Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perkembangan kota-kota di Indonesia telah mencapai tingkat perkembangan
kota yang pesat dan cukup tinggi. Hal ini terlihat dari beberapa gejala yang secara
tidak langsung muncul seiring dengan laju pertumbuhan penduduk dan
perkembangan industri. Seiring dengan perkembangan tersebut, kasus dan insiden
yang terjadi di kota juga ikut bertambah. Meningkatnya jumlah penduduk
berbanding lurus dengan meningkatnya kasus kecelakaan. Insiden kecelakaan
merupakan salah satu dari masalah kesehatan dasar selain gizi dan konsumsi,
sanitasi lingkungan, penyakit, gigi dan mulut, serta aspek moralitas dan perilaku di
Indonesia. Kecelakan merupakan salah satu faktor penyebab kematian terbesar di
Indonesia. Namun selain kematian, kecelakaan juga mampu menimbulkan dampak
lain yaitu kecacatan akibat timbulnya fraktur.
Tingginya angka kecelakaan menyebabkan angka kejadian atau insidensi
fraktur tinggi, dan salah satu fraktur yang paling sering terjadi adalah pada bagian
paha (tulang paha). Fraktur pada tulang paha termasuk dalam kelompok tiga besar
kasus fraktur yang disebabkan karena benturan dengan tenaga yang tinggi (kuat)
seperti kecelakaan sepeda motor atau mobil. WHO (Badan Kesehatan Dunia)
mencatat, terdapat lebih dari 7 juta orang meninggal karena insiden kecelakaan dan
sekitar 2 juta orang mengalami kecacatan fisik. Menurut Depkes RI (2007),
kebanyakan kasus fraktur yang terjadi disebabkan oleh cedera. Cedera tersebut
berdasarkan berbagai hal yaitu karena jatuh, kecelakaan lalu lintas dan trauma
tajam/ tumpul. Pada 45.987 peristiwa terjatuh, terjadi fraktur sebanyak 1.775 orang
(3,8 %), dari 20.829 kasus kecelakaan lalu lintas, terjadi fraktur sebanyak 1.770
orang (8,5 %). Sedangkan pada 14.127 kasus trauma benda tajam/tumpul, yang
mengalami fraktur sebanyak 236 orang (1,7 %).

ASKEP Pada Klien dengan Fraktur | 1


Fraktur adalah patah tulang yang biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga
fisik. Rusaknya kontinuitas tulang ini dapat disebabkan oleh trauma langsung,
kelelahan otot, atau karena kondisi-kondisi tertentu seperti degenerasi tulang atau
osteoporosis. Fraktur lebih sering terjadi pada laki-laki daripada perempuan
dengan umur di bawah 45 tahun dan sering berhubungan dengan
olahraga, pekerjaan dan kecelakaan. Sedangkan pada usia lanjut (usia) prevalensi
cenderung lebih banyak terjadi pada wanita berhubungan dengan adanya
osteoporosis yang terkait dengan perubahan hormon.
Oleh karena itu, sebagai pemberi asuhan keperawatan, seorang perawat harus
berpikir kritis dan cerdas dalam menangani masalah yang dihadapi pasiennya yang
salah satunya dengan post op orif. dengan ini perawat harus cepat dan tepat dalam
melakukan pengkajian sampai evaluasi. Maka, peran perawat diperlukan dalam
penanganan post orif dirumah dan di rumah sakit. Perawat memiliki peran penting
dalam perubahan perilaku pasien terhadap penatalaksanaan post orif yaitu
penatalaksanaan diit lunak tinggi kalori tinggi protein, pemasangan elastis verban
dalam pemenuhan aktivitas klien sehari-hari, serta pengobatan pada pasien post
orif. Peran perawat dalam aspek promotif yaitu memberikan informasi yang
dibutuhkan oleh pasien dan keluarganya mengenai penanganan pada pasien post
orif, cara pencegahan agar tidak terjadinya resiko infeksi, aspek preventif yaitu
perawatan luka post op orif, minum obat secara teratur yang sudah di anjurkan
dokter, aspek kuratif yaitu memberikan obat yang telah di berikan dokter sesuai
dengan program medis, dan aspek rehabilitatif dengan membantu memulihkan
pasien agar mampu melakukan aktifitas secara optimal serta bertahap dengan
memanfaatkan fasilitas kesehatan yang ada.

B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Makalah ini bertujuan untuk memahami dan mengetahui asuhan keperawatan
pada klien dengan post op ORIF

ASKEP Pada Klien dengan Fraktur | 2


2. Tujuan Khusus
a. Mahasiswa dapat memahami definisi fraktur
b. Mahasiswa dapat memahami etiologi fraktur
c. Mahasiswa dapat memahami patofisiologi fraktur
d. Mahasiswa dapat memahami klasifikasi pada fraktur
e. Mahasiswa dapat memahami komplikasi pada klien fraktur
f. Mahasiswa dapat memahami pemeriksaan diagnostic pada klien fraktur
g. Mahasiswa dapat memahami penatalaksanaan pada klien dengan fraktur
h. Mahasiswa dapat memahami definisi ORIF
i. Mahasiswa dapat memahami tindakan pembedahan ORIF
j. Mahasiswa dapat memahami indikasi ORIF
k. Mahasiswa dapat memahami komplikasi tindakan ORIF
l. Mahasiswa dapat memahami teori asuhan keperawatan pada klien dengan
fraktur

C. Sistematika Penulisan
Bab I : Pendahuluan terdiri dari latar belakang, tujuan penulisan, dan
sistematika penulisan.
Bab II : Konsep medik terdiri dari definisi, etiologi, klasifikasi,
patofisiologi, patoflowdiagram, manifestasi klinik, komplikasi,
pemeriksaan penunjang, penatalaksanaan medis, definisi ORIF,
tindakan pembedahan ORIF, indikasi ORIF, dan komplikasi
tindakan ORIF dan konsep asuhan keperawatan pada pasien
fraktur.
Bab III : Tinjauan kasus terdiri dari pengkajian, diagnosa keperawatan,
dan rencana keperawatan
Bab IV : Penutup terdiri dari kesimpulan dan saran.

ASKEP Pada Klien dengan Fraktur | 3


BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Konsep Medik
1. Konsep fraktur
a. Definisi
Fraktur adalah patah tulang yang biasanya disebabkan oleh trauma atau
tenaga fisik. Kekuatan dan sudut dari tenaga tersebut, keadaan tulang, dan
jaringan lunak disekitar tulang akan menentukkan apakah fraktur yang
terjadi itu lengkap atau tidak lengkap (Price & Wilson, 2006).

Fraktur adalah pemisahan atau patahnya tulang yang diklasifikasikan


menjadi lima yaitu fraktur incomplete, complete, tertutup (simple), terbuka
(compound) dan fraktur patologis. (Doenges, 1999).

b. Etiologi
1) Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya
kekerasan. Fraktur demikian demikian sering bersifat fraktur terbuka
dengan garis patah melintang atau miring.
2) Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang
jauh dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah
bagian yang paling lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan.
3) Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi.Kekuatan dapat
berupa pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi
dari ketiganya, dan penarikan.

ASKEP Pada Klien dengan Fraktur | 4


c. Patofisiologi (Wahid, 2013).
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas
untuk menahan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari
yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang
mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang. Setelah terjadi
fraktur, periosteum dan vascular serta saraf dalam korteks, marrow, dan
jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena
kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medulla tulang.
Jarinagan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan
tulang segera berdekatan kebagian tulang yang patah. Jaringan yang
mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang
ditandai dengan vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel
darah putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses penyembuhan
tulang nantinya.

ASKEP Pada Klien dengan Fraktur | 5


d. Patoflowdiagram

Patologis (penurunan Trauma


\\\\\\\\\\\\
densitas tulang Stress
langsung atau
karena tumor, tidak langsung
osteoporosis)

Jaringan tidak kuat atau


tidak dapat menahan
kekuatan dari luar

Fraktur

Kerusakan
kontinuitas tulang

Kerusakan
jaringan Luka Luka tertutup
pembuluh terbuka
darah

Penurunan Ekstrenal Internal


pertahanan fixation fixation
Peningkatan Kerusakan utama tubuh
aliran darah jaringan
saraf
ASKEP Pada Klien dengan Fraktur | 6
Peningkatan Impuls Jalan masuk
tekanan nyeri organisme
pembuluh dibawa ke Traksi Gips
darah otak
Resiko
infeksi
Peningkatan Otak
volume menerjemah
cairan kan impuls Pemasangan
ekstrasel nyeri screw

Edema Nyeri akut

Gangguan
Resiko tinggi keterbatasan
gangguan perfusi gerak
jaringan

Gangguan
imobilisasi
fisik

e. Manifestasi klinis (smeltzer, 2002)


1) Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang di
imobilisasi.
2) Pergeseran fragmen pada fraktur lengan dan tungkai menyebabkan
deformitas (terlihat maupun teraba ) ekstremitas yang bisa diketahui

ASKEP Pada Klien dengan Fraktur | 7


dengan membangdingkannya dengan ekstremitas normal.
3) Pada fraktur panjang, terjadi pemendekkan tulang yang sebenarnya
karena kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur.
4) Terdengar adanya krepitus akibat gesekan antara fragmen satu dengan
fragmen lainnya.
5) Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai
akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur.

f. Klasifikasi
1) Etiologi (Chairuddin, 2003)
a) Fraktur traumatik
b) Fraktur patologis
c) Fraktur stress
2) Klinis
a) Fraktur tertutup (simple fraktur), bila tidak terdapat hubungan antara
fragmen tulang dengan dunia luar
b) Frakur terbuka (compoun fraktur), bila terdapat hubungan antara
fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan dikulit
c) Fraktur dengan komplikasi, misalnya malunion, delayed, union,
nonunion, infeksi tulang
3) Radiologis
a) Lokalisasi : diafisal, metafisial, intra-artikuler, fraktur dengan
dislokasi
b) Konfigurasi : fraktur transversal, fraktur oblique, fraktur spiral, fraktur
segmental, fraktur komunitif (lebih dari deaf fragmen), fraktur baji
biasa pada vertebra karena trauma, fraktur avulse, fraktur depresi,
fraktur pecah, fraktur efipisis.
c) Menurut ekstensi : fraktur total, fraktur tidak total, fraktur buckle atau
torus, fraktur garis rambut, fraktur green srick

ASKEP Pada Klien dengan Fraktur | 8


d) Menurut hubungan antara fragmen dengan fragmen lainya : tidak
bergeser, bergeser (bersampingan, angulasi, rotasi, distraksi, over-
riding, impaksi).

g. Komplikasi (Wahid, 2013):


1) Komplikasi awal
Diantaranya yaitu: kerusakan arteri, rusaknya arteri karena trauma,
sindrom kompartemen, komplikasi serius yang terjadi karena terjebaknya
otot, tulang, saraf, dan vascular dalam jaringan perut, fat embolism
syndrome (FES), komplikasi serius yang sering terjadi pada kasus fraktur
tulang panjang, infeksi, system pertahanan tubuh rusak bila ada trauma
pada jaringan, avaskuler nekrosis (AVN), terjadi karena aliran darah ke
tulang rusak atau terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan
diawali dengan adanya volkman’s ischemia, shock, terjadi karena
kehilangan banyak darah dan meningkatnya permeabilitas kapiler yang
menyebabkan menurunnya oksigenasi.
2) Komplikasi dalam waktu lama
a) Delayed onion, kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu
yang dibutuhkan tulang untuk menyambung.
b) Non union, kegagalan fraktur berkonsolidasi dan memproduksi
sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan.
c) Malunion, penyembuhan tulang ditandai dengan meningkatnya tingkat
kekuatan dan perubahan bentuk (deformitas).

h. Pemeriksaan diagnostik
1) Pemeriksaan Rontgen : menentukan lokasi, luasnya fraktur, luasnya
trauma, skan tulang, temogram, scan CI: memperlihatkan fraktur juga
dapat digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
2) Hitung darah lengkap : HB mungkin meningkat/menurun.

ASKEP Pada Klien dengan Fraktur | 9


3) Peningkatan jumlal sel darah putih adalah respons stress normal setelah
trauma.
4) Kreatinin : trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk ginjal.
5) Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah,
transfusi multiple, atau cederah hati.

i. Penatalaksanaan (Smeltzer, 2001)


Sebelum menggambil keputusan untuk melakukan penatalaksanaan
definitive. Prinsip penatalaksanaan fraktur ada 4 R yaitu :
1) Recognition : diagnosa dan penilaian fraktur
Prinsip pertama adalah mengetahui dan menilai keadaan fraktur dengan
anannesis, pemeriksaan klinis dan radiologi. Pada awal pengobatan perlu
diperhatikan : lokasi fraktur, bentuk fraktur, menentukan tehnik yang
sesuai untuk pengobatan, komplikasi yang mungkin terjadi selama
pengobatan.
2) Reduction: tujuannya untuk mengembalikan panjang & kesegarisan
tulang.
Dapat dicapai yang manipulasi tertutup/reduksi terbuka progresi.
Reduksi tertutup terdiri dari penggunaan traksimoval untuk menarik
fraktur kemudian memanupulasi untuk mengembalikan kesegarisan
normal/dengan traksi mekanis. Reduksi terbuka diindikasikan jika
reduksi tertutup gagal/tidak memuaskan. Reduksi terbuka merupakan
alat frusasi internal yang digunakan itu mempertahankan dalam
posisinya sampai penyembuhan tulang yang solid seperti pen, kawat,
skrup dan plat. Reduction interna fixation (orif) yaitu dengan
pembedahan terbuka kan mengimobilisasi fraktur yang berfungsi
pembedahan untuk memasukkan skrup/pen kedalam fraktur yang
berfungsi untuk menfiksasi bagian-bagian tulang yang fraktur secara
bersamaan.

ASKEP Pada Klien dengan Fraktur | 10


3) Retention
Imobilisasi fraktur tujuannya mencegah pengeseran fregmen dan
mencegah pergerakan yang dapat mengancam union. Untuk
mempertahankan reduksi (ektrimitas yang mengalami fraktur) adalah
dengan traksi. Traksi merupakan salah satu pengobatan dengan cara
menarik/tarikan pada bagian tulang-tulang sebagai kekuatan dngan
kontrol dan tahanan beban keduanya untuk menyokong tulang dengan
tujuan mencegah reposisi deformitas, mengurangi fraktur dan dislokasi,
mempertahankan ligamen tubuh/mengurangi spasme otot, mengurangi
nyeri, mempertahankan anatomi tubuh dan mengimobilisasi area
spesifik tubuh. Ada 2 pemasangan traksi yaitu : skin traksi dan skeletal
traksi.
4) Rehabilitation
Mengembalikan aktiftas fungsional seoptimal mungkin.

Penatalaksanaan fraktur mengacu kepada empat tujuan utama yaitu:


1) Mengurangi rasa nyeri
Trauma pada jaringan disekitar fraktur menimbulkan rasa nyeri yang
hebat bahkan sampai menimbulkan syok. Untuk menguranginyeri dapat
diberi obat penghilang rasa nyeri, serta dengan teknik imobilisasi, yaitu
pemasangan bidai / spalk, maupun memasang gips.
2) Mempertahankan posisi yang ideal dari fraktur.
Seperti pemasangan traksi kontinyu, fiksasi eksternal, fiksasi internal,
sedangkan bidai maupun gips hanya dapat digunakan untuk fiksasi yang
bersifat sementara saja.
3) Membuat tulang kembali menyatu
Tulang yang fraktur akan mulai menyatu dalam waktu 4 minggu dan
akan menyatu dengan sempurna dalam waktu 6 bulan.
4) Mengembalikan fungsi seperti semula

ASKEP Pada Klien dengan Fraktur | 11


Imobilisasi dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan atrofi
otot dan kekakuan pada sendi. Maka untuk mencegah hal tersebut
diperlukan upaya mobilisasi

2. Konsep Open Reduction Internal Fictation (ORIF)


a. Definisi
ORIF adalah sebuah prosedur bedah medis, yang tindakannya mengacu
pada operasi terbuka untuk mengatur tulang, seperti yang diperlukan untuk
beberapa patah tulang, fiksasi internal mengacu pada fiksasi sekrup dan
piring untuk mengaktifkan atau memfasilitasi penyembuhan
(Brunner&Suddarth, 2003).

b. Tindakan pembedahan ORIF


Tindakan pembedahan pada ORIF dibagi menjadi 2 jenis metode yaitu
meliputi :
1) Reduksi Terbuka
Insisi dilakukan pada tempat yang mengalami cedera dan diteruskan
sepanjang bidang anatomi menuju tempat yang mengalami fraktur.
Fraktur diperiksa dan diteliti. Fragmen yang telah mati dilakukan irigasi
dari luka. Fraktur direposisi agar mendapatkan posisi yang normal
kembali. Sesudah reduksi fragmen-fragmen tulang dipertahankan
dengan alat ortopedik berupa: pin, skrup, plate, dan paku (Wim de
Jong,m, 2000).
a) Keuntungan
Reduksi akurat, stabilitas reduksi tertinggi, pemeriksaan struktur
neurovaskuler, berkurangnya kebutuhan alat imobilisasi eksternal,
penyatuan sendi yang berdekatan dengan tulang yang patah
menjadi lebih cepat, rawat inap lebih singkat, dapat lebih cepat
kembali ke pola ke kehidupan normal (Barbara, 1996)

ASKEP Pada Klien dengan Fraktur | 12


d) Kerugian
Kemungkinan terjadi infeksi dan osteomielitis tinggi (Barbara,
1996).
2) Fiksasi Internal
Metode alternatif manajemen fraktur dengan fiksasi eksternal, biasanya
pada ekstrimitas dan tidak untuk fraktur lama Post eksternal fiksasi,
dianjurkan penggunaan gips. Setelah reduksi, dilakukan insisi perkutan
untuk implantasi pen ke tulang. Lubang kecil dibuat dari pen metal
melewati tulang dan dikuatkan pennya. Perawatan 1-2 kali sehari secara
khusus, antara lain: Observasi letak pen dan area, observasi kemerahan,
basah dan rembes, observasi status neurovaskuler. Fiksasi internal
dilaksanakan dalam teknik aseptis yang sangat ketat dan pasien untuk
beberapa saat mandapat antibiotik untuk pencegahan setelah
pembedahan (Barbara, 1996).

c. Indikasi ORIF
1) Fraktur yang tak bisa sembuh
2) Fraktur yang tidak bisa direposisi tertutup
3) Fraktur yang dapat direposisi tapi sulit dipertahankan
4) Fraktur yang memberikan hasil baik dengan operasi

d. Komplikasi tindakan ORIF


1) Infeksi
2) Kehilangan dan kekakuuan jangkauan gerak
3) Kerusakan otot
4) Kerusakan saraf dan kelumpuhan
5) Deformitas
6) Sindrom kompartemen (Gayle, 2001)

ASKEP Pada Klien dengan Fraktur | 13


B. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Identitas klien
b. Keluhan utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri
tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. pengkajian
berupa: Provoking Incident, Quality of Pain, Region, Severity (Scale) of
Pain, Time

c. Riwayat penyakit sekarang


Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur,
yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien.
Ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa
ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena.
Selain itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa
diketahui luka kecelakaan yang lain (Ignatavicius, Donna D, 1995).

d. Riwayat penyakit dahulu


Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan memberi
petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung. Penyakit-penyakit
tertentu seperti kanker tulang dan penyakit paget’s yang menyebabkan
fraktur patologis yang sering sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit
diabetes dengan luka di kaki sangat beresiko terjadinya osteomyelitis akut
maupun kronik dan juga diabetes menghambat proses penyembuhan tulang.

e. Riwayat penyakit keluarga


Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan
salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes,
osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker tulang

ASKEP Pada Klien dengan Fraktur | 14


yang cenderung diturunkan secara genetik (Donna D, 1995).

f. Riwayat psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan
peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya
dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun dalam
masyarakat (Ignatavicius, Donna D, 1995).

g. Pola-pola fungsi kesehatan


1) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya kecacatan
pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk
membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu, pengkajian juga
meliputi kebiasaan hidup klien seperti penggunaan obat steroid yang
dapat mengganggu metabolisme kalsium, pengkonsumsian alkohol
yang bisa mengganggu keseimbangannya dan apakah klien melakukan
olahraga atau tidak.(IDonna D,1995).
2) Pola nutrisi dan metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan
sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya untuk
membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi
klien bisa membantu menentukan penyebab masalah muskuloskeletal
dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat terutama
kalsium atau protein dan terpapar sinar matahari yang kurang
merupakan faktor predisposisi masalah muskuloskeletal terutama pada
lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat degenerasi dan
mobilitas klien.
3) Pola eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola eliminasi,

ASKEP Pada Klien dengan Fraktur | 15


tapi walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna
serta bau feces pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi
uri dikaji frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua
pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak. Pola Tidur dan
Istirahat Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak,
sehingga hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien.
Selain itu juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana
lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan obat
tidur (Doengos. Marilynn E, 2002).
4) Pola aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk
kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak
dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah bentuk
aktivitas klien terutama pekerjaan klien. Karena ada beberapa bentuk
pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur dibanding pekerjaan yang
lain (Ignatavicius, Donna D, 1995).
5) Pola hubungan dan peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam
masyarakat. Karena klien harus menjalani rawat inap (Ignatavicius,
Donna D, 1995).
6) Pola persepsi dan konsep diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan
kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk
melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya
yang salah (gangguan body image) (Ignatavicius, Donna D, 1995).
7) Pola sensori dan kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal
fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan. begitu juga
pada kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa

ASKEP Pada Klien dengan Fraktur | 16


nyeri akibat fraktur (Ignatavicius, Donna D, 1995).
8) Pola reproduksi seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan
seksual karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta
rasa nyeri yang dialami klien. Selain itu juga, perlu dikaji status
perkawinannya termasuk jumlah anak, lama perkawinannya
(Ignatavicius, Donna D, 1995).
9) Pola penanggulangan stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu
ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi
tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif.
10) Pola tata nilai dan keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah
dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan
karena nyeri dan keterbatasan gerak klien

h. Pemeriksaan Fisik
1) Feel (palpasi)
a) Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban
kulit. Capillary refill time Normal 3 – 5 “
b) Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau oedema
terutama disekitar persendian.
c) Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3
proksimal, tengah, atau distal).Otot: tonus pada waktu relaksasi atau
konttraksi, benjolan yang terdapat di permukaan atau melekat pada
tulang. Selain itu juga diperiksa status neurovaskuler. Apabila ada
benjolan, maka sifat benjolan perlu dideskripsikan permukaannya,
konsistensinya, pergerakan terhadap dasar atau permukaannya,
nyeri atau tidak, dan ukurannya.

ASKEP Pada Klien dengan Fraktur | 17


2) Move (pergerakan terutama lingkup gerak)
Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan dengan
menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri pada
pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini perlu, agar dapat mengevaluasi
keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi dicatat dengan ukuran
derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral) atau
dalam ukuran metrik. Pemeriksaan ini menentukan apakah ada gangguan
gerak (mobilitas) atau tidak. Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif
dan pasif (Soelarto, 1995).

2. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera jaringan
lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas
b. Kerusakan integritas kulit b/d fraktur terbuka, pemasangan traksi (pen,
kawat, sekrup)
c. Hambatan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri, terapi
restriktif (imobilisasi)
d. Resiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan primer (kerusakan kulit,
taruma jaringan lunak, prosedur invasif traksi tulang)

3. Perencanaan
a. Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera jaringan
lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas.
Tujuan: Klien mengataka nyeri berkurang atau hilang dengan menunjukkan
tindakan santai, mampu berpartisipasi dalam beraktivitas, tidur, istirahat
dengan tepat, menunjukkan penggunaan keterampilan relaksasi dan
aktivitas trapeutik sesuai indikasi untuk situasi individual
Intervensi:

ASKEP Pada Klien dengan Fraktur | 18


1) Pertahankan imobilasasi bagian yang sakit dengan tirah baring, gips,
bebat dan atau traksi
2) Tinggikan posisi ekstremitas yang terkena.
3) Lakukan dan awasi latihan gerak pasif/aktif.
4) Lakukan tindakan untuk meningkatkan kenyamanan (masase,
perubahan posisi)
5) Ajarkan penggunaan teknik manajemen nyeri (latihan napas dalam,
imajinasi visual, aktivitas dipersional)
6) Lakukan kompres dingin selama fase akut (24-48 jam pertama) sesuai
keperluan.
7) Kolaborasi pemberian analgetik sesuai indikasi. Evaluasi keluhan nyeri
(skala, petunjuk verbal dan non verval, perubahan tanda-tanda vital)
b. Kerusakan integritas kulit b/d fraktur terbuka, pemasangan traksi (pen,
kawat, sekrup)
Tujuan: Klien menyatakan ketidaknyamanan hilang, menunjukkan perilaku
tekhnik untuk mencegah kerusakan kulit/memudahkan penyembuhan
sesuai indikasi, mencapai penyembuhan luka sesuai waktu/penyembuhan
lesi terjadi
Intervensi:
1) Pertahankan tempat tidur yang nyaman dan aman (kering, bersih, alat
tenun kencang, bantalan bawah siku, tumit).
2) Masase kulit terutama daerah penonjolan tulang dan area distal
bebat/gips.
3) Lindungi kulit dan gips pada daerah perianal
4) Observasi keadaan kulit, penekanan gips/bebat terhadap kulit, insersi
pen/traksi.
c. Hambatan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri,
terapi restriktif (imobilisasi)

ASKEP Pada Klien dengan Fraktur | 19


Tujuan: Klien dapat meningkatkan/mempertahankan mobilitas pada tingkat
paling tinggi yang mungkin dapat mempertahankan posisi fungsional
meningkatkan kekuatan/fungsi yang sakit dan mengkompensasi bagian
tubuh menunjukkan tekhnik yang memampukan melakukan aktivitas
Intervensi:
1) Pertahankan pelaksanaan aktivitas rekreasi terapeutik (radio, koran,
kunjungan teman/keluarga) sesuai keadaan klien.
2) Bantu latihan rentang gerak pasif aktif pada ekstremitas yang sakit
maupun yang sehat sesuai keadaan klien.
3) Berikan papan penyangga kaki, gulungan trokanter/tangan sesuai
indikasi.
4) Bantu dan dorong perawatan diri (kebersihan/eliminasi) sesuai keadaan
klien.
5) Ubah posisi secara periodik sesuai keadaan klien.
6) Kolaborasi pelaksanaan fisioterapi sesuai indikasi.
7) Evaluasi kemampuan mobilisasi klien dan program imobilisasi.
d. Resiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan primer (kerusakan kulit,
taruma jaringan lunak, prosedur invasif traksi tulang)
Tujuan : Klien mencapai penyembuhan luka sesuai waktu, bebas drainase
purulen atau eritema dan demam
Intervensi :
1) Lakukan perawatan pen steril dan perawatan luka sesuai protokol
2) Ajarkan klien untuk mempertahankan sterilitas insersi pen.
3) Kolaborasi pemberian antibiotika dan toksoid tetanus sesuai indikasi.
4) Analisa hasil pemeriksaan laboratorium (Hitung darah lengkap, LED,
Kultur dan sensitivitas luka/serum/tulang)
5) Observasi tanda-tanda vital dan tanda-tanda peradangan lokal pada
luka.

ASKEP Pada Klien dengan Fraktur | 20


ASKEP Pada Klien dengan Fraktur | 21

Anda mungkin juga menyukai