Anda di halaman 1dari 4

hya Al- Mawat - Hukum Perdata Islam

PENDAHULUAN
Ihya al-Mawat adalah membuka lahan tanah mati dan belum pernah ditanami sehingga
tanah tersebut dapat memberikan manfaat untuk tempat tinggal, bercocok tanam dan
sebagainya.
Islam menyukai manusia berkembang dengan membangun berbagai perumahan dan
menyebar di berbagai pelosok dunia, menghidupkan (membuka) tanah-tanah tandus. Hal itu
dapat menambah kekayaan dan memenuhi kebutuhan hidup, sehingga tercapailah
kemakmuran dan kekuatan mereka.
Bertolak dari hal tersebut, Islam menganjurkan pada penganutnya untuk menggarap tanah
yang gersang agar menjadi subur, sehingga menghasilkan kebaikan dan keberkahan
dengan mengelola tanah tersebut.

BAB 1
PEMBAHASAN :
A. PENGERTIAN
Ihya al-mawat adalah dua lafadz yang menunjukkan satu istilah dalam Fiqh yang
mempunyai maksud tersendiri. Bila diterjemahkan secara literer ihya berarti menghidupkan
dan mawat berasal dari maut yang berarti mati atau wafat. Pengertian al-mawat menurut al-
Rafii ialah:

Artinya: Tanah yang tidak ada pemiliknya dan tidak ada yang memanfaatkannya seorang
pun.
Menurut Imam al-Mawardi dalam kitab Al-Iqna al-Khatib, yang dimaksudkan dengan al-
mawat menurut istilah adalah:

Artinya: Tidak ada yang menanami, tidak ada halangan karena yang menanami, baik dekat
dari yang menanami maupun jauh.
Menurut Syaikh Syibab al-Din Qalyubi wa Umairah dalam kitabnya Qalyubi wa Umairah
bahwa yang dimaksudkan dengan Ihya al-mawat adalah:

Artinya: Menyuburkan tanah yang tidak subur.

B. DASAR HUKUM IHYA AL-MAWAT


Rujukan (sumber hukum) yang dipakai oleh para ulama mengenai ihya a-mawat adalah al-
Hadis, seperti hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Aisyah r.a. bahwa Nabi SAW
bersabda:

Artinya: Barangsiapa yang membangun sebidang tanah yang bukan hak seseorang, maka
dialah yang berhak atas tanah itu.
Sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dari Samurah Ibn Jundab r.a.
bahwa Rasulullah SAW bersabda:

Artinya: Barangsiapa yang telah membuat suatu dinding di bumi, itu berarti telah menjadi
haknya.
Juga hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Nasai bahwa Nabi SAW bersabda:

Artinya: Barangsiapa yang membuka tanah yang belum dimiliki seseorang, maka dia
mendapat ganjaran dan tanaman yang dimakan hewan adalah shadaqah.
Dengan adanya hadis-hadis tersebut, para ulama berbeda pendapat mengenai hukum asal
ihya al-mawat. Sebagian ulama berpendapat bahwa hukumnya adalah jaiz (boleh) dan
sebagian ulama lagi berpendapat sunnat.
C. SYARAT-SYARAT IHYA AL-MAWAT
Lahan (tanah) boleh dianggap tak bertuan dengan syarat bahwa tanah tersebut jauh dari
bangunan perumahan (lingkungan masyarakat), sehingga di tanah itu tidak ada fasilitas
bangunan dan tidak ada dugaan ada orang yang menghuninya.
Untuk mendasari hak pembukaan lahan (tanah) kosong tersebut kembali kepada adat
kebiasaan yang berlaku, terutama untuk mengetahui pengertian jauh dari bangunan
perumahan.

D. MACAM-MACAM HARIM
Harim mamur artinya sesuatu yang dilarang dikuasai oleh seseorang atau apa-apa yang
dihajati untuk penyempurnaan manfaat yang diambil (didapat) pada tanah yang diusahakan.
Harim itu ada bermacam-macam, yaitu sebagai berikut:
a) Harim kampung, ialah lapangan atau alun-alun tempat rekreasi, pacuan kuda, pasar,
tanah lapang, tempat pemandian, tempat keramaian, dan lain-lain.
b) Harim perigi (telaga), yang digali di tanah yang mati (yang baru diusahakan) ialah tempat
kubangan ternak, termasuk tanah yang di sekitarnya, seperti tempat penambatannya atau
tempat pancuran air mengalir (comberan), timba, dan lain-lain.
c) Harim rumah, ialah tempat pembuangan sampah dan lain-lainnya.
Adapun perigi yang baru digali, harimnya ialah 25 hasta sekelilingnya. Kalau perigi sudah
lama ada (sebelum) Islam, harimnya ialah 50 hasta sekitarnya.

E. CARA-CARA IHYA AL-MAWAT


Cara-cara menghidupkan tanah yang mati atau dapat juga disebut dengan memfungsikan
tanah yang disia-siakan bermacam-macam. Perbedaan cara-cara ini dipengaruhi oleh adat
dan kebiasaan masyarakat. Cara-cara ihya al-mawat adalah seperti berikut:
a) Menyuburkan - cara ini digunakan untuk daerah yang gersang, yakni daerah yang
tanaman tidak dapat tumbuh, maka tanah tersebut diberi pupuk, baik pupuk dari pabrik
maupun pupuk kandang sehingga tanah itu dapat mendatangkan hasil sesuai dengan yang
diharapkan.
b) Menanam cara ini dilakukan untuk daerah-daerah yang subur, tetapi belum dijamah
oleh tangan-tangan manusia. Sebagai tanda tanah itu telah ada yang memiliki, maka ia
ditanami dengan tanam-tanaman, baik tanaman untuk makanan pokok, mungkin juga
ditanami pohon-pohon tertentu secara khusus, seperti pohon jati, karet, kelapa, dan pohon-
pohon lainnya.
c) Menggarisi atau membuat pagar hal ini dilakukan untuk tanah kosong yang luas
sehingga tidak mungkin untuk dikuasai seluruhnya oleh orang yang menyuburkannya, maka
dia harus membuat pagar atau garis batas tanah yang akan dikuasai olehnya.
d) Menggali parit yaitu membuat parit di sekeliling kebun yang dikuasainya, dengan
maksud supaya orang lain mengetahui bahwa tanah tersebut sudah ada yang menguasai
sehingga menutup jalan bagi orang lain untuk menguasainya.

F. IZIN PENGUASA DALAM IHYA AL-MAWAT


Mayoritas ulama berpendapat bahwa membuka lahan kosong menjadi sebab pemilikan
tanah tanpa wajib diwajibkan izin dari pemerintah. Orang yang membuka lahan (tanah) baru
otomatis menjadi miliknya tanpa perlu meminta izin lagi kepada pemerintah. Dan penguasa
(pemerintah) berkewajiban memberikan haknya apabila terjadi persengketaan mengenai hal
tersebut.
Imam Abu Hanifah berpendapat, pembukaan tanah merupakan sebab pemilikan (tanah),
akan tetapi disyaratkan juga mendapatkan izin dari penguasa dalam bentuk ketetapan
sesuai aturan (akta agrarian).
Sedangkan Imam Malik membedakan antara tanah yang berdekatan dengan area
perkampungan dan tanah yang jauh darinya. Apabila tanah tersebut berdekatan, maka
diharuskan mendapat izin penguasa. Namun, apabila jauh dari perkampungan maka tidak
disyaratkan izin penguasa. Tanah tersebut otomatis menjai milik orang yang pertama
membukanya.
G. MILIK BERSAMA DALAM TANAH KOSONG
Tanah kosong yang belum ditanami atau diurus oleh seseorang ada tiga macam yang
menjadi milik bersama yaitu:
a) Air
b) Rumput
c) Benda-benda yang dapat dibakar
Menurut sebagian ulama haram hukumnya melarang orang lain menggunakan benda-benda
tersebut, seperti air digunakan oleh manusia untuk minum, memasak, mencuci, meminumi
hewan ternakan, meyiram tanamannya, dan untuk hal-hal yang bermanfaat lainnya. Rumput
digunakan sebagai pakan hewan ternak, seperti kambing, domba, sapi dan kerbau. Sebuah
hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi
SAW bersabda:

Artinya: Janganlah kamu melarang pada kelebihan air dan dengan melarang kelebihan air
itu kamu melarang pula kelebihan rumput.
Yang dimaksudkan hadis itu adalah bahwa rumput-rumput pada tanah yang diusahakan itu
dapat dimakan ternak, tentu air dapat diminum setelah makan rumput, keduanya tidak boleh
dilarang.

H. PEMBAGIAN TANAH
Membagi-bagikan tanah dibolehkan menurut ajaran Islam, asal saja tanah itu belum menjadi
milik seseorang atau suatu lembaga, misalnya tanah yang dikuasai oleh negara.
Penguasaan tanah ini tergantung pada kebijakan pemerintah, apakah akan dimanfaatkan
melalui perusahaan-perusahaan negara atau akan dibagi-bagikan kepada rakyat.
Menurut Qadhi Iyadh yang dimaksudkan dengan al-iqtha (membagi-bagi tanah) adalah
pemberian pemerintah dari harta Allah kepada orang-orang yang dianggap pantas untuk itu,
dengan cara seperti berikut:
a) Sebagian tanah dikeluarkan dan diberikan kepada orang-orang yang dapat (mampu)
memanfaatkannya dan menjaganya. Tanah itu merupakan hak miliknya supaya dikelola
demi mencukupi kebutuhannya.
b) Hak guna usaha, yaitu tanah tersebut diberikan kepada orang-orang tertentu yang layak
dan mampu memfungsikannya. Hasilnya untuk pengelola, tetapi tanah tersebut bukan atau
tidak menjadi hak milik.

I. TEMUAN DALAM TANAH BARU


Seseorang yang telah memiliki sesuatu dibolehkan memanfaatkannya sesuai dengan
kehendaknya, dengan syarat tidak mengganggu milik orang lain. Batas-batas tanah harus
ditandai dengan jelas, seperti ditandai dengan pohon-pohon, beton, dinding, atau tanda-
tanda lainnya yang dapat memisahkan batas-batas tanah dengan jelas. Hal ini dilakukan
untuk menghindari perselisihan di masa yang akan datang.
Pengarang kitab Al-Minhaj berkata, Dan barang siapa yang menghidupkan sebidang tanah
yang mati, lalu di dalamnya terdapat barang yang tersembunyi, barang-barang itu menjai
miliknya, sedangkan air yang mengalir dari lembah-lembah dan mata air yang terpencar dari
gunung menjadi milik bersama.

KESIMPULAN
Apa yang dimaksudkan dengan menghidupkan tanah kosong ialah memanfaatkannya untuk
dijadikan kebun, sawah, dan lain-lainnya. Caranya adalah menyuburkannya, menanaminya
dengan tanam-tanaman atau tumbuh-tumbuhan, memagarinya dan menggali parit di
sekelilingnya.
Adapun membuka tanah baru bagi orang Islam hukumnya adalah jaiz (boleh), dan sesudah
dibukanya tanah itu menjadi miliknya. Tanah yang belum pernah diusahakan, jika berada di
negeri orang Islam, kaum Musliminlah yang berhak mengambil untuk memilikinya, yaitu
dengan mengusahakannya, baik diizinkan oleh imam (pemerintah) maupun tidak.
Apabila tanah itu berada dalam lingkungan orang kafir, jika mereka tidak dilarang, bolehlah
bagi orang Islam untuk mengusahakannya. Dan segala sesuatu yang ada di sekitar tanah
yang diusahakan itu tidak boleh dimiliki orang lain.

DAFTAR PUSTAKA

I. Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Jilid 4 (Fiqhus Sunnah),Terbitan Pena Pundi Aksara (Darul
Fath 2004 Penerbit Asli).

II. Drs. H. Ibnu Masud & Drs. H. Zainal Abidin S., Edisi Lengkap Fiqih Madzhab Syafii Buku
2: Muamalat, Munakahat, Jinayat, Cetakan Kedua, Januari 2007, Terbitan CV Pustaka
Setia.

III. Dr. H. Hendi Suhendi, M.Si., Fiqh Muamalah: Membahas Ekonomi Islam, Kedudukan
Harta, Hak Milik, Jual Beli, Bunga Bank & Riba, Musyarakah, Ijarah, Mudayanah, Koperasi,
Asuransi, Etika Bisnis Dan Lain-Lain, Terbitan PT RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Diposkan oleh Posterdi 21.18

Anda mungkin juga menyukai