Tokoh Pencak Silat | Abab Aleh | pendiri perguruan pencak silat PANGLIPUR
ABAH ALEH 1856-1980
Belajar Pencak Silat sejak kecil.
Belajar Aliran CIMANDE : pada H.Badjuri, Rd.Agus dan Kang Ujang bin Mama Endut.
Belajar Sahbandar : pada Rd.Kosasih, Gan Totoh dan Gan Engah.
Belajar KARI MADI dan SERA : Kepada Guru-guru terkemuka pada saat itu.
Tahun 1909 mendirikan HPS PANGLIPUR bertempat di Gang.Durman, Bandung.
Sampai dengan tahun 1930, ABAH ALEH lebih banyak mengajar Silat dikalangan Petinggi
Pemerintah dan Para Bangsawan.
Dengan keuletan dan ketekunan dalam mengembangkan Pencak Silat, Pemerintah Belanda
menganugrahkan Bintang berharga dari Ratu WILHELMINA.
Jurus-jurus yang dikembangkan terkenal sangat efektif dengan adanya teknik halus sampai
seketika menjadi pukulan yang Explosive-mematikan.
Wafat: Di Usia 124 tahun,Tahun 1980 di Makamkan di Sumur Sari -Pasirjengkol Cibatu
Garut, sampai akhir hayatnya Beliau tidak pernah berhenti mengembangkan Seni Pencak
Silat PANGLIPUR dan oleh para penerusnya diberi gelar penghargaan PINISEPUH
UTAMA.
2. Eddie Nalapraya, Jenderal Sejati Pencak Silat Penerima Anugerah
Budaya 2018
DEPOK – Ajang tahunan berupa pemberian anugerah budaya sudah menjadi tradisi dan telah
digelar sejak lama. Kamis, (3/4/2018) Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas
Indonesia (FIB UI) kembali menggelar Anugerah Budaya 2018.
Pemberian anugerah budaya ini merupakan salah satu bentuk apresiasi kepada praktisi
budaya atau seniman yang dinilai telah memberikan sumbangsih istimewa terhadap
pelestarian dan pengembangan kebudayaan di Indonesia.
Salah satu yang penerima Anugerah Budaya 2018 dari FIB UI adalah Eddie Marzuki
Nalapraya untuk kategori Pembina Seni. Eddie Marzuki Nalapraya merupakan anak dari
pasangan Mohammad Soetarman dan Marsati. Eddie sapaan akrab Marzuki Nalapraya, lahir
di Tanjung Priok, Jakarta Utara, 6 Juni 1931.
Berkaitan dengan Anugerah Budaya 2018 dari FIB UI, untuk kategori Pembina Seni, ini tak
lepas dari kiprah Eddie selama puluhan tahun di dunia seni pencak silat.
“Saya mulai tertarik pada pencak silat, ketika ada aksi militer Belanda pertama, Juli 1947
yang menyerang daerah republik. Saya bergeriliya bersama keluarga besar pencak silat yang
bahu membahu memperjuangkan kemerdekaan Indonesia,” kata Eddie yang pernah menjabat
sebagai Ketua Umum Badan Musyawarah Masyarakat (BAMUS) Betawi, 1996-1998.
Sejak bergaul dengan kalangan silat, cintanya pada dunia bela diri Indonesia ini makin besar.
Pada 1978, ia dipercaya menjadi Ketua Pengurus Daerah Ikatan Pencak Seluruh Indonesia
(IPSI) DKI Jakarta.“Saat itu orang malu jika berseragam silat, kalau datang ke tempat latihan
berpakaian biasa, baru ganti baju latihan silat ketika latihan. Karena orang mengatakan silat
itu olahraga kampungan,” ungkap Eddie.
Sejak menjabat Ketua IPSI Jakarta, Eddie membuka jalur telepon selama 24 jam, agar
pengurus dapat mudah berkomunikasidengannya. Setahun setelah menjabat Ketua IPSI DKI
Jakarta, Eddie menggelar acara Silaturahmi Pencak Silat Jakarta yang dihadiri 23.000 orang.
Sejak saat itu pencak silat mulai berkembang pesat dan orang tak malu lagi memakai pakaian
silat ke mana-mana. “Memimpin pencak silat itu mesti pakai hati. Dekati dahulu hatinya,
baru jasmaninya,” pesannya.
Kiprah Internasional
Kecintaannya pada dunia pencak silat makin menjadi-jadi, promosi gencar dilakukannya
mulai dari dalam negeri sampai mancanegara. Pada 1980, ia menjadi pemrakarsa
terbentuknya Persekutuan Pencak Silat Antar Bangsa (Persilat). Ini adalah wadah aktualisasi
diri pesilat internasional, seperti Persekutuan Silat Singgapore (PERSISI), Persekutuan Silat
Kebangsaan Malaysia (PESAKA) dan utusan dari Brunei Darusalam.
Tahun itu juga, ia pun terpilih sebagai Presiden Persilat. Berikutnya, pada 1981-2003, mantan
Wakil Gubernur DKI Jakarta periode 1984-1987 ini, didaulat menjadi Ketua Umum PB IPSI.
Selanjutnya, berkat ketelatenannya, ia sukses membuat Kejuaran Pencak Silat Dunia dengan
menggandeng pesilat dari Malaysia dan Singapura pada 1982 dan 1984 di Jakarta. Berikutnya
kejuaran dunia pencak silat digelar pada 1986 di Winna Austria, 1987 di Malaysia, 1988 di
Singapura, 1990 di Den Haag Belanda, dan1992 di Indonesia.
Berkat usahanya, pada Sea Games 1987pencak silat mulai dipertandingkan. Bahkan sejak
2003 pencak silat sudah diakui oleh Olympic Committee of Asian (OCA) Komite Olimpiade
Asia. Setelah diakui oleh badan internasional ini, pencak silat telah resmi diperlombakan
pada Asia Beach Games 2008 di Bali. Lalu, dilombakan dalam ajang Asia Martial Art Games
2009 di Thailand, juga Asian Indoor Games di Hanoi, November 2009.
Prestasi Eddie makin moncer, beragam penghargaan diraihnya, pada 1997 Eddie diangkat
sebagai pendekar besar kehormatan peguruan silat Tapak Suci dan pada 2005, ia menerima
anugerah selendang kehormatan tertinggi dari Pertumbuhan Seni Silat Lincah Malaysia. Lalu,
pada 2008, ia ditetapkan sebagai Bapak Pencak silat Eropa di Swiss, berbarengan dengan
ajang kejuaraan pencak silat Eropa.
Atas jasa besarnya memajukan dunia pencak silat Indonesia di kancah nasional dan
internesional, pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, ia diberi gelar Tanda
Kehormatan Bintang Mahaputera Pratama dari Pemerintah Republik Indonesia. Berikutnya,
pada Mei 2011, Eddie mendapat gelar Doctor of Philosophy dalam bidang Martial Art dari
Asia Pacific Open University, Malaysia. Sampai saat ini, Eddie dipercaya sebagai Ketua
Dewan Kehormatan BAMUS Betawi.
Penghargaan lainnya juga diberikan kepada Iman Rahman Anggawiria Kusumah “Kimung”
(Guru, Pembuat Film, dan Musisi, Bandung) untuk kategori: Seniman Tradisi; dan Umbu
Wulang Landu Paranggi (Sastrawan, Bali) untuk kategori Seniman Modern.
3. Mengenal Iko Uwais, Aktor Laga Sejuta Bakat
Iko Uwais adalah nama panggung dari Uwais Qorny, pria kelahiran Jakarta, 12
Februari 1983. Banyak dari kita yang mengenal Iko lewat film-film bioskopnya
yang bertema action.
Seperti The Raid (2012), Headshot (2016), hingga Star Wars (2015). Menjadi
bintang yang Go Internasional tentunya bukan hal yang mudah.
Dibutuhkan kerja keras dan pengorbanan yang luar biasa tentunya. Mari kita
simak perjalanan Iko Uwais.
Iko kecil memiliki mimpi menjadi bagian dari Tim Nasional Indonesia. Mimpi
itu terus dipupuknya dengan bergabung di Sekolah Sepak Bola Bina Taruna di
Rawamangun, Jakarta.
Ternyata, sejak kecil Iko sudah pandai untuk membagi waktu, antara berlatih
bola, belajar, dan berlatih silat. Berkat kegigihannya, Iko sempat menjadi
pemain di Liga-B klub sepak bola Indonesia.
Jika kita melihat penampilan Iko dalam film-filmnya pasti tidak lepas dari
adegan bela diri yang membuat kita berdecak kagum. Kemampuan itu tentunya
tidak didapatkan secara instan.
Cerita itu berawal saat Iko berumur 10 tahun. Pada masa itu kondisi Jakarta
tidak seaman sekarang. Iko berpendapat bahwa salah satu cara untuk dia bisa
melindungi diri dan keluarga adalah dengan silat.
Iko kecil dengan tekun mempelajari seni bela diri di perguruan milik pamannya.
Perguruan yang bernama Tiga Berantai tersebut mengajarkan silat betawi.
Ketekunannya membuahkan hasil.
Iko mendapatkan banyak prestasi, salah satunya adalah juara ketiga dalam
turnamen pencak silat Ibu kota.
Gareth Evan adalah sutradara film berkebangsaan Amerika yang pada saat itu
tengah menggarap sebuah film dokumenter yang bertema silat di Jakarta.
Setelah Merantau, Iko mendapat kesempatan untuk bermain dalam film The
Raid, film seni bela diri masih dengan sutradara yang sama yaitu Gareth Evans.
Film ini mendapat banyak pujian dari para kritikus film.
Sukses di berbagai film dengan keahlian pencak silatnya, Iko Uwais tak segan-
segan membagi ilmunya dengan menjadi koreografer film laga seperti Beyond
Skyline, Mile 22 dan Stuber.
Selain aktif bermain film layar lebar, Iko Uwais juga membintangi serial yang
ditayangkan di Netflix. Serial dengan 10 Episode itu berjudul Wu Assassins
yang tayang perdana di Netflix pada 8 Agustus 2019 dengan durasi 40-50
menit.
Dalam serial ini Iko beradu akting dengan Byron Man, Li Jun Li, Katherine
Winnick, Lawrence Kao, Lewis Tan dan Celia Au.
Dalam Wu Assassins, Iko tidak hanya berperan sebagai Kai Jin (tokoh utama
dalam serial) saja, melainkan juga sebagai koreografer dan produser eksekutif.
Serial ini mendapat sambutan baik dari penonton, bahkan masuk dalam deretan
serial terbaik versi majalah Rolling Stone.
Dalam majalah tersebut, Iko disebut sebagai The next Bruce Lee. Teaser serial
tersebut juga diputar di Times Square New York untuk menarik perhatian
penonton.
Iko telah menghidupkan silat di dalam seni perfilman, layaknya yang sudah
dilakukan para pendahulunya yaitu Jackie Chan dan Bruce Lee yang terkenal
dengan kungfunya dan Steven Seagal dengan Aikidonya.
Dalam wawancara di sebuah acara televisi swasta, Iko mengaku rindu pada ikon
bela diri seperti Jackie Chan, Jet Li dan Steven Seagal yang menurut Iko
memiliki style masing-masing.
Dia berharap, Indonesia yang memiliki seni pencak silat juga bisa seperti
mereka dan nyatanya, Iko sudah membuktikannya.
Dia telah membawa seni pencak silat menjadi kebanggaan Indonesia baik lewat
turnamen maupun dunia perfilman.