Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pelayanan kesehatan merupakan hak setiap orang yang dijamin dalam
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang harus
diwujudkan dengan upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang
setinggi-tingginya. Menurut WHO (World Health Organization), rumah sakit
adalah bagian intergral dari suatu organisasi sosial dan kesehatan dengan
fungsi menyediakan pelayanan paripurna (komprehensif), penyembuhan
penyakit (kuratif) dan pencegahan penyakit (preventif) kepada masyarakat.

rumah sakit dengan organisasi di dalamnya harus dikelola sebaik-baiknya


agar dapat memberikan pelayanan kesehtan semaksimal mungkin,sehingga
tercapai tujuan terciptanya derajat kesehatan yang optimal.salah satu diantanya
adalah pengelolaan obat di instalasi farmasi rumah sakit,meliputi
perencanaan,pengadaan,penyimpanan,distribusi dan penggunaan obat (sheina,
2010)

pelayanan farmasi merupakan pelayanan penunjang dan sekaligus


merupakan revenue centre utama, karena hampir 90% pelayanan kesehatan
dirumah sakit menggunakan perbekalan farmasi (obat-obatan,bahan
kimia,bahanradiologi,bahan alat kesehatan,alat kedokteran dan gas medik.).dan
50% dari seluruh pemasukan rumah sakit berasal dari pengelolaan perbekalan
farmasi.makaperbekalan farmasi memerlukan suatu pengelolaan secara cermat
dan penuh tanggung jawab.(jurnal manajement pelayanan kesehatan,vol 9,
No.01 maret 2006)

kekosongan stok obat dirumah sakit dapat mempengaruhi mutu


pelayanan yang diberikan.menurut penelitian academy of managed care
phrmacy (AMCP) tentang the reality of drug shortages (2010) yang mayoritas
respondennya sebagian besar adalah kepala farmasi?apoteker,diperoleh hasil
bahwa kekosongan obat dapat mengakibatkan 55,5% kelalaian,54,8%
kesalahan dosis,34,8 % kesalahan obat,70,8perawatan tertunda dan 38%
mengakibatkan keluhan pasien.hasil penelitian ini menunjukkan presentase
terbesa terhadap kekosongan obat yaitu dapat menghambat dan mengakibatkan
perawatan terhadap pasien tertunda.dari penelitian tersebut juga diketahui
rumah sakit yang mengalami kekurangan obat melaporkan bahwa kenaikan
biaya yang dikeluarkan rumah sakit dapat terjadi kibat adanya kekurangan
obat.

menurut american hospital association (2011), 99,5% rumah sakit


dinegara tersebut mengalami satu atau lebih kekurangan obat atau enam bulan
terakhir (januari-juni 2011). diantara rumah sakit yang mengalami kekurangan
obat tersebut ,hampir setengahnya mengalami kekurangan sebanyak 21 atau
lebih obat.82 % dari RS menunda perawatan pasien akibat kekurangan obat
dan lebih dari setengahnya tidak mampu menyediakan obat sesuai dengan
resep yang diberikan .selain itu sebagian besar rumah sakit tersebut
melaporkan biaya obat meningkat sebagai akibat dari kekurangan obat
(fadhila,2013).

Tuntutan masyarakat dan pasien akan mutu pelayanan farmasi,


mengharuskan adanya perubahan pelayanan dari drug oriented ke patient
oriented dengan filosofi Pharmaceutical Care. Pharmaceutical care
berkembang sebagai kelanjutan dari sejarah perkembangan obat yang
mengakibatkan makin banyaknya drug adverse reaction. Terlihat dari catatan
sejarah bahwa di USA, tahun 1971, 140.000 kematian dan 1 juta dirawat di
rumah sakit karena adanya drug adverse reaction dari obat yang diresepkan.
Pada tahun 1987 FDA mencatat 12.000 kematian dan 15.000 dirawat di rumah
sakit yang berkaitan dengan drug adverse reaction dari obat yang diresepkan.
Morse mengestimasikan bahwa di USA biaya penyakit yang berkaitan dengan
obat diresepkan adalah $ 7 bilion setiap tahun (Strand dkk, 1998). Dilaporkan
juga oleh McDonnell (2006) bahwa kejadian medication error di rumah sakit
10-30 % akibat dari adverse drug event (ADE), dan setiap kejadian ADE
biayanya mencapai 5.000 dollar amerika tiap pasien di rumah sakit. Dari
kejadian tersebut sebenarnya dapat dicegah 30-50 %.

menurut scheyer dan friedman (2011) rumah sakit pada umumnya


memiliki biaya rutin terbesar pada pengadaan persediaan farmasi. menurut
WHO dalam depkes RI (2004),bbahwa dibeberapa negara aju biaya obat
berkisar antara 10-15 % dari anggaran kesehatan,sementara dinegara
berkembang biaya ini lebih besar lagi yaitu 35-66%,sebagai contoh di thailand
sebsar 35% ,china 45%,mali 66% dan indonesia sebesar 39%. berdasarkan
kebijakan obat nasional ,biaya obat merupakan bagian yang cukup besar dari
seluruh biaya kesehatan,dari berbagai survei dapat disimplkan bahwa biaya
obat sekitar 40-50% dari jumlah operasional pelayanan kesehtan .(istinganah,
2006)

Salah satu faktor yang sangat berpengaruh dalam persediaan obat di


rumah sakit adalah pengontrolan jumlah stok obat untuk memenuhi
kebutuhan. Jika stok obat terlalu kecil maka permintaan untuk penggunaan
seringkali tidak terpenuhi sehingga pasien/ konsumen tidak puas, sehingga
kesempatan untuk mendapatkan keuntungan dapat hilang dan diperlukan
tambahan biaya untuk mendapatkan bahan obat dengan waktu cepat guna
memuaskan pasien/ konsumen. Jika stok terlalu besar maka menyebabkan
biaya penyimpanan yang terlalu tinggi, kemungkinan obat akan menjadi
rusak/ kadaluarsa dan ada resiko jika harga bahan/ obat turun (Seto, 2004).

Organisasi perlu menata dan menyiapkan apa yang akan dipakai untuk
menyelesaikan masalah tersebut, apabila akan terjadi masalah yang akan
dihadapi. Disamping itu pimpinan yang diwakili oleh manajemen maka harus
siap kapan saja menyelesaikan masalah yang ada, tentunya harus menyiapkan
solusi, alternative, dan pengambilan keputusan yang tepat. Sebagai pimpinan
dalam pengambilan keputusan tersebut harus memperhatikan dari semua pihak,
dan selalu berusaha untuk mengurangi konflik baik secara internal maupun
eksternal, intinya dalam pengambilan keputusan harus bisa meminimalisasi
konflik.( Mulyadi 2016).

Beberapa hasil penelitian sebelumnya di beberapa Negara juga


menunjukkan kejadian masalah kekosongan obat. Di Negara Zambia proporsi
kekosongan obat di rumah sakit dari catatan persediaan yang konsisten pada
dua kuartal pertama antara tahun 2009-2010 mencapai angka 20% (Leung et
al., 2016). Penelitian di rumah sakit Minzani Zwaziland diketahui bahwa
sebagian besar pasien (71%) yang berobat tidak mendapatkan obat yang
diresepkan oleh dokter, hanya 24,7% yang mendapatkan obat yang diresepkan,
kekosongan obat di apotek ini mulai dari 30 hari sampai lebih 180 hari
(Shabangu et al., 2015). Di India hampir 68% tidak memiliki akses untuk
memperoleh obat-obat esensial karena sistem pengadaan yang terpusat (Singh
et al., 2013).

Salah satu tugas krusial kepala farmasi/apoteker adalah mengambil


keputusan. Keputusan yang diambil tersebut bisa berdampak besar bagi
lembaga, baik positif maupun negatif. Karena itu, sebelum mengambil
keputusan, sekiranya kepala farmasi/apoteker mempelajari masalah dan
mengantisipasi segala memungkinkan yang terjadi usai penetapan keputusan.
Ada masalah yang membutuhkan keputusan cepat, pelan-pelan, dan lama
(dengan banyak pertimbangan).Jamal Ma’mur Asmani. (2012).

Di Indonesia pada penelitian di Rumah Sakit Islam Faisal Makassar


menunjukkan kejadian kekosongan obat yang terjadi sebesar 54% dan stok
mati sebesar 39%. Kejadian stok mati dan kekosongan obat menimbulkan
biaya sebesar Rp255.933.139 (Mellen dan Pudjirahardjo, 2013

Masalah kekosongan obat yang terjadi di beberapa negara di dunia serta


di beberapa daerah di Indonesia juga dialami oleh Rumah Sakit Islam Faisal
Makasar. di RS Jumlah kunjungan pasien BPJS meningkat setiap tahunnya,
pada tahun 2015 jumlah kunjungan pasien sebanyak 17.500 jiwa dan tahun
2016 jumlah kunjungan pasien meningkat menjadi 18.672 jiwa. Dengan
bertambahnya kunjungan pasien dari tahun ke tahun maka kebutuhan akan obat
juga meningkat.

Berdasarkan masalah dan fenomena tersebut di atas peneliti merasa


tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul: faktor-faktor yang
mendasari pengambilan keputusan dalam pengelolaan perbekalan instalasi
farmasi Rumah Sakit Islam Faisal

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang yang ada,maka dapat dirumuskan
masalahnya adalah apakah terdapat hubungan antara pengambilan keputusan
dengan pengelolaan perbekalan farmasi.

C. Tujuan penelitian
1. Tujuan umum
Untuk mengetahui faktor –faktor yang berpengaruh terhadap
pengambilan keputusan dalam pengelolaan perbekalan instalasi farmasi.
2. Tujuan khusus
a. untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang menjadi pertimbangan
dalam proses pengambilan keputusan
b. untuk mengetahui pengelolaan perbekalan instalasi farmasi..

D. Manfaat peneliti
1. Bagi peneliti
Pengalaman berharga dalam menambah wawasan, pengalaman,
dan ilmu pengetahuan khususnya berkaitan dengan pengambilan
keputusan dan pengelolaan perbekalan instalasi farmasi Rumah Sakit.
2. Bagi instalasi terkait masyarakat
Sebagai salah satu bahan informasi yang dapat dimanfaatkan dalam
upaya perbaikan secara berkesinambungan sistem pengambilan
keputusan khususnya dalam pengelolaan perbekalan instalasi farmasi di
Rumah sakit islam faisal makassar.
3. Bagi pihak lain
Penelitian ini di harapkan dapat memberikan sumbangan
keilmuan yang berkaitan dengan pengambilan keputusan dalam
pengelolaan perbekalan instalasi farmasi. sehingga dapat meningkatkan
kinerja karyawan dan sebagai bahan referensi dalam bidang managemen
pelayanan farmasi khususnya bagi peneliti selanjutnya

Anda mungkin juga menyukai