1761201211
Manajemen Keuangan Internasional
TUGAS 2
SISTEM MONETER INTERNASIONAL
Untuk mendukung konvertibilitas yang tidak terbatas menjadi emas, uang kertas bank
harus di dukung dengan cadanganemas sebesar rasio minimalyang ditentukan. Selain itu,
pasokan uang domestik juga harus naik turun sesuai dengan pengeluaran penerimaan emas
di negara tersebut.
Berdasarkan standar emas, ketidak sesuaian kurs secara otomatis akan diperbaiki melalui
arus emas lintas negara. Ketidakseimbangan pembayaran internasional juga akan
diperbaiki secara otomatis. Contohnya ketika ekspor inggris raya ke prancis lebih banyak
dari pada impornya dari prancis, ketidakseimbangan perdagangan ini tidak akan terus ada
berdasarkan standar emas. Ekspor bersih inggris raya ke prancis akan diikuti dengan arus
emas bersih dengan arah yang berlawanan. Arus emas internasional dari prancis ke inggris
raya akan mendorong penurunan tingkat harga di prancis dan kenaikan tingkat harga di
inggris raya pada saat bersamaan. Perubahan akhir pada tingkat harga relatif nantinya akan
memperlambat ekspor inggris raya dan mendorong ekspor prancis. Akibatnya ekspor
bersih awal inggris raya akan berangsur-angsur hilang. Mekanisme penyesuaian ini
disebut sebagai mekanisme arus spesifik harga (price-specific-flow mechanism)
Stndar emas memiliki kelemahan penting. Pertama, pasokan emas yang baru dilebur
jumlahnnya terbatas sehingga dapat menghambat pertumbuhan perdagang dan investasi
dunia. Hal ini karena kurangnya ketercukupan cadangan moneter. Perekonomian dunia
dapat menghadapi tekanan-tekanan deflasi. Kedua, setiap pemerintahan dapat
meningggalkan standar emas. Dengan kata lain, standar emas internasional tidak memiliki
cara untuk memaksa setiap negara besar agar mematuhi aturan main. Karena alasan ini,
standar emas klasik tidak mungkin kembali digunakan dimasa mendatang.
c. Interwar period
Standar emas klasik diakhiri pada agustus 1914 karena Negara-negara besar seperti
Inggris Raya, Prancis, Jerman, dan Rusia menangguhkan uang kertas bank dalam emas
dan memaksa embargo atas ekspor emas. Ketika Negara-negara besar mulai pulih dari
perang dan berusaha menstabilkan perekonomian, mereka berupaya untuk kembali pada
standar emas. Amerika serikat yang menggantikan inngris raya sebagai kekuatan keuangan
dominan. Hanya dengan iflasi ringan, amerika serikat mampu meningkatkan pembatasan
ekspor emas dan kembali pada standar emas pada tahun 1919. Tetapi, standar emas
internasional pada akhir tahun 1920-an tidak lebih dari sebuah kedok saja. Karena, banyak
Negara besar memberikan prioritas bagi stabilitas perekonomian dalam negeri dan secara
sistematis menaganut kebijakan sterilisasi emas dengan menyesuaikan arus masuk dan
keluar emas, masing-masing dengan pengurangan dan peningkatan uang dan kredit dalam
negeri. Pandangan terhadap pemulihan standar emas runtuh setelah terjadinya Depresi
Besar dan krisis keuangan yang menyertai pada tahun 1929, banyak bank mengalami
penurunan tajam pada nilai portofolio. Pada tahun 1931, pemerintah inggris penangguhkan
pembayaran emas dan membiarkan pound mengambang. Ketika inggris menurunkan
emas, Negara-negara seperti kanada, swedia, Australia, dan jepang mengikuti hal yang
sama di akhir 1931. Amerika menurunkan emas Pada tahun 1933 setelah mengalami
rentetan kegagalan bank dan arus keluar emas. Terakhir, prancis meninggalkan standar
emas pada tahun 1936, mengingat pelarian dari terhadap franc akhirnya menjerminkan
ketidakstabilan ekonomi dan politik.
Ringkasnya, interwar period ditandai dengan nasionalisme ekonomi, upaya setengah hati
dan kegagalan untuk memulihkan standar emas, ketidakstabilan ekonomi dan politik, dan
kegagalan bank, dan kepanikan untuk mendirikan untuk melarikan modal ke luar negeri.
Hal ini mengakibatkan dampak yang sangat merugikan bagi perdagangan dan investasi
internasional. Ini merupakan periode ketika dolar amerika serikat muncul sebagai mata
uang dunia yang dominan dan secara berangsur-angsur menggantikan peran pound
Inggris.
SDR tidak hanya digunakan sebagai asset cadangan tetapi juga sebagai mata uang
dminasi untuk transakasi internasional. SDR merupakan mata uang “portofolio”sehingga
nilainya cenderung lebih stabil stabil daripada nilai mata uang lain yang termasuk dalam
SDR. Pada awal tahun 1970-an, semakin jelas bahwa dolar dinilai terlalu tinggi,
khususnya secara relative, terhadap mark dan yen. Akibatnya, bank sentral jerman dan
jepang harus melakukan intervensi besar-besaran di pasar valuta asing untuk
mempertahankan nilai pari mereka. Pada tahun 1971, presiden Richard Nixon
menangguhkan konvertibilitas dolar menjadi emas mengenakan biaya tambahan atas
impor. Pondasi sistem Bretton woods retak di bawah tekanan tersebut.
Dalam upaya menyelamatkan sistem Bretton wood, 10 negara besar yang dikenal sebagai
group of ten bertemu di Smithsonian institution di Washington, D.C, pada desember 1971.
Mereka mencapai perjanjian Smithsonian yang berisi:
Selama pemerintahan presiden Ronald Reagan, suku bunga riil di AS sengaja ditinggikan
agar arus modal investasi asing masuk deras ke AS demi membantu menopang defisit
anggarannya. Fluktuasi US$ pada era 1980-an yang sangat besar dan US$ menjadi terlalu
mahal membuat para negara industri besarsepakat untuk merancang sistem nilai tukar
yang lebih stabil dalam skala yang lebih besar. Plaza Accord (1985) menentukan bahwa
US$ harus terdepresiasi dan negara-negara G5 9 (prancis, jepang, jerman, inggris dan AS)
sepakat untuk mengintervesikan pasa valas agar tujuan tersebut segara tercapai, akhirnya
US$ terlalu terdepresiasi. Louvre Accord (1987) menandai lahirnya sistem mengambang
terkendali (floating-rate)saat negara anggota G-7 bergabung untuk mengoreksi nilai mata
uang yang dipandang kemahalan atau kemurahan.
3. Dengan sistem kurs mengambang, fluktuasi kurs semakin menjadi tinggi. Dengan
berfluktuasinya kurs, maka kesempatan memperoleh keuntungan dari permainan valas
menjadi semakin tinggi.
Tingkat kurs ditentukan oleh permintaan dan penawaran mata uang, salah satu yang
mempengaruhi permintaan dan penawaran mata uang ialah perubahan harga. Apabila harga
barang di negara asing mengalami kenaikan, maka permintaan menurun dan akan
meningkatkan permintaan terhadap barang lokal. Akibatnya nilai mata uang lokal terhadap
negara asing akan mengalami kenaikan sehingga dapat menyebabkan daya saing barang lokal
di pasar ekspor akan menurun karena diluar negeri harganya akan menjadi mahal. Hal ini
akan akan mengurangi tekanan inflasi di negara asing, karena konsumen di negara asing akan
membeli barang lokal dengan harga mahal karena harga barang impor mengalami kenaikan,
sedangkan konsumen lokal akan membeli barang asing dengan harga yang murah. Sehingga
hal ini dapat memberikan keuntungan yang tinggi terhadap negara lokal. Tetapi hal ini juga
dapat memberikan dampak yang buruk bagi pemerintah dan para pebisnis karena sistem kurs
mengambang ini dapat memberikan dampak terhadap nilai tukar mudah berfluktuasi sehingga
dapat memperngaruhi stabilitas perekonomian lokal.
Venezuela merupakan negara yang berada di ujung utara Amerika Selatan dengan ibu kota
(distrito capital) di Caracas. Penemuan minyak mentah tahun 1913 membuat Venezuela
menjadi negara penghasil minyak dengan sumbangan cadangan devisa sebagian besar berasal
dari minyak. Peningkatan dan volatilitas lebih besar dari harga minyak tahun 1974
menyebabkan pendapatan tidak terduga dari negara Venezuela. Ekspor minyak mendominasi
90 persen dari total keseluruhan ekspor dan menyumbang 60 persen dari pendapatan
pemerintah. Peningkatan ini berdampak pada pertumbuhan positif GDP riil per capita
Venezuela yang terus mengalami kenaikan dari tahun 1960 -1970 an, namun dekade setelah
itu GDP riil perkapita terus menurun.
Secara garis besar negara Venezuela terus mengalami peningkatan pertumbuhan ekonomi
hingga tahun 1970. Namun, semua itu berubah pada tahun setelahnya diakibatkan adanya
gangguan pada perekonomian Venezuela. Elemen penting dari dalam pertumbuhan yang
relatif rendah adalah proses nasionalisasi industri minyak. Perburukan perekonomian tidak
hanya faktor penurunan harga minyak saja namun juga faktor politik dan ketidakstabilan
variabel ekonomi lainnya.
Ketidakstabilan perekonomian Venezuela juga diperburuk dengan pergolakan krisis
politik di bawah kekuasaan otoriter Presiden Nicolas Maduro. Rezim Maduro dituduh telah
melakukan berbagai pelanggaran hak asasi manusia yang menyebabkan krisis kemanuasian
yang mendalam di Venezuela. Maduro juga memiliki berbagai kebijakan yang
kontroversional, seperti penggunaan pengadilan dan pasukan keamanan untuk menindas dan
membagai oposisi politik. Keterpurukan ekonomi politik di Venezuela menandakan krisis di
negara Vennezuela yang ditandai dengan ketidakstabilan inflasi, kekuarangan barang
konsumsi, dan memperburukanya kondisi kehidupan.
Penurunan harga pada tahun 1980 an tidak menjadi pembelajaran bagi Presiden Hugo
Chaves, akibatnya penurunan tajam harga minyak pada 2014 memiliki dampak yang cukup
signifikan pada perekonomian Venezuela karena tidak adanya penahanan akan adanya shock
harga minyak. Kondisi ekonomi mengalami keterburukan dengan cepat di bawah Presiden
Maduro, kondisi ini diperparah karena pada bulan November 2017 pemerintah
mengumumkan akan adanya restrukturisasi utang pemerintah.
Kondisi inflasi di Venezuela juga memprihatinkan yang mencapai rata- rata sekitar ratusan
persen. Kondisi ini membuat inflasi Venezuela dikategorikan sebagai hyperinflasi. Istilah ini
berarti kenaikan harga konsumen mencapai 50 persen dalam sebulan. International Moneter
Fund (IMF) memproyeksi bahwa inflasi Venezuela mecapai 13.000 persen pada tahun 2018.
Salah satu penyebab hyperinflasi ini adalah rendahnya harga minyak dunia, penurunan
produksi minyak, serta kesalahan pengolahan ekonomi yang membebani pemerintah
Venezuela. Selain itu, nilai tukar mata uang boliviar (mata uanag Venezuela) melemah
terhadap dollar AS sejak awal 2016. Kebijakan penggantian uang kertas 100 bolivar dengan
uang kertas lainnya, ini belum cukup karena produksi barang telah anjlok dan biaya impor
dalam mata uang lokal telah meroket, sehingga kombinasi ini yang membuat konsumen tidak
bisa mengimbangi peningkatan harga.
5. Neraca pembayaran.
Neraca pembayaran (balance of payments) adalah sebuah laporan akutansi yang
merangkum seluruh transaksi yang dilakukan oleh residen domestik dan asing selama periode
waktu tertentu. Pencatatan dilakukan dengan prinsip pembukuan berpasangan (double-
entry bookkeeping) yang artinya setiap transaksi dicatat aik pada sisi debet dan kredit
sehingga jumlah seluruh sisi debet dari neraca pembayaran suatu negara akan sama persis
dengan sisi kreditnya. Akan tetapi, untuk setiap bagian dari laporan neraca pembayaran,
mungkin terdapat posisi surplus atau defisit.