Laporan Biofar Piroksikam
Laporan Biofar Piroksikam
PRAKTIKUM BIOFARMASETIKA
DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 4
FEBRIANA N (G1F011062)
JURUSAN FARMASI
2013
PERCOBAAN II
I. TUJUAN
1. Mengetahui cara uji disolusi tablet biasa (immediate release).
2. Mengetahui cara uji disolusi tablet salut (modified release).
3. Dapat melakukan perhitungan dan menganalisis hasil uji disolusi tablet biasa.
V. PERHITUNGAN
VI. PEMBAHASAN
MONOGRAFI BAHAN
Obat analgesik antipiretik serta obat anti inflamasi nonsteorid merupakan sustu
kelompok obat yang heterogen, bahkan beberapa obat sangat berbeda secara kimia. Walaupun
demikian obat-obat ini ternyata memiliki banyak persamaan dalam efek terapi maupun efek
samping. Prototip obat golongan ini adalah aspirin, karena itu obat golongan ini sering disebut
juga sebagai obat mirip aspirin (aspirin like drugs) (Anonim,2002).
UJI DISOLUSI
Uji disolusi merupakan hal yang penting untuk dilakukan dalam merancang suatu sediaan
tablet agar laju pelepasan obat dari tablet tersebut dapat diketahui. Obat yang memiliki disolusi
yang baik akan memberikan bioavailabilitas yang baik pula sehingga semakin banyak jumlah
obat yang diabsorpsi secara utuh oleh tubuh dan masuk ke dalam sirkulasi sistemik. Laju disolusi
dapat berhubungan langsung dengan kemanjuran suatu obat dan merupakan suatu karakteristik
mutu yang penting dalam menilai mutu obat yang digunakan peroral untuk mendapatkan efek
sistemik. Selain itu uji disolusi merupakan suatu parameter penting dalam pengembangan produk
dan pengendalian mutu obat (Isnawati, 2003).
Uji hancur pada suatu tablet didasarkan pada kenyataan bahwa, tablet itu pecah menjadi
partikel-partikel kecil, sehingga daerah permukaan media pelarut menjadi lebih luas, dan akan
berhubungan dengan tersedianya obat dalam cairan tubuh. Namun, sebenarnya uji hancur hanya
menyatakan waktu yang diperlukan tablet untuk hancur di bawah kondisi yang ditetapkan. Uji ini
tidak memberikan jaminan bahwa partikel-partikel itu akan melepas bahan obat dalam larutan
dengan kecepatan yang seharusnya. Oleh sebab itu, uji disolusi dan ketentuan uji dikembangkan
bagi hampir seluruh produk tablet. Laju absorpsi dari obat-obat bersifat asam yang diabsorpsi
dengan mudah dalam saluran pencernaan sering ditetapkan dengan laju larut obat dalam tablet.
Agar diperoleh kadar obat yang tinggi di dalam darah, maka kecepatan obat dan tablet
melarut menjadi sangat menentukan. Karena itu, laju larut dapat berhubungan langsung dengan
efikasi (kemanjuran) dan perbedaan bioavaibilitas dari berbagai formula. Karena itu,
dilakukannya evaluasi mengenai apakah suatu tablet melepas kandungan zat aktifnya atau tidak
bila berada di saluran cerna, menjadi minat utama dari para ahli farmasi.
Diperkirakan bahwa pelepasan paling langsung obat dari formula tablet diperoleh dengan
mengukur bioavaibilitas in vivo. Ada berbagai alasan mengapa penggunaan in vivo menjadi
sangat terbatas, yaitu lamanya waktu yang diperlukan untuk merencanakan, melakukan, dan
mengitepretasi; tingginya keterampilan yang diperlukan bagi pengkajian pada manusia.;
ketepatan yang rendah serta besarnya penyimpangan pengukuran; besarnya biaya yang
diperlukan; pemakaian manusia sebagai obyek bagi penelitian yang “nonesensial”; dan
keharusan menganggap adanya hubungan yang sempurna antara manusia yang sehat dan tidak
sehat yang digunakan dalam uji. Dengan demikian, uji disolusi secara in vitro dipakai dan
dikembangkan secara luas, dan secara tidak langsung dipakai untuk mengukur bioavabilitas obat,
terutama pada penentuan pendahuluan dari faktor-faktor formulasi dan berbagai metoda
pembuatan yang tampaknya akan mempengaruhi bioavaibilitas. Seperti pada setiap uji in vitro,
sangat penting untuk menghubungkan uji disolusi dengan tes bioavaibilitas in vitro. Ada dua
sasaran dalam mengembangkan uji disolusi in vitro yaitu untuk menunjukkan :
1. Penglepasan obat dari tablet kalau dapat mendekati 100%
2. Laju penglepasan obat seragam pada setiap batch dan harus sama dengan laju penglepasan
dari batch yang telah dibuktikan bioavaibilitas dan efektif secara klinis.
Tes kecepatan melarut telah didesain untuk mengukur berapa kecepatan zat aktif dari satu tablet
atau kapsul melarut ke dalam larutan. Hal ini perlu diketahui sebagai indikator kualitas dan dapat
memberikan informasi sangat berharga tentang konsistensi dari “batch” satu ke “batch” lainnya.
Tes disolusi ini didesain untuk membandingkan kecepatan melarutnya suatu obat, yang ada di
dalam suatu sediaan pada kondisi dan ketentuan yang sama dan dapat diulangi.
Kecepatan disolusi sediaan sangat berpengaruh terhadap respon klinis dari kelayakan
sistem penghantaran obat. Disolusi menjadi sifat sangat penting pada zat aktif yang dikandung
oleh sediaan obat tertentu, dimana berpengaruh terhadap kecepatan dan besarnya ketersediaan
zat aktif dalam tubuh. Jika disolusi makin cepat, maka absorbsi makin cepat. Zat aktif dari
sediaan padat (tablet, kapsul, serbuk, suppositoria), sediaan system terdispersi (suspensi dan
emulsi), atau sediaan-sediaan semisolid (salep,krim,pasta) mengalami disolusi dalam
media/cairan biologis kemudian diikuti absorbsi zat aktif ke dalam sirkulasi sistemik.
Kecepatan disolusi dalam berbagai keadaan dapat menjadi tahap pembatasan
kecepatan zat aktif ke dalam cairan tubuh. Apabila zat padat ada dalam saluran cerna, mama
terdapat dua kemungkinan tahap pembatasan kecepatan zat aktif tersebut, yaitu :
Zat aktif mula-mula harus larut
Zat aktif harus dapat melewati membrane saluran cerna
Analisis kecepatan disolusi zat aktif dari sediaannya merupakan analisis yang penting
dalam pengujian mutu untuk sediaan-sediaan obat. Analisis disolusi telah masuk persyaratan
wajib USP untuk persyaratan tablet dan kapsul, sejak tahun 1960. Berbagai studi telah berhasil
dalam korelasi disolusi invivo dengan disolusi invitro. Namun, disolusi bukan merupakan suatu
peramal koefisien terapi, tetapi disolusi lebih merupakan parameter mutu yang dapat
memberikan informasi berharga tentang ketersediaan hayati dari suatu produk.
Pengembangan dan penggunaan uji disolusi invitro untuk mengevaluasi dan
menggambarkan disolusi dan absorbsi invitro bertujuan :
a) Untuk mengetahui kepentingan bahwa sifat-sifat fisikokimia yang ada dalam model
disolusi dapat berarti atau berpengaruh dalam proses invivo apabila dikembangkan suatu
model yang berhasil meniru situasi invivo
b) Untuk menyaring zat aktif penting dikaitkan dengan formulasinya dengan sifat disolusi dan
absorbsinya sesuai.
c) Sistem uji disolusi invitro dapat digunakan sebagai prosedur pengendalian mutu untuk
produk akhir.
d) Menjamin kesetaraan hayati (bioekivalen) dari batch yang berbeda dari bentuk sediaan
solid apabila korelasi antara sifat disolusi dan ketersdiaan hayati telah ditetapkan.
e) Metode yang baik sekali dan handal untuk memantau proses formulasi dan manufaktur.
f) Penetapan kecepatan disolusi intrinsik berguna untuk mengetahui sifat disolusi zat aktif
yang baru.
g) Agar sistem disolusi invitro bernilai maka system harus meniru secara dekat sistem invivo
sampai tingkat invitro-invivo yang konsisten tercapai. Oleh karena itu keuntungan dalam
biaya, tenaga kerja, kemudahan dapat diberikan dengan penggunaan sistem.
Disolusi dapat terjadi langsung pada permukaan tablet, dari granul-granul bilamana
tablet telah pecah atau dari partikel-partikel halus bilamana granul-granul telah pecah. Pada
tablet yang tidak berdesintegrasi, kecepatan disolusinya ditentukan oleh proses disolusi dan
difusi. Namun demikian, bagi tablet yang berdesintegrasi, profil disolusinya dapat menjadi
sangat berbeda tergantung dari apakah desintegrasi atau disolusinya yang menjadi penentu
kecepatan.
Faktor yang mempengaruhi Disolusi :
1.Suhu
Suhu akan mempengaruhi kecepatan melarut zat. Perbedaan sejauh lima persen dapat
disebabkan oleh adanya perbedaan suhu satu derajat.
2.Medium
Media yang paling umum adalah air, buffer dan 0,1 N HCl. Dalam beberapa hal zat tidak
larut dalam larutan air, maka zat organik yang dapat merubah sifat ini atau surfaktan digunakan
untuk menambah kelarutan. Gunanya adalah untuk membantu kondisi “sink” sehinggan
kelarutan obat di dalam medium bukan merupakan faktor penentu dalam proses disolusi. Untuk
mencapai keadaan “sink” maka perbandingan zat aktif dengan volume medium harus dijaga tetap
pada kadar 3-10 kali lebih besar daripada jumlah yang diperlukan bagi suatu larutan jenuh.
Masalah yang mungkin mengganggu adalah adanya gas dari medium sebelum digunakan.
Gelembung udara yang terjadi dalam medium karena suhu naik dapat mengangkat tablet,
sehingga dapat menaikkan kecepatan melarut.
3.Kecepatan Perputaran
Kenaikan dalam pengadukan akan mempercepat kelarutan. Umumnya kecepatan
pengadukan adalah 50 atau 100 rpm. Pengadukan di atas 100 rpm tidak menghasilkan data yang
dapat dipakai untuk membeda-bedakan hasil kecepatan melarut. Bilamana ternyata bahwa
kecepatan pengadukan perlu lebih dari 100 rpm maka lebih baik untuk mengubah medium
daripada menaikkan rpm. Walaupun 4% penyimpangan masih diperbolehkan, sebaiknya
dihindarkan.
4.Ketepatan Letak Vertikal Poros
Disini termasuk tegak lurusnya poros putaran dayung atau keranjang, tinggi dan
ketepatan posisi dayung/ keranjang yang harus sentris. Letak yang kurang sentral dapat
menimbulkan hasil yang tinggi, karena hal ini akan mengakibatkan pengadukan yang lebih hebat
di dalam bejana.
5. Goyangnya poros
Goyangnya poros dapat mengakibatkan hasil yang lebih tinggi karena dapat
menimbulkan pengadukan yang lebih besar di dalam medium. Sebaiknya digunakan poros dan
bejana yang sama dalam posisi sama bagi setiap percobaan karena masalah yang timbul karena
adanya poros yang goyang akan dapat lebih mudah dideteksi.
6. Vibrasi
Bilamana vibrasi timbul, hasil yang diperoleh akan lebih tinggi. Hampir semua masalah
vibrasi berasal dari poros motor, pemanas penangas air atau adanya penyebab dari luar. Alas dari
busa mungkin dapat membantu, tetapi kita harus hati-hati akibatnya yaitu letak dan kelurusan
harus dicek.
7. Gangguan pola aliran
Setiap hal yang mempengaruhi pola aliran di dalam bejana disolusi dapat mengakibatkan
hasil disolusi yang tinggi. Alat pengambil cuplikan serta adanya filter pada ujung pipet selama
percobaan berlangsung dapat merupakan penyebabnya.
8. Posisi pengambil cuplikan
Posisi yang dianjurkan untuk pengambilan cuplikan adalah di antara bagian puncak dayung
(atau keranjang) dengan permukaan medium (code of GMP). Cuplikan harus diambil 10-25 mm
dari dinding bejana disolusi, karena bagian ini diperkirakan merupakan bagian yang paling baik
pengadukannya.
9. Formulasi bentuk sediaan
Penting untuk diketahui bahwa hasil kecepatan melarut yang aneh tidaklah selalu
disebabkan oleh masalah peralatan saja, tetapi beberapa mungkin juga disebabkan oleh kualitas
atau formulasi produknya sendiri. Beberapa faktor yang misalnya berperan adalah ukuran
partikel dari zat berkhasiat, Mg stearat yang berlebih sebagai lubrikan, penyalutan terutama
dengan shellak dan tidak memadainya zat penghancur. Ada juga yang menambahkan faktor
kekerasan tablet.
10. Kalibrasi alat disolusi
Kalibrasi alat disolusi selama ini banyak diabaikan orang, ternyata hal ini merupakan salah
satu faktor yang paling penting. Tanpa melakukannya tidak dapat kita melihat adanya kelainan
pada alat. Untuk mencek alat disolusi digunakan tablet khusus untuk kalibrasi yaitu tablet
prednisolon 50 mg dari USP yang beredar di pasaran. Tes dilakukan pada kecepatan dayung atau
keranjang 50 dan 100 rpm. Kalibrasi harus dilakukan secara teratur minimal setiap enam bulan
sekali.
a. Tipe keranjang
Alat terdiri dari sebuah wadah bertutup yang terbuat dari kaca atau bahan transparan
lain yang inert, suatu motor, suatu batang logam yang digerakkan oleh motor dan
keranjang berbentuk silinder. Wadah tercelup sebagian di dalam suatu tangas air yang
sesuai berukuran sedemikian sehingga dapat mempertahankan suhu dalam wadah pada
37° ± 0,5°C selama pengujian berlangsung dan menjaga agar gerakan air dalam tangas air
halus dan tetap.
b. Tipe dayung
Bedanya pada alat ini digunakan dayung yang terdiri dari dari daun dan batang sebagai
pengaduk. Batang berada pada posisi sedemikian sehingga sumbunya tidak lebih dari 2 mm pada
setiap titik dari sumbu vertikal wadah dan berputar dengan halus tanpa goyangan yang berarti.
Daun melewati diameter batang sehingga dasar daun dan batang rata. Dayung memenuhi
spesifikasi. Jarak 25 mm ± 2 mm antara daun dan bagian dalam dasar wadah dipertahankan
selama pengujian berlangsung. Daun dan batang logam yang merupakan satu kesatuan dapat
disalut dengan suatu penyalut inert yang sesuai. Sediaan dibiarkan tenggelam ke dasar wadah
sebelum dayung mulai berputar. Sepotong kecil bahan yang tidak bereaksi seperti gulungan
kawat berbentuk spiral dapat digunakan untuk mencegah mengapungnya sediaan (Anonim, 1995
PERBAIKAN KELARUTAN
Untuk menghasilkan kerja terapetik yang optimal maka kelarutan bahan obat dalam
konsentrasi yang memadai seringkali menjadi persyaratan penting. Prinsip untuk perbaikan
kelarutan:
a. Penghalusan
Melalui penghalusan, yang mengarahkan kepada pembesaran permukaan yang tidak
terelakkan, dapat sangat mendukung kepada suatu perbaikan perbandingan
kelarutan. Hal tersebut berlaku terutama untuk bahan suakr larut, dimana dapat
diperlukan suatu mikronisasi.
b. Pengeringan sembur
Pada pengeringan sembur dari larutan cair umumnya membentuk pola berongga 920-
200 μm), yang memiliki suatu karakter busa kering dan disebabkan oleh pembesaran
permukaan yang dihasilkan dengan demikian, memberikan suatu kelarutan yang
cepat.
c. Pemancang sembur
Peningkatan kecepatan melarut bahan obat sangat sukar larut dihasilkan melalui
semburannya bersama-sama dengan polimer hidrofil (metilselulosa, natrium karboksi
metilselulosa, polietilenglikol, polivinilpirolidon).Meningkatnya kecepatan melarut
terdapat dalam perbandingan langsung terhadap bagian bahan aktif yang terdapat
secara kristalografis amof dalam produk sembur.
d. Pemancang leburan, kopresipitas
Juga melalui leburan bersama suatu bahan obat dengan suatu bahan pembawa
(misalnya polietilenglikol 6000 atau urea) dan akhirnya leburan dibekukan
(pemancang leburan) dapat meningkatkan kelarutan.
e. Penarikan pada pembawa padat
Dengan prosedur teknik ini juga dapat dihasilkan suatu peningkatan nyata kecepatan
melarut pada suatu deret bahan obat sukar larut (misalnya digitoksin, benzokain).
f. Pembentukan garam larut air
Metode yang telah lama digunakan ini dijumpai penggunaannya secara luas pada
bahan obat base seperti alkaloida (misalnya pilokarpin hidroklorida, morfin
hidroklorida) dan asam (misalnya natrium benzoat).
g. Pemasukan gugus polar ke dalam molekul
Untuk penghidrofiliksasian dapat dimasukkan gugus polar ke dalam molekul.Hal
tersebut berlangsung melalui karboksilasi, sulfurisasi, sulfonisasi, aminsai, amidasi,
metansulfonisasi hidroksilasi, alkilasi, polioksietilasi dan sebagiannya.
h. Pembentukan kompleks
Pembentukan kompleks sering dikaitkan dengan suatu perubahan sifat yang lebih
penting dari baha obat, seperti ketetapan, daya resorpsinya, dan tersatukannya,
sehingga dalam setiap kasus diperlukan suatu pengujian yang cermat dan cocok.
i. Penambah senyawa hidrotropi
Efek yang dinyatakan sebagai hidrotropi pada hakekatnya adalah diarahkan kembali
terhadap efektifnya ikatan jembatan hidrogen, sebagian terdapat pembentukan
kompleks dan terhadap turunnya tergangan permukaan.
j. Penglarutan dari larutan tensid
Pada bahan yang nyata-nyata hidrofob (misalnya fenasetin, propifenazon) suatu
penghalusan partikel tidak mengarahkan kepada suatu peningkatan, melainkan
kepada suatu penurunan dari perbandingan kelarutannya.Hal ini mempunyai
penyebabnya, bahwa dengan berlangsungnya pembesaran permukaan sekaligus batas
antarpermukaan yang tidak dapat dibasahi meninggi, di mana masuknya ke dalam
larutan sangat dihambat.
k. Pensolubilisasian
Pensolubilisasian adalah suatu perbaikan kelarutan melalui senyawa aktif permukaan,
yang pada tempatnya, untukmerubah bahan obat kurang larut air atau bahan obat tak
larut air menjadi larutan dalam air jernih, setinggi-tingginya beropalesensi, tanpa
menjalani suatu perubahan struktur kimia obat ( Lachman, 1994 ).
PRINSIP SPEKTROFOTOMETER UV
Spektrofotometri serapan merupakan pengukuran suaktu interaksi antara radiasi
elektomagnetik dan molekul atau atom dari suatu zat kimia. Teknik yang sering digunakan
dalam analis farmasi meliputi spektrofotometri ultraviolet, cahaya tampak, inframerah, dan
serapan atom. Jangkauan panjang gelombang untuk daerah ultraviolet adalah 190-380 nm,
daerah cahaya tampak 380-780 nm, daerah inframerah dekat 780-3000 nm, dan daerah
inframerah 2,5-40 μm atau 4000-250 cm-1 (Anonim, 1995).
Spektofotometer adalah alat yang digunakan untuk mengukur energi secara relatif
jika energi tersebut ditransmisikan, direfleksikan atau diemisikan sebagai fungsi dari
panjang gelombang. Spektrofotometer menghasilkan sinar dari spektrum dengan panjang
gelombang tertentu dan fotometer adalah alat pengukur intensitas cahaya yang
ditransmisikan atau yang diabsorpsi (Nurfaisyah, 2011).
Prinsip spektrofotometri didasarkan adanya interaksi dari energi radiasi
elektromagnetik dengan zat kimia. Dengan mengetahui interaksi yang terjadi, dikembangkan
teknik-teknik analisis kimia yang memanfaatkan sifat-sifat dari interaksi tersebut. Dalam
mempelajari analisis kuantitatif dan absorbsi, berkas radiasi dikenakan pada sampel dan
kemudian intensitas radiasi yang diteruskan diukur. Radiasi yang diabsorbsi oleh sampel
ditentukan dengan membandingkan intensitas dari berkas radiasi yang diteruskan bila ada
zat penyerap. Jika radiasi mengenai sampel memiliki energi sesuai dengan yang dibutuhkan
untuk menyebabkan terjadinya perubahan energi, maka terjadilah absorbsi (Sudarmadji dkk.,
1996).
CARA KERJA
Medium disolusi yang digunakan adalah HCl sebanyak 900 mL yang dimasukkan ke
dalam labu disolusi. Cara pembuatannya yaitu 4 ml HCl 37 %. ditambah akuades hingga 1000
mL. Larutan diatur pada pH 1,2 ± 0,05 (Anonima, 1995).
Uji disolusi dilakukan dengan menggunakan dissolution tester tipe II yaitu tipe dayung.
Kecepatan putar pengaduk dayung diatur pada kecepatan 100 rpm. Suhu percobaan
dipertahankan berada pada 37-38 °C (Anonim, 1994).
Sampel hasil disolusi tablet piroksikam diambil dari medium disolusi pada menit ke 5, 10, 30,
45, 60, dan 90, masing-masing sebanyak 5,0 mL. Sampel yang diambil kemudian diganti dengan
medium disolusi baru dalam jumlah yang sama yaitu 5,0 mL sehingga volume medium disolusi
tetap (Kiran et al., 2010). Sampel yang telah diperoleh dari menit ke 5, 10, 30, 45, 60, dan 90
diukur absorbansinya pada spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang maksimum
piroksikam dalam medium disolusi. Hasil absorbansi yang diperoleh dimasukkan dalam
persamaan regresi linier untuk memperoleh konsentrasinya. Sampel uji disolusi dibaca
absorbansinya pada panjang gelombang maksimum sehingga diperoleh absorbansi sampel.
Dapus (BUAT YANG TIAP PARAGRAF BELUM ADA
DAPUS.NA SILAHKAN KOPI MILIH DARI DAFTAR
DAPUS, DAN DAPUS.NA YANG TIDAK DIPAKAI
TOLONG DIHAPUS !!!! TERIMAKASIH… )
Anonim, 1994, The Pharmaceutical Codex, 12 th ed, The Pharmaceutics Press, London:1010-1011.
Anonima, 1995, Farmakope Indonesia, Edisi IV, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta:488-
489,515,683,687,771.
Anonim. 2002. Farmakologi Dan Terapi Edisi 4. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Isnawati, A., 2003, Profil Disolusi dan Penetapan Kadar Tablet Kotrimoksazol Generic Berlogo dan
Tablet Dengan Nama Dagang, Media Litbang Kesehatan, XIII(2), 21.
Kiran, N.R., Palanichamy., Rajesh, M., 2010, Formulation and Evaluation of Orodispersible Piroxicam
Tablets, Journal of Pharmaceutical Science and Research, 2(10): 615-621. Kiran, N.R.,
Palanichamy., Rajesh, M., 2010, Formulation and Evaluation of Orodispersible Piroxicam
Tablets, Journal of Pharmaceutical Science and Research, 2(10): 615-621.
Muhtadi, A, Anas Subarnas, Sri Adi Sumiwi, Rini Hendriani, Ellin Febrina, Gofarana Wilar . 2011.
Penuntun Praktikum Farmakologi. Jatinangor: Laboratorium Farmakologi, Fakultas Farmasi
UNPAD.
Mutchler, Ernst. 1991. Dinamika Obat. Edisi Kelima. Bandung: Penerbit ITB.
Sari, Retno, 2004, Peningkatan Laju Disolusi Piroksikam dengan Sistem Dispersi Padat Piroksikam-
HPMC 3 Cps., Majalah Farmasi Airlangga 4(1): 16-19.
Amir, Syarif,dkk, 2007, Farmakologi dan Terapi Edisi kelima, Gaya Baru, Jakarta.
Anonim, 1995, Farmakope Indonesia Edisi IV, DepartemenKesehatan RI, Jakarta.
Ansel, Howard C., 1989, Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, UI Press, Jakarta.
Day, R.A dan A.L Underwood, 1986, Analisa Kimia Kuantitatif, Erlangga, Jakarta.
Gandjar, I. G. dan Abdul Rohman, 2007, Kimia Farmasi Analisis, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Gennaro, A. R., et all., 1990, Remingto’s Pharmaceutical Sciensces , Edisi 18th, Marck
Publishing Company, Easton, Pensylvania, 591.
Khopkar, S.M., 2003, Konsep Dasar Ilmu Kimia Analitik, Universitas Indonesia, Jakarta.
Lachman, Leon, Lieberman, Hebert, Kahig, Joseph, 1994, Teori dan Praktek Farmasi
Industri Edisi ketiga, Penerjemah Siti Suyatmi, Universitas Indonesia Press, Jakarta.
Nurfaisyah, 2011, Spektrofotometri UV-Visible serta Aspek Kualitatif dan Kuantitatifnya,
http://nurfaisyah.web.id, diakses pada tanggal 2 Desember 2013.
Shargel, dan Yu, 1988, Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan, diterjemahkan oleh Dr.
Fasich, Apt. danDra. SitiSjamsiah, Apt., edisi II, 96-100, 167-169,181-189, Airlangga
University Press, Surabaya.
Sudarmadji, S., Haryono, B. dan Suhardi, 1996, Prosedur Analisa Bahan Makanan dan
Pertanian, Liberty, Yogyakarta.
Sulistyaningrum I H et al, 2012, Uji sifat fisik dan disolusi tablet isosorbid dinitrat 5 mg sediaan
generik dan sediaan dengan nama dagang yang beredar di pasaran, Majalah Farmasi dan
Farmakologi, Vol. 16, No. 1 – Maret 2012, hlm. 21 – 30
Tjay, Hoan Tan dan Kirana Rahardja, 2002, Obat-obat Penting Khasiat, Penggunaan, dan Efek-
efek Sampingnya, Edisi kelima, Cetakan kedua, PT. Elex Media Komputindo Kelompok
Gramedia, Jakarta.
Voigt, 1995, Buku Pelajaran Teknologi Farmasi, Universitas Gadjah Mada Press, Yogyakarta.