Anda di halaman 1dari 58

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan
segala rahmat kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan
tepat waktu tanpa ada halangan sedikit pun.

Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada pembimbing yang telah


membimbing kami dalam menyelesaikan makalah yang membahas tentang “Asuhan
Keperawatan Dengan Pasien Pasca Craniotomi Dan Pemantauan Tekanan
Intrakranial”. Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada orang tua yang telah
memberikan dukungan bagi kami. Serta tak lupa teman-teman yang ikut bekerja
sama dalam menyelesaikan makalah ini.

Kami menyadari bahwa penulisan tugas makalah ini masih jauh dari kata sempurna
maka dari itu kami mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca demi
kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat berguna dan membantu dalam
proses pembelajaran.

Jakarta, 10 April 2019

Penulis
Kelompok 1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tekanan intrakranial adalah tekanan di dalam tempurung kepala yang diberikan
oleh isinya, yaitu : otak, darah, daan CSS. TIK normal adalah 5 sampai 15
mmHg. Tekanan yang lebih besar dari 20 mmHg dianggap sebagai peningkatan
TIK yang akan menimbulkan gangguan perfusi otak serius.

Peningkatan TIK paling sering berhubungan dengan lesi seperti tumor, edema,
atau perdarahan). Namun demikian, infark serebral, sumbatan aliran CSS, abses,
toksin yang tertelan atau terakumulasi, gangguan aliran darah ke atau dari otak,
vasodilatasi akibat penigkatan tekanan karbon dioksida (PaCO 2) atau penurunan
tekanan parsial oksigen (PaO2), hipertensi sistemik, dan peningkatan tekanan
toraksik juga dapat menyebabkan TIK. Faktor risiko meliputi cedera kepala,
pendarahan otak, hidrocepalus, dan edema akibat pembedahan atau cedera.

Manifestasi klinis peningkatan tekanan intrakraial adalah gelisah, iritabilitas,


kebingungan) dan dapat mencakup penurunan skor Glasgow Coma Scale
(GCS). perubahan dalam bicara, reaktivitas pupil, kemampuan motorik atau
sensoris, atau laju dan irama jantung, sakit kepala, mual, muntah, atau
penglihatan kabur atau ganda (diplopia) , papilledema, pola pernapasan
memburuk dari pernapasan Cheyne-Stokes ke hiperventilasi neurogenik pusat
menjadi pernapasan apneustik dan pernapasan ataksia sejalan dengan
peningkatan TIK.

Menurut Windhiarti Tahun 2016 menyatakan bahwa pasien dengan cedera


kepala mempunyai kemungkinan adanya peningkatan tekanan intrakranial (TIK)
yang dapat menyebabkan kematian. Pada cedera kepala, peningktan TIK secara
konsisten dihubungkan dengan luaran yang buruk. Serta saat dilakukan
observasi bahwa luaran setelah cedera kepala secara signifikan lebih buruk
diantara pasien dengan TIK yang lebih dari 15 mmHg. Hal ini terkonfirmasi
pada review terkait cedera kepala, dimana angka kematian mencapai 55,6% pada
TIK dengan >40 mmHg.

Craniotomy adalah operasi untuk membuka tengkorak (tempurung kepala)


dengan maksud untuk mengetahui dan memperbaiki kerusakan otak. Indikasi
dalam tindakan ini yaitu pengangkatan tumor pada otak, menghilangkan bekuan
darah (hematoma) mengendalikan perdarahan dari pembuluh darah (aneurima
serebral), memperbaiki malformasi arteriovenosa (koneksi abnormal dari
pembuluh darah), menguras abses otak, mengurangi tekanan di dalam tengkorak
dan untuk melakukan biopsi.

Gejala-gejala yang timbul pada klien dengan post op craniotomy dibagi menjadi
2 yaitu manifestasi klinik umum akibat dari peningkatan TIK, obstruksi dari CSF
(sakit kepala, nausea atau muntah proyektif, perubahan mental dan kejang),
manifestasi klinik lokal akibat kompresi tumor pada bagian yang spesifik dari
otak (perubahan penglihatan, perubahan bicara, perubahan sensorik, perubahan
motorik, perubahan bowel atau blader, perubahan dalam pendengaran,
perubahan dalam seksual).

Komplikasi yang dapat timbul setelah dilakukannya post op craniotomy yaitu


edema cerebral, syok hipovolemik, hydrocephalus, perdarahan subdural,
epidural dan intracerebral, gangguan perfusi jaringan sehubungan dengan
tromboplebitis, yang muncul pada hari ke 7-144 hari setelah operasi, infeksi
biasanya muncul pada 6-46 jam setelah operasi.

Hasil penelitian Pribadi Tahun 2012 didapatkan pasien kraniotomi berjumlah


103 pasien dan 51 pasien (49,5%) diantaranya meninggal dunia di ruang
perawatan ICU dan HCU. Sebagian besar kematian pasca kraniotomi berasal
dari komplikasi sistemik yang berupa syok sepsis (33,3%) dan kegagalan nafas
(23,5%).
Hasil penelitian Fithrah, dkk Tahun 2016 menyatakan bahwa kraniotomi adalah
prosedur pembedahan yang digunakan untuk mengangkat tumor , memperbaiki
lesi vascular atau menurunkan tekanan intracranial. Salah satu komplikasi dari
prosedur ini adalah terjadinya perdarahan hingga harus dilakukan pembedahan
ulang. Angka kejadian perdarahan berulang pasca operasi sangat bervariasi
0,8%–50%. Pencetus terjadinya perdarahan berulang pasca operasi banyak
sekali dari sisi gender, usia, komorbid yang diderita hingga pengelolaan pasca
operasi seperti penggunaan pengencer darah ikut berpengaruh untuk terjadinya
perdarahan pasca operasi.

Berdasarkan komplikasi yang ditimbulkan post op craniotomy kelompok


membahas tentang asuhan keperawatan dengan pasien pasca craniotomy.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa pengertian dari peningkatan tekanan intrakranial?
2. Apa etiologi dari peningkatan tekanan intrakranial?
3. Apa faktor risiko dari peningkatan tekanan intrakranial?
4. Bagaimana patofisiologis dari peningkatan tekanan intrakranial?
5. Apa manifestasi klinik dari peningkatan tekanan intrakranial?
6. Apa komplikasi dari peningkatan tekanan intrakranial?
7. Apa penatalaksanaan dari peningkatan tekanan intrakranial?
8. Apa pengertian dari craniotomy?
9. Apa indikasi dari craniotomy?
10. Apa manifestasi klinis dari post op craniotomy?
11. Apa komplikasi dari post op craniotomy?
12. Apa penatalaksanaan pada post op craniotomy?
13. Apa tindakan keperawatan post op craniotomy?
14. Bagaimana asuhan keperawatan post operasi kraniotomi dan pemantauan
peningkatan tekanan intrakranial?
15. Bagaimana pembahasan kasus post operasi kraniotomi dan pemantauan
peningkatan tekanan intrakranial?

1.3 Tujuan Masalah


1.3.1 Tujuan Umum
Setelah dilakukan pembelajaran diharapkan mahasiswa mampu memahami
tentang asuhan keperawatan pada pasien dengan pasca craniotomy dan
pemantauan TIK
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui pengertian dari peningkatan tekanan intrakranial?
2. Untuk mengetahui etiologi dari peningkatan tekanan intrakranial?
3. Untuk mengetahui faktor risiko dari peningkatan tekanan intrakranial?
4. Untuk mengetahui patofisiologis dari peningkatan tekanan intrakranial?
5. Untuk mengetahui manifestasi klinik dari peningkatan tekanan
intrakranial?
6. Untuk mengetahui komplikasi dari peningkatan tekanan intrakranial?
7. Untuk mengetahui penatalaksanaan dari peningkatan tekanan
intrakranial?
8. Untuk mengetahui pengertian dari craniotomy?
9. Untuk mengetahui indikasi dari craniotomy?
10. Apa komplikasi dari post op craniotomy?
11. Untuk mengetahui manifestasi klinis dari post op craniotomy?
12. Untuk mengetahui penatalaksanaan pada post op craniotomy?
13. Untuk mengetahui tindakan keperawatan post op craniotomy?
14. Untuk mengetahui asuhan keperawatan post operasi kraniotomi dan
pemantauan peningkatan tekanan intrakranial?
15. Untuk mengetahui pembahasan kasus post operasi kraniotomi dan
pemantauan peningkatan tekanan intrakranial?
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Tekanan Intrakranial

2.1 Pengertian
Tekanan intrakranial adalah tekanan di dalam tempurung kepala yang diberikan
oleh isinya, yaitu : otak, darah, daan CSS. TIK diukur dengan sebuah monitor di
ventrikel, parenkim otak, atau ruang subaraknoid. TIK normal adalah 5 sampai
15 mmHg. Tekanan yang lebih besar dari 20 mmHg dianggap sebagai
peningkatan TIK yang akan menimbulkan gangguan perfusi otak serius.

2.2 Etiologi dan Faktor Risiko


Peningkatan Tik paling sering berhubunan dengan lesi ang memakan tempat
(seperti tumor, edema, atau perdarahan). Namun demikian, infark serebral,
sumbatan aliran CSS, abses, toksin yang tertelan atau terakumulasi, gangguan
aliran darah ke atau dari otak, vasodilatasi akibat penigkatan tekanan karbon
dioksida (PaCO2) atau penurunan tekanan parsial oksigen (PaO2), hipertensi
sistemik, dan peningkatan tekanan toraksik juga dapat menyebabkan TIK. Faktor
risiko meliputi cedera kepala, pendarahan otak, hidrocepalus, dan edema akibat
pembedahan atau cedera.

2.3 Patofisiologi
Sejalan dengan membesarnya massa intrakranial, kompensasi awal terjadi
melalui perpindahan CSS ke dalam kanal tulang belakang. Kemampauan otak
dalam beradaptasi terhadap tekanan meningkat tanpa peningkatan TIK di sebut
komplias. Gerakan CSS keluar dari tepurung kepala adalah mekanisme
kompensasi yang pertma dan utama, tetapi kubah tengkorak hanya dapat
menampung peningkatan volume intrakranial sampai titik tertantu saja. Jika
komplias otak terlampaui maka terjadi peningktan TIK, manifestasi klinis, dan
dimulainya upaya kompensasi lain untuk mengurangi tekanan tersebut.
Bentuk kompensasi ke dua adalah pengurangan volume darah di dlam otak.
Autoregulasi adalah terjadinya perubahan kompenasi dalam diameter pembuluh
darah intrakranial yang dirancang untuk menjaga aliran darah konstan selama
perubahan CPP. Autoregulasi hilang dengan meningkatnya TIK. Peningkatan
kecil dalam volume otak kemudian dapat menyebabkan peningkatan dramatis
dari TIK dan membutuhkan waktu yang lebih lama untuk kembali tingkat dasar.
Jika TIK mendkati tekanna darah sistemik perfui otak menurun dan otak
menderita hpoksia berat serta asidosis. Jika aliran darah berkurang 40%, maka
jaringan otak menjadi asidosis. Jika 60% dari aliran darah hilang, maka elektro
ensefalogram (EGG) mulai berubah. Kompensasi tahap ini mngubah
metabolisme otak, yang pada akhirnya menyebabkan hipoksia jaringan otak dan
hiskemia area jaringan otak.

Kompensasi tahap akhir dan yang paling mematikan adalah perpindahan


jaringan otak melewati struktur yang menbagi otak. Otak ditopang di dalam
berbagai kompartemen intrakranial. Kompartemen supratentorial berisi semua
jaringan otak dari puncak otak tengah ke atas. Bagian ini dibagi menjadi ruang
kanan dan kiri oleh serat ketat dan tidak elastis pada falks serebri yang kuat.
Kompartemen supratentorial dipisahkan dari kompartemen infratentorial (berisi
batang otak dan serebelum) oleh tentorium serebelum. Otak dapat membuat
beberapa gerakan di dalam kompartemen-kompartemen ini. Peningkatan tekanan
dalam satu kompartemen akan memengaruhi area sekitarnya yang bertekanan
rendah.

Jika membengkak, otak dapat menonjol ke tentorium, di bawah falks serebri,


atau melalui foramen magnum ke kanal tulang belakang. Proses ini disebut
herniasi dan sering mengakibatkan kematian karena kompresi batang otak.

2.4 Manifestasi Klinis


Manifestasi peningkatan TIK disebabkan oleh traksi pada pembuluh darah
serebral dari jaringan yang membengkak dan oleh tekanan pada dura mater
sensitif nyeri dan berbagai struktur yang ada di dalam otak. Proses patologis
dari peningkatan TIK sebenarnya terdiri atas beberapa entitas yang terjadi
bersamaan. Tidak ada serangkaian manifestasi klinis tunggal yang terjadi pada
klien. Indikasi peningkatan TIK berhubungan dengan lokasi dan penyebab
tingginya tekanan tersebut serta dengan kecepatan dan tingkat
perkembangannya.

Manifestasi awal dari peningkatan TIK tidak terlihat jelas dan diperlukan
observasi yang tekun terhadap perubahan kondisi klien. Manifestasi klinisnya
meliputi segala perubahan dalam tingkat kesadaran (misalnya, gelisah,
iritabilitas, kebingungan) dan dapat mencakup penurunan skor Glasgow Coma
Scale (GCS). Selain itu, klien juga dapat mengalami perubahan dalam bicara,
reaktivitas pupil, kemampuan motorik atau sensoris, atau laju dan irama
jantung. Sakit kepala, mual, muntah, atau penglihatan kabur atau ganda
(diplopia) dapat juga terjadi. Saraf optik merupakan perpanjangan dari otak dan
peningkatan tekanan di dalam tengkorak ditransmisikan ke saraf optik hingga
menyebabkan papiledema. Papiledema adalah pembengkakan dan hiperemia
diskus optik yang hanya dapat dilihat melalui oftalmoskop. Deteksi dini
peningkatan TIK (misal, sebelum manifestasi klinis berkembang) dengan cara
memantaunya di unit perawatan kritis dapat sangat meningkatkan perbaikan
kondisi klien.

Triad Cushing-peningkatan tekanan darah sistolik dengan tekanan nadi yang


melebar dan bradikardimerupakan respons lambat yang mengindikasikan
adanya peningkatan TIK yang parah disertai kegagalan autoregulasi. Pola
pernapasan memburuk dari pernapasan Cheyne-Stokes ke hiperventilasi
neurogenik pusat menjadi pernapasan apneustik dan pernapasan ataksia sejalan
dengan peningkatan TIK. Namun demikian, pola-pola pernapasan ini tidak akan
terlihat pada klien yang menerima ventilasi mekanis. Hipertermia biasanya
terjadi apabila peningkatan tekanan tersebut memengaruhi hipotalamus terlebih
dahulu, yang diikuti oleh hipotermia sejalan dengan peningkatan TIK.
Pemeriksaan diagnostik yang biasanya dilakukan untuk menentukan sumber
peningkatan TIK meliputi radiografi tengkorak, pemindaian tomografi komputer
(computed tomography [CT] scan), dan pencitraan resonansi magnetik
(magnetic resonance imaging [MRI]). Pungsi lumbal biasanya tidak dilakukan
karena berisiko menyebabkan herniasi batang otak jika tekanan CSS di tulang
belakang lebih rendah dibandingkan di tempurung kepala. Selain itu, tekanan
CSS di tingkat lumbal tidak selalu mencerminkan secara akurat tekanan CSS
intrakranial.
1. Sindrom Herniasi

Sindrom herniasi telah diklasifikasikan menjadi lima jenis. Kondisi-kondisi


ini terjadi di akhir perjalanan peningkatan TIK dan merupakan upaya
terakhir tubuh untuk mengembalikan volume dan tekanan otak normal
melalui perpindahan darah, jaringan otak, atau CSS. Terlepas dari jenisnya,
herniasi selalu menjadi keadaan gawat darurat. Segera beritahu dokter jika
terdapat manifestasi apapun yang mengindikasikan perburukan kondisi
klien sebagai akibat dari peningkatan TIK.

2. Sindrom Herniasi Supratentorial

a. Herniasi Transkalvarial

Herniasi transkalvarial terjadi pada cedera kepala terbuka ketika


jaringan otak keluar melalui fraktur tengkorak yang tidak stabil.
Manifestasi klinisnya sangat bervariasi, yakni bergantung pada lokasi
dan luasnya fraktur tengkorak terbuka tersebut.
b. Herniasi Transtentorial Sentral

Herniasi transtentorial sentral adalah perpindahan diensefalon ke arah


bawah melewati takik tentorial. Herniasi ini disebabkan oleh cedera
atau massa yang terletak di jaringan otak atau di perimeter luar dari
serebrum. Indikasi awal dari transtentorial sentral adalah perubahan
yang cepat di tingkat kesadaran. Sejalan dengan meningkatnya
tekanan, terjadi perubahan pola pernapasan, yaitu pertama,
pernapasan Cheyne-Stokes dan kemudian hiperventilasi neurogenik
sentral; dilanjutkan dengan pernapasan apneustik dan juga pernapasan
ataksia (pernapasan Biot), dan akhirnya, apnea. Pupil mengecil
walaupun pada awalnya tetap reaktif, yang kemudian mengalami
dilatasi dan fiksasi. Refleks patologis dimulai dengan tanda Babinski
dan kemudian berkembang dari fleksi abnormal menjadi postur
ekstensi normal. Refleks mata boneka dan respons positif terhadap tes
kalori terjadi apabila fungsi batang otak masih utuh dan tidak terjadi
apabila batang otak sudah mati. Fitur Pemantauan Kritis
mencantumkan berbagai area spesifik dari otak yang berkaitan dengan
manifestasi patologis.
c. Herniasi Transtentorial Lateral

Herniasi transtentorial lateral terjadi akibat perpindahan massa di atau


sepanjang lobus temporal. Herniasi ini disebut juga herniasi unkal
karena sejalan dengan terkompresinya lobus, unkus (bagian
anteromedial dari hipokampus) atau girus hipokampus bergeser dari
fosa tengah melewati takik tentorial ke fosa posterior. Sejalan dengan
berkembangnya herniasi, pupil terlebih dahulu menjadi lamban dalam
merespons cahaya dan kemudian menjadi tidak responsif. Kurangnya
respons ini terlihat terlebih dahulu di pupil ipsilateral dan kemudian di
pupil kontralateral, sebagai akibat dari kompresi saraf kranial ketiga
di otak tengah. Manifestasi klinis progresif lainnya meliputi
penurunan tingkat kesadaran (stupor sampai koma), pernapasan
Cheyne-Stokes yang diikuti oleh hiperventilasi neurogenik sentral,
dan postur fleksor abnormal yang berkembang menjadi postur
ekstensor normal.
d. Herniasi Singulata

Herniasi singulata terjadi jika lobus frontal dari otak besar mengalami
kompresi, yang menimbulkan kompresi girus singulata (lilitan
berbentuk lengkung yang terletak tepat di atas korpus kalosum) ke
bawah falks serebri. Manifestasinya berkaitan dengan kompresi arteri
serebral yang menyebabkan iskemia dan kongesti, edema, serta
meningkatkan TIK.

3. Sindrom Herniasi Infratentorial (Tonsilar)

Herniasi tonsilar, yang juga dikenal sebagai herniasi serebelar, terjadi jika
tonsil serebelar bergeser melewati foramen magnum, sehingga menekan
medula dan bagian atas dari tulang belakang. Peningkatan tekanan di fosa
posterior, yang sering terjadi akibat perdarahan serebelar, adalah masalah
biasa yang mendasarinya. Manifestasinya sering berkembang cepat dan
mencakup perubahan tidak menentu pada tekanan darah, denyut nadi, dan
pernapasan; penurunan tingkat kesadaran; leher kaku, melengkung; dan
quadriparesis.

2.5 Manajemen Hasil Pada Sindrom Herniasi


Hiperventilasi telah menjadi pengobatan standar untuk herniasi selama
bertahun-tahun. Tekanan perfusi serebral menurun disebabkan oleh
berkurangnya aliran darah di otak akibat vasokonstriksi karena “peningkatan
karbon dioksida”. Bagaimana pun, menurunnya aliran darah arteri ke otak
merupakan hal serius; sehingga praktik rutin hiperventilasi dipertanyakan
karena kekurangan aliran darah arteri dapat menyebabkan cedera otak sekunder.
Saat ini, hiperventilasi digunakan sebagai tindakan sementara untuk klien yang
menunjukkan manifestasi herniasi.

Manajemen klien dengan cedera kepala dan peningkatan tekanan intrakranial


dimulai di tempat terjadinya cedera dan berlanjut sampai klien mencapai fungsi
maksimal. Pembahasan ini akan dimulai sesuai situasi yang muncul.
1. Manajemen Medis
Tujuan dari manajemen medis adalah untuk mempertahankan oksigenasi
Otak, mengurangi TIK, mempertahankan fungsi neurologis yang optimal,
dan menyiapkan klien untuk rehabilitasi.
a. Mempertahankan Oksigenasi Serebral

Otak yang bengkak atau memar mengalami peningkatan kebutuhan


oksigen dan glukosa karena tingkat metabolisme meningkat. Pao2
harus dipertahankan antara 90 dan 100 mm Hg. Hipoksemia (apnea,
sianosis, saturasi oksigen di bawah 90%) segera diperbaiki dengan
membuka jalan napas atau mengintubasi klien (cedera pada bagian
servikal harus dipertimbangkan). Hiperventilasi profilaksis rutin
dihindari kecuali jika klien menunjukkan bukti herniasi serebral.
Steroid telah diresepkan selama beberapa dekade untuk
mengendalikan edema otak dan penggunaannya telah terbukti
meningkatkan hasil lebih dari 30 tahun yang lalu. Namun, penelitian
terbaru belum menunjukkan peningkatan hasil klien menggunakan
steroid, sehingga penggunaannya tidak lagi dianjurkan.
b. Menurunkan Tekanan Intrakranial

Asuhan darurat untuk klien yang berisiko tinggi mengalami


peningkatan TIK berfokus pada mempertahankan jalan napas,
memperbaiki pernapasan, dan meningkatkan sirkulasi. Hipoksemia dan
hipotensi sering berhubungan dengan hasil yang buruk pada cedera
kepala. Intervensi yang segera dapat mencakup intubasi yang
dilanjutkan dengan hiperventilasi, pemberian diuretik osmotik, dan
elevasi kepala untuk meningkatkan drainase vena.
c. Perfusi Serebral

Cairan intravena (IV) diberikan untuk menghindari atau membatasi


hipotensi dan untuk mencegah cedera otak sekunder. Obat vasoaktif,
yang digunakan baik untuk meningkatkan maupun menurunkan
tekanan darah, dapat diperlukan untuk mempertahankan tekanan
perfusi serebral (CPP) pada tingkat normal. CPP adalah hasil dari
hubungan antara tekanan darah dan TIK. Jika dokter tidak
memberikan perintah untuk mengobati perubahan tekanan darah,
maka notifikasi harus dilakukan jika rentang tekanan darah di bawah
100 atau di atas 150 mm Hg sistolik. Pemeriksaan klinis yang parah
menunjukkan bahwa CPP dari 70 sampai 80mm Hg merupakan
ambang kritis, meskipun beberapa di antaranya merekomendasikan
agar CPP dipertahankan di atas 60 mm Hg. Dokter sering memberikan
instruksi untuk titrasi obat guna mempertahankan CPP di atas 60 mm
Hg. Langkah-langkah penurunan umum meliputi meninggikan kepala
tempat tidur, mencegah obstruksi vena jugularis, mengendalikan suhu
tubuh, mencegah kejang, serta memberikan sedasi dan analgesia.
Perawat sering kali harus menitrasi beberapa obat secara bersamaan
untuk mencapai CPP yang ideal.
d. Hiperventilasi

Hiperventilasi telah direkomendasikan sebagai pengobatan utama


untuk klien cedera kepala karena peningkatan kadar karbon dioksida
menyebabkan pembuluh darah otak membesarDengan melakukan
hiperventilasi secara manual atau meningkatkan pengaturan ventilator
hingga menimbulkan hiperventilasi, maka terjadilah kadar darah
hipokarbik (karbon dioksida rendah). Tekanan parsial kadar CO2
(PaCO2) antara 30 and 35 mm Hg menimbulkan vasokonstriksi
pembuluh darah serebral, yang menyebabkan penurunan aliran darah
dan dengan demikian menurunkan TIK. Namun demikian, pada
cedera otak traumatis, aliran darah serebral berkurang sebanyak dua
pertiga dari normal dan hiperventilasi memperburuk perfusi serebral
secara serius. Oleh karena itu, hiperventilasi rutin tidak lagi
direkomendasikan kecuali jika klien menunjukkan adanya herniasi.
Jika klien memiliki postur ekstensor atau pupil yang asimetris atau
tidak bereaksi, maka klien harus dihiperventilasi dengan frekuensi
napas 20 x/menit sampai analisis gas darah dapat memberikan
pedoman untuk kecepatan ventilasi.
e. Diuresis Osmotik

Manitol yang merupakan agen hiperosmotik yang digunakan untuk


meningkatkan dengan cepat volume plasma dan meningkatkan aliran
darah serebral serta pengiriman oksigen. Manitol memiliki efek yang
lambat dalam menciptakan gradien osmotik yang menarik cairan
keluar dari sel, sehingga menimbulkan diuresis selama jam-jam
berikutnya. Manitol dapat terakumulasi di otak dari waktu ke waktu,
sehingga untuk mengurangi risiko ini biasanya diberikan dalam dosis
bolus dan bukan dengan infus yang kontinu. Fungsi ginjal, kadar
elektrolit, dan osmolalitas serum perlu dipantau jika klien menerima
manitol. Diuresis dapat terjadi, serta klien dapat mengalami hipotensi
dan dehidrasi karena penggunaan manitol yang berlebihan.
Pemantauan adanya dehidrasi sangatlah penting. Dehidrasi ditandai
dengan adanya peningkatan natrium serum dan nilai osmolalitas.
f. Salin Hipertonik

Salin hipertonik adalah semua larutan salin memiliki konsentrasi lebih


tinggi dari O,9%. Konsentrasi yang umum adalah natrium klorida 3%,
5%, 7%, dan 23%. Salin hipertonik menyebabkan diuresis osmotik
karena konsentrasinya lebih tinggi dari jaringan. Pemberian salin
hipertonik meningkatkan osmolaritas plasma dan membentuk gradien
osmotik yang mengalirkan kelebihan air dari jaringan otak ke dalam
pembuluh darah. Dengan mengurangi kandungan air di jaringan otak,
salin hipertonik dapat mengurangi efek massa dan menurunkan TIK.
g. Pencegahan Komplikasi

Banyak komplikasi yang berhubungan dengan cedera kepala.


Antibiotik dapat diberikan, terutama untuk cedera kepala terbuka,
pemasangan monitor TIK, atau infeksi pada sistem tubuh lainnya.
Infeksi meningkatkan metabolisme dan dengan demikian
meningkatkan TIK.
Obat antikejang (misal, fenitoin dan karbamazepin) dapat diberikan
sebagai profllaksis untuk mengurangi risiko kejang. Kejang secara
signifikan meningkatkan kebutuhan metabolik dan aliran darah serta
volume serebral, serta dengan demikian meningkatkan TIK.

Cairan intravena diberikan melalui pompa infus IV untuk membantu


memantau jumlah cairan yang masuk. Klien dipertahankan dalam
keadaan euvolemia. Larutan hipotonik IV harus dihindari karena
berisiko meningkatkan edema serebral.
Penurunan suhu menurunkan metabolisme dan aliran darah otak dan
dengan demikian juga menurunkan TIK. Antipiretik harus menjadi
intervensi pertama untuk mengeset ulang termostat hipotalamus.
Langkah-langkah pendinginan lainnya meliputi selimut hipotermia,
mandi dengan air hangat, atau kompres kemasan es. Relaksan otot
diberikan untuk mencegah menggigil.

Malnutrisi, dengan menyusutnya massa otot tanpa lemak (lean muscle


mass), dapat terjadi dengan cepat akibat respons metabolik terhadap
cedera kepala berat. Hipoglikemia harus dihindari; glukosa merupakan
bahan bakar utama untuk otak. Hipoglikemia harus dihindari dengan
pemantauan yang ketat. Tidak hanya itu, hipoglikemia berat juga dapat
mengakibatkan kejang dan koma. Dukungan nutrisi disediakan dengan
pernberian makan melalui yeyunum untuk mengurangi risiko
regurgitasi lambung dan aspirasi. Asupan kalori yang dianjurkan adalah
140% dari pengeluaran metabolik istirahat pada klien yang nonparalisis
dan 100% dari pengeluaran metabolik istirahat pada klien paralisis
dengan 15% dari asupan kalori tersebut adalah protein. Dukungan
nutrisi harus dimulai selambat-lambatnya tujuh hari setelah cedera.
h. Monitor Tekanan lntrakranial

Pemantauan TIK yang kontinu digunakan untuk klien yang


mengalami kondisi yang berhubungan dengan risiko peningkatan TIK
(misal, trauma kepala dengan skor GCS 8 atau kurang), aneurisma
praoperasi dan pascaoperasi, tumor, dan lesi fosa posterior.
Pemantauan TIK membantu dalam deteksi dini lesi massa
intrakranial; membatasi penggunaan terapi yang membabi buta untuk
mengendalikan TIK, karena terapi itu sendiri dapat membahayakan;
mengurangi TIK dengan mengalirkan CSS sehingga meningkatkan
perfusi serebral; membantu menentukan prognosis; dan dapat
meningkatkan hasil.

Tersedia beberapa metode pemantauan TIK. Metode yang paling


umum adalah mengukur tekanan CSS dalam ventrikel, parenkim otak,
atau ruang subarakhnoid. Penggunaan kateter intraventrikular
memberikan hasil yang paling akurat. Semua perangkat pemantauan
bersifat invasif dan membawa risiko infeksi/kolonisasi, perdarahan,
dan obstruksi, terutama perangkat yang dipasang di tempat selama
lebih dari 5 hari. Kebanyakan ahli bedah meresepkan antibiotik,
membatasi jangka waktu pemasangan monitor TIK, dan memantau
sampel CSS secara teratur. Fitur Penghubung ke Pelayanan Kritis
tentang Pemantauan Tekanan Intrakranial menggambarkan tentang
peran perawat dalam merawat klien yang menggunakan perangkat
tersebut.

Pemantauan TIK, juga memungkinkan dilakukannya pengukuran


komplians intrakranial. Hal tersebut dilakukan dengan memasukkan
volume cairan yang diketahui ke dalam ventrikel dan mengukur
efeknya pada tes komplians TIK. Pemeriksaan gelombang TIK juga
dapat membantu dalam menentukan komplians otak. Mendeteksi
perubahan dalam hubungan penting antara volume dan tekanan
memungkinkan dilakukannya pengobatan dini sebelum munculnya
manifestasi klinis atau peningkatan TIK yang membandel.
Pengukuran tekanan perfusi serebral (CPP) dapat dilakukan dengan
monitor TIK. Idealnya, CPP harus dipertahankan di atas 60 mm Hg.
i. Mencegah Hipertensi Intrakranial

Hipertensi intrakranial didefinisikan sebagai TIK yang lebih besar dari


20 sampai 25 mm Hg dan dapat menyebabkan herniasi otak yang
fatal. Iika herniasi terjadi pada tingkat medula, kematian dapat terjadi.
Drainase CSS, pemberian manitol, hiperventilasi, dan sedasi/paralisis
kimia merupakan langkah-langkah yang biasa dilakukan dalam
manajemen hipertensi intrakranial.
1) Sedasi/Paralisis

Beberapa klien mengalami masalah tekanan intrakranial yang


membandel (berulang) dan membutuhkan metode yang sangat
canggih untuk mengurangi metabolisme serebral. Metode tersebut
dapat mencakup sedasi dan paralisis.
2) Barbiturat

Barbiturat dosis tinggi (pentobarbital atau tiopental) akan


menginduksi koma, menurunkan TIK, dan mengurangi angka
kematian pada klien dengan TIK yang tidak terkendali yang
tahan terhadap semua tindakan medis dan bedah lainnya. Namun
demikian, agen-agen ini dapat menyebabkan hipotensi dan
penggunaannya dibatasi pada klien dengan cedera otak traumatik
yang parah. Penggunaan profilaktik dari barbiturat tidak
dibenarkan. Terapi barbiturat membutuhkan pemantauan yang
canggih dan pelatihan khusus. Klien diintubasi dan ditempatkan
pada alat bantu ventilasi, serta kateter arteri pulmoner
dimasukkan. Modalitas pemantauan lain yang dibutuhkan adalah
oksigenasi vena juguler (Sjvo2) dan oksigenasi jaringan otak
(tbO2).

Pantau kadar obat dalam serum setiap hari. Dosis harus dikurangi
jika kadar serum melebihi 5 mg/dl atau jika pola ledak supresi
pada EEG berlangsung lebih dari 10 detik. Pantau suhu tubuh
karena barbiturat menurunkan metabolisme, sehingga
mendinginkan tubuh. Iika suhu tubuh turun hingga kurang dari
36°C, pemanasan aktif harus dilakukan. Propofol telah
digunakan sebagai pengganti barbiturat untuk memberikan
manajemen yang sama untuk peningkatan TIK tetapi mungkin
tidak begitu bermanfaat dibandingkan barbiturat. Keuntungan
dari propofol adalah bahwa obat tersebut bekerja singkat, hingga
memungkinkan dilakukannya pengkajian harian status
neurologis. Pemantauan EEG yang serupa harus dilakukan,
begitu juga dengan asuhan klien.

Lanjutkan pengkajian pupil. Sekalipun klien dalam keadaan


koma, pupil mengalami dilatasi jika batang otak terkompresi.
Beritahu dokter tentang perubahan ini. Terapi barbiturat
menghilangkan fungsi protektif normal klien. Klien sepenuhnya
bergantung pada asuhan keperawatan untuk semua kebutuhan
dasarnya. Sapih klien secara perlahan dari terapi barbiturat
propofol untuk mencegah hipertensi intrakranial pantulan.
3) Agen Penghambat Neuromuskular

Agen penghambat neuromuskular nondepolarisasi terkadang


digunakan untuk menginduksi relaksasi otot rangka dan
meningkatkan pernapasan yang sinkron selama ventilasi
mekanis. Penurunan aktivitas otot mungkin diperlukan untuk
mengendalikan TIK. Perawat menggunakan Stimulator saraf
perifer untuk memantau kecukupan dosis obat dan risiko
overdosis. Agen penghambat pentobarbital dan neuromuskular
biasanya tidak diberikan secara bersamaan. Jika klien
mendapatkan agen penghambat neuromuskular, sedasi dan
analgesia harus diberikan karena agen penghambat
neuromuskular tidak menyediakannya.
2. Manajemen Keperawatan
a. Pengkajian. Glasgow Coma Seale (GCS) adalah alat pengkajian
neurologis yang paling banyak digunakan dalam perawatan klinis. Skala
ini memberikan pengukuran yang objektif terhadap tiga komponen
penting dari pemeriksan neurologis, yaitu spontanitas membuka mata,
respons verbal terbaik, dan respons motorik terbaik. Skor total dapat
berkisar antara 3 sampai 15. Klien yang tidak responsif terhadap
stimulus nyeri, tidak membuka mengikuti perintah memiliki skor 15.
Skor 8 atau kurang mengindikasikan adanya koma. Oleh karena skor
Gcs mata, dan mengalami flaksiditas otot total memiliki skor 3 Klien
yang berorientasi, membuka mata secara spontan, dan dibuat
berdasarkan kemampuan klien untuk merespons dan berkomunikasi,
kriteria berikut ini dapat membuat GCS tidak valid.

 Klien diintubasi dan tidak dapat berbicara.

 Mata bengkak dan tertutup

 Klien tidak dapat berkomunikasi dalam bahasa Inggris

 Klien mengalami Klien mengalami gangguan pendengaran.

 Klien buta

 Klien mengalami afasia

 Klien buta Klien paralisis atau hemiplegia.

Skor GCS klien yang pertama kali direkam akan dilakukannya


pengkajian kecenderungan atau perubahan status neurologis dan
menjadi indikator yang signifikan serta dapat diandalkan tentang
keparahan cedera kepala Sebuah pengukuran tunggal tidak dapat
memprediksi hasil. Namun demikian, penurunan GCS sebesar 2 poin
dan skor 9 atau lebih rendah menunjukkan cedera yang serius.
Penggunaan kriteria yang konsisten untuk pengkajian klien lebih
penting dari pada alat khusus yang digunakan. Perilaku spesifik dari
skor yang diperoleh harus ditunjukkan. Jika variasi terjadi pada kriteria
penilaian, maka nilai skala akan hilang dan perubahan serius pada
kondisi klien dapat diabaikan atau dianggap tidak perlu. Sementara
Glasgow Coma Scale cepat dan mudah untuk diulang, pengkajian
neurologis yang lebih detail dilakukan untuk mengidentifikasi
kecenderungan tertentu di dalam respons.

1) Respons Pupil

Pemeriksaan pupil meliputi pengkajian tampilan pupil dan respons


fisiologis. Pupil yang terpengaruh biasanya berada di yang sama
(ipsilateral) dengan lesi otak, sedangkan defisit motorik dan
sensoris biasanya terjadi sisi yang berlawanan (kontralateral).
Berhati-hatilah untuk tidak keliru mengkaji prostetik dengan pupil
yang terfiksasi.

2) Kesetaraan Pupil

Catat kesetaraan pupil, perhatikan Ukuran relatif masing-masing


Pupil.

3) Ukuran Pupil

Ukur masing-masing pupil dalam milimeter (mm) sebelum dan


sesudah stimulasi ringan. Senter kecil dapat memberikan data yang
lebih akurat daripada yang dapat diperoleh dengan senter besar
karena ukuran lampunya yang lebih kecil dan kemampuan untuk
memfokuskan cahaya langsung ke pupil.
4) Posisi Pupil

Catat apakah pupil berada di garis tengah atau menyimpang dari


garis tengah.
5) Reaksi Pupil terhadap Cahaya
Arahkan senter kecil dari bagian samping kepala klien ke arah
mata. Amati adanya konstriksi pada mata dan juga mata lainnya.
Kemudian tes mata lainnya dengan cara yang sama. Deteksi
perubahan yang halus mungkin memerlukan empat kali
pemeriksaan dengan senter kecil tersebut. Konstriksi yang cepat
dan sama pada kedua pupil terhadap cahaya langsung dan tidak
langsung adalah respons yang normal. Respons langsung atau
tidak langsung yang lambat atau tidak sama (konsensual) adalah
tidak normal. Anisokoria, atau pupil yang tidak sama, normalnya
terjadi pada sekitar 17% dari populasi yakni satu pupil sekitar 1
mm lebih besar dari pupil lainnya. Penting untuk memastikan
informasi mengenai ketidaksetaraan pupil ini dari klien atau
anggota keluarga agar prosedur yang tidak perlu tidak dilakukan.
6) Bentuk Pupil

Normalnya, pupil berbentuk bulat. Jelaskan bentuk abnormal


dengan gambar. Pupil dapat berbentuk aneh sebagai akibat dari
operasi mata sebelumnya. Pupil yang terlihat oval dapat menjadi
bukti awal peningkatan TIK.

7) Akomodasi Pupil

Normalnya, ukuran pupil dan lensa (yang tidak terihat dengan


mata telanjang) mengakomodasi (menyesuaikan) terhadap
berbagai panjang fokus. Minta klien yang sadar untuk
memfokuskan pandangan pada sebuah objek yang jauh dan
kemudian dengan cepat memindahkan fokus ke objek yang dekat.
Pupil harus mengecil pada saat objek dibawa lebih dekat ke mata
dan harus melebar ketika objek tersebut dijauhkan dari mata.
Akomodasi sering kali tidak diuji di tempat perawatan akut karena
ketidakmampuan klien untuk bekerja sama. Singkatan PERRLA
sering digunakan dalam praktik dan menunjukkan bahwa Pupil
adalah sama (Equal), bulat (Round), dan reaktif (Reactive terhadap
cahaya (Light) dan akomodasi (Accommodation). Segera beritahu
dokter jika terjadi perubahan dalam respons pupil.

8) Gerakan Mata

Dokumentasikan setiap perubahan pada gerakan mata. Observasi


posisi mata ketika mengkaji pupil. Observasi mata ketika mengkaji
pupil. Mata harus bergerak bersamaan. Jika terdapat gerakan
diskonjugasi (tidak bersamaan), dokter harus diberitahu.

9) Tanda-Tanda Vital

Pada awalnya tanda-tanda vital harus dikaji secara kontinu dan


dicatat setiap 15 menit sampai mereka stabil. Suhu tubuh harus
dipantau setiap 2 jam. Jika terjadi hipotermia atau hipertermia,
suhu harus dipantau secara kontinu; termometer aksila atau
termometer di dalam kateter urine banyak digunakan.
Kecenderungan dalam tanda-tanda vital dan pola pernapasan harus
dianalisis. Sejalan dengan meningkatnya TIK dan terjadinya
herniasi pada tingkat medula, terjadilah respons Cushing.

Perubahan tanda-tanda vital adalah perubahan akhir. Setelah tanda-


tanda vital memburuk, banyak perubahan lain yang telah terjadi,
seperti penurunan tingkat kesadaran. Pemantauan yang kontinu
terhadap perubahan-perubahan tersebut sangat penting, jangan
menunggu tanda-tanda vital berubah karena keterlambatan dapat
berakibat fatal bagi klien. Segala perubahan status neurologis
dapat signifikan dan harus dilaporkan kepada dokter, terlepas dari
seberapa kecil tampaknya perubahan tersebut.

Pengkajian lain juga dapat dilakukan terhadap saraf kranial.


Gerakan ekstraokular diuji pada klien yang cukup sadar untuk bisa
mengikuti perintah. Minta klien untuk mengikuti jari anda dengan
mata mereka tanpa menggerakan kepala. Gerakan konjugasi mata
terjadi ketila ata tidak bergerak secara bersamaan dalam arah
lateral (satu mata dapat bergerak lateral sementara mata yang lain
tetap atau bergerak ke arah lain). Pelacakan terjadi ketika klien
secara sadar mengikuti gerakan seseorang atau sesuatu di sekitar
ruangan.

Refleks berkedip dapat diuji dengan belaian ringan pada bulu


mata. Jika kelopak mata tertutup, mereka akan bergetar sedikit jika
refleks ada. Observasi berkedip pada klien yang sadar dan
waspada. Refleks muntah diuji dengan meminta klien yang
waspada untuk batuk atau menelan. jika klien tidak mampu atau
tidak sadar, sentuh bagian belakang tenggorokan klien dengan
pulas panjang kapas. Refleks muntah harus cepat; jangan terus
mengujinya setelah diketahui bahwa refleks tersebut ada
memancing muntah.

Perhatikan kesimetrisan otot-otot wajah. Perhatikan kemampuan


untuk membuka kelopak mata secara spontan dan bersamaan.
Minta klien untuk menutup mata serapat mungkin. Minta klien
untuk tersenyum dan perhatika kedua sudut mulut untuk
mengidentifikasi pola simetris. Meminta klien untuk
mengernyit/mengerutkan dahi. Akhirnya, perhatikan apakah bicara
klien jelas, cadel berbelit-belit, atau afasik.

b. Diagnosis, Hasil yang Diharapkan, Intervensi

1) Diagnosis

a) Perfusi Jarangan Serebral Tidak Efektif. Jika klien dalam


keadaan koma karena peningkatan TIK, gunakan diagnosis ini
untuk mencerminkan risiko perfusi jaringan serebral.
b) Perfusi Jaringan Tidak Efektif: Serebral berhubungan dengan
peningkatan TIK. Istilah pasien digunakan untuk merujuk
seseorang yang dalam keadaan koma. Klien dalam hal ini
adalah keluarg pasien, yang berfungsi sebagai advokatnya.

2) Hasil yang Diharapkan

a) Pasien akan mempertahankan perfusi serebral normal yang


dibuktikan dengan tingkat kesadaran yang stabil atau membaik

b) Skor GCS yang stabil atau membaik

c) TIK 15 mm Hg atau kurang

d) Tidak ada kegelisahan, iritabilitas, atau sakit kepala

e) Tidak ada perubahan pupil, tidak ada kejang, tidak ada tekanan
nadi yang melebar, ada iregularitas pernapasan, dan tidak ada
hipertensi atau bradikardia.

c. Intervensi

1) Berikan obat yang diresepkan untuk mengurangi edema serebral


(misal, diuretik osmotik) dan untuk mengurangi risiko kejang
(misal,antikonvulsan), dan pantau respons pasien terhadap obat-
obat ini. Jika peningkatan TIK pasien tidak membaik, status pasien
memburuk, atau kejang terjadi, maka beritahu dokter.
Konsultasikan juga dengan dokter tentang obat-obatan untuk
meningkatkan evakuasi usus tanpa mengejan karena mengejan akan
meningkatkan TIK. Disimpaksi tidak dianjurkan karena respons
vasovagal yang terjadi.

2) Posisi Pasien

Tempatkan pasien pada posisi telentang dengan kepala ditinggikan


30 derajat kecuali jika dikontraindikasikan (misal, pada beberapa
cedera tulang belakang, beberapa aneurisma). Jaga agar kepala
pasien tetap dalam posisi netral untuk memfasilitasi drainase vena
dari otak. Hindari rotasi dan fleksi leher yang ekstrem karena
posisi ini akan mengompresi vena jugularis dan meningkatkan
TIK. Hindari juga fleksi pinggul yang ekstrim karena posisi ini
meningkatkan tekanan intra-abdomen dan intratoraks, yang
meningkatkan TIK. Sejalan dengan dan agresif, sehingga sulit
untuk mempertahankan posisi yang tepat. Jika pengekang harus
digunakan, ingatlah bahwa pengekang sering meningkatkan
agitasi, yang meningkatkan TIK.
Jika kondisi pasien mengindikasikan bahwa akan dibutuhkan
waktu yang cukup lama sebelum kondisi neurologis membaik,
pertimbangkan untuk menempatkan pasien pada permukaan
redistribusi tekanan jika berpindah posisi dari sisi ke sisi tidak
dapat dilakukan.

3) Pertahankan Kepatenan Jalan Napas

Pasien perlu mempertahankan kepatenan jalan napas sekalipun jika


terdapat peningkatan TIK. Pengisapan mencegah penumpukan
sekresi, yang menyebabkan peningkatan kadar Co2, dan
mengakibatkan peningkatan TIK. Berikan oksigen yang cukup
kepada pasien yang diintubasi sebelum memulai pengisapan, di
antara pengisapan, dan setelah pengisapan.

Cobalah untuk membatasi pengisapan sebanyak tiga kali dan


batasi setiap pengisapan selama 10 detik. Drainase hidung dapat
mengindikasikan adanya robekandural. Oleh karena itu,
pengisapan hidung dikontraindikasikan karena adanya risiko
cedera pada dura dan mininngitis.

4) Seimbangkan Kadar Cairan


Di masa lalu, hanya sejumlab kecil cairan yang boleh diberikan
kepada klien dengan cedera kepala dalam upaya untuk mengurangi
edem serebral. Data terbaru menunjukkan bahwa pembatasan
cairan sebenarnya dapat mengurangi volume darah dan
menurunkan sirkulasi serebral. Kurangnya volume juga
menyebabkan darah menjadi kental dan lamban, serta dapa
menurunkan mobilisasi nutrisi dan toksin ke dalam dan keluar
sirkulasi. Pasien harus dipertahankan dalam kondisi euvolemik dan
bukan dalam keadaan cairan terbatas. Pembatasan cairan mungkin
cocok untuk kondisi tertentu (seperti syndrome of inappropriate
secretion of antidiuretic hormone [SIADHI]), tetapi pada kondisi
lainnya merupakan kontraindikasi. Pengukuran asupan dan
keluaran yang ketat setiap 1 sampai 4 jam diperlukan untuk
mengkaiji keseimbangan cairan.

5) Kontrol Suhu Tubuh

Hipertermia meningkatkan TIK karena meningkatkan kebutuhan


metabolik. Oleh karena itu, segera beritahu dokter jika terjadi
hipertermia.Jika suhu pasien dikelola dengan selimut hipertermia,
beritahu dokter jika respon pasien berada dalam parameter yang
ditentukan. Berikan antipiretik yang diresepkan. Observasi asanya
mengigil karena fenomena ini juga meningkatkan metabolisme dan
TIK. Kaji kerusakan kulit jika selimut pendingin digunakan untuk
waktu yang lama, terutama pada pasien yang kurus.

6) Pantau Tekanan Intrakranial

TIK harus kurang dari 15 mm Hg, MAP 80 mm Hg atau lebih, dan


CPP lebih dari 60 mm Hg.
Gelombang plato (gelombang A) dicatat jika TIK lebih besar dari
50 mm Hg dan dapat dipertahankan selama lebih dari 5 menit.
Setiap kali ini tekanan membandel ini muncu kaji faktor penyebab
dan lakukan intervensi yang tepat. Sebagai contoh, flieksileher,
fleksi pinggul berlebihan, sekresi jalan napas, kelebihan air dalam
tabung ventilator, plester slang endotrakeal yang terlalu kencang
pada vena jugularis, dan mendiskusikan kondisi pasien di samping
tempat tidur telah diketahui dapat meningkatkan TIK. Rencanakan
dan beri jarak untuk intervensi keperawatan (misal, mengubah
posisi pasien) ketika TIK pasien tidak meningkat untuk mencegah
terbentuknya gelombang plato. Gelombang plato mungkin tidak
terlihat jelas pada layar monitor TIK, sehingga pencetakan yang
dilakukan secara lambat mungkin diperlukan untuk observasi yang
akurat terhadap gelombang ini. Apabila TIK lebih besar dari 20
mm Hg, intervensi untuk mengurangi TIK harus dimulai. Berhati-
hatilah dalam mengubah posisi pasien ketika sistem pemantauan
intrakranial sedang digunakan. Jika sistem tersebut terbuka untuk
pasien, perubahan posisi akan mengubah dengan cepat tingkat
cairan ventrikel.

7) Mengkaji sisi pemasangan monitor TIK untuk adanya kebocoran,


menggunakan teknik steril untuk infeksi dan mencegah infeksi atau
dalam meningkatkan intervensi awal ika terjadi infeksi. Jika
drainase CSS diperlukan, sebagian besar sistem memiliki kran
untuk memasang pipa dan kantong drainase yang mempertahankan
sistem tertutup, sehingga mengurangi kemungkinan infeksi. Sistem
ini dibuka hanya untuk mengganti kantong drainase. Kantong
drainase diganti dengan menggunakan teknik steril yang ketat.

d. Evaluasi

Evaluasi respons klien terhadap pengobatan sesering setiap 15 menit,


lalu menjadi setiap jam, kemudian setiap 2 sampai 4 jam, dan setiap 8
jam setelah klien membaik. Setelah dokter menetapkan bahwa kondisi
klinis kien telah dioptimalkan, frekuensi dan tingkat evaluasi dikurangi
lebih jauh lagi. Pada tahap langsung dan akut, antisipasi modifikasi
yang kontinu terhadap rencana asuhan untuk membantu klien mencapai
pemulihan yang maksimum.
3. Manajemen Bedah

Berbagai teknik bedah digunakan untuk mengobati peningkatan TIK.


Secara optimal, penyebab peningkatan TIK dicari dan dihilangkan.
Pembedahan dekompesif menghilangkan sebagian jaringan otak (misal,
bagian dari lobus temporal) atau sebagian besar tengkorak guna memberi
ruang ekspansi pada struktur yang tersisn. Jika komplians otak rendah
selama pembedahan, tetekap (penutup yang melingkupi) tulang yang
dilepas untuk mendapatkan akses ke otak tidak dipasang kembali atau dura
tidak ditutup. Pembedahan berikutnya dapat diperlukan untuk memperbaiki
kecacatan. Asuhan pascabedah adalah sama dengan yang diperlukan
setelah kraniotomi. Jika telekap tulang tetap utuh, asuhan khusus diperlukan
untuk menjaga pasien tetap tidak berada dati sisi yang sakit dan helm
mungkin diperhukan smpai telekap tulang dipasang kembali. Penempatan
bedah pirau ventrikuloperitoncal untuk memungkinkan drainase jika
sirkulasi CSS terhalang dapat dilakukan untuk masalah kronis.

B. Cranietomy

2.1 Definisi
Craniotomy adalah Operasi untuk membuka tengkorak (tempurung kepala)
dengan maksud untuk mengetahui dan memperbaiki kerusakan otak. Pasien post
op craniotomy biasanya karena adanya terdapat gangguan atau kelainanpada
otak sehingga harus dilakukannya operasi.
2.2 Indikasi
Operasi Craniotomy dilakukan atas indikasi:
1. Untuk pengangkatan tumor pada otak

2. Untuk menghilangkan bekuan darah (hematoma)

3. Untuk mengendalikan perdarahan dari pembuluh darah (aneurima serebral)


4. Untuk memperbaiki malformasi arteriovenosa (koneksi abnormal dari
pembuluh darah)

5. Untuk menguras abses otak

6. Untuk mengurangi tekanan di dalam tengkorak

7. Untuk melakukan biopsi, atau untuk memeriksa otak.

2.3 Manifestasi Klinis


Gejala-gejala yang timbul pada klien dengan post op craniotomy dibagi menjadi
2 yaitu:
1. Manifestasi klinik umum (akibat dari peningkatan TIK, obstruksi dari CSF),
seperti sakit kepala, nausea atau muntah proyektif, perubahan mental dan
kejang.

2. Manifestasi klinik lokal (akibat kompresi tumor pada bagian yang spesifik
dari otak.

a. Perubahan penglihatan, misalnya hemianopsia, diplopia, kebutaan, dan


tanda-tanda papil edema.

b. Perubahan bicara, misalnya aphasia.

c. Perubahan sensorik, misalnya hilangnya sensasi nyeri, halusinasi


sensorik.

d. Perubahan motorik, misalnya; ataksia, jatuh, kelemahan dan paralisis.

e. Perubahan bowel atau blader, misalnya inkontensia, retensi urin, dan


konstipasi.

f. Perubahan dalam pendengaran, misalnya tinnitus, deafness.

g. Perubahan dalam seksual

2.4 Komplikasi
1. Edema cerebral.
2. Syok Hipovolemik.

3. Hydrocephalus.

4. Perdarahan subdural, epidural dan intracerebral.

5. Gangguan perfusi jaringan sehubungan dengan tromboplebitis, yang muncul


pada hari ke 7-144 hari setelah operasi. Bahaya besar tromboplebitis timbul
bila darah tersebut lepas dari dinding pembuluh darah vena dan ikut aliran
darah sebagai emboli ke paru-paru, hati dan otak.

6. Infeksi biasanya muncul pada 6-46 jam setelah operasi.

2.5 Pemeriksaan Penunjang


Untuk menentukan lokasi tumor yang tepat, pemeriksaan penunjang yang harus
dilakukan ialah:
1. CT-Scan memberikan info spesifik menyangkut jumlah, ukuran, dan
kepadatan jejas tumor, serta meluasnya edema serebral sekunder.

2. MRI membantu mendiagnosis tumor. Ini dilakukan untuk mendeteksi jejjas


tumor yang kecil. Alat ini juga membantu mendeteksi jejjas yang kecil dan
tumor-tumor di dalam batang otak dan daerah hipofisis.

3. Biopsy stereotaktik bantuan komputer ( 3 dimensi) dapat digunakan untuk


mendiagnosis kedudukan tumor yang dalam dan untuk memberikan
dasardasar pengobatan dan informasi prognosis.

4. Angiografi serebral memberikan gambaran tentang pembuluh darah serebral


dan letak tumor serebral.

5. Elektroensefalogram (EEG) untuk mendeteksi gelombang otak abnormal


pada daerah yang ditempati tumor dan dapat memungkinkan untuk
mengevaluasi lobus temporal pada waktu kejang.

2.6 Penatalaksanaan
Tujuan utama penatalaksanaan pada post op craniotomy adalah;
1. Mengurangi komplikasi akibat pembedahan
2. Mempercepat penyembuhan

3. Mengembalikan fungsi pasien semaksimal mungkin seperti sebelum operasi

4. Mempertahankan konsep diri pasien

5. Mempersiapkan klien pulang

Tindakan keperawatan post op craniotomy:


1) Monitor kesadaran, tanda-tanda vital, CVP, intake dan output

2) Observasi dan catat sifat drain (warna, jumlah drainage)

3) Saat melakukan mobilisasi pada pasien harus hati-hati, jangan sampai drain
tercabut.

4) Perawatan luka operasi secara steril.

5) Makanan; Pada klien pasca operasi biasanya tidak diperkenankan menelan


makanan sesudah pembedahan. Makanan yang dianjurkan pada pasien post
operasi adalah makanan tinggi protein dan vitamin C. Protein sangat
diperlukan pada proses penyembuhan luka, sedangkan Vit C yang
mengandung antioksidan membantu meningkatkan daya tahan tubuh untuk
pencegahan infeksi.

6) Mobilisasi; Klien diposisikan untuk berbaring di tempat tidur agar


keadaannya stabil. Biasanya posisi awal adalah telentang, tapi juga harus
tetap dilakukan perubahan posisi agar tidak terjadi dekubitus.

7) Pemenuhan kebutuhan eleminasi; Fungsi sistem perkemihan kembali setelah


6-8 jam post anesthesia inhalasi, IV, spinal anesthesi, infus IV, manipulasi
operasi untuk mengetahui ada tidaknya retensio urine.

2.7 Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian

a. Primary Survey
1) Airway; Periksa jalan nafas dari sumbatan benda asing (padat, cair)
setelah dilakukan pembedahan akibat pemberian anestesi.

a) Potency jalan nafas, → meletakan tangan di atas mulut atau


hidung.

b) Auscultasi paru → keadekwatan expansi paru, kesimetrisan.

2) Breathing; Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan


gangguanirama jantung, sehingga terjadi perubahan pada pola
napas, kedalaman, frekuensi maupun iramanya, bisa berupa Cheyne
Stokes atau Ataxia breathing. Napas berbunyi, stridor, ronkhi,
wheezing (kemungkinana karena aspirasi), cenderung terjadi
peningkatan produksi sputum pada jalan napas.

a) Perubahan pernafasan (rata-rata, pola, dan kedalaman). RR <


10 X/menit → depresi narcotic, respirasi cepat, dangkal →
gangguan cardiovasculair atau rata-rata metabolisme yang
meningkat.

b) Inspeksi: Pergerakan dinding dada, penggunaan otot bantu


pernafasan diafragma, retraksi sterna → efek anathesi yang
berlebihan, obstruksi.

3) Circulating; Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap


tekanan darah bervariasi. Tekanan pada pusat vasomotor akan
meningkatkan transmisi rangsangan parasimpatik ke jantung yang
akan mengakibatkan denyut nadi menjadi lambat, merupakan tanda
peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan frekuensi jantung
(bradikardia, takikardia yang diselingi dengan
bradikardia,disritmia).

a) Inspeksi membran mukosa : warna dan kelembaban, turgor


kulit, balutan.
4) Disability : berfokus pada status neurologi

a) Kaji tingkat kesadaran pasien, tanda-tanda respon mata,respon


motorik dan tanda-tanda vital.

b) Inspeksi respon terhadap rangsang, masalah bicara,kesulitan


menelan, kelemahan atau paralisis ekstremitas, perubahan
visual dan gelisah.

5) Exposure; Kaji balutan bedah pasien terhadap adanya perdarahan

b. Secondary Survey

1) Pemeriksaan fisik; Pasien Nampak tegang, wajah menahan sakit,


lemah kesadaran somnolent apatis, GCS 15, TD 120/80 mmHg,
Nadi 98 x/m, suhu 37ºC, RR 20 x/mnt.

a) Abdomen; Inspeksi tidak ada asites , palpasi hati teraba 2 jari


bawah iga,dan limpa tidak membesar, perkusi bunyi redup,
bising usus 14 X/menit. Distensi abdominal dan peristaltic usus
adalah pengkajian yang harus dilakukan pada gastrointestinal.

b) Ekstremitas; Mampu mengangkat tangan dan kaki. Kekuatan


otot ekstremitas atas 4 – 4 dan ekstremitas bawah 4 – 4, akral
dingin dan pucat.

c) Integument; Kulit keriput, pucat, turgor sedang.

d) Pemeriksaan neurologis; Bila perdarahan hebat/luas dan


mengenai batang otak akan terjadi gangguan pada nervus
cranialis, maka dapat terjadi :

 Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan,


perhatian, konsentrasi pemecahan masalah, pengaruh
emosi/tingkah laku dan memori).
 Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya,
diplopia, kehilangansebagian lapang pandang, foto fobia.

 Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetris) deviasi


pada mata.

 Terjadi penurunan daya pendengaran, keseimbangan


tubuh.

 Sering timbul hiccup/cegukan oleh karena kompresi pada


nervus vagusmenyebabkan kompresi spasmodik
diafragma.

 Gangguan nervus hipoglosus.

 Gangguan yang tampak lidah jatuh kesalahsatu sisi,


disfagia, disatria, sehingga kesulitan menelan.

c. Tersiery survey

1) Kardiovaskuler; Klien Nampak lemah, kulit dan konjuntiva pucat


dan akral hangat. Tekanan darah 120/70 mmHg, nadi 120x/m,
kapiler refille 2 detik. Pemeriksaan laboratorium : HB 9.9 gr %,
HCT 32 dan PLT 235.

2) Brain; Klien dalam keadaan sadar, GCS: 4-5-6 (total = 15), klien
nampak lemah, refleksdalam batas normal.

3) Bladder; Klien terpasang doewer chateter urine tertampung 200 cc,


warna kuning kecoklatan.

4) Identitas klien;

a) Nama : Ny. M

b) Umur : 26 tahun

c) Jenis kelamin : Perempuan


d) Tempat tanggal lahir: Bireun, 16 Februari 1990

e) Golongan darah : O+

f) Pendidikan terakhir : SLTA

g) Agama : Islam

h) Suku : Aceh

i) Status perkawinan : Menikah

j) Alamat : Bireun

d. Keluhan utama : Pasien penurunan kesadaran sudah hari ke-12, sejak


dibawa ke rumah sakit.

e. Riwayat keluhan :

1) Pasien datang dengan keluhan penurunan kesadaran sejak 10 jam


sebelum masuk rumah sakit.

2) Pasien jatuh dari sepeda motor bersama temannya dan tidak


sadarkan diri. Riwayat mual dan mutah (-).

f. Pengkajian primer

1) Airway; Tidak ada sekret dijalan napas. Tidak ada suara napas
tambahan (gurgling).

2) Breathing; Bernafas spontan, napas tidak sesak, dan tidak ada


menggunakan otot bantu pernapasan, RR: 24x/mnt.

3) Circulation; Nadi : 76x/menit, TD : 140/100 mmHg, klien terlihat


pucat, akral dingin, kapiler refil <2 detik dan tidak ada pendarahan.

4) Disability: GCS: E2M3V1 = 6. Kesadaran pasien stupor yaitu


kesadaran menurun, respon psikomotor lambat, pasien sering
mengeluarkan perkataan yang tidak jelas. Pupil an isokor 0,3 mm/
0,5mm. Pasien sudah 12 hari tidak sadarkan diri.

5) Exposure: Suhu 370C, terdapat luka lecet di tangan kanan (siku =


2x1 x 0,5) dan tangan kiri, dan terdapat luka lecet dikaki kanan.

2. Analisa data

No Data Etiologi Masalah

1. DS: - Perdarahan Perubahan perfusi


DO: Penurunan kesadaraan jaringan serebral
(stuport), mengeluarkan
suara tidak jelas, respon
motorik klien lambat, sulit
berkomunikasi, GCS = 6

2. DS: - Luka Insisi Gangguan rasa


DO: HR: 120x/mnt, TD: nyaman nyeri
140/100 mmHg, pasien
meringis, kadang-kadang
pasien merengek dan
menagis kesakitan

3. DS: - Luka Insisi Kerusakan


DO: Terdapat luka integritas kulit
craniotomi di bagian kepala.
Pasien terpasan perban,
terpasang ETT, terpasang
infuse line, terpasang kateter
uri H(6)

4. DS: - Perdarahan Kekurangan


DO: Perubahan status post operasi volume cairan
mental, pasien dalam craniotomy
keadaan penurunan
kesadaran (stuport), Kimia
AGD; PH= 7,506, PCO2 :
27,5, bikarbonat; 32,0,
membran mukosa kering

3. Diagnosa Keperawatan

a. Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan perdarahan.

b. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan luka insisi.

c. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan luka insisi.

d. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan perdarahan post


operasi.

e. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan gygiene luka yang buruk.

f. Perubahan pola eliminasi urine berhubungan dengan efek anastesi.

g. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan mual


muntah.

4. Perencanaan

No Diagnosa Tujuan Kriteria Hasil Intervensi Keperawatan

1. Gangguan Tujuan: a. Observasi


perfusi Setelah dilakukan ekstermitas terhadap
jaringan perawatan tidak terjadi pembengk akan, dan
serebral gangguan perfusi eritema.
berhubungan jaringan. Kriteria hasil:
b. Evaluasi status
dengan a. Tanda-tanda vital
mental. Perhatikan
perdarahan stabil.
terjadinya
b. Kulit klien hangat hemaparalis, afasia,
dan kering. kejang, muntah dan
c. Nadi perifer ada peningkatan TD
dan kuat.

d. Masukan atau
haluaran seimbang

2. Gangguan Tujuan: a. Kaji nyeri, catat


rasa nyaman Setelah dilakukan lokasi,karakteristi k,
nyeri tindakan keperawatan skala (0-10).
berhubungan rasa nyeri dapat teratasi
b. Selidiki dan
dengan luka atau tertangani dengan
laporkan perubahan
insisi baik. Kriteria hasil:
nyeri dengan tepat.
a. Melaporkan rasa
nyeri hilang atau c. Pertahankan posisi
terkontrol. istirahat semi
fowler.
b. Mengungkapkan
metode pemberian d. Dorong ambulasi
menghilang rasa nyeri. dini.

c. Mendemonstrasikan e. Berikan kantong es


penggunaan teknik pada abdomen.
relaksasi dan aktivitas
f. Berikan analgesic
hiburan sebagai
sesuain indikasi
penghilang rasa nyeri

3. Kerusakan Tujuan: a. Kaji dan catat ukuran,


integritas Setelah di berikan warna, keadaan luka,
kulit tindakan pasien tidak dan kondisi sekitar luka.
berhubungan mengalami gangguan
b. Lakukan kompres
dengan luka integritas kulit. Kriteria
basah dan sejuk atau
insisi. hasil:
terap irendaman.
a. Menunjukkan
penyem buhan luka c. Lakukan perawatan
tepat waktu. luka dan hygiene
b. Pasien menunjukkan sesudah mandi, lalu
perilaku untuk keringkan kulit dengan
meningkatkan hati - hati.
penyembuhan dan
d. Berikan prioritas
mencegah komplikasi.
untuk meningkatkan
kenyamanan pasien.
BAB III
TINJAUAN KASUS

Kasus kranektomi dan TIK


Tgl 12 maret 2019, Seorang laki laki berusia 24 th dirawat di ruang ICU dengan post
op kranektomi hari ke dua.
Riwayat :tgl 10 maret 2019, pasien tangah berboncengan motor dengan temannya
jam 2 pagi dengan kecepatan tinggi, tanpa disadari ada gerobak nasi goring lewat dan
membuat pasien kaget dan membanting hingga terpental ke trotoar. saat kejadian
pasien langsung tidak sadarkan diri, langsung dibawa ke RS terdekat.
Saat di IGD dilakukan pemeriksaan fisik TD 140/120mmHg, napas spontan, frek
napas 12 x/mnt, frek nasi 120x/mnt dalam. Terdapat lebam pada leher, wajah,
perdarahan di frontal, serta lecet di beberapa ektremitas atas kanan dan kiri. Tindakan
yang didapatkan di IGD adalah O2 nasal kanul 4lpm, IVFD RL, pasien dilakukan
cito kranectomi
Hasil CT scan tgl 10 maret 2019

Kesan : terdapat hematoma di fontal, TIK


Tgl 10 maret 2019, pasien dilakukan cranektomi cito dengan pembukaan flap dan
penyimpanan di rongga abdomen, general anastesi. Terpasang CVC, loading cairan
1000cc RL,
Pasien dirawat di ruang ICU.
Kondisi saat ini TD 110/90 mmHg, frek napas 14 x/mnt, frek nadi 120x/mnt, GCS
E2M2V2. Terdapat luka jahit di kepala 10 cm, Terpasang IVFD Manitol 20%,
triofusin 00cc/24 jam, aminofluit 00cc/24 jam, KAen Mg 3 00 cc/24 jam. Ketorolac
3 X 30 mg, ceftriaxone 2 X 2 gr, piracetam 4 X 3 gr, ranitidine 3 X 00 mg,
AGD Ph 7.52, pCO2 12.4, PO2 190, HCO3- 14.7.
Hb 10.4, leukosit 13.200, trombosit 331000, Ht 32%. GDS 149 md/dl, ureum 34,
kreatinin 0.4. Na 136, K 4.01, klorida 109, albumin 3.43
Mendapatkan terapi diit cair 3 X 250cc
1. Buat analisa data !
2. Buat dx kep minimal 3 !
3. Buat NCP sesuai dx kep

ASUHAN KEPERAWATAN
DI RUANG ICU

I. PENGKAJIAN
Tanggal masuk : 10 Maret 2019
Tanggal pengkajian : 12 Maret 2019
A. Identitas Pasien
Nama : Tn. M
Umur : 24 tahun
Alamat : Jalan Manggis
No Register : 201903105511
Ruang : ICU
Cara Pengkajian : Anamnesa, pemeriksaan fisik, catatan rekam medis
Diagnosa Medis : Post Operasi Craniotomy

B. Riwayat Kesehatan
1. Keluhan utama
Penurunan kesadaran dan luka post operasi craniectomy

2. Riwayat penyakit sekarang


Tgl 10 maret 2019, pasien tangah berboncengan motor dengan
temannya jam 2 pagi dengan kecepatan tinggi, tanpa disadari ada
gerobak nasi goreng lewat dan membuat pasien kaget dan membanting
hingga terpental ke trotoar. saat kejadian pasien langsung tidak sadarkan
diri, langsung dibawa ke RS terdekat.
Tgl 10 maret 2019, pasien dilakukan cranektomi cito dengan
pembukaan flap dan penyimpanan di rongga abdomen, general anastesi.
Terpasang CVC, loading cairan 1000cc RL.
3. Riwayat penyakit dahulu
Pasien tidak pernah mengalami penyakit trauma kepala dan tidak
memiliki riwayat alergi.
4. Riwayat penyakit keluarga
Keluarga pasien tidak ada yang mengalami penyakit yang diturunkan
secara genetik.

II. PENGKAJIAN PRIMER


Airway Tidak ada hambatan, suara nafas normal
Breathing Pernafasan spontan, bunyi nafas vesikuler, irama nafas teratur,
tidak ada penggunaan otot bantu pernafasan, jenis pernafasan dada
Circulation Akral hangat, tidak pucat, tidak sianosis, pengisian kapiler < 2
detik, irama nadi regular, kekuatan nadi kuat, kulit lembab, turgor
kulit normal
Disability Tingkat kesadaran soporo coma, nilai GCS E2M2V2, pupil isokor,
respon cahaya positif, diameter pupil 2 mm, ekstremitas respon
dengan stimulasi nyeri
Exposure Ada trauma di area kepala, luka post operasi sepanjang 10 cm di
kepala

III. PENGKAJIAN SEKUNDER


A. Pemeriksaan fisik
1. Keadaan Umum
Buruk, sopor coma

2. Tanda-tanda vital
Tanggal TD Nadi RR Suhu
10 Maret 2019 140/120 mmHg 120 x/menit 12 x/menit -
12 Maret 2019 110/90 mmHg 120 x/menit 14x/menit 36,5 ‫ ﹾ‬C

3. Kepala
Bentuk Terjadi perubahan bentuk kepala karena tindakan operasi

kraniotomi di area frontal, perdarahan di frontal


Mata Anikterik, pupil isokor, respon cahaya positif
hidung Tidak ada hambatan, tidak ada luka/jejas
Telinga Tidak ada hambatan, tidak ada luka/jejas
Mulut Tidak ada luka/jejas, tidak perubahan bentuk
Leher Ada lebam

4. Dada
Inspeksi Pergerakan pernafasan normal, tidak ada flail chest, tidak ada

perubahan bentuk dada


Palpasi Tidak teraba krepitasi tulang, hasil pemeriksaan taktil fremitus

normal
Perkusi Sonor
Auskultasi Vesikuler

5. Abdomen
Inspeksi Tidak ada pembesaran
Auskultasi Bising usus 12x/menit
Perkusi Pekak di area organ padat
Palpasi Tidak ada asites

6. Ekstremitas
Ekstremitas Atas
Tanggal/ Kanan Kiri
jam Kesemutan Edema Nyeri Kesemutan Edema Nyeri
12 Maret - - - - - -
2019/08.00

Gerak : tidak ada


Kekuatan Otot : -
Ekstremitas Bawah

Tanggal/ Kanan Kiri


jam Kesemutan Edema Nyeri Kesemutan Edema Nyeri
12 Maret - - - - - -
2019/08.00

Gerak : tidak ada


Kekuatan Otot : -

7. Sistem Integumen
Mukosa Capillary
Tanggal/jam Warna kulit Turgor Kelainan
bibir refill
12 Maret Sawo matang Baik Lembab < 2 detik Lebam di leher,
2019/08.00 luka post op
kraniotomi di
area frontal

8. Genetalia
Tidak ada kelainan

9. Sistem Persyarafam
a) Fungsi serebral/Status Mental
Tanggal 12 Maret 2019
Status mental
 Tingkat kesadaran  Sopor Coma
 GCS  E2M2V2
 Gaya bicara  Mengerang
Fungsi Intelektual Tidak terkaji
 Orientasi waktu
 Orientasi tempat
 Orientasi orang

Daya pikir Tidak terkaji


 Spontan, alamiah, masuk
akal
 Kesulitan berpikir
 Halusinasi
Status emosional Tidak terkaji
 Alamiah dan datar
 Pemarah
 Cemas
 Apatis

10. Eliminasi
Pasien terpasang kateter urin dan popok feses

11. Tingkat ketergantungan


Bathing Dibantu

Dressing Dibantu
Toileting Dibantu
Transfering Dibantu
Continence Dibantu
Feeding Dibantu

12. Status Cairan


Terapi diit cair 3x250 cc
13. Pemeriksaan Penunjang
1) Laboratorium
Pemeriksaan Nilai Satuan 12/03/19
Nilai
Hb 13 - 16 % 10,4
Ht 40 - 54 % 32
Leukosit 4 - 11 ribu/ mmk 13.200
Trombosit 150 - 400 ribu/mmk 331.000
Creatinin 0.6 - 1.3 mg/ dL 0,4
Albumin 3.4 - 5 mg/ dL 3,43
Gula Sewaktu 80 - 120 mg/ dL 149
Ureum 15 - 39 mg/ dL 34
Na 136 - 145 mmol/ L 136
K 3.5 - 5.1 mmol/ L 4,01
Cl 98 - 107 mmol/ L 109
pH 7,35–3,45 7,52
pCO2 35 - 45 mmHg 12,4
pO2 83 - 103 mmHg 190
HCO3 18 - 23 Mmol/L 14,7

14. Pemeriksaan Penunjang


Hasil CT scan tgl 10 Maret 2019 kesan terdapat hematoma di frontal,
TIK

15. Therapy
Terpasang IVFD Manitol 20%, triofusin 00cc/24 jam, aminofluit
00cc/24 jam, KAen Mg 3 00 cc/24 jam. Ketorolac 3 X 30 mg,
ceftriaxone 2 X 2 gr, piracetam 4 X 3 gr, ranitidine 3 X 00 mg.
ANALISA DATA
Nama : Tn. M No CM : 201903105511
Usia : 24 tahun Dianosa Medis : Post Op Craniotomy
TANGGAL DATA FOKUS ETIOLOGI MASALAH TTD
12 Maret 2019 DS : - Risiko
DO : Infeksi
 Terdapat luka
jahit di kepala
sepanjang 10 cm
 Leukosit 13.200
 Suhu 36,5 ‫ ﹾ‬C
12 Maret 2019 DS : - Penurunan Hambatan
DO : Kesadaran mobilitas
fisik
 GCS E2M2V2
 Tingkat kesadaran
Sopor Coma

12 Maret 2019 DS : - Risiko
DO : Harga Diri
Rendah
 Terjadi perubahan
Situasioal
bentuk kepala
akibat tindakan
kraniotomi

PRIORITAS DIAGNOSA KEPERAWATAN


1. Risiko infeksi
2. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kesadaran
3. Risiko harga diri rendah situasional
RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN

DX 1
Risiko infeksi
NOC
1. Domain IV – pengetahuan tentang kesehatan dan perilaku

Kelas : T-kontrol risiko dan keamanan


Outcomes : 1902-kontrol risiko : proses infeksi
Definisi: tindakan individu untuk mengerti, mencegah, mengeliminasi, atau
mengurangi ancaman kesehatan yang telah dimodifikasi.
Indicator:
- 190220 mengidentifikasi factor risiko (tidak pernah menunjukan 1 ke 3 kadang-
kadang menunjukan)
- 190202 memonitor factor risiko di lingkungan (tidak pernah menunjukan 1 ke 3
kadang-kadang menunjukan)
- 190204 mengembangkan strategi yang efektif dalam mengontrol resiko (tidak
pernah menunjukan 1 ke 3 kadang-kadang menunjukan)
- 190209 menghindari paparan kesehatan (tidak pernah menunjukan 1 ke 3
kadang-kadang menunjukan)
- 190217 memonitor perubahan status kesehatan (tidak pernah menunjukan 1 ke
3 kadang-kadang menunjukan)
2. Domain II-kesehatan fisiologis

Kelas: AA respon terapeutik


Outcomes: 2305- pemulihan pembedahan : segera setelah operasi
Definisi : tingkat pencapaian fungsi fisiologis dasar individu setelah pembedahan
mayor yang membutuhkan anastesi
Indicator :
- 230501 keptenan jalan napas (deviasi berat dari kisaran berat ke normal 1 ke 3
deviasi sedang dari kisaran normal)
- 230504 tekanan nadi (deviasi berat dari kisaran berat ke normal 1 ke 3 deviasi
sedang dari kisaran normal)
- 230505 suhu tubuh (deviasi berat dari kisaran berat ke normal 1 ke 3 deviasi
sedang dari kisaran normal)
- 230511 irama pernapasan (deviasi berat dari kisaran berat ke normal 1 ke 3
deviasi sedang dari kisaran normal)
- 230513 tingkat kesadaran (deviasi berat dari kisaran berat ke normal 1 ke 3
deviasi sedang dari kisaran normal)
- 230525 tekanan intracranial (berat 1 ke 3 sedang)
3. Domain II-kesehatan fisiologis

Kelas: L-integritas jaringan


Outcomes: 1101-integritas jaringan : kulit & membrane mukosa
Definisi : kebutuhan struktur dan fuksi fisiologis kulit dan selaput lender secara
normal
Indicator:
- 110108 tekstur (sangat terganggu 1 ke 4 sedikit terganggu)
- 110111 perfusi jaringan (sangat terganggu 1 ke 4 sedikit terganggu)
- 110113 integritas kulit (sangat terganggu 1 ke 4 sedikit terganggu)

NIC
1. Domain 2 : fisiologis: kompleks (lanjutan)

Kelas: L-manajemen kulit/Luka


Intervensi: 3660-perawatan luka
Definisi: pencegahan komplikasi luka dan peningkatan penyembuhan luka
Aktivitas-aktivitas:
- monitor karakteristik luka, termasuk drainase, warna, ukuran, dan bau
- ukur luas luka
- berikan rawatan insisi pada luka
- berikan balutan yang sesuai dengan jenis luka
- pertahankan tenik balutan steril dengan ketika melakukan perawatan luka,
dengan tepat
- periksa luka setiap kali perubahan balutan
- bandingkan dan catat setiap perubahan luka
- posisikan untuk menghindari menempatkan ketegangan pada luka dengan tepat
- reposisi pasien setidaknya setiap 2 jamdengan tepat
- dorong cairan yang sesuai
- anjurkan anggota keluarga pada prosedur perawatan luka
- anjurkan anggota keluarga untuk mengenal tanda gejala infeksi

2. Domain 4 : keamanan
Kelas: V-manajemen risiko
Intervensi: 6540-kontrol infeksi
Definisi: meminimalkan penerimaan dan transmisi agen infeksi
Aktivitas-aktivitas:
- Batasi jumlah pengunjung
- Ganti peralatan perawatan per pasien sesuai protocol institusi
- Anjurkan pengunjung untuk mencuci tangan pada saat memasuki dan
meninggalkan ruangan pasien
- Cuci tangan sebelum dan sesudah kegiatan perawatan pasien
- Lakukan tindakan-tindakan pencegahan yang bersifat universal
- Pakai sarung tangan sebagaimana dianjurkan oleh kebijakan universal
- Pastikan tehnik perawatan luka yang tepat
- Gunakan katerisasi intermiten untuk mengurangi kejadian infeksi kantung
kemih
- Anjurkan keluarga mengenai tanda gejala infeksi dan kapan harus
melaporkannya kepada penyedia perawatan kesehatan
- Anjurkan anggota keluarga mengenai bagaimana menghindari infeksi

.
3. Domain 2-fisiologis :kompleks (lanjutan)

Kelas: L-manajemen kulit/luka


Intervensi: 3590-pengecekan kulit
Definisi: pengumpulan dan analisi data pasien untuk menjaga kulit dan
integritas membrane mukosa
Aktivitas-aktivitas:
- Periksa kulit dan selaput lender terkait dengan adanya kemerahan, kehangatan
ekstrem, edema, atau drainase
- Amati warna, kehangatan, bengkak, pulsasi, tekstur, edema, dan ulserasi pada
ekstrimitas
- Periksa kondisi luka operasi, dengan tepat
- Monitor warna dan suhu kulit
- Monitor sumber tekanan dan gesekan
- Ajarkan anggota keluarga/memberi asuhan mengenai tanda-tanda kerusakan
kulit dengan tepat

DX 2
1. Domain I-fungsi kesehatan

Kelas: C-mobilitas
Outcomes: 0208- pergerakan
Definisi : kemampuan untuk bisa bergerak bebas ditempat dengan atau tanpa alat
bantu Indicator :
- 020803 gerakan otot (sangat terganggu 1 ke 3 cukup terganggu)
- 020804 gerakan sendi (sangat terganggu 1 ke 3 cukup terganggu)
- 020802 kinerja pengaturan tubuh (sangat terganggu 1 ke 3 cukup terganggu)
2. Domain II-kesehatan fisiologis

Kelas: K-pencernaan & nutrisi


Outcomes: 1009- status nutrisi:asupan nutrisi
Definisi: asupan gizi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan metabolic
Indicator:
- 100902 asupan protein ( tidak adekuat 1 ke 4 sebagian besar adekuat)
- 100910 asupan serat ( tidak adekuat 1 ke 4 sebagian besar adekuat)
- 100905 asupan vitamin ( tidak adekuat 1 ke 4 sebagian besar adekuat)
- 100906 asupan mineral ( tidak adekuat 1 ke 4 sebagian besar adekuat)
- 100907 asupan zat besi ( tidak adekuat 1 ke 4 sebagian besar adekuat)
- 100908 asupan kalsium ( tidak adekuat 1 ke 4 sebagian besar adekuat)
- 100911 asupan natrium ( tidak adekuat 1 ke 4 sebagian besar adekuat)
3. Domain II-kesehatan fisiologis

Kelas: J-neurokognitif
Outcomes: 0918-reaksi terhadap sisi yang terkena dampak
Definisi: tindakan personal untuk mengakui, melindungi, dan mengintegrasikan
secara kognisi bagian tubuh yang terkena dampak kedalam diri secara keseluruhan.
Indicator:
- 091803 melindungi sisi yang terkena dampak ketika mengambil posisi (tidak
pernah menunjukan 1 ke 3 kadang-kadang menunjukan)
- 091805 melindungi sisi yang terkena selama istirahat atau tidur (tidak pernah
menunjukan 1 ke 3 kadang-kadang menunjukan)
- 091808 merubah orientasi tubuh untuk memungkinkan sisi yang terkena
dampak dalam mengimbangi kekurangan fisik atau sensorik (tidak pernah
menunjukan 1 ke 3 kadang-kadang menunjukan)

NIC
1. Domain 1 : fisiologis: dasar

Kelas: C-manajemen imobilisasi


Intervensi: 0740-perawatan tirah baring
Definisi: mendukung kenyamanan dan keamanan serta pencegahan terjadinya
komplikasi pada pasien yang tidak dapat bangun dari tempat tidur
Aktivitas-aktivitas:
- Posisikan sesuai dengan body aligment yang tepat
- Hindari menggunakan kain linen kasur yang teksturnya kasar
- Aplikasikan papan untuk kaki ditempat tidur (psien)
- Aplikasikan alat untuk mencegah terjadinya footdrop
- Balikkan pasien yang tidak dapat mobilisasi paling tidak setiap 2 jam, sesuai
dengan jadwal yang spesifik
- Monitor kondisi kulit (pasien)

2. Domain 4: keamanan

Kelas: V-manajemen resiko


Intervensi: 6480-manajemen lingkungan
Definisi: manipulasi lingkungan pasien untuk kepentingan terapi, daya tarik
sensorik, dan kesejahteraan psikologis
Aktivitas-aktivitas:
- Ciptakan lingkungan yang aman bagi pasien
- Identifikasi kebutuhan keselamatan pasien berdasarkan fungsi fisik dan kognitif
serta riwayat perilaku dimasa lalu
- Singkirkan benda-benda berbahaya dari lingkungan
- Sediakan tempat tidur dan lingkungan yang bersih dan nyaman
- Sediakan linen dan pakaian dalam dengan kondisi baik, bebas dari residu dan
noda
- Individualisasikan pembatasan kunjungan untuk memenuhi kebutuhan pasien
atau orang terdekat
3. Domain 1: fisiologis: dasar

Kelas: F-fasilitas perawatan diri


Intervensi: 1800-bantuan perawatan diri
Definisi: membantu orang lain untuk melakukan aktivitas hidup sehari-hari
Aktivitas-aktivitas:
- Monitor kemampuan perawatan diri secara mandiri
- Monitor kebutuhan pasien terkait dengan alat-alat kebersihan diri, alat bantu
untuk berpakaian, berdandan, eliminasi dan makan
- Berikan lingkungan yang terapeutik dengan memastikan lingkungan yang
hangat,santai, tertutup dan (berdasarkan pengalaman individu)
- Berikan peralatan kebersihan pribadi (misalnya, deodorant, sikat gigi, dan
sabun mandi)
- Berikan bantuan sampai pasien mampu melakukan perawatan diri mandiri

DX 3
1. Domain III –kesehatan psikososial

Kelas: N-adaptasi psikososial


Outcomes: 1300-penerimaan:status kesehatan
Definisi: tindakan personal untuk menyesuaikan perubahan-perubahan signifikan
dalam situasi kesehatan
Indicator:
- 130008 mengenali realita situasi kesehatan (tidak pernah dilakukan 1 ke 4
sering dilakukan)
- 130020 melaporkan harga diri yang positif (tidak pernah dilakukan 1 ke 4
sering dilakukan)
- 130017 menyesuaikan perubahan dalam status kesehatan (tidak pernah
dilakukan 1 ke 4 sering dilakukan)
- 130021 mengekpresikan kedamaian dari dalam diri (tidak pernah dilakukan 1
ke 4 sering dilakukan)
- 130018 menunjukan kegembiraan (tidak pernah dilakukan 1 ke 4 sering
dilakukan)
- 130009 mencari informasi tentang kesehatan (tidak pernah dilakukan 1 ke 4
sering dilakukan)
- 130019 menjelaskan prioritas hidup (tidak pernah dilakukan 1 ke 4 sering
dilakukan)
- 130013 melaporkan perasaan berharga dalam hidup (tidak pernah dilakukan 1
ke 4 sering dilakukan)
2. Domain III-kesehatan psikososial

Kelas: N-adaptasi psikososial


Outcomes: 1308- adaptasi terhadap disabilitas fisik
Definisi: tindakan personal untuk beradaptasi terhadap tantangan terkait dengan
fungsi yang signifikan akibat terjadinya disabilitas fisik.
Indicator:
- 130802 menyampaikan secara lisan penyesuaian terhadap disabilitas (tidak
pernah dilakukan 1 ke 4 sering dilakukan)
- 130804 memodifikasi gaya hidup untuk mengakomodasi disabilitas (tidak
pernah dilakukan 1 ke 4 sering dilakukan)
- 130806 menggu akan strategi untuk mengurangi stress yang berhubungan
dengan disabilitas (tidak pernah dilakukan 1 ke 4 sering dilakukan)
- 130808 mengidentifikasi cara-cara untuk beradaptasi dengan perubahan hidup
(tidak pernah dilakukan 1 ke 4 sering dilakukan)
- 130812 menerima kebutuhan akan bantuan fisik (tidak pernah dilakukan 1 ke 4
sering dilakukan)
- 130823 mendapatkan bantuan dari tenaga kesehatan professional (tidak pernah
dilakukan 1 ke 4 sering dilakukan)
- 130824 menggunakan sistem dukungan personal (tidak pernah dilakukan 1 ke 4
sering dilakukan)

3. Domain III-kesehatan psikososial

Kelas: M-kesejahteraan psikologis


Outcomes: 1200-citra tubuh
Definisi: persepsi terhadap penampilan dan fungsi tubuh sendiri
Indicator:
- 120002 kesesuaian antara realitas tubuh dan ideal tubuh dengan penampilan
tubuh (tidak pernah positif 1 ke 4 sering positif)
- 120003 deskripsi bagian tubuh yang terkena (dampak) (tidak pernah positif 1 ke
4 sering positif)
- 120017sikap terhadap penggunaan strategi untuk meningkatkan penampilan
(tidak pernah positif 1 ke 4 sering positif)
- 120005 kepuasan dengan penampilan tubuh (tidak pernah positif 1 ke 4 sering
positif)
- 120007 penyesuaian terhadap perubahan penampilan fisik (tidak pernah positif
1 ke 4 sering positif)
- 120009 penyesuaian terhadap perubahan status kesehatan(tidak pernah positif 1
ke 4 sering positif)
- 120014 penyesuaian terhadap perubahan tubuh akibat pembedahan (tidak
pernah positif 1 ke 4 sering positif)

NIC
1. Domain 3-perilaku

Kelas: R-bantuan koping


Intervensi: 5220-peningkatan citra tubuh
Definisi: meningkatkan persepsi dan sikap pasien baik yang disadari maupun
tidak disadari terhadap tubuhnya
Aktivitas-aktivitas:
- Tentukan harapan citra diri pasien didasarkan pada tahap perkembangan
- Bantu pasien untuk mendiskusikan perubahan-perubahan bagin tubuh
disebabkan adanya penyakit atau pembedahan dengan cara yang tepat
- Bantu pasien memisahkan penampilan fisik dari perasaan berharga secara
pribadi dengan cara yang tepat
- Bantu pasien untuk menentukan pengaruh dari peer group terhadap persepsi
pasien mengenai citra tubuh saat ini
- Tentukan persepsi pasien dan keluarga terkait dengan perubahan citra diri dan
realitas
- Identifikasi cara untuk menurunkan dampak dari adanya erubahan bentuk
melalui pakaian, rambut palsu, atau kosmetik dengan cara yang tepat
- Bantu pasien untuk mengidentifikasi tindakan-tindakan yang akan
meningkatkan penampilan

2. Domain 3 – perilaku

Kelas: R-bantuan koping


Intensi: 5240-konseling
Definisi: penggunaan proses membantu interaktif yang berfokus pada
kebutuhan, masalah atau perasaan klien dan SO untuk meningkatkan atau
mendukung koping, penyelesaian masalah dan hubungan interpersonal
Aktivitas-aktivitas:

- Bangun hubungan teraupetik yang didasarkan pada rasa saling percaya dan
saling menghormati
- Tunjukkan empati, kehangatan, dan ketulusan
- Sediakan privasi dan berikan jaaminan kerahasiaan
- Dukung ekpsresi perasaan klien
- Bantu pasien untuk mengidentifikasi masalah atau situasi yang menyebabkan
stress
- Tunjukkan aspek-aspek tertentu dari pengalaman seseorang yang mendukung
ketulusan dan rasa percaya, dengan cara yang tepat.
- Dukung penggantian kebiasaan yang tidak diinginkan dengan kebiasaan yang
diinginkan .
BAB IV
PEMBAHASAN

A. Pengkajian
Pasien mengalami trauma kepala berat akibat benturan dengan trotoar jalan.
Benturan mengakibatkan terjadinya hematoma di area frontal. Hematoma
mengakibatkan terjadinya peningkatan tekanan intrakranial. Peningkatan
intrakranial ini tidak terlihat jelas dan diperlukan observasi. Tanda manifestasi
klinis meliputi penurunan tingkat kesadaran dan penurunan skor Glascow Coma
Scale. Pada kasus, setelah pasien terjatuh dan mengalami benturan di kepala nya,
pasien langsung pingsan. Setelah di bawa ke UGD dan dilakukan pemeriksaan CT
scan, terlihat kesan hematoma di area frontal pasien. Hasil pengukuran GCS adalah
E2M2V2 menandakan tingkat kesadaran pasien berada di tingkat sopor koma.
Berdasarkan data pengkajian awal UGD maka dilakukan operasi CITO craniotomi
untuk mengeluarkan hematoma pada frontal pasien dan mengurangi tekanan di
dalam tengkorak. Setelah dilakukan operasi craniotomi, terdapat bekas luka
sepanjang 10 cm di kepala pasien. Belum ada perubahan pada tingkat kesadaran
pasien.

B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang diambil oleh kelompok adalah resiko infeksi,
hambatan mobilisasi berhubungan dengan penurunan kesadaran dan resiko harga
diri rendah. Resiko infeksi merupakan diagnosa prioritas karena pasien merupakan
pasien post operasi craniotomi dan memiliki bekas luka operasi sebesar 10 cm di
kepala. Selain itu juga terdapat hasil pemeriksaan laboratorium peningkatan
leukosit hingga 32.000 yang menandakan adanya tanda resiko infeksi.
Diagnosa keperawatan kedua adalah hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan
penurunan kesadaran. Pasien memiliki total nilai GCS 6 yang berarti tingkat
kesadaran pasien adalah sopor coma. Hal ini menyebabkan pasien menyebabkan
pasien memerlukan bantuan dalam semua kegiatan sehari-harinya seperti makan,
minum, menjaga kebersihan tubuh dan bergerak.
Diagnosa keperawatan ketiga adalah resiko harga diri rendah karena tindakan
operasi craniotomi akan merubah bentuk kepala pasien dan mempengaruhi nilai
estetika wajah pasien. Pasien termasuk dalam usia muda yang masih
memperhatikan penampilan dan mudah terpengaruh dengan pendapat lingkungan
sekitar. Maka untuk menghindari terjadinya harga diri rendah saat pasien pulih
nanti, perlu dilakukan persiapan untuk mengurangi kemungkinan ini contohnya
dengan cara mempersiakan orang-orang disekitar pasien.

C. Intervensi
Rencana tindakan keperawatan dibuat dengan menggunakan NIC NOC sebagai
panduannya dan tindakan yang dipilih disesuaikan dengan kondisi pasien saat ini.
Pada diagnosa resiko infeksi, tujuan tindakan keperawatan berfokus pada kondisi
fisik pasien, integritas jaringan di area luka pasien dan pengetahuan keluarga pasien
dalam menjaga kondisi luka pasien.
Pada diagnosa hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kesadaran,
tujuan tindakan keperawatan berfokus pada fungsi pergerakan pasien, aktivitas
harian klien, intake nutrisi pasien dan keamanan pasien karena resiko cidera yang
tinggi.
Pada diagnosa resiko harga diri rendah, tujuan tindakan keperawatan berfokus pada
adaptasi psikososial, penerimaan status kesehatan, bantuan koping dan konseling
baik kepada pasien, keluarga maupun orang-orang disekitar pasien.
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Tekanan intrakranial adalah tekanan di dalam tempurung kepala yang
diberikan oleh isinya, yaitu : otak, darah, daan CSS. TIK normal adalah 5
sampai 15 mmHg. Tekanan yang lebih besar dari 20 mmHg dianggap sebagai
peningkatan TIK yang akan menimbulkan gangguan perfusi otak serius.

Peningkatan TIK paling sering berhubungan dengan lesi seperti tumor, edema,
atau perdarahan). Faktor risiko meliputi cedera kepala, pendarahan otak,
hidrocepalus, dan edema akibat pembedahan atau cedera. Manifestasi klinis
peningkatan tekanan intrakraial adalah gelisah, iritabilitas, kebingungan) dan
dapat mencakup penurunan skor Glasgow Coma Scale (GCS). perubahan
dalam bicara, reaktivitas pupil, kemampuan motorik atau sensoris, atau laju
dan irama jantung, sakit kepala, mual, muntah, atau penglihatan kabur atau
ganda (diplopia) , papilledema, pola pernapasan memburuk dari pernapasan
Cheyne-Stokes ke hiperventilasi neurogenik pusat menjadi pernapasan
apneustik dan pernapasan ataksia sejalan dengan peningkatan TIK.

Craniotomy adalah operasi untuk membuka tengkorak (tempurung kepala)


dengan maksud untuk mengetahui dan memperbaiki kerusakan otak. Indikasi
dalam tindakan ini yaitu pengangkatan tumor pada otak, menghilangkan
bekuan darah (hematoma) mengendalikan perdarahan dari pembuluh darah
(aneurima serebral), memperbaiki malformasi arteriovenosa (koneksi abnormal
dari pembuluh darah), menguras abses otak, mengurangi tekanan di dalam
tengkorak dan untuk melakukan biopsi.

Gejala-gejala yang timbul pada klien dengan post op craniotomy dibagi


menjadi 2 yaitu manifestasi klinik umum akibat dari peningkatan TIK,
obstruksi dari CSF (sakit kepala, nausea atau muntah proyektif, perubahan
mental dan kejang), manifestasi klinik lokal akibat kompresi tumor pada
bagian yang spesifik dari otak (perubahan penglihatan, perubahan bicara,
perubahan sensorik, perubahan motorik, perubahan bowel atau blader,
perubahan dalam pendengaran, perubahan dalam seksual).

Komplikasi yang dapat timbul setelah dilakukannya post op craniotomy yaitu


edema cerebral, syok hipovolemik, hydrocephalus, perdarahan subdural,
epidural dan intracerebral, gangguan perfusi jaringan sehubungan dengan
tromboplebitis, yang muncul pada hari ke 7-144 hari setelah operasi, infeksi
biasanya muncul pada 6-46 jam setelah operasi.

Pada kasus kelmpok mengambil diagnosa risiko infeksi, hambatan mobilitas


fisik berhubungan dengan penurunan kesadaran, dan risiko harga diri rendah
situasional.

5.2 Saran
Setelah kelompok membahas tentang asuhan keperawatan pasca craniotomy
diharapkan makalah ini dapat bermanfaat dalam bidang keperawatan. Sehingga
dapat mencegah terjadinya komplikasi pasca craniotomy serta diharapkan
perawat dapat memberikan asuhan keperawatan secara optimal.
DAFTAR PUSTAKA

Fithrah, Bona Ahmad, dkk. (2016). Perdarahan Berulang Pascakraniotomi pada Pasien
Cedera Kepala Ringan. Jurnal Neuroanestesi Indonesia.09 April 2019 dari
http://www.inasnacc.org/images/Volume05no3Oktober2016/vol5no3oktober2016Bona
AkhmadFitrah.pdf.
Pribadi, Hendra Teguh. 2012. Angka Kematian Pasien Kraniotomi Di Icu Dan Hcu Rsup Dr.
Kariadi. 09 April 2019, dari
http://eprints.undip.ac.id/37551/1/Hendra_Teguh_P_G2A008092_LAPORAN_KTI.pd
f.
Widhiarti, Lisa. (2016). Proposal Skripsi Gambaran Pengetahuan Perawat Dalam
Melakukan Manajemen Tekanan Intrakranial (Tik) Pada Pasien Cedera Kepala
Sedang-Berat Di Rumah Sakit Di Kota Semarang. 09 April 2019, dari
http://eprints.undip.ac.id/51111/1/Proposal_Skripsi_Lisa_Windhiarti.pdf.

Anda mungkin juga menyukai