Anda di halaman 1dari 3

‫بسم ا الرحمن الرحيم‬

A. (Ihya' Mawat)

-Pengertian

(Fasal) menjelaskan hukum-hukum ihya’ al mawat.

Al mawat, sebagaimana yang dijelaskan oleh imam ar Rafi’i di dalam kitab Asy Syarh ash Shagir, adalah
lahan yang tidak berstatus milik dan tidak dimanfaatkan oleh seseorang.

-Syarat Ihya’ Mawat

Mengolah bumi mawat hukumnya diperbolehkan dengan dua syarat.

1- orang yang mengolah adalah orang islam.

Maka bagi orang islam hukumnya sunnah mengolah bumi mati, baik dengan izin imam ataupun tidak.
Seperti imam membatasi sebagian dari bumi mawat, kemudian ada seseorang yang ingin mengolanya,
maka ia tidak bisa memilikinya kecuali dengan izin dari imam menurut pendapat al ashah. Adapun orang
kafir dzimmi, mu’ahad, dan kafir musta’man, maka bagi mereka tidak diperkenankan untuk mengolah
bumi mawat walaupun imam telah memberi izin pada mereka.

2- bumi tersebut harus merdeka (tidak berstatus milik) yang tidak dimiliki oleh orang islam. Dalam
sebagian redaksi dengan menggunakakan “bumi tersebut adalah bumi merdeka”.Yang dikehendaki dari
perkataan mushannif adalah sesungguhnya lahan yang pernah dihuni namun sekarang sudah tidak lagi,
maka statusnya adalah milik orang yang memilikinya jika memang diketahui, baik orang islam atau kafir
dzimmi. Dan lahan kosong tersebut tidak bisa dimiliki dengan cara diihya’. Sehingga, jika tidak diketahui
siapa pemiliknya, namun puing-puingnya menandakan di bangun pada masa islam, maka lahan ini
adalah mal dlai’ (harta yang tersia-sia). Urusannya diserahkan pada keputusan imam, mau dijaga, atau
dijual dan hasil penjualannya dijaga.

Jika lahan tersebut dikelolah saat masa jahiliyah, maka bisa dimiliki dengan cara diihya’.Cara Ihyaul
Mawat

Cara melakukan ihya’ adalah dengan melakukan sesuatu yang secara adat dianggap bentuk pengolahan
terhadap lahan yang diihya’. Dan hal ini berbeda-beda sebab berbeda-bedanya tujuan yang dikehendaki
oleh orang yang mengolanya.

-Jika orang yang mengolah ingin mengolah lahan mawat menjadi sebagai rumah, maka dalam hal ini
disyaratkan harus memagari lahan tersebut dengan membangun pagar dengan sesuatu yang terlaku
secara adat di tempat tersebut, yaitu berupa bata, batu atau bambu.Dan juga disyaratkan harus
memberi atap diatas sebagian lahan dan memasang pintu.

-Jika orang yang mengolah ingin menjadikan mawat sebagai kandang binatang ternak, maka cukup
membuat pagar yang lebih rendah dari pagarnya rumah, dan tidak disyaratkan harus membuat atap.

-Jika yang mengolah ingin menjadikan mawat sebagai ladang, maka ia harus mengumpulkan tanah di
sekelilingnya, meratakan lahan tersebut dengan mencangkul bagian-bagian yang agak tinggi di sana,
menimbun bagian-bagian yang berlubang/rendah, mengatur pengairan pada lahan tersebut dengan
menggali sumur atau menggali saluran air.

-Jika lahan tersebut sudah dicukupkan dengan air hujan yang biasa turun, maka ia tidak butuh untuk
mengatur pengairan menurut pendapat yang shahih.

-Jika yang mengolah lahan mawat ingin membuat kebun, maka ia harus mengumpulkan tanah dan
membuat pagar di sekeliling lahan kebun tersebut jika memang hal itu telah terlaku. Di samping itu, juga
disyaratkan harus menanam sesuatu menurut pendapat al madzhab.

Ketahuilah sesungguhnya air yang sudah tertentu untuk seseorang, maka tidak wajib diberikan pada
binatang ternak orang lain secara mutlak.

Kewajiban memberikan air tersebut hanya diberlakukan dengan tiga syarat.

-Salah satunya, air tersebut lebih dari kebutuhannya, maksudnya orang yang memiliki air tersebut. Jika
air itu tidak lebih, maka ia berhak mendahulukan dirinya sendiri dan tidak wajib memberikannya pada
orang lain.

-Yang kedua, air tersebut dibutuhkan oleh orang lain, baik untuk dirinya sendiri atau binatangnya. Hal ini
ketika di sana terdapat padang rumput yang digunakan untuk mengembalakan binatang ternak, dan
tidak mungkin mengembala di sana kecuali dengan memberi minum air. Tidak wajib baginya
memberikan air untuk tanaman orang lain dan tidak untuk pohonnya orang lain.

-Yang ketiga, air tersebut masih berada di tempatnya, yaitu tempat keluarnya air baik sumur atau
sumber. Sehingga, ketika air ini sudah diambil di dalam sebuah wadah, maka tidak wajib diberikan
menurut pendapat shahih. Ketika wajib untuk memberikan air, maka yang dikehendaki dengan ini adalah
mempersilahkan binatang ternak orang lain untuk mendatangi sumur, jika pemilik air tidak terganggu
pada tanaman dan binatang ternaknya sendiri.

Jika ia terganggu dengan kedatangan binatang ternak tersebut, maka binatang ternak tersebut dicegah
untuk mendatangi sumur, dan bagi para pengembalanya yang harus mengambilkan air untuk binatang-
binatang ternaknya, sebagaimana keterangan yang disampaikan oleh imam al Mawardi. Sekira wajib
memberikan air, maka tidak diperkenankan untuk mengambil upah atas air tersebut menurut pendapat
shahih.
B. Pengertian Mukhabarah

(Fasal) menjelaskan hukum-hukum mukhabarah.

Mukhabarah adalah pekerjaan yang dilakukan oleh seorang amil di lahan orang lain (malik) dengan upah
sebagian hasil yang keluar dari lahan tersebut, sedangkan benihnya dari amil.

Ketika seseorang menyerahkan lahan pada seorang laki-laki agar ia olah, dan mensyaratkan bagian yang
maklum dari hasilnya pada lelaki tersebut, maka apa yang ia lakukan ini tidak diperkenankan.

Akan tetapi imam an Nawawi mengikut pada imam Ibn al Mundzir lebih memilih hukum diperbolehkan
melakukan akad mukhabarah.

C. Muzara’ah

Begitu pula akad muzara’ah, yaitu pekerjaan yang dilakukan oleh amil dilahan orang lain dengan upah
sebagian dari hasil yang keluar dari lahan tersebut, dan benihnya dari pemilik lahan.

Dan jika pemilik lahan menyewa seseorang untuk mengolah lahannya dengan ongkos berupa emas atau
perak, atau pemilik lahan mensyaratkan upah berupa makanan yang sudah maklum yang menjadi
tanggungannya untuk si amil, maka hukumnya diperkenankan.

Adapun seandainya seseorang memasrahkan pada orang lain sebuah lahan yang disana telah terdapat
pohon kurma yang sedikit atau banyak, kemudian ia melakukan akad musaqah dengan lelaki tersebut
pada pohon-pohon kurma tersebut, dan melakukan akad muzara’ah dengannya pada lahannya, maka
hukum akad muzara’ah ini adalah diperbolehkan karena mengikut pada akad musaqahnya.

Anda mungkin juga menyukai