Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

PENYAKIT DHF DAN FILARIASIS


Disusun Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Keperawatan Medikal Bedah ( KMB )
Dosen Mata Kuliah : Tuti Suprapti ,S.Kp,.M.Kep

Disusun Oleh :

Deffa Raihan Alfath

191FK01030

Tingkat : 2B
PROGRAM STUDI DIPLOMA III KEPERAWATAN
UNIVERSITAS BHAKTI KENCANA BANDUNG
2020

 
A. PENYAKIT DHF

1. Pengertian
DHF adalah penyakit yang disebabkan oleh virus Dengue, sejenis virusyang
tergolong arbovirus dan masuk ke tubuh penderita melalui gigitan
nyamukAedes Aegypti betina. Penyakit ini lebih dikenal dengan sebutan
DemamBerdarah Dengue (DBD),.DHF adalah infeksi arbovirus( arthropoda-
borne virus) akut, ditularkanoleh nyamuk spesies Aedes Dari beberapa
pengertian di atas penulis menyimpulkan bahwa DHFmerupakan penyakit yang
disebabkan oleh virus Dengue dan ditularkan melaluigigita nyamuk Aedes
Aegypti, biasanya menyerang anak di bawah usia 15 tahundan dapat
menimbulkan kematian.

2. Etiologi

Penyakit ini disebabkan oleh virus Dengue yang tergolong arbovirus


yangditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti dan Aedes Albopictus.
3. Patofisiologi

Manifestasi terjadi DHF ialah meningginya permeabilitas dindingpembuluh


darah,menurunnyavolumeplasma,terjadinyahipotensi,trombositopenia dan diatesis
hemoregic. Pada kasus berat, renjatan terjadi secara
akut nilai hematokrit meningkat bersamaan dengan hilangnya plasma
melaluiendotel dinding pembuluh darah pada penderita dengan renjatan berat,
volumeplasma dapat menurun sampai lebih 30%. Renjatan hipovolemik yang
terjadisebagai akibat kehilangan plasma, bila tidak segera diatasi dapat
mengakibatkananoksia jaringan, asidosis metabolic dan kematian. Kelainan
yang paling seringditemukan ialah perdarahan di kulit berupa ptekie,
perdarahan di saluranpencernaan, paru, dan jaringan periodrenal, hati
membesar, terdapat perlemakan,yang disertai perdarahan atau sarang nekrosis
hemoregik.
JURNAL 1. DHF

Prevention of Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) Associated with the Aedes


aegypti Larvae Presence based on the Type of Water Source

Nurul Hidayah, Iskandar Iskandar, Zainal Abidin

Abstract

Aedes aegypti is the vector of Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) disease. Containers are
breeding places for DHF vector and the most commonly found larvae in the bath water
containers. The presence of Aedes aegypti larvae in a container could be affected by the type of
water source besides the container’s color, material, location, lid existence and the container’s
drain frequency. This study was conducted to determine the associate of water source type with
larvae presence and the additional factors. This study used observational analytic with case
control design. The case group consisted of households using well water and the control group
consisted of households using tap water with a sample size of 130 households for each group.
The sample was collected by proportional random sampling in five villages. The data was
analyzed using a regression logistic test. The significant variables associated with the presence of
larvae were the water source type (OR=1.923), container’s color (OR=2.345), container’s
location (OR=2.241), container’s lid existence (OR=2.122) and the container’s drain frequency
(OR=2.260). This study did not consider the significant association of the container’s material.
The dominant variable associated with the presence of larvae was the container’s drain frequency
which was controlled by the water source type, container’s color and container’s location.

Keywords

Aedes aegypti; larvae; water source; containers

Full Text:

PDF

References
Sallata MHE, Ibrahim E, Selomo M (2014) Hubungan Karakteristik Lingkungan Fisik dan Kimia
dengan Keberadaan Larva Aedes aegypti di Wilayah Endemis DBD Kota Makassar. Makassar,
Universitas Hasanuddin.

World Health Organization (WHO) (2014) Dengue amd Severe Dengue. http://www.who.int.
Accessed: September 2015.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2013) Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2012.
Jakarta, Kementerian Kesehatan RI.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2014) Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013.
Jakarta, Kementerian Kesehatan RI.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2015) Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2014.
Jakarta, Kementerian Kesehatan RI.

Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Selatan (2014) Profil Kesehatan Provinsi Kalimantan
SelatanTahun 2014. Banjarmasin, Dinkes Provinsi Kalsel.

P2PL Dinas Kesehatan Kabupaten Banjar (2015) Data DBD Perbulan Dinas Kabupaten Banjar
Tahun 2015 (Sampai Tanggal 23 Pebruari 2015). Martapura, Dinkes Kabupaten Banjar.

Syukur A (2012) Analisis spasial faktor risiko lingkungan terhadap kejadian Demam Berdarah
Dengue (DBD) di Kabupaten Sambas Provinsi Kalimantan Barat. Doctoral Thesis. Universitas
Diponegoro.

Khoiriyah, Astuti R, Sayono (2010) Perbedaan parameter fisika dan kimia air perindukan
berdasarkan keberadaan jentik Aedes aegypti di Kota Semarang. Semarang, Universitas
Muhammadiyah Semarang.

Marques GR, Chaves LS, Serpa LL et al. (2013) Public drinking water supply and egg laying by
Aedes aegypti. Revista de Saude Publica 47 (3): 1-8. doi: 10.1590/S0034-8910.2013047004289.

Nguyen le AP, Clements AC, Jeffery JA et al (2011) Abundance and prevalence of Aedes
aegypti immatures and relationships with house hold water storage in rural areas in southern
Vietnam. International Health 3 (2): 115-125. doi: 10.1016/j.inhe.2010.11.002.

Hadi UK, Agustina E, Sigit SH (2004) Sebaran jentik nyamuk

Aedes aegypti (Diptera: Culicidae) di Desa Cikarawang, Kabupaten Bogor. Bogor, Institut
Pertanian Bogor.

Budiyanto A (2012) Perbedaan warna kontainer berkaitan dengan keberadaan jentik Aedes
aegypti di sekolah dasar. Jurnal Biotek Medisiana Indonesia 1 (2): 65-71.
Mariana, Ivoretty Sandra (2010) Hubungan karakteristik individu dan kondisi Tempat
Penampungan Air (TPA) dengan kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kelurahan
Pabuaran Kecamatan Cibinong tahun 2010. Jakarta, Universitas Indonesia.

Gionar YR, Rusmiarto S, Susapto D et al. (2001) Sumur sebagai habitat yang penting untuk
perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti. Buletin Penelitian Kesehatan 29 (1): 22-31.

Damanik DD (2002) Tempat perindukan yang paling disenangi nyamuk Aedes aegypti
berdasarkan jenis sumber air. Bachelor Thesis. Universitas Sumatera Utara.

Adifian, Hasanuddin I., Ruslan L.A (2013) Kemampuan adaptasi nyamuk Aedes Aegypti dan
Aedes albopictus dalam berkembang biak berdasarkan jenis air. Makassar, Universitas
Hsanuddin.

Farida (2002) Analisa umum pada Air. Medan, Universitas Sumatera Utara.

Sugianto, S (2003) Demam berdarah dengue, tinjauan dan temuan baru di era 2003. Surabaya,
Airlangga University Press.

Setiawan D (2002) Faktor-faktor yang berhubungan dengan keberadaan jentik Aedes aegypti
pada TPA di rumah tangga di Kecamatan Bekasi Selatan tahun 2001. Doctoral Thesis.
Universitas Indonesia.

Fauziah NF (2012) Karakteristik sumur gali dan keberadaan jentik nyamuk Aedes aegypti.
Semarang, Universitas Diponegoro.

Hammond SN, Gordon AL, Lugo EDC et al. (2007) Characterization of Aedes aegypti (Diptera:
Cullicidae) production sites in Urban Nicaragua. Journal of Medical Entomology 44: 851-860.
doi: 10.1603/0022-2585(2007)44[851:COAADC]2.0.CO;2.

Hasyimi M., Hermany M., Pangestu (2009) Tempat-tempat terkini yang disenangi untuk
perkembangbiakan vektor demam berdarah Aedes sp. Media Litbang Kesehatan 19 (2): 71-76.

Wanti, Menofeltus D (2014) Tempat penampungan air dan kepadatan jentik Aedes aegypti di
daerah endemis dan bebas demam berdarah dengue. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional 9
(2): 171-178.

Sukamto (2007) Studi karakteristik wilayah dengan kejadian DBD di Kecamatan Cilacap Selatan
Kabupaten Cilacap. Semarang, Universitas Diponegoro.
B.FILARIASIS

1. Pengertian
Filariasis merupakan penyakit sistemik yang disebabkan oleh infeksi parasit
nematoda yaitu sejenis cacing darah jaringan dari Genus Filaria yang tersebar
hampir di seluruh wilayah Indonesia yang hidup dalam saluran dan kelenjar
getah bening manusia dan ditularkan oleh nyamuk. Penyakit ini jarang
menimbulkan kematian, karena timbul gangguan fisik setelah terjadi infeksi
selama bertahun-tahun maka penyakit ini dapat menurunkan produktivitas
penderitanya. Cacing filaria dewasa tinggal disistem limfa (limfatik) yaitu
jaringan pembuluh yang berfungsi untuk menyangga dan menjaga
keseimbangan cairan antara darah dan jaringan otot yang merupakan komponen
esensial dari sistem kekebalan tubuh. Cacing dewasa menghasilkan mikrofilaria
yang secara periodik berada pada sistem darah perifer.1,2,3Penyakit ini jarang
terjadi pada anak karena manifestasi klinisnya timbul bertahun-tahun kemudian
setelah infeksi. Gejala pembengkakan pada kaki, payudara dan kantong buah
zakar muncul karena sumbatan mikrofilaria pada pembuluh limfe yang biasanya
terjadi pada usia di atas 30 tahun setelah terpapar parasit selama bertahun-
tahun. Manifestasi paling fatal yang timbul bagi penderita adalah kecacatan
permanen yang sanat mengganggu produktivitas.

2. Etiologi

Penyakit filariasis dsebabkan oleh infeksi cacing filaria yang hidup di dalam
saluran kelenjar getah bening (limfatik) dan anak cacing disebut mikrofilaria hidup
di dalam darah. Mikrofilaria berada pada darah perifer pada malam hari, ada 3
jenis spesies cacicng filariasis di Indonesia yaitu Wuchereria Bancrofti, Brugia
Malayi, Brugia Timori.

a. Wuchereria Bancrofti

Padaspesies ini cacing dewasa menyebabkan filariasis brancrofti, dan


mikrofilaria dapat menimbulkan occultfilariasis. Parasit ini tersebar luas di
daerah tropis dan subtropis yaitu di Afrika, Amerika, Eropa dan Asia termasuk
di Indonesia. Cacing dewasa berbentuk seperti rambut dan berwarna putih susu,
mempunyai panjang sekitar dua spikulum yang tidak sama panjang. Untuk
cacing jantan mempunyai panjang sekitar 10 cm dan mempunyai ekor yang
runcing. Cacing dewasa hidup dalam saluran dan kelenjar limfe (limfatik), tidak
ada hewan yang bertindak sebagai reservoir. Larva filaria atau yang biasa
disebut mikrofilaria mudah ditemukan dalam darah perifer atau darah tepi pada
malam hari, yang mempunyai panjang sampai300 mikron dan lebar 8 mikro,
mempunyai selubung hialin dengan inti sel somatik berbentuk granul yang
tersusun tidak mencapai ujung ekor.
Filariasis bancroftiumumnya bersifat periodik nokturnal, sehingga mikrofilaria
hanya ditemukan dalam darah perifer pada malam hari. Didaerah pasifik
mikrofilaria lebih banyak ditemukan pada siang hari dan malam hari, walaupun di
Thailand ditemukan mikrofilaria yang bersifat subperiodik nokturnal. Pada spesies
Wuchereria Bancrofti, manusia merupakan satu-satunya hostdefenitif dan nyamuk
yang bertindak sebagai vektor dalah dari genus Culex, Aedes, dan Anopheles.
b. Brugia Malayi

Brugiaada yang zoonotik, tetapi ada yang hanya hidup pada manusia. Pada
brugiayang zoonotik, selain manusia juga berbagai hewan mamalia dapat bertindak
sebagai hospes defenitifnya (hospes cadangan, reservoir host). Periodisitas Brugia
Malayibermacam-macam, ada yang nokturnal periodik, nokturnal subperiodik atau
non periodik. Nyamuk yang menjadi vektor penularnya adalah Anopheles(vektor
brugiasis non zoonotik) atau Mansonia (vektor brugiasis zoonotik).

c. Brugia Timori

Pada spesies Brugia Timorihanya terdapat di Nusa Tenggara Timur, Maluku


Tenggara dan beberapa daerah lain. Umumnya bersifat periodik nokturnal dan
nyamuk yang menularkannya adalah Anopheles Barbirostis.

3. Patofisiologi

Patofisiologi filariasis secara umum disebabkan oleh respons imun tubuh


terhadap nematoda dewasa dan mikrofilaria. Proses ini umumnya terjadi secara
kronik dan membutuhkan waktu bulan sampai tahun.
JURNAL 2 : FILARIASIS

Filariasis: Pencegahan Terkait Faktor Risiko

Hanna Mutiara, Anindita Anindita

Abstract

Filariasis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh cacing Filaria sp. yang
menyerang saluran dan kelenjar getah bening. Gejala klinis terdiri dari gejala
akut (limfadenitis, limfangitis, adenolimfangitis, demam, sakit kepala, serta
abses) dan gejala kronik (limfedema, lymph scrotum, kiluri, dan hidrokel).
Penyakit ini diperkirakan dapat menyerang 1.1 milyar penduduk, terutama di
daerah tropis seperti Indonesia, dan beberapa daerah subtropis. Di Indonesia,
filariasis paling sering disebabkan oleh tiga spesies, yaitu Wuchereria Bancrofti,
Brugia Malayi, dan Brugia Timori. Jumlah kasus yang dilaporkan meningkat
dari 6.571 kasus pada tahun 2002 menjadi 14.932 kasus pada tahun 2014.
Penularan filariasis terjadi apabila ada lima unsur utama sebagai sumber
penular yaitu reservoir (manusia dan hewan), parasit (cacing), vektor (nyamuk),
host (manusia yang rentan), dan lingkungan (fisik, biologik, ekonomi dan social
budaya). Faktor risiko yang memicu filariasis antara lain adalah manusia (umur,
jenis kelamin, imunitas, ras), nyamuk (perilaku, frekuensi menggigit, siklus
gonotrofik), lingkungan (fisik, biologi, ekonomi dan sosial budaya), dan agen
(cacing filaria). Pencegahan filariasis secara umum dapat dilakukan dengan cara
edukasi (penyuluhan), identifikasi vektor (waktu dan tempat menggigit),
pengendalian vektor (perubahan konstruksi lingkungan), serta pengobatan yang
dapat dilakukan secara masal maupun individu.
Kata kunci: faktor risiko, filariasis, pencegahan.

Anda mungkin juga menyukai