PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam dunia kedokteran, sangat penting bagi seorang dokter untuk
mengetahui diagnosa penyakit seorang atau seekor pasien dengan tepat. Banyak cara
yang dilakukan seorang dokter hewan untuk mendiagnosa suatu penyakit, antara lain
signalment, anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Selain itu
banyak ilmu yang perlu disinergikan sehingga tidak terjadi kesalahan dalam
mendiagnosa, melakukan terapi, maupun memeriksa penyebab kematian. Salah satu
ilmu yang cukup memegang peran penting dalam dunia kedokteran adalah patologi.
Patologi (pathos (sakit) + logos (ilmu)) merupakan cabang dari ilmu kedokteran yang
mengembangkan mengenai asal atau sebab dari suatu penyakit, mengenai cara
perkembangan penyakit, dan efeknya pada tubuh. Pada ilmu patologi, dampak dari
suatu penyakit akan dipelajari mulai dari efeknya pada seluruh tubuh, perubahan yang
terjadi pada tingkat organ, jaringan, sel, dan bahkan perubahan intraselular.
Demi penguasaan ilmu patologi, biasanya digunakan hewan laboratorium/ coba
sebagai pengganti penggunaan hewan yang lainnya. Tikus putih (Rattus novergicus)
adalah salah satu anggota kelompok kerajaan hewan animalia. Hewan ini ditandai
dengan ciri sebagai berikut: jinak, takut cahaya, aktif pada malam hari, mudah
berkembangbiak, siklus hidup yang pendek, dan tergolong poliestrus. Tikus putih
merupakan hewan yang paling umum digunakan pada penelitian laboratorium sebagai
hewan percobaan, yaitu sekitar 40-80%. Hewan ini memiliki banyak keunggulan
sebagai hewan percobaan (khususnya digunakan dalam penelitian biologi), yaitu siklus
hidup yang relatif pendek, jumlah anak per kelahiran banyak, variasi sifat-sifatnya
tinggi dan mudah dalam penanganannya.
Sebagai seorang calon dokter hewan, sangat perlu untuk mendapatkan bekal
dan pengalaman pada bidang patologi anatomi sehingga nanti dapat menentukan
diagnosa maupun penentuan penyebab kematian dari pasien. Oleh karena itu
dilakukan kegiatan Pendidikan Profesi Dokter Hewan (PPDH) di Laboratorium
Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) Universitas Brawijaya, Malang
yang bertujuan agar mahasiswa PPDH mampu mengetahui perubahan abnormal dari
makroskopis dan mikroskopis.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana perubahan abnormal dari morfologi makroskopik dan
mikroskopik pada Tikus putih?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui perubahan abnormal dari morfologi makroskopik dan
mikroskopik pada Tikus putih.
1.4 Manfaat
Tikus putih (Rattus norvegicus) merupakan tikus yang memiliki tekstur rambut
kasar dan agak panjang, bentuk hidung kerucut terpotong, hidung tumpul, badan besar,
pendek, bentuk badan silindris sedikit membesar ke belakang, warna badan bagian atas
coklat hitam kelabu, warna badan bagian bawah coklat kelabu, warna ekor bagian atas
gelap dan bagian bawah gelap agak pucat, berat 150-600 gram, panjang kepala dan
badan 150-250 mm, panjang ekor 160-210 mm (lebih pendek dari panjang kepala dan
badan), panjang dari ujung hidung sampai ujung ekor 310-460 mm, lebar telinga 14-
24 mm, panjang telapak kaki belakang 4 0-47 mm, dan memiliki puting susu sebanyak
6 pasang . Tikus putih (Rattus norvegicus) termasuk hewan nokturnal dan sosial. Salah
satu faktor yang mendukung kelangsungan hidup tikus putih (Rattus norvegicus)
dengan baik ditinjau dari segi lingkungan adalah temperatur dan kelembaban.
Temperatur yang baik untuk tikus putih (Rattus norvegicus), yaitu 19°C–23°C,
sedangkan kelembaban 40-70%.
2.2 Paru - paru
Paru adalah organ yang berfungsi sebagai alat respirasi utama dalam tubuh. Paru
terletak di dalam rongga thoraks dan terdiri dari beberapa lobus. Paru sendiri
merupakan salah satu organ yang sering mengalami kelainan patologis karena organ
ini berkontak langsung dengan udara luar. Paru terdiri dari paru-paru kanan dan paru-
paru kiri dengan paru-paru kanan lebih besar daripada paru-paru kiri. Paru sebelah kiri
terdiri dari satu lobus sedangkan paru sebelah kanan terdiri atas 4 lobus (Herbert et al.,
2017 ; Sloane 2003; Conti et al. 2004).
Paru dilapisi oleh membran serosa yang disebut dengan pleura. Pleura terdiri dari
dua macam, yaitu pleura parietalis yang melapisi rongga dada dan pleura visceralis
yang menyelubungi paru. Pleura visceralis pada tikus relatif lebih tipis dibandingkan
dengan manusia dan hewan besar. Di antara kedua pleura tedapat rongga yang disebut
cavum pleura. Rongga ini berisi cairan yang berguna untuk melumasi dinding dalam
pleura. Cavum pleura juga memiliki fungsi untuk menjaga tekanan negatif rongga
thoraks. Paru-paru sebelah kiri dan sebelah kanan dipisahkan oleh mediastinum,
jaringan ikat longgar fibrosus yang terletak di tengah rongga thoraks. Mediastinum
dapat ditemukan diantara tulang sternum dan tulang tulang belakang. Jaringan ini
berikatan dengan pericardium dan mediastinal pleura yang menyatu dengan pleura
parietal.
Gambar 2.2 Anatomi lobus paru pada tikus: A = lobus aksesorius, C = lobus kaudal,
Cr = lobus kranial, LL = lobus kiri, M = lobus medial.
Organ paru selain memiliki fungsi utama sebagai tempat pertukaran udara, juga
memiliki beberapa fungsi non-respiratori lain yang memiliki peranan penting dalam
fisiologi. Beberapa peranan penting organ paru-paru selain untuk respirasi antara lain
sebagai reservoir sistem sirkulasi, filter toksikan yang berada di dalam darah,
pertahanan melawan agen yang terinhalasi, endokrin dan fungsi metabolik, dan
metabolisme beberapa macam obat.
Sel penyusun organ paru mengalami transisi menjadi semakin sederhana seiring
dengan mengecilnya saluran udara yang semakin kecil. Hal ini dapat diamati dari
perubaha epitel pada bronkus dibandingkan pada epitel di alveolus. Tipe sel epitel pada
bronkus berupa sel epitel silindris bersilia disertai dengan sel goblet, namun pada
alveolus sel epitel penyusunnya berupa sel epitel pipih selapis. Sel-sel ini
memungkinkan untuk terjadinya difusi oksigen dan karbondioksida dari ruang alveolar
menuju ke pembuluh kapiler atau sebaliknya. Bagian yang mengandung tulang rawan
kartilago hanya ditemukan pada bronkus primer dengan tipe sel epitel silindris bersilia
disertai dengan sel goblet. Selain itu, jumlah jaringan ikat dan otot polos pun semakin
sedikit.
Pengamatan histologis paru pada Gambar 2.3. menunjukkan bahwa susunan sel
pada organ paru terdiri dari sistem alveolus yang terdapat di dinding bronkiolus,
saluran alveolus dan saccules. Alveolus satu dengan alveolus yang lain dipisahkan
dengan septum yang memiliki pori. Daerah di sekeliling alveolus diisi oleh banyak
pembuluh kapiler yang membentuk pleksus. Pleksus ini yang akan menjadi lokasi
saluran respirasi melakukan fungsi utamanya. Dinding alveolus dilapisi oleh sel
endotel dan pada bagian basal membran sel endotel dapat ditemui sel epitel. Beberapa
area pada pertemuan sel epitel yang tidak bersentuhan akan diisi oleh jaringan elastik
dan retikuler.
2.3 Kulit
Kulit merupakan organ tunggal yang terberat ditubuh, dengan berat sekitar 16%
dari berat badan total dan pada orang dewasa, mempunyai luas sebesar 1,2- 2,3 m2
yang terpapar pada dunia luar. Lapisan- lapisan pada kulit yang membentuk sistem
integumen dibagi menjadi tiga daerah yaitu epidermis dan dermis.
1. Epidermis
Epidermis terbentuk dari sel epitel gepeng berlapis, bertanduk (keratin), namun
ada juga sel-sel lain yang terdapat di epidermis dalam jumlah yang lebih dikit yaitu sel
melanosit, sel merkel, dan sel langerhans. Biasanya lapisan kulit dibedakan menjadi
kulit tebal (licin, tidak berambut) dan kulit tipis (berambut). Pada umumnya area
epidermis dibagi menjadi lima lapisan yaitu, seperti pada gambar 2.4:
B. Fibroadenoma Mammae
Fibroadenoma berasal dari proliferasi kedua unsur lobulus, yaitu asinus atau
duktus terminalis dan jaringan fibroblastik. Terdapat dua jenis FAM, yaitu FAM
intrakanalikuler atau stroma yang tumbuh mendesak kanalikulus pada sistem
duktulus intralobulus dan FAM perikanalikuler atau stroma yang tumbuh
proliferatif mengitari sistem kanalikulus sistem duktulus intralobulus (Nasar et
al., 2010). Pada pemeriksaan ecara mikroskopik, ditemukan adanya susunan
lobulus perikanalikular yang mengandung stroma padat dan epitel proliferatif .
BAB III
METODE KEGIATAN
3.1 Waktu dan Tempat
Pelaksanaan kegiatan Pendidikan Profesi Dokter Hewan pada tanggal 19
Agustus – 13 September 2019 dilaksanakan di laboratorium Patologi Anatomi
Kedokteran Hewan Universitas Brawijaya.
3.2 Peserta dan Pembimbing PPDH
Peserta adalah mahasiswa PPDH Fakultas Kedokteran Hewan Universitas
Brawijaya (FKH UB) yang berada di bawah bimbingan drh. Andreas Bandang
Hardian, MVSc yaitu:
Nama : Ajeng Nevy Putrianika, S.KH
NIM : 180130100111049
Fakultas : Kedokteran Hewan
Universitas : Brawijaya
No.Hp : 081335252935
Email : nevyputri44@gmail.com.
3.3 Alat dan Bahan untuk Teknik Nekropsi
Alat- alat yang digunakan dalam prosedur pemeriksaan nekropsi adalah
beberapa alat bedah yang terdiri dari scalpel, mata pisau, (blade), pinset anatomis,
pinset cirurgis, gunting jaringan (tajam-tumpul), dan gunting muskulus (tajam-
tajam), masker, pot obat, dan gloves. Formalin dengan konsentrasi 10% yang
digunakan sebagai media preservasi, serta Tikus putih (Rattus novergicus).
3.4 Teknik Nekropsi
1. Sebelum dilakukan pengirisan/insisi pada tubuh bangkai tikus, terlebih dahulu
periksalah keadaan luar tubuh tikus tersebut. Periksalah keadaan kulit
termasuk keadaan rambut, lubang-lubang alami, adanya ektoparasit, warna
mukosa, dan sebagainya yang memungkinan terdapat perubahan. Memeriksa
keadaan luar secara umum meliputi jenis hewan, kelamin, keadaan gigi,
kondisi kulit, selaput mukosa mata, rongga mulut, bawah lidah, telinga, leher,
perut, bagian dalam paha, persendian, telapak kaki, pangkal ekor, sekitar anus
dan alat kelamin.
2. Tikus putih yang akan diseksi diletakkan pada tempat seksi berupa papan
styrofoam. Tikus diletakkan posisi rebah dorsal dengan punggung menempel
pada styrofoam. Tiap kaki difiksasi dengan jarum. Seluruh kulit dan rambut
dibasahi.
3. Nekropsi dilakukan dengan membuat sayatan disepanjang linea alba mulai
dari region mentalis hingga ketepi pectin anterior ossis pubis. Kemudian kulit
dipreparir hingga dapat dipatahkan ke samping.
4. Pengamatan dilakukan dalam keadaan subcutis. Pembukaan organ abdomen
dilakukan dengan cara otot perut (dinding abdomen) digunting dilinea alba
mulai dari ujung tulang dada (processus xiphoideus) hingga pectin ossis
pubic. Setelah pembukaan dinding abdomen dilakukan pengamatan dan
diperiksa setiap organ.
5. Pembukaan rongga dada, tulang rusuk terakhir dipotong kedepan menuju
arkus tulang sternum. Pemotongan dilakukan pada sisi kanan maupun sisi kiri.
Kemudian rongga dada dibuka dan dilakukan pemeriksaan insitu,
pemeriksaan tymus, jantung dan paru-paru. Pengeluaran organ dada dilakukan
insisi dimulai dari organ lidah, oesopagus dan trachea, tymus, jantung dan
paru-paru yang dikeluarkan dalam satu kesatuan kemudian diamati.
6. Pembukaan cranium dan pengambilan otak. Buat sayatan pada kulit daerah
kepala kemudian diikuti dipotong atau digunting daerah di belakang telinga
dan dibelakang mata, setelah itu tulang kepala dibuka dan terlihat otak.
3.5 Pengumpulan sampel
Sampel yang diambil adalah organ otak, hepar, ginjal, dan ileum.
Pengumpulan sampel dengan cara memotong bagian organ yang mengalami
abnormalitas dengan ukuran 2 cm berbentuk balok kemudian dimasukkan kedalam
pot obat dan direndam dalam formalin 10% sebagai media preservasi, dengan
perbandingan formalin dengan potongan organ 10:1. Label organ sesuai dengan
nama organ, dan identitas hewan serta waktu pengambilan sampel.
3.6 Pembuatan Preparat Histopatologi
Proses pembuatan preparat histopatologi terdiri dari pengambilan sampel
(sampling), fiksasi dan pencucian, dehidrasi dan clearing, infiltrasi, pembuatan
blok paraffin, pengirisan dan mikrotom, pewarnaan dan penutupan dengan cover
glass. Adapun prosedur dalam pembuatan preparat histologi adalah:
Traktus Respiratorius
Traktus digestivus
Traktus Sirkulatorius
Traktus Urogenital
Sistem Limforetikuler
Sistem Lokomosi
Sistem Syaraf
B
A
Gambar 4.2 (A) Posisi massa (benjolan) pada caudo dextra mammae tikus putih sebelum di
nekropsi ( ), (B) Hasil biopsi massa (benjolan) pada bagian (mammae)
berukuran 4cm x 3cm x 2cm, menunjukkan perubahan patologis (nekrosis)
(dokumentasi pribadi, 2019).
A B
Gambar 4.3 (A) Pada paru terlihat adanya lesi (bercak) multifocal (<1 mm), (B) Kulit (daun
telinga) terdapat adanya lesi/ krusta dengan warna kehitaman pada bagian
marginalnya (Dokumentasi pribadi, 2019).
4.3 Hasil Pengamatan mikroskopis pada nekropsi tikus putih
Pemeriksaan secara mikroskopis dilakukan untuk mengetahui lebih lanjut
tentang kerusakan yang terjadi pada jaringan. Pemeriksaan mikroskopis organ
dilakukan dengan pembuatan preparat Hematoxilin eosin dan diamati menggunakan
mikroskop dengan perbesaran 40 – 400x. Adapun hasil dari pengamatan terdapat pada
Tabel 4.2 di bawah ini:
Prinsip pewarnaan Hematoksilin Eosin (HE) yaitu inti yang bersifat asam
karena mengandung DNA akan menarik larutan hematoksilin yang bersifat basa
sehingga warna akan menjadi biru, sedangkan sitoplasma yang bersifat basa karena
mengandung asam amino akan menarik larutan eosin yang bersifat asam sehingga
warna akan menjadi merah. Jika digunakan secara bersamaan, hematoksilin akan
memberi warna nukleus dan ribosom, sedangkan eosin akan memberi warna membran
sel, sitoplasma dan serat protein lainnya (Muntiha, 2001).
Tabel 4.2 Hasil Pemeriksaan patologis secara mikroskopis (Dokumentasi Pribadi,
2019)
No. Hasil Pemeriksaan Patologis secara Mikroskopik Keterangan
3.
5.
Paru adalah organ yang berfungsi sebagai alat respirasi utama dalam
tubuh. Paru terletak di dalam rongga thoraks, berbentuk piramid dengan apeks
di atas, dan terdiri dari beberapa lobus. Paru sendiri merupakan salah satu organ
yang sering mengalami kelainan patologis karena organ ini berkontak langsung
dengan udara luar. Paru terdiri dari paru kanan dan paru kiri dengan paru kanan
lebih besar daripada paru kiri. Paru sebelah kiri terdiri dari satu lobus sedangkan
paru sebelah kanan terdiri atas 4 lobus.
PENUTUP
5.1 Kesimpulan