TB - Laras - Final PDF
TB - Laras - Final PDF
Oleh :
Pembimbing :
BAB I. PENDAHULUAN…………………………………………………………………..5
1.1. Latar Belakang Masalah.................................................................................................5
1.2. Perumusan Masalah .......................................................................................................6
1.3. Pertanyaan Penelitian………………………………………………………………......7
1.4 Hipotesis Penelitian ..........................................................................................................7
1.4. Tujuan Penelitian ............................................................................................................7
1.4.1. Tujuan Umum .................................................................................................................7
1.4.2. Tujuan Khusus ................................................................................................................7
1.5. Manfaat Penelitian………………………………………………………………………8
1.5.1. Akademik ........................................................................................................................8
1.5.2. Bidang pelayanan ............................................................................................................8
1.5.3. Bidang penelitian ............................................................................................................8
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................... …9
2. 1. Obesitas.................................................................................................................... …7
2. 2. Osteoarthritis Lutut ................................................................................................ ..15
2. 3. Risiko jatuh………………………….…………………………………………………23
2.4. Pola berjalan……………………………………………………………………………24
2. 4. 1 Pola berjalan Normal ........................................................................................... ..24
2. 4. 2 Pola berjalan pada OA Lutut Non Obesitas……………………………………….27
2. 4. 3 ICF Core Obesitas……………………………………………………………………28
2. 4. 4. Pola berjalan pada Obesitas dengan OA Lutut……………………………………31
2.4.5. Analisa Pola Berjalan………………………………………………………………...34
2. 5. Kerangka Konsep……………………………………………………………………...39
BAB III. METODE PENELITIAN ................................................................................ ..41
3.1. Desain Penelitian .............................................................................................................41
3.2. Tempat Dan Waktu Penelitian........................................................................................41
3.4.1. Tempat.....................................................................................................................41
3.4.2. Waktu ......................................................................................................................41
i
ii
Universitas Indonesia
iii
DAFTAR GAMBAR
Universitas Indonesia
iv
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Klasifikasi berat badan oleh IMT pada dewasa Asia…………………………11
Tabel 3. 1. Perhitungan Jumlah Sampel…..........................................................................34
Universitas Indonesia
5
BAB I
PENDAHULUAN
Obesitas dapat didefinisikan sebagai suatu kondisi akumulasi lemak abnormal atau
berlebihan dalam jaringan adiposa sehingga menimbulkan gangguan kesehatan.1 Indeks
massa tubuh (IMT) merupakan indikator yang lazim digunakan dalam penilaian derajat
obesitas. Saat ini berat badan lebih (IMT 23 - 24,9 kg/m2 ) dan obesitas (IMT ≥ 25 kg/m2)
sudah menjadi suatu epidemik. Prevalensi obesitas di Indonesia menurut Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas) 2018 meningkat jika dibandingkan dengan Riskesdas 2013. Angka
obesitas pria pada 2018 sekitar 15 persen dan sekarang menjadi 20 persen. Pada wanita
persentasenya dari 26 persen menjadi 35 persen. 2 Berdasarkan data pelayanan
Departemen Rehabilitasi Medik RSCM, didapatkan peningkatan jumlah kunjungan
pasien ke Poliklinik Obesitas dari tahun 2015 – 2016. Pada tahun 2015 didapatkan total
kunjungan sebanyak 1174, sedangkan di tahun 2016 sebanyak 2272. Tingginya
prevalensi ini menunjukkan angka morbiditas dan disabilitas baik di dunia maupun di
Indonesia yang diakibatkan oleh obesitas.
Banyaknya pasien dengan OA (OA) diduga meningkat karena usia dan tingginya
epidemik obesitas. Etiologi OA adalah multifaktorial dan merupakan kombinasi dari
faktor lokal dan sistemik. Usia lanjut, berat badan berlebih hingga obesitas, cedera lutut,
penggunaan berlebihan pada sendi, kepadatan tulang, kelemahan otot dan laxity sendi
memainkan peranan penting terjadinya OA, terutama pada sendi weight-bearing,
terbanyak adalah OA lutut. Melalui modifikasi faktor-faktor tersebut dapat menurunkan
risiko OA dan mencegah nyeri dan disabilitas.3
Obesitas secara bermakna merubah cara tubuh bergerak dengan perubahan pada
anthropometri. Meningkatnya berat badan dan massa tubuh merubah bagaimana cara
tungkai dan seluruh tubuh membuat dan bereaksi terhadap gaya. Lemak yang berlebihan
juga mengganggu interaksi sendi dan otot yang penting pada kapasitas fungsional dan
keseimbangan postur. Kecenderungan peningkatan lemak perut pada obesitas
berkontribusi pada pergeseran ke arah anterior pada COM (Center of Mass) tubuh yang
akan mengganggu stabilitas dari tubuh, sehingga meningkatkan risiko jatuh.4 Populasi
Universitas Indonesia
6
obesitas dengan OA lutut memiliki 25% lebih tinggi berisiko jatuh. Pada 2013, jatuh telah
menghabiskan sekitar 34 trilyun dollar Amerika untuk biaya berobat menurut Centers for
Disease Control and Prevention tahun 2015.5
Terdapat beberapa faktor yang berkontribusi jatuh pada obesitas dengan OA lutut yaitu
berat badan yang berlebih, defisit keseimbangan, kelemahan otot ekstremitas bawah,
yang akhirnya menyebabkan terjadinya perubahan pola berjalan. Berjalan adalah aktivitas
yang paling sering dilakukan oleh manusia sehari-hari. Secara fungsi, berjalan
memberikan kemandirian, bahkan kemampuan untuk melakukan aktivitas sosial dan
berbagai jenis pekerjaan. Perubahan pola berjalan juga menunjukkan gangguan
keseimbangan yang dapat terlihat melalui kecepatan berjalan, panjang selangkah, lebar
setapak, panjang setapak, dan jumlah langkah.4
Adanya loading yang persisten pada sistem muskuloskeletal pasien obesitas berakibat
perubahan pola berjalan yang patologis, hilangnya mobilitas, dan progresifitas menjadi
disabilitas pada OA lutut.6 Pasien obesitas dengan OA lutut menunjukkan adaptasi pada
pola berjalannya untuk mengurangi high joint loading. Adaptasi ini adalah strategi untuk
memindahkan atau menurunkan besarnya ground reaction force. Contohnya,
pengurangan kecepatan berjalan adalah strategi komprehensif untuk mengurangi ground
reaction force, mengurangi EKAM (Eksternal Knee Adduction Moment), dan
mengurangi joint loading.7 Pasien obesitas akan merubah karakteristik pola berjalan
sebagai respon terhadap tubuh yang berat dengan mengurangi momen pada lutut.
Terdapat perbedaan yang bermakna pada pengukuran pola berjalan temporo-spatial
antara obesitas dengan OA dibandingkan non obesitas dengan OA, dimana obesitas
dengan OA akan berjalan lebih lambat dan memiliki panjang langkah yang lebih pendek
dibandingkan non obesitas dengan OA.8 Pada studi yang dilakukan oleh Harding et al.,
untuk mengetahui hubungan antara IMT dengan perubahan pola berjalan pada OA lutut
moderate. Didapatkan hasil, adanya penurunan kecepatan berjalan dan panjang selangkah
pada subjek obesitas dengan OA lutut moderate dibandingkan non obesitas dengan OA
moderate. Hasil ini menunjukkan bahwa meningkatnya IMT dihubungkan dengan
perubahan pada pola biomekanika sendi lutut selama pola berjalan pada OA lutut
moderate.9
Universitas Indonesia
7
Populasi obesitas dengan OA lutut memiliki risiko jatuh lebih tinggi. Terdapat beberapa
faktor yang berkontribusi jatuh pada obesitas dengan OA lutut yaitu berat badan yang
berlebih, defisit keseimbangan, kelemahan otot ekstremitas bawah, yang akhirnya
menyebabkan terjadinya perubahan pola berjalan. Berjalan adalah aktivitas yang paling
sering dilakukan oleh manusia sehari-hari. Perubahan pola berjalan menunjukkan
gangguan keseimbangan yang dapat terlihat melalui perubahan kecepatan berjalan,
panjang selangkah, lebar setapak, panjang setapak, dan jumlah langkah. 4 Tetapi saat ini
belum diketahui pengaruh obesitas dan OA lutut terhadap perbedaan pola berjalan seperti
kecepatan berjalan, panjang setapak, lebar setapak, panjang selangkah, dan jumlah
langkah terhadap non obesitas dengan OA lutut di Indonesia. Diketahuinya pola berjalan
pasien obesitas dengan OA lutut, diharapkan para tenaga medis dapat menentukan
gangguan pola berjalan dalam hal membantu mengkoreksi kelainan yang ada sehingga
mencegah risiko jatuh pada obesitas dengan OA lutut.
Apakah terdapat perbedaan pola berjalan antara pasien obesitas dengan non obesitas
disertai OA lutut?
1.4. Hipotesis
Terdapat perbedaan pola berjalan antara pasien obesitas dengan non obesitas disertai OA
lutut.
Mengetahui perubahan pola berjalan pada pasien obesitas dengan non obesitas disertai
OA lutut untuk mencegah risiko jatuh.
1. Mengetahui perbedaan kecepatan berjalan antara pasien obesitas dengan non obesitas
disertai OA lutut.
Universitas Indonesia
8
2. Mengetahui perbedaan panjang setapak antara pasien obesitas dengan non obesitas
disertai OA lutut.
3. Mengetahui perbedaan lebar setapak antara pasien obesitas dengan non obesitas
disertai OA lutut.
4. Mengetahui perbedaan panjang selangkah antara pasien obesitas dengan non obesitas
disertai OA lutut.
5. Mengetahui perbedaan jumlah langkah antara pasien obesitas dengan non obesitas
disertai OA lutut.
Diharapkan hasil dari penelitian ini dapat memberikan data dasar mengenai pola berjalan
pada obesitas dengan OA lutut yang akan menambah pengetahuan dalam bidang
pendidikan Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi.
1. Mendapatkan gambaran data dasar pola berjalan obesitas dengan OA lutut di Negara
Indonesia.
2. Membuka penelitian selanjutnya mengenai faktor risiko perubahan pola berjalan pada
pasien obesitas dengan OA lutut.
Universitas Indonesia
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Obesitas
Obesitas adalah tantangan terbesar dari kesehatan masyarakat di abad ke 21, dan secara
bermakna meningkatkan risiko dari berbagai kondisi medis. 10 Prevalensi obesitas di
Indonesia menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 meningkat jika dibandingkan
dengan Riskesdas 2013. Angka obesitas pria pada 2013 sekitar 15 persen dan sekarang
menjadi 20 persen. Pada wanita persentasenya dari 26 persen menjadi 35 persen.2
Berdasarkan data pelayanan Departemen Rehabilitasi Medik RSCM,
didapatkan peningkatan jumlah kunjungan pasien ke Poliklinik Obesitas dari
tahun 2015 – 2016. Pada tahun 2015 didapatkan total kunjungan sebanyak 1174,
sedangkan di tahun 2016 sebanyak 2272. Tingginya prevalensi ini meningkatkan
angka morbiditas dan disabilitas baik di dunia maupun di Indonesia yang
diakibatkan oleh obesitas.
Obesitas dapat didefinisikan sebagai suatu kondisi akumulasi lemak abnormal atau
berlebihan dalam jaringan adiposa sehingga menimbulkan gangguan kesehatan. Untuk
menilai obesitas, alat yang paling sering digunakan adalah indeks massa tubuh (IMT)
yang dapat mengukur pada segala populasi, sama untuk semua jenis kelamin dan segala
usia pada dewasa. IMT didefinisikan sebagai berat seseorang dalam kilogram dibagi
dengan kuadrat tinggi badannya dalam meter (kg /m2).1
2.1.1. Etiologi
Obesitas adalah penyakit heterogen di mana banyak faktor biologis, lingkungan, dan
perilaku berinteraksi. Keseimbangan energi terdiri dari asupan energi, pengeluaran
energi, dan penyimpanan energi. Energi diperoleh melalui asupan nutrisi yang
mengandung kalori yaitu protein, karbohidrat, dan lemak. Energi dikeluarkan melalui 3
proses metabolik : tingkat metabolisme istirahat, efek termis dari makanan, dan
pengeluaran energi aktivitas-diinduksi aktivitas fisik. Basal metabolik rate menentukan
jumlah energi yang digunakan tubuh untuk aktivitas metabolik saat istirahat, dan relatif
terhadap berat badan, terutama massa bebas lemak. Efek termis (8%-10% dari total
Universitas Indonesia
10
asupan kalori) mewakili energi yang digunakan untuk mencerna dan mencerna makanan
yang dicerna. Energi yang dikeluarkan melalui aktivitas fisik adalah konstituen yang
paling bervariasi dari pengeluaran energi, karena sebanding dengan lama aktivitas fisik.
Homeostasis energi yang stabil tercapai ketika asupan energi setara dengan energy
expenditure, seperti yang terlihat pada Gambar 2.1. Perubahan berat badan terjadi ketika
energi masuk dan energy expenditure tidak sama, selama beberapa waktu. Energi masuk
yang melebihi energy expenditure menyebabkan peningkatan berat badan/massa lemak.
Maka faktor biologi, lingkungan, atau perilaku akan mempengaruhi perubahan energi
masuk terhadap energy expenditure.11
Obesitas dipengaruhi oleh tiga faktor, seperti yang terlihat pada Gambar 2.2. Faktor
biologis seperti genetik, perubahan aksis otak-usus, determinan prenatal, kehamilan,
menopause, kondisi neurogenik (hipotalamik, cushing syndrome, hipotiroid, PCOS),
obat-obatan, disabilitas fisik, mikrobiologi usus, dan virus. Faktor lingkungan seperti
lingkungan obesogenik, sosialbudaya, dan kimiawi. Faktor perilaku seperti peningkatan
asupan dengan kalori berlebih, gaya hidup sedentary dan tidak atau kurang melakukan
aktivitas fisik, serta kebiasaan merokok.11
Universitas Indonesia
11
2.1.2 Diagnosis
Indeks massa tubuh (IMT) dianjurkan untuk digunakan dalam praktek klinis untuk
mengidentifikasi kelebihan berat badan pasien atau obesitas. Dihitung dengan membagi
berat badan dalam kilogram dengan tinggi badan dalam meter persegi. 1 IMT berkorelasi
dengan jumlah lemak tubuh dan terkait dengan risiko penyakit. Ambang batas IMT yang
lebih rendah untuk kelebihan berat badan dan obesitas telah diusulkan untuk wilayah
Asia-Pasifik sejak populasi ini tampaknya berisiko pada berat tubuh bagian bawah untuk
kelainan lipid.12
Tabel 2.1. Klasifikasi berat badan oleh BMI pada orang dewasa orang Asia.12
Universitas Indonesia
12
Laporan World Health Organisation (WHO) mendefinisikan obesitas central pada orang
Asia sebagai lingkar pinggang lebih besar dari 90 cm pada pria dan lebih besar dari 80
cm pada wanita. Pengukuran lingkar pinggang dilakukan berdasarkan lokasi anatomi
standar digunakan. Pengukuran lingkar pinggang, subjek berdiri dengan kaki 25-30 cm
terpisah, berat merata. Pengukuran diambil di tengah antara batas inferior dari tulang
rusuk terakhir dan puncak ilium dalam bidang horizontal. Lingkar diukur hingga 0,1 cm
terdekat.12
2.1.3 Komplikasi
Obesitas memiliki efek buruk pada kesehatan, ini terkait dengan peningkatan risiko
komorbiditas banyak sistem organ dan peningkatan morbiditas, seperti: 12
Sindrom metabolik, seperti dislipidemia, resistensi insulin dan tipe II diabetes
mellitus.
Penyakit muskuloskeletal seperti OA (tulang belakang, lutut, pinggul, tangan),
punggung bawah nyeri, risiko jatuh, gangguan gaya berjalan/pola berjalan,
osteoporosis, asam urat, fibromyalgia, radang sendi.
Penyakit paru (meningkatkan kerja bernapas, mengurangi kapasitas residual
fungsional dan obstructive sleep apneu)
Penyakit kardiovaskular (hipertensi, penyakit arteri koroner, kongestif gagal
jantung, stroke, stasis vena)
Hepatobiliary penyakit (kanker hati berlemak non alkoholik, batu empedu)
kanker (esofagus, usus besar, rektum, pankreas, hati, prostat, payudara,
endometrium, kanker serviks dan ovarium)
Gangguan reproduksi (ginekomastia, hipogonadisme, haid abnormalities)
Aspek psikologis seperti depresi atau kepercayaan diri rendah dan stigmatisasi
sosial .
Jaringan adiposa, sebagai penyimpanan energi pasif, sekarang dikenal sebagai organ
endokrin metabolik tinggi dengan kapasitas sekresi active agents meliputi
adipocytokines, seperti leptin, resistin, and adiponektin. Level leptin, adiponektin dan
Universitas Indonesia
13
resistin terdeteksi pada cairan sinovial dan plasma pasien OA. Leptin, adiponektin, and
resistin diduga berpengaruh terhadap terjadinya OA melalui degradasi sendi secara
langsung atau melalui proses inflamasi. Level leptin secara umum lebih tinggi pada
pasien obesitas; jumlah yang sangat tinggi dari circulating leptin diduga menyebabkan
leptin resistance syndrome serupa dengan insulin resistance. BMI terutama berat badan,
secara konsisten berhubungan dengan level leptin pasien OA. Leptin dan reseptornya
berada pada kondrosit, osteofit, sinovial, dan infrapatellar fat pad, dan mempengaruhi
sintesis growth factor. Pemeriksaan pada kartilago, tulang subchondral, dan osteofit
menunjukkan adanya bukti upregulated leptin expression. Leptin expression secara
langsung berhubungan dengan derajat degenerasi cartilago, dan hubungan sinergis antara
leptin dan sitokin pro inflamasi. Adanya leptin, khondrosit dari pasien OA telah
meningkatkan produksi IL-1b, MMP-9, dan MMP-13. Secara mekanik, leptin
mempunyai proinflammatory langsung dan peran katabolik pada metabolism kartilago
dan leptin atau reseptornya sebagai target. Inflamasi adalah penanda utama OA, dan
adipositokines penting pada proses inflamasi. Level leptin dan resistin berhubungan
dengan promosi inflamasi. Leptin meningkatkan ekspresi iNOS dan COX-2 dan produksi
dari nitric oxide, PGE2, IL-6, dan IL-8.13
Kondrosit adalah sel di dalam tulang rawan yang berfungsi mensintesis dan mengurai
matriks yang diregulasi oleh sitokin dan growth factor, dalam kondisi arthritis,
keseimbangan menjadi terganggu. Sitokin yang berperan dalam metabolisme tulang
rawan sendi salah satunya adalah interleukin. IL-1 adalah sitokin penting dalam stadium
awal dan akhir OA. Interleukin-l adalah sitokin pro inflamasi multifungsi yang
berpengaruh pada hampir semua tipe sel dan berakibat beberapa efek seperti produksi
limphokin, penguraian tulang rawan, mengganggu aktivitas growth factor seperti insulin
like growth factor, atau menurunkan sintesis dari komponen matriks utama seperti
aggregan dan proliferasi fibroblast. Adanya makrofag yang teraktivasi akan melepaskan
IL yang mempunyai peranan pada penghancuran tulang rawan. Aggrecan adalah
proteoglycans (PGs) terbanyak yang ditemukan pada tulang rawan sendi; berfungsi untuk
distribusi beban pada sendi selama pergerakan dan menjaga hidrasi dan elastisitas pada
jaringan tulang rawan. Sekitar 90% massa aggrecan terdiri dari rantai pengganti
glycosaminoglycan (GAG) chains. Hilangnya aggrecan akan menimbulkan terjadinya
OA. Sitokin juga menstimulasi kondrosit pada tulang rawan OA dengan tingginya level
Universitas Indonesia
14
Universitas Indonesia
15
degenerasi progresif. Kelemahan otot quadriceps dianggap sebagai salah satu faktor
risiko utama pada OA. Hilangnya muscle strength, akan mengurangi shock-absorbing
potential sendi, yang menyebabkan fibrilasi kartilago. Perubahan struktur kartilago dapat
menginisiasi respon imun lokal, yang berakibat pada respon inflamasi sistemik pada
sendi. Beban yang meningkat pada sendi lutut akan dideteksi oleh mechanoreceptors
pada permukaan kondrosit; memicu intracellular signaling cascades of cytokines, growth
factors, dan metalloproteinase. Terdapat tiga tipe mekanoreseptor, yaitu : stretch-
activated channels, a-5b1 integrin dan CD44. Kompresi sendi menstimulasi integrins dan
stretch-activated channels menyebabkan aktivasi dari signalling pathways (mitogen-
activated protein kinase, NFkB), dan pelepasan second messengers (calcium, inositol
triphosphat dan adenosine monophosphate cyclic). Setelah aktivasi mekanoreseptor,
sitokin, growth factors and metalloproteinase terekspresi, dan mediator-mediator lain
seperti prostaglandin atau nitric oxide juga terproduksi. Pada obesitas dapat memicu
kerusakan kartilago melalui aktivasi mekanoreseptor. 13,15
2.2.1. Definisi
OA dapat diklasifikasikan sebagai primer atau sekunder sesuai dengan penyebabnya atau
faktor predisposisi utamanya. Kedua jenis OA memiliki kesamaan yaitu adanya
perubahan fisiologi tulang rawan. OA primer adalah jenis yang paling umum dan tidak
memiliki etiologi dapat diidentifikasi atau idiopatik. OA sekunder, meskipun memiliki
Universitas Indonesia
16
penyebab yang diketahui, namun secara patologis tidak dapat dibedakan dari OA primer.
Membedakan antara OA primer dan sekunder mungkin sulit karena presentasi klinis dan
gejala seringkali sama.16
2.2.2 Epidemiologi
OA adalah kelainan sendi terbanyak di Amerika Serikat. OA lutut timbul pada 10% pria
dan 13% perempuan usia 60 tahun ke atas.17 Di Indonesia, prevalensi OA adalah 74,48%
dari keseluruhan kasus reumatik pada tahun 2004, dimana 69% diantaranya adalah pasien
wanita dan 87% merupakan OA lutut.16 Berdasarkan provinsi, hasil penelitian Riskesdas
tahun 2018 menunjukkan bahwa di Indonesia, provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT)
merupakan provinsi dengan prevalensi OA tertinggi yaitu sekitar 33,1% sedangkan Riau
adalah provinsi dengan prevalensi terendah yaitu sekitar 9%. 2
Usia merupakan salah satu faktor risiko OA. Usia diatas 65 tahun, sekitar 50%
memberikan gambaran radiologis sesuai Osteoartritis, dimana 10% pria dan 18% wanita
diantaranya yang memperlihatkan gejala klinis OA, dan sekitar 10% mengalami
disabilitas karena OA nya, maka dapat difahami jika makin bertambah usia, makin tinggi
kemungkinan untuk terkena OA. Seiring dengan meningkatnya usia harapan hidup,
menurut WHO pada tahun 2025 populasi usia lanjut di Indonesia akan meningkat 414%
dibanding tahun 1990. Di Indonesia prevalensi OA lutut yang tampak secara radiologis
mencapai 15,5% pada pria dan 12,7% pada wanita yang berumur antara 40-60 tahun.
Penelitian di Bandung pada pasien yang berobat ke klinik reumatologi RSHS pada tahun
2007 dan 2010, berturut-turut didapatkan: OA merupakan 74,48% dari keseluruhan kasus
(1297) reumatik pada tahun 2007. Enam puluh sembilan persen diantaranya adalah
wanita. Pada 2760 kasus reumatik pada tahun 2010, 73% diantaranya adalah penderita
OA.16
OA memiliki etiologi multifaktorial, yang terjadi karena interaksi antara faktor sistemik
dan lokal, seperti yang dapat dilihat pada Gambar 2.4.18
Universitas Indonesia
17
Universitas Indonesia
18
sumber energi untuk ROS (Reactive Oxygen Species), yang dapat merusak kolagen
kartilago dan hyaluronat cairan synovial, ketika antioksidan mikronutrien sebagai
pertahanan terhadap cedera jaringan, maka intake diet yang tinggi akan mikronutrien
ini dapat membantu untuk proteksi terhadap OA.18,14
Universitas Indonesia
19
Gejala yang paling umum adalah nyeri kronis selama perkembangan peradangan
konsentrasi excitatory asam amino (EAA) terutama glutamat meningkat yang
dilepaskan dari neuron sensorik di medula spinalis, berakibat ke hiperalgesia dan nyeri
di daerah yang terkena.
2. Kekakuan sendi
Dikatakan bahwa permukaan-aktif fosfolipid (surfaktan sinovial) mampu mengurangi
gesekan ke tingkat yang sangat rendah dan sebagai pelumas pada sendi normal. Pada
OA lapisan ini berkurang dan menyebabkan kekakuan sendi.
3. Kelemahan otot
Kekuatan otot quadriceps adalah pelindung penting yang berfungsi pada sendi lutut.
Kekuatan otot quadriceps berkorelasi dengan fungsi fisik dan dengan meningkatkan
kekuatan paha depan akan mengurangi rasa sakit, meningkatkan fungsi, melindungi
terhadap kerusakan sendi lutut dan perkembangan progresifitas OA.
4. Pembesaran tulang dan pembengkakan
Perubahan patologis kartilago artikular pada sendi lutut menyebabkan penyumbatan
dan edema jaringan lunak, gangguan sirkulasi darah, erosi dan cedera kondrosit, dan
bahkan peningkatan kepadatan tulang dan pembentukan perubahan kistik,
mengakibatkan pembengkakan dan nyeri.14
Universitas Indonesia
20
Tujuan dari tes diagnostik tambahan pada OA adalah untuk menyingkirkan kondisi lain
yang mendasarinya seperti adanya arthropati metabolik maupun inflamasi, meliputi :
1. Cairan Sinovial
Cairan sinovial pada OA biasanya normal atau bisa tampak sedikit
inflamasi yang terlihat dengan cairan yang jernih dan tidak berwarna sampai sedikit
kekuningan. Jumlah sel leukosit biasanya kurang dari 2000 sel / mm3 (< 2 sel terlihat
di 10 high power fields). Cairan sinovial dapat kita ambil ketika bersamaan dengan
injeksi intraartikular atau ketika terdapat efusi. Dapat dilihat juga adanya kalsium
pirofosfat pada cairan sinovial.
2. Pencitraan: Radiografi
Radiografi digunakan untuk mengkonfirmasi diagnosis dan mengeksklusi diagnosa
yang lain. Pada radiografi sendi yang terkena OA biasanya menunjukkan adanya
osteofit, penyempitan ruang sendi, sklerosis, dan kista dari tulang.
Universitas Indonesia
21
Sistem penilaian menurut Kellgren-Lawrence (KL) merupakan sistem yang dipakai untuk
menentukan derajat keparahan OA. Kriteria KL memiliki nilai 0 sampai 4 sebagai berikut:
a. 0 (normal) : tidak ada gambaran radiografi yang abnormal
b. 1 (meragukan) : tampak osteofit kecil
c. 2 (minimal) : tampak osteofit, celah sendi normal
d. 3 (sedang) : osteofit jelas, penyempitan celah sendi
e. 4 (berat) : penyempitan celah sendi berat dan ada sklerosis,
kista
Pemeriksaan sendi harus bilateral dan dalam posisi weight bearing dalam posisi
anteroposterior (AP), seperti yang dapat dilihat pada Gambar 2.6.
Terapi Non Operatif pada OA lutut dapat berupa terapi non farmakologis, yaitu :
a. Edukasi pasien
Informasi mengenai diagnosis penyakit, perjalanan penyakit, dan pilihan tata laksana
perlu dijelaskan kepada pasien. Edukasi mencakup langkah-langkah pencegahan
progresifitas penyakit dengan melakukan proteksi sendi; program latihan untuk
memperbaiki fleksibilitas, kekuatan, ketahanan dan fungsi sendi; tujuan dan efektivitas
Universitas Indonesia
22
obat-obatan yang diberikan; strategi penerimaan diri akan kondisi sendi dan tata
laksana yang akan dijalani pasien, sehingga akan didapatkan kemandirian pasien.19
b. Bila berat badan berlebih dan obesitas, program penurunan berat badan, minimal
penurunan 5% dari berat badan. Program penurunan berat badan yang efektif adalah
dengan kombinasi restriksi lemak dan kalori, peningkatkan aktivitas fisik, perubahan
perilaku, dan pemeliharaan berat badan ideal dengan motivasi oleh dokter serta grup
penurunan berat badan.19
d. Program latihan aerobik (low impact aerobic fitness exercises).
e. Terapi fisik meliputi latihan perbaikan lingkup gerak sendi, penguatan otot- otot (otot
quadriceps) dan alat bantu gerak sendi (assistive devices for ambulation).19
Terapi lainnya pada OA lutut dapat berupa terapi farmakologi. Terapi ini dirasakan lebih
efektif bila dikombinasi dengan terapi non farmakologi.
a. Untuk OA dengan gejala nyeri ringan hingga sedang, dapat diberikan :
• Acetaminophen (kurang dari 4 gram per hari).
• Obat anti inflamasi non-steroid (OAINS).
b. Untuk OA dengan gejala nyeri ringan hingga sedang, yang memiliki risiko pada sistim
pencernaan (usia >60 tahun, disertai penyakit komorbid dengan polifarmaka, riwayat
ulkus peptikum, riwayat perdarahan saluran cerna, mengkonsumsi obat kortikosteroid
dan atau antikoagulan), dapat diberikan salah satu obat berikut ini:
• Acetaminophen (kurang dari 4 gram per hari).
• Obat anti inflamasi non-steroid (OAINS) topikal
• Obat anti inflamasi non-steroid (OAINS) non selektif, dengan pemberian obat
pelindung gaster (gastro- protective agent).
• Cyclooxygenase-2 inhibitor.
Untuk nyeri sedang hingga berat, dan disertai pembengkakan sendi, aspirasi dan
tindakan injeksi glukokortikoid intraartikular (misalnya triamsinolone hexatonide 40
mg) untuk penanganan nyeri jangka pendek (satu sampai tiga minggu) dapat
diberikan, selain pemberian obat anti-inflamasi nonsteroid per oral (OAINS).
c. Terapi injeksi dapat diberikan dengan 2 indikasi suntikan intra artikular yakni
penanganan simtomatik dengan steroid, dan viskosuplementasi dengan hyaluronan
untuk memodifikasi perjalanan penyakit.16
Universitas Indonesia
23
2.2.7.2. Operatif
Terapi pada OA lutut dapat berupa tindakan operatif yang dilakukan apabila terdapat :
a. Deformitas varus atau valgus (> 40 derajat) pada OA lutut
b. Subluksasi lateral ligament atau dislokasi.
c. Gejala mekanik yang berat (lutut terkunci/locking, tidak dapat jongkok/inability to
squat): tanda adanya kelainan struktur sendi seperti robekan meniskus: untuk
kemungkinan tindakan artroskopi atau tindakan unicompartmental knee replacement
or osteotomy/realignment osteotomies.
g. Operasi penggantian sendi lutut (knee replacement: full, medial unicompartmental,
patellofemoral and rarely lateral unicompartmental).16
Osteoarthritis lutut telah dianggap sebagai prediktor kecenderungan untuk jatuh pada 25
tahun terakhir. Individu dengan OA lutut memiliki risiko lebih besar untuk jatuh
dibandingkan dengan non OA dan lebih dari setengah individu OA lutut dilaporkan jatuh
selama satu tahun terakhir. Risiko jatuh pada usia lanjut dengan osteoarthritis lutut 1,5
kali lipat dibandingkan usia lanjut tanpa osteoarthritis lutut.20
Sebagian besar kejadian jatuh pada usia lanjut terjadi saat berjalan dan banyak studi
menunjukkan hubungan antara perubahan gait dengan risiko jatuh pada usia lanjut, diikuti
oleh kelemahan otot sebagai risiko jatuh kedua pada usia lanjut sekitar 17%. Serupa
dengan usia lanjut dan individu dengan OA, obesitas sendiri merupakan risiko untuk
terjadinya jatuh. Adanya hubungan antara obesitas dan gangguan pola berjalan dan
keseimbangan, individu usia lanjut dengan obesitas dan OA memiliki risiko tinggi untuk
jatuh dibandingkan dengan individu usia lanjut dengan OA saja maupun dengan obesitas
saja.21
Obesitas meningkatkan risiko OA melalui efek langsung mechanical loading akibat berat
badan berlebih pada lutut.22 Populasi obesitas dengan OA lutut memiliki 25% lebih tinggi
berisiko jatuh. Pada 2013, pasien jatuh telah menghabiskan sekitar 34 trilyun dollar
Amerika untuk biaya berobat menurut Centers for Disease Control and Prevention tahun
2015.5 Abnormalitas gait dapat menyebabkan jatuh dan penurunan mobilitas.
Pengurangan kecepatan berjalan sering berhubungan dengan functional loss, dan juga
risiko jatuh.23
Universitas Indonesia
24
Terdapat beberapa faktor yang berkontribusi jatuh pada obesitas dengan OA lutut yaitu
berat badan yang berlebih, defisit keseimbangan, kelemahan otot ekstremitas bawah,
yang akhirnya menyebabkan terjadinya perubahan pola berjalan. Berjalan merupakan
aktivitas paling sering dilakukan sehari-hari. Secara fungsi, berjalan memberikan
kemandirian, bahkan kemampuan untuk melakukan aktivitas sosial dan berbagai jenis
pekerjaan. Perubahan pola berjalan, juga menunjukkan gangguan keseimbangan, yang
dapat terlihat melalui kecepatan berjalan, panjang selangkah, lebar setapak, panjang
setapak, dan jumlah langkah.24
Faktor prediksi jatuh paling utama adalah perubahan pola berjalan yang terdeteksi oleh
pengukuran klinis terukur kuantitatif. Pengukuran parameter gait paling sering dilakukan
untuk mengukur risiko jatuh di antara individu usia lanjut. Pada penelitian yang dilakukan
oleh Gervasio et al, didapatkan risiko jatuh terbesar dengan perubahan pola berjalan,
berada pada usia antara 50 hingga 70 tahun.25
2. 4. Pola Berjalan
Pola berjalan dapat didefinisikan sebagai segala bentuk metode lokomosi yang memiliki
periode loading dan unloading. Setiap kali satu tungkai melangkah ke depan, gerakan
tersebut disebut sebagai step. Misalnya, ketika tungkai kanan melangkah ke depan terjadi
right step, dan ketika tungkai kiri melangkah ke depan terjadi left step. Step length adalah
jarak dari tumit kaki yang satu dengan yang lain ketika melangkah. Jika step length
meningkat, maka kecepatan berjalan akan meningkat. Pada kondisi normal, step length
pada kedua tungkai adalah sama.24 Ketika telah terjadi right step dan left step, hal tersebut
disebut sebagai stride (Gambar 2.7), atau pada kondisi normal dapat dihitung dari dua
kali step length. Fase-fase berjalan mulai dari heelstrike (atau initial contact) hingga kaki
yang sama kembali mencapai heelstrike disebut sebagai pola berjalan cycle, sedangkan
terminologi yang menggambarkan jarak antara kedua heel strike pada kaki yang sama
tersebut adalah stride length.24
Universitas Indonesia
25
Berdasarkan status kontak kaki dengan lantai, pola berjalan dibagi ke dalam dua fase.
Stance adalah fase ketika kaki kontak dengan lantai, dan swing adalah fase ketika kaki
tidak kontak dengan lantai (Gambar 2.8). Fase stance umumnya dimulai ketika tumit
menyentuh lantai dan berakhir ketika kaki meninggalkan lantai. Stance terdiri dari heel
strike, support dan toe-off. Fase ini mencakup sekitar 60% dari satu siklus pola berjalan.
Heel strike
Kaki menyentuh tanah dengan heel terlebih dahulu. Terdapat 3 otot yang bekerja :
Gluteus maksimus : bekerja pada hip untuk mendeselerasi pergerakan ke depan
dari tungkai bawah
Quadriceps femoris : menjaga ekstensi kaki dan fleksi paha pada hip
Kompartemen anterior kaki : menjaga pergelangan kaki dorsifleksi,
memposisikan heel untuk strike
Support
Setelah fase heel strike, sisa dari telapak kaki menyentuh tanah, dan otot bekerja untuk
mengatasi gaya yang melewati kaki.
Quadriceps femoris : menjaga paha tetap ekstensi, menerima berat dari tubuh
Inverter dan everter kaki : berkontraksi seimbang untuk menstabilkan kaki
Gluteus minimus, gluteus medius, dan tensor fascia lata : abduksi dari kaki.
Kontraksi otot-otot tersebut menjaga level/kesegarisan pelvis dengan menetralkan
ketidakseimbangan akibat berat badan terbanyak bertumpu pada satu kaki.
Toe-off
Kaki bersiap meninggalkan tanah, pertama heel kemudian terakhir jari kaki
Hamstring : ekstensikan paha pada hip
Universitas Indonesia
26
Universitas Indonesia
27
selama siklus, terlihat pada pergerakan kepala atas bawah. Tubuh terangkat setiap
ekstensi kaki selama stance dan juga ada sedikit pergerakan dari sisi ke sisi. Pergerakan
dasar saat berjalan terdiri dari fleksi ekstensi sendi hip, lutut, dan pergelangan kaki dan
bagian depan kaki; abduksi dan adduksi, terutama sendi hip; dan rotasi, terutama pada hip
dan lutut.27
Saat kedua kaki menyentuh lantai, periode ini disebut sebagai double limb support,
sedangkan ketika hanya salah satu kaki menyentuh lantai, periode ini disebut single limb
support. (Gambar 2.8)24
Universitas Indonesia
28
Pada pola berjalan pasien OA non obesitas, ditemukan kecepatan berjalan yang
berkurang, panjang selangkah yang lebih pendek, dan fase stance yang memanjang pada
fase siklus gait. Lingkup gerak sendi yang lebih rendah pada pinggul, lutut, dan
pergelangan kaki dan momen yang lebih besar sehingga mengaktivasi otot rectus femoris
memanjang. Abnormalitas gait diakibatkan instabilitas pada sendi lutut pada fase stance,
pada pasien OA lutut terlihat kecepatan berjalan lebih lambat, panjang selangkah yang
berkurang dan fase stance yang memanjang pada siklus gait.30 Analisa gait pada OA
idiopathic non obesitas menunjukkan adanya heel-strike KFA yang lebih besar (pada
lutut yang jarang difleksikan).31
Pasien dengan OA lutut mengalami penurunan kekuatan otot quadriceps. Kelemahan otot
pada OA lutut (disuse atrophy dari otot) diduga muncul akibat nyeri sendi, reflex inhibisi
dari otot yang menggerakkan sendi yang terkena, dan ketidakmampuan untuk secara
penuh mengaktivasi otot quadriceps, berakibat menurunnya produksi gaya.32
Peranan quadriceps adalah mengontrol eccentric lutut selama flexi pada fase stance.
Jika otot quadriceps lemah, maka hip ekstensor akan mengkompensasi dengan
membawa tungkai kembali ke posisi lebih ekstensi, mengurangi jumlah fleksi lutut
pada fase stance. Saat heel strike muncul lebih awal, akan meningkatkan plantarfleksi
pergelangan kaki, mencegah pergerakan ke depan dari tibia, untuk menstabilisasi
sendi lutut.33 Otot quadriceps femoris yang kuat sebagai ekstensor lutut akan
mengurangi pembebanan pada tungkai bawah dengan memperlambat fase deselerasi
sebelum heel strike.19
Puncak gaya berasal dari uniarticular hip dan ekstensor lutut, seperti serabut fiber yang
memanjang dimana otot-otot tersebut membangun gaya maksimal, korelasi lebih dekat
dengan perubahan panjang setapak dibandingkan frekuensi langkah. Panjang setapak
yang meningkat berakibat kontribusi yang lebih besar dari hip dan ekstensor lutut dan
kontribusi lebih kecil dari gaya gravitasi (postur tungkai) ke support vertical. Hasil ini
menunjukkan kenapa orang dengan kelemahan hip dan ekstensor lutut berjalan lebih
lambat dengan mengurangi panjang setapak dan frekuensi langkah dan membantu untuk
mengidentifikasi otot-otot yang seharusnya ditargetkan untuk program latihan yang
dirancang untuk memperbaiki biomekanika gait.34
Universitas Indonesia
29
Terkait dengan mobilitas fungsional meliputi topik yang berhubungan dengan gait,
postur, tulang dan sendi, fungsi neurokognitif, dan nyeri.
2. 4. 1. 1 Kontrol postural
Postur mempengaruhi kemampuan adaptasi pada perubahan lintasan selama berjalan. Hal
ini dikarenakan distribusi abnormal dari lemak tubuh pada area abdomen, yang akan
menyebabkan perubahan center of pressure anterior posterior ke arah depan, dimana berat
badan bertumpu pada kaki dan instabilitas AP selama keseimbangan statis dan dinamis.
Perubahan parameter gait temporospatial (panjang setapak dan frekuensi langkah)
sebagai mekanisme kompensasi untuk instabilitas yang disebabkan distribusi lemak
tubuh abnormal. Namun, saat berusaha meningkatkan keseimbangan, sebenarnya bisa
mengancam kemampuan untuk pulih ketika kehilangan keseimbangan dimana banyak
kasus jatuh dan cedera dan pola berjalan yang dapat mengakibatkan jatuh seperti
tersandung.
2. 4. 1. 2 Dampak pada tulang dan sendi
Menjaga skeletal health terutama pada lutut dan sendi hip merupakan dasar dari
penjelasan kenapa terdapat perbedaan parameter gait antara pasien obese dan non obese.
Perubahan pola berjalan pada individu obese bertujuan menurunkan torsi lutut dan
mengurangi impak pada sendi tungkai proksimal (sendi lutut dan hip) ketika berjalan.
Pola berjalan yang dimodifikasi berfungsi sebagai mekanisme untuk menjaga skeletal
health dengan tambahan berat badan karena obesitas. Mekanisme ini untuk menjaga
skeletal health pada jangka pendek, penambahan jangka panjang pada sistem
muskuloskeletal untuk mengakomodasi kelebihan berat badan menjadi penting. Dimana
obesitas menjadi faktor penting terjadinya OA lutut.
2. 4. 1. 3 Fungsi neurokognitif
Individu obese menurun pada fungsi eksekutif meliputi planning and mental flexibility
dibandingkan individu dengan berat badan normal, dimana terdapat defisit pada fungsi
kognitif ketika menyelesaikan tugas kognitif berupa evaluasi memori belajar dan visual.
Setiap komponen kognitif yang diakibatkan oleh obese adalah kunci pada motor planning
dan bila menurun atau terganggu akan berakibat kemampuan plan motor actions akan
menurun, yang kemungkinan disebabkan oleh proses metabolik yang terganggu yang
Universitas Indonesia
30
mempengaruhi struktur otak yang mengatur planning and organisasi, yaitu cerebellum.
Penurunan aliran oksigen ke otak pada populasi obese karena kurangnya aktivitas fisik
dapat mempengaruhi kemampuan untuk motor plan. Efek negatif ini akan berakibat
ketidakmampuan kebutuhan kognitif yang dibutuhkan untuk beradaptasi selama
pergerakan. Kegagalan untuk beradaptasi cepat dan efektif ketika berjalan dapat berakibat
cedera dan risiko yang serius untuk individu obese.
2. 4. 1. 4 Nyeri
Penurunan pada pola berjalan, dimana terdapat perbedaan parameter gait temporospatial
antara obese dan normoweight. Saat berjalan, individu obese berjalan dengan kecepatan
lebih rendah dengan panjang selangkah lebih pendek dan membutuhkan waktu lebih lama
dengan kedua kaki kontak dengan tanah melalui waktu double support yang lebih lama
dan waktu stance. Obese juga berjalan dengan frekuensi langkah lebih rendah dengan
lebar setapak lebih lebar dan swing time lebih pendek.
2. 4. 2. 1 Stabilitas
Obesitas berkaitan dengan kelemahan banyak aspek dari fungsi dan struktur yang terkait
pada berjalan yang mempengaruhi adaptasi, yang dapat menyebabkan jatuh dan cedera.
Nyeri lutut dapat mempengaruhi displacement, baik anterior–posterior (AP) pada
unilateral dan bilateral pada AP and medial–lateral (ML) sway. Pada populasi obese,
motor planning yang buruk dan ketidakmampuan untuk beradaptasi pada motor plans
selama berjalan dapat berakibat kehilangan keseimbangan atau ketidakmampuan untuk
recover dari kehilangan keseimbangan
Universitas Indonesia
31
Pada individu obese, perlu untuk mengerti dan menggunakan body functions and
structures impairments yang mempengaruhi mobilitas fungsional adalah kunci untuk
membangun intervensi yang aman dan efektif yang dapat meningkatkan kemampuan
pasien untuk terlibat dalam latihan. Pasien dengan obesitas mengadaptasi gait mereka
untuk mengakomodasi kelebihan berat badan dan memproteksi tulang dan sendi
sementara, dimana risiko terbesar untuk terjadinya kerusakan sendi lutut dan nyeri.
Perubahan parameter gait ini menjadikan pasien obesitas memiliki risiko jatuh tinggi dan
berakibat cedera. Perbedaan parameter gait antara individu obese dan non obese sekitar
15% energy expenditure yang dibutuhkan dua kali lipat untuk berjalan satu kilometer
selama kecepatan berjalan 1.5 m/s dimana energy expenditure berhubungan dengan
disabilitas mobilitas fungsional atau adaptasi terhadap parameter gait, sehingga intervensi
ditujukan pada perubahan parameter gait yang tidak meningkatkan energy expenditures
pada individu obese, pada usaha untuk mengurangi kerusakan potensial pada tulang sendi
dan nyeri (konservasi energi). Intervensi lainnya seperti efek positif akan kontrol postural
dan stabilitas berjalan pada program pencegahan jatuh dapat diberikan pada individu
obese segala usia.35
Perturbasi (obesitas dengan OA) akan mengakibatkan kerentanan disfungsi pada sendi
lutut. Perubahan pola berjalan pada obesitas dengan OA lutut yaitu dengan panjang
selangkah yang lebih pendek akan meminimalisir loading pada sendi lutut. 36 Peningkatan
IMT akan menyebabkan modifikasi spatiotemporal mayor pada pola berjalan, seperti
panjang selangkah yang lebih pendek, jumlah langkah yang lebih rendah, berhubungan
dengan kecepatan berjalan yang rendah.37
Pada studi yang dilakukan oleh Harding et al, untuk mengetahui hubungan antara IMT
dengan perubahan pola berjalan pada OA lutut moderate, menunjukkan adanya
penurunan kecepatan berjalan dan panjang selangkah pada subjek obesitas dengan OA
lutut moderate dibandingkan non obesitas dengan OA moderate. Hasil ini menunjukkan
bahwa meningkatnya IMT dihubungkan dengan perubahan pada pola biomekanika sendi
lutut selama pola berjalan pada OA lutut moderate.9
Loading yang persisten pada sistem muskuloskeletal pasien obesitas berakibat perubahan
pola berjalan yang patologis, hilangnya mobilitas, dan progresifitas menjadi disabilitas
Universitas Indonesia
32
pada OA lutut.6 Berat badan adalah faktor penting pada beban sendi, dimana pasien
obesitas memiliki EKAM yang meningkat dibandingkan pasien dengan berat badan
normal, ditambah dengan faktor sistemik dari jaringan adiposa dapat mempercepat
degenerasi kartilago lutut pada pasien obesitas. Kelemahan otot quadriceps akan
menimbulkan deselerasi cepat sebelum heel strike, sehingga untuk mengurangi high joint
loading, pasien obesitas dengan OA lutut menunjukkan adaptasi pada pola berjalannya.
Adaptasi ini adalah strategi untuk memindahkan atau menurunkan besarnya ground
reaction force. Contohnya, pengurangan kecepatan berjalan adalah strategi komprehensif
untuk mengurangi ground reaction force. Pada penelitian Bwop et al dari 55 subjects,
pasien obesitas dengan OA lutut berjalan lebih lambat dan panjang selangkah yang lebih
pendek dibandingkan OA normoweight, bertujuan untuk mengevaluasi apakah OA lutut
atau obesitas yang memiliki peranan besarnya EKAM. Didapatkan hasil obesitas dengan
OA lutut memiliki EKAM lebih tinggi dibandingkan OA lutut normoweight. Berat badan
memiliki peranan pada EKAM dibandingkan adanya OA lutut saja. Perubahan pola
berjalan dengan mengurangi kecepatan berjalan akan menurunkan EKAM dan panjang
setapak yang lebih kecil juga akan mengurangi peak loading pada sendi lutut.7
Individu obese memiliki kecepatan berjalan lebih lambat, panjang selangkah lebih
pendek, dan peningkatan fase stance dan double support saat berjalan. Adduksi hip yang
lebih besar terlihat pada fase terminal stance dan pre-swing. Individu obese akan
mengadjust kekuatan otot hip adductor selama fase terminal stance untuk mengontrol
body sway dan menjaga upright stability, yang juga menahan hip extension saat fase
stance terminal. Adaptasi gait diperlukan untuk mengurangi momen dan energy
expenditure.8 Hal ini terlihat pada penelitian yang dilakukan oleh Lai et al. Pasien obesitas
akan menyesuaikan karakteristik pola berjalan sebagai respon terhadap tubuh yang berat
dengan mengurangi momen pada lutut. Terdapat perbedaan bermakna pada pengukuran
pola berjalan temporal-spatial antara obesitas dengan OA lutut dibandingkan non
obesitas dengan OA lutut dan normal, dimana obesitas dengan OA lutut akan berjalan
lebih lambat dan memiliki panjang selangkah yang lebih pendek dibandingkan non
obesitas dengan OA lutut dan normal.8
Adaptasi biomekanik pada obesitas, variabel pola berjalan menjadi berubah pada populasi
obesitas, meliputi pengurangan kecepatan, jumlah langkah, dan panjang selangkah,
demikian juga peningkatan support base atau lebar setapak. Modifikasi pola berjalan
Universitas Indonesia
33
berakibat penurunan fungsional, koordinasi otot dan produksi gaya yang buruk, dan
pengurangan resistance terhadap fatique. Abnormalitas pola berjalan telah digunakan
untuk memprediksi defisit mobilitas pada dewasa dan ditemukan lebih sering pada
dewasa dengan lingkar pinggang yang besar. Hal ini akan mengurangi fleksi hip dan lutut
akibat jaringan adiposa di abdomen dan tungkai bawah yang akan menyebabkan fase
stance yang lebih memanjang dan fase swing yang lebih pendek, mengakibatkan panjang
setapak, panjang selangkah yang lebih pendek dan juga frekuensi langkah yang lebih
sedikit. Adaptasi pola berjalan dapat berakibat dari kebutuhan stabilitas postural akibat
COG yang berubah dimana keseimbangan menjadi terganggu dengan adanya hip
circumduction dan lateral leg swing dan untuk mengurangi efek GRF yang berkontribusi
pada OA dan nyeri. GRF 60% lebih besar pada obesitas terutama pada mediolateral.
Lebar setapak meningkat sekitar 30% pada subjek obesitas, dimana adaptasi ini akan
meningkatkan stabilitas lateral. EKAM yang meningkat juga merupakan adaptasi untuk
meredistribusi GRF melalui lutut. Kecepatan berjalan yang lebih lambat menurunkan
GRF dan momen otot absolut (N-m) yang dibutuhkan untuk mempertahankan kecepatan
berjalan. Deviasi postural pada obesitas, terdapat anterior tilt dari trunk selama berjalan
yang dapat mempengaruhi pola berjalan normal. Metabolik cost dari berjalan pada
populasi obesitas lebih besar 10-12% dengan adaptasi berupa meningkatnya lebar
setapak.4
Penelitian yang dilakukan oleh Contti et al pada 42 pasien obese dan 20 dewasa
normoweight, didapatkan hasil pasien berjalan lebih lambat (p < 0.0005) dengan
menggunakan panjang selangkah lebih pendek (p < 0.0005) dan frekuensi langkah lebih
rendah (p < 0.0005) dibandingkan normo weight. Individu obese memiliki periode stance
lebih lama (p < 0.0005) dan periode swing lebih singkat (p < 0.0005) dibandingkan subjek
normo weight. Individu obese memiliki waktu lebih lama untuk menjaga stabilitas.
Individu obese berjalan lebih lambat dibandingkan dengan non obese, dengan massa and
gaya lebih besar; menggunakan kompensasi kinematik, perubahan pergerakan dari
sagittal ke frontal untuk memperlambat progresifitas dari OA lutut dan kesulitan dalam
mengangkat tungkai bawah.38
Universitas Indonesia
34
Analisa pola berjalan adalah studi berjalan untuk memeriksa kaki, fungsi ekstremitas
bawah, dan merupakan bagian penting dari penilaian. Dengan biomekanik dan kinematik,
tidak hanya menemukan pola berjalan yang abnormal dan faktor utama untuk penilaian
dan terapi rehabilitasi, tetapi juga membantu diagnosis klinis, penilaian efikasi terapi, dan
penelitian. Tujuan untuk analisa pola berjalan adalah mengidentifikasi mekanisme dan
penyebab pola berjalan abnormal, memberikan data pola berjalan kuantitatif, untuk
memilih strategi pengobatan yang optimal, dan untuk mengevaluasi pengobatan
rehabilitasi.39 Analisis dari siklus gait penting untuk pemeriksaan mobilitas
biomekanika untuk mendapatkan informasi mengenai disfungsi ekstremitas bawah
pada pergerakan dinamik dan loading. Saat menganalisa siklus gait, metode objektif
dan subjektif dapat digunakan. 33
2.4.5.1 Subjektif
Observasi gait adalah pengukuran subjektif yang dapat digunakan. Pasien berjalan
secara normal, pada dalam dan luar kaki, pada garis lurus, dan berlari, sepanjang
waktu, kemudian dibandingkan di kedua sisi. 33 Analisis kualitatif yaitu dengan dokter
mengobservasi pasien secara visual pada sendi, otot, pergerakan pelvis dan koordinasi
postur pada tiga arah, dari depan, belakang dan samping selama berjalan. Metode
pengamatan dan dapat diterapkan pada seluruh level institusi medis, dan merupakan
penilaian fungsional sistematis dari pola berjalan sebelum evaluasi lebih lanjut.
Kelemahan metode ini tidak kuantitatif dan sangat subjektif, dan mengingat pola berjalan
pada manusia sangat komplek dan beragam, maka untuk aplikasi klinis terdapat
keterbatasan.39
2.4.5.2 Objektif
Universitas Indonesia
35
Pergerakan, perputaran, dan prosedur gait normal menghasilkan dynamic load hingga 5
kali berat badan pada pergelangan kaki dan 3 kali lipat pada lutut terutama gaya / kekuatan
geser (shear force) terbesar pada gait dan ambulasi. Oleh karena itu, penting untuk
mengukur kekuatan/gaya ini untuk melihat dynamic load selama aktivitas dan
pengaruhnya terhadap OA. Dynamic load dapat dihitung menggunakan peralatan tekanan
intrartikular, tetapi jarang digunakan pada manusia. Pada model hewan, malalignment
menyebabkan dynamic load yang berlebih diikuti oleh destruksi kartilago dan progresif.
Metode tidak langsung meliputi analisis gait dimana noninvasif dan dapat diterapkan
pada manusia sehingga banyak dipakai. Selama siklus gait, kamera video dan plat GRF
mengukur tekanan dan pergerakan kemudian merubah data-data tersebut menjadi
external moment relatif terhadap load sendi internal. Pada saat yang sama, terdapat
keterbatasan dimana hanya menggambarkan load saat waktu spesifik. Perubahan selama
gait, kecepatan berjalan, dan fase stance tidak tergambarkan.40
2.4.5.2.2 Analisis Kinematik
Analisis untuk mendapatkan sudut hip, lutut, dan pelvis dengan memindahkan tanda
refleksi pada sendi dengan 4-6 kamera mendapatkan trajektori pada lintasan berjalan.
Menggunakan aksis internal dan sudut rotasi untuk menggambarkan pergerakan 3D pada
sendi selama berjalan. Parameter kinematik meliputi pelvic tilt dan sudut perputaran,
fleksi hip, sudut abduksi dan adduksi; fleksi lutut dan sudut abduksi; dorsifleksi
pergelangan kaki dan sudut fleksi ibu jari kaki; dan lingkup gerak sendi ibu jari kaki.
Parameter tersebut digunakan untuk menggambarkan dan membandingkan tipe dari gait
yang patologis. Kelemahan metode ini kompleks dan menghabiskan banyak waktu serta
sulit digunakan pada penggunaan klinis.
2.4.5.2.3 Analisis Kinetik
Analisis tekanan dan analisis load selama pergerakan menggunakan dua plat gaya
digunakan untuk mengukur distribusi tekanan plantar dan GRF pada fase support saat
berjalan, meliputi stress vertikal, gaya geser horizontal, dan lateral dan area gaya plantar.
Sebagai tambahan, terdapat sensor pada kaki dimana dapat mengukur tekanan plantar di
beberapa bagian. Kelemahan metode ini tidak mendapatkan variabel ruang berjalan.
2.4.5.2.4 EMG dinamik
Universitas Indonesia
36
Metode efektif untuk mendeteksi aktivitas otot selama berjalan yang dapat menganalisa
dan merekam waktu dan intensitas dari aktivitas otot. Otot superfisial sebaiknya
menggunakan elektroda permukaan dimana otot dalam diimplan elektroda wire. Metode
ini memiliki target dan sangat penting untuk gait yang abnormal, saraf, dan otot untuk
penyebab spesifik. Kelemahan metode ini adalah biaya yang dibutuhkan cukup tinggi dan
sulit diterima luas.
2.4.5.2.5 Konsumsi oksigen
Tujuan metode ini adalah menganalisa konsumsi energi saat berjalan, subjek sebaiknya
memakai analyzer oksigen portable. Gas yang dikeluarkan dikumpulkan selama berjalan
untuk analisis konsumsi oksigen yang berkaitan dengan jarak tempuh : semakin rendah
cost oksigen, maka semakin rendah konsumsi energi untuk berjalan. Metode ini sering
digunakan untuk mendeteksi konsumsi oksigen selama berjalan dengan prosthesa,
orthosis, atau kondisi patologis yang beragam, juga sebagai indikator sensitif untuk
penilaian efisiensi rehabilitasi dan penggunaan brace.39
2.4.5.2.6 Analisis temporal-spatial
Universitas Indonesia
37
akurat.42 Video direkam tegak lurus dengan melihat pergeseran ke arah anterior,
pengukuran panjang setapak akan bias dengan lebar setapak. Sehingga untuk mengukur
lebar setapak, maka pengambilan video harus dari atas ke arah bawah, tetapi hal ini juga
menjadi kendala karena perlu mengukur jarak di antara kedua kaki, sementara terhalang
oleh tubuh dan jaringan adiposa di abdomen. Lebar setapak relatif sulit untuk diukur dan
memerlukan teknik laboratorium seperti metode footprints (yang digunakan) atau sistem
yang lebih membutuhkan biaya seperti computerized walkways, dimana juga tidak mudah
dipakai di berbagai tempat.23
2.4.5.2.6.1 Metode Footprint
Metode footprint dengan pulasan tinta untuk mengukur parameter gait merupakan metode
yang mudah, reliable, valid, tidak mahal dan dapat digunakan pada klinik/praktek.
Pelaksanaannya adalah sole dari kaki ditutupi tinta, kemudian berjalan melalui 4-6 m kain
atau kertas putih. Beberapa literatur menggunakan lintasan hingga 10 m, dengan starting
point sedikitnya tiga langkah sebelum mencapai platform untuk memastikan steady-state
pola berjalan. Hasil dianggap memuaskan bila kedua kaki full contact dengan setiap white
paper platforms. Jumlah langkah dihitung dengan membagi jumlah step dibagi waktu saat
menyelesaikan 10 m berjalan, didapatkan langkah per menit. 43
Waktu diukur menggunakan stopwatch. Variabel berjalan yaitu jumlah langkah, panjang
langkah, panjang setapak, lebar setapak didapatkan dari footprints. Waktu direkam
menggunakan stopwatch. Variabel berjalan seperti panjang setapak, panjang selangkah,
dan lebar setapak didapatkan dari cetakan kaki. Metode cetakan kaki sederhana dan
kuantitatif dan dapat dilakukan secara luas di berbagai daerah.39 Perbandingan metode
foot print pulasan tinta dengan computerized platform (WIN TRACK®), didapatkan
terdapat perbedaan pada kecepatan berjalan, frekuensi langkah, dan panjang selangkah
meskipun tidak signifikan secara statistik, kemudian untuk panjang setapak tidak ada
perbedaan.44
Reliabiltas metode footprint, dari Boenig et al melaporkan 1 minggu test-retest reliability
yang baik untuk panjang setapak (0.972), panjang selangkah (0.925), dan jumlah langkah
(0.905), dan moderate reliability untuk lebar setapak (0.782). Blaker et al. menemukan
intratester reliability yang baik dari panjang selangkah menggunakan footprint (0.99).45
Sedangkan untuk validitas metode footprint, Boenig melaporkan hubungan antara data
yang didapat dengan footprints dengan data yang menggunakan interrupted-light
Universitas Indonesia
38
photography oleh Murray et al. Blaker et al. menemukan korelasi 0.72 antara pengukuran
panjang selangkah footprint dengan computerized gait analysis dengan Motion Analysis
Expert Vision System.45
Penelitian yang dilakukan oleh Rodriguez et al menunjukkan panjang selangkah yang
lebih pendek merupakan prediktor risiko jatuh berulang 6 bulan ke depan dengan
sensitivitas 93% dan spesifisitas 53% dan 12 ke depan dengan sensitivitas 81% dan
spesifisitas 57%. Panjang selangkah juga dapat memprediksi penurunan fungsional pada
12 bulan ke depan dengan sensitivitas 79.4% dan spesifisitas 65.6%. Panjang selangkah
(p<0.05) dan lebar setapak (p < 0.05) berhubungan dengan risiko kematian 60 bulan ke
depannya.23
Universitas Indonesia
39
CENTER OF
PENURUNAN GRAVITY
MEKANORESEPTOR BERUBAH
LOADING
BERLEBIHAN KELEMAHAN OTOT
PADA LUTUT STABILITAS
POSTURAL
TERGANGGU
MUSCULAR FATIGUE
RESISTANCE MENURUN KESEIMBANGAN
TERGANGGU
OA LUTUT TORSI/FORCE/INERTIA/
MOMENT LUTUT RISIKO JATUH
MENINGKAT MENINGKAT
Universitas Indonesia
40
- Usia
- Jenis Kelamin
- Level
Aktivitas
Fisik
- Komorbiditas
Keterangan :
: Variabel bebas
: Variabel terikat
: Variabel perancu
Universitas Indonesia
41
BAB III
METODE PENELITIAN
3.2.1. Tempat
Penelitian ini dilakukan di Poliklinik Departemen Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi
FKUI/RSUPN Cipto Mangunkusumo.
3.2.2. Waktu
Populasi target adalah pasien obesitas dengan OA lutut dan pasien OA lutut non obesitas.
Populasi terjangkau adalah pasien obesitas dengan OA lutut dan pasien OA lutut non
obesitas. Pemilihan sampel dilakukan secara consecutive sampling pada populasi
terjangkau yang memenuhi kriteria penerimaan dan tidak memenuhi kriteria penolakan.
Sampel diambil secara konsekutif dari pasien poliklinik Rehabilitasi Medik RSUPN
Cipto Mangunkusumo sampai besar sampel minimal terpenuhi.
Universitas Indonesia
42
Besar sampel dihitung dengan menggunakan rumus perbedaan dua rerata antar
populasi46 :
(𝒁𝜶 + 𝒁𝜷)𝑺 𝟐
𝒏𝟏 = 𝒏𝟐 = (𝟐 [ ] )
𝒙𝟏 − 𝒙𝟐
n = jumlah sampel
Zα = tingkat kemaknaan berdasarkan interval kepercayaan 5% (α = 1.96)
Zβ = deviasi relatif berdasarkan power 80% (β = 0,842)
X1 -X2 = perbedaan rerata
Universitas Indonesia
43
Bila power (1-β) = 80% (Zβ 20% = 0.842) dan tingkat kemaknaan α = 0.05 (Zα 95% =
1,96), standar deviasi (S) panjang selangkah adalah 0.15 dan perbedaan panjang
selangkah yang bermakna adalah 0.12 diperoleh besar sampel minimal sebanyak 25.9
Dilakukan penambahan sebesar 20% pada jumlah sampel, sehingga jumlah sampel setiap
kelompok menjadi 30 subjek.46
Universitas Indonesia
44
Universitas Indonesia
45
5 Indeks massa Berdasarkan kriteria World Health Kalkulator Berdasarkan Satuan kg/m2. Kategorik
tubuh Organization tahun 2000 untuk perhitungan rumus Normoweight (IMT <
Asia BB/(TB)2 23), overweight (IMT
23-24.9), obesitas grade
I (25-29.9, obesitas
grade II (≥30)
6 Osteoarthritis Berdasarkan kriteria ACR tahun Radiografi Berdasarkan Gambaran : Kategorik
0 (normal) : tidak ada
Lutut 2000 gambaran radiografi
gambaran radiografi
Kellgren-Lawrence yang abnormal
1 (meragukan) : tampak
sendi lutut, weight
osteofit kecil
bearing, posisi AP 2 (minimal) : tampak
osteofit, celah sendi
normal
3 (sedang) : osteofit
jelas, penyempitan celah
sendi
4 (berat) : penyempitan
celah sendi berat dan ada
sklerosis, kista
7 Lingkar Subjek berdiri dengan kaki 25- Pita ukur Berdasarkan angka Satuan sentimeter Numerik
pinggang 30cm terpisah. Pengukuran yang tertera pada pita
diambil di tengah antara batas ukur
Universitas Indonesia
46
Universitas Indonesia
47
Tambahan 1 nilai
untuk pasien yang
mempunyai pendidikan
formal selama 12 tahun
atau kurang, jika nilai
<30
14 Physical Perhitungan Aktivitas Fisik Kalkulator Berdasarkan Aktivitas fisik terbatas Kategorik
Activity Level Berdasarkan Compendium of Perhitungan Jumlah PAL < 1,40
Physical Activities Tahun 1996 METs dalam satu Aktivitas fisik aktif PAL
hari dibagi dengan ≥ 1,40
24
Universitas Indonesia
48
Pelaksanaan Penelitian
Peneliti memberikan penjelasan kepada subjek penelitian mengenai tujuan dan
manfaat yang diperoleh jika bersedia mengikuti penelitian ini. Subjek akan
diikutsertakan apabila telah memenuhi kriteria inklusi penelitian. Apabila
bersedia maka subjek diminta untuk mengisi formulir persetujuan penelitian
Pengisian dan penandatanganan formulir persetujuan
Pengisian status penelitian oleh peneliti melalui anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan data rekam medik
Setiap subjek penelitian diukur tinggi badan, berat badan, IMT, lingkar pinggang.
Subjek penelitian diminta untuk berdiri dan menginjak bak tinta pembuat sidik
telapak kaki. Kemudian subjek diminta berjalan 2-3 langkah sebelum sampai
lintasan kain, untuk penyesuaian subjek penelitian dan melihat apakah tinta sudah
layak untuk masuk lintasan. Selanjutnya subjek berjalan dengan kecepatan biasa
di atas kain belacu sepanjang 10 m.
Pelaksanaan dinyatakan gagal ketika subjek penelitian tidak dapat berjalan
menyelesaikan berjalan hingga akhir lintasan atau pulasan tinta di lintasan kurang
adekuat, sehingga diperlukan pengulangan pengukuran.
Kecepatan berjalan didapatkan dengan dihitung dengan mengukur waktu
menyelesaikan lintasan 10 m, menggunakan stopwatch dari saat awal mulai
berjalan hingga selesai lintasan. Pengukuran panjang selangkah, panjang setapak,
lebar setapak, didapatkan dengan mengukur jarak pada footprints menggunakan
penggaris. Jumlah langkah didapatkan dengan menghitung jumlah langkah dalam
satu menit pertama.
Semua data dikumpulkan kemudian diolah secara statistik
3.9.Variabel penelitian
Variabel bebas yang diteliti adalah pasien tanpa obesitas dengan OA lutut, obesitas
dengan OA lutut berusia 50-70 tahun. Variabel terikat yang diteliti adalah kecepatan
berjalan rata-rata, panjang setapak, lebar setapak, panjang selangkah, dan jumlah langkah.
Universitas Indonesia
49
Pasien Obesitas dengan OA Lutut usia 50- Pasien Non Obesitas dengan OA Lutut
70 tahun usia 50-70 tahun
Pengukuran data : usia, jenis kelamin, IMT, lingkar pinggang, Moca Ina,
PAL
Pengukuran parameter pola berjalan : kecepatan berjalan, panjang setapak, lebar setapak, panjang selangkah,
jumlah langkah
Data parameter pola berjalan Pasien Obesitas Data parameter pola berjalan non obesitas
dengan OA Lutut usia 50-70 tahun dengan OA Lutut usia 50-70 tahun
Universitas Indonesia
50
3. 11. Etika
Seluruh data diolah menggunakan program komputer IBM SPSS (Statistical Package for
the Social Sciences) for Windows versi 20.0. Hasil akan ditampilkan dalam bentuk narasi
dan tabel. Apabila memungkinkan, data juga akan ditampilkan dalam bentuk grafik untuk
memudahkan analisa lebih lanjut. Analisis data dilakukan secara bertahap sebagai
berikut. Analisis univariat merupakan langkah pertama analisis statistik yaitu analisis
deskriptif berupa penjabaran distribusi karakteristik subjek penelitian. Kemudian
dilakukan uji normalitas untuk melihat sebaran data (Kolmogorov Smirnoff/Saphiro
Willk). Bila sebaran data normal, maka dilakukan uji t test independen/ uji perbedaan 2
mean/rerata. Bila sebaran data tidak normal, maka dilakukan Uji Mann Whitney.46
No Item Total
1 Fotokopi, printing dan alat tulis Rp. 1,000,000,-
2 Pembelian kain belacu, tinta non-toxic skin safe Rp. 2,000,000,-
3 Pembiayaan sekretaris penelitian Rp. 2,000,000,-
TOTAL Rp. 5.000.000
Universitas Indonesia
51
DAFTAR PUSTAKA
Universitas Indonesia
52
15. Bialosky JE, Bishop MD, Price DD, Robinson ME, George SZ, Khayrullina T. The
evolving role of obesity in knee osteoarthritis. Curr Opin Rheumatol.
2010;22(5):533–7.
16. Indonesian Rheumatology Association. Diagnosis dan Penatalaksanaan
Osteoartritis. Rekomendasi IRA untuk Diagnosis dan Penatalaksanaan
Osteoartritis. 2014. 13 p.
17. Litwic A, Registrar S, Edwards M, Clinical M. Europe PMC Funders Group
Epidemiology and Burden of Osteoarthritis. 2013;44(0):185–99.
18. Heidari B. Knee osteoarthritis prevalence, risk factors, pathogenesis and features:
Part I. Casp J Intern Med. 2011;2(2):205–12.
19. Todd P. Stitik J-HK, Doreen Stiskal, Patrick Foye, Robert Nadler, James Wyss
and SH. DeLisa’s Physical Medicine & Rehabilitation PRINCIPLES AND
PRACTICE. 5 edition. Philadelphia; 2010. p. 781-809.
20. Manlapaz DG, Zealand N, Sole G, Lecturer S, Zealand N, Jayakaran P, et al. Risk
factors for falls in adults with knee osteoarthritis: a systematic review.
21. Hoops ML, Rosenblatt NJ, Hurt CP, Crenshaw J, Grabiner MD. Does lower
extremity osteoarthritis exacerbate risk factors for falls in older adults ?
2012;8:685–98.
22. Sharma L, Lou C, Cahue S, Dunlop DD. The mechanism of the effect of obesity
in knee osteoarthritis: the mediating role of malalignment. Arthritis Rheum
[Internet]. 2000;43(3):568–75. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/10728750
23. Rodríguez-molinero A, Herrero-larrea A, Miñarro A, Narvaiza L, Gálvez-barrón
C, León NG, et al. The spatial parameters of gait and their association with falls ,
functional decline and death in older adults : a prospective study. 2019;(September
2018):1–9.
24. Lippert LS. Clinical Kinesiology and Anatomy 5th ed. 2011. 339-41 p.
25. Santos GA, Ribeiro DM, Menezes RL De. Falls risk detection based on
spatiotemporal parameters of three-dimensional gait analysis in healthy adult
women from 50 to 70 years old. 2016;(741).
26. Jones O. Walking and Gaits [Internet]. 2019 [cited 2019 Jun 12]. Available from:
https://teachmeanatomy.info/lower-limb/misc/walking-and-gaits/
27. Catlin B, Lyons J. Human Anatomy. Posture and locomotion [Internet]. Dartmouth
Medical School. 2008. Available from:
https://www.dartmouth.edu/~humananatomy/part_3/chapter_18.html
28. Aparecida S, Souza F De, Faintuch J, Carlos A, Fernando A, Anna S, et al. Gait
Cinematic Analysis in Morbidly Obese Patients. 2005;1238–42.
29. Beauchet O, Allali G, Sekhon H, Verghese J, Guilain S. Guidelines for Assessment
of Gait and Reference Values for Spatiotemporal Gait Parameters in Older Adults :
The Biomathics and Canadian Gait Consortiums Initiative. 2017;11(August).
30. Bakheit AMO. A study of the gait characteristics of patients with chronic
Universitas Indonesia
53
Universitas Indonesia
54
Universitas Indonesia
55
Lampiran 1
STATUS PENELITIAN
PERBANDINGAN POLA BERJALAN PADA PASIEN
Nomor urut :
Tanggal pengisian :
IDENTITAS
Nama Subjek :
Jenis kelamin : L / P
Tanggal lahir :
Alamat :
No. Telp. :
Pendidikan : SD / SMP / SMA / D3 / S1 / S2 / Lainnya
Pekerjaan : Karyawan/pegawai negeri/ibu rumah tangga/wirausaha/lainnya
ANAMNESIS
Nyeri lutut : ada / tidak, riwayat OA lutut sejak....
Peggunaan alat bantu jalan :
Riwayat operasi :
Riwayat penyakit dahulu : Diabetes mellitus, Hipertensi, penyakit jantung dan
paru, vertigo, gangguan visus (terkoreksi/tidak),
arthritis sistemik, stroke, penyakit ginjal, penyakit
lainnya :....................................................
Riwayat pengobatan saat ini :
- Farmakologi :
- Non-Farmakologi :
Universitas Indonesia
56
PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
Tekanan darah : Pernapasan : Sat O2:
Nadi : Suhu :
Tinggi badan : IMT :
Berat Badan : Lingkar pinggang :
MOCA INA : PAL :
Visual Analogue Scale :
Riwayat jatuh 1 tahun terakhir : …………kali
Pemeriksaan Xray
Tanggal pemeriksaan :
Hasil Ekspertise :
KL derajat :
Parameter gait :
Panjang setapak : Kecepatan berjalan :
Panjang selangkah : Jumlah langkah :
Lebar setapak :
Universitas Indonesia