Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN AKHIR

PRAKTIKUM BIOFARMASETIKA

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 4

AKWILA ALBERT D.P (G1F011056)

YULIA NUR ULFA (G1F011058)

INAS KHAIRANI (G1F011060)

FEBRIANA N (G1F011062)

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN

JURUSAN FARMASI

2013
PERCOBAAN II

UJI DISOLUSI TABLET PIROKSIKAM

I. TUJUAN
1. Mengetahui cara uji disolusi tablet biasa (immediate release).
2. Mengetahui cara uji disolusi tablet salut (modified release).
3. Dapat melakukan perhitungan dan menganalisis hasil uji disolusi tablet biasa.

II. ALAT dan BAHAN


Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah alat disolusi, timbangan analitik,
botol timbang, spatula, batang pengaduk, beaker glass, gelas ukur, pipet tetes, labu
pengenceran, pipet volum, filler, flakon,corong, kertas saring, stopwatch, dan
spektrofotometer.
Bahan yang di gunakan dalam praktikum kali ini adalah akuadest, dapar posfat,
larutan PBS, tablet piroksikam
III. CARA KERJA

IV. DATA PENGAMATAN

V. PERHITUNGAN

VI. PEMBAHASAN

MONOGRAFI BAHAN

Obat analgesik antipiretik serta obat anti inflamasi nonsteorid merupakan sustu
kelompok obat yang heterogen, bahkan beberapa obat sangat berbeda secara kimia. Walaupun
demikian obat-obat ini ternyata memiliki banyak persamaan dalam efek terapi maupun efek
samping. Prototip obat golongan ini adalah aspirin, karena itu obat golongan ini sering disebut
juga sebagai obat mirip aspirin (aspirin like drugs) (Anonim,2002).

Kemampuan penelitian dalam dasawarsa terakhir ini memberi penjelasan mengapa


kelompok heterogen tersebut memiliki kesempatan efek terapi dan efek samping. Ternyata
sebagian besar efek terapi dan efek sampingnya berdasarkan atas penghambatan 6
biosintesisprostaglandin (PG). Akan diuraikan dahulu mekanisme dan sifat dasar obat mirip
aspirin sebelum membahas masing-masing sub golongan (Anonim,2002).

MEKANISME KERJA PIROKSIKAM


Mekanisme kerja dari obat anti inflamasi ini telah disebutkan di atas bahwa efek terapi
maupun efek samping obat-pbat ini sebagian besar tergantung dari penghambatan biosintesis PG.
Mekanisme kerja yang berhubungan dengan sistem biosintesis PG ini mulai dilaporkan pada
tahun 1971 oleh Vane dan kawan-kawan yang memperlihatkan secara in vitro bahwa dosis
rendah aspirin dan indometasin menghambat produksi enzimatik PG. Penelitian lanjutan telah
membuktikan bahwa PG akan dilepaskan bilamana sel mengalami keruskan (Muhtadi,dkk,
2011).
Walaupun in vitro obat AINS diketahui menghambat berbagai reaksi biokomiawi,
hubungan dengan efek analgesik, antipiretik dan anti inflamasinya belum jelas. Selain itu obat
AINS secara umum tidak menghambat berbagai reaksi biokimiawi, hubungan dengan efek
analgesik, anti piretik dan anti inflamasinya belum jelas. Selain itu obat AINS secara umum tidak
menghambat biosintesis leukotrien, yang diketahui ikut berperan dalam inflamasi (Muhtadi,dkk,
2011).
Golongan obat ini menghambat enzim siklooksigenase sehingga konversi asam
arakidonat menjadi PGG2 terganggu. Setiap obat menghambat siklooksigenase dengan cara yang
berbeda. Khusus parasetamol, hambatan biosintesis PG hanya terjadi bila lingkungannya rendah
kadar peroksid seperti di hipotalamus. Lokasi inflamasi biasanya mengandung banyak peroksid
yang dihasilkan oleh leukosit. Ini menjelaskan mengapa efek anti inflamasi parasetamol praktis
tidak ada. Aspiin sendiri menghambat dengan mengasetilasi gugus akatif serin dari enzim ini.
Dan trombosit sangat rentan terhadap penghambatan ini karena sel ini tidak mampu mengadakan
regenerasi enzimnya. Sehingga dosis tunggal aspirin 40 mg sehari telah cukup untuk
menghambat siklo oksigenase trombosit manusia selama masa hidup trombosit yaitu 8-11 hari
(Muhtadi,dkk, 2011).
Inflamasi sampai sekarang fenomena inflamasi pada tingkat bioseluler masih belum dapat
dijelaskan secara rinci. Walaupun demikian banyak hal yang telah diketahui dan disepakati.
Fenomena inflamasi ini meliputi kerusakan likrovaskuler, meningkatnya permeabilitas kapiler
dan migrasi leukosit ke jaringan radang. Gejala proses inflamasi yang sudah dikenal adalah
kalor, rubor, tumor, dolor dan functio laesa. Selama berlangsungnya fenomena inflamasi banyak
mediatpr kimiawi yang dilepaskan secara local antara lain histamin, 5-hidroksitriptamin (5HT),
factor kemotaktik, bradikinin, leukotrien dan PG. Peneitian terakhir menunjukkan autakoid lipid
PAF juga merupakan mediator inflamasi. Dengan migrasi sel fagosit ke daerah ini, terjadi lisis
membran lisozim dan lepasnya enzim pemecah. Obat mirip aspiri dapat dikatakan tidak berefek
terhadap mediator-mediator kimiawi tersebut kecuali PG (Mutchlear, 1991).
Secara in vitro terbukti bahwa prostaglandin E2 (PGE2) dan prostasiklin (PGI2) dalam
jumlah nanogram, menimbulkan eritem, vasodilatasi dan peningkatan aliran darah local.
Histamin dan bradikinin dapat meningkatkan permeabilitas vascular, tetapi efek vasodilatasinya
tidak besar. Dengan penambahan sedikit PG, efek eksudasi histamin plasma dan bradikinin
menjadi lebih jelas. Migrasi leukosit ke jaringan radang merupakan aspek penting dalam proses
inflamasi. PG sendiri tidak bersifat kemotaktik, tetapi produk lain dari asam arakidonat yakni
leukotrien B4 merupakan zat kemotaktik yang sangat poten (Mutchlear, 1991).
Rasa nyeri PG hanya berperan pada nyeri yang berkaitan dengan kerudakan jaringan atau
inflamasi. Penelitin telah membuktikan bahwa PG menyebabkan sensitisasi reseptor nyeri
terhadap stimulasi mekanik dan kimiawi. Jadi PG meni,bulkan keadaan hiperalgesia kemudian
mediator kimiawi seperti bradikinin dan histamin merangsangnya dan menimbulkan nyeri yang
nyata (Mutchlear, 1991).
Obat mirip aspirin tidak mempengaruhi hiperalgesia atau nyeri yang ditimbulkan oleh
efek langsung PG. Ini menunjukkan bahwa sintesis PG yang dihambat oleh golongan obat ini
dan bukannya blokade langsung (Mutchlear, 1991).
Demam, suhu badan diatur oleh keseimbangan antara produksi dan hilangnya panas. Alat
pengatur suhu tubuh berada di hipotalamus. Pada keadaan emam keseimbangan ini terganggu
tetapi dapat dikembalikan ke normal oleh obat mirip aspirin. Ada bukti bahwa peningkatan suhu
tubuh pada keadaan patologik diawali penglepasan suatu zat pirogen endogen atau sitokin seperti
interleukin-1 (IL-1) yang memacu penglepasan PG yang berlebihan di daerah preoptik
hipotalamus. Selain itu PGE2 terbukti menimbulkan demam setelah diinfuskan ke ventrikel
serebral atau disuntikkan ke daerah hipotalamus. Obat mirip aspirin menekan efek zat pirogen
endogen dengan menghambat sintesis PG. Tetapi demam yang timbul akibat pemberian PG tidak
dipengaruhi, demiian pula peningkatan suhu oleh sebab lain seperti latihan fisik (Mutchlear,
1991).
Efek anti inflamasi kebanyakan obat mirip aspirin terutama yang baru lebih dimanfaatkan
sebagai anti inflamasi pada pengobatan kelainan muskuloskeletal, seperti arthritis rheumatoid,
osteoartritis dan spondilitis ankilosa. Tetapi harus diingat bahwa obat mirip aspirin hanya
meringankan gejala nyeri dan inflamasi yang berkaitan dengan penyakitnya secara simtomatik,
tidak menghentikan, memperbaiki atau mencegah kerusakan jaringan pada kelainan
muskulosketal ini.
Efek samping yang paling sering terjadi adalah induksi tukak lambung atau tukak peptic
yang kadang-kadang disertai anemia sekunder akibat perdarahan saluran cerna. Beratnya efek
samping ini berbeda pada masing-masing obat, dua mekanisme terjadinya iritasi lambung adalah
iritasi yang bersifat local yang menimbulkan difusi kembali asam lambung ke mukosa dan
menyebabkan kerusakan jaringan atau perdarahan lambung yang bersifat sistemik melalui
hambatan biosintesis PGE2 dan PGI2. kedua PG ini banyak ditemukan di mukosa lambung
dengan fungsi menghambat sekresi asam lambung dan merangsang sekresi mucus usus halus
yang bersifat sitoprotektif. Mekanisme kedua ini terjadi pada pemberian parenteral. Inflamasi
diidetifikasikan sebagai suatu reaksi lokal organisme terhadap suatu iritasi atau keadaan non
fisiologik (Mutchlear, 1991).
Secara skematis dibedakan 4 fase gejala-gejala inflamasi :
1. Eritem: vasodilatasi pembuluh darah menyebabkan tertahannya darah oleh perubahan
permeabilitas pembuluh sehingga plasma dapat keluar dari dinding pembuluh.
2. Ekstravasasi: keluarnya plasma melalui dinding pembuluh darah dan menyebabkan udem.
3. Suppurasidan nekrosis : pembentukan nanah dan kematian jaringan yang disebabkan oleh
penimbunan lekosit-lekosit di daerah inflasi.
4. Degenerasi jaringan : tidak terdapat pembentukan sel-sel baru untuk pembentukan pembuluh
darah dan makin bertambahnya serat-serat kolagen yang tidak berfungsi (Mutchlear, 1991).
Masing-masing tahap diatas dipengaruhi oleh faktor-faktor humoral seperti histamin,
serotonin, bradikinin dan prostaglandin. Kebanyakan dari gejala tersebut di atas telah dijadikan
sebagai dasar berbagai metode percobaan untuk mengevaluasi obat-obat antiinflamasi. Gejala
eritem dapat diuji pada marmot yang disinari ultraviolet: pembentukan udem dapat dilakukan
pada kaki tikus dengan penyuntikan seperti karegen, kaolin, serotonin, dekstran dll (Mutchlear,
1991).
Efek terapi maupun efek samping dari obat-obat anti-inflamasi ini tergantung dari
penghambatan biosintesis prostaglandin. Secara in vitro obat-obat AINS menghambat berbagai
reaksi biokimiawi, hubungan dengan efek analgesic, antipiretik dan anti-inflamasinya belum
jelas. Selin itu obat AINS secara umum tidak menghambat biosintesis leukotrian, yang diketahui
berperan dalam inflamasi (Mutchlear, 1991). Golongan obat ini menghambat enzim
siklooksigenase sehingga konversi asam arakidonat menjadi PGG2 terganggu. Setiap obat
menghambat siklooksigenase dengan cara berbeda.
Piroksikam merupakan salah satu AINS dengan struktur baru yaitu oksikam. Waktu
paruh dalam plasma lebih dari 45 jam sehingga dapat diberikan hanya sekali sehari. Absorpsi
berlangsung cepat di lambung; terikat 99% pada protein plasma. Obat ini menjalani
siklusenterohepatik. Kadar taraf mantap dicapai sekitar 7-10 hari dan kadar dalam plasma kira-
kira sama dengan kadar sinovia (Muhtadi,dkk, 2011).
Efek samping tersering adalah gangguan saluran cerna, antara lain yang berat adalah
tukak lambung. Efek samping lain adalah pusing, tinnitus, nyeri kepala dan eritem kulit.
Piroxicam tidak dianjurkan diberikan pada wanita hamil, penderita tukak lambung dan penderita
yang sedang minum antikoagulan. Indikasi piroxicam hanya untuk penyakit inflamasi sendi
misalnya arthritis reumatoid, osteoarthritis, spondilitis ankilosa dengan dosis 10-20 mg sehari
(Muhtadi,dkk, 2011).
Pelepasan zat aktif dari suatu produk obat sangat dipengaruhi oleh sifat fisikokimia
zat aktif dan bentuk sediaan. Ketersediaan zat aktif biasanaya ditetapkan oleh kecepatan
pelepasan zat aktif dari bentuk sediaannya. Pelepasan zat aktif dari bentuk sediaan biasanya
ditentukan oleh kecepatan melarutnya dalam media sekelilingnya.
Disolusi adalah suatu jenis khusus dari suatu reaksi heterogen yang menghasilkan
transfer massa karena adanya pelepasan dan pemindahan menyeluruh ke pelarut dari permukaan
padat.
Teori disolusi yang umum adalah:
1. Teori film (model difusi lapisan)
2. Teori pembaharuan-permukaan dari Danckwerts (teori penetrasi)
3. Teori Solvasi terbatas/Inerfisial
Kecepatan disolusi merupakan kecepatan zat aktif larut dari suatu bentuk sediaan
utuh/ pecahan/ partikel yang berasal dari bentuk sediaan itu sendiri. Kecepatan disolusi zat aktif
dari keadaan polar atau dari sediaannya didefinisikan sebagai jumlah zat aktif yang terdisolusi
per unit waktu di bawah kondisi antar permukaan padat-cair, suhu dan kompisisi media yang
dibakukan. Kecepatan pelarutan memberikan informasi tentang profil proses pelarutan persatuan
waktu. Hukum yang mendasarinya telah ditemukan oleh Noyes dan Whitney sejak tahun 1897
dan diformulasikan secara matematik.
Pada peristiwa melarut sebuah zat padat disekelilingnya terbentuk lapisan tipis larutan
jenuhnya, darinya berlangsung suatu difusi suatu ke dalam bagian sisa dari larutan di
sekelilingnya. Untuk peristiwa melarut di bawah pengamatan kelambatan difusi ini dapat
menjadi persamaan dengan menggunakan hukum difusi. Dengan mensubtitusikan hukum difusi
pertama Ficks ke dalam persamaan Hernsi Brunner dan Bogoski, dapat memberikan
kemungkinan perbaikan kecepatan pelarutan secara konkret.
Kecepatan pelarutan berbanding lurus dengan luas permukaan bahan padat, koefisien
difusi, serta berbanding lurus dengan turunnya konsentrasi pada waktu t. Kecepatan pelarutan ini
juga berbanding terbalik dengan tebal lapisan difusi. Pelepasan zat aktif dari suatu produk obat
sangat dipengaruhi oleh sifat fisikokimia zat aktif dan bentuk sediaan. Ketersediaan zat aktif
ditetapkan oleh kecepatan pelepasan zat aktif dari bentuk sediaan, dimana pelepasan zat aktif
ditentukan oleh kecepatan melarutnya dalam media sekelilingnya.
Lapisan difusi adalah lapisan molekul-molekul air yang tidak bergerak oleh adanya
kekuatan adhesi dengan lapisan padatan. Lapisan ini juga dikenal sebagai lapisan yang tidak
teraduk atau lapisan stagnasi. Tebal lapisan ini bervariasi dan sulit untuk ditentukan, namun
umumnya 0,005 cm (50 mikron) atau kurang.
Hal-hal dalam persamaan Noyes Whitney yang mempengaruhi kecepatan melarut:
Ø Kenaikan dalam harga A menyebabkan naiknya kecepatan melarut
Ø Kenaikan dalam harga D menyebabkan naiknya kecepatan melarut
Ø Kenaikan dalam harga Cs menyebabkan naiknya kecepatan melarut
Ø Kenaikan dalam harga Ct menyebabkan naiknya kecepatan melarut
Ø Kenaikan dalam harga d menyebabkan naiknya kecepatan melarut
Hal-hal lainnya yang juga dapat mempengaruhi kecepatan melarut adalah :
 Naiknya temperatur menyebabkan naiknya Cs dan D
 Ionisasi obat (menjadi spesies yang lebih polar) karena perubahan pH akan
menaikkan nilai Cs

UJI DISOLUSI
Uji disolusi merupakan hal yang penting untuk dilakukan dalam merancang suatu sediaan
tablet agar laju pelepasan obat dari tablet tersebut dapat diketahui. Obat yang memiliki disolusi
yang baik akan memberikan bioavailabilitas yang baik pula sehingga semakin banyak jumlah
obat yang diabsorpsi secara utuh oleh tubuh dan masuk ke dalam sirkulasi sistemik. Laju disolusi
dapat berhubungan langsung dengan kemanjuran suatu obat dan merupakan suatu karakteristik
mutu yang penting dalam menilai mutu obat yang digunakan peroral untuk mendapatkan efek
sistemik. Selain itu uji disolusi merupakan suatu parameter penting dalam pengembangan produk
dan pengendalian mutu obat (Isnawati, 2003).
Uji hancur pada suatu tablet didasarkan pada kenyataan bahwa, tablet itu pecah menjadi
partikel-partikel kecil, sehingga daerah permukaan media pelarut menjadi lebih luas, dan akan
berhubungan dengan tersedianya obat dalam cairan tubuh. Namun, sebenarnya uji hancur hanya
menyatakan waktu yang diperlukan tablet untuk hancur di bawah kondisi yang ditetapkan. Uji ini
tidak memberikan jaminan bahwa partikel-partikel itu akan melepas bahan obat dalam larutan
dengan kecepatan yang seharusnya. Oleh sebab itu, uji disolusi dan ketentuan uji dikembangkan
bagi hampir seluruh produk tablet. Laju absorpsi dari obat-obat bersifat asam yang diabsorpsi
dengan mudah dalam saluran pencernaan sering ditetapkan dengan laju larut obat dalam tablet.
Agar diperoleh kadar obat yang tinggi di dalam darah, maka kecepatan obat dan tablet
melarut menjadi sangat menentukan. Karena itu, laju larut dapat berhubungan langsung dengan
efikasi (kemanjuran) dan perbedaan bioavaibilitas dari berbagai formula. Karena itu,
dilakukannya evaluasi mengenai apakah suatu tablet melepas kandungan zat aktifnya atau tidak
bila berada di saluran cerna, menjadi minat utama dari para ahli farmasi.
Diperkirakan bahwa pelepasan paling langsung obat dari formula tablet diperoleh dengan
mengukur bioavaibilitas in vivo. Ada berbagai alasan mengapa penggunaan in vivo menjadi
sangat terbatas, yaitu lamanya waktu yang diperlukan untuk merencanakan, melakukan, dan
mengitepretasi; tingginya keterampilan yang diperlukan bagi pengkajian pada manusia.;
ketepatan yang rendah serta besarnya penyimpangan pengukuran; besarnya biaya yang
diperlukan; pemakaian manusia sebagai obyek bagi penelitian yang “nonesensial”; dan
keharusan menganggap adanya hubungan yang sempurna antara manusia yang sehat dan tidak
sehat yang digunakan dalam uji. Dengan demikian, uji disolusi secara in vitro dipakai dan
dikembangkan secara luas, dan secara tidak langsung dipakai untuk mengukur bioavabilitas obat,
terutama pada penentuan pendahuluan dari faktor-faktor formulasi dan berbagai metoda
pembuatan yang tampaknya akan mempengaruhi bioavaibilitas. Seperti pada setiap uji in vitro,
sangat penting untuk menghubungkan uji disolusi dengan tes bioavaibilitas in vitro. Ada dua
sasaran dalam mengembangkan uji disolusi in vitro yaitu untuk menunjukkan :
1. Penglepasan obat dari tablet kalau dapat mendekati 100%
2. Laju penglepasan obat seragam pada setiap batch dan harus sama dengan laju penglepasan
dari batch yang telah dibuktikan bioavaibilitas dan efektif secara klinis.
Tes kecepatan melarut telah didesain untuk mengukur berapa kecepatan zat aktif dari satu tablet
atau kapsul melarut ke dalam larutan. Hal ini perlu diketahui sebagai indikator kualitas dan dapat
memberikan informasi sangat berharga tentang konsistensi dari “batch” satu ke “batch” lainnya.
Tes disolusi ini didesain untuk membandingkan kecepatan melarutnya suatu obat, yang ada di
dalam suatu sediaan pada kondisi dan ketentuan yang sama dan dapat diulangi.
Kecepatan disolusi sediaan sangat berpengaruh terhadap respon klinis dari kelayakan
sistem penghantaran obat. Disolusi menjadi sifat sangat penting pada zat aktif yang dikandung
oleh sediaan obat tertentu, dimana berpengaruh terhadap kecepatan dan besarnya ketersediaan
zat aktif dalam tubuh. Jika disolusi makin cepat, maka absorbsi makin cepat. Zat aktif dari
sediaan padat (tablet, kapsul, serbuk, suppositoria), sediaan system terdispersi (suspensi dan
emulsi), atau sediaan-sediaan semisolid (salep,krim,pasta) mengalami disolusi dalam
media/cairan biologis kemudian diikuti absorbsi zat aktif ke dalam sirkulasi sistemik.
Kecepatan disolusi dalam berbagai keadaan dapat menjadi tahap pembatasan
kecepatan zat aktif ke dalam cairan tubuh. Apabila zat padat ada dalam saluran cerna, mama
terdapat dua kemungkinan tahap pembatasan kecepatan zat aktif tersebut, yaitu :
 Zat aktif mula-mula harus larut
 Zat aktif harus dapat melewati membrane saluran cerna
Analisis kecepatan disolusi zat aktif dari sediaannya merupakan analisis yang penting
dalam pengujian mutu untuk sediaan-sediaan obat. Analisis disolusi telah masuk persyaratan
wajib USP untuk persyaratan tablet dan kapsul, sejak tahun 1960. Berbagai studi telah berhasil
dalam korelasi disolusi invivo dengan disolusi invitro. Namun, disolusi bukan merupakan suatu
peramal koefisien terapi, tetapi disolusi lebih merupakan parameter mutu yang dapat
memberikan informasi berharga tentang ketersediaan hayati dari suatu produk.
Pengembangan dan penggunaan uji disolusi invitro untuk mengevaluasi dan
menggambarkan disolusi dan absorbsi invitro bertujuan :
a) Untuk mengetahui kepentingan bahwa sifat-sifat fisikokimia yang ada dalam model
disolusi dapat berarti atau berpengaruh dalam proses invivo apabila dikembangkan suatu
model yang berhasil meniru situasi invivo
b) Untuk menyaring zat aktif penting dikaitkan dengan formulasinya dengan sifat disolusi dan
absorbsinya sesuai.
c) Sistem uji disolusi invitro dapat digunakan sebagai prosedur pengendalian mutu untuk
produk akhir.
d) Menjamin kesetaraan hayati (bioekivalen) dari batch yang berbeda dari bentuk sediaan
solid apabila korelasi antara sifat disolusi dan ketersdiaan hayati telah ditetapkan.
e) Metode yang baik sekali dan handal untuk memantau proses formulasi dan manufaktur.
f) Penetapan kecepatan disolusi intrinsik berguna untuk mengetahui sifat disolusi zat aktif
yang baru.
g) Agar sistem disolusi invitro bernilai maka system harus meniru secara dekat sistem invivo
sampai tingkat invitro-invivo yang konsisten tercapai. Oleh karena itu keuntungan dalam
biaya, tenaga kerja, kemudahan dapat diberikan dengan penggunaan sistem.
Disolusi dapat terjadi langsung pada permukaan tablet, dari granul-granul bilamana
tablet telah pecah atau dari partikel-partikel halus bilamana granul-granul telah pecah. Pada
tablet yang tidak berdesintegrasi, kecepatan disolusinya ditentukan oleh proses disolusi dan
difusi. Namun demikian, bagi tablet yang berdesintegrasi, profil disolusinya dapat menjadi
sangat berbeda tergantung dari apakah desintegrasi atau disolusinya yang menjadi penentu
kecepatan.
Faktor yang mempengaruhi Disolusi :

1.Suhu
Suhu akan mempengaruhi kecepatan melarut zat. Perbedaan sejauh lima persen dapat
disebabkan oleh adanya perbedaan suhu satu derajat.
2.Medium
Media yang paling umum adalah air, buffer dan 0,1 N HCl. Dalam beberapa hal zat tidak
larut dalam larutan air, maka zat organik yang dapat merubah sifat ini atau surfaktan digunakan
untuk menambah kelarutan. Gunanya adalah untuk membantu kondisi “sink” sehinggan
kelarutan obat di dalam medium bukan merupakan faktor penentu dalam proses disolusi. Untuk
mencapai keadaan “sink” maka perbandingan zat aktif dengan volume medium harus dijaga tetap
pada kadar 3-10 kali lebih besar daripada jumlah yang diperlukan bagi suatu larutan jenuh.
Masalah yang mungkin mengganggu adalah adanya gas dari medium sebelum digunakan.
Gelembung udara yang terjadi dalam medium karena suhu naik dapat mengangkat tablet,
sehingga dapat menaikkan kecepatan melarut.
3.Kecepatan Perputaran
Kenaikan dalam pengadukan akan mempercepat kelarutan. Umumnya kecepatan
pengadukan adalah 50 atau 100 rpm. Pengadukan di atas 100 rpm tidak menghasilkan data yang
dapat dipakai untuk membeda-bedakan hasil kecepatan melarut. Bilamana ternyata bahwa
kecepatan pengadukan perlu lebih dari 100 rpm maka lebih baik untuk mengubah medium
daripada menaikkan rpm. Walaupun 4% penyimpangan masih diperbolehkan, sebaiknya
dihindarkan.
4.Ketepatan Letak Vertikal Poros
Disini termasuk tegak lurusnya poros putaran dayung atau keranjang, tinggi dan
ketepatan posisi dayung/ keranjang yang harus sentris. Letak yang kurang sentral dapat
menimbulkan hasil yang tinggi, karena hal ini akan mengakibatkan pengadukan yang lebih hebat
di dalam bejana.
5. Goyangnya poros
Goyangnya poros dapat mengakibatkan hasil yang lebih tinggi karena dapat
menimbulkan pengadukan yang lebih besar di dalam medium. Sebaiknya digunakan poros dan
bejana yang sama dalam posisi sama bagi setiap percobaan karena masalah yang timbul karena
adanya poros yang goyang akan dapat lebih mudah dideteksi.
6. Vibrasi
Bilamana vibrasi timbul, hasil yang diperoleh akan lebih tinggi. Hampir semua masalah
vibrasi berasal dari poros motor, pemanas penangas air atau adanya penyebab dari luar. Alas dari
busa mungkin dapat membantu, tetapi kita harus hati-hati akibatnya yaitu letak dan kelurusan
harus dicek.
7. Gangguan pola aliran
Setiap hal yang mempengaruhi pola aliran di dalam bejana disolusi dapat mengakibatkan
hasil disolusi yang tinggi. Alat pengambil cuplikan serta adanya filter pada ujung pipet selama
percobaan berlangsung dapat merupakan penyebabnya.
8. Posisi pengambil cuplikan
Posisi yang dianjurkan untuk pengambilan cuplikan adalah di antara bagian puncak dayung
(atau keranjang) dengan permukaan medium (code of GMP). Cuplikan harus diambil 10-25 mm
dari dinding bejana disolusi, karena bagian ini diperkirakan merupakan bagian yang paling baik
pengadukannya.
9. Formulasi bentuk sediaan
Penting untuk diketahui bahwa hasil kecepatan melarut yang aneh tidaklah selalu
disebabkan oleh masalah peralatan saja, tetapi beberapa mungkin juga disebabkan oleh kualitas
atau formulasi produknya sendiri. Beberapa faktor yang misalnya berperan adalah ukuran
partikel dari zat berkhasiat, Mg stearat yang berlebih sebagai lubrikan, penyalutan terutama
dengan shellak dan tidak memadainya zat penghancur. Ada juga yang menambahkan faktor
kekerasan tablet.
10. Kalibrasi alat disolusi
Kalibrasi alat disolusi selama ini banyak diabaikan orang, ternyata hal ini merupakan salah
satu faktor yang paling penting. Tanpa melakukannya tidak dapat kita melihat adanya kelainan
pada alat. Untuk mencek alat disolusi digunakan tablet khusus untuk kalibrasi yaitu tablet
prednisolon 50 mg dari USP yang beredar di pasaran. Tes dilakukan pada kecepatan dayung atau
keranjang 50 dan 100 rpm. Kalibrasi harus dilakukan secara teratur minimal setiap enam bulan
sekali.

Terdapat dua tipe alat uji disolusi, yaitu:

a. Tipe keranjang
Alat terdiri dari sebuah wadah bertutup yang terbuat dari kaca atau bahan transparan
lain yang inert, suatu motor, suatu batang logam yang digerakkan oleh motor dan
keranjang berbentuk silinder. Wadah tercelup sebagian di dalam suatu tangas air yang
sesuai berukuran sedemikian sehingga dapat mempertahankan suhu dalam wadah pada
37° ± 0,5°C selama pengujian berlangsung dan menjaga agar gerakan air dalam tangas air
halus dan tetap.
b. Tipe dayung
Bedanya pada alat ini digunakan dayung yang terdiri dari dari daun dan batang sebagai
pengaduk. Batang berada pada posisi sedemikian sehingga sumbunya tidak lebih dari 2 mm pada
setiap titik dari sumbu vertikal wadah dan berputar dengan halus tanpa goyangan yang berarti.
Daun melewati diameter batang sehingga dasar daun dan batang rata. Dayung memenuhi
spesifikasi. Jarak 25 mm ± 2 mm antara daun dan bagian dalam dasar wadah dipertahankan
selama pengujian berlangsung. Daun dan batang logam yang merupakan satu kesatuan dapat
disalut dengan suatu penyalut inert yang sesuai. Sediaan dibiarkan tenggelam ke dasar wadah
sebelum dayung mulai berputar. Sepotong kecil bahan yang tidak bereaksi seperti gulungan
kawat berbentuk spiral dapat digunakan untuk mencegah mengapungnya sediaan (Anonim, 1995

PERBAIKAN KELARUTAN
Untuk menghasilkan kerja terapetik yang optimal maka kelarutan bahan obat dalam
konsentrasi yang memadai seringkali menjadi persyaratan penting. Prinsip untuk perbaikan
kelarutan:
a. Penghalusan
Melalui penghalusan, yang mengarahkan kepada pembesaran permukaan yang tidak
terelakkan, dapat sangat mendukung kepada suatu perbaikan perbandingan
kelarutan. Hal tersebut berlaku terutama untuk bahan suakr larut, dimana dapat
diperlukan suatu mikronisasi.
b. Pengeringan sembur
Pada pengeringan sembur dari larutan cair umumnya membentuk pola berongga 920-
200 μm), yang memiliki suatu karakter busa kering dan disebabkan oleh pembesaran
permukaan yang dihasilkan dengan demikian, memberikan suatu kelarutan yang
cepat.
c. Pemancang sembur
Peningkatan kecepatan melarut bahan obat sangat sukar larut dihasilkan melalui
semburannya bersama-sama dengan polimer hidrofil (metilselulosa, natrium karboksi
metilselulosa, polietilenglikol, polivinilpirolidon).Meningkatnya kecepatan melarut
terdapat dalam perbandingan langsung terhadap bagian bahan aktif yang terdapat
secara kristalografis amof dalam produk sembur.
d. Pemancang leburan, kopresipitas
Juga melalui leburan bersama suatu bahan obat dengan suatu bahan pembawa
(misalnya polietilenglikol 6000 atau urea) dan akhirnya leburan dibekukan
(pemancang leburan) dapat meningkatkan kelarutan.
e. Penarikan pada pembawa padat
Dengan prosedur teknik ini juga dapat dihasilkan suatu peningkatan nyata kecepatan
melarut pada suatu deret bahan obat sukar larut (misalnya digitoksin, benzokain).
f. Pembentukan garam larut air
Metode yang telah lama digunakan ini dijumpai penggunaannya secara luas pada
bahan obat base seperti alkaloida (misalnya pilokarpin hidroklorida, morfin
hidroklorida) dan asam (misalnya natrium benzoat).
g. Pemasukan gugus polar ke dalam molekul
Untuk penghidrofiliksasian dapat dimasukkan gugus polar ke dalam molekul.Hal
tersebut berlangsung melalui karboksilasi, sulfurisasi, sulfonisasi, aminsai, amidasi,
metansulfonisasi hidroksilasi, alkilasi, polioksietilasi dan sebagiannya.
h. Pembentukan kompleks
Pembentukan kompleks sering dikaitkan dengan suatu perubahan sifat yang lebih
penting dari baha obat, seperti ketetapan, daya resorpsinya, dan tersatukannya,
sehingga dalam setiap kasus diperlukan suatu pengujian yang cermat dan cocok.
i. Penambah senyawa hidrotropi
Efek yang dinyatakan sebagai hidrotropi pada hakekatnya adalah diarahkan kembali
terhadap efektifnya ikatan jembatan hidrogen, sebagian terdapat pembentukan
kompleks dan terhadap turunnya tergangan permukaan.
j. Penglarutan dari larutan tensid
Pada bahan yang nyata-nyata hidrofob (misalnya fenasetin, propifenazon) suatu
penghalusan partikel tidak mengarahkan kepada suatu peningkatan, melainkan
kepada suatu penurunan dari perbandingan kelarutannya.Hal ini mempunyai
penyebabnya, bahwa dengan berlangsungnya pembesaran permukaan sekaligus batas
antarpermukaan yang tidak dapat dibasahi meninggi, di mana masuknya ke dalam
larutan sangat dihambat.
k. Pensolubilisasian
Pensolubilisasian adalah suatu perbaikan kelarutan melalui senyawa aktif permukaan,
yang pada tempatnya, untukmerubah bahan obat kurang larut air atau bahan obat tak
larut air menjadi larutan dalam air jernih, setinggi-tingginya beropalesensi, tanpa
menjalani suatu perubahan struktur kimia obat ( Lachman, 1994 ).

Piroksikam termasuk BCS (Biopharmaceutic Classification System) kelas II yang


memiliki karakteristik kelarutan dalam air rendah, permeabilitas dalam usus tinggi sehingga
mempengaruhi proses absorbsi dan laju disolusinya (Sari, 2004). Piroksikam juga termasuk obat
dosis rendah dengan dosis lazim 10-20 mg per hari sehingga jumlah dan macam eksipien yang
digunakan dalam formulasi tablet berpengaruh besar terhadap efektivitas obat ini.

PRINSIP SPEKTROFOTOMETER UV
Spektrofotometri serapan merupakan pengukuran suaktu interaksi antara radiasi
elektomagnetik dan molekul atau atom dari suatu zat kimia. Teknik yang sering digunakan
dalam analis farmasi meliputi spektrofotometri ultraviolet, cahaya tampak, inframerah, dan
serapan atom. Jangkauan panjang gelombang untuk daerah ultraviolet adalah 190-380 nm,
daerah cahaya tampak 380-780 nm, daerah inframerah dekat 780-3000 nm, dan daerah
inframerah 2,5-40 μm atau 4000-250 cm-1 (Anonim, 1995).
Spektofotometer adalah alat yang digunakan untuk mengukur energi secara relatif
jika energi tersebut ditransmisikan, direfleksikan atau diemisikan sebagai fungsi dari
panjang gelombang. Spektrofotometer menghasilkan sinar dari spektrum dengan panjang
gelombang tertentu dan fotometer adalah alat pengukur intensitas cahaya yang
ditransmisikan atau yang diabsorpsi (Nurfaisyah, 2011).
Prinsip spektrofotometri didasarkan adanya interaksi dari energi radiasi
elektromagnetik dengan zat kimia. Dengan mengetahui interaksi yang terjadi, dikembangkan
teknik-teknik analisis kimia yang memanfaatkan sifat-sifat dari interaksi tersebut. Dalam
mempelajari analisis kuantitatif dan absorbsi, berkas radiasi dikenakan pada sampel dan
kemudian intensitas radiasi yang diteruskan diukur. Radiasi yang diabsorbsi oleh sampel
ditentukan dengan membandingkan intensitas dari berkas radiasi yang diteruskan bila ada
zat penyerap. Jika radiasi mengenai sampel memiliki energi sesuai dengan yang dibutuhkan
untuk menyebabkan terjadinya perubahan energi, maka terjadilah absorbsi (Sudarmadji dkk.,
1996).

CARA KERJA

Medium disolusi yang digunakan adalah HCl sebanyak 900 mL yang dimasukkan ke
dalam labu disolusi. Cara pembuatannya yaitu 4 ml HCl 37 %. ditambah akuades hingga 1000
mL. Larutan diatur pada pH 1,2 ± 0,05 (Anonima, 1995).
Uji disolusi dilakukan dengan menggunakan dissolution tester tipe II yaitu tipe dayung.
Kecepatan putar pengaduk dayung diatur pada kecepatan 100 rpm. Suhu percobaan
dipertahankan berada pada 37-38 °C (Anonim, 1994).
Sampel hasil disolusi tablet piroksikam diambil dari medium disolusi pada menit ke 5, 10, 30,
45, 60, dan 90, masing-masing sebanyak 5,0 mL. Sampel yang diambil kemudian diganti dengan
medium disolusi baru dalam jumlah yang sama yaitu 5,0 mL sehingga volume medium disolusi
tetap (Kiran et al., 2010). Sampel yang telah diperoleh dari menit ke 5, 10, 30, 45, 60, dan 90
diukur absorbansinya pada spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang maksimum
piroksikam dalam medium disolusi. Hasil absorbansi yang diperoleh dimasukkan dalam
persamaan regresi linier untuk memperoleh konsentrasinya. Sampel uji disolusi dibaca
absorbansinya pada panjang gelombang maksimum sehingga diperoleh absorbansi sampel.
Dapus (BUAT YANG TIAP PARAGRAF BELUM ADA
DAPUS.NA SILAHKAN KOPI MILIH DARI DAFTAR
DAPUS, DAN DAPUS.NA YANG TIDAK DIPAKAI
TOLONG DIHAPUS !!!! TERIMAKASIH… )
Anonim, 1994, The Pharmaceutical Codex, 12 th ed, The Pharmaceutics Press, London:1010-1011.
Anonima, 1995, Farmakope Indonesia, Edisi IV, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta:488-
489,515,683,687,771.
Anonim. 2002. Farmakologi Dan Terapi Edisi 4. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Isnawati, A., 2003, Profil Disolusi dan Penetapan Kadar Tablet Kotrimoksazol Generic Berlogo dan
Tablet Dengan Nama Dagang, Media Litbang Kesehatan, XIII(2), 21.
Kiran, N.R., Palanichamy., Rajesh, M., 2010, Formulation and Evaluation of Orodispersible Piroxicam
Tablets, Journal of Pharmaceutical Science and Research, 2(10): 615-621. Kiran, N.R.,
Palanichamy., Rajesh, M., 2010, Formulation and Evaluation of Orodispersible Piroxicam
Tablets, Journal of Pharmaceutical Science and Research, 2(10): 615-621.
Muhtadi, A, Anas Subarnas, Sri Adi Sumiwi, Rini Hendriani, Ellin Febrina, Gofarana Wilar . 2011.
Penuntun Praktikum Farmakologi. Jatinangor: Laboratorium Farmakologi, Fakultas Farmasi
UNPAD.
Mutchler, Ernst. 1991. Dinamika Obat. Edisi Kelima. Bandung: Penerbit ITB.
Sari, Retno, 2004, Peningkatan Laju Disolusi Piroksikam dengan Sistem Dispersi Padat Piroksikam-
HPMC 3 Cps., Majalah Farmasi Airlangga 4(1): 16-19.

Amir, Syarif,dkk, 2007, Farmakologi dan Terapi Edisi kelima, Gaya Baru, Jakarta.
Anonim, 1995, Farmakope Indonesia Edisi IV, DepartemenKesehatan RI, Jakarta.
Ansel, Howard C., 1989, Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, UI Press, Jakarta.
Day, R.A dan A.L Underwood, 1986, Analisa Kimia Kuantitatif, Erlangga, Jakarta.
Gandjar, I. G. dan Abdul Rohman, 2007, Kimia Farmasi Analisis, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Gennaro, A. R., et all., 1990, Remingto’s Pharmaceutical Sciensces , Edisi 18th, Marck
Publishing Company, Easton, Pensylvania, 591.
Khopkar, S.M., 2003, Konsep Dasar Ilmu Kimia Analitik, Universitas Indonesia, Jakarta.
Lachman, Leon, Lieberman, Hebert, Kahig, Joseph, 1994, Teori dan Praktek Farmasi
Industri Edisi ketiga, Penerjemah Siti Suyatmi, Universitas Indonesia Press, Jakarta.
Nurfaisyah, 2011, Spektrofotometri UV-Visible serta Aspek Kualitatif dan Kuantitatifnya,
http://nurfaisyah.web.id, diakses pada tanggal 2 Desember 2013.
Shargel, dan Yu, 1988, Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan, diterjemahkan oleh Dr.
Fasich, Apt. danDra. SitiSjamsiah, Apt., edisi II, 96-100, 167-169,181-189, Airlangga
University Press, Surabaya.
Sudarmadji, S., Haryono, B. dan Suhardi, 1996, Prosedur Analisa Bahan Makanan dan
Pertanian, Liberty, Yogyakarta.
Sulistyaningrum I H et al, 2012, Uji sifat fisik dan disolusi tablet isosorbid dinitrat 5 mg sediaan
generik dan sediaan dengan nama dagang yang beredar di pasaran, Majalah Farmasi dan
Farmakologi, Vol. 16, No. 1 – Maret 2012, hlm. 21 – 30
Tjay, Hoan Tan dan Kirana Rahardja, 2002, Obat-obat Penting Khasiat, Penggunaan, dan Efek-
efek Sampingnya, Edisi kelima, Cetakan kedua, PT. Elex Media Komputindo Kelompok
Gramedia, Jakarta.
Voigt, 1995, Buku Pelajaran Teknologi Farmasi, Universitas Gadjah Mada Press, Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai