yang dapat terkosidasi (gambut yang berada di atas permukaan air tanah).
Permukaan air tanah pada lahan gambut sangat bervariasi, pada musim hujan lebih tinggi dibanding
dengan musim kering. Selain itu, kondisi tinggi muka air saluran juga berpengaruh terhadap tinggi muka
air tanah. Dalam penelitian ini digunakan tinggi muka air tanah rerata berdasarkan pengukuran lapangan
(tahun 2012 dan 2013) yang dibagi dalam 2 (dua) musim yaitu musim kemarau (44 cm) dan musim hujan
(29 cm ) untuk menentukan hubungan antara tinggi muka air tanah dengan tingkat penurunan permukaan
lahan gambut. Kemudian ketebalan gambut yang dapat teroksidasi dikalikan dengan resolusi 10 m x 10 m
sehingga diperoleh jumlah volume gambut yang dapat teriksodasi. Volume gambut yang dapat teroksidasi
ini selanjutnya dikali dengan nilai persen oksidasi, yaitu diambil 90% (Hooijer et al., 2012) untuk
memisahkan dari nilai kompaksi (murni teroksidasi).
Simpanan karbon
Volume gambut kering diperoleh dengan mengalikan volume gambut yang murni teroksidasi ini dengan
nilai Bulk Density. Perhitungan jumlah simpanan karbon yang ada dari total berat kering gambut dapat
diketahui dengan mengalikan peta volume gambut yang murni dapat teroksidasi dengan faktor 50% dan
faktor 55% kandungan karbon (Hooijer et al., 2012a).
Emisi karbon
Selanjutnya simpanan karbon dapat diubah menjadi emisi CO2 ekivalen dengan mengalikan angka
simpanan karbon dengan faktor 3,66.
34
Peta Kontur
Ketebalan Gambut
35
HIPOTESIS
Besaran dan durasi subsiden serta jumlah emisi karbon bergantung pada kedalaman muka air tanah.
Semakin tinggi elevasi air tanah maka akan semakin berkurang besar dan durasi subsiden serta semakin
rendah pula besarnya emisi. Oleh karena itu, dengan dibangunnya canal blocking, maka muka air saluran
dan muka air tanah akan naik, sehingga dengan demikian gambut menjadi basah dan subsiden serta
emisi karbon akan berkurang.
HASIL STUDI DAN PEMBAHASAN
Dari hasil analisis diperoleh hasil bahwa besaran emisi karbon bergantung pada kedalaman muka air
tanah atau ketebalan gambut di atas muka air tanah (gambut kering). Untuk mendapatkan gambaran yang
lebih jelas, hubungan ini disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Kedalaman Muka Air Tanah dan Emisi Karbon di Kawasan Sei Ahas
Keterangan
Volume
Gambut
Kering
(m3)
90% Volume
Gambut
Kering
(m3)
Kandungan Karbon
50 %
55 %
Emisi Karbon
(Mton)
50 %
55 %
36
Tabel 2. Laju Subsidensi, Kecepatan dan Waktu Penurunan Gambut sebelum dan sesudah ada Canal Blocking
URAIAN
KONDISI EKSISTING
LAJU /
WAKTU
KECEPATAN
PENURUNAN
PENURUNAN
GAMBUT
GAMBUT
(Tahun)
(cm/Tahun)
CANAL BLOCKING
LAJU /
WAKTU
KECEPATAN
PENURUNAN
PENURUNAN
GAMBUT
GAMBUT
(Tahun)
(cm/Tahun)
Volume Gambut
3.49
54
2.50
75
Keseluruhan
Volume Gambut di
atas Muka Air Tanah
3.71
11
2.61
16
(Musim Kemarau)
Volume Gambut di
atas Muka Air Tanah
2.95
9
2.23
13
(Musim hujan)
Dari hasil komputasi diperoleh laju/kecepatan penurunan gambut keseluruhan untuk kondisi sebelum ada
canal blocking (eksisting) sebesar 3,49 cm/tahun, lebih cepat bila dibandingkan dengan laju/kecepatan
penurunan setelah ada intervensi hidraulik, yaitu bangunan canal blocking, sebesar 2,50 cm/tahun.
Sementara itu waktu penurunan gambut juga untuk kondisi eksisting sebesar 54 tahun, lebih singkat bila
dibandingkan dengan waktu penurunan setelah ada intervensi hidraulik, yaitu 75 tahun. Demikian pula
untuk gambut di atas muka air tanah musim kemarau dan musim hujan mempunyai perilaku yang sama
seperti di atas. Berkurangnya laju penurunan gambut setelah ada canal blocking membuktikan bahwa
kenaikan muka air tanah akan mengurangi laju/kecepatan penurunan.
Pada Tabel 1 di atas telah terbukti bahwa kenaikan muka air tanah juga menurunkan besaran emisi
karbon, dengan demikian kenaikan muka air tanah berdampak ganda, yaitu mengurangi laju penurunan
gambut dan sekaligus mengurangi emisi karbon. Dengan demikian upaya untuk meninggikan muka air
tanah memang diperlukan untuk mengatasi masalah subsiden dan emisi karbon. Adanya canal blocking,
secara langsung meninggikan muka air permukaan di saluran tetapi secara tidak langsung juga
meninggikan muka air tanah. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat ilustrasi sebagaimana disajikan pada
Gambar 7 dan 8.
Gambar 7. Dampak dari Drainase dan Penurunan MAT terhadap Emisi Karbon
37
Gambut
Canal
Blocking
MAT naik
Kecepatan dan waktu penurunan gambut berjalan seiring, semakin besar kecepatan maka semakin cepat
pula waktu penurunan gambut dan berlaku pula sebaliknya, semakin lambat kecepatan maka semakin
lama pula waktu penurunannya. Kondisi ini bergantung pada ketinggian muka air tanah yang dalam Tabel
2 dinyatakan sebagai volume gambut kering (di atas muka air tanah). Semakin tinggi muka air tanah atau
semakin kecil volume gambut kering yang dapat teroksidasi dan memproduksi emisi karbon maka
semakin lambat laju/kecepatan penurunan gambut dan semakin pendek waktu penurunannya. Dengan
adanya canal blocking maka laju penurunan gambut turun sebesar: (1 (2,50/3,49)) * 100% = 28,5% bila
dibandingkan dengan kondisi eksisting. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dikatakan emisi karbon
dapat tertahan sekitar 14% - 15% per tahun dengan asumsi kandungan karbon sebesar 50% dan 55%.
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Kesimpulan
Sebagai kesimpulan khusus, dapat disimpulkan bahwa ketinggian muka air tanah sangat penting untuk mengurangi
penurunan gambut dan untuk mengurangi jumlah emisi karbon di lahan gambut. Penurunan gambut dan emisi
karbon akan lebih besar dengan terjadinya penurunan muka air tanah karena gambut yang tidak terendam oleh air
akan mengalami oksidasi sehingga menghasilkan emisi karbon. Ketinggian muka air tanah sangat bergantung pada
musim dan intervensi hidraulik yang dilakukan pada lahan gambut.
Penelitian ini membuktikan bahwa dengan membangun canal blocking, laju subsidensi dan besaran emisi karbon
(pada perkebunan Akasia), lebih kecil dibandingkan tanpa bentuk intervensi apapun (kondisi eksisting).
Sementara itu, sebagai kesimpulan umum, dapat disimpulkan bahwa meskipun penelitian ini dan penelitian yang
dilakukan oleh Hooijer, et al, 2012 berbeda lokus dan waktu penelitian, kedua penelitian memiliki topik dan
pendekatan yang sama .
Dari hasil penelitian di atas, dapat disimpulkan bahwa mengendalikan muka air tanah lebih jauh perlu dilakukan
untuk mengurangi degradasi lahan gambut yang sudah dibuka dan telah terdegradasi. Pembangunan canal blocking
adalah cara yang sangat efektif untuk menaikan muka air tanah sehingga penurunan gambut dan emisi karbon dapat
dikurangi.
Rekomendasi
Pemulihan atau tindakan mitigasi terhadap lahan gambut yang terdegradasi cukup sulit, mahal dan
membutuhkan waktu yang panjang. Oleh karena itu disarankan perlunya perlidungan, konservasi dan
pengelolaan lahan gambut secara terpadu dari semua pemangku kepentingan untuk melindungi lahan
gambut dari kerusakan. Tindakan pencegahan jauh lebih baik dari pada pemulihan.
38
memberikan masukkannya dan kepada Dedi Junarsah selaku Kepala Balai Rawa yang telah memberikan
dukungan penuh.
REFERENSI
Ali, M., Taylor, D., and Inubushi, K., 2006. Effects of environmental vari- ations on CO2 flux from a tropical
peatland in eastern Sumatra, Wetlands, 26, 612618.
Balai Rawa Puslitbang SDA, 2012. Laporan Akhir Penelitian Pengaruh Perubahan Iklim Terhadap
Daerah Rawa.Bandung
Budi Triadi1, Alosja Hooijer2, Ronald Vernimmen3, Surya Dharma, 2013. Hydraulic Intervention Impact of
Subsidence And Carbon Emission in Peatland as a Disaster Mitigation effort, International Seminar
of HATHI, 6 8 September, Yogyakarta.
The Central Kalimantan Peatland Project, 2005 2010. Impact of Oil Palm Plantations on Peatland
Conversion in Sarawak 2005 2010, Alll CKPP Materials, Current Publications | Search.
CKPP, 2005 2010. Impact of Oil Palm Plantations on Peatland Conversion in Sarawak 2005 2010, Alll
CKPP Materials, Current Publications | Search.
Couwenberg, J., and Hooijer, A., 2013. Towards robust subsidence-based soil carbon emission factors fro
peat soils in south-east Asia, with special reference to oil palm plantations, Mires and Peat, Volume
12 (2013), Article 01, 1-13. ISSN 1819-745X.
Dommain, R., Couwenberg, J. and Joosten, H, 2011. Development and carbon sequestration of tropical
peat domes in south-east Asia: links to post-glacial sea-level changes and Holocene climate
variability. Quaternary Science Reviews, 30, 999-1010.
Hooijer, A., Page, S., Jauhiainen, J., Lee, A..A., Lu, X.X., Idris, A., Anshari, G., 2012a. Subsidence and
Carbon Loss in Drained Tropical Peatlands, Biogeosciences, 9, 1053 1071, 2012, doi :
10.5.5194/bg-9-1053-2012.
Hooijer, S. Page, J. G. Canadell, M. Silvius, J. Kwadijk, H. Wosten, and J. Jauhiainen. 2010. Current and
Future CO2 emissions From Drained Peatlands in Southeast Asia
Hooijer, A.1, Triadi, B.2, Karyanto, O.3, Page, S.4, Van der Vat, M.1 and Erkens, G.1 , 2012b. The impact
of subsidence: can peatland drainage be sustainable in the long term, ICWF Paper.
Jauhiainen, J., Jaya, A., Inoue, T., Heikkinen, J., Martikainen, P. and Vasander, H., 2004. Carbon Balance
in Managed Tropical Peat in Central Kalimantan. In: Pivnen, J. (ed.) Proceedings of the 12th
International Peat Congress, Tampere 6 - 11.6.2004. pp. 653-659.
Kalimantan Forests and Climate Partnership, 2009. Strategic Peatland Rehabilitation Plan for Block A
(North-West) in the Ex-Mega Rice Project Area, Project No : IFCI-C0011, Central Kalimantan.
Kalimantan Forests and Climate Partnership, 2014. Carbon Emissions from Drained and Degraded
Peatland in Indonesia and Emission Factors for Measurement, Reporting and Verification (MRV) of
Peatland Greenhouse Gas Emissions. Scientific Paper : A Summary of KFCP Research Result for
Practitioners.
Melling, L., Hatano, R., and Goh, K. J., 2005. Soil CO2 flux from three ecosystems in tropical peatland of
Sarawak, Malaysia, Tellus B, 57, 111.
Murayama, S. and Bakar, Z. A.,1996. Decomposition of tropical peat soils, estimation of in situ
decomposition by measurement of CO2 flux, JARQ-JPN. Agr. Res. Q., 30, 153158.
Page, S.E., Rieley, J.O. and Banks, C.J., 2011b. Global and regional importance of the tropical peatland
carbon pool. Global Change Biology, 17, 798-818.
39
Warren, M.W., Kauffman, J.B., Murdiyarso, D., Anshari, G., Hergoualch, K., Kurnianto, S., Purbopuspito,
J., Gusmayanti, E., Afifudin, M., Rahajoe, J., Alhamd, L., Limin, S. and Iswandi, A. 2012. A costefficient method to assess carbon stocks in tropical peat soils. Biogeosciences, 9, 4477-4485.
Wsten, J. H. M. and Ritzema, H. P., 2001. Land and water management options for peatland
development in Sarawak, Malaysia, International Peat Journal, 11, 5966, 2001.
40
ABSTRAK
Informasi penting dalam startegi konservasi air tanah adalah tingkat kerentanan air tanah terhadap
pencemaran. Untuk ini pendekatan Index & Overlay, metode DRASTIC yang berdasarkan
factor hidrogeologi dapat digunakan. Metode yang berasal dari Amerika ini, memerlukan data cukup
intensif sehingga perlu diuji kemungkinannya untuk bias akibat kendala data yang terbatas yang
merupakan kondisi umum di Indonesia. Pengujian dilakukan dengan membandingkan distribusi
kerentanan pencemaran antara hasil DRASTIC dengan simulasi komputer. Simulasi dikerjakan dengan
bantuan software GMS (Groundwater Modelling System) yang membagi kelas distribusi berdasarkan
kecepatan dan arah aliran air tanah serta penyebaran partikel pencemar. Selanjutnya hasil simulasi
diujitingkat sensitivitasnya untuk mencari parameter yang sensitif. Wilayah studi yang digunakan dalam
pengujian ini adalah Jakarta dan sekitarnya. Perbandingan di atas menunjukkan bahwa distribusi
kelaskerentanan dipengaruhi oleh besaran kecepatan dan arah vektor kecepatan. Perbandingan peta
kerentanan Metode DRASTIC dengan simulasi menunjukkan hasil yang sudah mendekati. Selanjutnya
hasil analisis sensitivitas terhadap parameter K dan constant head menunjukkan bahwa kedua
parameterini tidak sensitif. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa DRASTIC dapat digunakan dalam
kondisi keterbatasan data karena ketidakakuratan parameter akifer tidak akan mengakibatkan
penyimpangan informasi yang berarti.
Kata Kunci: konservasi air tanah, kerentanan air tanah, metode DRASTIC, Groundwater Modelling
System.
LATAR BELAKANG
Dalam upaya menjaga keberlanjutan sumber daya alam, diperlukan suatu strategi pengembangan wilayah
yang bertujuan menata ruang kegiatan manusia. Strategi ini mencakup perencanaan ruang yang akan
dikembangkan untuk aktivitas manusia dan ruang yang harus dikonservasi untuk menjaga proses
keseimbangan alam.
Berbagai macam informasi diperlukan untuk menyusun strategi konservasi air tanah yang tepat, salah
satunya informasi mengenai tingkat kerentanan air tanah terhadap pencemaran. Tingkat kerentanan
menunjukkan seberapa mudah pencemar mencapai air tanah, makin tinggi kerentanannya, makin mudah
air tanah tercemari. Tingkat kerentanan ditentukan oleh kondisi hidrogeologi setempat yang umumnya
bervariasi sehingga akan membentuk tingkat kerentanan yang bervariasi pula.
Ada beberapa pendekatan yang digunakan untuk mengukur tingkat kerentanan air tanah antara lain
Pendekatan Index & Overlay, Simulasi Komputer, dan Analisis Statistik. Salah satu metoda dengan
pendekatan Index & Overlay yang sering digunakan adalah Metoda DRASTIC. Dalam metoda yang telah
distandarisasi oleh EPA (Environmental Protection Agency) ini, faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
kerentanan air tanah diinterpretasikan melalui pemberian skor dan klasifikasi untuk memperoleh indeks,
ranking atau kelas kerentanan. Metoda ini membutuhkan banyak data masukan untuk menghasilkan
keluaran yang akurat.
41
Di negara maju yang ketersediaan datanya lengkap, penggunaan metoda DRASTIC memberikan hasil
yang memuaskan. Namun di Indonesia dimana ketersediaan datanya tidak lengkap, belum diketahui
apakah metoda ini dapat digunakan. Akan tetapi di India, dimana kondisi ketersediaan data serupa
dengan Indonesia, metoda ini telah memberikan hasil yang memuaskan (Shamsuddin Shahid ; A Study of
Groundwater Pollution Vulnerability Using DRASTIC/GIS, West Bengal, India ; Journal Environmental
Hydrology Volume 8, 2000). Dengan demikian metoda DRASTIC perlu diuji tingkat implementasinya
terhadap keterbatasan data yang ada dilihat dari sisi seberapa jauh informasinya dapat dipercaya untuk
pengambilan keputusan.
Pengujian dilakukan dengan membandingkan distribusi kerentanan pencemaran antara hasil DRASTIC
dengan simulasi komputer. Simulasi dikerjakan dengan bantuan software GMS (Groundwater Modelling
System) yang membagi kelas distribusi berdasarkan kecepatan dan arah aliran air tanah serta
penyebaran partikel pencemar. Selanjutnya hasil simulasi diuji tingkat sensitivitasnya untuk mencari
parameter yang sensitif dalam pembuatan peta kerentanan pencemaran. Data masukan dari parameter
yang sensitif harus akurat agar DRASTIC dapat diimplementasikan dengan benar.
TUJUAN PENELITIAN
Menguji tingkat implemetansi DRASTIC terhadap keterbatasan data yang ada di Indonesia sehingga
dapat diketahui tingkat keyakinan informasinya untuk pengambilan keputusan.
KAJIAN PUSTAKA
Pemodelan Air Tanah
Dalam usaha memahami sistem air tanah diperlukan suatu model yang mendekati sistem riil. Tujuan
utama dari pemodelan adalah memahami perilaku sistem saat ini dan memperkirakan pola perilakunya di
masa yang akan datang. Model air tanah telah diterapkan untuk 4 permasalahan pokok yaitu aliran air
tanah, transport zat terlarut, aliran termal, dan deformasi akifer. Seluruh model diawali dengan
penyelesaian persamaan dasar aliran air tanah sehingga diperoleh distribusi hydraulic head dari akifer.
Model transport zat terlarut diperoleh dengan menambahkan persamaan perubahan konsentrasi kimia ke
dalam model aliran. Model aliran termal diperoleh dengan menerapkan persamaan transfer termal pada
akifer. Model deformasi akifer diperoleh dengan mengkombinasikan persamaan aliran dengan persamaan
lain yang menggambarkan perubahan struktur fisik dari akifer yang diikuti dengan perubahan hydraulic
head.
Model merupakan representasi dari sistem riil, model konseptual dikembangkan untuk mempelajari sistem
aliran air tanah. Meski model konseptual jauh lebih sederhana dibanding sistem riil, namun model ini
sangat membantu dalam memahami perilaku aliran. Model konseptual bersifat statis, hanya
menggambarkan kondisi sistem saat ini. Untuk dapat memprediksi perilaku sistem di masa datang
diperlukan model dinamis yang dapat dimanipulasi. Ada beberapa macam model dinamis, antara lain
model fisik dengan skala tertentu, model analog dan model matematik.
Model fisik dan model analog memerlukan biaya sangat mahal dan waktu penelitian yang cukup lama
sebaliknya model matematik jauh lebih murah, cepat dan akurat. Oleh karena itu, model ini banyak
dikembangkan oleh para ahli. Solusi model matematik dikembangkan dari persamaan dasar aliran air
tanah, termal, dan transport massa. Model matematik aliran air tanah yang paling sederhana adalah
Hukum Darcy. Untuk menerapkan Hukum Darcy diperlukan model konseptual dan data karakteristik fisik
dari sistem akifer, medan potensial, dan karakteristik fluida. Ada 2 macam model matematik yaitu model
analitis dan model numerik. Hukum Darcy merupakan salah satu contoh dari model analitis yang
memerlukan masukan berupa kondisi awal dan kondisi batas pada lokasi studi. Kondisi ini harus
sederhana sehingga persamaan aliran dapat diselesaikan dengan kalkulus. Model analitis aliran telah
dikembangkan untuk mensimulasi aliran, termal dan transport massa menuju sumur bor atau sungai.
Model numerik dikembangkan untuk mengakomodir variasi parameter hidrogeologi pada lokasi studi atau
komplektivitas kondisi batas. Solusinya diperoleh dengan mengubah persamaan aliran, termal dan
transport massa ke dalam bentuk aljabar dan selanjutnya disusun dalam bentuk matriks untuk
42
diselesaikan dengan bantuan komputer. Persamaan dalam bentuk aljabar merupakan pendekatan
numerik sehingga hasilnya juga merupakan pendekatan.
Program GMS yang digunakan dalam studi ini merupakan model numerik.
Transformasi model konseptual menjadi model matematik memerlukan beberapa data masukan untuk
dapat menyelesaikan persamaan yang ada. Seluruh model diawali dengan model aliran air tanah. Data
mengenai konfigurasi fisik akifer seperti lokasi akifer, bentang lokasi, dan ketebalan akifer dan kondisi
batas, karakteristik hidraulik akifer seperti variasi transmitivitas T atau permeabilitas dan koefisien storage
Ss, hydraulic head, laju pengisian air tanah dan debit sungai diperlukan untuk dapat menyelesaikan
persamaan aliran air tanah. Dari simulasi ini diperoleh data keluaran berupa arah dan kecepatan fluida.
Selain data konfigurasi fisik akifer, data mengenai kondisi batas juga diperlukan untuk dapat
menyelesaikan persamaan aliran air tanah. Ada 2 tipe dasar kondisi batas, yaitu Dirichlet dan Neumann.
Pada tipe Dirichlet nilai hydraulic head di sekeliling area studi diketahui, sedangkan pada kondisi
Neumann yang diketahui adalah nilai fluksnya. Kadangkala kondisi batas yang diketahui campuran antara
nilai hydraulic head di sebagian lokasi dan nilai fluksnya di bagian lain.
Metoda DRASTIC
DRASTIC merupakan salah satu metoda yang dikembangkan untuk menilai potensi pencemaran air tanah
berdasarkan informasi dasar yang tersedia, yaitu hidrogeologi. Karakteristik hidrogeologi merupakan
gambaran kombinasi dari faktor geologi dan hidrologi yang mempengaruhi dan membentuk aliran air
tanah yang masuk dan keluar di suatu area.
Asumsi dasar yang digunakan dalam metoda DRASTIC:
1. Sumber pencemar berasal dari permukaan tanah
2. Pencemar masuk ke akifer melalui proses infiltrasi (pengisian air tanah oleh hujan)
3. Penyebaran pencemar dalam akifer mengikuti pola aliran air tanah
4. Area yang dievaluasi oleh drastic harus 40,47 ha (100 acre)
5. Diterapkan untuk akifer bebas dan tertekan, namun tidak dapat diaplikasikan secara langsung pada
akifer semi- tertekan atau leaky aquifer.
Tujuh parameter hidrogeologi yang dianggap paling berpengaruh terhadap kerentanan air tanah adalah
D Depth to Water
R (Net) Recharge
A Aquifer Media
S Soil Media
T Topography (Slope)
I Impact of the Vadose Zone Media
C Conductivity (Hydraulic) of the Aquifer
Ketujuh parameter inilah yang merupakan singkatan dari nama DRASTIC. Penjelasan pengaruh dari
masing-masing parameter tehadap kerentanan air tanah adalah sebagai berikut:
a. Depth to Water
Parameter ini menggambarkan jarak yang harus ditempuh pencemar untuk mencapai akifer dan
menentukan waktu kontak antara pencemar dengan lingkungan sekitar yang berperan dalam proses
oksidasi. Semakin jauh jarak muka air tanah dari permukaan, makin besar waktu tempuh yang diperlukan
pencemar untuk mencapai akifer sehingga kesempatan beratenuasi makin besar. Keberadaan lapisan
43
kedap air juga menghambat pergerakan pencemar. Pengelompokan range dari parameter ini dibuat atas
dasar perubahan jarak yang menimbulkan peningkatan konsentrasi pencemar.
b. Net Recharge
Sumber pengisian air tanah berasal dari infiltrasi hujan melalui permukaan tanah dan perkolasi ke dalam
muka air tanah. Net recharge adalah jumlah air per satuan luas yang mengisi akifer. Proses ini
mengendalikan mobilitas vertikal dan horisontal pencemar ke dalam air tanah serta mempengaruhi jumlah
air yang tersedia untuk proses dispersi dan dilusi pada lapisan tak jenuh dan lapisan jenuh. Dengan
demikian proses pengisian air tanah merupakan sarana utama pembentukan lindi dan mobilitas
pencemar, baik padat atau cair, menuju muka air tanah. Makin tinggi laju pengisian air tanah, makin besar
potensi pencemarannya.
c. Aquifer Media
Akifer adalah lapisan yang terletak dibawah permukaan tanah yang memiliki kandungan air cukup tinggi
sehingga dapat dieksplorasi. Sedangkan pengertian aquifer media merujuk pada jenis tanah/batuan
penyusun akifer. Kandungan air pada akifer terletak pada pori yang terbentuk dari susunan butir
tanah/batuan dan rekahan atau patahan. Makin besar ukuran butir atau makin banyak rekahan/patahan di
media akifer, permeabilitasnya makin tinggi sehingga kapasitas atenuasi media akifer makin rendah.
Media akifer mempengaruhi pola aliran yang mengontrol arah pergerakan pencemar.
d. Soil Media
Soil media (media tanah) merupakan bagian teratas dari lapisan tak jenuh dengan ciri khas memiliki
aktivitas biologi yang tinggi. Pada metoda ini, media tanah didefinisikan memiliki kedalaman 6 feet (1,8
m) dari permukaan tanah dan masih dipengaruhi oleh perubahan cuaca. Laju infiltrasi yang merupakan
sumber pengisian air tanah dan pergerakan vertikal kontaminan dipengaruhi oleh jenis tanah. Tanah
dengan tekstur halus seperti silt atau clay memiliki permeabilitas rendah sehingga menghambat proses
migrasi kontaminan. Ketebalan lapisan tanah juga mempengaruhi proses degradasi kontaminan. Secara
umum, potensi pencemaran pada tanah dipengaruhi oleh keberadaan lapisan clay. Makin kecil potensi
kembang/susut lapisan clay dan makin kecil ukuran butirnya, makin kecil pula potensi pencemarannya.
e. Topography (Kemiringan lahan)
Data mengenai kemiringan lahan diperoleh dari data topografi. Kemiringan lahan merupakan faktor yang
mengontrol arah aliran air permukaan yang merupakan sumber infiltrasi. Makin curam kemiringannya
makin rendah laju infiltrasi sehingga potensi pencemaran air tanah makin kecil. Bentuk gradien, arah
aliran dan muka air tanah, secara tak langsung mengikuti topografi permukaan, makin besar kemiringan
lahan makin besar kecepatan alirannya.
f. Impact of Vadose Zone
Lapisan tak jenuh (vadose zone) adalah lapisan di atas muka air tanah yang tak jenuh air. Jenis tanah
penyusun lapisan tak jenuh menentukan karakterisitik atenuasi. Proses-proses degradasi kontaminan
seperti biodegradasi, filtrasi, reaksi kimia terjadi pada lapisan ini. Semakin jauh dari permukaan tanah
proses biodegradasi dan volatilasi makin jarang terjadi. Media ini juga mengontrol panjang alur dan rute
yang mempengaruhi waktu untuk proses atenuasi.
g. Hydraulic Conductivity
Hydraulic conductivity menggambarkan kemampuan material akifer untuk melalukan air. Perbedaan nilai
hydraulic conductivity pada suatu akifer akan menimbulkan gradien hidraulik sehingga mengakibatkan
terjadinya aliran air tanah. Aliran inilah yang menjadi media bagi pergerakan kontaminan. Nilai hydraulic
conductivity diperoleh dari hasil pumping test. Informasi secara lengkap dapat diperoleh dari laporan
hidrogeologi. Jika data ini tidak tersedia nilai hydraulic conductivity dapat diestimasi dari buku referensi.
44
Penilaian DRASTIC menggunakan sistem ranking. Sistem ini memiliki 3 hal pokok yaitu bobot, range dan
peringkat.
1. Bobot
Tiap parameter DRASTIC diberi bobot sesuai dengan tingkat relevansinya terhadap potensi pencemaran.
Rentang nilainya berkisar dari 1-5 (Tabel 1). Parameter yang paling signifikan diberi bobot 5 dan yang
paling kecil tingkat signifikansinya diberi bobot 1.
2. Range
Tiap-tiap parameter DRASTIC dibagi ke dalam range yang dikelompokkan menurut signifikansi jenis
media terhadap potensi pencemaran (Tabel 2 sampai 8).
3. Peringkat
Tiap range dari parameter DRASTIC diberi nilai peringkat dari angka 1-10 (Tabel 2 sampai 8). Parameter
D,R,S,T,C memiliki satu nilai peringkat pada tiap range. Sedangkan tiap range dari parameter A dan I
memiliki rentang nilai peringkat dan typical rating. Rentang peringkat digunakan jika informasi parameter
secara detail diketahui dan sebaliknya untuk typical rating.
Tabel 1. Bobot dari masing-masing parameter DRASTIC
(Sumber: Aller, et al., 1987)
Parameter
Depth of groundwater
Recharge Rate
Aquifer Media
Soil Media
Topography
Impact of Vadose Zone
Hydraulic Conductivity
Bobot
5
4
3
2
1
5
3
Depth to Groundwater
Range
(feet)
(meter)
0 - 1,5
0-5
1,5 - 4,6
5-15
4,6 9,1
15-30
9,1 15,2
30-50
15,2 22,9
50-75
22,9 30,5
75-100
>30,5
>100
Peringkat
10
9
7
5
3
2
1
45
Recharge Rate
Range
(inches/year)
(mm/tahun)
0 - 50,8
0-2
50,8 - 101,6
2-4
101,6 - 177,8
4-7
177,8 - 254
7-10
>254
>10
Peringkat
1
3
6
8
9
Aquifer Media
Range
massive shale
metamorphic/igneous
weathered metamorphic/igneous
glacial till
bedded sandstone, limestone,shale sequences
massive sandstone
massive limestone
sand&gravel
Basalt
karst limestone
Typical Rating
2
3
4
5
6
6
6
8
9
10
Peringkat
1-3
2-5
3-5
4-6
5-9
4-9
4-9
4-9
2-10
9-10
Soil Media
Range
thin/absent
gravel
sand
shrinking and/or aggregated clay
sandy loam
loam
silty loam
clay loam
nonshrinking&nonaggregated
46
Peringkat
10
10
9
7
6
5
4
3
1
Topography (% slope)
Range
Peringkat
0-2
10
2-6
9
6-12
5
12-18
3
>18
1
Tabel 7. Range dan peringkat impact of vadose zone
(Sumber: Aller, et al., 1987)
Peringkat
1
2-6
2-5
2-7
4-8
Typical Rating
1
3
3
6
6
4-8
2-8
6-9
2-10
8-10
4
8
9
10
Hydraulic Conductivity
Range
(gpd/ft2)
(m/hari)
0,04 - 4,08
1-100
4,08 12,23
100-300
12,23 28,55
300-700
28,55 40,78
700-1000
40,78 81,56
1000-2000
> 81,56
>2000
Peringkat
1
2
4
6
8
10
Setelah masing-masing parameter dikelompokkan ke dalam range, diberi bobot dan peringkat, DRASTIC
index dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
DRDW + RRRW + ARAW + SRSW + TRTW + IRIW + CRCW = Potensi Pencemaran
(2-93)
Dimana:
R = peringkat
W= bobot
47
Setelah DRASTIC indeks dihitung, dapat diidentifikasi tingkat kerentanan suatu area terhadap
pencemaran.Makin tinggi nilai indeksnya makin rentan terhadap pencemaran.
Korelasi Parameter Drastic Dengan Parameter Simulasi Model Aliran Jenuh
Dalam simulasi komputer, ketujuh parameter DRASTIC diwakili oleh parameter hidraulik akifer yang
korelasinya sebagai berikut:
Tabel 9. Korelasi parameter DRASTIC dengan parameter akifer
(Sumber: Aller, et al., 1987)
Parameter DRASTIC
Depth of groundwater
Recharge rate
Aquifer media
Soil media
Impact of vadose zone
Topography
Hydraulic conductivity
Sensitivitas Parameter
Model numerik menyederhanakan komplektivitas sistem akifer di lapangan agar simulasi dapat diproses
dengan lebih mudah. Dengan penyederhanaan ini ada kemungkinan bahwa data masukan tidak presisi
dengan kondisi lapangan sehingga mempengaruhi data keluaran. Untuk mengetahui seberapa jauh
perubahan data keluaran akibat perubahan data masukan dilakukan analisis sentivitas.
Kegunaan lain dari analisis sensitivitas adalah untuk menentukan arah aktivitas pengumpulan data di
masa yang akan datang. Data yang sensitif memerlukan pengamatan yang lebih detail, sebaliknya untuk
data yang tidak sensitif. Jika ditemukan data yang tidak sensitif terhadap variasi perubahan data masukan,
pemodel harus dapat menjelaskan alasan ketidaksensitifan ini.
Gambar 1. Variasi perubahan hydraulic head sebagai hasil perubahan parameter model
Sumber : Users Manual for GMS-Sensitivity Analysis
48
METODOLOGI PENELITIAN
Pemberian skor pada tiap parameter DRASTIC harus tepat sehingga memberikan hasil yang benar.
Pemilihan skor yang tidak tepat akan mempengaruhi hasil keseluruhan. Dengan demikian hasil DRASTIC
perlu dicek dengan hasil simulasi numerik agar pemilihan skornya tepat.
Setelah hasil DRASTIC benar, ingin diketahui sejauh mana perbedaan distribusi kelas kerentanan
DRASTIC dengan hasil simulasi, apa penyebabnya, serta parameter hidraulik akifer yang sensitif terhadap
penilaian kerentanan pencemaran. Data dari parameter yang sensitif harus akurat sehingga dapat
memberikan hasil DRASTIC tepat.
Secara skematis metoda penelitian yang dilakukan untuk mencapai tujuan dapat dilihat pada Gambar 1.
MULAI
Pengumpulan Data
Menguji sensitivitas
parameter dari
model simulasi
Ya
Penilaian kerentanan
dengan parameter
DRASTIC lengkap
Bandingkan
apakah hasil
penilaian DRASTIC
cocok dengan hasil
simulasi?
Periksa penerapan
DRASTIC
Tidak
Simpulkan penyebab
perbedaan yang terjadi
SELESAI
49
Clay loam
Sandy loam
gerak pencemar menuju akifer. Pemompaan akan menghambat kecepatan sebaliknya peresapan akan
mempercepat pergerakan pencemar menuju akifer. Kedua faktor tersebut tidak diperhitungkan pada studi
ini, karena informasi mengenai laju pemompaan dan peresapan tidak diperoleh.
Topography
Data kemiringan lahan (topography) diperoleh dari peta tematik kemiringan lahan. Kemiringan lahan di
wilayah studi landai hanya berkisar 0 0,5% (Gambar 3). Menurut DRASTIC permukaan lahan yang
landai memperlambat kecepatan aliran permukaan dan mempertinggi laju infiltrasi sehingga meningkatkan
potensi masuknya sumber pencemar dari permukaan. Mengacu pada Tabel 6 pada kajian pustaka,
DRASTIC memberikan peringkat 10 untuk kondisi ini.
Wilayah Studi
Kh = 1,1 m/hari
Kh = 1,1 m/hari
Kh = 2,3 m/hari
Kh = 1,7 m/hari
Kh = 0,6 m/hari
Kh = 0,6 m/hari
Gambar 5. Peta tematik konduktivitas hidraulik
(Sumber: Hasil olahan dari laporan B. Soefner, M. Hobler, G. Schmidt, 1986)
51
Sebagai rangkuman hasil penilaian peringkat pada masing-masing parameter DRASTIC dapat diTabelkan
sebagai berikut:
Tabel 10. Hasil penilaian peringkat untuk masing-masing parameter DRASTIC
Parameter DRASTIC
Peringkat
Bobot
Potensi Pencemaran
Depth to groundwater
1
5
sangat rendah
Recharge rate
1
4
rendah
Aquifer media
6,8
3
sangat tinggi, tinggi
Soil media
3,4
2
rendah
Topography
10
1
sangat tinggi
Impact of vadose zone
3
5
rendah
Hydraulic conductivity
1
3
sangat rendah
Cat: (peringkat DRASTIC) = (potensi pencemaran)
1-2 = sangat rendah, 3-4 = rendah, 5-6 = sedang,
7-8 = tinggi, 9-10 = sangat tinggi
Secara keseluruhan akifer di wilayah studi yang memiliki produktivitas tinggi cukup rentan terhadap
pencemaran. Tingkat potensi pencemaran dapat dilihat dari hasil penilaian peringkat parameter DRASTIC
pada Tabel 10 di atas.
Bobot
Peringkat
Skor
ZONA 2
Peringkat
Skor
ZONA 3
Peringkat
Skor
ZONA 4
Peringkat
Skor
ZONA 5
Peringkat
Skor
ZONA 6
Peringkat
Skor
Catatan : skor = bobot x peringkat
ZONA 1
52
5
1
5
1
5
1
5
1
5
1
5
1
5
4
1
4
1
4
1
4
1
4
1
4
1
4
3
8
24
8
24
8
24
8
24
8
24
6
18
2
3
6
3
6
4
8
4
8
4
8
4
8
1
10
10
10
10
10
10
10
10
10
10
10
10
5
3
15
3
15
3
15
3
15
3
15
3
15
3
1
3
1
3
1
3
1
3
1
3
1
3
Total
67
67
69
69
69
63
dalam satuan
1000 m
53
Catatan :
anak panah dalam gambar
ini hanya menunjukkan
arah vektor kecepatan
aliran
Gambar 10. Distribusi kecepatan aliran di wilayah studi dalam satuan 103 m/hari
Hasil analisis terhadap penyebaran partikel pencemar menunjukkan bahwa tingkat kerentanan tidak
hanya dipengaruhi oleh besar kecepatan namun juga arah vektor kecepatannya. Jadi meskipun nilai
kecepatannya sama namun kemiringan vektornya lebih curam maka akan lebih jauh menghantarkan
partikel pencemar. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 10 yang merupakan penggabungan peta distribusi
kecepatan dengan arah vektor kecepatan (Gambar 8 dan 9). Pada gambar tersebut disimulasikan
beberapa partikel pencemar pada lokasi yang distribusi kecepatannya sama, namun arah vektornya
berbeda. Terlihat bahwa jarak tempuh partikel B lebih panjang dibanding partikel A, karena kemiringan
vektor kecepatannya lebih besar. Begitu pula dengan partikel C dan D.
Jadi secara garis besar pengelompokan kelas kerentanan berdasarkan simulasi, dapat dibagi menjadi 3
wilayah, yaitu kerentanan tinggi di wilayah tengah dan kerentanan rendah di wilayah utara dan selatan.
Secara detail dengan memperhatikan arah vektor, hasil analisis menunjukkan bahwa wilayah barat dan
timur memiliki tingkat kerentanan yang lebih tinggi dibanding wilayah tengah meskipun kelas distribusi
kecepatannya yang sama.
54
D
A
B
Gambar 11. Kerentanan
Distribusi kecepatan
Tinggi dan arah vektor aliran
Analisis Sensitivitas
Perubahan data masukan K dan constant head akan mengakibatkan perubahan data keluaran head di
seluruh wilayah studi. Untuk mengukur tingkat sensitivitasnya dibuat grafik yang menyatakan hubungan
data keluaran awal (Hmean) dengan selisih perubahan data keluaran terhadap keluaran awal (h) (Gambar
11 dan 12). Hasil analisis grafik menunjukkan bahwa kedua parameter tidak sensitif. Pada perubahan
constant head 1 m, h-nya juga 1m bahkan banyak yang mendekati nol. h pada wilayah utara
(dekat laut) dan selatan (dekat no flow boundary) lebih sensitif dibanding tengah. Hal ini terjadi karena di
utara constant head-nya kecil dan di selatan nilai K-nya kecil (0,6 m/hari), sehingga sedikit gangguan akan
mengakibatkan perubahan head yang besar. Pada perubahan nilai K satu ordo lebih tinggi dan satu ordo
lebih rendah, hampir semua h-nya mendekati nol. Meskipun kedua parameter ini tidak sensitif, namun
jika dibandingkan parameter constant head lebih sensitif dibanding parameter K.
Pada kenyataan di lapangan, ketidakuratan data parameter akifer tidak akan berpengaruh besar terhadap
head keluarannya, namun sangat sensitif terhadap data besarnya debit pemompaan/pengimbuhan.
constant headmean -1m
1.5
0.5
-0.5
-1
-1.5
-2
-10
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Hmean (m)
Gambar 12. Grafik analisis sensitivitas terhadap constant head - (elevasi muka air sungai rata-rata dikurangi 1m)
55
0.5
-0.5
-1
-1.5
-10
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Hmean (m)
Gambar 13. Grafik analisis sensitivitas terhadap constant head+ (elevasi muka air sungai rata-rata
ditambah 1m)
10 * Kh
1.E+00
9.E-01
8.E-01
7.E-01
6.E-01
5.E-01
4.E-01
3.E-01
2.E-01
1.E-01
0.E+00
-10
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Hmean (m)
0.E+00
-5.E-07
-1.E-06
-2.E-06
-2.E-06
-3.E-06
Hmean (m)
-3.E-06
-10
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Dengan demikian pengelompokkan kelas kerentanan menurut DRASTIC dan hasil simulasi sudah
mendekati (Gambar 13). Namun tentu saja pengelompokkan dari hasil simulasi lebih detail, karena data
parameter akifernya juga lebih detail sedangkan DRASTIC hanya memanfaatkan informasi hidrogeologi
secara global. Berdasarkan analisis sensitivitas, tidak ditemukan parameter data masukan yang sensitif.
Dengan demikian informasi hidrogeologi yang tidak mendetail masih dapat digunakan oleh DRASTIC
untuk membuat peta kerentanan pencemaran air tanah karena tidak akan mengakibatkan penyimpangan
informasi yang berarti.
Kerentanan rendah, DI = 67
Kerentanan rendah, DI = 67
Kerentanan tinggi, DI = 69
Kerentanan tinggi, DI = 69
Kerentanan tinggi, DI = 69
Kerentanan rendah, DI = 63
(a)
(Kecepatan aliran dalam 1000
m/hari)
Kerentanan rendah
D
A
Kerentanan tinggi
B
Kerentanan rendah
(b)
Gambar 16. Hasil perbandingan peta kerentanan pencemaran air tanah (a) hasil DRASTIC (b) hasil simulasi
komputer
57
REFERENSI
PT. Luhung Media Sarana Kreasi, Pemetaan Geologi Lingkungan dan Tata Guna Air Tanah Kawasan
Jabodetabek-Punjur, Direktorat Jendral Penataan Ruang Departemen Permukiman dan Prasaran
Wilayah, 2002
Abdurrahman Asseggaf, Hidrodinamika Air Tanah Alamiah Cekungan Jakarta, Tesis Magister, 1998
Elang Erlangga, Bernt Soefner, Joachim Zaepke, Evaluation of DEG-Well Files 1874-1984, Aquifer
Parameters and Piezometric Heads, Groundwater Properties, Jakarta Groundwater Study 19831985, Working Paper 102 (Bandung : Directorate of Environmental Geology, 1985)
A. Djaeni, G. Koehler, B. Soefner, Piezometric Heads of the Confined Aquifer System, Jakarta
Groundwater Study 1983-1985, Working Paper 103 (Bandung : Directorate of Environmental
Geology, 1985)
Haryadi Tirtomihardjo, River Water Levels in the Jakarta Basin Area, Jakarta Groundwater Study 19831985, Working Paper 114 (Bandung : Directorate of Environmental Geology, 1985)
G. Schmidt, Haryadi Tirtomihardjo, G. Koehler, Groundwater Modelling of Jakarta Groundwater Study
1983-1985, Working Paper 116 (Bandung : Directorate of Environmental Geology, 1985)
B. Soefner, M. Hobler, G. Schmidt, Final Report of Jakarta Groundwater Study 1983-1985, Working Paper
117 (Bandung : Directorate of Environmental Geology, 1986)
58
Freeze, Allan R., Cherry, John A., Groundwater (New Jersey : Prentice Hall, 1979)
Fetter, C.W., Applied Hydrogeology (Ohio : Merril Publishing Company, 1988)
Linda Aller, et al., DRASTIC : A Standarized System for Evaluating Groundwater Pollution Potential Using
Hydrogeologic Settings (Oklahoma : U.S. Environmental Protection Agency, 1987)
Sahid, Shamsuddin (2000), A Study of Groundwater Pollution Vulnerability Using DRASTIC/GIS, West
Bengal, India. Journal of Environmental Hydrology Volume 8
http:// www.hydroweb.com
Fatta, D, et al., Numerical Simulation of Flow and Contaminant Migration at a Municipal Landfill. Journal
of Environmental Hydrology Volume 8
http:// www.hydroweb.com
Prahasta, Eddy, Sistem Informasi Geografis : Tutorial ArcView (Bandung : Informatika, 2005)
Budiyanto, Eko, Sistem Informasi Geografis Menggunakan ArcView GIS (Yogyakarta : Andi, 2002)
Environmental Modelling Research Laboratory, Groundwater Modelling System Tutorials (Brigham Young
University, 2004)
Pollock, David W., Users Guide for Modpath/Modpath Plot, Version 3: A particle tracking post processing
package for Modflow, the US Geological Survey Finite Difference Groundwater Flow Model,
(Virginia : US Geological Survey, 1994)
Harbaugh, Arlen W., et al., Modflow-2000, The US Geological Survey Modular Groundwater Model User
Guide to Modularization Concepts and The Groundwater Flow Process (Virginia : US Geological
Survey, 2000)
59
Abstrak
Hujan sebagai salah satu komponen hidrologi memiliki sifat stokastik dan sulit diprediksi, namun secara
bersamaan memegang peranan penting dalam penentuan alokasi kebutuhan air. Dalam sebuah sistem
sungai, alokasi kebutuhan air umumnya direncanakan untuk pelayanan air baku di wilayah perkotaan atau
irigasi untuk wilayah pedesaan. Atas dasar pelayanan tersebut maka diperlukan perencanaan yang baik
dalam menentukan alokasi kebutuhan air. Salah satu metode untuk mendapatkan prediksi data penentuan
alokasi kebutuhan air adalah dengan cara meramalkan curah hujan. Dalam proses peramalan, penelitian
ini menggunakan Evolutionary Support Vector Machine Inference Model (ESIM), yang merupakan
kombinasi dari Support Vector Machine (SVM) dan fast messy Genetic Algorithm (fmGA), dengan data
histori curah hujan bulanan DAS Pamarayan sebagai objek studi. Dengan membandingkan 2 skenario
yang berbeda dengan metode peramalan yang sama, akan diramalkan curah hujan bulanan selama 1
tahun kedepan untuk 3 stasiun curah hujan pilihan, yang mewakili wilayah DAS hulu, tengah dan hilir di
dalam DAS Pamarayan. Kedua skenario ini hanya dibedakan atas penggunaan peramalan datanya, data
curah hujan bulanan hasil peramalan untuk skenario 1, sedangkan data curah hujan bulanan hasil
observasi untuk skenario 2. Dari hasil peramalan tersebut, penggunaan data hasil pengamatan
memberikan nilai RMSE rata-rata yang lebih kecil untuk ketiga stasiun, sebesar 80,20% terhadap curah
hujan rata-rata bulanan tahun 2003. Secara grafis, penggunaan data hasil observasi memberikan pola
fluktuasi grafik yang lebih baik daripada penggunaan hasil peramalan itu sendiri. Merujuk pada besar
persen penyimpangan yang terjadi maka metode ESIM tidak memberikan hasil yang memuaskan. Hal ini
dapat disebabkan oleh berbagai hal sehingga penelitian lebih lanjut terhadap penyebab besarnya
penyimpangan yang terjadi patut dilakukan untuk menghasilkan peramalan yang lebih baik.
Kata Kunci: ESIM, SVM, fmGA, DAS Pamarayan, Curah Hujan Bulanan
LATAR BELAKANG
Dalam siklus hidrologi, hujan merupakan salah satu komponen dasar yang paling banyak memberikan
kontribusi besar dalam kuantitas air yang berada di muka bumi ini. Hujan juga memiliki peranan besar
dalam kondisi suatu badan tangkapan air, seperti sungai, waduk, atau danau. Karakteristik yang dimiliki
oleh hujan adalah sifatnya yang acak atau stokastik, dan sulit untuk diprediksi. Namun pada
kenyataannya, peranannya dalam menentukan kuantitias air sangatlah penting, karena hal tersebut akan
mempengaruhi sistem penggunaan air yang ada di sungai. Sistem tersebut berhubungan erat dengan
alokasi kebutuhan air yang perlu direncanakan untuk kepentingan bersama. Kebutuhan pelayanan air
baku, di Indonesia, sangatlah dipengaruhi oleh kondisi kuantitas air yang berada di sungai. Sebagai
contoh, kebutuhan air baku di daerah pedesaan akan sangat mempengaruhi pengaturan sistem air dalam
irigasi, sedangkan di daerah perkotaan, kebutuhan air baku sangatlah penting untuk pembagian sistem air
untuk kebutuhan sehari-hari, seperti air minum. Oleh sebab itu mengetahui dan memiliki perencanaan
pelayanan air baku sangatlah penting, karena merupakan kebutuhan dasar bagi seluruh umat manusia.
60
Atas dasar kebutuhan pelayanan tersebutlah, penerapan sistem perencanaan alokasi kebutuhan air dapat
dilakukan dengan memberikan kejelasan mengenai jumlah air yang dapat dimanfaatkan, dalam hal ini air
hujan. Permasalahan tersebut dapat dijawab dengan mengestimasi atau melakukan prediksi terhadap
kondisi air hujan yang ada. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk memprediksi air hujan adalah
membuat model peramalan. Melalui model peramalan inilah nilai estimasi dari curah hujan dapat
diketahui, dan digunakan apabila tingkat akurasinya dapat diandalkan. Metode ini telah digunakan untuk
penerapan banjir yang datang di suatu daerah, dan mengurangi resiko bencana yang dihadapi. Dengan
kata lain, permasalahan kelebihan atau kekurangan air dapat diatasi dengan mudah, apabila nilai estimasi
yang digunakan mampu memberikan estimasi yang akurat.
61
Permasalahan tersebut telah muncul di banyak daerah di Indonesia, salah satunya kebutuhan pelayanan
air yang ada di daerah Banten, yaitu Bendung Pamarayan. Bendung ini merupakan salah satu bendung
yang berpengaruh besar terhadap keberlangsungan kebutuhan air di Banten. Oleh sebab itu penelitian ini
dilakukan didaerah Bendung Pamarayan. Namun, oleh karena keterbatasan data yang ada, dipilihlah 3
stasiun curah hujan di DAS Pamarayan yang mampun memberikan kontribusi terhadap model yang akan
dibuat, yaitu dibagian DAS hulu, DAS tengah dan DAS hilir. DAS tersebut masing-masing diwakilii oleh
Stasiun Curah Hujan Pamarayan, Cimarga dan Bojongmanik.
METODOLOGI STUDI
Evolutionary Support Vector Machine Inference Model
ESIM sebagai sebuah perkembangan ilmu pengetahuan terkini yang berkaitan dengan Artificial
Inteligence, yang memiliki kemampuan untuk memperbaiki diri secara dinamis dengan pemberian data.
Dengan kata lain, ESIM merupakan alat pembelajaran yang mampu memperbaiki diri dengan kombinasi
dari Support Vector Machine (SVM) dengan alat bantu fast messy Genetic Algorithm (fmGA). SVM
sebagai metode dasar akan berusaha membentuk sebuah model black box yang prosesnya sulit untuk
dijelaskan, oleh sebabnya kadang kala hasil akhir yang ada memiliki dasar yang kurang begitu kuat dan
jelas. Sama halnya dengan metode statistikal lainnya, seperti AR atau MA, SVM juga memiliki nilai
parameter yang harus diberikan sesuai dengan pembentukan model yang ada. Penentuan parameter
itulah yang menjadi tantangan tersendiri untuk dapat digunakan oleh model, sehingga disinilah fungsi
fmGA terhadap SVM, yaitu mengoptimalisasikan nilai parameter yang digunakan oleh model. Ada batasan
parameter yang perlu dipatuhi dalam penggunaan metode ini yang tersaji dalam tabel 1.
Tabel 1. Daftar Konfigurasi Parameter pada Metode ESIM
(Sumber: Sanjaya, 2015)
Metode
SVMs
Parameter
Rentang Nilai
C
0 200
0.0001 1
fmGA
probability of cut
0.6
probability of splice
1.0
probability of mutation
0.001
era
12
Secara garis besar, berdasarkan studi mengenai SVM oleh Anton (2003), SVM memiliki karakteristik
tertentu, antara lain:
1. Secara prinsip, SVM adalah linear classifier
2. Pattern Recognition dilakukan dengan mentransformasikan data pada input-space ke ruang yang
berdimensi lebih tinggi dan optimasi dilakukan pada ruang vector yang baru tersebut.
3. Menerapkan strategi Structural Risk Minimization (SRM)
4. Prinsip kerja SVM, pada dasarnya hanya mampu menangani klasifikasi dua kelas.
Dalam penggunaannya, seperti yang telah dijelaskan bahwa SVM merupakan sebuah metode
pembelajaran, sehingga dibutuhkan sebuah set data sebagai acuan yang mampu merepresentasikan
model yang terbentuk, yang kedepannya disebut sebagai training data. Berdasarkan karakteristiknya,
SVM merupakan usaha mencari hyperplane terbaik untuk memisahkan dua buah kelas (classifier) pada
input space dengan menggunakan dot product atau yang lebih sering disebut sebagai fungsi kernel.
Dalam penentuan fungsi itu sendiri, akan sangat menentukan akurasi dari model yang dihasilkan. Namun
dalam pemilihan fungsi tersebut, fungsi kernel yang paling sering digunakan dan dianggap mampu
memetakan data yang paling baik adalah RBF atau Radial Basis Function, sehingga dalam penelitian ini
digunakan fungsi RBF sebagai fungsi kernel.
62
Sebagai alat optimasi, fmGA mampu memberikan solusi yang lebih efisien untuk permasalahan permutasi
skala besar, dan didasarkan pada pendekatan akan fleksibilitas dalam kemungkinan proses hibridisasi
dengan metode lain dalam mendapatkan solusi yang lebih baik, dalam hal ini SVM. Menggunakan konsep
gen dalam kromosom, fmGA mampu menyelesaikan permutasi dari kombinasi antara posisi (allele locus)
dengan nilai (allele value) yang kurang baik atau berlebihan dengan susunan yang berbeda dan yang
paling optimum yang dapat diberikan.
Root Mean Square Error
Dalam menentukan perbandingan hasil peramalan setiap skenario, alat bantu yang digunakan untuk
menghitung penyimpangan yang terjadi terhadap data sesungguhnya dilapangan adalah RMSE. RMSE
merupakan rata-rata jumlah penyimpangan absolut yang terjadi pada kedua data secara keseluruhan,
yang diformulasikan kedalam persamaan berikut.
n
RMSE
(a
t 1
bt ) 2
n
(1)
Keterangan:
at: data sesungguhnya pada urutan ke-t
bt: data hasil peramalan pada urutan ke-t
n: jumlah data
Metode Penelitian
Secara garis besar, sebelum data dapat digunakan, dibutuhkan sebuah proses agar SVM dapat membaca
dan mempelajari data yang digunakan berupa proses normalisasi. Normalisasi juga memiliki tujuan agar
dalam pembuatan model yang ada, nilai penyimpangan yang dihasilkan akan memberikan ruang 10% dari
data terendah dan tertinggi dalam proses peramalan. Setelah itu, proses penyusunan data juga sangat
berpengaruh terhadap model yang akan disusun, dari jenis variabel yang berkaitan dengan data utama.
Dalam pelaksanaan analisis yang ada, penelitian ini menggunakan data 3 bulan sebelumnya terhadap
variabel utama yang akan diramalkan. Selain itu, pada proses penyusunan data, sangatlah penting untuk
memberikan ruang untuk validasi data terhadap model. Sehingga proses pembagian data menjadi 80 dan
20 persen untuk data training dan data testing menjadi bagian yang krusial. Setelah pembagian ini siap,
akan dilakukan penentuan nilai C dan gamma sebagai parameter model. Pada akhrinya proses peramalan
dapat dilakukan apabila model telah siap digunakan. Susunan pelaksanaan model disajikan dalam
gambar berikut.
Seperti yang telah dijelaskan bahwa, perbandingan akan dibuat dengan pembeda 2 skenario. Dengan
tujuan membandingkan hasil ada, skenario 1 menggunakan hasil ramalan untuk diramalkan kembali
sebagai pembaharuan data dalam proses peramalan kedepannya. Sedangkan skenario 2 menggunakan
hasil observasi lapangan sebagai pembaharuan data untuk proses yang sama. Skenario 1 didasarkan
pada peramalan yang dilakukan selama setahun untuk sebuah objek studi, yang akan dibandingkan
penyimpangannya terhadap data asli, terhadap proses peramalan skenario 2 yang didasarkan pada data
yang sesungguhnya. Sedangkan untuk segala jenis variabel yang ada dibuat sama, demikian disajikan
pada tabel 2.
63
Variabel
Skenario 1
Skenario 2
Metode
Linear
linear
Parameter
C dan
C dan
Fungsi Kernel
RBF
RBF
Data Tambahan
Hasil Ramalan
Hasil Observasi
Rata-rata
Curah Hujan
Bulanan
Tahun 2003
165,00
167,50
110,46
-
RMSE (mm)
Skenario 1
Deviasi (%)
Skenario 2
Deviasi (%)
142,18
126,68
142,14
137,00
142,18
86,17
75,63
128,68
96,83
128,68
142,41
128,41
85,74
118,85
142,41
86,31
76,66
77,62
80,20
86,31
Apabila ditinjau dari stasiun curah hujan pilihan, pada skenario 1, nilai evaluasi penyimpangan terkecil
jatuh kepada Stasiun Cimarga, sebesar 126,68 mm, sedangkan pada skenario 2 adalah Stasiun
Bojongmanik, yaitu 85,74 mm. Namun secara rerata keseluruhan stasiun curah hujan yang ada, nilai
skenario 2 memberikan nilai kesalahan yang lebih kecil dibandingkan skenario 1. Peninjauan yang
dilakukan pada perbandingan rata-rata curah hujan bulanan tahun 2003 terhadap setiap skenario,
menunjukkan bahwa penyimpangan terkecil yang terjadi pada skenario 1 juga pada Stasiun Cimarga,
dengan persentasi sebesar 75,63%, sedangkan terhadap skenario 2 nilai deviasi terkecil jatuh kepada
Stasiun Cimarga juga sebesar 76,66%. Dengan kata lain, pada kedua skenario, Stasiun Cimarga
merupakan stasiun dengan penyimpangan peramalan yang lebih baik dibandingkan dengan stasiun
lainnya.
Pembahasan
Secara garis besar, peramalan dengan skenario 1 memberikan hasil yang kurang memuaskan karena
reliabilitas tidak dapat dipertanggungjawabkan untuk peramalan berikutnya. Namun dengan demikian
skenario 2 juga tidak memberikan hasil peramalan yang memuaskan mengingat nilai persentasi yang
diberikan melebih batas 5-10% yang dapat diandalkan. Oleh sebab itu, SVM kurang memberikan hasil
yang memuaskan terhadap DAS Pamarayan. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa pertimbangan
bahwa penggunaan varibel pendukung berupa data yang sama, mengingat bahwa variabel bebas yang
digunakan juga merupakan variabel utama. Pada kasus ini, variabel bebas yang dapat digunakan sebagai
fakto pendukung hujan adalah faktor iklim, seperti suhu, kelembaban, dan lama penyinaran matahari.
Berdasarkan stasiun curah hujan yang ada, pola grafik yang paling baik dihasilkan adalah Stasiun Curah
Hujan Bojongmanik skenario 2 dibandingkan dengan stasiun curah hujan lainnya. Sedangkan yang
lainnya belum mampu memberikan hasil peramalan yang sesuai dengan data observasi. Hal ini mungkin
disebabkan oleh penggunaan data (training data) belum mampu merepresentasikan model peramalan.
64
Oleh sebab itu, untuk penelitian lebih lanjut jumlah data yang mempengaruhi peramalan juga perlu diteliti
terlebih dahulu, atau yang lebih sering disebut sebagai analisis sensitivitas. Hal ini bertujuan untuk
meningkatkan akurasi peramalan yang akan dihasilkan, sehingga data yang digunakan mampu
merepresentasikan model untuk peramalan.
Selain itu, mengingat bahwa metode ini merupakan metode black box, perlu diperhatikan juga kualitas
data yang digunakan untuk model peramalan, baik dari konsistensi, kecenderungan, dan stabilitasnya.
Apabila data yang digunakan memiliki ketiga permasalahan tersebut, perbaikan data untuk model dapat
dilakukan dengan smoothing data.
65
REFERENSI
Adhikari, Ratnadio and R.K. Agrawal, An Introductory Study on Time Series Modelling and Forecasting,
Master thesis.
Cheng, Min-Yuan and Yu-Wei Wu. 2008. Evolutionary Support Vector Machine Inference System for
Construction Management. Elsevier: Automation in Construction
Mansell, M G. 2003. Rural and Urban Hydrology. Thomas Telford Ltd, Heron Quay, London
66
Nugroho, Anto Satriyo et al. 2003. Support Vector Machine: Teori dan Aplikasinya dalam Bioinformatika.
www.ilmukomputer.com
Prasetya, Herry dan Fitri Lukiastuti. 2009. Manajemen Operasi. Medpress, Yogyakarta
Roy, Andreas F.V. 2010. Evolutionary Fuzzy Desicion Model for Construction Management using
Weighted Support Vector Machine. PhD Dissertaion, The National Taiwan University of Science
and Technology, Taiwan
67
Abstrak
Kekeringan lahan terjadi ketika suatu lahan mengalami kekurangan air yang disebabkan oleh
berkurangnya jumlah curah hujan. Dampak kekeringan di Indonesia dapat terlihat di lahan pertanian.
Salah satu daerah yang selalu mengalami bencana kekeringan adalah Kabupaten Kupang. Bencana
kekeringan di Kabupaten Kupang rutin terjadi dikarenakan kurangnya data peta yang menyediakan
informasi daerah potensi kekeringan, hal ini dapat menjadi salah satu factor penghambat dalam
perencanaan penyelesaian masalah kekeringan. Oleh karena itu perlu dilakukan pemantauan kekeringan
lahan secara actual untuk mengetahui kondisi kekeringan lahan di Kabupaten Kupang. Penginderaan jauh
dapat digunakan untuk pemantauan kekeringan lahan secara actual dengan menggunakaan indeks
kekeringan. Pada penelitian ini menggunakan citra satelit Landsat 8 tahun 2014 dan model TVDI
(Temperature Vegetation Dryness Index) untuk memantau kekeringan lahan. Indeks TVDI dapat
memberikan informasi kondisi ketersediaan lengas lahan di permukaan Bumi. Indeks TVDI dihitung
berdasarkan suhu permukaan lahan dan indeks vegetasi. Pada penelitian ini dilakukan pengembangan
model TVDI dengan menggunakan indeks vegetasi NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) dan
suhu permukaan lahan dari data Landsat 8 bulan November tahun 2014 di wilayah Kupang, Nusa
Tenggara Timur. Dari model TVDI tersebut diperoleh daerah dengan nilai TVDI 0 0.2 (basah), 0.2-0.4
(agak basah), 0.4 0.6 (normal), 0.6 0.8 (agak kering), dan lebih dari 0.8 (kering) memiliki luas secara
berturut turut 92,021 km2, 1124,546 km2, 3514,166 km2, 1608,646 km2, dan 40,563 km2.
Kata Kunci: Kekeringan, Landsat, NDVI, TVDI
LATAR BELAKANG
Kekeringan lahan dapat dijelaskan sebagai suatu periode di mana terjadi kekurangan air yang disebabkan
oleh berkurangnya jumlah curah hujan. Kekeringan merupakan salah satu bencana yang sulit dicegah dan
terjadi berulang. Sebanyak 10 Kabupaten di Nusa Tenggara Timur (NTT) mengalami gagal tanam akibat
kekeringan. Kabupaten Kupang termasuk salah satu Kabupaten di Nusa Tenggara Timur yang mengalami
kekeringan. Di Kupang pada setiap musim kemarau hampir selalu terjadi kekeringan pada lahan sehingga
pemantauan kekeringan lahan secara aktual sangat penting dilakukan. (Emmy, F. 2007)
Salah satu komponen penting dari strategi kekeringan nasional adalah sistem pemantauan kekeringan
secara komprehensif yang dapat memberi peringatan pada awal dan berakhirnya kekeringan,
menentukan tingkat keparahan, dan menyebar-luaskan informasi pada berbagai sektor terutama sektor
pertanian, air bersih, energi, dan kesehatan. Pemantauan kekeringan dapat dilakukan dengan
memanfaatkan teknologi penginderaan jauh yang dikombinasikan dengan suatu indeks
kekeringan.(Hatmoko, W. 2012)
Salah satu indeks kekeringan untuk memantau kekeringan lahan adalah Temperature Vegetation
Dryness Index (TVDI). Indeks kekeringan TVDI dapat diformulasikan berdasarkan parameter indeks
vegetasi dan suhu permukaan. Indeks vegetasi merupakan indicator yang baik untuk mengetahui tingkat
kehijauan dan kondisi suatu vegetasi. Suhu permukaan (land surface temperature) merupakan indicator
untuk mengetahui besarnya panas yang dikeluarkan oleh suatu permukaan berkaitan dengan proses
68
evaporasi dan transpirasi. Indeks kekeringan TVDI memanfaatkan kombinasi dari indeks vegetasi dan
suhu permukaan untuk mencerminkan kondisi kekeringan di suatu lahan. (Hung and Yosuoka dalam
Parwati, 2008).
Seiring dengan kemajuan teknologi penginderaan jauh dan Sistem Informasi Geografis (SIG), informasi
spasial suatu wilayah dapat dilakukan dengan lebih cepat. Teknologi penginderaan jauh daoat digunakan
untuk mendapatkan kondisi kekeringan suatu lahan di daerah tertentu. Salah satu data penginderaan jauh
yang mampu secara spektral menghasilkan parameter indeks vegetasi dan suhu permukaan adalah data
citra satelit Landsat 8. Citra satelit landsat 8 memiliki resolusi spasial 30 meter serta dapat memantau
kondisi lahan setiap hari. Oleh karena itu model TVDI dengan menggunakan data Landsat 8 perlu
dibangun untuk dapat memantau kekeringan lahan di Kabupaten Kupang sehingga strategi penanganan
kekeringan ke depan dapat disusun dengan baik.
Kajian Pustaka
Indeks Vegetasi (Normalized Difference Vegetation Index)
Beberapa penelitian telah menunjukkan hubungan antara reflektan merah dan inframerah dekat untuk
menggambarkan vegetasi di permukaan. Reflektan merah mengalami penurunan terhadap perkembangan
tanaman karena penyerapan klorofil untuk proses fotosintesis. Sedangkan reflektan inframerah dekat
akan meningkat terhadap perkembangan tanaman karenan proses pemantulan. Satu band tidak dapat
digunakan untuk melakukan pengukuran sederhana maupun pengamatan vegetasi secara global.
Masalah ini telah dapat diselesaikan dengan melakukan kombinasi dua atau lebih band ke dalam
persamaan yang disebut Indeks Vegetasi.
Indeks vegetasi merupakan pengukuran secara empiris dari aktifitas vegetasi. Tujuan utamanya adalah
untuk membuat persamaan dari pengukuran secara presisi dari variasi spasial atau temporal dari
vegetasi. Perbandingan sederhana (SR) merupakan indeks pertama yang digunakan yang terbentuk
dengan membagi inframerah dekat dengan band merah.
(1)
Keterangan: SR
= Simple Ratio
Band 5 = band near infrared for Landsat 8
Band 4 = band red for Landsat 8
Untuk area vegetasi yang padat, jumlah dari reflektan merah yang diterima sangat kecil dan rasio akan
meningkat tanpa batas. Untuk menormalisasi rasio ini dari -1 ke +1 digunakan indeks vegetasi NDVI
dengan membagi perbedaan antara Infra merah dekat dan merah dengan jumlah infra merah dekat dan
merah.
(2)
Keterangan: NDVI = Normalized Difference Vegetation Index
Band 5 = band near infrared for Landsat 8
Band 4 = band red for Landsat 8
NDVI memiliki kelebihan dalam mengurangi gangguan tertentu dengan hubungan band dan pengaruhnya
dikaitkan dengan variasi tidak langsung, awan dan bayangan awan, matahari dan sudutnya dan topografi.
(Huete, A., Justice, C. dan Leeuwen, W.1999)
Secara aritmatis teknik normalisasi semacam ini digunakan untuk mendapatkan angka rasio yang tidak
bersatuan (indeks) yang bernilai antara -1 hingga +1. Oleh karena spektrum inframerah dekat
berkarakteristik high reflectance dan spektrum merah berkarakteristik minimum reflectance (penyerapan
maksimum) oleh daun tumbuhan, maka nilai NDVI vegetasi akan selalu positif dan berbanding lurus
dengan biomassa daun per satuan luas. (Saptarini, 2001)
69
Di mana:
CVR2
CVR1
L
L
= emissivity
Data upwelling dan downwelling serta transmittance didapatkan dari website http://atmcorr.gsfc.nasa.gov/
dengan mengisi parameter parameter informasi jam, tanggal, bulan, tahun perekaman data dan juga
pusat koordinat lintang dan bujur dari citra yang digunakan.
Konversi Radian TOA terkoreksi ke suhu Kelvin
Persamaan yang digunakan untuk untuk konversi ke suhu kelvin adalah sebagai berikut:
2
( 1
(5)
Dimana:
T
K1, K2
CVR2
(6)
Dimana:
= suhu dalam celcius
= suhu dalam kelvin
Temperature Vegetation Dryess Index (TVDI)
TVDI merupakan salah satu indeks kekeringan berdasarkan kepekaan spektrum cahaya tampak
(visible) dan inframerah dekat (near infrared) terhadap perilaku vegetasi dan kondisi stres vegetasi
yang berkaitan dengan kekurangan air. Pada suatu lahan, umumnya indeks vegetasi NDVI
(Normalyzed Difference Vegetation Index) akan meningkat seiring dengan menurunnya suhu
permukaan (LST). Hal ini berkaitan dengan kemampuan vegetasi untuk mengatur suhunya melalui
perpindahan panas laten yaitu perpindahan panas melalui evapotranspirasi. Radiasi yang diserap dan
jumlah air yang tersedia di suatu permukaan lahan merupakan dua unsur utama yang mengatur
suhu permukaan. Pada saat ketersediaan air menjadi minim baik di lahan yang bervegetasi maupun
tidak, maka suhu permukaan akan meningkat.
Kemiringan grafik pada hubungan antara LST dan NDVI berkaitan dengan laju evapotrans-pirasi,
resistansi stomata vegetasi, dan kondisi lengas tanah. TVDI bernilai 1 berindikasi ketersediaan air
yang terbatas (batas kering), sedangkan TDVI bernilai 0 berindikasi terjaminnya ketersediaan air. Jika
permukaan lahan basah, maka suhu permukaannya rendah. Namun seiring dengan mengeringnya
permukaan maka suhu permukaan akan meningkat. Pada permukaan lahan yang mempunyai tingkat
NDVI tinggi, perubahan suhu permukaan (LST) tidak begitu nyata karena vegetasi mampu untuk
mengatur air. Hubungan antara LST dan NDVI adalah negatif, yang berarti semakin tinggi suhu
permukaan maka indeks vegetasinya menurun (Daruati, D. 2012). Persamaan untuk indeks kekeringan
TVDI adalah sebagai berikut:
(7)
Dimana LST merupakan suhu permukaan yang diamati pada suatu pixel citra. LST min merupakan suhu
permukaan minimum untuk nilai NDVI tertentu sedangkan LST max merupakan suhu permukaan
maksimum untuk nilai NDVI tertentu.
71
Hasil dari persamaan TVDI tersebut kemudian dilakukan klasifikasi untuk mengelompokkan nilai TVDI ke
dalam kelas tertentu.
Tabel 1. Tingkat Kekeringan Berdasarkan TVDI
(Sumber: Parwati et al, 2008)
Tingkat Kekeringan
Basah
Agak Basah
Normal
Agak Kering
Kering
TVDI
0 < TVDI 0.2
0.2 < TVDI 0.4
0.4 < TVDI 0.6
0.6 < TVDI 0.8
0.8 < TVDI 1
METODOLOGI STUDI
Pemetaan kekeringan lahan menggunakan perhitungan Temperature Vegetation Drynes Index (TVDI)
yang didasarkan pada hubungan antara suhu permukaan (LST) dan indeks kekeringan (NDVI).
Indeks tersebut dikaitkan dengan kelembaban tanah dan diperoleh hanya berdasarkan input dari informasi
satelit penginderaan jauh. Data NDVI dan LST diintegrasikan untuk mendapatkan nilai maksimum
dan minimum pada setiap nilai NDVI. Pengambilan sampel dilakukan di beberapa titik di Kabupaten
Kupang. Hasil dari pengambilan sampel selanjutnya akan diplot ke dalam grafik dan dianalisa
secara statistik (regresi linier) untuk memperoleh model TVDI. Kemudian dilakukan klasifikasi tigkat
kekeringan berdasarkan nilai TVDI. Diagram alir pengolahan data sebagai berikut:
DATA LANDSAT 8
DATA LANDSAT 8
NDVI
LST
Training
Sample Area di
Kupang
Menghitung LST minimum dan maksimum
untuk setiap nilai NDVI pada setiap pixel
Analisa regresi antara
LST min dan NDVI
LST max dan NDVI
Perhitungan Nilai TVDI
Klasifikasi TVDI
Peta Kekeringan Lahan
72
Pada gambar 3 ditunjukkan hasil pengolahan citra Landsat 8 menggunakan indeks vegetasi NDVI. Dari
hasil tersebut, perlu dilakukan klasifikasi kerapatan vegetasi berdasarkan nilai NDVI tersebut. Hasil
klasifikasi NDVI ditunjukkan pada gambar 4.
Dari hasil klasifikasi tersebut dapat diperoleh informasi mengenai kondisi kerapatan vegetasi di Kabupaten
Kupang. Gambar 4 menunjukkan bahwa sebagian besar wilayah Kupang memiliki vegetasi dengan
kerapatan tinggi. Luasan dari hasil klasifikasi tersebut dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2. Luas Klasifikasi NDVI
No
1
2
3
4
5
Interval Nilai
-1 s/d -0.03
-0.03 s/d 0.15
0.15 s/d 0.25
0.25 s/d 0.35
0.35 s/d 1
Klasifikasi
Lahan tidak bervegetasi
Vegetasi sangat rendah
Vegetasi rendah
Vegetasi sedang
Vegetasi tinggi
Luas (Km)
32,734
187,253
515,734
1791,198
3972,977
73
Pada gambar 5 ditunjukkan hasil pengolahan citra Landsat 8 untuk Land Surface Temperature. Dari hasil
tersebut, perlu dilakukan klasifikasi berdasarkan nilai LST tersebut. Hasil klasifikasi LST terdapat di
gambar 6.
Dari hasil klasifikasi tersebut dapat diperoleh informasi mengenai kondisi suhu permukaan di Kabupaten
Kupang. Luasan dari hasil klasifikasi tersebut dapat dilihat pada tabel 3.
74
No
1
2
3
4
5
6
Interval Nilai
0 10
10 20
20 30
30 40
40 - 50
50 - 60
Luas (Km)
8,724
40,513
388,044
3230,088
2645,488
111,957
Model TVDI
Untuk mendapatkan nilai TVDI, diperlukan perhitungan LST minimum dan LST maksimum untuk setiap
nilai NDVI pada setiap pixel citra satelit.
LST
Pada gambar 7 menunjukkan persebaran sampel yang digunakan untuk mendapatkan persamaan TVDI
berdasarkan data LST dan NDVI. Dari data data tersebut dilakukan analisa regresi untuk mendapatkan
persamaan LST minimum dan LST maksimum terhadap nilai NDVI. Perhitungan TVDI dilakukan dengan
memanfaatkan hubungan antara NDVI dan LST untuk menentukan indeks kekeringan.
y = -40.856x + 55.224
Persamaan Garis Batas Kering
60
50
40
30
20
10
0
y = 4.2611x + 17.161
Persamaan Garis Batas Basah
0
0.2
0.4
0.6
0.8
NDVI
LST_MAX
LST_MIN
Linear (LST_MAX)
Linear (LST_MIN)
75
Gambar 8 menunjukkan bahwa persamaan LST maksimum = -40,856*NDVI + 55,224, sedangkan LST
minimum = 4,2611*NDVI + 17,161. Dari hasil tersebut dapat diperoleh persamaan model TVDI sebagai
berikut:
Hasil dari persamaan tersebut kemudian diekstraksi untuk mendapatkan peta kekeringan di Kabupaten
Kupang.
Dari peta kekeringan tersebut dapat diperoleh kondisi kekeringan di Kabupaten Kupang, hal ini dapat
dijadikan sebagai data untuk pengelolaan dan pengembangan Sumber Daya Air di Kota Kupang dan
Kabupaten Kupang. Dari peta tersebut juga diperoleh luasan area kekeringan sebagai berikut.
Tabel 4. Luas Klasifikasi TVDI
KELAS
BASAH
AGAK BASAH
NORMAL
AGAK KERING
KERING
LUAS (KM2)
92,021
1124,546
3514,166
1608,646
40,563
76
Dari persamaan tersebut didapatkan persebaran indeks kekeringan dengan kelas basah, agak basah,
normal, agak kering, dan kering secara berurutan memiliki luasan 92,021 km2, 1124,546 km2, 3514,166
km2, 1608,646 km2, dan 40,563 km2.
Rekomendasi
Verifikasi dan validasi model TVDI perlu dilakukan pada penelitian selanjutnya untuk mengetahui tingkat
akurasi model TVDI.
DAFTAR PUSTAKA
Daruati, D. 2012. Pola Wilayah Kekeringan Lahan Basah (Sawah) di Propinsi Jawa Barat. Thesis Magister
Ilmu Geografi Universitas Indonesia
Emmy,
Hatmoko, W. 2012. Indeks Kekeringan Hidrologi untuk Alokasi Air di Indonesia. MHI Bandung
Huete, A., Justice, C. dan Leeuwen, W.1999. Modis Vegetation Index (Mod 13) Algorithm Theoretical
Basis Document. <URL:http://modis.gsfc.nasa.gov/ > [diakses pada tanggal 15 Juni 2015]
Ibrahimi, A.A dan Handayani, H.H. 2013. Aplikasi Penginderaan Jauh untuk Memetakan Kekeringan
Lahan dengan Metode Temperature Dryness Index (TVDI) (Studi Kasus: TN Bromo Tengger
Semeru). Jurnal Teknik POMITS Vol X, No. X, (Jun, 2013) ISSN: 2301-9271
Jamil, D. H., Tjahjono, H., Parman, S., 2013. Deteksi Potensi Kekeringan Berbasis Penginderaan Jauh
dan Sistem Informasi Geografis di Kabupaten Klaten. Geo image (Spatial Ecological Regional)
2, 2013, ISSN: 2252-6285
Parwati dan Suwarsono, 2008. Model Indeks TVDI (Temperature Vegetation Dryness Index) untuk
Mendeteksi Kekeringan Lahan Berdasarkan Data Modis-Terra. Jurnal Penginderaan Jauh Vol.5,
2008: 35 44.
Saptarini, D. 2001. Analisis Penggunaan Greenness Index Tasseled Cap Transformation dalam
Penentuan Kondisi Mangrove Menggunakan Data Inderaja (Landsat TM). Prosiding Seminar
Nasional Pusat SIG dan Penginderaan Jauh LP-ITS
77
Abstrak
Rumah Sakit Umum Daerah Lebong adalah salah satu rumah sakit pemerintah yang ada di Provinsi
Bengkulu, didirikan sebagai Rumah sakit type D dan memiliki ruang rawat inap sebanyak 100 tempat tidur.
Seiring tuntutan masyarakat akan pelayanan kesehatan yang bermutu, RSUD yang semula bertype D
ingin meningkatkan akreditasi menjadi Rumah Sakit Type C dengan kapasitas rawat inap mencapai 200
tempat tidur. Sesuai Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1204/Menkes/SK/X/2004 tentang
Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit, RSUD Lebong harus mempunyai fasilitas pengelohan
limbah sendiri. Pengolahan limbah itu sendiri diperlukan untuk menghindari pencemaran air tanah yang
dikhawatirkan akan berdampak pada tidak dapat digunakannya air tanah untuk memenuhi kebutuhan
akan air bersih. Pengolahan limbah cair rumah sakit yang umum digunakan saat ini adalah menggunakan
cara tradisional yang mempunyai beberapa kelemahan, yaitu waktu pengolahan yang lama, kualitas
effluent yang tidak stabil dan dibutuhkan lahan yang luas untuk proses pengendapan. Untuk itu perlu
dikembangkan proses pengolahan alternatif untuk mengatasi kelemahan yang ada pada proses
pengolahan secara konvensional. Salah satunya dengan system Membran yaitu proses pengolahan
biologis menggunakan jasa mikroba pendegrasi limbah cair. Membran disini untuk memisahkan padatan
biomassa dengan cairan, sehingga effluent yang dihasilkan bebas dari biomassa. Untuk mewujudkan hal
ini dapat dilakukan dengan menggunakan teknologi Membrane pada Intalasi Pengolahan Air Limbah
(IPAL) sehingga air yang dihasilkan dapat dimanfaatkan kembali untuk kebutuhan air bersih.
Kata Kunci: rumah sakit, air limbah, teknologi membran
Pendahuluan
Latar Belakang
Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Lebong Kabupaten Lebong Provinsi Bengkulu didirikan sebagai
Rumah sakit type D. Seiring tuntutan masyarakat akan pelayanan kesehatan yang bermutu, RSUD yang
semula bertype D ingin meningkatkan akreditasi menjadi Rumah Sakit Type C, RSUD Lebong merupakan
salah satu Rumah Sakit di Provinsi Bengkulu yang belum memiliki fasilitas kesehatan yang cukup
memadai. RSUD Lebong beralamat di Jl. Muara Aman- Curup Desa Muning Kecamatan Lebong Sakti
Kabupaten Lebong. RSUD Lebong melayani rawat inap, rawat jalan, pemeriksaan laboratorium, gawat
darurat, yang dilengkapi tenaga medis dan perawat
Sebagai sarana pelayanan kesehatan umum, tempat berkumpulnya orang sakit dan sehat, sangat
potensial terjadi penularan penyakit, pencemaran lingkungan, serta gangguan kesehatan. Untuk
meminimalkan dampak tersebut perlu dilakukan kegiatan pengelolaan kesehatan lingkungan Rumah Sakit
sesuai dengan persyaratan perundangundangan kesehatan dan lingkungan hidup. Pengelolaan
lingkungan rumah sakit tidak hanya dilakukan dalam rangka memenuhi peraturan, tetapi juga untuk
78
meningkatkan kualitas higenitas rumah sakit dan keamanan pengunjung maupun pasien dari potensi
terkontaminasi bahan berbahaya dan penyebaran bibit penyakit;
Pengelolaan limbah di rumah sakit saat ini telah bergeser menjadi masalah strategis dalam pengelolaan
sebuah rumah sakit. Rumah sakit yang mengelola limbahnya dengan mengabaikan standarisasi
pengelolaan, akan menghadapi persoalan baik teknis, prosedural dan sistem yang berdampak pada
persoalan hukum lingkungan, baik terkait dengan pelanggaran peraturan perundangan maupun tuntutan
masyarakat akan potensi pencemaran lingkungan. Untuk itu, dimasa mendatang pengelolaan limbah
harus ditangani dengan prinsip-prinsip teknis dan administrasi yang benar, agar keluaran pengelolaan
limbah akan menggambarkan model rumah sakit yang ramah lingkungan (green hospital);
Untuk mewujudkan model rumah sakit yang ramah lingkungan tersebut, maka limbah yang dihasilkan
secara terus menerus harus dikelola dengan pendekatan manajemen strategis. Dengan pendekatan
strategis ini, maka rumah sakit dapat memproteksi resiko limbah dan memperkecil paparannya dengan
pendekatan teknis, sistem dan manajemen dengan berbasis pada pelaksanaan yang memenuhi standar,
efisiensi dan menjamin perlindungan dampak lingkungan hidup dan dampak kesehatan masyarakat;
Kompleksnya permasalahan lingkungan di rumah sakit memerlukan pengelolaan lingkungan hidup yang
dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan. Perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan perbaikan
berkelanjutan atas pengelolaan lingkungan rumah sakit harus dilaksanakan secara konsisten;
Untuk mengoptimalkan upaya penyehatan lingkungan Rumah Sakit dari pencemaran limbah yang
dihasilkannya maka rumah sakit harus mempunyai fasilitas pengelolaan limbah sendiri yang ditetapkan
Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1204/Menkes/SK/X/2004 tentang Persyaratan Kesehatan
Lingkungan Rumah Sakit;
Dalam rangka mendukung upaya-upaya tersebut diatas, Jajaran Manajemen Rumah Sakit Umum Daerah
(RSUD) Lebong Kabupaten Lebong Provinsi Bengkulu memandang perlu menindakanjuti dengan
membangun instalasi pengolah air limbah (IPAL) dengan memanfaatkan teknologi membran sebagai
langkah awal dalam mendukung upaya pengendalian pencemaran dan dan daya rusak air.
Maksud dan Tujuan
Maksud dan Tujuan dari penelitian ini adalah termanfaatkannya air setelah pengelolaan air limbah dengan
menggunakan teknologi membran guna meminimalkan daya rusak air di Rumah Sakit Umum Daerah
(RSUD) Lebong Kabupaten Lebong Provinsi Bengkulu.
Metodologi
Metodologi pelaksanaan kegiatan ini adalah sebagai berikut:
1. Survai lapangan yang dilaksanakan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Lebong Kabupaten
Lebong Provinsi Bengkulu.
2. Melakukan observasi lapangan dan perencanaan penentuan pengambilan data-data sekunder. Selain
itu juga dilakukan analisis sistem pengolahan air limbah.
3. Pengumpulan data, dengan target mendapatkan data-data sebagai berikut:
a.
b.
c.
d.
Peta lokasi.
Peta pengelolaan air.
Jumlah pemakaian air.
Peta penyebaran sumber limbah.
4. Pengolahan data dan analisis, yaitu dengan melakukan pengolahan data sekunder dan data primer
dengan bantuan perangkat lunak basis data dan statistik kemudian hasilnya dianalisa.
Hasil Yang Diharapkan
Hasil yang diharapkan dari penulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Diperolehnya data tentang sebaran sumber buangan limbah.
Bandung, 12 September 2015
79
KAJIAN PUSTAKA
Rumah sakit yang meliputi kegiatan rawat jalan, rawat inap, dan pemeriksaan penunjang seperti
laboratorium, radiologi, pathologi, kedokteran nuklir serta kamar operasi/bersalin dan lain-lain, tentunya
menghasilkan limbah yang bila dibiarkan akan mengganggu kesehatan dan lingkungan sekitarnya. Ada
pelbagai macam pembagian jenis limbah yang dihasilkan oleh rumah sakit antara lainnya :
1.
Limbah Non-medis :
Limbah ini mempunyai karakteristik seperti limbah yang dihasilkan oleh lingkungan rumah tinggal dan
lingkungan hidup masyarakat pada umumnya. Limbah non-medis ini bisanya berasal dari kegiatan
pelayanan administrasi umum/medis, poliklinik (out patient department), dapur, loundry dan gudang dari
suatu rumah sakit.
2. Limbah Medis :
Limbah ini mempunyai karakteristik seperti yang dihasilkan industri farmasi, dll atau seperti limbah medis
di rumah sakit pada umumnya, limbah ini bisa berasal dari antara lain; kamar operasi/bersalin, pathologi,
laboratorium, rotgen (x-ray) dan lain-lain. Limbah yang dihasilkan dari kegiatan-kegiatan ini berpotensi
untuk menghasilkan bahan/zat-zat yang mengandung B3 (bahan berbahaya dan beracun).
Limbah yang dihasikan oleh rumah sakit dapat dipisahkan, menurut sumber dari setiap fungsi kegiatan
yang dilakukan dalam rumah sakit.
a. Limbah dari pelayan Unit Rawat Jalan, Administrasi .
Kegiatan pemeriksaan, poliklinik, laboratorium, X-Ray, administrasi menghasilkan jenis
limbah.
Limbah padat/kering: Seperti spuit/jarum suntik, perban, kapas, plester
Limbah cair
: Seperti faeces, urine, dan cairan lainnya. Sumber limbah dari klosed,
wastafel, orinoar
Limbah cair
: Seperti facces, urine, darah, dahak, dan cairan Sumber limbah dari
klosed,wastafet,spoel hok dll
Limbah cair
: Seperti bekas cucian beras, sayuran, daging dan Ikan serta minyak, lemak /
grease. Sumber limbah dari bak kontrol atau penangkap lemak.
80
desinfectan
dan
Limbah cair
: Seperti spuit, botol-botol percobaan, tabung gelas, botol obat obatan bekas
Limbah Cair
: Cairan yang mengadung zat kimia, dan organ tubuh. Sumber limbah dari
wastafel / Spoel Hok dan bak cuci foto Rongen dan bak penampungan
khusus.
f.
: Seperti spuit / jarum suntik, kapas, perban, plester, Sisa makanan, organ
tubuh
Limbah cair
: Darah, abses, ketuban, urine, air cucian Sumber limbah dari Spoel hok,
wastafel dan bak
Semua hasil limbah yang ada dalam gedung rumah sakit seperti yang disebutkan diatas perlu ditangani
dengan seksama, karena limbah yang dihasilkan termasuk limbah yang kompleks dan rumit serta
berpotensi untuk mencemari lingkungan maupun air tanah disekitarnya, karena mengandung bahan
senyawa polutan. Penanganan limbah cair, antara lain :
a. Limbah padat kering (Rubbish) :
Yang mengandung bahan B.3 limbah ini berasal dari Laboratorium, Operasi, Bersalin, Rongen/XRay berupa spuit/ jarum suntik, kemasan obat, perban, kapas, plester dll ini dimasukkan kedalam
incenerator, yang merupakan alat pemanasan / pembakaran dengan bahan bakar solar yang
temperaturnya 1.000 C dan diberi corong asap tinggi agar cukup aman untuk lingkungan
sekitarnya.
b. Limbah padat basah (Garbage) :
Limbah yang banyak mengandung air dan berasal dari gedung dapur (kitchen) dan Laundry
(cuci), rawat inap. Hasil limbah ini dimasukkan atau dibuang kedalam tempat pembuangan yang
disediakan oleh rumah sakit dan kemudian dapat diangkut ke Tempat Pembuangan Sampah
(TPS) atau langsung ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA). (Proses dan cara kerja diatas ad 1
dan ad 2 tidak dibahas lebih lanjut)
c.
Limbah cair :
Merupakan air limbah yang dihasilkan dari semua kegiatan dalam rumah sakit dan
memungkinkan mengandung migro-organisme, bahan kimia beracun dan bahan organik. Hasil
limbah cair ini sebelum dialirkan ke Unit Pengolahan Limbah cair (UPL) harus terlebih dahulu
melalui Pretreatment (pengolahan pendahuluan).
81
Agar limbah cair yang akan diolah tidak mengandung bahan-bahan yang mengganggu proses
pertumbuhan bakteri pendegradasian limbah cair dalam UPL nanti, seperti lemak (grease) dari
dapur, bahan kimia dari laboratorium, zat Pb dari Rongen/X-Ray deterjen dari laundry dll.
Sehingga beban pencemar (polutan) sudah dapat dikurangi dengan pretreatment, limbah cair
yang sudah melewati pretreatment bergabung dalam sistem sewerage menuju ke UPL untuk
dikelolah lebih lanjut.
1. Jenis/definisi
Air Kotor: Air limpasan septic tank yang berasal dari buangan WC/ kamar mandi
Air Bekas: Air buangan dari washtafel, tempat wudlu atau tempat tempat lain selain kamar
mandi
Air Limbah: Pada Rumah Sakit air limbah dapat berupa limbah cair infeksius (limbah klinis)
dan limbah padat infeksius.
Limbah cair rumah sakit adalah seluruh limbah cair (air buangan sisa aktivitas dan tinja) yang
berasal dari kegiatan rumah sakit dan seluruh fasilitas penunjangnya. Pada dasarnya air kotor
dan air bekas dapat disalurkan langsung ke Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Dengan
meningkatnya kegiatan akan meningkat pula kapasitas air limbah / air kotor yang dihasilkan.
2. Asal limbah:
Toilet/spoel hook dan wastafel, Closet, Urinoir, Cuci film, Tempat cuci di Laundry, Tempat
pemandian di Kamar jenasah, RadiologiLaboratorium, CSSD (Sterilisasi), Ruang Bedah /
operasi.
Limbah padat berasal dari : laboratorium, ruang bedah, ruang operasi, limbah padat infeksius
rumah sakit seperti : kain kasa, botol infus, anatomi tubuh, darah, baju operasi, baju pasien,
masker, jarum suntik bekas (khusus jarum suntk harus dihancurkan terlebih dahulu sebelum
masuk incinerator).
3. Kapasitas Instalasi Air Limbah,
Dihitung dari jumlah tempat tidur dan potensi limbah dari asal limbah rumah sakit.
Kapasitas limbah padat : dihitung dari banyaknya limbah yang dihasilkan rata-rata di tempat
penyimpanan sementara limbah per hari nya.
4. Identifikasi data kualitas air limbah sebelum diolah
5. Kualitas mutu limbah cair ;
Output enfluent sesuai Kep Men KLH No : kep 58 / MENLH/12/1995 untuk baku mutu limbah
cair bagi kegiatan Rumah Sakit, yaitu:
Suhu : < 30 C
BOD5
: < 30 mg/l
: 0,1 mg/l
PO4 : 2 mg/l
Mikrobiologik : 10.00/100ml
PH : 6 9
6. Karakteristik Air Limbah :
Untuk mengetahui komposisi dari air limbah, maka perlu diketahui analisis sifat-sifat air
limbah .
82
83
Carrier molecule memiliki afinitas yang spesifik terhadap salah satu komponen sehingga
pemisahan dengan selektifitas yang tinggi dapat dicapai.
Beberapa keunggulan teknologi membran:
1. Pemisahan dapat dilakukan secara continue
2. Konsumsi energi umumnya relatif rendah
3. Proses membran dapat dengan mudah digabungkan dengan proses pemisahan lainnya
(hybrid processing)
4. Pemisahan dapat dilakukan dengan kondisi operasi yang dapat diatur
5. Mudah dalam scale up
6. Tidak memerlukan bahan tambahan
7. Pemakaiannya mudah diadaptasikan karena material penyusun membran yang bervariasi
Kekurangan teknologi ini antara lain adalah fluks dan selektivitas, karena pada proses
pemisahan menggunakan membran umumnya fenomena yang terjadi adalah fluks
berbanding terbalik dengan selektivitas. Semakin tinggi fluks sering kali berakibat
menurunnya selektivitas, dan sebaliknya. Sedangkan yang diinginkan dalam proses
pemisahan berbasis membran adalah mempertinggi fluks dan selektivitas.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja membran antara lain:
1. Ukuran molekul
2. Bentuk molekul
3. Bahan membrane
4. Karakteristik larutan
5. Parameter operasional (tekanan, suhu, konsentrasi, pH, ion strength, polarisasi)
Teknologi membran dalam pengolahan air dan limbah merupakan proses pemisahan secara
fisika yang memisahkan komponen yang lebih besar dari yang lebih kecil. Berbagai jenis
proses membran dikategorikan berdasarkan driving force, jenis dan konfigurasi membran dan
kemampuan penyisihannya. Proses membran dipergunakan dalam sistem pengolahan air
minum dan air buangan seperti dalam proses desalinasi, pelunakan, penyisihan bahan
organik, penyisihan warna, partikel dan lain-lain. Proses membran telah ada sejak 25 tahun
yang lalu dan saat ini proses tersebut telah mengalami perkembangan yang pesat.
Proses membran dapat diklasifikasikan berdasarkan driving force untuk menyokong proses
pengolahan air. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penggunaan teknologi
membrane adalah:
1. Tekanan
2. Daya listrik
3. Suhu
4. Gradien konsentrasi
5. Kombinasi lebih dari satu driving force
Proses membran dengan menggunakan tekanan dan tenaga listrik hanya tersedia secara
komersial dan telah umum dipergunakan untuk proses pengolahan air minum dan
buangan. Proses membran yang paling umum adalah proses yang dijalankan dengan
tekanan, dimana tekanan di dalam dan di luar membran berbeda.
84
Berdasarkan ukuran pori membrane, membran dapat dibagi menjadi empat tipe:
1. FESF (RO)
2. Nanofiltration (NF)
3. Ultrafiltration (UF)
4. Microfiltration (MF)
Reverse osmosis merupakan proses filtrasi yang paling baik, yang dapat menyisihkan
partikel-partikel berukuran 1Ao sampai 10Ao, demikian pula dengan ultrafiltrasi yang mampu
menyisihkan partikel berukuran 10Ao sampai 1000Ao. Virus influenza dapat disisihkan oleh
alat ini. Mikrofiltrasi dapat juga menyisihkan bakteri, pseudomonas dan bakteri-bakteri
lainnya. Dalam proses filtrasi membran ini, terhadap air yang akan diolah harus dilakukan
pengolahan pendahuluan supaya partikel-partikel yang berukuran besar tidak ikut masuk,
sehingga tidak mengganggu kinerja alat yang nantinya akan merusak membran.
85
perencanaan jaringan yang tepat sesuai dengan tempat tersebut. Ada dua alternatif sistem pengumpulan
limbah yang dapat dikerjakan serta jenis dan sumber limbah yang akan diolah di IPAL ini
nanti. Gambar 1 menunjukkan system pengumpulan limbah dari sumbernya.
86
87
Submersible Pump (Pompa Proses) air Umbah yang sudah homogen dan pH netral ditransfer
kedalam Splitter Tank (D4) secara kontinyu dengan pompa celup yang dilengkapi dengan
WLC (water level controller) dan chek valve.
Splitter Tank (Tangki pembagi) dari Splitter Tank limbah cair akan dibagikan ketempat
Reaktor Anaerobik secara merata untuk selanjut nya diproses secara biologis tanpa
menggunakan oksigen (anaerobik).
f. Membran Bio Reaktor
Sistem Membran Bio Reaktor dimana limbah cair dialirkan dan difiltrasi dengan menggunakan
membran, dimana dibagi melalui tahapan:
Dalam reaktor ini limbah cair dari bak ekualisasi akan mengalami proses biologis secara
aerobik beban polutan mengalami degradasi selama 4-6jam. Dalam proses ini akan terjadi
penurunan beban polutan :
BOD 5: (70-80) %
COD: (65 - 75) %
TSS: (65-75) %
Aliran limbah cair dari bawah ke atas melalui pipa didalam reaktor. Kecepatan aliran limbah
cair diatur oleh valve butterfly yang ada pada tanki pembagi.
Bakteri aerobik tumbuh dan berkembang dalam media bakteri yang ada didalam tanki reaktor.
Gas metana dan volatile yang terjadi dalam tanki raeaktor akan dibuang ke udara lewat pipa
gas.
Lumpur bakteri yang terjadi dikeluarkan setiap 30 - 35 hari sekali (lumpur sudah berwarna
hitam) denganmembuka kran /velve 6" yang berada didasar tanki reaktor dan dialirkan ke
penirisan lumpur. Lumpur/sludge yangterjadi sedikit karena sebagian besar COC ( 55-65 )%
aerasi menjadi gas. Dalam sistem ini dilengkapi dengan diffuser yang dapat mendistribusikan
oksigen dalam butiran-butiran halus kelimbah cair. Oksigen (02) yang didistribusikan
disIPALai oleh ROOTS BLOWER. DalamprosesAerobik initerdapat beberapa alat antara lain :
Roots Blower : adalah Blower dengan type Roots yang mensIPALay Oksigen, udara yang
disIPALay sudah melalui proses filtrasi dan kompresi Disediakan 2 unit Blower (1 running dan
1 standby) yang diproses paralel dan dilengkapi dengan check valve.
Diffuser: adalah alat pendistribusi Oksigen menjadi butiran - butiran halus dalam limbah cair
sehingga oksigen terlarut dalamair limbah. Untuk itu digunakan bakteri Aerob dalam proses
filtrasi fisiologis dalam mendekomposisi limbah cair. Lumpur bakteri yang terjadi dalam tanki
Aerobik dikeluarkan tiap bulan (lumpur sudah berwarna hitam) dengan membuka kran/valve
6 yang berada dibawah dasar tanki Aerobik dan dialirkan kepenirisan lumpur.
Vacuum Flat Membrane : Dengan kemampuan filtrasi sampai 1.1 0.01 micron, sehingga
mampu menyaring zat terlarut dalam air.
g. Klorinasi:
Sebelum limbah cair yang sudah diolah (efluen) dibuang ke riol/sungai, maka harus melewari
proses desinfeksi dengan klorin. Larutan klorin yang digunakan dapat berupa NaOCl atau
CaOH2 (kaporit) dengan konsentrasi 10%. Larutan klorin didosiskan + 5 ppm. Dengan alat
dozing pump yang dikontrol oleh ORP controller agar residu klorin yang ada pada efluen stabil +
ppm alat ini setiap minggu dibersihkan agar pembacaan dan pengontrolan dosis tepat
h. Sludge Drying Bed (Penirisan Lumpur):
Sludge/lumpur yang dihasilkan dari tanki Reaktor (Anaerobik/ Aerobik) Lumpur inimengandung
kotoran dan sel bakteri yang telah mati, dibuang setiap 30-35 hari sekali dengan jalan membuka
valve lumpur. Kemudian lumpur ini ditiriskan diatas lapisan pasir dan kerikil yang ada pada bak
sludge drying bed, dapat dikumpulkan untuk digunakan sebagai pupuk tanaman/bunga.
88
89
menit/m2. Sistem yang ada pada saat ini dapat menaikkan aliran hingga 206 liter per menit/m2.
Unggun saringan yang terdiri dari dua jenis media, yaitu arang dan pasir menghasilkan lapisan
media arang yang butirannya besar (berat jenis 1,4-1,6) berada diatas media pasir yang lebih halus
(berat jenis 2,6). Susunan media dari atas ke bawah kasarhalus, akan memudahkan aliran air. Flok
yang besar akan tertahan butiran arang di bagian atas/permukaan unggun.
a. PENGOLAHAN SECARA ADSORPSI
Adsorpsi adalah penumpukan materi pada interface antara dua fase. Pada umumnya zat terlarut
terkumpul pada interface. Proses adsorpsi memanfaatkan fenomena ini untuk menghilangkan materi
dari cairan. Banyak sekali adsorbent yang digunakan di industri, namun karbon aktif merupakan bahan
yang sering digunakan karena harganya murah dan sifatnya nonpolar. Adsorbent polar akan menarik
air sehingga kerjanya kurang efektif. Pori-pori pada karbon dapat mencapai ukuran 10 angstrom. Total
luas permukaan umumnya antara 500 1500 m2/gr. Berat jenis kering lebih kurang 500 kg/m3.
b. BIAYA OPERASIONAL LISTRIK
Biaya operasional dari instalasi pengolahan limbah dan sistem penggunaan air kembali ini terdiri dari
biaya listrik untuk pompa dan blower, biaya perawatan peralatan dan mesin dan biaya tenaga
operator. Secara rinci jumlah biaya operasional IPAL tersebut adalah:
Tabel 1. Kebutuhan Daya Listrik perhari
No
1
2
3
4
Peralatan
Listrik (watt)
Jam Operasi
Jumlah KwH per Hari
Inlete Pompa
800
24
19.2
Pompa Sirkulasi
400
24
9.6
Sludge Return Pump
400
6
2.4
Unit pensupply udara
4400
24
105.6
(Blower Unit)
5
Chemichal dosing pump
42
6
0.25
Jumlah
137.05
Biaya peralatan sebesar Rp. 600.000 dengan tenaga operator sebesar Rp. 1.250.000 per orang
diperlukan sebanyak 2 orang. Sehingga kebutuhan anggaran operasional perhari yaitu:
Tabel 2. Kebutuhan Operasional Perhari
No
Jenis Biaya
Jumlah Unit
Satuan
137.05
2
3
Biaya Perawatan
Rp. 20.000,Biaya Tenaga Kerja
2 Orang
Rp. 1.250.000
Rp. 83.333,Jumlah
Rp. 171.858,Dari total biaya operasional IPAL ini dapat dihitung juga besarnya biaya operasional untuk pengolahan
limbah setiap meter kubiknya, yaitu sebagai berikut:
-
Effisiensi yang diperoleh dari sistem reuse ini diperoleh dari besarnya nilai rupiah dari jumlah air yang
dapat dihemat karena digantikan oleh air olahan IPAL ini. Secara rinci jumlah effisiensi yang diperoleh
adalah sebagai berikut:
= (Jumlah air yang di re-use x Harga air) Biaya Operasional IPAL
= (99 m3/hari x Rp.22.000/m3) - Rp.171.858,- /hari
= Rp. 2.178.000 - Rp. 171.858,- / hari
= Rp. 2.006.142 / hari.
90
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis tersebut di atas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan, antara lain:
a. Rencana pengelolaan limbah dengan teknologi Membran dan dilanjutkan dengan penggunaan air
kembali akan dapat digunakan sebagai solusi permasalahan bahaya pencemaran lingkungan dan
menghindari terjadinya defisit air bersih.
b. Teknologi membrane dapat menghemat pemakaian air bersih, tanpa mengurangi jumlah pemakaian
air. Program ini dapat menghemat pemakaian air sampai dengan 50%.
c. Ada banyak keuntungan yang akan diperoleh oleh rumah sakit jika gerakan Green Hospital (upaya
pemanfaatan kembali air dengan teknologi membrane) ini dilakukan.
Bandung, 12 September 2015
91
DAFTAR PUSTAKA
Adriaens, P., Kohler, HP.E, Kohler-Staub, D., and Focht, D.D. (1989). Bacterial dehalogenation 0f
Chlorobenzoates and coculture biodegradation of 4,4-dichlorobiphenyl. Appl. Environ. Microbiol.
5:887-892.
BPPT, (2002). Laporan akhir kegiatan Pengkajian Teknologi Pengolahan Air Limbah Industri Kecil
Pelapisan Logam. Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Lingkungan (P3TL) BPPT.
Chaney, R.L. 1980. Health Risks Assosiated with Toxic Metals in Minicipal Sludge, pp. 59-73. In G. Bitton,
B.L Risk of land Application. Proc. Ann Arbor Science Publisher, Inc.Michigan.
Forstner, W. 1978. Metal Pollution in the Aquatic Environment. Applied Science Publisher Ltd.
Overcash, M.R. (1981). Decomposition of Toxic and Nontoxic Organic Compounds in Soils. Ann Arbor
Science Publishers Inc./The Butterworth Group, Michigan USA.
Raka, I G., Zen, M.T., Soemarwoto, O., Djajadiningrat, S.T., and Saidi, Z. (1999). Paradigma Produksi
Bersih: mendamaikan pembangunan ekonomi dan pelestarian lingkungan. Penerbit Nuansa,
Bandung, Indonesia
Setiyono (2002). Sistem Pengelolaan Limbah B-3 di Indonesia. Kelompok Teknologi Air Bersih dan
Limbah Cair, Pusat pengkajain dan Penerapan teknologi Lingkungan (P3TL), Deputi Bidang
Teknologi Informasi, Energi, Material dan Lingkungan, Badan Pengkajain dan Penerapan
Teknologi (BPPT).
Setiyono (2009). Disain Perencanaan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Dan Re-Use Air Di
Lingkungan Perhotelan. Pusat Teknologi Lingkungan, Badan Pengkajain dan Penerapan Teknologi
(BPPT). JAI Vol 5. No. 2 2009
Sommers, L.E. 1980. Toxic Metals in Agricultural Crops, pp. 105-131. In G. Bitton, B.L. Damron, G. T.
Edds and J.M. Davidson; ed. Sludge: Health isk of Land Application. Proc. Ann. Arbor Science
Publisher, Inc. Michingan.
Stoewsand, G. S. 1986. Trace Metal Problems with Industrial Waste Materials Applied to Vegetable
Producing Soils, pp. 423-439. In H.D. Graham, ed. The Safety of Foods, 2nd Edition. AVI
Publishing Company; Inc. Wesport, Connecticut.
Suffet, I.H. (1977). Fate of Pollutants in the Air and Water Environments. Volume 8, Part 1, Mechanism of
interaction between environments and mathematical modeling and the physical fate of pollutants.
Advances in Environmental Science and Technology. John Wiley & Sons, A Wiley-Interscience
Publications, New York, USA.
----------- (1977). Fate of Pollutants in the Air and Water Environments. Volume 8. Part 2, Chemical and
biological fate of pollutants in the environment. Advances in Environmnetal Science and
Technology. John Wiley & Sons, A Wiley-Interscience Publications, New York,
92
Abstrak
Minihidro adalah pembangkit listrik tenaga air skala kecil, yang memiliki syarat dasar adanya air mengalir
atau debit (Q) dan perbedaan tinggi energi potensial atau biasa juga disebut perbedaan head (H). Desa
Pusaka Jaya dan sekitarnya yang berada di selatan Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat, Indonesia,
mempunyai potensi energi yang dapat dimanfaatkan, berupa aliran air di Sungai Cibuni. Potensi air yang
mengalir di Sungai Cibuni akan dimanfaatkan untuk menjadi sumber daya utama bagi pembangkit listrik
tenaga air dengan cara membangun PLTM Desa Pusaka Jaya. PLTM Desa Pusaka Jaya didesain dengan
dua buah turbin dengan debit desain 3,5 m3/s setiap turbin dan diasumsikan turbin bekerja pada rentang
40% debit desain sampai dengan 110% debit desain. Studi bertujuan untuk melakukan evaluasi terhadap
desain Pembangkit Listrik Tenaga Minihidro Desa Pusaka Jaya, terutama terhadap debit desain dan
jumlah turbin PLTM, sehingga melalui studi ini akan didapatkan desain PLTM yang menghasilkan nilai
keuntungan maksimum. Penelitian ini berlokasi pada DAS PLTM Desa Pusaka Jaya dengan luas 161,75
km2, dikarenakan data pencatatan debit yang tersedia pada Sungai Cibuni ada pada posisi AWLR
Tanggeung dengan luas DAS 296,69 km2 dengan periode pencatatan pada tahun 2003 sampai tahun
2012, maka perlu dilakukan koreksi terhadap faktor tinggi hujan rata-rata dari setiap DAS yang didapatkan
dari analisis curah hujan wilayah dengan menggunakan data pencatatan curah hujan pada stasiun Cibuni,
Rancabali dan Citambur dengan periode pencatatan 1996-2008 dan koreksi terhadap luas DAS, sehingga
mendapatkan nilai debit operasional pada posisi intake PLTM. Pemilihan desain turbin
mempertimbangkan analisis finansial dengan menggunakan metode NPV dan analisis pemanfaatan
potensi air secara maksimum. Pada kondisi awal, yaitu simulasi dengan 2 buah turbin dengan kapasitas
debit 3,5 m3/s memiliki nilai keuntungan sebesar 108.953.917.001 Rupiah dengan persentase volume air
yang tidak termanfaatkan sebesar 13,13% . Hasil analisis terhadap berbagai kondisi simulasi
menunjukkan bahwa simulasi dengan 2 buah turbin dengan kapasitas debit 3,99 m3/s memiliki nilai
keuntungan paling besar, yaitu sebesar 120.354.814.375 Rupiah dan memanfaatkan potensi air paling
maksimal yang ditunjukkan dari persentase volume air yang tidak termanfaatkan dengan nilai paling kecil,
yaitu sebesar 10,49%. Berdasarkan analisis tersebut dapat direkomendasikan desain dengan 2 buah
turbin dengan kapasitas debit desain 3,99 m3/s setiap turbin sebagai desain rencana pada PLTM Desa
Pusaka Jaya.
Kata kunci: DAS Cibuni, Pembangkit Listrik Tenaga Minihidro, Pola Operasi Turbin
LATAR BELAKANG
Tingginya tingkat pembangunan di Indonesia, berbanding lurus dengan tingginya tingkat kebutuhan
terhadap energi listrik. Berdasarkan data statistik PLN pada tahun 2012, sebagian besar penyediaan daya
listrik di Indonesia mengandalkan sumber daya alam berupa fosil fuel yang tidak dapat diperbaharui,
sehingga dibutuhkan suatu solusi terhadap kebutuhan energi listrik di masa depan. Salah satu solusi
untuk mengatasi masalah tersebut, adalah dengan memanfaatkan potensi air yang tersedia pada suatu
aliran sungai dengan membangun suatu Pembangkit Listrik Tenaga Minihidro (PLTM). Keuntungan utama
dari pembuatan PLTM adalah dapat diaplikasikan pada desa-desa terpencil, dimana untuk
93
pengembangan pembangkit listrik dengan berbahan bakar fosil biasanya tidak ekonomis, walaupun
penyediaan energi listrik harus tetap dilakukan untuk kepentingan investasi sosial.
Sehubungan dengan uraian di atas, Desa Pusaka Jaya dan sekitarnya yang berada di bagian selatan
Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat, Indonesia memiliki potensi air yang dapat dimanfaatkan berupa
aliran Sungai Cibuni. Potensi air yang mengalir di Sungai Cibuni direncanakan akan dimanfaatkan dengan
mengembangkan PLTM Desa Pusaka Jaya.
PLTM Desa Pusaka Jaya memiliki tipe pengembangan berupa run-off river dan memiliki desain rencana
dengan menggunakan 2 buah turbin, dengan kapasitas masing-masing sebesar 3,5 m3/s berjenis
horizontal francis, dengan tinggi jatuh bersih sebesar 152,4 m. Berdasarkan studi yang telah dilakukan
Barrero, dapat disimpulkan bahwa untuk turbin Francis memiliki rentang operasional antara 40% debit
desain sampai dengan 110% debit desain. Pada pengembangan PLTM Desa Pusaka Jaya, perlu
dilakukan optimasi terhadap besaran debit desain turbin dan jumlah turbin pada desain rencana, sehingga
dari hasil optimasi tersebut akan didapatkan keuntungan maksimum dari pengembangan PLTM Desa
Pusaka Jaya.
Optimasi terhadap turbin PLTM Desa Pusaka Jaya akan mengakibatkan perubahan beberapa kompenen
pada desain rencana PLTM Desa Pusaka Jaya, diantaranya diameter pipa pesat dan luas power house,
sehingga akan memberikan beberapa perubahan biaya pada PLTM. Beberapa komponen lain akan
dianggap tidak berubah jika dilakukan optimasi terhadap turbin, diantaranya konstruksi bangunan peninggi
muka air, saluran pembawa, kolam penenang dan saluran buang.
METODOLOGI STUDI
Dalam melakukan analisis optimasi turbin perlu diketahui besaran debit secara runut waktu pada posisi
bangunan pengambil PLTM Desa Pusaka Jaya. Pada studi ini, data debit yang tersedia berada pada
posisi sebelah hilir lokasi PLTM pada pos duga air otomatis Tanggeung dengan luas DAS 296,96 km2,
sedangkan luas DAS PLTM Desa Pusaka Jaya adalah sebesar 161,75 km2, sehingga perlu dilakukan
koreksi terhadap faktor luas DAS dan terhadap faktor tinggi curah hujan wilayah.
Berdasarkan nilai debit secara runut waktu pada posisi bangunan pengambil PLTM Desa Pusaka Jaya,
dapat dilakukan analisis kurva durasi, yang akan menentukan berbagai kondisi simulasi dengan berbagai
debit desain turbin yang berbeda dari masing-masing simulasi.
Hasil analisis pola operasi dari berbagai kondisi simulasi, akan menghasilkan tingkat efisiensi rata-rata
dan daya rata-rata yang berbeda, sehingga perlu dilakukan evaluasi pemanfaatan potensi air dan analisis
nilai ekonomi, dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan maksimum.
94
Debit (m3/s)
30.00
25.00
20.00
15.00
10.00
5.00
0.00
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Persentase (%)
Gambar 1. Kurva Durasi DAS Cibuni Titik Outlet Bendung PLTM
Nilai berbagai tingkat keandalan debit pada DAS Cibuni dengan titik outlet bendung PLTM dipaparkan
pada Tabel 1.
Tabel 1. Berbagai Nilai Debit Berdasarkan Tingkat Keandalan
Tingkat Keandalan
(%)
Debit
(m3/s)
20
7,98
30
6,8
40
6,16
50
5,57
60
4,88
70
4,41
80
3,98
Pada setiap tingkat keandalan dilakukan simulasi dengan membedakan jumlah turbin, yang memiliki
tujuan untuk memaksimalkan tingkat pemanfaatan sumber air yang tersedia pada posisi intake PLTM,
pada tahap analisis awal disimpulkan bahwa debit tingkat keandalan 50% sampai dengan 80% tidak
memberikan hasil yang memuaskan, sehingga tidak dilakukan analisis lebih lanjut. Berbagai kombinasi
turbin dan debit desain dari setiap tingkat keandalan debit dipaparkan pada Tabel 2.
Pada studi ini tidak dipertimbangkan jenis turbin lain, sehingga dilakukan asumsi bahwa semua turbin
yang digunakan berjenis Horizontal Francis seperti pada desain awal. Dikarenakan tidak ada perubahan
posisi bangunan pengambilan dan power house, maka untuk semua di simulasi tidak ada perubahan
tinggi jatuh air, yaitu tetap sebesar 152,4 m.
Tabel 2. Kombinasi Debit Desain Turbin Berdasarkan Tingkat Keandalan Debit
Debit Andalan
(m3/s)
7,98
6,8
6,16
Jumlah Turbin
2
3
1
2
3
2
3
95
Untuk berbagai kombinasi debit desain di atas, dilakukan simulasi pembangkitan energi dengan debit
runut waktu selama 10 tahun dengan metode seperti dipaparkan pada Gambar 2. Pada studi ini metode
perencanaan pola operasi turbin didasarkan kepada ketersediaan debit harian pada daerah aliran sungai
bendung PLTM Desa Pusaka Jaya. Ketersediaan debit harian akan dibandingkan dengan debit
operasional turbin rencana yang telah direncanakan pada tahap analisis debit rencana turbin. Prinsip dari
perencanaan pola operasi turbin adalah dengan melakukan variasi terhadap batas operasional dari debit
desain turbin, jumlah turbin dan daya pembangkitan turbin masing-masing. Analisis pola operasi turbin
dengan menggunakan metode yang sudah dijabarkan sebelumnya dilakukan dengan bantuan program
Microsoft Office Excel.
Untuk mendapatkan kombinasi jumlah turbin, penggunaan potensi air secara optimal dan menghasilkan
energi listrik maksimal, dilakukan 8 simulasi dengan penggunaan jumlah turbin dan debit desain seperti
disajikan pada Tabel 3.
96
Debit Desain
Debit Desain
Debit Desain
Batas Operasional
Turbin 1 (m3/s)
Turbin 2 (m3/s)
Turbin 3 (m3/s)
Turbin
1
3,5
3,5
0
0,4 < Qd < 1,1
2
3,99
3,99
0
0,4 < Qd < 1,1
3
2,66
2,66
2,66
0,4 < Qd < 1,1
4
6,8
0
0
0,4 < Qd < 1,1
5
3,4
3,4
0
0,4 < Qd < 1,1
6
2,26
2,26
2,26
0,4 < Qd < 1,1
7
3,08
3,08
0
0,4 < Qd < 1,1
8
2,05
2,05
2,05
0,4 < Qd < 1,1
Simulasi satu merupakan Simulasi yang dijadikan sebagai pembanding dalam analisis pola operasi turbin,
hal ini disebabkan pada Simulasi satu merupakan kondisi yang menjadi rencana awal dalam perencanaan
PLTM Desa Pusaka Jaya.
Simulasi
Nilai efisiensi rata-rata, daya rata-rata yang dihasilkan dan persentase waktu turbin menyala dipaparkan
dalam Tabel 4
Tabel 4. Rekapitulasi Hasil Simulasi
Efisiensi
Daya Rata-Rata
Turbin 1
Turbin 2 Aktif Turbin 3 Aktif
Simulasi
Rata-Rata
(kW)
Aktif (%)
(%)
(%)
(%)
1
82,11
6587,09
99,78
54,34
0
2
81,33
6787,93
98,82
43,22
0
3
82,32
6008,31
100
79,55
29,15
4
76,82
6610,31
93,35
0
0
5
82,27
6534,79
100
56,94
0
6
82,60
5537,69
100
89,19
45,11
7
82,35
6319,39
100
65,23
0
8
82,76
5209,70
100
92,44
53,13
Berdasarkan hasil seluruh simulasi, simulasi 2 dan simulasi 4 memiliki daya rata-rata yang lebih besar jika
dibandingkan dengan simulasi 1 atau simulasi pada kondisi desain rencana, selain itu berdasarkan hasil
dari setiap simulasi dapat dilihat bahwa simulasi 7 memiliki persentase waktu aktif turbin lebih besar
dibandingkan simulasi lain, sehingga layak untuk dianalisis lebih lanjut.
Terhadap setiap simulasi yang memiliki potensi untuk menghasilkan keuntungan, dilakukan evaluasi
pemanfaatan potensi air. Untuk mengetahui pemanfaatan potensi air secara maksimum, dapat dilakukan
dengan cara membandingkan persentase volume yang tidak termanfaatkan dari masing-masing simulasi
terhadap volume air total selama 10 tahun pada Sungai Cibuni. Nilai volume yang tidak termanfaatkan dari
masing masing simulasi dipaparkan pada Tabel 5
Tabel 5. Nilai Volume Air Yang Tidak Termanfaatkan Dari Masing-Masing Simulasi
Simulasi
97
simulasi yang telah dilakukan. Dalam analisis ekonomi ini perlu diketahui sumber pengeluaran dan
sumber pemasukan dan perbedaan dari masing-masing simulasi.
Dari setiap simulasi, perbedaan sumber pengeluaran diakibatkan oleh perubahan diameter pipa pesat,
luas power house dan kapasitas serta jumlah turbin, sedangkan perbedaan sumber pemasukan
diakibatkan oleh harga jual listrik yang dihasilkan. Untuk sumber biaya lain seperti bendung, saluran
pembawa dan saluran pembuang, diasumsikan tidak mengalami perubahan dari setiap simulasi. Jumlah
pemasukan dan pengeluaran dari masing-masing simulasi dipaparkan pada Tabel 6
Tabel 6. Pemasukan dan Pengeluaran Pada Berbagai Simulasi
98
Dalam melakukan analisis finansial dalam studi selanjutnya, sebaiknya mempertimbangkan aspek yang
lebih mendetail seperti aspek penggunaan generator dan luas kolam penenang, sehingga memberikan
hasil analisis ekonomi yang lebih akurat.
REFERENSI
Barrero, J.M.B., et al (t.t). Comparison in the Application of the Exploitation by Optimal Head Model to
Hydroelectric Power Stations in Run-Of-The-River Systems Equipped With Different Types of
Turbines. University of La Rioja Department of Mechanical Engineering, Logrono, Spain.
Direktorat Jendral Listrik dan Pemanfaatan Energi, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (2009).
Pedoman Studi Kelayakan PLTMH. IMIDAP-P-020-2008, Jakarta, Indonesia
European Small Hydropower Association (2004). Guide on How to Develop a Small Hydropower Plant.
ESHA, Europe
Fritz, J.J. (1984). Small and Mini Hydropower Systems McGraw-Hill, New York, N.Y.
Inversin, A.R. (1986). Micro- Hydropower Source Book, A Practical Guide to Design and Implementation in
Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia. (2015). Peraturan Menteri Energi dan
Sumber Daya Mineral. Nomor: 03 Tahun 2015, Jakarta, Indonesia
Sekretariat Perusahaan PT PLN (Persero). (2012). Statistik PLN 2012. No. Publikasi: 02501.130722,
Jakarta, Indonesia
Wibisono, A., Juwono, P.T., dan Wicaksono, P.H. Studi Perencanaan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro
Hidro (PLTMH) di Sungai Soko Desa Olung Siron Kecamatan Tanah Siang Kabupaten Murung
Raya Provinsi Kalimantan Tengah. In Press
Salim, S.S. (2015). Studi Evaluasi Optimasi Turbin Pembangkit Listrik Tenaga Minihidro Desa Pusaka
Jaya, Kabutpaten Cianjur. Universitas Katolik Parahyangan Fakultas Teknik Program Studi Teknik
Sipil, Bandung
http://www.gilkes.com/Turbine-Selection, diakses tanggal 27 Mei 2015
99
*mamet_ind@yahoo.com
Abstrak
Telah dilakukan penelitian berkaitan dengan permasalahan dan alternatif perbaikan yang dapat dilakukan
dalam pengelolaan Bendung Sungai Gesek, sebagai salah satu upaya penyediaan air baku di Pulau
Bintang. Lokasi penelitian berada di sekitar Bendung Sungai Gesek, tepatnya di sekitar Desa Toa Paya,
Kecamatan Tanjung Pinang Timur, Kepulauan Riau. Evaluasi dilakukan berdasarkan data pengukuran
topografi sungai, data desain sistem bendung, dan data debit banjir. Analisis dilakukan dengan cara
evaluasi sistem yang ada di lokasi penelitian dan analisis fungsi layanan bendung yang harus dipenuhi
sesuai dengan rencana awal. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa dijumpai adanya kinerja
bendung yang terganggu akibat adanya limpasan air laut yang masuk ke daerah tampung air. Agar fungsi
bendung tetap terjaga sesuai rencana awal, diperlukan perbaikan sistem bendung berupa peninggian
mercu bendung dan penyesuaian sistem pintu pelimpah banjir yang ada, sebesar 0,75 m, dan harus
diikuti dengan penyesuaian operasional sistem bendung / pelimpah saat banjir maupun saat air laut
pasang.
Kata Kunci: Penyediaan Air Baku, Bendung, Sungai Gesek, Pulau Bintan
LATAR BELAKANG
Dalam mendukung upaya pemerintah dalam penyediaan air baku di Pulau Bintan secara umum, telah
dilakukan pembangunan bendung di Sungai Gesek. Pembuatan bendung di Sungai Gesek tersebut
dilakukan untuk menahan muka air sekaligus menampung air dari Sungai gesek dan dimanfaatkan
sebagai salah satu sumber air baku di Pulau Bintan.
Sistem bangunan air yang ada di sekitar bendung di Sungai Gesek ini meliputi 3 bagian, yaitu sistem
pelimpah bendung, sistem pelimpah gorong-gorong, dan sistem intake PDAM. Sistem pelimpah bendung
dan sistem pelimpah gorong-gorong disiapkan sebagai sarana pelimpasan kelebihan air pada saat musim
penghujan, sedangkan sistem intake PDAM digunakan sebagai sarana pengambilan air dari daerah
tampungan untuk diolah menjadi air baku.
Dengan mempertimbangkan potensi banjir yang terjadi dan kapasitas tampungan air baku, muka air di
daerah tampungan dipertahankan pada elevasi El. +12,50, sehingga elevasi atas pelimpah bendung
dibangunan sama dengan elevasi dasar pelimpah gorong-gorong, yaitu El. +12,50 (Laporan SID
Penyediaan Air Baku Sungai Gesek, 2011). Namun pada perkembangannya saat air laut pasang, mercu
bendung terlimpasi oleh air laut. Kondisi ini membuat kinerja bangunan bendung tersebut tidak optimal,
dan ketersediaan air baku menjadi terganggu akibat tercampur dengan air laut.
Maksud dan Tujuan
Maksud dari penelitian ini adalah mendapatkan gambaran hasil evaluasi efektivitas sistem yang telah
dibangun dan alternatif penanggulangan yang dapat dilakukan untuk mencegah masuknya / melimpasnya
air laut di Bendung Sungai Gesek.
100
Tujuan yang akan dicapai adalah didapatkannya gambaran / acuan dalam pengelolaan sungai secara
umum, terutama dalam pengelolaan bendung yang berbatasan dengan laut di bagian hilirnya agar
didapatkan fungsi bangunan sesuai rencana desain.
Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian yang telah dilakukan adalah di sekitar Bendung Sungai Gesek, Desa Toa Paya,
Kecamatan Tanjung Pinang Timur, Kepulauan Riau.
METODOLOGI STUDI
Tahapan dan metode penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi :
1. Pengumpulan data lapangan, dilakukan dengan cara kunjungan langsung lapangan, wawancara
dengan pihak-pihak terkait, dan pengumpulan data sekunder (data topografi dan sistem
pembendungan, data debit banjir, dan data teknis eksisting Bendung - Pelimpah Sungai Gesek).
2. Analisis masalah dan evaluasi alternatif penanggulangan, dilakukan dengan pemodelan / perhitungan
matematis.
101
Q
(m3/s)
66.038
62.020
56.455
50.267
44.702
H
(m)
7.960
7.244
6.292
5.286
4.433
102
150,71
4,30
8,50
R1,50
86
13,
00
R2,
2,50
0,50
1,29
IP
X = 450.743,88
Y = 107.919,87
Z = + 11.81
4,30
X = 450.783,22
Y = 107919,08
Z = + 12.13
0,30
39,35
4,30
+13,618
0,30
107.904,792
0,30
450.703,084
4,30
0,30
4,30
R5,00
4,30
1,29
0,30
R1,72
R9,00
22,27
0,30
0,30
5,20
BM.02
,00
R1
0,30
2,43
5
72,9
3
97,8
BM.01
0
0,5
0
20,0
22,18
450.710,619
107.880,431
+13,810
0,50
+14.89
18,21
5,84
5,00
5,00
5,00
5,00
0,50
5,50
R0,
50
4,29
19,15
,00
R6
,50
R0
0,50
0,55
R1,00
30.00
AS BENDUNG GESEK
X = 450.710,41
Y = 107.855,60
5,00
5,00
5,00
5,00
5,00
5,00
IP
X = 450.796,31
Y = 107.870,14
5,23
0,50
5,50
28,00
+10.50
+10.00
+10.60
+10.60
0,50
5,50
X = 450.636,07
Y = 107.857,08
,00
R1
+14.89
50
R0,
6
6,3
6
2,3
IP
X = 450.616,33
Y = 107.874,03
24,78
,00
R1
0,50
2.50
0,50
0,50
5,50
4,29
X = 450.803,01
Y = 107.853,75
0,50
5,50
H
1,50
5,00
5,00
5,00
5,00
5,00
5,00
5,00
5,00
4,75
1,50
0,50
0
0,5
0
0,5
,00
R1
0,70
R1,0
0
1
3,1
4,5
0
0
R1,0
+15.00
0
0,5
IP
X = 450.762,88
Y = 107.824,86
0,50
+13.50
+14.89
1
3,1
27,5
4
R1,75
4,60
0,50
+15.00
Siar Dilatasi
R1,5
0
5,00
+14.89
0,5
0
5,00
R1,0
0
4,29
5,93
13,75
0,35
0,80
,00
R1
0,50
7
7,0
2,00
5,50
R0,50
R0
,50
0,50
R0,50
36.00
R1
,00
4,29
7,70
1,00
68.60
1,00
1,63
IP
X = 450.586,11
Y = 107.841,63
+15
.00
R1
,75
IP
X = 450.683,49
Y = 107.826,44
79,40
+15.00
+17,911
.00
450.787,223
107.834,543
+15
=
=
55,05
BM.08
X
Y
+15.00
G
,80
R0
0,50
0
2,8
R0,8
0
1,85
3
4
6
3,1
3
4
4,00
4,60
0
0,3
0,30
7,01
0
R0,8
IP
X = 450.770,66
Y = 107.770,36
0
0,3
0,60
IP
X = 450.801,68
Y = 107.759,31
4,60
4,00
103
Sistem pelimpah dibangun berupa gorong-gorong melintasi / menyeberang jalan yang ada untuk
menambah kapasitas limpasan sistem bendung pada saat banjir. Data teknik sistem pelimpah yang ada
secara umum adalah sebagai berikut :
Sistem pelimpah terdiri dari 6 buah gorong-gorong dari beton bertulang dengan dimensi masingmasing 2,1 m x 4 m.
Elevasi dasar pelimpah sama dengan elevasi mercu Bendung Sungai Gesek, yaitu El. +12,50.
Gambar tata letak dan detail dimensi sistem pelimpah yang ada di lapangan dapat dilihat dari Gambar 6
sampai Gambar 8.
104
Bendung didesain dan telah mempertimbangkan kondisi optimum untuk tampungan air baku dan
pengendalian banjir. Dimensi dan elevasi mercu bendung serta pelimpah, telah dilakukan analisa /
studi dengan mempertimbangkan potensi genangan banjir saat musim penghujan dan volume air
optimum yang didapatkan ditampung pada saat musim kemarau (Laporan SID Penyediaan Air Baku
Sungai Gesek, 2011).
Sistem bendung yang telah dibangun belum mempertimbangkan adanya air laut pasang. Hal ini
terlihat adanya limpasang air laut pasang sampai di atas mercu bendung.
Tinggi limpasan yang terekam (0,6 m) di atas mercu dianggap sebagai tinggi muka air laut maksimum
yang mungkin terjadi (Laporan Advis Teknik Evaluasi dan Alternatif Penanggulangan Bendung
Sungai Gesek, 2014).
Mengingat dimensi dan elevasi sistem bendung serta pelimpah telah mempertimbangkan optimasi
kinerja sistem bendung, maka konsep penanggulangan yang akan dilakukan sedapat mungkin tidak
merubah dimensi dan elevasi operasional bendung serta pelimpah.
Untuk mengatasi kemungkinan limpasan akibat pasang air laut (0,6 m), asumsi peninggian sistem
yang dapat dilakukan adalah sebesar (0,75 m).
Memperhatikan sistem bendung dan pelimpah yang ada, potensi pelimpasan dapat terjadi melalui atas
mercu dan sistem pelimpah. Sehingga kedua bagian ini menjadi kunci utama yang harus ditinggikan untuk
menanggulangi potensi limpasan air laut tersebut.
Alternatif Perbaikan Sistem
Seperti disampaikan pada pembahasan sebelumnya, 2 bagian utama yaitu sistem bendung dan pelimpah
beserta bangunan pelengkapnya perlu dilakukan peninggian.
105
Menambah / meninggikan elevasi mercu bendung sebesar 0,75 m yang dilengkapi sistem angkur
untuk mengikat lapisan beton lama dengan lapisan beton baru pada mercu bendung.
Manambah tinggi daun pintu bilas sebesar 0,75 m mengikuti peninggian pada mercu bendung yang
akan dilakukan.
Menambah tinggi tembok pangkal dan tanggul banjir sebesar 0,75 m. Hal ini dilakukan agar terpenuhi
persyaratan tinggi jagaan terhadap tembok pangkal terkait dengan peninggian elevasi mercu
bendung.
Alternatif perbaikan sistem bendung dan bangunan pelengkapnya ini dapat dilihat pada Gambar 9 dan
Gambar 10.
106
Menambah sistem pintu di hilir sistem pelimpah gorong-gorong. Sistem pintu ini akan diturunkan
sampai dengan elevasi El. +12,50 (sama dengan elevasi awal mercu bendung) untuk kondisi normal
(sedang tidak pasang), dan akan dinaikkan setinggi 0,75 m pada saat air laut pasang. Jadi pada saat
kondisi normal elevasi muka air sama seperti kondisi eksisting (El. +12,50).
Menambah sistem sekat balok di udik gorong-gorong. Sistem sekat balok dapat ditutup jika akan
dilakukan perawatan / perbaikan pada pintu yang ada di hilir gorong-gorong.
Gambaran alternatif perbaikan sistem pelimpah ini dapat dilihat pada Gambar 11.
Hal utama yang harus diperhatikan dalam skema alternatif perbaikan sistem ini adalah sebagai berikut :
Untuk kondisi normal, mempertahankan elevasi muka air pada elevasi El. +12,50 (seperti kondisi
eksisting), dengan membuka pintu yang dipasang di hilir pelimpah gorong-gorong.
Untuk kondisi pasang air laut, pintu air di hilir pelimpah gorong-gorong dinaikkan setinggi 0,75 m.
Dengan pola operasi sistem seperti tersebut di atas, secara umum kinerja sistem bangunan tidak berubah
dari rencana awal (baik untuk kepentingan tampungan air maupun untuk optimasi banjir), dan dapat
mengatasi kemungkinan limpasan air laut pasang. Perbandingan antara skema desain awal dan alternatif
perbaikan terhadap sistem bendung dan pelimpah dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Perbandingan Kinerja Sistem Bendung-Pelimpah Kondisi Awal dan Kondisi Perbaikan
Kondisi Eksisting
Elevasi mercu bendung dan pelimpah El. +12,50
untuk meminimalkan potensi banjir (back water)
Mempertahankan elevasi El. +12,50 untuk
tampungan air baku
Terjadi limpasan air laut pasang
Kondisi Perbaikan
Mempertahankan elevasi muka air pada El. +12,50
dengan mengatur bukaan pintu pada pelimpah
gorong-gorong (kapasitas limpasan banjir masih
cukup)
Mempertahankan elevasi muka air pada El. +12,50
dengan mengatur bukaan pintu pada pelimpah
gorong-gorong (tidak mengurangi volume
tampungan awal)
Menaikkan pintu setinggi 0,75 m pada saat air laut
pasang (air laut tidak limpas ke daerah tampungan)
107
SF Pt / Rh 1,64
Keamanan guling
SF
MT
2.39
MG
108
DH
P = H - DH
0.00
2.15
2.15
0.45
4.15
3.70
0.49
4.15
3.66
0.72
3.15
2.43
0.85
3.15
2.30
1.07
4.15
3.08
1.11
4.15
3.04
1.34
3.15
1.81
1.52
3.15
1.63
1.75
4.15
2.40
1.79
4.15
2.36
2.01
3.15
1.14
2.22
3.15
0.93
2.33
3.65
1.32
2.51
3.65
1.14
2.76
4.75
1.99
2.91
4.75
1.84
3.25
3.25
0.00
0.50
-6.90
177.55
226.39
Momen
(KN.m)
240.14
1.24
463.29
13.59
157.60
0.98
360.46
21.85
87.04
0.70
146.79
17.66
84.65
7.18
39.39
2.23
1,644.79
G
G0
G1
G2
G3
G4
G5
G6
G7
G8
G9
Momen
(KN.m)
1488.34
940.01
861.67
149.82
72.62
119.57
81.07
447.87
120.61
70.70
4,352.28
109
No.
1
2
3
4
Gaya
Hidrostatis
Berat Sendiri
Gaya Gempa
Tekanan Tanah
REFERENSI
Balai Wilayah Sungai Sumatera IV, Pekerjaan SID Penyediaan Air Baku Sungai Gesek, 2011, Batam.
DHI Water & Environment, MIKE 11 A Modelling System for Rivers and Chanels User Guide, June 2002.
Eka Kumala, Yiniarti. 2015. Bahan Angkutan Sedimen. Program Magister PSDA ITB, Bandung.
Petersen, M. 1986. River Engineering, Prentice Hall, Englewood Cliffs, New Jersey.
Puslitbang SDA, Laporan Advis Teknik Evaluasi dan Alternatif Penanggulangan Bendung Sungai Gesek,
Agustus 2014.
110
Abstrak
Sungai Musi merupakan sungai terbesar dengan panjang lebih dari 750 kilometer dan lebar rata-rata 540
meter dimana lebar maksimum 1.350 meter berada di sekitar Pulau Kemaro. Pada dasarnya, sedimentasi
yang terjadi di Sungai Musi memang termasuk sedimentasi tingkat tinggi disebabkan adanya pertemuan
arus antara Sungai Musi dan arus laut di selat Bangka. Kondisi pendangkalan sungai Musi kian parah
karena endapan lumpur mencapai sekitar 40 cm per bulan. Bahkan, volume endapan bisa mencapai 2,5
juta meter. Sepanjang alur pelayaran Sungai Musi dari Pelabuhan Boom Baru hingga selat Bangka
terdapat 13 titik pendangkalan. Empat titik sudah sangat rawan, karena pendangkalan mencapai 4 meter.
Lokasi yang cukup rawan itu yakni di Pulau Payung bagian utara dan Muara Jaram, sedangkan lokasi
yang mengalami pendangkalan paling parah antara lain di ambang luar, muara selat Jaran dan perairan
bagian Selatan Pulau Payung serta sedimentasi alur mencapai 7 km, sehingga kapal yang melintasi alur
Sungai Musi harus berpedoman pada pasang surut air yang terjadi. Penelitian ini dilakukan dengan
pendekatan model perangkat lunak MIKE-21 Flow Model dan hasil yang didapatkan dari penelitian ini
adalah pola pergerakan aliran antara lain arah dan kecepatan arus serta model hidrodinamika kedalaman
sungai mulai dari pada ambang luar Sungai Musi sampai dengan Sungai Musi yang terpengaruh air
pasang surut.
Kata kunci: Sungai Musi, MIKE-21 FM, pergerakan aliran
LATAR BELAKANG
Sungai Musi yang merupakan sungai terbesar dengan panjang 750 kilometer dan lebar rata-rata 540
meter (lebar terpanjang 1.350 meter) berada di sekitar Pulau Kemaro dan (lebar terpendek 250 meter)
berlokasi di sekitar Jembatan Musi II. Sungai Musi memiliki dua pulau yaitu Kembaro (Kemaro) dan Kerto.
Ketiga sungai besar lainnya adalah Sungai Komering dengan lebar rata-rata 236 meter, Sungai Ogan
dengan lebar rata-rata 211 meter dan Sungai Keramasan dengan lebar rata-rata 103 meter (Dinas PU BM
& PSDA kota Palembang, 2012).
Sungai Musi tak hanya dimanfaatkan oleh penduduk sekitar saja . tetapi juga oleh perusahaanperusahaan besar yang terletak di sepanjang aliran sungai Musi. Mereka menggunakan sungai Musi
untuk mengirimkan produk-produk dan mendatangkan bahan baku melalui kapal. Sehingga banyak
kapal-kapal besar dan bahkan sangat besar yang mondar-mandir di sungai Musi ini. Beberapa
perusahaan yang terdapat di sepanjang sungai Musi adalah PT. Pertamina, PT. Pupuk Sriwijaya (PUSRI),
Wilmar Group dan Pelabuhan Boom Baru, dan Pelabuhan Kapal Ferry di 35 ilir. Peranan sungai Musi
yang sangat vital dalam kehidupan sehingga di sebut urat nadi kota Palembang saat ini mulai di hantui
berbagai masalah, salah satu permasalahannya yaitu terjadinya pendangkalan sungai yang terus
meningkat setiap tahunnya. Tentu hal ini sangat merugikan Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan,
apalagi saat ini Provinsi Sumatera Selatan sedang gencar-gencarnya menarik minat investor untuk
menanam modal dalam bernagai sektor bisnis di Sumatera Selatan. Pada dasarnya, sedimentasi yang
111
terjadi di sungai Musi memang termasuk sedimentasi tingkat tinggi disebabkan adanya pertemuan arus
angtara sungai Musi dan arus laut di selat Bangka.
Kondisi pendangkalan sungai Musi kian parah karena endapan lumpur mencapai sekitar 40 cm per bulan.
Bahkan, volume endapan bisa mencapai 2,5 juta meter. Sepanjang alur pelayaran Sungai Musi dari
Pelabuhan Boombaru hingga selat Bangka terdapat 13 titik pendangkalan. Empat titik sudah sangat
rawan, karena pendangkalan mencapai 4 meter. Lokasi yang cukup rawan itu yakni di Pulau Payung
bagian utara dan Muara Jaram, sedangkan lokasi yang mengalami pendangkalan paling parah antara lain
di ambang luar, muara selat jaran dan perairan bagian Selatan Pulau paying serta panjang sedimentasi itu
bisa mencapai 7 km. sehingga Kapal-kapal yang melintasi sungai Musi harus berpedoman pada pasang
surut Air Sungai Musi.
METODOLOGI STUDI
Penelitian ini akan dilaksanakan dengan pemodelan dan simulasi pola arus serta transpor sedimen di
perairan Selat Bangka pada posisi 2.07 2.38 LS dan 104.85 105.17 BT. Lokasi penelitian seperti
pada Gambar 1.
Pergerakkan sedimen di sungai dapat diselesaikan berdasar persamaan sedimen menurut Exner adalah:
(1 p ).B.
Qs
(1)
dimana :
B : lebar saluran.
: elevasi saluran.
p : perositas lapisan aktif.
t : waktu.
x : jarak.
Qs : jumlah pergerakkan sedimen
No.
1
2
3
112
Nama Alat
Alat Tulis
Komputer (RAM 2
GB)
Printer
Banyaknya
2 buah
1 unit
Kegunaan
Alat bantu menulis hasil pencatatan data
Melakukan pemodelan secara umum\
1 unit
Software MIKE-21
1 buah
Untuk melakukan pemodelan dan pengolahan data
Model, MS-Excel,
5
Dongle (lisensi
1 buah
Untuk mengaktifkan software MIKE-21 Flow Model
program)
6
Laptop dan Printer
1 buah
Membantu dalam pembuatan laporan
Data yang digunakan dalam analisis seperti pada Tabel 2 berdasarkan jenis, sifat, sumber dan satuan dari
data.
Tabel 2. Jenis dan Sumber Data yang Diperlukan
No
Jenis data
1
2
3
Pasang surut
Batimetri
Arah dan kecepatan arus
Debit Sungai
Sedimen dasar
Konsentrasi sedimen
tersuspensi (TSS)
Debit sedimen dari sungai
8
Keterangan : P = Primer; S= Sekunder
7
Sifat Data
P
S
Sumber
Satuan
Lapangan
Bakorsurtanal/Pelindo
Lapangan
m
m
o
( ) dan m/s
Lapangan
m3/s
BMG
( o ) dan m/s
Lapangan
mm atau
Lapangan
mg/l
Lapangan
gr/s
113
3. Boundary conditions
114
115
116
REFERENSI
Hartoyo Suprianto, Sumarjo Gatot Irianto, Robiyanto H. Susanto, and FX BartSchult. Suryadi, 2006,
Potential and constrains of water management measures for tidal lowlands in South Sumatra. Case
study in a pilot area Telang I. In proceedings of the 9th Inter- Regional Confrence on water
environment. Enviro water, Concept for Water management and multifunctional land uses in
lowlands, Delft, the Netherlands.
Harinaldi, 2005, Principles of Statistics for Engineering and Science, Erland Jakarta, Indonesia
Indarto, 2010, Hydrology, Basic Theory and Application Model Example Hydrology, PT. Earth Literacy,
Jakarta, Indonesia Joint Working Group, Ministry of Public Works and Rijkwaterstaat., 2005.
Technical Guidelines On Tidal Lowland Development. Volume II: Water Management.
Munir, S, 2010, Role of sediment transport in operation and maintenance of supply and demand based
irrigation canals, PhD Thesis UNESCO-IHE, Delft, The Netherlands
Paudel, 2010,Role of sediment in the design and management of irrigation canals, Sunsari Morang
Irrigation Scheme, Nepal, Ph.D Thesis, UNESCO-IHE, Delft, The Netherlands
Schultz, B and Vries, W.S., 1993. 15th Congress on Irrigation and Drainage: Water Management in the
Next Century: Q.45 R.17: Some Typical Aspects of Maintenance Drainage Systems in Flat Areas.
The Hague
Schultz, E. 1993. Land and Water Development: Finding a balance between implementation, management
and sustainability. IHE Delft. Netherlands
Schultz, B, Zimmer, D, and Vlotman, W.F., 2007. Drainage under Increasing and Changing Requirements.
The Journal of the International Commission on Irrigation and Drainage. John Wiley and Sons Ltd
Supriyanto, H., 2004. Where do We Stand on Swamplands Development. Regional Teaching Seminar on
Tidal Lowlands
Supriyanto, H, Irianto, S.G, Susanto, R.H, Suryadi, F.X, Schultz, B., 2006. Potentials and Constraints of
Water Management Measures for Tidal Lowlands in South Sumatera. Case Study in a Pilot Area in
Telang I. In Proceedings 9th Inter-Regional Conference on Environment-Water. Delft.The
Netherlands
Suryadi, F.X, October 1996. Soil and Water Management Strategies for Tidal Lowlands in Indonesia.
Netherlands, A.A. Balkema, Rotterdam. The Netherlands
Suryadi, F.X, 2004. Pengembangan Daerah Rawa Pasang Surut di Sumatera Selatan, Pengalaman
Pengembangan Daerah Rawa dan O&P Telang I.Land and Water Management Tidal Lowlands
Suryadi, F.X, 2007. Lecture Notes. Unsteady Flow. Unesco IHE. The Netherlands
Warga Dalam, Djajamurni, 2008, policy development and management of swamp (now and in the future),
Papers in the Workshop on the Strengthening of Tidal Lowland Development (STLD), Jakarta.
Indonesia
117
Abstrak
Jakarta, dimana lebih dari 40% wilayahnya berada dibawah permukaa air laut rata-rata (low-land),
sehingga debit banjir sulit untuk mengalir secara gravitasi ke laut, inilah factor yang menyebabkan setiap
tahun Jakarta selalu mengalami banjir. Selain itu terlalu banyak kendaraan yang melintas dan kurangnya
fasilitas jalan hal ini menyebabkan Jakarta mengalami kemacetan. Metode yang dipakai menggunakan
filosofi pengendalian banjir berbasis siklus hidrologi dari suatu sistim sungai, dimana pada masing-masing
dari collecting, transporting & dispersal sub-sub sistim akan ditangani dengan kaidah-kaidah yang berlaku
yaitu watershed management, river engineering and coastal and river engineering, dan untuk low-land
diperlukan pengaliran gravitasi dan kombinasi sistim polder & pemompaan, sekaligus penataan areal
muara dengan sistim reklamasi yang postif. Sehingga untuk maksud tersebut dasar sungai-sungai yang
ada di Jakarta harus dinaikkan agar dicapai elevasi dasar sungai yang mampu mengalir ke laut secara
gravitasi. Kemacetan lalu-lintas diusulkan dengan membuat sub-way yang akan dibangun dibawah dasar
sungai yang dinaikkan sebagaimana usulan tersebut diatas, dan dipakai untuk dilalui kendaraan atau
KRL. Cara tersebut diharapkan dapat mengatasi masalah banjir dan kemacetan lalu-lintas di Jakarta.
Kata kunci: banjir , macet, reklamasi,
PENDAHULUAN
Ada 3 (tiga) masalah besar yang terjadi di Jakarta, pertama adalah banjir, dimana lebih dari 30% wilayah
Jakarta berada dibawah permukaan air laut rata-rata Sea Normal Water Level (SNWL) atau yang dikenal
sebagai low-land, sehingga debit banjir sulit untuk mengalir secara gravitasi ke laut. Inilah faktor yang
menyebabkan Jakarta selalu mengalami banjir setiap tahun.
Kedua adalah macet, dimana faktor penyebabnya adalah terlalu banyaknya kendaraan yang melintas di
kota Jakarta dan kurangnya fasilitas jalan sehingga Jakarta mengalami kemacetan lalu-lintas yang cukup
parah.
Ketiga adalah reklamasi pantai untuk pengembangan real-estate yang belum mempertimbangkan aspek
pengendalian banjir, sehingga tanpa disadari oleh pihak terkait bahwa dimulut muara sungai inilah debit
banjir Jakarta tersumbat oleh perilaku reklamasi pantai
Ketiga masalah tersebut diatas akan dibahas dan diusulkan sebagai program penanganan banjir,
kemacetan serta reklamasi pantai secara terpadu untuk kota Jakarta.
METODOLOGI STUDI
Metode yang dipakai menggunakan pendekatan filosofi pengendalian banjir dan kemacetan lalu lintas
adalah berbasis siklus hidrologi dari suatu sistim sungai, dimana pada masing-masing dari collecting,
transporting & dispersal sub-sub sistim akan ditangani dengan kaidah-kaidah yang berlaku yaitu
watershed management, river engineering and coastal and river engineering, dan untuk low-land
diperlukan pengaliran gravitasi dan kombinasi sistim polder & pemompaan, sekaligus penataan areal
muara dengan sistim reklamasi yang postif.
118
119
perencanaan pengendalian banjir harus mengacu pada sistim ini menggunakan solusi sesuai dengan
kaidah penanganan banjir untuk masing-masing sub-sistim.
3. Perancangan pengendalian banjir setiap penggal river sub-systems
Difinisi banjir dapat disebutkan adalah suatu keadaan dimana permukaan air seteempat lebih tinggi dari
muka air dalam keadaan normal, yang disebabkan oleh berbagai macam penyebab. Pengendalian banjir
di areal collecting sub-system atau di areal catchment area akan dilakukan dengan kaidah watershed
management dimana hasil akhir yang diharapkan adalah rendahnya koeffisien run-off dan kecilnya erosi
dan sedimentasi. Realisasi jenis penanganan pekerjaan ini adalah dapat berupa greening programme,
terassering, reforrestation, dan lainnya.
Pengendalian banjir pada bagian transporting sub-system atau pada jaringan sungai akan dilakukan
dengan menggunakan kaidah flood control engineering yang pada prinsipnya akan dapat dilakukan
dengan kaidah river improvement atau normalisasi profil sungai sesuai dengan kapasitas desain debit
banir yang direncanakan dan discharges control atau pengendalian massa air dari debit banjir yang
dapat direncanakan dengan discharge distributions, retarding basin, retension basin, dan lainnya.
Pengendalian banjir pada areal dispersal sub-system, sedimen merupakan endapan yang terbawa dari
catchment area, yang juga merupakan material pembentuk delta, mengendap di mulut muara sungai ini
akan dibongkar dilakukan dengan tujuan membuat agar arel mulut muara sungai terbebas dari
discharges sediment blocking dan bebas dari pengaruh littoral sedimentations. Kaidah yang digunakan
adalah kombinasi dari flood control engineering dan coastal engineering. Upaya ini diwujudkan dengan
mengeruk sedimen yang ada di mulut muara sungai dengan cara dredging maupun floating back-hoe
dan lainnya dengan tujuan untuk mendapatkan dimensi normal alur di muara.sungai..Material hasil
pengerukan inilah yang bisa digunakan untuk material pengurukan reklamasi.Tindakan lain yang
diperlukan adalah dengan membuat bangunan penangkal proses sedimentasi di mulut muara sungai yang
disebabkan oleh penyebaran sediment laut oleh gerak gelombang, dengan bangunan berupa Jetty, breakwater, cribs, dan lainnya.
4. Perancangan banjir di areal low-land
Banjir yang terjadi di areal low-land terutama disebabkan karena curah hujan lokal akan berdampak
terjadinya genangan banjir di berbagai tempat. Hal ini terutama disebabkan karena tidak mempunyai lagi
energy-head atas massa air dimaksud untuk bisa mengalir secara gravitasi kepermukaan yang lebih
rendah. Sehingga dengan demikian ada 2 (dua) permassalahan yang akan menjadi focus penanganan
banjir yaitu mengumpulkan seluruh genangan yang ada ke suatu tempat yang memungkinkan atau yang
areal rendah (secara gravitasi) dalam suatu waduk lapangan atau polder dan dari waduk lapangan
dibuang dengan jalan dipompa (kalau memungkinkan) langsung ke laut atau melalui sistim drainase yang
tersdia untuk diteruskan menuju ke laut, dengan kapasitas pompa sesuai dengan debit pengaliran yang
dibutuhkan.
5. Fenomena banjir Jakarta dan proposal solusi pengendalian banjir Jakarta
Banjir yang terjadi di Jakarta dapat dibedakan menjadi 2 jenis: 1. Diakibatkan oleh luapan banjir kiriman
(yang tidak tertampung oleh kapasitas sungai yang ada) karena berbagai sebab, antara lain penyempitan
alur oleh hunian liar di bantaran sungai, pengendapan sedimen, penumpukan sampah dan lainnya dan
yang paling utama harus dikatakan bahwa alur drainase atau alur sungai belum normal sebagaimana
yang seharusnya secara teknis untuk suatu sistim-sungai. 2. Diakibatkan karena keadaan Kota Jakarta
sebagai low-land (terutama di Kota bawah) maka terjadinya genangan banjir local atau banjir sulit untuk
segera hilang, menjadi suatu hal yang tidak bisa dihindarkan.
Proposal solusi pengendalian banjir Jakarta, dibuat dengan mengacu pada kaidah-kaidah sebagaimana
telah diuraikan tersebut diatas, dalam bentuk:
a. Proposal pengendalian banjir kiriman, dilakukan dengan normalisasi sungai untuk seluruh sistimsungai (pada seluruh transporting sub-system dan dispersal sub-system).
b. Khusus untuk areal low-land dimana sebagian dari transporting sub-system juga mengalami
subsidenced akibat proses long period consolidation maka sistim sungai pada bagian yang
120
mengalami penurunan ini perlu dinormalkan dengan jalan mengangkat dasar sungai yang
bersangkutan dengan maksud agar bisa didapatkan kemiringan graviatsi dasar sungai tersebut. Hal ini
akan dilakukan dengan suatu perencanaan dan perancangan yang komperhensip secara bersamasama oleh stake holder terkait.
c. Sedangkan untuk proposal solusi banjir lokal, sifatnya hanya melengkapi dari apa yang telah dilakukan
oleh Pemerintah setempat, yaitu merancang kembali sistim-jaringan drainase lokal yang akan
bermuara ke waduk-waduk lapangan atau collecting storages yang disesuaikan dengan kebutuhan
pematusan genangan, untuk selanjutnya dari waduk-waduk lapangan atau collecting storages
tersebut air dipompa dan dibuang langsung ke laut atau dibuang masuk ke main-drainage system
(transporting sub-system) terdekat.
d. Sasaran penting dari proposal ini adalah: dengan mengangkat dasar sungai ke suatu elevasi yang
bisa mendapatkan potensi aliran sungai secara gravitasi,dengan cakupan disepanjang atau diseluruh
jaringan Kali Ciliwung diareal low-land kota Jakarta, maka akan mendapatkan space under the
Ciliwung rivers yang bisa dimanfaatkan untuk bangunan tunnel for sub-ways. Penekananan dari
solusi ini adalah upaya pengendalian banjir yang sekaligus mendapatkan space GRATIS hal ini
disebabkan karena digunakan lahan exs sungai sehingga tidak dibutuhkan pembebasan lahan serta
tidak ada masalah sosial (konflik dengan warga) sebagaimana yang biasa terjadi pada proses
pembebasan lahan.Penekanan solusi lain adalah terkait dengan diperolehnya alur transportasi darat
guna MENGURANGI KEPADATAN LALU-LINTAS PERMUKAAN di Jakarta.
Dampak Ikutan Pengendalian Banjir Jakarta
1. Terdapat space under the Ciliwung rivers
Tidak bisa bisa dipungkiri bahwa dengan penanganan banjir sebagaimana diuraikan diatas akan bisa juga
untuk dimanfaatkan guna kepentingan lain yaitu alternative mengatasi kemacetan lalu-lintas dan
sekaligus menata kembali proses reklamasi pantai Jakarta. Points ini didapatkan dari pengangkatan
elevasi dasar sungai sehingga menghasilkan space under the Ciliwung rivers yang bisa dimanfaatkan
sebagai sub-ways dan Proses pengerukan muara sungai untuk tujuan normalisasi alur sungai di
dispersal area, dengan material hasil pengerukannya akan bisa dipakai untuk pengurugan (reklamasi).
Sebagaimana telah disinggung diatas maka tunnel sub-way yang akan bisa dibangun dibawah dasar
sungai (yang diangkat agar bergravitasi) akan bisa dipakai untuk KRL maupun MRT adalah proposal
yang mungkin dapat diimplementasikan oleh Pemerintah dengan mengingat akan pentingnya sarana
transportasi serta keterbatastasan lahan yang tersedia, maka proposal ini bisa menjadi alternative solusi.
Space under the Ciliwung rivers akan dirancang untuk bisa dipakai sebagai tunnel sub-ways lengkap
berbagai fasilitas penunjangnya, dan dibangun dengan konstruksi concrete tunnel(dengan persyaratan
teknis yang berlaku) dan dimensi maximum selebar dasar Kali Ciliwung (yang tersedia gratis), namun
masih dimungkinkan untuk dioptimalkan sebagai proyeksi kebutuhan jangka panjang termasuk untuk
fasilitas stations & sub-ways facilities dengan upaya-upaya teknis terkait dengan kemungkinan
penambahan pembebasan lahan yang bisa diperoleh.
Keterlibatan semua unsure stake holders dalam perencanaan dan perancangan sub-way ini adalah
mutlak diperlukan, sehingga semua aspek persyaratan: teknis, konstruksi, suplai material, alat berat,
adminstratif, hukum keamanan, kesehatan, dampak sosial, lingkungan, RTRW Kota Jakarta dan lainnya
semua akan menjadi bahan pertimbangan dalam perencanan dan perancangan..
2. Hasil pengerukan sedimen di dispersal area bisa dipakai untuk reklamasi pantai
Sebagaimana telah diuraikan diatas terfokus dengan tujuan membuat agar areal mulut muara sungai
terbebas dari discharges sediment blocking dan bebas dari pengaruh littoral sedimentations.
Langkah nyata yang dilakukan adalah dengan mengeruk sedimen yang ada di mulut muara sungai
dengan cara dredging maupun floating back-hoe, dengan tujuan untuk mendapatkan dimensi normal
alur di muara.sungai serta membuat bangunan penangkal proses sedimentasi di mulut muara sungai
yang disebabkan oleh penyebaran sediment laut oleh gerak gelombang, dengan wujud bangunan berupa
Jetty, break-water, cribs, dan lainnya. Material hasil pengerukan akan bisa digunakan sebagai material
pengurukan lahan reklamasi.
121
Semua langkah-langkah yang telah diuraikan sebagaimana tersebut diatas merupakan keharusan untuk
dilakukan bagi pengembangan di areal pantai. Menjadi pertanyaan adalah apakah saat ini sudah ada
pengembang yang melakukan hal tersebut diatas? Apalagi sudah menjadi kenyataan dilapangan di Teluk
Jakarta bahwa reklamasi dilakukan dengan melupakan keberadaan Pelabuhan Tanjung Priok yang
seharusnya perlu dilindungi dari ancaman sedimentasi.Hal ini ditandai dengan semakin dekatnya areal
reklamasi dengan kolam Pelabuhan, dimana pada saat nanti sedimen pantai akan semakin terdorong ke
areal Parking Ships.atau mulut kolam Pelabuhan.
122
Abstrak
Penerapan dari sistem drainase berkelanjutan mengharuskan sebuah sistem drainase mampu mengontrol
peningkatan dari limpasan akibat dari sebuah pembangunan. Tak hanya itu, sistem drainase
berkelanjutan juga harus mampu untuk melakukan konservasi air, salah satu contohnya adalah
penyediaan air baku. Sebuah daerah industri di Tangerang, dengan luas seluas 2400 ha direncanakan
untuk menjadi sebuah daerah industri dengan menggunakan sistem cluster. Sistem cluster yang dimaksud
adalah sistem dari penanganan banjir dilakukan dengan menyediakan kolam detensi dimasing-masing
cluster yang mana luasan dari cluster tersebut sangat bervariasi. Akibat dari pembangunan tersebut,
volume limpasan bertambah sebesar 83.25% untuk periode ulang 10 tahun. Dengan mengambil luas
lahan sebesar 4.65 ha atau 4,65% dari 100 ha untuk dijadikan kolam detensi, sistem drainase mampu
mengontrol limpasan untuk periode ulang 5 tahun. Dengan meningkatkan luas lahan untuk kolam detensi
sebesar per 1%, sistem drainase mampu mengontrol limpasan untuk periode ulang 10, 25, 50, dan 100
tahun.
Kata Kunci: Sistem Drainase Berkelanjutan, Sistem Cluster, Kolam Detensi, HEC-HMS
LATAR BELAKANG
Seiring dengan perkembangan keilmuan yang ada, konsep dari sistem drainase berkembang sesuai
dengan kondisi lingkungan ataupun kebutuhan di masa sekarang. Pada mulanya, sistem drainase
dimaksudkan untuk mengalirkan secepat-cepatnya kelebihan dari limpasan permukaan keluar dari sebuah
kawasan, sistem ini sering juga disebut sebagai konsep lama. Akibat dari perkembangan dan
pembangunan yang sangat pesat, konsep lama ini tak lagi menjadi sebuah solusi yang sesuai dengan
kondisi lingkungan yang ada sekarang. Oleh karena itu terjadilah pergeseran dari konsep yang lama
menjadi sebuah konsep paradigma yang baru (Triweko, 1993).Pada konsep paradigma yang baru ini,
kelebihan limpasan tidak harus segera dibuang keluar dari kawasan tetapi harus bisa dimanfaatkan
terlebih dahulu.
Sistem drainase yang berkelanjutan merupakan sebua konsep yang baru atau pendekatan untuk
mengatur sistem drainase sedemikian rupa sehingga sistem tersebut berkelanjutan. Konsep ini
merupakan turunan dari konsep paradigma yang baru, yang mana banyak digunakan oleh beberapa
negara dengan berbagai nama ataupun pendekatan yang berbeda. Seperti halnya di Amerika Serikat,
pendekatan ini disebut sebagai Low Impact Development (LID). Konsep dari LID sendiri adalah sebuah
pendekatan untuk mengontrol dampak dari sebuah pengembangan lahan, khususnya dampak dari
peningkatan limpasan permukaan, dengan berbagai cara yang ramah lingkungan sehingga kondisi
sebelum pembangunan tereduksi paling tidak mendekati kondisi sebelum terjadi pembangunan (Hunter,
2009; Mahmmod et.al, 2010).
Secara praktis, banyak cara dalam menerapkan konsep ini dalam sebuah kawasan pengembangan, salah
satunya dengan menampung sementara kelebihan limpasan permukaan disebuah bangunan yang disebut
sebagai kolam retensi atau kolam detensi sesuai dengan kebutuhan (Wanielista, 1978; Pazwash, 2011).
Sebagai salah satu negara berkembang terbesar di dunia, Indonesia akan direncanakan untuk
Bandung, 12 September 2015
123
berkembang ke sektor industri (www.mmmindustri.com), yang itu artinya akan ada perubahan tata guna
lahan secara masif. Penggunaan kolam retensi ataupun kolam detensi merupakan salah satu solusi
pengendalian limpasan permukaan yang cukup sering digunakan di Indonesia (Bita Engineering, 2013;
Wijaya, 2013; Millenium, 2014), namun nyatanya dalam upaya penerapan dari kolam retensi maupun
detensi ini tidaklah gampang. Isu terbesar di Indonesia dalam pengembangan sebuah kawasan adalah isu
pembebasan lahan. Kerap kali isu ini menyebabkan pelaksanaan sistem drainase menjadi tidak sesuai
dengan apa yang telah direncanakan sebelumnya. Seperti contoh pada sebuah kawasan industri di
daerah Bekasi mengalami kerugian akibat banjir yang disebabkan oleh sistem drainase yang ada tidak
mampu menanggung beban limpasan. Sistem drainase semula direncanakan berdasarkan master plan
rencana, namun dikarenakan adanya masalah pembebasan lahan, master plan tersebut berubah dan
mengakibatkan sistem drainase yang telah dibangun menjadi tidak efektif.
Pada penilitan ini akan dilakukan penerapan sistem cluster pada sebuah kawasan industri berlokasi di
kota Bekasi dengan luas 2400 ha. Kawasan akan direncanakan menjadi daerah yang datar dengan
kemiringan rata-rata lahan 0,0005 m/m. kawasan ini juga berada di bawah muka air banjir sungai yang
berbatasan langsung dengan kawasan disebelah utara, oleh karena itu berdasarkan master plan yang ada
sistem drainase direncanakan menjadi semi-polder. Seperti yang dapat dilihat pada gambar di bawah ini,
kawasan industri ini akan direncanakan menggunakan sistem cluster. Maksud dari sistem cluster ini
adalah pengendalian limpasan permukaan akan dikendalikan terlebih dahulu di masing-masing cluster
dengan menggunakan kolam detensi dan jika ada pengembangan lahan yang baru harus ada luasan
lahan yang dikorbankan untuk dimanfaatkan sebagai kolam detensi.
METODOLOGI STUDI
Studi ini dilakukan dengan menggunakan bantuan perangkat lunak HEC-HMS 3.5 untuk mengubah hujan
menjadi limpasan menggunakan metode hidrograf satuan sintetis Soil Conservation Service (SCS).
Metode SCS ini sendiri mampu melakukan analisis hidrograf secara hipotetis terhadap perubahan lahan,
oleh karena itu metode ini sangat sering dipergunakan, khususnya di Indonesia. Konsep dasar dari SCS
adalah, debit diekspresikan sebagai rasio antara debit debit puncak dan waktu-waktu puncak dari
hidrograf satuannya (Chow, 1988). Nilai dari debit puncak dapat ditentukan dengan menggunakan
persamaan di bawah ini.
CA
Qp
(1)
t
Tp r t p
2
(2)
Dimana:
124
Qp
C
A
Tp
trr
tp
Ada dua parameter yang digunakan dalam mengubah hujan menjadi limpasan menggunakan metode
SCS, Curve Number (CN) dan waktu konsentrasi (tc). Dalam penelitian ini, rumus yang digunakan untuk
menghitung waktu konsentrasi menggunakan rumus dari Natural Resources Conservation Service
(NRCS). Rumus ini cocok untuk area yang memiliki luas kurang dari 800 ha dan mempunyai parameter
salah satunya adalah CN, sehingga dengan menggunakan rumus ini dapat meninjau dampak dari
perubahan tata guna lahan (SCS, 1986). Rumus NRCS ini sesuai dengan lokasi studi dikarenakan pada
lokasi studi ini akan ada perubahan tata guna lahan dari sawah menjadi kawasan industri, selain itu juga
masing-masing cluster direncanakanakan seluas kurang lebih 1 km2. Seperti yang dapat dilihat di bawah,
rumus dari NRCS adalah:
L0.8 (1000 / CN ) 9
Tc
1900S 0.5
(3)
(4)
0.7
Dimana :
Tc : waktu konsentrasi (menit)
L : panjang lahan (m)
S : kemiringan lahan (m/m)
M : faktor koreksi untuk daerah kedap air
p : persen daerah tertutup (%)
Berdasarkan ketentuan desain drainase di Indonesia, untuk daerah industri, sistem drainase harus
mampu menangani sampai dengan periode ulang 5-10 tahun (Suripin, 2004). Berdasarkan dari studi
sebelumnya (Wijaya, 2015) hujan di daerah kawasan tersebut mengikuti distribusi Log Pearson III dengan
periode ulang 5 tahun sebesar 127,9 mm dan 151,7 mm untuk periode ulang 10 tahun. Dikarenakan tidak
tersedianya data hujan durasi pendek, maka distribusi hujan diasumsikan menggunakan distribusi
mononobe, seperti gambar di bawah ini.
125
Distribusi (%)
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
69
3 Hours
63
4 Hours
55
6 Hours
18 16
14
13 11 10
9 8
7
5
6
6
Jam ke-
Setelah membangun model fisik dari kawasan, tentunya dibutuhkan data masukkan sehingga model dapat
digunakan. Seperti yang dapat dilihat dari tabel di bawah, terdapat beberapa parameter untuk basin
model. Kebutuhan atau volume kolam yang harus disediakan, berdasarkan konsep dari LID, adalah selisih
dari hidrograf sebelum terbangun dan hidrograf setelah terbangun. Menuruti Pazwash (2011), dari nilai
yang telah didapatkan dengan menggunakan metode tersebut, volume kolam harus dikalikan dengan 1,51,75 dikarenakan routing yang dilakukan untuk kolam diasumsikan mengikuti hubungan yang linear
(Pazwash, 2011). Oleh karena itu volume dari kolam harus diperbesar untuk mengantisipasi jika terjadi
gelombang di dalam kolam.
126
Seksi
Total
Area
CN
(m2)
Composite
Panjang Impervious
(meter)
(%)
Faktor
(M)
Slope
Tc
Tc
Terkoreksi
Lag
time
(m/m)
(min)
Tc (min)
min
A1
16,64
85,77
600,00
70,00
0,63
0,0008 23,33
14,65
8,79
A2
70,98
88,00
1440,00
70,00
0,66
0,0008 43,28
28,74
17,25
A3
95,23
84,85
1440,00
60,00
0,67
0,0005 61,45
41,12
24,67
A4
69,02
77,07
1534,26
60,00
0,59
0,0007 70,75
41,98
25,19
A5
11,09
49,00
1300,00
0,00
1,00
0,0025 69,29
69,29
41,58
A6
73,00
61,00
1500,00
20,00
0,85
0,0005 128,24
109,40
65,64
B1
32,07
92,00
1300,00
80,00
0,70
0,0005 43,69
30,72
18,43
B2
100,00
88,00
2000,00
70,00
0,66
0,0005 72,66
48,26
28,96
B3
100,00
88,00
2000,00
70,00
0,66
0,0005 72,66
48,26
28,96
B4
85,51
83,54
1700,00
60,00
0,65
0,0005 74,88
48,92
29,35
B5
66,54
65,63
1000,00
40,00
0,70
0,0005 82,30
57,80
34,68
B6
99,27
79,82
1800,00
50,00
0,68
0,0004 104,61
71,08
42,65
C1
32,07
92,00
1300,00
80,00
0,70
0,0005 43,69
30,72
18,43
C2
100,00
88,00
2000,00
70,00
0,66
0,0005 72,66
48,26
28,96
C3
100,00
88,00
2000,00
70,00
0,66
0,0005 72,66
48,26
28,96
C4
100,00
88,00
2000,00
70,00
0,66
0,0005 72,66
48,26
28,96
C5
100,00
88,00
2000,00
70,00
0,66
0,0005 72,66
48,26
28,96
C6
74,80
81,84
2400,00
70,00
0,57
0,0004 123,48
70,87
42,52
D1
100,00
77,40
1200,00
80,00
0,46
0,0005 68,80
31,71
19,03
D2
100,00
90,00
1700,00
80,00
0,66
0,0005 58,95
38,77
23,26
D3
100,00
90,00
1700,00
80,00
0,66
0,0005 58,95
38,77
23,26
D4
100,00
82,86
1700,00
60,00
0,65
0,0005 76,60
49,46
29,68
E1
97,64
79,40
2000,00
85,00
0,45
0,0005 97,46
43,83
26,30
E2
100,00
81,80
2000,00
85,00
0,48
0,0005 90,32
43,54
26,12
E3
100,00
81,80
2000,00
85,00
0,48
0,0005 90,32
43,54
26,12
E4
103,95
85,02
1750,00
80,00
0,56
0,0005 72,82
40,91
24,54
F1
16,52
70,00
925,00
80,00
0,41
0,0005 68,87
28,39
17,04
F2
35,49
70,00
1000,00
80,00
0,41
0,0005 73,31
30,22
18,13
F3
16,43
70,00
1000,00
80,00
0,41
0,0005 73,31
30,22
18,13
GOLF
95,70
61,00
2165,00
0,00
1,00
0,0001 384,61
384,61
230,76
Up
255,00
61,00
5000,00
0,00
1,00
0,0003 450,52
450,52
270,31
Stream
Total
2400,00
61,00
0,00
1,00
557,24
557,24
334,34
Area
Berdasarkan hasil analisis, untuk periode ulang 10 tahun limpasan permukaan meningkat untuk kondisi
setelah terbangun sebesar 1.115.776 m3. Sedangkan untuk periode ulang 5 tahun limpasan permukaan
meningkat sebesar 991.018 m3. Membandingkan hasil dari beberapa periode ulang yang ada, untuk
periode ulang yang semakin besar, persen peningkatan limpasan semakin menurun. Seperti yang dapat
dilihat pada grafik di bawah, untuk periode ulang 5 tahun limpasan permukaannya meningkat sebesar
105,69% dan period ulang 10 tahun limpasan permukaan meningkat sebesar 83,25% dari kondisi
sebelum terbangun.
127
110
100
Persentase (%)
90
80
70
60
50
40
30
0
20
40
60
80
100
120
Debit (m3/s)
0.00
5.00
10.00
15.00
20.00
25.00
30.00
35.00
40.00
Waktu (jam)
400
400
350
350
300
250
200
Debit(m 3 /s)
Debit (m 3 /s)
300
150
200
150
100
100
50
50
250
0
0
10
15
20
25
30
35
10
Waktu (jam)
400
400
350
350
300
20
25
30
35
30
35
300
Sebelum Pembangunan
50 tahun
Setelah Pembangunan 50
tahun
250
200
150
Debit (m 3 /s)
Debit (m 3 /s)
15
Waktu (jam)
250
150
100
100
50
50
Sebelum Pembangunan
100 tahun
Setelah Pembangunan 100
tahun
200
0
0
10
15
20
Waktu (jam)
25
30
35
10
15
20
25
Waktu (jam)
Gambar 6. Hidrograf sebelum dan sesudah pembangunan untuk beberapa periode ulang
Dari gambar di atas, dapat disimpulkan bahwa akibat dari pembangunan debit puncak dari limpasan akan
meningkat dan waktu menuju puncak yang semakin cepat. Berdasarkan dari hasil analisis, periode atau
distribusi hujan yang sangat menentukan adalah hujan dengan durasi 3 jam. Dari hasil ini, maka
kebutuhan dari kolam detensi untuk masing-masing cluster dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
128
Pada dasarnya, untuk mendistribusikan kebutuhan akan kolam detensi secara merata maka total
kebutuhan kolam detensi akan dibagi sesuai dengan total luas dari kawasan seluas 2400 ha, sehingga
didapat kebutuhan tampungan per ha. Setelah itu, karena kolam hanya akan direncanakan pada kawasan
industri (74%) tersebut maka akan dihitung kembali kemampuan dari sistem drainase untuk
mengendalikan dampak dari peningkatan limpasan permukaan. Dikarenakan pada biasanya,
pengembang hanya ingin mengetahui luasan yang harus dikorbankan untuk dijadikan menjadi kolam
detensi, maka dalam penelitian ini diasumsikan bahwa kedalam kolam sedalam 2 meter dengan bentuk
kolam adalah persegi. Selain itu juga, outlet dari kolam juga dibatasi dengan menggunakan spillway
dengan lebar pelimpah bervariasi dari 1-4 m dan dilengkapi juga dengan pintu dengan ukuran 0,8 m x 1 m
untuk alat penguras kolam. Berdasarkan dari asumsi-asumsi tersebut maka didapatlah luas total
kebutuhan kolam detensi untuk masing-masing cluster.
Secara garis besar hasil dari perhitungan kebutuhan tampungan dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 2. Kebutuhan tampungan untuk masing-masing cluster
Storage
(5)*
Storage
(10)
Storage
(25)
Storage
(50)
Storage
(100)
Surface
(5)
Surface
(10)
Surface
(25)
Surface
(50)
Surface
(100)
m3
m3
m3
m3
m3
m2
m2
m2
m2
m2
A1
15475
18803
22131
25459
15475
7738
9402
11066
12730
14394
A2
66007
80202
94397
108592
66007
33003
40101
47198
54296
61393
A3
88568
107614
126661
145708
88568
44284
53807
63331
72854
82377
A4
64188
77991
91795
105599
64188
32094
38996
45898
52800
59701
B2
93000
113000
133000
153000
93000
46500
56500
66500
76500
86500
B3
93000
113000
133000
153000
93000
46500
56500
66500
76500
86500
B4
79521
96622
113723
130824
79521
39760
48311
56861
65412
73963
B5
61884
75192
88501
101809
61884
30942
37596
44250
50905
57559
B6
92323
112178
132032
151886
92323
46162
56089
66016
75943
85870
C2
93000
113000
133000
153000
93000
46500
56500
66500
76500
86500
C3
93000
113000
133000
153000
93000
46500
56500
66500
76500
86500
C4
93000
113000
133000
153000
93000
46500
56500
66500
76500
86500
C5
93000
113000
133000
153000
93000
46500
56500
66500
76500
86500
C6
69563
84523
99483
114443
69563
34782
42261
49741
57221
64701
D2
93000
113000
133000
153000
93000
46500
56500
66500
76500
86500
D3
93000
113000
133000
153000
93000
46500
56500
66500
76500
86500
D4
93000
113000
133000
153000
93000
46500
56500
66500
76500
86500
E2
93000
113000
133000
153000
93000
46500
56500
66500
76500
86500
E3
93000
113000
133000
153000
93000
46500
56500
66500
76500
86500
E4
96671
117460
138250
159039
96671
48335
58730
69125
79520
89914
Seksi
Dengan data kebutuhan yang telah didapatkan, maka dengan menggunakan simulasi penulusuran banjir
tampungan, didapat bahwa dengan jumlah luasan yang telah ditentukan, seperti yang disajikan pada tabel
di atas, menunjukkan bahwa kolam mampu mereduksi hidograf banjir sampai paling tidak mirip dengan
hidograd banjir sebelum terjadinya pembangunan. Seperti yang dapat dilihat pada tabel di bawah,
perbandingan antara setelah implementasi dari sistem cluster dengan kondisi yang ingin dicapai. Dan
pada gambar di bawah juga dapat terlihat jelas bahwa dengan menggorbankan lahan sebesar 5,65%
untuk dijadikan kolam detensi sedalam 2 m mampu mereduksi banjir dengan periode ulang 10 tahun.
Untuk periode ulang yang lebih besar, 25, 50, dan 100 tahun, kebutuhan lahan untuk kolam detensi
dengan kedalaman yang sama akan bertambah sebesar 1% untuk setiap peningkatan periode ulang.
129
Debit Puncak S.
Cluster
(m3/s)
34,43
Debit Puncak
yang ditargetkan
(m3/s)
28,44
Waktu Puncak
S. Cluster
(Jam)
6,58
Waktu Puncak
yang ditargetkan
(Jam)
7,00
10
42,96
43,72
6,58
7,00
25
66,52
63,06
6,50
7,00
50
81,42
79,30
6,50
7,00
100
100,20
97,05
6,42
7,00
Periode
Ulang
40
35
Debit (m 3/s)
30
Kondisi Sebeleum
Pembangunan
Setelah Implementasi S.
Cluster, 5 tahun
25
20
15
10
5
0
0
10
15
20
25
30
35
40
Waktu (jam)
50
70
45
60
40
30
25
20
Debit (m 3/s)
35
Debit (m 3/s)
50
Kondisi Sebelum
Pembangunan
Setelah Implementasi S.
Cluster, 10 Tahun
15
Kondisi Sebelum
Pembangunan
40
Setelah Implementasi S.
Cluster, 25 tahun
30
20
10
10
5
0
0
0
10
15
20
25
30
35
40
10
15
Waktu (jam)
90
25
30
35
40
35
40
120
80
100
70
60
Kondisi Setelah
Pembangunan
50
Debit (m 3/s)
Debit (m 3/s)
20
Waktu (jam)
Setelah Implementasi S.
Cluster, 50 Tahun
40
30
20
80
Kondisi Sebelum
Pembangunan
60
Setelah Implementasi S.
Cluster, 100 Tahun
40
20
10
0
0
0
10
15
20
25
30
Waktu (jam)
35
40
10
15
20
25
30
Waktu (jam)
130
periode ulang yang lebih besar, persentase peningkatan dari volume limpasan permukaan jika
dibandingkan dengan kondisi sebelum terbangun ternyata menurun. Untuk periode ulang 100 tahun,
volume limpasan hanya meningkat 47,29% dibandingkan dengan kondisi sebelum terbangun.
Persentase ini jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan periode ulang 5 tahun yang mana volume
limpasannya meningkat sampai dengan 105, 69% dari kondisi sebelum terbangun.
2. Implementasi dari sistem cluster ternyata berhasil dalam mengontrol kelebihan limpasan akibat dari
industrisasi. Pada penilitian ini, dengan mengorbankan lahan sebesar 5,65% dari total lahan untuk
digunakan menjadi kolam detensi dengan kedalam 2 m, mampu mengontrol limpasan untuk periode
ulang 10 tahun. Dengan meningkatkan persentase lahan sebesar 1%, kolam mampu untuk
mengontrol limpasan untuk periode ulang yang lebih besar yaitu 25, 50, dan 100 tahun untuk setiap
penambahan 1% lahan.
Rekomendasi
Dalam sebuah penelitian tentunya ada sebuah kekurangan yang bisa menjadi peneilitain berikutnya. Pada
penilitain kali ini terdapat kekurangan khususnya pada masalah data hujan durasi pendek, yang mana
sangat dibutuhkan dalam melakukan analisis penulusuran banjir tampungan. Oleh karena itu perlu adanya
kajian mengenai distribusi dari hujan-hujan pendek dan simulasi kapasitas kolam jika terjadi hujan yang
berurutan.
REFERENSI
Bita Engineering. (2010) DED Flood Control Study and New Retention Ponds of MM2100 Industrial Town
Technical Recommendation, Bandung, Indonesia
Chow, V.T., Maidment, D.R. and Mays, L.W. (1998) Applied Hydrology, McGraw-hill, New York
Hunter, H.G., Engel, B. And Quansah, J. (2009) Web-Based Low Impact Development Decision Support
and Planning Tool. 2009 AWRA Annual Water Resources Conference, United States, 10
November 2009
Mahmmod, R et al. (2010) Impacts of Land Use/Land Cover Change on Climate and Future Research
Priority.American Meteorogical Society
Media Manufaktur Indonesia.(2014). National Construction of Indonesia.http://www.mmindustri.co.id
Millenium.(2014) Macro Drainage System Design of Industrial Area Cikande, Banten.Final Report
Technical Recommendation, Bandung, Indonesia (in Indonesia)
Pazwash, H. (2011) Urban Storm Water Management, Taylor and Francis group, USA
Soil Conservation Service (SCS). (1986) Urban Hydrology for Small Watersheds. Technical Release 55,
U.S. Department of Agriculture, Washington DC
Triweko, RobertusWahyudi. (1993) Integrated Urban Drainage Management in Indonesia: Challenge and
Opportunity. Inauguration Speech of Professor in Water Resources Engineering, Parahyangan
Catholic University, Bandung, 1 December 2007.A Paradigm
Wanielista, M.O. (1978) Storm Water Management Quantity and Quality, Ann Arbor Science Publisher,
Incs., Ann Arbor Mich
Wijaya, ObajaTriputera. (2013) Drainage System Design ASTRA Honda Motor Storehouse Cibereum 47
Bandung.Undergraduate Thesis of Parahyangan Catholic University, Bandung, Indonesia (in
Indonesia)
131
Abstrak
Pembangunan mengakibatkan pergeseran lahan dari hutan ke pertanian dari pertanian ke non pertanian.
Tanah longsor dan erosi menjadi permasalahan lingkungan, akibat menurunnya kondisi lahan di kawasan
DAS Citarum Hulu. Erosi menurunkan kemampuan fungsi lingkungan, baik sebagai media pengendali tata
air, media pertumbuhan tanaman maupun pada produktivitas lahan. Curah hujan yang relatif tinggi dan
didukung kondisi topografi yang berbukit-bukit di sebagian besar DAS Citarum menjadi pemicu timbulnya
erosi. Penelitian ini penulis mengkaji permasalahan yang dihadapi di DAS Citarum Hulu. Solusi
pengendalian erosi yang tepat untuk mempertahankan lapisan tanah subur, menjaga keseimbangan
hidrologi, meningkatkan hasil produktifitas pertanian. Metode yang digunakan adalah Universal Soil
Losses Equation untuk memprediksi besaran erosi dan Structural Equation Model dalam bentuk Path
Analysis dengan menggunakan regresi berganda, yaitu melihat pengaruh variabel eksogen terhadap
variabel endogen. Variabel yang diteliti erosi, sosial, ekonomi, kelembagaan dan produktivitas. Hasil
penelitian, erosi pada DAS Citarum Hulu Kecamatan Pangalengan 0,131 ton/ha/th-878,2 ton/ha/th.
Pengaruh erosi terhadap sosial 13,46%, erosi terhadap kelembagaan 4,61%, sosial terhadap
kelembagaan 20,59%, sosial terhadap ekonomi 0,23%, kelembagaan terhadap ekonomi 0,008%, sosial
terhadap produktifitas sebesar 62,09%, kelembagaan terhadap produktifitas 10,67% dan ekonomi
terhadap produktifitas 0,001%. Kesimpulan penelitian, erosi adalah permasalahan mayor, aplikasi
teknologi konservasi tanah oleh petani sayuran adalah solusi mengatasi erosi.
Kata Kunci: Erosi, Konservasi Tanah dan Air, Produktivitas Lahan
LATAR BELAKANG
Pertumbuhan ekonomi nasional rata-rata pada lima tahun terakhir periode 2009-2013 adalah sebesar 5,9
% hal ini menunjukan bahwa Indonesia merupakan Negara dengan tingkat pertumbuhan rata-rata tertinggi
di Asia Pasifik, pertumbuhan ekonomi berbanding lurus dengan pertumbuhan penduduk, laju
pertumbuhan penduduk Indonesia sebesar 1,49% pertahun (Yudhoyono, Kompas.com, 2015).
Pertumbuhan penduduk Indonesia 1,40% pertahun, dan pertumbuhan penduduk terbesar adalah Jawa
Barat (43.021.826 Jiwa Jatim (37.476.011 jiwa), Jateng (32.380.687 jiwa). Hal ini menyebabkan
kebutuhan lahan yang semakin besar, adanya pergeseran penggunaan lahan dari hutan-pertanian-non
pertanian, kerusakan lingkungan kawasan situ Cisanti serta karakteristik tanaman sayuran yang tidak
mampu menyerap air dan menahan tanah dengan kemiringan lereng 30%, pemanfaatan kawasan
sempadan sungai untuk kegiatan yang tidak semestinya (perdagangan, pemukiman, industri), terjadinya
erosi dan sedimentasi yang menyebabkan banjir dan genangan air, penurunan kualitas air karena
banyaknya limbah rumah tangga dan industri yang masuk ke aliran sungai citarum menyebabkan lahan
kritis pada umumnya akibat adanya erosi lahan dan kerusakan tanah akibat erosi dapat mengakibatkan
penurunan produktifitas lahan. Sungai Citarum dibagian hulu berperan penting dalam menampung
limpasan air permukaan. Sedang dibagian hilir Sungai Citarum dimanfaatkan sebagai sumber air baku
Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) beberapa kab/kota di Propinsi Jawa Barat. DAS Citarum juga
merupakan salah satu pemanfaatan untuk jaringan irigasi, karena mengairi seluruh areal persawahan.
132
Permasalahan yang dihadapi Sungai Citarum dibagian Hulu antara lain pemanfaatan kawasan sempadan
sungai untuk kegiatan, seperti : perdagangan, permukiman dan lain-lain, terjadinya erosi dan sedimentasi.
sehingga menyebabkan banjir dan adanya genangan air, dan penurunan kualitas air karena banyaknya
limbah rumah tangga dan industri yang masuk ke aliran Sungai Citarum.
Dengan melihat permasalahan ini, sehingga berbagai upaya akan dilakukan untuk menanggulangi
permasalahan yang dihadapi pada DAS Citarum Hulu tersebut. Tingginya laju erosi lahan akan
meningkatkan laju sedimentasi, yang berdampak pada kesuburan tanah dan menurunnya produktifitas
lahan pertanian.
Berbagai penelitian yang telah dilakukan untuk mengetahui tinggkat/laju erosi dan sedimentasi di berbagai
DAS antara lain (Sutrisno.J,dkk, 2012) melakukan penelitian di DAS Keduang, kabupaten Wonogiri yang
dikaitkan dengan umur waduk di daerah sekitar sungai. Variabel yang diukur yaitu Erosivitas hujan,
Erodibilitas tanah, panjang dan kecuraman lereng, vegetasi penutup dan pengolahan tanaman, konservasi
tanah dan biaya untuk evaluasi ekonomi. Dari hasil penelitian mereka diperoleh bahwa erosi dan
sedimentasi yang berasal dari DAS tersebut dapat membahayakan umur ekonomis waduk. (Tarigan. D.R
& Mardiatno, 2011) melakukan penelitian dengan melihat variabel yang sama seperti Sutrisno, dkk. DAS
yang diteliti adalah DAS Secang Desa Hargotirto kabupaten Kulonprogo. Peneliti ingin mengukur dan
membandingkan pengaruh erosivitas terhadap kehilangan tanah. (Saidah, H, 2007) melakukan penelitian
untuk mengetahui laju erosi lahan di DAS Dodokan, Lombok dengan memodifikasi persamaan baru
Suripin. (Nurhayati, L. et.,al, 2012) melakukan penelitian pada Lahan DAS Walikan untuk mengetahui
kekuatan hubungan erosi terhadap produktifitas lahan.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui tingkat erosi pada DAS Citarum Hulu dan mempertahankan
lapisan tanah subur pada lahan pertanian produktif dengan pola konservasi tanah dan vegetasi , sehingga
meningkatkan produktifitas lahan pertanian serta meminimalkan kerusakan lingkungan akibat kerusakan
lahan yang signifikan pada DAS Citarum Hulu, erosi yang masih dapat diteloransi, mengetahui besarnya
hubungan dua arah antar variabel eksogen dengan endogen, mengetahui produktifitas lahan pertanian
yang dipengaruhi erosi, sosial, ekonomi, dan kelembagaan, teknik mengetahui penerapan konservasi
tanah dan air baik vegetative ataupun mekanik dilahan usahatani sayuran dataran tinggi Pangalengan
dan memberikan rekomendasi teknik konservasi tanah dan air baik vegetative ataupun mekanik yang
sesuai dilahan usahatani sayuran dataran tinggi Pangalengan Adapun lokasi studi dapat dilihat pada
Gambar 1.
133
METODOLOGI STUDI
Erosi dan DAS
DAS merupakan rangkain kesatuan biologis dan hampir semua pengelolaan DAS mempunyai pengaruh
pada ekosistmnya, sehingga masalah yang terjadi pada hulu seperti larutan bahan organik akan dapat
mempengaruhi eksistensi kawasan pada bagian hilir (Susanto, 1994). Erosi adalah suatu proses dimana
tanah dihancurkan (detached) dan kemudian dipindahkan ketempat lain oleh kekuatan air, angin atau
gravitasi (Hardjowigeno, 1987). Perkiraan besarnya erosi yang terjadi di suatu DAS dapat menggunakan
model USLE (Universal Soil Loss Equation). Model ini telah lama dikembangkan oleh USDA (United
States Department of Agriculutre) dan banyak dipakai secara praktis untuk mengestimasi besarnya erosi
permukaan tahunan suatu kawasan. Faktor yang digunakan meliputi faktor erosivitas hujan, faktor
erodibilitas tanah, faktor kemiringan dan panjang lereng, jenispenutup lahan, dan faktor pengolahan tanah.
Rumus yang digunakan untuk menghitung tingkat erosi (jumlah tanah yang hilang) adalah (Wischmeier
dan Smith, 1965, 1978 dalam Sitanala Arsyad, 1989)
A R.K .LS.C.P
(1)
dimana :
A = jumlah tanah hilang (ton/Ha/tahun).
R = indeks erosivitas curah hujan tahunan rata-rata.
K = indeks erodibilitas tanah.
LS = indeks panjang dan kemiringan lereng.
Produktivitas Lahan
Produktivitas lahan adalah besarnya hasil produksi (Kg) dari lahan keluarga petani per satuan luas per
tahun (Peraturan menteri Kehutanan No. P.04/V-SET/2009). Satuan lahan yang dihitung adalah satuan
lahan dengan penggunaan lahan sebagai perkebunan, kebunan campran dan tegalan yaitu sejumlah 100
satuan lahan. Produktivitas dihitung dengan cara mengurangi hasil produktivitas brutto (Rp) dengan biaya
produksi (Rp) dan dibagi dengan luas lahan. Satuan produktivitas lahan adalah Rp/Ha/Th
Konservasi Tanah dan Air
1. Metode Mekanik
Suatu metode konservasi yang diberikan terhadap tanah dengan perlakuan fisik/mekanik untuk
mengurangi run off, memperbesar infiltrasi dan meningkatkan kemampuan penggunaan tanah al.
Pengolahan tanah (tillage), Pengolahan tanah menurut kontur(countur cultivation), Guludan dan guludan
bersaluran, menurut kontur, Parit pengelak, Teras, Dam penghambat (chek dam), Waduk, Kolam atau
balong (farm ponds), Rorak, Tanggul,Perbaikan drainase, Irigasi.
2. Metode Vegetasi
a. Penghutanan Kembali
Penghutanan kembali (reforestation) secara umum dimaksudkan untuk mengembalikan dan
memperbaiki kondisi ekologi dan hidrologi suatu wilayah dengan tanaman pohon-pohonan.
b. Wanatani
Wanatani (agroforestry) adalah salah satu bentuk usaha konservasi tanah yang menggabungkan
antara tanaman pohonpohonan, atau tanaman tahunan dengan tanaman komoditas lain yang
ditanam secara bersama-sama ataupun bergantian.
c. Strip Rumput
Teknik konservasi dengan strip rumput (grass strip) biasanya menggunakan rumput yang
didatangkan dari luar areal lahan, yang dikelola dan sengaja ditanam secara strip menurut garis
kontur untuk mengurangi aliran permukaan dan sebagai sumber pakan ternak
134
d. Mulsa
Mulsa adalah bahan-bahan (sisa tanaman, serasah, sampah, plastik atau bahan-bahan lain) yang
disebar atau menutup permukaan tanah untuk melindungi tanah dari kehilangan air melalui
evaporasi
e. Penutup Tanah (cover crop)
Tanaman penutup tanah adalah tanaman yang biasa ditanam pada lahan kering dan dapat
menutup seluruh permukaan tanah
Analisis Regresi Berganda
Adalah mengetahui hubungan variabel erosi (x1), sosial (x2), kelembagaan (x3), ekonomi (x4), terhadap
variabel produktifitas (Y) digunakan regresi linier berganda. Regresi linier berganda dapat dinyatakan
dengan persamaan berikut.
Y a b1 x1 b2 x2 ....bn xn
(2)
Dimana:
Y adalah variabel terikat (endogen)
X adalah variabel-variabel bebas (eksogen)
a adalah konstanta
b adalah koefisien regresi/ nilai parameter
Pada analisis data dengan regresi linier ganda dilakukan juga uji asumsi klasik : multikolinieritas,
normalitas, autokorelasi, dan heteroskesdastisitas. Jika semua hasil uji asumsi tersebut memenuhi
ketentuan, maka analisis regresi ganda yang telah dilakukan dapat digunakan sebagai hasil akhir uji
hipotesis penelitian mengenai hubungan hubungan variabel erosi (x1), sosial (x2), kelembagaan (x3),
ekonomi (x4), terhadap variabel produktifitas (Y)
Analisis Jalur
Analisis jalur yang dikenal dengan path analysis dikembangkan pertama pada tahun 1920-an oleh
seorang ahli genetika yaitu Sewall Wright (Joreskog dan Sorbom, 1996; Johnson dan Wichern, 1992).
Kegunaan model path analysis adalah untuk penjelasan terhadap fenomena yang dipelajari atau
permasalahan yang diteliti, prediksi nilai endogen berdasarkan nilai eksogen, dan prediksi dengan path
analysis ini bersifat kualitatif, faktor determinan yaitu penentuan eksogen mana yang berpengaruh
dominan terhadap endogen, juga dapat digunakan untuk menelusuri mekanisme (jalur-jalur) pengaruh
eksogen terhadap endogen dan pengujian model, menggunakan teori trimming, baik untuk uji reliabilitas
konsep yang sudah ada ataupun uji pengembangan konsep baru. Model Analisis Jalur antara lain :
1. Analisa Jalur Model Trimming
2. Analisis Jalur Model Dekomposisi
3. Model Regresi Berganda
Model ini merupakan pengembangan regresi berganda dengan menggunakan dua variabel
eksogenous, yaitu X1 dan X2 dengan satu variabel endogenous Y.
4. Model Mediasi
Model mediasi atau perantara dimana variabel Y memodifikasi pengaruh variabel X terhadap variabel
Z.
5. Model Kombinasi Regresi Berganda dan Mediasi
Model ini merupakan kombinasi antara model regresi berganda dan mediasi, yaitu variabel X
berpengaruh terhadap variabel Z secara langsung dan tidak langsung mempengaruhi variabel Z
melalui variabel Y.
135
6. Model Kompleks
Model ini merupakan model yang lebih kompleks, yaitu variabel X1 secara langsung mempengaruhi
Y2 dan melalui variabel X2 secara tidak langsung mempengaruhi Y2, sementara variabel Y2 juga
dipengaruhi oleh variabel Y1.
7. Model Reksrusip Dan Non Rekrusip
Dari sisi pandang arah sebab dan akibat, ada dua tipe model jalur, yaitu jalur rekursif dan non rekursif.
Model rekursif ialah jika semua anak panah menuju satu arah.
Metodologi Penelitian
A
Start
Kajian Pustaka
Erosi (X1)
Sosial (X2)
Ekonomi (X3)
Kelembagaan (X4)
Produktifitas (Y)
Kajian Empirik
Penentuan Sampel
Metodologi
Penyusunan
Kuesioner
Kawasan Pertanian Sayuran Dataran Tinggi
Pangalengen DAS Citarum Hulu
Pengisian
Kuesioner
Data Ordinal Hasil
Survey
Keadaan Lingkungan
Penentuan Variabel
penelitian Eksogen dan
endogen
Erosi Tanah
Sistem Pengendalian
Erosi
Selesai
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Structural Equation Model dalam bentuk
Path Analysis atau analisis jalur, yaitu untuk melihat pengaruh variabel eksogen terhadap variabel
endogen. Analisis jalur digunakan untuk menerangkan akibat langsung dan tidak langsung seperangkat
variabel. Sebagai variabel penyebab terhadap seperangkat variabel lainnya yang merupakan variabel
akibat. Sebelum mengambil keputusan mengenai hubungan kausal dalam jalur, terlebih dahulu dilakukan
uji keberartian (signifikasi) untuk setiap koefisien jalur yang telah dihitung. Skala pengukuran baik pada
variabel penyebab maupun pada variabel akibat harus sekurang-kurangnya interval. Dengan Succession
Interval Methods, skala ordinal dapat ditransformasikan ke dalam skala interval.
Variabel yang digunakan yaitu tata erosi, sosial ekonomi dan kelembagaan pada DAS Citarum Hulu
sebagai variabel bebas (Independent Variable) dan produktifitas sebagai variabel terikat (Dependent
Variable). Pengolahan data dilakukan dengan menguji validitas dan realibilitas, instrumen yang digunakan
dalam penelitian ini adalah kuesioner. Model penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.
Sosial (X2)
Kelembagaan
(X4)
Erosi (X1)
Produktifitas (Y)
Ekonomi(X3)
136
yx1 yx 2 yx3 yx 4
Dimana
Y
yx1
yx2
yx3
yx3
X1
X2
X3
X4
(3)
:
= Nilai variabel dari kedua Variabel eksogen
= Koefisien jalur yang berhubungan dengan X1
= Koefisien jalur yang berhubungan dengan X2
= Koefisien jalur yang berhubungan dengan X3
= Koefisien jalur yang berhubungan dengan X3
= Harga konstan
= Variabel eksogen aspek erosi
= Variabel eksogen aspek sosial
= Variabel eksogen aspek kelembagaan
= Variabel eksogen aspek ekonomi
Dari sisi kepemilikan lahan pada lokasi penelitian diketahui sebanyak 35 orang atau 35% sebagai pemilk
lahan, sebagai peyewa lahan sebanyak 29 orang atau 29%, dan 36 orang atau 36% sebagai penggarap
lahan.
2. Pendugaan Besaran Erosi
Berdasarkan analisis dengan menggunakan rumus Universal Soil Loss Equation (USLE) dapat di lihat
pada Tabel 1 Pendugaan Besaran Erosi per Satuan Lahan pada satuan lahan Kecamatan Pangalengan
terdapat beberapa lahan pertanian dan pemukiman yang memiliki besaran erosi kategori sangat baik
sampai dengan sedang. Dari perhitungan yang dilakukan besar erosi di Kecamatan Pangalengan berkisar
antara 0,131 Ton/Ha/Th sampai 262,9 Ton/Ha/Th. Berdasarkan Grafik 2 Tingkat Besaran Erosi Vs Luas
Tanah diperoleh Kelas erosi Sangat Rendah (SR) memiliki laju erosi sebesar 0,131 Ton/Ha/Th -3,83
Ton/Ha/Th dengan sebaran yaitu 1.069,18 Ha (16,15%).
137
Kode lahan
R
K
No
1
P_1_Pmk
912.8 0.4
2
P_2_Kbn
912.8 0.2
3 P_3_Kbn_Cmp 912.8 0.1
4 P_4_Kbn_Cmp 912.8 0.1
5
P_5_Pmk
912.8 0.4
6
P_6_Kbn
9128 0.2
7
P_7_Htn
912.8 0.04
8
P_8_Pmk
912.8 0.04
9 P_9_Kbn_Cmp 912.8 0.1
10
P_10_Kbn
912.8 0.2
LS
0.6
6.6
18.7
26.4
8.1
25.9
9.5
9.8
30.4
21.4
A
(ton/ha/th)
54.8
65.7
116.4
155.2
262.9
232.8
0.131
26.3
116.4
232.8
Kelas Erosi
Kriteria
Sedang
Rendah
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
S. Rendah
Rendah
Sedang
Sedang
Sedang
Baik
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
S. Baik
Baik
Sedang
Sedang
3. Produktifitas Lahan
Untuk produktivitas lahan adalah besarnya hasil produksi (Kg) dari lahan keluarga petani per satuan luas
per tahun (Peraturan menteri Kehutanan No. P.04/V-SET/2009). Produktivitas dihitung dengan cara
mengurangi hasil produktivitas brutto (Rp) dengan biaya produksi (Rp) dan dibagi dengan luas lahan.
Pendugaan Besaran Erosi Persatuan Lahan
Sumber : Hasil pengolahan data, 2015
Prod.
Biaya Produksi (Rp)
Tot Biaya Prod. Net
Prod.Lahan
Bruto
Rp/ha/th
Pupuk
Bibit
Obat
Rp
Rp/ha/th
(Rp/th)
1
P_1_Kbn
0.8
18,800
1,600
780
300
2,680
16,120
16,120
2
P_2_Kbn
1.9
35,000
1,640
720
450
2,810
32,190
32,190
3
P_3_Kbn
1.1
28,000
1,625
600
650
2,875
25,125
25,125
4
P_4_Kbn
1.9
25,000
1,875
850
550
3,275
21,725
21,725
5
P_5_Kbn
1.9
18,750
1,500
750
600
2,850
15,900
15,900
6
P_6_Kbn
1.9
18,750
1,600
780
300
2,680
16,070
16,070
7
P_7_Kbn
1.5
30,000
1,640
720
450
2,810
27,190
27,190
8
P_8_Kbn
1.4
28,000
1,625
600
650
2,875
25,125
25,125
9
P_9_Kbn
1.0
18,750
1,875
850
550
3,275
15,475
15,475
10 P_10_Kbn
1.1
24,000
1,600
780
600
2,950
21,050
21,050
Kelas produktivitas Rendah (R) memiliki produktivitas netto antara Rp. 15.900.000/Ha/Th sampai Rp.
16.120.000/Ha/Th dengan luas 101 Ha (29,97%). Rendahnya produktivitas lahan pada kebun disebabkan
oleh berkurangnya kesuburan tanah akibat erosi, kondisi lereng yang curam sampai sangat curam
mengakibatkan jarak tanam lebih renggang dari jarak normal serta mengakibatkan tingginya biaya
No
138
Kode
Ket
Rendah
Tinggi
Tinggi
Sedang
Rendah
Rendah
Tinggi
Sedang
Rendah
Sedang
produksi karena sulitnya lahan untuk diolah. Rendahnya produktivitas lahan pada lahan pertanian
jagungjuga diakibatkan karena tingginya biaya produksi Desa Margaluyu, Warnasari.
Kelas produktivitas Sedang (S) memiliki produktivitas netto antara Rp.21.050.000/Ha/Th sampai Rp.
25.125.000/Ha/Th. Kelas produktivitas lahan sedang memiliki sebaran yang paling luas yaitu 143 Ha
(41,45% ). Produktivitas lahan sedang terjadi karena biaya produksi yang rendah pada lahan dengan
kemiringan lereng curam sehingga produktivitasnya kurang optimal. Kelas produktivitas lahan sedang
tersebar di Desa, Banjarsari, Wanasuka.
Kelas produktivitas Tinggi (T) memiliki produktivitas netto antara Rp. 27.190.000/Ha/Th sampai Rp.
32.190.000/Ha/Th. Kelas produktivitas lahan tinggi memiliki sebaran paling kecil yaitu 71Ha atau 20,58%.
Tingginya produktivitas lahan pada lahan pertanian yang ditanami kentang, kubis, cabe kriting diakibatkan
kondisi lahannya yang baik dengan erosi yang sangat ringan sehingga tanah tidak kehilangan unsur hara
yang dibutuhkan tanaman. Kondisi lahan yang datar hingga landai mengakibatkan lahan ini mudah diolah
sehingga dapat menekan biaya produksi. Kelas produktivitas lahan tinggi tersebar di Desa Purnasari,
Cibeureum, Sukamenak, Srikandi dan Pasir Mulya
4. Regresi Ganda
Analisis regresi bertujuan untuk menaksir atau meramalkan suatu nilai variabel dependent dengan adanya
perubahan dari nilai variabl independent. Dengan terlebih dahulu diadakan uji validitas dan reliabilitas. Uji
validitas akan dilakukan dengan metode Pearson atau metode Product Momen, yaitu dengan
mengkorelasikan skor butir pada kuisioner dengan skor totalnya. Nilai-nilai butir kemudian dibandingkan
dengan nilai r pada Tabel product moment, untuk N = 100 pada signifikansi 5% diperoleh titil kritis 0,3.
Nilai-nilai korelasi pada semua item pertanyaan di atas lebih dari 0,0,3 dengan demikian, maka semua
item pertanyaan dinyatakan valid.Uji reliabilitas dilakukan untuk mengetahui tingkat kestabilan suatu alat
ukur. Dengan mengunakan bantuan aplikasi program IBM SPSS 17.00 hasilnya bahwa Nilai reliabilitas
butir pernyataan pada kuesioner untuk kelima variabel variabel erosi (X1), sosial (X2), ekonomi (X3),
kelembagaan (X4) danproduktivitas (Y). yang sedang diteliti lebih besar dari 0,70 hasil ini menunjukkan
bahwa butir kuesioner pada kelima variabel andal untuk mengukur variabelnya masing-masing
5. Analisis Jalur
Untuk menganalisis hubungan kausalitas dan pengaruh antara variabel erosi(X1), sosial(X2), ekonomi
(X3), kelembagaan (X4) terhadap produktifitas(Y). digunakan suatu metode analisis yang disebut dengan
analisis jalur (Path Analysis). Berdasarkan pada hasil kuesioner yang telah disebarkan pada sampel
sebanyak 100 petani penggrap diperoleh hasil sebagai berikut
Tabel 2. Standar Koefisien
Sumber : Hasil Pengolahan Data, 2015
Model
Un-std Coeff
Std
Coeff
Beta
Correlations
T
Sig
B
Std.Er
Zorder Partial Part
(Constant) 13.077 3.083
4.241
.000
X1
-.252 .198
-.191 -1.269 .207
.761
-.129
-.005
X2
1.096 .154
.788
7.097
.000
.881
.589
.310
X3
.367 .082
4.475 4.475
.000
.818
.417
.195
X4
.004 .160
.025
.025
.980
.743
.003
.001
Model structural berdasarkan standardized coefficients erosi (X1), sosial (X2),
kelembagaan(X4) terhadapproduktifitas (Y).adalah :
Collinearity
Statistics
Toloran
VIF
.084
11.849
.154
6.479
.357
2.801
.105
9.516
ekonomi (X3),
(4)
(5)
139
Model
1
R
Square
AdjusR
Square
Std.
Err.of
the
Estimate
.819
.812
5.89938
.905a
Change Statistics
R Square
Change
.819
F
Change
df1
107.631
df2
4
DurbinWatson
Sig. F
Change
95
.000
1.734
Berdasarkan pada tabel diatas dapat dilihat bahwa pengaruh secara simultan atau bersama-sama erosi
(X1), sosial (X2), ekonomi (X3), kelembagaan (X4) terhadap produktifitas (Y). sebesar 0,819 atau 81.9%.
Artinya hasil tersebut menandakan bahwa 81.9% variabel produktifitas (Y). diterangkan dengn erosi (X1),
social (X2), ekonomi (X3), kelembagaan (X4) Sedangkan sisanya 18.1% dipengaruhi oleh variabel lain
diluar model yang diketahui.
Tabel 4. Menentukan Koofesien Jalur
Sumber : Hasil Pengolahan Data, 2015
X1
X2
X3
X4
Y
Pearson
Sig
N
Pearson
Sig
N
Pearson
Sig
N
Pearson
Sig
N
Pearson
Sig
N
X1
1
100
.896**
.000
100
.741**
.000
100
.945**
.000
100
.761**
.000
100
X2
.896**
.000
100
1
100
.800**
.000
100
.886**
.000
100
.881**
.000
100
X3
.741**
.000
100
.800**
.000
100
1
100
.721**
000
100
.818**
.000
100
X4
.945**
.000
100
.868**
.000
100
.721**
.000
100
1
100
.743**
.000
100
Y
.761**
.000
100
.881**
.000
100
.818**
.000
100
.743**
.000
100
1
100
X3
X4
Pengaruh
Tdk
Langsung
-13.46%
-4.61%
-0.06%
-18.13%
-14.50%
20.59%
0.23%
7.37%
69.46%
0.08%
16.06%
26.73%
0.250%
0.251%
5.541%
81.94%
Koefisien
Jalur
Pengaruh
Langsung
X1
-.191
3.633%
X2
.788
62.093%
-13.46%
X3
.327
10.671%
-4.61%
20.59%
X4
.003
0.001%
-0.061%
18.133%
0.23%
0.08%
7.366%
16.059%
Var
Total
140
76.399%
X1
0.250%
Total (%)
Errorvar()X2 1,069
3,
46
Sosial (X2)
62,093%
-4
1
,6
Erosi (X1)
Errorvar()X1 -0,252
-0,006%
20,59%
0,800
-1
0 ,2
3%
0,001%
Ekonomi (X4)
0,0
8%
Kelembagaan
(X3)
Errorvar () X3 0,367
Produktifitas
(Y)
%
10,67
Errorvar () X4 0,004
Gsmbar 6. Pengaruh Antara Variabel Erosi (X1), Sosial (X2), Ekonomi (X3), Kelembagaan (X4) dan Produktifitas (Y)
Unstandardized
Standardized
Coefficients
Coefficients
Std. Error
t
Sig
B
Beta
(Constant)
13.077
3.083
4.241
.000
X1
-.252
.198
-.191
-1.269
.207
X2
1.096
.154
.788
7.097
.000
X3
.367
.082
.327
4.475
.000
X4
.004
.160
.003
.025
.980
Berdasarkan perhitungan diatas dengan menggunakan Program SPSS 17.00 diperoleh nilai signifikansi
untuk erosi x1sebesar 0.207 dibandingkan dengan alpha 0.05 sehingga H0 diterima karena nilai
signifikansi lebih besar dari alpha, artinya dapat disimpulkan bahwa dapat diartikan tidak terdapat
pengaruh secara parsial Variabel erosi (X1) terhadap produktifitas (Y). nilai signifikansi untuk x2sebesar
0.000 dibandingkan dengan alpha 0.05 sehingga H0 ditolak karena nilai signifikansi lebih kecil dari alpha,
artinya dapat disimpulkan bahwa dapat diartikan terdapat pengaruh secara parsial Variabel social (X2)
terhadap produktifitas (Y). nilai signifikansi untuk x3 sebesar 0.000 dibandingkan dengan alpha 0.05
sehingga H0 ditolak karena nilai signifikansi lebih kecil dari alpha, artinya dapat disimpulkan bahwa dapat
diartikan terdapat pengaruh secara parsial Variabel ekonomi (X3) terhadap produktifitas (Y). nilai
signifikansi untuk x4 sebesar 0.207 dibandingkan dengan alpha 0.05 sehingga H0 diterima karena nilai
signifikansi lebih besar dari alpha, artinya dapat disimpulkan bahwa dapat diartikan tidak terdapat
pengaruh secara parsial Variabel kelembagaan (X4) terhadap produktifitas (Y).
Model
141
usahatani sayuran di Kecamatan Pangalengan termasuk sedang. Skor penerapan metode vegetatif
sebesar 349,90 atau 70,69% menunjukkan tingkat penerapan konservasi tanah yang tinggi. Hasil analisis
menunjukkan bahwa dari ke empat metode vegetatif, petani lebih banyak mengaplikasikan penanaman
penutup tanah dan penggunaan mulsa 267 atau 53% pada lahan mereka.
Metode konservasi secara mekanis mempunyai dua fungsi yaitu memperlambat aliran permukaan dan
menampung serta mengalirkan aliran permukaan dengan kekuatan yang tidak merusak. Hasil analisis
menunjukkan skor 366 atau 73% yang berarti bahwa tingkat penerapan teknik konservasi tanah dengan
metode mekanis masih tergolong dalam kategori tinggi. Masyarakat sangat mengerti pentingnya
konservasi tanah dan faktor pendidikan masyarakat yang rata-rata adalah lulusan Sekolah Menengah
Atas juga mempengaruhi tingkat penerapan teknologi konservasi di Kecamatan Pangalengan. Kondisi
tindakan konservasi tanah yang dilakukan oleh petani sayuran dataran tinggi di Kecamatan Pangalengan,
Kabupaten Bandung adalah:
Permasalahan yang dihadapi petani dalam penerapan teknologi konservasi tanah adalah :
Sebagian besar lahan yang digarap bukan miliknya karena status mereka adalah petani penggarap.
Penerapan teknologi konservasi tanah memerlukan modal yang cukup besar sehingga hanya petani
yang bermodal besar dan mempunyai luas lahan yang besar yang mengaplikasikan teknik konservasi
tanah dan air
142
>40%, 25-50% dibuat guludan bersaluran dan menerapkan pola agroforestry. Jenis pohon kayu-kayuan
dan buah-buahan dan tanaman industri, jeruk, dan kopi.
Produktifitas lahan pertanian daerah studi kelas produktifitas sedang sangat dominan memiliki sebaran
yang paling luas yaitu 143 Ha (41,45% ), kemudian kelas produktivitas lahan tinggi memiliki sebaran
paling kecil yaitu 71Ha atau 20,58%, faktor erosi yang relative kecil dan pengolahan lahan yang baik serta
tuntutan kualitas hasil pertanian relative tinggi yang diterapkan oleh pembeli, sehingg mendorong petani
untuk mempertahankan kondisi lahan subur pertaniannya.
Model structural berdasarkan perhitungan diatas dengan menggunakan Program SPSS 17.00 erosi (X1),
sosial (X2), ekonomi (X3), kelembagaan(X4) terhadap produktifitas (Y). adalah :
143
dukungan dari berbagai pihak maka Paper ini dapat terselesaikan dengan baik, dengan demikian,
penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada yth
Orang Tua, Istri, terima kasih atas dukungan moril dan materil terutama
terkandung dalam hati.
Dr. Ir. Bakhtiar AB., MT selaku Dekan Fakultas Teknik Universitas Sangga Buana (USB)-YPKP
Bandung, dan sebagai Pembimbing
Panitia Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air dan semua pihak yang tidak disebutkan sat
persatu
segala doa-doanya
REFERENSI
Alwi. L.O, dkk. 2011. Study of Land Use Dynamic Impacts to Land Erosion and Hydrology Conditions in
Wanggu Watersheds. Jurnal Hidrolitan, Vol 2 : 2 : 74 84. ISSN 2086-4825.
Arsyad, S. 1989. Konservasi Tanah dan Air. Bogor : IPB Press
Asdak, C. 2004. Hidrologi dan Pengelolaan DAS. Gadja Mada University Press. Yogyakarta.
Badan Pusat Statistik Kementrian Kehutanan Provinsi Jawa Barat. 2011.
Dinas Kehutanan Prop. Jabar, Perum Perhutani Unit III, Dinas Kehutanan Kab/Kota dan Balai Pengelola
DAS.
Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Barat, 2012. Luas Lahan kritis di DAS Citarum Berdasarkan Kab/ Kota.
Departemen Kehutanan, 1988.
Hardjowigeno, Sarwono. 1987. Ilmu Tanah. Bogor: PT. Mediyatama Sarana Perkasa
Ismiyati. 2011. Statistik dan Probabilitas untuk Teknik. Bagi Peneliti Pemula. Magister Teknik Sipil
Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro.
Kodoatie, R J & Sjarief. R. 2010. Tata Ruang Air. Penerbit Andi Yogyakarta.
Legowo, S, 2008. Pendugaan Erosi dan Sedimentasi dengan Menggunakan Model GeoWEPP (Studi
Kasus DAS Limboto, Propinsi Gorontalo). Junal Jurusan Teknik Sipil, FTSL Institut Teknologi
Bandung.
Montarcih, dkk. Studi Optimasi Pengelolaan dan Pengembangan Sub DAS (DAS) Lesti Kabupaten
Malang. Jurnal Penelitian.
Morgan, R.C.P., 1996. Soil Erosion and Conservation. Second Edition. Addison Wesley Longman Limited
Edinburgh Gate, Harlow. England.
Nursaban. M. 2006. Pengendalian Erosi Tahan sebagai Upaya Melestarikan Kemampuan Fungsi
Lingkungan. Jurnal Jurusan Pendidikan Geografi, FISE UNY Volume 4, Nomor 2.
Nurhayati. L. dkk. 2012. Pengaruh Erosi Terhadap Produktivitas Lahan Das Walikan Kabupaten
Karanganyar Dan Wonogiri. Program Studi Pendidikan Geografi PIPS, FKIP, UNS Surakarta,
Indonesia.
Suripin, 1998. Hubungan antara Karakteristik Daerah Tangkapan Air (DTA) dan Sediment Delivery Ratio
(SDR). Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan XV HATHI, Bandung.
Suripin, 2001. Pelestarian Sumber Daya Tanah dan Air. Penerbit : Andi Yogyakaarta.
Undang-undang Republik Indonesia No. 7 tahun 2007 tentang Sumber Daya Air.
Wilson. E. M. 1993. Hidrologi Teknik. Edisi Empat. Penerbit ITB Bandung.
144
Abstrak
Musibah bencana alam berupa banjir pada tahun 2013 yang melanda Kabupaten Bangka, Provinsi
Kepulauan Bangka Belitung, menyebabkan kerusakan insfrastruktur dan prasarana publik. Penyebab
terjadinya bencana banjir di Kabupaten Bangka tersebut disebabkan oleh luapan banjir pada beberapa
area bekas penambangan yang merubah karakteristik morfologi sungai. Di dalam daerah aliran sungai
Pompong seluas 65,19 km2 terdapat beberapa eksplorasi tambang timah inkonvensional dengan galian
tambang (kolong) yang tidak teratur di sepanjang sungai menjadi penyebab utama melimpasnya aliran
sungai ke wilayah perumahan penduduk terutama di wilayah Kampung Pasir. Konsep pengendalian banjir
pada daerah tersebut adalah rekonstruksi areal kolong seluas sebagai tampungan banjir sehingga
naiknya muka air sungai ke daerah hilir secara berlebih dapat dikendalikan. Dengan laju erosi sebesar
8.755 ton/tahun dan puncak banjir kala ulang 50 tahun sebesar 274,2 m3/detik maka rekonstruksi areal
kolong seluas 69,98 ha menjadi prasarana pengendali banjir dan penampungan sedimen limbah tambang
sebesar 1,19 juta m3 didukung dengan perkuatan peraturan daerah oleh Pemerintah Daerah Kabupaten
Bangka tentang pengelolaan pemanfaatan kolong sebagai pengawasan, pengendalian dan konservasi
sumberdaya alam dapat diterapkan dengan efektif mengurangi dampak banjir di daerah hilir.
Kata Kunci: banjir, tambang timah, Sungai Pompong, Kabupaten Bangka
LATAR BELAKANG
Provinsi Bangka Belitung merupakan wilayah penghasil timah, akibat dari penambangan timah tersebut
maka banyak daerah aliran sungai (DAS) terdampak dari yang berukuran kecil sampai yang besar
(Wilayah Sungai Baturusa) hingga bagian muara dimana terdapat permukiman penduduk secara turuntemurun. Sejalan dengan perkembangan jaman, perkampungan di daerah hilir turut berkembang, dan
penduduk yang mendiami daerah hilir telah terdampak aktivitas penambangan diantaranya masalah
kebanjiran dan kesulitan air baku yang serius.
Kabupaten Bangka terletak di Pulau Bangka dengan luas administratif 3.028.794 Km 2 berbatasan
langsung dengan wilayah Kota Pangkalpinang, Kabupaten Bangka Tengah dan Kabupaten Bangka Barat.
Pengembangan wilayah tanpa peningkatan dan pengelolaan prasarana drainase menyebabkan banjir di
Kabupaten Bangka. Daerah Aliran Sungai Pompong merupakan wilayah sungai dengan luas 65,19 km2
yang berada di kabupaten Bangka dengan daerah hulu masuk dalam wilayah Kecamatan Pemali dan
daerah hilir bermuara di Kecamatan Sungailiat sebagaimana disajikan pada Gambar 1 sebagai berikut :
145
Kejadian banjir yang terjadi pada tanggal 28 Desember 2013 dan 11 Januari 2014 di hampir seluruh
wilayah Kabupaten Bangka mengakibatkan meluapnya air di beberapa sungai sehingga menyebabkan
banjir dan merusak infrastruktur jalan, jembatan dan merendam permukiman penduduk. Aktivitas
penambangan liar (tambang inkonvensional) dan penambangan besar yang dilakukan oleh mitra PT.
Timah mengakibatkan lubang-lubang besar yang menjadi penampungan air (kolong) yang disaat musim
hujan tiba, aliran air meluap dan mengalir ke daerah lebih rendah dan selanjutnya ke daerah aliran sungai
membawa sedimen yang tinggi sehingga membuat pendangkalan pada daerah aliran sungai dan muara
sungai sebagaimana disajikan pada Gambar 2 sebagai berikut :
Lokasi Kolong
Lingkungan
kampung Pasir
Lokasi Kolong
Lingkungan
kampung Pasir
Gambar 2. Citra udara eksplorasi timah pada sungai Pompong (Lingkungan Kampung Pasir)
DASAR TEORI
Persyaratan data hujan dalam perhitungan ini meliputi ketersediaan dan kualitas record data sebaiknya
lebih dari 20 tahun. Data hujan tersebut harus ketiadaan outlier dan trend sebelum digunakan untuk
analisis frekuensi atau untuk suatu simulasi hidrologi. Sebelum data hujan digunakan dalam analisis
hidrologi, terlebih dahulu dilakukan analisa statistik terhadap data hujan. Analisa statistik yang digunakan
untuk memastikan bahwa data hujan tersebut layak digunakan untuk analisa selanjutnya meliputi :
146
1. Uji Outlier
Pemeriksaan adanya outlier, pada seri data hujan harian maksimum tahunan, baik outlier atas maupun
outlier bawah akan dilakukan dengan metoda yang dikembangkan oleh Water Resource Council (1981).
Menurut Water Resource Council, bila:
a. koefisien skew dari data sampel > +0,4, maka perlu dilakukan pemeriksaan outlier atas,
b. koefisien skew dari data sampel < -0,4, maka perlu dilakukan pemeriksaan outlier bawah,
c. 0,4 <koefisien skew < + 0,4, maka perlu dilakukan pemeriksaan outlier atas dan outlier bawah
sekaligus sebelum menghilangkan data yang dipandang sebagai outlier.
Bila terdapat outlier, maka data outlier harus dibuang sebelum seri data digunakan untuk analisis
hidrologi lebih lanjut. Persamaan frekuensi untuk mendeteksi adanya outlier atas adalah:
Yh y K n s y
(1)
Dimana:
YH
y
sy
Kn
6.i 1 (dt ) 2
n
KP 1
n3 n
(2)
n 2 2
t KP
2
1 KP
(3)
dimana :
KP = koefisien korelasi peringkat Spearman
n = jumlah data
dt = selisih Rt dangan Tt
Tt = peringkat dari waktu
147
r1
(x x) (x
i 1
i 1
x)
(x x)
i 1
(4)
(5)
Sebelum digunakan untuk analisis curah hujan rancangan, data dilakukan uji lanjutan untuk mengetahui
konsistensi data dan kemungkinan adanya kesalahan pencatatan. Metode uji konsistensi yang digunakan
adalah Uji Chi-Square dan Uji Smirnov Kolmogorof dengan menggunakan 3 (tiga) metode distribusi pada
masing-masing metoda uji, Rangkaian data hujan yang digunakan untuk analisis adalah hujan bulanan.
Metode-metode distribusi yang digunakan dalam pengujian statistik data hidrologi yaitu:
1. Metode Distribusi Gumbel Tipe I
Persamaan PDF dari Distribusi Gumbel Tipe I adalah:
p ( x) e
( x ) e
( x )
(6)
p ( x) e e
( x )
(7)
: 1.139
Koefisien Kurtosis
: 5.4
P( x)
148
1
x y
(ln x y ) 2
2
(8)
dimana:
y = Nilai rata-rata dari logaritma sampel data variabel x (ln x)
1
ln x
p ( x)
x ( )
ln x
(9)
: Parameter skala
: Parameter bentuk
: Parameter lokasi
Uji Chi-Kuadrat efektif bila jumlah data pengamatan besar, karena sebelum dilakukan pengujian, data
pengamatan akan dikelompokkan terlebih dahulu. Pengelompokkan ini akan mengakibatkan akurasi
hasilnya berkurang. Untuk menghindari hal ini, maka dikembangkan metode uji dari data yang tak
dikelompokkan. Salah satu metoda yang banyak digunakan adalah Uji Kolmogorov-Smirnov.
Pengujian Kolmogorov - Smirnov dilaksanakan dengan cara menggambarkan distribusi empiris maupun
distribusi teoritis pada kertas grafik probabilitas sesuai dengan distribusi probabilitas teoritisnya. Kemudian
dicari perbedaan maksimum antara distribusi empiris dan teoritisnya:
(10)
Apabila nilai D < sesuai Tabel Kolmogorov-Smirnov Test (merupakan fungsi dari banyaknya data
pengamatan dan significance level), maka distribusi teoritisnya dapat diterima, bila terjadi sebaliknya,
maka distribusi teoritisnya tak dapat diterima.
Debit banjir rancangan dihitung dengan metode HSS Nakayasu untuk menghasilkan debit banjir
rancangan terbesar dengan karena pada lokasi studi tidak ditemukan data pembanding untuk dilakukan
kalibrasi numeriknya dengan persamaan sebagai berikut:
Qp
C A R 0
3.6 0.3 Tp T0.3
(11)
Keterangan:
Qp =
debit puncak banjir rancangan (m3/det)
C =
koefisien pengaliran
A =
luas daerah pengaliran (km2)
T0,3 =
waktu yang diperlukan oleh penurunan debit, dari debit puncak sampai menjadi 30%
dari debit puncak
R0 =
hujan satuan (mm)
Tp =
tenggang waktu (time lag) dari permulaan hujan sampai puncak banjir rancangan (jam)=
tg + 0.8 tr
Tg =
waktu konsentrasi (jam), tenggang waktu dari titik berat hujan sampai titik berat
hidrograf (time lag)
Limpasan air hujan mengalir pada sebuah Daerah Aliran Sungai (DAS) dan diklasifikasikan dalam tiga
zona, yaitu Zona Hulu (Up Stream), Zona Tengah (Central), dan hili (downstream) (Asdak, 2004).
149
1. Daerah hulu DAS dicirikan dengan sungai sampai dengan orde 4, kerapatan sungai yang tinggi,
kondisi morfologi sungai terdiri dari pegunungan dengan kemiringan lereng >15% dan merupakan
daerah konservasi dengan jenis vegetasi berupa tanaman hutan.
2. Daerah tengah merupakan daerah tangkapan hujan yang terletak antara hulu dan hilir yang terdiri
atas lembah dan area terjadinya sedimentasi. Kemiringan lereng berada diantara 15% - 8%
3. Daerah hilir DAS dicirikan dengan kemiringan lereng < 8% dan sungai yang ada hanya sampai orde 2
dengan kerapatan sungai kecil dengan vegetasi didominasi oleh tanaman pertanian sedangkan pada
estuari didominasi dengan bakau/gambut.
Sedangkan untuk mengetahui besarnya angkutan sedimen layang dapat ditentukan melalui hasil
pengukuran debit aliran dan pengambilan contoh angkutan sedimen melayang dengan alat Suspended
Load Sampler. Berdasarkan hasil pengukuran debit dan pengambilan contoh air dan material dasar dapat
dicari hubungan antara debit aliran dan debit angkutan sedimen sebagai berikut :
Qs Qw C k
Dimana
Qs =
Qw =
C =
K =
(12)
:
debit sedimen melayang (ton/hari)
debit aliran (m3/det)
konsentrasi (mg/l)
0,0864 (konstanta pengubah dimensi satuan)
METODOLOGI STUDI
Kajian ini difokuskan pada merumuskan kerangka perancangan bangunan pengendalian banjir pada
kawasan pertambangan timah di sekitar areal permukiman secara menyeluruh yang terintegrasi dengan
Rencana Tata Ruang Wilayah Pemerintah Kabupaten Bangka. Diawali dengan melakukan inventarisasi
dan kajian terhadap permasalahan dan kendala yang merupakan dasar dalam menentukan melakukan
konsep pengendalian banjir yang sesuai di lokasi studi. Pada kawasan kolong seluas 69,98 ha dilakukan
analisa penelusuran banjir rencana menggunakan perangkat lunak Hec-HMS versi 4.0 dengan kala ulang
50 tahun sesuai dengan metoda distribusi hujan rancangan yang sesuai. Desain bangunan pengendali
banjir direncanakan dengan memanfaatkan luas dan tinggi bangunan maksimum sesuai dengan kondisi
daya dukung tanahnya dan ketersediaan bentang outlet karena adanya prasarana transportasi perkotaan.
Perancangan kelembagaan yang berkaitan dengan permasalahan teknis di lokasi studi ditentukan kriteria
dan indikator dari aspek sosial dan masyarakat menjadi faktor yang mempengaruhi perencanaan,
pengembangan dan pembangunan kawasan di derah berupa diterbitkannya rumusan peraturan daerah
untuk menjaga dan memelihara daerah aliran sungai dari kerusakan alam.
150
Tabel 1. Hujan Maksimum Tahunan Stasiun Hujan Depati Amir 1990 2009
Hujan Maksimum
Hujan Maksimum
Tahun
(mm)
(mm)
1980
88
1995
113.5
1981
114.6
1996
162.1
1982
95.5
1997
68.8
1983
126
1998
101.3
1984
105.4
1999
90.7
1985
77.9
2000
96.4
1986
135.1
2001
99
1987
96.8
2002
75.6
1988
87.6
2003
93.6
1989
96.9
2004
54.7
1990
62
2005
121.5
1991
86.5
2006
80
1992
64.4
2007
148.6
1993
74
2008
107.1
1994
152
2009
92
Hasil pengujian Outlier menunjukkan nilai koefisien skewness dari data tersebut di atas adalah 0.7065
(n>0.4) sehingga dengan hasil pemeriksaan outlier atas sebesar R=188.1 mm. Dengan Rmaks sebesar
162.1 maka data hujan maksimum stasiun Depati Amir lolos uji outlier atas.
Tahun
Uji statistik adanya trend dinyatakan bilamana t t mempunyai distribusi Students t dengan derajat
kebebasan = n 2. Seri data menunjukkan hasil diuji tidak mengandung trend karena memenuhi: t {2.05, 2,5 %} < -0.19411 < t {2.05, 97,5 %}
Analisa hujan rencana ditentukan dengan menggunakan periode ulang 50 tahun sesuai dengan Peraturan
Pemerintah no 11 Tahun 2012 tentang Sungai. Dari hasil analisis frekuensi didapatkan distribusi
probabilitas terbaik adalah distribusi Log Normal 2 Parameter dengan curah hujan rencana sebesar 164,1
mm (lihat Tabel 2).
Tabel 2. Hasil Analisis Hujan Rancangan
Kala Ulang T
(Tahun)
2
0.0000
5
0.8416
10
1.2816
25
1.7507
50
2.0537
Penyimpangan Maksimum
Delta Kritis (Sig. Level 5 %)
Hasil Uji Chi- Square
Hasil Uji Smirnov Kolomogorof
Normal
98.9
121.2
132.9
145.3
153.3
11.17
24.2
diterima
Lognormal
2 Paramet.
95.6
119.2
133.9
151.5
164.1
6.23
24.2
diterima
diterima
diterima
Distribusi Probabilitas
Lognormal Gumbel I
3 Paramet.
96.0
94.9
119.6
121.9
133.9
139.7
150.8
162.3
162.7
179.1
6.62
8.30
24.2
24.2
diterima
diterima
diterima
diterima
Pearson III
95.8
119.8
134.2
151.0
162.8
6.49
24.2
diterima
Log
Pearson III
95.5
119.4
134.3
152.4
165.4
9.87
24.2
diterima
diterima
diterima
151
Penentuan distribusi hujan dipilih menggunakan metode Mononobe dengan durasi hujan selama 6 jam
sehingga membentuk distribusi hujan wilayah sebagaimana disajikan pada Gambar 3 dan hidrograf banjir
rancangan pada Gambar 4 sebagai berikut:
Grafik Intensitas Hujan Tiap Jam Masing-masing Kala Ulang
100.00
90.00
80.00
Intensitas Hujan
70.00
60.00
Kala Ulang 2 Tahun
50.00
40.00
30.00
20.00
10.00
0.00
0.50
1.00
1.50
2.00
2.50
3.00
3.50
4.00
4.50
5.00
5.50
6.00
6.50
250
DEBIT (m3/dtk)
200
150
100
50
0
0
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
WAKTU (jam)
Untuk mereduksi debit banjir maksimum sebesar 274,2 m3/dtk yang terjadi di Sungai Pompong pada
lokasi Lingkungan Kampung Pasir maka konsep pengendalian banjir direncanakan kolam detensi yang
berfungsi sebagai pengendali waktu dan debit banjir yang terjadi serta penahan aliran sedimentasi dari
daerah hulu sungai. Hasil analisa kondisi lapangan direncanakan kolam tampungan dengan kapasitas
2,26 x 106 m3 untuk menahan debit banjir dengan kala ulang 50th dan laju sedimentasi sebesar 54.836
m3/th. Layout desain pengendali banjir disajikan sebagai berikut sebagaimana tersaji pada Gambar 5 dan
6:
152
Lokasi Kolong
Lingkungan
kampung Pasir
Lokasi Kolong
Lingkungan
kampung Pasir
Kandungan sedimen layang pada lokasi studi diperoleh dari penyelidikan dilapangan dengan metoda grab
sample. Hasil uji laboratorium menunjukkan kandungan sedimen layang pada aliran sungai Pompong
sebesar 40,77 mg/liter. Dengan pemanfaatan areal kolong yang ada maka desain ambang pelimpah
check dam dengan tinggi 3 m dan tampungan mati 1,19 juta m3 dapat meredam dampak banjir yang
terjadi di sekitar kolong.
Penanganan struktural perlu didukung strategi yang perlu diterapkan untuk merestorasi daerah bekas
tambang untuk mengurangi dampak daya rusak air antara lain penerapan regulasi (payung hukum)
terhadap kolong tambang timah. Regulasi tersebut dapat diterapkan dalam bentuk terbitnya perda oleh
pemerintah daerah Kabupaten Bangka dengan menetapkan kriteria kawasan perlindungan setempat
sekitar kolong yaitu dengan unsur unsur sebagai berikut:
1. Penentuan daratan sepanjang tepian danau/kolong yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan
kondisi fisik kolong antara 50 (lima puluh) meter dari muka air tertinggi aliran sungai.
2. Penerapan aspek hukum lainnya yaitu dengan memberikan batasan dataran banjir sungai (dengan
simulasi banjir kala ulang 50 tahunan) sesuai dengan peraturan pemerintah no 38 tahun 2011 tentang
Sungai.
3. Pengelolaan areal pertambangan yang berwawasan lingkungan.
4. Pemanfaatan areal kolong sebagai zona publik yang dapat dimanfaatkan masyarakat sebagai tempat
berkumpul dan bersosialisasi yang dapat meningkatkan pendapatan daerah Kabupaten Bangka.
153
REFERENSI
Chow,Ven Te, David R.Maidment and Larry W. Mays. 1988. Applied Hydrology. McGraw-Hill Inc.
Asdak, Chay. 2010. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada University Press.
Bappeda Kabupaten Bangka. 2010. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bangka 2010-2030.
Kabupaten Bangka
DDC Consultants, PT. 2010. Laporan Akhir Identifikasi DAS Kritis Pulau Bangka. Pangkalpinang
Hegar Daya, PT. 2013. Laporan Akhir Penyusunan Rancangan Rencana Pengelolaan Sumber Daya Air
Wilayah Sungai Bangka Tahap I. Pangkalpinang.
Kwarsa Hexagon, PT. 2014. Masterplan Penanggulangan Banjir Kabupaten Bangka. Pangkalpinang.
154
Abstrak
Seiring dengan pesatnya laju pertumbuhan penduduk di wilayah perkotaan di Indonesia termasuk Kota
Bandung, ketersediaan permukiman merupakan salah satu prioritas untuk mendukung pertumbuhan
ekonomi kota. Sesuai dengan konsep terkini, pengelolaan hujan seyogyanya memperhatikan faktor
konservasi dan keberlanjutan sistem. Studi ini dimaksudkan untuk mengevaluasi kapasitas saluran
drainase pada salah satu kawasan permukiman mandiri yang berwawasan pendidikan yang terletak di
Bandung Barat khususnya pada dua buah cluster terpilih dengan luas lahan masing-masing 11,56 hektar
dan 11,63 hektar. Guna mewujudkan lingkungan permukiman yang berwawasan lingkungan, setiap
cluster dikembangkan dengan memanfaatkan lahan hijau sebagai trotoar dan paving block sebagai
lapisan penutup lapisan jalan. Mempertimbangkan tidak tersedianya data curah hujan berdurasi pendek
pada lokasi studi, analisis curah hujan dilakukan dengan mengubah koefisien pada persamaan
Mononobe untuk Padalarang berdasarkan informasi hujan yang tercatat pada BMKG Kota Bandung
dengan periode data tahun 1986 2014. Hasil analisis yang diperoleh menunjukkan bahwa di periode
ulang 2 dan 5 tahun sejumlah ruas saluran memiliki kapasitas lebih kecil dibandingkan debit banjir yang
terjadi. Untuk cluster pertama terindikasi 3 buah saluran berpotensi menyebabkan terjadinya genangan
pada periode ulang 2 tahun dan 4 buah saluran pada periode ulang 5 tahun. Sedangkan pada cluster ke2, hasil analisis menunjukkan jumlah saluran yang berisiko pada periode ulang 5 tahun adalah 1 saluran.
Kata kunci: sistem drainase, kapasitas saluran, lahan hijau, permukiman Bandung Barat
LATAR BELAKANG
Pengembangan lahan tentu mengakibatkan perubahan tata guna lahan yang akan berdampak pada
kondisi alamiah serta siklus hidrologi. Secara alamiah suatu lahan telah menyediakan sistem drainase
alami yang mampu meresapkan air hujan ke dalam tanah serta mengalirkan limpasan ke bagian hilir.
Ketika lapisan permukaan tanah berubah menjadi lapisan yang kedap air maka hal ini akan berdampak
pada meningkatnya volume limpasan dan berkurangannya kapasitas tanah dalam menyerapakan air
sebagai infiltrasi. Menurut UU Nomor 37 tahun 2014 pasal 1 butir 2 menjelaskan bahwa konservasi tanah
dan air adalah upaya pelindungan, pemulihan, peningkatan, dan pemeliharaan fungsi tanah pada lahan
sesuai dengan kemampuan dan peruntukan lahan untuk mendukung pembangunan yang berkelanjutan
dan kehidupan yang lestari. Salah satu kawasan yang menerapkan konsep ini adalah Kota Baru
Parahyangan (KBP) yang terletak di Padalarang, Jawa Barat.
Kota Baru Parahyangan merupakan kawasan permukiman terpadu yang dibangun berdasarkan tiga dasar
utama yaitu budaya, sejarah, dan pendidikan. Lahan seluas 1.250 Ha dengan ketinggian berkisar antara
650 900 meter di atas permukaan laut ini berbatasan langsung dengan Waduk Saguling di bagian
selatannya. KBP sendiri dikembangankan sebagai permukiman dengan sistem cluster. Sampai saat ini
telah dibangun dengan total lima belas. Dalam menangani perubahan lahan di KBP, telah dilakukan
sebuah gerakan penghijauan untuk menanggulangi dampak pembangunan terhadap lingkungan alami.
Beberapa gerakan tersebut ialah dengan menggunakan biopori sebagai media untuk menyerapkan air
hujan ke dalam tanah dengan lebih efisien dan juga pemilihan paving block daripada aspal untuk
155
perkerasan jalan agar air hujan masih bisa menyerap ke dalam tanah. Pada lokasi studi yang baru
sebagian terbangun perlu dilakukan evaluasi mengenai kapasitas saluran drainase yang ada apabila
seluruh kawasan telah menjadi perumahan. Hal ini berkaitan dengan peningkatan volume limpasan akibat
perubahan tata guna lahan yang semula lahan terbuka menjadi lahan kedap air berupa perumahan.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dampak dari pengembangan di kedua cluster dengan
cara :
Membandingkan debit di saluran pada kondisi yang telah terbangun saat ini dengan kondisi terbangun
seluruhnya.
Mengevaluasi kapasitas saluran drainase terhadap peningkatan debit akibat pengembangan lahan.
Metode rasional digungan di dalam menganalisis kapasitas saluran pada cluster di lokasi studi.
Penggunaan metode ini terbatas untuk daerah tangkapan hujan (DTH) kecil dengan luas wilayah kurang
dari 300 Ha.Persamaan umum metode rasional:
Q p 0,278 C I A
(1)
Keterangan :
QP : debit puncak ( m3/s)
C : koefisien aliran permukaan ( 0 C 1 ), yang ditentukan berdasarkan jenis tata guna lahan
I : intensitas hujan (mm/jam)
A : luas DTH (km2)
Untuk menentukan nilai C yang digunakan di dalam perhitungan tergantung dari jenis lahan di lokasi studi,
sesuai nilai C yang ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Koefisien Limpasan Metode Rasional
(Sumber : Suripin, Sistem Drainase Perkotaan Yang Berkelanjutan , 2003)
No
Deskripsi Lahan
Koefisien Aliran (C)
1
Batu bata dan paving
0,50-0,70
2
Taman tempat bermain
0,20-0,35
3
Multiunit, Tergabung
0,60-0,75
Di dalam intensitas hujan terdapat pengaruh waktu konsentrasi pada wilayah dimana hujan itu jatuh.
Waktu konsentrasi adalah waktu yang dibutuhkan oleh limpasan hujan untuk mengalir dari daerah
tangkapan yang paling jauh sampai ke lokasi yang ditinjau (outlet). Waktu konsentrasi diperlukan untuk
menentukan intensitas hujan pada analisis Intensitas Durasi Frekuensi (IDF). Secara umum waktu
konsentrasi merupakan penjumlahan dari waktu aliran di lahan dan saluran yang dirumuskan sebagai
berikut:
t c ti tt
(2)
Keterangan:
tc: waktu konsentrasi (menit)
ti : waktu aliran limpasan di permukaan (menit)
tt : waktu untuk mengalir dalam saluran (menit)
Formula empiris yang bisa digunakan untuk menghitung ti antara lain dengan persamaan berikut:
Formula Hathaway
ti
0,606( L n) 0, 467
S 0, 284
(3)
Keterangan:
ti : waktu konsentrasi aliran di permukaan (jam)
L : panjang lintasan aliran (km)
156
No
1
2
3
tt
Jenis Permukaan
Halus, kedap air
Halus, tanah terbuka
Berumput jarang, tanaman berjajar
n
0,02
0,1
0,2
L
60 v
(4)
Keterangan:
tt : Waktu konsentrasi di saluran (menit)
L : Panjang saluran (m)
V : Kecepatan aliran (m/s)
Debit aliran seragam pada saluran (Q) dapat dihitung dengan rumus :
Q v A
(5)
Keterangan:
Q : debit aliran (m3/s)
V : kecepatan aliran rata-rata (m/s)
A : luas penampang basah aliran (m2)
METODOLOGI STUDI
Metode penelitian yang digunakan dalam studi ini ada tiga tahap yaitu, metode pengamatan yang
dilakukan untuk mengetahui kondisi studi secara langsung dan dibandingkan dengan gambar kerja yang
telah diberikan. Kemudian studi pustaka dilakukan untuk menunjang pemahaman tentang analisa data
curah hujan dan memahami peningkatan volume limpasan sebagai akibat dari pengembangan lahan serta
evaluasi mengenai saluran drainase serta analisis data dan penyusunan laporan untuk mencari seberapa
besar pengaruh peningkatan debit dan akibatnya terhadap kapasitas saluran yang telah
terbangun.Gambar 1 memperlihatkan diagram alir yang dilakukan pada studi ini.
Mulai
Identifikasi Masalah
Selesai
157
250
200
150
100
50
0
0
15
30
45
Gambar 2. Kurva Perbandingan Data Asli dengan Mononobe Bandung Periode Ulang 2 Tahun
Sedangkan Gambar 3 menunjukkan perbandingan antara hasil dari analisis frekuensi durasi pendek
Bandung dan Mononobe untuk periode ulang 5 tahun. Perhitungan yang dilakukan sama seperti pada
periode ulang 2 tahun, dimana perubahan pangkat hanya di fokuskan pada waktu konsentrasi 5-15 menit.
158
300
Intensitas (mm/jam)
250
200
150
100
50
0
0
15
30
45
Gambar 3. Kurva Perbandingan Data Asli dengan Mononobe Bandung Periode Ulang 5 Tahun
Dengan demikian selanjutnya analisis saluran drainase menggunakan persamaan Mononobe dari
intesitas hujan maksimum tahunan di Padalarang dengan nilai pangkat yang telah diubah sesuai dengan
nilai pangkat yang didapat dari persamaan Mononobe di Bandung. Untuk periode ulang 2 tahun
perubahan nilai pangkat menjadi 0,735 dan periode ulang 5 tahun perubahan nilai pangkat menjadi 0,742.
Sehingga perubahan pangkat dari persamaan Mononobe diambil rata-rata yaitu sebesar 0,739. Berikut
persamaan yang digunakan.
68,8 24
Periode ulang 2 tahun: I
.
24 t
0 , 739
83,9 24
Periode ulang 5 tahun : I
.
24 t
(6)
0 , 739
(7)
Seiring dengan berkembangnya lahan tentu akan meningkatkan volume limpasan di kawasan tersebut.
Analisis debit ini dilakukan untuk mengetahui seberapa besar debit yang mengalir di setiap saluran
dengan menggunakan periode ulang 2 tahun dengan kondisi kawasan yang telah terbangun saat ini.
Gambar 5 merupakan site plan dari Cluster Ratnasasih, dimana daerah yang diarsir merah menunjukkan
lahan yang masih kosong dan yang putih menunjukkan lahan yang telah terbangun dengan rumah.
Kondisi saat ini pada Cluster Mayangsunda ditunjukkan pada Gambar 5 dengan warna putih menunjukkan
lahan yang telah terbangun dan arsiran berwarna merah menunjukkan lahan yang belum terbangun
dengan keadaan masih berupa rerumputan. Pembangunan masih terpusat di bagian tengah , sedangkan
bagian tepi dari cluster masih sekitar 75 % belum terbangun.
159
Hasil menunjukkan bahwa rentan tinggi jagaan di dalam saluran saat ini berkisar antara 2,9 cm sampai
dengan 38,7 cm dengan debit yang mengalir berkisar antara 0,005 m3/s sampai dengan 0,1428 m3/s
untuk cluster yang pertama dan hasil menunjukkan bahwa rentan tinggi jagaan di dalam saluran saat ini
berkisar antara 8,9 cm sampai dengan 33,8 cm dengan debit yang mengalir berkisar antara 0,0034 m3/s
sampai dengan 0,2208 m3/s untuk cluster yang kedua.Sehingga kapasitas saluran secara keseluruhan
masih mencukupi.
Sesuai dengan tujuan studi ini yaitu untuk mengevaluasi kapasitas saluran drainase dilihat dari seberapa
besar peningkatan tinggi air di dalam saluran untuk cluster Ratnasasih dan Mayangsunda terhadap data
intensitas hujan yang baru. Kedua cluster ini direncanakan pada tahun 2004 mengacu pada shop drawing
yang diberikan. Dengan melihat data hujan yang baru, akan dikaji apakah dimensi saluran yang telah
dibangun saat ini masih memenuhi kapasitasnya untuk mengalirkan air limpasan. Evaluasi dilakukan
dengan selalu menggangap aliran air yang terjadi di dalam saluran adalah dalam kondisi aliran pada
saluran terbuka serta menggunakan periode ulang 2 dan 5 tahun dan kondisi kedua cluster terbangun
secara penuh.
Untuk cluster yang pertama pada periode ulang 2 tahun nilai debit banjir berkisar antara 0,0043 m3/s
sampai dengan 0,1728 m3/s. Sedangkan untuk periode ulang 5 tahun nilai debit banjir berkisar antara
0,0052 m3/s sampai dengan 0,2501 m3/s. Dengan peningkatan debit banjir akibat lahan yang terbangun
mengakibatkan kapasitas salurannya tidak mencukupi. Tabel 3 menunjukkan saluran yang kapasitasnya
tidak mencukupi sesuai dengan periode ulang yang digunakan. Untuk periode ulang 2 tahun kapasitas
saluran yang tidak mencukupi menjadi 3 saluran yaitu saluran H-5, A3-2, dan B-1, sedangkan untuk
periode ulang 5 tahun bertambah menjadi 4 saluran termasuk saluran E-5.
Tabel 3. Kapasitas saluran yang tidak terpenuhi Cluster Ratnasasih
160
Dimensi (m)
Dimensi (m)
Titik Outlet
1
2
3
4
2-tc (menit)
7,47
12,5
12,74
7,96
Terbangun Penuh
2-Q (m3/s)
5-tc (menit)
0,3422
7,35
1,733
14,22
0,609
12,7
0,233
7,87
5-Q (m3/s)
0,405
0,694
0,754
0,283
161
perencaan sistem drainase.Analisis yang dilakukan pada studi menggunakan karakteristik saluran
terbuka, sehingga untuk studi selanjutnya digunakan bantuan peranti lunak Storm Water Model
Management (SWMM).
REFERENSI
Suripin. (2004). Sistem Drainase Perkotaan Yang Berkelanjutan. Andy Offset, Yogyakarta.
162
Abstrak
Sehubungan dengan rencana pembangunan Gedung Pusat Pembelajaran Arntz Geise (PPAG) di
lingkungan kampus Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Ciumbuleuit sebagai upaya untuk
meningkatkan fasilitas pembelajaran, studi ini dimaksudkan untuk mengevaluasi dampak pengembangan
lahan dan perubahan curah hujan terhadap kapasitas sistem drainase yang ada. Selain menyajikan tata
saluran sesuai rencana pengembangan kampus, studi ini juga ditujukan untuk perencanaan kolam retensi
dan sumur resapan sebagai infrastruktur pengendali limpasan dan konservasi air tanah. Berdasarkan hasil
studi diketahui bahwa pembangunan gedung pada lahan seluas 0,4251 ha dengan menyertakan analisis
curah hujan dalam 29 tahun terakhir akan mengakibatkan terjadinya peningkatan limpasan permukaan
dimana puncak debit banjir pada periode ulang 2 tahun mengalami kenaikan dari 0,02360 m3/s menjadi
0,02722 m3/s. Meskipun terjadi peningkatan debit banjir, namun hasil analisis kapasitas saluran
mengindikasikan bahwa sebagian besar ruas saluran yang tersedia masih aman terhadap risiko
genangan. Tinggi jagaan minimum yang diperoleh pada kondisi banjir terkini adalah 0,03 m. Untuk
mengendalikan limpasan yang terjadi sekaligus melakukan upaya konservasi air, Unpar mutlak perlu
menyediakan sebuah kolam retensi dengan volume 115.5 m3 yang dikombinasikan dengan 2 sumur
resapan.
Kata Kunci: kampus Unpar, kolam retensi, pengembangan lahan, sumur resapan
LATAR BELAKANG
Universitas Katolik Parahyangan atau dikenal dengan Unpar adalah salah satu perguruan tinggi yang
terletak di Jalan Ciumbuleuit, Bandung. Sejak pertama kali didirikan pada tahun 1955, kawasan Unpar
sudah beberapa kali mengalami perubahan tata guna lahan. Perencanaan perubahan tata guna lahan di
kawasan Unpar yang direncanakan dilaksanakan mulai tahun ini adalah pembangunan Gedung Pusat
Pembelajaran Arntz Geise (PPAG) yang terdiri atas gedung sementara 2 lantai dan 3 basement. Dalam
pembangunan gedung PPAG tersebut diperlukan perencanaan sistem drainase yang matang dalam
upaya mengendalikan limpasan permukaan dan terjadinya genangan pada saat musim hujan serta
meresapkan kembali air hujan ke dalam tanah.
Sehubungan dengan adanya perubahan kembali atas pembangunan gedung PPAG dimana luas lahan
terbangun akan diperluas hingga gedung Workshop Arsitektur, studi dimaksudkan untuk mengkaji dampak
dari perluasan lahan sekaligus melakukan perencanaan sumur resapan di lingkungan kampus Unpar
Ciumbuleuit.
Sumur resapan sendiri merupakan rekayasa teknik konservasi air yang berupa bangunan yang dibuat
sedemikian rupa sehingga menyerupai bentuk sumur gali dengan kedalaman tertentu yang berfungsi
sebagai tempat menampung air hujan dari atas atap rumah dan meresapkannya ke dalam tanah (Dephut,
1994).
Unpar yang berada di kawasan pemukiman menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.
41/PRT/M/2007, perubahan tata guna lahan di kawasan perumahan harus dilengkapi dengan membuat
163
sumur resapan air hujan mengikuti SNI 03 2453 2002 tentang Tata Cara Perencanaan Sumur
Resapan Air Hujan untuk Lahan Perkarangan.
Sistem Drainase Berkelanjutan
Drainase yang berasal dari bahasa Inggirs drainage mempunyai arti mengalirkan, menguras, membuang,
atau mengalihkan air. Dalam bidang teknik sipil, drainase secara umum dapat didefinisikan sebagai suatu
tindakan teknis untuk mengurangi kelebihan air, baik yang berasal dari air hujan, rembesan, maupun
kelebihan air irigasi dari suatu kawasan/lahan, sehingga fungsi kawasan/lahan tidak terganggu. Drainase
dapat juga diartikan sebagai usaha untuk mengontrol kualitas air tanah dalam kaitannya dengan salinitas.
Jadi, drainase menyangkut tidak hanya air permukaan tapi juga air tanah.
Berdasarkan prinsip pengertian sistem drainase di atas yang bertujuan agar tidak terjadi banjir di suatu
kawasan, ternyata air juga merupakan sumber kehidupan. Bertolak dari hal tersebut, maka konsep dasar
pengembangan sistem drainase yang berkelanjutan adalah meningkatkan daya guna air, meminimalkan
kerugian, serta memperbaiki dan konservasi lingkungan. Untuk itu diperlukan usaha-usaha yang
komprehensif dan integratif yang meliputi seluruh proses, baik yang bersifat struktural maupun non
struktural untuk mencapai tujuan tersebut (Suripin, 2004).
Sampai saat ini perancangan drainase didasarkan pada filosofi bahwa air secepatnya mengalir dan
seminimal mungkin menggenangi daerah layanan. Tapi dengan semakin timpangnya perimbangan air
(pemakaian dan ketersedian) maka diperlukan suatu perancangan draianse yang berfilosofi bukan saja
aman terhadap genangan tapi juga sekaligus berasas pada konservasi air (Sunjoto, 1987). Konsep sistem
drainase yang berkelanjutan merupakan prioritas utama kegiatan yang harus ditujukan untuk mengelola
limpasan permukaan dengan cara mengembangkan fasilitas untuk menahan air hujan. Berdasarkan
fungsinya, fasilitas penahan air hujan dapat dikelompokkan menjadi dua tipe, yaitu tipe penyimpanan
(storage types) dan tipe peresapan (infiltration types).
Kolam Retensi
Kolam retensi merupakan suatu cekungan atau kolam yang dapat menampung atau meresapkan air di
dalamnya, tergantung dari jenis bahan pelapis dinding dan dasar kolam. Kolam retensi dapat dibagi
menjadi 2 macam, yaitu kolam alami dan kolam non alami.
Fungsi dari kolam retensi adalah untuk menggantikan peran lahan resapan yang dijadikan lahan
tertutup/perumahan/perkantoran maka fungsi resapan dapat digantikan dengan kolam retensi. Fungsi
kolam ini adalah menampung air hujan langsung dan aliran dari sistem untuk diresapkan ke dalam tanah.
164
sehingga kolam retensi ini perlu ditempatkan pada bagian yang terendah dari lahan. jumlah, volume, luas
dan kedalaman kolam ini sangat tergantung dari berapa lahan yang dialihfungsikan menjadi kawasan
tertutup.
Sumur Resapan
Konsep dasar sumur resapan adalah memberi kesempatan dan jalan pada air hujan yang jatuh di atap
atau lahan yang kedap air untuk meresap ke dalam tanah dengan jalan menampung air tersebut pada
suatu sistem resapan. Sumur resapan ini merupakan sumurr kosong dengan kapasitas tampungan yang
cukup besar sebelum air meresap ke dalam tanah. Dengan adanya tampungan, maka air hujan
mempunyai cukup waktu utnuk meresap ke dalam tanah, sehingga pengisian tanah menjadi optimal.
Sumur resapan banyak mendatangkan manfaat, namun pembuatannya harus memperhatikan syarat
syarat yang diperlukan untuk mendapatkan hasil yang optimal, yaitu:
1. Sumur resapan air hujan dibuat pada lahan yang memiliki permeabilitas tinggi, atau memiliki lapisan
akuifer yang cukup tebal. Nilai permeabilitas disajikan dalam Tabel 2.
2. Sumur resapan hujan harus bebas kontaminasi limbah. Dengan kata lain, air yang diperbolehkan
untuk diresapkan hanyalah air hujan.
3. Untuk daerah sanitasi lingkungan buruk, sumur resapan air hujan hanya menampung air dari atap
dan disalurkan melalui talang
Dalam perencanaan perlu dipertimbangkan aspek hidrogeologi, geologi, dan hidrologi.
Terpenuhinya jarak minimum sumur resapan terhadap bangunan lainnya sepeti tersaji pada Tabel 1.
Tabel 1. Jarak minimum sumur resapan air hujan terhadap bangunan
(Sumber: SNI 03-2453-2002)
No.
Jenis bangunan
Pondasi Bangunan
No.
Lokasi
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Arjasari
Kp.Damur, Cimanggung
Bandung Highland
Dago
Hegarmanah, Cikeruh
Patal Cipadung
Gegerbeas, Cimaung
Cihampelas, Cililin
Gn. Batu, Cimindi
Cibeureum, Pangalengan
Sayang, Rancaekek
Jl. Anggrek
1,78 10-4
1,17 10-3
5,23 10-5
8,55 10-4
3,60 10-4
3,87 10-4
1,45 10-4
4,51 10-4
3,37 10-4
3,17 10-4
9,15 10-5
6,75 10-4
165
METODOLOGI STUDI
Mulai
Studi Pustaka
Pengumpulan Data :
Menentukan Lokasi
Sumur Resapan
Tidak Terpenuhi
Estimasi Dimensi
dan Volume Kolam
Retensi
Desain Dimensi
Ulang
Terpenuhi
Selesai
166
Outliers
Trend
Independensi
5
10
15
20
45
60
120
180
360
720
tidak ada
tidak ada
tidak ada
ada
ada
ada
ada
ada
tidak ada
ada
ada
tidak ada
tidak ada
tidak ada
tidak ada
tidak ada
tidak ada
tidak ada
tidak ada
tidak ada
independen
independen
independen
tidak independen
tidak independen
tidak independen
tidak independen
independen
independen
independen
Kala Ulang T
Durasi Hujan (menit)
t
Tahun
5
10
15
30
45
60
120 180 360 720
2
0.0000 165.6 126.7 108.9 80.8 65.3 51.5 28.9 20.9 11.6 6.1
5
0.8416 216.9 154.7 132.6
98
76.1 58.8 31.9 23.7 14.3 7.2
Dari ketiga persamaan Talbot, Sherman dan Ishiguro, maka selanjutnya akan dilakukan pemeriksaan
untuk mendapatkan rumus yang cocok. Pemeriksaan dilakukan dengan mencari deviasi rata-rata terkecil
yang dihasilkan dari ketiga persamaan tersebut. Dari hasil perhitungan yang disajikan pada Gambar 2 dan
Gambar 3, dapat disimpulkan bahwa rumus yang paling sesuai adalah Talbot.
167
350
300
250
200
150
100
50
0
0
20
40
60
80
100
120
140
Waktu (menit)
DATA
TALBOT
SHERMAN
ISHIGURO
250
200
150
100
50
0
0
20
40
60
80
100
120
140
Waktu (menit)
DATA
TALBOT
SHERMAN
ISHIGURO
168
350.00
300.00
250.00
200.00
150.00
5 Tahun
100.00
2 Tahun
50.00
0.00
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
Tahun
Stasiun Cemara
Gambar 4. Curah hujan maksimum tahunan BMKG Kota Bandung
169
Pav GSG 2
Pav GSG 3
Pav GSG 1
Daerah
Y Kondisi Eksisting
(m)
Y Kondisi Terbangun
(m)
h (m)
b (m)
Kapasitas Saluran
Pav GSG 1
GSG
Pav GSG 2
Pav GSG 3
0.16
0.2
0.23
0.36
0.18
0.23
0.28
0.43
0.4
0.4
0.4
0.4
0.3
0.3
0.3
0.3
Tidak Meluap
Tidak Meluap
Tidak Meluap
Meluap
Tabel 7. Dimensi saluran drainase sesudah pelebaran saluran dengan periode ulang 2 tahun
Daerah
Y Kondisi Eksisting
(m)
Y Kondisi Terbangun
(m)
h (m)
b (m)
Kapasitas Saluran
Pav GSG 1
GSG
Pav GSG 2
Pav GSG 3
0.16
0.2
0.23
0.36
0.18
0.23
0.28
0.3
0.4
0.4
0.4
0.4
0.3
0.3
0.3
0.4
Tidak Meluap
Tidak Meluap
Tidak Meluap
Tidak Meluap
Tabel 8. Dimensi saluran drainase sebelum pelebaran saluran dengan periode ulang 5 tahun
Daerah
Y Kondisi Eksisting
(m)
Y Kondisi Terbangun
(m)
h (m)
b (m)
Kapasitas Saluran
Pav GSG 1
GSG
Pav GSG 2
Pav GSG 3
0.19
0.24
0.28
0.44
0.22
0.28
0.35
0.52
0.4
0.4
0.4
0.4
0.3
0.3
0.3
0.3
Tidak Meluap
Tidak Meluap
Tidak Meluap
Meluap
170
Tabel 9. Dimensi saluran drainase sesudah pelebaran saluran dengan periode ulang 5 tahun
Daerah
Y Kondisi Eksisting
(m)
Y Kondisi Terbangun
(m)
h (m)
b (m)
Kapasitas Saluran
Pav GSG 1
GSG
Pav GSG 2
Pav GSG 3
0.19
0.24
0.28
0.44
0.22
0.28
0.35
0.37
0.4
0.4
0.4
0.4
0.3
0.3
0.3
0.4
Tidak Meluap
Tidak Meluap
Tidak Meluap
Tidak Meluap
1000 0,5
tc 0,00526 L
9 s
CN
0 ,8
(1)
dimana tc adalah waktu konsentrasi dalam jam, L adalah panjang saluran dalam ft, dan S adalah
kemiringan rata rata lahan dalam ft/ft. Berdasarkan data dimensi saluran drainase, panjang saluran
utama adalah sebesar 62,484 ft.
Waktu keterlambatan adalah waktu rata-rata dari semua kemungkinan waktu tempuh limpasan
permukaan pada daerah tangkapan. Pada metode hidrograf satuan sintetik SCS besarnya waktu
keterlambatan dapat diketahui dari waktu konsentrasi. Perhitungan waktu konsentrasi dan waktu
keterlambatan ditunjukan pada Tabel 10.
Tabel 10. Waktu konsentrasi (tc) dan waktu keterlambatan
L (ft)
S (ft/ft)
tc (menit)
62,484
0,001
9,918
5,951
171
Waktu (jam)
Q (m/s) Sebelum
Q (m/s) Sesudah
0
0.5
1
1,5
2
2,5
3
3,5
4
0
0.00532
0.02018
0.02094
0.0236
0.00688
0.00701
0
0
0
0.00614
0.02327
0.02415
0.02722
0.00794
0.00808
0
0
Dari hidrograf yang dihasilkan, debit puncak banjir mengalami kenaikan setelah pembangunan Gedung
PPAG mencapai 0,02722 m/s dari 0,02360 m/s yang merupakan debit puncak banjir kondisi eksisting.
Dengan demikian, volume limpasan yang terjadi mengalami peningkatan sebesar 20 m, dari 140 m
menjadi 160 m.
172
2KBH
B
ln
r
(2)
Keterangan:
Q : debit aliran (m3/s)
K : koefisien permeabilitas tanah (m/s)
B
: tebal confined aquifer (m)
H
: ketinggian potentiometric surface
R
: jari jari sumur
Tabel 12. Hubungan jumlah sumur resapan dengan waktu yang dibutuhkan untuk meresapkan
2
4
6
8
3,419
1,71
1,14
0,855
173
Dengan menggunakan dimensi kolam retensi tersebut maka sesuai dengan syarat jarak minimum sumur
resapan air hujan terhadap bangunan pada Tabel 1, jumlah sumur resapan yang dapat digunakan
berjumlah 2 buah sumur resapan dengan diameter 1,0 meter. Sumur resapan akan diletakan di kolam
retensi yang memiliki tinggi awal genangan sebesar 0,3 m sebagai fasilitas air cadangan untuk kebutuhan
cuci dan sebagainya. Secara jelas, sketsa layout kolam retensi yang direncanakan disajikan pada
Gambar 9.
11 m
3m
3m
3m
3m
3m
7m
Sumur Resapan
(d = 1 m)
3m
3m
Tampak Atas
1,5 m
2m
2m
Tampak Depan
1m
1m
saluran GSG mengalami luapan sehingga dimensi saluran tersebut perlu diperbesar dari 0,3x0,4m
menjadi 0,4x0,4m. Untuk mengendalikan kelebihan limpasan permukaan akibat pembangunan Gedung
Arntz - Geise sistem drainase harus dilengkapi dengan kolam parkir banjir dengan volume sebesar 115,5
m. Dalam studi ini, direncanakan bahwa kolam parkir banjir akan diletakan di depan Plaza Fisip dengan
dimensi 7,0 m x 11,0 m x 1,5 m. Dengan menggunakan dimensi kolam 7,0 m x 11,0 m x 1,5 m, jumlah
sumur resapan dengan diameter 1 meter berjumlah 2 buah dan debit sumur resapan mencapai 0,0065
m/s.
Rekomendasi
Mempertimbangkan bahwa lahan kampus Unpar memiliki potensi untuk dapat meresapkan air hujan
karena masih banyak terdapat lahan terbuka, disarankan agar studi selanjutnya menyertakan penyelidikan
geoteknik secara detail pada lokas kolam retensi rencana untuk mendukung studi perencanaan sumur
resapan.
REFERENSI
Sunjoto. (2011). Teknik Drainase Pro-Air, Yogyakarta.
Sunjoto. (1987). Sistem Drainase Air Hujan yang Berwawasan Lingkungan. Makalah Seminar Pengkajian
Sistem Hidrologi dan Hidrolika, PAU Ilmu Teknik Universitas Gajah Mada.
Soemarto, CD. (1986). Hidrologi Teknik Usaha Nasional, Surabaya.
Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah. (2003). Panduan dan Petunjuk Pengelolaan Drainase
Perkotaan, Jakarta.
Direktorat Jenderal Tata Perkotaan dan Tata Perdesaan. (2003). Buku Panduan dan Petunjuk Praktis
Pengelolaan Drainase Perkotaan, Jakarta.
Direktorat Jenderal Penataan Ruang. (2008). Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor :
41/PRT/M/2007 Tentang Pedoman Kriteria Teknis Kawasan Budi Daya.
Badan Standarisasi Nasional. (2002). SNI 03-2453-2002, Jakarta.
Butler, David and W. Davies, John. (2004). Urban Drainage Second Edition. Spon Press 11 New Fetter
Lane, London EC4P4EE.
Hutasoit, Lambok M. (2009). "Kondisi Permukaan Air Tanah dan Tanpa Peresapan Buatan di Derah
Bandung : Hasil Simulasi Numerik", Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 4 No. 3 September 2009 : 177188.
Gemilang, Galih dan Tarigan, Ahmad Perwira Mulia. (2013). Kajian Sumur Resapan Dalam Mereduksi
Debit Banjir Pada Kawasan Perumahan Anugerah Lestari Kuala Gumit, Langkat, Medan.
Suripin. (2004). Sistem Drainase Berkelanjutan, Penerbit Andi. Yogyakarta.
Dephut. (1994). Pedoman Penyusunan Rencana Pembuatan Bangunan Sumur Resapan Air. Direktorat,
Jakarta.
175
Abstrak
Seiring dengan terjadinya peningkatan curah hujan di berbagai wilayah termasuk Kota Bandung dan
sekitarnya, studi ini dimaksudkan untuk mengevaluasi dampak peningkatan curah hujan terhadap
kapasitas saluran drainase, kapasitas kolam dan pola operasi pompa pada salah satu kawasan
permukiman yang terletak di sisi Timur Kota Bandung yang saat ini masih dalam tahap pembangunan
mengikuti hasil perencanaan pada tahun 2009. Berdasarkan hasil analisis yang diperoleh dengan
menyertakan data curah hujan terbaru tahun 2010-2014, diketahui bahwa terjadi peningkatan intensitas
hujan maksimum sebesar 18 %. Sebagai konsekuensinya, debit banjir periode ulang 5 dan 10 tahun ikut
meningkat dari 1,6 m3/s dan 1,84 m3/s menjadi 1,7 m3/s dan 2 m3/s. Namun demikian, sesuai dengan
hasil evaluasi kapasitas saluran diketahui bahwa beberapa ruas saluran drainase yang tersedia
mengalami luapan pada periode ulang 5 tahun dan 10 tahun. Dengan demikian untuk mengantisipasi
luapan tersebut, dimensi saluran drainase tersebut perlu diperlebar sebesar 10 cm, semula saluran yang
berdimensi 30x30 cm2, 40x40 cm2 dan 50x50 cm2 masing-masing berubah menjadi 40x30 cm2, 50x40
cm2 dan 60x50 cm2. Jika ditinjau dari kapasitas kolam dan pola operasi pompa, kapasitas kolam saat ini
masih mampu untuk menampung volume limpasan permukaan meskipun sistem pompa yang diterapkan
saat ini mengalami pola mati-hidup dengan banjir terkini pada periode ulang 2 dan 5 tahun.
Kata Kunci: kapasitas saluran drainase, perubahan hujan, pola operasi pompa
LATAR BELAKANG
Kota Bandung merupakan salah satu kota besar di Indonesia yang memiliki pertumbuhan penduduk serta
pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Seiring dengan hal itu, Kota Bandung dituntut untuk selalu
menyediakan fasilitas pemukiman yang baik. Wilayah Bandung yang direncanakan sebagai destinasi
pemukiman adalah Bandung Timur. Hal ini berdasarkan pada peraturan daerah nomer 18 tahun 2011 bab
4 pasal 9 tentang rencana tata ruang wilayah Kota Bandung yang berbunyi, pengembangan fasilitas sosial
dan fasilitas umum baru skala kota dan wilayah akan di arahkan ke Wilayah Bandung Timur. Menanggapi
peraturan tersebut, pengembangan suatu perkotaan harus diimbangi dengan pengembangan infrastruktur,
diantaranya adalah sistem drainase. Sistem drainase yang baik dapat membebaskan kota dari genangan
air, dimana kualitas dari suatu perkotaan dapat dilihat dari kualitas sistem drainase yang ada (Suripin,
2004).
Berdasarkan studi Jefry (2011) diketahui bahwa sistem drainase yang dibangun pada perumahan ini
adalah sistem drainase yang berbasis polder, dengan pertimbangan bahwa elevasi tanah dasar di lokasi
rencana (+7,099 m sampai +8,0814 m) lebih rendah dibandingkan dengan muka air banjir Sungai
Cipamokolan +9,118 m, yang menyebabkan limpasan permukaan tidak dapat mengalir secara gravitasi ke
badan air penerima. Selain itu perumahan ini dilengkapi dengan dua buah kolam detensi yang berfungsi
sebagai pengendali limpasan permukaan sebelum dibuang ke Sungai Cipamokolan sebagai badan
penerima dengan menggunakan pompa. Rendahnya daya dukung tanah asli dan keberadaan empat buah
saluran irigasi menjadi alasan lain dalam penggunaan sistem drainase berbasis polder.
176
Namun, seiring dengan perubahan iklim global, upaya untuk mengevaluasi kinerja sistem drainase
menjadi langkah penting untuk menjamin kawasan tersebut menjadi bebas dari genangan. Jika dilihat
berdasarkan hasil studi yang dilakukan oleh Regi (2014) ada kecenderungan bahwa curah hujan yang
terjadi mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Sehingga akan berpengaruh terhadap perubahan
intensitas hujan. Oleh karena itu untuk menanggapi hal tersebut maka kapasitas saluran drainase yang
ada perlu di tinjau kembali guna untuk mengetahui apakah saluran masih mampu atau tidak untuk
mengendalikan limpasan permukaan. Disisi lain karena perumahan ini menerapkan sistem drainase yang
berbasis polder maka dalam studi ini akan melihat dampaknya terhadap volume kolam maupun kapasitas
atau pola operasi pompa. Gambar 1 dibawah ini merupakan site plan dari lokasi studi.
METODOLOGI STUDI
Studi ini dititikberatkan pada evaluasi kapasitas saluran, volume kolam beserta pola operasi pompa pada
kawasan perumahan ini berdasarkan data hujan terbaru. Tahap awal dalam studi ini yaitu melakukan
survei lokasi mengenai kondisi sistem drainase beserta studi pustaka sebagai acuan dalam melakukan
analisis. Lalu melakukan pencarian data-data pada lokasi studi seperti data curah hujan, kapasitas kolam,
pola pompa dan karakteristik hidraulik saluran. Tahap selanjutnya adalah melakukan analisis hujan untuk
mengetahui adanya perubahan IDF serta perubahan debit banjir pada kawasan dengan tujuan untuk
mengevaluasi kapasitas saluran drainase. Evaluasi kolam beserta pola operasi pompa dilakukan dengan
perangkat lunak HEC-HMS. Jika pada tahap evaluasi saluran drainase terdapat ruas saluran yang meluap
maka perlu dilakukan desain ulang terhadap dimensi saluran tersebut. Lalu evaluasi kolam beserta pola
operasi pompa disimulasikan guna untuk mengetahui kapasitas kolam beserta pengaruhnya terhadap
pola operasi pompa. Secara lengkap diagram alir studi dapat dilihat pada Gambar 2.
177
MULAI
Studi
Pustaka
Pengumpulan
data
Analisis Hujan
Metode Rasional
Ya
Terpenuhi ?
Terpenuhi ?
Tidak
Tidak
Desain Ulang
Dimensi Saluran
Simulasi Pola
Operasi Pompa
SELESAI
178
200.00
200.00
150.00
150.00
100.00
100.00
50.00
50.00
0.00
Intensitas Hujan(mm)
250.00
Intensitas Hujan(mm)
250.00
0.00
50
100
Tahu Waktu (menit)
150
50
100
Tahun
Waktu (menit)
150
Gambar 3. Perbandingan IDF Tahun 1986-2009 dengan IDF Tahun 1986-2014 Periode Ulang 5 Tahun (kiri) dan 10
Tahun (kanan)
Pada studi ini terdapat data curah hujan maksimum tahunan yang diperoleh dari Stasiun Cemara yaitu
tahun 1986 dampai 2014, dan data dari Stasiun Cibiru-Cisurupan yaitu tahun 2004 sampai 2014. Apabila
dilakukan analisis frekuensi dengan data hujan yang ada seperti yang terlihat pada Gambar 4, dapat
dilihat bahwa curah hujan rencana Stasiun Cibiru-Cisurupan secara keseluruhan lebih tinggi dibandingkan
curah hujan rencana dari Stasiun Cemara.
160.0
140.0
120.0
100.0
80.0
60.0
40.0
20.0
0.0
2
Stasiun Cemara
5
10
20
Periode Ulang (tahun)
25
Stasiun Cibiru-Cisurupan
Gambar 4. Perbandingan Curah Hujan Rencana Stasiun Cemara dan Stasiun Cibiru-Cisurupan pada Berbagai
Periode Ulang
Selain itu, untuk menanggapi bahwa kecenderungan curah hujan rencana Stasiun Cibiru-Cisurupan yang
lebih besar dibandingkan dengan Stasiun Cemara dimana Stasiun Cibiru-Cisurupan yang lebih dekat dari
lokasi studi maka perlu dilakukan pencarian kurva IDF dengan menggunakan persamaan Mononobe.
Namun perlu dilakukan perubahan koefisien pada persamaannya yang diambil dari keofisien Mononobe
Bandung. Pemilihan koefisien dibatasi dengan melihat durasi hingga 11 menit. Hal ini didasarkan pada
waktu konsentrasi yang terjadi pada lokasi studi yang berkisar antara 2-11 menit. Setelah dilakukan
perhitungan didapat nilai pangkat untuk periode ulang 5 tahun dan periode ulang 10 tahun adalah 0,731.
Berdasarkan data hujan terkini, intensitas hujan yang terjadi mengalami peningkatan. Dengan demikian
akan dikaji apakah kapasitas saluran yang terbangun masih mampu untuk mengalirkan air limpasan atau
tidak, dimana saluran yang ada mengacu pada desain perencanaan tahun 2009. Evaluasi kapasitas
saluran dilakukan dengan menggunakan metode rasional dengan periode ulang 5 dan 10 tahun yang
merupakan syarat desain perencanaan sistem drainase yang berbasis polder. Hasil yang didapatkan
seperti pada Tabel 1 dan 2.
179
Nama
Dimensi Saluran
Ketinggian
Saluran
b (m)
h (m)
GA16
GA12
SB13
0,3
0,3
0,3
0,3
0,3
0,3
0,33
0,32
0,35
Nama
Ketinggian
Muka Air (m)
Dimensi Saluran
Saluran
b (m)
h (m)
Nama
Dimensi Saluran
Ketinggian
Muka Air (m)
Saluran
b (m)
h (m)
0,31
SB26
0,5
0,5
0,36
SA1
0,3
0,3
0,43
SD10
0,3
0,3
0,34
SA15
0,4
0,4
0,31
SD11
0,4
0,4
0,47
SA36
0,3
0,3
0,41
SD23
0,3
0,3
0,33
SA41
0,4
0,4
0,53
SD33
0,3
0,3
0,33
SA42
0,5
0,5
0,37
SE17
0,4
0,4
0,43
GA12
0,3
0,3
0,37
SE19
0,5
0,5
0,52
GA16
0,3
0,3
0,4
SE26
0,3
0,3
0,32
SB13
0,3
0,3
0,33
SE39
0,3
0,3
0,31
SB24
0,3
0,3
3
Hasil evaluasi saluran drainase menunjukan kenaikan debit maksimum dari 1,6 m /s dan 1,84 m3/s yang
merupakan desain awal menjadi adalah 1,726 m3/s dan 2 m3/s untuk periode ulang 5 dan 10 tahun.
Akibatnya adalah muka air pada saluran mengalami kenaikan (Tabel 1 dan Tabel 2). Sehingga kapasitas
dari beberapa ruas saluran yang terbangun saat ini tidak mencukupi. Oleh karena itu saluran tersebut
perlu dilakukan pelebaran sebesar 10 cm agar kapasitas saluran bertambah. Hasil pelebaran saluran
tahun dapat dilihat pada Tabel 3 dan Tabel 4.
Tabel 3. Hasil Evaluasi Kapasitas Saluran Drainase Periode Ulang 5 Tahun setelah Pelebaran
Nama
Dimensi Saluran
Ketinggian
Saluran
b (m)
h (m)
GA16
GA12
SB13
0,4
0,4
0,4
0,3
0,3
0,3
0,22
0,21
0,23
Tabel 4. Hasil Evaluasi Kapasitas Saluran Drainase Periode Ulang 10 Tahun setelah Pelebaran
Nama
Dimensi Saluran
Ketinggian
Nama
Dimensi Saluran
Ketinggian
Saluran
b (m)
h (m)
Saluran
b (m)
h (m)
SA1
SA15
SA36
SA41
SA42
GA12
GA16
0,4
0,5
0,4
0,5
0,6
0,4
0,4
0,3
0,4
0,3
0,4
0,5
0,3
0,3
0,20
0,33
0,20
0,32
0,42
0,24
0,24
SB26
SD10
SD11
SD23
SD33
SE17
SE19
0,6
0,4
0,5
0,4
0,4
0,5
0,6
0,5
0,3
0,4
0,3
0,3
0,4
0,5
0,29
0,22
0,36
0,22
0,22
0,33
0,41
180
SB13
0,4
0,3
0,26
SE26
0,4
0,3
0,21
SB24
0,4
0,3
0,22
SE39
0,4
0,3
0,20
Perlu diketahui bahwa kawasan ini dilalui oleh empat buah saluran irigasi eksisting. Fungsi dari saluran
irigasi ini yaitu untuk mendistribusikan air ke daerah selatan perumahan dimana terdapat daerah pertanian
dan juga sekaligus sebagai saluran drainase untuk mengalirkan limpasan dari sisi utara perumahan. Di
hilir dari saluran irigasi ini terdapat tiga buah gorong-gorong yang melintasi badan jalan tol PadalarangCileunyi. Saluran irigasi satu dan saluran irigasi dua menjadi satu saluran menuju gorong-gorong satu,
saluran irigasi tiga menuju gorong-gorong dua dan saluran irigasi empat menuju gorong-gorong tiga.
Namun keberadaan gorong-gorong dua ini tidak mampu untuk mengalirkan debit puncak saluran irigasi
tiga dengan periode ulang 5 dan 10 tahun sehingga limpasan yang dikeluarkan melalui pelimpah akan
masuk ke dalam sistem. Dengan demikian skema pemodelan HEC-HMS untuk evaluasi kapasitas kolam
beserta pola operasi pompa diperlihatkan pada Gambar 5.
SUB-KAWASAN 1
LenggorSUB-KAWASAN 2
AIR CINYUSU
Mekar SariSUB-KAWASAN 3
PENERIMA
Kawasan ini dibagi ke dalam tiga sub-kawasan, yaitu sub-kawasan 1, sub-kawasan 2, dan sub-kawasan
3. Fungsi dari sub-kawasan ini yaitu untuk membagi perumahan ke dalam wilayah yang lebih kecil,
dimana sub-kawasan ini menentukan daerah mana saja yang berkontribusi terhadap masing-masing
kolam. Air hujan yang jatuh pada sub-kawasan 1 akan dialirkan melalui saluran drainase yang diiringi
dengan intervensi limpasan dari saluran irigasi 3 menuju kolam detensi 1. Sedangkan hujan yang jatuh di
atas sub-kawasan 2 dan sub-kawasan 3 akan langsung diarahkan melalui saluran menuju kolam detensi
2. Air yang berada di kolam detensi 1 tidak secara langsung dibuang menuju badan air penerima, tetapi
dipompa terlebih dahulu menuju kolam detensi 2. Kemudian air dari kolam detensi 2 langsung dipompa ke
badan air penerima. Curah hujan rencana yang digunakan berasal dari analisis frekuensi yang diperoleh
berdasarkan data hujan harian maksimum tahunan dari Stasiun Cibiru-Cisurupan. Studi ini
mengasumsikan bahwa durasi hujan yang terjadi tidak berubah, yaitu 3 jam. Durasi hujan berdasarkan
pada data pola distribusi hujan dari BMKG Bandung antara tahun 2005-2009 yang diperoleh dari studi
terdahulu. Tabel 5 merupakan hidrograf banjir yang dihasilkan dari masing-masing sub-kawasan, dimana
dalam perangkat lunak HEC-HMS hidrograf banjir ini akan menghasilkan besarnya volume limpasan.
Volume limpasan tersebut akan digunakan sebagai data dalam evaluasi kolam beserta pompa.
181
Wakt
u
Periode Ulang 2 Tahun
Periode Ulang 5 Tahun
Periode Ulang 10 Tahun
( jam
Q1
Q2
Q3
Q1
Q2
Q3
Q1
Q2
Q3
)
(m3/s)
(m3/s)
(m3/s)
(m3/s)
(m3/s)
(m3/s)
(m3/s)
(m3/s)
(m3/s)
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0,5
0,033
0,041
0,038
0,08
0,101
0,094
0,116
0,145
0,135
1
0,168
0,207
0,194
0,293
0,359
0,336
0,373
0,457
0,427
1,5
0,225
0,267
0,25
0,359
0,424
0,396
0,441
0,52
0,486
2
0,259
0,306
0,286
0,393
0,462
0,432
0,474
0,556
0,52
2,5
0,136
0,149
0,139
0,204
0,221
0,207
0,244
0,265
0,248
3
0,093
0,105
0,098
0,137
0,154
0,144
0,163
0,183
0,171
3,5
0,027
0,026
0,024
0,04
0,038
0,036
0,048
0,045
0,042
4
0,006
0,005
0,004
0,009
0,007
0,006
0,01
0,008
0,008
4,5
0,001
0,001
0,001
0,002
0,001
0,001
0,002
0,001
0,001
5
0
0
0
0
0
0
0
0
0
5,5
0
0
0
0
0
0
0
0
0
6
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Proses simulasi dilakukan dengan kondisi awal air pada level 0,2 m dari dasar kolam dengan posisi
elevasi intake pompa yang sama. Interval waktu yang digunakan adalah 2 menit, dengan tujuan untuk
mendapatkan hasil simulasi yang akurat. Pada studi ini dilakukan tiga jenis skenario. Skenario ini
berdasarkan pada data curah hujan rencana dengan berbagai periode ulang. Tabel 6 adalah rincian dari
skenario tersebut
Tabel 6. Simulasi Operasi Pompa dengan Data Hujan Stasiun Cibiru-Cisurupan
Skenario
Data Hujan
Tahun 2004-2014
Periode Ulang
2 Tahun
5 Tahun
10 Tahun
1
2
Pola operasi pompa yang digunakan adalah pola operasi existing yang didapat dari hasil studi
sebelumnya. Berdasarkan hal tersebut, akan dilihat pengaruh hujan terbaru terhadap volume kolam
detensi dan pola operasi pompa. Dengan demikian didapatkan hasil seperti pada Tabel 7.
Tabel 7. Hasil Evaluasi Kolam Detensi untuk Periode Ulang 2, 5 dan 10 Tahun
Parameter
Periode Ulang 2
Tahun
Kolam 1 Kolam 2
Periode Ulang 5
Tahun
Kolam 1 Kolam 2
Periode Ulang 10
Tahun
Kolam 1
Kolam 2
yang mengikuti perencanaan tahun 2009 mengalami pola pompa yang berfluktuasi. Hal ini ditunjukan
dengan pola pompa yang mengalami mati-hidup untuk periode ulang 2 tahun dan 5 tahun. Untuk periode
ulang 2 tahun, pola pompa yang mengalami mati-hidup terlihat pada kolam detensi 1 maupun kolam
detensi 2. Khusus untuk kolam detensi 2 pola pompa mengalami mati-hidup dalam rentan waktu yang
singkat. Lalu untuk periode ulang 5 tahun pola pompa yang mengalami mati-hidup terlihat pada kolam
detensi 1. Sedangkan untuk hujan dengan periode ulang 10 tahun tidak terjadi masalah pada pola operasi
pompa. Pola pompa yang mengalami kejadian mati-hidup dapat dikatakan tidak efisien karena dapat
menyebabkan konsumsi listrik pompa lebih boros serta umur dari motor listrik akan lebih pendek yang
secara langsung ada kaitannya terhadap biaya, namun dalam studi ini tidak dibahas lebih lanjut. Setelah
dikaji lebih lanjut pola pompa yang mengalami mati-hidup untuk periode ulang 2 tahun untuk kolam
detensi 1 diakibatkan oleh 1 pompa utama dan untuk kolam detensi 2 diakibatkan oleh 3 pompa utama,
sedangkan untuk periode ulang 5 tahun untuk kolam detensi 1 diakibatkan oleh 2 pompa utama. Rincian
pola operasi pompa tersaji dalam Gambar 6, 7, dan 8.
Gambar 6. Pola Operasi Pompa Kolam Detensi 1 (kiri) dan Kolam Detensi 2 (kanan) Periode Ulang 2 Tahun
Gambar 7. Pola Operasi Pompa Kolam Detensi 1 (kiri) dan Kolam Detensi 2 (kanan) Periode Ulang 5 Tahun
183
Gambar 8. Pola Operasi Pompa Kolam Detensi 1 (kiri) dan Kolam Detensi 2 (kanan) Periode Ulang 10 Tahun
Untuk menyesuaikan pola pompa pada kondisi hujan terkini, maka perlu dilakukan perubahan pada pola
operasi pompa. Pola operasi pompa yang diperoleh harus dapat mengatasi hujan dengan periode ulang 2,
5 dan 10 tahun. Setelah simulasi dilakukan hasil penerapan pola operasi yang baru disajikan pada Tabel
8-10 dan Gambar 9-11
Tabel 8. Perbandingan Pola Operasi Pompa Lama dan Baru pada Kolam Detensi 1
Jenis Pompa
Pompa Utama
Grundfos SEN 1
Grundfos SEN 2
Grundfos SP 270 G 3
Pompa Cadangan
Grundfos SP 270 G 4
On Elevation (m)
Pola lama
Pola baru
1,2
1,2
0,8
1,4
0,75
0,55
0,75
0,4
1,25
1,25
0,5
0,3
1,7
1,7
1,4
1,4
Tabel 9. Perbandingan Pola Operasi Pompa Lama dan Baru pada Kolam Detensi 2
Jenis Pompa
Pompa Utama
Grundfos SEN 1
Grundfos SEN 2
Grundfos SEN 3
Grundfos SEN 4
Grundfos SEN 5
Pompa Cadangan
Grundfos SEN 6
184
On Elevation (m)
Pola lama
Pola baru
0,7
0,7
0,7
0,7
0,7
0,65
0,6
0,6
0,6
0,6
0,7
0,7
0,7
0,5
0,3
0,65
0,4
0,4
0,44
0,2
2,3
2,3
2,2
2,2
Tabel 10. Hasil Penerapan Pola Operasi Pompa Baru untuk Periode Ulang 2, 5 dan 10 Tahun
Parameter
Tinggi air maksimum di kolam
(m)
Tinggi jagaan (m)
Waktu operasi pompa (menit)
Waktu mulai operasi (menit)
Periode Ulang 2
Tahun
Kolam 1 Kolam 2
1,272
1,228
256
54
0,617
2,883
180
56
Periode Ulang 5
Tahun
Kolam 1 Kolam 2
1,413
1,087
248
44
1,82
1,68
190
46
Periode Ulang 10
Tahun
Kolam 1
Kolam 2
2,058
0,442
276
40
2,77
0,73
204
42
Gambar 9. Pola Operasi Pompa Baru Kolam Detensi 1 (kiri) dan Kolam Detensi 2 (kanan) Periode Ulang 2 Tahun
Gambar 10. Pola Operasi Pompa Baru Kolam Detensi 1 (kiri) dan Kolam Detensi 2 (kanan) Periode Ulang 5 Tahun
185
Gambar 11. Pola Operasi Pompa Baru Kolam Detensi 1 (kiri) dan Kolam Detensi 2 (kanan) Periode Ulang 10 Tahun
REFERENSI
Soemarto, CD. (1986). Hidrologi Teknik. Usaha Nasional, Surabaya.
Butler, David., and W.D. John. (2004). Urban Drainage. Second Edition. Taylor & Francis e-Library.
Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah. (2003). Panduan dan Petunjuk Praktis Pengelolaan
Drainase Perkotaan. Jakarta.
Gandwinatan, Jefry. (2011),Perancangan Sistem Semi Polder Perumahan The Marakesh Margahayu
Kota Bandung, ST. Skripsi, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung.
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Republik Indonesia. (2014). Penyelenggaraan Sistem Drainase
Perkotaan. Nomor 12. Jakarta.
Peraturan Daerah Kota Bandung. (2011). Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bandung. Nomor 18 bab 4
pasal 9. Bandung.
186
Kodoatie, Robert J. 2013. Rekayasa dan Manajemen Banjir Kota. Penerbit Andi,Yogyakarta.
Aryansyah, Regi. (2014),Evaluasi Kapastitas Saluran Drainase di Universitas Katolik Parahyangan Jalan
Ciumbuleuit, ST. Skripsi, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung.
Suripin. 2004. Sistem Drainase Perkotaan yang Berkelanjutan. Penerbit Andi,Yogyakarta.
Soil Conservation Services. (1972). National Engineering Handbook, section 4. U.S Department of
Agricultural. Washington D.C.
Chow, V.T. (1959), Open-Channel Hydraulics, McGraw-Hill.
Chow, V.T., D.R. Maidmant, and L.Z. Mays. (1988). Applied Hidrology. McGraw-Hill, Singapore.
187
Abstrak
Sungai Citarum memiliki beberapa anak sungai yang melalui Kota Bandung antara lain Sungai Cicadas,
,mengalir melewati Kota Bandung dari arah utara kearah selatan dan bermuara di Sungai Citarum. .
Sungai Cicadas sebagai salah satu sungai di kawasan perkotaan yang berhulu di daerah Dago, mengalir
melalui beberapa kecamatan di Kota Bandung dan bermuara di Sungai Citarum di Kabupaten Bandung,
sering mengalami banjir pada musim penghujan di lokasi-lokasi tertentu terutama di daerah Kelurahan
Cicadas. Banjir terjadi diakibatkan adanya sedimentasi dan sampah yang menutupi badan sungai, banyak
berdirinya bangunan liar di bantaran dan sempadan sungai yang mempersempit badan sungai serta
adanya utilitas yang terpasang sembarangan (kabel listrik, kabel telepon dan pipa PDAM) yang melintasi
sungai atau diletakan di tembok pasangan (TPT) sungai. Untuk mengatasi hal tersebut upaya BBWS
Citarum dalam pengendalian banjir Sungai Cicadas yaitu melakukan perbaikan sungai dan pemeliharaan
sungai dengan cara normalisasi sungai, menerapkan sempadan sungai sesuai dengan aturan dan
peraturan yang berlaku, melakukan pemberdayaan masyarakat yang berdomisili di sepanjang alur sungai,
dan berkoordinasi antar instansi dalam rangka memenuhi utilitas yang diperlukan masyarakat Dengan
melakukan kegiatan normalisasi sungai dan pemeliharaan sungai yang berwawasan lingkungan serta
peran serta masyarakat yang berdomisili disepanjang alur sungai diharapkan kondisi sungai dimasa yang
akan datang menjadi lestari
Kata Kunci: Sungai Cicadas, banjir, sempadan sungai, peran serta masyarakat
LATAR BELAKANG
Sungai Citarum merupakan sungai terpanjang dan terbesar di Jawa Barat, mengalir sepanjang lebih
kurang 269 km yang diawali dari mata air di Gunung Wayang di Kabupaten Bandung, mengalir melalui
Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Purwakarta, membagi
daerah administrasi Kabupaten Karawang dan Kabupaten Bekasi dari Kedung Gede ke hilir dan berakhir
dari Muara Gembong sebagai muara Sungai Citarum ke Laut Jawa.
Sungai Citarum memiliki beberapa anak sungai yang melalui Kota Bandung antara lain Sungai Cicadas,
Sungai Cidurian, Sungai Cipamokolan, Sungai Cikapundung Kolot, Sungai Citepus, Sungai Cingised dan
beberapa anak sungai lainnya yang mengalir melewati Kota Bandung dari arah utara kearah selatan dan
bermuara di Sungai Citarum.
Kota Bandung yang dilalui beberapa anak sungai dikarenakan ketidak pedulian masyarakatnya yang
berdomisili sepanjang alur sungai terhadap sungai dengan membuang sampah sembarangan, maka
anak-anak sungai tersebut kadang-kadang atau sering menimbulkan banjir di Kota Bandung.
Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Citarum mempunyai tugas dan fungsi antara lain melakukan
perbaikan sungai dan pemeliharaan sungai yang dilaksanakan oleh Satuan Kerja (Satker) Operasi dan
Pemeliharaan Sumber Daya Air Citarum.
Untuk melakukan rencana perbaikan dan pemeliharaan sungai sebelumnya diperlukan dahulu kegiatan
penunjang yaitu melakukan audit teknis sungai agar diketahui kondisi infra struktur yang berada di sungai
dan upaya apa yang akan dilakukan, apakah melakukan normalisasi sungai atau perbaikkan sungai yang
diperlukan atau kedua-duanya kegiatan tersebut
188
189
Gambar 1. Peta Kota Bandung. Sumber: Rencana Pola Ruang RT/RW Kota Bandung
Kondisi Eksisting
Sungai Cicadas adalah merupakan salah satu anak Sungai Citarum yang melintasi Kota Bandung dan di
lokasi-lokasi tertentu sering terjadi banjir. Sungai Cicadas mempunyai panjang 18 km dengan debit
maksimum rata-rata sebesar 17 m/detik dan debit minimum 0,6 m/det yang melewati Kecamatan
Cibeunying Kaler, Kecamatan Cibeunying Kidul, menuju Kelurahan Cikutra melintasi Kelurahan Cicadas,
kemudian ke Kecamatan Kiara Condong, menuju ke Kecamatan Buah Batu dan bermuara pada Sungai
Citarum di Kecamatan Bojongsoang Kabupaten Bandung
Sungai Cicadas saat ini secara umum terdapat beberapa kondisi alur sungainya yang kurang baik antara
lain adanya :
1. Sedimentasi dan sampah yang menutupi badan sungai
2. Kualitas air yang rendah akibat adanya limbah rumah tangga dan limbah pabrik
3. Banyak berdirinya bangunan liar di bantaran dan sempadan sungai
4. Utilitas yang terpasang sembarangan
Kondisi Sungai Cicadas di beberapa lokasi dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
190
Gambar 3. Kondisi Sungai Cicadas di Lokasi Dekat Jalan Surapati. Sumber: Hasil Survei
Gambar 4. Kondisi Sungai Cicadas di lokasi Jalan Katamso. Sumber: Hasil Survei
Gambar 5. Kondisi Sungai Cicadas di lokasi Pasar Cicadas. Sumber: Hasil Survei
191
Gambar 6. Kondisi Sungai Cicadas di lokasi Pasar Cicadas. Sumber: Hasil Survei
Gambar 7. Kondisi Sungai Cicadas Lokasi di Babakan Sari Kec. Kiara Condong . Sumber: Hasil Survei
Gambar 8. Kondisi Sungai Cicadas Lokasi setelah Jalan TOL. Sumber: Hasil Survei
192
Gambar 9. Kondisi Sungai Cicadas Lokasi di dekat Perumahan PDAM. Sumber: Hasil Survei
METODOLOGI STUDI
Metodologi yang digunakan dalam kajian ini adalah dengan cara pengumpulan data-data primer yaitu
melakukan langsung Survei lapangan untuk mendapatkan kondisi lapangan saat ini , wawancara baik
dengan petugas di lapangan dan masyarakat setempat, mengumpulkan data sekunder dari laporan
konsultan dan literatur yang lain, mengkaji dan menganalisa data-data yang diperoleh serta mengkaji
kondisi lapangan, melakukan pembahasan.dilanjutkan dengan mengambil kesimpulan dan rekomendasi
193
PEMBAHASAN PERMASALAHAN
Dengan melihat kondisi Sungai Cicadas seperti saat ini di lapangan, sehingga kemungkinan besar akan
terjadi genangan pada lokasi-lokasi tertentu, yang mana genangan banjir terjadi diakibatkan :
1. Banyaknya sedimen dan sampah di badan sungai, sehingga palung sungai tidak mampu untuk
melewatkan debit banjir
2. Adanya penyempitan badan sungai oleh masyarakat yang digunakan untuk pemukiman dan kios-kios
untuk berjualan
3. Adanya utilitas yang dipasang sembarangan yang menghambat jalannya air banjir
Dari kondisi Sungai Cicadas seperti itu, sebaiknya dari instansi yang berwenang (BBWS Citarum) dapat
melakukan kegiatan penanganan yang akan mendorong kepada pelestarian Sungai Cicadas sebagai
upaya pengendalian banjir di lokasi yang mempunyai penampang sungai bermasalah dan yang
mengalami penyempitan dengan cara:
1. Melakukan inventarisasi kondisi sungai, sehingga dari hasil inventarisasi dapat diketahui di lokasi
mana harus dilakukan normalisasi sungai dengan melakukan pengerukan atau mengembalikan lebar
sungai ke lebar semula disesuaikan dengan besarnya debit banjir tertentu (debit banjir rencana) yang
kemungkinan akan terjadi pada sungai tersebut.
2. Menerapkan sempadan sungai sesuai dengan aturan dan peraturan yang berlaku, yaitu untuk sungai
dalam kawasan perkotaan yang tidak bertanggul sempadan sungai:
a. paling sedikit berjarak 10 m (sepuluh meter) dari tepi kiri dan kanan palung sungai
sepanjang alur sungai, dalam hal kedalaman sungai kurang dari atau sama dengan 3 m
(tiga meter)
b. paling sedikit berjarak 15 m (lima belas meter) dari tepi kiri dan kanan palung sungai
sepanjang alur sungai, dalam hal kedalaman sungai lebih dari 3 m (tiga meter) sampai
dengan 20 m (duapuluh meter), dan
c. paling sedikit berjarak 30 m (tiga puluh meter) dari tepi kiri dan kanan palung sungai
sepanjang alur sungai, dalam hal kedalaman sungai lebih 20 m (dua puluh meter)
d. Sedangkan untuk sungai di kawasan perkotaan yang bertanggul garis sempadan sungai
ditentukan paling sedikit berjarak 3 m (tiga meter) dari tepi luar kaki tanggul sepanjang
alur sungai
3. Memberikan sanksi kepada instansi yang memanfaatkan badan sungai tanpa izin sesuai dengan
aturan dan peraturan yang berlaku
4. Pemberdayaan masyarakat yang berdomisi di sekitar sungai dengan melakukan sosialisasi agar
masyarakat memahami fungsi dan manfaat sungai serta masyarakat dapat berperan serta aktif dalam
kegiatan yang dilakukan oleh BBWS Citarum
5. Melakukan pemeliharaan sungai secra rutin, berkala ataupun apabila terjadi kondisi darurat
(bencana), sehingga Sungai Cicadas dapat terpelihara dengan baik dan bersih
194
dengan melakukan normalisasi sungai yang dilanjutkan dengan pelaksanaan pemeliharaan sungai
yang berkelanjutan.
2. Menerapkan pelaksanaan penetapan garis sempadan sungai sesuai dengan aturan peraturan yang
berlaku
3. Diperlukan pemberdayaan kepada masyarakat yang berdomisili disepanjang alur sungai, agar
masyarakat memahami fungsi dan manfaat dari sungai dan masyarakat secara sukarela dapat
berperan serta aktif dalam pemeliharaan sungai
4. Diperlukan koordinasi yang baik antar instansi dalam rangka memasang sarana dan prasarana
yang diperlukan masyarakat pada sempadan sungai
Rekomendasi
Dari kajian ini dapat direkomendasikan antara lain:
1. Dalam penerapan sempadan sungai diperlukan keberanian pemerintah untuk pelaksanaannya dalam
menerapkan peraturan yang berlaku, serta untuk pelaksanaannya dapat bekerjasama antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah dengan melibatkan peran serta masyarakat
2. Untuk kelestarian sungai di lokasi-lokasi tertentu dapat direncanakan suatu restorasi sungai, agar
masyarakat dapat menikmati keindahan suatu sungai kawasan perkotaan yang terpelihara dengan
baik
REFERENSI
Anonim 2014. Laporan Akhir Audit Teknis Operasi dan Pemeliharaan Sungai
Anonim, 2012. Buku Pfofil Balai Besar Wilayah Sungai Citarum
Anonim 2012. Kota Bandung dalam Angka.
Anonim 2011. Peraturan Pemerintah tentang Sungai
195
Abstrak
Salah satu teknologi sederhana dalam mengatasi genangan banjir adalah metode resapan air dengan
cara meningkatkan daya resap air ke dalam tanah yaitu biopori. Selain mempercepat peresapan air hujan,
biopori juga mengatasi sampah organic. Peningkatan daya resap air pada tanah dilakukan dengan
membuat lubang pada tanah dan menimbunnya dengan sampah organik untuk menghasilkan kompos.
Sampah organik yang ditimbunkan pada lubang ini kemudian dapat menghidupi fauna tanah, yang
seterusnya mampu menciptakan pori-pori di dalam tanah. Lubang resapan biopori merupakan teknologi
sederhana dan tepat guna yang dapat diterapkan oleh semua kalangan masyarakat dalam mengatasi
masalah banjir. Selain itu, lubang resapan biopori juga dapat membantu dalam mengurangi penumpukan
sampah organik serta membantu menyuburkan tanah. Pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini
adalah secara empiris analisis deskriptif.Hasil penelitian didapatkan terjadi penurunan debit aliran
sebelum dipasang biopori yang sebelumnya adalah sebesar Q = 0,2617 m3/det dengan priode ulang
banjir 2 tahun (Q2). Sedangkan setelah dibangun /dipasang biopori adalah sebesar Q = 0,1896 m3/det
atau terjadi penurunan debit aliran yang cukup signifikan yaitu sebesar 27,55% dengan asumsi C
(koefisien pengaliran) adalah 30% dari koefisien kedap air.
Kata kunci: banjir/genangan, biopori, debit aliran limpasan
LATAR BELAKANG
Kota Palembang sebagian besar merupakan daerah rawa dengan situasi yang hampir sepanjang tahun
dalam kondisi tergenang. Daerah rawa ini berfungsi sebagai penampung air hujan dan pengaliran air dari
lingkungan disekitarnya dan juga sebagai sarana pengaliran alami. Secara umum daerah rawa di kota
Palembang memiliki elevasi tanah yang rendah dari pada tanah disekitarnya. Sungai yang melintas di
daerah rawa seakan-akan hanya merupakan rawa yang diberi badan/dinding sungai, sehingga elevasi
dasar sungai tidak terlalu dalam dibanding elevasi dasar rawa itu sendiri.
Seiring dengan perkembangan kota Palembang efek buruknya pun timbul. Terjadinya penimbunan di
daerah rawa dan gangguan oleh bangunan disepanjang sungai serta adanya alih fungsi lahan rawa
menjadi daerah pemukiman atau fasilitas lainnya dengan cara penimbunan tentunya akan mengurangi
kapasitas penampungan air hujan Dengan kondisi kapasitas sungai yang nampaknya masih terlalu kecil
mengakibatkan wilayah kota Palembang ini sangat rentan terhadap banjir.
Salah satu teknologi sederhana dalam mengatasi genangan banjir adalah metode resapan air dengan
cara meningkatkan daya resap air ke dalam tanah yaitu biopori. Selain mempercepat peresapan air hujan,
biopori juga mengatasi sampah organik (Brata, K. R. dan Nelistya, 2008).
Peningkatan daya resap air pada tanah dilakukan dengan membuat lubang pada tanah dan menimbunnya
dengan sampah organik untuk menghasilkan kompos. Sampah organik yang ditimbunkan pada lubang ini
kemudian dapat menghidupi fauna tanah, yang seterusnya mampu menciptakan pori-pori di dalam tanah.
196
Lubang resapan biopori merupakan teknologi sederhana dan tepat guna yang dapat diterapkan oleh
semua kalangan masyarakat dalam mengatasi masalah banjir. Selain itu, lubang resapan biopori juga
dapat membantu dalam mengurangi penumpukan sampah organik serta membantu menyuburkan tanah.
Pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah secara empiris analisis deskriptif dengan kondisi
eksisting yaitu pada kampus Universitas Bina Darma.
METODOLOGI STUDI
Pendekatan dalam penelitian ini adalah analisis empiris dengan menggunakan rumus Q = 0,278.C.I.A dan
hasil analisis di buat ploting secara deskriptif kualitatif dengan lokasi penelitian adalah kampus Universitas
Bina Darma. Data sekunder adalah data curah hujan maksimum bulanan yang tercatat di stasiun curah
hujan dari BMKG tahun 2012. Sedangkan data primer adalah soil investigation hand bor untuk
mengetahui struktur tanah di lokasi penelitian.
0.35
Debit (m3/det)
0.3
y = 0,008x + 0,2517
R = 0,9364
0.25
0.2
0.15
0.1
0.05
0
0
10
12
Waktu (jam)
Gambar 1. Grafik debit aliran sebelum ada biopori
(Sumber: hasil analisis, 2014)
197
0.3
0.25
Debit (m3/det)
0.2
y = 0,0058x + 0,1824
R = 0,9366
0.15
0.1
0.05
0
0
10
12
Waktu (jam)
Gambar 2. Grafik debit aliran setelah ada biopori
(Sumber: hasil analisis, 2014)
Dari grafik pada Gambar 1 dan Gambar 2 merupakan hasil ploting yang menunjukkan penurunan debit
sebelum dan sesudah dibangun biopori bukan merupakan gambar hidrograf aliran sehingga dari gambar
tersebut terlihat sebelum ada biopori debit aliran rerata sebesar 3 m3/det dan setelah ada biopori, maka
debit aliran menurun rerata sebesar 2 m3/det.
Biopori yang diperlukan sebanyak 180 buah berdasarkan laju peresapan aliran ke dalam tanah sebesar 9
liter/menit atau sebesar 1,5 x 10-4 m3/det.
198
REFERENSI
Indarto, 2010. Hidrologi (Dasar Teori dan Contoh Aplikasi Model Hidrologi). Penerbit Bumi Aksara,
Jakarta.
Suripin, 2004. Sistem Drainase Perkotaan Berkelanjutan. Penerbit Andi, Yogyakarta.
Sibarani dan Didik Bambang., Penelitian Biopori untuk Menentukan Laju Resap Air. Jurusan Teknik
Lingkungan FTSP-ITS, Subabaya, yudika_as@yahoo.co.id
Brata, K. R. dan Nelistya, 2008. Lubang Resapan Biopori. Penebar Swadaya Jakarta
_____, 2010. Lubang Resapan Biopori. Kementerian Lingkungan Hidup
199
Abstrak
Telah dilakukan penelitian berkaitan dengan optimasi sistem perkuatan tanggul Sungai Tembuku sebagai
salah satu bagian dari sistem pengendali banjir di Kota Jambi dan sekitarnya. Lokasi penelitian terbagi
dalam 2 bagian, yaitu untuk identifikasi banjir dilakukan pada seluruh segmen Sungai Tembuku dengan
panjang total 6 km, sedangkan optimasi detail sistem perkuatan tanggul banjir difokuskan pada segmen
hilir Sungai Tembuku dengan panjang segmen sungai 400 m. Evaluasi dilakukan berdasarkan data
pengukuran topografi sungai, data debit banjir, data parameter geoteknik, dan data rencana bangunan
perkuatan tebing awal. Analisis dilakukan dengan cara evaluasi lapangan yang dibantu dengan
menggunakan bantuan piranti lunak Mike11 dan Plaxis. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa
sistem perkuatan tanggul masih terlewati oleh air banjir mulai dari debit banjir 2 tahunan. Sistem tiang
pancang yang direncanakan sebagai perkuatan dalam rencana penanggulangan awal kurang efektif
dalam meningkatkan stabilitas tanggul. Optimasi sistem perkuatan tanggul dapat dilakukan dengan
menghilangkan sistem tiang pancang atau memindahkan letak tiang pancang sebagai angkur dengan
jarak minimum 14,5 m dari turap. Angka keamanan untuk kondisi surut cepat yang didapatkan dapat
mencapai SF = 1,3.
Kata Kunci: Perkuatan Tanggul, Penanggulangan Banjir, Sungai Tembuku, Kota Jambi
LATAR BELAKANG
Permasalahan banjir, merupakan tantangan utama yang masih di hadapi dalam pengelolaan sumber daya
air di Propinsi Jambi. Salah satu sungai yang selama ini memberikan pengaruh terhadap kejadian banjir di
sekitar Kota Jambi adalah Sungai Tembuku (salah satu anak Sungai Batang Hari). Hampir tiap tahun
Sungai Tembuku mengalami limpasan yang menggenangi daerah di sekitar alur sungai. Daerah
genangan banjir yang paling sering terjadi adalah di segmen hilir / di sekitar muara sungai.
Salah satu upaya yang dilakukan dalam penanggulangan potensi banjir yang dilakukan adalah pembuatan
struktur perkuatan tebing sungai yang sekaligus sebagai tanggul banjir. Sistem perkuatan tanggul yang
dapat dilakukan sangat beraneka ragam, salah satunya adalah dengan pemasangan turap yang diperkuat
dengan tiang pancang sebagai angkur. Pemanfaatan sistem perkuatan tebing ini memerlukan analisis dan
evaluasi yang tepat agar didapatkan sistem perkuatan tebing yang optimal.
Maksud dan Tujuan
Maksud dari penelitian ini adalah mendapatkan gambaran potensi limpasan air banjir terhadap sistem
tebing sungai yang ada dan optimasi alternatif sistem perkuatan tebing yang dapat dilakukan, terutama
segmen Sungai Tembuku bagian hilir.
Tujuan yang akan dicapai adalah didapatkannya gambaran / acuan dalam pengelolaan sungai secara
umum, terutama terkait sistem perkuatan tebing sungai agar didapatkan fungsi bangunan sesuai rencana
desain.
200
Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian yang telah dilakukan adalah di Sungai Tembuku, khususnya segmen sungai bagian hilir,
yang berada di Kota Jambi, Propinsi Jambi.
METODOLOGI STUDI
Tahapan dan metode penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi :
1. Pengumpulan data lapangan, dilakukan dengan cara kunjungan langsung lapangan, wawancara
dengan pihak-pihak terkait, dan pengumpulan data sekunder (data topografi - morfologi sungai, data
debit banjir, data parameter teknik tanah, dan data desain awal perkuatan tebing).
2. Analisis masalah dan evaluasi alternatif penanggulangan, dilakukan dengan pemodelan / perhitungan
matematis.
201
202
Sub Das
Sub Das Asam
Sub Das Danau Kenali
Sub Das Danau Sipin
Sub Das Danau Teluk
Sub Das Kambang
Sub Das Kenali Besar
Sub Das Kenali Kecil
Sub Das Lubukrahman
Sub Das Teluk
Sub Das Tembuku
2th
126,3
136,9
96,8
25,7
33,8
109,4
164,5
71,3
24,8
101,0
Periode Ulang
5th
10th
171,2
204,2
194,5
226,0
139,4
163,3
41,5
50,6
46,5
53,1
153,8
177,5
232,9
269,4
100,1
120,8
39,3
47,5
133,6
157,4
25th
249,6
257,2
186,8
59,9
59,6
200,6
305,2
148,6
55,8
190,4
No
Lapisan
Tanah
Kedalaman
(m)
d
(gr/cm3)
1
2
1
2
0-5
>5
1,178
1,222
s
(gr/cm3)
1,734
1,736
Parameter
C
(kg/cm2)
0,37
0,1
C'
(kg/cm2)
0,36
0,16
10,2
15,8
'
10,68
17
203
Gambar 5. Kondisi Muka Air Sepanjang Sungai Tembuku untuk Debit Banjir 2 Tahunan
204
Gambar 6. Kondisi Muka Air Sepanjang Sungai Tembuku untuk Debit Banjir 25 Tahunan
Gambar 7. Gambaran Daerah Aktiv Tanah dan Posisi Rencana Tiang Pancang (Dead Man)
Berdasarkan hasil analisis tersebut dapat dikatakan tiang pancang dapat berfungsi sebagai angkur secara
optimum jika jarak antara tiang pancang dan turap 14.5 m.
205
Gambar 9. Hasil Analisis Pola Pergerakan Tanah Skenario 1 (Muka Air Kering) Alternatif 1 (SF = 1,86)
206
Gambar 10. Hasil Analisis Pola Pergerakan Tanah Skenario 2 (Muka Air Normal) Alternatif 1 (SF = 2,01)
Gambar 11. Hasil Analisis Pola Pergerakan Tanah Skenario 3 (Muka Air Banjir) Alternatif 1 (SF = 2,8)
Gambar 12. Hasil Analisis Pola Pergerakan Tanah Skenario 4 (Muka Air Surut Cepat) Alternatif 1 (SF = 1,58)
207
Dari hasil analisis tersebut terlihat bahwa pemasangan turap, dengan panjang turap, L = 12 m memenuhi
persyaratan stabilitas sistem (angka keamanan, SF > 1,5). Besarnya gaya momen yang terjadi pada turap
dari hasil analisis dapat dilihat pada Gambar 13.
Gambar 13. Gaya Bending Momen yang Terjadi Sepanjang Turap (Maks = 26,5 t.m) Alternatif 1
Dari hasil analisis tersebut terlihat bahwa momen yang terjadi pada turap bisa mencapai, Mmaks = 26,5
t.m. Gaya tersebut yang digunakan sebagai acuan dalam penentuan jenis turap yang harus dipasang.
Berdasarkan contoh data produk turap yang ada (PT. Wijaya Karya Beton), salah satu tipe turap yang
mampu menahan momen, M > 26,5 t.m adalah tipe W-450-A-1000 B. Gambaran spesifikasi turap tersebut
dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Contoh Spesifikasi Turap Alternatif 1 (PT. Wijaya Karya Beton)
208
209
Gambar 16. Bending Momen, Gaya pada Tali Angkur, dan Angka Keamanan Sisterm Skenario 1 (Mmaks = 29,12
tm, F = 1,4 t, SF = 1,76) Alternatif 2
Gambar 17. Bending Momen, Gaya pada Tali Angkur, dan Angka Keamanan Sisterm Skenario 2 (Mmaks = 26,06
tm, F = 1,47 t, SF = 2,0) Alternatif 2
Gambar 18. Bending Momen, Gaya pada Tali Angkur, dan Angka Keamanan Sisterm Skenario 2 (Mmaks = 19,2 tm,
F = 1,16 t, SF = 2,82) Alternatif 2
210
Gambar 19. Bending Momen, Gaya pada Tali Angkur, dan Angka Keamanan Sisterm Skenario 2 (Mmaks = 30,5 tm,
F = 1,07 t, SF = 1,65) Alternatif 2
Dari hasil analisis tersebut terlihat bahwa sistem perkuatan dengan pemasangan turap yang dilengakapi
dengan tiang pancang sebagai angkur, cukup kuat menahan beban aktiv tanah yang ada. Dari hasil
analisis tersebut juga dapat diketahui momen maksimum yang kemungkinan terjadi, Mmaks = 30,5 t.m
dan gaya maksimum yang mungkin terjadi pada tali angkur, F = 1,47 t. Besaran momen dan gaya tersebut
yang digunakan sebagai acuan dalam penentuan jenis turap dan tali angkur yang harus dipasang.
Berdasarkan contoh data produk turap yang ada (PT. Wijaya Karya Beton), salah satu tipe turap yang
mampu menahan momen, M > 30,5 t.m minimal tipe W-450-A-1000 B. Gambaran spesifikasi turap
tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Contoh Spesifikasi Turap Alternatif 2 (PT. Wijaya Karya Beton)
Penentuan besar diameter tali angkur didasarkan pada besar gaya yang dipikul, yaitu F = 1,47 t (14,7 kN).
Jika tiang angkur dipasang tiap jarak 3 meter-an, maka gaya total yang dipikul oleh tali (dengan angka
keamanan, SF = 1,5), Ftotal= 66,15 kN. Jika men
kg/cm2, maka diperlukan diameter tali baja, D = 2 cm.
Analisis stabilitas struktur dihitung berdasarkan gaya aktiv dan pasif yang terjadi pada turap. Langkah
awal dalam perhitungan stabilitas struktur ini adalah diperiksa untuk penerapan turap dengan panjang, L =
12 m dengan skematisasi gaya seperti disampaikan pada Gambar 20.
211
Gambar 20. Skematisasi Gaya Analisis Stabilitas Strukur, Panjang Turap 12 m, Alternatif 2
Untuk jarak tiap tiang pancang (angkur) 3 meter-an, didapatkan resume gaya dan angka keamanan
sebagai berikut :
Resume Gaya dan Momen Aktif
PATot =
757,37 KN/m'
MATot =
5134,65 KN.m/m'
MTTot =
1100,34 KN/m'
6570,83 KN.m/m'
1,57
SFGuling
1,49
212
baik dari alternatif 1, SF = 1,49. Panjang turap dan tiang pancang yang diperlukan untuk perkuatan
alternatif 2 adalah 12m, dengan spesifikasi turap harus mampu menahan momen maksimum, M =
30,5 t.m. Salah satu jenis turap yang dapat digunakan untuk mendukung struktur perkuatan tebing
Sungai Tembuku ini adalah tipe W-450-A-1000 B. Dimensi minimal tiang pancang yang diperlukan
sebagai angkur adalah 40cmx40cm, sedangkan diameter minimum tali baja sebagai penyalur gaya, D
= 2 cm.
REFERENSI
Balai Wilayah Sungai Sumatera VI, Pembangunan Prasarana Pengendalian Banjir Kota Jambi, 2013.
DHI Water & Environment, MIKE 11 A Modelling System for Rivers and Chanels User Guide, June 2002.
Eka Kumala, Yiniarti. 2015. Bahan Angkutan Sedimen. Program Magister PSDA ITB, Bandung.
Petersen, M. 1986. River Engineering, Prentice Hall, Englewood Cliffs, New Jersey.
Plaxis User Manual, 2D Version 8 Edited by R.B.J. Brinkgreve, Delf University of Technology & PLAXIS
b.v., The Netherlands.
Pradoto, Suhardjito. 1988/1989. Teknik Pondasi. Bandung : Laboratorium Geoteknik Pusat Antar
Universitas, ITB.
Puslitbang SDA, Laporan Advis Teknik Evaluasi dan Alternatif Penanggulangan perkuatan Tebing Sungai
Tembuku Kota Jambi, September 2014.
213
1yatimsn@yahoo.com; 2teknoyasakonsultanindonesia@yahoo.co.id
Abstrak
Pantai di Desa Pusaka Jaya Utara sampai dengan pantai di Desa Sungaibuntu sekitar Muara Buntu
Kabupaten Karawang mengalami erosi pantai yang diakibatkan oleh angkutan sedimen menyusur pantai
dari arah Timur menuju Barat. Bila tidak segera ditanggulangi, maka banjir akan terjadi pada daerah
sekitarnya. Penanganan yang direncanakan adalah pembuatan tanggul laut type rubble mound dengan
pelindung/armor kubus beton 50 cm sebagai lapis pelindung kesatu, batu belah diameter 30 cm sebagai
lapis pelindung kedua dan diameter 5-10 cm sebagai lapis pengisi yang ditempatkan pada kedalaman
sekitar -0,59 m (posisi Lowest Water Spring, LWS atau LLWL), yaitu berjarak sekitar 200m dari garis
pantai, sehingga secara bertahap pasir di bagian belakang tanggul akan mengisi bagian yang kosong
akibat abrasi/erosi. Tanggul laut dilengkapi dengan pelindung kaki untuk menahan gerusan di dasar
perairan. Pelindung kaki berupa batu belah bulat kasar dengan dimensi minimal diameter 30 cm,
ditempatkan pada posisi 1,0 meter di bawah LWS. Elevasi puncak tanggul ditempatkan pada +2,0 m dari
MSL. Hasil simulasi numerik menunjukkan di beberapa lokasi garis pantai menjadi maju dan volume
sedimentasi yang bergerak dominan ke arah Barat berkurang secara signifikan, yaitu untuk area di
belakang struktur hanya sekitar 20.000 m3 sampai 40.000 m3 kumulatif dalam 10 tahun, sedangkan area
yang tidak dibangun struktur tetap mencapai 60.000 m3 dalam 10 tahun.
Kata kunci: erosi, tanggul laut, kubus beton,
LATAR BELAKANG
Kabupaten Karawang memiliki banyak pantai yang indah, prasarana jalan raya banyak yang dibangun di
tepi pantai dan dijadikan lokasi pariwisata. Namun akhir-akhir ini pantai tersebut telah terkikis/tererosi.
Usaha penanganan telah dilakukan secara parsial seperti penyelamatan jalan raya dari amukan
gelombang laut; namun kenyataannya konstruksi yang dibuat belum berhasil secara optimal dan masih
ada daerah yang belum dilakukan pengamanan pantai serta kondisinya sudah kritis. Apabila hal ini tidak
segera ditangani maka akan merusak dan mengganggu kelancaran transportasi darat, selain itu berakibat
banjir pada wilayah sekitarnya, sehingga dapat mengganggu daerah pemukiman penduduk serta fasilitas
umum. Oleh karena itu perlu dilakukan penanganan pantai dari permasalahan yang terjadi.
METODOLOGI STUDI
Permasalahan pantai atau yang menyebabkan kerusakan pantai dapat diidentifikasi sebagai abrasi, erosi,
sedimentasi, dan banjir rob. Faktor penyebabnya antara lain hilangnya pelindung alami pantai (seperti
penebangan pohon-pohon pelindung pantai, penambangan pasir dan terumbu karang), gelombang
badai/tsunami, tergenangnya dataran rendah pantai akibat kenaikan muka air laut, penurunan lateral
tanah, perkembangan permukiman pantai yang tidak terencana, maupun diakibatkan oleh pemanfaatan
daerah pantai yang tidak sesuai dengan potensi pantai, dan adanya bangunan pantai yang menjorok ke
laut, serta pemindahan muara sungai.
214
Menurut Nur Yuwono (1992), erosi pantai adalah proses mundurnya pantai dari kedudukan semula yang
disebabkan oleh tidak adanya keseimbangan antara pasok dan kapasitas angkutan sedimen. Beberapa
faktor penyebab yang sering mengakibatkan terjadinya erosi pantai antara lain pengaruh dari adanya
bangunan pantai, penambangan material pantai dan sungai, pemindahan muara sungai, pencemaran
perairan pantai, dan kerusakan akibat bencana alam seperti tsunami. Menurut Nur Yuwono (1999), abrasi
adalah proses erosi yang diikuti longsoran (runtuhan) pada material yang massif (batu). Abrasi
disebabkan karena daya tahan material menurun akibat cuaca (pelapukan) yang mengakibatkan daya
dukung material terlampaui oleh kekuatan hidraulik arus dan gelombang.
Menurut Nur Yuwono (1992), pemecah gelombang merupakan struktur dekat pantai yang dibangun dalam
arah sejajar, dan terpisah dari pantai pada perairan dangkal dengan fungsi utama untuk mengurangi erosi
pantai. Pemecah gelombang dapat berupa struktur yang terhubung dengan pantai (misalnya pemecah
gelombang pelabuhan), dan struktur terpisah pantai.
Prinsip pengamanan pantai secara umum terdiri atas:
a. Melumpuhkan daya rusak sebelum daya rusak tersebut menyentuh subjek yang dilindungi yaitu
dengan pemasangan pemecah gelombang di laut lepas.
b. Memasang tameng tepat di sisi laut subjek yang dilindungi agar daya rusak tidak menyentuh
langsung subjek yang dilindungi yaitu dengan pemasangan revetment/seawall/tanggul laut.
c.
Memodifikasi pola daya rusak agar lebih bersahabat terhadap subjek yang dilindungi seperti
pemasangan groin/breakwater tegak lurus pantai.
Pemilihan alternatif penanganan pantai perlu mempelajari permasalahan yang terjadi dan
mempertimbangkan dampak dari pemilihan tipe pengaman terhadap kondisi yang ada.
Perencanaan Pemecah Gelombang Tumpukan Batu (Rubble Mound)
Rumus yang umum digunakan untuk menentukan berat batu lindung adalah Rumus Hudson (SPM,1984)
sbb.:
W
H3
K D S 1 cot
3
(1)
Keterangan:
W : berat butir batu pelindung (ton)
H : tinggi gelombang rencana (m)
Sr : rapat massa relatif
: sudut kemiringan sisi bangunan (0)
r : berat jenis batu (t/m3)
w : berat jenis air laut (t/m3)
KD : koefisien stabilitas yang tergantung pada bentuk batu pelindung (batu alam atau batu buatan),
kekasaran permukaan batu, ketajaman sisi-sisinya, ikatan antar butir, dan keadaan pecahnya
gelombang
Revetment/seawall/tanggul laut
Revetment/seawall/tanggul laut adalah bangunan berupa dinding penahan gempuran gelombang yang
ditempatkan di sepanjang kawasan yang akan dilindungi. Penggunaan struktur ini bertujuan untuk
memperkuat tepi pantai agar tidak terjadi pengikisan pantai akibat gempuran gelombang. Tetapi bila
dinding penahan tidak direncanakan dengan baik, dapat berakibat kerusakan yang terjadi berlangsung
relatif cepat. Oleh karena itu pada bagian dasar perlu dirancang suatu struktur pelindung erosi yang cukup
baik.
215
Kondisi Lapangan
Lokasi penelitian mulai dari Desa Pusaka Jaya Utara Kecamatan Cilebar sampai dengan Desa
Sungaibuntu Kecamatan Pedes Kabupaten Karawang,Provinsi Jawa Barat.
Pada beberapa lokasi telah dilakukan pengamanan pantai seperti di Pantai Muara Buntu berupa
pemasangan tetrapod yang kondisi strukturnya kurang baik seperti disajikan pada Gambar 2, kemudian
struktur pengaman pantai yang baru dibangun tahun 2011 dengan panjang 300 meter, yaitu di Desa
Sungaibuntu berupa pemasangan revertment dari armor batu belah (Gambar 3).
Daerah yang kerusakannya paling parah adalah antara Desa Sungaibuntu dan Desa Pusaka Jaya Utara
(daerah Cipucuk), Nampak badan jalan sudah mulai rusak (Gambar 4 dan Gambar 5).Kedua lokasi ini
menjadi prioritas pertama dalam pembangunan pengaman pantai, mengingat kerusakan mengganggu
infrastruktur yang ada.
216
Gambar 4. Jalan yang rusak di antara Desa Sungaibuntu dan Desa Pusaka Jaya Utara
Selain itu prioritas kedua adalah di Desa Cemara Jaya sebelah Timur Muara Sungai Cemara (Gambar 6).
Ke arah Barat dari lokasi rumah penduduk yang hancur (Gambar 7) masyarakat setempat berupaya
menanggulangi dengan membuat pengaman pantai berupa groin/breakwater tegak lurus dan tanggul dari
bongkahan batu bata bekas dinding rumah-rumah yang hancur. Meskipun panjang groin pendek,
sehingga area yang dilindunginya pun terbatas, namun hal ini setidaknya sudah membantu erosi yang
terjadi. Seandainya tidak ada groin sama sekali, niscaya kerusakan lebih cepat terjadi.
Desa Pusaka Jaya Utara bagian Timur atau yang sering disebut sebagai daerah Cipucuk tidak menjadi
prioritas untuk pengamanan. Pada desa ini terdapat lokasi penanaman pohon bakau yang tidak berhasil
(Gambar 8), dan lebih ke Timur, terdapat rumah yang nampak menjorok ke tengah laut. Sesungguhnya
217
rumah tersebut bertahan karena dipasang batu pelindung untuk menahan gelombang.Jadi justru garis
pantai sekitarnya yang menjadi mundur akibat erosi yang terjadi, seperti pada Gambar 9.
Gambar 8. Upaya penanaman pohon bakau yang gagal di Desa Pusaka Jaya
Utara (Cipucuk) bagian Timur
Hasil analisis dari data oseanografi menghasilkan elevasi pasut seperti pada Tabel 1, gelombang hasil
ramalan seperti pada Tabel 2, dan tinggi gelombang ekstrim seperti pada Tabel 3.
Tabel 1. Elevasi Acuan Pasut di Lokasi Studi
No
Elevasi Acuan
Nilai (m)
1
2
3
1,49
0,94
0,35
1,14
Terhadap
MSL (m)
0,55
0,00
-0,59
1,14
Tabel 2. Persentase Kejadian Gelombang pada Bulan Januari-Desember (2001-2011) di Lepas Pantai
Kerawang Diramal Berdasarkan Data Angin Jatiwangi
Arah
H (m)
Utara
Timur Laut
Timur
Tenggara
Selatan
Barat Daya
Barat
Barat Laut
Sub Total
Tidak bergelombang
Total
218
< 0,5
13,12
26,66
28,60
1,90
0,00
0,00
8,18
2,81
Total
13,31
28,87
30,35
2,85
0,00
0,00
8,67
2,89
86,95
13,05
100,00
2400 x 1,17 3
212,31kg
2400
3
5,0 x(
1) x 1,5
1025
(2)
Berat armor lapisan pelindung kesatu berupa kubus beton, W1 adalah 212,31 kg per butir atau dengan sisi
kubus 50 cm.
219
Berat armor lapisan pelindung kedua berupa batu belah, dengan type 3 layer : W2
W1batu
maka W2
W1batu
, dimana
10
2700 x 1,17 3
330,305kg
2700
3
2,0 x(
1) x 1,5
1025
(3)
W1batu
= 33,305 kg atau dengan diameter minimum 30 cm,
10
Lapisan pengisi, W p
W1batu
W
s.d . 1batu , yaitu 0,083 kg s.d 1,65 kg atau dengan diameter
4000
200
minimum 3,8 cm s.d 10,5 cm, jadi dipilih diameter 5 cm s.d 10 cm.
Tanggul laut dengan peletakan sejajar pantai seperti pada Gambar 10 diharapkan dapat mengembalikan
garis pantai ke kondisi semula mengingat tanggul laut ditempatkan pada kedalaman sekitar -0,59 m yaitu
berjarak sekitar 200m dari garis pantai, sehingga secara bertahap pasir di bagian belakang tanggul akan
mengisi bagian yang kosong akibat abrasi/erosi. Penempatan pada kedalaman -0,59 m adalah mengikuti
ketentuan yaitu menempatkan struktur pengaman pantai pada posisi LWS.
Pelindung kaki (toe protection) perlu diperhitungkan untuk menahan gerusan di bagian dasar akibat gaya
refleksi gelombang yang mengenai struktur tanggul laut. Dengan kedalaman air, d1 = 1,5 m, tinggi
pelindung kaki, t = 1,0 m, sehingga kedalaman total ds = d1 + t = 2,5 m dan lebar mercu, B= 0,4 ds = 1,16
m, diambil 1,5 meter, maka :
d1
0,6 didapat koefisien kestabilan untuk pelindung kaki, Ns3 = 180,
ds
xH3
Ns3Sr 1
r
2700 x 1,17 3
1802,63 1
5,55 kg
(4)
sehingga dimensi batu, s = 12,7 cm. Bila dibandingkan dengan armor batu lapis pelindung kedua, dimensi
batu 30 cm, maka diambil dimensi batu terbesar yaitu 30 cm.
Elevasi puncak tanggul laut dapat ditentukan dengan rumus sebagai berikut :
Elevasi Mercu Tanggul
Ru
= Tinggi rayapan/Run Up, kenaikan muka air akibat gelombang pada bidang miring,
HHWL = Highest High Water Level = + 0,55 meter dari MSL (0,00)
Tinggi rayapan (run-up) pada lereng permeabel diperkirakan dengan salah satu metode yang sudah
dikenal cukup baik, yaitu bilangan Irribaren yang ditetapkan dari persamaan sbb. (Nur Yuwono, 1992) :
Ir
tg
H
0,5
Lo
(5)
Dengan :
= Sudut kemiringan bangunan (o)
H = Tinggi gelombang di lokasi bangunan (m)
L 0 = Panjang Gelombang di laut dalam (m)
I r = Bilangan Irribaren
Panjang gelombang laut dalam, L 0 :
220
L0
gT 2 9.8 x9,512
141,087 m
2
2 x3.14
Ir
2/3
7,32
(1,17 / 141,087) 0.5
(6)
Dengan menggunakan nomogram dari SPM untuk nilai I r = 5,491 untuk batu pecah diperoleh :
Ru
1,265
H
Ru 1,265 x1,17 1,48 m
(7)
Elevasi Puncak Tanggul = HHWL + Ru = 0,55 + 1,48 = +2,03 m, diambil +2,0m dari MSL
Hasil simulasi transpor sedimen dengan menggunakan pemodelan numerik GENESIS di lokasi studi
menyimpulkan bahwa secara umum akan mengalami erosi yang cukup parah dengan nilai kumulatif erosi
pantai selama 10 tahun dapat mencapai 70.000 m3. Erosi yang terbawa oleh arus sejajar pantai ini
diperkirakan akan tertumpuk di kawasan Timur Muara Buntu, sehingga akan memperdangkal kondisi
perairan di lokasi tersebut. Dengan rencana pemasangan tanggul laut, maka di beberapa lokasi garis
pantai menjadi maju dan volume sedimentasi yang bergerak dominan ke arah kiri pantai (ke arah Barat)
berkurang secara signifikan, yaitu untuk area di belakang struktur hanya sekitar 20.000 m 3 sampai 40.000
m3 kumulatif dalam 10 tahun, sedangkan area yang tidak dibangun struktur tetap mencapai 60.000 m3
dalam 10 tahun.
221
TANGGUL LAUT
RENCANA
REVETMEN
EKSISTING
Gambar 10. Rencana Pengamanan Pantai di Desa Pusaka Jaya Utara s.d Pantai Muara Buntu
222
Gambar 11. Tipikal Struktur Tanggul Laut dari armor kubus beton
223
Tanggul Laut
REFERENSI
Kementerian Pekerjaan Umum (2012). Bahan Rapat Penetapan Pedoman Perencanaan Pengamanan Pantai.
U.S. Army, Corp Of Engineering, Coastal Engineering Research Center. (1984). Shore Protection Manual (SPM) Vol
I dan II, U.S. Government Printing Office, Washington D.C.
Yuwono, N. (1992). Teknik Pantai Vol I dan II, Laboratorium Teknik Hidro, Teknik Sipil, Fakultas Yeknik Sipil,
Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
224
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
Abstrak
Air bersih merupakan kebutuhan dasar bagi manusia, dan masih banyak masyarakat miskin yang memiliki kesulitan
dalam mengaksesnya. Hasil SUSENAS pada tahun 2009, 70% warga Indonesia mendapatkan air bersihnya sendiri
dengan mengambil air tanah, sumur, sungai, dan sumber lainnya. Akan tetapi dengan berkembangnya desa menjadi
kota dan perubahan iklim yang merubah siklus hidrologi, keberadaan sumberdaya air menjadi terancam, terutama
yang mengandalkan air tanah, dan salah satunya adalah sistem penyediaan air bersih berbasis masyarakat. Studi
yang dilakukan di Lamongan menunjukkan bahwa tingkat kerentanan sistem ini sangat tinggi, terutama dalam hal
ketersediaan air baku. Tidak adanya pengaturan pembatasan pengambilan air bersih, pengisian kembali air tanah,
mengancam keberlangsungan sistem. Penerapan konsep pengelolaan sumberdaya air terpadu atau IWRM dalam
operasional sistem dapat mengurangi tingkat kerentanan. Penelitian ini membahas bagaimana konsep IWRM dapat
diterapkan pada sistem penyediaan air bersih berbasis masyarakat dengan studi kasus di Kabupaten Lamongan.
Survey lapangan berupa pengumpulan data dan wawancara dengan pihak pemerintah sebagai fasiltator, pengelola,
dan pengguna sistem air berbasis masyarakat dilakukan untuk mendapatkan informasi terkini mengenai sistem yang
sedang berjalan. Sedangkan analisis SWOT dilakukan untuk mengetahui posisi strategis dari sistem, serta upaya
yang perlu dilakukan untuk memperbaikinya
Kata Kunci: IWRM, penyediaan air bersih berbasis masyarakat, Kabupaten Lamongan
LATAR BELAKANG
Pembangunan sistem air bersih dan sanitasi berbasis masyarakat di Indonesia mulai dimplementasikan sejak tahun
1984 melalui program Pembangunan Lima Tahun (PELITA) IV, dan menjadi titik awal keterlibatan masyarakat untuk
berpartisipasi dalam proyek-proyek pemerintah; baik skala lokal maupun nasional, yang didanai oleh lembaga donor
internasional dengan melibatkan organisasi non pemerintah (NGO). Konsep kepemilikan masyarakat dan
pendekatan pengadaan proyek berdasarkan permintaan dan kebutuhan masyarakat dapat diterima secara luas.
Model ini membuka kesempatan luas bagi masyarakat untuk terlibat dalam pembangunan dan pengelolaan
infrastruktur, dan pemerintah daerah bertindak sebagai fasilitator dan penasihat teknis. Meskipun keterlibatan
masyarakat dalam hal pengelolaan infrastruktur sangat besar, akan tetapi karena keterbatasan kemampuan
masyarakat dalam mengoperasikan dan memelihara infrastruktur air bersih, pemanfaatan sistem menjadi tidak
optimum. Studi terdahulu mengenai penilaian teknis terhadap efektivitas sistem penyediaan air dan sanitasi berbasis
masyarakat di Jawa Tengah yang diselenggarakan oleh pemerintah dengan sebagian pendanaannya berasal World
Bank dalam bentuk program WSSLIC dan VIP, dan NGO pada akhir tahun 1980 sampai awal tahun 1990,
menunjukan tingkat keberhasilan program yang kurang berhasil. Hasil penilaian dari mulai tahap konstruksi, operasi,
dan pemeliharaan terhadap 439 rumah tangga menyatakan bahwa mereka tidak mendapatkan pelayanan penuh dari
sistem penyediaan air bersih yang telah dibangun. Seratus lima puluh delapan atau 36% rumah tangga seringkali
mengambil air dari sungai, telaga, mata air, atau bak penampung air hujan. Sedangkan 275 rumah tangga
menyatakan bahwa mereka tidak mendapatkan semua air yang diperlukan untuk memasak dan minum dari sistem
penyediaan air yang ada karena tidak berfungsi, dan di antaranya terdapat 84 rumah tangga (31%) yang
225
menggantungkan kebutuhan air bersihnya dari sungai, telaga, mata air, atau bak penampung air hujan (Isham and
Kahkonen, 1999).
Evaluasi terhadap sistem penyediaan air bersih pedesaaan berbasis masyarakat di wilayah hilir DAS Brantas
menunjukkan bahwa keandalan dari suatu sistem penyediaan air bersih merupakan faktor penting bagi kepuasan
masyarakat (Masduki, 2008). Dari tiga desa yang disurvei, dua desa menyatakan tidak begitu puas dengan sistem
yang ada, terutama dari sisi sistem operasionalnya. Sedangkan dari studi kasus yang dilakukan di Wuran dan
Tarinsing, Kabupaten Barito Timur, Kalimantan Tengah, terjadi kegagalan sistem setelah masa pembangunan yang
berhubungan dengan masalah operasional dan pemeliharaan. Salah satu faktor penting yang menjadi hambatan
adalah aspek teknologi yang digunakan, termasuk di dalamnya kualitas dan kuantitas sumber air, serta operasi dan
pemeliharaan dari sistem itu sendiri (Lambok, 2010).
Air bersih merupakan kebutuhan vital bagi manusia, sehingga tersedianya akses air bersih bagi masyarakat menjadi
salah satu tujuan pencapaian pembangunan millennium, bahkan air bersih dan sanitasi yang layak merupakan
investasi kemanusiaan terbaik untuk mencapai pembangunan dan keberlangungan (Tipping, Adom, and Tibajiuka,
2005). Karena antara air, kesehatan, kesejahteraan, dan peningkatan ekonomi merupakan hal saling berkaitan,
maka sistem penyediaan air bersih bagi masyarakat tidak dapat dianggap sebagai bagian dari infrastruktur
masyarakat saja, akan tetapi harus dilihat secara menyeluruh sebagai bagian dari pembangunan sosial dan
ekonomi, serta menciptakan suatu kota yang nyaman dan lestari. Makalah ini menekankan pada diskusi yang
menyangkut kondisi terkini sistem penyediaan air bersih berbasis masyarakat dan kebijakan yang berkaitan dengan
sistem pengelolaan air bersih di Kabupaten Lamongan dan bertujuan untuk memperoleh konsep pengelolaan
sumber daya air yang dapat menjamin keberlangsungan sistem. Kekuatan, kelemahan, tantangan dan hambatan,
serta usulan pengelolaan sistem air bersih di Kabupaten Lamongan disajikan untuk memberikan gambaran
mengenai tindakan yang perlu dilakukan oleh seluruh pihak yang berkepentingan untuk mengatasi masalah
keberlangsungan sistem penyediaan air bersih berbasis masyarakat.
IDENTIFIKASI MASALAH
Penyediaan air bersih yang aman dan terjamin, sanitasi dasar, dan higienis yang baik merupakan kebutuhan dasar
untuk menyediakan kehidupan yang sehat, produktif, dan bermartabat. Masih banyak masyarakat miskin di
perdesaan yang tidak memiliki akses untuk mendapatkan fasilitas air bersih dan sanitasi yang layak. Data yang
diperoleh dari Joint Monitoring Program for Water and Sanitation (2006) menyatakan ada 900 juta penduduk di dunia
yang tidak mendapatkan pelayanan penyediaan air bersih yang layak, dan 2 milyar penduduk dunia yang tidak
memiliki fasilitas sanitasi yang layak. Berdasarkan hasil data Survei Ekonomi Nasional (SUSENAS) pada tahun
2009, tujuh puluh persen penduduk Indonesia mendapatkan air bersih untuk kebutuhan sehari-hari secara mandiri
dengan mengambil air tanah, sumur, sungai, atau sumber lainnya, dan terdapat perbedaan antara penduduk kota
dan penduduk desa dalam memenuhi kebutuhan air bersihnya. Lima puluh persen dari penduduk kota harus
membeli air, dengan rincian setengah dari 50% jumlah penduduk kota yang membeli air mendapatkannya dari
perusahaan air milik pemerintah kota, dan sisanya dari penjual air baku serta tetangga. Terdapat daerah abu-abu
antara air yang didapat melalui sistem perpipaan dan air yang dibeli dari penjual air baku, karena survei menemukan
bahwa banyak penjual air baku mendapatkan airnya dari sistem penyediaan air bersih yang terhubung dengan pipa
dan membawanya ke daerah yang tidak terlayani sistem penyediaan air bersih perpipaan. Lima puluh persen
penduduk kota lainnya mendapat air bersihnya dengan menggali sumur dangkal atau sumur dalam. Untuk kota
pesisir, peningkatan jumlah rumah tangga dan industry yang mengambil air tanah dapat mengakibatkan penurunan
muka tanah dan intrusi air laut. Untuk wilayah pedesaan, 15% rumah tangga membeli air, umumnya dari organisasi
penyediaan air bersih skala komunitas.
Derasnya arus urbanisasi mengakibatkan wilayah pedesaan berkembang menjadi kota, dan letak sumber daya air
menjadi semakin jauh. Kawasan padat penduduk harus melindungi dirinya dari polusi dan tergantung terhadap
sumber mata air yang terletak di luar daerah adminitrasi kawasan, karena distribusi sumber air tidak merata di setiap
daerah. Di beberapa daerah, sumber air berlimpah, akan tetapi memerlukan biaya yang sangat besar untuk
mengalirkan air tersebut ke kawasan perumahan.
226
Selain itu, perubahan iklim berpengaruh terhadap siklus hidrologi yang akan berdampak pada kualitas dan kuantitas
sumber air. Penduduk miskin dan pedesaan merupakan komunitas yang paling rentan dalam hal mendapatkan air
bersih, karena umumnya kelompok masyarakat ini memperoleh airnya dari sistem penyediaan air bersih berbasis
masyarakat yang seringkali menggunakan sumur dalam sebagai sumber airnya. Kebutuhan air tanah cenderung
meningkat pada masa yang akan datang, dan akan memberikan dampak penurunan muka air tanah. Perubahan
iklim akan berdampak pada laju pengisian ulang air tanah, meskipun demikian perlu dilakukan penelitian lebih lanjut
mengenai dampak perubahan iklim terhadap air tanah (Alley, 2001). Dalam kondisi tertentu, seperti terhubungnya
kondisi hidraulik sungai dan akuifer dengan baik, serta laju pengisian air tanah yang rendah, perubahan ketinggian
muka air sungai akan lebih mempengaruhi ketinggian muka air tanah dibandingkan dengan perubahan laju pengisian
ulang air tanah (Allen et.al., 2003). Perubahan iklim juga akan merubah kondisi tanaman yang juga mempengaruhi
pengisian kembali air tanah. Semakin sedikit tumbuhan akan meningkatkan run-off dan mengurangi presipitasi untuk
mengisi ulang air tanah.
227
(2015), menyatakan bahwa kondisi air baku untuk di Lamongan berbeda antara satu desa dengan desa lainnya.
Demikian halnya dengan pengolahannya. Ada desa yang menggunakan air tanah, menggunakan air permukaan,
dan menggunakan sumur, baik melalui proses pengolahan maupun tidak. Untuk air yang tidak diolah, pihak
pengelola sistem penyediaan air bersih berbasis masyarakat memberlakukan tarif regular, sedangkan untuk yang
melalui proses pengolahan, tarif air akan menjadi lebih mahal, dan kontribusi masyarakat menjadi lebih besar. Selain
itu, terdapat pula sistem penyediaan air bersih yang menerapkan sistem gravitasi, akan tetapi tingkat
keberlanjutannya sangat kecil. Sistem ini sangat tergantung pada jumlah aliran air. Apabila aliran air kecil, air tidak
akan dapat masuk ke bangunan pengalihan.
Selain kualitas dan kuantitas air yang menjadi unsur penting dalam keberlanjutan sistem penyediaan air bersih
berbasis masyarakat, konflik pemakaian air juga sangat mempengaruhi. Dari keterangan yang disampaikan oleh
salah satu pengurus Himpunan Penduduk Pengguna Air Minum (HIPPAM) Tirto Agung Lamongan, Bapak Panggeng
(2015), diperlukan usaha yang keras untuk membangun sistem penyediaan air bersih di Lamongan karena adanya
konflik kepentingan dalam pemakaian air. HIPPAM Tirto Agung pada awalnya mengoperasikan sistem penyediaan
air bersih yang berada di Desa Bogem. Sumber air berasal dari air tanah dengan kedalaman sekitar 100 m, yang
terletak di tanah milik seorang warga, dan kemudian dihibahkan ke HIPPAM Tirto Agung. Setelah sistem berjalan
dengan baik, HIPPAM Tirto Agung mulai memperluas daerah pelayanannya ke desa tetangga, dan konflik muncul
karena pemilik tanah tempat sumber air meminta kepada pengurus HIPPAM Tirto Agung untuk membeli tanahnya.
Alasan utama pemilik tanah menghibahkan tanahnya saat itu adalah karena air yang diambil hanya akan digunakan
bagi warga Desa Bogem. Apabila desa lain mendapatkan pelayanan air bersih dengan sumber air yang berada di
dalam tanah miliknya, berarti HIPPAM telah menjual air dan mendapatkan keuntungan dari sistem yang telah
dibangun.
Untuk memecahkan persoalan tersebut, HIPPAM Tirto Agung membeli tanah dari pemilik dan melegalisasikannya
dengan akta notaris. Saat ini HIPPAM Tirto Agung sudah melayani 4 desa dengan jumlah masyarakat yang terlayani
6.310 jiwa. Untuk memenuhi kuantitas pelayanan, HIPPAM menggali sumur baru, dan saat ini HIPPAM telah memilik
dua sumur dalam, dengan kedalaman 106 m dan 100 m yang masing-masing memiliki kapasitas 5 l/dtk dan 6 l/dtk.
Dari keterangan Pak Sutrisno, salah seorang pelanggan (2015), suplai air berlangsung selama 24 jam, dengan
jumlah air yang memadai. Saat musim kemarau, air masih tetap mengalir tanpa diberlakukan pembatasan waktu
maupun sistem rotasi. Kualitas air pun baik, ditinjau dari parameter fisik seperti kejernihan, bau, dan rasa.
Pemeriksaan parameter biologi dan kimia dilakukan oleh Dinas Kesehatan secara berkala tiga bulan sekali. Pada
Gambar 1. disajikan skema sistem distribusi air bersih yang dikelola oleh HIPPAM Tirto Agung.
Gambar 1. Skema sistem distribusi air bersih HIPPAM Tirto Agung (Sumber: HIPPAM Tirto Agung, 2014)
Berdasarkan data yang diperoleh dari HIPPAM, rata-rata pemakaian air perhari mencapai 71.4 lt untuk setiap orang,
dan dalam kurun waktu sebulan, jumlah air yang diambil adalah 450.5 m3. Sistem yang mulai dioperasikan pada
tahun 2008 memiliki tingkat keberlangsungan yang sangat baik, bahkan dapat memperluas jaringan pelayanannya.
228
Dalam hal ini menunjukkan bahwa air tanah yang digunakan sebagai sumber tahan terhadap kondisi perubahan iklim
dibandingkan air permukaan. Peraturan Pemerintah Daerah Kabupaten Lamongan No. 5 Tahun 2004, tentang
Pemanfaatan dan Pengelolaan Air Tanah, menyatakan bahwa penggunaan air tanah sebagai air minum merupakan
prioritas utama, yang selanjutnya diikuti dengan pemakaian rumah tangga, peternakan skala kecil, irigasi, industri,
pertambangan, bisnis komersial, dan kebutuhan lain-lain. Dengan demikian, berdasarkan peraturan daerah tersebut,
sistem penyediaan air berbasis masyarakat memiliki hak untuk mengambil air tanah tanpa dipungut bayaran, dan
sebagai konsekuensinya, kelompok masyarakat yang mengelola harus melindungi kawasan tangkapan airnya
dengan mengkonservasi hutan di sekitar sumber air tanah. Selain itu perlu dilakukan monitoring dengan
menggunakan sumur pantau yang digali di sekitar sumur dalam, untuk mengukur penurunan muka air tanah akibat
pengambilan air. Langkah lain untuk menjaga pengisian kembali air tanah adalah turut melibatkan kelompok
masyarakat pengguna air, seperti HIPPAM Tirto Agung, untuk menjadi salah satu anggota dewan air daerah. Akan
tetapi berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Kiswanto, salah seorang pengurus HIPPAM Tirto Agung (2015),
kegiatan berupa pebuatan sumur pantau oleh pihak pemerintah daerah dan keikutsertaan HIPPAM terhadap
perencanaan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya air sejauh ini tidak dilakukan oleh pihak pemerintah
daerah. Pada Gambar 2. disajikan kondisi sumber mata air sumur dalam yang dikelola oleh HIPPAM Tirto Agung.
Kesimpulan sementara dari hasil penilaian sistem penyediaan air bersih berbasis masyarakat di Lamongan,
permasalahan utamanya adalah ketersediaan air baku. Dengan jumlah pengambilan air yang cukup besar
perbulannya, tidak ada upaya untuk memonitoring kondisi air tanah, melakukan pengisian kembali air tanah, serta
jaminan tidak terjadi perubahan tata guna lahan yang berada di sekitar sumber air, maka sistem ini dapat dikatakan
rentan terhadap perubahan iklim. Oleh karena itu perlu diimplementasi konsep water security dan IWRM agar sistem
dapat tetap berjalan.
Konsep water security telah mendapatkan perhatian banyak dalam sepuluh tahun terakhir ini, baik dalam debat
politik maupun akademik (Cook and Baker, 2011). Beberapa definisi mengenai water security dikeluarkan oleh
organisasi-organisasi internasional, terutama Global Water Partnership dan World Economic Forum. Berdasarkan
deklarasi para menteri pada acara World Water Forum ke-2, water security didefinisikan sebagai menjamin bahwa
air bersih, pantai, dan ekosistem yang terkait terlindungi dan terus diperbaiki; sehingga terjadi peningkatan
pembangunan berkelanjutan dan stabilitas politik yang menjamin bahwa setiap orang memiliki akses air bersih yang
cukup dengan biaya yang terjangkau untuk memperoleh kehidupan yang sehat dan produktif, dan kelompok
masyarakat yang rentan terhindar dari resiko penyakit yang berhubungan dengan air (World Water Council, 2000).
Untuk mencapai tujuan ini, maka pembangunan di bidang penyediaan air bersih harus dapat memenuhi kriteria
berikut; (1) memenuhi kebutuhan dasar manusia, (2) menjamin ketersediaan pangan, (3) menjaga lingkungan, (4)
berbagi sumber air, (5) mengelola resiko, (6) menghargai air, dan (7) mengendalikan air dengan cara yang bijak.
Untuk kasus sistem penyediaan air bersih berbasis masyarakat di Lamongan, dalam hal ini diwakili oleh HIPPAM
Tirto Agung sebagai kelompok masyarakat pemakai air terbesar di Lamongan, water security menjadi masalah
utama dalam penyelenggaraan dan keberlanjutan sistem yang dipengaruhi oleh beberapa parameter. Berdasarkan
229
hasil wawancara dan survei lapangan, parameter yang mempengaruhi keberlangsungan sistem disajikan pada
Gambar 3.
230
1.
Opportunity (Peluang)
1.
2.
Faktor Internal
3.
Strenght (Kekuatan)
1.
2.
3.
Kualitas,
kuantitas,
serta
kontinuitas sumber mata air
yang baik
Kesediaan pemilik tanah untuk
memberikan hak tanahnya
kepada kelompok
Monitoring kualitas air secara
teratur dari pihak pemerintah
Weakness (Kelemahan)
1.
2.
3.
4.
Threat (Ancaman)
Strategi SO
(Comparative Advantage)
Memungkinkan pencapaian
keberlangsungan bisa lebih cepat
Optimalisasi kekuatan (S), untuk meraih
peluang (O) dengan strategi:
1. Mengoptimalkan seluruh kekuatan yang
ada dan menerapkan hukum yang
berlaku,
sebagai
dasar
untuk
melindungi sumber air (S1,2,3: O1)
1.
1.
2.
1.
2.
Menganalisis
kembali
kebutuhan air masyarakat
untuk
menghindari
pengambilan
air
secara
berlebihan (S1:T2)
Masyarakat bisa menjadi
kekuatan untuk menjadikan
sistem yang mereka miliki saat
ini, menjadi bagian dari
infrastruktur pemerintah (S2:
T1,3)
Opportunity (Peluang)
Skor
Bobot
Total
231
4
0.45
Total Peluang
1.80
1.80
4
3
3
0.80
0.40
0.45
0.20
0.20
0.15
Total Ancaman
1.65
0.15
Skor Bobot
4
0.15
4
0.10
4
0.10
Total Kekuatan
Total
0.60
0.40
0.40
1.40
0.05
0.10
4
4
0.20
0.20
0.80
0.80
Strenght (Kekuatan)
Kualitas, kuantitas, dan kontinuitas air
Kepemilikan lahan sumber air
Monitoring kualitas air
Weakness (Kelemahan)
Air tidak dianggap sebagai sumber daya
milik bersama
Tidak terdapat sumur pantau
Tidak ada perencanaan konservasi air
tanah/pengisian ulang air tanah
Potensi pengambilan air secara berlebihan
4
0.20
Total Ancaman
0.80
2.50
(1.10)
Hasil analisis SWOT menunjukkan posisi sistem berada dalam kuadran III, yaitu memiliki water security yang lemah
tetapi memiliki kesempatan untuk diperkuat. Strategi yang perlu dilakukan adalah merubah strategi dengan
menggunakan peluang yang ada.
B. Bahasan
Dari hasil wawancara dan survei lapangan, peluang terbesar dari sistem penyediaan air berbasis masyarakat di
Lamongan adalah adanya kebijakan pemerintah daerah dalam hal pemanfaatan dan pengelolaan air tanah. Dalam
peraturan daerah tersebut, pemerintah daerah menjamin kemudahan masyarakat untuk dapat memanfaatkan air
tanah untuk air minum dan kebutuhan sehari-hari. Dalam beberapa pasal juga dibahas mengenai perlindungan dan
konservasi air tanah, serta keterlibatan masyarakat dalam merencanakan pemanfaatan dan pengelolaan air tanah.
232
Dengan demikian, bila peraturan daerah ini diimplementasikan, maka penerapan water security, yaitu terjaminnya
kebutuhan air masyarakat dengan kualitas dan kuantitas yang baik, dan secara terus menerus dapat tercapai. Akan
tetapi diperlukan satu strategi untuk mencapai tujuan penerapan konsep water security, yaitu dengan pendekatan
Integrated Water Resources Management (IWRM) atau pengelolaan sumber daya air terpadu, yaitu proses yang
mengedepankan koordinasi dalam pembangunan dan pengelolaan air, tanah, dan sumber daya lainnya, untuk
mencapai kesejahteraan sosial dan ekonomi yang adil tanpa berkompromi dengan keberlangsungan dari ekosistem
penting (Global Water Partnership Technical Advisory Committee, 2000).
Dalam The International Conference on Water and Environment for the 21st century yang dilaksanakan di Dublin,
Ireland, Global Water Partnership (2000) menggarisbawahi pentingnya penerapan IWRM melalui pendekatan
partisipasi masyarakat, yang meliputi:
1. Partisipasi nyata dengan para pemangku kepentingan merupakan bagian dari pembuat keputusan
2. Partisipasi masyarakat tidak sekedar konsultasi publik saja
3. Partisipasi sebagai alat untuk mencapai konsensus dan kesepakatan dalam jangka waktu lama
4. Terwujudnya mekanisme dan kapasitas keterlibatan masyarakat
Meskipun HIPPAM Tirto Agung sudah menjadi salah satu anggota dewan air, akan tetapi keterlibatannya dalam
menentukan kebijakan masih sangat minim. Dan mengingat bahwa program penyediaan air berbasis masyarakat
merupakan salah satu program pemerintah, maka peran pemerintah pasca konstruksi infrastruktur air bersih harus
tetap ada, salah satunya dalam menjaga kelestarian air sehingga water security untuk sistem penyediaan air
berbasis masyarakat dapat tercapai. Selain itu pada tahap operasi dan perawatan pemerintah juga perlu melakukan
pengawasan dan evaluasi dari sistem, terutama dari segi keandalan teknologinya, agar keberlangsungan sistem
dapat tetap dipertahankan. Usulan model pelaksanaan sistem penyediaan air bersih bagi masyarakat disajikan pada
Gambar 5.
Dalam usulan konsep tersebut, permasalahan air tidak dilihat dari bagaimana air itu bisa dimanfaatkan akan tetapi
bagaimana air itu dapat dilestarikan. Selain itu, keandalan infrastruktur air bersih juga merupakan parameter penting
yang menjadi indikator keberlangsungan sistem penyediaan air bersih berbasis masyarakat.
KESIMPULAN
Sistem penyediaan air bersih berbasis masyarakat harus dijaga keberlangsungannya, mengingat perannya yang
sangat penting untuk mencapai tujuan pembangunan millennium. Hasil studi terdahulu menunjukkan banyak sistem
233
air bersih berbasis masyarakat yang mengalami kegagalan, terutama disebabkan keandalan air sumber baik dari
segi kualitas, kuantitas, maupun kontinuitas. Konsep water security, yang mengutamakan pelestarian air perlu
diterapkan untuk merubah pola pikir masyarakat yang menganggap air adalah sumber daya yang dapat
diperbaharui. Peran pemerintah, dalam hal ini pemerintah daerah sangat diperlukan, karena air adalah sumber daya
milik masyarakat tanpa melihat batas administrasi, maka dibutuhkan adanya kebijakan lintas administrasi. Konsep
IWRM menjadi suatu alat yang dapat memecahkan masalah ini. Pengelolaan air tidak hanya disumbernya, tetapi
harus meliputi bagaimana air dibawa ke masyarakat, digunakan oleh masyarakat, dan bagaimana masyarakat
melestarikannya. Pemerintah sebagai pembuat kebijakan berperan dalam menyiapkan kerangka kebijakan
mengenai sistem penyediaan air berbasis masyarakat terutama dalam hal ketersediaan sumber daya air serta upaya
pelestariannya. Selain itu pemerintah juga harus memfasilitasi masyarakat dalam hal meningkatkan kemampuan
penguasaan manajemen dan teknologi sistem penyediaan air bersih, sehingga keberlangsungan sistem dapat
tercapai.
REFERENSI
Alley,W.M., 2001. Ground water and climate. Ground Water. Vol.39, pp.161.
Allen,D.M., D.C. Mackie and M. Wei, 2003: Groundwater and climate change: a sensitivity analysis for the Grand
Forks aquifer, southern British Columbia, Canada. Hydrogeology Jounal. Vol.2, pp.270-290.
Carter, R., Tyrrel, S., Howsan, P., 1999. Impact And Sustainability Of Community Water Supply And Sanitation
Programmes In Developing Countries, Journal of the Chartered Institution of Water and Environmental
Management, Vol 13, pp 292-296.
Cook, C., Bakker, K., 2012. Water security: Debating an emerging paradigm. Global Environmental Change. No. 22,
pp. 94102
Davis, J. and F. Brikk, 1995. Making Your Water Supply Work: Operation and Maintenance of Small Water Supply
Systems. The Hague, the Netherlands: IRC International Water and Sanitation Centre.
Galvis, C., 2003. Technology selection for water treatment and pollution control, IRC, Netherland. Available from <
http://www.irc.nl> [28 Sepetember 2013]
Isham J., Kahkonen, S., 1999. What Determines The Effectiveness of Community-Based Water Projects? Evidence
From Central Java, Indonesia On Demand Responsiveness, Services Rules, and Social Capital, The World
Bank, Washington
Josmar, L., 2010. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kegagalan Dan Keberhasilan Pengelolaan Sistem Penyediaan
Air Minum Di Desa Wuran Dan Tarinsing Kabupaten Barito Timur. Magister Theses. Diponegoro University
Kundzewicz, Z.W., L.J. Mata, N.W. Arnell, P. Dll, P. Kabat, B. Jimnez, K.A. Miller, T. Oki, Z. Sen and I.A.
Shiklomanov. 2007. Freshwater resources and their management. Climate Change 2007: Impacts, Adaptation
and Vulnerability. Contribution of Working Group II to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental
Panel on Climate Change, M.L. Parry, O.F. Canziani, J.P. Palutikof, P.J. van der Linden and C.E. Hanson,
Eds., Cambridge University Press, Cambridge, UK, 173-210.
234
Pribadi, K.N., Octavia, P. 2007. Pengelolaan Sumberdaya Air Terpadu Melalui Kebijakan Pengembangan
Pembangunan Berkelanjutan di Cekungan Bandung, Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, Vol. 18 No. 2,
Agustus 2007, pp. 1-32
Morrison, Jason, Mari Morikawa, Michael Murphy, and Peter Schulte. 2009. Water Scarcity & Climate Change. Ceres
and Pacific Institute. Available at http://www. Pacins org/reports/business_water_climate/full_report. pdf 12.
Masduqi, A. Endah, N., Soedjono, E.S. 2008. Sistem Penyediaan Air Bersih Perdesaan Berbasis Masyarakat: Studi
Kasus HIPPAM di DAS Brantas Bagian Hilir : Proceeding Seminar Nasional Pasca Sarjana VII-ITS,
Surabaya.
World Water Council: In Final Report Second World Water Forum & Ministerial Conference. 2000. From Vision to
Action. Edited by Water Management Unit c/o Ministry of Foreign Affairs. The Hague, NL
http://www.undp.org/content/undp/en/home/librarypage/corporate/undp_in_action_2006.html
http://unesdoc.unesco.org/images/0012/001295/129556e.pdf
http://www.un.org/waterforlifedecade/human_right_to_water.shtml
235
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
KWARSA HEXAGON
* widya.setyawam@gmail.com
Abstrak
Jumlah penduduk dan urbanisasi saat ini masih menjadi permasalahan dalam tatanan kependudukan Indonesia.
Tidak hanya menimbulkan permasalahan dalam aspek ekonomi, juga dalam aspek sosial yang berkaitan dengan
tata ruang dan dan tata guna lahan untuk menjaga keberlanjutan keseimbangan alam. Kabupaten Bogor merupakan
kabupaten dengan kepadatan penduduk yang relatif padat, merupakan hulu dari Sungai Ciliwung, Pesanggrahan
dan Kali Bekasi yang kerap meluap dan menimbulkan banjir saat musim penghujan. Kabupaten Bogor terdapat 95
buah situ yang terbentuk baik secara alami maupun buatan sejak pemerintahan Belanda, situ-situ tersebut
merupakan salah satu upaya pengendalian daya rusak air yang dapat menimbulkan kerusakan dan kerugian
terutama bagi masyarakat hilir. Salah satu situ yang difungsikan untuk membantu mengendalikan daya rusak air
tersebut adalah Situ Jampang sebagai pengendali banjir dan sumber mata pencaharian masyarakat sekitar.
Keberadaan situ berkaitan dengan partisipasi masyarakat serta tatanan kelembagaan yang bertanggungjawab. Hal
itu tidak terlepas dari kolaborasi aktif masyarakat di sekitar wilayah situ dan pemerintah pemangku tanggung jawab.
Diperlukan adanya peraturan yang mengatur intervensi masyarakat sehingga tidak menimbulkan konflik kepentingan
namun dapat saling memberikan manfaat salah satunya dengan penetapan area bebas pemukiman (Green Belt)
serta kegiatan swadaya masyarakat pada situ yang memberikan intervensi positif dalam pengendalian daya rusak
air.
Kata Kunci: swadaya masyarakat, daya rusak air, Kabupaten Bogor
LATAR BELAKANG
Indonesia sebagai salah satu negara beriklim tropis sering kali dihadapkan pada dua permasalahan musim di tiap
tahunnya, yakni musim kemarau yang sering minimbulkan kekeringan di sebagian wilayah timur Indonesia dan
musim penghujan yang tidak jarang menimbulkan banjir di sebagian wilayah barat Indonesia. Adanya perubahan
cuaca ekstrim yang belakangan menjadi isu global menjadi satu tantangan tersendiri dalam menjawab
permasalahan-permasalahan yang dtimbulkan salah satunya adalah permasalahan banjir. Berbagai upaya telah
dilakukan untuk menanggulangi daya rusak air yang menimbulkan kerugian cukup besar terhadap lingkungan dan
masyarakat.
Studi ini menganalisa terkait intervensi atau peran serta masyarakat dalam pengendalian banjir dengan mengambil
lokasi studi yakni wilayah Kabupaten Bogor. Kabupaten Bogor merupakan kabupaten dengan kepadatan penduduk
yang cukup padat dan merupakan hulu dari tiga sungai besar yakni Sungai Ciliwung, Pesanggrahan dan Kali Bekasi
dimana ketiga sungai tersebut kerap meluap dan menimbulkan banjir saat musim penghujan tiba. Salah satu upaya
yang dilakukan untuk mereduksi banjir yang terjadi di hilir tersebut adalah membangun situ sebagai tampungan air di
wilayah hulu yakni di Kabupaten Bogor agar air hujan yang mengalir tidak langsung masuk kesungai, selain itu juga
dengan melakukan konservasi terhadap Situ-situ yang telah ada sejak jaman pemerintah Belanda baik situ yang
terbuat secara alami maupun buatan.
Keberadaan situ di Kabupaten Bogor menjadi salah satu upaya tampungan air sementara sebelum air mengalir
langsung ke sungai, Situ situ terbuat secara interkoneksi mulai dari hulu hingga hampir menuju ke muara sungai.
236
Beberapa Situ besar yang terdapat di wilayah Kabupaten Bogor yang difungsikan sebagai pengendali daya rusak air
adalah Situ Jampang.
Situ Jampang sebagai lokasi studi terletak di Kecamatan Kemang Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat dimana
sumber air situ berasal dari mata air larian dan berasal dari saluran situ Kemang yang berada di hulu. Luas
genangan Situ Jampang pada tahun 2008 adalah seluas 20,50 Ha (Program Konservasi Wilayah Sungai CiliwungCisadane, 2008), pada tahun 2009 adalah sebesar 17, 83 Ha (Daftar Situ Potensial Kabupaten Bogor, Subdit
Sungai, Danau, dan Waduk, Kementerian PU, 2009) sedangkan pada tahun 2014 adalah sebesar 16,9 Ha (Laporan
analisa Topografi, PT. Ganesha Piramida, 2014), berdasarkan hal ini memperlihatkan adanya penurunan angka luas
genangan dari Situ Jampang. Pada Gambar 1 dapat terlihat kondisi lokasi Situ Jampang dari citra google earth tahun
2014, dimana lahan yang berada di sekitar wilayah Situ Jampang tertutupi oleh pemukiman penduduk.
Kondisi ini dinilai cukup memprihatinkan dimana terjadi penurunan angka luas genangan dari salah satu situ yang
berpotensi mereduksi banjir di hilir ini, dimana pengurangan dari luas genangan itu terjadi akibat adanya sedimentasi
dari kegiatan budidaya ikan, penyalah gunaan lahan situ dengan mendirikan bangunan semi permanen di sekitar
wilayah situ, okupasi yang menimbulkan adanya penurunan nilai manfaat. Adanya permasalahan sedimentasi
mengakibatkan berkurangnya kapasitas pengendalian banjir. Bayangkan jika semua situ-situ yang berpotensi
mereduksi banjir mengalami hal yang sama seperti di atas tanpa adanya suatu regulasi yang dapat menertibkan
kondisi tersebut, maka kapasitas tampungan situ dalam mereduksi banjir dan menjadi tampungan air sementara
akan berkurang kondisi nya dan tentunya akan semakin memperparah kondisi di wilayah hilir saat terjadi banjir.
Kondisi eksisting pada Situ Jampang dapat terlihat pada Gambar 2 berikut.
237
Keberlangsungan dari keberadaan situ yang berperan dalam pengendalian daya rusak air ini tidak terlepas dari
peran serta masyarakat yang menempati wilayah di sekitar situ. Tidak jarang adanya intervensi masyarakat sekitar
terhadap keberlangsungan situ memberikan dampak yang buruk terhadap keberlanjutan dari kondisi situ. Sehinga
dalam hal ini perlu adanya suatu upaya untuk mengikutsertakan masyarakat untuk berperan aktif dalam upaya
melestarikan keberadaan situ sebagai langkah keikutsertaaan dalam pengendalian daya rusak air.
METODOLOGI STUDI
Metodologi pelaksanaan dari studi adalah sebagai berikut:
1. Pengumpulan data analisa studi terdahulu
2. Kegiatan ini dimaksudkan untuk mngumpulkan hasil analisa studi terdahulu Situ Jampang
3. Analisa Topografi & Tata Guna Lahan
4. Analisa Topografi dimaksudkan untuk mengetahui kondisi Topografi Situ Jampang dan kondisi tata guna lahan
wilayah Situ Jampang
5. Analisa tampungan Situ Jampang
6. Analisa tampungan Situ Jampang dilakukan dengan melakukan beberapa analisa hidrologi untuk mengetahui
kapasitas tampungan Situ Jampang dalam mereduksi banjir
7. Rencana Partisipasi masyarakat dalam upaya konservasi
8. Penyusunan konsep rencana keikutsertaan masyarakat dalam upaya konservasi Situ Jampang
238
Jampang adalah sebagai tempat bagi masyarakat setempat untuk melakukan kegiatan budidaya ikan dalam
keramba jaring tancap dan kolam-kolam di tepian situ yang dibendung dengan cara membuat pematang pada
perairan tepi situ.
Adanya perubahan tata guna lahan di sekitar situ menimbulkan dampak yang cukup buruk terhadap fungsi situ salah
satunya sebagai pengendali banjir. Adanya aktifitas manusia memiliki keterkaitan erat terhadap keberlanjutan dari
kondisi lingkungan, seperti halnya Situ Jampang yang terletak di tengah kawasan pemukiman Talaga Kahuripan.
Aktifitas di luar dan di dalam situ sangat mempengaruhi kualitas air dan morfometri situ. Aktifitas di luar situ
diantaranya adalah perkebunan, pemukiman, dan rekreasi, sedangkan aktifitas yang berlangsung di dalam situ
adalah kegiatan budidaya ikan keramba, penangkapan ikan.
Adanya perubahan tata guna lahan di sekitar situ menjadi masukan limbah yang menimbulkan ancaman
pendangkalan akibat endapan yang masuk serta adanya erosi lahan sekitar yang menyebabkan berkurangnya
kapasitas tampungan situ yang diikuti dengan menurunnya kualitas dan kuantitas perairan situ.
Analisa Topografi & Tata guna lahan
Untuk mengetahui kondisi Topografi dari Situ Jampang, dilakukan beberapa kegiatan pengukuran. Hasil pengukuran
ini penulis dapatkan dari laporan analisa Topografi Situ Jampang yang dilaksanakan oleh PT. Ganesha Piramida
pada tahun 2014 yang tertuang dalam Gambar 3, dalam kegiatan Rehabilitasi Situ Jampang. Dalam kegiatan survey
Topografi ini dilakukan beberapa pengukuran yakni pengukuran bathimetri dan Tachimetri. Berdasarkan hasil
pengukuran yang dilakukan, diketahui luas genangan Situ Jampang pada tahun 2014 adalah seluas 16,9 Ha.
JEMBATAN KOMPLEK
PERUMAHAN TELAGA
KAHURIPAN
Tata guna lahan di sekitar situ meliputi pemukiman penduduk di sebelah timur dan barat. Di sebelah utara situ
merupakan daerah outlet yang di sekitarnya terdapat kebun. Disebalah selatan terdapat taman dan jalan akses
komplek perumahan, dan di sebelah barat terapat perkebunan singkong dan pisang. Di pinggiran situ terdapat
banyak kolam ikan yang diberi pematang. Berdasarkan hasil survey dan infomasi masyarakat sekitar diketahui jenis
ikan yang dipelihara di dalam keramba antara lain jenis ikan betutu, ikan mujair, ikan tawes, ikan nilem, ikan mas,
ikan gurame, dan jenis udang air tawar.
239
LUAS DAS
: 35,49 km
PEMUKIMAN
: 18,43 km
TANAH LADANG : 4,99 km
SAWAH
: 4,82 km
PADANG RUMPUT : 3,98 km
KEBUN
: 3,28 km
Di dalam wilayah DAS Situ Jampang terdapat dua aliran sungai yakni Sungai Angke dan Sungai Cibeutung dimana
keduanya bermuara pada pada sungai Ciliwung. Dalam melakukan analisa hidrologi, data hujan yang digunakan
berasal dari dua stasiun hujan terdekat yakni stasiun Darmaga dan stasiun hujan Perk. Kuripan. Diagram alir analisa
hidrologi yang dilakukan adalah seperti pada Gambar 5 berikut:
240
Perhitungan hujan rancangan dilakukan dengan melakukan analisis frekuensi. Analisa frekuensi dimaksudkan untuk
mencari hubungan antara besarnya kejadian ekstrim terhadap frekuensi kejadian dengan menggunakan analisa
distribusi probabilitas. Probabilitas yang dimaksud disini adalah suatu kejadian akan menyamai atau lebih besar dari
suatu nilai tertentu (hujan dengan kala ulang T). Kejadian ekstrim yang dimaksud dalam hal ini adalah hujan harian
maksimum setiap tahun yang diukur dalam beberapa tahun. Dari data hujan yang didapatkan, didapatkan hasil
analisa distribusi hujan rencana seperti yang terlampir pada Tabel 1 berikut ini;
Tabel 1. Analisa Distribusi Hujan Rencana
Dan dilakukan analisa uji probabilitas dengan menggunakan metode uji distribusi probabilitas Chi-Square dan uji
probabilitas Smirnov Kolmogorof. Setelah dilakukannya uji probabilitas maka dapat dilanjutkan dengan analisis
koefisien pengaliran DAS. Analisa koefisien pengaliran DAS merupakan satu tahapan yang dilakukan sebelum
menghitung analisa debit banjir rencana dengan menggunakan hidograf Banjir. Analisis koefisien pengaliran DAS
mencakup beberapa analisa yakni perhitungan intesitas hujan, durasi, dan frekuensi hujan, koefisien pengaliran (run
off). Koefisien aliran (run off) dihitung berdasarkan tata guna lahan serta kemiringan lahan. Dalam analisa hidrologi
Situ Jampang, wilayah DAS dibagi menjadi 4 Sub Das seperti yang terlihat pada Gambar 6, dan didapatkan hasil
perhitungan seperti pada Tabel 2 hingga Tabel 4 berikut:
Tabel 2. Uji Probabilitas Chi-Square
PERHITUNGAN CHI SQUARE TEST
Data, ( N )
=
Jumlah Kelas, K
K
= 1 + 3,322 Log N
K
=
Signifikansi (a, %)
=
D kritis
=
Expected Frequency, (EF)
=
12
5
5.00
21.026
2.40
Normal
No
Probability
1
2
3
4
5
(P)
JUMLAH
D KRITIS
X2 hitung
KESIMPULAN
Observed Ef - Of ( Ef - Of )
Frequency
( Of )
3
1
1
5
2
12.00
0.60
1.40
1.40
2.60
0.40
0.36
1.96
1.96
6.76
0.16
Of
3
1
2
4
2
11.20
12.00
21.03
4.67
Diterima
Ef - Of ( Ef - Of )
0.60
1.40
0.40
1.60
0.40
Of
0.36
1.96
0.16
2.56
0.16
3
1
2
4
2
5.20
21.03
2.17
Diterima
12.00
Gumbel
2
Ef - Of ( Ef - Of )
0.60
1.40
0.40
1.60
0.40
Of
0.36
1.96
0.16
2.56
0.16
2
2
3
5
0
5.20
21.03
2.17
Diterima
12.00
Pearson III
2
Ef - Of ( Ef - Of )
0.40
0.40
0.60
2.60
2.40
Of
0.16
0.16
0.36
6.76
5.76
3
1
2
4
2
13.20
21.03
5.50
Diterima
12.00
Ef - Of ( Ef - Of )
0.60
1.40
0.40
1.60
0.40
Of
0.36
1.96
0.16
2.56
0.16
4
0
3
2
3
5.20
21.03
2.17
Diterima
12.00
Ef - Of ( Ef - Of )2
1.60
2.40
0.60
0.40
0.60
2.56
5.76
0.36
0.16
0.36
9.20
21.03
3.83
Diterima
241
Distribusi Probabilitas
t
Normal
Lognormal
Lognormal
2 Paramet.
3 Paramet.
Gumbel I
Pearson III
Log
Pearson III
0.0000
102.8
97.8
97.8
98.2
97.4
95.2
0.8416
131.0
127.7
127.7
136.7
128.0
125.0
10
1.2816
145.7
146.8
146.8
162.2
147.5
147.1
20
1.6449
157.8
164.7
164.7
186.7
165.4
170.2
25
1.7507
161.4
170.3
170.3
194.5
171.0
178.0
50
2.0537
171.5
187.5
187.4
218.4
187.9
203.1
100
2.3263
180.6
204.4
204.3
242.1
204.2
230.3
200
2.5758
189.0
221.3
221.1
265.8
220.1
259.8
1000
3.0902
206.2
260.5
260.1
320.6
256.1
338.8
Penyimpangan Maksimum
17.29
11.49
11.52
12.75
10.85
10.97
37.5
37.5
37.5
37.5
37.5
37.5
diterima
diterima
diterima
diterima
diterima
diterima
Panjang Sungai
Utama (km)
1 Sub Das 1
2.78
1.96
0.75
125.00
2 Sub Das 2
1.52
2.48
0.75
150.00
3 Sub Das 3
9.58
5.00
0.75
4 Sub Das 4
21.61
12.34
0.75
No Nama DPS
H (m)
Kemiringan rerata
Sungai (I)
112.50
12.50
0.0071
125.00
25.00
0.0112
175.00
125.00
50.00
0.0111
237.50
125.00
112.50
0.0101
Tahapan selanjutnya adalah melakukan analisa Debit Banjir Rancangan. Debit banjir rancangan dihitung
berdasarkan hubungaan antara hujan dan aliran. Salah satu metode yang digunakan untuk menentukan debit banjir
rancangan pada analisa ini adalah dengan metode hidrograf satuan sintetik menurut satuan sintetik Gama I (HSS
Gama I) yang sesuai dengan kondisi dan parameter DAS yang berada di pulau jawa dan analisa debit banjir
rancangan juga dapat dihitung dengan menggunakan pemodelan pada aplikasi HEC-HMS seperti pada Gambar 7.
242
Parameter DAS yang digunakan dalam analisa Hidrograf Banjir Satuan Metode Gama I DAS Jampang dibagi dalam
4 Sub Das, berikut analisa Hidograf Banjir Satuan Metode Gam I DAS Situ Jampang ditunjukkan pada Tabel 5 :
Sub DAS Unit Hidograf
Hidrograf Banjir Metode Gama I DAS Jampang
20
20
Debit (m3/det)
Debit (m3/det)
15
10
10
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
10
11
12
Waktu (jam)
Q2
Q5
Q10
Q20
Q50
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
19
20
21
22
23
Waktu (jam)
Q100
Q1000
Q2
Q5
Q10
Q20
Q50
Q100
Q1000
50
30
Debit (m3/det)
Debit (m3/det)
20
30
20
10
10
0
1
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
10
11
Q2
Q5
Q10
Q20
Q50
12
13
14
15
16
17
18
24
25
Waktu (jam)
Waktu (jam)
Q100
Q1000
(c ) Sub DAS 3
Q2
Q5
Q10
Q20
Q50
Q100
Q1000
243
Dari hasil perhitungan yang dilakukan, didapatkan Hidograf Banjir Satuan Metode Gama I ditunjukkan pada Gambar
8. Untuk mengetahui kapasitas tampungan Situ Jampang, maka dilakukan analisa Routing banjir dalam kondisi
eksisting. Analisa Routing dilakukan dengan menggunakan aplikasi HEC-HMS. Berikut tahapan Routing banjir pada
kondisi eksisting seperti ditunjukkan pada Gambar 9 dan Gambar 10.
Dari data analisa tampungan dan elevasi pada kondisi eksisting, didapatkan debit banjir rencana dengan simulasi
banjir ditunjukkan pada Gambar 11:
244
Dari hasil simulasi tampungan pada kondisi eksisting yang dilakukan dan seperti yang dijelaskan pada Gambar 11,
dapat disimpulkan bahwa tampungan maksimum Situ Jampang adalah 749.4 m3, dan elevasi tertinggi banjir berada
pada elevasi +141,9 mdpl, untuk elevasi eksisting tanggul berada pada elevasi +142.00 mdpl ditunjukkan pada
Gambar 12. Pada kondisi ini kondisi tampungan Situ Jampang masih cukup untuk menampung debit banjir yang
ada, namun elevasi tinggi banjir rencana yang akan terjadi cukup mendekati elevasi kritis yankni pada elevasi
tertinggi tanggul yaitu +142. Oleh sebab itu hal ini menjadi sangat beresiko apabila terjadi banjir kala ulang seperti
yang telah disimulasikan, dapat dikatakan kondisi ini berbahaya sehingga dengan kondisi Situ Jampang saat ini
dengan sedimentasi yang tinggi dan semakin menyempitnya luas genangan akibat aktivitas masyarakat di pinggiran
Situ diperlukan adanya upaya konservasi salah satunya dengan melakukan pengerukan sedimen dan penataan
lahan di sekitar wilayah Situ.
Untuk mewujudkan hal ini tentunya membutuhkan koordinasi yang sinkron antara pemerintah, pengelola situ dan
peran aktif masyarakat.
1. Rencana Partisipasi Masyarakat dalam Upaya Konservasi
Mengingat pentingnya peran dari keberadaan Situ Jampang, maka dibutuhkan upaya upaya dalam pelestarian dan
langkah konservasi demi menjaga nilai manfaat dari keberadaan Situ Jampang sebagai pereduksi banjir atau
pengendali daya rusak air. Adanya aktifitas masyarakat baik di luar situ maupun di luar situ menimbulkan beberapa
resiko yang dapat mengurang potensi manfaat dari Situ. Hal ini lah yang perlu diberikan solusi agar intervensi yang
diberikan masyarakat di sekitar waduk tidak berdampak negatif terhadap Situ dimana salah satu ancaman utama
dalam kelestarian Situ Jampang adalah permasalahan Sedimentasi.
Untuk mencegah meningkatnya masukan padatan tersuspensi ke perairan Situ Jampang, maka penggunaan tata
guna lahan harus diperhatikan. Salah satunya adalah penggunaan lahan kebun. Kebun harus mempunyai bedengan
sehingga ketika hujan air yang mengandung padatan tersuspensi yang berasal dari kebun tidak langsung mengalir
dalam perairan Situ.
Segala bentuk kegiatan yang dapat mengakibatkan pendangkalan, pencemaran, dan perkembangan gulma air harus
dicegah atau diminimalkan. Salah satu solusi yang dapat diterapkan adalah penetapan area hijau berupa green belt
minimal 50 m dari sisi terluar situ. Penetapan area hijau dapat dilakukan misalnya dengan menanam pepohonan di
sekitar Situ sebagai pagar batas wilayah Situ. Hal lainnya adalah perlu pengendalian terhadap kegiatan keramba
ikan yang menjadi penyumbang sedimentasi pada Situ dari sisa pakan ikan dan sekresi. Untuk mencegah tumpang
tindih kegiatan di wilayah Situ Jampang perlu dibuat suatu aturan pembagian zona wilayah pemanfaatan, dimana
terdapat beberapa lokasi larangan adanya pembuatan keramba ikan untuk mengendalikan aktifitas tersebut.
Perencanaan partisipasi masyarakat didasarkan pada konsep mempelajari latar belakang sosial, ekonomi, budaya,
dan pemikiran masyarakat dalam upaya menggerakkan kesadaran masyarakat agar dapat berperan serta aktif
dalam upaya konservasi situ dan diharapkan dapat diterapkan pada Situ-situ lainnya. Hal ini dapat dilakukan dengan
245
kerja sama antar pihak pemegang kepentingan dengan masyarakat dengan melakukan sosialisasi dan pendekatan
kepada masyarakat serta melakukan beberpa upaya atau solusi yang tidak merugikan bagi masyarakat
246
REFERENSI
PT.GANESHA PIRAMIDA, 2014. Laporan Survey dan Analisa Topografi Situ Jampang, Bandung.
Program Koservasi Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane,2008.
Subdit Sungai, Danau dan Waduk, 2009. Daftar Situ Potensial Kabupaten Bogor. Kementrian PU.
Hadijah, Oji, 2002. Kajian Morfometri dan Karakteristik Kualitas Air Situ Jampang, Kemang, Bogor, Jawa Barat. Vol.1
(1): 34-39
247
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
Abstrak
Pencemaran sumber air dan penggunaan air secara besar-besaran menjadi faktor utama penyebab terjadinya krisis
air bersih. Ironisnya tindakan tersebut telah dilakukan dari generasi ke generasi, manusia cenderung meneladani
sikap generasi sebelumnya yang merasa bahwa kuantitas air bersih lebih dari cukup. Studi ini dilakukan dengan
tujuan untuk mengetahui tingkat kepekaan siswa/siswi terkait ketersediaan sumber air bersih di Indonesia serta
meningkatkan kepekaan siswa/siswi terhadap ketersediaan sumber air bersih di Indonesia. Penelitian terhadap
pemahaman siswa/siswi SD dan SMP dengan melakukan penyuluhan tentang konservasi air. Dalam kegiatan
penyuluhan tersebut peserta diminta untuk mengisi kuesioner baik sebelum dan sesudah kegiatan penyuluhan
dilaksanakan. Dari hasil analisis yang ada, tingkat pemahaman siswa/i sebelum penyuluhan konservasi air sangat
kurang, namun setelah dilakukan penyuluhan konservasi pengetahuan mulai meningkat dan ada keinginan dari para
siswa/i untuk berperan serta dalam konservasi air setelah dilakukan penyuluhan.
Kata Kunci: pencemaran sumber air, konservasi air, level of awareness, siswa/i, Ujung Menteng.
LATAR BELAKANG
Faktor utama krisis air bersih adalah kurangnya pemahaman masyarakat tentang air. Mereka berpikir bahwa air
mudah didapatkan karena air memenuhi 70% bagian dari bumi. Padahal tidak semuanya air layak digunakan untuk
memenuhi kebutuhan manusia. Kurangnya pemahaman tersebut secara tidak langsung menumbuhkan rasa
ketidakpedulian terhadap air. Hal tersebut terlihat dari tindakan masyarakat seperti menggunakan air secara tidak
efisien serta membuang sampah di sungai ataupun sumber-sumber air lainnya. Kegiatan mencemari dan
menghabiskan sumber daya air seakan telah menjadi budaya dari generai ke generasi selanjutnya. Banyak sumber
air kini telah dihiasi oleh tumpukan sampah yang terus bertambah tiap tahunnya. Tidak hanya itu, perlakuan
masyarakat dalam pemakaian air dapat dinilai terlalu boros. Penulis menyadari bahwa perlunya dilakukan pengkajian
kesadaran generasi muda terhadap air dan berharap generasi muda dapat memiliki pemahaman yang lebih baik.
Peran air di bumi sangat besar dalam menentukan kelangsungan makhluk hidup di bumi karena setiap makhluk
hidup khususnya manusia memiliki kebutuhan akan air. Air menjadi salah satu elemen di bumi yang perannya tidak
dapat tergantikan oleh yang lain. Menurut beberapa sumber yang Penulis dapatkan dari internet ada beberapa
sumber air yang dikenal oleh manusia, adalah air permukaan dan air tanah.
Air yang dibutuhkan oleh manusia adalah air bersih dan sehat yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan
hidup. Dengan mata telanjang manusia dapat membedakan suatu sumber daya air dapat dikatakan sebagai air
bersih atau tidak. Meski demikian perlu adanya penelitian apakah air tersebut dapat dikatakan sebagai air bersih.
Menurut beberapa sumber yang telah disimpulkan oleh Penulis, terdapat beberapa indikator air bersih, diantaranya
adalah sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.
248
Jernih.
Tidak berbau
Tidak berwarna
Tingginya nilai kelarutan oksigen.
Gambar 1. Skala pH
Sumber : http://aerofresh.blogspot.com/p/air-adalah-makhluk-hidup.html
Sumber daya air memiliki istilah kuantitas dan kualitas. Kuantitas dan kualitas sumberdaya air memiliki definisi
yang berbeda tetapi keduanya berkaitan satu sama lain. Kuantitas sumber daya air dapat diartikan sebagai
banyaknya air yang dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan makhluk hidup khususnya manusia. Sedangkan kualitas
sumber daya air merupakan indikator apakah air tersebut layak untuk dimanfaatkan atau tidak. Kuantitas suatu
sumber daya air tertentu belum tentu memiliki kualitas yang baik namun air yang berkualitas baik dalam jumlah
tertentu merupakan bagian kuantitas sumber daya air itu sendiri. Sumber daya air yang memiliki kualitas yang baik
untuk digunakan disebut air bersih. Ketika sumber daya air di suatu daerah berkualitas baik tetapi tidak mencukupi
dalam segi kuantitas hal itu tentu saja pertanda bahwa daerah itu terkena krisis air, dan begitu juga sebaliknya.
Indonesia adalah salah satu negara dari sepuluh negara yang kaya dengan air. Hal ini dapat dibuktikkan dengan
ketersediaan air di Indonesia mencapai 15.000 meter kubik per kapita per tahun. Namun kuantitasnya yang tidak
sebanding dengan penduduknya membuat Indonesia mengalami krisis air bersih. Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah Provinsi Jawa Barat memperkirakan krisis air pertama kali akan dialami oleh Pulau Jawa
karena penduduknya yang banyak, dan akan diikuti Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi Selatan. Beberapa
daerah di Indonesia mengalami krisis air bersih pada tahun 2012, contohnya adalah kota Semarang pada September
2012 akibat kemarau yang berkepanjangan masyarakat tidak memiliki akses untuk mendapatkan air bersih lalu
masyarakat terpaksa antri untuk mendapatkan air bersih bantuan dari PDAM Kota Semarang, dan bahkan ada yang
terpaksa memakai air yang tentunya tidak layak untuk urusan mandi, cuci, kakus (MCK). Kalau benar-benar terpaksa
mereka tetap menggunakan air sumur, yang harus didiamkan semalam dulu supaya kotorannya mengendap,
sehingga air yang menjadi bersih dan dapat dipakai.
Dalam studi ini, akan dibahas beberapa pokok-pokok permasalahan diantaranya:
1. Bagaimanakah kualitas salah satu sumber daya air yang ada di Ujung Menteng, Jakarta Timur?
2. Bagaimanakah tingkat kepekaan siswa/siswi terhadap sumber air bersih yang ada di sekitarnya?
3. Apakah dengan melihat fakta-fakta yang ada di sekitarnya para siswa/i akan berkeinginan untuk melakukan
konservasi sumber daya air?
249
METODOLOGI STUDI
Kegiatan penelitian ini dilakukan dengan beberapa tahap, yaitu:
1. Pengujian kualitas air yang melibatkan siswa/i secara langsung di sumber daya air terdekat dengan sekolah.
Adapun parameter-parameter yang diuji adalah tingkat kekeruhan air, kadar oksigen yang terlarut dalam air,
kadar pH, suhu air serta suhu udara di sekitar sumber daya air.
2. Membagikan kuesioner yang diisi oleh siswa/i sebelum dan sesudah dilakukan penyuluhan dengan butir-butir
pertanyaan yang sama. Tujuannya adalah:
a. Untuk mengukur tingkat kepekaan siswa/siswi terhadap sumber daya air sebelum dan sesudah penyuluhan
diadakan.
b. Untuk mengukur keinginan dan kepeduliaan siswa/i terhadap konservasi air.
3. Pengolahan data dengan Microsoft Excel.
Parameter Pengujian
Data Pengujian
Turbidity (tingkat kekeruhan)
40.000 JTU
Dissolved Oxygen (kadar udara)
4.000 ppm
pH (tingkat keasaman)
7
Water Temperature (suhu)
28C
Air Temperature (suhu udara)
32C
Hasil pengujian kualitas air diperoleh:
Turbidity = 40.000 JTU
Kekeruhan yang menunjukkan angka 40.000 JTU membuktikan adanya partikel-partikel yang masih membuat
air tersebut keruh secara fisik. Keruhnya air tersebut dapat disebabkan oleh beberapa faktor, seperti:
kontaminasi dari tanah liat atau lumpur akibat adanya erosi; kontaminasi buangan limbah masyarakat;
kontaminasi bahan organik dan anorganik.
Dissolved Oxygen = 4.000 ppm
Kadar oksigen yang terlarut di dalam air sangat penting bagi kelangsungan hidup organisme akuatik. Semakin
rendah suhu ataupun tinggi suatu sumber air, maka semakin tinggi kadar oksigen yang terkandung di dalam air
tersebut. Hasil pengujian tersebut menunjukan bahwa air tersebut memiliki kadar oksigen yang baik.
pH = 7
Kadar pH sumber daya air sangat mempengaruhi kelangsungan hidup hewan akuatik yang hidup di air
tersebut. Kadar pH dapat di pengaruhi berbagai faktor, diantaranya adalah hujam asam, pembuangan air
limbah jenis batuan di sekitar lokasi sumber air. Dari hasil pengujian, terlihat bahwa air tersebut memiliki pH
yang normal dan baik untuk menjadi tempat hidup bagi hewan akuatik.
250
Suhu air tersebut belum mencapai suhu optimal meskipun suhu udara di sekitar lokasi pengujian mencapai
32C. Adanya hasil temperatur dari air tersebut menjelaskan bahwa air tersebut masih memiliki kadar oksigen
yang cukup baik sehingga organisme akuatik daerah tropis masih dapat hidup di lokasi tersebut. Akan tetapi
penggunaan air tersebut tidak berlaku untuk dikonsumsi karena belum diketahui kandungan kimia ataupun
bakteri apa saja yang terkandung dalam air tersebut.
Analisa Kepekaan Siswa/i terhadap Sumber Daya Air & Kepeduliaan terhadap Upaya Konservasi
1.1 Data Responden
Kegiatan yang melibatkan beberapa dosen dan mahasiswa ini telah terlaksana 59 orang siswa/i di tahun 2013.
Dalam kegiatan ini siswa/i diminta untuk mengisi kuesioner kepekaan siswa/i terhadap sumber daya air &
kepeduliaan siswa/i terhadap upaya konservasi sebanyak dua kali, dimana kuesioner tersebut diberikan sebelum
dan sesudah penyuluhan dilakukan. Adapun bentuk pertanyaan yang diajukan dalam kuesioner tersebut dibagi
menjadi dua tujuan:
a. Nomor pertanyaan 1,2,4,6 bertujuan untuk mengukur tingkat kepekaan terhadap sumber daya air.
b. Nomor 3,5,7 bertujuan untuk mengukur kepedulian siswa/i terhadap upaya konservasi air.
Adapun bentuk pertanyaan yang diajukan dalam kuesioner tersebut diperlihatkan pada Tabel 2.
Tabel 2. Bentuk Pertanyaan Kuesioner
No.
Pertanyaan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Jawaban Pilihan
Sumber daya yang tiada habisnya.
Sumber daya yang terbatas keberadaannya.
Sumber daya yang senantiasa mudah didapatkan
dimana saja dan kapan saja.
Sumber daya yang dapat dimanfaatkan sebesarbesarnya.
70% dari bumi dikelilingi air, dan sebanyak itulah
yang dapat dimanfaatkan manusia.
40% air bersih yang tersedia di dunia ini.
Hanya 1-2% air bersih dari semua air yang ada.
25% dari semua air di permukaan bumi ini.
Upaya untuk melakukan penghematan dari
pemakaian air.
Upaya untuk memaksimalkan penggunaan air.
Upaya untuk menjernihkan air.
Upaya untuk mengurangi pemakaian air.
Mutu air agar layak dimanfaatkan.
Jumlah air yang tersedia.
Banyaknya air yang tersedia.
Air yang jernih.
Keasaman (pH), kejernihan.
Kandungan oksigen.
Kandungan bakteri/ bahan padat lainnya.
Semuanya benar.
Tidak masalah, karena sampah-sampah tersebut
akan mengalir dibawa arus juga.
Akan menimbulkan masalah besar bagi kualitas
air dan keseimbangan ekosistem.
Akan menimbulkan masalah besar bagi penataan
kota yang memperlambat aliran air, sehingga
menyebabkan banjir.
Setuju dengan jawaban B dan C.
251
No.
1
2
3
4
5
6
7
A
29
25
41
47
13
1
2
D
12
1
2
6
45
49
6
Abstain*
1
2
1
0
1
0
0
252
70.00
60.00
50.85
50.00
40.00
23.73
30.00
20.34
11.86
15.25
20.00
5.08
5.08
10.00
Pre Test
Post Test
0.00
A
Pilihan Jawaban
Gambar 2. Diagram Evaluasi Data Kuesioner Pertanyaan Nomor Satu
Evaluasi kuesioner pada butir pertanyaan nomor satu yang ditampilkan dalam gambar 2 menyinggung tentang
pengetahuan para siswa/i tentang kontinuitas air. Sebelum penyuluhan mayoritas dari siswa yaitu sebanyak 29
orang siswa/i menjawab pilihan A, menunjukkan bahwa siswa/i memahami bahwa air merupakan sumber daya yang
tidak akan habis. Adanya siswa/i yang menjawab pilihan A menunjukan bahwa siswa/i tidak memahami tentang air.
Siswa/i memiliki konsep bahwa air tersedia dalam jumlah yang banyak dan tidak akan mungkin berkurang
jumlahnya. Hal tersebut juga menjelaskan bahwa rasa kepedulian siswa/i terhadap air masih kurang. Namun setelah
adanya penyuluhan ini, jumlah siswa/i berkurang menjadi 9 orang, ini menunjukkan bahwa sebagian besar dari para
siswa/i menyimak dengan baik apa yang disampaikan pada saat penyuluhan.
Sebelum penyuluhan sebanyak 14 siswa/i memilih jawaban B dimana siswa/i mempunyai pemahaman bahwa air
merupakan sumber daya yang terbatas keberadaannya dan setelah mengikuti penyuluhan jumlah siswa/i yang
mempunyai pemahaman tersebut meningkat hingga 40 orang. Hal tersebut menunjukan bahwa pada awalnya hanya
sekitar 15,96% siswa/i yang memiliki rasa kepedulian terhadap air. Adanya kegiatan penyuluhan ini membuat rasa
kepedulian dari 29,64% siswa/i meningkat, siswa/i mulai menyadari bahwa saat ini keberadaan air bersih telah
menurun.
70.00
60.00
50.00
49.15
42.37
40.00
30.00
Pre Test
22.03
20.00
10.17
10.00
Post Test
6.78
5.08
1.69
0.00
A
Pilihan Jawaban
253
Evaluasi kuesioner pada butir pertanyaan nomor dua yang ditampilkan dalam gambar 3 menyinggung tentang
pengetahuan para siswa/i tentang kuantitas sumber daya air bersih yang dapat dimanfaatkan manusia. Sebelum
penyuluhan mayoritas siswa/i, yaitu sebanyak 27 siswa/i memilih jawaban B dimana siswa/i mempunyai pemahaman
bahwa terdapat 40% air bersih di dunia yang dapat dimanfaatkan manusia. Namun setelah mengikuti penyuluhan
jumlahnya menurun menjadi 6 orang. Adanya beberapa siswa/i yang memilih jawaban tersebut menunjukan bahwa
siswa/i tidak mengetahui jumlah air bersih sebenarnya. Jawaban tersebut menunjukan bahwa siswa/i mulai
menyadari keberadaan air bersih yang sudah mulai berkurang saat ini.
Dan sebelum, penyuluhan sebanyak 4 siswa memilih jawaban C dimana siswa/i memiliki pemahaman bahwa hanya
1-2% air bersih dari semua air yang ada di bumi dapat dimanfaatkan oleh manusia dan setelah kegiatan penyuluhan
dilakukan jumlah siswa/i meningkat menjadi pilihan yang didominasi para siswa/i, yaitu sebanyak 37 orang. Hal
tersebut menunjukan bahwa sebelum kegiatan penyuluhan dilakukan, 4,56% siswa/i memiliki rasa kepedulian yang
baik terhadap air, dimana siswa/i telah mengetahui bahwa keberadaan air bersih saat ini sudah menurun secara
drastis. Pemahaman siswa/i kemungkinan didapatkan dari bacaan media cetak maupun elektronik tentang
sosialisasi kelestarian air. Kenaikan jumlah siswa/i yang memilih jawaban C membuktikan bahwa kegiatan
penyuluhan cukup berpengaruh terhadap pemahaman siswa/i meskipun hanya sebatas 38,76% dari seluruh peserta
penyuluhan.
91.53
79.66
80.00
60.00
Pre Test
40.00
Post Test
20.00
3.39
0.00
10.17
0.00
10.17
5.08
0.00
A
Pilihan Jawaban
Gambar 4. Diagram Evaluasi Data Kuesioner Pertanyaan Nomor Empat
Evaluasi kuesioner pada butir pertanyaan nomor empat yang ditampilkan dalam gambar 4 menyinggung tentang
pengetahuan para siswa/i tentang kualitas air. Sebelum penyuluhan sebanyak 47 siswa menjawab pilihan A,
menunjukkan bahwa para siswa/i menjawab kualitas air adalah mutu air agar layak dimanfaatkan. Angka ini
menunjukkan bahwa sebagian besar siswa/i sebenarnya sudah paham akan kualitas air. Dan setelah penyuluhan
meningkat menjadi 51 siswa/i yang mempunyai pemahaman tersebut. Peningkatan ini menujukan bahwa materi
tentang kualitas air dalam penyuluhan yang disampaikan oleh pembicara dapat dimengerti dengan baik oleh
sebagian siswa/i.
254
89.83
83.05
Pre Test
Post Test
1.69
1.69
8.47
5.08
6.78
3.39
Pilihan Jawaban
Gambar 5. Diagram Evaluasi Data Kuesioner Pertanyaan Nomor Enam
Evaluasi kuesioner pada butir pertanyaan nomor enam yang ditampilkan dalam gambar 5 menyinggung tentang
pendapat siswa/i tentang kepedulian siswa/i terhadap pencemaran air. Sebelum penyuluhan sebanyak 49 siswa/i
yang memilih jawaban D dimana siswa/i mempunyai pendapat bahwa tumpukan sampah di sumber-sumber air
membawa dampak yang besar bagi kualitas air, keseimbangan ekosistem dan penataan kota karena dapat
menyebabkan banjir. Setelah penyuluhan, jumlah peserta yang menjawab pilihan ini meningkat menjadi 53 siswa/i.
Peningkatan ini membuktikan bahwa para siswa/i sudah menangkap dengan baik apa yang dijelaskan pembicara
dalam penyuluhan.
2.3 Analisa Tingkat Kepedulian Siswa/i Terhadap Upaya Konservasi Air
84.75
71.19
Pre Test
6.78
5.08
A
18.64
10.17
Post Test
3.39
0.00
D
Pilihan Jawaban
Gambar 6. Diagram Evaluasi Data Kuesioner Pertanyaan Nomor Tiga
Evaluasi kuesioner pada butir pertanyaan nomor tiga yang ditampilkan dalam gambar 6 menyinggung tentang
pengetahuan para siswa/i tentang konservasi air. Sebelum penyuluhan mayoritas siswa/i yaitu sebanyak 41 siswa/i
menjawab pilihan A, menunjukkan bahwa konservasi air adalah upaya untuk melakukan penghematan dari
255
pemakaian air. Dan setelah penyuluhan jumlah orang yang memilih A meningkat menjadi 49. Ini membuktikan
bahwa setelah penyuluhan siswa/i semakin memahami tentang konservasi air.
77.97
76.27
Pre Test
23.73
22.03
Post Test
0.00
0.00
0.00
0.00
Pilihan Jawaban
Gambar 7. Diagram Evaluasi Data Kuesioner Pertanyaan Nomor Lima
Evaluasi kuesioner pada butir pertanyaan nomor lima yang ditampilkan dalam gambar 7 menyinggung tentang
pengetahuan para siswa/i tentang paramater yang harus diuji untuk mengetahui kualitas air. Sebelum penyuluhan
sebanyak 45 siswa/i memilih jawaban D dimana siswa/i mempunyai pemahaman tingkat kejernihan, kadar pH,
kandungan oksigen dan kandungan benda padat harus diuji untuk mengetahui kualitas air. Setelah penyuluhan,
jumlah peserta yang menjawab pilihan ini tetap sama. Hal tersebut menunjukan bahwa sebanyak 51,3% siswa/i
sudah mengerti parameter pengujian kualitas air.
89.83
84.75
Pre Test
10.17
3.39
A
1.69
0.00
10.17
0.00
Post Test
Pilihan Jawaban
Gambar 8. Diagram Evaluasi Data Kuesioner Pertanyaan Nomor Tujuh
Evaluasi kuesioner pada butir pertanyaan nomor tujuh yang ditampilkan dalam gambar 8 menyinggung tentang
keinginan siswa/i untuk melakukan konservasi air. Sebelum penyuluhan terdapat 50 siswa yang memilih jawaban B
dimana siswa/i berpendapat bahwa perlu menghemat air karena sumber daya air terbatas. Namun setelah mengikuti
penyuluhan jumlahnya meningkat menjadi 53 orang. Adanya siswa/i yang memilih jawaban tersebut sebelum
256
penyuluhan menunjukan bahwa sebanyak 57% siswa telah mengerti faktor utama yang menjadi alasan untuk
menghemat air. Dengan adanya penyuluhan ini, siswa/i mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang alasan
untuk menghemat air.
257
REFERENSI
Barzilay, J.I., J.W. Eley, and W.G.Weinberg. 1999. The Water We Drink. New Brunswick, NJ: Rutgers University
Press.
International, Team Earth Echo.,Intructions/Intrucciones. World Water Monitoring Challenge Publishing.
Aerofresh. Retrivied February 25, 2013, from Aerofresh Blogspot: http://aerofresh.blogspot.com/p/air-akartaadalahmakhluk-hidup.html
Badan Perencanaan Daerah. Retrieved February 25, 2013, from Badan Perencanaan Daerah Provinsi Jawa Barat:
http://bappeda.jabarprov.go.id/docs/ perencanaan/ 20070524_073718.pdf
Rudi. (2012, September 17). Lensa Indonesia. Retrieved Februari 28, 2013, from Lensa Indonesia:
http://www.lensaindonesia.com/2012/09/07/kemarau-panjang-warga-kota-semarang-krisis-air-bersih.html
Ebhirazaituni. Retrivied February 25, 2013. http://ebhirazaituni.wordpress.com/ 2012/03/ 01/ciri-ciri-kualitas-airbersih/
Putu. Retrivied February 25, 2013 , from Blog Mahasiswa UI:http://mhs.blog.ui.ac.id /putu01 /2012/01/09/indikatorair-bersih-dan-air-kotor/
258
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
ABSTRAK
Penyediaan infrastruktur merupakan tanggung jawab Pemerintah karena infrastruktur tidak hanya dipandang sebagai
public goods tetapi lebih kepada economic goods. Terbatasnya dana yang dimiliki oleh Pemerintah, membuat
Pemerintah berupaya untuk melibatkan sektor Swasta sebagai salah satu bentuk usaha dalam pelaksanaan
infrastruktur ketenagalistrikan. Setiap Proyek Kemitraan Pemerintah Swasta (KPS) memiliki karakteristik dan tingkat
risiko yang berbeda satu sama lainnya. Oleh karena itu penting bagi Penaggung Jawab Proyek Kerjasama (PJPK)
untuk melakukan manajemen risiko terhadap kemungkinan risiko yang terjadi dan langkah-langkah mitigasinya.
Sebagian besar dari investor yang akan berinvestasi khususnya bidang infrastruktur pasti akan menanyakan kepada
PJPK apakah proyek tersebut akan mendapat jaminan pemerintah atau tidak. Pemberian jaminan ini bagi Badan
Usaha Swasta akan lebih memberikan kenyamanan dan keyakinan dalam berinvestasi. Penelitian ini memaparkan
tentang analisis risiko dalam KPS pada proyek pemanfaatan potensi sumber daya air untuk pembangkit listrik tenaga
minihydro (PLTMH). Metode yang digunakan adalah melakukan penyebaran kuisioner. Objek studi meliputi para
pihak (Pemerintah, BUMN/perum, dan swasta) yang terlibat dalam proyek pembangkit listrik tenaga minihydro. Data
yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer berupa penyebaran kuisioner. Pada penelitian ini
teridentifikasi 8 risiko yang dinilai potensial dalam proyek KPS PLTMH. Risiko yang paling berpotensi terjadi adalah
risiko terkait data perencanaan dan kontinuitas sumber dana.
Kata Kunci: Infrastruktur, Kemitraan Pemerintah dan Swasta (KPS), PLTMH, Risiko.
LATAR BELAKANG
Dewasa ini ketergantungan pada ketersediaan energi listrik semakin tinggi. Mengingat sektor ketenagalistrikan
mempunyai peranan yang sangat strategis dan menentukan dalam upaya mensejahterakan masyarakat dan
mendorong berjalannya roda perekonomian nasional, seharusnya energi listrik tersedia dalam jumlah yang cukup
dan dengan mutu dan tingkat keandalan yang baik. Namun demikian, seiring dengan pertambahan jumlah
penduduk, pertumbuhan perekonomian, perkembangan dunia industri, kemajuan teknologi, dan meningkatnya
standar kenyamanan hidup di masyarakat, permintaan akan energi listrik semakin hari semakin meningkat. Di sisi
lain, pembangunan beberapa pembangkit yang semula sudah direncanakan, baik yang dikembangkan oleh swasta
maupun oleh PLN, menjadi terkendala pasca terjadinya krisis ekonomi yang melanda Indonesia beberapa tahun
yang lalu. Hal ini telah menyebabkan penambahan pasokan tenaga listrik tidak mampu mengimbangi pertumbuhan
permintaan akan tenaga listrik yang ada, sehingga di beberapa daerah terjadi kondisi kekurangan pasokan listrik.
Sebelum terjadinya krisis ekonomi global yang melanda seluruh dunia pada akhir Tahun 2008, pemerintah telah
memberikan subsidi yang cukup besar kepada PLN guna memenuhi kebutuhan listrik masyarakat ekonomi
menengah bawah. Disamping itu Pemerintah juga harus menanggung subsidi BBM yang semakin membengkak
karena pemakaian BBM bersubsidi yang terus meningkat. Sementara, pemakaian BBM secara berlebihan tidak
mendukung konsep keseimbangan karbon ataupun CDM yang dicanangkan secara internasional dalam Kyoto
Protocol untuk mengatasi pemanasan global. Dalam usaha mengurangi tekanan beban subsidi pada APBN dan
259
mendukung komitmen terhadap Kyoto Protocol, maka untuk penambahan pasokan tenaga listrik, Pemerintah
memprioritaskan pembangunan pembangkit berbasis energi primer baru dan terbarukan.
Pemerintah saat ini memiliki komitmen yang sangat kuat dalam rangka mengembangkan potensi energi baru
terbarukan. Komitmen pemerintah dalam pengembangan energi baru terbarukan juga ditunjukkan dengan
dikeluarkannya Peraturan Menteri ESDM Nomor 31 Tahun 2009 yang memberikan semangat baru bagi para
pengembang pembangkit tenaga listrik, khususnya para pengembang pembangkit listrik tenaga air. Peraturan
tersebut memberikan kepastian kepada para pengembang, terutama mengenai kepastian pembelian listrik oleh PLN
termasuk harga jual listriknya. Dalam Peraturan Menteri tersebut disebutkan bahwa PLN wajib membeli tenaga listrik
dari pembangkit tenaga listrik yang menggunakan energi terbarukan skala kecil dan menengah dengan kapasitas
sampai dengan 10 MW atau kelebihan tenaga listrik (excess power) dari badan usaha milik negara, badan usaha
milik daerah, badan usaha swasta, koperasi, dan swadaya masyarakat guna memperkuat sistem penyediaan tenaga
listrik setempat.
Untuk lebih memfokuskan rencana pengembangan infrastruktur ketenagalistrikan (pembangkitan, transmisi dan
distribusi tenaga listrik) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah menyusun Master Plan untuk
periode 5 (lima) Tahun (2010 s.d. 2014). Master Plan ini merupakan perencanaan ketenagalistrikan jangka pendek
sebagai bagian dari kombinasi dua perencanaan nasional tentang ketenagalistrikan, yaitu Rencana Umum
Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) dan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL). Dalam Master Plan ini
dikemukakan tentang Kebijakan Sektor Ketenagalistrikan Nasional, Tinjauan Kondisi Tenaga Listrik Nasional, dan
Rencana Pembangunan Ketenagalistrikan di 34 Propinsi di Indonesia.
Berdasarkan sumber Kementerian ESDM Master Plan Pembangunan Ketenagalistrikan sampai dengan akhir
Tahun 2008, total kapasitas terpasang tenaga listrik nasional adalah sebesar 30.527 MW yang terdiri atas
pembangkit milik PT. PLN (Persero) sebesar 25.451 MW (83 %), IPP sebesar 4.159 MW (14 %), dan PPU sebesar
916 MW (3 %). Sementara rasio elektrifikasi, didefinisikan sebagai jumlah rumah tangga yang sudah berlistrik dibagi
dengan jumlah rumah tangga yang ada, secara nasional meningkat dari tahun ke tahun, dan hingga Tahun 2008
mencapai 65,10%. Kapasitas terpasang tenaga listrik di pulau-pulau utama Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1 dan
rasio elektrifikasi di pulau-pulau utama di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 1. Kapasitas Terpasang Pembangkit Tenaga Listrik di Pulau-pulau Utama Indonesia
(Sumber: Kementerian ESDM 2010 - 2014)
No
1
2
3
4
5
6
7
Pulau
Kapasitas Terpasang (MW)
Sumatera
4.941
Jawa-Madura bali
22.599
Kalimantan
1.178
Sulawesi
1.195
Nusa Tenggara
265
Maluku
182
Papua
168
Indonesia
30.527
PT. PLN (Persero) telah membuat studi potensi tenaga air di Indonesia yang meliputi 1.275 lokasi dengan total
potensi sebesar 75.000 MW, namun demikian hingga saat ini potensi yang telah dimanfaatkan baru sekitar 21.000
MW. Potensi pembangkit listrik tenaga air dengan memanfaatkan kelebihan aliran sungai melalui bangunan
prasarana sumber daya air di sungai yang masih cukup besar (bendung atau bendungan) atau memanfaatkan
potensi energi aliran pada saluran suplai sebelum airnya digunakan untuk berbagai keperluan di hilir saluran (saluran
irigasi). Melihat besarnya potensi tersebut, maka peluang untuk pengembangan tenaga air untuk pembangkit tenaga
listrik di Indonesia masih cukup besar.
Penyediaan infrastruktur merupakan tanggung jawab Pemerintah bagi warga negaranya karena infrastruktur tidak
hanya dipandang sebagai public goods tetapi lebih kepada economic goods, oleh karena itu Pemerintah memiliki
kepentingan untuk membangun infrastruktur yang merupakan hal penting bagi masyarakat. Terbatasnya dana yang
260
dimiliki oleh Pemerintah, membuat pemerintah tidak mampu membiayai pembangunan seluruh infrastruktur yang
dibutuhkan masyarakat pada sektor ketenagalistrikan (pembangkit, transmisi, dan distribusi listrik), dan kemampuan
investasi infrastruktur ketenagalistrikan PLN terbatas sekitar 20% (RKUN: National Electricity General Plan Fast
Track Program 10.000 Mw Phase I). Dengan demikian Pemerintah merasa penting untuk berupaya untuk melibatkan
sektor Swasta dalam pelaksanaan pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan (pembangkit, transmisi, dan
distribusi listrik).
Tabel 2. Rasio Elektrifikasi di Pulau-pulau Utama Indonesia
(Sumber: Kementerian ESDM 2010 - 2014)
No
1
2
3
4
5
6
7
Pulau
Persen (%)
Sumatera
60,6
Jawa-Madura bali
72,0
Kalimantan
57,6
Sulawesi
55,3
Nusa Tenggara
28,6
Maluku
52,4
Papua
32,3
Indonesia
65,1
Salah satu bentuk usaha Pemerintah berupaya untuk melibatkan sektor Swasta dalam pelaksanaan infrastruktur
ketenagalistrikan yaitu dengan mengembangkan Kemitraan Pemerintah Swasta (KPS). Dengan demikian diperlukan
penelitian mengenai seberapa besar risiko KPS pada proyek pemanfaatan sumber daya air untuk pembangkit listrik.
Setiap Proyek KPS memiliki karakteristik dan tingkat risiko yang berbeda satu sama lainnya. Oleh karena itu penting
bagi penanggung jawab proyek kerjasama (PJPK) untuk melakukan manajemen risiko terhadap kemungkinan risiko
yang terjadi dan langkah-langkah mitigasinya. Sebagian besar dari investor yang akan berinvestasi khususnya
bidang infrastruktur pasti akan menanyakan kepada PJPK apakah proyek tersebut akan mendapat jaminan
pemerintah atau tidak. Pemberian jaminan ini bagi Badan Usaha Swasta akan lebih memberikan kenyamanan dan
keyakinan dalam berinvestasi. Manajemen risiko yang baik akan mampu memperbaiki keberhasilan proyek secara
signifikan (Santosa, 2009).
Santosa (2009) menjelaskan bahwa manajemen risiko adalah proses mengidentifikasi, mengukur dan memastikan
risiko serta mengembangkan strategi untuk mengelola risiko tersebut. Alokasi risiko merupakan pembagian risiko
proyek kerjasama dengan prinsip dasar bahwa risiko dibagi dan dibebankan kepada pihak yang paling mampu
mengendalikan risiko tersebut. Alokasi risiko meliputi pembagian risiko proyek antara pihak Pemerinatah dan Badan
Usaha Swasta berdasarkan prinsip alokasi risiko.
Tulisan ini untuk mengkaji risiko KPS pada proyek pemanfaatan potensi sumber daya air untuk pembangkit listrik
tenaga minihydro (PLTMH).
METODOLOGI STUDI
Ketertarikan berinvestasi dalam suatu proyek dapat diukur berdasarkan variabel-variabel risiko yang dapat dikelola
dan ditransfer ke pihak lain. Variabel-variabel tersebut dibuat dalam bentuk kuisioner yang disebar kepada instransiinstransi yang mewakili populasi Pemerintah, BUMN/BUMD/Perum, dan Swasta. Sampel populasi yang mewakili
Pemerintah yaitu: Kementerian pusat Pekerjaan Umum, Badan Litbang Pekerjaan Umum, Balai Besar Wilayah
261
Sungai (BBWS), Balai Sungai Kementerian Pekerjaan Umum, Akademisi, dan Pemerintah daerah. Sampel populasi
pemerintah tersebut mewakili bendung gerak yang ada di Indonesia sebanyak 21 bendung gerak. Propinsi Jawa
Timur terdapat Bendung Gerak: Gunung Sari, Lengkong, Lodoyo, Mrican, Sampean Baru dan Talang. Propinsi Jawa
Tengah terdapat Bendung Gerak: Serayu. Propinsi Jawa Barat terdapat Bendung Gerak: Curug, Manganti, Walahar
dan Rentang. Propinsi Banten terdapat Bendung Gerak: Pasar Baru dan Pamarayan. Propinsi Lampung terdapat
Bendung Gerak Aji Baru. Propinsi Sumatera Selatan terdapat Bendung Gerak Perjaya dan Danau Ranau. Propinsi
Sumatera Barat terdapat Bendung Gerak Batang Hari. Propinsi Sumatera Utara terdapat Bendung Gerak: Cinta
Maju, Perkotaan, Purwodadi, dan Simodong.
Sampel populasi yang mewakili BUMN/BUMD/Perum yaitu: PT Adhi Karya Tbk, PT Brantas Abipraya,
PT
Hutama Karya, PT Waskita Karya, PT Wijaya Karya, PT Bina Karya, PT Indah Karya, PT Indra Karya, PT Virama
Karya, Perum Jasa Tirta I, Perum Jasa Tirta II, PT. PLN (Persero) Penelitian & Pengembangan Ketenagalistrikan,
PT. PLN (Persero) Jasa Pendidikan & Pelatihan, PT. PLN (Persero) Jasa Enjiniring, PT. PLN (Persero) Jasa &
Produksi, PT. PLN (Persero) Jasa Manajemen Konstruksi, PT. PLN (Persero) Distribusi Jabar & Banten, dan PT.
PLN (Persero) Distribusi Jakarta Raya. Sampel populasi yang mewakili Swasta yatu: PT Panca Guna Duta, PT
Mitraplan, PT Allotrope Partners (Representative Indonesia Solar Development), PT. Bias Petrasia Persada, Nippon
Koei, Co.Ltd, PT. Firpec Graha Sarana, PT Cihanjuang Inti Teknik, PT Pro Rekayasa, PT Heksa Prakarsa Teknik
PT. Hydro Daya Kinerja, PT Kwarsa Energi, PT Somit Trakonat, PT Sarana Buana Jaya, PT Barata Indonesia, PT.
Inecco Wish. Ltd dan PT Wahana Pengembang Usaha.
Langkah-langkah yang dilakukan dalam melakukan manajemen risiko adalah:
a. Melakukan identifikasi variabel-variabel risiko, berdasarkan variabel-variabel risiko hasil penelitian terdahulu
disesuaikan dengan proyek KPS untuk pembangkit tenaga listrik.
b. Melakukan uji validasi terhadap variabel-variabel risiko hasil penelitian terdahulu dengan metode Delphi, agar di
dapat kesesuaian variabel risiko sesuai kondisi yang terjadi di Indonesia.
c. Hasil uji validitas variabel-variabel risiko tersebut di buat dalam suatu kuisioner. Kuisioner tersebut disebarkan
kepada instansi pemerintah, BUMN, swasta, akademisi, asosiasi di bidang kelistrikan, dan konsultan.
d. Melakukan uji validasi dan reabilitas, pengujian terhadap instrumen yang digunakan dalam studi ini yaitu
kuesioner.
e. Melakukan analisis risiko dengan mempertimbangkan semua risiko yang telah diidentifikasi dan diklarifikasi,
untuk dapat ditentukan variabel-variabel risiko apa saja yang dapat mempengaruhi kesuksesan proyek KPS.
262
a. Berdasarkan lokasi bendung gerak yang ada di Indonesia sebanyak 21 lokasi yang tersebar di 7 Provinsi.
Pengiriman kuisioner pihak pemerintah sebanyak 25 responden yang dikirim untuk mewakili Kementerian pusat
Pekerjaan Umum, Badan Litbang Pekerjaan Umum, Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS), Balai Sungai
Kementerian Pekerjaan Umum, Akademisi, dan Pemerintah daerah.
b. Pengiriman kuisioner pihak BUMN/Perusahaan Umum (Perum) sebanyak 30 responden yang dikirim untuk
mewakili PT Adhi Karya Tbk, PT Brantas Abipraya, PT Hutama Karya, PT Waskita Karya, PT Wijaya Karya, PT
Bina Karya, PT Indah Karya, PT. Pembangunan Perumahan, PT Indra Karya, PT Virama Karya, Perum Jasa
Tirta I, Perum Jasa Tirta II, dan PT. PLN (Persero) sebanyak 7 divisi.
c. Pengiriman kuisioner pihak swasta sebanyak 20 responden yang dikirim.
Pengumpulan Kuisioner
Besaran atau ukuran sampel sangat tergantung dari besaran tingkat ketelitian atau kesalahan yang diinginkan
peneliti. Sampel yang direspon dengan baik dan kembali dari responden sebanyak 36 sampel. Sampel tersebut
terdiri dari:
a. 25 sampel kuisioner yang dikirim ke pihak pemerintah, yang dikembalikan sebanyak 10 reponden, hal ini karena
sebagian besar responden yang tidak kembali, berasal dari Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS), koresponden
yang dituju sedang supervisi dan monitoring perkerjaan di lapangan.
b. 30 sampel kuisioner yang dikirim ke pihak BUMN/Perum, Jumlah kuisioner yang dikembalikan sebanyak 15
responden terdiri dari: PT. PLN sebanyak 6 sampel, PT. Brantas Abipraya sebanyak 6 sampel, PT Waskita Karya
sebanyak 1 sampel, PT Indra Karya sebanyak 1 sampel, dan Perum Jasa Tirta II sebanyak 1 sampel. Diantara
sekian banyak BUMN, yang paling serius bergerak di bidang pembangkit listrik tenaga air minihidro adalah PT
Brantas Abipraya, dengan membentuk anak perusahaan yang bergerak di bidang ketenagalistrikan yaitu PT.
Perjaya Brafo Energi. Sampel yang kembali dari PT Brantas Abipraya berasal dari kantor pusat sebanyak 2
sampel dan 4 sampel berasal dari kantor cabang yang berada di Surabaya dan Yograkarta.
c. 20 sampel kuisioner yang dikirim ke pihak swasta, yang dikembalikan sebanyak 11 reponden, hal ini karena
sebagian responden tidak bersedia mengisi kuisioner.
Sampel yang direspon dengan baik dan kembali dari responden sebanyak 36 sampel dari total sampel yang
direncanakan sebanyak 40 sampel. Dengan menggunakan formula Slovin didapat tingkat kesalahan 5%, tingkat
kepercayaan sebesar 95%.
Karakteriktik Data Responden
1. Tingkat pendidikan
Tingkat pendidikan responden berpendidikan S2 sebesar 52,78%, diikuti responden berpendidikan S1 sebesar
44,44% dan responden berpendidikan S3 sebesar 2,78%. Gambar sebaran pendidikan responden disajikan pada
Gambar 1.
S3
2.78%
S2
52.78%
S1
44.44%
263
0 - 5 Tahun
11.11%
>10 Tahun
50.00%
5 - 10
Tahun
38.89%
>10
Tahun
29.73%
5 - 10
Tahun
40.54%
264
>10
Tahun
36.11%
0-5
Tahun
2.78%
5 - 10
Tahun
61.11%
Menurut pendapat responden mengenai masalah utama yang mendasari proyek KPS adalah masalah
pendanaan sebesar 36,51%, masalah regulasi sebesar 28,57%, masalah pola kerjasama 19,05% dan masalah
alokasi risiko sebesar 15,87%. Gambar sebaran pendapat responden mengenai masalah utama yang mendasari
proyek KPS disajikan pada Gambar. 5. Pengalaman responden melakukan proyek/kajian/studi mengenai proyek
KPS yaitu pengalaman di atas 5 tahun sebesar 47,23%, pengalaman 0 5 tahun sebesar 33,33%, dan
pengalaman 0 tahun sebesar 19,44%. Gambar sebaran pendapat seberapa sering responden melalukan
proyek/kajian/studi mengenai KPS disajikan pada Gambar. 6.
Pendana
an
36.51%
Regulasi
28.57%
Alokasi
Risiko
15.87%
Pola
kerjasam
a
19.05%
Gsmbar 5. Pendapat Responden Mengenai Masalah Utama Yang Mendasari Proyek KPS
>5
Tahun
47.23%
0 Tahun
19.44%
0-5
Tahun
33.33%
Pengalaman responden melakukan proyek/kajian/studi mengenai infrastruktur yaitu pengalaman di atas 5 tahun
sebesar 60 %, pengalaman 0 - 5 tahun sebesar 31,43% dan pengalaman 0 tahun sebesar 8,57%. Gambar
265
sebaran pendapat responden mengenai pengalaman responden melakukan proyek /kajian /studi mengenai
infrastruktur disajikan pada Gambar. 7.
> 5 Tahun
60.00%
0 Tahun
8.57% 0 - 5
Tahun
31.43%
Karakteristik data hasil 36 responden menggambarkan variabel risiko pada saat pra konstruksi terdistribusi
secara merata di kalangan responden dengan kisaran antara 4,36% - 6,12%. Gambaran karakteristik variabel
risiko pada saat pra konstruksi disajikan pada Gambar 8.
Karakteristik data hasil 36 responden menggambarkan variabel risiko pada saat pelaksanaan konstruksi
terdistribusi secara merata di kalangan responden dengan kisaran antara 2,95% - 4,59%. Gambaran karakteristik
variabel risiko pada saat pelaksanaan konstruksi disajikan pada Gambar 9.
Karakteristik data hasil 36 responden menggambarkan variabel risiko pada saat pasca konstruksi terdistribusi
secara merata di kalangan responden dengan kisaran antara 5,97% - 8,22%. Gambaran karakteristik variabel
risiko pada saat pra konstruksi disajikan pada Gambar 10.
Perubahan Aturan
Teknis Proyek
4.71%
Misinterpretasi
Standar
4.58%
Perencanaan
5.68%
Dokumen
Perijinan Kontrak
4.80%
4.36%
Krisis Moneter
5.85%
Pemilihan Bentuk
Keterlambatan
Kerjasama
Persetujuan
4.58%
Perencanaan
4.97%
Proses
Tender
Dukungan
4.53%
pemerintah
4.93%
Lingkungan
5.19%
Data perencanaan
6.07%
Ketidakmampuan
Badan Usaha
4.67%
Sosialisasi
6.12%
Kajian Terhadap
semua peraturanperaturan KPS
4.53%
Perencanaan Desain
4.62%
Pengambilan Asumsi
Perhitungan, 4.58%
Perubahan
aturan Pajak
4.58%
Restrukturisasi
Keuangan
4.71%
Perubahan Undangundang/Regulasi/Kebij
akan
5.94%
266
Wanprestasi Badan
Usaha
3.81%
Kebangkrutan
Badan Usaha
3.63%
Kinerja Teknologi Baru
Akses Ke Lokasi Kinerja Alat
3.67%
3.63%
Proyek, 3.87%
Kesulitan Menggunakan Keterlambatan Waktu
pelaksanaan
teknologi Baru
3.94%
3.53%
Perubahan
Metodologi
Pekerjaan
4.53%
Kondisi
Cuaca
3.70%
Pasokan Material
3.60%
Kondisi lapangan
4.56%
Pencabutan konsesi
5.97%
Kegagalan
Perencanaan
Menyebabkan
O&P Naik
6.61% Tidak sesuai
Spesifikasi
7.94%
Cacat Konstruksi
8.08%
Pasokan Debit
8.08%
Sistem O&P
6.75%
Wanprestasi
Operator
6.68%
Rendahnya Harga
Biaya
Tarif penjualan
Operasional
7.94%
6.75%
Kebijakan
Pemerintah Tidak
Menaikkan Tarif
8.08%
Wanprestasi
permintaan
6.32%
Wanprestasi
Pembelian Kwh oleh
PLN
6.61%
267
Menguji Validitas dengan perhitungan statistik menggunakan program SPSS. Data hasil responden dianalisis ke
dalam program SPSS untuk mengetahui validitas dan reliabilitas kuisioner. Metode Reliabilitas yang dipakai
adalah Tes Belah Dua. Tes ini dilakukan dengan cara membagi skor-skor secara random dalam bentuk genap
dan ganjil dari semua jawaban responden. Kemudian kelompok genap dan ganjil dihitung, hasilnya dikorelasikan
dengan menggunakan korelasi Spearman Brown. Jika hasil korelasinya 0,8, maka instrument tersebut
dinyatakan reliable. Hasil tiap tahapan pelaksanaan kontruksi, diantaranya:
a.
268
No
Q1
Q2
Q3
Q4
Q5
Q6
Q7
Q8
Q9
Q10
Q11
Variabel Risiko
Perijinan
Dokumen Kontrak
Pemilihan Bentuk Kerjasama
Proses Tender
Keterlambatan Persetujuan Perencanaan
Dukungan pemerintah
Restrukturisasi Keuangan
Perubahan Undangundang/Regulasi/Kebijakan
Perubahan aturan Pajak
Kajian Terhadap semua peraturan-peraturan
KPS
Sosialisasi
Pihak
Pemerintah BUMN
P (Sig)
Pihak
Pemerintah Swasta
P (Sig)
0.578
0.203
0.535
0.661
0.712
0.516
0.647
0.310
0.122
0.970
0.737
0.410
0.700
0.688
0.105
0.914
0.567
0.378
0.524
0.826
0.978
0.905
0.265
0.297
0.389
0.684
0.568
0.773
0.849
0.913
0.098
0.466
0.600
269
No
Q12
Q13
Q14
Q15
Q16
Q17
Q18
Q19
Q20
Q21
Q22
Q23
Q24
Q25
Q26
Q27
Q28
Q29
Q30
Q31
Q32
Q33
Q34
Q35
Q36
Q37
Q38
Q39
Q40
Q41
Q42
Q43
Q44
Q45
Q46
Q47
270
Variabel Risiko
Data perencanaan
Pengambilan Asumsi Perhitungan
Perencanaan Desain
Ketidakmampuan Badan Usaha
Lingkungan
Standar Perencanaan
Misinterpretasi
Perubahan Aturan Teknis Proyek
Krisis Moneter
Kontinuitas Sumber Dana
Nilai Tukar Mata Uang
Inflasi dan Suku Bunga
Krisis Ekonomi Global
Ketidakpastian Moneter di Dalam Negeri
Pembiayaan Kembali (Refinancing)
Eskalasi Biaya
Perubahan Metodologi Pekerjaan
Kondisi lapangan
Kondisi Cuaca
Pasokan Material
Kinerja Alat
Akses Ke Lokasi Proyek
Keterlambatan Waktu pelaksanaan
Kinerja Teknologi Baru
Kesulitan Menggunakan teknologi Baru
Kebangkrutan Badan Usaha
Wanprestasi Badan Usaha
Pelanggaran Kontrak
Kemampuan Badan Usaha menyelesaian
Proyek
Kegagalan Kontraktor
Ketidakmampuan Badan Usaha Dalam
Memilih Kontraktor
Bencana Alam Saat Pelaksanaan
Revolusi Saat pelaksanaan
Buruh Mogok Massal
Jaminan Keamanan
Sistem O&P
Pihak
Pemerintah BUMN
P (Sig)
Pihak
Pemerintah Swasta
P (Sig)
0.190
0.953
0.954
0.617
0.881
0.341
0.681
0.439
0.711
0.390
0.835
0.349
0.234
0.136
0.371
0.138
0.138
0.480
0.575
0.448
0.492
0.054
0.788
0.252
0.171
0.217
0.344
0.771
0.939
0.532
0.793
0.382
1.000
0.345
0.267
0.694
0.358
0.969
0.911
0.341
0.559
0.600
0.911
0.409
0.691
0.690
0.206
0.882
0.968
0.643
0.471
0.225
0.432
0.599
0.940
0.940
0.306
0.297
0.892
0.762
0.912
0.977
0.380
0.443
0.454
0.342
0.719
0.908
0.437
0.175
0.254
0.030
0.528
0.748
0.056
0.568
0.367
0.038
0.762
0.019
0.355
0.370
0.340
0.482
0.708
0.581
0.849
0.954
0.851
0.868
0.602
0.605
1.000
0.954
0.305
0.532
0.955
0.766
0.276
0.529
0.217
0.651
0.609
0.229
0.114
0.117
0.978
0.908
No
Q48
Q49
Q50
Q51
Q52
Q53
Q54
Q55
Q56
Q57
Q58
Q59
Q60
Variabel Risiko
Biaya Operasional
Rendahnya Harga Tarif penjualan
Kebijakan Pemerintah Tidak Menaikkan Tarif
Wanprestasi Pembelian Kwh oleh PLN
Wanprestasi permintaan
Wanprestasi Operator
Pasokan Debit
Cacat Konstruksi
Tidak sesuai Spesifikasi
Kegagalan Perencanaan Menyebabkan O&P
Naik
Pencabutan konsesi
Bencana Alam Pasca Konstuksi
Force Majeur Politik Pasca Konstruksi
Pihak
Pemerintah BUMN
P (Sig)
Pihak
Pemerintah Swasta
P (Sig)
0.773
0.150
0.149
0.708
0.709
0.929
0.493
0.416
0.977
0.941
0.426
0.883
0.686
0.630
0.817
0.454
0.122
0.464
0.717
0.366
0.039
0.913
1.000
0.825
0.641
0.784
0.583
0.953
0.940
0.955
0.110
0.604
0.288
0.460
0.665
0.852
0.334
0.339
0.175
271
Sosialisasi, yaitu komunikasi antar badan usaha, pemerintah, dan masyarakat yang berada dalam
lingkungan proyek kerjasama KPS (Tahap Pra Konstruksi).
2.
3.
Kontinuitas sumber dana yaitu risiko muncul akibat ketidakpastian dalam hal kontinuitas sumber dana
pembiayaan sehingga dapat menimbulkan risiko keterlambatan dan biaya overhead (Tahap Pelaksanaan
Konstruksi).
4.
Kondisi lapangan proyek yaitu kondisi lapangan yang tidak terduga sebelumnya sehingga membutuhkan
biaya yang lebih besar (Tahap Pelaksanaan Konstruksi).
5.
6.
7.
8.
Pembekakan biaya terkait perubahan metodologi dan cakupan proyek KPS (Tahap Pelaksanaan
Konstruksi).
Risiko yang paling berpotensi terjadi pada pelaksanaan proyek PLTMH adalah risiko akurasi data perencanaan
dan risiko kontinuitas sumber dana.
b. Risiko-risiko yang berkaitan dengan risiko politik, risiko kinerja proyek dan risiko permintaan, dialokasikan
kepada pihak pemerintah sebagai pihak yang paling mampu untuk mengendalikan risiko tersebut.
Sedangkan risiko-risiko yang lainnya sepenuhnya dialokasikan kepada pihak swasta.
Rekomendasi
Pembangunan proyek pembangkit listrik tenaga minihydro (PLTMH) dalam bentuk proyek KPS sebagai salah satu
solusi krisis energi listrik nasional, hendaknya mendapat perhatian yang besar dari pemerintah agar menarik bagi
pihak swasta/investor untuk berinvestasi.
272
REFERENSI
Du, X., and Li, N.A., 2008. Monte Carlo Simulation and a Value- at-Risk of Concessionary project. Journal of
Management Research News. Vol. 31 Nomor 12, 2008 pp. 912-921.
Fischer, K., Leidel, K., Rieman, A., and Alfen, H.W., 2010. An Integrated Risk Management System (IRMS) for PPP
Projects. Journal of Financial Management of Property and Construction. Vol 15 Nomor 3, 2010 pp. 260-282.
Ismail, S., 2013. Critical Success Factors of Public Private Partnership (PPP) Implementation in Malaysia. AsiaPasific Journal of Business Adminitration. Vol. 5 Nomor 1, 2013 pp. 6-19.
Jacobson. C, 2008. "Success factors: public works and publicprivate partnerships", International Journal of Public
Sector Management, Vol. 21 Iss: 6, pp.637 657.
Ke, Y., and Wang, S., Nad Albert P.C Chan and Cheung, E., 2011. Understanding The Risk in Chinas PPP Project:
Ranking Of Their Probability and Consequence. Journal of Engineering Construction and Architectural
Management, Vol 18 Nomor. 5, 2011 pp. 481-496.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, 2009, Master Plan Pembangunan Ketenagalistrikan 2010 s.d.
2014, Jakarta, Desember 2009.
Li, B, Akintoye, A and Hardcastle, C, 2001. Risk analysis and allocation in public private partnership projects. In:
Akintoye, A (Ed.), 17th Annual ARCOM Conference, 5-7 September 2001, University of Salford. Association
of Researchers in Construction Management, Vol. 1, 895-904.
Santosa, Budi. (2009), Manajemen Proyek Konsep dan Implementasi, Graha Ilmu
Sugiono,2014, Buku Statistika Untuk Penelitian, Alfabeta, Bandung.
Trafford, S., Proctor, T., 2006. "Successful joint venture partnerships: publicprivate partnerships", International
Journal of Public Sector Management, Vol. 19 Iss: 2, pp.117 129.
Voelker, C., Permana, A., Sach, T., and Tiong, R., (2008). Political Risk Perception in Indonesia Power Project.
Journal of Financial Management of property and Construction 06/2008; 13(1); 18-34.
Wibowo, A., 2005b. Manajemen Risiko Dalam Industri Jalan Tol Yang Didanai Oleh Sektor Swasta. Prosiding 25
Tahun Pendidikan MRK di Indonesia, 18-19 Agustus 2005, Departemen Teknik Sipil, Institut Teknologi
Bandung.
Wibowo, A., 2012. Inovasi Model Risiko-Imbal Hasil Untuk Kemitraan Pemerintah-Swasta (KPS) Bidang
Infrastruktur. Orasi pengukuhan Profesor Riset Bidang Struktur dan Konstruksi, Jakarta, 19 Desember 2012,
Kementerian Pekerjaan Umum.
273
LAMPIRAN
Penulis
Carol
Jacobson
(2008)
Sektor
Umum
Sue Trafford
and Tony
Proctor
(2006)
Suhaiza
Ismail
(2013)
Umum
Conrad
Voelker,
Andre
Permana,
Timan Sach
and Robert
Tiong
(2008)
Bing Li,
Akintola
Akintoye
and Cliff
Hardcastle
(2001)
Yongjian Ke
and
ShouQing
Wang, Nad
Albert P.C
Chan and
288
Umum
Umum
Umum
Umum
Keterangan
Penulis melakukan Analisis yang digunakan secar
kualitatif dengan wawancara dan observasi.
Keterbatasan dari penelitian ini terbatas pada dua
studi kasus.
Penulis melakukan Analisis yang digunakan dengan
pendekatan Grounded Theory yang diadopsi
melibatkan wawancara dan diskusi kelompok dengan
para eksekutif dari organisasi yang terlibat.
Penulis melakukan Analisis yang digunakan dengan
melakukan survey kuesioner untuk memperoleh
persepsi sektor pemerintah dan swasta pada faktor
kunci keberhasilan proyek PPP di Malaysia.
Penulis melakukan pendekatan dengan kajian
literature yang komprehensif untuk mengidentifikasi
daftar awal risiko politik tertentu yang terkait dengan
proyek pembangkit listrik PPP di Indonesia dan
langkah-langkah mitigasi yang tersedia untuk risiko
ini.
Penulis mengevaluasi dan mengelola faktor risiko penting dalam PPP. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa struktur risiko terbagi atas tiga lapis yaitu: risiko mikro, risiko meso, dan risiko
makro. Risiko mikro mengeksploitasi faktor-faktor ketidakpastian dalam organisasi PPP, risiko
tingkat makro mengacu pada variabel ekologi, sedangkan faktor risiko meso jatuh antara tingkat
mikro maupun makro, dan sangat relevan untuk seluruh proyek.
Penulis melakukan evaluasi yang lebih up to date dari potensi risiko dalam proyek PPP China.
Probabilitas terjadinya dan tingkat dampak yang ditimbulkan untuk risiko yang dipilih berasal dari
survey dan digunakan untuk menghitung relatif nilai indeks signifikansi risiko. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa sepuluh risiko teridentifikasi sesuai sesuai dengan signifikansi risiko nilai
indeks yaitu: intervensi pemerintah, pengambilan keputusan politik yang buruk, risiko keuangan,
keandalan pemerintah, perubahan permintaan pasar, korupsi, evaluasi subyektif, perubahan suku
Penulis mengusulkan suatu pendekatan yang komprehensif untuk penilaian dari hak konsesi
infrastruktur dan proyek-proyek manajemen risiko kualitatif di Republik Rakyat China. Hasil
penelitian menunjukkan Simulasi Monte Carlo dilakukan untuk mengevaluasi kelayakan
investasi konsesi (yaitu evaluasi dinamis nilai dan risiko investasi konsesi dari pespektif investor)
dengan penentuan berikutnya dari tingkat rasional kembali, yang merupakan inti dari kontrak
konsesi. Pekerjaan di masa depan mencakup prinsip pembiayaan sekuritas asset dan
penerapannya dalam pembiayaan proyek, desain dan evaluasi infrastruktur produk
sekuritasaset (misalnya obligasi pendapatan tetap) sebagi instrument pembiayaan untuk
infrastruktur besar.
Penulis menyajikan IRMS di PPP. Sistem manajemen risiko yang terintegrasi (IRMS)
memungkinkan dapat memenuhi persyaratan proyek PPP seperti mengurangi kompleksitas,
membangun kesadaran risiko, meliputi perspektif yang berbeda dari pihak yang terlibat,
membangun pemahaman bersama tentang sifat risiko dan peluang memberikan petunjuk langkah
demi langkah kontingensi dan meningkatkan informasi yang tersedia
Penulis
beranggapan
bahwa
infrastruktur yang didanai oleh sektor
swasta diselenggarakan dengan
konsep project finance, dimana
kreditor
hanya
mengandalkan
cashflow proyek dan asset-asetnya
untuk pembayaran utang. Dengan
demikian DER proyek akan
senantiasa berubah setiap saat
tergantung kepada kinerja keuangan
dari proyek yang bersangkutan.
Dengan alasan tersebut penulis
memanfaatkan risk-free discount rate
untuk mengambil risiko project
finance diindustri jalan tol
Mekanisme koordinasi yang selama ini menjadi
persoalan dalam KPS harus segera diatasi.
Pembentukan PPP Center atau PPP Unit mungkin
Katrin Fischer,
Katja Leidel,
Alexander
Riemann and
Hans Wilhelm
Alfen (2010)
Wibowo
(2005)
Umum
Jalan
Tol
Penulis mengembangkan metode adjusted Present Value (APV) dalam menilai kelayakan
investasi jalan tol. Metode APV merupakan pendekatan deterministic dimodifikasi oleh penulis.
Variabel-variabel yang mengandung unsur ketidakpastian dirubah dari deterministic menjadi
stokastik. Kekurangan data statistik diatasi dengan cara pendekatan subyektif melalui kuesioner
maupun wawancara dengan ahli.
Wibowo
(2012)
Umum
289
menyangkut relasi risiko-imbal hasil yang telah penulis paparkan untuk memberikan kontribusi
bagi existing body of knowledge, dimana beberapa model tersebut menyentuh langsung
berbagai isu praktis dalam penyelenggaraan KPS di tanah air.
Sumber :Carol Jacobson (2008), Sue Trafford (2006), Fitriani H., Farida, P.,Wibowo, A (2006), Suhaiza Ismail (2013), Conrad Voelker, Andre Permana, Timan Sach and Robert Tiong (2008), Bing Li,
Akintola Akintoye and Cliff Hardcastle (2001), Yongjian Keand ShouQing Wang, Nad Albert P.C Chan and Esther Cheung (2011), Xiaofeng Du and Amory N. Li (2008), Katrin Fischer, Katja Leidel,
Alexander Riemann and Hans Wilhelm Alfen (2010), Wibowo (2005), dan Wibowo (2012)
290
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
Abstrak
Konservasi sumber daya air yang berkelanjutan akan efektif apabila melibatkan masyarakat secara aktif dalam
setiap tahapan pelaksanaan. Desa Taman Sari merupakan salah satu bagian daerah yang memiliki beberapa
sumber mata air yang difungsikan sebagai air bersih bagi masyarakat. Melalui kegiatan konservasi baik vegetatif
maupun mekanis dengan pembuatan lubang biopori, sumur resapan diharapkan pengelolaan serta pemanfaatan
sumber mata air tetap lestari serta terjaga baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Kegiatan Kuliah Kerja NyataPembelajaran Pemberdayaan Masyarakat (KKN-PPM) diawali dengan memberikan pembekalan kepada seluruh
mahasiswa peserta KKN-PPM. Target capaian yang telah dilaksanakan di Desa Tama Sari Kecamatan Baros
Kabupaten Serang dimana mahasiswa dan masyarakat sebagai penggerak terjadinya proses pemberdayaan
masyarakat, diantaranya: bertambahnya pengetahuan masyarakat tentang konservasi sumber daya air,
bertambahnya keterampilan masyarakat tentang penerapan konservasi di lingkungan sekitar, tersosialisasikannya
pemahaman masyarakat tentang konservasi, terbentuknya tim pengelola konservasi sumber daya air, adanya visi,
misi dan slogan untuk menjaga kelestarian sumber Mata Air Cinyusu. Program KKN-PPM sangat membantu
masyarakat guna menambah pengetahuan serta menumbuhkan kepedulian masyarakat dalam hal menjaga
kelestarian sumber daya air. Melalui kegiatan KKN-PPM mahasiswa bersama masyarakat diharapkan dapat menjadi
penggerak dalam meningkatkan peran serta masyarakat sebagai pengguna air sekaligus sebagai pengelola sumber
daya air.
Kata Kunci: Konservasi, mata air Cinyusu, pemberdayaan masyarakat
LATAR BELAKANG
Air merupakan komponen pokok dalam memenuhi kebutuhan makhluk hidup di bumi ini, khususnya bagi manusia.
Ketersediaan air, terutama air tawar dan atau air bersih semakin lama semakin sulit karena perkembangan jumlah
penduduk dunia yang bertambah pesat serta adanya kerusakan alam yang menyebabkan berkurangnya atau
tercemarnya keberadaan air tawar dan air bersih. Kerusakan kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) dan pencemaran
terhadap air dianggap sebagai penyebab utama terjadinya krisis air. Berdasarkan Forum Air Dunia II (World Water
Forum) yang diselenggarakan di Den Haag pada bulan Maret tahun 2000, Indonesia sudah diprediksikan sebagai
salah satu negara yang mengalami krisis air pada tahun 2025.
Upaya konservasi air perlu segera ditingkatkan dalam rangka menanggulangi krisis air dan menjaga kelestariannya.
Upaya konservasi air dapat dilakukan dengan perbaikan di daerah tangkapan air (catchment area) berupa
penghutanan kembali (reboisasi), pembuatan bangunan penghambat aliran permukaan, dan penegakan aturan
penggunaan air dibatasi hanya untuk keperluan rumah tangga, serta menekan perkembangan pemukiman di
kawasan. Pembatasan eksploitasi air juga perlu dilakukan pada daerah aliran air yang terletak antara daerah
tangkapan air dan wilayah perkotaan (daerah eksploitasi air). Meskipun air merupakan sumber daya alam yang
291
dapat di perbaharui, sumber daya alam ini harus kita jaga kelestariannya agar tidak merusak keseimbangan
ekosistem.
Penghematan air atau konservasi air adalah perilaku yang disengaja dengan tujuan mengurangi penggunaan air
segar, melalui metode teknologi maupun perilaku sosial. Penggunaan air yang jatuh pada permukaan tanah
dilakukan seefisien mungkin dengan pengaturan waktu aliran yang tepat diharapkan dapat memperkecil terjadinya
banjir pada musim hujan dan dapat meningkatkan ketersediaan air pada musim kemarau.
PROGRAM KKN-PPM
Desa Taman Sari merupakan salah satu desa dari 14 desa yang ada Kecamatan Baros Kabupaten Serang Provinsi
Banten. Menurut Badan Pusat Statistik Kabupaten Serang jumlah penduduk di Kecamatan Baros yaitu sebanyak
48.996 jiwa dengan penduduk laki-laki 26.124 jiwa dan perempuan 22.872 jiwa dengan 3653 jiwa masyarakat
Kecamatan Baros berprofesi sebagai petani.
Desa Taman Sari mempunyai beberapa sumber mata air di mana sejak tahun 1975 salah satu sumber mata air
tersebut menjadi pemasok kebutuhan air bersih ke wilayah kota Serang melalui Dinas PDAM Kabupaten Serang.
Sumber air bersih yang ada di Desa Taman Sari sebagian besar memanfaatkan sumber lokal desa berupa mata air
salah satunya adalah sumber mata air Cinyusu.
1. Mengingat potensi sumber daya alam yang terdapat di Desa Taman Sari Kecamatan Baros berupa sumber
mata air yang cukup banyak keberadaannya, maka dapat diidentifikasikan persoalan utama yang ingin
dikembangkan antara lain:
2. Masih rendahnya kesadaran serta pengetahuan masyarakat terkait pentingnya konservasi sumber daya air
3. Masih rendahnya kesadaran terkait upaya perlindungan kawasan penyangga mata air
4. Keterbatasan informasi dan pengetahuan serta cara yang dapat dilakukan dalam mengembangkan kegiatan
konservasi.
Dalam pelaksanaan KKN-PPM para peserta telah mempersiapkan beberapa program yang akan dilaksanakan
selama periode KKN-PPM berlangsung. Program tersebut meliputi program utama dan program pendukung yang
tercermin dalam tema Perlindungan Kawasan Penyangga Mata Air Cinyusu Sebagai Upaya Konservasi
Sumber Daya Air Berkelanjutan Melalui KKN-PPM. Target capaian program KKN - PPM untuk kelompok sasaran
dan lingkungan sekitar di Desa Taman Sari serta mahasiswa sebagai penggerak terlaksananya proses
pemberdayaan masyarakat adalah sebagai berikut:
1. Mewujudkan peran mahasiswa sebagai salah satu subyek serta sebagai penggerak pembangunan khususnya
pembangunan di pedesaan.
2. Mahasiswa melaksanakan kegiatan KKN PPM dengan terpenuhinya target minimal Jam Kerja Efektif
Mahasiswa (JKEM).
292
Proses
Outcome
Sebelum KKN-PPM
Penyuluhan, Pelatihan,
Pendampingan
Setelah KKN-PPM
Evaluasi Awal
Evaluasi Proses
Peningkatan pengetahauan
masyarakat tentang
konservasi
Meningkatnya kepedulian
masyarakat dalam
menjaga kelestarian
sumber mata air setempat
Evaluasi Akhir
293
Masyarakat Kampung
Masyarakat Kampung
Masyarakat Kampung
CitamanBADAN AIR
Terampil membuat
Terampil membuat
Terampil membuat
Sumur Resapan,
Sumur Resapan,
Sumur Resapan,
Lubang Resapan
Lubang Resapan
Lubang Resapan
Biopori (Konservasi
Biopori (Konservasi
Biopori (Konservasi
Mekanis)
Mekanis)
Mekanis)
9 SUMUR RESAPAN
60 LUBANG RESAPAN BIOPORI
294
Pembuatan Biopori
Penanaman Pohon
Pelaksanaan KKN-PPM
Setelah mahasiswa peserta KKN-PPM diberikan pembekalan oleh Dosen Pembimbing lapangan (DPL) dan Mitra
Kerja, maka langkah awal dalam pelaksanaan program kerja adalah melakukan kerjasama dengan pihak-pihak
terkait. Kerjasama ini dapat dilakukan antara lain dengan aparat kecamatan, Aparat desa, UPTD, dan seluruh
masyarakat Desa Taman Sari. Seluruh tahapan kegiatan KKN PPM terdokumentasi dalam bentuk Logbook yang
berisi uraian kegiatan terakumulasi dalam volume pekerjaan yaitu Jam Kerja Efektif Mahasiswa (JEKM). Tabel 1 di
bawah ini merupakan hasil rekapitulasi semua tahapan.
Tabel 1. Volume JEKM
No
1.
2.
3.
Uraian Kegiatan
Persiapan dan Pembekalan
Pelaksanaan Program KKNPPM
Penyusunan Laporan
Total JKEM
Peserta KKN-PPM (n)
TOTAL VOLUME KEGIATAN
Volume
(JEKM)
10
180
29
Keterangan
KKN-PPM
dilaksanakan
selama 72 hari
efektif
219
45
9.855
295
Lubang tersebut diisi dengan sampah organik untuk memicu terbentuknya biopori. Biopori merupakan pori-pori yang
berbentuk lubang yang dibuat oleh aktivitas fauna tanah atau akar tanaman. Fauna tanah berupa cacing tanah
merupakan organisme dari kelas oligochaeta yang mampu menembus tanah hingga kedalaman 8 m. Tanah yang
mengandung cacing tersebut akan diperkaya dengan unsur hara hasil olahan perut cacing, sehingga akan menjadi
tempat yang subur bagi berbagai jenis tumbuhan.
Sumur Resapan
Dalam pelaksanaan program kerja KKN-PPM ini, kami membuat 9 (sembilan) titik sumur resapan yang bertempat di
masing kampung yaitu Kampung Lenggor, Kampung Mekar Sari dan Kampung Citaman. Kegiatan pembuatan
Sumur Resapan ini sangat lama, yakni menghabiskan waktu hampir tiga minggu. Proses pembuatannya dilakukan
secara bertahap, mulai dari penggalian, pengecoran, pengisian material penyaring, hingga pembuatan cover atau
penutup. Adapun urutan lengkap proses pembuatannya adalah sebagai berikut:
Tentukan lokasi yang memenuhi syarat dan jarak yang tepat. Gali lubang ukuran 1,5 x 1,5 x 2 m.
Masukkan batu kerikil atau ijuk ke dasar sumur sampaiketebalan 10-20 cm.
Buatlah pasangan bata dengan jarak 25 cm daridinding tanah, sampai ketinggian 30 cm daripermukaan tanah.
Saluran air dari talang diarahkan ke sumur resapan dilengkapi panyaring sampah dan penyadap lumpur.
296
Konservasi Vegetatif
Kegiatan penanaman pohon merupakan salah satu upaya konservasi yang menjadi program kerja utama kami dalam
melaksanakan kegiatan KKN-PPM ini. Pohon yang kami berikan kepada masyarakat Desa Taman Sari merupakan
bibit-bibit pohon yang kami peroleh dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Banten yaitu sebanyak 120 bibit.
Bibit pohon yang didapat terdiri dari pohon Jati Bongsor (Jabon), pohon Mahoni, pohon Kayu Manis, pohon Kayu
Kalimantan, dan pohon Albasiah.
297
298
3. Pemanfaatan potensi sumberdaya air yang ada di Desa Taman Sari harus di imbangi dengan usaha pelestarian
atau konservasi untuk menjaga sumber daya air tersebut berada dalam kondisi ideal baik dari segi kualitas
maupun kuantitas.
Rekomendasi
1. Pemerintah diharapkan untuk terus meningkatkan pengelolaan potensi yang ada di Desa Taman Sari ini,
dengan demikian potensi yang ada dapat digunakan secara optimal dan dapat berguna bagi pembangunan
desa.
2. Adanya keberlanjutan program dan dorongan pendanaan dari pemerintah daerah maupun melalui Dillitabmas
Dikti bagi para dosen untuk menjalankan tridarma perguruan tinggi dalam konteks melanjutkan kegiatan
pengabdian kepada masyarakat.
REFERENSI
-----------, 2000. Pedoman Kuliah Kerja Nyata Mahasiswa Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Serang-Banten;
Lembaga Pengabdian pada Masyarakat Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
-----------, Dokumen Review Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes 2012 - 2015) Desa
Tamansari, 2011.
-----------, Tata Cara Perencanaan Sumur Resapan Air Hujan Untuk Lahan Pekarangan. SNI : 03-2453-2002.
Andi Maddeppungeng., dkk, 2012. Usulan Ipteks bagi Masyarakat; Pemberdayaan Masyarakat Melalui Pelatihan
dan Penerapan Potensi Sumber Mata Air Terhadap Pengelolaan Sistem Air Bersih di Desa Taman Sari Kec.
Baros Kab. Serang Provinsi Banten.
DP2M Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, 2013. Panduan Pelaksanaan Hibah KKN-PPM. Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan.
Kementerian Pekerjaan Umum, 2012. Drainase Berwawasan Lingkungan (Ecodrain). Bahan Ajar Diseminasi dan
Sosialisasi Keteknikan Bidang PLP Sektor Drainase.
Kulsum, dkk, 2012. Laporan Hibah KKM - PPM; Partisipatori Ergonomi Pemberdayaan Masyarakat Melalui
Pengelolaan Sampah Terpadu untuk Meningkatkan Kesehatan dan Kesejahteraan di Kota Serang.
Pusat Pengelolaan dan Pengembangan KKN UGM, 1998. Pedoman Kuliah Kerja Nyata Universitas Gadjah Mada.
Yogyakarta; LPM Universitas Gadjah Mada.
299