Anda di halaman 1dari 7

Kedudukan dan Peranan Hukum Adat 3.

Kodifikasi dan Unifikasi hukum dengan menggunakan bahan-bahan dari


hukum adat, hendaknya dibatasi pada bidang-bidang dan hal-hal yang sudah
1. Hukum adat merupakan salah satu sumber yang penting untuk memperoleh mungkin dilaksanakan pada tingkat nasional. Bidang-bidang hukum yang
bahan-bahan bagi Pembangunan Hukum Nasional, yang menuju Kepada diatur oleh hukum adat atau hukum kebiasaan lain yang masih bercorak lokal
Unifikasi pembuatan peraturan perundangan dengan tidak mengabaikan ataupun regional, sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan
timbul/tumbuhnya dan berkembangnya hukum kebiasaan dan pengadilan Undang-Undang Dasar 1945 serta tidak menghambat pembangunan masih
dalam pembinaan hukum. diakui berlakunya untuk kemudian dibina ke arah unifikasi hukum demi
persatuan bangsa.
2. Pengambilan bahan-bahan dari hukum adatadalam penyusunan Hukum
Nasional pada dasarnya berarti: 4. Menyarankan untuk segera mengadakan kegiatan-kegiatan unifikasi hukum
harta kekayaan adat yang tidak erat hubungannya dengan kehidupan spirituil
dan hukum harta kekayaan barat, dalam perundang-undangan sehingga
– Penggunaan konsepsi-konsepsi dan azas-azas hukum dari hukum adat
untuk dirumuskan dalam norma-norma hukum yang memenuhi terbentuknya hukum harta kekayaan nasional.
kebutuhan masyarakat masa kini dan mendatang dalam rangka
membangun masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan pancasila 5. Menyarankan agar dalam mengikhtiarkan pengarahan hukum kekeluargaan
dan Undang-Undang Dasar. dan hukum kewarisan kepada unifikasi hukum nasional dilakukan melalui
lembaga peradilan.
– Penggunaan lembaga-lembaga hukum adat yang dimodernisir dan
disesuaikan dengan kebutuhan zaman tanpa menghilangkan ciri dan sifat- 6. Hendaklah dibuat Undang-undang yang mengandung azas-azas pokok
sifat kepribadian Indonesianya. hukum perundang-undangan yang dapat mengatur politik hukum, termasuk
kedudukan hukum adat.
– Memasukkan konsep-konsep dan azas-azas hukum adat ke dalam
lembaga-lembaga hukum dari hukum asing yang dipergunakan untuk d. Hukum Adat dalam Putusan Hakim
memperkaya dan memperkembangkan Hukum Nasional, agar tidak
bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. 1. Hendaklah hukum adat kekeluargaan dan kewarisan lebih
diperkembangkan ke arah hukum yang bersifat bilateral/parental yang
3. Di dalam pembinaan hukum harta kekayaan nasional, hukum adat memberikan kedudukan yang sederajat antara pria dan wanita.
merupakan salah satu unsur sedangkan di dalam pembinaan hukum
kekeluargaan dan hukum kewarisan nasional merupakan intinya. 2. Dalam rangka pembinaan Hukum Perdata Nasional hendaknya diadakan
publikasi jurisprudensi yang teratur dan tersebar luas.
4. Dengan terbentuknya hukum nasional yang mengandung unsur-unsur
hukum adat, maka kedudukan dan peranan hukum adat itu telah terserap di 3. Dalam hal terdapat pertentangan antara undang-undang dengan hukum adat
dalam hukum nasional. hendaknya hakim memutus berdasarkan undang-undang dengan bijaksana.

c. Hukum Adat dalam Perundang-Undangan 4. Demi terbinanya Hukum Perdata Nasional yang sesuai dengan politik
hukum negara kita, diperlukan hakim-hakim yang berorientasi pada
1. Hukum Adat, melalui perundang-undangan, putusan hakim, dan ilmu pembinaan hukum.
hukum hendaknya dibina ke arah Hukum Nasional secara hati-hati.
5. Perdamaian dan kedamaian adalah tujuan tiap masyarakat karena itu tiap
2. Hukum Perdata Nasional hendaknya merupakan hukum kesatuan bagi sengketa Hukum hendaklah diusahakan didamaikan.
seluruh rakyat Indonesia dan diatur dalam Undang-Undang yang bersifat
luwes yang bersumber pada azas-azas dan Jiwa hukum adat.
KEDUDUKAN HUKUM ADAT DALAM SISTEM hakim pengadilan dalam memutus suatu perkara, melalui proses pembentukan hukum
(rechtvorming) dan penemuan hukum (rechtvinding). Berdasarkan uraian di atas, adapun
PERADILAN DI INDONESIA yang menjadi permasalahan dalam penulisan paper ini adalah bagaimana kedudukan
hukum adat dalam sistem peradilan di Indonesia ?
Posted on 7 Mei 2017 by Bachtiar FH Unpam
PENDAHULUAN BEBERAPA KONSEPSI DASAR HUKUM ADAT

Jauh sebelum masuknya tradisi asing ke Nusantara, masyarakat Indonesia diyakini sudah Istilah “Hukum Adat” dikemukakan pertama kalinya oleh Prof.Dr. Cristian Snouck
diatur oleh nilai-nilai hukum adat. Adat pada dasarnya dipahami sebagai norma mengikat Hurgronye dalam bukunya yang berjudul “De Acheers” (orang-orang Aceh), yang
yang dilestarikan oleh komunitas untuk mengatur kehidupan sehari-hari manusia, sehingga kemudian diikuti oleh Prof.Mr.Cornelis van Vollen Hoven dalam bukunya yang berjudul
adat dengan sendirinya adalah hukum. Berdasarkan pemahaman demikian dapatlah “Het Adat Recht van Nederland Indie”. Dengan adanya istilah ini, maka Pemerintah
dikatakan bahwa orang Indonesia dalam kenyataannya tidak pernah memahami adat Kolonial Belanda pada akhir tahun 1929 meulai menggunakan secara resmi dalam
sebagai entitas yang terpisah dari hukum.[1] Hukum adat pada dasarnya adalah cerminan peraturan perundangundangan Belanda.[5]
dari apa yang diyakini seseorang sebagai cara hidup yang benar sesuai dengan rasa
keadilan dan kepatutan mereka. Istilah hukum adat sebenarnya tidak dikenal didalam masyarakat, dan masyarakat hanya
mengenal kata “adat” atau kebiasaan. Adat Recht yang diterjemahkan menjadi Hukum
Dalam bentuk tradisionalnya hukum adat dicirikan oleh model penyampaiannya yang tidak Adat dapatkah dialihkan menjadi Hukum Kebiasaan. Namun demikian, van Dijk
tertulis dalam kehidupan komunitas. Kekhasan hukum adat terletak pada tradisi lisannya. berkeberatan hukum adat disamakan dengan hukum kebiasaan. Menurutnya, adat dan
Melalui tradisi lisan inilah karakter adat itu dilestarikan dan melalui tradisi ini pula kebiasaan itu adalah suatu esensi yang berbeda bila dilihat dari sumbernya. Hukum adat itu
hubungan antara masa lalu, masa sekarang dan masa depan dipertahankan. Oleh karena lebih bersumber pada adanya alat kekuasaan dalam bentuk suatu perlengkapan masyarakat
informasi yang dibawa ke dalam komunitas biasanya disampaikan secara lisan maka sebagai pangkalnya, sedangkan hukum kebiasaan itu tidak.[6]
hukum di dalam adat pun jarang dikodifikasikan. Hukum adat tidak pernah diupayakan
untuk diundangkan atau dikodifikasikan secara sistematis, karena ia diyakini sebagai Untuk mendapatkan gambaran apa yang dimaksud dengan hukum adat, maka perlu
manifestasi langsung dari rasa keadilan dan kepatutan yang dianut oleh semua anggota ditelaah beberapa pendapat sebagai berikut :[7]
komunitas. Makanya, baik sumber maupun perkembangan hukum adat berada di tangan
komunitas dan tidak bergantung pada proses teknis legislasi.[2]
1. Ter Haar Bzn
Sementara itu, dalam praktik peradilan pidana, hakim dalam memeriksa, mengadili dan
memutus suatu perkara terikat oleh asas legalitas, yang menghendaki hanya undang- Hukum adat adalah keseluruhan peraturan yang menjelma dalam keputusan-keputusan dari
undang atau hukum tertulislah yang dapat menentukan apakah suatu perbuatan merupakan kepala-kepala adat dan berlaku secara spontan dalam masyarakat. Ter Haar terkenal
suatu perbuatan pidana atau bukan. Konsekuensinya, setiap yang boleh atau yang tidak dengan teori “Keputusan” artinya bahwa untuk melihat apakah sesuatu adat-istiadat itu
boleh dilakukan orang itu harus terumus dalam undang-undang.[3] Meskipun demikian, sudah merupakan hukum adat, maka perlu melihat dari sikap penguasa masyarakat hukum
berlakunya asas legalitas itu tidak bersifat mutlak, artinya, masih dimungkinkan untuk terhadap sipelanggar peraturan adat-istiadat. Apabila penguasa menjatuhkan putusan
disimpangi sepanjang tidak mengurangi kepastian hukum. Hal ini terjadi karena masalah hukuman terhadap sipelanggar maka adat-istiadat itu sudah merupakan hukum adat.
keadilan menjadi bahan pertimbangan dan adanya beberapa daerah di Indonesia yang
masih memperlakukan hukum adat pidana.[4] Apalagi beberapa perbuatan yang menurut 2. Cornelis van Vollen Hoven
kesadaran hukum masyarakat merupakan suatu perbuatan tercela, justru KUHP tidak
mengaturnya. Di beberapa daerah di Indonesia masih berlaku hukum adat dan hukum Hukum adat adalah keseluruhan aturan tingkah laku masyarakat yang berlaku dan
kebiasaan yang masih ditaati oleh masyarakatnya. mempunyai sanksi dan belum dikodifikasikan.

Dalam kerangka yang demikian, hukum adat mempunyai kedudukan penting dalam sistim Hukum adat adalah kompleks adat-adat yang pada umumnya tidak dikitabkan, tidak
peradilan nasional, karena ia melakukan fungsi yang pada hakikatnya melengkapi dikodifikasikan dan bersifat paksaan, mempunyai sanksi jadi mempunyai akibat hukum.
ketentuan hukum tertulis yang diserap dari hukum tidak tertulis (hukum adat) sebagai
hukum yang hidup dalam masyarakat. Hukum adat menjadi salah sumber hukum bagi 4. H.P. Bellefroit
Hukum adat sebagai peraturan-peraturan hidup yang meskipun tidak diundangkan oleh Menurut kepercayaan tradisionil Indonesia, tiap-tiap masyarakat diliputi oleh kekuatan
penguasa, tetapi tetap dihormati dan ditaati oleh rakyat dengan keyakinan bahwa peraturan- gaib yang harus dipelihara agar masyarakat itu tetap aman tentram bahagia dan lain-lain.
peraturan tersebut berlaku sebagai hukum. Tidak ada pembatasan antara dunia lahir dan dunia gaib serta tidak ada pemisahan antara
berbagai macam lapangan kehidupan, seperti kehidupan manusia, alam, arwah-arwah
Hukum adat adalah hukum yang tidak bersumber kepada peraturan-peraturan. nenek moyang dan kehidupan makluk-makluk lainnya. Adanya pemujaan-pemujaan
khususnya terhadap arwah-arwah dari pada nenek moyang sebagai pelindung adat-istiadat
yang diperlukan bagi kebahagiaan masyarakat.
6. Hazairin

2. Bercorak Komunal atau Kemasyarakatan


Hukum adat adalah endapan kesusilaan dalam masyarakat yaitu kaidah-kaidah kesusialaan
yang kebenarannya telah mendapat pengakuan umum dalam masyarakat itu.
Artinya bahwa kehidupan manusia selalu dilihat dalam wujud kelompok, sebagai satu
7. Soeroyo Wignyodipuro kesatuan yang utuh. Individu satu dengan yang lainnya tidak dapat hidup sendiri, manusia
adalah makluk sosial, manusia selalu hidup bermasyarakatan, kepentingan bersama lebih
diutamakan dari pada kepentingan perseorangan.
Hukum adat adalah suatu ompleks norma-norma yang bersumber pada perasaan keadilan
rakyat yang selalu berkembang serta meliputi peraturan-peraturan tingkah laku manusia
3. Bercorak Demokrasi
dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat, sebagaian besar tidak tertulis, senantiasa
ditaati dan dihormati oleh rakyat karena mempunyai akibat hukum (sanksi).
Bahwa segala sesuatu selalu diselesaikan dengan rasa kebersamaan, kepentingan bersama
lebih diutamakan dari pada kepentingan-kepentingan pribadi sesuai dengan asas
8. Soepomo
permusyawaratan dan perwakilan sebagai sistem
Hukum adat adalah hukum tidak tertulis didalam peraturan tidak tertulis, meliputi
peraturan-peraturan hidup yang meskipun tidak ditetapkan oleh yang berwajib tetapi ditaati pemerintahan.
dan didukung oleh rakyat berdasarkan atas keyakinan bahwasanya peraturan-peraturan
tersebut mempunyai kekuatan hukum. 4. Bercorak Kontan

9. Soerjono Soekanto. Pemindahan atau peralihan hak dan kewajiban harus dilakukan pada saat yang bersamaan
yaitu peristiwa penyerahan dan penerimaan harus dilakukan secara serentak, ini
dimaksudkan agar menjaga keseimbangan didalam pergaulan
Hukum adat pada hakikatnya merupakan hukum kebiasaan, artinya kebiasaan-kebiasaan
yang mempunyai akibat hukum (sein-sollen). Berbeda dengan kebiasaan belaka,
merupakan hukum adat adalah perbuatan-perbuatan yang diulang dalam bentuk yang sama bermasyarakat.
menuju pada rechtsvardigeoordening der samen-leving.
5. Bercorak Konkrit
Dari batasan-batasan yang dikemukakan di atas, maka terlihat unsur-unsur dari pada
hukum adat sebagai berikut : [1] adanya tingkah laku yang terus menerus dilakukan oleh Artinya adanya tanda yang kelihatan yaitu tiap-tiap perbuatan atau keinginan dalam setiap
masyaraka; [2] tingkah laku tersebut teratur dan sistematis; [3] tingkah laku tersebut hubungan-hubungan hukum tertentu harus dinyatakan dengan benda-benda yang berwujud.
mempunyai nilai sakral; [4] adanya keputusan kepala adat; [5] adanya sanksi/ akibat Tidak ada janji yang dibayar dengan janji, semuanya harus disertai tindakan nyata, tidak
hukum; [6] tidak tertulis; dan [7] ditaati dalam masyarakat.[8] ada saling mencurigai satu dengan yang lainnya.

Sementara itu, hukum adat pada hakikatnya mempunyai corak-corak tertentu. Adapun Selanjutnya, banyak faktor yang mempengaruhi perkembangan hukum adat, disamping
corak yang terpenting adalah : [9] kemajuan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi, kondisi alam, juga faktor-faktor yang
bersifat tradisional adalah sebagai berikut :[10]
1. Corak Religius-Magis
1. Magis dan Animisme. Alam pikiran magis dan animisme pada dasarnya dialami mewujudkan rechtsidee nasional, maka pokok-pokok pikiran dalam Pembukaan UUD
oleh setiap bangsa di dunia. Di Indonesia faktor magis dan animisme cukup besar 1945 adalah perwujudan dari nilai-nilai asli masyarakat Indonesia. Dengan kata lain,
pengaruhnya. Hal ini dapat dilihat dalam upacara-upacara adat yang bersumber Pembukaan UUD 1945 sebagai grundnorm dalam hirarki Tata Hukum Indonesia adalah
pada kekuasaan-kekuasaan serta kekuatan-kekuatan gaib. penjabaran dari nilai-nilai Adat bangsa Indonesia.[13]
2. Faktor Agama. Masuknya agama-agama di Indonesia cukup banyak memberikan
pengaruh terhadap perkembangan hukum adat misalnya : Agama Hindu, pada Hal ini akan semakin diperkuat pokok-pokok pikiran yang dikandung dalam Pembukaan
abad ke 8 masuknya orang India ke Indonesia dengan membawa agamanya, UUD 1945 yang secara jelas menggambarkan dan mencerminkan karakteristik serta corak
pengaruhnya dapat dilihat di Bali. Hukum-hukum Hindu berpengaruh pada bidang masyarakat asli Indonesia yang sekaligus juga merupakan corak dan karakteristik dari
pemerintahan Raja dan pembagian kasta-kasta; Agama Islam, pada abad ke 14 Hukum Adat masyarakat Indonesia. Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa adalah
dan awal abad 15 oleh pedagang-pedagang dari Malaka, Iran. Pengaruh Agama pencerminan sifat religio-magistik masyarakat Indonesia, yaitu yang mempercayai adanya
Islam terlihat dalam hukum perkawinan yaitu dalam cara melangsungkan dan kekuatan metafisik-transendental di luar dirinya yang melingkupi serta menguasai seluruh
memutuskan perkawinan dan juga dalam bidang wakaf; Agama Kristen, aturan- aspek kehidupannya. Pokok pikiran tentang negara persatuan, tujuan mewujudkan keadilan
aturan hukum Kristen di Indonesia cukup memberikan pengaruh pada hukum sosial, serta sistem negara yang berdasarkan kedaulatan rakyat dan permusyawaratan
keluarga, hukum perkawinan. Agama Kristen juga telah memberikan pengaruh perwakilan adalah pencerminan dari karakter komunalistik dan kekeluargaan yang ada
besar dalam bidang social khususnya dalam bidang pendidikan dan kesehatan, dalam masyarakat Indonesia. Bahkan dalam Penjelasan “Umum” bagian II butir 3
dengan didirikannya beberapa lembaga Pendidikan dan rumah-rumah sakit. ditegaskan bahwa pokok pikiran tentang sistem kenegaraan yang berdasarkan kedaulatan
3. Faktor Kekuasaan yang lebih tinggi. Kekuasaan-kekuasaan yang lebih tinggi yang rakyat dan sistem permusyawaratan perwakilan adalah sesuai dengan sifat masyarakat
dimaksud adalah kekuasaan-kekuasaan Raja-raja, kepala Kuria, Nagari dan lain- Indonesia.
lain. Tidak semua Raja-raja yang pernah bertahta di negeri ini baik, ada juga Raja
yang bertindak sewenang-wenang bahkan tidak jarang terjadi keluarga dan Penjabaran di atas jelas semakin mempertegas kedudukan sentral secara yuridis hukum
lingkungan kerajaan ikut serta dalam menentukan kebijaksanaan kerajaan adat dalam Tata Hukum Nasional, bahwa hukum adat adalah basis Tata Hukum Nasional.
misalnya penggantian kepala-kepala adat banyak diganti oleh orang-orang yang
Bahwa hukum adat adalah grundnorm dalam Tata Hukum Indonesia. Hukum adatlah –
dengan kerajaan tanpa menghiraukan adat istiadat bahkan menginjak-injak hukum
sebagaimana yang dijabarkan dalam Pembukaan UUD 1945- yang berfungsi sebagai
adat yang ada dan berlaku didalam masyarakat tersebut.
sumber hukum atau welbron dari setiap aturan hukum positip yang ada sehingga hukum
4. Faktor adanya Kekuasaan Asing, yaitu kekuasaan penjajahan Belanda, dimana adat adalah raw material substansi hukum positip Indonesia. Setiap aturan hukum positip
orang-orang Belanda dengan alam pikiran baratnya yang individualisme. Hal ini harus bersenyawa dengan rechtsidee-nya, sehingga hukum adat berfungsi sebagai batu
jelas bertentangan dengan alam pikiran adat yang bersifat kebersamaan.
penguji validitas substantif segala aturan hukum positip Indonesia.

EKSISTENSI HUKUM ADAT DALAM TATA HUKUM INDONESIA Selanjutnya, dalam Seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional yang
diselenggarakan BPHN dan UGM tahun 1975 di Yogyakarta menyimpulkan :[14]
Hukum adat adalah manifestasi value consciousness dan karakteristik masyarakat
Indonesia yang membedakannya dengan sistem hukum lain, sehingga berfungsi sebagai
1. Hukum adat adalah hukum Indonesia asli yang tidak tertulis dalam bentuk
perwujudan hukum asli dan pencerminan jiwa bangsa serta rasa keadilan rakyat Indonesia.
perundang-undangan Republik Indonesia yang disana-sini mengandung unsur-
Dengan adanya kedudukan hukum adat sebagai perwujudan hukum asli dan pencerminan
unsur agama;
jiwa bangsa serta rasa keadilan dari rakyat Indonesia ini, maka hukum adat seharusnya 2. Penggunaan konsepsi-konsepsi dan asas-asas hukum dari hukum adat untuk
memiliki peran sentral dalam pembangunan Hukum Indonesia.[11] Jika melihat lebih dirumuskan dalam norma-norma hukum yang memenuhi kebutuhan masyarakat;
lanjut pada Penjelasan “Umum” UUD 1945 bagian III, maka akan diketahui bahwa
3. Penggunaan lembaga-lembaga hukum adat yang dimodernisir dan disesuaikan
kedudukan Pembukaan UUD 1945 adalah sebagai penjabaran pokok-pokok pikiran yang
dengan kebutuhan zaman;
mewujudkan cita-cita hukum (rechtsidee) yang menguasai hukum dasar negara. Penjelasan
4. Memasukkan konsep-konsep dan asas-asas hukum adat ke dalam lembaga-
UUD 1945 tentang kedudukan Pembukaan UUD 45 ini tentu mempertegas bahwa
lembaga hukum baru;
Pembukaan UUD 1945 inilah yang merupakan Grundnorm dalam hirarki Tata Hukum 5. Di dalam pembinaan hukum harta kekayaan nasional, hukum adat merupakan
Indonesia, sehingga ia berfungsi sebagai welbron (sumber hukum) dari Tata Hukum salah satu unsur, sedangkan di dalam pembinaan hukum kekeluargaan dan hukum
Nasional.[12] Rechtsidee adalah penyatuan nilai-nilai yang memegang peranan dalam
kewarisan nasional, hukum adat merupakan intinya. Melalui terbentuknya hukum
hidup masyarakat dengan dipengaruhi oleh filsafat hidup yang diyakini oleh masyarakat
tersebut, sehingga jika Pembukaan UUD 1945 berisikan pokok-pokok pikiran yang
nasional yang jelas-jelas bersumberkan pada hukum adat, berarti kedudukan dan sama sekali tidak mempunyai tempat sebagai sumber hukum yang positif. Dengan perkata
peranan hukum adat itu telah terserap di dalam hukum nasional. lain, adanya Pasal 1 KUHP itu seolah-olah hukum pidana tidak tertulis yang hidup atau
pernah ada di masyarakat, sering “ditidurkan atau dimatikan”. Semasa zaman penjajahan,
Dengan demikian, kedudukan hukum adat merupakan salah satu sumber penting untuk ditidurkannya hukum pidana tidak tertulis itu masih dapat dimaklumi karena memang
memperoleh bahan-bahan bagi pembangunan hukum nasional yang menuju pada unifikasi sesuai dengan politik hukum Belanda pada saat itu. Namun, akan dirasakan lain apabila
hukum dan yang terutama akan dilakukan melalui pembuatan peraturan perundang- kebijakan itu juga diteruskan seusai kemerdekaan. Dengan adanya Pasal 1 KUHP, hukum
undangan dengan tidak mengabaikan tumbuh dan berkembangnya hukum kebiasaan dan tidak tertulis/hukum yang hidup itu tidak pernah tergali dan terungkap secara utuh
pengadilan dalam pembinaan hukum.[15] kepermukaan, khususnya dalam praktek peradilan pidana maupun dalam kajian akademik
di perguruan tinggi. Selanjutnya, berarti tidak pernah berkembang dengan baik “tradisi
yurisprudensi” maupun “tradisi akademik/keilmuan” mengenai hukum pidana tidak tertulis
KEDUDUKAN HUKUM ADAT DALAM SISTEM PERADILAN INDONESIA
itu. Kalau toh ada, hanya dalam ruang yang sangat terbatas dan (sekali lagi) “tidak utuh”
atau “tidak lengkap”. [16]
Secara historis, eksistensi peradilan adat di Indonesia telah lama dikenal dalam tatanan
kehidupan masyarakat Indonesia. Pada ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Drt
tahun 1951 disebutkan bahwa kecuali pengadilan desa seluruh badan pengadilan yang Konklusi dasar dari apa yang diterangkan di atas menyebutkan asas legalitas sebagaimana
ketentuan Pasal 1 KUHP memang merupakan salah satu asas fundamental yang harus tetap
meliputi badan pengadilan gubernemen, badan pengadilan swapraja
dipertahankan, namun penggunaan harus dengan bijaksana dan hati-hati, karena kalau
(zelbestuurrechtspraak) kecuali pengadilan agama jika pengadilan itu menurut hukum yang
kurang bijaksana dan kurang hati-hati, justru dapat menjadi “bumerang”. Sungguh sangat
hidup merupakan suatu bagian dari pengadilan swapraja, dan badan pengadilan adat
tragis dan menyayat hati apabila dengan dalih Pasal 1 KUHP, nilai-nilai hukum yang ada
(Inheemse rechtspraak in rechtsreeks bestuur gebied) kecuali pengadilan agama jika
pengadilan itu menurut hukum yang hidup merupakan suatu bagian tersendiri dari dan hidup dalam masyarakat tidak dapat tersalur dengan baik atau bahkan ditolak sama
pengadilan adat telah dihapuskan. Hakikat dasar adanya ketentuan tersebut berarti sekali. Dikatakan tragis dan menyayat hati karena berarti nilai-nilai hukum adat/hukum
yang hidup di dalam masyarakat telah dibunuh/dimatikan oleh bangsanya sendiri lewat
sebetulnya Undang-Undang Nomor 1 Drt tahun 1951 telah meniadakan badan-badan
senjata/peluru/pisau yang diperoleh dari bekas penjajah (yaitu lewat Pasal 1 KUHP/WvS).
pengadilan lain kecuali badan pengadilan umum, agama dan pengadilan desa.
[17]
Akan tetapi seiring dengan berjalannya waktu, perubahan dan dinamika masyarakat yang
Kedua, dikaji dari perspektif UU Nomor 1 dart Tahun 1951 dimana dalam ketentuan Pasal
teramat kompleks di satu sisi sedangkan di sisi lainnya terhadap regulasi pembuatan
5 ayat (3) sub b masih dikenal eksistensinya Pengadilan Adat. Akan tetapi, setelah
peraturan perundang-undangan sebagai kebijakan legislasi yang bersifat parsial ternyata
dikodefikasikan Undang-Undang tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan
eksistensi peradilan adat tersebut dapat dikatakan antara “ada” dan “tiada”. Ada 2 (dua)
Kehakiman (Pasal 10 UU Nomor 14 Tahun 1970), yang kemudian dirubah dengan UU
argumentasi yang patut dikemukakan dalam konteks ini mengapa kajian terhadap hukum
pidana adat diasumsikan eksistensinya antara “ada” dan “tiada”. Pertama, dikaji dari Kekuasaan Kehakiman (UU Nomor 35 Tahun 1999, jis UU Nomor 4 Tahun 2004, UU
dimensi asas legalitas formal (selanjutnya disebut sebagai asas legalitas) dan asas legalitas Nomor 48 Tahun 2009) tidak dikenal lagi eksitensi Pengadilan Adat dalam tataran
kebijakan legislasi walaupun untuk daerah Aceh Nangroe Darussalam sebagaimana UU
materiil. Pada dasarnya asas legalitas lazim disebut dengan terminologi “principle of
Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh eksistensi Pengadilan Adat masih
legality”, “legaliteitbeginsel”, “non-retroaktif”, “de la legalite” atau “ex post facto
diterapkan dan dikenal dengan istilah Peradilan Gampong atau Peradilan Damai.
laws”. Ketentuan asas legalitas diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) Indonesia yang berbunyi: “Tiada suatu peristiwa dapat dipidana
selain dari kekuatan ketentuan undang-undang pidana yang mendahuluinya.” Apabila Akan tetapi walaupun kebijakan formulatif sejak UU 14 Tahun 1970 (berikut UU Nomor
dipadankan asas legalitas formal dan materiil hendaknya diatur dalam peraturan 35 Tahun 1999, jis UU Nomor 4 Tahun 2004, UU Nomor 48 Tahun 2009) yang tidak
perundang-undangan dan diimplementasikan secara integral. Pada asas legalitas dasar patut mengakui eksistensi peradilan adat fakta aktual dalam kebijakan aplikatif melalui
dipidana suatu perbuatan adalah undang-undang yang sudah ada sebelum perbuatan yurisprudensi Mahkamah Agung RI eksistensi peradilan adat tetap mengakuinya.
tersebut dilakukan. Kemudian asas legalitas materiel menentukan bahwa dasar patut Misalnya, sebagai salah satu contohnya pada Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1644
dipidana suatu perbuatan adalah hukum yang hidup dalam masyarakat yaitu hukum tidak K/Pid/1988 tanggal 15 Mei 1991 dimana dalam ratio decidendi putusan disebutkan bahwa
tertulis atau hukum adat. apabila seseorang melanggar hukum adat kemudian Kepala dan Para Pemuka Adat
memberikan reaksi adat (sanksi adat) maka yang bersangkutan tidak dapat diajukan lagi
(untuk kedua kalinya) sebagai terdakwa dalam persidangan Badan Peradilan Negara
Barda Nawawi Arief menyebutkan dengan adanya perumusan asas legalitas yang formal
(Pengadilan Negeri) dengan dakwaan yang sama melanggar hukum ada dan dijatuhkan
di dalam Pasal 1 KUHP, hukum tidak tertulis atau hukum yang hidup di dalam masyarakat
pidana penjara menurut ketentuan KUH Pidana (Pasal 5 ayat (3) sub b UU drt Nomor 1 memperkuat keyakinan masyarakat tentang keberadaan hukum adat meskipun
Tahun 1951) sehingga dalam keadaan demikian pelimpahan berkas perkara serta tuntutan hukum adat dalam ragam yang tidak lagi tidak tertulis.
Kejaksaan di Pengadilan Negeri harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk
Verklaard). DAFTAR PUSTAKA

Konklusi dasar dari yurisprudensi Mahkamah Agung tersebut menentukan bahwa Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Pengembangan Ilmu Hukum Pidana (Menyongsong
Mahkamah Agung RI sebagai Badan Peradilan Tertinggi di Indonesia tetap menghormati Generasi Baru Hukum Pidana Indonesia), Pidana Pengukuhan Guru Besar, Fakultas
putusan Kepala Adat (Pemuka Adat) yang memberikan “sanksi adat” terhadap para Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 1994.
pelanggar norma hukum adat. Badan Peradilan Umum tidak dapat dibenarkan mengadili
untuk kedua kalinya pelanggar hukum adat tersebut dengan cara memberikan pidana
Bewa Ragawino, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat Indonesia, Fisip-Unpad, Bandung
penjara (ex Pasal 5 ayat (3) sub b UU dart Nomor 1 tahun 1951 jo pasal-pasal KUH
2008.
Pidana). Oleh karena itu, konsekuensi logisnya dapat dikatakan bahwa bila Kepala Adat
tidak pernah memberikan “sanksi adat” terhadap pelanggar hukum adat, maka hakim badan
peradilan negara berwenang penuh mengadilinya berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (3) I Gede A.B. Wiranata, Hukum Adat Indonesia Perkembangannya dari Masa Ke Masa,
sub b UU dart Nomor 1 tahun 1951 jo pasal-pasal KUH Pidana. Dengan demikian, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005.
konkretisasi dan konklusi detail eksistensi pengakuan hukum adat terdapat baik dalam
peraturan perundangan-undangan, forum ilmiah, pendapat doktrin maupun yurisprudensi Moh. Koesnoe, Hukum Adat, Dalam Alam Kemerdekaan Nasional dan Persoalan
MARI. Menghadapi Era Globalisasi (Kumpulan Lima Makalah), Ubhara Press, Surabaya, 1996.

Sementara itu harus diakui bahwa pada kenyataannya di masyarakat masih banyak terdapat Pontang Moerad, Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan Dalam Perkara
pelanggaran ketertiban dalam masyarakat yang tidak dapat dijangkau oleh hukum. Hal ini Pidana, Alumni, Bandung, 2005.
disebabkan hukum belum meliputi segi kehidupan masyarakat. Karena itu, peran hakim
sangat diperlukan dalam pembentukan hukum agar tidak terjadi kekosongan hukum. Ratno Lukito, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler Studi Tentang Konflik dan Resolusi
Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai yang hidup dengan Dalam Sistem Hukum Indonesia, Pustaka Alvabet, Jakarta, 2008.
mengintegrasikan diri dalam masyarakat. Pada titik inilah hukum adat dapat menjadi
sumber rujukan hukum bagi hakim dalam pengambilan putusan. Dalam praktik peradilan Rd. Achmad S. Soema Di Pradja, Hukum Pidana Dalam Yurisprudensi, Armico, Bandung,
di Indonesia, putusan-putusan pengadilan telah mengadopsi hukum adat. Hal ini 1990.
menunjukkan bahwa hukum adat dalam sistem peradilan di Indonesia diakui dan memiliki
kedudukan tersendiri.
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, RajaGrafindo Perkasa, Jakarta, 2005.
KESIMPULAN
Surojo Wignjodipuro, Pengantar dan Azas-Azas Hukum Adat, Alumni, Bandung, 1979.
Berdasarkan berbagai uraian di atas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai
[1] Ratno Lukito, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler Studi Tentang Konflik dan
jawaban atas perumusan masalah sebagai berikut :
Resolusi Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2008), hlm. 37.
1. Adanya keberatan bahwa asas legalitas menghalangi berlakunya hukum adat
[2] ibid., hlm. 44.
merupakan keberatan yang tidak relevan lagi, karena kenyataannya putusan-
putusan pengadilan telah mengadopsi hukum adat, sehingga telah memperjelas
kedudukan hukum adat dalam sistem peradilan Indonesia. [3] Pontang Moerad, Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan Dalam Perkara
2. Penguatan hukum adat dapat dilakukan melalui efektifitas kuasa lembaga Pidana, (Bandung: Alumni, 2005), hlm. 8.
peradilan dengan putusan peradilan yang sepenuhnya memberlakukan aspek
hukum adat. Lembaga peradilan sebagai benteng penemuan hukum apabila dalam [4] Rd. Achmad S. Soema Di Pradja, Hukum Pidana Dalam Yurisprudensi, (Bandung:
putusannya telah mengadopsikan nilai-nilai hukum adat, maka secara moral akan Armico, 1990), hlm. 5; Pontang Moerad, op.cit., hlm. 9.
[5] Bewa Ragawino, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat Indonesia, (Bandung: Fisip-
Unpad, 2008), hlm. 2-3.

[6] I Gede A.B. Wiranata, Hukum Adat Indonesia Perkembangannya dari Masa Ke
Masa, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005), hlm. 10.

[7] Disarikan dari Bewa Ragawino, op.cit., hlm. 4-5; dan I Gede A.B. Wiranata, op.cit.,
hlm. 9-24.

[8] Bewa Ragawino, op.cit., hlm. 5-6.

[9] ibid., hlm. 11-12.

[10] ibid., hlm. 27-30.

[11] Moh. Koesnoe, Hukum Adat, Dalam Alam Kemerdekaan Nasional dan Persoalan
Menghadapi Era Globalisasi (Kumpulan Lima Makalah), (Surabaya: Ubhara Press, 1996),
hlm. 49.

[12] ibid., hlm. 69.

[13] ibid., hlm. 73.

[14] I Gede A.B. Wiranata, op.cit., hlm. 52-53.

[15] ibid, hlm. 53.

[16] Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Pengembangan Ilmu Hukum Pidana
(Menyongsong Generasi Baru Hukum Pidana Indonesia), Pidana Pengukuhan Guru Besar,
Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 1994, hlm. 25.

[17] Surojo Wignjodipuro, Pengantar dan Azas-Azas Hukum Adat, (Bandung: Alumni,
1979), hlm. 298.

Anda mungkin juga menyukai