Anda di halaman 1dari 26

Salah satu upaya pemerintah dalam meningkatkan mutu pendidikan adalah perubahan

kurikulum dari kurikulum 2006 menjadi kurikulum 2013 (K-13). Sejalan dengan
implementasi K-13, guru diharapkan mengubah paradigma pembelajaran yang awalnya
berpusat kepada guru (teacher centered) menjadi berpusat kepada siswa (sudent
centered), dan mengembangkan model pembelajaran kolaboratif dan serta kooperatif
sehingga para siswa memiliki pengalaman belajar yang bermakna, mampu berpikir
kritis, kreatif, inovatif, dan mampu menyelesaikan masalah.

Hal inilah yang disebut sebagai kompetensi abad 21 atau dikenal dengan 4C, yaitu (1)
communicative, (2) collaborative, (3) critical thinking and problem solving, dan (4)
creative and innovative. Kompetensi abad 21 menjadi modal penting untuk melahirkan
generasi bangsa yang disamping kompeten dan kompetitif, juga memilih jiwa tangguh
di tengah persaingan global dan regional yang semakin ketat.

Pembelajaran abad 21 juga mengarahkan siswa untuk mengalami pengalaman belajar,


yaitu; (1) learning to know (belajar untuk tahu), (2) learning to do (belajar untuk
melakukan), (3) learning to be (belajar untuk menjadi), dan (4) learning to live together
(belajar untuk hidup bersama dengan yang lain). Menyikapi hal tersebut, maka pada K-
13 dikenal 4 (empat) Kompetensi Inti (KI) yang meliputi KI-I sikap spiritual, KI-II sikap
sosial, KI-III pengetahuan, dan KI-IV keterampilan. Kompetensi inti merupakan
gambaran secara kategorial mengenai kompetensi dalam aspek sikap, pengetahuan,
dan keterampilan yang harus dipelajari siswa untuk suatu jenjang sekolah, kelas dan
mata pelajaran. Dalam konteks pengalaman belajar, KI-I dan KI-II relevan dengan
learning to be dan learning to live together, KI-III relevan dengan learning to know,
dan KI-IV relevan dengan learning to do.

Pendekatan Saintifik

Dalam upaya memberikan kompetensi abad 21 kepada para siswa, maka para proses
pembelajaran, guru didorong untuk menerapkan pendekatan saintifik atau pendekatan
ilmiah yang dikenal dengan 5M, yaitu (1) mengamati, (2) menanya, (3) mengumpulkan
informasi, (4) menalar/ mengasosiasikan, dan (5) mengomunikasikan. Sesuai dengan
namanya, pendekatan saintifik dalam pembelajaran mengarahkan siswa untuk meneliti
melalui penerapan metodologi ilmiah.

Dengan kata lain, proses pembelajaran tidak hanya mengondidisikan agar siswa duduk,
dengar, catat, dan hapal yang dikenal dengan DDCH, tetapi dapat aktif belajar baik
secara individu maupun secara kelompok. Pada kurikulum 1984 dan 1994 pernah
populer istilah Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA), tapi dalam pelaksanaannya banyak yang
tidak sesuai dengan harapan. Hal ini disebabkan oleh; pertama, guru belum bisa keluar
dari paradigma lama seolah sebagai satu-satunya sumber belajar, padahal guru hanya
merupakan salah satu sumber belajar. Seolah guru yang baik adalah guru yang banyak
bicara (ceramah) dari awal hingga akhir pembelajaran, padahal guru yang baik adalah
yang mampu secara efektif mengelola pembelajaran. Dengan kata lain, guru bukan
hanya sebagai sumber belajar, tetapi juga sebagai fasilitator pembelajaran. Dan
sebagai fasilitator pembelaran, guru cukup mengatur lalu lintas pembelajaran, sehingga
pembelaran dapat berjalan secara aktif dan bermakna.
Dalam praktiknya hal ini tidak mudah, karena disamping faktor kompetensi guru, juga
ada faktor latar belakang (intake) siswa. Kadang guru sudah berupaya mengaktifkan
siswa, tetapi mereka lebih banyak yang pasif daripada yang aktif, sehingga
pembelajaran tetap kurang hidup atau monoton.

Kedua, banyak guru belum dibekali dengan penguasaan pembelajaran kooperatif


(CBSA). Guru pun belum mengoptimalkan keterampilan proses dalam pembelajaran,
sehingga masih dominan menggunakan metode ceramah. Mengapa demikian? Sekian
tahun silam, kesempatan bagi guru untuk mengikuti pelatihan yang dilaksanakan oleh
pemerintah sangat terbatas. Kalau pun ada program pelatihan, hanya diikuti oleh guru-
guru tertentu saja, dan tidak diimbaskan kepada guru yang lain. Peran organisasi
profesi guru yang belum optimal meningkatkan mutu guru, dan guru itu sendiri banyak
yang belum aktif meningkatkan mutu dirinya secara mandiri.

Akibatnya, CBSA hanya sebuah istilah yang implementasinya tidak sekeren namanya.
Bahkan CBSA dalam bahasa Sunda suka dipelesetkan menjadi Cul Budak Sina Anteng
yang kalau diartikan secara bebas kurang lebih artinya guru meninggalkan siswa belajar
sendiri di kelas sedangkan gurunya sibuk melakukan kegiatan lain.

Pascapopuler istilah CBSA, lalu muncul istilah Pembelajaran Aktif Kreatif, Kreatif, Efektif,
dan Menyenangkan (PAKEM), dengan berbagai varian istilah lainnya seperti PAIKEM
(tambahan I yang artinya inovatif), PAILKEM (tambahan L yang artinya memanfaatkan
Lingkungan sebagai salah satu sumber belajar), PAIKEM GEMBROT (Gembira dan
Berbobot). Berikutnya, seiring dengan implementasi kurikulum 2006 atau KTSP muncul
istilah Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning/CTL) yang memiliki
7 (tujuh) pilar, yaitu; (1) constructivism (konstruktivisme), (2) inquiry (mencari), (3)
questioning (bertanya), (4) learning community (masyarakat belajar), (5) modelling
(pemodelan), (6) reflection (refleksi), dan (7) authentic assessment (penilaian otentik).

Berbagai istilah tersebut tidak dapat dipungkiri merupakan upaya yang dilakukan oleh
pemerintah untuk meningkatkan mutu pembelajaran, tetapi pada kenyataannya banyak
yang hanya indah diatas kertas, tidak membumi, karena tidak dilakukan oleh guru
dalam pembelajaran. Mengapa demikian? Penyebabnya disamping masalah sarana dan
prasana dan intake siswa, juga dipengaruhi oleh faktor kompetensi dan pola pikir (mind
set) guru.

Diakui atau tidak, diantara banyak guru yang berupaya sekuat tenaga menyampaikan
materi pelajaran dengan sebaik-baiknya, tidak sedikit guru yang datang ke sekolah
hanya sekedar menggugurkan kewajiban, tanpa banyak melakukan refleksi dan
evaluasi terhadap kualitas pembelajaran yang telah dilakukannya. Keterlibatan dalam
kegiatan organisasi profesi guru untuk meningkatkan kompetensinya pun relatif rendah.

Pada K-13, semangat pembelajaran aktif mencoba dihidupkan melalui implementasi


pendekatan saintifik dalam pembelajaran, dimana siswa diarahkan untuk belajar secara
aktif, berpikir kritis, mampu mengumpulkan dan mengolah data, menyusun sebuah
analisis, menyimpulkan, menyusun rekomendasi, hingga membuat sebuah laporan, dan
mempersentasikannya. Laporan yang dimaksud disini tidak selalu identik dengan
laporan penelitian yang tebal, tetapi laporan sederhana yang merepresentasikan hasil
kerja mereka.
Pada Bimtek K-13, beberapa model pembelajaran diperkenalkan kepada guru sebagai
sarana menerapkan pendekatan saintifik, seperti pembelajaran berbasis proyek (project
based learning), pembelajaran berbasis masalah (problem based learning),
penyelesaian masalah (problem solving), dan mencari/menemukan (inquiry/discovery).
Pada pembelajaran yang menerapkan pendekatan saintifik, siswa diarahkan untuk
belajar secara berkelompok atau secara kolaboratif.

Adapun indikator keberhasilan pembelajaran saintifik sebagai berikut; (1) meningkatnya


kemampuan intelektual peserta didik, khususnya kemampuan berpikir tingkat tinggi, (2)
terbentuknya kemampuan peserta didik dalam menyelesaikan suatu masalah secara
sistematik, (3) terciptanya kondisi pembelajaran dimana peserta didik merasa belajar
itu merupakan sebuah kebutuhan, (4) diperolehnya hasil belajar yang tinggi, (5)
peserta didik terlatih dalam mengomunikasikan ide-ide, khususnya dalam menulis
artikel ilmiah, dan (6) terbentuknya karakter positif dalam diri peserta didik (Machin, A.,
2014 : 29 dalam Yani dan Ruhimat, 2018 : 134).

Mengamati

Pada proses mengamati, guru mengarahkan siswa untuk memperhatikan stimulan yang
diberikan oleh guru. Stimulan itu bisa dalam bentuk gambar, video, tabel, grafik,
skema, membaca sebuah lembar informasi, dan sebagainya. Dari proses mengamati ini,
maka keterampilan berpikir kritis peserta mulai dibangun.

Siswa yang memiliki perhatian dan daya kritis yang tinggi akan memperhatikan dengan
seksama stimulan yang ada dihadapannya. Dari stimulan tersebut, lalu bisa muncul
tanggapan atau pertanyaan sebagai bentuk rasa ingin tahunya yang akan disampaikan
kepada guru.

Pada saat mengamati, siswa menggunakan alat-alat inderanya, seperti mata, hidung,
telinga, kulit, dan sebagainya. Proses pengamatan bisa berlangsung baik di dalam
ruangan maupun di luar ruangan. Pada saat para siswa mengamati sebuah objek,
lingkungan, atau fenomena, tugas guru adalah membimbing mereka agar dapat dapat
mencatat setiap hal pentig yang mereka temukan.

Menanya

Setelah siswa diberikan stimulan oleh guru pada tahap mengamati, tidak tertutup
kemungkinan akan muncul rasa ingin tahu siswa. Oleh karena itu, guru memberikan
kesempatan kepada siswa untuk bertanya. Pertanyaan tersebut bisa dalam bentuk
pertanyaan lisan atau pertanyaan tertulis. Pertanyaan bisa disusun oleh individu atau
kelompok. Selain dijawab oleh guru, pertanyaan tersebut bisa juga didiskusikan
bersama dengan teman-temannya di kelas.

Pertanyaan yang muncul meliputi 5W + 1 H (What, Who, Where, When, Why, dan
How). Misalnya kalau stimulannya adalah sebuah sungai yang kotor dan penuhi banyak
sampah. Maka pertanyaan yang bisa muncul misalnya, Apa yang menyebabkan sungai
kotor dan tercemar oleh sampah? Siapa yang bertanggung jawab menjaga kebersihan
sungai? Dimanakah seharusnya masyarakat membuang sampah? Kapan sampah-
sampah yang dibuang oleh masyarakat ke sungai itu diangkut oleh petugas? Mengapa
masyarakat masih ada yang suka membuang sampah sembarangan? Bagaimana cara
menyadarkan masyarakat supaya membuang sampah pada tempatnya?

Mengumpulkan Informasi

Setelah siswa didorong untuk menyusun sejumlah pertanyaan berkaitan dengan objek,
fenomena, atau peristiwa yang diamati, maka tahap berikutnya adalah mengumpulkan
informasi. Dalam proses pengumpulan informasi, para siswa dapat mengumpulkannya
dari berbagai sumber seperti buku, koran, majalah, internet, lembar observasi, angket,
wawancara, atau studi dokumentasi.

Pada tahap ini, siswa dilatih untuk mengembangkan keterampilannya dalam


menemukan, mengesahkan data, tentang fakta dan kebenaran. Data dan informasi
yang yang didapatkannya bisa dalam bentuk kuantitatif dan kualitatif. Berbagai
informasi yang didapatkannya akan menjadi bahan untuk menjawab atau membuktikan
hipotesis pertanyaan.

Menalar/Mengasosiasikan

Tahapan menalar atau mengasosiasikan bisa dikatakan sebagai tahapan utama


pendekatan santifik. Mengapa? Karena pada tahap inilah siswa dilatih untuk
menganalisis data dan informasi yang telah dikumpulkannya untuk dijadikan sebagai
bahan menjawab hipotesis atau menyelesaikan masalah. Tahap ini sangat
mengandalkan kelogisan dalam berpikir dan berargumen sesuai dengan bukti.

Makna menalar atau mengasosiasikan dalam konteks pembelajaran saintifik adalah


kegiatan memproses informasi untuk menemukan keterkaitan satu informasi dengan
informasi lainnya, menemukan pola dari keterkaitan informasi dan bahkan mengambil
berbagai kesimpulan dari pola yang ditemukan (Yani dan Ruhimat, 2018 : 121).

Pada tahap mengasosiasi, siswa dilatih untuk menganalisis dan mengevaluasi


pemecahan masalah. Pada tahap ini peserta didik akan berpikir pada tingkat analisis
dan evaluasi karena harus melakukan refleksi terhadap proses yang mereka lakukan.
(Machin, 2014 : 31 dalam Yani dan Ruhimat, 2018 : 122).

Dalam aktivitas berpikir kritis, terdapat aktivitas membaca kritis atau kajian kritis.
Membaca kritis adalah membaca yang melibatkan pemikiran kritis sedangkan kajian
kritis merupakan kegiatan membaca, menelaah, menganalisis sebuah bacaan untuk
memperoleh ide-ide, penjelasan, data-data pendukung yang mendukung pokok pikiran
utama, serta memberikan komentar terhadap isi bacaan secara keseluruhan dari sudut
pandang kepentingan pengkaji (Khusniati, M. dan Pamelasari S.D., 2014 : 169 dalam
Yani dan Ruhimat, 2018 : 122).

Pertanyaan yang muncul dalam kajian kritis adalah "apa?, mengapa?, dan bagaimana?"
Jawaban-jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut disamping dalam bentuk
jawaban yang konsepsional, prosedural, aplikasi, juga hubungan sebab akibat antar
variabel. Kalau contoh kasusnya adalah pencemaran sungai, maka pertanyaan yang
muncul misalnya "apa penyebab terjadi pencemaran sungai?", mengapa orang
membuang sampah ke sungai? dan bagaimana kaitan antara pencemaran sungai
dengan penegakkan hukum dan pola pikir masyarakat?"
Mengomunikasikan

Mengomunikasikan merupakan tahap terakhir dalam pembelajaran saintifik. Seteah


siswa mengamati, menyusun sejumlah pertanyaan, mengumpulkan informasi,
menalar/ mengasosisasikan, langkah berikutnya adalah mengomunikasikan. Pada
tahap ini, siswa menyampaikan hasil kerja mereka baik secara lisan maupun secara
tulisan.

Produk presentasi bisa dalam bentuk laporan, makalah, bahan tayang, atau produk
lainnya. Pada tahap presentasi, guru beserta siswa yang lainnya mengamati dan
memberikan kesempatan bagi siswa yang lainnya untuk menyampaikan tanggapan.
Dengan demikian, maka akan terjadi komunikasi, diskusi, dan interaksi antara guru
dengan siswa, dan antara dengan siswa.

Supaya proses mengomunikasikan dapat lebih menarik dan lebih mudah dipahami oleh
audience, maka dapat disajikan melalui bahan tayang yang menarik disertai dengan
media musik, gambar, video, tabel, grafik, peta pikiran (mind map) dengan warna
variatif dan relevan dengan bahan yang dipresentasikan.

HOTS

Dalam pembelajaran saintik, selain guru membimbimbing dan mengarahkan siswa


menjadi peserta didik, siswa pun digiring untuk melaksanakan pembelajaran HOTS
(Higher Order Thinking Skills). Pada pembelajaran HOTS, siswa bukan hanya diarahkan
untuk sekedar mengetahui (C-1), memahami (C-2), dan menerapkan (C-3) yang dikenal
dengan kognitif tingkat rendah atau LOTS (Lower Order Thinking Skills), tetapi
ditingkatkan kepada ranah menganalisis (C-4), mengevaluasi (C-5), dan mencipta (C-
6).

Pada pembelajaran HOTS, siswa didorong untuk untuk berpikir kritis dan dan
menyelesaikan masalah melalui pengerjaan tugas atau projek. Guru memberikan
rangsangan atau stimulant yang agar siswa terangsang untuk berpikir, menyampaikan
tanggapan, ide, atau bahkan solusi yang dari rangsangan yang diberikan. Rangsangan
bisa dalam bentuk sebuah kasus yang diambil dari berita, kisah yang dibuat oleh guru,
atau fenomena yang sedang terjadi di masyarakat.

Pembelajaran pun perlu dilakukan secara kontekstual agar berjalan lebih menarik. Agar
suasana pembelajaran lebih hidup dan menarik, guru membuka perlu membuka ruang
kepada siswa untuk berekspresi dan berpendapat agar siswa memiliki kepercayaan diri
untuk menyampaikan pendapat. Kemampuan berpikir kritis siswa juga dapat dilatih
melalui kegiatan eksperimen di laboratorium.

Sebelum menerapkan pembelajaran HOTS, terlebih dahulu guru menyusun Rencana


Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang akan mengimplementasikan HOTS. Kata-kata
Operasional (KKO) yang tercantum pada Indikator Ketercapaian Kompetensi (IPK) perlu
dicantumkan hal yang menghasilkan kompetensi siswa pada ranah C-4, C-5, atau C-6.
Walau demikian, tidak setiap Kompetensi Dasar (KD) dapat dijadikan sebagai HOTS.
Kalau dipaksakan menjadi HOTS, disamping menjadi rancu, juga akan mempersulit
guru dalam pembelajaran dan mengukur hasil belajarnya.
Beberapa model pembelajaran seperti yang saya sebut di atas disarankan kepada guru
untuk dilakukan untuk menciptakan HOTS dalam pembelajaran. Selain model-model
pembelajaran yang sudah banyak dikenal oleh guru, guru pun diharapkan untuk
menggunakan atau mengembangkan mode-model pembelajaran yang lebih variatif
agar pembelajaran lebih menyenangkan dan menantang.

Pembelajaran yang HOTS ditindaklanjuti dengan penilaian HOTS. Soal-soal yang


diberikan harus mengukur ketercapaian siswa pada ranah C-4, C-5, dan C-6,
disesuaikan dengan KKO yang telah ditetapkan pada RPP. Instrumen test yang
digunakan bisa dalam bentuk soal Pilihan Ganda (PG) atau uraian.

Soal PG dan HOTS yang berorientasi pada HOTS tentunya bukan sekedar menanyakan
sekedar menanyakan "apa?", "siapa?", "kapan?" dan "dimana?", tetapi menanyakan
"mengapa?" dan "bagaimana?". Berdasarkan kepada hal tersebut, maka guru harus
banyak membiasakan soal-soal HOTS kepada siswa, agar siswa terbiasa mengasah
nalar, meningkatkan kemampuan berpikir kritis, analitis, dan solutif.

Literasi

Literasi merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari pembelajaran saintifik.
Aktivitas mengamati, menanya, mengumpulkan informasi, menalar/ mengasosiasikan,
sampai kepada mengomunikasikan sarat dengan aktivitas literasi. Maksud literasi disini
bukan hanya literasi dalam konteks membaca dan menulis, tetapi juga dalam konteks
yang lain, seperti literasi teknologi, literasi informasi, literasi komunikasi, literasi sosial,
literasi lingkungan, literasi keuangan, literasi TIK literasi sains, literasi kesehatan, literasi
hukum, dan sebagainya. Aktivitas belajar siswa dari awal sampai dengan akhir penuh
dengan literasi.

Tujuan digulirkannya gerakan literasi di sekolah adalah untuk meningkatkan minat,


kuantitas, dan kualitas dalam berliterasi khususnya dalam membaca, sehingga
terbangun warga sekolah yang literat. Warga sekolah yang literat akan mendukung
terhadap terbentuknya sekolah sebagai organisasi pemelajar, karena hakikat dari
literasi adalah kemelekkan terhadap berbagai data atau informasi yang diperlukan
untuk menunjang kegiatan belajar atau kehidupannya sehari-hari.

Orang yang literat tentunya dapat memilih dan memilah informasi yang diterimanya.
Tidak langsung ditelan mentah-mentah, bahkan disebaran di grup-grup media sosial
(medsos), dan ternyata informasi tersebut hoaks dan fitnah. Sudah banyak orang yang
terjerat hukum akibat menyebar hoaks dan fitnah di medsos. Oleh karena itu, sebuah
pepatah bijak mengatakan "saring sebelum sharing." Hal tersebut bertujuan untuk
memimalisasi tersebarnya hoaks dan fitnah di medsos dan untuk mengantisipasi
dampak hukum dari perbuatan tersebut.

Walau literasi walau baru beberapa tahun ini digembar-gemborkan seiring dengan
implementasi K-13, secara substantif sebenarnya telah banyak diimplementasikan oleh
guru dalam pembelajaran. Bentuk aktivitas literasi dalam pembelajaran selain membaca
buku berbagai sumber belajar, juga memfasilitasi adanya curah pendapat
(brainstorming), dan diskusi antarsiswa sehingga bisa saling melengkapi dan
mencerahkan. Tugas guru hanya disamping sebagai sebagai salah satu sumber belajar,
juga menjadi fasilitator dan mengatur jalannya proses pembelajaran.
Pendidikan Karakter

Pembelajaran saintifik sangat kental dengan nilai-nilai pendidikan karakter. antara lain;
kerja sama, kerja keras, sungguh-sungguh, tekun, sabar, belajar bersosialisasi dan
berinteraksi dengan orang lain, saling menghormati, saling menghargai, komunikatif,
kreatif, inovatif, jujur, disiplin, tertib, tanggung jawab, dan sebagainya. Dengan
demikian, pada pembelajaran saintifik bukan hanya terjadi transfer ilmu pengetahuan
(transfer of knowledge) tetapi juga transformasi nilai (transformation of value).

Pembelajaran saintifik yang melatih siswa untuk melakukan penelitian walau pada
tataran yang sederhana mendorong siswa untuk mampu menginternalisasikan nilai-nilai
karakter positif dalam kehidupannya sehari-hari, karena untuk bisa sukses dalam
kehidupan bukan hanya bermodal kecerdasan intelektual (hard skill), tetapi juga perlu
softskill seperti kecerdasan spiritual, kecerdasan sosial, kecerdasan emosional, dan
kecerdasan ketahanpayahan.

Pada kondisi saat ini, dimana setiap orang disamping diarahkan untuk mampu bersaing
juga harus mampu bersanding, sinergi, dan berkolaborasi, karena pada manusia selain
sebagai individu juga sebagai makhluk sosial alias tidak dapat hidup sendiri, tetapi
memerlukan bantuan orang lain.

Orang yang hanya siap menang, tidak siap kalah, egois, dan sulit bekerja dalam
kelompok adalah gambaran orang yang memiliki karakter yang buruk. Dalam konteks
pembelajaran saintifik, biasanya dalam kelompok akan terlihat ada siswa yang dominan
dan mau menang sendiri, tetapi ada pula ada siswa yang pasif, hanya diam, tidak mau
menyampaikan gagasan dan kurang kreatif serta inovatif. Oleh karena itu, guru sekuat
tenaga agar mampu membimbing, mengarahkan, dan memberdayakan para siswanya
sesuai dengan gaya siswanya yang beragam.

Berdasarkan kepada uraian diatas, maka pembelajaran penerapan pendekatan saintifik,


HOTS, literasi, dan pendidikan karakter dalam pembelajaran merupakan satu kesatuan
dan saling melengkapi dalam rangka membentuk generasi emas Indonesia 2045 yang
cerdas dan berkarakter. Wallaahu a'lam.
PEMANFAATAN ICT DALAM PENDIDIKAN: KEBIJAKAN DAN STANDARISASI
MUTU

Oleh: Dr. H. Adie E. Yusuf, M.A.

Dosen Pasca Sarjana UNPAK dan Quality Management Representative


SEAMOLEC

1. Latar Belakang

Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) atau Information Communication and


Technology (ICT) di era globalisasi saat ini sudah menjadi kebutuhan yang mendasar
dalam mendukung efektifitas dan kualitas proses pendidikan. Isu-isu pendidikan di
Indonesia seperti kualitas dan relevansi pendidikan, akses dan ekuitas pendidikan,
rentang geografi, manajemen pendidikan, otonomi dan akuntabilitas, efisiensi dan
produktivitas, anggaran dan sustainabilitas, tidak akan dapat diatasi tanpa bantuan TIK.
Pendidikan berbasis TIK merupakan sarana interaksi manajemen dan administrasi
pendidikan, yang dapat dimanfaatkan baik oleh pendidik dan tenaga kependidikan
maupun peserta didik dalam meningkatkan kualitas, produktivitas, efektifitas dan akses
pendidikan.

Perkembangan TIK atau multimedia di Indonesia khususnya dalam dunia pendidikan


masih belum optimal dibandingkan dengan negara-negara tetangga sepertI Singapura,
Malaysia dan Thailand. Terdapat beberapa masalah dan kendala yang masih dirasakan
oleh masyarakat khususnya tenaga pendidik dan profesional pendidikan untuk
memanfaatkan TIK di berbagai jenjang pendidikan baik formal maupun non formal.
Permasalahan tersebut terutama berkaitan dengan kebijakan, standarisasi, infrastruktur
jaringan dan konten, kesiapan dan kultur sumber daya manusia di lingkungan
pendidikan. Oleh karena itu, berbagai upaya yang telah dan akan dilakukan baik
pemerintah maupun masyarakat dalam rangka pemanfaatan TIK dalam pendidikan
sangat urgen dan mutlak dilakukan secara terintegrasi, sistematis dan berkelanjutan.
Dalam makalah ini khususnya akan dibahas bagaimana kebijakan dan standarisasi mutu
penyelenggaraan pendididkan berbasis TIK. Apa standarisasi mutu yang disyaratkan
untuk penyelengganan pendidikan berbasis TIK yang efektif dan efisien serta
akuntabel.

2. Konsep Teknologi Informasi dan Komunikasi

Secara sederhana Elston (2007) membedakan antara Teknologi Informasi (IT) dan
Teknologi Informasi dan Komunikasi (ICT), yaitu “IT as the technology used to
managed information and ICT as the technology used to manage information and aid
communication”. Sementara itu, UNESCO (2003) mendefinisikan Teknologi Informasi
dan Komunikasi (TIK) sebagai berikut: “ICT generally relates to those technologies that
are used for accessing, gathering, manipulating and presenting or communicating
information. The technologies could include hardware e.g. computers and others
devices, software applications, and connectivity e.g. access to the internet, local
networking infrastructure, and video conferencing”.
Dalam praktek di lembaga-lembaga pendidikan baik formal maupun non formal, TIK
meliputi komputer, laptop, network komputer, printer, scanner, video/DVD player,
kamera digital, tape/CD, interactive whiteboards/smartboard. Dengan demikian, perlu
ditegaskan bahwa peran TIK adalah sebagai enabler atau alat untuk memungkinkan
terjadinya proses pendidikan dan pembelajaran. Jadi TIK merupakan sarana untuk
mencapai tujuan, bukan tujuan itu sendiri.

Morsund dalam UNESCO (2003) mengemukakan cakupan TIK secara rinci yang meliputi
sebagai berikut:

 piranti keras dan piranti lunak komputer serta fasilitas telekomunikasi


 mesin hitung dari kalkulator sampai super komputer
 perangkat proyektor / LCD
 LAN (local area network) dan WAN (wide area networks)
o Kamera digital, games komputer, CD, DVD, telepon selular, satelit
telekomunikasi dan serat optik
 mesin komputer dan robot

Sejatinya TIK memiliki potensi yang besar untuk dapat dimanfaatkan khususnya di
bidang pendidikan. Rencana cetak biru TIK Depdiknas, paling tidak menyebutkan tujuh
fungsi TIK dalam pendidikan , yaitu sebagai sumber belajar, alat bantu belajar, fasilitas
pembelajaran, standard kompetensi, sistem administrasi, pendukung keputusan, dan
sebagai infrastruktur.

UNESCO telah mengidentifikasi 4 (empat) tahap dalam sistem pendidikan yang


mengadopsi TIK, yaitu :

1) Tahap emerging; yaitu perguruan tinggi/sekolah berada pada tahap awal. Pendidik
dan tenaga kependidikan mulai menyadari, memilih/membeli, atau menerima donasi
untuk pengadaan sarana dan prasarana (supporting work performance)

2) Tahap applying; yaitu perguruan tinggi/sekolah memiliki pemahaman baru akan


kontribusi TIK. Pendidik dan tenaga kependidikanu menggunakan TIK dalam
manajemen sekolah dan kurikulum (enhancing traditional teaching)

3) Tahap infusing; yaitu melibatkan kurikulum dengan mengintegrasikan TIK.


Perguruan tinggi/sekolah mengembangkan teknologi berbasis komputer dalam lab,
kelas, dan administrasi. Pendidik dan tenaga kependidikan mengekplorasi melalui
pemahaman baru, dimana TIK mengubah produktivitas professional (facilitating
learning).

4) Tahap Transforming; yaitu perguruan tinggi/sekolah telah memanfatkan TIK dalam


seluruh organisasi. Pendidik dan tenaga kependidikan menciptakan lingkungan belajar
yang integratif dan kreatif (creating innovative learning environment) melalui TIK.

Dewasa ini pemanfaatan TIK dalam pendidikan dapat dilakukan melalui berbagai mode
yang dikenal dengan Pendidikan Terbuka dan Jarak Jauh (PTJJ). Bates (2005)
membedakan pendidikan terbuka, pendidikan jarak jauh dan pendidikan fleksibel
sebagai berikut: “Open learning is a primarily a goal. An essential characteristics of
open learning is the removal of barriers to learning. In distance learning students can
study in their own time, at any place and without face-to-face contact with a teacher.
Flexible learning is the provision of learning in a flexible manner”.

PTJJ merupakan alternatif model dalam proses pembelajaran yang memberikan


kesempatan yang luas bagi peserta didik untuk belajar “kapan saja, dimana saja dan
dengan siapa saja”.

3. Kebijakan Pemanfaatan TIK Pendidikan

3.1. Tantangan Pendidikan Nasional

Pendidikan nasional memiliki banyak tantangan baik dari sisi input, proses maupun
output. Beberapa tantangan pendidikan nasional tersebut adalah sebagai berikut:

 Banyak anak usia sekolah yang belum dapat menikmati pendidikan dasar 9
tahun. Anak usia 7 – 12 tahun masih dibawah 80% yang telah menikmati
pendidikan (APK SMP 85,22, dan APK SMA 52,2).
 Tidak meratanya penyebaran sarana dan prasarana pendidikan/sekolah sebagai
contoh: tidak semua sekolah memiliki telepon, apalagi koneksi internet.
 Tidak seragamnya dan rendahnya mutu pendidikan di setiap jenjang sekolah
yang ditunjukkan dengan masih rendahnya tingkat kelulusan Ujian Nasional dan
nilai Ujian Nasional.
 Rendahnya jumlah perguruan tinggi baik negeri maupun swasta ( PTN – 82 dan
PTS – 2.236 (Dikti,2003))
 Rendahnya daya tampung dan tingkat partisipasi kuliah (Daya tampung sekitar
3,2 juta mahasiswa dengan tingkat partisipasi 12.8%. Padahal, Filipina
mencapai 32% dan Thailand telah mencapai 30%.
 BAN sebagai penentu kualitas pendidikan menginformasikan bahwa hampir 50%
pendidikan tinggi berakreditasi C (46,35% program diploma dan 47.97% PTN
dan PTS).
 Rendahnya Tenaga Pengajar Non Formal (PLS). Kebutuhan guru PLS mencapai
angka 519.790 orang. Sementara yang ada hanya sebesar 113.622 orang atau
22%. Sehingga diperlukan 406.168 guru atau 78%. (PMPTK 2006).
 Rendahnya tenaga pendidik yang belum memenuhi syarat sertifikasi (dari
2.692.217 orang guru yang ada, 727.381 orang (27%) memenuhi syarat
sertifikasi, sisanya 1.964.836 (73%) belum memenuhi syarat sertifikasi.
 Berdasarkan survey HDI th 2005, Indonesia menduduki ranking 112 dari 175
negara (jauh berada di bawah Malaysia dan Bangladesh).
 Rendahnya tingkat pemanfaatan TIK di sekolah/kampus (Digital Divide), yang
ditunjukkan dengan kondisi dimana tidak semua sekolah mempunyai sarana
TIK. Sekalipun ada, jumlahnya terbatas dan pemanfaatannya masih belum
optimal.

3.2. Peran Strategis TIK untuk Pendidikan

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan


Nasional menyatakan pemanfaatan TIK dalam pendidikan melalui Pendidikan Jarak
Jauh bahwa “(1) Pendidikan jarak jauh diselenggarakan pada semua jalur, jenjang dan
jenis pendidikan, (2) Pendidikan jarak jauh berfungsi memberikan layanan pendidikan
kepada kelompok masyarakat yang tidak dapat mengikuti pendidikan secara tatap
muka atau reguler, (3) Pendidikan jarak jauh diselenggarakan dalam bentuk, modus
dan cakupan yang didukung oleh sarana dan layanan belajar serta sistem penilaian
yang menjamin mutu lulusan sesuai dengan standar nasional pendidikan. Jadi sistem
pendidikan jarak jauh telah menjadi suatu inovasi yang berarti dalam dunia pendidikan
nasional. Sistem pendidikan jarak jauh yang dimulai dengan generasi pertama
korespondensi (cetak), generasi kedua multimedia (Audio, VCD, DVD), generasi ketiga
pembelajaran jarak jauh (telekonferensi/TVe), generasi keempat pembelajaran fleksibel
(multimedia interaktif) dan generasi kelima e-Learning (web based course), akhirnya
generasi keenam pembelajaran mobile (koneksi nirkabel/www).

Seperti tercantum secara eksplisit dalam Rencana Strategis Departemen Pendidikan


Nasional 2005 – 2009, terlihat jelas bahwa TIK memainkan peran penting dalam
menunjang tiga pilar kebijakan pendidikan nasional, yaitu:(1) perluasan dan
pemerataan akses; (2) peningkatan mutu, relevansi dan daya saing; dan (3) penguatan
tata kelola, akuntabilitas dan citra publik pendidikan, untuk mewujudkan pendidikan
yang bermutu, akuntabel, murah, merata dan terjangkau rakyat banyak.

Dalam Renstra Depdiknas 2005 – 2009 dinyatakan peran strategis TIK untuk pilar
pertama, yaitu perluasan dan pemerataan akses pendidikan, diprioritaskan sebagai
media pembelajaran jarak jauh. Sedangkan untuk pilar kedua, peningkatan mutu,
relevansi dan daya saing, peran TIK diprioritaskan untuk penerapan dalam
pendidikan/proses pembelajaran. Terakhir, untuk penguatan tata kelola,
akuntabilitas dan citra publik, peran TIK diprioritaskan untuk sistem informasi
manajemen secara terintegrasi.

3.3. Infrastruktur Jaringan dan Konten TIK Depdiknas

Depdiknas telah memiliki infrastruktur backbone teknologi informasi dan komunikasi


yang cukup besar dan siap untuk dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya baik untuk
kebutuhan pendidikan, penelitian, maupun adminisitrasi.

Jardiknas dikategorikan kedalam tiga zona, yaitu:

 Zona Personal/Komunitas; yang diperuntukkan sebagai akses personal bagi


guru, dosen, dan siswa.
 Zona Perguruan Tinggi; yang diperuntukkan bagi seluruh Perguruan Tinggi dan
Kopertis; dan
 Zona Kantor Dinas/UPT/Sekolah; diperuntukkan bagi sekolah, Dinas Pendidikan
Kab/Kota, Dinas Pendidikan Provinsi, dan Unit-unit Kerja Depdiknas.

Infrastruktur ini akan diisi oleh konten yang dikelompokkan dalam dua ketegori yaitu:

 Kontent e-learning; konten e-learning dapat meliputi konten yang


dikembangkan oleh Pustekkom, Ditdikdasmen, Ditjen Dikti, Setjen, atau unit-unit
lain.
 Konten e-administration; e-content administration meliputi online transaction
proccessing (OLTP), data center warehouse (DCW) dan online analysis
processing (OLAP)
4. Pembelajaran Berbasis TIK (e_Learning)

Cisco (2001) menjelaskan filosofis e-learning sebagai berikut. Pertama, e-learning


merupakan penyampaian informasi, komunikasi, pendidikan, pelatihan secara on-line.
Kedua, e-learning menyediakan seperangkat alat yang dapat memperkaya nilai belajar
secara konvensional (model belajar konvensional, kajian terhadap buku teks, CD-ROM,
dan pelatihan berbasis komputer), sehingga dapat menjawab tantangan perkembangan
globalisasi. Ketiga, e-learning tidak berarti menggantikan model belajar konvensional di
dalam kelas, tetapi memperkuat model belajar tersebut melalui pengayaan content dan
pengembangan teknologi pendidikan. Keempat, Kapasitas peserta didik amat bervariasi
tergantung pada bentuk isi dan cara penyampaiannya. Makin baik keselarasan antar
konten dan alat penyampai dengan gaya belajar, maka akan lebih baik kapasitas
peserta didik yang pada gilirannya akan memberi hasil yang lebih baik.

Pembelajaran berbasis TIK atau e-Learning adalah sumber pembelajaran baik secara
formal maupun informal yang dilakukan melalui media elektronik, seperti Internet,
Intranet, CDROM, video tape, DVD, TV, Handphone, dan PDA

Pola-pola seperti di atas semua berbeda satu dengan yang lain. E-learning lebih luas
dibandingkan dengan online learning. Online learning hanya menggunakan
Internet/intranet/LAN/WAN tidak termasuk menggunakan CD ROM.

Dalam pembelajaran berbasis TIK terdapat perbedaan komunikasi antara pembelajaran


langsung (syncronous) dan tidak langsung (ansyncronous), dengan sebuah terminologi
untuk mendeskripsikan bagaimana dan kapan pembelajaran berlangsung.

4.1. Pembelajaran Langsung (Syncronous Learning)

Dalam pembelajaran langsung, proses belajar dan mengajar berlangsung dalam waktu
yang sama (real time) walaupun pendidik dan para peserta didik secara fisik berada
pada tempat yang berbeda satu sama lain. Sebagai contoh yaitu:

1. Mendengarkan siaran Radio.

2. Menonton siaran Televisi

3. Konferensi audio/video.

4. Telepon Internet.

5. Chatting

6. Siaran langsung Satelite dua arah.

4.2. Pembelajaran Tidak Langsung (Ansyncronous Learning)

Dalam pembelajaran tidak langsung, proses belajar dan mengajar berlangsung dengan
adanya delay waktu (waktu yang berbeda) dan pendidik dan peserta didik secara
fisik berada pada tempat yang berbeda. Sebagai contoh yaitu:
1. Belajar sendiri menggunakan internet atau CD-Rom.

2. Kelas belajar menggunakan video tape.

3. Presentasi web atau seminar menggunakan audio/video.

4. Rekaman suara.

5. Mentoring tanya jawab.

6. Membaca pesan e-mail.

7. Mengakses content online

8. Forum diskusi

Karakteristik dari pembelajaran tidak langsung (ansyncronous) adalah pendidk harus


mempersiapkan terlebih dahulu materi belajar sebelum proses belajar mengajar
berlangsung. Peserta didik bebas menentukan kapan akan mempelajari materi belajar
tersebut.

Contoh TIK yang digunakan dalam komunikasi pembelajaran secara syncronous dan
asyncronous sebagai berikut:

Asyncronous Learning Syncronous Learning


Fax Telephone
E-Mail Screen Sharing
Knowledge Base Chat
Newsgroups Web conferences
Computer Based Training Online Seminar
Quick Reference Guide Compressed video classes

Sedangkan karakteristik e-learning dapat dikemukakan sebagai berikut:

Karakteristik Penjelasan
Non-linearity Pemakai (user) bebas untuk mengakses (browse)
tentang objek pembelajaran dan terdapat fasilitas
untuk memberikan persyaratan tergantung pada
pengetahuan pemakai.
Self Managing Pemakai dapat mengelola sendiri
prosespembelajaran dengan mengikuti struktur
yangtelah dibuat.
Feedback-Interactivity Pembelajaran dapat dilakukan dengan
interaktifdan disediakan feedback pada
prosespembelajaran.
5. Standarisasi Pendidikan Berbasis TIK dari SEAMOLEC

Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003, pasal 35,


menyatakan bahwa Standar Nasional Pendidikan (SNP) terdiri atas standar isi, proses,
kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan,
pembiayaan dan penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana dan
berkala. Standarisasi pendidikan mutlak diperlukan untuk menjamin mutu proses dan
hasil pendidikan. Pada dasarnya SNP merupakan persyaratan minimum yang ditetapkan
UU, namun secara teknis diperlukan perumusan standar mutu dalam sistem pendidikan
seperti Sistem Manajemen Mutu – ISO 9001:2008 / IWA 2.

McGee, Carmean dan Jafari (2005) menyatakan pentingnya standard dan spesifikasi
dalam pendidikan berbasis TIK, karena memungkinkan terjadinya pembelajaran sebagai
berikut: 1) Interoperability, sistem berinteraksi dengan sistem lain dalam organisasi, 2)
Reusability, sumber / objek belajar mudah digunakan dalam kurikulum, latat, profil
peserta didik yang berbeda, 3) Manageability, sistem telusur informasi tentang peserta
didik dan konten, 4) Accessibility, semua peserta didik memiliki kemudahan menerima
konten setiap saat, dan 5) Sustainability, teknologi terus berkembang sesuai standar
untuk menghindari keusangan.

1. Simpulan dan Saran

Pemanfaatan tekonologi informasi dan komunikasi dalam pendidikan mutlak dilakukan


untuk menjawab permasalahan di bidang pendidikan terutama akses dan pemerataan
serta mutu pendidikan. Kebijakan dan standarisasi mutu pendidikan menjadi pondasi
yang harus dibangun untuk mendukung pendidikan berbasis TIK yang efektif dan
efisien. Implementasi pendidikan berbasis TIK dapat dilakukan melalui model hybrid
(dual system) yang mengkombinasikan pembelajaran klasikal (face 2 face) dengan
belajar terbuka dan jarak jauh (on line). Sedangkan pembelajaran berbasis TIK dapat
dilaksanakan secara lansung (syncronous learning) dan tidak langsung (asyncronous
Learning). Hal ini tergantung dengan kondisi teknologi dan jaringan yang tersedia.
Standarisasi dalam pemanfaatan TIK dalam pendidikan sangat penting untuk menjamin
mutu proses dan hasil pendidikan.

Beberapa saran yang dapat dikemukakan untuk mendukung keberhasilan


penyelenggaraan pendidikan berbasis TIK sebagai berikut.

1. Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dalam pendidikan baik di


sekolah atau perguruan tinggi menjadi hal mutlak mengingat kondisi
permasalahan pendidikan yang makin kompleks. Pendidikan berbasis TIK hanya
akan berhasil apabila dikelola dan ditangani dengan terencana, sistematis dan
terintegrasi.
2. Perencanaan dalam pemanfaatan TIK dalam pendidikan yang integratif meliputi
kebijakan, standarisasi mutu, infrastruktur jaringan dan konten, kesiapan dan
kultur SDM pendidikan menjadi penting untuk ditata dan dikelola dengan efektif
dan efisien.
3. Penyelenggaraan pendidikan berbasis TIK melalui pendidikan terbuka dan jarak
jauh (e-Learning), membutuhkan dukungan dari semua pihak khususnya
pemerintah, swasta serta masyarakat untuk mengalokasikan anggaran dan
investasi pendidikan yang memadai.
4. Standarisasi mutu penyelenggaran pendidikan berbasis TIK perlu ditindaklanjuti
dengan standarisasi konten untuk menjamin kualitas, aksesibilitas dan
akuntabilitas program pendidikan berbasis TIK.
PEMBELAJARAN ABAD 21 DAN KURIKULUM 2013

Pada kurikulum 2013 diharapkan dapat diimplementasikan pembelajaran abad 21.


Hal ini untuk menyikapi tuntutan zaman yang semakin kompetitif. Adapun
pembelajaran abad 21 mencerminkan empat hal.
1. Critical Thinking and Problem Solving
2. Creativity and Innovation
3. Communication
4. Collaboration

1. Communication
Pada karakter ini, peserta didik dituntut untuk memahami, mengelola, dan menciptakan
komunikasi yang efektif dalam berbagai bentuk dan isi secara lisan, tulisan, dan
multimedia. Peserta didik diberikan kesempatan menggunakan kemampuannya untuk
mengutarakan ide-idenya, baik itu pada saat berdiskusi dengan teman-temannya
maupun ketika menyelesaikan masalah dari pendidiknya.

Abad 21 adalah abad digital. Komunikasi dilakukan melewati batas wilayah negara
dengan menggunakan perangkat teknologi yang semakin canggih. Internet sangat
membantu manusia dalam berkomunikasi. Saat ini begitu banyak media sosial yang
digunakan sebagai sarana untuk berkomunikasi. Melalui smartphone yang dimilikinya,
dalam hitungan detik, manusia dapat dengan mudah terhubung ke seluruh dunia.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian komunikasi adalah pengiriman dan
penerimaan pesan atau berita dari dua orang atau lebih agar pesan yang dimaksud
dapat dipahami. Sedangkan Wikipedia dinyatakan bahwa komunikasi adalah “suatu
proses dimana seseorang atau beberapa orang, kelompok, organisasi, dan masyarakat
menciptakan, dan menggunakan informasi agar terhubung dengan lingkungan dan
orang lain”.

Komunikasi tidak lepas dari adanya interaksi antara dua pihak. Komunikasi memerlukan
seni, harus tahu dengan siapa berkomunikasi, kapan waktu yang tepat untuk
berkomunikasi, dan bagaimana cara berkomunikasi yang baik. Komunikasi bisa
dilakukan baik secara lisan, tulisan, atau melalui simbol yang dipahami oleh pihak-pihak
yang berkomunikasi. Komunikasi dilakukan pada lingkungan yang beragam, mulai di
rumah, sekolah, dan masyarakat. Komunikasi bisa menjadi sarana untuk semakin
merekatkan hubungan antar manusia, tetapi sebaliknya bisa menjadi sumber masalah
ketika terjadi miskomunikasi atau komunikasi kurang berjalan dengan baik. Penguasaan
bahasa menjadi sangat penting dalam berkomunikasi. Komunikasi yang berjalan
dengan baik tidak lepas dari adanya penguasaan bahasa yang baik antara komunikator
dan komunikan.

Kegiatan pembelajaran merupakan sarana yang sangat strategis untuk melatih dan
meningkatkan kemampuan komunikasi siswa, baik komunikasi antara siswa dengan
guru, maupun komunikasi antarsesama siswa. Ketika siswa merespon penjelasan guru,
bertanya, menjawab pertanyaan, atau menyampaikan pendapat, hal tersebut adalah
merupakan sebuah komunikasi.

2. Collaboration
Pada karakter ini, peserta didik menunjukkan kemampuannya dalam kerjasama
berkelompok dan kepemimpinan, beradaptasi dalam berbagai peran dan
tanggungjawab, bekerja secara produktif dengan yang lain, menempatkan empati pada
tempatnya, menghormati perspektif berbeda. Peserta didik juga menjalankan
tanggungjawab pribadi dan fleksibitas secara pribadi, pada tempat kerja, dan hubungan
masyarakat, menetapkan dan mencapai standar dan tujuan yang tinggi untuk diri
sendiri dan orang lain, memaklumi kerancuan.

Pembelajaran secara berkelompok, kooperatif melatih siswa untuk berkolaborasi dan


bekerjasama. Hal ini juga untuk menanamkan kemampuan bersosialisasi dan
mengendalikan ego serta emosi. Dengan demikian, melalui kolaborasi akan tercipta
kebersamaan, rasa memiliki, tanggung jawab, dan kepedulian antaranggota.

Sukses bukan hanya dimaknai sebagai sukses individu, tetapi juga sukses bersama,
karena pada dasarnya manusia disamping sebagai seorang individu, juga makhluk
sosial. Saat ini banyak orang yang cerdas secara intelektual, tetapi kurang mampu
bekerja dalam tim, kurang mampu mengendalikan emosi, dan memiliki ego yang tinggi.
Hal ini tentunya akan menghambat jalan menuju kesuksesannya, karena menurut hasil
penelitian Harvard University, kesuksesan seseorang ditentukan oleh 20% hard skill dan
80% soft skiil. Kolaborasi merupakan gambaran seseorang yang memiliki soft skill yang
matang.

3. Critical Thinking and Problem Solving


Pada karakter ini, peserta didik berusaha untuk memberikan penalaran yang masuk
akal dalam memahami dan membuat pilihan yang rumit, memahami interkoneksi antara
sistem. Peserta didik juga menggunakan kemampuan yang dimilikinya untuk berusaha
menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya dengan mandiri, peserta didik juga
memiliki kemampuan untuk menyusun dan mengungkapkan, menganalisa, dan
menyelesaikan masalah.

Kegiatan pembelajaran dirancang untuk mewujudkan hal tersebut melalui penerapan


pendekatan saintifik (5M), pembelajaran berbasis masalah, penyelesaian masalah, dan
pembelajaran berbasis projek.

Guru jangan risih atau merasa terganggu ketika ada siswa yang kritis, banyak bertanya,
dan sering mengeluarkan pendapat. Hal tersebut sebagai wujud rasa ingin tahunya
yang tinggi. Hal yang perlu dilakukan guru adalah memberikan kesempatan secara
bebas dan bertanggung bertanggung jawab kepada setiap siswa untuk bertanya dan
mengemukakan pendapat. Guru mengajak siswa untuk menyimpulkan dan membuat
refleksi bersama-sama. Pertanyaan-pertanyaan pada level HOTS dan jawaban terbuka
pun sebagai bentuk mengakomodasi kemampuan berpikir kritis siswa.

4. Creativity and Innovation


Pada karakter ini, peserta didik memiliki kemampuan untuk mengembangkan,
melaksanakan, dan menyampaikan gagasan-gagasan baru kepada yang lain, bersikap
terbuka dan responsif terhadap perspektif baru dan berbeda.

Guru perlu membuka ruang kepada siswa untuk mengembangkan kreativitasnya.


Kembangkan budaya apresiasi terhadap sekecil apapun peran atau prestasi siswa. Hal
ini bertujuan untuk memotivasi siswa untuk terus meningkatkan prestasinya. Tentu kita
ingat dengan Pak Tino Sidin, yang mengisi acara menggambar atau melukis di TVRI
sekian tahun silam. Beliau selalu berkata “bagus” terhadap apapun kondisi hasil karya
anak-anak didiknya. Hal tersebut perlu dicontoh oleh guru-guru masa kini agar siswa
merasa dihargai.

Peran guru hanya sebagai fasilitator dan membimbing setiap siswa dalam belajar,
karena pada dasarnya setiap siswa adalah unik. Hal ini sesuai dengan yang
disampaikan oleh Howard Gardner bahwa manusia memiliki kecerdasan majemuk. Ada
delapan jenis kecerdasan majemuk, yaitu; (1) kecerdasan matematika-logika, (2)
kecerdasan bahasa, (3) kecerdasan musikal, (4) kecerdasan kinestetis, (5) kecerdasan
visual-spasial, (6) kecerdasan intrapersonal, (7) kecerdasan interpersonal, dan (8)
kecerdasan naturalis.
PEMBELAJARAN ABAD 21

Lalu bagaimana peran sekolah? Peranan sekolah dalam penerapan pembelajaran Abad
21 antara lain: a) Meningkatkan kebijakan & rencana sekolah untuk mengembangkan
keterampilan baru; b) Mengembangkan arahan baru kurikulum; c) Melaksanakan
strategi pengajaran yang baru dan relevan, dan d) Membentuk kemitraan sekolah di
tingkat regional, nasional dan internasional

Bagaimana ciri guru Abad 21 ? Menurut Ragwan Alaydrus, S.Psi setidaknya ada 7
Karakteristik Guru Abad 21
1. Life-long learner. Pembelajar seumur hidup. Guru perlu meng-upgrade terus
pengetahuannya dengan banyak membaca serta berdiskusi dengan pengajar lain atau
bertanya pada para ahli. Tak pernah ada kata puas dengan pengetahuan yang ada,
karena zaman terus berubah dan guru wajib up to date agar dapat mendampingi siswa
berdasarkan kebutuhan mereka.
2. Kreatif dan inovatif. Siswa yang kreatif lahir dari guru yang kreatif dan inovatif. Guru
diharap mampu memanfaatkan variasi sumber belajar untuk menyusun kegiatan di
dalam kelas.
3. Mengoptimalkan teknologi. Salah satu ciri dari model pembelajaran abad 21
adalah blended learning, gabungan antara metode tatap muka tradisional dan
penggunaan digital dan online media. Pada pembelajaran abad 21, teknologi bukan
sesuatu yang sifatnya additional, bahkan wajib.
4. Reflektif. Guru yang reflektif adalah guru yang mampu menggunakan penilaian hasil
belajar untuk meningkatkan kualitas mengajarnya. Guru yang reflektif mengetahui
kapan strategi mengajarnya kurang optimal untuk membantu siswa mencapai
keberhasilan belajar. Ada berapa guru yang tak pernah peka bahkan setelah mengajar
bertahun-tahun bahwa pendekatannya tak cocok dengan gaya belajar siswa. Guru yang
reflektif mampu mengoreksi pendekatannya agar cocok dengan kebutuhan siswa,
bukan malah terus menyalahkan kemampuan siswa dalam menyerap pembelajaran
5. Kolaboratif. Ini adalah salah satu keunikan pembelajaran abad 21. Guru dapat
berkolaborasi dengan siswa dalam pembelajaran. Selalu ada mutual respect dan
kehangatan sehingga pembelajaran akan lebih menyenangkan. Selain itu guru juga
membangun kolaborasi dengan orang tua melalui komunikasi aktif dalam memantau
perkembangan anak.
6. Menerapkan student centered. Ini adalah salah satu kunci dalam pembelajaran
kelas kekinian. Dalam hal ini, siswa memiliki peran aktif dalam pembelajaran sehingga
guru hanya bertindak sebagai fasilitator. Karenanya, dalam kelas abad 21 metode
ceramah tak lagi populer untuk diterapkan karena lebih banyak mengandalkan
komunikasi satu arah antara guru dan siswa.
7. Menerapkan pendekatan diferensiasi. Dalam menerapkan pendekatan ini, guru akan
mendesain kelas berdasarkan gaya belajar siswa. pengelompokkan siswa di dalam kelas
juga berdasarkan minat serta kemampuannya. Dalam melakukan penilaian guru
menerapkan formative assessment dengan menilai siswa secara berkala berdasarkan
performanya (tak hanya tes tulis). Tak hanya itu, guru bersama siswa berusaha untuk
mengatur kelas agar menjadi lingkungan yang aman dan suportif untuk pembelajaran.

Lalu bagaimana kompetensi siswa pada abad 21 ? Setidaknya ada empat yang harus
dimiliki oleh generasi abad 21, yaitu: ways of thingking, ways of working, tools for
working and skills for living in the word. Bagaimana seorang pendidik harus mendesain
pembelajaran yang akan menghantarkan peserta didik memenuhi kebutuhan abad 21.
Berikut kemampuan abad 21 yang harus dimiliki peserta didik, yaitu:
1. Way of thinking, cara berfikir yaitu beberapa kemampuan berfikir yang harus dikuasai
peserta didik untuk menghadapi dunia abad 21. Kemampuan berfikir tersebut
diantaranya: kreatif, berfikir kritis, pemecahan masalah, pengambilan keputusan dan
pembelajar.
2. Ways of working. kemampuan bagaimana mereka harus bekerja. dengan dunia yang
global dan dunia digital. beberapa kemampuan yang harus dikuasai peserta didik
adalah communication and collaboration. Generasi abad 21 harus mampu
berkomunikasi dengan baik, dengan menggunakan berbagai metode dan strategi
komunikasi. Juga harus mampu berkolaborasi dan bekerja sama dengan individu
maupun komunitas dan jaringan. Jaringan komunikasi dan kerjasama ini
memamfaatkan berbagai cara, metode dan strategi berbasis ICT. Bagaimana seseorang
harus mampu bekerja secara bersama dengan kemampuan yang berbeda-beda.
3. Tools for working. Seseorang harus memiliki dan menguasai alat untuk bekerja.
Penguasaan terhadap Information and communications technology (ICT) and
information literacy merupakan sebuah keharusan. Tanpa ICT dan sumber informasi
yang berbasis segala sumber akan sulit seseorang mengembangkan pekerjaannya.
4. Skills for living in the world. kemampuan untuk menjalani kehidupan di abad 21, yaitu:
Citizenship, life and career, and personal and social responsibility. Bagaimana peserta
didik harus hidup sebagai warga negara, kehidupan dan karir, dan tanggung jawab
pribadi dan sosial.

Melalui pembelajaran abad 21, setidanya ada dua keterampilan inti yang harus
dkembangkan oleh para para guru yakni: a) Kemampuan menggunakan pengetahuan
matematika, Bahasa Inggris, Ilmu Pengetahuan, Kewarganegaraan dan lainnya untuk
menjawab tantangan dunia nyata; dan b) Berpikir kritis dan menyelesaikan masalah,
komunikasi dan kerjasama, kreatifitas, kemandirian, dan lainnya.
Materi berikut merupakan oleh-oleh (rangkuman materi) Workshop Pengembangan
Model Pembelajaran berbasis Higher Order Thingking Skills (HOTS) Jakarta, 16-20 dan
24-28 Juli 2018 diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan

LANGKAH-LANGKAH MENYUSUN DESAIN PEMBELAJARAN BERORIENTASI HOTS DAN


CONTOH RPP BERORIENTASI HOTS
Guru sebaiknya menyajikan pembelajaran yang dapat memotivasi peserta didik untuk
berpikir
kritis, logis, dan sistematis sesuai dengan karakteristik Bahasa Indonesia, serta memiliki
kemampuan berpikir tingkat tinggi (higher order thinking skills atau HOTS).
Anderson mengategorikan tingkat berpikir seperti dalam tabel Berikut.
Tabel Deskripsi Kemampuan Kognitif

KATEGORI DESKRIPSI
Mengingat Menyajikan fakta dari ingatan (mengenai fakta
(Remember) penting/recognizing; memanggil/recalling/retrieving)
Memaknai materi yang dipelajari dengan kata
kata/kalimat sendiri (interpretasi/interpreting, memberi
contoh/illustrating,
mengkalsifikasi/classifying/categorizing,
Memahami
meringkas/summarizing/abstracting,
(Understand)
menyimpulkan/concluding/ektrapolating/interpolating,
predicting,
membandingkan/comparing/contrasting/mapping/mat
ching, menjelaskan/constructing model e.g. cause-effect)
Melaksanakan (executing), menggunakan prosedur
Menerapkan
(implementing) untuk suatu situasi baru (melakukan,
(Apply)
menerapkan)
Mengelompokkan informasi/fenomena dalam bagian
bagian penting
Menganalisis (differentiating/discriminating/focusing/selecting),
(Analyze) menentukan keterkaitan antar komponen
(organizing/finding
coherence/integrating/outlining/structuring),
menemukan pikiran pokok/bias/nilai penulis
(attributing/deconstructing)
Menentukan apakah kesimpulan sesuai dengan
uraian/fakta
Mengevaluasi
(checking/coordinating/detecting/monitoring/testing),
(Evaluate)
menilai metode mana yang paling sesuai untuk
menyelesaikan masalah (critiquing/judging)
Mengembangkan hipotesis (generating), merencanakan
Mencipta
penelitian (planning/designing), mengembangkan
(Create)
produk baru (producing/constructing)

Berdasarkan tingkat berpikir yang tercantum dalam tabel tersebut, ada kemampuan
berpikir yang lebih tinggi (higher order thinking skills = HOTS) yang harus dikuasai oleh
peserta didik yaitu kemampuan untuk menganalisis, mengevaluasi, dan mencipta. Oleh
sebab itu, dalam pembelajaran Anda dianjurkan untuk mendorong peserta didik
memiliki kemampuan tersebut dengan menyajikan pembelajaran yang variatif serta
pemberian materi yang “tidak biasa” .

Langkah-langkah menyusun desain pembelajaran berorientasi HOTS antara lain sebagai


berikut.
A. Perencanaan pembelajaran

1. Analisis SKL-KI-KD-IPK
a. Kata kerja operasional pendukung analisis SKL-KI-KD-IPK
b. Dikembangkan sesuai KD, KD menjadi target minimal.
c. Jika ada KD yang telah dipelajari KD sebelumnya…maka bisa langsung di KD
bersangkutan, dapat dimasukkan pada kegiatan awal saja pembelajaran.

2. Menentukan keterampilan proses kognitif/berpikir dan dimensi pengetahuan


(Anderson and Krathwhols 2001)
3. Menentukan tujuan pembelajaran
4. Integrasi Penguatan Pendidikan Karakter dan Literasi
5. Penentuan model pembelajaran (D/I, PJBL, PBL, dan sebagainya sesuai karakter
mata pelajaran).
B. Pelaksanaan pembelajaran
1. Desain kegiatan awal pembelajaran
2. Desain kegiatan inti pembelajaran
3. Desain kegiatan penutup pembelajaran
C. Penilaian dan Evaluasi Pembelajaran

1. Pengembangan kisi-kisi penilaian


a. Menuntun guru mengembangkan kisi-kisi
b. Mengembangkan indikator penilaian sesuai SKL-KI-KD-IPK
c. Matrik perkembangan materi dengan model pembelajaran

2. Pengembangan penilaian
3. Evaluasi pembelajaran
Contoh kegiatan pembelajaran untuk mendorong peserta didik memiliki keterampilan
berpikir tingkat tinggi (HOTS) mata pelajaran bahasa Indonesia

Contoh kegiatan pembelajaran KD 3.4 Menganalisis struktur dan kebahasaan teks


eksplanasi. dan KD 4.4 Memproduksi teks eksplanasi secara lisan atau tulis dengan
memerhatikan struktur dan kebahasaan agar peserta didik memiliki keterampilan
berpikir tingkat tinggi (HOTS)
a. Peserta didik mengumpulkan informasi melalui telaah model 1 teks dengan cara
menelaah dalam bentuk tertulis dan 1 teks eksplanasi melalui tayangan video peristiwa
eksplanasi.
b. Peserta didik melakukan telaah isi teks eksplanasi berdasarkan komponen-komponen
strukturnya (identifikasi fenomena, rangkaian peristiwa, ulasan)
c. Peserta didik melakukan pengelompokan struktur teks eksplanasi tersebut atas
komponen-komponen strukturnya (identifikasi fenomena, rangkaian peristiwa, ulasan)
d. Peserta didik menganalisis kebahasaan teks eksplanasi untuk menemukan kata
bermakna denotatif, konjungsi kronologis/kausalitas, kata teknis, kata sifat, dan kata
keterangan waktu dalam teks eksplanasi.
f. Peserta didik menentukan topik teks eksplanasi dengan peta pikiran (mindmap) atau
jaring laba-laba (spider-web).
g. Peserta didik menyusun kerangka teks eksplanasi.
h. Peserta didik mengumpulkan informasi yang sesuai dengan topik yang telah dipilih.
i. Peserta didik menyusun teks eksplanasi berdasarkan kerangka yang telah disusun
dengan memerhatikan struktur teks, isi, dan kebahasaan serta PUEBI.

Anda mungkin juga menyukai