Anda di halaman 1dari 84

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pes merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri Yersinia

pestis. Pes termasuk penyakit karantina internasional, Di Indonesia penyakit ini

di Indonesia kemungkinan timbul kembali (re-emerging desease) dan berpotensi

menimbulkan kejadian luar biasa (Depkes, 1999). Menurut International Health

Regulation, (2005), pes termasuk dalam Public Health Emergencies of

International Concern (PHEIC), dan merupakan jenis penyakit menular yang

dapat menimbulkan wabah (Depkes RI, 2008).

Kejadian Luar Biasa (KLB) pes mempunyai dampak nasional dan

internasional di bidang kesehatan, ekonomi, pariwisata dan perdagangan. Pes

masuk ke Indonesia pada tahun 1911 melalui pelabuhan dan alat transportasi laut

terbawa oleh kapal – kapal pengangkut beras dari Rangoon, Myanmar masuk

melalui Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya (Simanjuntak, 2002). Pes juga masuk

melalui Pelabuhan Tanjung Emas Semarang tahun 1916 dan menyebar ke daerah

ke pegunungan. Tahun 1923 pes diduga masuk Pelabuhan Cirebon dan tahun 1927

Pelabuhan Tegal (Depkes, 2008).

Wabah pes di Indonesia pernah tejadi di Surakarta tahun 1915, Yogyakarta

pada tahun 1916, di Kecamatan Cepogo Kabupaten Boyolali Jawa Tengah tahun

1970, dan pada 1987 di Kecamatan Tutur Kabupaten Pasuruan Jawa Timur

dengan penderita 25 orang yang meninggal 21 orang (CFR =83,7%). Kejadian

Luar Biasa terjadi lagi pada daerah yang sama pada tahun 1997 dengan jumlah
2

penderita 5 orang tanpa ada kematian (Depkes RI, 1999), dan pada tahun 1998

ditemukan 8 tersangka, tahun 1999 ditemukan 4 tersangka. Berdasarkan waktu

kejadian luar biasa pes, kasus pes cenderung terjadi pada kurun waktu 10 tahunan.

Sejak pes masuk ke Indonesia melalui pelabuhan sampai terjadi KLB tahun 1997

korban kematian diperkirakan 250.000 orang (Simanjuntak, 2002).

Data WHO pada tahun 2010 menunjukkan bahwa dari tahun 2004 sampai

2009 terdapat kasus pes sebanyak 12.503 kasus dengan kematian 843 orang, data

ini dilaporkan dari 16 Negara di Afrika, Asia dan Amerika dengan CFR 6,7%.

Dari benua Afika terdapat 8 Negara yang melaporkan kasus pes, total kasus

sebanyak 12.209 kasus dengan kematian 814 orang, di Asia total kasus 149 kasus

dengan kematian 23 orang dan di Amerika terdapat 145 kasus dengan kematian 6

orang (WHO, 2010). Menurut WHO (2014) dilaporkan bahwa pada tanggal 21

November 2014 terjadi outbreak (wabah) pes di Madagascar benua Afrika

sebanyak 80 kasus dengan kematian 40 orang, dengan kasus pes pulmo sebanyak

2%.

Pelabuhan laut maupun udara merupakan pintu masuk bagi penularan pes

termasuk pelabuhan Banten. Saat ini, terjadi peningkatan arus transportasi saat ini

maka upaya – upaya pengamatan bukan saja dilaksanakan di daerah fokus dan

bekas daerah pes tetapi pengamatan harus tetap dilaksanakan dan ditingkatkan di

daerah pelabuhan guna mencegah penularan pes dan menangkal masuknya pes

dari negara lain (Depkes RI, 2008).

Menurut IHR 2005 pasal 22 menyatakan bahwa fasilitas umum pada pintu

masuk (pelabuhan) dalam kondisi bersih dan bebas dari sumber infeksi atau
3

kontaminan termasuk vektor penyakit dan reservoir. Kantor Kesehatan pelabuhan

bertanggung jawab terhadap peti kemas, alat angkut, barang dan orang dijamin

bebas dari infeksi atau kontaminasi termasuk vektor dan reservoir.

Pada musim hujan menguntungkan bagi vegetasi untuk tumbuh dan

berkembang biak dengan baik, sehingga akan berdampak terhadap kepadatan

tikus rodent sebagai inang pes host plague, dengan meningkatnya kepadatan tikus

rodent maka kepadatan pinjal sebagai vektor juga akan meningkat secara dratis,

hal ini dapat menfasilitasi terjadinya penularan pes plague pada populasi hewan

pengerat tersebut dan menyebabkan pinjal mencari host alternatif termasuk

manusia (Schmid et al., 2015).

Faktor lingkungan biotik dan abiotik mempengaruhi dinamika populasi

tikus dan ektoparasitnya. Tikus domestik, peridomestik dan silvatik beragam

dalam struktur umur, fase perkembangan atau komposisi genetik dari individu –

individu penyusunnya diduga mempunyai perbedaan keragaman komposisi

ektoparasit yang menempatinya. Pada musim hujan, suhu dan kelembaban

sangat cocok untuk perkembangbiakan tikus sehingga populasi tikus meningkat

yang mengakibatkan ektoparasit meningkat pula. Populasi tikus juga

dipengaruhi oleh vegetasi dan keberadaan predator (Supriyati & Ustiawan,

2013).

Menurut Brooks dan Rowe (1987) kondisi lingkungan yang kurang terjaga

kebersihannya merupakan tempat yang sesuai bagi kehidupan tikus. Selain itu

menurut Riyadi, dalam Ristiyanto, pencegahan keberadaan tikus di lingkungan

sangat dipengaruhi oleh kebersihan lingkungannya, keberadaan pakan,


4

perlindungan, predator dan lain-lain.

Dalam rangka mencegah penyakit yang ditularkan, dibawa dan

disebabkan oleh tikus, maka perlu memperhatikan kepadatan tikus dan

ektoparasitnyanya, seperti yang berpotensi menularkan pes, murine typhus, dan

tularemia. Kepadatan populasi tikus dan pinjal di pelabuhan dan di alat

transportasi dipandang sebagai faktor yang berpengaruh langsung terhadap

penularan pes dari satu wilayah ke wilayah lain. Pelabuhan laut merupakan pintu

gerbang kegiatan ekonomi, lalulintas dan bersandarnya alat angkut, manusia,

hewan dan barang yang berpotensi sebagai faktor risiko transmisi pes (Simanjutak,

2006).

Faktor fisik lingkungan pelabuhan dan alat transportasi merupakan parameter

penting dalam sistem kewaspadaan dini (SKD) dan pengendalian vektor merupakan

program yang diprioritaskan. Sistem Kewaspadanaan Dini pes meliputi pemantauan

kondisi lingkungan pelabuhan, rat fall (tikus mati tanpa sebab yang jelas),

pemantauan kepadatan tikus dan pinjal, serta pemantauan tersangka pes (plaque

suspect), sedangkan program pengendalian vektor pes diutamakan untuk memutus

rantai penularan yaitu menekan populasi tikus dan pinjal sebagai vektor pes (Depkes,

1999; Gage, 1995; Chu et al., 1996).

Dalam rangka mengetahui secara dini adanya potensi penularan pes dari tikus

rodent ke hewan lain serta pada manusia perlu adanya siystem kewaspadaan dini

(SKD). Ada beberapa variabel penting dalam mendiagnosa terjadinya penularan pes

di suatu wilayah antara lain: adanya musim paceklik atau panen raya, terganggunya

habitat tikus seperti banjir, kebakaran hutan dan bencana alam lainnya, ditemukan
5

tikus mati tanpa sebab, hasil penangkapan tikus di dalam lebih besar daripada di luar,

Indeks pinjal umum (IPU) ≥ 2 dan indeks pinjal khusus (IPK) ≥ 1 serta tikus

terinfestasi pinjal > 30% (Depkes RI, 2008).

Menurut Ristiyanto et. all (2004) dalam penelitiannya di daerah endemis pes

di kecamatan Selo dan Cepogo Boyolali didapatkan hasil jenis tikus yang

tertangkap yaitu tikus rumah (Rattus – rattus tanezumi) sebanyak 27 ekor jantan dan

40 ekor betina dengan trap success (0,062 ekor/perangkap) serta pinjal Xenopsylla

cheopis yang didapat sebanyak 58 ekor. Sedangkan jenis tikus kebun (Rattus

exulans) tikus yang tertangkap 29 ekor jantan dan 25 ekor betina dengan ( 0,113

ekor/perangkap) serta pinjal Xenopsylla cheopis yang didapat sebanyak 11 ekor. Hal

ini didukung dengan penelitian Raharjo dan Ramadhani (2012), di daerah fokus pes

dan bekas fokus pes, didapatkan trap success di Boyolali 5,3%, Sleman 10,6%,

Pasuruan 5,7% dan Bandung 6,0%.

Pelabuhan Banten merupakan salah satu pelabuhan yang melayani transportasi

baik internasional (antar negara) maupun nasional (antar pulau). Menurut data yang

diperoleh dari Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas II Banten selama tahun 2012-

2014, kapal yang datang dari luar negeri sebanyak 4.357 kapal dan kapal yang

datang dari daerah terjangkit sebanyak 287 kapal (6,6%). Seperti kapal-kapal yang

datang dari Afrika, Amerika dan Asia yang merupakan wilayah endemik pes,

sehingga pelabuhan Banten perlu diadakan pengawasan terhadap kapal-kapal yang

datang di pelabuhan Banten dan pengawasan terhadap lingkungan yang mendukung

keberadaan tikus dan pinjal.

Menurut data KKP Kelas II Banten Tahun 2014 bahwa telah dilakukan
6

surveilans terhadap tikus dan pinjal di wilayah perimeter pelabuhan Merak Banten

diperoleh data tahun 2010 trap success 0,06, indeks pinjal 0,84, tahun 2011

trap success 0,04, indeks pinjal 0,47 tahun 2012 trap success 0,03, indeks pinjal

0,75 dan tahun 2013 trap success 0,03, indeks pinjal 0,34. Dan untuk wilayah buffer

belum dilakukan surveilans.

Sehingga peneliti tertarik untuk meneliti tentang keberhasilan penangkapan

tikus dan indeks pinjal sebagai sistem kewaspadaan dini terhadap potensi penularan

pes di pelabuhan Banten. Provinsi Banten

B. Perumusan Masalah

Pelabuhan Banten merupakan pelabuhan tempat bersandarnya kapal, Baik

yang datang dari dalam negeri maupun luar negeri, yang melayani Bongkar muat

barang, hewan dan manusia, sehingga pelabuhan Banten mempunyai potensi

terjadinya penularan pes. Maka perlu Diadakan pengawasan terhadap kepadatan

tikus dan pinjal sebagai Sistem Kewaspadaan Dini (SKD) terhadap potensi

penularan pes. Sehingga dalam penelitian timbul permasalahan yaitu: Apakah

pelabuhan Banten berpotensi terjadi penularan pes dengan melihat keberhasilan

penangkapan tikus dan indeks pinjal sebagai sistem kewaspadaan dini pes.

C. Tujuan Penelitian

Tujuan umum

Untuk mengetahui apakah pelabuhan Banten berpotensi terjadinya

penularan pes dengan indikator keberhasilan penangkapan tikus dan indeks pinjal

dan sebagai sistem kewaspadaan dini pes di Pelabuhan Banten

Tujuan khusus
7

1. Mengetahui jenis tikus dan pinjal yang tertangkap di Pelabuhan Banten.

2. Mengetahui Kkepadatan tTikus dan indeks pinjal yang tertangkap di

Pelabuhan

Banten.

3. Mengetahui prosentase tikus yang terinfestasi pinjal di pelabuhan Banten

4. Mengetahui perbedaan kepadatan tikus, prosentase tikus terinfestasi pinjal

dan indeks pinjal di berbagai habitat di pelabuhan Banten

5. Mengetahui potensi penularan pes di pelabuhan Banten

D. Keaslian Penelitian

Muslimin, (2015). Keanekaragaman ektoparasit pada beberapa spesies tikus

di Kabupaten Subang dan Kabupaten Bogor. Persamaan dengan penelitian ini

yaitu melihat jenis tikus dan ektoparasit sedangkan perbedaannya penelitian ini

lebih fokus pada kepadatan tikus dan indeks pinjal yang dilakukan di pelabuhan.

Hadi Supriyanto (2006) meneliti tentang Analisis Eto-Epidemiologi

penyakit pes di Desa Kayukebek Kecamatan Tutur Kabupaten Pasuruan Jawa

timur. Persamaan dengan penelitian ini yaitu sama – sama meneliti kepadatan

tikus dan indeks pinjal tetapi perbedaannya habitat yang diteliti.

Ristiyanto et al. (2004), meneliti tentang Keanekaragaman Ektoparasit pada

tikus rumah Rattus tanezzumi Temminch dan tikus kebun polinesia R. exulans

Peal 1848 di daerah eEnzootik pPes di lereng Ggunung Mmerapi Jawa Tengah.

Persamaan dengan penelitian ini sama – sama meneliti ektoparasit tikus

sedangkan perbedaannya penelitian ini hanya melibatkan dua jenis tikus dan

habitatnya berbeda.
8

Purwanto et al. ( 2005), meneliti tentang kKepadatan tikus dan pinjal

sebagai indikator kerentanan wilayah pelabuhan Tanjung Emas terhadap transmisi

pes. Persamaan dengan penelitian ini yaitu sama – sama meneliti tentang

kepadatan tikus dan pinjal dipelabuhan, sedangkan perbedaannya penelitian

inisaya adalah membedakan kepadatan tikus dan indeks pinjal antara wilayah

perimeter dan buffer serta habitatnya.

E. Manfaat Penelitian

Keberhasilan penangkapan tikus dan indeks pinjal sebagai sistem

kewaspadaan dini terhadap potensinya dalam penularan pes di pelabuhan Banten

diharapkan dapat memberikan manfaat :

1. Sebagai dasar dalam pengambilan keputusan dan perencanaan program

pengendalian vektor di Pelabuhan Banten.

2. Sebagai acuan dalam menentukan sistem kewaspadaan dini terhadap potensi

penularan pes di pelabuhan

3. Sebagai referensi tambahan pengetahuan tentang tikus dan pinjal di

pelabuhan
9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Pustaka

1. Pengertian Pes (Plague)

Pes (plague) merupakan re-emerging desease atau penyakit yang mungkin

timbul kembali serta berpotensi menimbulkan kejadian luar biasa yang

disebabkan oleh bakteri gram negatif Yersinia pestis (Tikhromirov, 1999).

2. Gejala pes

Pes bersifat akut dengan tanda-tanda klinis demam tinggi, tubuh dingin,

menggigil, perasaan tidak enak, malas, nyeri otot, sakit kepala hebat,

pembengkakan kelenjar limfe dan pembengkakan kelenjar lipat paha, ketiak

dan leher (bubo sebesar buah duku, bentuk oval, lunak dan nyeri) maka disebut

pes bubo, dan pada pes pneumonik dengan gejala klinis batuk hebat, berbuih,

air liur berdarah, susah bernafas dan sesak nafas. Masa inkubasi pes bubo 2- 6

hari, sedangkan masa inkubasi pes pneumonik 2-4 hari (Tikhromirov, 1999).

3. Perjalanan pes di dalam tubuh

Manusia bisa terinfeksi melalui gigitan pinjal atau kontak dengan hewan

yang terinfeksi seperti tikus. Dalam 3-4 hari mulai sakit mendadak ditandai
10

dengan demam, malaise, lemah dan nyeri kepala. Demam sering tinggi (suhu >

410C) dan tidak tenang, organisme bergerak dari tempat permulaan inokulasi ke

limfonodi regional, menyebabkan kelenjar limfe sangat lunak dan sakit yang

disebut bubo. Limfonodi khas membesar, melekat dan sangat lunak. Tempat

yang paling sering adalah lipat paha, walaupun kelenjar aksila atau servikel

mungkin terlibat (Davis, 1992).

4. Jenis – jenis pes

Penyakit pes dapat digolongkan menjadi tiga bentuk yaitu:

a. Pes bubo

Pes bubonik merupakan bentuk klasik, gejala berupa demam, sakit kepala,

menggigil dan pembengkakan pada kelenjar limfa (bubo) yang terjadi 2

sampai 6 hari setelah terinfeksi Y. pestis melalui gigitan pinjal atau luka

terbuka yang terpapar Y. pestis. Bubo umumnya ditemukan pada daerah

inguinal dan femoral. Komplikasi bakterimia atau septikimia sering terjadi

pada tipe bubonik ini. Gangguan pencernaan seperti mual, muntah dan diare

sering terjadi. Lesi kulit jarang terjadi biasanya pada tempat yang kena

infeksi saja yaitu pada luka.

b. Pes septikemik

Bentuk septikemik ditandai dengan adanya kultur darah positif hasil

pemeriksaan laboratorium, namun tidak terdapat limadenopati atau

pembengkakan jaringan limfa. Secara klinis septikemik plague mirip dengan

septikimia yang disebabkan oleh gram negatif lain. Gejala berupa demam,

menggigil, sakit kepala, lemah lesu dan gangguan pencernaan.


11

c. Pes pneumonik

Pes pneumonik merupakan bentuk infeksi Y. Pestis yang jarang terjadi tetapi

mematikan. Penyakit ini menyebar melalui tetesan atau percikan ludah dari

individu yang terinfeksi. Perkembangan penyakit ini sangat cepat, diawali

dari demam mirip flu, hingga pneumonia yang ditandai dengan batuk dan

produksi sputum berdarah. Periode inkubasi pes pneumonik satu sampai tiga

hari (WHO. 2004).

5. Diagnosis Laboratorium Pes

a. Diagnosis Laboratorium secara Bakteriologis

Diagnosis ini dilakukan secara kultur in vivo. Prosedur in vivo dilakukan

dengan menginokulasikan Y. pestis pada mencit melalui injeksi suspensi

bakteri pada bagian bawah abdomen secara subkutan. Pengujian ini

dilakukan karena kultur in vitro sering mengalami kontaminasi oleh bakteri

lain dan pertumbuhan Y. pestis lebih lambat sehingga mudah ditutupi oleh

bakteri kontaminan. Pada mencit Y. pPestis bersifat limfotropik, yaitu

bakteri ini akan berkembangbiak dengan cepat pada hati dan limfa,

sebaliknya pada kondisi yang sama tidak terjadi pada bakteri kontaminan.

Pengamatan dilakukan 3-4 hari setelah inokulasi pada jaringan hati atau

limfa. Secara makroskopis hati dan limfa terlihat membesar dan kadang-

kadang mempunyai beberapa fokus abses (Chu. 2000).

b. Diagnosis Laboratorium secara Imunologis atau Serologis

Pengujian secara imunologis untuk menegakkan diagnosis pes didasarkan

pada antibodi pes terhadap antigen F1(Fraction 1) Y. pestis. Uji untuk


12

menegakkan diagnosis pes di laboratorium meliputi: metode fiksasi

komplemen, metode aglutinasi bakteri, metode aglutinasi lateks, metode

aglutinasi yang terdiri dari hemaglutinasi pasif dan hambatan aglutinasi.

Metode aglutinasi bakteri dan fiksasi komplemen sudah tidak dilakukan

untuk menegakkan diagnosis pes karena adanya reaksi non spesifik, metode

yang masih digunakan adalah aglutinasi lateks, aglutinasi yang terdiri dari

hemaglutinasi pasif (PHA = Passive Haemagglutination Assay), hambatan

aglutinasi (HI = Haemagglutination Inhibition) dan Enzyme Linked

Immunosorbent Assay (ELISA) atau disebut juga Enzyme Immuno Assay

(EIA) (Chu, 2000).

Metode heamaglutinasi pasif dan hambatan aglutinasi menggunakan sel

darah merah kambing (Goat Red Blood Cells = GRBC) sebagai partikel

pembawa (carrier) disensitisasi dengan antigen F1 Y. pestis (sensitized

Goat Red Blood Cells = sGRBC) dengan sampel serum tikus sebagai hospes

perantara. Sel darah merah kambing sebagai partikel pembawa hanya dapat

bertahan selama 3 bulan (Chu. 2000).

6. Epidemiologi pes

a. Penyebaran pes

Menurut Tikhromirov (1999) daerah pes secara alami meliputi daerah tropis

dan sub tropis dan sebagian kecil kawasan yang lebih hangat pada kisaran

antara 550 LU dan 400 LS. Pertambahan yang luar biasa dari kehadiran suatu

penyakit dalam populasi hewan (Epizootik) ini terjadi selama musim panas

yang panjang, cuaca kering, lembab dan ketika suhu rata-rata harian > 30 0
13

Kondisi cuaca yang falkutatif (tidak menentu) berpengaruh terhadap

kehidupan tikus. Penyebaran penyakit pes sangat luas meliputi negara-

negara berkembang dan negara maju. Pandemi pes pertama kali dikenal

sebagai Yustinian plague yang pada abad XIV hampir sepertiga populasi

Eropa meninggal. Pandemi terjadi di Asia, Afrika dan pada abad XX pes

masuk ke Amerika oleh tikus yang terbawa kapal-kapal melalui pelabuhan

yang ada di sepanjang pesisir San Francisco, Amerika Serikat. Di daerah

endemik pes Amerika Serikat dilaporkan pes rata-rata 18 kasus pertahun

(Davis, 1992). Menurut WHO dalam Ristiyanto (2014) dilaporkan dalam

periode tahun 1979 – 1995 kasus pes di Benua Afrika total kasus 9.120

penderita (CFR = 13,73%), Benua Amerika total kasus 2.508 penderita

(CFR = 6,57%) dan di Benua Asia termasuk Indonesia total kasus 4.707

penderita (CFR = 5,38%).

b. Agent pes (Yersinia pestis).

Yersinia pestis termasuk genus Yersinia, famili Enterobacteriaceae. Genus

Yersinia mempunyai 11 spesies, tiga diantaranya patogen pada manusia

yaitu Y. pestis, Y. pseudotuberculosis, Y. enterocolitica. Bakteri Y. pestis

bersifat gram negatif, ukuran 1,5-2 x 0,5-0,7 µm, bipolar dengan pewarnaan

Giemsa, Wright atau Wayson, tidak bergerak, tidak membentuk spora. Y.

pestis dapat tumbuh pada temperatur 40 C sampai 400 C, temperatur

optimum pada 280 C, pH yang optimum 7,2 – 7,6 tetapi dapat bertahan

hidup pada pH 5 – 9,6 (Perry dan Fetherston, 1997 dalam Novi Hendri

2009).
14

Yersinia pestis pada temperatur 370 C membentuk suatu kapsula seperti

gelatin dipertunjukkan dan diekskresikan oleh permukaan sel pada medium

atau hospes selama infeksi atau peradangan (Carniel dan Hinnebusch, 2004

dalam Novi Hendri ,2009).

c. Vektor pes

Vektor pes adalah pinjal (flea) yang hidup sebagai ektoparasit pada tikus.

Pinjal termasuk ordo Siphonaptera, berukuran panjang 1,5 – 4 mm, pipih

bagian samping (dorsa-lateral), kepala, toraks dan abdomen terpisah jelas,

dilengkapi dengan banyak bulu kaku yang mengarah ke belakang, tidak

bersayap, berkaki panjang terutama kaki belakang, bergerak aktif diantara

rambut inang, dapat meloncat dan berwarna coklat muda atau tua

(Ristiyanto et al., 1999).

Gambar 1. Morfologi pinjal betina (referensi???)


15

Siklus hidup pinjal terdiri dari 4 tahap yaitu telur-larva-pupa-dewasa. Telur

pinjal sangat kecil, berbentuk oval, berukuran 0,4-0,5 mm, berwarna putih

dan menjelang menetas berwarna kuning kecoklatan (James dan Harwood.

1966 dalam Novi Hendri, 2009).

Gambar 2. Siklus hidup pinjal (referensi…)

Dalam siklus hidup pinjal dari telur sampai dewasa membutuhkan waktu 18

hari sampai 20 bulan, telur menetas dalam waktu 3 – 18 hari, larva

membutuhkan kelembaban tinggi dan membutuhkan waktu 9 – 15 hari

bahkan sampai 200 hari, pupa membutuhkan waktu 7 hari sampai 1 tahun

dan dewasa bisa bertahanan hidup lebih dari 4 tahun (Ristiyanto et.all,

2014).

7. Jenis pinjal tikus yang berperan dalam penularan pes

Kelompok pinjal tikus yang berperan di bidang kesehatan adalah dari famili

Pulicidae, jenisnya meliputi Tunga penetrans, Ctenocephalides felis,

Ctenocephalides canis, Pulex irritans, Xenopsyla cheopis, X. Astia dan X.

Brasiliensis.
16

Kriteria yang sering digunakan untuk menentukan jenis pinjal meliputi jumlah

deret bulu pada abdomen bagian dorsal, ada atau tidak adanya mata, ada atau

tidaknya sisir genal dan pronotal, jumlah sisir genal atau pronotal, bentuk

antena, bentuk spermateka pada betina, bentuk terminalia pada jantan dan

struktur mesopleuraon. Karena pinjal merupakan serangga yang kecil, maka

untuk melihat ciri – ciri tersebut dengan jelas dalam identifikasi, pinjal perlu

dibersihkan dengan larutan kimia tertentu. Menurut Muslimin (2015) yaitu:

a. Pinjal tikus rumah (Xenopsylla cheopis Rothschild, 1903)

Xenopsylla cheopis (Gambar 3), secara sistematika pinjal ini termasuk

Kingdom Animalia, Filum Arthropoda, Kelas Insecta, Ordo Siphonaptera,

Famili Pulicidae, Genus Xenopsylla, Spesies X. cheopis (Noble & Noble,

1989). X. cheopis adalah ektoparasit dari hewan pengerat, terutama dari

Genus Rattus, seperti R. tTanezumi, R. nNorvegicus, R. exulans dan

Bandicota indica merupakan vektor untuk pes dan murine tifus. Hal ini

terjadi ketika pinjal menggigit hewan pengerat yang terinfeksi dan

kemudian menggigit manusia. Pinjal tikus oriental terkenal memberikan

kontribusi bagi black death (Sekra et al., 2010). Infestasi pinjal bahkan

pernah menyebabkan epidemi pes di daerah Boyolali, Jawa Tengah pada

akhir 1960an. Hal ini disebabkan pinjal dapat menularkan bakteri Yersinia

pestis, penyebab pes, dari tikus ke manusia (Kadarsan et al., 1986). Siklus

hidup jenis pinjal ini mengalami metamorfosis sempurna yaitu telur-larva-

pupa-imago. Larva yang baru menetas tidak memiliki tungkai. X. cheopis

mempunyai bentuk tubuh pipih bilateral, berukuran 3 mm. Seluruh tubuh


17

tertutup rambut-rambut, tipe alat mulut berupa penusuk dan pengisap.

Tungkai ke-3 berukuran lebih besar dan lebih panjang dari pada dua

pasang tungkai lainnya sehingga memungkinkannya untuk melompat.

Lompatannya sangat jauh dan tinggi dibandingkan dengan ukuran

tubuhnya (Haryono et al., 2008).

Gambar 3. Morfologi Xenopsylla cheopis, (a) kepala, (b) toraks,

(c) abdomen (Trivedi, 2003)

b. Pinjal tikus kebun (Stivalius cognatus, Traub, 1972)

Pinjal ini mempunyai sisir pronotal berjumlah 12, tanpa sisir genal, mata

sangat jelas dan bulu okuler banyak terdapat di depan mata. Pinjal ini

dominan di daerah pegunungan di Pulau Jawa. Inang utamanya tikus

kebun (Rattus exulans).


18

Gambar 4. Pinjal tikus kebun (Stivalius cognatus)

c Pinjal tikus hutan (Neopsylla sondaica, Jordan, 1931)

Jenis ini mempunyai dua sisir pronotal tanpa sisir genal dan mata sangat

jelas. Pinjal ini sangat dominan di daerah pegunungan Pulau Jawa, inang

utamanya tikus dada putih (R.attus niviventer) dan tikus pohon (R.attus

tiomanicus).

Gambar 5. Pinjal tikus hutan (Neopsylla sondaica)

8. Cara Penularan Pes

Cara penularan pes menurut Depkes RI (2008) dibagi menjadi 6 cara yaitu:
19

a. Penularan pes secara eksidental dapat terjadi pada orang – orang yang bila

digigit oleh pinjal tikus hutan infektif, ini dapat terjadi pada pekerja-

pekerja di hutan ataupun pada orang-orang yang mengadakan

rekreasi/keamping di hutan.
b. Penularan pes ini dapat terjadi pada para pekerja yang berhubungan erat

dengan tikus hutan, misalnya para Biolog yang sedang mengadakan

penelitian di hutan, saat lukanya terkena darah atau organ tikus yang

mengandung kuman pes.


c. Kasus yang umum terjadi yaitu penularan pes pada orang karena digigit

oleh pinjal infektif setelah lepas dari tikus domestik/komensal infektif.


d. Penularan pes dari tikus hutan ke tikus komensal melalui gigitan pinjal.

Pinjal yang infektif kemudian menggigit manusia.


e. Penularan pes dari orang ke orang dapat pula terjadi melalui gigitan pinjal

manusia Pulex irritans (human flea).


f. Penularan pes dari orang yang menderita pes paru-paru (pes pulmo)

kepada orang lain melalui percikan ludah (droplet).


9. Taksonomi tikus (referensi???)
Tikus termasuk familia muridae dari kelompok mamalia (hewan

menyusui). Para ahli zoology (ilmu hewan) sepakat untuk menggolongkannya

kedalam ordo Rodensia (hewan yang mengerat), sub ordo Myomorpha, family

Muridae, dan sub family Murinae. Untuk lebih jelasnya, tikus dapat

diklasifikasikan sebagai berikut :


Dunia : Animalia
Filum : Chordata
Sub Filum : Vertebrata
Kelas : Mamalia
Sub Kelas : Theria
Sub Ordo : Myomorpha
Famili : Muridae
Sub Famili : Murinae
Genus : Bandicota, Rattus, dan Mus.
20

10. Morfologi tikus

Gambar 6. Morfologi tikus

Karakteristik morfologi dari Rattus norvegicus, Rattus rattus

diardii/tanezumi Mus musculus dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 1. Morfologi Tikus

R.norvegicus R.rattus tanezumi M.musculus


Berat 150 – 600 gram 80 – 300 gram 10 – 21 gram

Kepala Hidung tumpul, Hidung Hidung


&Badan badan besar, runcing,badan runcing,badan
pendek, ukuran kecil,ukuran 16-21 cm kecil,ukuran
18 – 25 cm 6-10 cm

Ekor Lebih pendek dari Lebih panjang dari Sama atau lebih
kepala & badan, kepala& badan,warna panjang sedikit dari
warna ekor tua merata, tidak kepala& badan, tak
bagian atas lebih
21

tua daripada berambut,19 – 25 cm berambut, 7-11 cm


bagian bawah
dengan rambut
kaku pendek,
panjang ekor 16-
21 cm

Telinga Relatif kecil, Besar, tegak, tipis dan Tegak, besar untuk
separoh tertutup tak berambut 25 – ukuran hewan
bulu,ukuran 28 mm tikus,ukuran
jarang lebih dari 15 mm/kurang
20-23 mm

Bulu Bagian punggung Abu – abu Satu sub spesies


Abu-abu Kecoklatan sampai abu-abu kecoklatan
kecoklatan, kehitam-hitaman bagian
bagian perut dibagian Punggung perut,Lainnya:keab
keabu-abuan ,bagian Perut u-abuan bagian
kemungkinan putih Punggung dan
atau abu – abu,hitam putih keabu –abuan
keabua -abuan bagian perut

Sumber : Depkes RI, 2004

11. Reproduksi tikus


Tikus merupakan binatang peridi, yaitu binatang berkembangbiak relatif

sangat cepat. Perkembangbiakan tikus sangat ditunjang oleh sifat – sifat

sebagai berikut:
a. Masa bunting relatif singkat, sejak tikus kawin hingga melahirkan hanya

membutuhkan waktu 21 – 23 hari.


b. Kemampuan birahi induk muncul segera setelah melahirkan, sifat ini biasa

dikenal sebagai post partum oestrus. Dalam waktu 1 – 2 hari setelah

melahirkan, induk siap dikawini tikus jantan.


22

c. Kemampuan melahirkan sepanjang tahun, sifat ini dikenal sebagai

poliestrus. Induk melahirkan tanpa mengenal musim sehingga tidak

mengenal masa istirahat untuk bereproduksi.


d. Jumlah keturunan cukup besar, Seekor induk bisa melahirkan 3 – 12 ekor

dengan rata – rata 6 ekor per kelahiran. Tikus sawah (R. argentiventer)

mampu melahirkan 16 ekor dan uterus mampu mengandung janin sebanyak

18 ekor.
e. Cepat menjadi dewasa, setelah berumur 2 – 3 bulan, anak tikus sudah siap

melakukan perkawinan.
f. Siap kawin sepanjang tahun, tikus jantan siap kawin setiap saat terutama di

daerah tropis. Di daerah beriklim sedang dan dingin , testis tikus masuk ke

rongga perut sehingga tidak dihasilkan sperma, sehingga tikus jantan tidak

subur. Pada suatu saat populasi tikus akan menurun apabila kondisi

lingkungan tidak sesuai dengan lingkungannya, tetapi dapat pulih kembali

seperti semula, apabila kondisi lingkungan sesuai dengan kehidupannya.


Kemampuan reproduksi tersebut menunjukkan bahwa tikus mempunyai

potensi meningkatkan populasinya dengan cepat. Pertumbuhan dan

perkembangan tikus domestik relatif bervariasi tergantung jenisnya.


Perhitungan kematian tikus agak sukar dilakukan, menurut beberapa

penelitian dilaporkan bahwa angka kematian tikus rumah (R. tanezumi) per

bulan adalah 20% pada tikus jantan dan 17% pada tikus betina (Ristiyanto et

al., 2014).

12. Jenis – jenis tikus yang berperan dalam penularan pes

Jenis – jenis tikus adalah sebagai berikut :


a. Tikus Got /Rattus norvegicus (Berkenhout, 1769)
23

Panjang ujung kepala sampai ekor 300 – 400 mm, panjang ekor 170 –

230 mm, kaki belakang 42 – 47 mm, telinga 18 – 22 mm. Rumus

mamae 3 + 3 = 12. Warna rambut badan atas cokelat kelabu, rambut

bagian perut kelabu. Banyak dijumpai di saluran air/got di daerah

pemukiman kota dan pasar.

Gambar 7. Tikus Got (Rattus norvegicus)


b. Tikus Wirok / Bandicota indica ( Bechstein, 1800).
Panjang ujung kepala sampai ekor 400 – 580 mm, panjang ekor 160 –

315 mm, kaki belakang 47 – 53 mm, telinga 29 – 32 mm. Rumus

mamae 3 + 3 = 12. Warna rambut badan atas dan rambut bagian perut

cokelat hitam. Rambutnya agak jarang dan rambut dipangkal ekor kaku

seperti ijuk. Banyak dijumpai di daerah berawa, padang alang – alang

dan kadang – kadang di kebun sekitar rumah.

Gambar 8. Tikus Wirok ( Bandicota indica)


24

c. Tikus Rumah / Rattus tanezzumi (Temminck, 1844).


Panjang total ujung kepala sampai ujung ekor 220 – 370 mm, panjang

ekor 101 – 180 mm, kaki belakang 20 – 39 mm, telinga 13 – 23 mm.

Rumus mamae 2 + 3 = 10. Warna rambut badan atas cokelat tua dan

rambut badan bawah (perut) cokelat tua kelabu. Tikus ini banyak

dijumpai di rumah ( atap, kamar, dapur) dan gudang. Kadang – kadang

ditemukan pula di kebun sekitar rumah.

Gambar 9. Tikus Rumah (Rattus tanezzumi)

d. Tikus Ladang / Rattus exulans (Peale, 1848).


Panjang ujung kepala sampai ekor 139 – 365 mm, panjang ekor 108 –

147 mm, kaki belakang 24 – 35 mm, telingga 11 – 28 mm. Rumus

mamae 2 + 2 = 8. Warna rambut badan atas cokelat kelabu, rambut

bagian perut putih kelabu. Terdapat di semak – semak, kebun/lading

sayur – sayuran dan pinggiran hutan, kadang – kadang masuk ke rumah


25

Gambar 10. Tikus Ladang (Rattus exulans)

e. Tikus Belukar / Rattus tiomanicus (Miller, 1900).


Panjang ujung kepala sampai ekor 245 – 397 mm, ekor 123 – 225 mm,

kaki belakang 24 – 42 mm, telinga 12 – 29 mm. Rumus mamae 2 + 3 =

10. Warna rambut badan atas cokelat kelabu, rambut bagian perut putih

krem. Terdapat di semak – semak dan kebun/lading sayur – sayuran

Gambar 11. Tikus Belukar (Rattus tiomanicus)

f. Tikus Dada putih /Rattus niviventer (Hodgson, 1836).


Panjang ujung kepala sampai ekor 187 – 370 mm, ekor 100 – 210 mm,

kaki belakang 18 – 33 mm, telinga 16 – 32 mm. Rumus mamae 2 + 2 =

8. Berambut kaku. Warna rambut badan atas kuning cokelat kemerahan,

rambut bagian perut putih. Ekor bagian atas berwarna cokelat dan
26

bagian bawah berwarna putih. Terdapat di daerah pegunungan, semak –

semak, rumpun bamboo dan hutan.

Gambar 12. Tikus Dada putih (Rattus niviventer)

g. Tikus Sawah /Rattus argentiventer (Robinson and Kloss, 1916)


Panjang ujung kepala sampai ekor 270 – 370 mm, ekor 130 – 192 mm,

kaki belakang 32 – 39 mm, telinga 18 – 21 mm. Rumus mamae 3 + 3 =

12. Warna rambut badan atas cokelat muda berbintik – bitnik putih,

rambut bagian perut putih atau cokelat pucat. Terdapat di sawah dan

padang alang – alang.

Gambar 13. Tikus Sawah (Rattus argentiventer)

h. Mencit Rumah/Mus musculus (Linnaeus, 1758).


27

Panjang ujung kepala sampai ekor kurang dari 175 mm, ekor 81 – 108

mm, kaki belakang 12 – 18 mm, telinga 8 – 12 mm. Rumus mamae 3 +

2 = 10. Warna rambut badan atas dan bawah cokelat kelabu. Terdapat di

dalam rumah, dalam lemari dan tempat penyimpanan barang lainnya

(Linnaeus, 1758).

Gambar 14. Mencit Rumah (Mus musculus)

13. Habitat tikus


Tikus dikenal sebagai binatang kosmopolitan yaitu menempati hampir

di semua habitat. Jangkauan distribusi altitudinasi (berdasarkan ketinggian

tempat) sangat luas, dari pantai (0 m dpl) hingga puncak gunung

berketinggian lebih dari 2.000 m dpl. Sarang tikus dapat ditemukan di

pohon dengan ketinggian ± 25 m atau di dalam tanah hingga kedalaman 2

m. Hutan dengan vegetasi rapat, padang ilalang, hingga tanah berbatu yang

tidak bervegatasi dapat dijadikan sarang tikus. Lingkungan berair, seperti

rawa – rawa, got, saluran air merupakan tempat yang tidak asing bagi

tikus. Lingkungan perumahan kumuh sampai mewah dapat ditemukan

tikus yang berkeliaran atau bersarang. Bermacam – macam nama tikus

yang digunakan untuk membedakan jenis habitat misalnya tikus rumah

untuk R. tanezumi, tikus ladang untuk R. exulans, tikus sawah untuk R.


28

argentiviter, tikus got untuk R. norvegicus dan tikus belukar atau tikus

pohon untuk R. tiomanicus.


Menurut Ristiyanto et al (2014) penyebaran tikus dibedakan menjadi

tiga kelompok berdasarkan kedekatan hubungan dengan manusia yaitu:


a. Jenis Domestik (Domestic Species)
Tikus ini melakukan aktivitas hidupnya ( seperti mencari makan,

berlindung, bersarang dan berkembang biak) di dalam rumah. Jenis ini

dikenal pula sebagai tikus komensal (commensal rodent) atau

synanthropic, karena hidupnya di lingkungan pemukiman manusia.

Tikus banyak ditemui diberbagai lingkungan rumah, gudang, kantor,

pasar, selokan dan lain – lain. Tikus menyukai tempat gelap dan kotor,

seperti di atap, sela – sela dinding, sisa - sisa bangunan (material), serta

tempat sumber makanan/pakan, seperti dapur, lemari, tempat menimbu

hasil panen atau pakan ternak. Kedekatan hubungan antara tikus dengan

manusia akan sangat memudahkan terjadinya penularan penyakit,

seperti pes. Contoh tikus domestic adalah tikus rumah (R. tanezumi)

dan mencit rumah (Mus musculus).


b. Jenis Peridomestik (Peridomestic Species)
Aktivitas tikus ini sebagian besar dilakukan di luar rumah dan

sekitarnya, tetapi kadang – kadang dilakukan di dalam rumah. Jenis ini

sering dijumpai di lahan pertanian. perkebunan, sawah dan pekarangan

rumah. Tikus jenis ini misalnya tikus lading (R. exulans) tikus got (R.

norvegicus), tikus sawah (R. argentiventer), tikus wirok (Bandicota

indica) dan mencit ladang (M. cervicolor).


c. Jenis Silvatik (Sylvatic Species)
Tikus jenis ini aktivitasnya jauh dari lingkungan pemukiman manusia.

Binatang yang memakan tumbuhan liar, bersarang di hutan dan jarang


29

berhubangan dengan manusia. Jenis ini antara lain tikus dada putih (R.

niviventer) dan tikus belukar (R. tiomanicus).


Tikus peridomestik dan silvatik sering disebut sebagai jenis tikus

lapangan (field species). Jenis ini melakukan aktivitas hidupnya tidak

terbatas di lingkungan yang dikelola manusia, walaupun kadang –

kadang tinggal sementara di rumah. Dengan mobilitas tinggi, maka

tidak jarang tikus domestik ditemukan di lingkungan tikus peridomestik

dan silvatik. Begitu pula sebaliknya, bahkan jenis tikus silvatik dapat

ditemukan di dalam rumah tempat habitat tikus domestik (Ristiyanto et

al., 2014).
14. Ekologi Tikus
Tikus berinteraksi dengan lingkungan hidupnya, baik lingkungan

abiotik maupun biotik. Lingkungan abiotik yaitu lingkungan fisik dan

kimiawi yang mencakup suhu, kelembaban, cahaya dan tekstur tanah.

Lingkungan biotik bagi tikus meliputi organisme lain yang terdapat di

habitatnya seperti mikroorganisme, vegetasi dan golongan hewan lain.

Lingkungan hidup tersebut sangat menentukan struktur komunitas tikus

disuatu habitat.
15. Lingkungan abiotik meliputi:
a. Suhu dan kelembaban

Tikus mempunyai kisaran suhu relatif terbatas, batas atas lebih bersifat

mematikan daripada batas bawah. Untuk tikus di daerah tropis

perubahan suhu lingkungan yang tidak ekstrim kurang berpengaruh

terhadap perilaku binatang tersebut, namun di daerah beriklim sedang

dan dingin perubahan suhu yang sangat ekstrim mempengaruhi perilaku

biologi jenis tikus di daerah tersebut (Ristiyanto et al., 2014). Variasi


30

suhu dan kelembaban dapat mempengaruhi kepadatan Rodent sebagai

primary plague host, ini menyebabkan kepadatan pinjal juga

meningkat secara dratis, hal ini menyebabkan pinjal mencari host

alternatif seperti manusia, sehingga mempengaruhi pola penyebaran

plague pada manusia (Schmid et al., 2015 ;& Ari et al., 2011 ).

Suhu optimum bagi Yersinia pestis untuk berkembangbiak adalah antara

280C - 300C dan pH 7,2 - 7,6. Bakteri ini mempunyai kemampuan

toleransi dalam temperature 40C – 400C dan pH 5 – 9. Suhu 280C

merupakan suhu optimum tetapi kapsul tidak terbentuk sempurna. Suhu

370C merupakan suhu terbaik bagi pertumbuhan bakteri (Chu et al.

1995). Menurut Bahmanyar dan Cavanaugh (1976), suhu dan

kelembaban ideal untuk perkembangan pinjal adalah 100C – 270C dan

kelembaban 75% - 80%. Kelembaban nisbi udara adalah banyaknya

kandungan uap air yang biasanya dinyatakan dalam persen (%). Jika

udara kekurangan uap air yang besar maka daya penguapannya juga

besar. Pinjal terinfeksi mampu hidup selama 50 hari pada suhu 100C –

150C dan bila suhu 270C hanya bertahan selama 23 hari, kemudian

pinjal mati dalam keadaan infektif (Ristiyanto et all. 1999).

b. Cahaya

Bagi mata tikus sinar yang tampak terletak di kisaran 1.200 – 2.500 Å.

Oleh karena itu tikus lebih menyukai kegiatan malam (nokturnal).

Sebagai perbandingan mata manusia sinar yang tampak terletak dalam


31

kisaran 3.000 – 7.600 Å (390 – 760 mµ) sehingga manusia banyak

melakukan kegiatan pada malam hari (Ristiyanto et al., 2014).

c. Tanah

Tanah merupakan faktor penting dalam menentukan kelangsungan

hidup tikus, terutama tikus yang bersifat terestrial. Tanah merupakan

hasil dari iklim dan vegetasi, peta tipe – tipe tanah utama (zonal) dari

bumi menjadi gabungan dari iklim dan vegetasi. Apabila dilihat dari

bentuk tubuh tikus, binatang ini telah beradaptasi dengan lingkungan

tanah. Jenis tanah mempunyai kecenderungan berkaitan dengan

keberadaan vegetasi disuatu daerah, maka kemungkinan setiap jenis

tanah mempunyai komposisi jenis tikus yang berbeda.

d. Sarang

Fungsi sarang sangat berhubungan dengan pemilihan lokasi, biasanya

tersembunyi lembab dan tidak tergenang air. Jenis tikus bersarang

dalam rumah, misal mencit rumah (Mus musculus), sudut atau kotak

sudah cukup untuk ditimbun potongan kertas atau bahan pakaian yang

digunakan sebagai sarang. Tikus rumah lebih menyukai sarang di

tempat penyimpanan makanan, seperti dapur dan gudang. Tikus berada

di luar rumah membuat sarang dengan menggali lubang dalam tanah,

lubang pohon, tempat sampah dan sebagainya. Jenis tikus rumah (R.

tanezumi) membuat sarang di atap rumah, tikus ladang (R. exulans)

biasa membuat sarang di ladang ketela rambat atau jenis tumbuhan

berumbi lain (Ristiyanto et al., 2014).


32

e. Curah Hujan

Musim hujan menguntungkan bagi vegetasi untuk tumbuh dan

berkembang biak dengan baik, sehingga akan berdampak terhadap

kepadatan tikus. Dengan meningkatnya kepadatan tikus maka

kepadatan pinjal sebagai vektor pes juga akan meningkat secara dratis.

Hal ini dapat menfasilitasi terjadinya penularan plague pada populasi

hewan pengerat tersebut dan menyebabkan pinjal mencari host

alternatif termasuk manusia (Schmid et al., 2015).

Awal musim panas merupakan puncak reproduksi tikus dan pada

musim dingin tikus tidak aktif atau beristirahat sehingga pada awal

musim panas kepadatan pinjal (vector) juga tinggi, hal ini menyebabkan

prevalensi pes tinggi (Schmid et al., 2015 dan Kausrud et al., 2007).

16. Lingkungan biotik meliputi:


a. Tumbuhan/Vegetasi
Interaksi antara tumbuhan dengan tikus umumnya dipandang dari sudut

kebutuhan makanan, yaitu tikus sebagai hama tanaman. Selain itu

interaksi komensalisme adalah memanfaatkan tumbuhan untuk

bersarang atau setidaknya tumbuhan dan populasinya disukai tikus.

Menurut Harrison dan Quah (1962) dalam Ristiyanto (tahun???), tikus

menyukai vegetasi tertentu untuk habitatnya. Pemilihan jenis vegetasi

atau tumbuhan tertentu sebagai habitat tikus rupanya sangat erat dengan

iklim mikro yang disebabkan oleh vegetasi serta rasa aman dari

gangguan predator.
b. Predator
33

Sebagai makhluk hidup keberadaan populasi tikus tidak terlepas dari

adanya musuh alami (predator) seperti kucing, anjing dan ular, burung

juga termasuk predator yang kadang – kadang cukup efektif. Populasi

tikus sangat erat dengan keberadaan predator. Berbagai penyebab

turunnya populasi predator karena perburuan liar, perusakan dan

perubahan habitat yang berlangsung semakin hebat (Ristiyanto et al.,

2014).
c. Parasit dan Patogen
Selain dari predator, populasi tikus dapat menurun tajam karena parasit

dan patogen yang menginfeksinya. Beberapa jenis artropoda dan cacing

diketahui sebagai parasit pada tikus dan mencit. Artropoda biasanya

hidup di permukaan tubuh tikus, baik sementara atau menetap yang

dikenal sebagai ektoparasit dan cacing yang hidup di dalam tubuh tikus

disebut endoparasit. Ada dua kelompok ektoparasit yang hidup di tubuh

tikus yaitu serangga (kutu dan pinjal) dan acarina (caplak, tungau dan

larva tungau). Kedua kelompok tersebut mampu membunuh tikus baik

secara langsung maupun lewat penyakit yang ditularkannya. Sejumlah

pinjal tikus rumah (Xenopsylla cheopis) yang berada di sarang tikus

dapat membunuh anak tikus berumur 7 hari dalam waktu kurang dari 14

hari. Seekor pinjal dewasa yang mengandung bakteri pes (Yersinia

pestis) mampu membunuh tikus 2 – 5 hari. Oleh karena itu, apabila

terjadi wabah pes maka populasi tikus mengalami penurunan yang

sangat tajam (Ristiyanto et al., 2014).

17. Interaksi Ektoparasit dengan Tikus


34

Interaksi antara dua individu yang berlainan spesies bisa ditemukan

dalam suatu ekosistem. Interaksi bisa dikelompokkan berdasarkan untung

dan rugi antara spesies-spesies yang berinteraksi (Diba 2009). Prawasti

(2011) mengungkapkan bahwa salah satu cara mengkategorikan

keragaman interaksi antar individu adalah dengan mengamati pengaruh

suatu individu terhadap kehidupan individu lain. Pada kasus parasitisme,

suatu individu parasit diuntungkan oleh interaksi yang terjadi dan individu

yang lain (inang) dirugikan. Dalam usaha untuk mempertahankan hidup,

parasit tidak membunuh inang. Kusumamihardja (1988) menyatakan

bahwa parasitisme hanya terjadi bila salah satu spesies bergantung dan

mendapatkan makanan serta perlindungan dari spesies yang

ditumpanginya.

Kehadiran ektoparasit pada tubuh tikus dipengaruhi oleh lingkungan

meliputi habitat dan lingkungan tikus serta kesediaan makanan yang cukup

bagi tikus untuk menunjang kehidupan ektoparasit. Newey et al. (2005)

menyatakan bahwa inang berperan penting di alam dalam penentuan

kehadiran parasit. Kecocokan inang merupakan penyesuaian alami satu

jenis parasit pada satu atau beberapa inang. Parasit ini mempunyai batasan

ekologi yang sempit pada inangnya saja. Parasit selain mengganggu

kehidupan inang, juga berperan sebagai pengontrol dinamika produksi

inang.

Tikus merupakan inang yang cocok bagi beberapa spesies

ektoparasit seperti kutu, pinjal, tungau, dan caplak. Tikus dapat terinfestasi
35

oleh ektoparasit karena adanya interaksi fisik inang; interaksi dapat berupa

kontak seksual, perkelahian atau karena hidup bersama dalam satu sarang

(Rivera et al., 2003 dalam Prawasti 2011). Brown et al. (1995) melaporkan

bahwa aktivitas seksual menaikkan resiko inang tertular ektoparasit.

Kadarsan et al. (1986) mengemukakan bahwa kelompok kutu menetap

pada bagian tubuh tertentu seperti kepala dan punggung, pinjal ditemukan

dekat dengan inang, baik rambut-rambut maupun sarang inang, sedangkan

tungau menyukai daerah punggung dan perut.

Prevalensi merupakan persentase spesies ektoparasit yang

menginfestasi tikus. Prevalensi berhubungan dengan habitat dan

penyebaran inang (Pramiati, 2002). Diba (2009) mengungkapkan bahwa

intensitas merupakan derajat jenis parasit yang menginfestasi inang.

Prevalensi dan intensitas dari parasit yang menginfestasi inang merupakan

suatu pendekatan dalam pemahaman dampak parasit terhadap populasi.

Prevalensi infestasi tungau pada inang tidak selalu berkorelasi positif

dengan intensitas infestasi (Prawasti, 2011).

18. Resptivitas/Potensi terhadap penularan pes

Reseptivitas adalah kecenderungan suatu daerah atau kelompok

penduduk terjadi penularan penyakit apabila mendapat kasus impor,

reseptivitas ditentukan oleh adanya host (tikus) dan vektor (pinjal), iklim

dan kondisi ekologis yang mendukung kelangsungan hidup dan

penyebaran vektor (Depkes RI. 1995). Lingkungan pelabuhan dan alat


36

angkut yang reseptif akan menyebabkan terjadinya transmisi (penularan)

pes secara tidak langsung melalui peningkatan populasi host dan vektor.

B. Landasan Teori

Pes merupakan penyakit akut yang disebabkan oleh bakteri Yersinia pestis

yang ditularkan melalui pinjal Xenopsyla cheopis dengan reservoirnya tikus.

Kejadian pes akan meningkat apabila terjadi peningkatan kontak dengan pinjal

yang infektif yang mengandung bakteri Yersinia pestis yang dapat menularkan

penyakit pes, risiko penularan dan kontak dengan pinjal sebagai vektor pes akan

meningkat berkaitan dengan kepadatan tikus dan pinjal yang meningkat.

Sedangkan kepadatan tikus dan pinjal berhubungan langsung dengan faktor

lingkungan baik abiotik (suhu, kelembaban, curah hujan, tataguna lahan dan

bangunan) dan biotik (vegetasi/tumbuhan, predator). Cepatnya adaptasi tikus

dengan lingkungan dan tingginya arus perdagangan barang dan jasa. Transportasi

lewat pelabuhan antar wilayah menjadikan pelabuhan reseptif terhadap penularan

penyakit pes, karena penyakit pes bisa masuk ke pelabuhan – pelabuhan lewat

kapal – kapal yang merapat ke dermaga, baik yang berasal dari dalam negeri

maupun luar negeri yang dapat membawa host, vektor yang terinfeksi bakteri

Yersenia pestis sebagai agent pes.


37

C. Kerangka Teoritis

Lingkungan Abiotik:
Suhu
Kelembaban
Curah hujan
pH
Cahaya
Tanah
Air Uji Bakteriologis Uji Serologis
Sarang
Bencana alam

Lingkungan Biotik:
Vegetasi/tumbuhan Kepadatan Tikus Potensi penularan Pes di
Predator Pelabuhan Banten
Indeks Pinjal
Parasit
Patogen

I
Jenis Tikus dan
Ektoparasit
Uji Bio Molekuler (PCR)

Jenis Habitat
Gambar 15. Kerangka teoritis
38

D. Kerangka Konsep

Lingkungan Abiotik:
Suhu
Kelembaban
Curah hujan

Lingkungan Biotik:
Vegetasi
Predator Kepadatan Tikus Potensi penularan pes di
Pelabuhan Banten
Indeks Pinjal

Jenis Habitat

Jenis tikus

Ektoparasit pinjal???

Gambar 16. Kerangka konsep


39

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian diskriftif analitik dengan

rancangan study cross sectional melalui pendekatan ento-epidemiologis. Jenis

penelitian ini adalah penelitian terapan, hasil penelitiannya berupa informasi yang

akurat tentang spesies dan kepadatan tikus, ektoparasit (pinjal) serta faktor

lingkungan yang mempengaruhinya.

B. Variabel Penelitian

Sebagai variabel bebas pada penelitian ini adalah habitat dan lingkungan

yang berpengaruh langsung terhadap kepadatan tikus dan indeks pinjal.

Sedangkan variabel terikat adalah kepadatan, tikus dan indeks pinjal.

C. Populasi dan Sampel

Populasi adalah semua tikus dan ektoparasit (pinjal) yang ada di sekitar

lokasi penangkapan tikus. Sampel adalah tikus dan ektoparasit (pinjal) yang

berhasil tertangkap dan ditemukan pada saat penelitian dengan besar sampel

semua jenis tikus dan ektoparasit yang tertangkap di habitatnya di daerah

penelitian. Variabel yang akan ditelit i meliputi jenis t ikus da n ektoparasit

(pinjal), spesies pinjal, indeks pinjal umum, indeks khusus pinjal serta

persentase t ikus terinfestasi. Variabel t ikus meliputi spesies t ikus, trap


40

success dan jenis kelamin.

Besar sampel tikus dan pinjal mengacu pada jumlah minimum tikusrodensia

untuk mendapatkan indeks pinjal yang representatif (Schwan, 1984), yaitu 15 ekor

tikus per periode penangkapan (2-4 hari). Sampel tikus dan pinjal dipilih secara

“haphazard” yaitu tikus yang tertangkap dari populasi di pelabuhan, sedangkan

sampel pinjal berasal dari tikus yang tertangkap.

D. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di daerah perimeter dan buffer pelabuhan Merak

Banten yang mempunyai perbedaan habitat (kantor, kantin/rumah makan dan

perumahan penduduk).

E. Waktu Penelitian

Penelitian ini direncanakan akan dilakukan pada bulan Februari sampai

April 2016.

F. Definisi Operasional

1. Jenis habitat adalah jenis/tipe tempat bertumbuh dan berkembangbiak tikus

dan ektoparasitnya seperti rumah, kantin, kantor, gudang, sawah, kebon dan

lain – lain, skala data: nominal

2. Vegetasi adalah semua jenis tanaman atau tumbuhan yang ditemukan di

sekitar tempat pemasangan perangkap tikus (lokasi penelitian) yang

diidentifikasi menurut jenisnya, skala data: nominal


41

3. Predator adalah semua jenis hewan pemangsa tikus yang berada di lokasi

penelitian yang diobservasi dan diidentifikasi menurut jenisnya, skala data:

nominal (satuan:ekor)

4. Reseptivitas/potensi adalah kecenderungan suatu daerah (pelabuhan) atau

kelompok penduduk meneruskan penularan penyakit bila mendapat kasus

impor, hal ini ditentukan oleh adanya vektor, iklim dan kondisi ekologis yang

mendukung kelangsungan hidup dan penyebaran vektor, skala data: nominal

(Depkes RI, 1995).

5. Kepadatan vektor adalah kepadatan relatif vektor yang diukur berdasarkan

Indeks Umum Pinjal (IUP) dan Indeks Khusus Pinjal (IKP) serta trap succes.

Dengan melakukan penangkapan hidup.

6. Persentase keberhasilan penangkapan tikus (trap succes) yaitu jumlah tikus

semua jenis yang tertangkap oleh perangkap tikus hidup dipasang dalam satu

periode (2-4 hari) dibagi jumlah perangkap yang dipasang dikalikan dengan

persen, skala data: ordinal (Sub. Dit. Zoonosis, 1999). Trap success > 7%

tinggi dan < 7% rendah (Hadi dkk, 1991).

7. Indeks umum pinjal adalah jumlah seluruh pinjal yang dikumpulkan (tanpa

menghiraukan jenisnya) dibagi dengan jumlah keseluruhan inang jenis Y

yang diperiksa, skala data: ordinal (Ristiyanto et al., 2014). Indeks umum

pinjal ≥ 2 dikatakan tinggi dan < 2 rendah

8. Indeks khusus pinjal adalah jumlah pinjal jenis A terkumpul dari inang jenis

Y dibagi dengan jumlah individu – individu jenis inang Y yang diperiksa,


42

skala data: ordinal (Ristiyanto et al.,2014). Indeks khusus pinjal ≥ 1 tinggi

dan < 1 rendah

9. Prosentase inang terinfestasi adalah jumlah inang jenis Y terinfestasi pinjal

jenis A dibagi dengan jumlah total inang jenis Y diperiksa dikalikan dengan

100, skala data: ordinal (Ristiyanto et al.,2014). Prevalensi ≥ 30% tinggi dan

< 30% rendah.

10. Tataguna lahan/bangunan adalah keberadaan lahan disatu kesatuan

epidemiologis di wilayah pelabuhan (pekarangan/terminal penumpang,

dermaga, gudang, gudang dan rumah). Diukur berdasarkan proporsi tataguna

bangunan lahan dibandingkan dengan luas wilayah/pelabuhan, skala data:

nominal (Supriyanto, 2006).

11. Bangunan/Perumahan adalah suatu tempat sehari-hari yang dipergunakan

masyarakat pelabuhan untuk beraktivitas dan untuk tinggal termasuk area

pergudangan, kekedapan bangunan terhadap tikus berdasarkan konstruksi

bangunan tersebut terhadap bebasnya tikus keluar masuk bangunan (rodent

proof), skala data: nominal (Supriyanto, 2006).

12. Data meteorologi adalah suatu data tentang keadaan cuaca yang meliputi

curah hujan, kelembaban udara dan suhu udara yang mempengaruhi

perkembangbiakan serta keberadaan vektor di pelabuhan.

13. Suhu udara adalah suhu minimum dan maksimum udara yang berada di

lokasi penelitian yang diukur dengan thermometer minimum-maksimum,

skala data: interval (satuan: 0C).


43

14. Kelembaban udara adalah kelembaban relatif pada lokasi penelitian yang

diukur pada saat penangkapan tikus dengan hygrometer, skala data: ratio

(satuan: %).

15. Curah hujan adalah besaran volume air yang turun ke permukaan bumi setiap

satuan waktu pada wilayah tertentu yang berpengaryh terhadap keberadaan

tikus dan pinjal dan tergantung pada jenis, derasnya dan jumlah hari hujan,

skala data: ratio (satuan: mm/hari).

16. Alat transportasi laut adalah semua alat apung atau sarana apung yang berada

di atas air dan mempunyai kecepatan ( Pelindo I ). Jenis kapal dikatagorikan

sebagai kapal kargo, tugboat, penumpang, tanker yang kepadatannya dilihat

dari proporsi kunjungan ke pelabuhan dan kompatemen kapal, skala data:

nominal.

17. Perimeter yaitu wilayah pelabuhan yang berjarak 100 meter dari dermaga

atau biasanya dibatasi dengan pagar pembatas

18. Buffer yaitu daerah pelabuhan yang merupakan penyangga pelabuhan yang

berjarak 400 meter dari dermaga.

19. Pemukiman kumuh yaitu pemukiman dengan tingkat hunian dan kepadatan

yang sangat tinggi, bangunan tidak teratur, kualitas rumah yang sangat rendah

dan tidak memadai prasarana dan sarana dasar seperti air minum, jalan, air

limbah dan sampah.


44

20. Endemis yaitu penyakit atau infeksi sering berada di dalam populasi manusia

di dalam suatu daerah geografis yang telah ditentukan.

21. Enzootik yaitu penyakit atau infeksi yang sering berada di dalam populasi

hewan pada suatu daerah geografi yang ditentukaan.

G. Alat dan Bahan

Adapun alat dan bahan yang digunakan untuk penelitian ini meliputi:

1. Alat dan bahan untuk pengambilan sampel tikus meliputi:

a. Perangkap hidup tikus dari kawat (live trap)

b. Kantong kain

c. Timbangan

d. Penggaris besi ukuran 15 cm dan 60 cm

e. Kantong plastik

f. Kertas label

g. Kapas

h. Kloroform

i. Umpan (kelapa bakar & keju)

j. Formulir data

2. Alat dan bahan untuk pengambilan sampel ektoparasit meliputi:


45

a. Nampan putih, 40 x 25 x 6 cm

b. Sisir dan sikat

c. Pinset halus

d. Kuas kecil (kuas gambar)

e. Botol kecil, 5 cc

f. Label kertas

g. Obyek glass/ Slide

h. Deck glass/ Gelas penutup)

i. Aquadest

j. KOH 10%

k. Asam asetat

l. Balsem kanada/Etelen

m. Mikroskop

3. Lain – lain:

a. Buku catatan

b. Alat tulis

c. Kertas lap
46

d. Plastik alas

e. Thermohygrometer

f. Sarung tangan

g. Masker

h. Kendaraan roda 4

H. Jalannya Penelitian

1. Tahap persiapan meliputi:

a. Permohonan ijin penelitian dari Pengelola Program Studi Ilmu

Kedokteran Tropis dan Komisi Etik Fakultas Kedokteran UGM.

b. Permohonan ijin penelitian dari Dinas Kesehatan Kota Cilegon

c. Permohonan ijin penelitian dari Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas II

Banten

d. Permohonan ijin penelitian dari Kantor ASDP Merak Banten

e. Persiapan Sumber Daya Manusia (SDM), alat dan bahan penelitian

2. Tahap pelaksanaan

a. Penangkapan tikus

Ada berbagai cara untuk menangkap tikus, ini menunjukkan adanya

berbagai kesulitan yang dihadapi manusia untuk menangkap atau

mengendalikan populasinya dengan efek samping sekecil mungkin. Untuk


47

keperluan penelitian di bidang ekologi, biologi dan pemantaun penyakit

bersumber tikus ada beberapa macam perangkap antara lain : live trap

(perangkap hidup, tikus yang tertangkap dalam keadaan hidup), break-

back trap atau snap trap (perangkap mati, tikus yang tertangkap akan

cepat mati), sticky-board trap (perangkap berperekat, tikus yang

tertangkap berada dalam keadaan melekat pada dasar), gin trap (perangkap

yang berupa jerat), dan pit fall trap (perangkap yang berupa lubang

jebakan). Diantara perangkap tersebut yang banyak digunakan dalam

penelitian adalah live trap.

Penangkapan tikus menggunakan live trap (peangkap kawat), dilakukan 5

hari berturut-turut (2-4 hari) setiap satu kali survei, selama penelitian

direncanakan 2 kali penangkapan untuk masing-masing lokasi. Jumlah

perangkap tikus yang dipasang sebanyak 100 - 200 perangkap untuk setiap

habitat. Penangkapan tikus dilakukan dengan memasang perangkap pada

sore hari mulai pukul 16.00 WIB kemudian perangkap diambil esok

harinya antara pukul 06.00 – 09.00 WIB. Untuk penangkapan tikus,

diperlukan minimal dua perangkap tiap area luasnya 10 m2 dengan pintu

perangkap saling bertolak belakang. Peletakkan perangkap yang tepat

sangat penting untuk memperoleh hasil yang maksimal. Pada dasarnya

perangkap diletakkan di tempat yang diperkirakan sering dikunjungi tikus,

misalnya dengan melihat bekas telapak kaki, kotoran. Pada lingkungan

rumah, perangkap diletakkan di dapur rumah. Untuk memikat masuknya

tikus ke dalam perangkap, dipasang umpan seperti kelapa bakar, ikan asin
48

dan mentega/keju (Ristiyanto dkk, 2014). Menurut Nurisa, 1996 untuk

wilayah pelabuhan yang paling efektif yaitu kelapa bakar. Perangkap

dibiarkan di tempat selama 2–3 hari, tetapi setiap hari perangkap harus

diperiksa. Perangkap yang kosong dibiarkan selama 3 hari. Apabila pada

perangkap tertangkap binatang lain seperti cecurut, garangan, tupai dan

lain-lain, perangkap harus segera dicuci bersih dan disikat.

Perangkap yang telah didapati tikus/binatang lain seperti tertulis diatas

setelah diambil diganti dengan perangkap baru atau perangkap yang

dipasang sebelumnya namun telah dicuci dan dijemur. Selanjutnya

perangkap yang telah berisi tikus diberi label dengan mencamtumkan

tanggal, bulan, tahun, tempat (atap, dapur, kebun, jenis pohon, dan

sebagainya) serta kode lokasi daerah penangkapan. Setiap perangkap

kemudian dimasukkan ke dalam sebuah kantong kain yang cukup kuat.

Kantong kemudian dibawa ke laboratorium lapangan untuk diproses

tikusnya. Tikus yang tertangkap masih berada di dalam kantong,

dipingsankan dengan dibius dengan klorofom atau atropin dosis 0,02 –

0,05 mg/Kg berat badan tikus dilanjutkan Ketamin HCL dosis 50 – 100

mg/Kg berat badan tikus dengan cara menyuntikkan pada otot tebal

bagian paha tikus. Selanjutnya dilakukan identifikasi dan pemberian label

dengan keterangan sebagai berikut : Nama jenis, Lokasi/habitat, Tanggal

(hari,bulan,tahun).
49

b. Identifikasi tikus
Ukuran standar untuk identifikasi tikus adalah panjang total badan dan

ekor, yaitu dari ujung hidung sampai ujung ekor (PT), panjang ekor dari

pangkal sampai ujung (panjang ekor = PE), panjang telapak kaki belakang,

dari tumit sampai ujung kuku (K), panjang telinga dari pangkal sampai

ujung daun telinga (T) dan penimbangan berat badan. Semua ukuran badan

tikus dalam literature ilmu binatang diutarakan dalam unit sistem metrik,

paling lazim dalam millimeter (mm), untuk ukuran linear dan untuk bobot

dalam gram (g).


Konsistensi dan warna rambut badan dan ekor tikus penting dalam

identifikasi tikus. Tikus mempunyai dua macam rambut, yaitu rambut

pengawal (guard hair) dan rambut bawah (under fur). Rambut pengawal

ada yang berbentuk seperti duri, biasanya pangkal rambut melebar dan

ujungnya menyempit (tikus kebun/ R. exulans, Maxomys, Nivivinter).

Rambut yang tidak berbentuk duri, lebar pangkal dan ujung rambutnya

hampir sama (tikus wirok/ Bandicota indica, tikus got/ R. norvegicus).

Konsistensi rambut pengawal bentuk duri kasar atau kaku seperti pada

maxomys bartelsi, atau rambut pengawal bentuk duri tidak sama panjang,

misalnya tikus rumah (R. tanezumi).


Warna rambut punggung dan perut serta warna ekor bagian atas dan bawah

tikus terkadang berbeda sangat nyata sehingga sangat penting untuk

identifikasi. Misalnya pada tikus pohon (R. tiomanicus), rambut punggung

berwarna cokelat tua, rambut perut berwarna putih krem. Demikian pula

tikus dada putih (Niviventer bukit) mempunyai ekor bagian atas berwarna

gelap (cokelat kehitaman) dan bagian bawah berwarna terang (putih).


50

Tikus betina mempunyai organ mamae (kelenjar susu) yang tumbuh baik

dan menghasilkan air susu untuk memberi makan anak – anaknya.

Kelenjar susu berjumlah 4 – 6 pasang dengan putting tampak jelas,

tergantung dari jenis tikus. Tikus rumah (R. tanezumi) mempunyai

kelenjar/putting susu 10 dengan rumus 2 + 3 = 10, yaitu dibagian dada 2

pasang dan bagian perut terdapat 3 pasang.


Ciri lain yang penting untuk membedakan jenis tikus adalah bagian

tengkorak dan bentuk giginya. Ukuran tengkorak tikus besar, sedang dan

kecil sangat berbeda. Selain ukuran tengkorak, kedudukan foramina

incisivum terhadap molar pertama rahang atas dan berbagai posisi palatum

belakang terhadap geraham terakhir atas, serta lempeng zigomatik. Bentuk

dan susunan gigi tikus juga berbeda sehingga juga digunakan sebagai

kunci identifikasi jenis tikus (Ristiyanto et al, 2014).


c. Identifikasi ektoparasit (pinjal)

Data ektoparasit (pinjal) tikus didapatkan dengan cara tikus yang

telah dilemaskan (dibuat pingsan) kemudian disikat atau disisir di atas

nampan putih. Ektoparasit pinjal yang terkumpul di nampan dimasukkan

ke dalam botol vial berisi KOH 10 % direndam selama 24 jam, selanjutnya

dimasukkan ke dalam aquadest selama 5 menit, kemudian dimasukkan ke

dalam Asam asetat selama ½ jam (30 menit). Pinjal yang sudah terlihat

transparan diambil diletakkan di atas obyek gelas diatur sedemikian rupa

sehingga terlihat pada bagian samping, kaki – kaki diatur menghadap ke

atas dan kepala mengarah kesebelah kanan, setelah tertata rapi ditetesi

dengan etelen dan ditutup dengan deck glass selanjutnya diidentifikasi


51

(Ristiyanto dkk, 2004). Identifikasi ektoparasit (pinjal) tikus menggunakan

buku kunci identifikasi pinjal dari Depkes RI, kemudian dihitung nilai

Indeks pinjalnya.

I. Analisis Data

Untuk menghitung prosentase keberhasilan penangkapan tikus dengan

menghitung kepadatan tikus relatif dengan rumus dari Ristiyanto (2014) yaitu

menentukan jumlah tikus tertangkap dibagi dengan jumlah periode penangkapan

dibagi dengan jumlah perangkap yang digunakan dikali 100. Dan untuk indeks

pinjal ada 2 yaitu:

1. Indeks khusus pinjal yaitu Jumlah pinjal jenis A terkumpul dari inang jenis Y

dibagi dengan jumlah individu – individu jenis inang Y yang diperiksa dikali

100 memberikan indeks presentase.

2. Indeks umum pinjal yaitu jumlah seluruh pinjal yang dikumpulkan (tanpa

menghiraukan jenisnya) dibagi dengan jumlah keseluruhan inang jenis Y yang

diperiksa.

Analisis kesamaan untuk mengetahui perbedaan atau kesamaan variasi

komposisi kepadatan tikus dan indeks pinjal di berbagai habitat dengan

menggunakan uji Chi-square (α = 0,05).

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


52

A. Hasil Penelitian

1. Gambaran Lokasi Penelitian

a. Pelabuhan Merak Banten

Gambar 17. Peta lokasi pemasangan perangkap tikus (perangkapnya diletakkan

dimana???)

Pelabuhan Merak Banten secara administrtif terletak di Kecamatan Pulo

Merak Kota Cilegon Banten. Pelabuhan Berdasarkan letak geografisnya,

Kota Cilegon berada dibagian paling ujung sebelah Barat Pulau Jawa dan
53

terletak pada posisi : 5°52'24" - 6°04'07" Lintang Selatan (LS), 105°54'05" -

106°05'11" Bujur Timur (BT).

Berdasarkan topografi dan klimatologi wilayah penelitian berupa pantai

dengan ketinggian di atas permukaan laut antara 0 – 5 mdpl. Pelabuhan

Merak mempunyai iklim tropis dengan suhu rata – rata 22 0 C – 330 C, curah

hujan maksimum terjadi pada bulan Desember – Februari dan minimum

pada bulan Juli – September , sedangkan kelembabannya antara 72% - 85%.

(BMKG Banten, 2015).

Tabel 2. Karakteristik lokasi penelitian

No Variabel Satuan Keterangan


1 Luas wilayah Ha 15
2 Ketinggian mdpl 0-5

3 Curah hujan (rata-rata) Mm 108,8


0
4 Suhu udara (rata-rata) C 27,3

5 Kelembaban(rata-rata) % 79

6 Topogarafi - pantai
Sumber ; BMKG Banten 2015

b. Tataguna lahan

Pelabuhan Merak mempunyai luas wilayah 15 Ha untuk area perimeter yang

meliputi dermaga (5 dermaga), kantong parkir, perkantoran,taman dan

kantin (rumah makan) sedangkan untuk wilayah buffer 1 Ha yaitu

perumahan penduduk.

2. Hasil penangkapan tikus dan pinjal


54

a. Penangkapan tikus dan cecurut di wilayah pelabuhan Merak Banten

Pemasangan perangkap tikus yang dilakukakn di wilayah pelabuhan Merak

Banten baik daerah perimeter maupun daerah buffer dilakukan pada habitat

kantor, kantin/rumah makan dan perumahan penduduk dengan perangkap

tikus sebanyak 300 perangkap hidup (live trap), didapatkan jenis tikus yang

tertangkap yaitu R.attus tanezumi, R.attus norvegicus dan Mus musculus

serta Suncus murinus.

Tabel 3. Hasil penangkapan tikus dan cecurut di pelabuhan Merak Banten


( Februari – April 2016)

No Jenis Jml tikus dan cecurut Total %


Perimeter Buffer

Kantor Kantin Perumahan


J B Jml J B Jml J B Jml
1 R. tanezumi 3 5 8 2 7 9 4 10 14 31 36

2 R. norvegicus 0 0 0 10 6 16 12 14 26 42 49

3 M. musculus 0 2 2 0 0 0 1 1 2 4 5

4 S. murinus 0 1 1 0 5 5 0 3 3 9 10

Total 3 8 11 12 18 30 17 28 45 86 100

Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa tikus dan cecurut yang

tertangkap di habitat Kantor sebanyak 11 ekor, tertinggi R.attus tanezumi 8

ekor (72,7%) dan berdasarkan jenis kelamin betina tertinggi 8 ekor (72,7%), di

habitat Kantin tikus dan cecurut tertangkap sebanyak 30 ekor, tertinggi R.attus

norvegicus 16 ekor (53,3%), berdasarkan jenis kelamin, tertinggi betina 18

ekor (60%), dan habitat Perumahan tikus dan cecurut tertangkap sebanyak 45
55

ekor, tertinggi R.attus norvegicus 26 ekor (57,8%), jenis kelamin tertinggi

betina 28 ekor (62,2%). Menurut wilayah, wilayah perimeter tikus dan cecurut

yang tertangkap sebanyak 41 ekor, tertinggi R.attus tanezumi 17 ekor (41,5%),

dengan jenis kelamin tertinggi betina 26 ekor (63,4%), sedangkan wilayah

buffer tikus dan cecurut yang tertangkap sebanyak 45 ekor, tertinggi R.attus

norvegicus 26 ekor (57,8%), jenis kelamin tertinggi betina 28 ekor (62,2%).

Di Pelabuhan Merak Banten tikus dan cecurut yang tertangkap sebanyak 86

ekor yang paling banyak jenis Rattus norvegicus 42 ekor (49%), habitat yang

paling banyak ditemukan tikus yaitu habitat perumahan (buffer) sebanyak 45

ekor (52,3%) Berdasarkan jenis kelamin tikus yang tertangkap di wilayah

Pelabuhan Merak Banten yang paling banyak berjenis kelamin betina sebanyak

54 ekor (62,8%).

b. Keberhasilan penangkapan tikus (Trap succes)

Pemasangan perangkap tikus hidup (livetrap) di wilayah pelabuhan Merak

Banten sebanyak 300 perangkap dengan perincian 150 perangkap untuk area

perimeter (kantor dan kantin) dan 150 perangkap untuk area buffer (perumahan

penduduk), maka diperoleh keberhasilan penangkapan tikus (Trap succes) di

wilayah pelabuhan Merak Banten sebagai berikut

Tabel 4. keberhasilan penangkapan tikus (Trap succes) di Pelabuhan Merak


Banten (Februari – April 2016)
Wilayah/Habitat
Perimeter Buffer Total
Kantor(%) Kantin(%) Jml Perumahan(%)
Trap 13,3 33,3 23,3 28 25,7

succes
56

Menurut tabel di atas, bahwa keberhasilan penangkapan tikus (Trap succes) di

wilayah perimeter 23,3%, sedangkan wilayah buffer lebih tinggi 28%.

Di Pelabuhan Merak Banten yang tertinggi pada habitat kantin 33,3 %.

keberhasilan penangkapan tikus Trap succes) di wilayah pelabuhan Merak

Banten yaitu 25,7%.

c. Prosentase tikus terinfestasi pinjal X. cheopis di Pelabuhan Merak Banten

Setelah dilakukan penyisiran terhadap 77 ekor tikus yang tertangkap di wilayah

Pelabuhan Merak Banten selama penelitian dari bulan Februari sampai April

2016 didapatkan prosentase tikus terinfestasi pinjal X. cheopis di wilayah

Pelabuhan Merak Banten di bawah ini

Tabel 5. Prosentase tikus terinfestasi pinjal X. cheopis di pelabuhan Merak Banten


(Februari – April 2016)
Jenis tikus Perimeter Buffer
Kantor Kantin Perumahan
Tikus Tikus % Tikus Tikus % Tikus Tikus %

tertangkap terinfestasi tertangkap terinfestasi tertangkap terinfestasi


R. tanezumi 8 6 75 9 8 89 14 7 50

R. norvegicus 0 0 0 16 11 69 26 17 65

M. musculus 2 2 100 0 0 0 2 2 100

Total 10 8 80 25 19 76 42 26 62
57

Dari tabel di atas, bahwa prosentase tikus terinfestasi pinjal X. cheopis di

habitat kantor sebanyak 80%, terdiri R. Tanezumi 75% dan M. Musculus 100%.

Dan habitat kantin prosentase tikus terinfestasi pinjal X. cheopis sebanyak

76%, yang tertinggi R. Tanezumi 89%, sedangkan untuk habitat perumahan

prosentase tikus terinfestasi pinjal X. cheopis 62%, terdiri dari R. Tanezumi

50%, R. Norvegicus 65% dan M. musculus 100%. Berdasarkan wilayahnya,

prosentase tikus terinfestasi pinjal X. cheopis untuk wilayah perimeter

sebanyak 77%, tertinggi R. Tanezumi 89%, wilayah buffer prosentase tikus

terinfestasi pinjal X. cheopis 62%. Sehingga lebih rendah daripada wilayah

perimeter. Sehingga prosentase tikus terinfestasi pinjal X. cheopis di Pelabuhan

Merak Banten sebanyak 69%,

d. Indeks pinjal di wilayah perimeter Pelabuhan Merak Banten

Setelah dilakukan penyisiran terhadap tikus yang tertangkap di wilayah

perimeter Pelabuhan Merak Banten, didapatkan pinjal sebanyak 55 ekor pinjal,

selanjutnya dilakukan identifikasi pinjal dan semua pinjal (55 ekor) termasuk

spesies Xenopsylla cheopis. Sehingga didapatkan indeks pinjal seperti di bawah

ini.

Tabel 6. Indeks pinjal di wilayah perimeter pelabuhan Merak Banten


(Februari – April 2016)
Jenis tikus Perimeter

Kantor Kantin

Tikus Tikus Jml IKP IUP Tikus Tikus Jml IKP IUP
tertangkap terinfestasi pinjal tertangkap terinfestasi pinjal
58

R. tanezumi 8 6 11 1,8 1,4 9 8 19 2,4 2,1

R. norvegicus 0 0 0 0 0 16 11 22 2 1,4

M. musculus 2 2 3 1,5 1,5 0 0 0 0 0

Total 10 8 14 1,8 1,4 25 19 41 2.2 1,6

Tabel di atas menunjukkan bahwa habitat kantor mempunyai Indeks Khusus

Pinjal 1,8 dan Indeks Umum Pinjal 1,4, R. tanezumi mempunyai Indeks

Khusus Pinjal tertinggi yaitu 1,8. Sedangkan habitat kantin mempunyai Indeks

Khusus Pinjal 2,2 dan Indeks Umum Pinjal 1,6, tertinggi R. tanezumi dengan

Indeks Khusus Pinjal 2,1. Jadi di wilayah perimeter Pelabuhan Merak Banten

mempunyai Indeks Khusus Pinjal 2 dan Indeks Umum Pinjal 1,6, tertinggi

R. tanezumi dengan Indeks Khusus Pinjal 2,1.

e. Indeks pinjal di wilayah buffer pelabuhan Merak Banten

Setelah dilakukan penyisiran terhadap tikus yang tertangkap di wilayah buffer

pelabuhan Merak Banten, didapatkan pinjal sebanyak 54 ekor pinjal,

selanjutnya dilakukan identifikasi pinjal dan semua pinjal (54 ekor) termasuk

spesies Xenopsylla cheopis. Sehingga didapatkan indeks pinjal seperti berikut

ini

Tabel 7. Indeks pinjal di wilayah buffer pelabuhan Merak Banten (Februari – April
2016)
Jenis tikus Buffer

Perumahan
59

Tikus Tikus Jml IKP IUP


tertangkap terinfestasi pinjal
R. tanezumi 14 7 19 2,7 1,4

R. norvegicus 26 17 32 1,9 1,2

M. musculus 2 2 3 1,5 1,5

Total 42 26 54 2,1 1,3

Dari tabel di atas, dapat dilihat bahwa indeks khusus pinjal di wilayah

buffer/perumahan 2,1 dan indeks umum pinjal 1,3. R. tanezumi dengan indeks

khusus tertinggi 2,7 sedangkan indeks umum pinjal tertinggi M. musculus 1,5.

f. Indeks pinjal di wilayah pelabuhan Merak Banten

Tikus yang tertangkap di wilayah pelabuhan Merak Banten, disisir didapatkan

pinjal sebanyak 109 ekor pinjal, selanjutnya dilakukan identifikasi pinjal dan

semua pinjal (109 ekor) termasuk spesies Xenopsylla cheopis. Sehingga

didapatkan indeks pinjal.

Tabel 8. Indeks pinjal di wilayah pelabuhan Merak Banten


(Februari – April 2016)
Jenis tikus Pelabuhan Merak Banten

Tikus Tikus Jml IKP IUP


tertangkap terinfestasi pinjal
R. tanezumi 31 21 49 2,3 1,6

R. norvegicus 42 28 54 1,9 1,3

M. musculus 4 4 6 1,5 1,5

Total 77 53 109 2 1,4


60

Berdasarkan tabel di atas, bahwa indeks khusus pinjal di wilayah pelabuhan

Merak Banten sebanyak 2 dan indeks umum pinjalnya 1,4, berdasarkan jenis

tikus R. tanezumi mempunyai indeks khusus pinjal tertinggi yaitu 2,3.

Sedangkan untuk indeks umum pinjal tertinggi juga R. tanezumi yaitu 1,6.

Berdasarkan habitatnya indeks khusus pinjal tertinggi kantin 2,2 dan indeks

umum tertinggi juga kantin yaitu 1,6. Untuk lokasi antara perimeter dan buffer

mempunyai indeks khusus pinjal sama yaitu 2, sedangkan untuk indeks umum

pinjal wilayah perimeter 1,6 lebih tinggi daripada wilayah buffer 1,3.

3. Pengamatan lingkungan abiotik dan biotik di lokasi penelitian

a. Pengamatan lingkungan abiotik di lokasi penelitian

Hasil pengukuran yang dilakukan selama penelitian di lokasi penelitian

didapatkan suhu udara berkisar 270C sampai 300C dengan kelembaban

berkisar 82% - 85%.

b. Pengamatan lingkungan biotik di lokasi penelitian

Hasil pengamatan selama penelitian di lokasi penelitian didapatkan

predator tikus yaitu kucing, serta adanya vegetasi seperti rumput, berbagai

tanaman hias, tanaman palawija, ubi kayu, pohon beringin, petai china,

bambu dan sono keling (berkayu keras)

B. Pembahasan
61

1. Karakteristik wilayah Pelabuhan Merak Banten

Pelabuhan Merak Banten merupakan salah satu wilayah kerja kantor

kesehatan pelabuhan kelas II Banten yang terletak di wilayah Cilegon dan

berbatasan dengan selat sunda. Pelabuhan Banten melayani transportasi laut

baik dari luar negeri maupun dalam negeri dengan kepadatan sekitar 20.000

kapal/tahun. Untuk pelabuhan Merak melayani transportasi penyeberangan

dari pulau Jawa ke Pulau Sumatera atau sebaliknya baik berupa orang

maupun barang. Dengan adanya arus transportasi yang padat pelabuhan

Merak Banten dapat menjadi pelabuhan yang berpotensi sebagai pelabuhan

yang memiliki risiko terpapar dari keluar masuknya penyakit menular

potensial wabah yang terbawa dari perpindahan orang, barang maupun alat

transportasi (IHR, 2005).

Di Pelabuhan Merak Banten telah dilakukan surveilans terhadap tikus

dengan pemasangan perangkap tikus secara rutin setiap bulan di wilayah

perimeter tetapi untuk wilayah buffer belum dilakukan pemasangan

perangkap tikus. Pemasangan perangkap tikus yang dilakukan di Pelabuhan

Merak Banten belum optimal dengan angka keberhasilan penangkapan tikus

(trap succes) masih rendah, hal ini dikarenakan penggunaan perangkap tikus

yang kurang bagus seperti perangkap sudah berkarat atau perangkap tikus

yang sudah digunakan tidak dibersihkan atau dicuci dengan air panas atau

direndam pada cucian beras untuk menghilangkan lemak bekas tikus sehingga

apabila dipasang kembali tikus mau masuk perangkap. Dalam penelitian yang

peneliti lakukan dengan menggunakan perangkap yang baru dengan kualitas


62

yang bagus. Pemilihan umpan tikus yang kurang tepat atau tidak berganti –

ganti hanya menggunakan kelapa bakar dan ikan asin. Pada penelitian ini,

peneliti menggunakan umpan kelapa bakar yang dikombinasi dengan keju.

Pemasangan perangkap yang kurang tepat atau tidak pada tempatnya.Di

penelitian ini peneliti memasang perangkap di tempat yang dilalui tikus

karena tikus akan selalu melalui jalan yang biasa dilewati.

Dalam Supriyati et.al (2013) bahwa angka keberhasilan penangkapan tikus

dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu kualitas perangkap, ketepatan

pemilihan umpan, kepadatan tikus dan cara penempatan perangkap tikus yang

kurang tepat di runway tikus, karena tikus mempunyai sifat thigmotaxis yaitu

mempunyai lintasan yang sama saat mencari makan, sarang dan aktivitas

harian lainnya.

Dari hasil penangkapan tikus di wilayah pelabuhan Merak Banten

sebagian besar berjenis Rattus norvegicus, hal ini berkaitan dengan habitat

tikus di alam, seperti Rattus norvegicus yang lebih menyukai di dataran

rendah semisal pelabuhan yang banyak terdapat saluran air, selokan dan riol –

riol. Rattus tanezumi lebih menyukai habitat tidak bervegetasi sampai habitat

rumah sehingga tikus jenis ini tidak bisa dipisahkan dengan manusia

(Harison, 1962). Melihat kondisi geografis dan karakteristik pelabuhan Merak

Banten cukup kondusif untuk perkembangbiakan tikus dan pinjal, sehingga

Pelabuhan Merak Banten reseptif terhadap penularan pes.

2. Fauna Tikus
63

Hasil penangkapan tikus di wilayah pelabuhan Merak Banten didapatkan

sebanyak 77 ekor tikus dan 9 ekor cecurut (Suncus murinus). Jenis tikus

Rattus norvegicus yang paling banyak tertangkap di wilayah pelabuhan

Merak Banten sebanyak 42 ekor (49%), hal ini disebabkan kondisi

lingkungan pelabuhan Merak Banten yang banyak terdapat saluran air,

selokan dan riol – riol yang merupakan habitat Rattus novergicus, ini sesuai

dengan pendapat Berkenhout 1769 dalan Ristiyanto bahwa Rattus norvegicus

banyak dijumpai di saluran air/got di daerah pemukiman kota, pasar dan

pelabuhan. Hal ini juga sesuai dengan teori bahwa tikus Rattus norvegicus

senang bersarang dan mencari makan di saluran air kotor atau got – got

(Dharmojono, 2001). Disamping itu di wilayah pelabuhan Merak Banten

mempunyai kondisi lingkungan yang kurang terjaga kebersihannya, sehingga

sangat kondusif untuk kehidupan tikus. Menurut Brooks dan Rowe dalam

Ristiyanto menyatakan kondisi lingkungan yang kurang terjaga

kebersihannya merupakan tempat yang sesuai bagi kehidupan tikus. Selain itu

menurut Riyadi dalam Ristiyanto, pencegahan keberadaan tikus di lingkungan

sangat dipengaruhi oleh sanitasinya. Sanitasi yang dimaksud adalah

pembuangan sampah pada tempatnya dan kebersihan lingkungan.

Menurut Brooks et al, 1977 dalam Ristiyanto menyatakan bahwa jenis

tikus yang berperan sebagai reservoir pes daerah enzootik adalah jenis Rattus

norvegicus. Hal ini didukung dengan penelitian yang dilakukan di pelabuhan

Tanjung Priok dan Sunda Kelapa menyatakan bahwa Rattus norvegicus


64

merupakan jenis tikus yang berpotensi sebagai penular penyakit enzootik

yang disebabkan virus dan bakteri

Keberhasilan penangkapan tikus (trap succes) di wilayah pelabuhan

Merak Banten sebesar 25,7%, yang terdiri dari habitat kantor 13,3%, habitat

kantin 33,3% dan habitat perumahan 28% (tabel 7), trap succes wilayah

buffer 28% lebih tinggi daripada wilayah perimeter 23,3%. Hal ini

menunjukkan bahwa keberhasilan penangkapan tikus (trap succes) di wilayah

pelabuhan Merak Banten tinggi karena lebih dari 7%. Ini sesuai dengan

pendapat Hadi dkk, 1991 bahwa keberhasilan penangkapan tikus di atas 7%

dapat dinyatakan keberhasilan penangkapan tikus tinggi untuk daerah

endemis. Keberhasilan penangkapan tikus (trap succes) di wilayah pelabuhan

Merak Banten dikarena kondisi lingkungan yang kurang terjaga

kebersihannya terutama untuk habitat kantin dan perumahan. Kondisi

perumahan yang sangat padat, lembab, tidak memiliki halaman, juga kondisi

di dalam rumahnya sangat tidak tertata dengan baik, pencahayaan sangat

kurang dan jarak antara satu rumah dengan rumah lainnya sangat dekat, hal

ini menyebabkan sirkulasi udara yang tidak baik dan cenderung sangat

pengap. Dengan kondisi rumah seperti itu tidak menutup kemungkinan

berkembangbiaknya tikus disekitar rumah tinggal, dimana tikus merupakan

reservoair penyakit pes. Keberadaan tikus akan menggambarkan lingkungan

rumah yang tidak terawat, kotor, kurang pencahayaan serta adanya indikasi

kebersihan lingkungan rumah yang kurang baik (Depkes RI, 2002). Hal ini

didukung dengan penelitian yang dilakukan Arumsari, Sutiningsih dan


65

Hestiningsih (2012) bahwa kondisi lingkungan rumah yang kurang baik

bahkan buruk sangat mendukung dan cocok untuk perkembangbiakan

binatang seperti tikus.

Dalam Supriyati et.al (2013) bahwa angka keberhasilan penangkapan

tikus dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu kualitas perangkap, ketepatan

pemilihan umpan, kepadatan tikus dan cara penempatan perangkap tikus yang

kurang tepat di runway tikus, karena tikus mempunyai sifat thigmotaxis yaitu

mempunyai lintasan yang sama saat mencari makan, sarang dan aktivitas

harian lainnya

Dalam penelitian yang peneliti lakukan dengan menggunakan perangkap

yang baru dengan kualitas yang bagus. Pemilihan umpan tikus yang kurang

tepat atau tidak berganti – ganti hanya menggunakan kelapa bakar dan ikan

asin. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan umpan kelapa bakar yang

dikombinasi dengan keju. Pemasangan perangkap yang kurang tepat atau

tidak pada tempatnya.Di penelitian ini peneliti memasang perangkap di

tempat yang dilalui tikus karena tikus akan selalu melalui jalan yang biasa

dilewati.

Berdasarkan jenis kelamin tikus, didapatkan jenis kelamin betina 54 ekor

(62,8%) lebih banyak daripada jenis kelamin jantan 32 ekor (37,2%). Hal ini

sesuai dengan pendapat Priyambodo (2003), tikus betina lebih mudah

ditangkap daripada tikus jantan, karena dalam kelompok tikus, tikus betina

merupakan individu pencari makan untuk anak – anaknya, sedangkan tikus

jantan berperan sebagai penjaga sarang atau wilayah teritorialnya dari


66

serangan predator. Sehingga tikus betina lebih sering keluar sarang untuk

mencari pakan dan lebih banyak yang masuk dalam perangkap. Jumlah tikus

betina yang lebih banyak ini berpotensi untuk bertambahnya populasi tikus di

lokasi penelitian. Seekor tikus betina dapat dikawini 200 – 500 kali dalam

sekali masa subur (yang lamanya 6 jam saja). Medway juga melaporkan

bahwa Rattus tanezumi mampu kawin sepanjang tahun di Semenanjung

Malaysia. Selain itu menurut Purwanto (2006), jumlah tikus betina yang

tinggi juga dikarenakan angka kematian per bulan pada tikus jantan lebih

tinggi daripada tikus betina. Keberadaan tikus betina mempunyai potensi

untuk bertambahnya populasi tikus karena siklus reproduksi yang cepat pada

tikus. Kaitannya dengan penyakit pes, kondisi tersebut akan berpengaruh

terhadap kehidupan pinjal yang memerlukaninang sebagai tempat untuk

hidup.

3. Fauna Ektoparasit (Pinjal)

Prosentase tikus terinfestasi pinjal di pelabuhan Merak Banten sebesar

68,9%. Berdasarkan jenis tikus dan habitatnya, habitat kantor mempunyai

prosentase tikus terinfestasi pinjal tertinggi yaitu 80% dengan jenis tikus

terinfestasi pinjal tertinggi Rattus tanezumi 60%. Dan seluruh pinjal yang

ditemukan pada tikus adalah Xenopsylla cheopis, ini sesuai dengan penelitian

yang dilakukan oleh Purwanto di Pelabuhan Tanjung Emas Semarang

menyatakan bahwa seluruh pinjal yang ditemukan pada tikus berjenis

Xenopsylla cheopis. Pada umumnya Xenopsylla cheopis lebih suka pada tikus

rumah (Rattus tanezumi) karena berhubungan dengan perkembangan larva


67

pinjal yang memerlukan kondisi kering seperti pada sarang tikus rumah,

pinjal tidak dapat bertahan di tempat yang lembab dan suhu udara rendah

(Supriyati, 2013). Menurut Harwood dan James, Xenopsylla cheopis

merupakan jenis pinjal yang sangat mudah berpindah dari satu host ke host

lain baik itu sejenis maupun berbeda jenis. Ditemukan Xenopsylla cheopis

pada Rattus norvegicus menunjukkan terjadinya perpindahan pinjal dari satu

host ke host lain, dikarenakan habitat Rattus norvegicus yaitu selokan air

yang tidak memungkinkan terjadinya perkembangbiakan pinjal.

Berdasarkan indeks pinjal, dalam penelitian di wilayah pelabuhan Merak

Banten ditemukan indeks umum pinjal sebesar 1,6 dan indeks khusus pinjal

Xenopsylla cheopis 2,termasuk melebihi standar. Menurut Ristiyanto (2002)

jika indeks umum pinjal lebih dari dua dan indeks khusus pinjal lebih dari

satu untuk Xenopsylla cheopis pada tikus berpotensi menularkan pes ke

manusia.

Menurut WHO tahun 1988 dan pedoman pemberantasan pes di Indonesia

tahun 2000, suatu wilayah dikatakan waspada terhadap penularan pes jika

30% tikus dihuni pinjal (prosentase tikus terinfestasi pinjal > 30%), indeks

khusus pinjal Xenopsylla cheopis > 1 dan indeks umum pinjal > 2. Jika

memenuhi kriteria tersebut maka perlu dilakukan pengendalian.

Menurut WHO (1991) dalam Ristiyanto (2014) ada 2 unsur utama yang

perlu diperhatikan dalam pengendalian tikus yaitu meniadakan kebutuhan

hidup tikus dan membuat struktur bangunan rumah dengan bahan anti tikus.

Secara garis besar metode pengendalian tikus dapat dikelompokkan menjadi


68

empat kelompok yaitu pengendalian secara sanitasi, fisis-mekanis, biologis

atau hayati dan kimiawi (Ristiyanto, 2014).

4. Faktor ekologis dengan trap succes, prosentase tikus terinfestasi pinjal dan

indeks pinjal

a. Topografi dan Klimatologi

Penyakit pes di Indonesia pada umumnya terjadi di daerah dataran tinggi,

namun di suatu wilayah dataran rendah seperti pelabuhan mempunyai

potensi terjadi penularan pes, jika didukung dengan keberadaan tikus

terinfestasi pinjal dan indeks pinjal yang tinggi.

Pelabuhan Merak Banten mempunyai kisaran suhu harian 23,6 0C –34,60C,

kelembaban 82% - 85% dan curah hujan 88mm – 272mm (BMKG

Serang, 2016). Hujan mempengaruhi suhu dan kelembaban, daerah

pelabuhan mempunyai hujan dan panas yang relatif sama. Variasi suhu

dan kelembaban dapat mempengaruhi kepadatan rodent sebagai primary

plague host, yang menyebabkan kepadatan pinjal juga meningkat secara

dratis sehingga pinjal mencari host alternatif seperti manusia, hal ini

mempengaruhi pola penyebaran pes pada manusia (Schmid et al.,2015 &

Ari et al.,2011).

Dengan curah hujan yang relatif tinggi di pelabuhan Merak Banten, akan

berdampak pada ketersediaan air yang cukup buat kehidupan tikus, hal ini

berpengaruh terhadap dinamika populasi tikus di pelabuhan Merak

Banten. Menurut Priyambodo (1995), faktor lingkungan yang berupa

biotik dan abiotik akan mempengaruhi naik turunnya (dinamika) populasi


69

tikus. Faktor abiotik yang penting dalam mempengaruhi dinamika

populasi tikus adalah ketersediaan air untuk minum tikus. Sehingga

dengan curah hujan yang relatif tinggi di wilayah pelabuhan Merak

Banten mengakibatkan keberhasilan penangkapan tikus tinggi (25,7%).

Di pelabuhan Merak Banten diperoleh trap succes antara 13,3% - 33,3%,

indeks khusus pinjal Xenopsylla cheoipis antara 1,5 – 2,3 dan tikus

terinfestasi pinjal antara 31% - 80%. Hal ini menunjukkan bahwa trap

succes, indeks khusus pinjal Xenopsylla cheopis dan tikus terinfestasi

pinjal di wilayah Pelabuhan Merak Banten cukup tinggi melebihi dari

standar indikator sistem kewaspaan dini (SKD) pes. Ini disebabkan karena

kelembaban di pelabuhan Merak Banten 82% - 85% merupakan

kelembaban yang dibutuhkan untuk perkembangbiakan pinjal sehingga

indeks pinjal juga meningkat. Hal ini sesuai dengan pendapat Bahmanyar

dan Cavanaugh (1976), menyebutkan bahwa kelembaban ideal untuk

perkembangbiakan pinjal adalah 75% - 85%.

Penelitian di pelabuhan Merak Banten dilakukan pada musim hujan

sehingga tikus yang tertangkap cukup banyak (77 ekor) dengan

keberhasilan penangkapan tikus 25,7%, ini sesuai dengan penelitian yang

dilakukan Ima dkk (1996) di pelabuhan Tanjung Priok memperlihatkan

penangkapan tikus pada musim hujan lebih banyak dari musim kemarau,

hal ini dikarenakan tikus pada musim hujan lebih banyak berkeliaran

untuk mencari makan.


70

Menerut penelitian Horison (1962), tentang ekologis tikus menyatakan

bahwa curah hujan tinggi akan berpengaruh terhadap microclimate sarang

tikus. Sarang tikus yang mengalami perubahan microclimate akibat

perubahan iklim berpotensi menimbulkan reaksi perpindahan pinjal ke

inang lain seperti manusia. Kelembaban juga diperlukan pinjal dalam

proses metamorfosa.

b. Vegetasi dan Predator

Berdasarkan pengamatan selama penelitian di lokasi penelitian ditemukan

berbagai jenis rumput, jenis tanaman hias/bunga, tanaman palawija, petai

china, tanaman kayu keras seperti pohon beringin dan sono,. Vegetasi

dengan percabangan dekat tanah dan bergerombol dapat dijadikan sarang

tikus cukup baik (Ristiyanto, 2014). Menurut Harrison dan Quah (1962),

tikus menyukai vegetasi tertentu untuk habitatnya, pemilihan jenis

vegetasi atau tumbuhan tertentu sebagai habitat tikus rupanya sangat erat

dengan iklim mikro yang disebabkan oleh vegetasi serta rasa aman dari

gangguan predator. Hal ini didukung dengan penelitian Raharjo dan

Ramadhani (2012), menyatakan bahwa tingginya kepadatan tikus

disebabkan karena adanya tanaman sayuran dan tanaman palawija, serta

tanaman besar seperti bambu, pohon beringin, petai china dan tanaman

kayu keras yang digunakan tikus untuk bersarang dan berkembangbiak.

Berdasarkan pengamatan di lokasi penelitan ditemukan predator tikus

yaitu kucing. Keberadaan populasi tikus tidak terlepas dari adanya musuh

alami predator atau pemangsa seperti kucing, berbagai penyebab turunnya


71

populasi predator alami tikus karena perburuan liar, perusakan dan

perubahan habitat yang berlangsung semakin hebat (Ristiyanto, 2014).

5. Tata guna lahan/bangunan

Penelitian di wilayah Pelabuhan Merak Banten ada 3 lokasi/habitat

penelitian yang meliputi : kantor, kantin dan perumahan, dengan keberhasilan

penangkapan tikus (trap succes) tertinggi kantin 33,3% dan perumahan 28%.

Keberhasilan penangkapan tikus yang tinggi di kantin dan perumahan di

wilayah Pelabuhan Merak Banten ini didukung adanya faktor ketersedian

pakan dan kondisi lingkungan kantin dan perumahan yang kurang baik

sehingga sangat mendukung dan cocok untuk perkembangbiakan tikus. Hal ini

sejalan dengan penelitian yang dilakukan Arumsari dkk (2012), bahwa kondisi

lingkungan yang kuran baik atau kotor sangat mendukung dan cocok untuk

perkembangbiakan binatang seperti tikus.

Disamping itu tikus yang banyak tertangkap di wilayah pelabuhan Merak

Banten jenis Rattus norvegicus dikarenakan di wilayah Pelabuhan Merak

Banten banyak ditemukan saluran air kotor/got. Hal ini sesuai dengan teori

bahwa tikus senang bersarang dan mencari makan di saluran air kotor/got

(Dharmojono, 2001). Menurut Priyambodo (2006), Rattus norvegicus termasuk

tikus yang menghuni selokan (got), baik selokan kecil yang berada disekitar

rumah maupun selokan besar yang berada yang berada di bawah tanah di

daerah Perkotaan. Jika jenis ini tidak ada, maka tikus rumah yang

menggantikannya.
72

Hal ini menyebabkan wilayah pelabuhan Merak Banten mempunyai

potensi terjadi penularan pes. Ini sesuai laporan dari Myanmar bahwa di

wilayah pelabuhan yang berperan sebagai reservoir pes enzootik yaitu Rattus

norvegicus (Brooks et al, 1977).

6. Potensi penularan pes di wilayah Pelabuhan

Dari hasil penelitian yang dilakukan di wilayah pelabuhan Merak Banten

antara bulan Februari – April 2016 didapatkan hasil sebagai berikut:

keberhasilan penangkapan tikus 25,7%, tikus terinfestasi pinjal 68,9% dan

indeks khusus pinjal Xenopsylla cheopis 2.

Menurut Ristiyanto (disitasi Riesti, 2010), indeks umum pinjal lebih dari

dua dan indeks khusus pinjal lebih tinggi dari satu untuk Xenopsylla cheopis

pada tikus, berpotensi untuk menularkan pes ke manusia. Pada program

surveilans di bidang kesehatan indeks umum pinjal dan indeks khusus pinjal

sering digunakan untuk menduga risiko manusia tertular penyakit bersumber

tikus, seperti pes dan epizootik penyakit diantara tikus pada suatu daerah

didukung dengan pengetahuan dan informasi mengenai penyebaran inang,

vektor dan habitatnya. Untuk daerah Asia Tenggara termasuk Indonesia indeks

pinjal sebesar 1,0 atau lebih pada rodent (tikus) yang tertangkap maka dapat

menjadi ambang penularan bagi terjadinya transmisi pes ( Raharjo &

Ramadhani, 2012).

Menurut WHO tahun 1988 dan pedoman pemberantasan pes di Indonesia

tahun 2000, suatu wilayah dikatakan waspada terhadap penularan pes jika 30%

tikus dihuni oleh pinjal (tikus terinfestasi pinjal), indeks khusus pinjal
73

Xenopsylla cheopis > 1. Dan keberhasilan penangkapan tikus/trap succes lebih

dari 7% untuk daerah endemis (Hadi dkk, 1991).

Dari hasil penangkapan tikus, tikus terinfestasi pinjal dan indeks khusus

pinjal Xenopsylla cheopis di lokasi penelitian selama penelitian dibandingkan

dengan indikator Sistem Kewaspadaan Dini (SKD) pes di atas, maka wilayah

pelabuhan Merak Banten berpotensi terjadi penularan pes. Sehingga perlu

dilakukan pengendalian terhadap tikus dan pinjal di pelabuhan Merak Banten.

Adapun pengendalian tikus menurut WHO (1985) dalam Ristiyanto (2014)

ada 2 unsur utama yang perlu diperhatikan dalam pengendalian tikus di

lingkungan rumah, yaitu meniadakan kebutuhan hidup dan membuat atau

melengkapi struktur bangunan rumah dengan bahan anti tikus. Dalam

pelaksanaanya dua unsur tersebut berkaitan erat dengan pengelolaan

kebersihan lingkungan seperti pengaturan perabot rumah tangga, tempat

pembuangan sampah, saluran air, penyimpanan bahan makanan, bentuk dan

struktur bangunan serta kebiasaan dari masyarakat itu sendiri. Secara garis

besar metode pengendalian tikus ada 4 cara yaitu pengendalian secara sanitasi,

fisis – mekanis, biologis atau hayati, kimiawi dan kultur teknis.

Pengendalian pinjal yang berperan sebagai vektor ditekankan pada teknik

melindungi manusia dari gigitan atau gangguan pinjal tersebut, seperti

penggunaan bubuk berinsektisida (dusting) atau pipa berinsektisida. Selain itu

juga menggunakan pengendalian mekanis, kimia dan biologis.

C. Hambatan Penelitian
74

Dalam penelitian ini ditemukan beberpa hambatan atau keterbatasan

penelitian yaitu:

1. Kurangnya sosialisasi terhadap masyarakat wilayah pelabuhan Merak Banten

tentang pemasangan perangkap tikus.

2. Pemasangan perangkap tikus waktu penelitian musim hujan sehingga

perangkap tikus yang dipasang di luar rumah, kantor dan kantin sehingga tikus

tidak mau masuk perangkap bahkan ada perangkap yang diambil penghuninya

3. Adanya lalu lalang orang dan barang di pelabuhan Merak Banten selama 24

jam ini juga mempengaruhi tikus yang masuk perangkap.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan di wilayah pelabuhan Merak Banten,

ditemukan 3 jenis tikus yaitu Rattus tanezumi, Rattus norvegicus, Mus musculus
75

dan cecurut (Suncus murinus), dengan jenis pinjal Xenopsylla cheopis.

Keberhasilan penangkapan tikus (trap succes) di Pelabuhan Merak Banten 25,7%.

Prosentase tikus yang terinfestasi pinjal di Pelabuhan Merak Banten sebesar

68,9%, Berdasarkan indeks pinjal di wilayah pelabuhan Merak Banten Indeks

Umum Pinjal (IUP) 1,6 dan Indeks Khusus Pinjal (IKP) Xenopsylla cheopis.

Menurut habitatnya 2. Jadi tidak ada perbedaan yang bermakna antara

keberhasilan penangkapan tikus, prosentase tikus terinfestasi pinjal dan indeks

pinjal diberbagai habitat di Pelabuhan Merak Banten

Berdasarkan indikator Sistem Kewaspadaan Dini (SKD) pes, maka Pelabuhan

Merak Banten berpotensi terjadi penularan pes atau Pelabuhan Merak Banten

reseptif terhadap pes.

B. Saran

Mengingat pentingnya pelabuhan sebagai pintu masuk harus dalam kondisi

bersih dan bebas dari sumber infeksi atau kontaminasi termasuk vektor penyakit

dan reservoir, ini sesuai dengan International Health Regulation (IHR) 2005.
76

Salah satunya pelabuhan harus bebas dari tikus dan pinjal yang bertindak sebagai

vektor dan reservoir pes. Maka perlu

1. Dilakukan surveilans terhadap tikus dan pinjal secara optimal baik di wilayah

perimeter maupun buffer Pelabuhan Merak Banten, karena dari hasil penelitian

didapatkan angka keberhasilan penangkapan tikus, prosentase tikus terinfestasi

pinjal dan indeks khusus pinjal Xenopsylla cheopis sama tingginya antara

wilayah perimeter dan buffer.

2. Dalam pemasangan perangkap tikus, hendaknya menggunakan perangkap yang

berkualitas baik tidak berkarat, dan setelah digunakan perangkap tikus

sebaiknya dibersihkan dengan detergen dan dibilas dengan air panas atau

direndam dengan air cucian beras untuk menghilangkan bau lemak yang

menempel pada perangkap, sehingga apabila perangkap digunakan kembali,

tikus mau masuk perangkap.

3. Pada pemasangan perangkap, sebaiknya menggunakan umpan yang tepat,

selama ini menggunakan umpan ikan asin dan kelapa bakar. Pada penelitian ini

menggunakan umpan kelapa bakar dikombinasikan dengan keju dan

didapatkan angka keberhasilan penangkapan tikus yang cukup tinggi.

4. Penempatan perangkap tikus, selama pemasangan perangkap tikus harus tepat

yaitu sesuai jalan yang dilalui tikus, ketika tikus keluar masuk sarang dalam

mencari makan atau aktivitas harian lainnya.

5. Setiap kapal yang sandar di dermaga Pelabuhan Merak Banten diwajibkan

memasang rat guard pada tali kapal untuk mencegah tikus keluar masuk dari

kapal ke pelabuhan atau sebaliknya dari pelabuhan ke kapal


77

6. Dilakukan kerjasama baik lintas program atau lintas sektoral dalam menjaga

kebersihan lingkungan Pelabuhan terutama pengelola kantin agar menjaga

kebersihan di lingkungan kantin.

RINGKASAN

Pes merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri Yersenia

pestis. Dalam UU No. 1 tahun 1962 tentang karantina laut pes termasuk penyakit

karantina internasional yang dapat menimbulkan kejadian luar biasa. Pes masuk

ke Indonesia pada tahun 1911 melalui pelabuhan dan alat trasportasi laut yang
78

terbawa kapal pengangkut beras Myanmar melalui pelabuhan Tanjung Perak

surabaya (Simanjuntak, 2002).

Wabah pes di Indonesia terjadi di Surakarta tahun 1915, Yogyakarta tahun

1916, di Cepogo Boyolali tahun 1970 dan tahun 1987 di Tutur Pasuruan Jawa

Timur dengan CFR 83,7%. Data WHO tahun 2010 menunjukkan bahwa dari

tahun 2004 sampai 2009 terdapat kasus pes sebanyak 12.503 kasus dengan

kematian 843 orang (CFR = 6,7%), tahun 2014 dilaporkan outbreak pes di

Madagascar Afrika sebanyak 80 kasus dengan kematian 40 orang, dengan kasus

pes pulmo 2%.

Pelabuhan laut maupun udara merupakan pintu masuk bagi penularan pes,

dengan meningkatnya arus transportasi saat ini maka upaya pengamatan bukan

saja dilaksanakan di daerah fokus dan bekas daerah fokus pes tetapi pengamatan

juga dilakukan di daerah pelabuhan guna mencegah penularan pes dan menangkal

masuknya pes dari negara lain (Depkes RI, 2008).

Faktor lingkungan biotik dan abiotik mempengaruhi dinamika populasi tikus

dan ektoparaasitnya. Pada musim hujan, suhu dan kelembaban sangat cocok untuk

perkembangbiakan tikus sehungga populasi tikus meningkat yang mengakibatkan

ektoparasit meningkat pula, populasi tikus juga dipengaruhi oleh vegetasi dan

keberadaan predator (Supriyati dan Utiawan, 2013).

Kepadatan populasi tikus dan pinjal di pelabuhan dan alat transportasi

dipandang sebagai faktor yang berpengaruh langsung terhadap penularan pes dari

satu wilayah ke wilayah lain. Pelabuhan laut merupakan pintu gerbang kegiatan
79

ekonomi, lalulintas dan bersandarnya alat akut manusia, hewan dan barang yang

berpotensi sebagai faktor riiko transmisi pes (Simanjuntak, 2006).

Dalam rangka mengetahui secara dini adanya potensi penularan pes dari

rodent ke hewan lain serta pada manusia perlu adanya sistem kewaspadaan dini

(SKD). Menurut WHO tahun 1988 dan pedoman pemberantasan pes di Indonesia

tahun 2000, suatu daerah dikatakan waspada terhadap penularan pes jika 30%

lebih tikus dihuni oleh pinjal, indeks khusus pinjal Xenopsylla cheopis > 1, hasil

penangkapan tikus di dalam lebih besar daripada di luar (kepadatan tinggi > 7%).

Pelabuhan Banten merupakan pelabuhan internasional yang melayani

lalulintas laut baik dari luar negeri maupun dalam negeri, sehinggga diperlukan

pengawasan terhadap kepadatan tikus dan pinjal serta lingkungan dalam rangka

sistem kewaspadaan dini (SKD) terhadap potensi penularan pes di pelabuhan

Banten.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis tikus, kepadatan tikus, indeks

pinjal, tikus terinfestasi pinjal dan potensi penularan pes di pelabuhan Banten.

Penelitian ini merupakan jenis penelitian diskriptif analitik dengan pendekatan

cross sectional, dengan variabel bebas habitat, lingkungan biotik dan abiotik

sedangkan variabel terikat kepadatan tikus dan indeks pinjal untuk mengetahui

potensi penularan pes di pelabuhan Banten.

Populasi penelitian ini adalah semua tikus dan pinjal yang berada di lokasi

penelitian, sedangkan sampelnya adalah semua tikus dan pinjal yang tertangkap di

lokasi penelitian. Lokasi penelitian ini di wilayah perimeter dan buffer pelabuhan
80

Merak Banten yang terdiri dari habitat kantor, kantin dan perumahan penduduk.

Penelitian dilakukan pada bulan Februari sampai April 2016.

Hasil penelitian di pelabuhan Merak Banten ditemukan tiga jenis tikus yaitu

Rattus tanezumi, Rattus norvegicus, Mus musculus dan cecurut (Suncus murinus).

Keberhasilan penangkapan tikus dan cecurut di Pelabuhan Merak Banten

berdasarkan jenisnya tertinggi Rattus norvegicus 42 ekor (49%) dan terendah Mus

musculus 4 ekor (5%). Berdasarkan habitatnya tertinggi habitat perumahan

(buffer) sebanyak 45 ekor (52,3%) dan berdasarkan jenis kelaminnya, jantan

tertinggi 54 ekor (62,8%).

Keberhasilan penangkapan tikus (trap succes) di Pelabuhan Merak Banten

sebesar 25,7%, Berdasarkan habitatnya, habitat tertinggi yaitu kantin 33,3%,

terendah kantor 13,3%. Keberhasilan penangkapan tikus (trap succes) di wilayah

perimeter pelabuhan Merak Banten 23,3% sedangkan di wilayah buffer 28%.

Prosentase tikus terinfestasi pinjal di pelabuhan Merak Banten sebanyak

68,9%, habitat kantor merupakan habitat tertinggi terinfestasi pinjal 80%, jenis

tikus terinfestasi pinjal tertinggi Rattus norvegicus 37,7%, sedangkan berdasarkan

jenis kelaminnya, betina tertinggi 43,7%.

Indeks pinjal di Pelabuhan Merak Banten yaitu indeks khusus pinjal

Xenopsylla cheopis 2 dan indeks umum pinjal 1,6.. Habitat kantin merupakan

habitat tertinggi indeks khusus pinjal Xenopsylla cheopis 2,2. Sedangkan

berdasarkan jenis tikus Rattus tanezumi mempunyai indeks khusus pinjal

Xenopsylla cheopis tertinggi 2,7


81

Berdasarkan pengamatan lingkungan biotik dan abiotik di lokasi penelitian

didapatkan data suhu udara berkisar 270C sampai 300C, kelembaban 82% - 85%

dan curah hujan 88 mm – 272 mm, serta ditemukan predator (kucing) dan vegetasi

seperti berbagai jenis rumput, tanaman palawija, pohon petai china, pohon

beringin dan sono , ini semua digunakan untuk kelangsungan hidup tikus dan

pinjal.

Menurut WHO tahun 1988 dan pedoman pemberantasan pes di Indonesia

tahun 2000, suatu daerah dikatakan waspada terhadap penularan pes jika 30%

lebih tikus dihuni oleh pinjal, indeks khusus pinjal Xenopsylla cheopis >1 , hasil

penangkapan tikus di dalam lebih besar daripada di luar (kepadatan tinggi > 7%).

Sehingga dari hasil penelitian dibandingkan dengan indikator sistem kewaspadaan

dini di atas, pelabuhan Merak Banten berpotensi terjadi penularan pes atau

Pelabuhan Merak Banten reseptif terhadap pes.

DAFTAR PUSTAKA

Ari, T.B., S. Neerincxk, K.L. Gage, K. Kreppel, A. Laudisoit, H. Leirs & N.C.
Stenseth , 2015. Plague and climate scale matter. Plospathog
7(9):e1002160.
Arumsari, W.,Sutiningsih, D.,Hestiningsih, R.2012. Analisis faktor lingkungan
abiotic yang mempengaruhi keberadaan leptospirosis pada tikus di
Kelurahan Sambiroto, Tembalang, Semarang. Jurnal kesehatan
masyarakat. Volume 1, Nomor 2, halaman 514-524.
82

Brook, J.E and F.P. Rowe. 1987. Commensal rodent control, vector control series
rodent (Training and Information Guide). Vector Biology and Control
Division. WHO. Geneva.
Baker, E.W and Wharton, G.W. 1964. An introduction to acarology, The Macmilla
Co. New York.
Barodji. 1990. Beberapa aspek biologi kutu tikus Xenopssyla cheopis (Rothschild)
dan peranannya dalam kesehatan. Stasiun Penelitian Vektor penyakit,
Salatiga.
Bahmanyar, M and Cavanaugh, D.C. 1976. Plague manual. World Health
Organization, Geneva.
BMKG Banten. 2015. Laporan tahunan iklim wilayah Cilegon dan
sekitarnya
Brown et al (1995)
Chu, M.C., Thomas, J.Q, Betty, A.W, Leon, G.C. 1995. Plague laboratory
manual. Plague section, Bacterial zoonosis branch, Div. Vector Borne
Deseases. National Centre for infection diseases control and
prevention. Fort collins.
Chu, 2000......
Dharmojono, H. 2001. Penyakit menular dari binatang ke manusia. Millenium
publisher. Jakarta: 99 – 110
Davis A.T. 1992. Dasar biologi dan klinis penyakit infeksi edisi ke- 4 dalam
terjemahan Soetaryo dan Amik Wahab.FK UGM.Yogyakarta
Depkes, 1995....
Depkes R.I. 1999. Pedoman penanggulangan pes Indonesia. Ditjen PP & PL.
Jakarta.
Depkes R.I. 2000.Petunjuk pemberantasan pes di Indonesia. Dirjen PPM & PL.
Jakarta
Depkes R.I. 2002. Pedoman pengendalian tikus. Dirjen PPM & PL. Jakarta
Depkes R.I. 2004......
Depkes R.I. 2008. Pedoman penanggulangan pes di Indonesia. Ditjen PP &
PL. Jakarta.
Depkes R.I. 2008. Pedoman pengendalian tikus. Ditjen PP & PL. Jakarta.
Depkes R.I. 2009. Standar operasional prosedur nasional kegiatan kantor
kesehatan pelabuhan di pintu masuk negara. Ditjen PP & PL. Jakarta.
Diba 2009.....
Dina Supriyati dan Adil Ustiawan, 2013. Spesies tikus, cecurut dan pinjal yang
ditemukan di pasar Kota Banjarnegara. FKM UNDIP. Semarang
Gage, K.L. 1995. Plague prevention, Plague section Bacterial zoonosis branch,
Div. Vector Borne Deseases. National Centre for infection diseases
control and prevention. Fort collins.
Gindo Simanjuntak, Gindo, Widarso. 2006. Ancaman Bio-terorisme terhadap
kesehatan masyarakat pelabuhan. Makalah pelatihan petugas karantina.
Ciloto 8 – 16 Maret 2006
Gindo Simanjuntak, Gindo, Widarso, Cecilia, Suroso. 2002. Pengamatan
pinjal bagian dari usaha pemberantasan pes di pulau jawa, Seminar
parasitology Internasional. Bogor.
83

Gindo Simanjuntak dan C. Kusharjono. 1981. Pemberantasan tikus dan pinjal


penataran nasional petugas KKP. Ciloto. Jawa Barat.
Hadi. 1991. Jenis – jenis ektoparasit pada tikus di pelabuhan Tanjung Mas
Semarang. Proceeding Seminar Biologi VII. Pandaan Jawa.
Harrison, J.L. and Quah Sie Keen.1962. The house the field rats of Malaya.
Institute for medical research federation of Malaya. Bull.(12).
Haryono et.all 2008….
Iskandar, H.A., Chasan, S., Djasio, S., I Nyoman, N.M.,Sudiono, S., Purwanto.,
Sumini, A.R., N. Marlina., Kusumawati., F. Sembiring., 1985. Pedoman
bidang studi pemberantasan serangga dan binatang pengganggu. Akademi
Penilik Kesehatan Teknologi Sanitasi (APK-TS). Proyek pengembangan
pendidikan tenaga sanitasi pusat. Pusat pendidikan tenaga kesehatan,
Depkes R.I. Jakarta.
Kadarsan et.al 1986….
Kausrud, K.L., H. Viljugrein, A. Frigessi, M. Begon, S. Davis, H. Leirs, V.
Dubyanskiy & N.C. Stenseth. 2007. Climatically driven synchrony of
gerbil populations allows large-scale plague outbreaks. Proc. R. Soc. B
274:1963-1969.
KKP Kelas II Banten. 2015. Laporan tahunan KKP Kelas II Banten 2014. Banten
Kusumamihardja (1988)….
Lei Xu., L.C. Stige, K.L. Kausrud, T.B. Ari, S. Wang, X. Fang, B.V. Schmid, Q.
Liu, N.C. Stenseth & Z. Zhang. 2014. Wet climate and transportation
routes accelerate spread of human plague. Proc. R. Soc. B 281:20133159.
Medway, L. 1978. The wild mammal of Malaya and Singapore. Oxford University
Press. Kuala Lumpur
Muslimin S. 2015. Keanekaragaman ektoparasit pada beberapa spesies tikus.
IPB. Bogor.
Novi Hendri. 2009. Reseptivitas pelabuhan laut Tanjung Balai Karimun
Kepulauan Riau terhadap penularan pes. Tesis. FK UGM. Yogyakarta
Newey et al.(2005)…..
Pramiati 2002
Prawasti, 2011….
Priyambodo, S. 2003. Pengendalian hama tikus terpadu. PT Penebar swadaya.
Jakarta.
Priyambodo, S. 2006. Hama pemukiman Indonesia: Pengenalan biolog i dan
pengendalian tikus. FKH IPB. Bogor
Purwanto, 2006. Kepadatan tikus dan pinjal sebagai indikator kerentanan
wilayah pelabuhan Tanjung Emas terhadap transmisi pes. Media
Indonesia 2006; 41:31-36.
Raharjo, J dan Ramadhani, T. 2012. Studi kepadatan tikus dan ektoparasit
(Fleas) pada daerah focus dan bekas pes. Prosiding seminar nasional
kesehatan. Purwokerto: Jurusan kesehatan masyarakat FKIK
UNSOED.
Ristiyanto.,Sutriayu N.,Suskamdani.,Wiryono dan Soenarto N. Ektoparasit
penular penyakit pada mamalia kecil suatu studi awal ektoparasit di
lereng Merapi.Fak. Biologi. UKSW.1999.Salatiga
84

Ristiyanto.,Damar T.B.,Farida D.H dan Soenarto.N. 2004. Keanekaragaman


ektoparasit pada tikus rumah Rattus tanezumi Ttemminkch 1884 dan
tikus polinesia R. exulens (peal, 1884) di daerah enzootic pes lereng
gunung merapi jawa tengah. BBPVRP. Salatiga.
Ristiyanto., Farida, D.H., Damar, T.B., Bambang, H., 2014. Penyakit tular
rodensia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Schmid, B.V., U Buntgen, W.R. Easterday, C. Ginzler, L. Walloe, B. Bramanti
& N.C. Stenseth, 2015. Climate-driven introduction of the black death
and successive plague reintroduction into Europe. PNAS 112(10):3020-
3025.
Sekra et al., 2010…….
Soni Ginanjar Hastiningsih. 2005. Kepadatan tikus dan pinjal sebagai indicator
kerentanan wilayah pelabuhan Tanjung emas terhadap transmisi pes.
Skripsi. UNDIP. Semarang.
Stenseth, N.C., N.L. Samia, H. Viljugrein, K.L. Kausrud, M. Begon, S. Davis, H.
Leirs, V.M. Dubsyanskiy, J. Esper, V.S. Ageyev, N.L. Klassovskiy, S.B.
Pole & K.S. Chan. 2006. Pague dynamics are driven by climate
variation. PNAS 10 (35):13110-13115.
Schwan 1984….
Supriyanto, 2006….
Tikhormirov, E. 1999. Plague manual epidemiologi, Distribution, Survei Ilence
and control, Geneva.
Trivedi, 2003….
WHO. 2000. Laboratory manual of plague diagnostic test.
WHO. 2004. Operational Guidelines on plague epidemiology, Diagnosis, Case
management, Surveillance, Prevention and control. New Delhi.
WHO. 2005. International Health Regulation. Jenewa. Swiss
WHO. 2010. Weekly Epidimiological Record. Februari 2010.
WHO. 2014. Weekly Epidemiological Record . Nopember 2014

Anda mungkin juga menyukai