Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit jantung reumatik atau Demam Reumatik (DR) adalah suatu


sindrom klinik akibat infeksi streptococcus beta-hemolyticus golongan A,
dengan gejala satu atau lebih gejala mayor yaitu poli artritis migrans akut,
karditis, korea, minor, nodul subkutan dan eritema marginatum (Sanghyang,
2018).

Demam reumatik merupakan penyebab utama penyakit jantung


didapat pada anak 5 tahun sampai dewasa muda di negara dengan keadaan
lingkungan serta sosial-ekonomi yang rendah. Insidens yang tinggi
bersamaan dengan epidemi infeksi streptococcus betahemolycitus golongan
A yang tinggi pula. Kira-kira 3% dari pasien yang mendapat infeksi saluran
napas atas karena streptokok tersebut akan mengalami komplikasi DR atau
Penyakit Jantung Reumatik (PJR). Di daerah endemik hanya 0,3% yang
diperkirakan akan menderita DR atau PJR (Ngastiyah, 2005) (dikutip dari
Sanghyang, 2018).

Penyakit jantung reumatik merupakan komplikasi yang paling serius


dari demam reumatik. Sebanyak 39% pasien dengan demam reumatik akut
akan berkembang menjadi pankarditis dengan berbagai derajat disertai
insufisiensi katup, gagal jantung, perikarditis bahkan kematian. Pada PJR
kronik pasien dapat mengalami stenosis katup dengan berbagai derajat
regurgitasi, dilatasi atrium, aritmia, dan disfungsi ventrikel (Putri Amelia,
2019).

Menurut laporan direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular (Dit


PPTM) Depkes RI tahun 2004, dari 1.604 penderita PJR yang di rawat inap di
seluruh Rumah Sakit di Indonesia terdapat 120 orang yang meninggal akibat
PJR dengan Case Fatality Rate (CFR) 7,48% (dikutip dari Sanghyang, 2018).

1
Penyakit jantung reumatik merupakan bentuk penyakit yang jarang
ditemukan tetapi jika sudah terdiagnosa sangat susah untuk ditangani.
Dampak yang terjadi jika pada anak dengan PJR tidak dilakukan penanganan
dengan benar maka akan mengakibatkan terjadinya komplikasi seperti gagal
jantung dan bisa berakhir dengan kematian.

B. Rumusan Masalah

1. Apa definisi dari RHD?

2. Apa etiologi RHD?

3. Bagaimana patofisiologi RHD?

4. Bagaimana manifestasi klinis RHD?

5. Apa saja komplikasi yang dapat ditimbulkan RHD?

6. Bagaimana pemeriksaan penunjang pada RHD?

7. Bagaiamana penatalaksanaan pada pasien dengan RHD?

8. Bagaimana konsep asuhan keperawatan pada pasien RHD?

C. Tujuan Penulisan

1. Mengetahui definisi dari RHD

2. Mengetahui etiologi RHD

3. Mengetahui patofisiologi RHD

4. Mengetahui manifestasi klinis RHD

5. Mengetahui komplikasi yang dapat ditimbulkan RHD

6. Mengetahui pemeriksaan penunjang pada RHD

7. Mengetahui penatalaksanaan pada pasien dengan RHD

8. Mengetahui konsep asuhan keperawatan pada pasien RHD

2
BAB II

KONSEP MEDIS

A. Definisi

Penyakit Jantung Reumatik (PJR) merupakan kelainan katup jantung


yang menetap akibat demam reumatik akut sebelumnya. Penyakit ini
terutama mengenai katup mitral (75%), aorta (24%), jarang mengenai katup
trikuspidal (1%) dan tidak pernah menyerang katup pulmonal. Menurut Afif.
A (2008), PJR adalah penyakit jantung sebagai akibat adanya gejala sisa
(sekuele) dari Demam Rematik (DR), yang ditandai dengan terjadinya cacat
katup jantung. Definisi lain juga mengatakan bahwa PJR adalah hasil dari
demam reumatik,yang merupakan suatu kondisi yang dapat terjadi 2-3
minggu setelah infeksi streptococcus betahemolyticus grup A pada saluran
nafas bagian atas (Putri Amelia, 2019).

Demam reumatik merupakan penyakit inflamasi multi sistem yang


dapat terjadi pasca infeksi faring oleh streptococcus hemolyticus group A.
Dipostulasikan bahwa antigen streptococcus telah memicu produksi antibodi
yang bereaksi silang dengan antigen jantung (Tao. L. Kendal. K, 2013)
(dikutip dari Sanghyang, 2018).

Demam Reumatik (DR) adalah reaksi autoimun terhadap faringitis


streptokokal kelompok A, betahemolitik, yang menyerang sendi, kulit, otak,
permukaan serosa, dan jantung (Donna L. Wong, 2004) (dikutip dari
Sanghyang, 2018).

Penyakit jantung reumatik merupakan proses imun sistemik sebagai


reaksi terhadap infeksi streptokokus hemolitikus di faring (Brunner &
Suddarth, 2001). Penyakit jantung reumatik adalah penyakit peradangan
sistemik akut atau kronik yang merupakan suatu reaksi autoimun oleh infeksi
Beta Streptococcus Hemolyticus Grup A yang mekanisme perjalanannya
belum diketahui, dengan satu atau lebih gejala mayor yaitu Poliarthritis

3
migrans akut, Karditis, Koreaminor, Nodul subkutan dan Eritema
marginatum (Lawrence M. Tierney, 2002) (dikutip dari Pungky & Siti, 2015).

Penyakit jantung rematik adalah penyakit yang ditandai dengan


kerusakan pada katup jantung akibat serangan karditis rematik akut yang
berulang kali (Arif Mansjoer, 2002). Penyakit jantung rematik (RHD) adalah
suatu proses peradangan yang mengenai jaringan-jaringan penyokong tubuh,
terutama persendian, jantung dan pembuluh darah oleh organisme
streptococcus hemolitic-β grup A (Sunoto Pratanu, 2000) (dikutip dari
Pungky & Siti, 2015).

Rheumatic Heart Disease (RHD) adalah suatu kondisi dimana terjadi


kerusakan pada katup jantung yang bisa berupa penyempitan atau kebocoran,
terutama katup mitral (stenosis katup mitral) sebagai akibat adanya gejala sisa
dari Demam Rematik (DR) (dikutip dari Pungky & Siti, 2015).

B. Etiologi

Telah lama diketahui DR mempunyai hubungan dengan infeksi kuman


Streptokokus beta hemolitik grup A pada saluran nafas atas. Kuman
Streptokokus Beta Hemolitik dapat dibagi atas sejumlah grup serologinya
yang didasarkan atas antigen polisakarida yang terdapat pada dinding sel
bakteri tersebut. Tercatat saat ini lebih dari 130 serotipe M yang bertanggung
jawab pada infeksi pada manusia, tetapi hanya grup A yang mempunyai
hubungan dengan etiopatogenesis DR dan PJR (Putri Amelia, 2019).

Beberapa faktor resiko pada penyakit ini antara lain :

1. Sosial ekonomi yang rendah dan kepadatan penduduk

Sanitasi lingkungan yang buruk dengan penghuni yang padat, rendahnya


pendidikan sehingga pemahaman untuk segera mencari pengobatan anak
yang menderita infeksi tenggorokan sangat kurang ditambah pendapatan
yang rendah sehingga biaya perawatan kesehatan kurang.

4
2. Faktor genetik

Adanya antigen limfosit manusia ( HLA ) yang tinggi. HLA terhadap


demam rematik menunjukan hubungan dengan aloantigen sel 𝛽 spesifik
dikenal dengan antibodi monoklonal dengan status reumatikus.

3. Daerah iklim sedang dan tropis bercuaca lembab

4. Perubahan suhu yang mendadak.

Perubahan cuaca yang mendadak sering mengakibatkan insiden infeksi


saluran pernapasan atas meningkat sehingga mengakibatkan kejadian
penyakit jantung reumatik juga dapat meningkat.

5. Reaksi Autoimun

Dari penelitian ditemukan adanya kesamaan antara polisakarida bagian


dinding selstreptokokus beta hemolitikus group A dengan glikoprotein
dalam katub mungkin ini mendukung terjadinya miokarditis dan
valvulitis pada reumatik fever.

C. Patofisiologi

Streptococcus beta hemolyticus grup A dapat menyebabkan penyakit


supuratif misalnya faringitis, impetigo, selulitis, miositis, pneumonia, sepsis
nifas dan penyakit non supuratif misalnya demam rematik, glomerulonefritis
akut. Setelah inkubasi 2-4 hari, invasi Streptococcus beta hemolyticus grup A
pada faring menghasilkan respon inflamasi akut yang berlangsung 3-5 hari
ditandai dengan demam, nyeri tenggorok, malaise, pusing dan leukositosis.
Pasien masih tetap terinfeksi selama berminggu-minggu setelah gejala
faringitis menghilang, sehingga menjadi reservoir infeksi bagi orang lain.
Kontak langsung per oral atau melalui sekret pernafasan dapat menjadi media
trasnmisi penyakit. Hanya faringitis Streptococcus beta hemolyticus grup A
saja yang dapat mengakibatkan atau mengaktifkan kembali demam rematik.

Penyakit jantung rematik merupakan manifestasi demam rematik


berkelanjutan yang melibatkan kelainan pada katup dan endokardium. Lebih

5
dari 60% penyakit rheumatic fever akan berkembang menjadi rheumatic heart
disease. Adapun kerusakan yang ditimbulkan pada rheumatic heart disease
yakni kerusakan katup jantung akan menyebabkan timbulnya regurgitasi.
Episode yang sering dan berulang penyakit ini akan menyebabkan penebalan
pada katup, pembentukan skar (jaringan parut), kalsifikasi dan dapat
berkembang menjadi valvular stenosis.

Sebagai dasar dari rheumatic heart disease, penyakit rheumatic fever


dalam patogenesisnya dipengaruhi oleh beberapa faktor. Adapun beberapa
faktor yang berperan dalam patogenesis penyakit rheumatic fever antara lain
faktor organisme, faktor host dan faktor sistem imun.

Bakteri Streptococcus beta hemolyticus grup A sebagai organisme


penginfeksi memiliki peran penting dalam patogenesis rheumatic fever.
Bakteri ini sering berkolonisasi dan berproliferasi di daerah tenggorokan,
dimana bakteri ini memiliki supra-antigen yang dapat berikatan dengan major
histocompatibility complex kelas 2 (MHC kelas 2) yang akan berikatan
dengan reseptor sel T yang apabila teraktivasi akan melepaskan sitokin dan
menjadi sitotosik. Supra-antigen bakteri Streptococcusbeta hemolyticus grup
A yang terlibat pada patogenesis rheumatic fever tersebutadalah protein M
yang merupakan eksotoksin pirogenik Streptococcus. Selain itu, bakteri
Streptococcus beta hemolyticus grup A juga menghasilkan produk
ekstraseluler seperti streptolisin, streptokinase, DNAase, dan hialuronidase
yang mengaktivasi produksi sejumlah antibodi autoreaktif.Antibodi yang
paling sering adalah antistreptolisin-O (ASTO) yang tujuannya untuk
menetralisir toksin bakteri tersebut.

Namun secara simultan upaya proteksi tubuh ini juga menyebabkan


kerusakan patologis jaringan tubuh sendiri. Tubuh memiliki struktur yang
mirip dengan antigen bakteri Streptococcus beta hemolyticus grup A
sehingga terjadi reaktivitas silang antara epitop organisme dengan host yang
akan mengarahkan pada kerusakan jaringan tubuh.

6
Kemiripan atau mimikri antara antigen bakteri Streptococcus beta
hemolyticus grup A dengan jaringan tubuh yang dikenali oleh antibodi
adalah: 1) Urutan asam amino yang identik, 2) Urutan asam amino yang
homolog namun tidak identik, 3) Epitop pada molekul yang berbeda seperti
peptida dan karbohidrat atau antara DNA dan peptida. Afinitas antibodi reaksi
silang dapat berbeda dan cukup kuat untuk dapat menyebabkan sitotoksik dan
menginduksi sel–sel antibodi reseptor permukaan.

Epitop yang berada pada dinding sel, membran sel, dan protein M dari
streptococcus beta hemolyticus grup A memiliki struktur imunologi yang
sama dengan protein miosin, tropomiosin, keratin, aktin, laminin, vimentin,
dan N-asetilglukosamin pada tubuh manusia. Molekul yang mirip ini menjadi
dasar dari reaksi autoimun yang mengarah pada terjadinya rheumatic fever.
Hubungan lainnya dari laminin yang merupakan protein yang mirip miosin
dan protein M yang terdapat pada endotelium jantung dan dikenali oleh sel T
anti miosin dan anti protein M.

Disamping antibodi terhadap N-asetilglukosamin dari karbohidrat,


Streptococcusbeta hemolyticus grup A mengalami reaksi silang dengan
jaringan katup jantung yangmenyebabkan kerusakan valvular.

Disamping faktor organisme penginfeksi, faktor host sendiri juga


memainkan peranan dalam perjalanan penyakit rheumatic fever. Sekitar 3-6%
populasi memiliki potensi terinfeksi rheumatic fever. Penelitian tentang
genetik marker menunjukan bahwa gen human leukocyte-associated antigen
(HLA) kelas II berpotensi dalam perkembangan penyakit rheumatic fever dan
rheumatic heart disease. Gen HLA kelas II yang terletak pada kromosom 6
berperan dalam kontrol imun respon. Molekul HLA kelas II berperan dalam
presentasi antigen pada reseptor T sel yang nantinya akan memicu respon
sistem imun selular dan humoral. Dari alel gen HLA kelas II, HLA-DR7 yang
paling berhubungan dengan rheumatic heart disease pada lesi-lesi valvular.

Lesi valvular pada rheumatic fever akan dimulai dengan pembentukan


verrucae yang disusun fibrin dan sel darah yang terkumpul di katup jantung.

7
Setelahproses inflamasi mereda, verurucae akan menghilang dan
meninggalkan jaringan parut. Jika serangan terus berulang veruccae baru
akan terbentuk didekat veruccae yang lama dan bagian mural dari
endokardium dan korda tendinea akan ikut mengalami kerusakan.

Kelainan pada valvular yang tersering adalah regurgitasi katup mitral


(65-70% kasus).Perubahan struktur katup diikuti dengan pemendekan dan
penebalan korda tendinea menyebabkan terjadinya insufesiensi katup mitral.
Karena peningkatan volume yang masuk dan proses inflamasi ventrikel kiri
akan membesar akibatnya atrium kiri akan berdilatasi akibat regurgitasi
darah. Peningkatan tekanan atrium kiri ini akan menyebabkan kongesti paru
diikuti dengan gagal jantung kiri. Apabila kelainan pada mitral berat dan
berlangsung lama, gangguan jantung kanan juga dapat terjadi.

Kelainan katup lain yang juga sering ditemukan berupa regurgitasi


katup aorta akibat dari sklerosis katup aorta yang menyebabkan regurgitasi
darah ke ventrikel kiri diikuti dengan dilatasi dan hipertropi dari ventrikel
kiri.

Di sisi lain, terjadi stenosis dari katup mitral. Stenosis ini terjadi
akibat fibrosis yang terjadi pada cincin katup mitral, kontraktur dari daun
katup, corda dan otot papilari. Stenosis dari katup mitral ini akan
menyebabkan peningkatan tekanan dan hipertropi dari atrium kiri,
menyebabkan hipertensi vena pulmonal yang selanjutnya dapat menimbulkan
kelainan jantung kanan (Putri Amelia, 2019).

D. Manifestasi Klinis

Untuk diagnosis rheumatic fever digunakan kriteria Jones yang


pertama kali diperkenalkan pada tahun 1944, dan kemudian dimodifikasi
beberapa kali. Kriteria ini membagi gambaran klinis menjadi dua, yaitu
manifestasi mayor dan minor (dikutip dari Putri Amelia, 2019).

8
1. Manifestasi minor

Klinis :

a. Artralgia: nyeri sendi tanpa merah dan bengkak. Artralgia, yakni


nyeri sendi tanpa disertai tanda-tanda objektif (misalnya bengkak,
merah, hangat) juga sering dijumpai. Artralgia biasa melibatkan
sendi-sendi yang besar

b. Demam tinggi (>39°C). Demam biasanya tinggi sekitar 39°C dan


biasa kembali normal dalam waktu 2-3 minggu, walau tanpa
pengobatan

Laboratorium :

a. Peningkatan penanda peradangan yaitu erythrocytesedimentation


rate (ESR) atau C Reactive Protein (CRP)

b. Pemanjangan interval PR pada EKG

2. Manifestasi mayor

a. Karditis. Karditis merupakan peradangan pada jantung (miokarditis


atau endokarditis) yang menyebabkan terjadinya gangguan pada
katup mitral dan aorta dengan manifestasi terjadi penuruna curah
jantung (seperti hipotensi, pucat, sianosis, berdebar-debar dan denyut
jantung meningkat), bunyi jantung melemah dan terdengar suarah
bising katup. Pada auskultasi akibat stenosis dari katup terutama
mitral (bising sistolik), karditis paling sering menyerang anak dan
remaja. Beberapa tanda karditis, antara lain kardiomegali, gagal
jantung kongestif kanan dan kiri (pada anak yang lebih menonjol sisi
kanan), dan regurgitasi mitral serta aorta.

b. Poliatritis. Penderita penyakit ini biasanya datang dengan keluhan


nyeri pada sendi yang berpindah-pindah, radang sendi besar. Lutut,
pergelangan kaki, pergelangan tangan, siku (poliatritis migrans),
gangguan fungsi sendi, dapat timbul bersamaan tetapi sering

9
bergantian. Sendi yang terkena menunjukkan gejala radang yang
khas (bengkak, merah, panas sekitar sendi, nyeri dan disertai
gangguan fungsi sendi). Kondisi ini berlangsung selama 1-5 minggu
dan mereda tanpa deformitas residual.

c. Khorea syndenham. Merupakan gerakan yang tidak disengaja/


gerakan abnormal, bilateral, tanpa tujuan dan involunter, serta
seringkali disertai dengan kelemahan otot, sebagai manifestasi
peradangan pada sistem saraf pusat. Pasien yang terkena penyakit ini
biasanya mengalami gerakan tidak terkendali pada ekstremitas,
wajah dan kerangka tubuh. Hipotonik akibat kelemahan otot, dan
gangguan emosi selalu ada bahkan sering merupakan tanda dini.

d. Eritema marginatum. Gejala ini merupakan manifestasi penyakit


jantung reumatik pada kulit berupa bercak merah dengan bagian
tengah berwarna pucat sedangkan tepinya berbatan tegas, berbentuk
bulat dan bergelombang tanpa indurasi dan tidak gatal. Biasanya
terjadi pada batang tubuh dan telapak tangan.

e. Nodul supkutan. Nodul ini terlihat sebagai tonjolan keras dibawah


kulit tanpa adanya perubahan warna atau rasa nyeri. Biasanya timbul
pada minggu pertama serangan dan menghilang setelah 1-2 minggu.
Nodul ini muncul pada permukaan ekstensor sendi terutama siku,
ruas jari, lutut, persendiaan kaki. Nodul ini lunak dan bergerak
bebes.

Gejala lainnya :

Bukti infeksi streptococcus beta hemolyticus grup A sebelumnya (45 hari


terakhir)

1. Kultur hapusan tenggorok atau rapid test antigen streptococcus


betahemolyticus grup A hasilnya positif

2. Peningkatan titer serologi antibodi streptococcus beta hemolyticus grup


A

10
E. Komplikasi

Komplikasi potensial yaitu gagal jantung akibat insufisiensi atau


stenosis katup jantung. Komplikasi lainnya seperti aritmia, edema paru,
emboli paru, infektif endokarditis, pembentukan trombus intrakranial dan
emboli sistemik.

F. Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan Laboratorium

a. Reaktan Fase Akut

Merupakan uji yang menggambarkan radang jantung ringan. Pada


pemeriksaan darah lengkap, dapat ditemukan leukosistosis terutama
pada fase akut/aktif, namun sifatnya tidak spesifik. Marker inflamasi
akut berupa C-reactive protein (CRP) dan laju endap darah (LED).
Peningkatan laju endap darah merupakan bukti non spesifik untuk
penyakit yang aktif. Pada rheumatic fever terjadi peningkatan LED,
namun normal pada pasien dengan congestive failure atau meningkat
pada anemia. CRP merupakan indikatordalam menentukan adanya
jaringan radang dan tingkat aktivitas penyakit. CRP yang abnormal
digunakan dalam diagnosis rheumatic fever aktif.

b. Rapid Test Antigen Streptococcus

Pemeriksaan ini dapat mendeteksi antigen bakteri Streptococcus


grup A secara tepat dengan spesifisitas 95 % dan sensitivitas 60-90%

c. Pemeriksaan Antibodi Antistreptokokus

Kadar titer antibodi antistreptokokus mencapai puncak ketika gejala


klinis rheumatic fever muncul. Tes antibodi antistreptokokus yang
biasa digunakanadalah antistreptolisin O/ASTO dan
antideoxyribonuklease B/anti DNase B. Pemeriksaan ASTO
dilakukan terlebih dahulu, jika tidak terjadi peningkatan akan
dilakukan pemeriksaan anti DNase B. Titer ASTO biasanya mulai

11
meningkat pada minggu 1, dan mencapai puncak minggu ke 3-6
setelah infeksi. Titer ASO naik > 333 unit pada anak-anak, dan >
250 unit pada dewasa. Sedangkan anti-DNase B mulai meningkat
minggu 1-2 dan mencapai puncak minggu ke 6-8. Nilai normal titer
anti-DNase B= 1: 60 unit pada anak prasekolah dan 1 : 480 unit anak
usia sekolah.

d. Kultur tenggorok

Pemeriksaan kultur tenggorokan untuk mengetahui ada tidaknya


streptococcus beta hemolitikus grup A. Pemeriksaan ini sebaiknya
dilakukansebelum pemberian antibiotik. Kultur ini umumnya negatif
bila gejala rheumatic fever atau rheumatic heart disease mulai
muncul.

2. Pemeriksaan Radiologi dan Pemeriksaan Elektrokardiografi

Pada pemeriksaan radiologi dapat mendeteksi adanya kardiomegali dan


kongesti pulmonal sebagai tanda adanya gagal jantung kronik pada
karditis. Sedangkan pada pemeriksaan EKG ditunjukkan adanya
pemanjangan interval PR yang bersifat tidak spesifik. Nilai normal batas
atas interval PR uuntuk usia 3-12 tahun = 0,16 detik, 12-14 tahun = 0,18
detik , dan > 17 tahun = 0,20 detik.

3. Pemeriksaan Ekokardiografi

Pada pasien RHD, pemeriksaan ekokardiografi bertujuan untuk


mengidentifikasi dan menilai derajat insufisiensi/stenosis katup, efusi
perikardium, dan disfungsi ventrikel. Pada pasien rheumatic fever dengan
karditis ringan, regurgitasi mitral akan menghilang beberapa bulan.
Sedangkan pada rheumatic fever dengan karditis sedang dan berat
memiliki regurgitasimitral/aorta yang menetap. Gambaran ekokardiografi
terpenting adalah dilatasi annulus, elongasi chordae mitral, dan semburan
regurgitasi mitral ke postero-lateral.

12
G. Penatalaksanaan

1. Medikamentosa

Pengobatan terhadap Demam Rematik ditunjukkan pada 3 hal yaitu:

1) Pencegahan primer pada saat serangan Demam Rematik.

Pencegahan primer bertujuan untuk eradikasi kuman streptokokus


pada saat serangan DR dan diberikan pada fase awal serangan. Jenis
antibiotik yang diberikan antara lain :

a) Intramuskular : Benzatin, Penisilin G

b) Oral : Penisilin V, Eritromisin

2) Penegahan sekunder Demam Rematik.

Pencegahan sekunder DR bertujuan untuk mencegah serangan ulang


DR, karena serangan ulang dapat memperberat kerusakan katup-
katup jantung dan dapat menyebabkan kecacatan dan kerusakan
katup jantung. Antibiotik yang digunakan :

a) Intramuskular : Benzatin, Penisilin G

b) Oral : Penisilin V, Sulfadiazin, Eritromisin

3) Menghilangkan gejala yang menyertainya, seperti tirah baring,


penggunaan antiinflamasi, dan penatalaksanaan gagal jantung..

Pada serangan DR sering didapati gejala yang menyertainya seperti


gagal jantung. Penderita gagal jantung memerlukan tirah baring dan
anti inflamasi perlu diberikan pada penderita DR dengan manifestasi
mayor karditis dan arthritis. Pada penderita DR dengan gagal jantung
perlu diberikan diuretika, restriksi cairan dan garam. Penggunaan
digoksin pada penderita DR masih kontroversi karena resiko
intoksikasi dan aritmia. Penderita Penyakit Jantung Rematik tanpa
gejala tidak memerlukan terapi. Penderita dengan gejala gagal
jantung yang ringan memerlukan terapi medik untuk mengatasi

13
keluhannya. Penderita yang simtomatis memerlukan terapi surgical
atau intervensi invasif. Tetapi terapi surgical dan intervensi ini masih
terbatas tersedia serta memerlukan biaya yang relatif mahal dan
memerlukan follow up jangka panjang.

Tabel 1 : Petunjuk tirah baring dan ambulasi

Hanya Karditis Karditis Karditis


Artritis Minimal Sedang Berat

Tirah
2 minggu 2-3 minggu 4-6 minggu 2-4 bulan
baring

Ambulasi
1-2
dalam 2-3 minggu 4-6 minggu 2-3 bulan
minggu
rumah

Ambulasi
2 minggu 2-4 minggu 1-3 bulan 2-3 bulan
luar

Aktifitas Setelah 4-6 Setelah 6- Setelah 3-6


Bervariasi
penuh minggu 10 minggu bulan

Sumber : Putri Amelia, 2019

Penggunaan obat anti radang :

Prednison : 2 mg/kgBB/hari di bagi 4 dosis

Aspirin : 100 mg/kgBB/hari dibagi 6 dosis

2. Diet

Diet pasien rheumatic heart disease harus bernutrisi dan tanpa restriksi
kecuali pada pasien gagal jantung. Pada pasien tersebut, cairan dan
natrium harus dikurangi. Suplemen kalium diperlukan apabila pasien
diberikan kortikosteroid atau diuretik.

14
3. Pembedahan

Pembedahan mungkin diperlukan jika telah terjadi gagal jantung yang


menetap atau semakin memburukmeskipun telah mendapat terapi medis
yang agresif untuk penanganan rheumatic heart disease, operasi untuk
mengurangi defisiensi katup mungkin bisa menjadi pilihan untuk
menyelamatkan nyawa pasien. Pasien yang simptomatik, dengan
disfungsi ventrikel atau mengalami gangguan katup yang berat, juga
memerlukan tindakan intervensi.

a. Stenosis Mitral: pasien dengan stenosis mitral murni yang ideal,


dapat dilakukan ballon mitral valvuloplasty (BMV). Bila BMV tak
memungkinkan, perlu dilakukan operasi.

b. Regurgitasi Mitral: Rheumatic fever dengan regurgitasi mitral akut


(mungkin akibat ruptur khordae)/kronik yang berat dengan
rheumatic heart disease yang tak teratasi dengan obat, perlu segera
dioperasi untuk reparasi atau penggantian katup.

c. Stenosis Aortik: stenosis katut aorta yang berdiri sendiri amat


langka. Intervensi dengan balon biasanya kurang berhasil, sehingga
operasi lebih banyak dikerjakan.

d. Regurgitasi Aortik: regurgitasi katup aorta yang berdiri sendiri atau


kombinasi dengan lesi lain, biasanya ditangani dengan penggantian
katup.

15
BAB III

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian

1. Identitas Klien

Mengkaji nama, umur, alamat, pendidikan pasien. Penyakit jantung


rematik kebanyakan menyerang pada anak dengan usia 5-15 hal ini lebih
dikarenakan bakteri streptococcus sering berada di lingkungan yang tidak
bersih seperti tempat bermain anak di luar ruangan.

2. Keluhan utama: Sakit persendian dan demam.

3. Riwayat Kesehatan

a. Riwayat penyakit sekarang

Demam, sakit persendian, karditis, nodus noktan timbul minggu,


minggu pertama, timbul gerakan yang tiba-tiba.

b. Riwayat penyakit dahulu

Fonsilitis, faringitis, autitis media.

c. Riwayat penyakit keluarga

Ada keluarga yang menderita penyakit jantung

4. Riwayat Imunisasi

5. Riwayat nutrisi

Adanya penurunan nafsu makan selama sakit sehingga dapat


mempengaruhi status nutrisi berubah, mual, muntah.

6. ADL (Activity Dailiy Living)

a. Aktivitas/istrahat

Gejala : Kelelahan, kelemahan.

Tanda : Takikardia, penurunan TD, dispnea dengan aktivitas.

16
b. Sirkulasi

Gejala : Riwayat penyakit jantung kongenital, IM, bedah jantung.


Palpitasi, jatuh pingsan.

Tanda : Takikardia, disritmia, perpindahan TIM kiri dan inferior,


Friction rub, murmur, edema, petekie, hemoragi splinter.

c. Eliminasi

Gejala : Riwayat penyakit ginjal, penurunan frekuensi/jumlah


urine.

Tanda : Urine pekat gelap.

d. Nyeri/ketidaknyamanan

Gejala : Nyeri pada dada anterior yang diperberat oleh inspirasi,


batuk, gerakan menelan, berbaring; nyeri dada/punggung/
sendi.

Tanda : Perilaku distraksi, mis: gelisah.

e. Pernapasan

Gejala : Dispnea, batuk menetap atau nokturnal (sputum


mungkin/tidak produktif).

Tanda : Takipnea, bunyi nafas adventisius (krekels dan mengi),


sputum banyak dan berbercak darah (edema pulmonal).

f. Keamanan

Gejala : Riwayat infeksi virus, bakteri, jamur, penurunan sistem


imun.

Tanda : Demam.

7. Pemeriksaan umum

Keadaan umum lemah

Suhu : 38 – 39°C

17
Nadi cepat dan lemah

BB: turun

TD: menurun

8. Pemeriksaan fisik Head to Toe:

a. Kepala

Ada gerakan yang tidak disadari pada wajah, sclera anemis, terdapat
napas cuping hidung, membran mukosa mulut pucat.

b. Kulit

Turgor kulit kembali setelah 3 detik, peningkatan suhu tubuh sampai


39ᴼ C. Akral dingin.

c. Dada

1) Inspeksi: terdapat edema, petekie

2) Palpasi: vocal fremitus tidak sama

3) Perkusi redup

4) Auskultasi terdapat pericardial friction rub, ronchi, crackles

d. Jantung

1) Inspeksi, iktus kordis tampak

2) Palpasi dapat terjadi kardiomegali

3) Perkusi redup

4) Auskultasi terdapat murmur, gallop

e. Abdomen

1) Inspeksi perut simetris

2) Palpasi kadang-kadang dapat terjadi hepatomigali

3) Perkusi tympani

4) Auskultasi bising usus normal

18
f. Genetalia

Tidak ada kelainan

g. Ekstermitas

Pada inspeksi sendi terlihat bengkak dan merah, ada gerakan yang
tidak disadari, pada palpasi teraba hangat dan terjadi kelemahan otot.

9. Pengkajian data khusus:

a. Karditis : takikardi terutama saat tidur, kardiomegali, suara sistolik,


perubahan suarah jantung, perubahan EKG (interval PR
memanjang), nyeri prekornial, leokositosis, peningkatan LED,
peningkatan ASTO.

b. Poliatritis : nyeri dan nyeri tekan disekitar sendi, menyebar pada


sendi lutut, siku, bahu, dan lengan (gangguan fungsi sendi).

c. Nodul subkutan : timbul benjolan di bawah kulit, teraba lunak dan


bergerak bebas. Biasanya muncul sesaat dan umumnya langsung
diserap. Terdapat pada permukaan ekstensor persendian.

d. Khorea : pergerakan ireguler pada ekstremitas, infolunter dan cepat,


emosi labil, kelemahan otot.

e. Eritema marginatum : bercak kemerahan umum pada batang tubuh


dan telapak tangan, bercak merah dapat berpindah lokasi, tidak
parmanen, eritema bersifat non-pruritus.

10. Pemeriksaan penunjang

a. Pemeriksaan darah

b. Astopiter

c. LED

d. Hb

e. Leukosit

19
f. Pemeriksaan EKG

g. Pemeriksaan hapus tenggorokan.

B. Diagnosa Keperawatan

1. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan penumpukan darah di


paru. Ditandai dengan sesak, frekuensi nafas meningkat.

2. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan kontraksi otot


jantung. Ditandai dengan wajah pasien pucat, dada terasa berdebar debar,
suara jantung abnormal yaitu murmur, takikardi, hipotensi.

3. Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit. Ditandai dengan


peningkatan suhu tubuh yaitu 38 derajat celcius.

4. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan


dengan anoreksia ditandai dengan pasien mengeluh tidak ada nafsu
makan.

5. Nyeri akut berhubungan dengan agens cedera biologis. Ditandai dengan


pasien mengeluh nyeri dada.

6. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik ditandai


dengan pasien cepat lelah saat melakukan aktivitas berlebihan.

7. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan penumpukan darah diparu


ditandai dengan pasien sesak.

20
C. Intervensi

No Diagnosa Keperawatan NOC NIC


1 Gangguan pertukaran gas Setelah dilakukan tindakan keperawatan Manajemen Jalan Nafas
berhubungan dengan
selama 1x24 jam gangguan pertukaran gas 1. Posisikan pasien untuk memaksimalkan
penumpukan darah di paru
teratasi dengan kriteria hasil ventilasi
Status pernafasan : Pertukaran Gas 2. Identifikasi kebutuhan actual/potensial pasien
untuk memasukan alat membuka jalan nafas
Indikator A T
3. Masukkan alat nasopharyngeal airway (NPA)
a. Tekanan parsial oksigen
atau oropharyngeal airway(OPA)
didarah arteri (pao2)
4. Lakukan fisioterapi dada
b. Tekanan parsial
karbondioksida didarah 5. Buang sekret dengan memotivasi pasien untuk
arteri (paco3) melakukan batuk atau penyedot lender
c. PH arteri 6. Motivasi pasien untuk bernafas pelan, dalam,
berputar dan batuk
d. Saturasi oksigen
7. Gunakan tehnik yang menyenangkan untuk
e. Tidal kardondioksida
memotivasi bernafas dalam
akhir
8. kepada anak anak (misal:meniup gelembung,
f. Hasil rontgen dada
kincir, peluit, harmonika, balon)
g. Keseimbangan ventilasi
9. Instruksikan bagaimana agar bisa melakukan
dan perfusi
batuk efektif
10. Bantu dengan dorongan spirometer
Skala Indikator 11. Auskultasi suara nafas , catat area yang
ventilasinya menurun atau tidak ada dan

21
1. Deviasi berat dari kisaran normal adanya suara tambahan
2. Deviasi cukup berat dari kisaran normal 12. Lakukan penyedotan melalui endotrakea atau
nasotrakea
3. Deviasi sedang dari kisaran normal
13. Kelola pemberian bronkodilator
4. Deviasi ringan dari kisaran normal
14. Anjurkan pasien bagaimana menggunakan
5. Tidak ada deviasi dari kisaran normal
inhaler
15. Kelola pengebatan aerosol
Indikator A T
16. Kelola nebulizer ultrasonic
a. Dispnea saat istirahat
17. Kelola udara atau oksigen yang dilembabkan
b. Dispnea dengan aktivitas
18. Ambil benda asing dengan forsep Mcgill
ringan
19. Posisikan untuk meringankan sesak nafas
c. Perasaan kurang istirahat
20. Monitor status pernafasan dan oksigenisasi
d. Sianosis
Monitor Pernafasan
e. Mengantuk
1. Monitor kecepatan , irama, kedalaman, dan
f. Gangguan kesadaran
kesulitas bernafas
2. Catat pergerakan dada, catat
Skala Indikator ketidaksimetrisan, penggunaan otot bantu
nafas dan retraksi pada otot supraclaviculas
1. Sangat berat
dan interkosta
2. Berat
3. Monitor suara nafas tambahan seperti ngorok
3. Cukup atau mengi
4. Ringan 4. Monitor pola nafas (bradipneu, takipneu,
hiperventilasi, pernafasan kusmaul, pernafasan
5. Tidak ada
1:1)

22
Status Pernafasan : Ventilasi 5. Monitor saturasi oksigen
Indikator A T 6. Pasang sensor pemantuan oksigen non-invasif
Frekuensi pernapasan 7. Palpasi kesimetrisan ekspansi paru
Irama pernafasan 8. Perkusi torak anterior dan posterior dari apeks
ke basis paru kiri dan kanan
Kedalaman inspirasi
9. Monitor peningkatan kelelaha, kecemasan dan
Suara perkusi napas
kekurangan udara pada pasien
Volume tidal
10. Catat onset karakteristik dan lamanya batuk
Kapasitas vital
11. Monitor sekresi pernafasan pasien
Hasil Rontgen dada
12. Monitor keluhan sesak nafas pasien termasuk
Tes faal paru kegiatan yang meningkatkan atau
memperburuk sesak nafas tersebut
13. Monitor suara krepitasi pada pasien
Skala Indikator
14. Monitor hasil rontgen foto thorax
1. Deviasi berat dari kisaran normal
15. Kolaborasi pemberian terapi oksigen
2. Deviasi cukup berat dari kisaran normal
3. Deviasi sedang dari kisaran normal
4. Deviasi ringan dari kisaran normal
5. Tidak ada deviasi dari kisaran normal

Indikator A T
a. Penggunaan otot bantu
pernafasan

23
b. Suara nafas tambahan
c. Restraksi dinding dada
d. Pernafasan dengan bibir
mengerucut
e. Dispnea saat istirahat
f. Dispnea saat latihan
g. Orthopnea
h. Taktil fremitus
i. Pengembangan dinding
data tidak simetris
j. Gangguan vokalisasi
k. Akumulasi sputum
l. Gangguan ekspirasi
m. Gangguan suara saat
auskultasi
n. Atelektasi
o. Penggunaan otot bantu
nafas
p. Batuk
q. Akumulasi sputum
r. Respirasi agonal

24
Skala Indikator
1. Sangat berat
2. Berat
3. Cukup
4. Ringan
5. Tidak ada
Tanda-Tanda Vital
Indikator A T
a. Suhu tubuh
b. Denyut jantung apical
c. Denyut nadi radial
d. Tingkat pernafasan
e. Irama pernafasan
f. Tekanan darah sistolik
g. Tekanan darah diastolic
h. Tekanan nadi
i. Kedalaman inspirasi

Skala Indikator
1. Deviasi berat dari kisaran normal
2. Deviasi cukup berat dari kisaran normal

25
3. Deviasi sedang dari kisaran normal
4. Deviasi ringan dari kisaran normal
5. Tidak ada deviasi dari kisaran normal
2 Perubahan curah jantung Setelah dilakukan perawatan 3x24 jam Perawatan jantung
berhubungan dengan perubahan pasien tidak akan mengalami penurunan
1. Lakukan penilaian komprehensif terhadap
kontraksi otot jantung curah jantung dengan kriteria hasil:
sirkulasi perifer (misalnya, cek nadi perifer,
1. Tekanan darah dalam rentang normal edema, pengisian kapiler, dan suhu ekstrimitas).
yaitu 120/70 mmHg
2. Catat adanya disritmia, tanda dan gejala
2. Toleransi terhadap aktivitas penurunan curah jantung.
3. Nadi perifer kuat 3. Observasi tanda-tanda vital.
4. Tidak ada disritmia 4. Instruksikan klien dan keluarga tentang
pembatasan aktivitas.
5. Tidak ada bunyi jantung abnormal yaitu
terdengar bunyi mur mur 5. Kalaborasi dalam pemberian terapi antiaritmia
sesuai kebutuhan.
6. Tidak ada angina
7. Tidak ada kelelahan

3 Hipertermia berhubungan Pasien dapat menunjukkan termoregulasi Penanganan demam


dengan proses penyakit yang baik setelah dilakukan tindakan
1. Observasi suhu sesering mungkin dan kontinu
keperawatan selama 1x24 jam dengan
kriteria hasil: 2. Observasi tekanan darah, nadi, dan frekuensi
nafas
1. Suhu tubuh dalam batas normal (36,5ᴼ
C– 37,5ᴼ C) 3. Observasi penurunan tingkat kesadaran
2. Tidak sakit kepala 4. Observasi adanya aritmia
3. Nadi dalam batas normal (80-100

26
x/mnt) 5. Kompres klien pada lipat paha dan aksila
4. Frekuensi nafas dalam batas normal 6. Selimuti klien
(12-24 x/mnt)
7. Berikan caiaran intravena
5. Tidak ada perubahan warna kulit
8. Kolaborasi pemberian anti piretik
6. Hidrasi cukup
9. Berikan pengobatan untuk mengatasi penyebab
7. Otot tidak nyeri dari demam
8. Tidak mengantuk

4 Ketidak seimbangan nutrisi Kebutuhan nutrisi adekuat setelah Manajemen nutrisi dan observasi nutrisi:
kurang dari kebutuberhubungan dilakukan tindakan keperawatan selama
1. Identifikasi faktor penyebab mual dan muntah
dengan anoreksia 4x24 jam dengan kriteria hasil:
2. Tanyakan pada klien tentang alergi makanan
1. Adanya peningkatan berat badan sesuai
tujuan 3. Timbang berat badan klien pada interval yang
tepat.
2. Tidak terjadi penurunan berat badan
yang berarti 4. Anjurkan masukan kalori yang tepat yang
sesuai dengan gaya hidup.
3. Klien mampu mengidentifikasi
kebutuhan nutrisi 5. Anjurkan peningkatan pemasukan pritein dan
vitamin B
4. Asupan nutrisi dan cairan adekuat
6. Anjurkan agar banyak makan buah dan minum.
5. Klien melaporkan keadekuatan tingkat
energi 7. Diskusikan dengan ahli gizi dalam menentukan
kebutuhan kalori dan protein
8. Diskusikan dengan dokter tentang kebutuhan
stimulasi nafsu makan, makan pelengkap,
pemberi makan melalui selang atau nutrisi
parenteral total agar asupan kalori yang

27
adekuat dapat dipertahankan
9. Tawarkan makan dalam porsi besar pada siang
hari ketika makan tingggi.
10. Ciptakan lingkungan yang menyenangkan
11. Tawarkan hygiene mulut sebelum makan

5 Nyeri akut berhubungan dengan Setelah dilakukan tindakan keperawatan 2 x Manajemen nyeri:
agens cedera biologi 24 jam nyeri klien menghilang/berkurang
1. Kaji secara komperhensif tentang nyeri,
hingga batas yang bisa ditoleransi dengan
meliputi lokasi, karasteristik dan awitan,
kriteria hasil :
durasi, frekuensi, kualitas, intensitas/beratnya
1. Mengontrol nyeri: nyeri, dan faktor presipitasi
a. Mengenal faktor penyebab nyeri 2. Berikan informasi tentang nyeri, seperti
penyebab, berapa lama terjadi, dan tindakan
b. Tindakan pencegahan
pencegahan
c. Tindakan pertolongan non-analgetik
3. Ajarkan penggunaan teknik non-farmakologi
d. Menggunakan analgetik dengan tepat (misalnya, relaksasi, imajinasi terbimbing,
e. Mengenal tanda-tanda pencetus nyeri terapi musik, distraksi, imajinasi terbimbing,
untuk mencari pertolongan terapi musik, distraksi, terapi panas-dingin,
masase)
f. Melaporkan gejala kepada tenaga
kesehatan 4. Evaluasi keefektifan dari tindakan mengontrol
nyeri
2. Menunjukan tingkat nyeri:
5. Kalaborasi pemberian analgetik
a. Melaporkan nyeri
b. Frekuensi nyeri
c. Lamanya episode nyeri

28
d. Ekspresi nyeri
e. Posisi melindungi bagian tubuh yang
nyeri.
f. Perubahan nadi, tekanan darah, dan
frekuensi napas

6 Intoleransi aktivitas Setelah dilakukan tindakan keperawatan Manajemen energi


berhubungan dengan kelemahan klien dapat menunjukkan toleransi terhadap
1. Tentukan keterbatasan klien terhadap aktivitas
fisik aktivitas dengan kriteria hasil:
2. Dorong pasien untuk mengungkapkan perasaan
1. Klien dapat menentukan aktivitas yang
tentang keterbatasannya
sesuai dengan peningkatan nadi, tekanan
darah, dan frekuensi napas; 3. Motivasi untuk melakukan periode istirahat dan
mempertahankan irama dalam batas aktivitas
normal (12-24 x/mnt) 4. Rencanakan periode aktivitas saat klien
2. Mempertahanakan warna dan memiliki banyak tenaga
kehangatan kulit dengan aktivitas 5. Bantu klien untuk bangun dari tempat tidur atau
3. Melaporkan peningkatan aktivitas harian duduk di samping tempat tidur atau berjalan
6. Bantu klien untuk mengidentivikasi aktivitas
yang lebih disukai
7. Evaluasi program peningkatan tingkat aktivitas.
6 Gangguan pertukaran gas Tanda-tanda Vital Manajemen Jalan Nafas
berhubungan dengan Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. Monitor status pernafasan dan oksigenisasi
penumpukan darah diparu klien diharapkan status pernapasan Klien oksigenisasi Lakukan fisioterapi dada Lakukan
membaik dengan kriteria hasil: fisioterapi dada
1. Suhu tubuh (36,5-37,5) 2. Motivasi pasien untuk bernafas pelan, Motivasi

29
2. Tekanan nadi (70-120x/menit) pasien untuk bernafas pelan,
3. Pernapasan (12-24 x/mnt) 3. dalam, berputar dan batuk dalam, berputar dan
batuk
4. Tekanan Darah Sistolik (100-119
mmHg) 4. Gunakan tehnik yang Gunakan tehnik yang
menyenangkan menyenangkanuntuk
5. Tekanan Darah Diastolik (65-76
memotivasi bernafas dalam untuk memotivasi
mmHg)
bernafas dalam kepada anak anak (misal :
kepada anak anak (misal : meniup gelembung,
kincir, peluit, harmo meniup gelembung, kincir,
peluit, harmonika, balon)
5. Auskultasi suara nafas , catat area Auskultasi
suara nafas , catat area yang ventilasinya
menuun atau tidak yang ventilasinya menuun
atau tidak ada dan adanya suara tambahan ada
dan adanya suara tambahan
6. Lakukan penyedotan melalui Lakukan
penyedotan melalui endotrakea atau nasotrakea
endotrakea atau nasotrakea
7. Kelola pemberian bronkodilator Kelola
pemberian bronkodilator
8. Anjurkan pasien bagaimana menggunakan
inhaler menggunakan inhaler
9. Posisikan untuk meringankan sesaknafas nafas

30
D. Implementasi

Implementasi yang dilakukan berorientasi pada intervensi yang telah


disusun dan disesuaikan dengan kondisi klien serta kebijakan RS.

E. Evaluasi

Evaluasi merupakan langkah terakhir dalam proses keperawatan,


dimana evaluasi adalah kegiatan yang dilakukan secara terus menerus dengan
melibatkan pasien, perawat dan anggota tim kesehatan lainnya (Pungky &
Siti, 2015).
Tujuan dari evaluasi ini adalah untuk menilai apakah tujuan dalam
rencana keperawatan tercapai dengan baik atau tidak dan untuk melakukan
pengkajian ulang (US. Midar H, dkk, 1989) (dikutip dari Pungky & Siti,
2015).
1. Tidak mengalami gangguan pertukaran gas dan tidak mengalami sesak

2. Tidak terjadi penurunan curah jantung

3. Suhu tubuh dalam batas normal dan tidak terjadi kejang

4. Asupan nutrisi adekuat, tidak terjadi penurunan BB yang berarti dan


terjadi peningkatan BB

5. Nyeri menghilang/berkurang sampai batas yang bisa ditoleransi

6. Klien dapat melakukan ADL secara mandiri

31
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Penyakit Jantung Reumatik (PJR) merupakan kelainan katup jantung


yang menetap akibat demam reumatik akut sebelumnya. Penyakit ini
terutama mengenai katup mitral (75%), aorta (24%), jarang mengenai katup
trikuspidal (1%) dan tidak pernah menyerang katup pulmonal.

Telah lama diketahui DR mempunyai hubungan dengan infeksi kuman


Streptokokus beta hemolitik grup A pada saluran nafas atas. Beberapa faktor
resiko pada penyakit ini antara lain : sosial ekonomi yang rendah dan
kepadatan penduduk, faktor genetik, daerah iklim sedang dan tropis bercuaca
lembab, perubahan suhu yang mendadak, reaksi autoimun.

Manifestasi klinis RDH dibagi menjadi manifestasi minor (artralgia,


demam tinggi, peningkatan penanda peradangan yaitu
erythrocytesedimentation rate (ESR) atau C Reactive Protein (CRP),
pemanjangan interval PR pada EKG) dan manifestasi mayor (Karditis,
Poliatritis, Khorea syndenham, Eritema marginatum, Nodul supkutan).

Adapun masalah keperawatan yang mungkin muncul pada penyakit


jantung rematik antara lain adalah Penurunan curah jantung berhubungan
dengan perubahan kontraksi otot jantung. Ditandai dengan wajah pasien
pucat, dada terasa berdebar debar, suara jantung abnormal yaitu murmur,
takikardi, hipotensi. Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit.
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
anoreksia Nyeri akut berhubungan dengan agens cedera biologis. Intoleransi
aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik.

B. Saran

1. Seseorang yag terinfeksi kuman streptococcus hemoliticus dan


mengalami demam reumatik, diharapkan petugas kesehatan memberikan
terapi yang maksimal dengan antibiotika, hal ini untuk menghindari

32
kemungkinan serangan kedua kalinya bahkan menyebabkan penyakit
jantung reumatik.

2. Diharapkan kepada semua perawat agar tetap menggunakan asuhan

keperawatan sebagai metode pemecahan masalah, terutama dalam

penanganan masalah klien mengingat begitu banyak diagnosa

keperawatan yang kemungkinan muncul dalam prosese keperawatannya

serta diharapkan kesungguhannya dalam memberikan asuhan

keperawatan.

DAFTAR PUSTAKA

33
34

Anda mungkin juga menyukai