Anda di halaman 1dari 28

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Konsep Ihyâ Al-Mawât

1. Pengertian Ihyâ Al-Mawât

Iḥyā’ terhadap tanah (al-arḍ) bisa dimaknai dengan upaya menghidupkan,

memakmurkan, memberikan nilai tambah, menjadikan bermanfaat, dan

semacamnya. Bentuk nyata dari iḥyā’ berupa bercocok tanam, dijadikan

tempat tinggal, dan (atau) sebagai tempat usaha. Pada batas tertentu,

menguasai tanah tersebut dengan memberi batas tertentu bisa dimaknai

sebagai iḥyā’. Iḥyā’ tersebut dilakukan terhadap tanah yang tergolong al-

mawāt.1

Secara bahasa, al-Mawat merupakan sesuatu yang tidak bernyawa. Yang

dimaksud disini yaitu tanah yang belum dikelola dan tidak ada pemiliknya.

Secara Istilah, al-Mawat merupakan tanah yang terbebas dari hak kepemilikan

orang yang terlindungi. Ia merupakan tanah kosong yang belum berlaku

padanya kepemilikan untuk seseorang, didalamnya tidak didapatkan tanda-

tanda pengolahan, atau didalamnya didapatkan tanda kepemilikan dan

pengolahan namun pemiliknya tidak diketahui.2

Ihya’ al-Mawat mempunyai arti menggarap tanah yang belum tergarap

sehingga layak dan bisa dimanfaatkan untuk tempat tinggal atau bercocok

1
Muḥammad al-Qudah, Iḥyā’ al-Arḍ al-Mawāt wa Atharuhu ‘ala ’l-Iqtiṣād al-Waṭani
al-Ardan Namudhujan, (IUG Journal of Islamic Studies 24, Nomor 2, 2016) hal. 247–71. Di
akses pada 1 Oktober 2022.
2
Syaikh Shalih, Al-Fiqh al-Muyassar, Fikih Muyassar. Izzudin Karimi (Jakarta: Darul
Haq, 2015), hal. 414.
tanam.3 Dalam bentuk asalnya ihya’ al-mawat yaitu membuka tanah yang

belum menjadi milik siapa-siapa, atau telah pernah dimiliki akan tetapi telah

ditinggalkan sampai terlantar dan tak terurus lagi. Siapa yang memperoleh

tanah dalam keadaan seperti diatas dia berhak memilikinya.4

Secara terminologi ada beberapa definisi yang dikemukankan oleh para

ulama fiqih mengenai ihya’ al-mawat. Pertama, Ulama Hanafiyah disini

mereka mendefinisikan bahwa ihya’ al mawat itu adalah penggarapan lahan

yang belum dimiliki dan digarap oleh orang lain karena ketiadaan irigasi serta

jauh dari permukiman.5

Kedua, Ulama Syafi‟iyah mereka mendefinisikan bahwa ihya’ al-mawat

itu adalah penggarapan lahan yang belum digarap orang lain, baik lahan itu

jauh dari permukiman maupun dekat dari permukinan.6

Dari penjelasan menurut kedua Ulama di atas dapat penulis simpulkan

bahwa perbedaan dari kedua pendapat itu terletak pada bagian dimana tempat

lahan yang akan digarap atau dimanfaatkan. Kalau menurut Ulama Hanafiyah

tanah yang dikatakan tanah mati dan yang bisa digarap itu hanya jika tanahnya

terletak jauh dari permukiman masyarakat sedangkan menurut ulama

Syafi’yah tanah mati dan tanah yang bisa digarap itu tidak harus bertempat

jauh dari permukiman, ini artinya asalkan tanah tersebut mati dan tidak ada

yang menggarapnya maka orang lain boleh menggarap tanah tersebut

meskipun tanahnya itu dekat dari permukiman.

3
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunah jilid 3, (Jakarta: AL-I’tishom, 2011), hal. 358.
4
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2010), hal. 182.
5
Nasrun Haroen, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama). hal. 45.
6
Ibid, hal. 45.
Berdasarkan definisi tanah mati yang dikemukakan oleh fuqaha di atas,

kriteria tanah yang tergolong tanah mati yaitu tanah yang tidak dimiliki oleh

seseorang atau tanah yang tidak terdapat hak milik atasnya, baik hak milik

orang Islam maupun hak milik non Muslim. Dalam suatu hadits yang pernah

dijelaskan oleh Rasul tentang siapa yang menghidupkan tanah dan lahan mati,

maka tanah tersebut menjadi miliknya” (diriwayatkan oleh Ahmad dan al-

Tarmiziy). Tanah mati yang berarti tidak digarap adalah lahan yang tidak

digarap dapat dibuktikan dengan tanda-tanda pada lahan tersebut seperti

pemagaran, bekas penggarapan dan tanda-tanda lainnya yang biasa dipakai

oleh masyarakat setempat dan tanah yang berada jauh di luar perkampungan.

Menurut imam Hanafi bahwa lahan yang berada di kawasan masyarakat

muslim adalah hak kaum muslim.7

Tanah terdiri dari banyak jenis, tanah liat, tanah tandus, tanah basah, dan

lainlain. Disini akan diuraikan pembagian tanah menurut Fuqaha yang

terdapat dalam kitab-kitab fiqh dan peraturan-peraturan yang pernah berlaku

dari zaman Rasulullah sampai zaman Khalifah Rasyidin. Pembagian tanah

disini bukan dari zat tanahnya, tapi dari segi hukum yang melekat pada tanah.

Pembagian tanah dapat dilihat dari dua segi,

a. Pertama, kedudukannya terbagi kepada dua, yaitu;

1) Tanah yang terdapat atasnya hak milik (ardh mamlukah). Tanah

yang terdapat hak milik atasnya ada dua macam, tanah yang

telah digarap dan bekas digarap. Tanah yang sudah digarap tidak

7
http://download.portalgaruda.org/article.php?article, Di akses pada tanggal 12
September 2022.
dibolehkan orang lain untuk mengolahnya kecuali ada izin dari

pemilik hak,

2) Tanah yang tidak dimiliki (ardh ghair al-mamlukah). Tanah

yang tidak dimiliki terdiri dari tanah untuk kepentingan umum

dan tanah yang belum digarap serta tidak diketahui pemiliknya

atau tanah tidak diketahui pemiliknya dikenal dengan istilah al-

mawat.

b. Kedua, Tanah pemberian khalifah kepada rakyat yaitu;

1) Tanah kontrak,

2) Tanah taklukkan,

3) Tanah pemerintah,

4) Tanah milik kaum muslimin.8

2. Dasar hukum tanah ihya al mawat

a. Al-Qur’an

Firman Allah SWT dalam surat Huud ayat 61:9

‫صلِ ًحا ۘ قَا َل ٰيقَ ْو ِم ا ْعبُدُوا هّٰللا َ َما لَ ُك ْم ِّمنْ اِ ٰل ٍه َغ ْي ُر ٗه ۗ ُه َو‬ ٰ ‫َواِ ٰلى ثَ ُم ْو َد اَ َخا ُه ْم‬
ٌ ‫ستَ ْغفِ ُر ْوهُ ثُ َّم ت ُْوبُ ْٓوا اِلَ ْي ِه ۗاِنَّ َربِّ ْي قَ ِر ْي‬
‫ب‬ ْ ‫ستَ ْع َم َر ُك ْم ِف ْي َها فَا‬ ِ ‫شا َ ُك ْم ِّمنَ ااْل َ ْر‬
ْ ‫ض َوا‬ َ ‫اَ ْن‬
‫ب‬ٌ ‫ُّم ِج ْي‬
Artinya:

“Dan kepada kaum Tsamud (kami Utus) saudara mereka, Shalih. Dia
berkata, Wahai kaumku! Sembahlah Allah, tidak ada tuhan bagimu selain
Dia. Dia telah menciptakanmu dari bumi (tanah) dan menjadikanmu
pemakmurnya, karena itu mohonlah ampun kepadaNya, kemudian
bertobatlah kepada-Nya. Sesungguhnya tuhanku sangat dekat (rahmat-
Nya) dan memperkenankan (doa hamba-Nya)”.
8
Ibid.
9
Al-hikmah, al-Quran dan Terjemahan, (Diponegoro: CV Penerbit, 2010), hal. 228
Firman Allah dalam surat Al-A’raaf ayat 10 :10

ٰ
َ‫ش ُك ُر ْون‬ َ ۗ ِ‫ض َو َج َع ْلنَا لَ ُك ْم ِف ْي َها َم َعاي‬
ْ َ‫ش قَلِ ْياًل َّما ت‬ ِ ‫َولَقَ ْد َم َّكنّ ُك ْم ِفى ااْل َ ْر‬
Artinya:

“Dan sungguh, Kami telah menempatkan kamu di bumi dan disana Kami
sediakan (sumber) penghidupan untukmu. (Tetapi) sedikit sekali kamu
bersyukur.

Berdasarkan ayat-ayat diatas menerangkan bahwa Allah telah

menciptakan Manusia dari bumi (tanah) dan telah menyediakan sumber

penghidupan juga di bumi serta menjadikan manusia juga untuk

menguasai dan memakmurkan bumi dan dunia. Sudah sangat jelas sekali

bahwa Allah telah memberikan nikmat yang luar biasa sekali banyaknya

tetapi masih saja manusia kurang bersyukur akan hal itu, karena itu diayat

diatas juga menganjurkan manusia agar banyak-banyak bersyukur dan

mohon ampunlah kepada Allah SWT.

Selain itu juga telah dijelaskan di dalam Al-quran bahwa Allah SWT

itu Maha pengasih, penyayang dan Maha kaya karena Allah pemberi rizki

untuk umatnya asalkan umatnya tersebut mau berusaha mencari rezki itu

maka Allah akan memberikannya rezki akan tetapi dengan catatan juga

tetap menekankan dan mewajibkan kehalalannya.

Sebagaimana firman Allah dalam surat Huud ayat 6:11

‫ض اِاَّل َعلَى هّٰللا ِ ِر ۡزقُ َها َو يَ ۡعلَ ُم ُم ۡستَقَ َّرهَا‬ ِ ‫َو َما ِم ۡن دَٓا بَّ ٍة فِى ااۡل َ ۡر‬
‫ب ُّمبِ ۡي ٍن‬ٍ ‫َو ُم ۡست َۡو َد َع َها‌ؕ ُك ٌّل فِ ۡى ِك ٰت‬
10
Ibid .hal. 151
11
Ibid., hal. 228.
Artinya:

“Dan tidak satupun makhluk bergerak (bernyawa) dibumi melainkan


semuanya dijamin Allah rezkinya (tertulis) dalam kitab yang nyata (Lauh
Mahfuzh)”.

Menurut sebagian mufasir, yang dimaksud dengan “tempat kediaman”

disini ialah dunia, dan “tempat penyimpanan” ialah akhirat. Dan menurut

sebagian mufasir lain, maksud “tempat kediaman” ialah tulang sulbi, dan

“tempat penyimpanan” ialah rahim.

b. Hadits

Rujukan (sumber hukum) yang dipakai oleh para ulama mengenai ihya

al-mawat ialah al-hadis seperti hadis yang diriwayatkan oleh Imam

Bukhari dari Aisyah ra, bahwa Nabi Salallahu ‘alaihi wasallam .bersabda:

“Barang siapa yang membangun sebidang tanah yang bukan hak


seseorang maka dialah yang berhak atas tanah itu”
Sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dari Samurah

Ibn Jundab bahwa Rasulullah Saw. bersabda:

“Barang siapa yang telah membuat suatu dinding di bumi itu berarti telah
menjadi haknya”.

Madzhab Malik dan Ahmad berbeda pendapat bahwa seseorang yang akan

membuka tanah baru atau akan memfungsikan tanah tidak wajib untuk

meminta ijin kepada penguasa sebab rasulullah saw bersabda:

“Barang siapa yang mengidupkan tanah mati maka akan menjadi

miliknya”(HR Bukhari).12

12
Abu ‘Abdillah Muhammad bin Isma’il Al-Bukhari, Shahih Bukhari, (Beirut: Dar Ibnu
Katsir, 2002), hal. 562.
Muhammad Anwar dalam bukunya Fiqh Islam berpendapat apabila tanah

tersebut dikauasai oleh pemerintah maka yang akan mengelola harus meminta

ijin kepada pemerintah. Selanjutnya dikatakan apabila ada tanah kosong yang

tidak diketahui oleh pemiliknya dan tidak diketahui pula tempat tinggalnya,

tetapi tanda-tanda secara jelas menunjukan bahwa tanah tersebut sudah ada

yang mengelolanya, tanah tersebut harus dikuasai oleh negara.13

Dijelaskan oleh Idris Ahmad bahwa tanah kosong yang berada di

lingukngan negara islam boleh dimiliki oleh orang islam baik yang diijinkan

oleh pemerintah maupun tidak. Apabila tanah kosong dilingkungan orang

kafir maka orang-orang islam dibolehkan mengusahakanya apabila mereka

tidak dilarang.

Tanah kosong yang belum ditanami atau diurus oleh seseorang ada tiga

macam yang menjadi milik bersama yaitu:

1. Air,

2. Rumput,

3. Benda-benda yang dapat dibakar.

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh imam abu dawud dan ibnu

majah dariAbu Hurairoh ra. dari Nabi Saw. bersabda:

“orang islam bersyarikat pada 3 macam yaitu air, padang rumput dan api”

Menurut sebagian ulama haram hukumnya melarang orang lain

menggunakan benda-benda tersebut.14

3. Pendapat madzhab

13
Muhammad anwar, Fiqh Islam (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1998).
14
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT Rajawali Pers, 2016 ), hal.271.
a. Madzhab Malikiyyah

Terdapat perbedaan pendapat dari ulama fiqh dalam persoalan perizinan

penguasa untuk melakukan ihya al nawat, pendapat pertama yakni Imam Abu

Yusuf tidak mensyaratkan hal tersebut sedangkan Imam Abu Hanifah

memasukkan izin penguasa ke dalam syarat sahnya ihya al mawat.15

Imam Abu Yusuf berpendapat demikian sesuai dengan Hadis Rasulullah

Saw :

“Barang siapa yang menghidupkan tanah mati maka itu menjadi miliknya

dan orang yang menanam dengan zalim tidak mempunyai hak.”

Dari hadis di atas, ditetapkan bahwa adanya hak kepemilikan atas tanah

mati bagi orang yang menghidupkannya (al-muhyi) tanpa disyaratkan izin

pemerintah. Maka dari itu, hukumnya mubah untuk menguasai dan memiliki

tanah tersebut tanpa izin pemerintah. Seperti halnya jika berburu binatang

buruan atau mencabut rumput. Penjelasan yakni jika ada pepohonan atau

tanaman yang ditanam oleh seseorang di tanah orang lain tanpa izin dari

pemiliknya, maka pepohanan atau tanaman tersebut boleh dicabut atau

dipanen oleh si pemilik.

Imam Abu Hanifah menambahkan, bahwa sesungguhnya seluruh wilayah

kekuasaan merupakan hasil jerih payah pasukan perang, lalu kemudian kaum

muslimin menempati wilayah tersebut yang semuanya merupakan ganimah.

Tanpa izin imam atau penguasa, maka sebagian kaum muslimin tidak boleh
15
Abu Bakar Ibn Mas’ud Al-Kasaniy, Badai’ al-Shanai’ juz VI, (Beirut: Dar al-Kutub al-
Islamiy, 1986), hal. 194.
mengambil hak khusus untuk dirinya sendiri. Berbeda halnya dengan berburu

binatang yang tidak diperoleh dengan hasil peperangan, maka hukumnya jaiz

untuk dimiliki dan dikonsumsi pribadi.16

Tata cara dan prosedur ihya’ al-mawat menurut mazhab Hanafi yakni

dengan cara mendirikan bangunan di atas lahan mati, bercocok tanam serta

mengelolahnya, sebagai lahan untuk membajak, dan membuat saluran irigasi.

Cara lain bisa juga dengan membuat semacam pagar dan secamam tambun

yang memanjang untuk menjaga air di kawasan tersebut. Muhammad al-

Shaybani meriwayatkan bahwa jika seseorang yang melakukan ihya’ al-

mawat hanya membuat parit untuk saluran irigasi tanpa menyirami lahan

tersebut atau hanya melakukan sebaliknya, maka yang dilakukan itu hanya

sebatas tahjir (membuat tanda) dan belum bisa disebut sebagai menghidupkan

lahan yang mati.17

Terdapat berbagai macam hukum yang timbul dari macam-macam tanah.

Tanah yang dimiliki oleh seseorang maka tidak diperbolehkan bagi orang lain

untuk mengelolanya tanpa izin dari pemiliknya karena hak kepemilikan

tersebut menjadi penghalang untuk mengolah tanah tersebut. Begitu juga

tanah tandus yang tidak dialiri air selama bertahun-tahun, karena suatu

kepemilikan atas tanah tersebut sifatnya tetap seiring berputarnya waktu

hingga pemilik memperbolehkan untuk menjualnya, menghibahkannya,

menyewakannya, dan menjadi harta warisan jika si pemilik meninggal dunia.

16
Ibid. hal. 195.
17
Burhanuddin Abu Al-Hasan Al-Marghinani, Bidayah Al-Mubtadi, (Cairo: Maktabah wa
Mathba’ah Muhammad Ali Shabah, 2009), hal. 226.
Karena sesungguhnya jika tanah tersebut rusak maka tidak ada pajak atau

kewajiban baginya, Kecuali jika si pemilik Menelantarkannya dengan sengaja

maka baginya merupakan suatu pajak atau kewajiban. Hal ini jika pemiliknya

diketahui. Dan apabila pemilik nya tidak diketahui maka hukumnya seperti

harta temuan.18

b. Madzhab Sayfi’iyyah

Menurut ulama Syafi’iyyah, ihyâ' al-mawât memiliki definisi sebagai

lahan mati jika lahan itu belum pernah dimanfaatkan dan dihuni sama sekali

yang letaknya dalam wilayah suatu kawasan Islam. Lahan yang ditetapkan

sebagai harim serta dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar, maka lahan itu

tidak dapat dimiliki dengan cara menghidupakannya. Lahan harim adalah

lahan yang sangat dibutuhkan agar kawasan yang dihuni bisa dimanfaatkan

dan dipergunakan dengan baik dan maksimal. Lahan harim biasanya

digunakan sebagai tempat melepas kuda, sebagai tempat pembuangan sampah,

dan sebagainya.19

Terdapat penjelasan Imam al-Syafi’I dalam mengelompokan tanah mawat

yakni:

1) Tanah mati yang telah dibangun kepunyaan orang-orang yang dikenal

dalam Islam. Kemudian pembangunan itu hilang, lalu tanahnya menjadi

tanah mati kembali yang tiada bangunan di atasnya. Tanah-tanah itu tetap

18
Abu Bakar Ibn Mas’ud Al-Kasaniy, Badai’ al-Shanai’ juz VI, (Beirut: Dar al-Kutub al-
Islamiy, 1986), hal. 192.
19
Abu Zakariya Muhyiddin Yahya Ibn Syaraf al-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh al-
Muhadzdzab, Juz XV, (Beirut: Dar al-Fikr, 1431), hal. 204.
untuk pemiliknya seperti tanah yang dibagun, yang tiada sekali-sekali

dimiliki oleh seseorang selain pemiliknya. 2)

2) Tanah mati yang tiada dimiliki seseorang. Tanah ini tidak diolah dan tidak

pernah dimiliki, tanah inilah yang dimaksud dalam Hadist Rasulullah

SAW, riwayat Abu Daun dari Said bin Zaid yang artinya” narang siapa

yang menghidupkan tanah mati maka tanah itu menjadi hak miliknya”.20

Imam Syafi’i tidak membedakan antara tanah mawat yang lokasinya

berdekatan dengan kawasan penduduk atau sebaliknya. Syarat lahan mati yang

dihidupkan harus terletak dalam kawasan negeri Islam. Jika lahannya berlokasi di

wilayah musuh, maka kaum Muslim memerlukan persetujuan dari penduduk

untuk melakukan ihya’ al-mawat. Apabila penduduknya tidak membolehkan dan

melarang kaum Muslim, maka lahan itu tidak bisa dimiliki.21

Terkait perizinan imam atau penguasa sebelum menghidupkan lahan mati,

ulama Syafi’iyyah berpendapat bahwa diperbolehkan untuk memiliki lahan mati

dengan cara menghidupkannya, meskipun tanpa seizin imam.22 Menurut ulama

Syafi’iyyah, syarat orang yang melakukan ihya’ al-mawat harus seorang Muslim.

Kafir dzimmi tidak mempunyai hak untuk menghidupkan lahan yang mati

meskipun ada izin dari pemerintah atau imam. Alasannya yakni karena

menghidupkan lahan mati adalah bentuk menguasai sedangkan hal itu tidak

diperbolehkan bagi kafir dzimmi yang berada dalam wilayah Islam. Jika kafir

dzimmi menghidupkan lahan mati, maka lahan itu akan disita dan ia tidak
20
Al-Husaini, Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad,. Kifayat al-Akhyar. (Terj.
Syarifuddin Anwar & Mishbah Musthafa. Surabaya: CV Bina Iman, 2007). hal. 300
21
Ibid.
22
Ibid, hal. 301
mendapatkan hak kompensasi. Bilamana ada seorang Muslim mengambil lahan

itu darinya, kemudian menghidupkannya, maka lahan itu menjadi milik seorang

Muslim meskipun tidak ada izin dan persetujuan imam.23

Bentuk pelaksanaan ihya’ al-mawat disesuakan adat masyarakat yang

menghidupkan tanah tersebut. Bentuknya berbeda-beda sesuai dengan apa yang

diinginkan oleh al-muhyi. Jika ia ingin menghidupkan tanah yang mati dengan

mendirikan sebuah bangunan berupa tempat tinggal maka disyaratkan adanya

penandaan tempat dengan membangun sesuatu yang mengelilingi bangunan

tersebut sesuai adat yang berlangsung di tempat itu, seperti dengan menggunakan

batu bata, kayu, rotan, dan sejenisnya. Selain itu disyaratkan juga membangun

atap di sebagian bangunan dan juga memasang pintu.24

Adapun jika al-muhyi ingin menghidupkan lahan yang mati dengan membuat

kandang untuk hewan maka cukup dengan membuat pagar di sekelilingnya tanpa

perlu adanya atap. Ihya’ al-mawat juga bisa dilakukan oleh al-muhyi dengan

bercocok tanam, dengan syarat harus mengumpulkan tanah disekitarnya,

meratakannya dengan alat bajak, mengairinya secara teratur dengan menggunakan

air dari sumur atau lainnya. Jika saat bercocok tanam sering terjadi hujan maka

tidak perlu mengairinya secara teratur menurut pendapat yang shahih. Selain itu,

ihya’ al-mawat juga bisa dilakukan dengan berkebun dengan sesuai syaratnya.25

4. Perbandingan Konsep Ihya’ Al-Mawat Hanafiyyah dan Syafi’iyyah


23
Wahbah Al-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, (Jakarta : Gema Insani, 2011) . hal.
512.
24
Abu Abdullah Syamsuddin Muhammad Ibn Qosim, Fath al-Qarib al-Mujib Fi Syarh
Alfadz al-Taqrib, (Beirut: Dar Ibn Hazm, 2005), hal 205.
25
Ibid. hal. 206
Setelah menguraikan kedua konsep ihya’ al-mawat dari masing-masing

mazhab, maka akan dilakukan perbandingan antara kedua konsep ihya’ al-nawat

dari mazhab Hanafi dan mazhab Syafi’i dengan menggunakan teori muqaranah

al-madzahib. Ditemukan beberapa persamaan, yaitu:

a. Lahan yang tidak diketahui pemiliknya

Lahan milik seorang Muslim atau Kafir dzimmi yang

kepemilikannya terjadi pada masa Islam namun identitas lebih detailnya

tidak diketahui secara jelas, maka menurut ulama Hanafiyyah lahan

tersebut bisa dihidupkan dan menjadi milik bagi yang menghidupkannya.

Pendapat ini berdasar pada keumuman hadis-hadis yang menjelaskan

tentang ihya’ al-mawat.26 Berbeda dengan yang dikemukakan oleh ulama

mazhab Syafi’i, lahan tersebut bersifat sebagai harta hilang yang

perkaranya diserahkan kepada imam/pemerintah untuk dikelola dan

dilindungi sampai pemiliknya muncul. Bisa juga untuk dijual jika dalam

kurun waktu tertentu pemiliknya belum juga ditemukan, lalu hasil

penjualan lahan tersebut disimpan oleh negara dalam baitul mal.27

b. Kondisi Tanah Yang Bisa Dihidupkan

Mazhab Hanafi dan Syafi’i sama-sama sepakat bahwa lahan yang

tidak dimiliki oleh seseeorang dan tidak ditemukan tanda-tanda pada lahan

tersebut bahwa telah dihuni serta dimanfaatkan, maka lahan itu bisa

dimiliki dengan cara menghidupkannya. Mereka juga bersepakat bahwa

26
Abu Bakar Ibn Mas’ud Al-Kasaniy, Badai’ al-Shanai’ juz VI, (Beirut: Dar al-Kutub al-
Islamiy, 1986), hal. 192.
27
Al-Husaini, Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad,. Kifayat al-Akhyar. (Terj.
Syarifuddin Anwar & Mishbah Musthafa. Surabaya: CV Bina Iman, 2007). hal. 301.
tanah milik seseorang yang diketahui identitasnya, yang mana tanah

tersebut ia peroleh dari hasil jual-beli atau sebab yang lain, maka hak

kepemilikan atas tanah itu masih berlaku dan tidak diperbolehkan kepada

selain pemilik untuk melakukan ihya’ pada tanah itu.28

Selanjutnya, dalam permasalahan lahan mati (ardh al-mawat)

kedua mazhab sepakat bahwa bila ditemukan bekas-bekas kepemilikan

pada masa lampau dari masa jahiliyah dalam lahan mati tersebut, seperti

bekas tempat tinggal bangsa Tsamud, peninggalan bangsa Romawi, dan

lain sebagainya, maka lahan tersebut bisa dimiliki dengan cara ihya’ al-

mawat.29 Terdapat juga suatu syarat untuk lahan mati yang dihidupkan,

yang disepakati oleh kedua mazhab yakni lahan tersebut tidak

diperuntukkan sebagai prasaran umum bagi masyarakat setempat, baik

letaknya yang dekat atau jauh dari kawasan penduduk, seperti digunakan

untuk lahan menggembalakan hewan ternak atau yang lainnya.30

c. Syarat-Syarat

Untuk syarat orang yang melakukan ihya’ al-mawat harus seorang

muslim, terdapat perbedaan dari masing-masing mazhab. Menurut mazhab

Hanafi, tidak ada syarat khusus untuk orang yang menghidupkan lahan

mati (al-muhyi) adalah orang yang beragama Islam. Hal ini berdasarkan

pada keumuman hadis “barangsiapa yang menghidupkan tanah mati, maka

tanah itu menjadi miliknya.”, dan juga karena ihya’ almawat menjadi

28
Al-Husaini, Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad,. Kifayat al-Akhyar. (Terj.
Syarifuddin Anwar & Mishbah Musthafa. Surabaya: CV Bina Iman, 2007). hal. 300
29
Abu Zakariya Muhyiddin Yahya Ibn Syaraf al-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh al-
Muhadzdzab, Juz XV, (Beirut: Dar al-Fikr, 1431), hal. 204
30
Ibid. hal. 208
sebab al-tamlik (kepemilikan), sehingga muslim atau kafir dzimmi

mempunyai kedudukan yang sama dalam permasalahan ini, sama halnya

dengan sebabsebab kepemilikan lainnya.31 Sedangkan menurut Ulama

Syafi’iyyah, orang yang menghidupkan lahan mati harus seorang Muslim

dan kafir dzimmi tidak mempunyai hak untuk melakukan ihya’ almawat,

meskipun Imam/pemerintah mengizinkannya. Alasannya karena ihya’ al-

mawat menjadi sebab menguasai dan memiliki tanah yang dihidupkan

tersebut. Sementara hal itu tidak diperbolehkan bagi kafir dzimmi yang

berada dalam wilayah kekuasaan negeri Islam.32

Terkait permasalahan wajib atau tidaknya izin dari imam/hakim

untuk menghidupkan lahan mati, Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa

perizinan dan rekomendasi hakim dalam ihya’ al-mawat merupakan syarat

yang harus dipenuhi. Jika tidak adanya izin tersebut maka penghidupan

lahan mati yang dilakukan tidak sah dan diambil alih oleh

imam/penguasa.33

Sedangkan menurut ulama Syafi’iyyah, izin dan rekomendasi

hakim dalam menghidupkan lahan yang mati tidak diperlukan dan tidak

menjadi syarat yang harus dipenuhi sebelum melakukan ihya’ al-mawat.

Lahan mati yang telah dihidupkan tetap menjadi milik orang yang

menghidupkannya meskipun tanpa ada izin dari hakim. Pendapat ini

31
Burhanuddin Abu Al-Hasan Al-Marghinani, Bidayah Al-Mubtadi, (Cairo: Maktabah wa
Mathba’ah Muhammad Ali Shabah, 2009), hal. 225.
32
Abu Zakariya Muhyiddin Yahya Ibn Syaraf al-Nawawi, Al-Majmu’ Syar h al-
Muhadzdzab, Juz XV, (Beirut: Dar al-Fikr, 1431), hal. 207.
33
Abu Bakar Ibn Mas’ud Al-Kasaniy, Badai’ al-Shanai’ juz VI, (Beirut: Dar al-Kutub al-
Islamiy, 1986), hal. 198
berdasar pada lafal hadis “Barangsiapa yang menghidupkan lahan mati,

maka lahan itu menjadi miliknya”. 34

d. Tata Cara

Adapun tata cara ihya’ al-mawat, menurut mazhab Hanafi bisa dilakukan

dengan mendirikan bangunan di atasnya, bisa juga dengan menanaminya,

membajak atau mengolahnya, dengan membuat jembatan, atau dengan

menabur benih buah-buahan, membuat saruan irigasi, atau membuat

semacam pagar yang mengelilingi tanah/lahan yang dihidupkan untuk

menjaga kandungan air pada tanah tesebut karena termasuk bagian dari

mendirikan bangunan di atas lahan yang dihidupkan. Sedangkan ulama

Syafi’iyyah berpendapat bahwa tata cara menghidupkan tanah mati

disesuaikan dengan tujuan yang diinginkan oleh orang yang

menghidupkan tanah mati tersebut serta menurut adat dan kebiasaan

penduduk tersebut. Jika adatnya dan kebiasaannya bercocok tanam, maka

ihya’ al-mawat bisa dilakukan dengan dengan cara menanami tanah mati

dengan berbagai macam tumbuhan, atau bisa dengan cara yang lainnya.

C. Izin Resmi Dari Pemerintah

Kebanyakan ulama berpendapat bahwa ihya’ al-mawat menjadi

sebab kepemilikan terhadap tanah, tetapi tidak disyaratkan mendapatkan

izin dari penguasa. Maka, kapan saja seseorang membuka lahan baru, ia

sudah menjadi pemiliknya walaupun tanpa izin dari penguasa. Dan,

penguasa harus memberikan haknya ketika terjadi perselisihan tentang

34
Abu Zakariya Muhyiddin Yahya Ibn Syaraf al-Nawawi, Al-Majmu’ Syar h al-Muhadzdzab, Juz
XV, (Beirut: Dar al-Fikr, 1431), hal. 206.
kepemilikannya. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa ihya’al-mawat

merupakan sebab kepemilikan tanah, tetapi disyaratkan mendapat izin dan

pengesahan dari pemerintah.

Adapun Imam Malik, beliau membedakan antara tanah yang dekat

dan tanah yang jauh dari keramaian. Tanah yang berdekatan dengan

keramian disyaratkan mendapat izin dari penguasa. Sedangkan tanah yang

jauh dari keramian masyarakat, tidak disyaratkan mendapat izin pengusa,

dan akan menjadi milik orang yang membukanya. Mazhab Maliki dan

Ahmad berbeda pendapat bahwa seseorang yang akan membuka tanah

baru atau akan memfungsikan tanah tidak wajib meminta izin kepada

pemerintah atau penguasa sebab Rasulullah saw. bersabda:

Artinya: Dan dari Said bin Zaid r.a, dari Nabi saw, yang bersabda,

“Barangsiapa menghidupkan tanah mati (tidak bertuan), maka tanah

tersebut menjadi miliknya.”Diriwayatkan oleh Tiga Imam. Hadits ini

dinilai hasan oleh AtTirmidzi. Beliau bersabda sebagai Rasul dan Nabi,

tidak berbicara sebagai kepala negara selain dari pada itu hadits

menjelaskan bahwa seseorang yang menggarap atau menghidupkan tanah

mati maka seseorang tersebut boleh memiliki tanah tersebut.35

D. Hukum Pertanahan di Indonesia

Peraturan pertanahan yang berlaku di Indonesia mengalami

perubahan dan perkembangan dari masa ke masa. Untuk lebih mudah


35
Siti Nur Alfiah, Pengolahan Tanah Terlantar Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif
(Studi Kasus di Desa Pagar Agung Kecamatan Ulu Talo), (Bengkulu: Iain Bengkulu, 2015). hal.
26
melihat perubahan dan perkembangan tersebut, salah satunya dengan

membagi peraturan pertanahan di Indonesia sebelum dan sesudah

kelahiran Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960

dengan judul resmi "Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria", atau yang

lebih dikenal dengan sebutan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).36

Beberapa peraturan pertanahan sebelum UUPA meliputi hukum tanah

adat, hukum tanah barat, hukum tanah antar golongan, hukum tanah

adiministrasi, dan huku tanah swapraja.

Pasca kelahiran UUPA, peraturan-peraturan yang ada sebelumnya

dianggap tidak berlaku. UUPA menjadi pijakan pokok peraturan

pertanahan di Indonesia. Pasca keberadaan UUPA tersebut, hingga saat ini

terdapat puluhan UU atau Peraturan Pengganti UU (Perpu) yang mengatur

kepemilikan dan pengelolaan tanah di Indonesia.

Peraturan tersebut antara lain Perpu Nomor 51 Tahun 1960 tentang

Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya,

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1961 tentang Persetujuan atas Tiga

Konvensi Tahun 1958 Mengenai Hukum Laut, Undang-Undang Nomor

20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-hak atas Tanah dan Benda-benda

yang Ada di Atasnya, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona

Ekonomi Eksklusif Indonesia, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985

tentang Rumah Susun, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang

Perumahan dan Pemukiman, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992

36
Arie S. et. al Hutagalung, Hukum Pertanahan di Belanda dan Indonesia (Jakarta:
Universitas Indonesia, 2012), hal. 133.
tentang Benda Cagar Budaya, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999

tentang Kehutanan, Perpu Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang-

Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Undang-Undang

Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-

pulau Kecil, Perpu Nomor 2 Tahun 2007 tentang Penanganan

Permasalahan Hukum dalam rangka Pelaksanaan Rehabilitasi dan

Rekontruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat di Provinsi Nanggroe

Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara, dan

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi

Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

Peraturan pertanahan yang ada di Indonesia telah mengatur siapa

saja pemegang (subjek) atas suatu tanah, jenis hak atas tanah, dan

peruntukan atau pengelolaan tanah. Pengaturan terkait subjek, objek, dan

peruntukan tanah tersebut merupakan hal urgen untuk menjaga ketertiban

dan keberlangsungan setiap jengkal tanah yang ada Indonesia.

Tanah dilihat dari sisi subjek, terdiri atas tanah yang dipegang atas

nama pribadi atau individu, tanah atas nama badan hukum, tanah ulayat,

dan tanah atas nama negara.

Pertama, tanah atas nama pribadi. UUPA Pasal 20 (1)

menyebutkan bahwa, “hanya warga negara Indonesia yang dapat

mempunyai hak milik.” Diksi warga negara menujuk pada individu


perorangan. Dengan demikian, pada batas tertentu tanah boleh

diatasnamakan pribadi atau individu.

Kedua, tanah atas nama badan hukum. UUPA Pasal 20 (2)

menyatakan dengan tegas bahwa, “oleh pemerintah ditetapkan badan-

badan hukum yang dapat mempunyai hak milik dan syarat-syaratnya.”

Ketentuan badan hukum seperti apa yang diperbolehkan mendapatkan hak

milik dijelaskan pada peraturan pemerintah nomor 38 tahun 1963 tentang

penunjukkan badanbadan hukum yang dapat mempunyai hak milik atas

tanah. Diantara badan hukum dalam kategori ini antara lain; bank yang

didirikan oleh negara, perkumpulan koperasi pertanian, badan-badan

keagamaan, dan badan-badan sosial.

Ketiga, tanah ulayat. Tanah ulayat merupak hak atas tanah adat.

Tanah adat sudah eksis sebelum kelahiran UUPA. Sehingga di dalam

UUPA terdapat penjelesan di bagian konsideran bahwa hukum tanah

nasional disusun berdasarkan hukum adat. Tanah adat ini merupakan tanah

yang diatasnamakan komunal atau bersama yang memiliki kesamaan

adat.37 Keempat tanah atas nama negara. Tanah pada poin terakhir ini

berpijak pada UUD 1945 Pasal 33 (3) yang mengatakan, “Bumi air dan

kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara...”

Keberadaan tanah atas nama negara diperjelas dalam UUPA Pasal 2 yang

mengatur kewenangan negara terhadap bumi air dan ruang angkasa yang

terdapat wilayah negara Indonesia. Meskipun tidak ada satu pasal yang
37
Husen Alting, “Penguasaan Tanah Masyarakat Hukum Adat (Suatu Kajian terhadap
Masyarakat Hukum Adat Ternate),” Jurnal Dinamika Hukum 11, no. 1 (2001): 84–95,
http://dx.doi.org/ 10.20884/1.jdh.2011.11.1.75. Di akses pada 6 Oktober 2022
menyebutkan bahwa negara boleh memiliki tanah,38 namun secara nyata

bisa dipahami jika terrdapat tanah yang tidak atau belum atas nama

pribadi, badan hukum, dan (atau) tanah ulayat, maka tanah tersebut

merupakan tanah atas nama negara.

Hal selanjutnya yang perlu diketahui adalah terkait hak yang

melekat terhadap suatu tanah. Ilyas Ismail menguraikan;

“Pasal 16 ayat (1) UUPA menyebutkan macam-macam hak atas

tanah yang dapat dipunyai oleh subjek hukum, yaitu: hak milik;

hak guna usaha; hak gunabangunan; hak pakai; hak sewa; hak

membuka tanah; hak memungut hasil hutan; serta hak-hak lain

yang akan ditetapkan dengan undang-undang dan hak-hak yang

sifatnya sementara sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 53,

yaitu; hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan hak

sewa tanah. Di samping hak-hak atas tanah sebagaimana tersebut

di atas dikenal juga Hak Ulayat (Pasal 3 UUPA), Hak

Pengelolaan (PMA 9 Tahun 1965), Hak Milik Atas Satuan

Rumah Susun (UU 20 Tahun 2011).”39

Dari berbagai jenis hak atas tanah di atas, hak milik merupakan hak

paling istimewa dibandingkan hak-hak lainnya. Ini dikarenakan hak milik

merupakan hak atas tanah yang turun-temurun, terkuat dan terpenuh.

Tanah yang berstatus hak milik dapat digunakan, dipungut hasilnya, dan
38
Afifah Kusumadara, Perkembangan Hak Negara atas Tanah: Hak Menguasai atau
Hak Memiliki, (Jurnal Media Hukum 20, Nomor. 2, tahun 2013) hal. 262. Di akses pada 6
Oktober 2022
39
Ilyas Ismail, Sufyan, dan Azhari, Rekonseptualisasi Hak Atas Tanah dalam Kerangka
Pembaharuan Hukum Tanah Nasional, (Jurnal Ilmu Hukum Litigasi 14, Nomor. 1, Tahun 2013),
hal. 1698–1729. Di akses pada 6 Oktober 2022.
dilakukan tindakantindakan hukum lainnya. Tanah jenis ini hanya bisa

melekat pada pribadi yang merupakan warga negara Indonesia (WNI) dan

badan hukum tertentu seperti bank yang didirikan pemerintah, badan

koperasi pertanian, badan sosial, dan badan kegamaan. Namun demikian

tanah dengan status hak milik tetap harus tunduk dan patuh pada rencana

induk dari pemerintah daerah tingkat I dan kewenangannya tidak sampai

pada kekayaan alam yang terkandung di dalam tubuh bumi yang ada di

bawahnya.40

Hak-hak atas tanah lainnya seperti hak guna usaha, hak guna

bangunan, hak pakai; hak sewa, dan hak memungut-hasil hutan merupakan

hak atas yang secara parsial melekat pada subjek hukum tertentu.

Keberadaannya tidak sekuat hak milik dan pada batas tertentu terdapat

perbuatan hukum yang tidak diperkenankan. Oleh karena itu sifat-sifat

yang melekat pada hak milik tidak bisa diterapkan pada hak-hak tersebut.

Adapun hak membuka tanah merupakan jenis hak yang memungkinkan

diperoleh hak milik atas tanah.

Hanya saja hak yang tercantum dalam UUPA Pasal 46 (1) ini tidak

diberlakukan lagi dalam tata hukum pertanahan nasional. Hak membuka

tanah pernah diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri 6 Tahun 1972

tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah. Namun

kemudian dicabut dan dibatalkan berdasarkan pada PMNA/KBPN 3/1999

40
Hutagalung, Hukum Pertanahan di Belanda dan Indonesia. Aturan dasar tentang
hak milik atas tanah termaktub di UUPA Pasal 20 s/d 27; Pasal 50 ayat (1) dan Pasal 56.
tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Keputusan

Pemberian Hak Atas Tanah Negara.

Dengan demikian kemungkinan untuk memperoleh hak milik atas

tanah dengan cara membuka tanah sudah tidak bisa dilakukan lagi.41

Ketidakjelasan pengaturan hak membuka tanah ini yang di kemudian hari

memunculkan sengketa tanah, misalnya tanah kawasan hutan.42

Berkenaan dengan hak membuka tanah yang sudah tidak

diberlakukan tersebut dan pengelolaan atas tanah jenis lainnya, perlu

diuraikan jenis tanah yang tidak terkelola dengan baik dan tanah yang

‘baru’ muncul. Disini terdapat istilah tanah terlantar, tanah timbul, dan

tanah reklamasi. Tanah-tanah jenis tersebut merupakan tanah yang

membutuhkan pengelola atau pemilik terhadapnya.

Pertama, tanah terlantar. Terlantar secara etimologi dimaknai

dengan tidak terpelihara, terbengkalai, tidak terawat. Sehingga tanah

terlantar merupakan tanah yang dengan sengaja atau tidak sengaja, tidak

dipelihara atau tidak terawat. Dalam konteks tanah (hukum) adat, tanah

disebut terlantar ketika ada seseorang yang menggarap tanah ulayat hingga

sekali atau dua kali panen kemudian ditinggal dalam kurun waktu tertentu

hingga tanah tersebut kembali menjadi hutan. Saat tanah yang pernah

digarap itu menjadi hutan, selanjutnya tanah ini kembali menjadi tanah

adat.43

41
Ibid, hal. 1698–1729.
42
Rokhmad, Sengketa Tanah Kawasan Hutan dan Resolusinya dalam Perspektif Fiqh.
(Jurnal Walisong 21 Nomor 1, Tahun 2013) Di akses pada 6 Oktober 2022.
43
Supriyanto, Kriteria Tanah Terlantar dalam Peraturan Perundangan Indonesia,
( Jurnal Dinamika Hukum 10, Nomor. 1 Tahun 2010): 40–60. Di akses pada 6 Oktober 2022
Tanah terlantar dalam peraturan pertanah di Indonesia

mengecualikan tanah dengan kategori hak milik. Hal tersebut tampak pada

beberapa bunyi pasal di UUPA yang menjelaskan tanah terlantar.

Supriyanto menjelaskan bahwa dalam Pasal 27 UUPA diterangkan, jika

terdapat tanah yang dengan sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan

keadaannya atau sifat dan tujuan daripada haknya maka tanah tersebut

termasuk kategori terlantar.44 Selanjutnya aturan lebih detail tentang tanah

terlantar tercantum pada Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998.

Dalam Pasal 1 (5) dikatakan:

“Tanah terlantar adalah tanah yang diterlantarkan oleh pemegang

hak atas tanah, pemegang hak pengelolaan atau pihak yang telah

memperoleh dasar penguasaan atas tanah, tetapi belum memperoleh hak

atas tanah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

Selanjutnya dalam Pasal 3-7 Peraturan Pemerintah Nomor 36

Tahun 1998 memberi penjelasan tentang tanah dengan status hak guna

bangunan, hak guna usaha, dan hak pengelolaan yang berpotensi menjadi

tanah terlantar. Semuanya merujuk pada klausul pada pembiaran, tidak

dikelola, tidak diurus, dan (atau) tidak dipergunakan sesuai

peruntukannya. Dalam bahasa yang lebih ringkas, tanah disebut tanah

terlantar apabila pemegang pengelolaan tanah tidak melakukan aktivitas

terhadap tanah tersebut. Klausul tanah terlantar ini berlaku kepada tanah

negara yang diberikan hak pengelolaan kepada pihak lain.45

44
Ibid.
45
Ibid.
Selanjutnya, aturan tentang tanah terlantar diperbaharui dengan

Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010. Supriyato dengan merujuk

pada Peraturan Pemerintah tersebut merumuskan kriteria tanah terlantar

yang meliputi; pertama, objek tanah terlantar meliputi hak atas tanah, hak

Pengelolaan dan tanah yang mempunyai dasar penguasaan atas tanah.

Kedua, tanah tersebut tidak diusahakan, tidak dipergunakan atau tidak

dimanfaatkan. Klasfikasi tersebut mengecualikan tanah hak milik atau

HGB atas nama perseorangan yang secara tidak sengaja tidak

dipergunakan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian

haknya dan tanah yang dikuasai pemerintah.46

Kedua, tanah timbul. Tanah timbul merupakan tanah yang berasal

dari proses sedimentasi atau endapan di tepi perairan sungai atau pantai. Ia

terjadi seara alamiah tanpa campur tangan manusia. Pemanfaatan tanah

timbul ini merupakan salah satu cara memperoleh hak atas tanah menurut

hukum adat, di samping dengan cara membuka lahan.47

Jika tanah timbul tersebut berada di sekitar atau berbatasan dengan

areal tanah yang dengan status tertentu, maka tanah timbul tersebut

menjadi milik pemegang hak tanah tersebut. Hanya saja bila tanah timbul

tersebut sangat luas, tanah timbul ini menjadi tanah ulayat masyarakat

hukum adat setempat.48 Untuk saat ini, tanah timbul status hukumnya

menjadi tanah negara. Hal ini mengacu pada surat edaran Menteri Negara

46
Ibid.
47
Irawan Soerodjo, Hukum Pertanahan Hak Pengelolaan Atas Tanah (HPL); Eksistensi,
Pengaturan, dan Praktik (Yogyakarta: Laksbang Mediatama, 2014), hal. 119.
48
Supriyanto, Kriteria Tanah Terlantar dalam Peraturan Perundangan Indonesia,
( Jurnal Dinamika Hukum 10, Nomor. 1 Tahun 2010): 120. Di akses pada 6 Oktober
Agraria atau Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 410-1293, tanggal

9 Mei 1996.49

Ketentuan penguasaan tanah timbul oleh negara dipertegas di

dalam peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004. Pada Pasal 12 PP ini

dinyatakan bahwa, “Tanah yang berasal dari tanah timbul atau hasil

reklamasi di wilayah peraian pantai, pasang surut, rawa, danau, dan bekas

sungai dikuasai langsung oleh negara”.

Ketiga, tanah reklamasi. Berbeda dengan tanah timbul yang terjadi

secara alamiah tanpa campur tangan manusia, tanah reklamasi merupakan

tanah yang berasal dari kegiatan mengambil atau memanfaatkan lahan

yang tidak dapat digunakan, dilakukan rekayasa, sehingga lahan tersebut

dapat dimanfaatkan kembali.50 Tanah hasil reklamasi bisa berasal dari

misalnya tepi pantai, rawa-rawa, atau pinggiran sungai.

Ada dua cara untuk melakukan reklamasi, sistem polder dan sistem

urukan. Sistem urukan dilakukan dengan menguruk genangan air dengan

tanah sampai akhirnya menjadi daratan. Adapun sistem polder berupa

mengeringkan atau menguras genangan air hingga diperoleh tanah kering.

Hal ini senada dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun

2008 tentang Pedoman Perencanaan Kawasan Perkotaan. Pasal 1 angka 13

menyatakan bahwa reklamasi merupakan kegiatan penimbunan dan

pengeringan bagian perairan laut di tepi pantai untuk dimanfaatkan sebagai

kawasan budidaya.51
49
Ibid, hal. 124-125.
50
Ibid, hal. 117.
51
Ibid, hal. 118.
Kedudukan tanah reklamasi sama dengan tanah timbul, yakni

menjadi tanah yang dikuasai negara. Pada pasal 12 Peraturan Pemerintah

Nomor 16 Tahun 2004 disebutkan dengan gamblang, “Tanah yang berasal

dari tanah timbul atau hasil reklamasi di wilayah peraian pantai, pasang

surut, rawa, danau, dan bekas sungai dikuasai langsung oleh negara.” Hak

atas tanah reklamasi diatur dan diberikan oleh pemerintah kepada mereka

yang mengajukan reklamasi.

Pada batas tertentu, jika tanah reklamasi diupayakan dan

berdekatan dengan tanah lain yang sudah terdapat haknya, maka

pemegang hak atas tanah dari areal reklamasi tersebut diberi hak

prioritas.52 Sebagai contoh, Dessy Natalia Sirapanji yang menguraikan

status hukum tanah reklamasi pantai Kota Manado sebagaimana

keterangan di atas.53 Ketentuan tersebut menjadi berbeda ketika tanah

reklamasi tersebut dahulunya merupakan tanah adat yang ‘hilang’ terkikis

air laut, seperti yang terjadi di Kabupaten Pamekasan. Tanah reklamasi

yang ada diterbitkan sertifikat hak milik oleh Badan Pertanahan Nasional

setempat. Penerbitan sertifikat hak milik diawali dan didasari oleh

permohonan sertifikat hak milik oleh penduduk yang de facto menempati

tanah reklamasi tersebut bertahun-tahun.54

52
Ibid, hal. 125.
53
Dessy Natalia Sirapanji, Status Hukum Tanah Reklamasi Pantai Kota Manado
Berdasarkan Undang-Undang Agraria No. 5 Tahun 1960, ( Lex Administratum 1, Nomor. 2
Tahun 2013): 79–88.
54
Sudahnan, Status Penguasaan Tanah Tepi Pantai (Studi di Kabupaten Pamekasan),
(Perspektif 11, Nomor. 3 Tahun 2006): 282–95.
Dengan demikian, bisa diketahui bahwa tidak semua jenis tanah

yang ada di Indonesia bisa dikelola atau dimanfaatkan begitu saja. Ketika

salah seorang dari warga negara Indonesia akan memanfaat tanah, maka

harus memperhatikan dengan seksama kemungkinan atau tidaknya tanah

tersebut untuk dikelola.

Anda mungkin juga menyukai