KAJIAN TEORI
tempat tinggal, dan (atau) sebagai tempat usaha. Pada batas tertentu,
sebagai iḥyā’. Iḥyā’ tersebut dilakukan terhadap tanah yang tergolong al-
mawāt.1
dimaksud disini yaitu tanah yang belum dikelola dan tidak ada pemiliknya.
Secara Istilah, al-Mawat merupakan tanah yang terbebas dari hak kepemilikan
sehingga layak dan bisa dimanfaatkan untuk tempat tinggal atau bercocok
1
Muḥammad al-Qudah, Iḥyā’ al-Arḍ al-Mawāt wa Atharuhu ‘ala ’l-Iqtiṣād al-Waṭani
al-Ardan Namudhujan, (IUG Journal of Islamic Studies 24, Nomor 2, 2016) hal. 247–71. Di
akses pada 1 Oktober 2022.
2
Syaikh Shalih, Al-Fiqh al-Muyassar, Fikih Muyassar. Izzudin Karimi (Jakarta: Darul
Haq, 2015), hal. 414.
tanam.3 Dalam bentuk asalnya ihya’ al-mawat yaitu membuka tanah yang
belum menjadi milik siapa-siapa, atau telah pernah dimiliki akan tetapi telah
ditinggalkan sampai terlantar dan tak terurus lagi. Siapa yang memperoleh
yang belum dimiliki dan digarap oleh orang lain karena ketiadaan irigasi serta
itu adalah penggarapan lahan yang belum digarap orang lain, baik lahan itu
bahwa perbedaan dari kedua pendapat itu terletak pada bagian dimana tempat
lahan yang akan digarap atau dimanfaatkan. Kalau menurut Ulama Hanafiyah
tanah yang dikatakan tanah mati dan yang bisa digarap itu hanya jika tanahnya
Syafi’yah tanah mati dan tanah yang bisa digarap itu tidak harus bertempat
jauh dari permukiman, ini artinya asalkan tanah tersebut mati dan tidak ada
3
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunah jilid 3, (Jakarta: AL-I’tishom, 2011), hal. 358.
4
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2010), hal. 182.
5
Nasrun Haroen, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama). hal. 45.
6
Ibid, hal. 45.
Berdasarkan definisi tanah mati yang dikemukakan oleh fuqaha di atas,
kriteria tanah yang tergolong tanah mati yaitu tanah yang tidak dimiliki oleh
seseorang atau tanah yang tidak terdapat hak milik atasnya, baik hak milik
orang Islam maupun hak milik non Muslim. Dalam suatu hadits yang pernah
dijelaskan oleh Rasul tentang siapa yang menghidupkan tanah dan lahan mati,
maka tanah tersebut menjadi miliknya” (diriwayatkan oleh Ahmad dan al-
Tarmiziy). Tanah mati yang berarti tidak digarap adalah lahan yang tidak
oleh masyarakat setempat dan tanah yang berada jauh di luar perkampungan.
Tanah terdiri dari banyak jenis, tanah liat, tanah tandus, tanah basah, dan
disini bukan dari zat tanahnya, tapi dari segi hukum yang melekat pada tanah.
yang terdapat hak milik atasnya ada dua macam, tanah yang
telah digarap dan bekas digarap. Tanah yang sudah digarap tidak
7
http://download.portalgaruda.org/article.php?article, Di akses pada tanggal 12
September 2022.
dibolehkan orang lain untuk mengolahnya kecuali ada izin dari
pemilik hak,
mawat.
1) Tanah kontrak,
2) Tanah taklukkan,
3) Tanah pemerintah,
a. Al-Qur’an
صلِ ًحا ۘ قَا َل ٰيقَ ْو ِم ا ْعبُدُوا هّٰللا َ َما لَ ُك ْم ِّمنْ اِ ٰل ٍه َغ ْي ُر ٗه ۗ ُه َو ٰ َواِ ٰلى ثَ ُم ْو َد اَ َخا ُه ْم
ٌ ستَ ْغفِ ُر ْوهُ ثُ َّم ت ُْوبُ ْٓوا اِلَ ْي ِه ۗاِنَّ َربِّ ْي قَ ِر ْي
ب ْ ستَ ْع َم َر ُك ْم ِف ْي َها فَا ِ شا َ ُك ْم ِّمنَ ااْل َ ْر
ْ ض َوا َ اَ ْن
بٌ ُّم ِج ْي
Artinya:
“Dan kepada kaum Tsamud (kami Utus) saudara mereka, Shalih. Dia
berkata, Wahai kaumku! Sembahlah Allah, tidak ada tuhan bagimu selain
Dia. Dia telah menciptakanmu dari bumi (tanah) dan menjadikanmu
pemakmurnya, karena itu mohonlah ampun kepadaNya, kemudian
bertobatlah kepada-Nya. Sesungguhnya tuhanku sangat dekat (rahmat-
Nya) dan memperkenankan (doa hamba-Nya)”.
8
Ibid.
9
Al-hikmah, al-Quran dan Terjemahan, (Diponegoro: CV Penerbit, 2010), hal. 228
Firman Allah dalam surat Al-A’raaf ayat 10 :10
ٰ
َش ُك ُر ْون َ ۗ ِض َو َج َع ْلنَا لَ ُك ْم ِف ْي َها َم َعاي
ْ َش قَلِ ْياًل َّما ت ِ َولَقَ ْد َم َّكنّ ُك ْم ِفى ااْل َ ْر
Artinya:
“Dan sungguh, Kami telah menempatkan kamu di bumi dan disana Kami
sediakan (sumber) penghidupan untukmu. (Tetapi) sedikit sekali kamu
bersyukur.
menguasai dan memakmurkan bumi dan dunia. Sudah sangat jelas sekali
bahwa Allah telah memberikan nikmat yang luar biasa sekali banyaknya
tetapi masih saja manusia kurang bersyukur akan hal itu, karena itu diayat
Selain itu juga telah dijelaskan di dalam Al-quran bahwa Allah SWT
itu Maha pengasih, penyayang dan Maha kaya karena Allah pemberi rizki
untuk umatnya asalkan umatnya tersebut mau berusaha mencari rezki itu
maka Allah akan memberikannya rezki akan tetapi dengan catatan juga
ض اِاَّل َعلَى هّٰللا ِ ِر ۡزقُ َها َو يَ ۡعلَ ُم ُم ۡستَقَ َّرهَا ِ َو َما ِم ۡن دَٓا بَّ ٍة فِى ااۡل َ ۡر
ب ُّمبِ ۡي ٍنٍ َو ُم ۡست َۡو َد َع َهاؕ ُك ٌّل فِ ۡى ِك ٰت
10
Ibid .hal. 151
11
Ibid., hal. 228.
Artinya:
disini ialah dunia, dan “tempat penyimpanan” ialah akhirat. Dan menurut
sebagian mufasir lain, maksud “tempat kediaman” ialah tulang sulbi, dan
b. Hadits
Rujukan (sumber hukum) yang dipakai oleh para ulama mengenai ihya
Bukhari dari Aisyah ra, bahwa Nabi Salallahu ‘alaihi wasallam .bersabda:
“Barang siapa yang telah membuat suatu dinding di bumi itu berarti telah
menjadi haknya”.
Madzhab Malik dan Ahmad berbeda pendapat bahwa seseorang yang akan
membuka tanah baru atau akan memfungsikan tanah tidak wajib untuk
miliknya”(HR Bukhari).12
12
Abu ‘Abdillah Muhammad bin Isma’il Al-Bukhari, Shahih Bukhari, (Beirut: Dar Ibnu
Katsir, 2002), hal. 562.
Muhammad Anwar dalam bukunya Fiqh Islam berpendapat apabila tanah
tersebut dikauasai oleh pemerintah maka yang akan mengelola harus meminta
ijin kepada pemerintah. Selanjutnya dikatakan apabila ada tanah kosong yang
tidak diketahui oleh pemiliknya dan tidak diketahui pula tempat tinggalnya,
tetapi tanda-tanda secara jelas menunjukan bahwa tanah tersebut sudah ada
lingukngan negara islam boleh dimiliki oleh orang islam baik yang diijinkan
tidak dilarang.
Tanah kosong yang belum ditanami atau diurus oleh seseorang ada tiga
1. Air,
2. Rumput,
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh imam abu dawud dan ibnu
“orang islam bersyarikat pada 3 macam yaitu air, padang rumput dan api”
3. Pendapat madzhab
13
Muhammad anwar, Fiqh Islam (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1998).
14
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT Rajawali Pers, 2016 ), hal.271.
a. Madzhab Malikiyyah
penguasa untuk melakukan ihya al nawat, pendapat pertama yakni Imam Abu
Saw :
“Barang siapa yang menghidupkan tanah mati maka itu menjadi miliknya
Dari hadis di atas, ditetapkan bahwa adanya hak kepemilikan atas tanah
pemerintah. Maka dari itu, hukumnya mubah untuk menguasai dan memiliki
tanah tersebut tanpa izin pemerintah. Seperti halnya jika berburu binatang
buruan atau mencabut rumput. Penjelasan yakni jika ada pepohonan atau
tanaman yang ditanam oleh seseorang di tanah orang lain tanpa izin dari
kekuasaan merupakan hasil jerih payah pasukan perang, lalu kemudian kaum
Tanpa izin imam atau penguasa, maka sebagian kaum muslimin tidak boleh
15
Abu Bakar Ibn Mas’ud Al-Kasaniy, Badai’ al-Shanai’ juz VI, (Beirut: Dar al-Kutub al-
Islamiy, 1986), hal. 194.
mengambil hak khusus untuk dirinya sendiri. Berbeda halnya dengan berburu
binatang yang tidak diperoleh dengan hasil peperangan, maka hukumnya jaiz
Tata cara dan prosedur ihya’ al-mawat menurut mazhab Hanafi yakni
dengan cara mendirikan bangunan di atas lahan mati, bercocok tanam serta
Cara lain bisa juga dengan membuat semacam pagar dan secamam tambun
mawat hanya membuat parit untuk saluran irigasi tanpa menyirami lahan
tersebut atau hanya melakukan sebaliknya, maka yang dilakukan itu hanya
sebatas tahjir (membuat tanda) dan belum bisa disebut sebagai menghidupkan
Tanah yang dimiliki oleh seseorang maka tidak diperbolehkan bagi orang lain
tanah tandus yang tidak dialiri air selama bertahun-tahun, karena suatu
16
Ibid. hal. 195.
17
Burhanuddin Abu Al-Hasan Al-Marghinani, Bidayah Al-Mubtadi, (Cairo: Maktabah wa
Mathba’ah Muhammad Ali Shabah, 2009), hal. 226.
Karena sesungguhnya jika tanah tersebut rusak maka tidak ada pajak atau
maka baginya merupakan suatu pajak atau kewajiban. Hal ini jika pemiliknya
diketahui. Dan apabila pemilik nya tidak diketahui maka hukumnya seperti
harta temuan.18
b. Madzhab Sayfi’iyyah
lahan mati jika lahan itu belum pernah dimanfaatkan dan dihuni sama sekali
yang letaknya dalam wilayah suatu kawasan Islam. Lahan yang ditetapkan
sebagai harim serta dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar, maka lahan itu
lahan yang sangat dibutuhkan agar kawasan yang dihuni bisa dimanfaatkan
dan sebagainya.19
yakni:
tanah mati kembali yang tiada bangunan di atasnya. Tanah-tanah itu tetap
18
Abu Bakar Ibn Mas’ud Al-Kasaniy, Badai’ al-Shanai’ juz VI, (Beirut: Dar al-Kutub al-
Islamiy, 1986), hal. 192.
19
Abu Zakariya Muhyiddin Yahya Ibn Syaraf al-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh al-
Muhadzdzab, Juz XV, (Beirut: Dar al-Fikr, 1431), hal. 204.
untuk pemiliknya seperti tanah yang dibagun, yang tiada sekali-sekali
2) Tanah mati yang tiada dimiliki seseorang. Tanah ini tidak diolah dan tidak
SAW, riwayat Abu Daun dari Said bin Zaid yang artinya” narang siapa
yang menghidupkan tanah mati maka tanah itu menjadi hak miliknya”.20
berdekatan dengan kawasan penduduk atau sebaliknya. Syarat lahan mati yang
dihidupkan harus terletak dalam kawasan negeri Islam. Jika lahannya berlokasi di
Syafi’iyyah, syarat orang yang melakukan ihya’ al-mawat harus seorang Muslim.
Kafir dzimmi tidak mempunyai hak untuk menghidupkan lahan yang mati
meskipun ada izin dari pemerintah atau imam. Alasannya yakni karena
menghidupkan lahan mati adalah bentuk menguasai sedangkan hal itu tidak
diperbolehkan bagi kafir dzimmi yang berada dalam wilayah Islam. Jika kafir
dzimmi menghidupkan lahan mati, maka lahan itu akan disita dan ia tidak
20
Al-Husaini, Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad,. Kifayat al-Akhyar. (Terj.
Syarifuddin Anwar & Mishbah Musthafa. Surabaya: CV Bina Iman, 2007). hal. 300
21
Ibid.
22
Ibid, hal. 301
mendapatkan hak kompensasi. Bilamana ada seorang Muslim mengambil lahan
itu darinya, kemudian menghidupkannya, maka lahan itu menjadi milik seorang
diinginkan oleh al-muhyi. Jika ia ingin menghidupkan tanah yang mati dengan
tersebut sesuai adat yang berlangsung di tempat itu, seperti dengan menggunakan
batu bata, kayu, rotan, dan sejenisnya. Selain itu disyaratkan juga membangun
Adapun jika al-muhyi ingin menghidupkan lahan yang mati dengan membuat
kandang untuk hewan maka cukup dengan membuat pagar di sekelilingnya tanpa
perlu adanya atap. Ihya’ al-mawat juga bisa dilakukan oleh al-muhyi dengan
air dari sumur atau lainnya. Jika saat bercocok tanam sering terjadi hujan maka
tidak perlu mengairinya secara teratur menurut pendapat yang shahih. Selain itu,
ihya’ al-mawat juga bisa dilakukan dengan berkebun dengan sesuai syaratnya.25
mazhab, maka akan dilakukan perbandingan antara kedua konsep ihya’ al-nawat
dari mazhab Hanafi dan mazhab Syafi’i dengan menggunakan teori muqaranah
dilindungi sampai pemiliknya muncul. Bisa juga untuk dijual jika dalam
tidak dimiliki oleh seseeorang dan tidak ditemukan tanda-tanda pada lahan
tersebut bahwa telah dihuni serta dimanfaatkan, maka lahan itu bisa
26
Abu Bakar Ibn Mas’ud Al-Kasaniy, Badai’ al-Shanai’ juz VI, (Beirut: Dar al-Kutub al-
Islamiy, 1986), hal. 192.
27
Al-Husaini, Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad,. Kifayat al-Akhyar. (Terj.
Syarifuddin Anwar & Mishbah Musthafa. Surabaya: CV Bina Iman, 2007). hal. 301.
tanah milik seseorang yang diketahui identitasnya, yang mana tanah
tersebut ia peroleh dari hasil jual-beli atau sebab yang lain, maka hak
kepemilikan atas tanah itu masih berlaku dan tidak diperbolehkan kepada
pada masa lampau dari masa jahiliyah dalam lahan mati tersebut, seperti
lain sebagainya, maka lahan tersebut bisa dimiliki dengan cara ihya’ al-
mawat.29 Terdapat juga suatu syarat untuk lahan mati yang dihidupkan,
letaknya yang dekat atau jauh dari kawasan penduduk, seperti digunakan
c. Syarat-Syarat
Hanafi, tidak ada syarat khusus untuk orang yang menghidupkan lahan
mati (al-muhyi) adalah orang yang beragama Islam. Hal ini berdasarkan
tanah itu menjadi miliknya.”, dan juga karena ihya’ almawat menjadi
28
Al-Husaini, Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad,. Kifayat al-Akhyar. (Terj.
Syarifuddin Anwar & Mishbah Musthafa. Surabaya: CV Bina Iman, 2007). hal. 300
29
Abu Zakariya Muhyiddin Yahya Ibn Syaraf al-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh al-
Muhadzdzab, Juz XV, (Beirut: Dar al-Fikr, 1431), hal. 204
30
Ibid. hal. 208
sebab al-tamlik (kepemilikan), sehingga muslim atau kafir dzimmi
dan kafir dzimmi tidak mempunyai hak untuk melakukan ihya’ almawat,
tersebut. Sementara hal itu tidak diperbolehkan bagi kafir dzimmi yang
yang harus dipenuhi. Jika tidak adanya izin tersebut maka penghidupan
lahan mati yang dilakukan tidak sah dan diambil alih oleh
imam/penguasa.33
hakim dalam menghidupkan lahan yang mati tidak diperlukan dan tidak
Lahan mati yang telah dihidupkan tetap menjadi milik orang yang
31
Burhanuddin Abu Al-Hasan Al-Marghinani, Bidayah Al-Mubtadi, (Cairo: Maktabah wa
Mathba’ah Muhammad Ali Shabah, 2009), hal. 225.
32
Abu Zakariya Muhyiddin Yahya Ibn Syaraf al-Nawawi, Al-Majmu’ Syar h al-
Muhadzdzab, Juz XV, (Beirut: Dar al-Fikr, 1431), hal. 207.
33
Abu Bakar Ibn Mas’ud Al-Kasaniy, Badai’ al-Shanai’ juz VI, (Beirut: Dar al-Kutub al-
Islamiy, 1986), hal. 198
berdasar pada lafal hadis “Barangsiapa yang menghidupkan lahan mati,
d. Tata Cara
Adapun tata cara ihya’ al-mawat, menurut mazhab Hanafi bisa dilakukan
menjaga kandungan air pada tanah tesebut karena termasuk bagian dari
ihya’ al-mawat bisa dilakukan dengan dengan cara menanami tanah mati
dengan berbagai macam tumbuhan, atau bisa dengan cara yang lainnya.
izin dari penguasa. Maka, kapan saja seseorang membuka lahan baru, ia
34
Abu Zakariya Muhyiddin Yahya Ibn Syaraf al-Nawawi, Al-Majmu’ Syar h al-Muhadzdzab, Juz
XV, (Beirut: Dar al-Fikr, 1431), hal. 206.
kepemilikannya. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa ihya’al-mawat
dan tanah yang jauh dari keramaian. Tanah yang berdekatan dengan
dan akan menjadi milik orang yang membukanya. Mazhab Maliki dan
baru atau akan memfungsikan tanah tidak wajib meminta izin kepada
Artinya: Dan dari Said bin Zaid r.a, dari Nabi saw, yang bersabda,
dinilai hasan oleh AtTirmidzi. Beliau bersabda sebagai Rasul dan Nabi,
tidak berbicara sebagai kepala negara selain dari pada itu hadits
adat, hukum tanah barat, hukum tanah antar golongan, hukum tanah
36
Arie S. et. al Hutagalung, Hukum Pertanahan di Belanda dan Indonesia (Jakarta:
Universitas Indonesia, 2012), hal. 133.
tentang Benda Cagar Budaya, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999
saja pemegang (subjek) atas suatu tanah, jenis hak atas tanah, dan
Tanah dilihat dari sisi subjek, terdiri atas tanah yang dipegang atas
nama pribadi atau individu, tanah atas nama badan hukum, tanah ulayat,
tanah. Diantara badan hukum dalam kategori ini antara lain; bank yang
Ketiga, tanah ulayat. Tanah ulayat merupak hak atas tanah adat.
nasional disusun berdasarkan hukum adat. Tanah adat ini merupakan tanah
adat.37 Keempat tanah atas nama negara. Tanah pada poin terakhir ini
berpijak pada UUD 1945 Pasal 33 (3) yang mengatakan, “Bumi air dan
Keberadaan tanah atas nama negara diperjelas dalam UUPA Pasal 2 yang
mengatur kewenangan negara terhadap bumi air dan ruang angkasa yang
terdapat wilayah negara Indonesia. Meskipun tidak ada satu pasal yang
37
Husen Alting, “Penguasaan Tanah Masyarakat Hukum Adat (Suatu Kajian terhadap
Masyarakat Hukum Adat Ternate),” Jurnal Dinamika Hukum 11, no. 1 (2001): 84–95,
http://dx.doi.org/ 10.20884/1.jdh.2011.11.1.75. Di akses pada 6 Oktober 2022
menyebutkan bahwa negara boleh memiliki tanah,38 namun secara nyata
bisa dipahami jika terrdapat tanah yang tidak atau belum atas nama
pribadi, badan hukum, dan (atau) tanah ulayat, maka tanah tersebut
tanah yang dapat dipunyai oleh subjek hukum, yaitu: hak milik;
hak guna usaha; hak gunabangunan; hak pakai; hak sewa; hak
yaitu; hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan hak
Dari berbagai jenis hak atas tanah di atas, hak milik merupakan hak
Tanah yang berstatus hak milik dapat digunakan, dipungut hasilnya, dan
38
Afifah Kusumadara, Perkembangan Hak Negara atas Tanah: Hak Menguasai atau
Hak Memiliki, (Jurnal Media Hukum 20, Nomor. 2, tahun 2013) hal. 262. Di akses pada 6
Oktober 2022
39
Ilyas Ismail, Sufyan, dan Azhari, Rekonseptualisasi Hak Atas Tanah dalam Kerangka
Pembaharuan Hukum Tanah Nasional, (Jurnal Ilmu Hukum Litigasi 14, Nomor. 1, Tahun 2013),
hal. 1698–1729. Di akses pada 6 Oktober 2022.
dilakukan tindakantindakan hukum lainnya. Tanah jenis ini hanya bisa
melekat pada pribadi yang merupakan warga negara Indonesia (WNI) dan
tanah dengan status hak milik tetap harus tunduk dan patuh pada rencana
pada kekayaan alam yang terkandung di dalam tubuh bumi yang ada di
bawahnya.40
Hak-hak atas tanah lainnya seperti hak guna usaha, hak guna
bangunan, hak pakai; hak sewa, dan hak memungut-hasil hutan merupakan
hak atas yang secara parsial melekat pada subjek hukum tertentu.
Keberadaannya tidak sekuat hak milik dan pada batas tertentu terdapat
yang melekat pada hak milik tidak bisa diterapkan pada hak-hak tersebut.
Hanya saja hak yang tercantum dalam UUPA Pasal 46 (1) ini tidak
tanah pernah diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri 6 Tahun 1972
40
Hutagalung, Hukum Pertanahan di Belanda dan Indonesia. Aturan dasar tentang
hak milik atas tanah termaktub di UUPA Pasal 20 s/d 27; Pasal 50 ayat (1) dan Pasal 56.
tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Keputusan
tanah dengan cara membuka tanah sudah tidak bisa dilakukan lagi.41
diuraikan jenis tanah yang tidak terkelola dengan baik dan tanah yang
‘baru’ muncul. Disini terdapat istilah tanah terlantar, tanah timbul, dan
terlantar merupakan tanah yang dengan sengaja atau tidak sengaja, tidak
dipelihara atau tidak terawat. Dalam konteks tanah (hukum) adat, tanah
disebut terlantar ketika ada seseorang yang menggarap tanah ulayat hingga
sekali atau dua kali panen kemudian ditinggal dalam kurun waktu tertentu
hingga tanah tersebut kembali menjadi hutan. Saat tanah yang pernah
digarap itu menjadi hutan, selanjutnya tanah ini kembali menjadi tanah
adat.43
41
Ibid, hal. 1698–1729.
42
Rokhmad, Sengketa Tanah Kawasan Hutan dan Resolusinya dalam Perspektif Fiqh.
(Jurnal Walisong 21 Nomor 1, Tahun 2013) Di akses pada 6 Oktober 2022.
43
Supriyanto, Kriteria Tanah Terlantar dalam Peraturan Perundangan Indonesia,
( Jurnal Dinamika Hukum 10, Nomor. 1 Tahun 2010): 40–60. Di akses pada 6 Oktober 2022
Tanah terlantar dalam peraturan pertanah di Indonesia
mengecualikan tanah dengan kategori hak milik. Hal tersebut tampak pada
keadaannya atau sifat dan tujuan daripada haknya maka tanah tersebut
hak atas tanah, pemegang hak pengelolaan atau pihak yang telah
Tahun 1998 memberi penjelasan tentang tanah dengan status hak guna
bangunan, hak guna usaha, dan hak pengelolaan yang berpotensi menjadi
terhadap tanah tersebut. Klausul tanah terlantar ini berlaku kepada tanah
44
Ibid.
45
Ibid.
Selanjutnya, aturan tentang tanah terlantar diperbaharui dengan
yang meliputi; pertama, objek tanah terlantar meliputi hak atas tanah, hak
dari proses sedimentasi atau endapan di tepi perairan sungai atau pantai. Ia
timbul ini merupakan salah satu cara memperoleh hak atas tanah menurut
areal tanah yang dengan status tertentu, maka tanah timbul tersebut
menjadi milik pemegang hak tanah tersebut. Hanya saja bila tanah timbul
tersebut sangat luas, tanah timbul ini menjadi tanah ulayat masyarakat
hukum adat setempat.48 Untuk saat ini, tanah timbul status hukumnya
menjadi tanah negara. Hal ini mengacu pada surat edaran Menteri Negara
46
Ibid.
47
Irawan Soerodjo, Hukum Pertanahan Hak Pengelolaan Atas Tanah (HPL); Eksistensi,
Pengaturan, dan Praktik (Yogyakarta: Laksbang Mediatama, 2014), hal. 119.
48
Supriyanto, Kriteria Tanah Terlantar dalam Peraturan Perundangan Indonesia,
( Jurnal Dinamika Hukum 10, Nomor. 1 Tahun 2010): 120. Di akses pada 6 Oktober
Agraria atau Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 410-1293, tanggal
9 Mei 1996.49
dinyatakan bahwa, “Tanah yang berasal dari tanah timbul atau hasil
reklamasi di wilayah peraian pantai, pasang surut, rawa, danau, dan bekas
Ada dua cara untuk melakukan reklamasi, sistem polder dan sistem
Hal ini senada dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun
kawasan budidaya.51
49
Ibid, hal. 124-125.
50
Ibid, hal. 117.
51
Ibid, hal. 118.
Kedudukan tanah reklamasi sama dengan tanah timbul, yakni
dari tanah timbul atau hasil reklamasi di wilayah peraian pantai, pasang
surut, rawa, danau, dan bekas sungai dikuasai langsung oleh negara.” Hak
atas tanah reklamasi diatur dan diberikan oleh pemerintah kepada mereka
pemegang hak atas tanah dari areal reklamasi tersebut diberi hak
yang ada diterbitkan sertifikat hak milik oleh Badan Pertanahan Nasional
52
Ibid, hal. 125.
53
Dessy Natalia Sirapanji, Status Hukum Tanah Reklamasi Pantai Kota Manado
Berdasarkan Undang-Undang Agraria No. 5 Tahun 1960, ( Lex Administratum 1, Nomor. 2
Tahun 2013): 79–88.
54
Sudahnan, Status Penguasaan Tanah Tepi Pantai (Studi di Kabupaten Pamekasan),
(Perspektif 11, Nomor. 3 Tahun 2006): 282–95.
Dengan demikian, bisa diketahui bahwa tidak semua jenis tanah
yang ada di Indonesia bisa dikelola atau dimanfaatkan begitu saja. Ketika
salah seorang dari warga negara Indonesia akan memanfaat tanah, maka