Anda di halaman 1dari 20

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penelitian Terdahulu

1. Anggit : 2018

Judul : Perbandingan Desain Struktur Beton Prategang Antara Balok


Sederhana Dengan Balok Menerus Pada Struktur Atas Jembatan. Jembatan yang
dikaji merupakan jembatan Sambiroto yang memiliki bentang 60 m dengan
menggunakan gelagar PCI girder. Jembatan tersebut didesain menggunakan
struktr balok struktur balok sederhana yang terdiri dari 2 bentang, masing-masing
sepanjang 30 m. Dalam tugas akhir ini akan dibandingkan struktur atas Jembatan
Sambiroto dengan menggunakan struktur balok sederhana dan struktur balok
menerus.

Kedua desain menggunakan bentang 30 m dengan spesifikasi material dan


penampang yang sama. Gelagar yang digunakan adalah gelagar prategang dengan
penampang “I” dengan tinggi 1,7 m mutu beton K-500 dari PT. Wijaya Karya
Beton. Peraturan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Pembebanan Untuk
Jembatan (SNI-1725- 2016), Perencanaan Struktur Beton Untuk Jembatan
(RSNIT-12-2004) dan Standar Perencanaan Gempa untuk Jembatan (SNI 2833-
1008). Analisis struktur jembatan menggunakan SAP2000 V.11 dan Microsoft
Excel 2013.

Dengan menggunakan PCI-Girder pada jembatan bentang 30 m, desain


balok menerus lebih hemat dibandingkan dengan balok sederhana dalam hal
penggunaan material strand, tetapi lebih boros dalam penggunaan tulangan geser.
Balok sederhana menggunakan 56 buah strands dan 1060 tulangan geser
sedangkan balok menerus menggunakan 52 buah strands dan 1160 tulangan geser.

2. Lubis : 2017

Judul : Analisa Perbandingan Kelayakan Pada Gelagar Jembatan Dengan


Menggunakan Precast U Dan I / Jurnal Teknik Sipil USU 6.1 / 2017 . Lubis,
Firmansyah Parlindungan . dalam penelitian ini obyek yang dibandingkan
merupakan gelagar Prestressed Concrete U girder dengan Prestressed Concrete I
Girder. Dasar-dasar perencanaan yang digunakan dalam penelitian ini ialah :
Perencanaan Struktur Beton untuk Jembatan (SNI T-12-2004), Pembebanan untuk
Jembatan (SNI T-02-205), Bridge Management System (BMS), AASHTO 1992
dan Binamarga 2011. Penelitian dilakukan dengan memberi beban pada jembatan
bentang 40 meter dengan beban sendiri, beban mati tambahan, beban lajur “D”,
dan beban lajur “T”. Hasil dari penelitian ini menunjukkan jembatan U girder
memiliki tingkat keefektifan yang lebih tinggi dibandingkan jembatan I girder
pada lendutan, reaksi perletakkan, gaya dalam, tegangan, dan kehilangan gaya
prategang. Namun volume pekerjaan pada jembatan U girder lebih besar 1,66 %
dibandingkan dengan jembatan U Girder

2.2 Jembatan

Pengertian jembatan menurut Ir.Agus Manu. Dipl.HEng.MIHT. jembatan


adalah struktur yang memungkinkan route transportasi melintasi sungai, danau,
kali, jalan raya, jalan kereta api, dan alain-lain. (Agus : 1995)

Terdapat bermacam-macam jenis jembatan menurtut strukturnya. Seperti


Jembatan beton bertulang biasa, Jembatan komposit, jembatan prategang,
jembatan cable stayed, Jembatan Suspension.

2.2.1 Jembatan Beton Sederhana

Jembatan ini didesain dengan struktur beton bertulang sesuai standard yang ada.
Material yang dipakai berupa beton segar dengan tulangan sebagai pengaku pada
strukturnya. Umumnya perencanaan gelagar dengan beton betulang biasa
menggunakan perencanaan gelagar/balok T. Untuk gambar Jembatan Beton
gelagar T dapat dilihat pada gambar di bawah ini :
Gambar Jembatan Balok T
Sumber http://mrifqiaufa.blogspot.com/2019/03/perancangan-struktur-
jembatan.html
Diakses pada 13-12-2019

2.2.2 Jembatan Prategang


Merupakan jembatan yang memanfaatkan konsep prategang pada gelagarnya.
Umumnya gelagar jeembatan ini difabrikasi dengan beberpa potongan. Lalu saat
di site masing-masing komponen gelagar yang dikirim tersebut disambung dan
diberi gaya tekan dengan menggunakan strand. Berikut gambar jembatan beton
pretegang :

Gambar Stressing Pada Jembatan Prategang


Sumber http://id.ztbridgeequipment.com/bridge-tensioning-equipment/hydraulic-
stressing-jack-post-tension-working.html
diakses pada 13/12/2019 pada pukul 00.23
Untuk struktur jembatan sendiri dibagai menjadi dua. Yang pertama
banguna atas dan banguna bawah. Menurut Agus Iqbal Manu bangunan atas
sesuai dengan istilahnya berada pada bagian atas suatu jembatan, berfungsi
menampung beban-beban yang ditimbulkan oleh lalu lintas orang, kendaraan dan
lain – laindan kemudian menyalurkanmya kepada banunan bawah . adapun
banguna bawah terdiri dari terdiri dari barrier, perkerasan aspal, plat beton dan
gelagar memanjang.
Sedangkan Banguna Bawah menurut Agus Iqbal Manu pada umumnya
terletak dibawah bangunan atas fungsinya menerima /memikul beban-beban yang
diberikan bangunan atas dan kemudian menyalurkan ke pondasi.

2.3 Gelagar (girder)

Girder atau gelagar jembatan merupakan balok yang akan mendukung


semua beban yang bekerja pada jembatan kemudian meneruskannya ke struktur
bawah jembatan. Girder diletakkan memanjang diantara dua penyangga (abutment
dan pilar). Girder menurut material yang digunakan bisa menggunakan beton
bertulang, Profil Baja berbentuk H, atau Beton Prategang. (Adriwitya : 2019)

Girder menggunakan beton prategang memiliki beberapa bentuk


penampang seperti PC-I ( Presstessd Concrete-I ) Girder yang berbentuk I, PC-U
girder yang mempunyai bentuk penampang berbentuk U, PC-T girder yang
mempunyai bentuk T, dan PC-Box Girder. Dari semua tipe girder terdapat girder
yang sistemnya sebagai gelagar sekaligus plat pada struktur jembatan yaitu : PC-
Voided slab. Untuk gambar masing-masing girder dapat dilihat pada gambar
berikut :

Gambar 2.1 PC-U Girder dan PC-Voided Slab


Sumber http://web.waskitaprecast.co.id/product//ind
diakses pada 10-12-2019 pada pukul 13.32

Gambar 2.2 PC-T Girder dan Box Girder


Sumber http://web.waskitaprecast.co.id/product//ind
diakses pada 10-12-2019 pada pukul 13.32

Gambar 2.3 PC-I Girder


Sumber http://web.waskitaprecast.co.id/product//ind
diakses pada 10-12-2019 pada pukul 13.27
2.4 Beton Bertulang
Menurut PBI-1971 bahwasanya beton didefinisakan sebagai bahan yang diperoleh
dengan mencampurkan agregat halus, agrgat kasar, semen portland dan air.
Sedangkan beton bertulang didefinisikan sebgai beton yang mengandung tulangan
dan direncanakan berdasarkan anggapan bahwa kedua bahan tersebut bekerja
sama dalam memikul gaya.gaya.

2.4 Konsep Prategang


Beton prategang adalah jenis beton di mana tulangan bajanya ditarik/ditegangkan
terhadap betonnya. Penarikan ini menghasilkan sistem kesetimbangan pada
tegangan dalam (tarik pada baja dan tekan pada beton) yang akan meningkatkan
kemampuan beton menahan beban luar. Karena beton cukup kuat dan daktail
terhadap tekanan dan sebaliknya lemah serta rapuh terhadap tarikan, maka
kemampuan menahan beban luar dapat ditingkatkan dengan pemberian
pratekanan (Collins & Mitchell, 1991).

2.4.1 Konsep Beton Prategang


Menurut Lin dan Burns (1982), terdapat tiga konsep mengenai beton prtategang
yang mana dijelaskan sebagai berikut :
1. Sistem prategang yang mengubah beton menjadi bahan yang elastis
Konsep ini memperlakukan beton sebagai bahan yang elastis. Konsep ini
merupakan sebuah pemikiran dari Eugene Freyssinet pada tahun 1943
yang memvisualisasikan beton prategang yang pada dasarnya adalah beton
dari bahan getas menjadi bahan yang elastis dengan memberikan tekanan
(desakan) terlebih dahulu (pratekan) pada bahan tersebut. Beban yang
tidak mampu menahan tarikan dan kuat memikul tekanan (umumnya
dengan baja mutu tinggi yang ditarik) sedemikian sehingga beton yang
getas dapat memikul tegangan tarik. Dari konsep inilah muncul kriteria
tidak ada tegangan tarik pada beton. Umumnya telah diketahui bahwa jika
tidak ada tegangan tarik pada beton, berarti tidak akan terjadi retak, dan
beton tidak merupakan bahan yang getas lagi melainkan bahan yang
elastis. Dalam bentuk yang sederhana, beton divisualisasikan sebagai
benda yang mengalami dua sistem pembebanan yaitu gaya internal (gaya
prategang) dan beban eksternal. Untuk lebih jelasnya distribusi tegangan
akibat gaya-gaya di atas dapat
dilihat pada gambar 2.4 di bawah ini.
Gambar 2.4 Balok Akibat Gaya Prategang dan Gaya Eksternal
(Sumber: Aboe, 2006)
2. Sistem prategang untuk kombinasi baja mutu tinggi dengan beton Konsep
ini mempertimbangkan beton prategang sebagai kombinasi dari baja dan
beton seperti pada beton bertulang dengan baja menahan tarikan (T) dan
beton menahan desakan (C). Kedua bahan membentuk tahanan untuk
menahan momen eksternal. Beton prategang yang diberi beban sebesar P
tidak terjadi adanya retakan sedangkan beton bertulang terdapat retakan
sebagaimana ditunjukkan pada gambar 3.5 di bawah ini.

Gambar 2.5 Momen Tahanan Internal Pada Balok Beton Prategang dan
Beton Bertulang
(Sumber: Supriyadi dan Agus, 2007)

3. Sistem prategang untuk mencapai perimbangan beban Konsep ini terutama


menggunakan prategang sebagai usaha untuk membuat seimbang gaya-
gaya pada sebuah elemen struktur. Pada keseluruhan desain struktur beton
prategang, pengaruh dari prategang dipandang sebagai keseimbangan berat
sendiri sehingga elemen struktur yang mengalami lenturan seperti pelat
(slab), balok dan gelagar (girder) tidak akan mengalami tegangan lentur
pada kondisi pembebanan yang terjadi. Ini memungkinkan trasformasi dari
batang lentur menjadi batang yang mengalami tegangan langsung dan
menyederhanakan persoalan baik dalam desain maupun analisis dan
struktur yang rumit penerapan dari konsep ini menganggap beton diambil
sebagai benda bebas dan menggantikan tendon dengan gaya-gaya yang
bekerja pada beton sepanjang elemen struktur. Sebagai contoh tendon
dengan profil parabola ditarik, maka untuk dapat tetap mempertahankan
posisinya diperlukan gaya vertical ke bawah. Karena tendon terbungkus
beton, maka akan timbul gaya keatas menekan beton, yang berlawanan
arah dengan gaya untuk mmpertahankan posisi tendon. (Aboe, 2006)

3.4.2 Sistem Penarikan Baja Prategang


Penarikan baja prategang dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:
1. Pratarik (pretensioning) dan pengangkuran ujung Pada sistem pratarik,
stage 1 baja prategang ditarik/diregangkan terlebih dahulu sebesar Po
dan dijangkarkan pada tembok/dinding penahan (bulkhead), baru
kemudian Stage 2 beton dicor. Stage 3 beton mencapai umur/kekuatan
tertentu, baja prategang menekan komponen/balok sebesar Pi.
Transfer gaya prategang umumnya melalui ikatan/lekatan antara baja
prategang dengan beton yang mengelilinginya (Aboe, 2006), untuk
lebih jelasnya lihat Gambar 2.6 di bawah ini.

Gambar 2.6 Sistem Pratarik


(Sumber: Aboe, 2006)
2. Paskatarik (posttensioning) dengan metode penarikan kabel Pada
sistem paskatarik, Stage 1 beton dicor/dicetak terlebih dahulu
kemudian baja prategang dimasukkan ke dalam selongsong (duct).
Stage 2 Setelah beton mencapai umur atau kekuatan tertentu, baja
prategang ditarik sebesar Po. Stage 3 baja prategang kemudian
dijangkarkan/diangkurkan pada ujung komponen sehingga muncul
tekanan sebesar Pi yang berlawanan arah dengan arah tarikan awal
Po.Transfer gaya prategang pada sistem ini melalui angkur. Untuk
lebih jelasnya lihat pada Gambar 2.7 di bawah ini.

Gambar 2.7 Sistem Paskatarik


(Sumber: Aboe, 2006)

2.5 Pembebanan
Peraturan pembebanan jembatan di Indonesia mengacu pada Peraturan
Standar Pembebanan Untuk Jembatan (SNI 1725 2016), Peraturan
Perencanaan Jembatan Bina Marga (Bridge Management System 1992),
Perencanaan Struktur Beton Untuk
Jembatan (RSNI T-12-2004), dan Pedoman Perencanaan Pembebanan
Jembatan Jalan Raya SKBI– 1.3.28.1987. Pada desain struktur balok
Jembatan Sirnoboyo ini, beban rencana diperhitungkan berdasarkan Peraturan
Standar Pembebanan Untuk Jembatan (SNI 1725 2016) yang terdiri dari :
1. Beban permanen,
2. Beban lalu lintas,
3. Beban dari lingkungan.
2.5.1 Beban Permanen
1. Berat Sendiri (MS)
Berat sendiri jembatan merupakan berat elemen struktural ditambah dengan
elemen non struktural yang dipikul dan bersifat tetap (Adriwitya : 2019)

a. Perencanaan lantai kendaraan


Berat plat dipakai = 22 + 0,022 f’c kN/m3
Berat perkerasan gelagar aspal = 22 kN/m3

b. Perencanaan gelagar jembatan


Berat sendiri gelagar = 22 + 0,022 f’c kN/m3
(Sumber: SNI 1725:2016, Pasal 7.1 Tabel 2)

2. Beban Mati Tambahan (MA)


Beban mati tambahan merupakan beban seluruh material yang terdiri dari
elemen non struktural yang merekat secara permanen dan dianggap satu
kesatuan yang utuh dalam jembatan (Adriwitya : 2019)

a. Pelapisan ulang permukaan aspal dianggap sebesar 50 mm


γaspal = 22 kN/m3
b. Sandaran, pagar pengaman dan penghalang beton,
c. Sarana umum seperti pipa air dan lampu jalan,
d. Genangan air hujan = 9,8 kN/m3.
(Sumber : SNI 1725:2016, Pasal 7.3)

2.5.2 Beban Lalu Lintas


1. Beban Lajur “D” (TD)
Beban lajur terdiri dari beban terbagi rata atau (BTR) dan beban garis (BGT).
Beban lajur “D” bekerja pada seluruh lebar jalur kendaraan dan menimbulkan
pengaruh pada jembatan yang akuivalen dengan suatu iring-iringan kendaraan
yang sederhana. Jumlah total beban lajur “D” yang bekerja tergantung pada
lebar jalur kendaraan itu sendiri. (Adriwitya : 2019)
a. Beban terbagi rata (BTR) mempunyai q (kPa) yang besarnya
tergantung pada panjang bentang total jembatan L yang dibebani yang
dinyatakan dengan rumus sebagai berikut :
𝐿 ≤ 30 𝑚 → 𝑞 = 9,0 𝑘𝑃𝑎 (3.2)

15
𝐿 ≥ 30 𝑚 → 𝑞 = 9,0 − (0,5 + ) 𝑘𝑃𝑎 (3.2)
𝐿

(Sumber: SNI 1725:2016, Pasal 8.3)

Beban lajur “D” ditempatkan tegak lurus terhadap arah lalu lintas
seperti gambar 3.8 di bawah ini

Gambar 3.8 Beban Lajur “D”


(Sumber: SNI 1725:2016, Pasal 8.3)

b. Beban Garis (BGT) ditempatkan dalam kedudukan sembarang


sepanjang jembatan dan tegak lurus pada arah lalu lintas. Beban garis
(BGT) ditempatkan dalam kedudukan sembarang sepanjang jembatan
dan tegak lurus pada arah lalu lintas yang dapat dilihat seperti pada
gambar3.8 diatas. Dalam perencanaan ini BGT ditempatkan ditengah
bentang untuk mendapatkan momen terbesar. (Adriwitya : 2019)
BGT mempunyai intensitas, p = 49,0 kN/m
(Sumber: SNI 1725:2016, Pasal 8.3)
Ketentuan penyebaran beban “D” pada arah melintang jembatan
digunakan intensitas 100% agar diperoleh momen dan geser
longitudinal pada gelagar jembatan. (Adriwitya : 2019)
2. Beban Truk “T”
Pembebanan truk “T” terdiri dari kendaraan truk semi-trailer yang
mempunyai susunan dan berat as seperti terlihat dalam gambar 3.9 di
bawah ini. Berat dari masing-masing as disebarkan menjadi 2 beban
merata sama besar yang merupakan bidang kontak antara roda dengan
permukaan lantai. Jarak antara 2 as tersebut dapat diubah antara 4,0 m
sampai 9,0 m untuk mendapkan pengaruh terbesar pada arah memanjang
jembatan sedangkan unuk arah melintang digunakan jarak 1,75 m.
(Adriwitya : 2019)

Gambar 3.9 Beban Truk “T”


(Sumber: SNI 1725:2016, Pasal 8.4)

3. Faktor Beban Dinamis


Faktor beban dinamis (FBD) merupakan hasil interaksi antara kendaraan
yang bergerak dengan jembatan. Faktor beban dinamis berlaku
pembebanan “D” dan pembebanan truk “T” untuk simulasi kejut dari
kendaraan bergerak pada struktur jembatan (Adriwitya : 2019). Nilai FBD
dapat dilihat pada Gambar grafik 3.10 di bawah ini
Gambar 3.10 Faktor Beban Dinamis (FBD)
(Sumber: SNI 1725:2016)

4. Gaya Rem (TB)


Gaya rem dianggap bekerja horizontal searah sumbu pada jarak 1,8 m dari
permukaan lantai kendaraan (Adriwitya : 2019). Pengaruh ini harus
senilai dengan gaya rem sebesar
a. 5% dari berat truk rencana ditambah beban lajur terbagi rata BTR
atau,
b. 25% dari berat gandar truk desain.

2.5.3 Beban Lingkungan


1. Beban Angin
a. Beban Angin Pada Kendaraan (AWI)
Tekanan angin rencana harus dikerjakan baik pada struktur jembatan
maupun pada kendaraan yang melintas jembatan. Jembatan harus
direncanakan memikul gaya akibat tekanan angin yang diasumsikan
sebagai tekanan menerus sebesar 1,46 N/mm (Adriwitya : 2019).

2. Pengaruh Beban Gempa (EQ)


Besarnya Beban Gempa (EQ) diambil sebagai gaya horizontal yang
ditentukan berdasarkan perkalian antara koefisien respons elastis (Csm)
dengan berat struktur ekivalen yang kemudian dimodifikasi dengan factor
modifikasi respon (Rd) dengan formulasi sebagai berikut:
𝐶𝑠𝑚
𝐸𝑄 = 𝑥 𝑊𝑡 (3.7)
𝑅𝑑
Keterangan :
EQ = gaya gempa horizontal statis (kN)
Csm = koefisien respons gempa elastis
Rd = faktor modifikasi respons
Wt = berat total struktur dari beban mati dan beban hidup yang sesuai
(kN)
Koefisien Respon Elastic (Csm) diperoleh dari peta percepatan bantuan
dasar dan spectra percepatan sesuai dengan daerah gempa dan periode
ulang gempa rencana. Perhitungan pengaruh gempa terhadap jembatan
termasuk beban gempa, cara analisis, peta gempa, dan detail struktur
mengacu pada SNI 2833:2008 Standar Perencanaan Ketahanan Gempa
Untuk Jembatan. (Adriwitya : 2019)

3. Rangkak dan Susut (Creep and shrinkage)


Pengaruh rangkak dan susut dihitung dengan menggunakan beban mati
tambahan dari jembatan. (Adriwitya : 2019)

2.6 Kombinasi Pembebanan


Untuk mendesain struktur jembatan, digunakan nilai pembebanan terbesar dari
kombinasi pembebanan pada keadaan ultimit. Kombinasi pembebanan yang
digunakan dapat dilihat pada tabel di bawah ini
Tabel Kombinasi Pembebanan

(Sumber: SNI 1725:2016)


2.7 Perencanaan Struktur Balok Prategang
Perancangan struktur atas jembatan merupakan hal yang sangat penting untuk
diperhatikan, karena sebagian besar beban-beban eksternal pertama kali bekerja
pada jembatan berasal dari struktur atas yang kemudian akan diteruskan ke
struktur bawah jembatan. Perencanaan struktur atas jembatan meliputi
perencanaan tiang sandaran, slab lantai kendaraan dan perencanaan balok
prategang dengan bentang 40 m.

2.7.1 Perancangan Penampang Balok Prestressed


Balok/gelagar pada jembatan berfungsi mendukung semua beban yang bekerja
pada struktur atas jembatan, kemudian diteruskan ke struktur bawah jembatan.
Desain struktur atas Jembatan ini menggunakan prestressed concrete U girder
dan PC-Vided Slab girder.
Perencanaan balok beton prategang didasarkan atas beban kerja, tegangan ijin
dan asumsi yang didasarkan pada RSNIT-12-2004. Persamaan terdiri atas
beberapa tahapan, yaitu :
1. pemilihan bentuk dan ukuran penampang,
2. peninjauan besar gaya prategang dan eksentrisitas tendon,
3. penentuan tata letak/layout tendon disepanjang balok,
4. pemeriksaan terhadap tegangan-tegangan yang terjadi, kuat/kapasitas
penampang pada kondisi batas, lendutan, geser dan sebagainya.
Menurut SK-SNI-03-1726-2002 3.11.4, tegangan ijin beton untuk komponen
struktur lentur dan tegangan ijin tendon prategang seperti berikut ini.
1. Tegangan ijin beton saat transfer untuk struktur lentur tidak boleh melebihi
nilai berikut.
a. Serat terluar mengalami tegangan tekan (fci) ≤ 0,60 .fc’i
b. Serat terluar mengalami tegangan tarik (fti) ≤ 0,25 . √fc′i
2. Tegangan ijin beton saat akhir untuk struktur lentur tidak boleh
melampaui nilai berikut.
a. Serat terluar mengalami tegangan tekan (fcs) ≤ 0,45 . fc’
b. Serat terluar mengalami tegangan tarik (fts) ≤ 0,50 . √fc′i
3. Tegangan ijin tarik tendon prategang (fps) tidak boleh melampaui nilai
berikut.
a. Akibat gaya pengangkuran tendon ≤ 0,94 . fpy, tetapi tidak lebih
besar dari 0,85 . fpu.
b. Sesaat setelah pemindahan gaya pratekan ≤ 0,82 . fpy, tetapi tidak
lebih besar dari 0,74 . fpu.
c. Tendon paskatarik pada daerah angkur dan sambungan sesaat
setelah penyaluran gaya ≤ 0,70 fpu.
dengan:
fps : tegangan pada tulangan prategang disaat penampang
mencapai kuat tarik nominalnya,
fpy : kuat leleh tendon prategang yang disyaratkan,
fpu : kuat tarik tendon prategang yang disyaratkan.
(Adriwitya : 2019)

2.7.2 Pemeriksaan Tegangan


Pada dasarnya baik pada sistem pratarik maupun sistem paskatarik, pola tegangan
umumnya ditinjau/diperiksa pada dua keadaan yang berbeda, yaitu pada saat awal
(saat transfer) dan saat akhir.
1. Pemeriksaan tegangan pada saat keadaan awal (saat transfer)
Pemeriksaan tegangan saat transfer adalah pemeriksaan tegangan pada saat
awal penarikan tendon. Beban-beban yang diperhitungkan yaitu gaya
prategang awal dan berat sendiri balok dan dimungkinkan sebagian beban
mati dan hidup telah bekerja. Penampang netto/bersih digunakan untuk
perhitungan mencari propertis
penampang. Berikut ini rumus yang digunakan untuk mendesain tegangan-
tegangan beton yang terjadi pada serat atas dan serat bawah pada saat
transfer. Beban-beban yang diperhitungkan adalah seperti di bawah ini.
a. Gaya prategang awal Pt (gaya prategang sebelum terjadi
kehilangan tegangan/gaya prategang).
b. Beban berat sendiri dan pada sistem paskatarik dimungkinkan
sebagai beban mati dan beban hidup yang telah bekerja MMS.
Tegangan – tegangan awal di tengah bentang
Pada serat atas,
𝑃𝑡 𝑃𝑡. 𝑒𝑠 𝑀𝑀𝑆
𝑓𝑡 = − + −
𝐴 𝑊𝑎 𝑊𝑎
Pada serat bawah
𝑃𝑡 𝑃𝑡. 𝑒𝑠 𝑀𝑀𝑆
𝑓𝑡 = − + −
𝐴 𝑊𝑎 𝑊𝑎
Keterangan :
Pt = Gaya prategang awal,
A = Luas penampang balok prategang,
es = Eksentrisitas,
MMS = Beban berat sendiri,
Wb = Tahanan momen sisi bawah,
Wa = Tahanan momen sisi atas.

2. Pemeriksaan tegangan pada saat akhir (saat layan/service)


Pemeriksaan tegangan pada saat keadaan akhir (saat layan) adalah
pemeriksaan pada saat seluruh beban transversal sudah bekerja.
Penampang yang digunakan untuk perhitungan propertis yaitu penampang
transformasi untuk tendon terekat (bounded) dan penampang netto untuk
tendon tak terekat (unbounded). Beban beban yang bekerja/diperhitungkan
adalah:
a. Gaya prategang efektif Pe (gaya prategang setelah terjadi seluruh
kehilangan tegangan).
𝑃𝑒 = 𝑅. 𝑃𝑡
𝑅 = 𝐼 − 𝐿𝑂𝐹
keterangan :
R = Rasio kehilangan gaya prategang,
Pt = Gaya prategang awal,
LOF = Kehilangan gaya prategang total, di mana persentase
kehilangan gaya prategang untuk :
Sistem pra-tarik = ± 30 %
Sistem paska-tarik = ± 20 %
b. Seluruh beban eksternal telah bekerja
Momen total,
𝑀𝑇 = 𝑀𝑀𝑆 + 𝑀𝑀𝐴 + 𝑀𝐿
keterangan :
MMS = Beban berat sendiri,
MMA = Beban mati,
ML = Beban hidup.
Pada serat atas,
𝑃𝑒 𝑃𝑒 . 𝑒𝑠 𝑀𝑇
𝑓𝑡 = − + −
𝐴 𝑊𝑎 𝑊𝑎
serat bawah,
𝑃𝑒 𝑃𝑒 . 𝑒𝑠 𝑀𝑇
𝑓𝑡 = − + −
𝐴 𝑊𝑏 𝑊𝑏
Keterangan :
Pe = Gaya prategang akhir,
A = Luas penampang balok prategang,
es = Eksentrisitas,
MS = Beban berat sendiri,
Wb = Tahanan momen sisi bawah,
Wa = Tahanan momen sisi atas.

2.7.3 Perancangan Tata Letak Tendon (Lay Out Tendon)


Penampang balok prategang yang diletakkan di atas dua tumpuan akan
terjadi momen maksimum. Pada daerah tersebut, tendon (ekivalen cgs) diletakkan
sedekat mungkin dengan sisi bawah balok agar diperoleh lengan momen, akibat
gaya dalam maksimum. Saat transfer tidak direncanakan terjadinya tegangan tarik
> fti pada ujung balok perencanaan, maka besar beban sendiri balok (M0) harus
diperhatikan. Perencanaan dilakukan dengan melihat luas yang diperlukan untuk
perlawanan geser, letak pelat bantalan, jarak angkur dan jarak bersih dongkrak.
Ujung balok direncanakan M = 0, maka tendon sebaiknya diletakkan di
dalam kern agar tidak terjadi tegangan tarik sehingga cgs berimpit dengan cgc
yang memberikan tegangan merata. (Adriwitya : 2019)
𝐼𝑥
Radius girasi, 𝑟 2 = 𝐴
𝑟2
Batas kern atas, 𝑘𝑡 = 𝑦𝑎

𝑟2
Batas kern atas, 𝑘𝑡 = 𝑦𝑏

Letak tendon (cgs) dipengaruhi oleh besar momen pada setiap titik, maka
eksentrisitas tendon e berubah sesuai dengan besar momen. Perencanaan tata letak
tendon dilakukan dengan peninjauan sebagai berikut.

1. Batas bawah didasarkan saat transfer, agar tegangan pada serat atas ≤ tegangan
ijin. Lengan minimum dari kopel tendon,
𝑀𝑜
𝑎𝑚𝑖𝑛 =
𝑃𝑡
Batas eksentrisitas atas,
𝑒𝑠𝑏 = 𝑎𝑚𝑖𝑛 + 𝑘𝑏
Pertambahan lebar daerah tendon jika diperbolehkan terjadi tegangan tarik,
𝑓𝑡𝑖 . 𝐴𝑘𝑏
𝑒𝑠𝑏′ =
𝑃𝑡
𝑒𝑠𝑏′ = 𝑒𝑠𝑏 + 𝑒𝑠𝑏′ = 𝑎𝑚𝑖𝑛 + 𝑘𝑏 + 𝑒𝑠𝑏′
(Adriwitya : 2019)

2. Batas atas didasarkan saat layan. Jika tendon diletakkan di luar batas ini maka
beban yang dapat dipikul berkurang atau tegangan serat bawah yang terjadi >
tegangan ijin.
𝑀𝑇
𝑎𝑚𝑎𝑥 =
𝑃𝑒
Batas eksentrisitas atas,
𝑒𝑠𝑡 = 𝑎𝑚𝑎𝑥 + 𝑘𝑡

Pertambahan lebar daerah tendon jika diperbolehkan terjadi tegangan tarik,


𝑓𝑡𝑠 . 𝐴𝑘𝑡
𝑒𝑠𝑡′ =
𝑃𝑒
𝑒𝑠𝑟𝑙 = 𝑒𝑠𝑡 + 𝑒𝑠𝑡′ = 𝑎𝑚𝑎𝑥 + 𝑘𝑡 + 𝑒𝑠𝑡′
(Adriwitya : 2019)
Untuk lebih jelasnya keterangan rumus di atas dapat dilihat pada Gambar di
bawah ini.

Gambar 3.11 Tata Letak Daerah Aman Tendon

2.7.4 Kehilangan Gaya Prategang (Lost Of Prestressed)

Tegangan pada tendon beton prategang berkurang secara berkelanjutan (continue)


seiring dengan waktu. Total pengurangan tegangan ini disebut kehilangan gaya
prategang total. Kehilangan gaya prategang total ini adalah faktor utama yang
mengganggu perkembangan awal beton prategang. Kehilangan gaya prategang
dapat digolongkan menjadi 2 yaitu kehilangan langsung (immediate) dan
kehilangan yang bergantung dengan waktu (time depending lost) (Naaman, 1982).

Anda mungkin juga menyukai