Anda di halaman 1dari 13

MANAJEMEN BENCANA

TERORISME ( BOM BALI I )

Disusun oleh :

KELOMPOK 5

FITRIANI 70200116034

QISTHIFANY NUR FARIHAH AMAR 70200116045

ANDI NUR AZIZAH 70200116037

HALIMATUSSA’DIYYAH 70200116044

RETNO EMAWATI 70200116040

AYU RISWANTI 70200116043

JURUSAN KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR

2020
BENCANA SOSIAL TERORISME

BOM BALI I

A. Terorisme

Terorisme adalah serangan-serangan terkoordinasi yang bertujuan membangkitkan


perasaan teror terhadap sekelompok masyarakat. Berbeda dengan perang, aksi terorisme
tidak tunduk pada tatacara peperangan seperti waktu pelaksanaan yang selalu tiba-tiba dan
target korban jiwa yang acak serta seringkali merupakan warga sipil.

Istilah teroris oleh para ahli kontraterorisme dikatakan merujuk kepada para pelaku yang
tidak tergabung dalam angkatan bersenjata yang dikenal atau tidak menuruti peraturan
angkatan bersenjata tersebut. Aksi terorisme juga mengandung makna bahwa serang-
serangan teroris yang dilakukan tidak berperikemanusiaan dan tidak memiliki justifikasi, dan
oleh karena itu para pelakunya ("teroris") layak mendapatkan pembalasan yang kejam.

Akibat makna-makna negatif yang dikandung oleh perkataan "teroris" dan "terorisme",
para teroris umumnya menyebut diri mereka sebagai separatis, pejuang pembebasan, militan,
mujahidin, dan lain-lain. Tetapi dalam pembenaran dimata terrorism: "Makna sebenarnya
dari jihad, mujahidin adalah jauh dari tindakan terorisme yang menyerang penduduk sipil
padahal tidak terlibat dalam perang". Padahal Terorisme sendiri sering tampak dengan
mengatasnamakan agama.

Tindak pidana terorisme di samping berbagai bentuk radikalisme lainnya merupakan


kejahatan yang tergolong pemberantasannya dilakukan secara luar biasa (extra ordinary
crime). Di samping itu tindak pidana di atas merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan
(crimes against humanity) yang mendapat kutukan keras dari setiap bangsa-bangsa di dunia.
Terorisme dengan segala manifestasinya merupakan kejahatan yang serius dan mengancam
nilai-nilai kemanusiaan, mengganggu keselamatan umum bagi orang dan barang bahkan
sering ditujuan kepada instalasi negara atau militer/pertahanan keamanan, maupun kepada
personifikasi yang menjalankan institusi negara seperti ditujukan kepada kepala negara,
pemerintahan pada umumnya, objek-objek vital dan stategis maupun pusat-pusat keramaian
umum lainnya.
B. Terorisme di Dunia

Peraturan Pemerintah Terorisme di dunia bukanlah merupakan hal baru, namun menjadi
aktual terutama sejak terjadinya peristiwa World Trade Center (WTC) di New York, Amerika
Serikat pada tanggal 11 September 2001, dikenal sebagai “September Kelabu”, yang
memakan 3000 korban. Serangan dilakukan melalui udara, tidak menggunakan pesawat
tempur, melainkan menggunakan pesawat komersil milik perusahaan Amerika sendiri,
sehingga tidak tertangkap oleh radar Amerika Serikat. Tiga pesawat komersil milik Amerika
Serikat dibajak, dua di antaranya ditabrakkan ke menara kembar Twin Towers World Trade
Centre dan gedung Pentagon.

Peristiwa pengeboman World Trade Center (WTC) di Amerika Serikat pada 11


September 2001, membawa dampak pada perubahan orientasi politik luar negeri Amerika
Serikat. Kekuatan Amerika Serikat dibidang ekonomi, politik, dan militer yang besar,
membawa dampak pada berubahnya sikap negara – negara lain di dunia dalam kebijakan
domestiknya. Pengaruh Amerika Serikat memang tidak dapat dipungkiri, hal ini dapat kita
lihat dari reaksi hampir seluruh negara – negara di dunia ini yang juga berada pada posisi
sama dengan Amerika Serikat yaitu “memerangi terorisme”, tak terkecuali juga dengan
Indonesia.

Terlebih lagi dengan diikuti terjadinya Tragedi Bali, tanggal 12 Oktober 2002 yang
merupakan tindakan terror. Dua ledakan pertama terjadi di Paddy’s Pub dan Sari Club (SC)
di jalan legian, kuta bali, sedangkan ledakan terakhir terjadi di dekat kantor konsulat maerika
serikat walaupun jaraknya cukup jauh namun menimbulkan korban sipil terbesar di dunia,
yaitu menewaskan 184 orang dan melukai lebih dari 300 orang. Orang-orang dari komunitas
tertentu, sering menjadi korban-korban yang tidak berdosa karena menjadi sasaran kelompok
teroris, sebagaimana pernah dilakukan oleh Amrozi dan kawan-kawan ketika melakukan
peledakan di Legian Bali pada tahun 2002. Para pelaku ketika itu menyatakan bahwa
perbuatan yang mereka lakukan didasarkan kepada kebencian mereka kepada Amerika
Serikat. Hal ini dapat dirunut kronologisnya sebab pengeboman di Bali tidak lama setelah
terjadinya serangan terhadap menara kembar World Trade Centre (WTC) dan Penthagon
pada 11 September 2002.
C. Siklus Penanggulangan Bencana (Pra-Bencana)

1. Pencegahan Bencana Terorisme

Pencegahan Tindak Pidana Terorisme dilakukan secara komprehensif dengan


melibatkan seluruh komponen bangsa, dalam arti Pencegahan Tindak Pidana Terorisme
tidak hanya dilaksanakan oleh kementerian/lembaga terkait, namun dapat melibatkan
masyarakat, baik akademisi, praktisi, tokoh agama, tokoh masyarakat, serta pihak swasta
yang dikoordinasikan oleh BNPT.

Terorisme merupakan suatu kejahatan yang tidak dapat digolongkan sebagai


kejahatan biasa, narnun merupakan kejahatan yang serius dan kejahatan terhadap
kemanusiaan yang harus dilakukan dengan penanganan yang serius. Dalam
melaksanakan pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Pemerintah tidak hanya
mengupayakan proses penegakan hukum saja, akan tetapi diperlukan juga langkah
proaktif dari Pemerintah dengan melakukan upaya preventif secara terus menerus yang
dilandasi dengan prinsip pelindungan hak asasi manusia dan prinsip kehati-hatian.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Undang-Undang


Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi
Undang-Undang, dalam Pasal 43A sampai dengan Pasal 43D telah mengatur mengenai
Pencegahan Tindak Pidana Terorisme dilakukan secara terencana, terpadu, sistematis, dan
berkesinambungan melalui Kesiapsiagaan Nasional, Kontra Radikalisasi, dan
Deradikalisasi, yaitu :

a. Kesiapsiagaan Nasional merupakan langkah pemerintah guna menciptakan


kondisi siap siaga untuk mengantisipasi terjadinya Tindak Pidana Terorisme.
Kesiapsiagaan Nasional dilakukan melalui pemberdayaan masyarakat,
peningkatan kemampuan aparatur, pelindungan dan peningkatan sarana prasarana,
pengembangan kajian Terorisme, dan pemetaan wilayah rawan paham radikal
Terorisme.
b. Kontra Radikalisasi merupakan upaya untuk menghentikan penyebaran paham
radikal Terorisme yang dilakukan terhadap orang atau kelompok orang yang
rentan terpapar paham radikal Terorisme secara langsung atau tidak langsung
melalui kontra narasi, kontra propaganda, atau kontra ideologi.

c. Deradikalisasi merupakan upaya untuk menghilangkan atau mengurangi dan


membalikkan pemahaman radikal Terorisme yang telah terjadi, sehingga
tersangka, terdakwa, terpidana, narapidana, mantan narapidana, dan orang atau
kelompok orang yang sudah terpapar paham radikal Terorisme dapat kembali ke
masyarakat.

Dalam mendukung pelaksanaan Pencegahan Tindak Pidana Terorisme secara cepat,


akurat, efisien, dan efektif perlu difasilitasi dalam sistem informasi penanggulangan
Terorisme. Sistem ini merupakan wadah pertukaran data dan informasi
antarkementerian/lembaga guna memudahkan proses koordinasi yang harus dilakukan
dalam upaya Pencegahan Tindak Pidana Terorisme.

Peraturan Pemerintah juga mengatur mengenai Pelindungan terhadap penyidik,


penuntut umum, hakim, dan petugas pemasyarakatan beserta keluarganya. Pelindungan
terhadap penyidik, penuntut umum, dan hakim beserta keluarganya yang menangani
perkara Tindak Pidana Terorisme sebelumnya telah diatur dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Saksi, Penyidik,
Penuntut Umum, dan Hakim dalam perkara Tindak Pidana Terorisme. Namun demikian
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2003 tersebut, belum mengatur
Pelindungan terhadap petugas pemasyarakatan. Petugas pemasyarakatan sebagai salah
satu aparatur yang melakukan pembinaan terhadap narapidana Tindak Pidana Terorisme
diamanatkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 untuk mendapatkan Pelindungan dari
sasaran intimidasi dan teror dari pelaku Tindak Pidana Terorisme atau orang tertentu yang
terkait dengan pelaku tersebut.

2. Mitigasi Bencana Terorisme

Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui
pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi
ancaman bencana. Mitigasi adalah upaya untuk mencegah atau mengurangi dampak yang
ditimbulkan akibat suatu bencana, sehingga jelas bahwa mitigasi bersifat pencegahan
sebelum kejadian.

Adapun serangkaian tahapan mitigasi yang dapat dilakukan pra terorisme yaitu :

a. Peningkatan pengamanan dan pengawasan terhadap senjata api;

b. Peningkatan pengamanan terhadap sistem transportasi;

c. Peningkatan pengamanan sarana publik;

d. Peningkatan pengamanan terhadap sistem komunikasi;

e. Peningkatan pengamanan terhadap VIP;

f. Peningkatan pengamanan terhadap fasilitas diplomatik dan kepentingan asing;

g. Peningkatan kesiapsiagaan meng-hadapi serangan teroris;

h. Peningkatan pengamanan terhadap fasilitas internasional;

i. Pengawasan terhadap bahan peledak dan bahan-bahan kimia yang dapat dirakit
menjadi bom;

j. Pengetatan pengawasan perbatasan dan pintu-pintu keluar-masuk;

k. Pengetatan pemberian dokumen perjalanan (paspor, visa dan se-bagainya);

l. Harmonisasi kebijakan visa dengan negara tetangga;

m. Penerbitan pengeluaran kartu tanda penduduk dan administrasi kependudukan;

n. Pengawasan kegiatan masyarakat yang mengarah pada aksi teror;

o. Intensifikasi kegiatan pengamanan swakarsa;

p. Kampanye anti-terorisme melalui media massa yang meliputi:

1) Peningkatan kewaspadaan ma- syarakat terhadap aksi teroris;

2) Sosialisasi bahaya terorisme dan kerugian akibat tindakan teror;


3. Kesiapsiagaan Bencana Terorisme

Kesiapsiagaan adalah upaya yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui


pengorganisasian langkah-langkah yang tepat guna, agar pemerintah dan masyarakat
mempunyai persiapan yang lebih baik untuk menghadapi bencana.

Dalam melaksanakan tindak pidana terorisme, pemerintah tidak hanya mengupayakan


proses penegakan hukum saja, akan tetapi diperlukan juga langkah proaktif dari
pemerintah dengan upaya preventif secara terus menerus yang dilandasi dengan prinsip
perlindungan hak asasi manusia dan prinsip kehati-hatian. Sehingga lahirlah Peraturan
Pemerintah Nomor 77 Tahun 2019 Tentang Pencegahan Tindak Pidana Terorisme Dan
Perlindungan Terhadap Penyidik, Penuntut Umum, Hakim Dan Petugas Pemasyarakatan.
Peraturan ini mengatur pencengahan terorisme salah satunya melalui Kesiapsiagaan
Nasional.

Kesiapsiagaan Nasional merupakan langkah pemerintah guna menciptakan kondisi


siap siaga untuk mengantisipasi terjadinya tindak pidana terorisme. Kesiapsiagaan
nasional dilakukan dilakukan melalui :

a. Pemberdayaan Masyarakat, dilakukan dengan cara :


1) Mendorong kelompok dan organisasi masyarakat untuk berperan aktif dalam
pencegahan tindak pidana terorisme sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
2) Meningkatkan kapasitas kelembagaan keompok dan organisasi masyarakat untuk
dapat terlibat secara aktif dalam pencegahan tindak pidana terorisme;
3) Menyampaikan dan menerima informasi tentang pencegahan tindak pidana
terorisme kepada dan dari masyarakat;
4) Memberikan edukasi mengenai bahaya dan dampak tindak pidana terorisme
melalui pendidikan formal, nonformal, dan informal; dan
5) Pemberdayaan masyarakat lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

b. Peningkatan kemampuan aparatur, dilakukan dalam bentuk :


1) Pendidikan dan pelatihan terpadu yang bertujuan meningkatkan kemampuan
aparatur dalam pencegahan terorisme dan merespon segala bentuk ancaman
terorisme.
2) Pelatihan gabungan bertujuan untuk menyingkronkan tugas dan fungsi
kementrian/lembaga terkait dalam upaya pencegahan terorisme.
3) Pelatihan bersama bertujuan meningkatkan pengetahuan tentang strategi
pencegahan terorisme tingkat nasional, regional, dan global.
c. Perlindungan dan peningkatan sarana dan prasarana berupa :
1) Pengembangan dan peningkatan sistem teknologi informasi ;
2) Penyediaan perlengkapan pendukung operasional;
3) Pengembangan dan penyelenggaraan sistem pengamanan internal;
4) Kegiatan peningkatan lain sesuai kebutuhan.
d. Pengembangan kajian terorisme dilakukan untuk :
1) Merumuskan strategi nasional pencegahan terorisme;
2) Memahami perkembangan konsep pencegahan terorisme; dan
3) Studi perbandingan penanganan kasus terorisme.
e. Pemetaan wilayah rawan paham radikalisme, bertujuan untuk :
1) Mengetahui wilayah rawan paham radikal terorisme;
2) Menentukan kriteria tingkat ancaman serangan terorisme dan eskalasi tingkat
ancaman; dan
3) Menentukan arah kebijakan.

D. Siklus Penanggulangan Bencana (Saat Bencana)

1. Tanggap Darurat
Tanggap darurat adalah tindakan yang dilakukan oleh orang atau sekelompok orang
dalam menghadapi keadaan darurat.
Menurut Peraturan Kepala BNPB nomor 13 tahun 2010 penyelenggaraan
penanggulangan bencana pada saat tanggap darurat meliputi:
a. Pencarian
Kegiatan pencarian dilakukan dengan langkah-langkah :
1) Tim pencarian menuju lokasi bencana setelah mendapat informasi kejadian
bencana dan mendapat komando dari komandan tanggap darurat.
2) Memetakan kondisi cuaca, geografis, topografis, dan keadaan awal akibat
bencana;
3) Menentukan lokasi bencana dan luas dampak bencana serta mengadakan
pembagian daerah pencarian, dengan membuat batasan lokasi bencana
berdasarkan klasifikasi tiga wilayah penanggulangan:
a) Ring I yaitu daerah tempat terjadinya bencana, kemungkinan ditemukan
korban paling banyak dan bahaya, serta kemungkinan munculnya bencana
susulan;
b) Ring II yaitu daerah sekitar terjadinya bencana yang masih dimungkinkan
ditemukan korban;
c) Ring III yaitu daerah yang relatif aman untuk dijadikan tempat evakuasi
sementara.
4) Memetakan kondisi serta jumlah korban : korban selamat, dan korban sakit.
Pemetaan kondisi korban sakit menggunakan triase empat tingkat yaitu :
a) Hijau, tidak gawat tidak darurat,
b) Kuning, gawat tidak darurat,
c) Merah, gawat darurat,
d) Hitam, meninggal dunia. Untuk kepentingan penyelidikan dan penyidikan
perlu dilakukan identifikasi korban oleh pihak yang berwenang , terutama
bagi korban bencana tertentu. (Misalnya: terorisme).
5) Mengidentifikasi dan mengantisipasi kebutuhan yang diperlukan dalam
pertolongan dan evakuasi korban bencana.
6) Mengidentifikasi sumberdaya lokal dan potensi risiko sekunder bagi keselamatan
korban dan penolong.
7) Melaporkan kegiatan pencarian secara berkala per 3 jam atau per 6 jam atau
sesuai kondisi.

b. Pertolongan
Kegiatan pertolongan dilakukan dengan langkah-langkah:
1) Tim menyusun rencana pertolongan;
2) Tim penolong menuju lokasi bencana bersama tim pencarian dengan terlebih
dahulu mempelajari batasan klasifikasi tiga wilayah penanggulangan yang telah
ditetapkan oleh Tim Pencarian;
3) Memberikan pertolongan pertama kepada korban bencana di tempat kejadian;
4) Pengobatan sementara kepada korban bencana di tempat kejadian;
5) Melakukan rujukan bagi korban yang memerlukan tindakan lebih lanjut;
6) Melaporkan kegiatan pertolongan secara berkala per 3 jam atau per 6 jam atau
sesuai kondisi.
c. Evakuasi
Kegiatan evakuasi dilakukan dengan langkah-langkah:
1) Tim evakuasi menuju lokasi bencana bersama tim pencarian dan tim penolong;
2) Memindahkan korban bencana keluar dari sumber bencana ke tempat yang lebih
aman untuk mendapat tindakan selanjutnya;
3) Memberikan pengobatan sementara kepada korban bencana selama dalam
perjalanan; d. Memberikan dukungan sosial dan psikologis kepada korban
bencana;
4) Melaporkan kegiatan evakuasi secara berkala per 3 jam atau per 6 jam atau sesuai
kondisi.
Menurut Peraturan Kepala BNPB Nomor 4 tahun 2008 penyelenggaraan
penanggulangan bencana pada saat tanggap darurat meliputi:
1) Pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan, dan sumber daya
2) Penentuan status keadaan darurat bencana
3) Penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana
4) Pemenuhan kebutuhan dasar
5) Perlindungan terhadap kelompok rentan
6) Pemulihan dengan segera prasarana dan sarana vital.

E. Siklus Penanggulangan Bencana (Pasca Bencana)

1. Pemulihan/Rehabilitasi
Bencana terorisme yang terjadi di Bali pada 12 Oktober 2002 yang lalu menimbulkan
duka kemanusiaan, kerusaakan infrastruktur, dan mengancam keamanan nasional.
Adapun upaya pemulihan setelah terjadinya Bom Bali 1 yaitu:
a. Pemajuan lingkungan yang aman.
1) Pada tingkat nasional, pemerintah melanjutkan upaya untuk mencegah serangan-
serangan di masa mendatang.
2) Bantuan untuk upaya Pemerintah Indonesia untuk menguatkan dialog dan
kerjasama efektif antara sektor swasta, masyarakat, dan kepolisian untuk
memastikan partisipasi semua pihak yang berkepentingan dalam menciptakan
lingkungan yang aman.
3) Bantuan untuk upaya profesionalisasi kepolisian dan mengembangkan
proyekproyek percontohan pemolisian masyarakat yang terarah dan berbasis
wilayah di daerah-daerah rentan, yang bertujuan untuk memantapkan hubungan
polisi-masyarakat dan perancangan prakarsa-prakarsa pencegahan ketegangan
sosial dan tindak kekerasan.
b. Meningkatkan akses dalam bidang kesehatan dan pendidikan.
Selain itu, tidak hanya bantuan secara fisik atau medis saja yang diperlukan, namun
juga diperlukan adanya dukungan rehabilitasi psikologis dan psikososial pasca bencana
sosial tersebut terjadi. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) membuat
program yang berkelanjutan dalam rangka memberikan upaya pemulihan terhadap
korban Tindak Pidana Terorisme, baik korban langsung maupun korban tidak langsung.
Salah satu implementasinya adalah dengan menyelenggarakan Forum Silaturahmi
Penyintas (FORSITAS).
Forum silaturahmi ini dibuat bukan untuk membangkitkan trauma bagi penyintas
melainkan menjadi momentum bagi para penyintas untuk bangkit bersama, saling
menguatkan dan mendukung satu sama lain. Pada prinsipnya forum ini merupakan
sebuah sarana pemberian dukungan psikososial melalui pendekatan berbasis masyarakat,
penguatan individu, keterlibatan aktif dan peningkatan partisipasi dari penyintas untuk
menjadi pendamping psikologis bagi sesama penyintas.

2. Rekonstruksi

Rekontruksi atau pembangunan kembali pasca tragedi bencana bom Bali terletak di
Jalan Legian, Kuta yang dulu berdiri sebuah klub malam bernama Sari Club. Klub
tersebut hancur diterjang bom saat itu. Namun terdapat selisih pendapat antara
pemerintah Australia ataupun keluarga korban yang berencana membangun sebuah taman
memorial di atas tanah tersebut. Sedangkan pemilik tanah ingin membangun sebuah
restoran berlantai lima di tanah tersebut.

Pemerintah Provinsi Bali mengusulkan tanah pengganti bagi pemilik lahan bekas
lokasi bom Bali, setelah perwakilan korban bom memperotes rencana pembangunan
restoran di lokasi tersebut oleh pemiliknya. Pemilik lokasi ingin membangun restoran
lima lantai dimana lantai teratas akan didedikasikan untuk monumen para korban di lahan
bekas Sari Club, salah satu lokasi pengeboman. Sementara itu Bali Peace Park
Association (BPPA), organisasi yang mewakili para korban dan berbasis di Australia
menginginkan lokasi tersebut khusus untuk taman mengenang para korban yang tewas.

Namun tidak hanya Sari Club saja yang dalam proses pembangunan. Lokasi bom Bali
berada di tengah hiruk pikuk keramaian pariwisata Bali. Monumen Bali yang dulunya
merupakan sebuah bar bernama Paddys Club telah dibangun yang mana dulu ratusan
nyawa melayang saat kejadian
DAFTAR PUSTAKA

Admin in bersama masyarakat. 2019. BNPT Buka Ruang Diskusi Antara Penyintas Tindak
Pidana Terorisme Dengan Kementerian dan Lembaga di Forum Silaturahmi
Penyintas 2019.https://www.bnpt.go.id/bnpt-buka-ruang-diskusi-antara-penyintas-
tindak-pidana-terorisme-dengan-kementerian-dan-lembaga-di-forum-silaturahmi-
penyintas-2019.html/amp (Diakses Pada Tanggal 31 Desember 2019).

Indonesia, Peraturan Pemerintah Tentang Pencegahan Tindak Pidana Terorisme Dan


Pelindungan Terhadap Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, Dan Petugas
Pemasyarakatan, PP.No 77 Tahun 2019.

_________ Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 4 Tahun 2008
Tentang Pedoman Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana. Perka BNPB
No.4 Tahun 2008

_________ Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 13 Tahun 2010
Tentang Pedoman Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana, Perka BNPB
No.13 Tahun 2010

Muh Ali Zaidan. 2017. Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (Pendekatan Kebijakan
Kriminal). Jurnal Seminar Nasional Hukum Universitas Negeri Semarang. 3(1) :
149-180. https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/snh/article/view/20932 (diakses
pada tanggal 2 januari 2020)
Reni Windiani. 2017. Peran Indonesia Dalam Memerangi Terorisme. Jurnal Ilmu Sosial.
16(2) : 135-152. https://ejournal.undip.ac.id/index.php/ilmusos/article/view/16912/0
(diakses pada tanggal 1 januari 2020)

Anda mungkin juga menyukai