Anda di halaman 1dari 12

URBAN ENTOMOLOGI

PAPER

Oleh :

Dewi Syahrina
150301233
HPT

MATA KULIAH ENTOMOLOGI


PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2017
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Serangga merupakan kelompok hewan yang dominan di muka bumi dengan

jumlah spesies hampir 80 persen dari jumlah total hewan di bumi. Dari 751.000 spesies

golongan serangga, sekitar 250.000 spesies terdapat di Indonesia. Serangga di bidang

pertanian banyak dikenal sebagai hama (Kalshoven, 1981) dan sebagian bersifat sebagai

predator, parasitoid, atau musuh alami (Christian & Gotisberger, 2000).

Kelas Insecta yang penting diketahui bagi dunia pengendalian hama

permukiman antara lain adalah ordo Dictyoptera atau Blattodea (lipas), ordo Diptera

(lalat dan nyamuk), ordo Hymenoptera (semut, tawon, lebah), ordo Siphonaptera

(pinjal), ordo Phthiraptera (subordo Mallophaga atau kutu penggigit dan subordo

Anoplura atau kutu penghisap), ordo Rhynchophthirina, ordo Hemiptera, ordo), ordo

Coleoptera (kumbang), dan ordo Psocoptera. Adapun kelas Arachnida yang penting

diketahui antara lain ordo Parasitiformes (contohnya caplak) dan Acariformes

(contohnya tungau) (Upik,2017).

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki kekayaan jenis hewan

dan tanaman yang sangat tinggi, sehingga dikenal dengan sebutan Megabiodiversity

(Mittermeier 1997). Indonesia menempati keanekaragaman yang tinggi di posisi

kedua, setelah Brazil. Hal ini karena Indonesia terletak di kawasan tropik dengan

iklim yang stabil dan merupakan negara kepulauan yang terletak secara geografis

antara dua benua yaitu Asia dan Australia. Indonesia memiliki keanekaragaman

hayatinya sebesar 325.350 jenis flora dan fauna. Salah satu kekayaan jenis yang

dimiliki Indonesia adalah serangga (Mittermeier 1997).


Umumya tubuh serangga terbagi atas 3 ruas utama tubuh (caput, torak, dan

abdomen). Morfologi Serangga pada bagian kepala, terdapat mulut, antena, mata

majemuk (faset) dan mata tunggal (ocelli). Pada bagian torak, ditemukan tungkai 3

pasang dan spirakel. Sedangkan di bagian abdomen dapat dilihat membran timpani,

spirakel, dan alat kelamin (Arnest dkk, 1981).


ISI

KONDISI ENTOMOLOGI DAN UPAYA PENGENDALIAN DEMAM


BERDARAH DENGUE OLEH MASYARAKAT DI DAERAH ENDEMIS
KELURAHAN BAROS KOTA SUKABUMI

Upaya Penyebab Penyakit DBD

Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit

menular yang sering menimbulkan Ke-jadian Luar Biasa (KLB), serta dapat

meresahkan masyarakat. Sampai saat ini belum ada vaksin yang efektif mencegah

infeksi dengue. Pencegahan penyakit DBD masih diprioritaskan pada pember-antasan

nyamuk dewasa vektor penularn-ya yang hasilnya belum memuaskan (Widjaja,2011).

Faktor-faktor yang menyebabkan munculnya kembali epidemi dengue an-tara

lain : pertumbuhan populasi manu-sia, urbanisasi yang tidak terencana dan terkendali,

pengelolaan sampah padat yang belum baik dan benar, penyediaan air bersih yang

tidak adekuat, pening-katanpenyebaran vektor nyamuk, kurang efektifnya

(Widjaja,2011).

Aedes aegyptidan Aedes albopictusmerupakan vektor penular penyakit DBD.

Vektor ini secara biologis dan bionomiknya selalu berdekatan dan berhubungan

dengan kehidupan manusia.Untuk mengendalikan populasi Ae. aegyptidan

Ae.albopictusterutama dilakukan dengan cara pengelolaan lingkungan(Widjaja,2011).

PEMBAHASAN PADA PENYAKIT DBD di MASYARAKAT di DAERAH


ENDEMIS KELURAHAN BAROS KOTA SUKABUMI

Angka infeksi virus dengue di Kota Sukabumi tergolong sangat tinggi yang

terjadi hampir merata pada semua wilayah, kelompok umur dan jenis kelamin. Dinkes
Jabar (2010), menyatakan bahwa Kota Sukabumi menjadi urutan pertama Incidence

Rate(IR) demam berdarah dengue di Jawa Barat (1/100.000 penduduk) yaitu sebesar

453.9 disusul oleh Kota Cimahi sebesar 359.2, Kota Bandung 279.4, Kota Depok

207, Kota Bekasi 187.5. Kasus DBD di Kota Sukabumi Pada tahun 2009 sebanyak

1.388 kasus dan 2 orang dinyatakan meninggal dunia dan pada tahun 2010 sampai

bulan Mei berjumlah 512 kasus, 3 orang meninggal.1Kelurahan yang

mengalami kasus DBD terbanyak secara berturut-turut adalah Kelurahan Baros yaitu

pada tahun 2009 sebanyak 82 kasus dan pada tahun 2010.2

Kelurahan Baros terletak di bagian selatan Kota Sukabumi. Terdapat

perumahan dengan penduduk padat serta potensial untuk perkembangan nyamuk

Aedesspp. yang merupakan vektor DBD. Ae. aegyptimerupakan jenis vektor yang

berada di lingkungan permukiman urban dengan karakteristik cenderung bersifat

lokal spesifik, dengan kata lain karakteristik nyamuk Ae. aegypti. di setiap daerah

berbeda antara satu dengan yang lainnya.

Upaya-upaya pengendalian nyamuk untuk mengurangi kejadian penyakit

arthropod-born viral disease telah banyak dilakukan. Pengendalian tersebut meliputi

pengendalian fisik, pengendalian biologi, pengendalian kimiawi, pengendalian

genetik maupun pengendalian terpadu. Pengendalian fisik dilakukan dengan

mengelola lingkungan sehingga keadaan lingkungan tidak sesuai bagi

perkembangbiakan nyamuk, pengendalian biologi dilakukan dengan memanfaatkan

organisme hidup seperti predator dan patogen, pengendalian kimiawi dilakukan

dengan menggunakan insektisida sintetis untuk membunuhnyamuk, pengendalian

genetik dilakukan dengan menyebarkan pejantan mandul ke dalam ekosistem, dan


pengendalian terpadu dilakukan dengan menggabungkan berbagai teknik

pengendalian yang ada.

Keberadaan vektor di rumah dan lingkungan sekitar rumah masyarakat di

daerah endemis menunjukkan adanya potensi penularan infeksi virus dengue. Untuk

mengetahui tingkat risiko penularan infeksi virus dengue maka perlu data entomologi

di lingkungan Rukun Warga (RW) 11 Kelurahan Baros serta mengetahui upaya

pengendalian DBD yang dilakukan masyarakat di daerah tersebut.

Uji Statistik

Pada daerah kasus jenis kontainer bak mandi yang paling ditemukan jentik (51,8%)

kemudian diikuti ember (20,2), bak WC (8,4%), kulkas (5%) dan dis-penser (4,6%).

Sedangkan pada daerah kontrol bak mandi juga paling banyak ditemukan jentik

(53,5%) selanjutnya berturut-turut bak WC (12,4%), ember (11,1%), dispenser

(7,8%) dan kulkas (4,5%).Berdasarkan hasil uji chi squarejenis kontainer yaitu ember

menunjukan adanya hubungan dengan kejadian DBD dengan nilai OR = 3,630

dengan p = 0,00 (p<0,05). Hal ini berarti masyarakat yang mempunyai kontainer jenis

ember mempunyai risiko 3,630 kali terkena DBD daripada yang tidak mempunyai

kontainer jenis ember., Jenis kontainer lainya yaitu tempayan juga menunjukan

adanya hubungan dengan kejadian DBD dengan nilai OR =5,250 dengan p = 0,034

(p<0,05). Hal ini berarti masyarakat yang mempunyai kontainer jenis tem-payan

mempunyai risiko 5,250 kali terkena DBD daripada yang tidak mempunyai kontainer

jenis tempayan (Tabel 1)


Pada daerah kasus jenis bahan kon-tainer semen yang paling ditemukan jentik

(40%) kemudian diikuti keramik dan plastik (26%), logam (4%, karet(3%) dan tanah

(1%). Demikian juga pada dae-rah kontrol bahan kontainer semen juga yang paling

banyak ditemukan jentik (43%) selanjutnya berturut-turut keramik (25%), plastik

(21%), logam (5%), karet(3%) dan tanah (2%).

Berdasarkan hasil uji chi squarebahan kontainer dari plastik menun-jukan

adanya hubungan dengan kejadian DBD. Hasil uji statistik diperoleh nilai OR = 1,770

dengan p = 0,0013 (p<0,05). Hal ini berarti masyarakat yang mempu-nyai jenis bahan

kontainer dari plastik mempunyai risiko 1,770 kali terkena DBD daripada yang tidak

mempunyai jenis bahan kontainer dari plastik (Tabel 2).

Pada daerah kasus keadaan kontainer yang tertutup ditemukan jentik 25

kontainer (12%) sedangkan keadaan kon-tainer yang tidak tertutup yang


ditemukan jentik 187 kontainer (88%). Pada daerah kontrol keadaan kontainer yang

tertutup dan ditemukan jentik ada 19 kontainer (10%) dan keadaan kontain-er yang

tidak tertutup dan ditemukan jentik 158 kontainer (90%).


PEMBAHASAN

Kota Palu merupakan daerah endemis DBD hal ini karena jumlah kasus DBD

yang ditemukan dan kasus kematian yang dilaporkan selama 5 terakhir yang terus

meningkat baik dalam jumlah penderita dan wilayah yang terkena DBD.Hal ini sesuai

dengan literatur Widjaja (2011) yang menyatakan bahwa penyebab kematian oleh

nyamuk Aedes aegyptidan Aedes albopictus, merupakan vektor penular penyakit

DBD. Vektor ini secara biologis dan bionomiknya selalu berdekatan dan

berhubungan dengan kehidupan manusia.Untuk mengendalikan populasi Ae. Aegypti

dan Ae.albopictus terutama dilakukan dengan cara pengelolaan lingkungan

Banyak warga di Sukabumi yang punah diakibatkan oleh faktor nyamuk

Aedes aegyptidan Aedes albopictus yang mewadah di setisap genangan air. Hal ini

sesuai dengan literatur Widjaja(2011) yang menyatakan bahwa seperti ada beberapa

faktor penyebab munculnya kembali epidemi dengue antara lain : pertumbuhan

populasi manusia, urbanisasi yang tidak terencana dan terkendali, pengelolaan

sampah padat yang belum baik dan benar, penyediaan air bersih yang tidak adekuat,

peningkatan penyebaran vektor nyamuk, kurang efektifnya pengendalian nyamuk,

peningkatan penyebaran virus dengue maupun memburuknya infrastruktur dibidang

kesehatan masyarakat.

Ember dan tempayan merupakan jenis kontainer yang menunjukan adanya

hubungan dengan kejadian DBD. Hal ini disebabkan mungkin disebabkan karena

ember dan tempayan sebagai tempat penampungan air sementara sehingga jarang

dibersihkan dan memungkinkan telur nyamuk Ae. aegypti menempel pada dinding
ember atau tempayan. Risiko yang ditimbulkan pada masyarakat yang mempunyai

kontainer jenis ember akan berisiko 3,630 kali terkena DBD daripada yang tidak

mempunyai kontainer jenis ember. Sedangkan masyarakat yang mempunyai

kontainer jenis tempayan mempunyai risiko 5,250 kali terkena DBD daripada yang

tidak mempunyai kontainer jenis tempayan.


KESIMPULAN

1. Pengendalian vektor yang dilakukan masyarakat RW 11 Kelurahan Baros

dikelompokkan menjadi pengendalian secara budaya, fisik, biologi, kimia, dan

pengendalian secara terpadu, dengan jenis upaya pengendalian tertinggi adalah

pengendalian terpadu (37,6%). Indikator entomologi RW 11 Kelurahan Baros adalah

HI = 33,98%; CI = 11,1%; BI = 45,63%. Berdasarkan indikator CI RW 11 Kelurahan

Baros memiliki density figure4, sedangkan berdasar indikator HI dan BI, memiliki

density figure6. Hal ini menunjukkan bahwa daerah ini memiliki risiko penularan

sedang terhadap penyebaran penyakit DBD

2. Faktorfaktor yang mempengaruhi peningkatan dan penyebaran kasus DBD sangat

kompleks antara lain Pertumbuhan penduduk, urbanisasi yang tidak terencana dan

tidak terkendali, tidak adanya kontrol pemberantasan vektor nyamuk yang efektif di

daerah endemis, kurangnya tindakan pencegahan gigitan nyamuk, kurangnya

pengetahuan masyarakat tentang penyakit demam berdarah dan peningkatan sarana

transportasi.

3. Aedes aegyptidan Aedes albopictus merupakan vektor penular penyakit DBD.

Vektor ini secara biologis dan bi-onomiknya selalu berdekatan dan berhubungan

dengan kehidupan manusia Untuk mengendalikan populasi Ae. aegyptidan

Ae.albopictusterutama dilakukan dengan cara pengelolaan lingkungan


DAFTAR PUSTAKA

Mittermeier RA, Gil PR, Mittermeier CG. 1997. Megadiverisity Earths Biologically

Wealthiest Nations. Cemex Inc., Mexico City.

Upik.K.H. 2017 . Pengenalan Arthropoda Dan Biologi Serangga. Bagian Parasitologi

dan Entomologi KesehatanFakultas Kedokteran Hewan IPB.Bogor.

Widjaja. Keberadaan Kontainer Sebagai Faktor Risiko Penularan Demam Berdarah Dengue

di Kota Palu, Sulawesi Tengah. Aspirator. 2011; 3(2): 82-88.

Anda mungkin juga menyukai