Anda di halaman 1dari 36

MAKALAH TUTORIAL

“INITIAL ASSESSMENT”

DISUSUN OLEH :
LILIS IRMAWATI (160100796)
MEGY PRADANA (160100801)
MERITA PUTRI W (160100802)
NURHIKMAH N (160100810)
PRISMA PEGGY N (160100813)
RETNO RAHAYU (160100816)
RIVAN ADE (160100822)
SAPITRI DEWI (160100825)
SHINTA MAYASARI (160100830)
TIAN SISWANTO (160100831)
TIFFANY FATIKHA D (160100832)

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ALMA ATA
2019
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb

Puji syukur kami panjatkan Kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan rahmat serta
hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan tugas makalah tutorial kasus pertama dengan tema
”INITIAL ASSESSMENT”.
Makalah tutorial yang kami susun ini dengan maksud bertujuan memberikan pengetahuan
tentang kegawatdaruratan di lapangan , tidak lupa kami mengucapkan terimakasih kepada Ibu
Lia Endriyani, S.Kep., Ns., MS selaku LNO Blok Nursing 5: Emergency and Critical Care
Nursing dan ibu Ratna Wirawati Rosyida, S.Kep., Ns., M.Kep selaku pendamping tutorial di
kelompok B2.
Kami berharap makalah tutorial ini dapat memberikan pengaruh yang baik dan positif
untuk pembaca. Dan kami juga menyadari bahwa makalah ini tidak luput dari kekurangan. Oleh
karena itu, saran dan kritikan yang membangun dari para pembaca sangat kami harapkan demi
kesempurnaan dan perbaikan makalah ini.

Wassalamualaikum Wr.Wb.

Yogyakarta, 21 Desember 2019

Penulis
DAFTAR ISI

Kata Pengantar .............................................................................................................. i


Daftar Isi ....................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................. 1-2
A. Latar Belakang .................................................................................................. 1
B. Tujuan ............................................................................................................... 2
C. Rumusan Masalah ............................................................................................. 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................. 3-17
A. Telaah Pustaka .................................................................................................. 3-15
B. EBN................................................................................................................... 16-17
BAB III PENUTUP ...................................................................................................... 18
A. Kesimpulan ....................................................................................................... 18
B. Saran ................................................................................................................. 18
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................... 19
LAMPIRAN JURNAL
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Initial assesment merupakan penilaian awal yang cepat dan tepat mengenai
keadaan pasien atau korban. Penilaian ini sangat dibutuhkan dalam menangani kasus
kegawatdaruratan yang membutuhkan pertolongan yang tepat, cermat, dan cepat yang
bila tidak dilakukan segera dapat mengakibatkan kecacatan atau mengancam jiwa korban.
Dimana initial assesment mempunyai 7 proses yaitu, persiapan, triage, primary
survey, resusitasi, secondary survey (head-to-toe), monitoring dan evaluasi post
resusitasi, penanganan definitif.
B. Tujuan
1. Mengetahui apa yang dimaksud dengan initial assesment.
2. Mengetahui proses persiaan pada initial assesment.
3. Mengetahui proses triage.
4. Mengetahui proses primary survey.
5. Mengetahui proses serta apa yang dimaksud dengan resusitasi.
6. Mengetahui proses secondary survey.
7. Mengetahui proses lanjutan resusitasi.
8. Mengetahui terapi lanjutan dalam initial assesment.
C. Manfaat
Diharapkan makalah ini dapat digunakan sebagai bahan bacaan dan literatur bagi
pembaca dan penulis terkait dengan materi intial assesment dalam kegawatdaruratan.
BAB II
SKENARIO KASUS DAN PEMBAHASAN

A. Kasus 1 : Initial Assessment


Beberapa bulan yang lalu Kabupaten Lombok terjadi gempa bumi , telah ditemukan
korban umur 25 tahun dengan keadaan tidak sadarkan diri dibawa ke RSU setempat
untuk mendapatkan penanganan medis. Saat dilakukan initial assessment pada tahap
Primary Survay Airway tidak ada gangguan pernafasan, Breating RR 24x/menit SPO2
85, Circulation TD 110/70 mmHg, Suhu 36°c. Nadi 60 x/menit Disability mata membuka
ketika diberi rangsangan nyeri, saat bicara mengeram, dan ketika extermitas diangkat
secara spontan jatuh. Exposure terdapat fraktur femur 1/3 distal dan terdapat luka robek
12 cm disertai dengan pendarahan korban.
B. Analisis Kasus
STEP I ( Kata Sulit )
1. Initial Assessment
2. Primary Survay
3. Circulation
4. Airway
5. Disability
6. Breating
7. Exposure
Jawaban :
1) Sapitri : penilaian pertama pada pasien yang mengalami luka
Prisma : proses evaluasi secara langsung dan diikuti dengan resusitasi
Retno : proses penilaian yang tepat dan cepat untuk menangani prasien kritis
Tiffany : langkah awal untuk pasien yang mengalami trauma
2) Rivan : menggunakan penilain ABCDE
Merita : pertolongan pertama pada kegawatdaruratan
Lilis : pengkajian pertama pada pasien secara singkat
3) Tiffany : pemeriksaan pada nadi karotis
4) Sapitri : pengkajian yang dilakukan tentang respon pasien
Retno : pengkajian tentang jalan nafas
5) Rivan : lebih pada pengkajian kesadaran / GCS
Lilis : penilaian GCS
6) Retno : pernafasan bisa dilihat dengan look, listen, dan feel
Tiffany : bisa dilakukan secara maksimal yang dilakukan oleh otot perut
7) Sinta : penanganan pada suhu tubuh agar tetap hangat
STEP II ( Pertanyaan )
1. Apa yang dimaksud dengan initial assessment pada kegawatdaruratan ? (Prisma)
2. Apa dampaknya jika kita sebagai perawat dalam menangani pasien tidak
menggunakan prinsip ABCDE ? (Merita )
3. Apa penanganan pertama pada kasus ? (Sapitri)
4. Bagaimana cara pemeriksaan airway atau kepatenan jalan nafas ? (Tiffany)
5. Apa tahapan melakukan initial assessment ? (Retno)
6. Bagaimana cara melakukan initial assessment pada pasien dengan cidera tertentu ?
(Prisma)
7. Bagaimana cara untuk mengetahui pasien mengalami fraktur femur 1/3 distal ?
(Tiffany)
8. Jika kondisi pasien tidak stabil kenapa dilakukan pengkajian ulang ABCDE ? (Merita)
9. Apa tingkat kesadaran pasien pada kasus ? ( Lilis )
10. Sebutkan proses initial assessment ? (Sapitri)
STEP III ( Menjawab Pertanyaan )

1. Prisma : proses penilaian yang tepat dan cepat untuk menanggulangi kecacatan atau
kematian
2. Rivan : bisa menyebabkan kecacatan atau kematian
Retno : biasanya jika tidak dilakukan dengan cara yang benar akan menyebabkan
kematian
Tiffany : bisa menimbulkan komplikasi
3. Retno : ada initial assessment, triase, ABCDE, primary survey, pemberian
pemasangan lambing
4. Sinta : membuka jalan nafas, dan membersihkan jalan nafas
Merita : dengan posisi head tilt, chin lift, dan jaw thrust
Retno : berikan respon dan pasangkan alat OPA
5. Prisma : dilakukan ABCDE, resusitasi, primary survey, pemantauan dan re-evaluasi,
transfer ke pusat kesehatan yang lenih baik, secondary survey, tambahan secondary
survey
Sapitri : persiapan, triase atau pemilihan terapi, primary survey, resusitasi
6. Merita : dengan cara initial assessment dan benar dan tepat
Retno : dengan cara yang benar yaitu tahap persiapan, triage, primary survey
(ABCDE), resusitasi, secondary survey, lanjutan resusitasi, dan terapi lanjutan
7. Sapitri : merobek bagian celana, dan dilihat seberapa besarnya fraktur
Sinta : melihat adanya respon klien apakah ada yang terasa nyeri atau tidak
Lilis : dilihat apakah ada pendarahan, robekn lukanya, pembengkakan, dan kebiruan
8. Sinta : karena kondisi pasien masih belum stabil
Retno : untuk breatingnya dicek terlebih dahulu untuk memastikan apakah pasien
sudah benar-benar sadar atau belum
Sapitri : untuk menyesuaikan tindakan dan terapi yang dibutuhkan
Lilis : stupor karena jumlahnya ada 5
9. Retno : persiaapan, triase, primary survey, resusitasi, secondary survey, lanjutan
resusitasi, dan terapi lanjutan
STEP IV ( Mind Mapping )

INITIAL ASSESSMENT

PERSIAPAN TRIAGE PRIMARY RESUSITASI SECONDARY LANJUTAN TERAPI


SURVAY SURVAY RESUSITASI LANJUTAN

STEP V ( Learning Outcomes )

1. Persiapan ?
2. Triage ?
3. Primary survey ( ABCDE ) ?
4. Resusitasi ?
5. Secondary survey ?
6. Lanjutan resusitasi ?
7. Terapi lanjutan ?
8. EBN ( Evidence Based Nursing ) ?

C. PEMBAHASAN
a. Persiapan
Pada tahap persiapan, koordinasi yang baik antara dokter di rumah sakit dengan
petugas di lapangan sangatlah penting dan akan menguntungkan penderita. Sebaiknya
rumah sakit sudah diberitahukan sebelum pasien mulai diangkut dari tempat kejadian
sehingga rumah sakit dapat mempersiapkan peralatan dan tim trauma pada saat
penderita tiba di rumah sakit.
Ada 2 tahap persiapan yaitu tahap pra rumah sakit dan intra rumah sakit.
1. Tahap pra rumah sakit
Pada tahap ini merupakan fase yang cukup menentukan untuk keselamatan
pasien, mulai dari penanganan awal hingga rujukan pasien ke rumah sakit yang
tepat dengan tahapan antara lain:
a) Koordinasi dengan rumah sakit tujuan yang disesuaikan dengan kondisi
penderita dan jenis perlukaannya.
b) Penjagaan jalan napas, selalu kontrol pendarahan dan imobilisasi penderita.
c) Koordinasi dengan petugas lapangan lainnya.
2. Tahap intra rumah sakit
Pada tahap ini harus dipersiapan petugas dan perlengkapannya sebelum penderita
tiba di rumah sakit dengan tahapan antara lain:
a) Alat pelindung diri.
b) Kesiapan perlindungan dan ruangan untuk resusitasi.
c) Persiapan untuk tindakan resusitasi yang lebih kompleks.
d) Persiapan untuk terapi definitif.
b. Triage
1. Pengertian
Triage adalah suatu cara untuk menseleksi atau memilah korban berdasarkan
tingkat kegawatan. Memilah dan menseleksi korban tersebut tujuannya untuk
mempercepat dalam memberikan pertolongan terutama pada para korban yang dalam
kondisi kritis atau emergensi sehingga nyawa korban dapat diselamatkan.
2. Proses Triage
Waktu yang dibutuhkan adalah kurang dari 2 menit karena tujuan triage bukan
mencari diagnosa tapi mengkaji dan merencanakan untuk melakukan tindakan.
3. Prinsip Triage
Triage seharusnya segera dan tepat waktu, penanganan segera dan tepat waktu
akan segera mengatasi masalah pasien dan mengurangi terjadinya kecacatan akibat
kerusakan organ. Pengkajian seharusnya adekuat dan akurat karena akan menghasilkan
diagnosa masalah yang tepat. Keputusan berdasarkan dari pengkajian, penegakan
diagnose dan keputusan tindakan yang diberikan sesuai kondisi pasien.
Intervensi dilakukan sesuai dengan kondisi korban, penanganan atau tindakan
yang diberikan sesuai dengan masalah atau keluhan pasien. Dokumentasi dengan benar
merupakan sarana komunikasi antara tim gawat darurat dan merupakan aspek legal.
4. Klasifikasi
a) Prioritas 1 (Emergensi): warna/label merah
Bila tidak ditangani mengancam jiwa dan waktu tunggu 0-5 menit.
b) Prioritas 2 (Gawat): warna/label kuning
Apabila tidak segera ditolong maka akan terjadi kolap paru atau jantung, perawatan
dan pengobatan tidak lebih dari 30 menit.
c) Prioritas 3 (Tidak gawat): warna/label hijau
Kondisi korban tidak serius, membutuhkan perawatan kurang dari 2 jam.
c. Primary survey (ABCDE)
Penanganan awal dalam Primary Survey membantu mengidentifikasi keadaan-
keadaan yang mengancam nyawa, yang terdiri dari tahapan-tahapan sebagai berikut :
1. Airway, pemeliharaan airway dengan proteksi servikal
Keadaan kurangnya darah yang teroksigenasi ke otak dan organ vital lainnya
merupakan pembunuh pasien-pasien trauma yang paling cepat. Obstruksi airway
akan menyebabkan kematian dalam hitungan beberapa menit. Gangguan
pernapasan biasanya membutuhkan beberapa menit lebih lama untuk
menyebabkan kematian dan masalah sirkulasi biasanya lebih memakan waktu
yang lebih lama lagi. Maka dari itu, penilaian airway harus dilakukan dengan
cepat begitu memulai penilaian awal. (Greaves, 2006). Menurut ATLS 2009,
kematian-kematian dini yang disebabkan masalah airway, dan yang masih dapat
dicegah, sering disebabkan oleh :
1) Kegagalan mengetahui adanya kebutuhan airway
2) Ketidakmampuan untuk membuka airway
3) Kegagalan mengetahui adanya airway yang dipasang secara keliru
4) Perubahan letak airway yang sebelumnya telah dipasang
5) Kegagalan mengetahui adanya kebutuhan ventilasi
6) Aspirasi isi lambung
Tecapainya patensi airway merupakan hal yang sangat esensial dalam penanganan
awal pasien-pasien gawat darurat. Penilaian tentang mampu atau tidaknya
seseorang bernapas secara spontan harus dilakukan secara cepat. Menurut Bersten
dan Soni (2009) dalam Higginson dan Parry (2013), untuk menilai patensi airway
secara cepat dapat dilakukan dengan mengajukan pertanyaan kepada pasien.
Respon verbal yang normal menandakan dengan cepat kepada penolong bahwa
pasien memiliki airway yang paten, sudah bernapas, dan otaknya sudah dalam
keadaan diperfusi. Namun begitu, penilaian airway tetap penting untuk dilakukan.
Apabila pasien hanya dapat berbicara sepatah dua patah kata ataupun tidak
respon, pasien kemungkinan dalam keadaan distress nafas dan membutuhkan
pertolongan bantuan napas secara cepat. Dalam mengatasi obstruksi airway,
terlebih dahulu dilakukan suctioning untuk mengeluarkan cairan saliva berlebih
yang mungkin timbul akibat pangkal lidah yang terjatuh.
(American College of Surgeons, 2009) Tindakan suctioning yang tepat dalam
pemeliharaan airway dapat secara signifikan menurunkan kejadian aspirasi dan
lebih banyak lagi hasil positif yang didapatkan. (Walter, 2002) Pada keadaan
tidak sadarkan diri, penyebab tersering terhambatnya airway adalah pangkal lidah
yang jatuh. Selain itu, penolong juga harus melakukan inspeksi tentang ada
tidaknya benda-benda asing yang menghambat airway ataupun kemungkinan
terjadinya fraktur fasial, mandibular ataupun trakeal/laringeal yang juga dapat
menghambat bebasnya airway. Pasien-pasien dalam keadaan penurunan
kesadaran ataupun GCS (Glasgow Coma Score) yang nilainya 8 ke bawah perlu
diberikan pemasangan airway definitif. Adanya gerakan-gerakan motorik tidak
bertujuan juga biasanya mengindikasikan perlunya pemasangan airway definitif.
(American College of Surgeons, 2009) Tanda obstruksi jalan nafas antara lain :
- Suara berkumur
- Suara nafas abnormal (stridor, dsb)
- Pasien gelisah karena hipoksia
- Bernafas menggunakan otot nafas tambahan / gerak dada paradoks
- Sianosis
Penilaian bebasnya airway dan baik-tidaknya pernafasan harus dikerjakan dengan
cepat dan tepat. Berbagai bentuk sumbatan pada airway dapat dengan segera
diperbaiki dengan cara mengangkat dagu (chin lift maneuver) dan memiringkan
kepala (head tilt) maneuver), atau dengan mendorong rahang bawah ke arah
depan (jaw thrust maneuver). Airway selanjutnya dapat dipertahankan dengan
orofaringeal (oropharyngeal airway) atau nasofaringeal (nasopharingeal
airway). Tindakan-tindakan yang digunakan untuk membuka airway dapat
menyebabkan atau memperburuk cedera spinal. Adanya suspek cedera pada
spinal mengindikasikan dilakukannya tindakan imobilisasi spinal (in-line
immobilization) (Haskell, 2006).
Teknik-teknik mempertahankan airway :
1) Head-tilt
Bila tidak sadar, pasien dibaringkan dalam posisi terlentang dan horizontal,
kecuali pada pembersihan airway dimana bahu dan kepala pasien harus
direndahkan dengan posisi semilateral untuk memudahkan drainase lendir,
cairan muntah atau benda asing. Kepala
diekstensikan dengan cara meletakkan satu tangan di bawah leher pasien
dengan sedikit mengangkat leher ke atas. Tangan lain diletakkan pada dahi
depan pasien sambil mendorong / menekan ke belakang. Posisi ini
dipertahankan sambil berusaha dengan memberikan inflasi bertekanan positif
secara intermitten. (Alkatri,
2007)

2) Chin-lift

Jari - jemari salah satu tangan diletakkan bawah rahang, yang kemudian
secara hati – hati diangkat ke atas untuk membawa dagu ke arah depan. Ibu
jari tangan yang sama, dengan ringan menekan bibir bawah untuk membuka
mulut, ibu jari dapat juga diletakkan di
belakang gigi seri (incisor) bawah dan, secara bersamaan, dagu dengan hati –
hati diangkat. Maneuver chin lift tidak boleh menyebabkan hiperekstensi
leher. Manuver ini berguna pada korban trauma karena tidak membahayakan
penderita dengan kemungkinan patah ruas rulang leher atau mengubah patah
tulang tanpa cedera spinal menjadi patah tulang dengan cedera spinal.
(Nasution, 2009)10

3) Jaw-thrust
Penolong berada disebelah atas kepala pasien. Kedua tangan pada mandibula,
jari kelingking dan manis kanan dan kiri berada pada angulus mandibula, jari
tengah dan telunjuk kanan dan kiri berada pada ramus mandibula sedangkan
ibu jari kanan dan kiri berada pada mentum mandibula. Kemudian mandibula
diangkat ke atas melewati
molar pada maxila (Arifin, 2012).
4) Oropharyngeal Airway
Indikasi : Membebaskan sumbatan airway atas, mencegah pangkal lidah
menyumbat airway, dan berfungsi sebagai bite-block pada penanganan jalan
nafas yang lebih advance yakni proteksi pipa endotrakeal dan memfasilitasi
suctioning oral dan faringeal. (GauscheHill, 2007)
Teknik : Posisikan kepala pasien lurus dengan tubuh. Kemudian pilih ukuran
pipa orofaring yang sesuai dengan pasien. Hal ini dilakukan dengan cara
menyesuaikan ukuran pipa oro-faring dari tragus (anak telinga) sampai ke
sudut bibir. Masukkan pipa orofaring dengan tangan kanan, lengkungannya
menghadap ke atas (arah terbalik), lalu masukkan ke dalam rongga mulut.
Setelah ujung pipa mengenai palatum durum putar pipa ke arah 180 derajat.
Kemudian dorong pipa dengan cara melakukan jaw thrust dan kedua ibu jari
tangan menekan sambil mendorong pangkal pipa oro-faring dengan hati-hati
sampai bagian yang keras dari pipa berada diantara gigi atas dan bawah,
terakhir lakukan fiksasi pipa orofaring. Periksa dan pastikan jalan nafas bebas
(Lihat, rasa, dengar). Fiksasi pipa oro-faring dengan cara memplester pinggir
atas dan bawah pangkal pipa, rekatkan plester sampai ke pipi pasien (Arifin,
2012)11
5) Nasopharyngeal Airway
Indikasi : Penggunaan nasopharyngeal airway optimal untuk pemeliharaan
airway pada pasien-pasien setengah sadar ataupun tidak sadarkan diri. Alat ini
lebih tidak mudah menyebabkan stimulasi gag reflex dan juga muntah pada
pasien dibandingkan dengan penggunaan oropharyngeal airway dan tepat
digunakan pada pasien yang giginya menggertak ataupun tidak mau membuka
mulutunya. (Wilson, 2013)
Teknik : Posisikan kepala pasien lurus dengan tubuh. Pilihlah ukuran pipa
nasofaring yang sesuai dengan cara menyesuaikan ukuran pipa naso-faring
dari lubang hidung sampai tragus (anak telinga). Pipa nasofaring diberi pelicin
dengan KY jelly (gunakan kasa yang sudah diberi KY jelly). Masukkan pipa
naso-faring dengan cara memegang
pangkal pipa naso-faring dengan tangan kanan, lengkungannya menghadap ke
arah mulut (ke bawah). Masukkan ke dalam rongga hidung dengan perlahan
sampai batas pangkal pipa. Patikan jalan nafas sudah bebas (lihat, dengar,
rasa) ( Arifin, 2012).

Airway definitive

Terdapat tiga macam airway definitif, yaitu : pipa orotrakeal, pipa nasotrakeal,
dan airway surgikal (krikotiroidotomi atau trakeostomi). Penentuan pemasangan
airway definitif didasarkan pada penemuanpenemuan klinis antara lain
(Americann College of Surgeons, 2009) :

1) Masalah-masalah Airway - Ketidakmampuan untuk memelihara patensi jalan


napas dengan cara lain, dengan 11bahaya yang potensial terjadi pada airway
(mis : setelah cedera inhalasi, fraktur fasial, atau hematoma retrofaringeal).
2) Masalah-masalah Pernapasan –Ketidakmampuan untuk memperthanakan
oksigenasi yang adekuat dengan dukungan sungkup oksigen, dan adanya
apnea.
3) Masalah-masalah Disabilitas – Adanya cedera kepala tertutup yang
membutuhkan ventilasi bantuan (Skala Koma Glasgow bernilai 8 atau
kurang), perlu melindungi bagian bawah airway
dari terjadinya aspirasi darah ataupun muntahan, atau adanya aktivitas kejang
yang menetap. Penilaian dari status klinis pasien dan penggunaan pulse
oxymeter dapat membantu menentukan perlu atau tidaknya tindakan airway
definitif. Dalam memberi tindakan orotrakeal ataupun nasotrakeal, harus
selalu diperkirakan adanya cedera pada c-spine maka in-line mobilisation
harus tetap dikerjakan saat memberikan tindakan. Ketidakmampuan
melakukan intubasi trakea merupakan indikator jelas untuk melakukan airway
surgical.
2. Breathing
Airway yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik. Pertukaran gas yang baik
terjadi pada saat bernafas mutlak untuk pertukaran oksigen dan mengeluarkan
karbondioksida dari tubuh. (American College of Surgeons, 2009). Ventilasi
adalah pergerakan dari udara yang dihirup kedalam dengan yang dihembuskan ke
luar dari paru. Pada awalnya, dalam keadaan gawat darurat, apabila teknik-teknik
sederhana seperti head-tilt maneuver dan chin-lift maneuver tidak berhasil
mengembalikan ventilasi yang spontan, maka penggunaan bagvalve mask adalah
yang paling efektif untuk membantu ventilasi (Higginson dan Parry, 2013).
Teknik ini efektif apabila dilakukan oleh dua orang dimana kedua tangan dari
salah satu penolong dapat digunakan untuk menjamin kerapatan yang baik
(American College of Surgeons, 2009). Berikut adalah cara melakukan
pemasangan bag-valve mask (Arifin, 2012) :
1) Posisikan kepala lurus dengan tubuh
2) Pilihlah ukuran sungkup muka yang sesuai (ukuran yang sesuai bila sungkup
muka dapat menutupi hidung dan mulut pasien, tidak ada kebocoran)
3) Letakkan sungkup muka (bagian yang lebar dibagian mulut)
4) Jari kelingking tangan kiri penolong diposisikan pada angulus mandibula, jari
manis dan tengah memegang ramus mandibula, ibu jari dan telunjuk
memegang dan memfiksasi sungkup muka.
5) Gerakan tangan kiri penolong untuk mengekstensikan sedikit kepala pasien
6) Pastikan tidak ada kebocoran dari sungkup muka yang sudah dipasangkan
7) Bila kesulitan, gunakan dengan kedua tangan bersama-sama (tangan kanan
dan kiri memegang mandibula dan sungkup muka bersama-sama)
8) Pastikan jalan nafas bebas (lihat, dengar, rasa)
9) Bila yang digunakan AMBU-BAG, maka tangan kiri memfiksasi sungkup
muka, sementara tanaga kanan digunakan untuk memegang bag(kantong)
reservoir sekaligus pompa nafas bantu (squeeze-bag). Penilaian ventilasi yang
adekuat atau tidak dapat dilakukan dengan melakukan metode berikut
(American College of Surgeons, 2009) :
- Look : Lihat naik turunnya dada yang simetris dan pergerakan dinding
dada yang adekuat. Asimeteri menunjukkan pembelatan (splinting) atau
flail chest dan tiap pernapasan yang dilakukan dengan susah (labored
breathing) sebaiknya harus dianggap sebagai ancaman terhadap oksigenasi
penderita.
- Listen : Dengar adanya pergerakan udara pada kedua sisi dada. Penurunan
atau tidak terdengarnya suara nafas pada satu atau kedua hemitoraks
merupakan tanda akan adanya cedera dada. Hati-hati terhadap adanya laju
pernafasan yang cepat – takipnea mungkin menunjukkan kekurangan
oksigen.
- Gunakan pulse oxymeter. Alat ini mampu memberikan informasi tentang
saturasi oksigen dan perfusi perifer penderita, tetapi tidak memastikan
adanya ventilasi yang adekuat. Pada saat penilaian sebelumnya dilakukan,
penolong harus mengetahui dan mengenal ciri-ciri gejala dari keadaan-
keadaan yang sering muncul dalam masalah ventilasi pasien gawat darurat
seperti tension pneumothorax, massive hemothorax, dan open
pneumothorax (Arifin, 2012). 13

Penanganan yang dapat dilakukan adalah :

- Memberi oksigen dengan kecepatan 10-12 liter/menit


- Tension pneumothorax : Needle Insertion (IV Cath No.14) di ICR II-Linea
midclavicularis
- Massive haemothorax : Pemasangan Chest Tube
- Open pneumothorax : Luka ditutup dengan kain kasa yang diplester pada
tiga sisi (flutter-type voice effect)
3. Circulation
Masalah sirkulasi pada pasien-pasien trauma dapat diakibatkan oleh banyak jenis
perlukaan. Volume darah, cardiac outptut, dan perdarahan adalah masalah
sirkulasi utama yang perlu dipertimbangkan. (American College of Surgeons,
2009) Dalam menilai status hemodinamik, ada 3 penemuan klinis yang dalam
hitungan detik dapat memberikan informasi tentang ini :
a. Tingkat Kesadaran
Bila volume darah menurun, perfusi otak dapat berkurang, yang akan
mengakibatkan penurunan kesadaran (jangan dibalik, penderita yang sadar
belum tentu normovolemik).
b. Warna Kulit
Warna kulit dapat membantu diagnosis hipovolemia. Penderita trauma yang
kulitnya kemerahan, terutama pada wajah dan ekstremitas, jarang yang dalam
keadaan hipovolemia. Sebaliknya, wajah pucat keabu-abuan dan kulit
ekstremitas yang pucat, merupakan tanda hipovolemia.14
c. Nadi
Periksalah pada nadi yang besar seperti a. Femoralis atau a. Karotis
(kirikanan) untuk kekuatan nadi, kecepatan dan irama. Nadi yang tidak cepat,
kuat dan teratur biasanya merupakan tanda normovolemia (bila penderita
tidak minum obat beta-blocker). Nadi yang cepat dan kecil merupakan tanda
hipovolemia, walaupun dapat disebabkan keadaan yang lain. Kecepatan nadi
yang normal bukan jaminan bahwa normovolemia. Nadi yang tidak teratur
biasanya merupakan tanda gangguan jantung. Tidak ditemukannya pulsasi
dari arteri besar merupakan tanda diperlukannya resusitasi segera. Perdarahan
eksternal harus cepat dinilai, dan segera dihentikan bila ditemukan dengan
cara menekan pada sumber perdarahan baik secara manual maupun dengan
menggunakan perban elastis. Bila terdapat gangguan sirkulasi harus dipasang
sedikitnya dua IV line, yang berukuran besar. Kemudian lakukan pemberian
larutan Ringer laktat sebanyak 2 L sesegera mungkin (American College of
Surgeons, 2009).14
4. Disability
Menjelang akhir dari primary survey, dilakukan suatu pemeriksaan neurologis
yang cepat. Pemeriksaan neurologis ini terdiri dari pemeriksaan tingkat kesadaran
pasien, ukuran dan respon pupil, tanda-tanda lateralisasi, dan tingkat cedera korda
spinalis. (American College of Surgeons, 2009). Tingkat kesadaran yang
abnormal dapat menggambarkan suatau spektrum keadaan yang luas mulai dari
letargi sampai status koma. Perubahan apapun yang mengganggu jaras asending
sistem aktivasi retikular dan sambungannya yang sangat banyak dapat
menyebabkan gangguan tingkat kesadaran. (Smith, 2010). Cara cepat dalam
mengevaluasi status neurologis yaitu dengan menggunakan AVPU, sedangkan
GSC (Glasgow Coma Scale) merupakan metode yang lebih rinci dalam
mengevaluasi status neurologis, dan dapat dilakukan pada saat survey sekunder.
AVPU, yaitu:
A : Alert
V : Respon to verbal
P : Respon to pain
U : Unrespon GSC (Glasgow Coma Scale) adalah sistem skoring yang sederhana
untuk menilai tingkat kesadaran pasien.
1) Menilai “eye opening” penderita (skor 4-1). Perhatikan apakah penderita :
a. Membuka mata spontan
b. Membuka mata jika dipanggil, diperintah atau dibangunkan
c. Membuka mata jika diberi rangsangan nyeri (dengan menekan ujung kuku
jari tangan) 14
d. Tidak memberikan respon
2) Menilai “best verbal response” penderita (skor 5-1). Perhatikan apakah
penderita :
a. Orientasi baik dan mampu berkomunikasi
b. Disorientasi atau bingung
c. Mengucapkan kata-kata tetapi tidak dalam bentuk kalimat
d. Mengerang (mengucapkan kata -kata yang tidak jelas artinya)
e. Tidak memberikan respon
3) Menilai “best motor respon” penderita (skor 6-1) Perhatikan apakah penderita :
a. Melakukan gerakan sesuai perintah
b. Dapat melokalisasi rangsangan nyeri
c. Menghindar terhadap rangsangan nyeri
d. Fleksi abnormal (decorticated)
e. Ektensi abnormal (decerebrate)
f. Tidak memberikan responRange skor : 3-15 (semakin rendah skor yang
diperoleh, semakin jelek kesadaran).

5. Exposure
Merupakan bagian akhir dari primary survey, penderita harus dibuka keseluruhan
pakaiannya, kemudian nilai pada keseluruhan bagian tubuh. Periksa punggung
dengan memiringkan pasien dengan cara log roll. Selanjutnya selimuti penderita
dengan selimut kering dan hangat, ruangan yang cukup hangat dan diberikan
cairan intra-vena yang sudah dihangatkan untuk mencegah agar pasien tidak
hipotermi. (Nasution, 2009)15

d. Resusitasi
Resusitasi jantung paru adalah suatu tindakan pertolongan yang dilakukan kepada
korban yang mengalami henti napas dan henti jantung. Keadaan ini bisa disebabkan
karena korban mengalami serangan jantung, tenggelam, tersengat arus listrik,
keracunan, kecelakaan, dan lain-lain. pada kondisi ini napas dan denyut jantung
berhenti maka sirkulasi darah dan transportasi oksigen berhenti, sehingga dalam
waktu singkat organ-organ tubuh terutama organ fital akan mengalami kekurangan
oksigen yang berakibat fatal bagi korban dan mengalami kerusakan. Resusitasi yang
agresif dan pengelolaan yang cepat pada yang mengancam jiwa merupakan hal yang
mutlak untuk memperthankan hidup paien (American college of surgeons, 2008).
e. Secondary survey
Survey sekunder merupakan pemeriksaan secara lengkap yang dilakukan secara head
to toe, dari depan hingga belakang. Secondary survey hanya dilakukan setelah
kondisi pasien mulai stabil, dalam artian tidak mengalami syok atau tanda-tanda syok
telah mulai membaik.
1. Anamnesis
Pemeriksaan data subyektif didapatkan dari anamnesis riwayat pasien yang
merupakan bagian penting dari pengkajian pasien. Riwayat pasien meliputi
keluhan utama, riwayat masalah kesehatan sekarang, riwayat medis, riwayat
keluarga, sosial, dan sistem. Pengkajian riwayat pasien secara optimalharus
diperolehlangsung daripasien, jika berkaitan dengan bahasa, budaya,usia, dan
cacatatau kondisipasienyang terganggu, konsultasikan dengan anggota keluarga,
orang terdekat, atau orang yang pertama kali melihat kejadian.
Anamnesis juga harus meliputi riwayat AMPLE yang bisa didapat dari pasien dan
keluarga (Emergency Nursing Association, 2007):
A : Alergi (adakah alergi pada pasien, seperti obat-obatan, plester, makanan)
M : Medikasi/obat-obatan (obat-obatan yang diminum seperti sedang menjalani
pengobatan hipertensi, kencing manis, jantung, dosis, atau penyalahgunaan obat
P : Pertinent medical history (riwayat medis pasien seperti penyakit yang pernah
diderita, obatnya apa, berapa dosisnya, penggunaan obat-obatan herbal)
L : Last meal (obat atau makanan yang baru saja dikonsumsi, dikonsumsi berapa
jam sebelum kejadian, selain itu juga periode menstruasi termasuk dalam
komponen ini)
E : Events, hal-hal yang bersangkutan dengan sebab cedera (kejadian yang
menyebabkan adanya keluhan utama)
Selain itu apat dilakukan pengkajian PQRST saat pasien mengeluhkan nyeri,
adapun pengkajian PQRS adalah :
P (Provokes/palliates) : apa yang menyebabkan nyeri? Apa yang membuat
nyerinya lebih baik? apa yang menyebabkan nyerinya lebih buruk? apa yang anda
lakukan saat nyeri? apakah rasa nyeri itu membuat anda terbangun saat tidur?
Q (Quality) : bisakah anda menggambarkan rasa nyerinya? apakah seperti diiris,
tajam, ditekan, ditusuk tusuk, rasa terbakar, kram, kolik, diremas? (biarkan pasien
mengatakan dengan kata-katanya sendiri.
R (Radiates) : apakah nyerinya menyebar? Menyebar kemana? Apakah nyeri
terlokalisasi di satu titik atau bergerak?
S (Severity) : seberapa parah nyerinya? Dari rentang skala 0-10 dengan 0 tidak
ada nyeri dan 10 adalah nyeri hebat
T (Time) : kapan nyeri itu timbul? Berapa lama nyeri itu timbul? Apakah terus
menerus atau hilang timbul? apakah pernah merasakan nyeri ini sebelumnya?
apakah nyerinya sama dengan nyeri sebelumnya atau berbeda?
Setelah dilakukan anamnesis, maka langkah berikutnya adalah pemeriksaan
tanda-tanda vital. Tanda tanda vital meliputi suhu, nadi, frekuensi nafas, saturasi
oksigen, tekanan darah, berat badan, dan skala nyeri. Tanda-tanda vital pada
tahapan usia adalah sebagai berikut :

TTV Bayi Anak Remaja Dewasa Dewasa


Muda Tua

Nadi 120 – 130 80 – 90 70 – 80 70 – 80 60 – 70

x/mnt x/mnt x/mnt x/mnt x/mnt

RR 30 – 40 20 – 30 16 – 20 16 – 20 14 – 16

x/mnt x/mnt x/mnt x/mnt x/mnt

TD 70-90/50 80- 90- 110- 130-


mmHg 100/60 110/66 125/60- 150/80-
mmHg mmHg 70 90
mmHg mmHg

Suhu 36,5 – 37 36,5 – 37 36,5 – 36,5 – 37 36,5 –

ºC ºC 37 ºC ºC 37 ºC

Terkadang pada usia bayi dan anak tekanan darah tidak diperiksa. Hanya pada
remaja dan dewasa saja tekanan darah perlu di periksa.

2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik adalah pemeriksaan tubuh untuk menentukan adanaya kelainan

– kelainan dari sustu sistem atau suatu organ tubuh dengan cara melihat
(inspeksi), meraba (palpasi), mengetuk (perkusi) dan mendengarkan (auskultasi).
(Raylene M Rospond, 2009).
Pemeriksaan fisik digunakan untuk mendapatkan data objektif dari riwayat
kesehatan pasien. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan bersamaan dengan
wawancara. Fokus pengkajian fisik adalah pada kemampuan fungsional pasien.
Metode dan langkah pemeriksaan fisik :
a. Inspeksi
Merupakan metode pemeriksaan pasien dengan melihat langsung seluruh
tubuh pasien atau hanya bagian tertentu yang diperlukan. Inspeksi adalah
kegiatan aktif, proses ketika perawat harus mengetahui apa yang dilihatnya
dan dimana lokasinya.
Cara pemeriksaan :
- Posisi pasien dapat tidur, duduk atau berdiri
- Bagian tubuh yang diperiksa harus terbuka
- Bandingkan bagian tubuh yang berlawanan (kesimetrisan) dan
abnormalitas
b. Palpasi
Palpasi adalah suatu tindakan yang dilakukan dengan perabaan dan penekanan
bagian tubuh dengan menggunakan jari atau tangan. Tangan dan jari adalah
intrumen yang sensitif digunakan untuk mengumpulkan data. Teknik palpasi
dibagi menjadi dua :

Palpasi ringan : ujung – ujung jari pada satu atau dua tangan digunakan secara

simultan. Tangan diletakkan pada area yang dipalpasi, jari – jari ditekan

kebawah perlahan sampai ada hasil


Palpasi dalam : untuk merasakan isi abdomen, dilakukan dua tangan. Satu
tangan untuk merasakan bagian yang dipalpasi, tangan lainnnya untuk
menekan kebawah.
Cara pemeriksaan :
- Posisi pasien bisa tidur, duduk, atau berdiri
- Pastikan pasien dalam keadaan rileks denga posisi yang nyaman
- Kuku jari pemeriksa harus pendek, tangan hangat dan kering
- Minta pasien untuk menarik nafas dalam agar meningkatkan relaksasi otot
- Lakukan palpasi dengan sentuhan perlahaan dengan tekanan ringan
- Palpasi daerah yang dicurigai, adanya nyeri tekan, menandakan kelainan

- Lakukan palpasi secara hati – hati apabila diduga adaanya fraktur tulang

- Hindari tekanan yang berlebihan pada pembuluh darah


- Rasakan dengan seksama kelainan organ atau jaringan, adanya nodul,
tumor bergerak/tidak dengan konsistensi padat/kenyal, bersifat kasar atau
lembut, ukurannya dan ada atau tidaknya getaran/trill, serta ras nyeri raba
atau tekan.
c. Perkusi
Adalah suatu tindakan pemeriksaan dengan mendengarkan bunyi getaran atau
gelombang suara yang dihaantarkan kepermukaan tubuh dari bagian tubuh
yang diperiksa. Pemeriksaan dilakukan dengan ketokan jari atau tangan pada
permukaan tubuh karakter bunyi yang dihasilkan dapat menentukan lokasi,
ukuran, bentuk dan kepadatan struktur dibawah kulit. Sifat gelombang suara
yaitusemakin banyak jaringan, semakin lemah hantarannya dan udara atau gas
paling resonan.
Cara pemeriksaan :
- Posisi pasien dapat tidur, duduk, atau berdiri
- Pastikan pasien dalam keadaan rileks
- Minta pasien untuk nafas dalam agar meningkatakan relaksasi otot
- Kuku jari pemeriksa harus pendek, tangan hangat dan kering
- Lakukan perkusi secara seksama dan sistematis
- Bandingkan atau perhatikan bunyi yang dihasilkan oleh perkusi. Bunyi
timpani mempunyai intensitas keras, nada tinggi, waktu agak lama dan
kualitas seprti drum (lambung). Bunyi resonan mempunyai intensitas
menengah, nada rendah, waktu lama, kualitas bergema (paru normal).
Bunyi hipersonar mempunyai intensitas amat keras, waktu lebih lama,
kuaalitas ledakan (empisema paru). bunyi pekak mempunyai intensitas
lembut sampai menengah, nada tinggi, waktu agak lama, kualitas seprti
petir (hati).
d. Auskultasi
Adalah pemeriksaan fisik yang dilakukan dengan cara mendengarkan suara

yang dihasilkan oleh tubuh. Biasanya menggunakan stetoskop. Hal – hal yang

di dengarkan adalah bunyi jantung, suara nafas, dan bising usus.


Penilaian pemeriksaan auskultasi meliputi :
- Frekuensi yaitu menghitung jumlah getaran per menit.
- Durasi yaitu lam bunyi yang terdengar
- Intensitas bunyi yaitu ukuran kuat atau lemahnya suara
- Kualitas yaitu warna nada atau variasi suara
- Suara tidak normal yang dapat di auskultasi pada nafas adalah :

- Rales : suara yang dihasilkan dari eksudat lengket saat saluran – saluran

halus pernafasan mengembang pada inspirasi. Misalnya pada pasien


pneumonia dan TBC.
- Ronchi : nada rendah dan sangat kasar tedengar baik saat inspirasi maupun
saat ekspirasi. Ciri khas ronchi adalah akan hilang bila pasien batuk.
Misalnya pada edema paru.

- Wheezing : bunyi yang terdengar “ngik”. Bisa dijumpai pada fase inspirasi

maupun ekspirasi. Misalnya pada bronkitis akut, asma.


- Pleura friction rub : bunti yang terdengar kering seperti suara gosokan
amplas pada kayu. Misalnya pada pasien dengan peradanga pleura.
Cara pemeriksaan :
- Posisi pasien dapat tidur, duduk, atau berdiri
- Pastikan pasien dalam keadaan rileks dengan posisi yang nyaman
- Pastikan stetoskop sudah terpasang baik.
- Pasanglah ujung stetoskop bagian telinga ke lubang telinga pemeriksa
sesuai arah
- Hangatkan dulu kepala stetoskop dengan cara menempelkan pada telapak
tangan pemeriksa
- Tempelkan kepala stetoskop pada bagian tubuh yang akan diperiksa
- Pergunakanlah bel stetoskop untuk mendengarkan bunyi bernada rendah
pada tekanan ringan yaitu pada bunyi jantung dan faskuler serta gunakan
diafragma stetoskop saat melakukan pemeriksaan untuk bunyi bernada
tinggi seperti bunyi usus dan paru.
3. Pemeriksaan Head to Toe :
Pemeriksaan tubuh pasien secara keseluruhan atau hanya beberapa bagian saja
yang dianggap perlu oleh dokter yang bersangkutan. Sebelum melakukan
pemeriksaan fisik perawat harus melakukan kontrak dengan pasien, yang
didalamnya ada penjelasan maksud dan tujuan, waktu yang di perlukan dan
terminasi/ mengakhiri. Pemeriksaan Kulit, Rambut dan Kuku :
a. Kulit
Tujuan :
- Untuk mengetahui turgor kulit dan tekstur kulit
- Untuk mengetahui adanya lesi atau bekas luka

Tindakan :

- Inspeksi : lihat ada/tidak adanya lesi, hiperpigmentasi (warna


kehitaman/kecoklatan), edema, dan distribusi rambut kulit.
- Palpasi : di raba dan tentukan turgor kulit elastic atau tidak, tekstur : kasar
/halus, suhu : akral dingin atau hangat.
b. Rambut
Tujuan :
- Untuk menbetahui warna, tekstur dan percabangan pada rambut
- Untuk mengetahui mudah rontok dan kotor
Tindakan :
- Inspeksi : disribusi rambut merata atau tidak, kotor atau tidak, bercabang
- Palpasi : mudah rontok/tidak, tekstur: kasar/halus
c. Kuku
Tujuan :
- Untuk mengetahui keadaan kuku: warna dan panjang
- Untuk mengetahui kapiler refill
Tindakan :
- Inspeksi : catat mengenai warna (biru: sianosis, merah: peningkatan
visibilitas Hb), bentuk (clubbing karena hypoxia pada kangker paru,

beau’s lines pada penyakit difisisensi fe/anemia fe)

- Palpasi : catat adanya nyeri tekan, dan hitung berapa detik kapiler refill
(pada pasien hypoxia lambat s/d 5-15 detik
d. Pemeriksaan kepala
Tujuan :
- Untuk mengetahui bentuk dan funsi kepala
- Untuk mengetahui luka dan kelainan pada kepala
Tindakan :
- Inspeksi : kesimetrisan wajah jika, muka ka.ki berbeda atau misal lebih
condong ke kanan atau ke kiri itu menunjukan ada parese/kelumpuhan,
contoh: pada pasien SH
- Palpasi : Cari adanya luka, tonjolan patologik, dan respon nyeri dengan
menekan kepala sesuai kebutuhan
e. Mata
Tujuan :
- Untuk mengetahui bentuk dan fungsi mata
- Untuk mengetahui adanya kelainan atau peradangan pada mata
Tindakan :
- Inspeksi : Kelopak mata ada radang atau tidak, simetris atau tidak, reflek
kedip baik/tidak, konjungtiva dan sclera: merah / konjungtivitis,
ikterik/indikasi hiperbilirubin/gangguan pada hepar, pupil: isokor
(normal), miosis/mengecil, pin point/sangat kecil (suspek SOL),
medriasis/melebar/dilatasi (pada pasien sudah meninggal)
- Palpasi : Tekan secara ringan untuk mengetahui adanya TIO (tekanan intra
okuler) jika ada peningkatan akan teraba keras (pasien
glaucoma/kerusakan dikus optikus), kaji adanya nyeri tekan
f. Hidung
Tujuan :
- Untuk mengetahui bentuk dan fungsi hidung
- Untuk mendetahui adanya inflamasi/sinusitis
Tindakan :
- Inspeksi : Apakah hidung simetris, apakah ada inflamasi, apakah ada
secret
- Palpasi : Apakah ada nyeri tekan, massa
g. Telinga
Tujuan :
- Untuk mengetahui keadaan telinga luar, saluran telinga, gendang telinga
- Untuk mengetahui fungsi pendengaran
Tindakan :
- Telinga Luar :
Inspeksi : Daun telinga simetris atau tidak, warna, ukuran, bentuk,
kebresihan, adanya lesi.
Palpasi : Tekan daun telinga apakah ada respon nyeri, rasakan kelenturan
kartilago
- Telinga Dalam :
Inspeksi : Telinga dalam menggunakan otoskop perhatikan memberan
timpani (warna, bentuk) adanya serumen, peradangan dan benda asing,
dan darah
h. Mulut dan Faring
Tujuan :
- Untuk mengetahui bentuk dan kelainan pada mulut
- Untuk mengetahui kebersihan mulut
Tindakan :
- Inspeksi : Amati bibir apa ada klainan kogenital (bibir sumbing), warna,
kesimetrisan, kelembaban, pembengkakkan, lesi.
- Palpasi : Pegang dan tekan daerah pipi kemudian rasakan apa ada massa/
tumor, pembengkakkan dan nyeri.
i. Leher
Tujuan :
- Untuk menentukan struktur integritas leher
- Untuk mengetahui bentuk leher dan organ yang berkaitan
- Untuk memeriksa sistem limfatik
Tindakan :
- Inspeksi : Amati mengenai bentuk, warna kulit, jaringan parut, Amati
adanya pembengkakkan kelenjar tirod/gondok, dan adanya massa, Amati
kesimeterisan leher dari depan, belakang dan samping
- Palpasi :Letakkan kedua telapak tangan pada leher klien, suruh pasien
menelan dan rasakan adanya kelenjar tiroid (kaji ukuran, bentuk,
permukaanya).
j. Dada / Thorax
k. Paru / pulmonalis
Tujuan :
- Untuk mengetahui bentuk, kesimetrisan, ekspansi paru
- Untuk mengetahui frekuensi, irama pernafasan
- Untuk mengetahui adanynyeri tekan, adanya massa, peradangan, edema,
taktil fremitus
- Untuk mengetahui batas paru dengan organ disekitarnya
- Mendengarkan bunyi paru / adanya sumbatan aliran udara
Tindakan :
Inspeksi : Amati kesimetrisan dada ka.ki, amati adanya retraksi interkosta,
amati gerkkan paru, Amati klavikula dan scapula simetris atau tidak
Palpasi :
1) Palpasiekspansiparu :
Berdiri di depan klien dan taruh kedua telapak tangan pemeriksa di dada
dibawah papilla, anjurkan pasien menarik nafas dalam, rasakkan apakah
sama paru.
Berdiri deblakang pasien, taruh telapak tangan pada garis bawah
scapula/setinggi costa ke-10, ibu jari ka.ki di dekatkan jangan samapai
menempel, dan jari-jari di regangkan lebih kurang 5 cm dari ibu jari.
Suruh pasien kembali menarik nafas dalam dan amati gerkkan ibu jari
ka.ki sama atau tidak
2) Palpasi Taktil vremitus posterior dan anterior :
- Meletakkan telapak tangan kanan di belakang dada tepat pada apex
paru/stinggi supra scapula (posisi posterior)

- Menginstrusikkan pasien untuk mengucapkkan kata “Sembilan-

sembilan” (nada rendah)

- Minta klien untuk mengulangi mengucapkkan kata tersebut, sambil


pemeriksa mengerakkan ke posisi kemudian kebawah sampai pada
basal paru atau setinggi vertebra thoraxkal ke-12.
- Bandingkan vremitus pada kedua sisi paru
- Bila fremitus redup minta pasien bicara lebih rendah
- Ulangi/lakukkan pada dada anterior
Perkusi :
- Atur pasien dengan posisi supinasi
- Untuk perkusi anterior dimulai batas clavikula lalu kebawah sampai
intercosta 5 tentukkan batas paru ka.ki (bunyi paru normal : sonor seluruh
lapang paru, batas paru hepar dan jantung: redup)
- Jika ada edema paru dan efusi plura suara meredup
Auskultasi :
- Gunakkan diafragma stetoskop untuk dewasa dan bell pada anak
- Letakkan stetoskop pada interkostalis, menginstruksikkan pasien untuk
nafas pelan kemudian dalam dan dengarkkan bunyi nafas:
vesikuler/wheezing/creckels
l. Jantung / Cordis
Tindakan :
Inspeksi : Amati denyut apek jantung pada area midsternu lebih kurang 2 cm
disamping bawah xifoideus
Palpasi :
- Merasakan adanya pulsasi
- Palpasi spasium interkostalis ke-2 kanan untuk menentukkan area aorta
dan spasium interkosta ke-2 kiri letak pulmonal kiri.
- Palpasi spasium interkostalis ke-5 kiri untuk mengetahui area
trikuspidalis/ventikuler amati adanya pulsasi
- Dari interkosta ke-5 pindah tangan secara lateral 5-7 cm ke garis
midklavicula kiri dimana akan ditemukkan daerah apical jantung atau PMI
( point of maximal impuls) temukkan pulsasi kuat pada area ini.
- Untuk mengetahui pulsasi aorta palpasi pada area epigastika atau dibawah
sternum
Perkusi :
- Perkusi dari arah lateral ke medial untuk menentukkan batas jantung
bagian kiri,
- Lakukan perkusi dari sebelah kanan ke kiri untuk mengetahui batas
jantung kanan.
- Lakukan dari atas ke bawah untuk mengetahui batas atas dan bawah
jantung
- Bunyi redup menunjukkan organ jantung ada pada daerah perkusi
Auskultasi :
- Menganjurkkan pasien bernafas normal dan menahanya saat ekspirasi
selesai
- Dengarkkan suara jantung dengan meletakkan stetoskop pada interkostalis

ke-5 sambil menekan arteri carotis (Bunyi S1: dengarkan suara “LUB”

yaitu bunyi dari menutupnya katub mitral (bikuspidalis) dan tikuspidalis

pada waktu sistolik; Bunyi S2: dengarkan suara “DUB” yaitu bunyi

meutupnya katub semilunaris (aorta dan pulmonalis) pada saat diastolic;

Adapun bunyi : S3: gagal jantung “LUB-DUB-CEE…” S4: pada pasien

hipertensi “DEE..-LUB-DUB”)

m. Perut / Abdomen
Tujuan :
- Untuk mengetahui bentuk dan gerak-gerakkan perut
- Untuk mendengarkan bunyi pristaltik usus
- Untuk mengetahui respon nyeri tekan pada organ dalam abdomen
Tindakan :
Inspeksi : Amati bentuk perut secara umum, warna kulit, adanya retraksi,
penonjolan, adanya ketidak simetrisan, adanya asites
Palpasi :Palpasi ringan: Untuk mengetahui adanya massa dan respon nyeri
tekan letakkan telapak tangan pada abdomen secara berhimpitan dan tekan
secara merata sesuai kuadran.Palpasi dalam: Untuk mengetahui posisi organ
dalam seperi hepar, ginjal, limpa dengan metode bimanual/2 tangan
n. Hepar
- Letakkan tangan pemeriksa dengan posisi ujung jari keatas pada bagian
hipokondria kanan, kira-kira pada interkosta ke 11-12
- Tekan saat pasien inhalasi kira-kira sedalam 4-5 cm, rasakan adanya organ
hepar. Kaji hepatomegali
o. Limpa
- Metode yang digunakkan seperti pada pemeriksaan hepar
- Anjurkan pasien miring kanan dan letakkan tangan pada bawah interkosta
kiri dan minta pasien mengambil nafas dalam kemudian tekan saat inhalasi
tenntukkan adanya limpa.
- Pada orang dewasa normal tidak teraba
p. Renalis
- Untuk palpasi ginjal kanan letakkan tangan pada atas dan bawah perut
setinggi Lumbal 3-4 dibawah kosta kanan.
- Untuk palpasi ginjal kiri letakkan tangan setinggi Lumbal 1-2 di bawah
kosta kiri.
- Tekan sedalam 4-5 cm setelah pasien inhalasi jika teraba adanya ginjal
rasakan bentuk, kontur, ukuran, dan respon nyeri
q. Genetalia
Tujuan :
- Untuk mengetahui adanya lesi
- Untuk mengetahui adanya infeksi (gonorea, shipilis, dll)
- Untuk mengetahui kebersihan genetalia
Tindakan :
Genetalialaki-laki :
Inspeksi :Amati penis mengenai kulit, ukuran dan kelainan lain.Pada penis
yang tidak di sirkumsisi buka prepusium dan amati kepala penis adanya lesi.
Amati skrotum apakah ada hernia inguinal, amati bentuk dan ukuran
Palpasi :Tekan dengan lembut batang penis untuk mengetahui adanya nyeri.
Tekan saluran sperma dengan jari dan ibu jari
Genetaliawanita :
Inspeksi :Inspeksi kuantitas dan penyebaran pubis merata atau tidak. Amati
adanya lesi, eritema, keputihan/candidiasis
Palpasi : Tarik lembut labia mayora dengan jari-jari oleh satu tangan untuk
mengetahui keadaan clitoris, selaput dara, orifisium dan perineum
r. Rektum dan Anal
Tujuan :
- Untuk mengetahui kondisi rectum dan anus
- Untuk mengetahui adanya massa pada rectal
- Untuk mengetahui adanya pelebaran vena pada rectal/hemoroid
Tindakan :
Inspeksi : Inspeksi jaringan perineal dan jaringan sekitarnya kaji adanya lesi
dan ulkus
Palpasi : ulaskan zat pelumas dan masukkan jari-jari ke rectal dan rasakan
adanya nodul dan atau pelebaran vena pada rectum
s. PemeriksaanMuskuloskeletal
Tujuan :
- Untuk memperoleh data dasar tentang otot, tulang dan persendian
- Untuk mengetahui mobilitas, kekuatan otot, dan gangguan-gangguan pada
daerahtertentu
Tindakan :
t. Muskuli / otot
Inspeksi : mengenai ukuran dan adanya atrofi dan hipertrofi (ukur dan catat
jika ada perbedaan dengan meteran)
Palpasi : pada saatotot istirahat dan pada saat otot kontraksi untuk mengetahui
adanya kelemahan dan kontraksi tiba-tiba
u. Skeletal / tulang
Inspeksi : Amati kenormalan dan abnormalan susunan tulang
Palpasi : untuk mengetahui adanya nyeri tekan dan pembengkakkan
v. Persendian
Inspeksi : lihatsemua persendian untuk mengetahui adanya kelainan sendi
Palpasi : amatiapakah ada nyeri tekan. Kaji range of mosion/rentang gerak
(abduksi-aduksi, rotasi, fleksi-ekstensi, dll
w. System neurologi
Tujuan :
- Untuk mengetahui integritas sistem persyrafan yang meliputi fungsi
nervus cranial, sensori, motor dan reflek
Tindakan :
Pengkajian 12 syaraf cranial (O.O.O.T.T.A.F.A.G.V.A.H)
No. Syaraf Tindakan

1. Olfaktorius/penciuman Meminta pasien membau


aroma kopi dan vanilla atau
aroma lain yang tidak
menyengat. Apakah pasien
dapat mengenali aroma

2. Opticus/pengelihatan Meminta kilen untuk membaca


bahan bacaan dan mengenali
benda-benda disekitar, jelas
atau tidak

3. Okulomotorius/kontriksi dan Kaji arah pandangan, ukur


dilatasi pupil reaksi pupil terhadap pantulan
cahaya dan akomodasinya

4. Trokhlear/gerakkan bola Kaji arah tatapan, minta pasien


mata ke atas dan bawah melihat k etas dan bawah

5. Trigeminal/sensori kulit Sentuh ringan kornea dengan


wajah, pengerak otot rahang usapan kapas untuk
menguji reflek kornea
(reflek nagatif
(diam)/positif (ada
gerkkan))
Ukur sensasi dari sentuhan
ringan sampai kuat pada
wajah kaji nyeri
menyilang pada kuit
wajah
Kaji kemampuan klien untuk
mengatupkan gigi saat
mempalpasi otot-otot
rahan

6. Abdusen/gerakkan bola mata Kaji arah tatapan, minta pasien


menyamping melihat kesamping

7. Facial/ekspresi wajah dan Meminta klien tersenyum,


pengecapan mengencangkan wajah,
menggembungkan pipi,
menaikan dan menurunkan alis
mata, perhatikkan
kesimetrisanya

8. Auditorius/pendengaran kaji klien terhadap kata-kata


yang di bicarakkan, suruh
klien mengulangi kata/kalimat

9. Glosofaringeal/pengecapan, Meminta pasien


kemampuan menelan, mengidentifikasi rasa
gerakan lidah asam, asin, pada bagian
pangkal lidah.
Gunakkan penekan lidah untuk

menimbulkan “reflek gag”

Meminta klien untuk


mengerakkan lidahnya

10. Vagus/sensasi faring, gerakan Suruh pasien


pita suara mengucapkan “ah” kaji

gerakkan palatum dan


faringeal
Periksa kerasnya suara
pasien

11. Asesorius/gerakan kepala dan Meminta pasien mengangkat


bahu bahu dan memalingkan kepala
kearah yang ditahan oleh
pemeriksa, kaji dapatkah klien
melawan tahanan yang ringan

12. Hipoglosal/posisi lidah Meminta klien untuk


menjulurkan lidah kearah garis
tengah dan menggerakkan ke
berbagai sisi

f. Lanjutan resusitasi
1. Monitor EKG
Dipasangkan pada semua penderita trauma
2. Kateter dan urin lambung
Produksi yang merupakan indicator digunakan untuk menilai keadaan perkusi
ginjal dan hemodinamik penderita sedangkan urin lambung dipakai untuk
mengurangi distensi lambung dan mengurangi kemungkinan muntah. Isi lambung
yang pekat mengakibatkan NGT tidak berfungsi sehingga pemasangannya bisa
mengakibatkan muntah.
3. Monitor hasil resusitasi
Memoitorkan nafas, nadi, tekanan darah, ABG (Arterial Blood Gaces), suhu
tubuh dan pengeluaran atau output urin.
4. Pemeriksaan rongten dan pemeriksaan tambahan lainnya disesuaikan dengan
kondisi yang dialami penderita.
g. Terapi lanjutan
1. Pasien di rujuk apabila Rumah Sakit tidak mampu menangani pasien karena
keterbatasan SDM maupun fasilitas serta keadaan pasien yang masih
memungkinkan untuk di rujuk.
2. Tentukan indikasi rujukan, prosedur rujukan dan kebutuhan penderita selama
perjalanan serta komunikasikan dengan dokter pada pusat rujukan yang dituju.
D. EBN
Judul KEMAMPUAN PERAWAT DALAM PENATALAKSANAAN
ABC (AIRWAY, BREATHING, CIRCULATION) TERHADAP
KEBERHASILAN PENANGANAN KEGAWATDARURATAN
MATERNITAS DI ICU
Tahun 2018
Penulis Zainul Arifin & Sri Wahyuningsih
Abstrak Penatalaksanaan ABC (Airway, Breathing, Circulation) yang lebih
kompleks dibanding dengan ruangan lain harus bisa dilakukan
perawat ICU pada pasien dalam keadan darurat klinis atau kritis
maternitas yang masuk di ruang ini, sehingga kejadian kesakitan dan
kematian ibu dapat dikurangi atau dicegah. Mengetahui korelasi
kemampuan perawat dalam penatalaksanaan ABC (Airway,
Breathing, Circulation) terhadap keberhasilan penanganan
kegawatdaruratan maternitas di Ruang ICU. Desain penelitian
kuantitatif observasional, dengan total sampling perawat di ruang
ICU RSUD dr. Haryoto Lumajang (n=18) dan melakukan
penatalaksanaan ABC pada kegawatdaruratan maternitas di bulan
Januari-April 2018. Data dianalisis menggunakan uji Rank Spearman.
Dari 18 responden penelitian menunjukkan semua pernah melakukan
penatalaksaan ABC pada kasus kegawadaruratan maternitas, tetapi
hanya 22,2% saja, perawat yang sudah pelatihan ICU, padahal
penatalaksaan ABC yang lebih kompleks didapatkan pada pelatihan
ICU. Sehingga meskipun kemampuan perawat dalam penatalaksaan
ABC berhubungan dengan keberhasilan penanganan
kegawatdaruratan maternitas di ruang ICU (p< 0,05), jumlah perawat
yang mengikuti pelatihan ICU harus ditingkatkan supaya perawatan
yang lebih komprehensif dapat tercapai. Kemampuan perawat dalam
penatalaksanaan ABC terhadap keberhasilan penanganan
kegawatdaruratan maternitas berkorelasi posistif kuat dengan
koefisien korelasi sebesar 0,520.
Tujuan penelitian Untuk mengetahui korelasi kemampuan perawat dalam
penatalaksanaan ABC (Airway, Breathing, Circulation) terhadap
keberhasilan penanganan kegawatdaruratan maternitas di Ruang ICU.
Metode Desain penelitian kuantitatif observasional, dengan total sampling
penelitian perawat di ruang ICU RSUD dr. Haryoto Lumajang (n=18) dan
melakukan penatalaksanaan ABC pada kegawatdaruratan maternitas
di bulan Januari-April 2018. Data dianalisis menggunakan uji
korelasi Rank Spearman.
Hasil penelitian Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat korelasi kemampuan
perawat dalam penatalaksanaan ABC (Airway, Breathing,
Circulation) terhadap keberhasilan penanganan kegawat daruratan
maternitas di ruang ICU RSUD dr. Haryoto Lumajang.
Implikasi keterampilan merupakan persyarat minimal yang harus dimiliki oleh
keperawatan seorang perawat. Keterampilan mencakup aspek pendidikan,
pengetahuan, dan sikap kerja, termasuk dapat melalui pelatihan.
Penatalaksanaan Airway, Breathing, Circulation (ABC) diterapkan
dalam semua keadaan darurat klinis untuk penilaian dan perawatan
segera.
Keterampilan ABC berkualitas tinggi pada semua anggota tim yang
merawat dapat menghemat waktu berharga dan meningkatkan kinerja
tim. Mengingat manifestasi klinik kasus kegawatdaruratan maternitas
yang berbeda-beda dalam rentang yang cukup luas, mengenal kasus
tersebut tidak selalu mudah dilakukan, bergantung pada pengetahuan,
kemampuan daya pikir dan analisis, serta pengalaman penolong.
Kesimpulan Seorang perawat yang bekerja di ICU harus memiliki kemampuan,
keterampilan, dan pengetahuan yang tinggi dan luas dibanding kan
perawat di bangsal lain karena kebanyakan kasus yang datang adalah
kasus kegawatdaruratan yang mengancam nyawa seseorang.
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Sistem triase ini digunakan untuk menentukan prioritas penanganan kegawat
daruratan. Sehingga perawat benar-benar memberikan pertolongan pada pasien yang
sangat membutuhkan, dimana keadaan pasien sangat mengancam nyawanya, namun
dengan penanganan secara cepat dan tepat, dapat menyelamatkan hidup pasien tersebut.
Tidak membuang wakunya untuk pasien yang memang tidak bisa diselamatkan lagi, dan
mengabaikan pasien yang membutuhkan.
Tujuan utama adalah untuk mengidentifikasi kondisi mengancam nyawa. Tujuan
triage selanjutnya adalah untuk menetapkan tingkat atau derajat kegawatan yang
memerlukan pertolongan kedaruratan.
Sistem triage dikenal dengan system kode 4 warna yang diterima secara
internasional. Merah menunjukan perioris tinggi perawatan atau pemindahan, Kuning
menandakam perioritas sedang, hijau digunakan untuk pasien rawat jalan, dan hitam
untuk kasus kematian atau pasien menjelang ajal. Perawat harus mampu mampu
mengkaji dan menggolongkan pasien dalam waktu 2 – 3 menit.
B. SARAN
Pengambilan keputusan adalah bagian yang penting dan integral pada medis dan praktik
keperawatan. Penilaian klinis tentang pasien membutuhkan baik pemikiran dan intuisi,
dan keduanya harus didasarkan pada professional,pengetahuan dan keterampilan, dalam
laporan ini diharapkan segala informasi mengenai triase dapat menjadi acuan yang
medalam bagi para mahasiswa selanjutnyua guna memenuhi segala penugasan yang
belum tercapai dan menemukan pemikiran yang baru.
DAFTAR PUSTAKA

Wartatmo, Hendro. 2013. Modul Pelatihan Penanggulangan Penderita Gawat Darurat (PPGD)
Basic Trauma and Cardiac Life Support (BTCLS). Yogyakarta: TIM PUSBANKES 118

Musliha. 2010. Keperawatan Gawat Darurat, Plus Contoh Askep dengan Pendekatan NANDA,
NIC, NOC. Yogyakarta: Nuha Medika

Pan American Health Organization, ed. Palupi Widyastuti. 2000. Bencana Alam : Perlindungan
Kesehatan Masyarakat. Jakarta : EGC

Pradana, Berti. 2012. Sistem Triage. http://www.ziddu.com/download/18423338/


Sistemtriage.docx.html (online). Diakses oktober 2015

S. Khatien, dkk. 2000. Emergency Nursing Secrets. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai