HUKUM INTERNASIONAL
DISUSUN OLEH :
NIM :180200114
FAKULTAS HUKUM
Dilihat dari nilai perspektif awal kemunculannya, konflik Aceh merupakan esultan dari
usaha rakyat Aceh untuk membangun citra Aceh dan konteks relasinya, baik dengan citra
terhadap asing maupun dengan NKRI.Peter Riddell mengkonstruksikan, untuk membangun
persepsi dirinya (selfperception) rakyat Aceh menilik pada negara pedomannya sebagai Serambi
Mekkah, yang kemudian membentuk identitas (identity formation) bagi rakyat Aceh. Konflik
yang dialami, baik dalam hubungannya dengan dunia luar maupun konteks internalnya
menawarkan katalis bagi pembentukan mereka. Persepsi diri yang mengaitkan jejak historisnya
dengan dunia Islam pada tingkat tertentu telah menumbuhkan identitas kultural yang kuat. Sikap
perlawanan rakyat Aceh sejak abad ke-16 dan abad ke-17 sampai era sejarah modern Indonesia
memiliki relasi dengan upaya mempertahankan identitas Islam yang memang secara sadar
dikembangkan oleh para elite kesultanan Aceh pada masa itu. Sedemikian kentalnya persepsi
rakyat Aceh mengenai dirinya yang tersimpul dalam identitas kultural Islam menjadikan setiap
upaya untuk menghapuskan citra tersebut akan menghadapi resistensi dan perlawanan dari
rakyat Aceh.Aceh telah meninggalkan jejak sejarah yang panjang dengan dunia Islam. Julukan
Aceh sebagai Serambi Mekkah sudah dengan jelas menunjukkan arah orientasi kultural
masyarakatnya. Mekkah, sebagai tanda suci bagi umat Islam membawa konotasi bahwa semua
hal yang terkait dengan sebutan tersebut sudah tentu diasosiasikan dengan Islam. Demikian juga
dengan masyarakat Aceh, dimana pengaitan nama Mekkah dengan Aceh mengindikasikan
bahwa rakyat Aceh memang dengan sadar memposisikan dirinya dengan kultur Islam.
Latar belakang dan motif yang mendorong terbentuknya GAM disebabkan oleh opini masyarakat
Aceh yang menelan rasa kekecewaan mendalam akibat perlakuan sepihak pemerintah Indonesia
terhadap masyarakat. Aceh sebagai salah satu daerah dengan basis Islam terbesar mengupayakan
agar semangat Islam dan tradisi masyarakat Aceh tetap dapat diperhatikan. Masyarakat Aceh
terlibat usaha bersama untuk mendirikan sebuah Negara Islam, sejalan dengan konsep yang
digagas oleh Kartosuwiryo dalam bentuk Negara Islam Indonesia di Jawa Barat (1949). Namun,
hal tersebut tidak dipenuhi oleh pemerintah, baik era Soekarno (1949) maupun Soeharto (1970).
Mereka menilai bahwa mereka dijadikan “sapi perah” bagi pemerintah pusat yang berorientasi
pada hasil bumi dan alam wilayah Aceh belaka.
Jejak perlawanan konflik dengan jalan kekerasan (hard power) dimulai pada masa perang
melawan kolonialisme Belanda sampai dengan kemerdekaan. Tercapainya kebebasan dan
kemerdekaan dari penjajahan Belanda ternyata tidak membebaskan Aceh dari tindak kekerasan.
Rasa kekecewaan berujung konflik Aceh berpuncak ketika rakyat Aceh mulai melakukan
perlawanan bersenjata dipimpin oleh salah satu tokoh Aceh yang sangat radikal dalam membela
kepentingan masyarakat, Daud Beureuh. Upaya meredam pemberontakan yang awalnya bersifat
kedaerahan, pemerintah Soekarno pada saat itu menggunakan 2 (dua) jenis power, yaitu hard
power dan soft power. Kedua jenis strategi tersebut digunakan dalam keadaan tidak secara
sendiri-sendiri, melainkan dalam keadaan lain juga digunakan dalam waktu yang hampir
bersamaan. Strategi hard power memusat pada usaha represifitas militer dengan menempatkan
sejumlah personil militer oleh Soekarno di wilayah Aceh. Usaha ini dilakukan dengan tujuan
menekan posisi Daud Beureuh untuk menyetujui tawaran pemerintah pusat. Soft power berimbas
pada perlawanan yang akhirnya dapat diselesaikan melalui negosiasi antar pemerintah pusat
dengan Daud Beureuh sebagai wakil dari Aceh.Sejarah mencatat perlawanan rakyat Aceh tetap
mengalami kelanjutan. Pada masa era pemerintahan Soeharto, Aceh dijadikan sebagai lahan
bisnis,dimana seluruh harta kekayaan khususnya sumber daya alam dieksploitasi bagi
kepentingan pemerintah pusat dan para pemodal asing. Rakyat Aceh merasa semakin dalam
posisi yang dirugikan akibat pemberlakuan eksploitasi lahan dan alam. Sebagai bentuk
manifestasi dari “rasa penderitaan” tersebut, kemudian
dibentuknya organisasi perlawanan. Kemunculan GAM adalah wujud kompleks dari adanya
ketimpangan pemahaman antara pemerintah dengan rakyat Aceh. GAM merupakan organisasi
daerah yang memiliki basis pergerakan yang terletak di daerah Nanggroe Aceh Darussalam
(NAD), dan memiliki tujuan utama menjadikan NAD sebagai sebuah negara baru dan terlepas
dari NKRI. Organisasi ini dibentuk pada 1976 oleh Hasan Tiro dan para ulama di daerah Aceh.
Sebagai sebuah organisasi separatis, GAM memiliki struktur organisasi yang jelas layaknya
sebuah organisasi formal, seperti:
3. Memiliki struktur pemerintahan dengan 15 (lima belas) menteri dan 4 (empat) pejabat
gubernur.
Pasca dibentuknya GAM, arah perjuangan dan perlawanan rakyat Aceh lebih diorientasikan dan
direpresentasikan dalam wadah organisasi. Metode perlawanan semakin mengalami perubahan
hingga pada tingkat kontak fisik melalui konflik senjata dengan pemerintah RI, yang diwakili
oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI).Kontak senjata dengan TNI sudah dimulai setelah
berdirinya organisasi tersebut pada tahun 1976. Eskalasi semakin meningkat pasca Aceh
ditetapkan sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) oleh pemerintah pusat (orde baru), di tahun
yang sama. Selanjutnya metode perlawanan gerilya menjadi ciri khas GAM dalam melawan
represifitas militer di bumi Serambi Mekkah. Status GAM diubah menjadi sebuah gerakan
separatis yang berusaha mengancam kedaulatan NKRI, yang pada awalnya hanya dianggap
sebagai kelompok pengacau biasa. Hal ini turut diperkuat dengan dukungan dari rakyat Aceh.
Adanya tanggapan serius mengenai gerakan separatis menjadikan GAM terus berkembang
sebagai sebuah organisasi perlawanan yang cukup dikenal baik di dalam negeri maupun luar
negeri.
Persoalan GAM telah menjadi persoalan pada ranah internasional, serta semakin
membuktikan akan pentingnya peran hukum internasional dalam segala aspek hubungan antar
persoalan negara dan bukan negara, hal yang bersangkutpaut dengan nilai keselamatan, maupun
nilai kemanusiaan dan konteks perdamaian dunia.Peranan lembaga pengakuan internasional dan
sebagaimana diakui oleh semua sarana hukum internasional menjadi hal yang dominan dalam
hubungan antar subjek. Definisi pengakuan yaitu tindakan politis suatu negara untuk mengakui
negara baru atau bukan negara sebagai subjek hukum internasional yang mengakibatkan hukum
tertentu.Konsekuensi politis adalah antara kedua subjek dapat dengan leluasa mengadakan
kesepakatan atau hubungan. Konsekuensi yuridis antara kedua subjek adalah antara lain:
3. Pengakuan memperkokoh status hukum bagi pihak yang diakui dihadapan pengadilan agama
yang mengakui.
Selain alasan politis, pemberian pengakuan terhadap sebuah subjek terlebih didasari oleh
keyakinan bahwa subjek telah memenuhi unsur-unsur minimum suatu subjek hukum menurut
hukum internasional dan pemerintah baru tersebut mampu memimpin wilayahnya.Pada
umumnya terdapat persamaan pandangan diantara para sarjana hukum internasional tentang
bentuk pengakuan. Oppenheim-Lauterpacht mengemukakan macam bentuk pengakuan
sebagaimana berikut:
2. Recognition of new heada of governments of old states (pengakuan kepala pemerintahan baru
dari negara yang lama);
6. Recognition of new territorial titles and international situation (pengakuan hak-hak territorial
dan situasi internasional baru)
1. Memberikan kepada pihak yang memberontak hak-hak dan kewajiban suatu negara merdeka
selama berlangsungnya peperangan;
2. Di lain pihak, pemerintah yang memberontak tidak dapat merundingkan perjanjian-perjanjian
internasional, tidak dapat menerima dan mengirim wakil-wakil diplomatik dan hubungannya
dengan negara-negara lain hanya bersifat informal. Pemerintah tersebut tidak dapat menuntut
hak-hak dan kekebalan-kekebalan di bidang internasional, karena merupakan subjek hukum
internasional dalam bentuk terbatas, tidak penuh dan bersifat sementara;
3. Sebagai akibat pengakuan belligerent oleh negara-negara ketiga negara induk dibebaskan
tanggungjawab terhadap negara-negara ke-3 tersebut sehubungan dengan perbuatan-perbuatan
kelompok yang memberontak;
4. Bila negara induk memberikan pula pengakuan belligerent kepada pihak yang memberontak,
ini berarti kedua pihak harus melakukan perang sesuai dengan hukum perang. Dalam hal ini,
pihak ke-3 tidak boleh ragu-ragu lagi dalam memberikan pengakuan yang sama;
5. Pengakuan belligerent bersifat terbatas dan sementara serta hanya selama berlangsungnya
perang tanpa memperhatikan apakah kelompok yang memberontak ini akan menang atau kalah
dalam peperangan;
6. Dengan pengakuan belligerent, negara-negara ke-3 akan mempunyai hak-hak dan kewajiban-
kewajiban sebagai negara netral dan pengakuan tersebut terutama diberikan karena alasan
humaniter.
Pandangan dunia internasional atas GAM semakin signifikan merujuk pada adanya delegasi
perdamaian antara Pemerintah RI dengan GAM yang secara resmi telah menandatangani nota
kesepahaman berupa MoU (Memorandum of Understanding) perdamaian di Helsinki, Finlandia
pada Senin, 15 Agustus 2005. Kesepakatan tersebut membahas amnesti terhadap anggota GAM
dan diikuti dengan perlucutan senjata anggota GAM serta penarikan pasukan TNI/POLRI guna
mengakhiri konflik yang berlangsung selama tiga dasawarsa.Penggunaan ide resolusi damai di
beberapa negara yang berkonflik memberi apresiasi positif dunia serta menjadi topik utama di
kalangan organisasi PBB maupun organisasi negara-negara Asia-Afrika lainnya. Pihak ASEAN
dan Uni Eropa turut melakukan intervensi memonitori kesepakatan di lapangan, sebagai salah
satu bukti bahwa baik ASEAN, Uni Eropa, maupun dunia mengakui keberadaan GAM sebagai
gerakan pemberontakan.
C. Status Gerakan Aceh Merdeka Sebagai Pemberontak Menurut Hukum Internasional
yang Berlaku
GAM dikatakan sebagai bentuk organisasi pemberontak yang terbesar di wilayah Indonesia
ditinjau dari parameter-parameter122 sebagai berikut:
1. GAM mempunyai struktur pemerintahan sendiri yang tersebar hamper di seluruh wilayah
Aceh. Dengan adanya pemerintahan sendiri, GAM dapat menyelenggarakan kegiatan
administrasi dalam interaksi sosial dan telah dilaksanakan dilaksanakan oleh GAM;
2. GAM memiliki angkatan perang yang jumlahnya memadai. Angkatan perang selanjutnya
menjalankan fungsi keamanan internal.
Tidak semua pemberontakan, yang di dalam hal ini diartikan dengan gerakan menentang
pemerintahan dengan menggunakan kekerasan akan dengan mudah memperoleh kedudukan
tertentu di bawah hukum internasional. Menurut S.Tasrif, suatu asas hukum internasional yang
telah diterima oleh semua negara menegaskan bahwa kejadian-kejadian dalam suatu negara
adalah urusan intern negara tersebut dan pihak-pihak asing tidak berhak turut campur. Tetapi
suatu pemberontakan biasanya merupakan suatu peristiwa berdarah yang menggunakan senjata
dan dapat terjadi pertempuran antara pasukan pemerintah dan pasukan-pasukan pemberontak. Di
samping itu, mungkin juga terjadi penangkapan terhadap pengikut-pengikut kaum pemberontak
dan oknum-oknum simpatisan lainnya sehingga akan terdapat segolongan orang yang merupakan
tawanan pemerintah yang resmi. Hukum internasional sendiri tidak menghukum adanya
pemberontakan atau revolusi. Apabila suatu pemberontakan telah mencapai suatu tingkatan
tertentu, sehingga negara-negara lain tidak dapat begitu saja mengabaikan keadaan itu, maka
negara-negara lain dapat saja memberikan perhatiannya dengan cara-cara tertentu. Dalam
prakteknya ternyata sulit sekali untuk memberikan pengakuan terhadap pemberontakan yang
terjadi di suatu negara, oleh karena sulit sekali menentukan bahwa suatu pemberontakan telah
mencapai suatu proporsi tertentu, sehingga negara ketiga mempunyai kewajiban moral untuk
memberikan pengakuan itu. Pemberian pengakuan sebagai pemberontak (recognition of
insurgency) menurut HI, tidaklah berarti negara yang memberikan pengakuan itu berpihak pada
kaum pemberontak.126 Pemberian pengakuan sebagai pemberontak, bukan hanya menuntut
perlakuan berdasarkan tuntutan perikemanusiaan bagi kaum pemberontak yang tertawan, tetapi
juga meletakkan kewajiban kepada Negara yang memberikan pengakuan itu untuk mengambil
sikap netral dalam pertempuran-pertempuran yang terjadi di antara kaum pemberontak dengan
pemerintah yang sah. Dalam hal ini, pemberian pengakuan yang berarti juga pemberian
kedudukan tertentu dalam HI bagi pemberontak, Mochtar memberikan pendapatnya, bahwa
walaupun pada prinsipnya konsepsi demikian sebagai konsekuensi dari perjuangan anti
kolonialisme dapat diterima bahkan patut mendapat dukungan sepenuhnya, persoalnnya menjadi
sulit apabila penjajahan diterapkan secara terlalu bebas tanpa ukuran yang objektif, antara lain
apa yang dimaksud dengan “bangsa”, maka konsepsi ini walaupun pada dasarnya bermaksud
baik, bisa mempunyai pengaruh yang mengganggu stabilitas masyarakat internasional karena
dapat dipakai oleh golongan kecil dalam suatu bangsa/negara yang belum tentu mempunyai
alasan yang sah untuk melakukan gerakan separatis. Kerangka hukum internasional menyatakan,
organisasi GAM dapat dikategorikan sebagai kelompok pemberontak (belligerent) yang diakui
sebagai subjek dari hukum internasional, yaitu kesatuan entitas yang dapat dikenai hak dan
kewajiban internasional.
Pengakuan GAM sebagai subjek hukum internasional dilihat dari beberapa prinsip-prinsip
penting129, sebagaimana berikut:
1. Pertama, kegiatan-kegiatan GAM telah mencapai suatu titik keberhasilan saat berhasil
menduduki secara efektif dan membentuk otoritas de facto di wilayah Aceh yang sebelumnya
dikuasai penuh oleh pemerintah Indonesia. Prinsip tersebut muncul dengan adanya pertimbangan
negara lain menyangkut kepentingan perlindungan warga negaranya. Kondisi ini memungkinkan
negara-negara luar dapat mengambil keputusan untuk mengakui secara de facto kepada GAM
terbatas pada wilayah Aceh. Pengakuan seperti ini pernah ditempuh pemerintah Inggris terhadap
pihak pemberontak dalam perang saudara
di Spanyol tahun 1937;
2. Kedua, peperangan antara pihak GAM dan TNI telah mencapai dimensi tertentu di mana
negara-negara di dunia melihatnya sebagai perang sesungguhnya antara dua kekuatan.
Konsekuensinya adalah pelaksanaan hukum perang bagi kedua belah pihak. Selanjutnya,
pengakuan keadaan berperang adalah berbeda dari pengakuan pemerintah induk atau pemerintah
pemberontak sebagai pemerintah yang sah. Pengakuan de facto diberikan terhadap GAM, namun
secara de jure pemerintah RI dapat mengklaim atas harta benda yang berada di seluruh wilayah
RI termasuk Aceh. Selain itu, hanya pemerintah RI yang dapat mewakili Negara untuk tujuan
suksesi negara dan wakil-wakil dari kelompok GAM yang diakui de facto secara hukum tidak
berhak atas imunitas-imunitas dan privilegde-privilegde diplomatik penuh.
Untuk menentukan status hukum MoU antara Pemerintah RI dengan GAM menurut
hukum internasional, maka status daripada GAM adalah sebagai persyaratan dalam menentukan
status daripada MoU, apakah kesepakatan damai tersebut merupakan perjanjian internasional
atau tidak. Kerangka hukum internasional menyatakan bahwa organisasi GAM dapat
dikategorikan sebagai kelompok pemberontak (belligerent) yang diakui sebagai subjek dari
hukum internasional, dimana subjek hukum internasional adalah kesatuan entitas yang dapat
dikenai hak dan kewajiban internasional.
Tahapan dalam membuat suatu perjanjian internasional diatur dalam Bab II Konvensi Wina 1969
yang mengatur tentang pembuatan dan berlakunya suatu Perjanjian Internasional. Pasal 6
menegaskan bahwa setiap negara memiliki kapasitas untuk membuat perjanjian internasional.
Kapasitas yang dimaksud adalah melalui proses negosiasi untuk membuat perjanjian
internasional. Proses negosiasi adalah tahap pertama yang dilakukan oleh utusan resmi dari
Definisi hukum internasional terkait ratifikasi erat kaitannya dengan bagaimana suatu negara
mengikatkan diri terhadap suatu perjanjian. Selain itu perkembangan ratifikasi telah berinteraksi
dengan prosedur nasional ketatanegaraan, oleh karena itu ratifikasi dibagi dalam dua prosedur
yaitu prosedur internal dan prosedur eksternal. Prosedur internal merupakan masalah
ketatanegaraan, dalam kaitannya dengan hukum Indonesia yang mengatur kewenangan eksekutif
dan legislatif dalam perjanjian internasional serta mengatur produk hukum apa yang harus
dikeluarkan untuk menjadi dasar bagi hukum Indonesia. Prosedur internal merupakan masalah
ketatanegaraan, dalam kaitannya dengan hukum Indonesia yang mengatur kewenangan eksekutif
dan legislative dalam perjanjian internasional serta mengatur produk hukum apa yang harus
dikeluarkan untuk menjadi dasar bagi hukum Indonesia. Dalam Bab III pasal 9 ayat 1 UU No 24
Tahun 2000 yang menyatakan: pengesahan perjanjian internasional oleh pemerintah RI
dilakukan sepanjang dipersyaratkan oleh perjanjian internasional tersebut dan dalam ayat 2
ditegaskan bahwa pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang atau
keppres. Sedangkan ratifikasi perspektif prosedur eksternal maka ratifikasi perjanjian
sebagaimana definisi menurut Konvensi Wina 1969 yang validitasnya diatur oleh hukum
internasional.Ketatanegaraan Indonesia mensyaratkan ratifikasi dilakukan melalui undang-
undang atau keppres, akan tetapi terkait dengan MoU antara pemerintah RI dan GAM,
pemerintah Indonesia tidak meratifikasi MoU tersebut dan pelaksanaan terhadap MoU hanya
dinyatakan melalui INPRES Nomor 15 Tahun 2005 tentang pelaksanaan nota kesepahaman
antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka. Instruksi Presiden menurut
Jimly Asshiddiqie disebut sebagai policy rules atau beleidregels yang merupakan bentuk dari
peraturan kebijakan yang tidak dapat dikategorikan sebagai bentuk peraturan perundang-
undangan seperti biasa.168 Konsep tentang INPRES tersebut menjelaskan bahwa INPRES
bukanlah undang-undang ataupun Keppres, sehingga syarat pengesahan terhadap perjanjian
internasional untuk MoU antara RI dan GAM tidak terpenuhi, sehingga MoU dalam konteks ini
bukanlah perjanjian internasional, karena INPRES hanyalah disebut sebagai “rules” bukan
“regulation” atau “legislation” sehingga lebih tepat disebut aturan kebijakan. MoU merupakan
salah satu dari nomenclature dalam perjanjian internasional. Berkenaan dengan MoU antara RI
dan GAM merupakan bagian dari konsep hukum perjanjian internasional, law treaty dalam
proses pembuatannya harus mematuhi kaidah-kaidah yang bersumber dari Konvensi Wina tahun
1969. Adapun prinsip-prinsip utama yang harus diterapkan adalah kehadiran kedua belah pihak
sebagai subyek hukum internasional, dilakukan oleh kepala Negara, Menteri Luar Negeri, Duta
Besar atau Konsul Jenderal dan wakilwakil diplomatik lainnya yang memiliki kewenangan
penuh. Kewenangannya antara lain, negosiasi, accesi, adapsi, penandatanganan dan ratifikasi.
Konsekuensi penandatanganan yang dilakukan adalah mengikat para pihak (so be bound) dan
menimbulkan tanggung jawab hukum. Perjanjian internasional memiliki unsur-unsur, yaitu kata
sepakat, subyeksubyek hukum, berbentuk tertulis, objek tertentu dan tunduk pada atau diatur
oleh hukum internasional. Unsur-unsur tersebut, jika dikaitkan dengan MoU antara pemerintah
RI dan GAM, hampir semua unsur telah terpenuhi. Seperti unsure sepakat dalam pembukaan
MoU, baik pihak RI maupun GAM telah menyepakati MoU, sebagaimana pembukaannya yang
menyebutkan: “Untuk maksud ini Pemerintah RI dan GAM menyepakati hal-hal berikut”.
Kalimat ini mengindikasikan bahwa kedua belah pihak telah menyatakan sepakat.
Pemerintah RI dan beberapa pakar hukum menyatakan bahwa Nota Kesepahaman antara
Pemerintah RI dan GAM bukanlah merupakan sebuah perjanjian internasional, dengan beberapa
alasan sebagaimana berikut:
1. Pemerintah RI hanya mengirim pejabat setingkat menteri yang tidak memiliki 'kapasitas'
untuk mewakili negara untuk menandatangani suatu perjanjian internasional. Menurut mereka,
Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional pasal 7 yang kemudian diadopsi pasal 7
UU No. 24/2000 tentang Perjanjian Internasional, mengatur bahwa untuk mewakili Indonesia
dalam suatu perjanjian internasional diperlukan surat kuasa. Tentunya, pengecualian dari
ketentuan ini adalah Presiden dan Menteri Luar Negeri yang tidak memerlukan surat kuasa;
2. Pemerintah menganggap perundingan dengan GAM adalah masalah dalam negeri Indonesia,
karena Pemerintah tidak menganggap GAM sebagai belligerent (pihak yang bersengketa)
sehingga tidak dapat dianggap sebagai subyek hukum internasional. Namun demikian, ada
beberapa alasan kuat yang mengindikasikan bahwa nota kesepahaman tersebut merupakan
perjanjian internasional, dimana Pasal 7 Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional
mengatur bahwa seseorang selain kepala negara, kepala pemerintahan, menteri luar negeri dan
kepala perwakilan diplomatik, hanya dapat dianggap mewakili suatu negara dengan sah dan
demikian dapat mensahkan naskah suatu perjanjian internasional atas nama negara itu dan atau
mengikat negara itu pada perjanjian, apabila ia dapat menunjukkan surat kuasa penuh (full
powers ataucredentials) kecuali jika dari semula peserta konferensi sudah menentukan bahwa
surat kuasa penuh tersebut tidak diperlukan. Menurut Mochtar Kusumaatmadja, hukum
internasional dewasa ini turut memungkinkan seseorang yang tidak memiliki surat kuasa penuh,
mewakili suatu negara, asal tindakan yang dilakukan orang tersebut kemudian disahkan oleh
pihak yang berwenang dari negara yang bersangkutan. Dengan demikian, ketentuan tersebut
sesungguhnya lebih merupakan sebuah antisipasi untuk menjaga dan memastikan agar orang
maupun pihak yang mengikuti perjanjian tersebut adalah benar-benar mengatasnamakan atau
mewakili negara tertentu. Pernyataan terkait MoU antara Pemerintah RI dengan GAM, walaupun
Pemerintah RI hanya mengirimkan pejabat setingkat menteri, yakni Hamid Awaludin selaku
Menteri Hukum dan HAM yang menurut Pemerintah RI belum dapat dikatakan memmpunyai
kapasitas untuk mewakili negara untuk menandatangani suatu perjanjian internasional, kecuali
dengan adanya surat kuasa penuh, maka alasan tersebut terbantah karena beberapa hal,
sebagaimana berikut:
2. Keberadaan surat kuasa penuh sesungguhnya lebih merupakan syarat administratif yang tidak
mutlak keberadaannya. Menurut Mochtar Kusumaatmadja, hukum internasional dewasa ini juga
memungkinkan seseorang yang tidak memiliki surat kuasa penuh, mewakili suatu negara,
dengan syarat tindakan yang dilakukan orang tersebut disahkan oleh pihak yang berwenang dari
negara yang bersangkutan. Pemerintah RI memang tidak menganggap GAM sebagai belligerent
(pihak yang bersengketa) akan tetapi dengan dilakukannya perjanjian antara Pemerintah RI dan
GAM sesungguhnya merupakan bentuk pengakuan secara tidak langsung kepada keberadaan
GAM dan pengakuan bahwa GAM adalah pihak yang bersengketa yang memiliki kedudukan
sejajar dengan Indonesia;
3. Keberadaan GAM sebagai belligerent semakin dipertegas dengan keterlibatan pihak ketiga
yang bukan organisasi atau lembaga dalam negeri, yakni Crisis Management Initiative (CMI)
yang memfasilitasi perundingan di Helsinki setelah sebelumnya melibatkan Henry Dunant
Centre (HDC) di Swiss pada 12 Mei 2000.Huala Adolf menegaskan bahwa secara teoritis GAM
sudah dapat dikategorikan sebagai belligerent karena telah mendapat pengakuan secara diam
diam dari kalangan internasional sebagai belligerent, yakni dengan keterlibatan pihak ketiga. Hal
ini berarti secara teoritis, kesepakatan damai dapat dianggap sebagai perjanjian internasional
karena belligerent adalah subjek hukum internasional yang dapat membuat perjanjian
internasional.Perundingan tersebut sulit untuk disebut hanya sebagai permasalahan dalam negeri
Indonesia, karena selain kedua hal diatas, pimpinan dan pihak yang mewakili GAM kesemuanya
berkewarganegaraan asing, bukan berkewarganegaraan Indonesia. Sebagaimana diketahui
banyak pihak pimpinan GAM Hasan Tiro dan Zaini Abdullah keduanya berkewarganegaraan
Swedia, sementara penandatangan perjanjian tersebut Perdana Menteri Malik Mahmud
berkewarganegaraan Singapura. Selanjutnya sulit untuk mengatakan bahwa permasalahan GAM
hanya merupakan permasalahan dalam negeri, sulit juga untuk dibantah bahwa GAM bukanlah
subyek hukum internasional yang tentunya diakui dan sah melakukan perjanjian internasional
menurut hukum internasional. Namun, terdapat unsurunsur perjanjian internasional dalam
pembuatan MoU yang tidak terpenuhi, yaitu para pihak yang menandatangani bukanlah subyek-
subyek hukum internasional, dalam hal ini GAM, karena status GAM bukanlah sebagai entitas
internasional atau belligerent oleh Pemerintah RI dan hanya diakui keberadaannya oleh beberapa
negara, maka MoU bukanlah perjanjian intern perjanjian internasional, akan tetapi dapat
dikatakan sebagai preagreement.
DAFTAR PUSTAKA
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/40991