Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam dunia kedokteran, sangat penting bagi seorang dokter untuk
mengetahui diagnosa penyakit seorang atau seekor pasien dengan tepat. Banyak cara
yang dilakukan seorang dokter hewan untuk mendiagnosa suatu penyakit, antara lain
signalment, anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Selain itu
banyak ilmu yang perlu disinergikan sehingga tidak terjadi kesalahan dalam
mendiagnosa, melakukan terapi, maupun memeriksa penyebab kematian. Salah satu
ilmu yang cukup memegang peran penting dalam dunia kedokteran adalah patologi.
Patologi (pathos (sakit) + logos (ilmu)) merupakan cabang dari ilmu kedokteran yang
mengembangkan mengenai asal atau sebab dari suatu penyakit, mengenai cara
perkembangan penyakit, dan efeknya pada tubuh. Pada ilmu patologi, dampak dari
suatu penyakit akan dipelajari mulai dari efeknya pada seluruh tubuh, perubahan yang
terjadi pada tingkat organ, jaringan, sel, dan bahkan perubahan intraselular.
Demi penguasaan ilmu patologi, biasanya digunakan hewan laboratorium/ coba
sebagai pengganti penggunaan hewan yang lainnya. Tikus putih (Rattus novergicus)
adalah salah satu anggota kelompok kerajaan hewan animalia. Hewan ini ditandai
dengan ciri sebagai berikut: jinak, takut cahaya, aktif pada malam hari, mudah
berkembangbiak, siklus hidup yang pendek, dan tergolong poliestrus. Tikus putih
merupakan hewan yang paling umum digunakan pada penelitian laboratorium sebagai
hewan percobaan, yaitu sekitar 40-80%. Hewan ini memiliki banyak keunggulan
sebagai hewan percobaan (khususnya digunakan dalam penelitian biologi), yaitu siklus
hidup yang relatif pendek, jumlah anak per kelahiran banyak, variasi sifat-sifatnya
tinggi dan mudah dalam penanganannya.

Sebagai seorang calon dokter hewan, sangat perlu untuk mendapatkan bekal
dan pengalaman pada bidang patologi anatomi sehingga nanti dapat menentukan
diagnosa maupun penentuan penyebab kematian dari pasien. Oleh karena itu
dilakukan kegiatan Pendidikan Profesi Dokter Hewan (PPDH) di Laboratorium
Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) Universitas Brawijaya, Malang
yang bertujuan agar mahasiswa PPDH mampu mengetahui perubahan abnormal dari
makroskopis dan mikroskopis.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana perubahan abnormal dari morfologi makroskopik dan
mikroskopik pada Tikus putih?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui perubahan abnormal dari morfologi makroskopik dan
mikroskopik pada Tikus putih.
1.4 Manfaat

Manfaat dari pelaksanaan kegiatan Pendidikan Profesi Dokter Hewan (PPDH)


Rotasi Patologi Anatomi Veteriner adalah mendapatkan tambahan pengetahuan,
pengalaman, wawasan, dan keterampilan khususnya di bidang diagnosa patologi
anatomi serta memenuhi salah satu kompetensi dokter hewan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tikus Putih (Rattus novergicus)


Tikus Putih (Rattus novergicus) termasuk mamalia pengerat (rodensia) yang
cepat berkembang biak, mudah dipelihara dalam jumlah banyak, variasi genetiknya
cukup besar serta sifat anatomisnya dan fisiologisnya terkarakteristik dengan
baik.Tikus memiliki dua sifat utama yang dapat dibedakan dengan hewan percobaan
lainnya. Selain itu, tikus hanya mempunyai kelenjar keringat di telapak kaki. Ekor tikus
menjadi bagian badan yang paling penting untuk mengurangi panas tubuh. klasifikasi
tikus yang digunakan dalam penelitian, adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Kelas : Mamalia
Ordo : Rodentia
Famili : Muridae
Genus : Rattus
Spesies : Rattus norvegicus.

Gambar 2.1 Hewan Tikus (Rattus norvegicus) (dokumentasi pribadi, 2019).

Tikus putih (Rattus norvegicus) merupakan tikus yang memiliki tekstur rambut
kasar dan agak panjang, bentuk hidung kerucut terpotong, hidung tumpul, badan besar,
pendek, bentuk badan silindris sedikit membesar ke belakang, warna badan bagian atas
coklat hitam kelabu, warna badan bagian bawah coklat kelabu, warna ekor bagian atas
gelap dan bagian bawah gelap agak pucat, berat 150-600 gram, panjang kepala dan
badan 150-250 mm, panjang ekor 160-210 mm (lebih pendek dari panjang kepala dan
badan), panjang dari ujung hidung sampai ujung ekor 310-460 mm, lebar telinga 14-
24 mm, panjang telapak kaki belakang 4 0-47 mm, dan memiliki puting susu sebanyak
6 pasang . Tikus putih (Rattus norvegicus) termasuk hewan nokturnal dan sosial. Salah
satu faktor yang mendukung kelangsungan hidup tikus putih (Rattus norvegicus)
dengan baik ditinjau dari segi lingkungan adalah temperatur dan kelembaban.
Temperatur yang baik untuk tikus putih (Rattus norvegicus), yaitu 19°C–23°C,
sedangkan kelembaban 40-70%.
2.2 Paru - paru
Paru adalah organ yang berfungsi sebagai alat respirasi utama dalam tubuh. Paru
terletak di dalam rongga thoraks dan terdiri dari beberapa lobus. Paru sendiri
merupakan salah satu organ yang sering mengalami kelainan patologis karena organ
ini berkontak langsung dengan udara luar. Paru terdiri dari paru-paru kanan dan paru-
paru kiri dengan paru-paru kanan lebih besar daripada paru-paru kiri. Paru sebelah kiri
terdiri dari satu lobus sedangkan paru sebelah kanan terdiri atas 4 lobus (Herbert et al.,
2017 ; Sloane 2003; Conti et al. 2004).
Paru dilapisi oleh membran serosa yang disebut dengan pleura. Pleura terdiri dari
dua macam, yaitu pleura parietalis yang melapisi rongga dada dan pleura visceralis
yang menyelubungi paru. Pleura visceralis pada tikus relatif lebih tipis dibandingkan
dengan manusia dan hewan besar. Di antara kedua pleura tedapat rongga yang disebut
cavum pleura. Rongga ini berisi cairan yang berguna untuk melumasi dinding dalam
pleura. Cavum pleura juga memiliki fungsi untuk menjaga tekanan negatif rongga
thoraks. Paru-paru sebelah kiri dan sebelah kanan dipisahkan oleh mediastinum,
jaringan ikat longgar fibrosus yang terletak di tengah rongga thoraks. Mediastinum
dapat ditemukan diantara tulang sternum dan tulang tulang belakang. Jaringan ini
berikatan dengan pericardium dan mediastinal pleura yang menyatu dengan pleura
parietal.

Gambar 2.2 Anatomi lobus paru pada tikus: A = lobus aksesorius, C = lobus kaudal,
Cr = lobus kranial, LL = lobus kiri, M = lobus medial.

Organ paru selain memiliki fungsi utama sebagai tempat pertukaran udara, juga
memiliki beberapa fungsi non-respiratori lain yang memiliki peranan penting dalam
fisiologi. Beberapa peranan penting organ paru-paru selain untuk respirasi antara lain
sebagai reservoir sistem sirkulasi, filter toksikan yang berada di dalam darah,
pertahanan melawan agen yang terinhalasi, endokrin dan fungsi metabolik, dan
metabolisme beberapa macam obat.
Sel penyusun organ paru mengalami transisi menjadi semakin sederhana seiring
dengan mengecilnya saluran udara yang semakin kecil. Hal ini dapat diamati dari
perubaha epitel pada bronkus dibandingkan pada epitel di alveolus. Tipe sel epitel pada
bronkus berupa sel epitel silindris bersilia disertai dengan sel goblet, namun pada
alveolus sel epitel penyusunnya berupa sel epitel pipih selapis. Sel-sel ini
memungkinkan untuk terjadinya difusi oksigen dan karbondioksida dari ruang alveolar
menuju ke pembuluh kapiler atau sebaliknya. Bagian yang mengandung tulang rawan
kartilago hanya ditemukan pada bronkus primer dengan tipe sel epitel silindris bersilia
disertai dengan sel goblet. Selain itu, jumlah jaringan ikat dan otot polos pun semakin
sedikit.
Pengamatan histologis paru pada Gambar 2.3. menunjukkan bahwa susunan sel
pada organ paru terdiri dari sistem alveolus yang terdapat di dinding bronkiolus,
saluran alveolus dan saccules. Alveolus satu dengan alveolus yang lain dipisahkan
dengan septum yang memiliki pori. Daerah di sekeliling alveolus diisi oleh banyak
pembuluh kapiler yang membentuk pleksus. Pleksus ini yang akan menjadi lokasi
saluran respirasi melakukan fungsi utamanya. Dinding alveolus dilapisi oleh sel
endotel dan pada bagian basal membran sel endotel dapat ditemui sel epitel. Beberapa
area pada pertemuan sel epitel yang tidak bersentuhan akan diisi oleh jaringan elastik
dan retikuler.

Gambar 2.3 Respiratory bronchioles : Terminal Bronchioles (TB) ; Alveolar Duct


(AD), Alveoli (*).

2.3 Kulit
Kulit merupakan organ tunggal yang terberat ditubuh, dengan berat sekitar 16%
dari berat badan total dan pada orang dewasa, mempunyai luas sebesar 1,2- 2,3 m2
yang terpapar pada dunia luar. Lapisan- lapisan pada kulit yang membentuk sistem
integumen dibagi menjadi tiga daerah yaitu epidermis dan dermis.
1. Epidermis
Epidermis terbentuk dari sel epitel gepeng berlapis, bertanduk (keratin), namun
ada juga sel-sel lain yang terdapat di epidermis dalam jumlah yang lebih dikit yaitu sel
melanosit, sel merkel, dan sel langerhans. Biasanya lapisan kulit dibedakan menjadi
kulit tebal (licin, tidak berambut) dan kulit tipis (berambut). Pada umumnya area
epidermis dibagi menjadi lima lapisan yaitu, seperti pada gambar 2.4:

Gambar 2.4 Lapisan Epidermis Kulit


Stratum basal (lapis basal, lapis benih)
Lapisan ini terletak paling dalam dan terdiri atas satu lapis sel yang
tersusun berderet-deret di atas membran basal dan melekat pada dermis di
bawahnya. Selselnya kuboid atau silindris. Intinya besar jika dibanding ukuran
selnya, dan sitoplasmanya basofilik. Pada lapisan ini biasanya terlihat
gambaran mitotik sel, proliferasi selnya berfungsi untuk regenerasi epitel. Sel-
sel pada lapisan ini bermigrasi ke arah permukaan untuk memasok sel-sel pada
lapisan yang lebih superfisial. Pergerakan ini dipercepat oleh adalah luka, dan
regenerasinya dalam keadaan normal cepat.

Stratum spinosum (lapis taju)


Lapisan ini terdiri atas beberapa lapis sel yang besar-besar berbentuk
poligonal dengan inti lonjong. Sitoplasmanya kebiruan. Bila dilakukan
pengamatan dengan pembesaran obyektif 45x, maka pada dinding sel yang
berbatasan dengan sel di sebelahnya akan terlihat taju-taju yang seolah-olah
menghubungkan sel yang satu dengan yang lainnya. Pada taju inilah terletak
desmosom yang melekatkan sel-sel satu sama lain pada lapisan ini. Semakin ke
atas bentuk sel semakin gepeng.
Stratum granulosum (lapis berbutir)
Lapisan ini terdiri atas 2-4 lapis sel gepeng yang mengandung banyak
granula basofilik yang disebut granula keratohialin, yang dengan mikroskop
elektron ternyata merupakan partikel amorf tanpa membran tetapi dikelilingi
ribosom. Mikrofilamen melekat pada permukaan granula.
Stratum lusidum (lapis bening)
Lapisan ini dibentuk oleh 2-3 lapisan sel gepeng yang tembus cahaya, dan
agak eosinofilik. Tak ada inti maupun organel pada sel-sel lapisan ini.
Walaupun ada sedikit desmosom, tetapi pada lapisan ini adhesi kurang
sehingga pada sajian seringkali tampak garis celah yang memisahkan stratum
korneum dari lapisan lain di bawahnya.
Stratum korneum (lapis tanduk)
Lapisan ini terdiri atas banyak lapisan sel-sel mati, pipih dan tidak berinti
serta sitoplasmanya digantikan oleh keratin. Selsel yang paling permukaan
merupakan sisik zat tanduk yang terdehidrasi yang selalu terkelupas.
2. Dermis
Dermis adalah jaringan ikat yang menunjang epidermis dan mengikatnya ke
jaringan subkutan. Ketebalan dari area ini bervariasi tergantung dari lokasi tubuh, dan
mencapai retikulin, yang disebut lamina retikularis. Pada umumnya dermis terdiri dari
dua lapisan dengan batas yang tidak nyata yaitu stratum papilare di bagian luar dan
stratum retikulare di bagian dalam. Pada daerah stratum papilare tipis jaringan ini
terdiri atas jaringan ikat longgar, fibroblas, dan sel lainya yang sering dijumpai di
lapisan ini yaitu sel mast dan makrofag. Leukosit yang ekstrafasasi juga bisa dijumpai
di sini. Sedangkan stratum retikulare yang tebal, terdiri atas jaringan ikat padat tidak
teratur.

2.4 Penyakit pada Tikus


A. Kongesti Vena Hepatika
Hepar tikus terdiri dari 4 lobus yang menyatu pada bagian dorsal, yaitu
lobus median yang dibagi menjadi kiri dan kanan oleh bifurkatio, lobus lateral
kiri, lobus lateral kanan yang dibagi secara horizontal menjadi anterior kanan dan
posterior dan lobus kaudal yang terdiri dari bagian dorsal dan ventral (Harada et
al., 1999). Organ ini diselubungi oleh kapsula fibrosa yang dilindungi peritonium
visceral (Martini, 1992). Lobus hepar terdiri dari banyak unit fungsi hepar yang
disebut lobulus. Tiap lobulus terdiri dari prisma polihedral jaringan hepatika yan
mempunyai ukuran panjang antara 2 mm dan lebar 1 mm.
Kondisi hepar bergantung pada aliran darah dan susunan empedu.
Perbandingan aliran darah ke parenkim sama dengan bagian hepar lainnya. Bila
aliran darah dan saluran empedu rusak pada salah satu bagian, parenkim dari
bagian tersebut akan mengalami atrofi. Perubahan-perubahan pada hepar terjadi
sebagai respon dari kerusakan vaskular atau empedu (Kelly, 1993). Pada kondisi
yang menyebabkan kerusakan hepar akan mempengaruhi terjadinya gangguan
serius pada kehidupan ( Martini, 1992). Gangguan kecil pada fungsi hepar dapat
dengan cepat menyebabkan perubahan umum baik secara patologi anatomi
maupun histologinya. Kelainan hepar yang bersifat lokal, sering ditemukan
sebagai hasil dari perlawanan organ terhadap mikroorganisme dan parasit yang
masuk melalui absorbsi usus.

B. Fibroadenoma Mammae
Fibroadenoma berasal dari proliferasi kedua unsur lobulus, yaitu asinus atau
duktus terminalis dan jaringan fibroblastik. Terdapat dua jenis FAM, yaitu FAM
intrakanalikuler atau stroma yang tumbuh mendesak kanalikulus pada sistem
duktulus intralobulus dan FAM perikanalikuler atau stroma yang tumbuh
proliferatif mengitari sistem kanalikulus sistem duktulus intralobulus (Nasar et
al., 2010). Pada pemeriksaan ecara mikroskopik, ditemukan adanya susunan
lobulus perikanalikular yang mengandung stroma padat dan epitel proliferatif .

BAB III

METODE KEGIATAN
3.1 Waktu dan Tempat
Pelaksanaan kegiatan Pendidikan Profesi Dokter Hewan pada tanggal 19
Agustus – 13 September 2019 dilaksanakan di laboratorium Patologi Anatomi
Kedokteran Hewan Universitas Brawijaya.
3.2 Peserta dan Pembimbing PPDH
Peserta adalah mahasiswa PPDH Fakultas Kedokteran Hewan Universitas
Brawijaya (FKH UB) yang berada di bawah bimbingan drh. Andreas Bandang
Hardian, MVSc yaitu:
Nama : Ajeng Nevy Putrianika, S.KH
NIM : 180130100111049
Fakultas : Kedokteran Hewan
Universitas : Brawijaya
No.Hp : 081335252935
Email : nevyputri44@gmail.com.
3.3 Alat dan Bahan untuk Teknik Nekropsi
Alat- alat yang digunakan dalam prosedur pemeriksaan nekropsi adalah
beberapa alat bedah yang terdiri dari scalpel, mata pisau, (blade), pinset anatomis,
pinset cirurgis, gunting jaringan (tajam-tumpul), dan gunting muskulus (tajam-
tajam), masker, pot obat, dan gloves. Formalin dengan konsentrasi 10% yang
digunakan sebagai media preservasi, serta Tikus putih (Rattus novergicus).
3.4 Teknik Nekropsi
1. Sebelum dilakukan pengirisan/insisi pada tubuh bangkai tikus, terlebih dahulu
periksalah keadaan luar tubuh tikus tersebut. Periksalah keadaan kulit
termasuk keadaan rambut, lubang-lubang alami, adanya ektoparasit, warna
mukosa, dan sebagainya yang memungkinan terdapat perubahan. Memeriksa
keadaan luar secara umum meliputi jenis hewan, kelamin, keadaan gigi,
kondisi kulit, selaput mukosa mata, rongga mulut, bawah lidah, telinga, leher,
perut, bagian dalam paha, persendian, telapak kaki, pangkal ekor, sekitar anus
dan alat kelamin.
2. Tikus putih yang akan diseksi diletakkan pada tempat seksi berupa papan
styrofoam. Tikus diletakkan posisi rebah dorsal dengan punggung menempel
pada styrofoam. Tiap kaki difiksasi dengan jarum. Seluruh kulit dan rambut
dibasahi.
3. Nekropsi dilakukan dengan membuat sayatan disepanjang linea alba mulai
dari region mentalis hingga ketepi pectin anterior ossis pubis. Kemudian kulit
dipreparir hingga dapat dipatahkan ke samping.
4. Pengamatan dilakukan dalam keadaan subcutis. Pembukaan organ abdomen
dilakukan dengan cara otot perut (dinding abdomen) digunting dilinea alba
mulai dari ujung tulang dada (processus xiphoideus) hingga pectin ossis
pubic. Setelah pembukaan dinding abdomen dilakukan pengamatan dan
diperiksa setiap organ.
5. Pembukaan rongga dada, tulang rusuk terakhir dipotong kedepan menuju
arkus tulang sternum. Pemotongan dilakukan pada sisi kanan maupun sisi kiri.
Kemudian rongga dada dibuka dan dilakukan pemeriksaan insitu,
pemeriksaan tymus, jantung dan paru-paru. Pengeluaran organ dada dilakukan
insisi dimulai dari organ lidah, oesopagus dan trachea, tymus, jantung dan
paru-paru yang dikeluarkan dalam satu kesatuan kemudian diamati.
6. Pembukaan cranium dan pengambilan otak. Buat sayatan pada kulit daerah
kepala kemudian diikuti dipotong atau digunting daerah di belakang telinga
dan dibelakang mata, setelah itu tulang kepala dibuka dan terlihat otak.
3.5 Pengumpulan sampel
Sampel yang diambil adalah organ otak, hepar, ginjal, dan ileum.
Pengumpulan sampel dengan cara memotong bagian organ yang mengalami
abnormalitas dengan ukuran 2 cm berbentuk balok kemudian dimasukkan kedalam
pot obat dan direndam dalam formalin 10% sebagai media preservasi, dengan
perbandingan formalin dengan potongan organ 10:1. Label organ sesuai dengan
nama organ, dan identitas hewan serta waktu pengambilan sampel.
3.6 Pembuatan Preparat Histopatologi
Proses pembuatan preparat histopatologi terdiri dari pengambilan sampel
(sampling), fiksasi dan pencucian, dehidrasi dan clearing, infiltrasi, pembuatan
blok paraffin, pengirisan dan mikrotom, pewarnaan dan penutupan dengan cover
glass. Adapun prosedur dalam pembuatan preparat histologi adalah:

1. Pengambilan sampel organ


2. Sampel diawetkan dengan formalin 10 % selama 24 jam.
3. Fiksasi dengan air mengalir selama 30 menit
4. Dehidrasi, dilakukan secara bertingkat dengan alkohol 70%, 80%, 90%, 95 %,
serta alkohol masing-masing 1 jam .
5. Clearing, dilakukan selama 1 jam yaitu dimasukkan ke dalam larutan alcohol
xylol, lalu memasukkannya ke dalam xilol murni I, II, III masing-masing
selama 5,5,10 menit.
6. Infiltrasi, menggunakan paraffin. Sampel masing-masing dimasukkan parafin
cair I, II, III masing-masing selama 10 menit di dalam inkubator dengan suhu
60°C.
7. Embedding, tahapan menanam jaringan atau sampel yang digunakan. Paraffin
cair dituangkan ke dalam cetakan sampai penuh kemudian membenamkan
potongan organ ke dalam paraffin tersebut. Jaringan diletakkan pada posisi
dasar tengah dengan posisi melintang.
8. Sectioning, sampel dipotong menggunakan microtome dengan ketebalan 6-10
mikron.
9. Affixing, perekatan dengan menggunakan albumin dan gliserin dengan
perbandingan 1:1, disimpan dalam kotak sediaan selama 1 hari.
10. Dimasukkan inkubator 15 menit, diangin-anginkan selama 15 menit
11. Staining atau pewarnaan, proses pewarnaan dengan menggunakan hematoxylin
dan eosin dengan langkah sebagai berikut :
 Dilakukan deparafinisasi menggunakan xylol I, II, III masing-masing 20
menit
 Dilakukan rehidrasi, preparat dimasukkan ke dalam etanol absolut I-III,
95%, 90%, 80%, 70% selama 5 menit
 Dimasukkan ke dalam haemotoxylin selama 5 menit
 Dimasukkan ke alkohol asam selama 4 detik
 Dicuci dengan air mengalir selama 20 menit
 Dimasukkan ke dalam eosin selama 3 menit (zat warna hematoksilin akan
memberikan warna biru (basofilik)yang nantinya akan mewarnai inti sel,
sedangkan eosin akan memberikan warna untuk sitoplasma
 Dilakukan dehidrasi, preparat dimasukkan ke dalam etanol bertingkat 70
%, 80%, 90%, 95% dan etanol absolut I-II selama 4 detik
 Preparat dimasukkan kedalam etanol absolut III masing-masing selama 5
menit
 Dilakukan deparafinisasi menggunakan xylol I, II, III masing-masing 10
menit
12. Mounting (Penutupan) dan labelling (Pemberian Label) yaitu Penutupan preparat
dengan menggunakan kaca penutup dan memberi identitas pada preparat.
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
a. Signalement
 Nama hewan : Tikus
 Jenis Hewan : Tikus putih (rattus novergiccus)
 Warna bulu : Putih
 Jenis kelamin : Betina
 Asal : Milik Pak Suwaji, Sudimoro Malang.
 Tanggal Mati : 20 Agustus 2019
 Tanggal Nekropsi : 21 Agustus 2019.
b. Anamnesa dan temuan klinis
Tikus diambil di salah satu peternakan tikus putih di kota Malang pada hari
Selasa, 20 Agustus 2019 dengan keadaan terlihat kurang aktif bergerak, feses tikus
terlihat normal, serta terlihat adanya benjolan yang berukuran besar pada bagian ventro
dorsalnya (Mammae). Untuk pengamatan lebih lanjut dilakukan pemeliharaan dalam
kandang individu, saat dipelihara tikus mengalami anoreksia dan kurang aktif.
Kemudian keesokan harinya, tepat pada hari Selasa, 21 Agustus 2019, tikus telah
ditemukan dalam kondisi mati di dalam kandang individu.
4.2 Examination Report
Hasil dari nekropsi dan pemeriksaan post-mortem pada tikus putih dapat dilihat
pada Tabel 4.1 berikut ini:
Organ Gambaran PA

Keadaan Umum Luar

- Kulit Terdapat lesi pada bagian daun telinga

- Mata Tidak ada kelainan


Sub Kutis

- Perlemakan Hampir tidak ada kelainan


 Kelenjar Mammae Terdapat benjolan berukuran ± 4cm x 3cm x 2cm,
(caudo dextra) yang hampir mulai nekrosis pada bagian bawah
(inferior) bejolan

- Otot Tidak ada kelainan

- Kelenjar ludah Tidak ada kelainan

Traktus Respiratorius

- Sinus Hidung Tidak ada kelainan

- Laring Tidak ada kelainan

- Trakea Tidak ada kelainan

- Paru-paru Ada Bercak keputihan multifocal (<1mm)

- Rongga thorax Tidak ada kelainan

Traktus digestivus

- Rongga abdomen Tidak ada kelainan

- Rongga mulut Tidak ada kelainan

- Faring Tidak ada kelainan

- Oesophagus Tidak ada kelainan

- Lambung Tidak ada kelainan


- Intestine Tidak ada kelainan

- Hepar Tidak ada kelainan.

Traktus Sirkulatorius

- Jantung Tidak ada kelainan

Traktus Urogenital

- Ginjal Tidak ada kelainan

- Vesica Urinaria Tidak ada kelainan

Sistem Limforetikuler

- Limpa Tidak ada kelainan

Sistem Lokomosi

- Otot Tidak ada kelainan

- Tulang Tidak ada kelainan

- Sumsum tulang Tidak ada kelainan

- Persendian Tidak ada kelainan

Sistem Syaraf

- Otak Tidak ada kelainan

4.3 Hasil Pemeriksaan Patologi secara Makroskopis


Pemeriksaan awal sebelum nekropsi dilakukan dengan inspeksi keadaan kulit
termasuk keadaan rambut, lubang-lubang alami, adanya ektoparasit, warna mukosa,
dan sebagainya yang kemungkinan adanya perubahan. Memeriksa keadaan luar secara
umum meliputi jenis hewan, kelamin, keadaan gigi, kondisi kulit, selaput mukosa mata,
rongga mulut, bawah lidah, telinga, leher, perut, bagian dalam paha, persendian,
telapak kaki, pangkal ekor, sekitar anus dan alat kelamin. Tidak ada kelainan pada
hidung dan mulut. Lapisan mukosa pucat dan pada bagian bawah perut sampai ke anus
kotor dan basah. Organ yang diambil untuk pemeriksaan patologi anatomi antara lain
posisi massa pada tubuh tikus (Gambar 4.2A), Massa (benjolan) (Gambar 4.2B), paru
(Gambar 4.3A), dan kulit (bagian daun telinga) (Gambar 4.3B). Hasil pengamatan
makroskopik pada organ tikus putih dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

B
A

Gambar 4.2 (A) Posisi massa (benjolan) pada caudo dextra mammae tikus putih sebelum di
nekropsi ( ), (B) Hasil biopsi massa (benjolan) pada bagian (mammae)
berukuran 4cm x 3cm x 2cm, menunjukkan perubahan patologis (nekrosis)
(dokumentasi pribadi, 2019).

A B

Gambar 4.3 (A) Pada paru terlihat adanya lesi (bercak) multifocal (<1 mm), (B) Kulit (daun
telinga) terdapat adanya lesi/ krusta dengan warna kehitaman pada bagian
marginalnya (Dokumentasi pribadi, 2019).
4.3 Hasil Pengamatan mikroskopis pada nekropsi tikus putih
Pemeriksaan secara mikroskopis dilakukan untuk mengetahui lebih lanjut
tentang kerusakan yang terjadi pada jaringan. Pemeriksaan mikroskopis organ
dilakukan dengan pembuatan preparat Hematoxilin eosin dan diamati menggunakan
mikroskop dengan perbesaran 40 – 400x. Adapun hasil dari pengamatan terdapat pada
Tabel 4.2 di bawah ini:
Prinsip pewarnaan Hematoksilin Eosin (HE) yaitu inti yang bersifat asam
karena mengandung DNA akan menarik larutan hematoksilin yang bersifat basa
sehingga warna akan menjadi biru, sedangkan sitoplasma yang bersifat basa karena
mengandung asam amino akan menarik larutan eosin yang bersifat asam sehingga
warna akan menjadi merah. Jika digunakan secara bersamaan, hematoksilin akan
memberi warna nukleus dan ribosom, sedangkan eosin akan memberi warna membran
sel, sitoplasma dan serat protein lainnya (Muntiha, 2001).
Tabel 4.2 Hasil Pemeriksaan patologis secara mikroskopis (Dokumentasi Pribadi,
2019)
No. Hasil Pemeriksaan Patologis secara Mikroskopik Keterangan

1 Pada Gambar 1. ditemukan


adanya Stroma/ (Jar. Ikat) yang
berbentuk seperti capsula yang
membungkus glandula,
ditunjukkan oleh tanda panah
(biru) pada (perbesaran 40x).

Gambar 1. Mikroskopis massa pada kelenjar mammae


(Perbesaran 40x)
2.

Pada Gambar 2 terlihat adanya


jaringan ikat (panah biru) serta
bentuk dari struktur glandula
mammae (adenomer) yang masih
terlihat beraturan (intaqe) dengan
bentuk polygonal (diperbesar
pada kotak hitam perbesaran
400x).

Gambar 2. Mikroskopis Massa pada kelenjar Mammae


(Perbesaran 100x) dan (Perbesaran 400x)

3.

Pada Gambar 3, Tampak adanya


penebalan pada lapisan kulit
stratum granulosum (Acanthosis)
(panah hitam) pada (Perbesaran
100x).

Gambar 3. Mikroskopis kulit (daun telinga)


(Perbesaran 100x).
4.

Pada Gambar 4, tampak adanya


infiltrasi sel makrofag kulit
(langerhans) pada (tanda panah
hitam) perbesaran 400x).

Gambar 4. Mikroskopis kulit (daun telinga)


(Perbesaran 400x).

5.

Pada Gambar 5, ditemukan


adanya infiltrasi sel radang
(lingkaran hijau) diperbesar pada
(kotak hitam) (Perbesaran 400x),
serta terlihat adanya penebalan
pada bagian tepi alveoli (tanda
panah biru) (Perbesaran 100x).

Gambar 5. Mikroskopis paru perbesaran 100 x.


4.4 Pembahasan
4.4.1 Paru

Paru adalah organ yang berfungsi sebagai alat respirasi utama dalam
tubuh. Paru terletak di dalam rongga thoraks, berbentuk piramid dengan apeks
di atas, dan terdiri dari beberapa lobus. Paru sendiri merupakan salah satu organ
yang sering mengalami kelainan patologis karena organ ini berkontak langsung
dengan udara luar. Paru terdiri dari paru kanan dan paru kiri dengan paru kanan
lebih besar daripada paru kiri. Paru sebelah kiri terdiri dari satu lobus sedangkan
paru sebelah kanan terdiri atas 4 lobus.

Pneumonia interstitial mengacu pada jenis pneumonia di mana cedera dan


proses inflamasi terjadi di salah satu dari tiga lapisan dinding alveolar
(endotelium, membran basal, dan epitel alveolar) dan bronkiolar yang
berdekatan interstitium. Secara morfologis jenis pneumonia ini merupakan jenis
yang paling sulit untuk didiagnosis pada saat nekropsi dan membutuhkan
pemeriksaan mikroskopis karena susah dibedakan dengan beberapa kelainan di
organ paru-paru, differensial diagnosanya seperti kongesti, edema, hiperinflasi,
atau emfisema. Berbeda denga bronkopneumonia, di mana distribusi lesi
umumnya cranioventral, pada pneumonia interstitial, lesi lebih terdistribusi
secara difus dan umumnya melibatkan semua paru lobus, atau dalam beberapa
kasus, mereka tampak lebih jelas di aspek dorsokaudal paru-paru.

Patogenesis pneumonia interstitial terjadi dengan kompleks dan bisa hasil


dari cedera aerogen ke epitel alveolar (tipe I dan II pneumonocytes) atau dari
cedera hematogen ke alveolar endotelium kapiler atau membran basal alveolar.
Aerogen inhalasi gas beracun (mis., ozon dan NO2) atau asap beracun
(menghirup asap) dan infeksi dengan virus pneumotropik (influenza, herpes
virus) dapat merusak epitel alveolar. Antigen yang dihirup, seperti spora jamur,
bergabung dengan antibodi yang bersirkulasi dan membentuk endapan antigen-
antibodi kompleks (hipersensitivitas tipe III) di dinding alveolar, yang memulai
respon inflamasi dan cedera (alergi alveolitis). Pneumonia interstitial pada
hewan domestik dan manusia dibagi lagi berdasarkan fitur morfologis menjadi
akut dan kronis. Namun, tidak semua interstitial akut pneumonia berakibat fatal
dan belum tentu berkembang bentuk kronis.

Pada gambaran kasus histopatologi paru-paru tikus putih (Rattus


novergicus) seperti pada gambar 4.4 terlihat bahwa adanya infiltrasi sel radang
pada bagian tepi alveoli (interstitialis) dan adanya penebalan pada lapisan
alveoli. Peradangan merupakan respon dasar tubuh terhadap infeksi, iritasi atau
cidera lainnya yang ditandai dengan kemerahan, hangat, bengkak dan nyeri.
Inflamasi dapat terjadi karena berbagai hal, misalnya tekanan mekanik, benda
asing (bakteri atau bahan kimia), getaran, ataupun tekanan kronis dengan
intensitas rendah (Stankov 2012). Inflamasi didefinisikan sebagai reaksi lokal
jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator
dibanding respons imun didapat. Inflamasi merupakan respons fisiologis
terhadap berbagai rangsangan seperti infeksi dan cedera jaringan. Inflamasi
dapat lokal, sistemik, akut dan kronis yang dapat menimbulkan kelainan
patologis.

Gambar 2.4 Infiltrasi Sel Radang (lingkaran hijau) (Dok.Pribadi).


Gambaran mikroskopis juga menunjukan infiltrasi sel radang mononuklear
yang menandakan respon inflamasi. Respon inflamasi tersebut dapat
disebabkan karena adanya jejas atau lesi jaringan baik itu lesi karena agen
infeksius, paparan toksin, maupun jaringan nekrosis. Dalam proses inflamasi,
terjadinya jejas atau lesi menyebabkan kerusakan sel. Kerusakan sel yang
terjadi akan merespon mediator kimia meningkat. Aktiviasi mediator tersebut
selanjutnya akan menyebabkan dilatasi pada pembuluh darah. Dalam proses
inflamasi, tubuh akan merespon dengan mengirimkan sel-sel radang ke lokasi
terjadinya peradangan. Aliran darah menjadi melambat menyebabkan sel
radang terlempar ke tepi dan menempel pada endotel untuk migrasi ke jaringan
jejas, sehingga pada penampakan mikroskopis akan terlihat adanya sel-sel
radang.
4.4.2 Kulit
Struktur Kulit terdiri atas 2 lapisan utama yaitu epidermis dan dermis.
Epidermis merupakan jaringan epitel yang berasal dari ektoderm, sedangkan
dermis berupa jaringan ikat agak padat yang berasal dari mesoderm. Di bawah
dermis terdapat selapis jaringan ikat longgar yaitu hipodermis, yang pada
beberapa tempat terutama terdiri dari jaringan lemak.
Epidermis merupakan lapisan paling luar kulit dan terdiri atas epitel
berlapis gepeng dengan lapisan tanduk. Epidermis hanya terdiri dari jaringan
epitel, tidak mempunyai pembuluh darah maupun limf. oleh karena itu semua
nutrien dan oksigen diperoleh dari kapiler pada lapisan dermis. Epitel berlapis
gepeng pada epidermis ini tersusun oleh banyak lapis sel yang disebut
keratinosit. Sel-sel ini secara tetap diperbarui melalui mitosis sel-sel dalam
lapis basal yang secara berangsur digeser ke permukaan epitel. Selama
perjalanannya, sel-sel ini berdiferensiasi, membesar, dan mengumpulkan
filamen keratin dalam sitoplasmanya. Mendekati permukaan, selsel ini mati dan
secara tetap dilepaskan (terkelupas). Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai
permukaan adalah 20 sampai 30 hari. Modifikasi struktur selama perjalanan ini
disebut sitomorfosis dari sel-sel epidermis. Bentuknya yang berubah pada
tingkat berbeda dalam epitel memungkinkan pembagian dalam potongan
histologik tegak lurus terhadap permukaan kulit. Epidermis terdiri atas 5
lapisan yaitu, dari dalam ke luar, stratum basal, stratum spinosum, stratum
granulosum, stratum lusidum, dan stratum korneum,
Pada kasus histopatologi tikus putih ditemukan adanya penebalan pada
lapisan stratum granulosum yang dapat disebabkan oleh adanya lesi dari gigitan
ektoparasit kulit dibagian marginal daun telinga (suspect scabies). Parasit kulit
yang berada di jaringan kulit tersebut memiliki sumber makanan dan
berkembang biak dibawah jaringan epidermis kulit. Hal ini diperkuat dengan
kondisi lesi krusta pada bagian daun telinga tikus saat pemeriksaan
makroskopis. Selain itu, terdapat juga adanya infiltrasi sel radang/ makrofag
pada lapisan kulit tikus. Makrofag sel kulit disebut juga dengan sel langerhans.
Scabies mempunyai tiga presentasi klinik yaitu classic, crusted, dan
nodular. Skabies klasik merupakan skabies yang umum, menunjukkan gejala
pruritus yang parah (semakin parah pada malam hari), fatigue (lelah), dan pada
beberapa pasien mengalami demam dari impetigo sekunder atau selulitis.
Parasit pada skabies klasik biasanya sedikit, ratarata 10 sampai 12 tungau
selama infestasi pada 3 bulan pertama .
Crusted scabies (skabies berkerak) terjadi pada pasien dengan sistem imun
yang lemah, seperti pada terapi imunosupresif jangka panjang (yaitu penerima
transplantasi organ) atau mereka yang terkena tumor maupun cancer. Tungau
penyebab crusted scabies sama dengan tungau penyebab klasik scabies, namun
banyaknya tungau menjadi pembeda keduanya. Tungau pada crusted scabies
jauh lebih besar dan bisa berkisar antara ribuan hingga jutaan. Perbedaan ini
menyebabkan crusted scabies jauh lebih menular dibandingkan scabies klasik.
Scabies nodular adalah jenis skabies yang jarang terjadi yang ditandai
dengan nodul cokelat kemerahan yang sangat pruritus setinggi 2 cm yang
biasanya ditemukan pada alat kelamin, bokong, selangkangan, dan aksila.
Nodul dianggap sebagai hasil reaksi hipersensitivitas produk tungau karena
tungau hampir tidak pernah diidentifikasi pada lesi ini.
4.4.3 Massa pada Kelenjar Mammae (Fibroadenoma Mammae)
Pada hasil pemeriksaan histopatologi dari adanya massa pada bagian caudo
dexter kelenjar mammae tikus, didapatkan hasil bahwa terlihat bentukan
jaringan stroma atau jaringan ikat yang jelas serta terdapat adanya kelenjar
glandula mammae yang berbentuk polygonal, beraturan susunannya (intaqe)
serta masih di lapisi oleh capsula, yang merupakan salah satu ciri khas dari
adenoma/ fibroadenoma. Fibroadenoma mammae biasanya tidak menimbulkan
gejala dan ditemukan secara kebetulan, seperti adanya benjolan tunggal pada
bagian kelenjar mammae.
Beberapa literatur menyebabutkan bahwa penyebab dari fibroadenoma
mammae adalah pengaruh hormonal. Hal ini diketahui karena ukuran
fibroadenoma dapat berubah pada siklus menstruasi atau pada kehamilan. Lesi
membesar pada akhir daur haid dan selama hamil. Penyakit ini dapat terjadi
akibat adanya kelebihan hormon estrogen (Price, 2005). Namun, terdapat pula
yang menyebutkan bahwa, ada hal lain yang dapat mempengaruhi timbulnya
tumor, antara lain: konsituasi genetika dan juga adanya kecenderungan pada
keluarga yang menderita kanker.
Fibroadenoma biasa ditemukan pada kuadran luar atas, merupakan lobus
yang berbatas jelas, mudah digerakkan dari jaringan sekitarnya. Pada gambaran
histologist menunjukkan stroma dengan poliferasi fibroblast yang mengelilingi
kelenjar dan rongga kistik yang dilapisi epitel dengan bentuk dan struktur yang
berbeda.

4.5 Diagnosa Mofologis


Berdasarkan hasil pengamatan makroskopis dan mikroskopis dari tikus
putih, diagnosanya adalah fibroadenoma mammae, pneumonia interstitialis, serta
adanya hyperplasia stratum granulosum akibat lesi kulit pada daun telinga.
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan anamnesa, temuan klinis dan perubahan patologis baik makroskopis


dan mikroskopis. Diagnosa patologis tikus putih yaitu fibroadenoma mammae,
pneumonia interstitialis, serta adanya hyperplasia stratum granulosum akibat lesi yang
kemungkinan berasal dari ektoparasit.
5.2 Saran
Sebaiknya di lakukan pemeriksaan lanjutan seperti uji serologis untuk mendukung
diagnosa agar lebih tepat dan akurat. Manajemen pemeliharaan pada histopatologi juga
perlu lebih diperhatikan.

Anda mungkin juga menyukai