Anda di halaman 1dari 12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Merpati
Burung merpati (Columba livia) merupakan salah satu jenis burung yang sudah
lama dipelihara dan dibudidayakan oleh para penggemar burung. Burung merpati juga
diternakan untuk dimanfaatkan dagingnya sebagai salah satu sumber protein hewani.
Dalam perkembangannya melalui proses domestikasi dan perkawinan silang, Columba
livia berubah menjadi berbagai macam merpati domestik (Columbia domestica).
Columba domestica mampu mengenal habitatnya, ketika burung dilepas maka akan
kembali ke sarangnya. Burung merpati termasuk hewan vertebrata dan berdarah panas.
Salah satu ciri yang membedakan burung merpati dengan unggas lainnya adalah burung
merpati dapat menghasilkan crop milk yaitu suatu cairan berwarna krem menyerupai air
susu yang dikeluarkan dari tembolok induk (Tanubrata, 2004). Klasifikasi burung merpati
menurut Radiopoetro (1985), adalah sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Sub Filum : Vertebrata
Kelas : Aves
Sub Kelas : Neornithes
Ordo : Columbiformes
Family : Columbidae
Genus : Columba
Spesies : Columba livia
Variestas : Domestica
Permasalahan utama yang merupakan tantangan terberat dalam pemeliharaan
adalah munculnya penyakit, sehingga pengelolaannya perlu dilakukan secara efisien dan
profesional. Penyakit yang menyerang burung merpati banyak ragam dan seringkali
gejalanya hampir sama. Oleh karena itu, membutuhkan pengalaman tentang penyebab
penyakit secara umum sehingga dapat membedakan penampilan burung merpati yang sakit
dengan burung merpati sehat. Penyebab penyakit pada burung merpati adalah virus,
bakteri, jamur, protozoa, cacing, dan kutu. Tetapi kekurangan mineral dan vitamin juga
dapat menyebabkan penyakit (Tarmudji, 2005).
Hal pertama yang harus dilakukan dalam penanganan kasus penyakit pada burung
merpati adalah analisis penyebab. Pendekatan melalui diagnosis patologis merupakan suatu
tindakan yang umum dilakukan dalam manajemen kesehatan hewan. Beberapa penyakit
pada burung merpati mempunyai gejala klinis yang hampir sama, tetapi dengan
pemeriksaan nekropsi yang ditunjang dengan informasi mengenai sejarah penyakit, sifat-
sifat agen penyebab, umur burung merpati, dan karakteristik epidemiologinya maka
diagnosis dapat lebih diarahkan ke suatu penyakit yang lebih spesifik. Lesi yang menciri
pada organ akibat penyakit tertentu membantu diagnosis yang tepat. Selain itu, perlu
diperhatikan beberapa faktor pendukung timbulnya penyakit antara lain: iklim, letak
geografis, aspek manajemen, kualitas pakan/air, dan sistim pencegahan penyakit
(Wiedosari dan Wahyuwardani, 2015).

2.2 Trakea
Merpati memiliki sistem pernapasan yang sedikit berbeda dengan sistem
pernapasan pada mamalia, karena dilengkapi dengan kantung udara yang mempunyai
struktur dan fungsi yang unik, serta paru-paru yang tergolong sederhana. Saluran
pernapasan merpati bagian atas terdiri dari rongga hidung, laryng, trakea (tenggorokan),
bronkus dan bronkiolus. Rongga hidung juga terhubung langsung ke bagian sinus, dimana
sinus merupakan tempat predileksi sebagian bibit penyakit yang masuk melewati
saluran pernapasan, tidak berfungsinya sistem pertahanan primer yaitu kulit, silia (bulu
getar) saluran pernapasan, lendir/mukus, enzim sampai reaksi bersin dan batuk akan
menjadi pemicu utama masuknya bibit penyakit. Deskuamasi sel epitel mukosa saluran
pernafasan merpati diakibatkan oleh sifat merusak agen patogen. Kerusakan lapis atas
struktur jaringan sistem pernafasan berpotensi untuk terjadinya infeksi sistemik apabila
agen patogen berhasil masuk ke jaringan submukosa (Tumpey et al., 2002).
Trakea merupakan struktur anatomi dari sistem pernapasan unggas yang
berfungsi sebagai tempat keluar masuknya udara, menghubungkan laring dan faring
dengan paru-paru. Trakea dapat ditemukan di daerah dada dan tersusun atas tulang lunak
yang disebut dengan tulang rawan (Nurwahidah, 2015). Trakea tersusun atas cincin
cartilago melingkar menyerupai bentuk O yang berfungsi mencegah terjadinya collaps
dari tekanan negatif paru-paru. Trakea unggas disusun oleh cincin cartilago yang
bervariasi setiap jenis unggas dan ditautkan oleh ligament yang rapat dan sempit.

2.3 Jantung
Sistem kardiovaskuler termasuk jantung dan arteri, vena, kapiler, dan limpatik
yang terdistribusi melalui tubuh. Organ ini memungkinkan terjadinya peredaran darah
secara efisien ke dalam paru-paru untuk pergantian O2 dan CO2 dalam menyokong proses
metabolis tubuh. Jantung pada merpati terletak dibagian tengah cavum thorax,
disampingnya thoracalis inlet, dan dekat dengan kantung perikardium yang berisi cairan
serosa. Pembuluh dasar besar yang keluar masuk jantung meliputi aorta, arteri pulmonari,
terkadang vena pulmonari, vena cava anterior, dan vena cava superior. Darah keluar dari
ventrikel kiri menuju ke aorta dikendalikan oleh katub aorta, yang terdiri dari tiga penutup
semilunar, demikian juga darah yang keluar dari ventikel kanan menuju arteri pulmonalis
(Abdul-Azis et al., 2016).
Sistem peredaran darah pada unggas merupakan peredaran darah ganda. Dimana,
jantung memiliki empat ruang, yaitu atrium dexter, atrium sinister, ventrikel dexter dan
ventrikel sinister. Atrium dexter berfungsi sebagai penampung darah dari seluruh tubuh
dan mengalirkannya ke ventrikel dexter, selanjutnya ventrikel dexter memompakan darah
ke pulmo. Atrium sinister berfungsi menerima darah dari pulmo dan mengalirkan darah
tersebut ke ventrikel sinister. Ventrikel sinister berfungsi untuk memompakan darah ke
seluruh tubuh sehingga ventrikel sinister memiliki lapisan yang lebih tebal (Pakurar and
Bigbee, 2004). Apabila di jantung terinfeksi bakteri, maka keadaan individu tersebut
sudah infeksi sistemik. Karena pembuluh darah merupakan transportasi tercepat untuk
penyebaran penyakit.

2.4 Paru-paru
Paru-paru burung merpati merupakan organ respirasi utama sebagai bagian vital
dari traktus respiratorius. Paru-paru burung merpati yang baik berwarna merah, berukuran
kecil, dan menempel di kiri-kanan collumna vertebralis pada septum dorsalis di dalam
ruangan cavum pulmonale. Di bagian ventral facies septalis terdapat hillus pulmonalis,
yaitu tempat masuknya pembuluh darah dan bronki primer. Parabronki berasal dari bronki
medioventrales di satu sisi dan bronki mediodorsales serta bronki lateroventrales di sisi
lainnya. Tiap parabronkus merupakan pipa-pipa panjang yang berdiameter 0,2-0,5 mm
tergantung ukuran merpati, selanjutnya parabronki dari kedua sisi akan bertemu di suatu
tempat dasar yang disebut planum anastomicum (Guyton 2008).
Paru-paru berfungsi sebagai organ respirasi yang utama. Bentuk anatomi yang
unik menunjang kinerja fisiologis paru-paru dalam sistem sirkulasi bersama dengan
jantung. Ketika udara kotor yang dibawa aliran darah dari jantung, kemudian masuk
dalam paru-paru akan ditukar dengan udara kaya oksigen yang diperoleh paru-paru dari
lingkungan luar, melalui proses yang disebut respirasi. Lalu darah yang mendapat udara
kaya oksigen kembali ke jantung, yang nantinya akan diedarkan ke seluruh tubuh oleh
jantung (Samuelson, 2007).
Paru-paru burung merpati berbeda dengan paru-paru mamalia, karena paru-paru
burung merpati tidak memiliki diafragma dan burung merpati memiliki kantung udara
yang berfungsi mendukung respirasi. Bagian dorsal paru-paru burung merpati menempel
pada tulang rusuk di rongga thorax dan susunan tulang rusuk yang terikat kuat. Kemudian
paru-paru burung merpati tidak berubah volumenya ketika inspirasi maupun ekspirasi,
yang berubah hanya kantong hawanya saja. Selain itu, unggas bernafas lebih dalam dan
lebih lama dibandingkan mamalia (Guyton 2008).

2.5 Hepar
Hepar merupakan organ visceral terbesar, tegas, dan berbatas jelas (Clark, 2005).
Hepar merupakan kelenjar terbesar dan salah satu organ yang penting dalam
membersihkan substansi-substansi yang masuk kedalam tubuh (Sarkarati and Doustar,
2012). Hepar juga merupakan organ pencernaan terbesar dan perkembangannya sangat
penting dari divertikulum hepar, bagian ventral epitel usus pada divertikulum hepar naik
sampai hepar, kantung empedu (gall bladder) dan duktus biliaris (bile duct) (Iqbal et al.,
2014).
Hepar mensekresikan empedu dan metabolisme protein, karbohidrat, dan lemak;
menyimpan glikogen, vitamin, dan substansi lainnya; sintesis faktor koagulasi;
mengeluarkan sampah dan substansi toksin dari darah; regulasi volume darah; dan
memecah sel darah merah yang sudah tua (Sarkarati and Doustar, 2012). Hepar pada
merpati sama seperti vertebrata lainnya, dilengkapi sekresi eksokrin menuju saluran
pencernaan dan sekresi eksokrin tersebut disebut dengan empedu, yang akan mengemulsi
lemak dan menaikkan pH pada duodenum (Iqbal, et al., 2014).
Hepar mendapatkan suplai darah dari arteri hepatica yang berisi darah kaya
oksigen dan dari vena porta berisi darah deoksigenasi yang berisi nutrisi, obat-obatan,
mikroba, dan terkadang bahan toksin yang diabsorbsi dari saluran pencernaan traktus
gastrointestinalis. Apabila ada kelainan pada hepar yang disebabkan infeksi bakteri,
kemungkinan besar karena adanya translokasi infeksi dari organ lainnya. Karena hepar
merupakan kelenjar terbesar dan salah satu organ yang penting dalam membersihkan
substansi-substansi yang masuk kedalam tubuh (Sarkarati and Doustar, 2012).

2.6 Penyakit Bakterial pada Merpati


Penyakit pada merpati secara umum terbagi menjadi penyakit infeksi dan penyakit
non infeksi. Penyakit infeksius adalah penyakit yang disebabkan oleh agen-agen infeksi.
Agen-agen infeksi penyebab penyakit antara lain virus, bakteri, mikal, parasit. Sedangkan
penyakit non infeksius adalah penyakit yang disebabkan selain agen infeksi misalnya
akibat defisiensi nutrisi, defisiensi vitamin, defisiensi mineral dan keracunan pakan
(Suprijatna, 2005).
Menurut Tabbu (2002), penyakit unggas dikelompokkan berdasarkan target
primernya, yaitu penyakit pernapasan, penyakit pencernaan, penyakit yang mengganggu
sistem kekebalan, penyakit yan mengganggu produksi telur, penyakit yang menyebabkan
tumor dan penyakit lainnya. Penyakit yang sering menyerang burung merpati adalah
penyakit yang disebabkan bakterial yaitu coryza/snot, berak kapur/pulorum, kolera,
chronic respiratory disease/CRD, dan Colibacillosis (Nataamijaya, 2010). Menurut
Davis (2003) penyakit bakteri yang menginfeksi unggas adalah sebagaimana pada Tabel
2.1.
Tabel 2.1 Penyakit Bakterial Pada Unggas

No. Penyakit Etiologi


1. Coryza/ snot Hemophilus paragallinarum
2. Fowl cholera Pasteurella multocida
3. Chronic respiratory disease Mycoplasma gallisepticum
4. Colibacillosis Escherichia coli pathogen
5. Pullorum/berak kapur Salmonella pullorum
6. Fowl thyphoid Salmonella gallinarum
7. Fowl paratyphoid Salmonella sp, kecuali S. pullorum
dan S. gallinarum
8 Salmonella Arizona Infections Salmonella Arizona
9. Staphylococcus aureus infection Staphylococcus aureus
10. Streptococcus infection Streptococcus zoopidemicus dan
Sterptococcus faecalis
11. Avian tuberculosis Mycobacterium avium
12. Omphalitis E. coli, Pseudomonas spp.,
Salmonella spp., dan Proteus spp.
13. Goose septicemia Pasteurella septicaemiae
14. Erysipelas Erysipelathrix insidiosa
15. Necrotic enteritis Clostridium perfringens tipe C
16. Botulismus Clostridium botulinum tipe A dan
C
17. Gangrenous dermatitis Clostridium novyi, Clostridium
perfringens, E. coli, dan S. aureus
18. Ulcerative enteritis Clostridium colinum
2.7 Media Kultur Bakteri
Media adalah campuran nutrien atau zat makanan yang dibutuhkan oleh
mikroorganisme untuk pertumbuhan. Media selain untuk menumbuhkan mikroba juga
dibutuhkan untuk isolasi dan inokulasi mikroba serta untuk uji fisiologi dan biokimia
mikroba. Media yang baik untuk pertumbuhan mikroba adalah yang sesuai dengan
lingkungan pertumbuhan mikroba tersebut, yaitu: susunan makanannya dimana media
harus mengandung air untuk menjaga kelembaban dan untuk pertukaran zat atau
metabolisme, juga mengandung sumber karbon, mineral, vitamin dan gas, tekanan
osmose yaitu harus isotonik, derajat keasaman/pH umumnya netral tapi ada juga yang
alkali, temperatur harus sesuai dan steril (Yusmaniar, dkk., 2017).
Media harus mengandung semua kebutuhan untuk pertumbuhan mikroba,
yaitu: sumber energi misalnya gula, sumber nitrogen, juga ion inorganik essensial dan
kebutuhan yang khusus, seperti vitamin. Media pertumbuhan mengandung unsur
makro yang dibutuhkan mikroba seperti karbon (C), hidrogen (H), oksigen (O),
Nitrogen (N), dan Phospor (P). Selain itu, media juga mengandung unsur mikro seperti
besi (Fe), dan Magnesium (Mg). Media juga dapat mengandung bahan tambahan lain
seperti indikator phenol red. Kristal violet, briliant green, bile salt, natrium selenit,
antibiotik dan anti jamur (fungizon) adalah bahan penghambat atau pembunuh
bakteri/jamur yang tidak diinginkan pada saat isolasi. Sifat media pembenihan yang
ideal adalah mampu memberikan pertumbuhan yang baik jika ditanami mikroba,
mendorong pertumbuhan cepat, murah, mudah dibuat kembali, dan mampu
memperlihatkan sifat khas mikroba yang diinginkan (Yusmaniar, dkk., 2017).
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam pembuatan media antara lain sebagai
berikut (Sutarma, 2000):
 Media harus mengandung semua nutrisi yang mudah digunakan oleh mikroba.
 Media harus mempunyai tekanan osmosa, tegangan permukaan dan pH yang sesuai
dengan pertumbuhannya.
 Media tidak mengandung zat penghambat kecuali yang sengaja ditambahkan pada
media selektif atau one purpose media.
 Media harus steril.
 Temperatur/ suhunya sesuai.
2.7.1 Media Mac Conkey Agar (MCA)
Mac Conkey Agar (MCA) adalah media yang digunakan untuk membedakan
bakteri golongan Enterobacteriaceace yang dapat memfermentasi laktosa (lactose
fermented) dan tidak memfermentasi laktosa (non lactose fermented) dari bakteri
gram negatif berbentuk batang. Media Mac Conkey Agar digunakan terutama untuk
famili Enterobacteriaceae dan genus Pseudomonas. Media ini mengandung laktosa
dan indikator neutral red, sehingga bakteri yang positif (meragikan laktosa) akan
berwarna merah dan bakteri negatif tidak berwarna. Beberapa contoh pertumbuhan
koloni pada MCA, adalah sebagai berikut (Dwijoseputro, 2003):
 Positif (Escherichia coli, Klebsiella, Enterobacter)
 Negatif (Salmonella, Shigella, Proteus, Pseudomonas)
Bakteri yang tidak memfermentasikan laktosa biasanya bersifat patogen.
Golongan bakteri ini tidak memperlihatkan perubahan pada media. Hal ini
menyebabkan warna koloninya sama dengan warna media. Dimana, warna koloni
dapat dilihat pada bagian koloni yang terpisah. Beberapa contoh pertumbuhan koloni
pada MCA, adalah sebagai berikut:
1) Salmonella dan Shigella : serupa media
2) Escherichia coli : merah dikelilingi zona keruh
3) Enterobacter dan Klebsiella : merah muda dan mukoid
4) Enterococcus dan Staphylococcus : kecil dan tidak terang tembus

Gambar 2.1 Mac Conkey Agar (Sumber: Hadioetomo, 1993)

2.7.2 Blood Agar Plate (BAP)


Blood Agar Plate (BAP) adalah media diperkaya yang digunakan untuk
menumbuhkan hampir seluruh jenis bakteri yang sulit ditumbuhkan pada media
umum. Media BAP membedakan bakteri hemolitik dan nonhemolitik yaitu
berdasarkan kemampuan untuk melisiskan sel-sel darah merah. Ada tiga jenis
hemolisis yaitu alfa hemolisis, beta hemolisis, dan gamma hemolisis. Alfa
hemolisis mengacu pada lisis parsial/lisis sebagian dari sel darah merah dan
hemoglobin. Beta hemolisis merupakan lisis lengkap sel darah merah dan
hemoglobin. Hal ini menghasilkan perubahan warna disekitar menjadi abu-abu
kehijauan. Gamma hemolisis yaitu tidak terjadi hemolisis dimana tidak ada
perubahan warna dalam media (Dwijoseputro, 2003).

2.7.3 TSA
Trypticase Soy Agar (TSA) adalah media pertumbuhan untuk pembiakan
bakteri. TSA mengandung enzimatik pencernaan kasein dan pepton dari kedelai
sebagai sumber nutrisi dan natrium klorida sebagai penstabil osmotik. Glukosa
merupakan sumber energi, sodium klorida mempertahankan keseimbangan osmotik,
sementara dipotassium fosfat bertindak sebagai penyangga untuk mempertahankan
pH. Media dapat dilengkapi dengan darah untuk memfasilitasi pertumbuhan bakteri
atau agen antimikroba untuk memungkinkan pemilihan berbagai grup mikroba dari
mikroba murni (Mahon, 2014).

2.8 Uji Katalase dan Koagulase


2.8.1 Uji Katalase
Pada uji katalase diamati terbentuknya gelembung oksigen pada isolat setelah
penetesan larutan Hidrogen peroksida (H2O2) 3%. Apabila terbentuk gelembung
oksigen maka isolat tersebut mampu menghasilkan enzim katalase
(Purwohadisantoso, dkk., 2009). Fungsi uji katalase pada bakteri berbentuk kokus
adalah untuk membedakan antara Staphylococcus dan Streptococcus, dimana
kelompok staphylococcus bersifat katalase positif. Katalase merupakan enzim yang
mengkatalisa penguraian hidrogen peroksida menjadi H2O dan O2. Hidrogen
peroksida bersifat toksik terhadap sel karena bahan ini menginaktifkan enzim dalam
sel. Hidrogen peroksida terbentuk sewaktu metabolisme aerob, sehingga
mikroorganisme yang tumbuh dalam lingkungan aerob pasti menguraikan bahan
tersebut. Menurut semua galur staphylococcus adalah katalase positif (Todar, 2005).
2.8.2 Uji koagulase
Uji koagulase dilakukan dengan 2 metode, yaitu uji slide dan uji tabung. Uji
slide atau clumping factor digunakan untuk mengetahui adanya ikatan koagulase. Uji
slide dikerjakan dengan cara setetes aquadest atau NaCl fisiologis steril diletakkan pada
kaca benda, kemudian satu ose biakan yang diuji, disuspensikan. Setetes plasma
diletakkan di dekat suspensi biakan tersebut, keduanya dicampur dengan menggunakan
ose dan kemudian digoyangkan. Reaksi positif terjadi apabila dalam waktu 2-3 menit
terbentuk presipitat granuler (Dewi, 2013).
Uji tabung digunakan untuk mengetahui adanya koagulase bebas dengan cara
200 μl plasma dimasukkan secara aseptis ke dalam tabung reaksi steril. Sebanyak 3-4
koloni biakan Staphylococcus sp. yang diuji ditambahkan ke dalam tabung reaksi
kemudian dicampur hati-hati. Selanjutnya, tabung dimasukkan ke dalam inkubator pada
suhu 37oC. Pengamatan dilakukan pada 4 jam pertama, dan sesudah 18-24 jam. Reaksi
positif akan terjadi apabila terbentuk clot atau jeli dan ketika tabung dimiringkan jeli
tetap berada di dasar tabung (Dewi, 2013).
Uji koagulase bertujuan untuk mengetahui kemampuan bakteri menghasilkan
enzim koagulase. Produksi koagulase adalah kriteria yang paling umum digunakan
untuk identifikasi sementara S. aureus (Abrar, 2001). Reaksi koagulase positif sangat
penting untuk membedakan S. aureus dengan spesies staphylococcus yang lain. Uji
clumping factor berfungsi untuk mengetahui adanya produksi bound coagulase, yang
merupakan enzim koagulase yang terikat pada sel (Todar, 2005). Reaksi clumping
factor terjadi berdasarkan reaksi antara S. aureus dengan fibrinogen yang terdapat
dalam serum yang ditunjukkan dengan adanya gumpalan koagulase pada gelas obyek.
Sifat tersebut digunakan sebagai kriteria penentuan S. aureus (Dewi, 2013). Hasil uji
koagulase positif Staphylococcus aureus ditandai dengan adanya gumpalan koagulase
pada tabung, kemudian dilanjutkan uji Voges Proskauer. Uji Voges Proskauer (VP)
digunakan untuk mengetahui pembentukan acetilmetikarbinol deteksi produksi asetoin,
kemudian dilanjutkan uji oksidase (Toelle dan Lenda, 2014).
Daftar Pustaka
Tarmudji, 2005. Etiologi, Patologi dan Pengendalian pada Unggas. Balai Penelitian
Veteriner. Wartazoa Vol.13 No.2. Bogor.
Wiedosari, E. dan S. Wahyuwardani. 2015. Studi Kasus Penyakit Ayam Pedaging Di
Kabupaten Sukabumi dan Bogor. Jurnal Kedokteran Hewan. Vol: 9 No: 1. ISSN:
1978-225X. Hal: 9.
Pakurar, A. S and J. W. Bigbee. 2004. Digital Histology: An Interactive CD Atlas with
Review Text. John Wiley and Sons Inc. New Jersey.
Sarkarati, F. and Y. Doustar. 2012. The Frequency of Liver Lesions of Broilers Slaughtered
in Tabriz Abattoir. Ann. of Biol. Res. 3(7):3439-3443.
Iqbal,J., A.L. Bhutto, M.G. Shah, G.M. Lochi, S. Hayat, N. Ali, T. Khan, A.M. Khan, and
S.A. Khan. 2014. Gross anatomical and Histological Studies on the Liver. Journal
of Applied Environmental and Biological Science. 4(12):284-285. ISSN:2090-
4274.
Suprijatna, E., A. Umiyati, K. Ruhyat. 2005. Ilmu Dasar Ternak Unggas. Penebar
Swadaya. Jakarta. Hal: 21-22.
Tabbu, C.R. 2002 . Penyakit Unggas dan Penanggulangannya. Penyakit Asal Parasit, Non
infectious dan Etiologi Komplek. Vol: 2. Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Hal: 274-
289.
Davis M.A. 2003. Poultry Disease Manual. The Veterinary Medical Diagnostic lab. The
Texas A&M University System. B-1031.08-06. Texas Cooperative Extension:
Texas. p:9-37.
Yusmaniar, Wardiyah, dan K. Nida.2017. Mikrobiologi dan Parasitologi. Bahan Ajar
Farmasi. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. hal: 12-14.
Hadioetomo. 1993. Teknik dan Prosedur Dasar Laboratorium Mikrobiologi. Gramedia:
Jakarta.
Purwohadisantoso, K. E. Zubaidah, dan E. Saparianti. 2009. Isolasi Bakteri Asam Laktat
Dari Sayur Kubis Yang Memiliki Kemampuan Penghambatan Bakteri Patogen
(Staphylococcus aureus, Listeria monocytogenes, Escherichia coli, dan
Salmonella thypimurium). Jurnal Teknologi Pertanian. 10(1):19-27.
Todar, K. 2005. Staphylococcus Bacteriology at UW-Bacteriology 330 Home Page 1-7.
http://textbookbacteriology.net/stap_2.html [31 Januari 2019].
Dewi, A.K. 2013. Isolasi, Identifikasi,dan Uji Sensitivitas Staphylococcus aureus
Terhadap Amoxicillin Dari Sampel Susu Kambing Peranakan Etawa (PE)
Penderita Mastitis di Wilayah Girimulyo, Kulonprogo, Yogyakarta. Jurnal Sain
Veteriner. 31(2):138-150. ISSN:0126-0421.
Abrar, M. 2001. Isolasi, Karakterisasi Dan Aktivitas Biologi Hemaglutinin Staphylococcus
Aureus Dalam Proses Adhesi Pada Permukaan Sel Ephitel Ambing Sapi Perah.
[Disertasi]. Institut Pertanian Bogor: Bogor.
Toelle, N.N. dan V. Lenda. 2014. Identifikasi dan Karakteristik Staphylococcus sp. dan
Streptococcus sp. Dari Infeksi Ovarium Pada Ayam Petelur Komersial. Jurnal
Ilmu Ternak. 1(7):32-37.
Tumpey, TM., D.L. Suarez, L.E.L. Perkins, D.A. Senne, J. Lee , Y.J. Lee, I.P. Mo, H.W.
Sung, and D.E. Swayne. 2002. Characterization of highly pathogenic avian
influenza H5N1 avian influenza A virus isolated from duck meat. J. Virol.
76(12):6344-6355.
Mahon, C.R., Lehman, D.C., and Manuselis, G. 2014. Textbook of Diagnostic
Microbiology. 4th Ed. US. Elsevier.
Radiopoetro. 1985. Zoology. Jakarta: Erlangga.

Anda mungkin juga menyukai