Anda di halaman 1dari 46

ABSTRACT

Makalah ini dibuat untuk menjabarkan analisis mengenai Earnings Management


(manajemen laba) dan melihat pengaruhnya terhadap kinerja dan nilai
perusahaan, good corporate governance, perbandingan antara manajemen laba
riil dan manajemen laba akrual, hubungan antara manajemen laba dan IFRS serta
Financial Fraud, dan pandangan akuntansi terhadap manajemen laba. Dimana
laba sendiri adalah kenaikan modal yang berasal dari transaksi yang jarang dalam
suatu perusahaan. Sedangkan manajemen laba adalah upaya manajer dalam
mempengaruhi informasi laporan keuangan sehingga dapat mengelabuhi para
stakeholder. Manajemen laba adalah hasil campur tangan manajemen dalam
penyusunan laporan keuangan sehingga dengan demikian akan meningkatkan laba
yang menguntungkan manajemen atau perusahaan. Manajemen laba yang
dilakukan oleh manajemen memperlihatkan kinerja jangka pendek perusahaan
yang baik namun secara potensial akan menurunkan nilai perusahaan pada janga
panjang di mata investor.

Kata-kata kunci: laba, manajemen laba, manajemen, nilai perusahaan.

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i


ABSTACT ............................................................................................................ ii
DAFTAR ISI........................................................................................................ iii
DAFTAR RUMUS .............................................................................................. v
BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................................ 1
1.2 Manfaat Penelitian .......................................................................................... 5
1.2.1 Bagi Pembaca ............................................................................................... 5
1.2.2 Bagi Civitas Akademika .............................................................................. 5
BAB II LANDASAN TEORI ............................................................................. 6
2.1 Laba................................................................................................................. 6
2.1.1 Pengertian Laba ........................................................................................... 6
2.1.2 Perataan Laba ............................................................................................... 7
2.2 Manajemen Laba ............................................................................................. 8
2.2.1 Definisi Manajemen Laba ............................................................................ 8
2.2.2 Motivasi Manajemen Laba........................................................................... 9
2.2.3 Teknik Manajemen Laba ............................................................................. 13
2.2.4 Pendeteksian Manajemen Laba .................................................................... 14
2.2.5 Bentuk-Bentuk Manajemen Laba ................................................................ 15
2.3 Teori Keagenan ............................................................................................... 17
2.4 Nilai Perusahaan ............................................................................................. 19
2.5 GCG (Good Corporate Government) ............................................................. 21
BAB III KONTROVERSI DAN GAP............................................................... 24
3.1 Manajemen Laba dan Nilai Perusahaan .......................................................... 24
3.2 Manajemen Laba dan Dewan Komisaris ........................................................ 25
3.3 Perbandingan Manajemen Laba Riil dan Manajemen Laba Akrual ............... 26
BAB IV PEMBAHASAN ................................................................................... 28
4.1 Uji Empiris Manajemen Laba ......................................................................... 28
4.1.1 Manajemen Laba terhadap Good Coorporate Governance ......................... 28
4.1.2 Manajemen Laba terhadap Kinerja dan Nilai Perusahaan ........................... 31

iii
4.1.3 Managemen Laba dan IFRS ......................................................................... 34
4.2 Hubungan antara Manajemen Laba dengan Fraud ......................................... 36
4.3 Pandangan Akuntansi Terhadap Manajemen Laba......................................... 38
BAB V PENUTUP............................................................................................... 42
5.1 Simpulan ......................................................................................................... 42
DAFTAR PUSTAKA

iv
DAFTAR RUMUS

Rumus (1) Discretionary Accrual ......................................................................... 14


Rumus (2) Total Akrual ........................................................................................ 15

v
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Laba merupakan salah satu parameter kinerja perusahaan yang mendapatkan

perhatian utama dari investor dan kreditor karena mereka menggunakan laba untuk

mengevaluasi kinerja manajemen. Laba yang berkualitas adalah laba yang

bermanfaat dalam pengambilan keputusan yaitu memiliki karakteristik relevansi,

reliabilitas, dan komparabilitas/konsistensi. Selain itu, laba berkualitas adalah laba

yang dapat digunakan untuk menjelaskan atau memprediksi harga dan return

saham. Kualitas laba yang rendah dapat mengakibatkan para pemakai laporan

keuangan melakukan kesalahan dalam pembuatan keputusan sehingga nilai

perusahaan akan berkurang.

Salah satu cara yang dapat dilakukan oleh manajemen dalam proses

penyusunan laporan keuangan terutama pengaruhnya terhadap tingkat laba adalah

melalui manajemen laba (earnings management) yang diharapkan dapat

meningkatkan nilai perusahaan pada saat tertentu. Manajemen laba yang dilakukan

oleh manajer tersebut timbul karena adanya masalah keagenan yaitu konflik

kepentingan antara pemilik atau pemegang saham (principal) dengan pengelola

atau manajemen (agent) akibat tidak bertemunya utilitas maksimal di antara mereka

karena manajemen memiliki informasi tentang perusahaan lebih banyak daripada

pemegang saham sehingga terjadi asimetri informasi (information asymmetric)

yang memungkinkan atau memberikan kesempatan kepada manajemen melakukan

1
2

praktik akuntansi dengan orientasi pada laba untuk mencapai suatu kinerja tertentu.

Konflik keagenan yang mengakibatkan adanya tindakan oportunistik manajemen

sehingga laba yang dilaporkan bersifat semu, akan menyebabkan nilai perusahaan

berkurang di masa yang akan datang.

Gunny (2005), mengelompokkan manajemen laba dalam tiga kategori yaitu

akuntansi yang curang, manajemen laba akrual, dan manajemen laba riil (real

earnings management). Penelitian Gunny (2005), Graham, et. al., (2005),

Roychowdhury (2006), Zang (2006), Cohen & Zarowin (2008), serta Cohen &

Zarowin (2008) menemukan bahwa manajer sudah bergeser dari manajemen laba

akrual menuju manajemen laba riil setelah perioda Sarbanes-Oxley Act (SOX).

Menurut Gunny, et. al., (2005), pergeseran dari manajemen laba akrual ke

manajemen laba riil disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, manipulasi akrual

lebih sering dijadikan pusat pengamatan atau inspeksi oleh auditor dan regulator

daripada keputusan tentang penentuan harga dan produksi. Kedua, hanya

menitikberatkan perhatian pada manipulasi akrual merupakan tindakan yang

berisiko karena perusahaan mungkin mempunyai fleksibilitas yang terbatas untuk

mengatur akrual, misalnya keterbatasan dalam melaporkan akrual diskresioner

(Graham, et. al., 2005).

Graham, et. al., (2005) juga memberikan bukti empiris bahwa para manajer

cenderung melakukan aktivitas manajemen laba riil dibandingkan dengan

manajemen laba akrual. Hal ini disebabkan karena aktivitas manajemen laba riil

sulit dibedakan dengan keputusan bisnis optimal dan lebih sulit dideteksi, meskipun

kos-kos yang digunakan dalam aktivitas tersebut secara ekonomik signifikan bagi

perusahaan. Menurut Roychowdhury (2006), meskipun terdapat biaya yang terkait


3

dengan manipulasi aktivitas nyata, manajemen tidak hanya mengandalkan tindakan

manipulasi melalui akrual dalam memanipulasi laba karena manipulasi aktivitas riil

digunakan apabila manipulasi akrual tidak mencapai target. Selain itu, manipulasi

akrual hanya dapat dilakukan pada akhir perioda untuk mencapai target, apabila

tidak terpenuhi maka manajemen dapat menggunakan manipulasi melalui aktivitas

riil yang dilakukan sepanjang tahun dan sulit dideteksi. Oleh karena itu, metoda

manipulasi aktivitas riil menjadi alternatif lain bagi manajer yang dapat dilakukan

untuk mengatur laba selain manajemen laba akrual yang mudah dideteksi.

Manajemen laba riil yang dilakukan oleh manajemen memperlihatkan kinerja

jangka pendek perusahaan yang baik namun secara potensial akan menurunkan

nilai perusahaan. Hal ini disebabkan karena tindakan yang diambil manajer untuk

meningkatkan laba tahun sekarang akan memiliki dampak negatif terhadap kinerja

(laba) perusahaan perioda berikutnya (Roychowdhury, 2006). Kinerja yang turun

pada perioda berikutnya akan mengakibatkan turunnya harga saham perusahaan

sehingga nilai perusahaan akan turun.

Teori keagenan memberikan pandangan bahwa masalah manajemen laba dapat

diminimumkan dengan pengawasan sendiri melalui good corporate governance

yaitu suatu mekanisme tata kelola perusahaan yang dapat menyelaraskan

kepentingan berbagai pihak antara lain dengan; (1) memperbesar kepemilikan

saham perusahaan oleh manajemen (Jensen & Meckling, 1976); (2) kepemilikan

saham oleh institusional yang berdampak mengurangi motivasi manajer untuk

melakukan manajemen laba (Pratana & Mas’ud, 2003); (3) peran monitoring yang

dilakukan dewan komisaris independen (Barnhart & Rosenstein, 1998); dan (4)

kualitas audit yang dilihat dari peran auditor yang memiliki kompetensi yang
4

memadai dan bersikap independen sehingga menjadi pihak yang dapat memberikan

kepastian terhadap integritas angka-angka akuntansi yang dilaporkan manajemen

(Mayangsari, 2003). Penerapan good corporate governance yang baik diharapkan

dapat menjadi penghambat aktivitas manajemen laba sehingga laporan keuangan

dapat menggambarkan nilai fundamental perusahaan.

Pandangan teori akuntansi positif menjelaskan bahwa manajemen laba

berkaitan dengan kebijakan regulasi atau peraturan akuntansi. Adanya aturan pada

standar akuntansi merupakan salah satu alat yang memfasilitasi perusahaan untuk

melakukan manajemen laba. Penerapan IFRS diharapkan dapat mengurangi

manajemen laba, namun dalam pelaksanaannya, penerapan IFRS tidak sepenuhnya

mengurangi tindakan manajemen untuk meminimalkan manajemen laba.

Manajemen laba (Earnings Management) walaupun sering dan sudah sangat

banyak diterapkan oleh perusahaan, bukan merupakan kegiatan yang baik bagi

perusahaan karena apabila manajemen laba tersebut terdeteksi oleh pihak lain,

maka hal ini akan merusak / mengurangi nilai perusahaan untuk jangka waktu yang

cukup panjang yang dikarenakan oleh para principal telah kehilangan kepercayaan

mereka terhadap perusahaan atau kepada agent.

Oleh karena itu, pada penelitian ini, penulis menganalisa lebih dalam mengenai

manajemen laba seputar pengaruh manajemen laba terhadap kinerja dan nilai

perusahaan (yang berhubungan dengan agency theory dan good corporate

governance), perbandingan antara manajemen laba riil dan manajemen laba akrual,

hubungan antara manajemen laba dan IFRS serta Financial Fraud, dan pandangan

akuntansi terhadap manajemen laba, serta mengenai kontroversi yang ada pada
5

manajemen laba yang diteliti pada penelitian ini dan melalui analisis terhadap

berbagai penelitian empiris terdahulu sebagai acuan.

1.2 Manfaat Penelitian

1.2.1 Bagi Pembaca

Hasil dari penelitian dan analisis penulis dapat dijadikan referensi dan

pembelajaran dalam mata kuliah wajib Teori Akuntansi Positif terutama

mengenai topik manajemen laba (Earnings Management) yang

mempengaruhi kinerja dan nilai perusahaan, good corporate governance,

perbandingan antara manajemen laba riil dan manajemen laba akrual,

hubungan antara manajemen laba dan IFRS serta Financial Fraud, dan

pandangan akuntansi terhadap manajemen laba.

1.2.2 Bagi Civitas Akademika

Hasil dari penelitian dan analisis penulis diharapkan dapat memberikan

wawasan dan informasi mengenai informasi seputar manajemen laba

(Earnings Management) yang mempengaruhi kinerja dan nilai perusahaan,

good corporate governance, perbandingan antara manajemen laba riil dan

manajemen laba akrual, hubungan antara manajemen laba dan IFRS serta

Financial Fraud, dan pandangan akuntansi terhadap manajemen laba, juga

mengenai kontroversi yang ada yang diteliti pada penelitian ini dan berbagai

penelitian empiris terdahulu bagi masyarakat luas.


BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Laba

2.1.1 Pengertian Laba

Menurut Harahap (2008) laba adalah kenaikan modal yang berasal dari

transaksi yang jarang dalam suatu perusahaan. Harnanto (2003) berpendapat bahwa

laba merupakan selisih pendapatan dengan biaya-biaya yang terjadi dalam jangka

waktu tertentu. Laba merupakan profitabilitas perusahaan dimana laba

mencerminkan pengembalian kepada pemegang ekuitas dalam perioda tertentu

(Wild, et. al., 2005). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa laba adalah

pendapatan yang didapat oleh perusahaan yang menunjukkan pengembalian kepada

pemegang ekuitas di perioda tertentu.

Belkaoui (2000) menjelaskan bahwa laba akuntansi merupakan perbedaan

pendapatan yang direalisasikan dalam transaksi suatu perioda dengan biaya historis.

Dalam biaya historis, laba diukur berdasarkan selisih aktiva bersih awal dengan

akhir perioda yang dilihat berdasarkan biaya historis. Di dalam laba akuntansi

terdapat beberapa bentuk laba seperti laba kotor, laba usaha, laba sebelum pajak,

dan laba sesudah pajak. Untuk menentukan besar laba dalam laporan keuangan,

maka investor dapat melihat perhitungan laba setelah pajak.

Keuntungan dalam laba akuntansi menurut (Muqodim, 2005):

1. Bermanfaat untuk para pengguna dalam mengambil keputusan

2. Dapat diukur dan dilaporkan secara objektif dan dapat diuji kebenarannya

3. Bermanfaat untuk tujuan pengendalian utama yang berkaitan dengan

pertanggungjawaban manajemen.

6
7

2.1.2 Perataan Laba

Khasan (2003) menjelaskan bahwa perataan laba adalah cara yang digunakan

oleh manajemen untuk mengurangi variabilitas jumlah laba yang dilaporkan agar

sesuai dengan target yang diinginkan. Perataan dilakukan dengan cara

memanipulasi laba baik secara artifisial (melalui metoda akuntansi), maupun secara

real (melalui transaksi). Pada umumnya hanya perusahaan besar saja yang memiliki

dorongan lebih kuat untuk melakukan perataan laba dibandingkan perusahaan kecil.

Hal ini dikarenakan perusahaan besar mendapatkan pengawasan yang lebih ketat

oleh pemerintah dan masyarakat.

Menurut Indriastuti (2009) tindakan perataan laba bertujuan untuk memperbaiki

hubungan dengan kreditor, investor, karyawan, dan meratakan siklus bisnis

melalui:

1. Mengurangi total pajak yang dibayarkan oleh perusahaan

2. Meningkatkan kepercayaan investor terhadap perusahaan karena laba yang

stabil akan mendukung kebijakan pembayaran dividen yang stabil.

3. Meningkatkan hubungan antara manajer dan karyawan karena pelaporan laba

yang meningkat tajam memberi kemungkinan munculnya tuntutan kenaikan

gaji atau upah

Menurut Belkaoui (2000), terdapat dua jenis perataan laba:

1. Intentionally / Designed Smoothing

Merupakan keputusan yang dibuat untuk mengatur produktivitas pada level

yang diinginkan. Tipe ini dibagi menjadi dua, yaitu:

a. Perataan laba riil


8

Merupakan tindakan manajemen dalam mengendalikan kejadian ekonomi

yang secara langsung dapat memiliki pengaruh laba dimasa yang akan

datang. Perataan laba riil mempengaruhi aliran kas.

b. Perataan artifisial

Merupakan tindakan manajemen dalam memanipulasi laporan keuangan

dengan cara menggeser pendapatan dari suatu perioda ke perioda yang lain.

2. Natural Smoothing

Menjelaskan bahwa dalam proses perolehan laba menghasilkan suatu aliran

laba yang rata. Tipe ini terjadi begitu saja secara alami tanpa adanya intervensi dari

pihak manapun

2.2 Manajemen Laba

Informasi laba yang berada di dalam laporan keuangan sering menjadi target

rekayasa untuk memenuhi kepuasan manajemen dimana hal tersebut akan

merugikan para pemegang saham dan investor. Informasi yang diberikan oleh

manajer dapat merupakan hasil rekayasa dimana dianggap angka yang tanpa

rekayasa.

2.2.1 Definisi Manajemen Laba

Manajemen laba, menurut Sulistyanto (2008) adalah upaya manajer dalam

mempengaruhi informasi laporan keuangan sehingga dapat mengelabuhi para

stakeholder. Manajemen laba adalah hasil campur tangan manajemen dalam

penyusunan laporan keuangan sehingga dengan demikian akan meningkatkan laba

yang menguntungkan manajemen atau perusahaan (Saputro & Setiawati, 2004).


9

Manajemen laba menurut Rahmawati, et. al., (2006) merupakan investasi dari

tujuan tertentu untuk mendapatkan keuntungan privat. Dengan demikian dapat

disimpulkan bahwa manajemen laba adalah hasil campur tangan manajemen dalam

mengelola laporan keuangan dengan tujuan mengelabuhi para stakeholder untuk

menguntungkan diri sendiri maupun perusahaan.

2.2.2 Motivasi Manajemen Laba

Watt & Zimmermaan (1986) menjelaskan bahwa terdapat tiga hipotesis dalam

manajemen laba, yaitu:

1. The Bonus Plan Hypothesis

Merupakan dorongan manajer dalam melaporkan laba untuk mendapatkan

bonus dimana bonus tersebut dihitung dari dasar laba. Pada umumnya, manajer

perusahaan menggunakan metoda-metoda akuntansi sehingga dapat

meningkatkan pendapatan pada saat perioda berjalan. Hal ini dilakukan kadang

sebagai alasan untuk meningkatkan persentase bonus.

2. The Debt Convenant Hypothesis

Motivasi ini terjadi ketika ada perjanjian utang maupun kompensasi manajerial

antara manajer dengan pemilik perusahaan. Semakin tinggi rasio utang

perusahaan maka akan semakin ketat perusahaan terhadap kendala yang

terdapat dalam perjanjian utang dan semakin besar pula probabilitas terhadap

pelanggaran perjanjian yang diadakan. Dengan demikian akan semakin

memungkinkan manajer menggunakan metoda-metoda yang ada untuk dapat

meningkatkan pendapatan.
10

3. The Political Cost Hypothesis

Merupakan motivasi manajemen yang terjadi karena regulasi pemerintah.

Manajer memanipulasi laba dengan menurunkan laba yang dilaporkan sehingga

akan mempengaruhi keputusan yang dibuat. Income taxation juga menjadi

motivasi dalam melakukan manajemen laba.

Terdapat tiga motivasi manajer melakukan manajemen laba menurut Wild, et.

al., (2005), yaitu:

1. Intensif Perjanjian

Perjanjian yang dilakukan dengan menggunakan angka-angka akuntansi,

seperti perjanjian kompensasi dimana kompensasi ini memiliki batas bawa dan

batas atas. Manajer tidak mendapat bonus jika tidak mencapai target laba dan

mendapatkan bonus jika sudah mencapai target laba.

2. Dampak Harga Saham

Meningkatkan laba agar dapat menaikkan harga saham pada perusahaan

tersebut. Manajer dapat melakukan perataan laba untuk menurunkan persepsi

pasar terhadap risiko yang akan terjadi serta menurunkan biaya modal

3. Insentif Lain

Laba diturunkan oleh manajer pada umumnya untuk mengurangi biaya politik

dan penelitian yang biasanya dilakukan oleh badan pemerintah, seperti anti

monopoli. Selain itu juga utuk mendapatkan keuntungan yang diberikan oleh

pemerintah, seperti subsidi atau proteksi dari persaingan asing.

Berbeda dengan Wild, Scott (2000) menjelaskan terdapat enam alasan mengapa

manajer melakukan manajemen laba:


11

1. Other Contractual Motivations

Motivasi terjadi ketika perusahaan membuat suatu perjanjian utang untuk

meilindungi pemberi pinjaman terhadap manajer yang akan melakukan

penyelenehan seperti dividen dan pinjaman yang berlebihan maupun modal

kerja yang di bawah tingkat yang ditetapkan.

2. Bonus Sheme

Motivasi ini terjadi karena manajer menginginkan bonus yang didapat dari laba

dasar. Bonus sheme seperti pada the bonus plan hypothesis pada Watt &

Zimmerman.

3. Political Motications

Terjadi pada perusahan-perusahaan yang memiliki kecenderungan untuk

menurunkan laba visibilitas.

4. Taxation Motivations

Laba dikurangi untuk menurunkan beban pajak yang harus dibayar kepada

pemerintah karena laba semakin besar maka semakin besar pula pajak yang

harus diberikan kepada pemerintah.

5. Charges Of Chies Executive Officer (CEO)

Terjadi ketika perusahaan akan melakukan pergantian manajer. Pada akhir

tahunnya, manajer dapat melaporkan laba yang tinggi yang harus dipenuhi pada

tahun berikutnya. Dengan meningkatkan laba maka manajer akan mendapatkan

bonus yang dijanjikan.

6. Initial Public Offerings (IPO)

Perusahaan yang menerbitkan IPO, pada umumnya akan kesulitan untuk

mendapatkan harga saham yang mapan. Agar dapat mempengaruhi pasar,


12

manajer memberikan informasi pendapatn yang diharapkan melalui Prospectus

Earnings Management agar mendapatkan respon positif dari pasar.

Terdapat empat cara agar manajer dapat melakukan manajemen laba

(Sulistyanto, 2008):

1. Mengakui dan mencatat pendapatan lebih cepat satu atau lebih dari satu perioda

Hal ini mengakibatkan pendapatan menjadi lebih besar dari yang sebenarnya

sehingga mengakibatkan kinerja perusahaan seolah – olah lebih bagus daripada

yang sesungguhnya. Hal ini akan mengakibatkan pendapatan perusahaan pada

perioda berikutnya menjadi leboh rendah daripada pendapatan sesungguhnya.

2. Mencatat pendapatan palsu pada laporan keuangan

Manajer mencatat pendapatan yang tidak pernah ada sehingga pendapatan tidak

akan pernah terealisasi seperti piutang yang pelunasannya tidak akan pernah

diterima. Hal ini mengakibatkan pendapatan menjadi lebih besar daripada yang

sesungguhnya.

3. Mengakui dan mencatat biaya lebih cepat atau lebih lambat dari yang

seharusnya

Ketika mengakui biaya lebih cepat maka akan membuat biaya perioda berjalan

menjadi lebih baik daripada yang seharusnya, begitu juga ketika mengakui

biaya lebih lambat maka akan membuat biaya perioda berjalan menjadi lebih

buruk daripada yang seharusnya.

4. Tidak mengungkapkan semua kewajiban perusahaan

Manajer menyembunyikan seluruh atau sebagian kewajibannya.

Bila dilihat dari agency theory, manajemen laba terjadi karena adanya

perbedaan kepentingan antara pemilik perusahaan dan pengelola perusahaan. Hal


13

ini terjadi karena manajemen memiliki informasi yang lebih dalam daripada

stakeholder. Bathala, et. al., (1994) menjelaskan beberapa cara untuk mengurangi

konflik yang terjadi antara manajer dengan pemilik perusahaan:

1. Meningkatkan konsetrasi kepemilikan

2. Meningkatkan dividend payout ratio

3. Institutional Investor sebagai monitoring agen

Selain faktor yang disebutkan oleh Bathala, et. al., (1994) faktor lain yang

mempengaruhi manajemen laba adalah firm size (Halim, et. al., 2005). Ukuran

perusahaan menjelaskan pengelompokkan apakah perusahaan tersebut berada di

dalam perusahaan besar, sedang, atau kecil. Semakin besar perusahaan maka akan

semakin besar pula kesempatan manajer dalam melakukan manajemen laba karena

perusahaan besar memiliki aktivitas operasional yang lebih kompleks dan dituntut

untuk memenuhi keinginan investor yang tinggi.

2.2.3 Teknik Manajemen Laba

Menurut Wild, et. al., (2005) terdapat tiga teknik manajemen laba:

1. Meningkatkan Laba

Dengan meningkatkan laba pada perioda yang dijalankan maka diharapkan

perusahaan akan dipandang baik oleh stakeholder

2. Big Path

Big Path adalah teknik penghapusan laba sebanyak mungkin dalam satu

perioda. Biasanya perioda yang dipilih adalah perioda yang memiliki kinerja

yang buruk atau terjadi kejadian yang tidak biasa di dalam perusahaan seperti

perubahan manajemen dan restrukturisasi.


14

3. Perataan Laba

Manajer meningkatkan dan menurunkan laba untuk mengurangi fluktuasi. Laba

yang tidak dilaporkan akan dijadikan cadangan laba dan akan dilaporkan ketika

laba perioda perusahaan dalam keadaan buruk.

2.2.4 Pendeteksian Manajemen Laba

Menurut Sulistyanto & Wibisono (2003), pendeteksian manajemen laba dapat

dilakukan dengan menggunakan metoda discretionary accrual. Discretionary

accrual adalah kebijakan akuntansi dengan memberikan keleluasaan manajemen

untuk menentukan jumlah transaksi akrual dengan fleksibel, sehingga dengan

demikian akan memberikan peluang kepada manajer untuk memperbaiki profit

laba. Ada pula yang disebut dengan non-discretionary accrual, yaitu pengakuan

laba akrual sesuai dengan akuntansi yang berlaku umum.

Discretionary accrual menjelaskan perbedaan akrual pada perioda yang diuji

dengan standarisasi dengan penjualan pada perioda yang diuji dan totak akrual

perioda dasar (Gumanti, 2001). Berikut adalah rumus discretionary accrual

menurut Gumanti (2001):

DACpt = (TApt /SALEpt )-(TApd /SALEpd ) ..................... (1)


Keterangan :
DACpt : disrectionary accrual perioda tes
TApt : total akrual pada perioda tes
SALEpt : penjualan pada perioda tes
TApd : total accruals pada perioda dasar
SALEpd : penjualan pada perioda dasar
15

Bila manajemen berusaha meningkatkan keuntungan maka nilai DAC adalah

positif. Begitu juga sebaliknya, bila manajemen tidak berusaha meningkatkan

keuntungan maka nilai DAC adalah negatif.

Total akrual adalah selisih antara laba bersih operasi dengan aliran kas dari

aktivitas operasi (Gumanti, 2001). Berikut adalah rumus total akrual menurut

Gumanti (2001):

TA = NOI - CFO .................................. (2)


Keterangan:
TA : Total Accrual
NOI : Net Operating Income
CFO : Cash Flow Operating Activities

2.2.5 Bentuk-Bentuk Manajemen Laba

Bentuk-bentuk manajemen laba menurut Scott (2000):

1. Taking a Bath

Dilakukan oleh manajer ketika keadaan buruk yang tidak menguntungkan dan

tidak bisa dihindari pada perioda berjalan. Taking a bath dilakukan dengan cara

mengakui biaya pada perioda yang akan datang dan kerugian berjalan.

2. Income Minimization

Dilakukan oleh manajer ketika perusahaan mendapatkan keuntungan yang

tinggi dan perusahaan berharap keuntungan tersebut tidak terlihat besar dengan

cara menurunkan laba pada perioda tertentu.

3. Income Maximization

Dilakukan oleh manajer ketika perusahaan tidak mendapatkan profit yang

cukup. Manager berusaha memaksimalkan laba dengan tujuan tertentu, seperti


16

untuk dapat memperoleh bonus yang lebih besar atau untuk menghindari

pelanggaran perjanjian utang.

4. Income Smoothing

Merupakan bentuk manajemen laba yang paling sering dilakukan da paling

populer. Manajer menaikkan dan menurunkan laba untuk mengurangi fluktuasi

laba yang dilaporkan sehingga perusahaan terlihat stabil dan tidak berisiko

tinggi.

Gunny (2005) menyebutkan bahwa manajer sudah bergeser menjadi:

1. Manajemen Laba Riil

Menurut Ferdawati (2009), manajemen laba didefinisikan sebagai suatu

intervensi yang sengaja dilakukan untuk memperoleh beberapa keuntungan

probadi pihak tertentu. Manajemen laba riil merupakan manipulasi yang

dilakukan oleh manajemen melalui aktivitas sehari-hari perusahaan selama

suatu perioda akuntansi. Manajemen laba riil dapat dilakukan kapan saja

dengan sebuah tujuan utama, yaitu memenuhi target laba. Tujuan lain dari

manajemen laba riil ini adalah untuk menghindari kerugian dan mencapai target

ramalan analisis.

2. Manajemen Laba Akrual

Salah satu teknik pengelolaan laba yang biasa digunakan manajemen adalah

akrual. Akrual merupakan selisih antara kas masuk bersih dari hasil operasi

perusahaan dengan laba yang dilaporkan dalam laporan laba rugi dan bisa

bersifat akrual non diskresioner atau akrual diskresioner. Laporan keuangan

disusun berdasarkan proses akrual, sehingga angka-angka laporan keuangan


17

akan mengandung komponen akrual, baik yang diskresioner maupun yang

bukan diskresioner.

Gunny (2005) menyebutkan bahwa pergeseran ini terjadi karena:

1. Manipulasia akrual telah dijadikan pusat pengamatan oleh auditor

2. Penitikberatan pada manipulasi akrual akan memberikan risiko karena

perusahaan kemungkinan memiliki fleksibilitas yang terbatas

2.3 Teori Keagenan

Teori keagenan menurut Jensen & Meckling (1976) adalah adalah dasar untuk

memahami corporate governance. Teori ini menyangkut hubungan antara anggota-

anggota perusahaan. Hubungan ini terjadi ketika satu atau lebih pemegang saham

mempekerjakan manajer untuk memberikan suatu jasa dan kemudian didelegasikan

wewenang pengambilan keputusan.

Teori ini mengambil tiga sifat manusia (Eisenhardt, 1989):

1. Manusia adalah makhluk yang mementingkan diri sendiri

2. Manusia memiliki daya pikir yang terbatas terhadap persepsi di masa depan

3. Manusia selalu berusaha untuk menghindari setiap risiko yang timbul

Menurut Brigham & Houston (2006) hubungan keagenan timbul di antara:

1. Pemegang saham dan manajer

Masalah keagenan timbul ketika manajer hanya mementingkan tujuan

pribadinya agar mendapatkan posisi yang lebih tinggi dari kepentingan para

pemegang saham. Masalah ini dapat terjadi jika porsi kepemilikan saham

perusahaan kurang dari seratus persen sehingga manajer akan cenderung untuk
18

mengejar kepentingannya sendiri. Hal ini akan mengurangi kemakmuran

pemegang saham.

2. Pemegang saham dan kreditor

Kreditor memiliki standar untuk pemberian bunga dan utang bagi perusahaan

dimana mereka akan melihat arus kas perusahaan. Ketika perusahaan akan

bangkrut, manajer berupaya untuk mengatasi kondisi tesebut. Kreditor akan

menghendaki likuidasi perusahaan sehingga mereka dapat segera menarik

dananya yang dipinjamkan kepada perusahaan dengan cepat. Di sisi lain,

manajer ingin agar perusahaan tetap eksis dengan mempertahankan pinjaman

dari kreditor dan mereka dapat terus mereorganisasi perusahaan. Pada saat ini

pula, pemegang saham kemungkinan akan berusaha untuk mencari manajer

baru meskipun memerlukan waktu yang lama.

Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengurangi masalah keagenan

(Laily ,2009):

1. Meningkatkan kepemilikan managerial

Dengan meningkatkan kepemilikan maka manager akan dapat merasakan

langsung manfaat dari keputusan yang dibuat baik keuntungan maupun

kerugiannya.

2. Melakukan pengawasan eksternal

Dilakukan dengan menggunakan utang. Dengan adanya utang, maka dapat

mengendalikan free cash flow yang berlebihan oleh manager

3. Institutional investor sebagai monitoring agent

Dengan adanya kepemilikan saham maka akan meningkatkan pengawasan

terhadap kinerja manajemen.


19

Arifin (2005), juga menjabarkan beberapa hal yang dapat mengurangi masalah

keagenan:

1. Kepemilikan terkonsentrasi

Kepemilikan dikatakan terkonsentrasi bila dapat mencapai kontrol yang

penggabungannya menggunakan sedikit investor. Dengan menggunakan sedikit

investor maka akan memudahkan kontrol ketika akan dijalankan. Kepemilikan

terkonsentrasi ini akan memberikan peluang yang kecil bagi investor untuk

mengambil tindakan yang merugikan.

2. Pasar Manager

Kinerja manager akan dicatat oleh pasar manager baik oleh dalam perusahaan

dan luar perusahaan. Dengan demikian masalah keagenan akan semakin

berkurang karena pemantauan ini. Lapisan manager atas bila tidak memberikan

hasil kerja yang memuaskan maka akan digantikan oleh manager lapis bawah.

Dengan adanya persaingan ini maka para manager akan bertindak sebaik

mungkin untuk kemajuan perusahaan.

2.4 Nilai Perusahaan

Nilai perusahaan merupakan persepsi investor terhadap perusahaan yang

berkaitan dengan harga saham (Salvatore, 2005). Memaksimalkan nilai perusahaan

sangat penting karena akan memaksimalkan kemakmuran pemegang saham.

Husnan (2000), berpendapat bahwa nilai perusahaan merupakan harga yang sedia

dibayarkan oleh calon pembeli apabila perusahaan tersebut dijual. Nilai perusahaan

merupakan persepsi investor terhadap tingkat keberhasilan perusahaan (Keown, et


20

al., 2004). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa nilai perusahaan merupakan

nilai beli menurut investor terhadap perusahaan yang memiliki saham mereka.

Nilai saham perusahaan tinggi akan membuat nilai perusahaan juga tinggi. Jika

nilai perusahaan tinggi akan membuat pasar percaya terhadap kinerja perusahaan

dan prospek perushaaan di masa depan. Nurlela & Islahuddin (2008) berpendapat

bahwa nilai perusahaan merupakan konsep penting untuk investor, karena akan

menjadi indikator dalam menilai perusahaan secara keseluruhan.

Pengukuran nilai perusahaan menggunakan proksi Price to Book Value.

Prayitno (2007), menjelaskan bahwa PBV merupakan pengukuran untuk melihat

seberapa besar pasar menghargai nilai buku saham suatu perusahaan. Semakin

tinggi nilai rasio ini, maka akan semakin tinggi kepercayaan pasar terhadap prospek

perusahaan. Selain PBV, Tobin’s Q juga dapat mengukur nilai pasar. Sukamulja

(2004) menjelaskan bahwa Tobin’s Q dapat memasukkan semua unsur utang dan

modal saham perusahaan sehingga fokus dapat diberikan kepada banyak tipe

investor. Semakin tinggi nilai Tobin’s Q maka perusahaan memiliki prospek

pertumbuhan yang baik.

Terdapat beberapa teknik yang digunakan untuk menilai perusahaan (Suharli,

2002):

1. Pendekatan laba (Price Earning Ratio, metoda rasio tingkat laba)

2. Pendekatan arus kas (metoda diskonto arus kas)

3. Pendekatan dividen (metoda pertumbuhan dividen)

4. Pendekatan aset (metoda penilaian nilai aset)

5. Pendekatan harga saham

6. Pendekatan economic value added


21

Pada umumnya, tujuan manajemen keuangan adalah untuk memaksimalkan

nilai peusahaan. Namun sering terjadi konflik antara pemilik perusahaan dengan

penyedia dana, sehingga nilai saham dapat mengukur nilai efektivitas perusahaan.

Nilai perusahaan juga dapat dilihat dari nilai pasar atau nilai buku perusahaan dari

ekuitasnya. Nilai perusahaan yang dibentuk melalui indikator nilai pasar akan

sangat dipengaruhi oleh peluang investasi. Dengan adanya peluang investasi maka

akan memberikan sinyal positif mengenai pertumbuhan perusahaan di masa

mendatang dan dapat meningkatkan nilai perusahaan.

Dalam perspektif teori agensi, agen yang cenderung mementingkan

kepentingan sendiri maka tidak akan berinvestasi dengan penuh risiko.

Permasalahan dalam teori ini menjelaskan bahwa nilai perusahaan akan naik

apabila pemilik perusahaan dapat mengendalikan perilaku manajemen agar tidak

menghamburkan sumber daya perusahaan. Corporate governance merupakan

sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan agar dapat memberikan nilai

perusahaan untuk para pemegang saham. Dengan demikian GCG (Good Corporate

Governance) dapat meningkatkan nilai perusahaan.

2.5 GCG (Good Corporate Governance)

BPKP (Badan Pengawasan Keuangan Pemerintah) menjelaskan bahwa GCG

merupakan sistem pengendalian dan pengaturan perusahaan terhadap hubungannya

dengan berbagai pihak di dalam perusahaan dan nilai-nilai yang terkandung dalam

mekanisma pengelolaan tersebut. Tujuan dari GCG ini adalah untuk menciptakan

nilai tambah bagi para stakeholder. Berikut adalah prinsip-prinsip utama GCG

(Wardani, 2008):
22

1. Keadilan

Prinsip memperlakukan adil untuk seluruh pemegang saham baik pemegang

saham minoritas dan pemegang saham asing. Perlakuan sama ini dilakukan

terutama jika terdapat kecurangan.

2. Kererbukaan/Transparansi

Perusahaan harus transparan dalam pengungkapan dan tepat waktu dalam hal

kinerja perusahaan, kepemilikan, dan pemegang kepentingan. Perusahaan harus

memberikan informasi yang material dan relevan agar mudah diakses dan

dipahami oleh para stakeholder.

3. Akuntabilitas

Sangat penting bagi perusahaan untuk menciptakan sistem pengawasan untuk

komisaris, direksi, dan para pemegang saham. Pengawasan ini terdiri dari

pemonitoringan, evaluasi, dan pengendalian terhadap manajemen agar

manajemen bertindak sesuai dengan para pemegang saham dan pihak-pihak

yang berkepentingan.

4. Responsibilitas

Manajer harus bertanggung jawab kepada perusahaan dan para pemegang

saham. Sehingga dengan demikian maka manajemen akan menghindari

penyalahgunaan kekuasaan dan pada akhirnya akan menjunjung tinggi etika

dan memelihara bisnis yang sehat.

5. Independen

Perusahaan harus dikelola secara independen sehingga masing – masing bagian

dalam perusahaan tidak ada yang saling mendominasi. Independen ini


23

diperlukan untuk menghindari adanya konflik yang dapat timbul dalam para

pemegang saham mayoritas.

Menurut FCGI Booklet terdapat tiga komite penting yang berperan dalam GCG:

1. Komite Kompensasi/ Remunerasi (Compensation/ Remuneration Committee)

2. Komite Nominasi (Nomination/ Governance Committee)

3. Komite Audit (Audit Committee)

Berikut adalah beberapa tujuan utama dalam penerapan GCG:

1. Melindungi para pemegang saham

2. Melindungi para stakeholder

3. Meningkatkan nilai perusahaan dan pemegang saham

4. Mengingkatkan efisiensi dan efektivitas kerja dewan pengurus dan manajer

5. Meningkatkan hubungan dewan dengan manager


BAB III

KONTROVERSI DAN GAP

3.1 Manajemen Laba dan Nilai Perusahaan

Scott (2000) mendefinisikan manajemen laba sebagai suatu tindakan untuk

memilih kebijakan akuntansi dari suatu standar tertentu dengan tujuan

memaksimalkan kesejahteraan atau nilai perusahaan. Sedangkan menurut Merchant

& Rockness (1994), praktik manajemen laba adalah tindakan yang dilakukan oleh

manajemen perusahaan untuk mempengaruhi laba yang dilaporkan sehingga dapat

memberikan informasi mengenai kentungan ekonomis yang sesungguhnya tidak

dialami oleh perusahaan.

Binter & Dolan (1996) telah melakukan penelitian antara manajemen laba

sebagai alternatif kualitas laba dan nilai perusahaan dengan menggunakan variabel

leverage dan firm size. Hasil penelitian tersebut membuktikan bahwa baik dengan

menggunakan laba bersih atau ordinary income yang digunakan sebagai sasaran

laba, leverage merupakan determinan negatif yang signifikan secara statistik.

Sementara itu firm size berhubungan secara negatif namun tidak signifikan.

Lobo & Zhou (2001) menyatakan bahwa manajemen dapat meningkatkan

nilai perusahaan dengan cara mengungkapkan informasi tambahan dalam laporan

keuangan. Namun peningkatan pengungkapan laporan keuangan ini akan

mengurangi asimetri informasi yang menyebabkan peluang manajemen untuk

melakukan manajemen laba menjadi kecil.

Perusahaan yang melakukan manajemen laba akan mengungkapkan lebih

sedikit informasi dalam laporan keuangan agar tindakannya tidak mudah terdeteksi.

24
25

tetapi jika manajemen laba dilakukan untuk tujuan mengkomunikasikan informasi

dan meningkatkan nilai perusahaan, maka hal tersebut merupakan hal yang positif.

Makaryanawati (2009), menemukan bukti bahwa praktik manajemen laba

memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap nilai perusahaan. Hasil penelitian

ini mengindikasikan bahwa pasar modal Indonesia lebih memilih perusahaan yang

menerapkan manajemen laba. Murwaningsari (2010), melakukan penelitian

terhadap nilai dan kinerja perusahaan pada saat dan setelah IPO kepada publik.

Hasil penelitian tersebut menunjukkan bukti bahwa perusahaan melakukan

manajemen laba yang meningkatkan laba pada saat melakukan penawaran publik

perdana saham. Pada saat IPO, manajemen laba berpengaruh positif pada nilai

perusahaan.

Secara singkat dapat dikatakan bahwa tindakan manajemen untuk

melakukan manajemen laba adalah dengan tujuan memaksimalkan kesejahteraan

atau nilai dari perusahaan dengan cara mempengaruhi laba yang dilaporkan oleh

manajemen yang menyebabkan kualitas dari laba yang dilaporkan menjadi rendah,

akan tetapi jika manajemen memberikan banyak informasi kepada para pemegang

saham maka akan meningkatkan nilai perusahaan secara positif.

3.2 Manajemen Laba dan Dewan Komisaris

Fama & Jensen (1983), meyakini bahwa dewan komisaris memiliki peranan

penting dalam pengelolaan perusahaan, khususnya dalam memitor manajemen

puncak. Penelitian yang dilakukan oleh Beasley (1996), mengenai hubungan antara

proporsi dewan komisaris dan kecurangan dalam laporan keuangan. Hasil dari

penelitian tersebut membuktikan bahwa perusahaan yang melakukan kecurangan


26

memiliki persentase dewan komisaris eksternal yang signifikan lebih rendah

daripada perusahaan yang tidak melakukan kecurangan. Hal ini diperkuat dengan

pernyataan Hafiza & Devi (2006) yang mengakatan bahwa dewan komisaris

merupakan mekanisme pengontol internal yang sangat penting dan bertanggung

jawab untuk memonitor perbuatan manajer. Dewan komisaris memiliki tugas utama

untuk memastikan bahwa manajer bertindak dengan mementingkan kepentingan

para pemegang saham terlebih dahulu. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa

manajemen laba berhubungan positif dengan ukuran dewan komisaris.

3.3 Perbandingan Manajemen Laba Riil dan Manajemen Laba Akrual

Roychowdhury (2006), menjelaskan bahwa manajemen laba dapat

dilakukan dengan manajemen laba akrual murni dan manajemen laba riil.

Manajemen laba akrual dilakukan pada akhir perioda ketika manajer mengetahui

laba sebelum direkayasa sehingga dapat mengetahui berapa besar manipulasi yang

dibutuhkan untuk mencapai target laba. Manajemen laba riil merupakan manipulasi

yang dilakukan oleh manajemen melalui aktivitas sehari-hari selama perioda

akuntansi. Kegiatan manajemen laba riil dimulai dari praktek operasional normal

yang dimotivasi oleh manajer yang memiliki keinginan untuk menipu dan

menyesatkan pemangku kepentingan yang ingin mengetahui kondisi dan kinerja

perusahaan.

Manajemen laba riil dapat terjadi sepanjang perioda akuntansi berjalan

melalui kegiatan sehari-hari prusahaan tanpa harus menunggu akhir perioda,

sehingga memudahkan manajer untuk mencapai target laba yang diinginkan.


27

Teknik yang dapat dilakukan dalam manajemen laba riil antara lain manajemen

penjualan, overproduction, dan pengurangan biaya diskresioner.

Manajemen laba akrual dapat terjadi karena manajer cenderung memilih

kebijakan akuntansi yang memberikan keleluasaan pada manajemen untuk

membuat pertimbangan akuntansi yang akan memberi pengaruh pada pendapatan

yang akan dilaporkan. Manajemen laba akrual dapat diukur menggunakan

discretionary accruals modified Jones model. Penghitungan atas akrual abnormal

ini diawali dengan perhitungan total akrual. Total akrual didapatkan dari selisih

antara laba dan arus kas yang berasal dari aktivitas operasi. Menurut Koyuimirsa

(2011), total akrual dapat dibedakan menjadi normal accrual, yaitu bagian akrual

yang memang sewajarnya ada dalam proses penyusunan laporan keuangan, dan

discretionary accruals, yaitu bagian akrual yang merupakan manipulasi data

akuntansi.
BAB IV

OPINI DAN PEMBAHASAN

4.1 Uji Empiris Manajemen Laba

4.1.1 Manajemen Laba terhadap Good Coorporate Governance

Corporate governance merupakan konsep yang diajukan demi peningkatan

kinerja perusahaan melalui supervisi atau monitoring kinerja manajemen dan

menjamin akuntabilitas manajemen terhadap stakeholder dengan mendasarkan

pada kerangka peraturan. Konsep corporate governance diajukan demi tercapainya

pengelolaan perusahaan yang lebih transparan bagi semua pengguna laporan

keuangan. Mekanisme monitoring yang digunakan untuk menyelaraskan berbagai

kepentingan dapat dilakukan melalui peran monitoring dewan komisaris

independen, komite audit independen, dan kepemilikan manajerial. Berikut ini

adalah beberapa bukti empiris mengenai hubungan antara manajemen laba dengan

good corporate governance.

1. Putri (2012)

Melakukan penelitian dengan judul Pengaruh Kebijakan Dividen dan Good

Corporate Governance Terhadap Manajemen Laba. Hasil penelitian

menyatakan bahwa kepemilikan institusional sebagai proksi mekanisme GCG

tidak berpengaruh terhadap manajemen laba. Adanya kepemilikan

institusional sebagai pemegang saham tidak akan mempengaruhi manajemen

untuk melakukan manajemen laba ataupun tidak. Hal ini terjadi karena

dengan adanya kepemilikan institusi dalam perusahaan tidak begitu berfungsi

28
29

dalam melakukan pengawasan terhadap perilaku manajer. Kemudian,

variabel dewan komisaris independen sebagai proksi GCG ternyata tidak

mampu mengurangi atau menekan terjadinya manajemen laba, bahkan justru

memicu terjadinya manajemen laba. Hal ini disebabkan oleh banyaknya

jumlah dewan komisaris independen ternyata menjadi tidak efektif dalam

melakukan pengawasan terhadap manajemen karena koordinasi menjadi

lambat dan kurangnya frekuensi rapat.

2. Agustia (2013)

Melakukan penelitian dengan judul Pengaruh Faktor Good Corporate, Free

Cash Flow, dan Leverage Terhadap Manajemen Laba. Hasil penelitian

menyatakan bahwa variabel-variabel Good Corporate Governance (GCG)

tidak berpengaruh terhadap praktik manajemen laba. Keberadaan komite

audit dan proporsi dewan komisaris di perusahaan publik sampai saat ini

hanya sekedar untuk memenuhi ketentuan pihak regulator atau pemerintah,

sehingga besar kecilnya jumlah komite audit dan proporsi dewan komisaris di

perusahaan tidak bisa membatasi terjadinya praktik manajemen laba.

Kepemilikan institusional tidak berpengaruh terhadap manajemen laba. Hal

ini dikarenakan investor institusional tidak berperan sebagai sophisticated

investors. Kepemilikan manajerial juga tidak berpengaruh terhadap

manajemen laba karena saham yang dimiliki manajer relatif sangat kecil jika

dibandingkan dengan keseluruhan modal yang dimiliki oleh investor umum.

3. Rahmawati (2013)

Melakukan penelitian dengan judul Pengaruh Good Corporate Governance

(GCG) Terhadap Manajemen Laba Pada Perusahaan Perbankan. Hasil


30

penelitian menyatakan bahwa dewan komisaris independen terbukti mampu

mengurangi manajemen laba, maka diharapkan untuk mempertahankan agar

dapat membatasi manajemen laba. Komite audit independen dalam penelitian

ini terbukti tidak berpengaruh terhadap manajemen laba, maka diharapkan

komite audit lebih meningkatkan pengawasan terhadap pihak manajemen

agar informasi yang terkandung dalam laporan keuangan semakin baik dan

berkualitas. Kepemilikan manajerial pada penelitian terbukti tidak

berpengaruh terhadap manajemen laba, maka pada perusahaan perlu

ditingkatkan lagi kepemilikan manajerialnya agar kepentingan antara

manajemen dan pemilik selaras sehingga pihak manajemen tidak melakukan

tindakan manajemen laba. Penambahan kepemilikan manajerial dapat

dilakukan dengan cara membeli saham-saham perusahaan yang telah beredar

di pasar modal oleh manajer. Bagi masyarakat, terutama investor yang akan

menanamkan modal pada perusahaan diharapkan lebih teliti dan berhati-hati

dalam membaca informasi keuangan agar keputusan yang diambil tepat.

Dilihat dari tinjauan penelitian terdahulu, terdapat pengaruh yang diberikan

dari ketiga mekanisme motivasi dari Good Corporate Governance, yaitu dewan

komisaris, komite audit independen, dan kepemilikan manajerial. Menurut Putri

(2012), dan Agustia (2013), tiga mekanisma monitoring GCG belum mampu

mengurangi manajemen laba. Namun seiring berjalannya waktu dan perbaikan dari

manajemen perusahaan, dari ketiga mekanisma tersebut sudah ada yang mampu

mengurangi manajemen laba seperti hasil penelitian dari Rahmawati (2013) .

Seperti tujuannya, mekanisma monitoring pertama digunakan untuk menyelaraskan

berbagai kepentingan dapat dilakukan melalui peran monitoring dewan komisaris


31

independen. Mekanisma monitoring kedua, peranan komite audit independen

diperlukan untuk lebih meningkatkan lagi kualitas informasi yang terdapat dalam

laporan keuangan perusahaan sesuai dengan tugas-tugasnya sehingga dapat

mengurangi perilaku oportunistik yang dilakukan oleh para manajer. Mekanisme

monitoring ketiga digunakan untuk menyelaraskan berbagai kepentingan dapat

dilakukan dengan memperbesar kepemilikan saham perusahaan oleh manajemen

(managerial ownership). Melalui kepemilikan manajerial ini diharapkan

kepentingan pemilik atau pemegang saham akan dapat disejajarkan dengan

kepentingan manajer. Maka dari itu, ketiga mekanisma monitoring GCG ini

diharapkan mampu mengurangi tindakan manajemen laba yang dilakukan oleh

manajer perusahaan.

4.1.2 Manajemen Laba terhadap Kinerja dan Nilai Perusahaan

Manajemen laba merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kinerja

perusahaan (Fitriyani, et. al., 2010). Manajemen akan memilih metoda tertentu

untuk mendapatkan laba yang sesuai dengan motivasinya. Berikut ini adalah

beberapa bukti empiris mengenai hubungan antara manajemen laba dengan kinerja

dan nilai perusahaan.

1. Roychowdhury (2006)

Melakukan penelitian dengan judul Manajemen Laba Melalui Manipulasi

Aktivitas Riil. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh negatif

manajemen laba riil pada nilai perusahaan. Semakin tinggi manajemen laba

riil yang dilakukan maka nilai perusahaan akan semakin rendah. Manajemen

laba riil yang dilakukan oleh manajemen perusahaan akan memperlihatkan

kinerja yang baik dalam jangka pendek atau meningkatkan nilai perusahaan.
32

Namun, perioda berikutnya laba akan mengalami penurunan sehingga

mengakibatkan nilai perusahaan menjadi turun dalam jangka panjang.

2. Herawaty (2008)

Melakukan penelitian dengan judul Peran Praktik Corporate Governance

sebagai Moderating Variabel dari Pengaruh Earnings Management terhadap

Nilai Perusahaan. Hasil penelitian menyatakan bahwa manajemen laba riil

yang dilakukan oleh manajemen perusahaan akan memperlihatkan kinerja

yang baik dalam jangka pendek dan meningkatkan nilai perusahaan. Akan

tetapi hal ini akan berdampak pada laba perusahaan perioda berikutnya yang

akan mengalami penurunan. Hal ini mengakibatkan nilai perusahaan menjadi

turun dalam jangka panjang.

3. Afriyenti (2009)

Melakukan penelitian dengan judul Pengaruh Accrual Earnings Management

dan Riil Earnings Management terhadap Kinerja Perusahaan. Hasil penelitian

menyatakan bahwa manajemen laba akrual tidak mempengaruhi kinerja

perusahaan, sedangkan manajemen laba riil mempengaruhi kinerja

perusahaan.

4. Ferdawati (2009)

Melakukan penelitian dengan judul Pengaruh Manajemen Laba Riil terhadap

Nilai Perusahaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai perusahaan yang

melakukan manajemen laba riil lebih rendah dari nilai perusahaan yang tidak

melakukan manajemen laba riil.

Dilihat dari tinjuan penelitian terdahulu, dapat disimpulkan bahwa

perusahaan yang melakukan manajemen laba riil memiliki pengaruh terhadap


33

kinerja dan nilai perusahaan. Manajemen laba riil memperlihatkan kinerja jangka

pendek perusahaan yang baik namun secara potensial menurunkan nilai

perusahaan. Perusahaan melakukan manajemen laba riil untuk memenuhi target

laba tertentu. Sebagai contoh, perusahaan melakukan aktivitas manajemen laba riil

dengan cara melakukan pemberian diskon yang besar pada tahun berjalan untuk

meningkatkan jumlah penjualan dan mencapai target jangka pendek. Volume

penjualan akan meningkat dan menyebabkan laba tahun berjalan tinggi namun arus

kas menurun karena arus kas masuk kecil akibat penjualan kredit dan potongan

harga. Akan tetapi, aktivitas ini akan membuat pelanggan berharap bahwa ia akan

memperoleh diskon-diskon yang sama di masa yang akan datang dan perusahaan

belum tentu mampu menerapkan hal serupa pada beberapa tahun berikutnya.

Adanya ketidakpastian perusahaan akan kemampuannya dalam memenuhi

ekspektasi pelanggan akan menyebabkan menurunnya nilai perusahaan.

Investor dan kreditor juga biasanya menggunakan laporan laba sebagai salah

satu informasi untuk menentukan nilai perusahaan. Manajemen laba yang

dilakukan akan menyebabkan laba yang disajikan tidak menggambarkan keadaan

ekonomi yang sebenarnya, hal ini akan berdampak pada menurunkan nilai

perusahaan. Manajemen laba riil yang dilakukan oleh manajemen memperlihatkan

kinerja jangka pendek perusahaan yang baik namun demikian secara potensial akan

menurunkan nilai perusahaan. Hal ini disebabkan karena tindakan yang diambil

manajemen untuk meningkatkan laba tahun sekarang akan mempunyai dampak

negatif terhadap laba dan kinerja perusahaan pada perioda berikutnya.

Sedangkan, perusahaan yang melakukan manajemen laba akrual kinerja dan

nilai perusahaan yang lebih baik. Manajer tidak melibatkan arus kas perusahaan
34

dan hanya bermain pada pos -pos laporan posisi keuangan. Manajemen laba akrual

menyatakan bahwa perusahaan dapat mengakui pendapatan atau beban sesuai

dengan waktu substansinya dan tidak memperhatikan kapan arus kas masuk atau

keluar seperti pada manajemen laba riil. Biaya dapat diakui di perioda yang akan

datang walaupun pengeluaran kas telah terjadi pada perioda berjalan, begitu juga

sebaliknya.

4.1.3 Managemen Laba dan IFRS

Pandangan teori akuntansi positif menjelaskan bahwa manajemen laba

berkaitan dengan kebijakan regulasi atau peraturan akuntansi. Adanya aturan pada

standar akuntansi merupakan salah satu alat yang memfasilitasi perusahaan untuk

melakukan manajemen laba. Situmorang & Purwanto (2011), menjelaskan bahwa

faktor penerapan kebijakan standar akuntansi dapat mendorong terjadinya

manajemen laba. Perubahan standar akuntansi juga dapat mendorong tindakan

manajemen laba. Salah satu upaya mengurangi manajemen laba tersebut yaitu

melakukan koreksi terhadap standar akuntansi. Perbaikan pada standar akuntansi

yang dilakukan di Indonesia adalah dengan mengadopsi International Financial

Reporting Standard (IFRS). Berikut ini adalah beberapa uji empiris yang

melakukan penelitan mengenai manajemen laba dan hubungannya dengan standar

IFRS.

1. Van & Ann (2005)

Melakukan penelitian dengan judul Earnings Management Under German

GAAP Versus IFRS. Hasil penelitian menyatakan bahwa pengadopsian IFRS

pada perusahaan di Jerman tidak berpengaruh dengan rendahnya manajemen

laba.
35

2. Dewi (2011)

Melakukan penelitian dengan judul Peluang Manajemen Laba Pasca

Konvergensi IFRS: Sebuah Tinjauan Teoritis dan Empiris. Hasil penelitian

menyatakan bahwa adanya konvergensi IFRS dapat mengurangi manajemen

laba.

3. Santy, et. al., (2012)

Melakukan penelitian dengan judul Pengaruh Adopsi IFRS terhadap

Manajemen Laba pada Perusahaan Perbankan di Bursa Efek Indonesia. Hasil

penelitian menyatakan bahwa adopsi IFRS tidak berpengaruh signifikan

terhadap manajemen laba. Adanya pemberlakuan IFRS tidak menunjukkan

adanya penurunan pada manajemen laba.

4. Yayu (2012)

Melakukan penelitian dengan judul Manajemen Laba Berbasis Akrual dan

Riil Sebelum dan Setelah Adopsi IFRS. Hasil penelitian menyatakan bahwa

tidak adanya perbedaan antara manajemen laba akrual dan riil pada perioda

sebelum dan setelah adopsi IFRS secara wajib.

Dilihat dari tinjauan penelitian terdahulu, standar IFRS memiliki hubungan

terhadap kemampuan perusahaan untuk melakukan manajemen laba. Penerapan

IFRS akan mengurangi manajemen laba, namun di sisi lain, penerapan IFRS juga

tidak sepenuhnya mengurangi tindakan manajemen untuk meminimalkan

manajemen laba. Hal ini dikarenakan dalam penyusunannya IFRS membutuhkan

pertimbangan profesional, sehingga hal ini juga berdampak pada peningkatkan

aktivitas manajemen laba. Penerapan standar IFRS ini, akan memiliki dampak yang

sangat besar pada pilihan kebijakan yang akan dilakukan oleh perusahaan, sehingga
36

tidak menutup kemungkinan bahwa perusahaan yang menerapkan standar IFRS

justru berpotensi untuk melakukan praktik manajemen laba. Perbedaan

karakteristik suatu perusahaan atau pun negara secara umum juga dapat

menyebabkan pemberlakuan adopsi IFRS ini tidak berjalan efektif. Keadaan bentuk

perusahaan, bentuk negara, kondisi ekonomi dan perkembangan pasar dapat

menjadi pertimbangan lain. Seperti di Indonesia, adopsi IFRS yang masih belum

sepenuhnya dapat membuat peluang bagi perusahaan untuk melakukan manajemen

laba.

4.2 Hubungan antara Manajemen Laba dengan Fraud

Kajian literatur dari berbagai sumber dan pakar ahli menyebutkan bahwa

manajemen laba merupakan kegiatan yang secara sengaja dilakukan oleh manajer

yang menguntungkan tujuan manajemen dan perusahaan. Akan tetapi dalam

melakukan manajemen laba, kebijakan-kebijakan yang diambil tidak menyimpang

dari Standar Akuntansi Keuangan atau IFRS. Manajemen Laba merupakan salah

satu media untuk mempergunakan peluang yang yang ada dalam prinsip akuntansi

untuk mengoptimalkan kinerja perusahaan dan bahkan mensejahterakan para

pemegang sahamnya. Sebagai contoh, menerapkan basis akrual atau basis riil dalam

hal kebijakan akuntansi, pendapatan, dan biaya. Dari pernyataan diatas, dapat

disimpulkan bahwa walaupun manajemen laba dilakukan secara sengaja dan

menguntungkan pihak perusahaan khususnya manajer serta memberikan informasi

yang secara fakta tidak relevan, akan tetapi hal tersebut tidak menyimpang secara

Standar Akuntansi Keuangan.

Meskipun didalam manajemen laba terdapat banyak manipulasi, namun hal

tersebut tidaklah menyimpang dan diperbolehkan secara Standar Akuntansi


37

Keuangan. Kemudian, manipulasi yang dilakukan manajemen laba ini apakah

merupakan suatu tindakan fraud. Menurut Tuanakotta (2013), yang disebut dengan

fraud adalah, sebagai berikut.

1. Perbuatan melawan hukum.

2. Perbuatan yang mengandung unsur kesengajaan, niat jahat, penipuan,

penyembunyian, dan penyalahgunaan kepercayaan.

3. Perbuatan tersebut bertujuan untuk mengambil keuntungan haram (illegal

advantage) yang bisa berupa uang, barang, jasa, atau memperoleh bisnis

dengan cara illegal.

Dari pengertian diatas dapat menunjukkan bahwa manajemen laba yang

dilakukan oleh manajer memiliki dua sisi. Pertama, apabila manajemen laba

dilakukan bukan atas dasar niat jahat, penipuan, mengambil keuntungan haram,

memperkaya diri sendiri, dan menyimpang dari Standar Akuntansi Keuangan atau

tidak melakukan salah satu diantara poin-point tersebut, maka praktek manajemen

laba bukan dikategorikan sebagai fraud. Walaupun manajer memberikan informasi

yang laporan keuangan yang tidak relevan dengan mengatur naik-turunya laba demi

kepentingan perusahaan. Kedua, sebaliknya apabila semua pengertian dari fraud

diatas dilakukan oleh manajemen laba secara bersamaan, maka tindakan tersebut

dikategorikan sebagai fraud dan melanggar hukum dan atau apabila laporan

keuangan yang disajikan ditujukan untuk menyesatkan pengguna laporan keuangan

dan mengabaikan atau melanggar Standar Akuntansi Keuangan.


38

4.3 Pandangan Akuntansi Terhadap Manajemen Laba

Pandangan tentang baik atau buruknya manajemen laba masih menjadi

perdebatan dan persoalan yang rumit. Menilai baik atau buruknya manajemen laba

tergantung pada teknik yang digunakan dalam melakukan manajemen laba serta

motivasi dan tujuan dilakukannya manajemen laba tersebut. Praktik yang dilakukan

untuk mempengaruhi angka laba dapat terjadi secara legal maupun tidak legal.

Praktik legal dalam manajemen laba berarti usaha untuk mempengaruhi angka laba

dengan tidak bertentangan dengan aturan pelaporan keuangan dalam Standar

Akuntansi, yaitu dengan cara memanfaatkan peluang untuk membuat estimasi

akuntansi, melakukan perubahan metoda akuntansi, dan menggeser perioda

pendapatan atau biaya. Adapun manajemen laba yang dilakukan secara illegal

(financial fraud), dilakukan dengan cara-cara yang tidak diperbolehkan oleh

Standar Akuntansi Keuangan, yaitu dengan cara melaporkan transaksi-transaksi

pendapatan atau biaya secara fiktif dengan cara menambah atau mengurangi nilai

transaksi, atau mungkin dengan tidak melaporkan sejumlah transaksi, sehingga

akan menghasilkan laba pada tingkat tertentu yang dikehendaki.

Manajemen laba merupakan suatu hal yang kontroversial bagi dunia bisnis

dan dunia akuntansi. Persoalan dalam praktik manajemen laba dimulai ketika

manajemen laba tersebut membawa pengaruh negatif dan cenderung menyesatkan

informasi dalam pelaporan keuangannya. Hal tersebut menyebabkan adanya suatu

pelanggaran terhadap kepercayaan masyarakat mengenai kinerja keuangan suatu

perusahaan yang melakukan pelaporan. Dalam laporan keuangan, manajemen laba

dapat menambah bias dan dapat mengganggu pemakai laporan keuangan yang

mempercayai angka laba hasil rekayasa tersebut sebagai angka laba tanpa rekayasa.
39

Manajemen mempunyai informasi asimetri yang lebih didalam lingkup internal

perusahaan sehingga membuat manajemen memiliki banyak kesempatan dalam

mengelola informasi. Manajer juga dapat dengan leluasa memilih metoda yang

dapat disesuaikan dengan kebijakan yang lebih menguntungkan manajemen bahkan

selain itu dapat juga cenderung mendorong kearah ilegal. Maka dari itu, dapat

dikatakan bahwa praktik manajemen laba sebenarnya merupakan hal yang

melanggar etika bisnis dalam jajaran manajemen.

Praktik manajemen laba diperbolehkan selama dilakukan secara legal dan

tidak bertentangan dengan aturan Standar Akuntansi Keuangan, yaitu dengan cara

memanfaatkan peluang untuk membuat estimasi akuntansi, melakukan perubahan

metoda akuntansi, dan menggeser perioda pendapatan atau biaya. Namun hal ini

banyak menuai kontroversi dan mengundang berbagai pendapat dari berbagai

kalangan (akuntan publik, akuntan pendidik, penasihat investasi, akuntan

manajemen, analis kredit) terkait dengan etika profesi akuntansi serta moral

diperbolehkannya manajemen laba atau tidak terhadap manajemen laba. Dari sisi

akuntan publik dapat dilihat bahwa praktik manajemen laba merupakan sesuatu

yang melanggar etika bagi akuntan karena akuntan tidak hanya semata-mata ahli

dan mampu dalam memberikan pendapat dan solusi kebijakan yang berlandaskan

Standar Akuntansi Keuangan kepada manajemen akan tetapi harus tetap

melindungi kepentingan publik.

Banyak pihak berpendapat bahwa sepanjang manajemen laba dilakukan tanpa

melanggar Standar Akuntansi Keuangan, praktik manajemen laba adalah sah.

Manajemen perusahaan tidak dapat disalahkan, karena manajemen laba dengan

cara tersebut bukanlah perbuatan curang. Manajemen laba akan berubah menjadi
40

perbuatan curang jika ada kesengajaan manajer melanggar standar akuntansi,

misalnya dalam bentuk manipulasi data, perhitungan, dan pelaporan. Manajemen

laba melalui manajemen akrual pada dasarnya akan hanya mempengaruhi angka

laba di atas kertas dengan memanfaatkan aturan akuntansi yang fleksibel. Praktik

manajemen laba hanyalah upaya mempermainkan angka laba di atas kertas, dan

tidak menimbulkan kerugian materi bagi siapa pun.

Permainan angka laba di atas kertas ini dilakukan oleh manajemen dengan

memanfaatkan fleksibilitas standar akuntansi yang tersedia. Hal ini dimungkinkan

karena standar akuntansi cukup memberikan peluang kepada manajer untuk

mencatat fakta tertentu dengan cara yang berbeda, serta peluang untuk

menggunakan subjektivitas dalam melakukan estimasi akuntansi. Namun, meski

demikian banyak kalangan tidak sependapat bahwa manajemen laba merupakan

sesuatu yang wajar dan diperbolehkan sepanjang tidak menyalahi aturan Standar

Akuntansi Keuangan. Mereka berpendapat bahwa praktik manajemen laba

merupakan perilaku yang berimplikasi pada hilangnya kredibilitas laporan

keuangan, menambah bias informasi dalam laporan keuangan, sehingga

mengganggu pengguna laporan keuangan yang mempercayai angka laba hasil

rekayasa tersebut sebagai angka laba tanpa rekayasa dan ini merupakan hal yang

tidak dapat diterima. Disamping itu manajemen laba juga tidak sesuai dengan

karakteristik kualitas laporan keuangan dalam hal keandalan dan netralitas. Dimana

laporan keuangan itu harus andal (reliable). Informasi memiliki kualitas andal

apabila bebas dari pengertian yang menyesatkan, kesalahan material, dan dapat

diandalkan penggunanya sebagai penyajian yang tulus atau jujur (faithful

representation) dari yang seharusnya disajikan atau yang secara wajar diharapkan
41

untuk disajikan dan dalam kaitannya dengan netralitas, dimana informasi harus

diarahkan pada kebutuhan umum pengguna, dan tidak bergantung pada kebutuhan

dan keinginan pihak tertentu, tidak boleh adanya usaha untuk menyajikan informasi

yang menguntungkan beberapa pihak, karena hal tersebut akan merugikan pihak

lain yang mempunyai kepentingan yang berlawanan. Di sisi lain meskipun tidak

ada pihak yang merasa dirugikan secara langsung namun dari aspek hukum, praktik

manajemen laba dapat mencurangi kepentingan pihak lain dengan melakukan

pilihan-pilihan akuntansi secara sistematis dan yang terpenting adalah niat serta

motivasi dari tindakan manajemen laba didasari atas kepentingan pribadi atau

golongan dalam rangka memperoleh manfaat lebih cepat dan menunda pemberian

manfaat bagi yang lain. Praktik manajemen laba dapat mengakibatkan kerugian

bagi pihak stakeholder dan juga bisa menurunkan kualitas dari informasi akuntansi

yang disampaikan dalam laporan keuangan karena tidak menyampaikan informasi

yang sebenarnya. Jadi, dapat disimpulkan bahwa manajemen laba bukanlah suatu

tindakan menyimpang selama manajemen laba tidak melanggar Standar Akuntansi

Keuangan. Akan tetapi, praktik manajemen laba tetap saja menyebabkan tidak

tercapainya karakteristik dari laporan keuangan dan merusak kredibilitas informasi

akuntansi yang disampaikan dalam laporan keuangan.


BAB V

PENUTUP

5.1 Simpulan

Adapun simpulan yang dapat dijabarkan dari penelitian diatas adalah bahwa

mekanisma monitoring GCG (good corporate governance) diharapkan mampu

mengurangi praktik manajemen laba. Manajemen laba memiliki dua sisi, apabila

dilakukan dengan tujuan yang tidak sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan

dan menyesatkan para pengguna laporannya, maka dapat digolongkan sebagai

fraud, dan sebaliknya. Pergeseran SAK menjadi IFRS awalnya diharapkan mampu

mengurangi praktik manajemen laba, tetapi pada pelaksanaannya, pergeseran

tersebut tidak memiliki pengaruh yang signifikan dalam mengurangi praktik

manajemen laba. Praktik manajemen laba diperbolehkan selama dilakukan secara

legal serta tidak bertentangan dengan aturan SAK dan ketika manajemen laba

dilakukan, untuk jangka pendek dapat memperlihatkan kinerja perusahaan dengan

baik namun secara potensial akan menurunkan nilai perusahaan pada janga panjang

di mata investor apabila terdeteksi.

42

Anda mungkin juga menyukai