“INITIAL ASSESSMENT”
DISUSUN OLEH :
LILIS IRMAWATI (160100796)
MEGY PRADANA (160100801)
MERITA PUTRI W (160100802)
NURHIKMAH N (160100810)
PRISMA PEGGY N (160100813)
RETNO RAHAYU (160100816)
RIVAN ADE (160100822)
SAPITRI DEWI (160100825)
SHINTA MAYASARI (160100830)
TIAN SISWANTO (160100831)
TIFFANY FATIKHA D (160100832)
Assalamualaikum Wr.Wb
Puji syukur kami panjatkan Kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan rahmat serta
hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan tugas makalah tutorial kasus pertama dengan tema
”INITIAL ASSESSMENT”.
Makalah tutorial yang kami susun ini dengan maksud bertujuan memberikan pengetahuan
tentang kegawatdaruratan di lapangan , tidak lupa kami mengucapkan terimakasih kepada Ibu
Lia Endriyani, S.Kep., Ns., MS selaku LNO Blok Nursing 5: Emergency and Critical Care
Nursing dan ibu Ratna Wirawati Rosyida, S.Kep., Ns., M.Kep selaku pendamping tutorial di
kelompok B2.
Kami berharap makalah tutorial ini dapat memberikan pengaruh yang baik dan positif
untuk pembaca. Dan kami juga menyadari bahwa makalah ini tidak luput dari kekurangan. Oleh
karena itu, saran dan kritikan yang membangun dari para pembaca sangat kami harapkan demi
kesempurnaan dan perbaikan makalah ini.
Wassalamualaikum Wr.Wb.
Penulis
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Initial assesment merupakan penilaian awal yang cepat dan tepat mengenai
keadaan pasien atau korban. Penilaian ini sangat dibutuhkan dalam menangani kasus
kegawatdaruratan yang membutuhkan pertolongan yang tepat, cermat, dan cepat yang
bila tidak dilakukan segera dapat mengakibatkan kecacatan atau mengancam jiwa korban.
Dimana initial assesment mempunyai 7 proses yaitu, persiapan, triage, primary
survey, resusitasi, secondary survey (head-to-toe), monitoring dan evaluasi post
resusitasi, penanganan definitif.
B. Tujuan
1. Mengetahui apa yang dimaksud dengan initial assesment.
2. Mengetahui proses persiaan pada initial assesment.
3. Mengetahui proses triage.
4. Mengetahui proses primary survey.
5. Mengetahui proses serta apa yang dimaksud dengan resusitasi.
6. Mengetahui proses secondary survey.
7. Mengetahui proses lanjutan resusitasi.
8. Mengetahui terapi lanjutan dalam initial assesment.
C. Manfaat
Diharapkan makalah ini dapat digunakan sebagai bahan bacaan dan literatur bagi
pembaca dan penulis terkait dengan materi intial assesment dalam kegawatdaruratan.
BAB II
SKENARIO KASUS DAN PEMBAHASAN
1. Prisma : proses penilaian yang tepat dan cepat untuk menanggulangi kecacatan atau
kematian
2. Rivan : bisa menyebabkan kecacatan atau kematian
Retno : biasanya jika tidak dilakukan dengan cara yang benar akan menyebabkan
kematian
Tiffany : bisa menimbulkan komplikasi
3. Retno : ada initial assessment, triase, ABCDE, primary survey, pemberian
pemasangan lambing
4. Sinta : membuka jalan nafas, dan membersihkan jalan nafas
Merita : dengan posisi head tilt, chin lift, dan jaw thrust
Retno : berikan respon dan pasangkan alat OPA
5. Prisma : dilakukan ABCDE, resusitasi, primary survey, pemantauan dan re-evaluasi,
transfer ke pusat kesehatan yang lenih baik, secondary survey, tambahan secondary
survey
Sapitri : persiapan, triase atau pemilihan terapi, primary survey, resusitasi
6. Merita : dengan cara initial assessment dan benar dan tepat
Retno : dengan cara yang benar yaitu tahap persiapan, triage, primary survey
(ABCDE), resusitasi, secondary survey, lanjutan resusitasi, dan terapi lanjutan
7. Sapitri : merobek bagian celana, dan dilihat seberapa besarnya fraktur
Sinta : melihat adanya respon klien apakah ada yang terasa nyeri atau tidak
Lilis : dilihat apakah ada pendarahan, robekn lukanya, pembengkakan, dan kebiruan
8. Sinta : karena kondisi pasien masih belum stabil
Retno : untuk breatingnya dicek terlebih dahulu untuk memastikan apakah pasien
sudah benar-benar sadar atau belum
Sapitri : untuk menyesuaikan tindakan dan terapi yang dibutuhkan
Lilis : stupor karena jumlahnya ada 5
9. Retno : persiaapan, triase, primary survey, resusitasi, secondary survey, lanjutan
resusitasi, dan terapi lanjutan
STEP IV ( Mind Mapping )
INITIAL ASSESSMENT
1. Persiapan ?
2. Triage ?
3. Primary survey ( ABCDE ) ?
4. Resusitasi ?
5. Secondary survey ?
6. Lanjutan resusitasi ?
7. Terapi lanjutan ?
8. EBN ( Evidence Based Nursing ) ?
C. PEMBAHASAN
a. Persiapan
Pada tahap persiapan, koordinasi yang baik antara dokter di rumah sakit dengan
petugas di lapangan sangatlah penting dan akan menguntungkan penderita. Sebaiknya
rumah sakit sudah diberitahukan sebelum pasien mulai diangkut dari tempat kejadian
sehingga rumah sakit dapat mempersiapkan peralatan dan tim trauma pada saat
penderita tiba di rumah sakit.
Ada 2 tahap persiapan yaitu tahap pra rumah sakit dan intra rumah sakit.
1. Tahap pra rumah sakit
Pada tahap ini merupakan fase yang cukup menentukan untuk keselamatan
pasien, mulai dari penanganan awal hingga rujukan pasien ke rumah sakit yang
tepat dengan tahapan antara lain:
a) Koordinasi dengan rumah sakit tujuan yang disesuaikan dengan kondisi
penderita dan jenis perlukaannya.
b) Penjagaan jalan napas, selalu kontrol pendarahan dan imobilisasi penderita.
c) Koordinasi dengan petugas lapangan lainnya.
2. Tahap intra rumah sakit
Pada tahap ini harus dipersiapan petugas dan perlengkapannya sebelum penderita
tiba di rumah sakit dengan tahapan antara lain:
a) Alat pelindung diri.
b) Kesiapan perlindungan dan ruangan untuk resusitasi.
c) Persiapan untuk tindakan resusitasi yang lebih kompleks.
d) Persiapan untuk terapi definitif.
b. Triage
1. Pengertian
Triage adalah suatu cara untuk menseleksi atau memilah korban berdasarkan
tingkat kegawatan. Memilah dan menseleksi korban tersebut tujuannya untuk
mempercepat dalam memberikan pertolongan terutama pada para korban yang dalam
kondisi kritis atau emergensi sehingga nyawa korban dapat diselamatkan.
2. Proses Triage
Waktu yang dibutuhkan adalah kurang dari 2 menit karena tujuan triage bukan
mencari diagnosa tapi mengkaji dan merencanakan untuk melakukan tindakan.
3. Prinsip Triage
Triage seharusnya segera dan tepat waktu, penanganan segera dan tepat waktu
akan segera mengatasi masalah pasien dan mengurangi terjadinya kecacatan akibat
kerusakan organ. Pengkajian seharusnya adekuat dan akurat karena akan menghasilkan
diagnosa masalah yang tepat. Keputusan berdasarkan dari pengkajian, penegakan
diagnose dan keputusan tindakan yang diberikan sesuai kondisi pasien.
Intervensi dilakukan sesuai dengan kondisi korban, penanganan atau tindakan
yang diberikan sesuai dengan masalah atau keluhan pasien. Dokumentasi dengan benar
merupakan sarana komunikasi antara tim gawat darurat dan merupakan aspek legal.
4. Klasifikasi
a) Prioritas 1 (Emergensi): warna/label merah
Bila tidak ditangani mengancam jiwa dan waktu tunggu 0-5 menit.
b) Prioritas 2 (Gawat): warna/label kuning
Apabila tidak segera ditolong maka akan terjadi kolap paru atau jantung, perawatan
dan pengobatan tidak lebih dari 30 menit.
c) Prioritas 3 (Tidak gawat): warna/label hijau
Kondisi korban tidak serius, membutuhkan perawatan kurang dari 2 jam.
c. Primary survey (ABCDE)
Penanganan awal dalam Primary Survey membantu mengidentifikasi keadaan-
keadaan yang mengancam nyawa, yang terdiri dari tahapan-tahapan sebagai berikut :
1. Airway, pemeliharaan airway dengan proteksi servikal
Keadaan kurangnya darah yang teroksigenasi ke otak dan organ vital lainnya
merupakan pembunuh pasien-pasien trauma yang paling cepat. Obstruksi airway
akan menyebabkan kematian dalam hitungan beberapa menit. Gangguan
pernapasan biasanya membutuhkan beberapa menit lebih lama untuk
menyebabkan kematian dan masalah sirkulasi biasanya lebih memakan waktu
yang lebih lama lagi. Maka dari itu, penilaian airway harus dilakukan dengan
cepat begitu memulai penilaian awal. (Greaves, 2006). Menurut ATLS 2009,
kematian-kematian dini yang disebabkan masalah airway, dan yang masih dapat
dicegah, sering disebabkan oleh :
1) Kegagalan mengetahui adanya kebutuhan airway
2) Ketidakmampuan untuk membuka airway
3) Kegagalan mengetahui adanya airway yang dipasang secara keliru
4) Perubahan letak airway yang sebelumnya telah dipasang
5) Kegagalan mengetahui adanya kebutuhan ventilasi
6) Aspirasi isi lambung
Tecapainya patensi airway merupakan hal yang sangat esensial dalam penanganan
awal pasien-pasien gawat darurat. Penilaian tentang mampu atau tidaknya
seseorang bernapas secara spontan harus dilakukan secara cepat. Menurut Bersten
dan Soni (2009) dalam Higginson dan Parry (2013), untuk menilai patensi airway
secara cepat dapat dilakukan dengan mengajukan pertanyaan kepada pasien.
Respon verbal yang normal menandakan dengan cepat kepada penolong bahwa
pasien memiliki airway yang paten, sudah bernapas, dan otaknya sudah dalam
keadaan diperfusi. Namun begitu, penilaian airway tetap penting untuk dilakukan.
Apabila pasien hanya dapat berbicara sepatah dua patah kata ataupun tidak
respon, pasien kemungkinan dalam keadaan distress nafas dan membutuhkan
pertolongan bantuan napas secara cepat. Dalam mengatasi obstruksi airway,
terlebih dahulu dilakukan suctioning untuk mengeluarkan cairan saliva berlebih
yang mungkin timbul akibat pangkal lidah yang terjatuh.
(American College of Surgeons, 2009) Tindakan suctioning yang tepat dalam
pemeliharaan airway dapat secara signifikan menurunkan kejadian aspirasi dan
lebih banyak lagi hasil positif yang didapatkan. (Walter, 2002) Pada keadaan
tidak sadarkan diri, penyebab tersering terhambatnya airway adalah pangkal lidah
yang jatuh. Selain itu, penolong juga harus melakukan inspeksi tentang ada
tidaknya benda-benda asing yang menghambat airway ataupun kemungkinan
terjadinya fraktur fasial, mandibular ataupun trakeal/laringeal yang juga dapat
menghambat bebasnya airway. Pasien-pasien dalam keadaan penurunan
kesadaran ataupun GCS (Glasgow Coma Score) yang nilainya 8 ke bawah perlu
diberikan pemasangan airway definitif. Adanya gerakan-gerakan motorik tidak
bertujuan juga biasanya mengindikasikan perlunya pemasangan airway definitif.
(American College of Surgeons, 2009) Tanda obstruksi jalan nafas antara lain :
- Suara berkumur
- Suara nafas abnormal (stridor, dsb)
- Pasien gelisah karena hipoksia
- Bernafas menggunakan otot nafas tambahan / gerak dada paradoks
- Sianosis
Penilaian bebasnya airway dan baik-tidaknya pernafasan harus dikerjakan dengan
cepat dan tepat. Berbagai bentuk sumbatan pada airway dapat dengan segera
diperbaiki dengan cara mengangkat dagu (chin lift maneuver) dan memiringkan
kepala (head tilt) maneuver), atau dengan mendorong rahang bawah ke arah
depan (jaw thrust maneuver). Airway selanjutnya dapat dipertahankan dengan
orofaringeal (oropharyngeal airway) atau nasofaringeal (nasopharingeal
airway). Tindakan-tindakan yang digunakan untuk membuka airway dapat
menyebabkan atau memperburuk cedera spinal. Adanya suspek cedera pada
spinal mengindikasikan dilakukannya tindakan imobilisasi spinal (in-line
immobilization) (Haskell, 2006).
Teknik-teknik mempertahankan airway :
1) Head-tilt
Bila tidak sadar, pasien dibaringkan dalam posisi terlentang dan horizontal,
kecuali pada pembersihan airway dimana bahu dan kepala pasien harus
direndahkan dengan posisi semilateral untuk memudahkan drainase lendir,
cairan muntah atau benda asing. Kepala
diekstensikan dengan cara meletakkan satu tangan di bawah leher pasien
dengan sedikit mengangkat leher ke atas. Tangan lain diletakkan pada dahi
depan pasien sambil mendorong / menekan ke belakang. Posisi ini
dipertahankan sambil berusaha dengan memberikan inflasi bertekanan positif
secara intermitten. (Alkatri,
2007)
2) Chin-lift
Jari - jemari salah satu tangan diletakkan bawah rahang, yang kemudian
secara hati – hati diangkat ke atas untuk membawa dagu ke arah depan. Ibu
jari tangan yang sama, dengan ringan menekan bibir bawah untuk membuka
mulut, ibu jari dapat juga diletakkan di
belakang gigi seri (incisor) bawah dan, secara bersamaan, dagu dengan hati –
hati diangkat. Maneuver chin lift tidak boleh menyebabkan hiperekstensi
leher. Manuver ini berguna pada korban trauma karena tidak membahayakan
penderita dengan kemungkinan patah ruas rulang leher atau mengubah patah
tulang tanpa cedera spinal menjadi patah tulang dengan cedera spinal.
(Nasution, 2009)10
3) Jaw-thrust
Penolong berada disebelah atas kepala pasien. Kedua tangan pada mandibula,
jari kelingking dan manis kanan dan kiri berada pada angulus mandibula, jari
tengah dan telunjuk kanan dan kiri berada pada ramus mandibula sedangkan
ibu jari kanan dan kiri berada pada mentum mandibula. Kemudian mandibula
diangkat ke atas melewati
molar pada maxila (Arifin, 2012).
4) Oropharyngeal Airway
Indikasi : Membebaskan sumbatan airway atas, mencegah pangkal lidah
menyumbat airway, dan berfungsi sebagai bite-block pada penanganan jalan
nafas yang lebih advance yakni proteksi pipa endotrakeal dan memfasilitasi
suctioning oral dan faringeal. (GauscheHill, 2007)
Teknik : Posisikan kepala pasien lurus dengan tubuh. Kemudian pilih ukuran
pipa orofaring yang sesuai dengan pasien. Hal ini dilakukan dengan cara
menyesuaikan ukuran pipa oro-faring dari tragus (anak telinga) sampai ke
sudut bibir. Masukkan pipa orofaring dengan tangan kanan, lengkungannya
menghadap ke atas (arah terbalik), lalu masukkan ke dalam rongga mulut.
Setelah ujung pipa mengenai palatum durum putar pipa ke arah 180 derajat.
Kemudian dorong pipa dengan cara melakukan jaw thrust dan kedua ibu jari
tangan menekan sambil mendorong pangkal pipa oro-faring dengan hati-hati
sampai bagian yang keras dari pipa berada diantara gigi atas dan bawah,
terakhir lakukan fiksasi pipa orofaring. Periksa dan pastikan jalan nafas bebas
(Lihat, rasa, dengar). Fiksasi pipa oro-faring dengan cara memplester pinggir
atas dan bawah pangkal pipa, rekatkan plester sampai ke pipi pasien (Arifin,
2012)11
5) Nasopharyngeal Airway
Indikasi : Penggunaan nasopharyngeal airway optimal untuk pemeliharaan
airway pada pasien-pasien setengah sadar ataupun tidak sadarkan diri. Alat ini
lebih tidak mudah menyebabkan stimulasi gag reflex dan juga muntah pada
pasien dibandingkan dengan penggunaan oropharyngeal airway dan tepat
digunakan pada pasien yang giginya menggertak ataupun tidak mau membuka
mulutunya. (Wilson, 2013)
Teknik : Posisikan kepala pasien lurus dengan tubuh. Pilihlah ukuran pipa
nasofaring yang sesuai dengan cara menyesuaikan ukuran pipa naso-faring
dari lubang hidung sampai tragus (anak telinga). Pipa nasofaring diberi pelicin
dengan KY jelly (gunakan kasa yang sudah diberi KY jelly). Masukkan pipa
naso-faring dengan cara memegang
pangkal pipa naso-faring dengan tangan kanan, lengkungannya menghadap ke
arah mulut (ke bawah). Masukkan ke dalam rongga hidung dengan perlahan
sampai batas pangkal pipa. Patikan jalan nafas sudah bebas (lihat, dengar,
rasa) ( Arifin, 2012).
Airway definitive
Terdapat tiga macam airway definitif, yaitu : pipa orotrakeal, pipa nasotrakeal,
dan airway surgikal (krikotiroidotomi atau trakeostomi). Penentuan pemasangan
airway definitif didasarkan pada penemuanpenemuan klinis antara lain
(Americann College of Surgeons, 2009) :
5. Exposure
Merupakan bagian akhir dari primary survey, penderita harus dibuka keseluruhan
pakaiannya, kemudian nilai pada keseluruhan bagian tubuh. Periksa punggung
dengan memiringkan pasien dengan cara log roll. Selanjutnya selimuti penderita
dengan selimut kering dan hangat, ruangan yang cukup hangat dan diberikan
cairan intra-vena yang sudah dihangatkan untuk mencegah agar pasien tidak
hipotermi. (Nasution, 2009)15
d. Resusitasi
Resusitasi jantung paru adalah suatu tindakan pertolongan yang dilakukan kepada
korban yang mengalami henti napas dan henti jantung. Keadaan ini bisa disebabkan
karena korban mengalami serangan jantung, tenggelam, tersengat arus listrik,
keracunan, kecelakaan, dan lain-lain. pada kondisi ini napas dan denyut jantung
berhenti maka sirkulasi darah dan transportasi oksigen berhenti, sehingga dalam
waktu singkat organ-organ tubuh terutama organ fital akan mengalami kekurangan
oksigen yang berakibat fatal bagi korban dan mengalami kerusakan. Resusitasi yang
agresif dan pengelolaan yang cepat pada yang mengancam jiwa merupakan hal yang
mutlak untuk memperthankan hidup paien (American college of surgeons, 2008).
e. Secondary survey
Survey sekunder merupakan pemeriksaan secara lengkap yang dilakukan secara head
to toe, dari depan hingga belakang. Secondary survey hanya dilakukan setelah
kondisi pasien mulai stabil, dalam artian tidak mengalami syok atau tanda-tanda syok
telah mulai membaik.
1. Anamnesis
Pemeriksaan data subyektif didapatkan dari anamnesis riwayat pasien yang
merupakan bagian penting dari pengkajian pasien. Riwayat pasien meliputi
keluhan utama, riwayat masalah kesehatan sekarang, riwayat medis, riwayat
keluarga, sosial, dan sistem. Pengkajian riwayat pasien secara optimalharus
diperolehlangsung daripasien, jika berkaitan dengan bahasa, budaya,usia, dan
cacatatau kondisipasienyang terganggu, konsultasikan dengan anggota keluarga,
orang terdekat, atau orang yang pertama kali melihat kejadian.
Anamnesis juga harus meliputi riwayat AMPLE yang bisa didapat dari pasien dan
keluarga (Emergency Nursing Association, 2007):
A : Alergi (adakah alergi pada pasien, seperti obat-obatan, plester, makanan)
M : Medikasi/obat-obatan (obat-obatan yang diminum seperti sedang menjalani
pengobatan hipertensi, kencing manis, jantung, dosis, atau penyalahgunaan obat
P : Pertinent medical history (riwayat medis pasien seperti penyakit yang pernah
diderita, obatnya apa, berapa dosisnya, penggunaan obat-obatan herbal)
L : Last meal (obat atau makanan yang baru saja dikonsumsi, dikonsumsi berapa
jam sebelum kejadian, selain itu juga periode menstruasi termasuk dalam
komponen ini)
E : Events, hal-hal yang bersangkutan dengan sebab cedera (kejadian yang
menyebabkan adanya keluhan utama)
Selain itu apat dilakukan pengkajian PQRST saat pasien mengeluhkan nyeri,
adapun pengkajian PQRS adalah :
P (Provokes/palliates) : apa yang menyebabkan nyeri? Apa yang membuat
nyerinya lebih baik? apa yang menyebabkan nyerinya lebih buruk? apa yang anda
lakukan saat nyeri? apakah rasa nyeri itu membuat anda terbangun saat tidur?
Q (Quality) : bisakah anda menggambarkan rasa nyerinya? apakah seperti diiris,
tajam, ditekan, ditusuk tusuk, rasa terbakar, kram, kolik, diremas? (biarkan pasien
mengatakan dengan kata-katanya sendiri.
R (Radiates) : apakah nyerinya menyebar? Menyebar kemana? Apakah nyeri
terlokalisasi di satu titik atau bergerak?
S (Severity) : seberapa parah nyerinya? Dari rentang skala 0-10 dengan 0 tidak
ada nyeri dan 10 adalah nyeri hebat
T (Time) : kapan nyeri itu timbul? Berapa lama nyeri itu timbul? Apakah terus
menerus atau hilang timbul? apakah pernah merasakan nyeri ini sebelumnya?
apakah nyerinya sama dengan nyeri sebelumnya atau berbeda?
Setelah dilakukan anamnesis, maka langkah berikutnya adalah pemeriksaan
tanda-tanda vital. Tanda tanda vital meliputi suhu, nadi, frekuensi nafas, saturasi
oksigen, tekanan darah, berat badan, dan skala nyeri. Tanda-tanda vital pada
tahapan usia adalah sebagai berikut :
RR 30 – 40 20 – 30 16 – 20 16 – 20 14 – 16
ºC ºC 37 ºC ºC 37 ºC
Terkadang pada usia bayi dan anak tekanan darah tidak diperiksa. Hanya pada
remaja dan dewasa saja tekanan darah perlu di periksa.
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik adalah pemeriksaan tubuh untuk menentukan adanaya kelainan
– kelainan dari sustu sistem atau suatu organ tubuh dengan cara melihat
(inspeksi), meraba (palpasi), mengetuk (perkusi) dan mendengarkan (auskultasi).
(Raylene M Rospond, 2009).
Pemeriksaan fisik digunakan untuk mendapatkan data objektif dari riwayat
kesehatan pasien. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan bersamaan dengan
wawancara. Fokus pengkajian fisik adalah pada kemampuan fungsional pasien.
Metode dan langkah pemeriksaan fisik :
a. Inspeksi
Merupakan metode pemeriksaan pasien dengan melihat langsung seluruh
tubuh pasien atau hanya bagian tertentu yang diperlukan. Inspeksi adalah
kegiatan aktif, proses ketika perawat harus mengetahui apa yang dilihatnya
dan dimana lokasinya.
Cara pemeriksaan :
- Posisi pasien dapat tidur, duduk atau berdiri
- Bagian tubuh yang diperiksa harus terbuka
- Bandingkan bagian tubuh yang berlawanan (kesimetrisan) dan
abnormalitas
b. Palpasi
Palpasi adalah suatu tindakan yang dilakukan dengan perabaan dan penekanan
bagian tubuh dengan menggunakan jari atau tangan. Tangan dan jari adalah
intrumen yang sensitif digunakan untuk mengumpulkan data. Teknik palpasi
dibagi menjadi dua :
Palpasi ringan : ujung – ujung jari pada satu atau dua tangan digunakan secara
simultan. Tangan diletakkan pada area yang dipalpasi, jari – jari ditekan
- Lakukan palpasi secara hati – hati apabila diduga adaanya fraktur tulang
yang dihasilkan oleh tubuh. Biasanya menggunakan stetoskop. Hal – hal yang
- Rales : suara yang dihasilkan dari eksudat lengket saat saluran – saluran
- Wheezing : bunyi yang terdengar “ngik”. Bisa dijumpai pada fase inspirasi
Tindakan :
- Palpasi : catat adanya nyeri tekan, dan hitung berapa detik kapiler refill
(pada pasien hypoxia lambat s/d 5-15 detik
d. Pemeriksaan kepala
Tujuan :
- Untuk mengetahui bentuk dan funsi kepala
- Untuk mengetahui luka dan kelainan pada kepala
Tindakan :
- Inspeksi : kesimetrisan wajah jika, muka ka.ki berbeda atau misal lebih
condong ke kanan atau ke kiri itu menunjukan ada parese/kelumpuhan,
contoh: pada pasien SH
- Palpasi : Cari adanya luka, tonjolan patologik, dan respon nyeri dengan
menekan kepala sesuai kebutuhan
e. Mata
Tujuan :
- Untuk mengetahui bentuk dan fungsi mata
- Untuk mengetahui adanya kelainan atau peradangan pada mata
Tindakan :
- Inspeksi : Kelopak mata ada radang atau tidak, simetris atau tidak, reflek
kedip baik/tidak, konjungtiva dan sclera: merah / konjungtivitis,
ikterik/indikasi hiperbilirubin/gangguan pada hepar, pupil: isokor
(normal), miosis/mengecil, pin point/sangat kecil (suspek SOL),
medriasis/melebar/dilatasi (pada pasien sudah meninggal)
- Palpasi : Tekan secara ringan untuk mengetahui adanya TIO (tekanan intra
okuler) jika ada peningkatan akan teraba keras (pasien
glaucoma/kerusakan dikus optikus), kaji adanya nyeri tekan
f. Hidung
Tujuan :
- Untuk mengetahui bentuk dan fungsi hidung
- Untuk mendetahui adanya inflamasi/sinusitis
Tindakan :
- Inspeksi : Apakah hidung simetris, apakah ada inflamasi, apakah ada
secret
- Palpasi : Apakah ada nyeri tekan, massa
g. Telinga
Tujuan :
- Untuk mengetahui keadaan telinga luar, saluran telinga, gendang telinga
- Untuk mengetahui fungsi pendengaran
Tindakan :
- Telinga Luar :
Inspeksi : Daun telinga simetris atau tidak, warna, ukuran, bentuk,
kebresihan, adanya lesi.
Palpasi : Tekan daun telinga apakah ada respon nyeri, rasakan kelenturan
kartilago
- Telinga Dalam :
Inspeksi : Telinga dalam menggunakan otoskop perhatikan memberan
timpani (warna, bentuk) adanya serumen, peradangan dan benda asing,
dan darah
h. Mulut dan Faring
Tujuan :
- Untuk mengetahui bentuk dan kelainan pada mulut
- Untuk mengetahui kebersihan mulut
Tindakan :
- Inspeksi : Amati bibir apa ada klainan kogenital (bibir sumbing), warna,
kesimetrisan, kelembaban, pembengkakkan, lesi.
- Palpasi : Pegang dan tekan daerah pipi kemudian rasakan apa ada massa/
tumor, pembengkakkan dan nyeri.
i. Leher
Tujuan :
- Untuk menentukan struktur integritas leher
- Untuk mengetahui bentuk leher dan organ yang berkaitan
- Untuk memeriksa sistem limfatik
Tindakan :
- Inspeksi : Amati mengenai bentuk, warna kulit, jaringan parut, Amati
adanya pembengkakkan kelenjar tirod/gondok, dan adanya massa, Amati
kesimeterisan leher dari depan, belakang dan samping
- Palpasi :Letakkan kedua telapak tangan pada leher klien, suruh pasien
menelan dan rasakan adanya kelenjar tiroid (kaji ukuran, bentuk,
permukaanya).
j. Dada / Thorax
k. Paru / pulmonalis
Tujuan :
- Untuk mengetahui bentuk, kesimetrisan, ekspansi paru
- Untuk mengetahui frekuensi, irama pernafasan
- Untuk mengetahui adanynyeri tekan, adanya massa, peradangan, edema,
taktil fremitus
- Untuk mengetahui batas paru dengan organ disekitarnya
- Mendengarkan bunyi paru / adanya sumbatan aliran udara
Tindakan :
Inspeksi : Amati kesimetrisan dada ka.ki, amati adanya retraksi interkosta,
amati gerkkan paru, Amati klavikula dan scapula simetris atau tidak
Palpasi :
1) Palpasiekspansiparu :
Berdiri di depan klien dan taruh kedua telapak tangan pemeriksa di dada
dibawah papilla, anjurkan pasien menarik nafas dalam, rasakkan apakah
sama paru.
Berdiri deblakang pasien, taruh telapak tangan pada garis bawah
scapula/setinggi costa ke-10, ibu jari ka.ki di dekatkan jangan samapai
menempel, dan jari-jari di regangkan lebih kurang 5 cm dari ibu jari.
Suruh pasien kembali menarik nafas dalam dan amati gerkkan ibu jari
ka.ki sama atau tidak
2) Palpasi Taktil vremitus posterior dan anterior :
- Meletakkan telapak tangan kanan di belakang dada tepat pada apex
paru/stinggi supra scapula (posisi posterior)
ke-5 sambil menekan arteri carotis (Bunyi S1: dengarkan suara “LUB”
pada waktu sistolik; Bunyi S2: dengarkan suara “DUB” yaitu bunyi
hipertensi “DEE..-LUB-DUB”)
m. Perut / Abdomen
Tujuan :
- Untuk mengetahui bentuk dan gerak-gerakkan perut
- Untuk mendengarkan bunyi pristaltik usus
- Untuk mengetahui respon nyeri tekan pada organ dalam abdomen
Tindakan :
Inspeksi : Amati bentuk perut secara umum, warna kulit, adanya retraksi,
penonjolan, adanya ketidak simetrisan, adanya asites
Palpasi :Palpasi ringan: Untuk mengetahui adanya massa dan respon nyeri
tekan letakkan telapak tangan pada abdomen secara berhimpitan dan tekan
secara merata sesuai kuadran.Palpasi dalam: Untuk mengetahui posisi organ
dalam seperi hepar, ginjal, limpa dengan metode bimanual/2 tangan
n. Hepar
- Letakkan tangan pemeriksa dengan posisi ujung jari keatas pada bagian
hipokondria kanan, kira-kira pada interkosta ke 11-12
- Tekan saat pasien inhalasi kira-kira sedalam 4-5 cm, rasakan adanya organ
hepar. Kaji hepatomegali
o. Limpa
- Metode yang digunakkan seperti pada pemeriksaan hepar
- Anjurkan pasien miring kanan dan letakkan tangan pada bawah interkosta
kiri dan minta pasien mengambil nafas dalam kemudian tekan saat inhalasi
tenntukkan adanya limpa.
- Pada orang dewasa normal tidak teraba
p. Renalis
- Untuk palpasi ginjal kanan letakkan tangan pada atas dan bawah perut
setinggi Lumbal 3-4 dibawah kosta kanan.
- Untuk palpasi ginjal kiri letakkan tangan setinggi Lumbal 1-2 di bawah
kosta kiri.
- Tekan sedalam 4-5 cm setelah pasien inhalasi jika teraba adanya ginjal
rasakan bentuk, kontur, ukuran, dan respon nyeri
q. Genetalia
Tujuan :
- Untuk mengetahui adanya lesi
- Untuk mengetahui adanya infeksi (gonorea, shipilis, dll)
- Untuk mengetahui kebersihan genetalia
Tindakan :
Genetalialaki-laki :
Inspeksi :Amati penis mengenai kulit, ukuran dan kelainan lain.Pada penis
yang tidak di sirkumsisi buka prepusium dan amati kepala penis adanya lesi.
Amati skrotum apakah ada hernia inguinal, amati bentuk dan ukuran
Palpasi :Tekan dengan lembut batang penis untuk mengetahui adanya nyeri.
Tekan saluran sperma dengan jari dan ibu jari
Genetaliawanita :
Inspeksi :Inspeksi kuantitas dan penyebaran pubis merata atau tidak. Amati
adanya lesi, eritema, keputihan/candidiasis
Palpasi : Tarik lembut labia mayora dengan jari-jari oleh satu tangan untuk
mengetahui keadaan clitoris, selaput dara, orifisium dan perineum
r. Rektum dan Anal
Tujuan :
- Untuk mengetahui kondisi rectum dan anus
- Untuk mengetahui adanya massa pada rectal
- Untuk mengetahui adanya pelebaran vena pada rectal/hemoroid
Tindakan :
Inspeksi : Inspeksi jaringan perineal dan jaringan sekitarnya kaji adanya lesi
dan ulkus
Palpasi : ulaskan zat pelumas dan masukkan jari-jari ke rectal dan rasakan
adanya nodul dan atau pelebaran vena pada rectum
s. PemeriksaanMuskuloskeletal
Tujuan :
- Untuk memperoleh data dasar tentang otot, tulang dan persendian
- Untuk mengetahui mobilitas, kekuatan otot, dan gangguan-gangguan pada
daerahtertentu
Tindakan :
t. Muskuli / otot
Inspeksi : mengenai ukuran dan adanya atrofi dan hipertrofi (ukur dan catat
jika ada perbedaan dengan meteran)
Palpasi : pada saatotot istirahat dan pada saat otot kontraksi untuk mengetahui
adanya kelemahan dan kontraksi tiba-tiba
u. Skeletal / tulang
Inspeksi : Amati kenormalan dan abnormalan susunan tulang
Palpasi : untuk mengetahui adanya nyeri tekan dan pembengkakkan
v. Persendian
Inspeksi : lihatsemua persendian untuk mengetahui adanya kelainan sendi
Palpasi : amatiapakah ada nyeri tekan. Kaji range of mosion/rentang gerak
(abduksi-aduksi, rotasi, fleksi-ekstensi, dll
w. System neurologi
Tujuan :
- Untuk mengetahui integritas sistem persyrafan yang meliputi fungsi
nervus cranial, sensori, motor dan reflek
Tindakan :
Pengkajian 12 syaraf cranial (O.O.O.T.T.A.F.A.G.V.A.H)
No. Syaraf Tindakan
f. Lanjutan resusitasi
1. Monitor EKG
Dipasangkan pada semua penderita trauma
2. Kateter dan urin lambung
Produksi yang merupakan indicator digunakan untuk menilai keadaan perkusi
ginjal dan hemodinamik penderita sedangkan urin lambung dipakai untuk
mengurangi distensi lambung dan mengurangi kemungkinan muntah. Isi lambung
yang pekat mengakibatkan NGT tidak berfungsi sehingga pemasangannya bisa
mengakibatkan muntah.
3. Monitor hasil resusitasi
Memoitorkan nafas, nadi, tekanan darah, ABG (Arterial Blood Gaces), suhu
tubuh dan pengeluaran atau output urin.
4. Pemeriksaan rongten dan pemeriksaan tambahan lainnya disesuaikan dengan
kondisi yang dialami penderita.
g. Terapi lanjutan
1. Pasien di rujuk apabila Rumah Sakit tidak mampu menangani pasien karena
keterbatasan SDM maupun fasilitas serta keadaan pasien yang masih
memungkinkan untuk di rujuk.
2. Tentukan indikasi rujukan, prosedur rujukan dan kebutuhan penderita selama
perjalanan serta komunikasikan dengan dokter pada pusat rujukan yang dituju.
D. EBN
Judul KEMAMPUAN PERAWAT DALAM PENATALAKSANAAN
ABC (AIRWAY, BREATHING, CIRCULATION) TERHADAP
KEBERHASILAN PENANGANAN KEGAWATDARURATAN
MATERNITAS DI ICU
Tahun 2018
Penulis Zainul Arifin & Sri Wahyuningsih
Abstrak Penatalaksanaan ABC (Airway, Breathing, Circulation) yang lebih
kompleks dibanding dengan ruangan lain harus bisa dilakukan
perawat ICU pada pasien dalam keadan darurat klinis atau kritis
maternitas yang masuk di ruang ini, sehingga kejadian kesakitan dan
kematian ibu dapat dikurangi atau dicegah. Mengetahui korelasi
kemampuan perawat dalam penatalaksanaan ABC (Airway,
Breathing, Circulation) terhadap keberhasilan penanganan
kegawatdaruratan maternitas di Ruang ICU. Desain penelitian
kuantitatif observasional, dengan total sampling perawat di ruang
ICU RSUD dr. Haryoto Lumajang (n=18) dan melakukan
penatalaksanaan ABC pada kegawatdaruratan maternitas di bulan
Januari-April 2018. Data dianalisis menggunakan uji Rank Spearman.
Dari 18 responden penelitian menunjukkan semua pernah melakukan
penatalaksaan ABC pada kasus kegawadaruratan maternitas, tetapi
hanya 22,2% saja, perawat yang sudah pelatihan ICU, padahal
penatalaksaan ABC yang lebih kompleks didapatkan pada pelatihan
ICU. Sehingga meskipun kemampuan perawat dalam penatalaksaan
ABC berhubungan dengan keberhasilan penanganan
kegawatdaruratan maternitas di ruang ICU (p< 0,05), jumlah perawat
yang mengikuti pelatihan ICU harus ditingkatkan supaya perawatan
yang lebih komprehensif dapat tercapai. Kemampuan perawat dalam
penatalaksanaan ABC terhadap keberhasilan penanganan
kegawatdaruratan maternitas berkorelasi posistif kuat dengan
koefisien korelasi sebesar 0,520.
Tujuan penelitian Untuk mengetahui korelasi kemampuan perawat dalam
penatalaksanaan ABC (Airway, Breathing, Circulation) terhadap
keberhasilan penanganan kegawatdaruratan maternitas di Ruang ICU.
Metode Desain penelitian kuantitatif observasional, dengan total sampling
penelitian perawat di ruang ICU RSUD dr. Haryoto Lumajang (n=18) dan
melakukan penatalaksanaan ABC pada kegawatdaruratan maternitas
di bulan Januari-April 2018. Data dianalisis menggunakan uji
korelasi Rank Spearman.
Hasil penelitian Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat korelasi kemampuan
perawat dalam penatalaksanaan ABC (Airway, Breathing,
Circulation) terhadap keberhasilan penanganan kegawat daruratan
maternitas di ruang ICU RSUD dr. Haryoto Lumajang.
Implikasi keterampilan merupakan persyarat minimal yang harus dimiliki oleh
keperawatan seorang perawat. Keterampilan mencakup aspek pendidikan,
pengetahuan, dan sikap kerja, termasuk dapat melalui pelatihan.
Penatalaksanaan Airway, Breathing, Circulation (ABC) diterapkan
dalam semua keadaan darurat klinis untuk penilaian dan perawatan
segera.
Keterampilan ABC berkualitas tinggi pada semua anggota tim yang
merawat dapat menghemat waktu berharga dan meningkatkan kinerja
tim. Mengingat manifestasi klinik kasus kegawatdaruratan maternitas
yang berbeda-beda dalam rentang yang cukup luas, mengenal kasus
tersebut tidak selalu mudah dilakukan, bergantung pada pengetahuan,
kemampuan daya pikir dan analisis, serta pengalaman penolong.
Kesimpulan Seorang perawat yang bekerja di ICU harus memiliki kemampuan,
keterampilan, dan pengetahuan yang tinggi dan luas dibanding kan
perawat di bangsal lain karena kebanyakan kasus yang datang adalah
kasus kegawatdaruratan yang mengancam nyawa seseorang.
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Sistem triase ini digunakan untuk menentukan prioritas penanganan kegawat
daruratan. Sehingga perawat benar-benar memberikan pertolongan pada pasien yang
sangat membutuhkan, dimana keadaan pasien sangat mengancam nyawanya, namun
dengan penanganan secara cepat dan tepat, dapat menyelamatkan hidup pasien tersebut.
Tidak membuang wakunya untuk pasien yang memang tidak bisa diselamatkan lagi, dan
mengabaikan pasien yang membutuhkan.
Tujuan utama adalah untuk mengidentifikasi kondisi mengancam nyawa. Tujuan
triage selanjutnya adalah untuk menetapkan tingkat atau derajat kegawatan yang
memerlukan pertolongan kedaruratan.
Sistem triage dikenal dengan system kode 4 warna yang diterima secara
internasional. Merah menunjukan perioris tinggi perawatan atau pemindahan, Kuning
menandakam perioritas sedang, hijau digunakan untuk pasien rawat jalan, dan hitam
untuk kasus kematian atau pasien menjelang ajal. Perawat harus mampu mampu
mengkaji dan menggolongkan pasien dalam waktu 2 – 3 menit.
B. SARAN
Pengambilan keputusan adalah bagian yang penting dan integral pada medis dan praktik
keperawatan. Penilaian klinis tentang pasien membutuhkan baik pemikiran dan intuisi,
dan keduanya harus didasarkan pada professional,pengetahuan dan keterampilan, dalam
laporan ini diharapkan segala informasi mengenai triase dapat menjadi acuan yang
medalam bagi para mahasiswa selanjutnyua guna memenuhi segala penugasan yang
belum tercapai dan menemukan pemikiran yang baru.
DAFTAR PUSTAKA
Wartatmo, Hendro. 2013. Modul Pelatihan Penanggulangan Penderita Gawat Darurat (PPGD)
Basic Trauma and Cardiac Life Support (BTCLS). Yogyakarta: TIM PUSBANKES 118
Musliha. 2010. Keperawatan Gawat Darurat, Plus Contoh Askep dengan Pendekatan NANDA,
NIC, NOC. Yogyakarta: Nuha Medika
Pan American Health Organization, ed. Palupi Widyastuti. 2000. Bencana Alam : Perlindungan
Kesehatan Masyarakat. Jakarta : EGC