Anda di halaman 1dari 63

 

TUGAS AKHIR DIV-TEKNIK PERANCANGAN JALAN DAN JEMBATAN

  BAB II
  DASAR TEORI
Studi Literatur
 
Studi literatur atau studi pustaka merupakan proses mengumpulkan
 
berbagai buku, catatan atau literatur sebagai referensi dan hasil dari penelitian
 
sebelumnya yang sejenis guna mendapatkan landasan teori masalah yang
  diteliti (Sarwono, 2006). Dalam penyusunan tugas akhir ini, terdapat beberapa

  hasil penelitian yang dijadikan referensi tugas akhir dapat dilihat pada Tabel
II.1.
 
Tabel II.1. Studi Literatur Pembuatan Tugas Akhir
Hasil Analisis Studi Literatur
Nama Berto Nozif (2015) Hanifan Ihsani Ahmad Aliya Theresia Dwiriani Muhammad Nauval Araka
(2016) Adinagara (2016) Romauli (2016) Aris, Gerson Simbolan,
Bagus Hario Setiadji (2015)
Judul “Perancangan “Perancangan dan “Perancangan “Analisis Perhitungan “Analisis Perbandingan
Peningkatan Analisis Strategi ifrastruktur Jalan Tebal Lapis Tambahan Perencanaan Tebal
Perkerasan Jalan Pemeliharaan yang Berwawasan (Overlay) Pada Perkerasan Jalan Lentur
Ruas Jalan Perkerasan Jalan Lingkungan pada Perkerasan Lentur Menggunakan Beberapa
Palimanan – Kramat Akses PLTA Upper Ruas Jalan Daeng Dengan Menggunakan Metoda Bina Marga Studi
Sta. 5 + 675 – Sta. 6 Cisokan, Kabupaten Mohammad Manual Desain Kasus : (Ruas Jalan
+ 466” Bandung Barat” Ardiwinata Sta. Perkerasan Jalan 2013 Piringsurat – Batas Kedu
0+000 s.d Sta. (Studi Kasus : Ruas Jalan Timur)
2+250 di Kota Kairagi – Mapanget)
Cimahi”
Persamaan
Ruang - Perancangan - Perancangan - Perancangan - Perancangan - Perancangan Tebal
Lingkup perkerasan perkerasan ruas Perkerasan perkerasan jalan Lapis Tambah
ruas jalan jalan Jalan, menggunakan perkerasan lentur
Bangunan metoda/manual Manual Desain
Pelengkap desain perkerasan Perkerasan 2013
Jalan, dan jalan 2013
Kelengkapan
Jalan

ABDULLAH KHOIR MUHAMADDAN (131134001) 7


JURUSAN TEKNIK SIPIL – POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
 
 
TUGAS AKHIR DIV-TEKNIK PERANCANGAN JALAN DAN JEMBATAN

 
Tabel II.1. Studi Literatur Pembuatan Tugas Akhir (Lanjutan)
  Hasil Analisis Studi Literatur
Nama Berto Nozif (2015) Hanifan Ihsani Ahmad Aliya Theresia Dwiriani Muhammad Nauval Araka
  (2016) Adinagara (2016) Romauli (2016) Aris, Gerson Simbolan,
Bagus Hario Setiadji (2015)
  Perbedaan
Ruang - Perancangan - Menggunakan - Perancancangan - Membandingkan hasil - Membandingkan 4
 
Lingkup perkerasan metoda TOPSIS infrastruktur ruas analisis tebal overlay Metoda Bina Marga
ruas jalan untuk pemilihan jalan dengan dengan Pd T-05-2005- 2002, 2005, 2010, dan
 
dengan perkerasan jalan berwawasan B dan No. 2013. Serta mendesain
  menggunakan baru. lingkungan. 002/P/BM/2011. ulang perkerasan.
2 metoda Melakukan
  berbeda analisis prediksi
lalu lintas dari
  awal konstruksi
hingga umur
rencana dengan
pemodelan
trasportasi.
- Merencanakan
strategi
pemilihan
perkerasan
jalan.
Metoda - AASHTO 93 - AASHTO 93 - AASHTO 93 - MDP Bina Marga - Pd T-01-2002-B, Pd
- Pd. T-14-2003 2013 T-05-2005-B, BM no.
- Pd T-05-2005-B 001/BT/2010, dan BM
- Bina Marga 2011 02/M/BM/2013
No.002/P/BM/2011
Lokasi Ruas Jalan Access Road PLTA Ruas Jalan Daeng Ruas Jalan Kairagi – Ruas Jalan Piringsurat –
Tinjauan Palimanan – Kramat Upper Cisokokan Mohammad Sta. Mapanget Batas Kedu Timur
Sta. 5 + 675 – Sta. 6 Desa SArinagen 0+000 s.d Sta.
+ 466. Kecamatan 2+250.
Cipongkor
Kabupaten Bandung
Barat.
Sumber : Hasil analisis Tugas Akhir

Perkerasan Jalan
Perkerasan merupakan bagian dari badan jalan yang berfungsi menerima
beban lalu lintas dan menyebarkan ke bawahnya sampai ke tanah dasar.
Terdapat 3 jenis perkerasan yaitu:
a. Perkerasan lentur (flexible pavement)

ABDULLAH KHOIR MUHAMADDAN (131134001) 8


JURUSAN TEKNIK SIPIL – POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
 
 
TUGAS AKHIR DIV-TEKNIK PERANCANGAN JALAN DAN JEMBATAN

 
Perkerasan lentur merupakan jenis perkerasan yang bagian permukaannya
 
menggunakan material atau bahan campuran aspal dan pada lapisan
 
dibawahnya dengan menggunakan material berbutir. Lapisan perkerasan
  lentur terdiri dari tanah dasar (subgrade), lapis pondasi bawah (sub base
  course), lapis pondasi (base course) dan lapis permukaan (surface course).
c. Perkerasan kaku/beton (rigid pavement)
 
Perkerasan kaku (Rigid Pavement) merupakan jenis perkerasan yang
 
bagian permukaanya menggunakan bahan campuran beton. Pada
  perkerasan kaku digunakan Cement Portland sebagai baha pengikat. Pada
  perkerasan ini beton berfungsi sebagai lapis pondasi (base course)
sekaligus sebagai lapis permukaan (surface course). Perkerasan gabungan
(composite pavement).
d. Perkerasan Gabungan (composite pavement)
Perkerasan gabungan (composite pavement) merupakan jenis
perkerasan yang menggabungkan perkerasan kaku dan perkerasan lentur.
Perkerasan lentur berada di atas perkerasan kaku. kedua jenis perkerasan
ini bersama – sama dala memikul beban kendaraan/lalu lintas.
Metode Penilaian Kondisi Perkerasan Menggunakan PCI
Penilaian kondisi perkerasan jalan pertama dikembangkan oleh U.S Army
Corp of Engineer (Shanin, 1994) dan dinyatakan dalam Indeks Kondisi
Perkerasan (Pavement Condition Index, PCI). PCI merupakan tingkatan
kondisi perkerasan yang ditinjau dari fungsi pada kondisi dan kerusakan
perkerasan jalan. Nilai PCI berkisar dari 0 sampai 100 dengan menunjukan
nilai 0 yaitu kondisi permukaan perkerasan sangat rusak dan nilai 100 yaitu
kondisi permukaan perkerasan yang sempurna. Nilai kondisi permukaan
perkerasan didapatkan dari hasil survei secara visual sehingga didapatkan
kondisi permukaan perkerasan jalan tersebut. Untuk mendapatkan nilai
Pavement Condition Index dilakukan secara bertahap seperti sebagai berikut :

ABDULLAH KHOIR MUHAMADDAN (131134001) 9


JURUSAN TEKNIK SIPIL – POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
 
 
TUGAS AKHIR DIV-TEKNIK PERANCANGAN JALAN DAN JEMBATAN

 
Pembagian Segmen
 
Berdasarkan buku Pavement Management For Airports, Roads, and
 
Parking Lots Second Edition (Shahin,1994) untuk jalan dengan perkerasan
  lentur atau aspal dan jalan tanpa perkerasan dalam pembagian segmen atau
  sampel dibagi dengan luasan sekitar 762 ± 305 (2500 ± 1000 sq.ft).

  Melakukan Survei Kondisi Perkerasan


Dalam melakukan survei kondisi perkerasan dilakukan pengukuran
 
kerusakan per jenis kerusakan. Berdasarkan buku Pavement Management
 
For Airports, Roads, and Parking Lots Second Edition (Shahin,1994)
  terdapat 19 jenis kerusakan pada perkerasan lentur (flexible pavement) yaitu
sebagai berikut :
1) Alligator Cracking
Retak buaya merupakan retak dengan berbentuk kotak kecil – kecil
dan retak tersebut menyerupai bentuk kulit buaya. Kerusakan ini
diakibatkan oleh beban lalu lintas yang berulang dan perkerasan tidak
kuat mendukung beban lalu lintas tersebut. Kerusakan retak buaya ini
hanya terjadi di daerah yang dilalui beban lalu lintas yang berulang saja
dan tidak terjadi di seluruh daerah perkerasan kecuali seluruh daerah
perkerasan tersebut di lewati beban lalu lintas. Untuk tingkat kerusakan
pada jenis kerusakan retak buaya dapat di klasifikasikan menjadi high,
medium, dan low seperti pada Gambar II.1.

ABDULLAH KHOIR MUHAMADDAN (131134001) 10


JURUSAN TEKNIK SIPIL – POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
 
 
TUGAS AKHIR DIV-TEKNIK PERANCANGAN JALAN DAN JEMBATAN

Gambar II.1. Tingkat Kerusakan Retak Buaya


Sumber ; Shahin.M.Y, 1994
2) Bleeding
Bleeding atau kegemukan ditandai oleh permukaan perkerasan jalan
yang lebih hitam dan licin serta permukaan perkerasan jalan akan lebih
lunak dan lengket. Jenis kerusakan ini biasanya diakibatkan oleh
penggunaan aspal yang berlebih. Tingkat kerusakan untuk jenis
kerusakan bleeding dibagi menjadi high, medium, dan low seperti pada
Gambar II.2.

ABDULLAH KHOIR MUHAMADDAN (131134001) 11


JURUSAN TEKNIK SIPIL – POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
 
 
TUGAS AKHIR DIV-TEKNIK PERANCANGAN JALAN DAN JEMBATAN

Gambar II.2. Tingkat Kerusakan Kegemukan


Sumber ; Shahin.M.Y, 1994
3) Block Cracking
Block cracking atau retak blok merupakan jenis kerusakan perkerasan
mirip dengan retak buaya berbentuk kotak namun ukurannya lebih besar.
Retak blok juga terjadi bukan hanya pada daerah yang sering dilalui oleh
beban lalu lintas tetapi dapat terjadi di permukaan perkerasan yang tidak

ABDULLAH KHOIR MUHAMADDAN (131134001) 12


JURUSAN TEKNIK SIPIL – POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
 
 
TUGAS AKHIR DIV-TEKNIK PERANCANGAN JALAN DAN JEMBATAN

 
dilalui beban lalu lintas. Untuk tingkat kerusakan pada jenis kerusakan
 
retak blok terdiri dari high, medium, dan low seperti pada Gambar II.3.
 

Gambar II.3. Tingkat Kerusakan Retak Blok


Sumber ; Shahin.M.Y, 1994
4) Bumps and Sags
Jenis kerusakan bump and sags atau tonjolan dan lengkungan
merupakan benjol atau gerakan ke atas yang bersifat kecil (bump) dan
penurunan yang bersifat kecil (sags) dari permukaan perkerasan (Shahin,

ABDULLAH KHOIR MUHAMADDAN (131134001) 13


JURUSAN TEKNIK SIPIL – POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
 
 
TUGAS AKHIR DIV-TEKNIK PERANCANGAN JALAN DAN JEMBATAN

 
1994). Tingkat kerusakan terbagi menjadi high, medium, dan low seperti
 
pada Gambar II.4.
 

Gambar II.4. Tingkat Kerusakan Tonjolan dan Lengkungan


Sumber ; Shahin.M.Y, 1994
5) Corrugation
Corrugation atau keriting merupakan jenis kerusakan pada
perkerasan lentur dengan berbentuk seperti alur yang terjadi melintang
jalan. Kerusakan ini menyebabkan ketidaknyaman bagi pengendaraan
kendaraan. Jenis kerusakan ini dapat disebabkan oleh lalu lintas yang
dibuka sebelum perkerasan mantap. Tingkat kerusakan pada jenis

ABDULLAH KHOIR MUHAMADDAN (131134001) 14


JURUSAN TEKNIK SIPIL – POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
 
 
TUGAS AKHIR DIV-TEKNIK PERANCANGAN JALAN DAN JEMBATAN

 
kerusakan corrugation terbagi menjadi high, medium, dan low seperti
 
pada Gambar II.5.
 

Gambar II.5. Tingkat Kerusakan Keriting


Sumber ; Shahin.M.Y, 1994
6) Depression
Depression atau amblas merupakan kerusakan perkerasan lentur
yang terjadi dimana beberapa lapisan bagian perkerasan lebih rendah
daripada lapisan di sekitarnya sehingga membentuk kubangan atau

ABDULLAH KHOIR MUHAMADDAN (131134001) 15


JURUSAN TEKNIK SIPIL – POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
 
 
TUGAS AKHIR DIV-TEKNIK PERANCANGAN JALAN DAN JEMBATAN

 
lengkungan. Jenis kerusakan ini diakibatkan oleh beban lalu lintas yang
 
berlebih. Tingkat kerusakan pada jenis kerusakan depression terbagi
 
menjadi high, medium, dan low seperti pada Tabel II.2. dan Gambar
  II.6.
  Tabel II.2. Tingkat Kerusakan Amblas
Tingkat Kerusakan Identifikasi Kerusakan
  L Kedalaman alur rata-rata ¼ - ½ in (6 – 13 mm)

M Kedalaman alur rata-rata 1 – 2 in (25 – 51 mm)


 
H Kedalaman amblas >2 in (51 mm)
 
Sumber : Shahin.M.Y, 1994
 

Gambar II.6. Tingkat Kerusakan Amblas


Sumber ; Shahin.M.Y, 1994

ABDULLAH KHOIR MUHAMADDAN (131134001) 16


JURUSAN TEKNIK SIPIL – POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
 
 
TUGAS AKHIR DIV-TEKNIK PERANCANGAN JALAN DAN JEMBATAN

 
7) Edge Cracking
 
Edge cracking atau retak pinggir merukan jenis kerusakan pada
 
perkerasan lentur berupa retak memanjang dengan atau tanpa cabang
  yang mengarah ke bahu jalan atau terletak pada bahu jalan. Tingkat
  kerusakan pada jenis kerusakan ini terbagi menjadi high, medium, dan
low seperti pada Gambar II.7.
 

Gambar II.7. Tingkat Kerusakan Retak Pinggir


Sumber ; Shahin.M.Y, 1994

ABDULLAH KHOIR MUHAMADDAN (131134001) 17


JURUSAN TEKNIK SIPIL – POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
 
 
TUGAS AKHIR DIV-TEKNIK PERANCANGAN JALAN DAN JEMBATAN

 
8) Joint Reflection
 
Joint reflection atau retak refleksi merupakan jenis kerusakan pada
 
perkerasan lentur yang berbentuk retak memanjang, melintang, diagonal
  atau membentuk kotak dengan menggambarkan pola retakan
  dibawahnya. Hal ini dapat terjadi apabila keretakan pada perkerasan lama
atau perkerasan dibawahnya tidak diperbaiki. Tingkat kerusakan pada
 
jenis kerusakan joint reflection terbagi menjadi high, medium, dan low
 
seperti pada Gambar II.8.
 

Gambar II.8. Tingkat Kerusakan Retak Refleksi


Sumber ; Shahin.M.Y, 1994
9) Lane/Shoulder Drop Off
Lane/shoulder drop off merupakan jenis kerusakan pada perkerasan
lentur yang berbentuk perbedaan elevasi antara tepi perkerasan dengan

ABDULLAH KHOIR MUHAMADDAN (131134001) 18


JURUSAN TEKNIK SIPIL – POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
 
 
TUGAS AKHIR DIV-TEKNIK PERANCANGAN JALAN DAN JEMBATAN

 
bahu jalan. Tingkat kerusakan pada jenis kerusakan lane/shoulder drop
 
off terbagi menjadi high, medium, dan low seperti pada Gambar II.9.
 

Gambar II.9. Tingkat Kerusakan Lane/shoulder Drop Off


Sumber ; Shahin.M.Y, 1994
10) Longitudinal and Tranverse Cracking
Jenis kerusakan retak memanjang atau melintang pada perkerasan
merupakan retak yang berbentuk retak garis yang searah sumbu jalan

ABDULLAH KHOIR MUHAMADDAN (131134001) 19


JURUSAN TEKNIK SIPIL – POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
 
 
TUGAS AKHIR DIV-TEKNIK PERANCANGAN JALAN DAN JEMBATAN

 
(longitudinal cracking) dan tegak lurus sumbu jalan (tranverse
 
cracking). Tingkat kerusakan pada jenis perkerasan ini terbagi menjadi
 
high, medium, dan low seperti pada Gambar II.10.
 

Gambar II.10. Tingkat Kerusakan Retak Mamanjang dan Melintang


Sumber ; Shahin.M.Y, 1994

11) Patching
Jenis kerusakan tambalan atau patching merupakan kerusakan berupa
tambalan yang dilakukan untuk memperbaiki kerusakan seperti retak
buaya dan lubang. Tingkat kerusakan tambalan terbagi menjadi high,
medium, dan low seperti pada Gambar II.11.

ABDULLAH KHOIR MUHAMADDAN (131134001) 20


JURUSAN TEKNIK SIPIL – POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
 
 
TUGAS AKHIR DIV-TEKNIK PERANCANGAN JALAN DAN JEMBATAN

Gambar II.11. Tingkat Kerusakan Tambalan


Sumber ; Shahin.M.Y, 1994
12) Polished Aggregat
Polished aggregate atau pengausan merupakan jenis kerusakan pada
perkerasan lentur yang terjadi pada permukaan menjadi licin sehingga
dapat membahayakan pengendara kendaraan. Tingkat kerusakan pada
jenis kerusakan polished aggregate tebagi menjadi 1 macam seperti pada
Gambar II.12.

ABDULLAH KHOIR MUHAMADDAN (131134001) 21


JURUSAN TEKNIK SIPIL – POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
 
 
TUGAS AKHIR DIV-TEKNIK PERANCANGAN JALAN DAN JEMBATAN

 
Gambar II.12. Tingkat Kerusakan Pengausan
  Sumber ; Shahin.M.Y, 1994
13) Potholes
Jenis kerusakan lubang atau potholes merupakan jenis kerusakan
berbentuk lubang berupa mangkok dengan ukuran yang bervariasi.
Lubang ini dapat menampung air serta meresapkan air ke dalam lapis
permukaan. Lubang dapat terjadi akibat beberapa hal seperti campuran
material yang kurang baik, system drainase jalan yang kurang baik
sehingga air mengumpul pada lapis perkerasan jalan, dan kerusakan retak
yang tidak ditangani dengan cepat sehingga air masuk ke lapis
permukaan melalui celah – celah retak. Tingkat kerusakan lubang terdiri
dari high, medium, dan low berdasarkan kedalaman dan diameter lubang
seperti pada Tabel II.3. dan Gambar II.13.
Tabel II.3. Tingkat Kerusakan Lubang
Average Diameter. In (mm)
Maximum Depth
4 to 8 in. (102 – 8 To 18 In (203 18 to 30 In.
to Pothole
203 mm) – 457 mm) (457 – 762 mm)
0,5 to 1 In. (12,7 to
L L M
25,4 mm)
>1 to 2 In. (25,4 to
L M H
50,8 mm)
>2 In. (50,8 mm) M M H
Sumber ; Shahin.M.Y, 1994

ABDULLAH KHOIR MUHAMADDAN (131134001) 22


JURUSAN TEKNIK SIPIL – POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
 
 
TUGAS AKHIR DIV-TEKNIK PERANCANGAN JALAN DAN JEMBATAN

Gambar II.13. Tingkat Kerusakan Lubang


Sumber ; Shahin.M.Y, 1994
14) Railroad Crossings
Railroad crossings merupakan kerusakan perkerasan jalan yang
terjadi di perlintasan kereta api. Biasanya terjadi antara lapisan
perkerasan dengan rel kereta api. Tingkat kerusakan pada jenis kerusakan
railroad crossings terbagi menjadi high, medium, dan low seperti pada
Gambar II.14.

ABDULLAH KHOIR MUHAMADDAN (131134001) 23


JURUSAN TEKNIK SIPIL – POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
 
 
TUGAS AKHIR DIV-TEKNIK PERANCANGAN JALAN DAN JEMBATAN

Gambar II.14. Tingkat Kerusakan Pada Perlintasan Kereta Api


Sumber ; Shahin.M.Y, 1994
15) Rutting
Jenis kerusakan alur atau rutting merupakan kerusakan yang
Berbentuk akibat lintasan roda kendaraan yang sejajar dengan as jalan.
Kerusakan ini dapat mengurangi tingkat kenyamanan dan dapat
menimbulkan keretakan akibat genangan air yang berada pada alur
tersebut. Tingkat kerusakan alur terbagi menjadi high, medium, dan low
berdasarkan kedalaman alur tersebut seperti pada Tabel II.4. dan
Gambar II.15.

ABDULLAH KHOIR MUHAMADDAN (131134001) 24


JURUSAN TEKNIK SIPIL – POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
 
 
TUGAS AKHIR DIV-TEKNIK PERANCANGAN JALAN DAN JEMBATAN

 
Tabel II.4. Tingkat Kerusakan Alur
  Mean Rut Dept Severity Level
¼ to ½ In. L
 
>1/2 to 1 In M
  >1 In H
Sumber ; Shahin.M.Y, 1994

Gambar II.15. Tingkat Kerusakan Alur


Sumber ; Shahin.M.Y, 1994
16) Shoving
Shoving atau sungkur merpakan jenis kerusakan pada perkerasan
lentur berbentuk deformasi plastis dan biasanya berada ditempat
kendaraan sering berhenti, kelandaian yang curam, serta tikungan tajam.

ABDULLAH KHOIR MUHAMADDAN (131134001) 25


JURUSAN TEKNIK SIPIL – POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
 
 
TUGAS AKHIR DIV-TEKNIK PERANCANGAN JALAN DAN JEMBATAN

 
Tingkat kerusakan pada jenis kerusakan shoving terbagi menjadi high,
 
medium, dan low seperti pada Gambar II.16.
 

Gambar II.16. Tingkat Kerusakan Sungkur


Sumber ; Shahin.M.Y, 1994
17) Slippage Cracking
Slippage cracking atau retak slip merupakan jenis kerusakan pada
perkerasan lentur yang berbentuk retak melengkung seperti bulan sabit.
Kerusakan ini dapat terjadi akibat kurang baiknya ikatan antar lapisan
permukaan dan lapisan bawahnya. Tingkat kerusakan slippage cracking
dapat terbagi menjadi high, medium, dan low seperti pada Gambar II.17.

ABDULLAH KHOIR MUHAMADDAN (131134001) 26


JURUSAN TEKNIK SIPIL – POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
 
 
TUGAS AKHIR DIV-TEKNIK PERANCANGAN JALAN DAN JEMBATAN

Gambar II.17. Tingkat Kerusakan Retak Slip


Sumber ; Shahin.M.Y, 1994
18) Swell
Swell atau mengembang merupakan jenis kerusakan pada perkerasan
lentur yaitu permukaan perkerasan naik ke atas akibat tanah dasar yang
mengembang. Tingkat kerusakan pada jenis kerusakan swell terbagi
menjadi high, medium, dan low seperti pada Gambar II.8.

ABDULLAH KHOIR MUHAMADDAN (131134001) 27


JURUSAN TEKNIK SIPIL – POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
 
 
TUGAS AKHIR DIV-TEKNIK PERANCANGAN JALAN DAN JEMBATAN

  Gambar II.18. Tingkat Kerusakan Mengembang


Sumber ; Shahin.M.Y, 1994

  19) Weathering and Ravelling


Weathering and raveling atau pelepasan butir dapat terjadi secara
meluas dan akan berakibat lubang. Tingkat kerusakan weathering and
raveling terbagi menjadi high, medium, dan low seperti pada Gambar
II.19.

Gambar II.19. Tingkat Kerusakan Pelapukan dan Pelepasan Butir


Sumber ; Shahin.M.Y, 1994

ABDULLAH KHOIR MUHAMADDAN (131134001) 28


JURUSAN TEKNIK SIPIL – POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
 
 
TUGAS AKHIR DIV-TEKNIK PERANCANGAN JALAN DAN JEMBATAN

 
Setelah melakukan survei dilapangan, hitung kerapatan kerusakan
 
(density). Kerapatan merupakan persentase luas dari jenis kerusakan
 
yang ada pada setiap segmen terhadap luas total segmen. Untuk
  mendapatkan nilai kerapatan kerusakan (density) digunakan persamaan :
𝐿𝑢𝑎𝑠 𝐾𝑒𝑟𝑢𝑠𝑎𝑘𝑎𝑛
  𝐷𝑒𝑛𝑠𝑖𝑡𝑦 = 𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑆𝑒𝑔𝑚𝑒𝑛 x 100 ….. (1)

  Menentukan Nilai Deduct Value dan Total Deduct Value

  Nilai deduct value merupakan nilai dari setiap jenis kerusakan


perkerasan yang diperoleh dari kurva hubungan kerapatan (density) dan
 
tingkat keparahan kerusakan (severity). Setiap jenis kerusakan dihitung nilai
 
deduct value berdasarkan kurva jenis kerusakan. Setelah didapatkan nilai
deduct value setiap kerusakan di setiap segmen, menentukan nilai total
deduct value (TDV) pada setiap segmen.
a. Deduct Value (DV)
Untuk mendapatkan nilai deduct value digunakan grafik berdasarkan
jenis kerusakannya. Berikut adalah grafik nilai deduct value setiap jenis
kerusakan :
1) Alligator Cracking
Grafik nilai deduct value untuk jenis kerusakan alligator cracking
dapat dilihat pada Gambar II.20.

Gambar II.20. Grafik Deduct Value Retak Buaya


Sumber ; Shahin.M.Y, 1994

ABDULLAH KHOIR MUHAMADDAN (131134001) 29


JURUSAN TEKNIK SIPIL – POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
 
 
TUGAS AKHIR DIV-TEKNIK PERANCANGAN JALAN DAN JEMBATAN

 
2) Bleeding
 
Grafik nilai deduct value untuk jenis kerusakan bleeding dapat dilihat
 
pada Gambar II.21.
 

Gambar II.21. Grafik Deduct Value Kegemukan


Sumber ; Shahin.M.Y, 1994
3) Block Cracking
Grafik nilai deduct value untuk jenis kerusakan block cracking dapat
dilihat pada Gambar II.22.

Gambar II.22. Grafik Deduct Value Retak Blok


Sumber ; Shahin.M.Y, 1994
4) Bumps and Sags

ABDULLAH KHOIR MUHAMADDAN (131134001) 30


JURUSAN TEKNIK SIPIL – POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
 
 
TUGAS AKHIR DIV-TEKNIK PERANCANGAN JALAN DAN JEMBATAN

 
Grafik nilai deduct value untuk jenis kerusakan bumps and sags dapat
 
dilihat pada Gambar II.23.
 

Gambar II.23. Grafik Deduct Value Tonjolan dan Lengkungan


Sumber ; Shahin.M.Y, 1994
5) Corrugation
Grafik nilai deduct value untuk jenis kerusakan corrugation dapat
dilihat pada Gambar II.24.

Gambar II.24. Grafik Deduct Value Keriting


Sumber ; Shahin.M.Y, 1994
6) Depression
Grafik nilai deduct value untuk jenis kerusakan depression dapat
dilihat pada Gambar II.25.

ABDULLAH KHOIR MUHAMADDAN (131134001) 31


JURUSAN TEKNIK SIPIL – POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
 
 
TUGAS AKHIR DIV-TEKNIK PERANCANGAN JALAN DAN JEMBATAN

Gambar II.25. Grafik Deduct Value Amblas


Sumber ; Shahin.M.Y, 1994
7) Edge Cracking
Grafik nilai deduct value untuk jenis kerusakan edge cracking dapat
dilihat pada Gambar II.26.

Gambar II.26. Grafik Deduct Value Retak Pinggir


Sumber ; Shahin.M.Y, 1994
8) Joint Reflection Cracking
Grafik nilai deduct value untuk jenis kerusakan joint cracking dapat
dilihat pada Gambar II.27.

ABDULLAH KHOIR MUHAMADDAN (131134001) 32


JURUSAN TEKNIK SIPIL – POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
 
 
TUGAS AKHIR DIV-TEKNIK PERANCANGAN JALAN DAN JEMBATAN

Gambar II.27. Grafik Deduct Value Retak Refleksi


Sumber ; Shahin.M.Y, 1994
9) Lane/Shoulder Drop Off
Grafik nilai deduct value untuk jenis kerusakan lane/shoulder drop
off dapat dilihat pada Gambar II.28.

Gambar II.28. Grafik Deduct Value Lane/Shoulder Drop Off


Sumber ; Shahin.M.Y, 1994
10) Longitudinal and Tranverse Cracking
Grafik nilai deduct value untuk jenis kerusakan longitudinal and
tranverse cracking dapat dilihat pada Gambar II.29.

ABDULLAH KHOIR MUHAMADDAN (131134001) 33


JURUSAN TEKNIK SIPIL – POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
 
 
TUGAS AKHIR DIV-TEKNIK PERANCANGAN JALAN DAN JEMBATAN

Gambar II.29. Grafik Deduct Value Retak Memanjang dan Melintang


Sumber ; Shahin.M.Y, 1994
11) Patching
Grafik nilai deduct value untuk jenis kerusakan patching dapat dilihat
pada Gambar II.30.

Gambar II.30. Grafik Deduct Value Tambalan


Sumber ; Shahin.M.Y, 1994
12) Polished Aggregate
Grafik nilai deduct value untuk jenis kerusakan polished aggregate
dapat dilihat pada Gambar II.31.

ABDULLAH KHOIR MUHAMADDAN (131134001) 34


JURUSAN TEKNIK SIPIL – POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
 
 
TUGAS AKHIR DIV-TEKNIK PERANCANGAN JALAN DAN JEMBATAN

Gambar II.31. Grafik Deduct Value Pengausan


Sumber ; Shahin.M.Y, 1994
13) Potholes
Grafik nilai deduct value untuk jenis kerusakan potholes dapat dilihat
pada Gambar II.32.

Gambar II.32. Grafik Deduct Value Lubang


Sumber ; Shahin.M.Y, 1994
14) Railroad Crossings
Grafik nilai deduct value untuk jenis kerusakan railroad crossings
dapat dilihat pada Gambar II.33.

ABDULLAH KHOIR MUHAMADDAN (131134001) 35


JURUSAN TEKNIK SIPIL – POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
 
 
TUGAS AKHIR DIV-TEKNIK PERANCANGAN JALAN DAN JEMBATAN

Gambar II.33. Grafik Deduct Value Kerusakan Perlintasan Kereta Api


Sumber ; Shahin.M.Y, 1994
15) Rutting
Grafik nilai deduct value untuk jenis kerusakan rutting dapat dilihat
pada Gambar II.34.

Gambar II.34. Grafik Deduct Value Alur


Sumber ; Shahin.M.Y, 1994
16) Shoving
Grafik nilai deduct value untuk jenis kerusakan shoving dapat dilihat
pada Gambar II.35.

ABDULLAH KHOIR MUHAMADDAN (131134001) 36


JURUSAN TEKNIK SIPIL – POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
 
 
TUGAS AKHIR DIV-TEKNIK PERANCANGAN JALAN DAN JEMBATAN

Gambar II.35. Grafik Deduct Value Sungkur


Sumber ; Shahin.M.Y, 1994
17) Slippage Cracking
Grafik nilai deduct value untuk jenis kerusakan slippage cracking
dapat dilihat pada Gambar II.36.

Gambar II.36. Grafik Deduct Value Retak Slip


Sumber ; Shahin.M.Y, 1994
18) Swell
Grafik nilai deduct value untuk jenis kerusakan swell dapat dilihat
pada Gambar II.37.

ABDULLAH KHOIR MUHAMADDAN (131134001) 37


JURUSAN TEKNIK SIPIL – POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
 
 
TUGAS AKHIR DIV-TEKNIK PERANCANGAN JALAN DAN JEMBATAN

Gambar II.37. Grafik Deduct Value Mengembang


Sumber ; Shahin.M.Y, 1994
19) Weathering and Ravelling
Grafik nilai deduct value untuk jenis kerusakan Weathering and
Ravelling dapat dilihat pada Gambar II.38.

Gambar II.38. Grafik Deduct Value Pelapukan dan Pelepasan Butir


Sumber ; Shahin.M.Y, 1994
b. Total Deduct Value (TDV)
Nilai total deduct value merupakan jumlah dari setiap nilai deduct value
yang ada pada setiap segmen. Setelah didapatkan nilai total deduct value.
Lalu menentukan nilai q dengan syarat nilai deduct value lebih besar dari 2
dengan menggunakan iterasi. Sebelumnya dilakukan pengecekan nilai

ABDULLAH KHOIR MUHAMADDAN (131134001) 38


JURUSAN TEKNIK SIPIL – POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
 
 
TUGAS AKHIR DIV-TEKNIK PERANCANGAN JALAN DAN JEMBATAN

 
deduct value untuk mendapatkan nilai koreksi deduct value dengan
 
persamaan :
 
m = 1+(9/98) x (100 – HDV) ….. (2)
  Keterangan :
  m = koreksi deduct value
HDV = nilai deduct value terbesar
 
Jika deduct value – m < m (digunakan nilai deduct value) atau deduct value
 
– m > m (digunakan nilai deduct value – m)
  Menentukan Nilai Corrected Deduct Value (CDV)
  Nilai Corrected deduct value (CDV) didapatkan melalui grafik
hubungan antara nilai total deduct value (TDV) dengan nilai corrected
deduct value (CDV). Untuk mendapatkan nilai corrected deduct value
untuk setiap iterasi digunakan grafik yang dapat dilihat pada Gambar II.39.

Gambar II.39. Grafik Corrected Deduct Value


Sumber ; Shahin.M.Y, 1994

Menentukan Nilai Pavement Condition Index Pada Setiap Segmen


Untuk menentukan nilai Pavement condition index pada setiap segmen
didasarkan atas perhitungan nilai corrected deduct value (CDV) terbesar
yang telah ditentukan dengan menggunakan persamaan:
𝑃𝐶𝐼 = 100 − 𝐶𝐷𝑉 𝑚𝑎𝑘𝑠 ……. (3)

ABDULLAH KHOIR MUHAMADDAN (131134001) 39


JURUSAN TEKNIK SIPIL – POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
 
 
TUGAS AKHIR DIV-TEKNIK PERANCANGAN JALAN DAN JEMBATAN

 
Dari hasil perhitungan menggunakan persamaan diatas maka dapat
 
ditentukan kondisi perkerasan seperti pada Gambar II.40.
 

Gambar II.40. Kondisi Perkerasan Berdasarkan Nilai PCI


Sumber ; Shahin.M.Y, 1994

Rehabilitasi Perkerasan Lentur Metode Manual Desain Perkerasan


Jalan Nomor 02/M/BM/2013
Rehabilitasi perkerasan menurut Manual Desain Perkerasan Jalan Nomor
02/M/BM/2013 merupakan pemeliharan atau perawatan untuk perkerasan
jalan yang terdiri dari pelapisan struktural, pengerikilan kembali, daur ulang
dan rekonstruksi. Rehabilitasi perkerasan jalan berfungsi mengoptimalkan
perkerasan jalan untuk melayani lalu lintas agar umur rencana dapat tercapai.
Namun berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor
13/PRT/M/2011 rehabilitasi jalan yaitu kegiatan penanganan pencegahan agar
tidak terjadinya kerusakan yang luas dan setiap kerusakan yang tidak
diperhitungkan pada desain yang mengakibatkan menurunnya kemantapan
pada ruas jalan, agar kondisi kemantapan dapat dikembalikan sesuai umur
rencana.
Falling Weight Deflectometer
Falling weight deflectometer merupakan alat uji yang digunakan pada
perkerasan dan subgrade dengan memberikan pembebanan dinamis.
Sedangkan prinsip kerja pada alat falling weight deflectomerer yaitu dengan
memberikan beban impuls terhadapt struktur perkerasan, khususnya pada
perkerasan lentur melalui pelat berbentuk bundar yang memiliki efek sama

ABDULLAH KHOIR MUHAMADDAN (131134001) 40


JURUSAN TEKNIK SIPIL – POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
 
 
TUGAS AKHIR DIV-TEKNIK PERANCANGAN JALAN DAN JEMBATAN

 
dengan roda kendaraan atau beban roda pesawat. Pelat diletakan pada
 
permukaan yang akan diuji dan dijatuhkan sehingga timbul beban impuls pada
 
struktur perkerasan. Beban tersebut menimbulkan lendutan atau deflection
  yang ditangkap oleh 7 – 9 buah sensor dengan jarak tertentu. (Ferdian dan

  Prasasya, 2008). Alat Dynatest 8000 FWD Test System terdiri dari Dynatest
8002E FWD Trailer, Dynatest 900 System Processor, dan computer yang
 
dilengkapi printer dan dapat dilihat pada Gambar II.41.
 

Gambar II.41. Alat Falling Weight Deflectometer


Sumber : Ferdian dan Prasasya 2008
Perancangan Lapis Tambah (Overlay) Metode Manual Desain
Perkerasan Jalan Nomor 02/M/BM/2013
Manual desain perkerasan jalan nomor 02/M/BM/2013 digunakan untuk
menghasilkan desain awal (berdasarkan bagan desain) yang kemudian hasil
tersebut diperiksa terhadap pedoman desain perkerasan Pd T-05-2005-B.
Level Desain dan Pemicu Penanganan
Untuk menentukan detail penanganan dan jenis nilai pemicu, pemilihan
penanganan untuk segmen – segmen yang seragam dapat menggunakan
Gambar II.42.

Gambar II.42. Pemicu Konseptual Untuk Penanganan Perkerasan


Sumber : Manual Desain Perkerasan 02/M/BM/2013

ABDULLAH KHOIR MUHAMADDAN (131134001) 41


JURUSAN TEKNIK SIPIL – POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
 
 
TUGAS AKHIR DIV-TEKNIK PERANCANGAN JALAN DAN JEMBATAN

 
Untuk menentukan penanganan dan jenis nilai pemicu digunakan nilai
 
lendutan FWD rata – rata pada sumbu y dan nilai kumulatif beban sumbu
 
standar ekivalen selama umur rencana pada sumbu x. Dari perpotongan
  kedua nilai tersebut akan didapatkan jenis penanganan yang digunakan pada
  perkerasan jalan.
Desain Ketebalan Lapis Tambah
 
Prosedur penanganan perkerasan untuk mendapatkan ketebalan
 
overlay baik struktural atau non struktural bermaksud untuk memperbaiki
 
fungsi jalan seperti permukaan, kenyamanan, dan kepentingan lainnya
  pada permukaan jalan. Ada beberapa cara untuk menentukan tebal lapis
tambah yaitu :
a. Lendutan Maksimum
Jika tidak terjadi kegagalan tanah dasar, dapat ditentukan berdasarkan
lengkungan lendutan karena sudah cukup memadai seperti pada
Gambar II.43.

Gambar II.43. Solusi Overlay Berdasarkan Lengkungan Lendutan


Sumber : Manual Desain Perkerasan 02/M/BM/2013

Dalam menentukan lapis tambah yang berada di atas perkerasan


berbutir dan tertutup lapisan beraspal diperlukan koreksi pada
pengkuruan lendutan. Hal tersebut dikarenakan temperatur perkerasan
yang mempengaruhi kekakuan perkerasan dan kinerja dalam merespon
beban. Temperatur perkerasan harian dipengaruhi temperatur
perkerasan tahunan rata – rata dan untuk di Indonesi digunakan 41ᵒC.
Faktor koreksi dapat dihitung menggunakan persamaan berikut :

ABDULLAH KHOIR MUHAMADDAN (131134001) 42


JURUSAN TEKNIK SIPIL – POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
 
 
TUGAS AKHIR DIV-TEKNIK PERANCANGAN JALAN DAN JEMBATAN

 
MAPT lapangan
fT = Temperatur Perkerasan Saat Pengukuran Lendutan ….. (4)
 
b. Kurva Lendutan atau Lengkungan Karakteristik
 
Dengan menggunakan lengkungan karakteristik digunakan pada
 
lalu lintas dalam rentang 1 - 30 juta ESA5. Lengkungan karakteristik
  pada segmen perkerasan dilakukan pada segmen perkerasan yang
  seragam sama dengan nilai lengkungan rata-rata yang dihitung dari

  hasil survei lendutan. Dapat dilihat pada Gambar II.44.

Gambar II.44. Umur Fatigue Lapis Tambah Beraspal dengan WMAPT>35ᵒC


Sumber : Manual Desain Perkerasan 02/M/BM/2013

Perencanaan Tebal Lapis Tambah Perkerasan Lentur dengan Metode


Lendutan Pd T-05-2005-B
Pedoman perencanaan tebal lapis tambah dengan metoda lendutan Pd T-
05-2005-B merupakan perencanaan tebal lapis tambah dengan menggunakan
nilai hasil pengujian falling weight deflectometer. Dalam menentukan tebal
lapis tambah pada perkerasan lentur dibutuhkan data seperti berikut :
Lalu Lintas
a. Koefisien Distribsi Kendaraan (C)
Koefisien distribusi kendaraan untuk kendaraan ringan dan kendaraan
berat yang lewat pada ruas jalan serta lajur rencana dapat dilihat pada
Tabel II.5.

ABDULLAH KHOIR MUHAMADDAN (131134001) 43


JURUSAN TEKNIK SIPIL – POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
 
 
TUGAS AKHIR DIV-TEKNIK PERANCANGAN JALAN DAN JEMBATAN

 
Tabel II.5. Koefisien Disribusi Kendaraan (C)
  Kendaraan Ringan (Mobil Kendaraan Berat (Truk dan
Jumlah
Penumpang) Bus)
Lajur
  1 Arah 2 Arah 1 Arah 2 Arah
1 1,00 1,00 1,00 1,00
  2 0,60 0,50 0,70 0,50
3 0,40 0,40 0,50 0,475
  4 - 0,30 - 0,45
5 - 0,35 - 0,425
  6 - 0,20 - 0,40
Sumber ; Pd T-05-2005-B

  b. Ekivalen Beban Sumbu Kendaraan (E)

  Angka ekivalen untuk setiap golongan beban sumbu dapat ditentukan


dengan menggunakan persamaan atau dapat ditentukan berdasarakan
 
Tabel II.6. :
Angka ekivalen STRT = (Beban Sumbu (ton)/5,4)4 ….. (5)

Angka ekivalen STRG = (Beban Sumbu (ton)/8,16)4 ….. (6)

Angka ekivalen SDRG = (Beban Sumbu (ton)/13,76)4 ….. (7)

Angka ekivalen STrRG = (Beban Sumbu (ton)/18,45)4 ….. (8)


Tabel II.6. Ekivalen Beban Sumbu Kendaraan (E)
Beban Ekivalen Beban Sumbu Kendaraan (E)
Sumbu
STRT STRG SDRG STrRG
(ton)
1 0,00118 0,00023 0,00003 0,00001
2 0,01882 0,00361 0,00045 0,00014
3 0,09526 0,01827 0,00226 0,00070
4 0,30107 0,05774 0,00714 0,00221
5 0,73503 0,14097 0,01743 0,00539
6 1,52416 0,29231 0,03615 0,01118
7 2,82369 0,54154 0,06698 0,02072
8 4,81709 0,92385 0,11426 0,03535
9 7,71605 1,47982 0,18302 0,05662
10 11,76048 2,25548 0,27895 0,08630
11 17,21852 3,30225 0,40841 0,12635
12 24,38653 4,67497 0,57843 0,17895
13 33,58910 6,44188 0,79671 0,24648
14 45,17905 8,66466 1,07161 0,33153
15 59,53742 11,41838 1,41218 0,43690
16 77,07347 14,78153 1,82813 0,56558
17 98,22469 18,83801 2,32982 0,72079
18 123,45679 23,67715 2,92830 0,90595
19 153,26372 29,39367 3,63530 1,12468
20 188,16764 36,08771 4,46320 1,38081
Sumber : Pd T-05-2005-B

ABDULLAH KHOIR MUHAMADDAN (131134001) 44


JURUSAN TEKNIK SIPIL – POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
 
 
TUGAS AKHIR DIV-TEKNIK PERANCANGAN JALAN DAN JEMBATAN

 
Berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 14 Tahun 2007
 
(Bab 2 pasal 8) berat maksimum yang diizinkan berdasarkan kekuatan
 
sumbu yaitu sebagai berikut :
  Sumbu Tunggal Roda Tunggal (STRT) = 6 ton
  Sumbu Tunggal Roda Ganda (STRG) = 10 ton
Sumbu Double Roda Ganda (SDRG) = 18 ton
 
Sumbu Triple Roda Ganda (STrRG) = 21 ton
 
c. Faktor Umur Rencana dan Perkembangan Lalu Lintas
  Faktor hubungan umur rencana dan perkembangan lalu lintas dapat
  ditentukan dengan menggunakan Tabel II.7.
Tabel II.7. Faktor Hubungan Antara Umur Rencana Dengan Perkembangan Lalu
Lintas
n r (%)
(tahun) 2 4 5 6 8 10
1 1,01 1,02 1,03 1,03 1,04 1,05
2 2,04 2,08 2,10 2,12 2,16 2,21
3 3,09 3,18 3,23 3,28 3,38 3,48
4 4,16 4,33 4,42 4,51 4,69 4,87
5 5,26 5,52 5,66 5,81 6,10 6,41
6 6,37 6,77 6,97 7,18 7,63 8,10
7 7,51 8,06 8,35 8,65 9,28 9,96
8 8,67 9,40 9,79 10,19 11,06 12,01
9 9,85 10,79 11,30 11,84 12,99 14,26
10 11,06 12,25 12,89 13,58 15,07 16,73
11 12,29 13,76 14,56 15,42 17,31 19,46
12 13,55 15,33 16,32 17,38 19,74 22,45
13 14,83 16,96 18,16 19,45 22,36 25,75
14 16,13 18,66 20,09 21,65 25,18 29,37
15 17,47 20,42 22,12 23,97 28,24 33,36
20 24,54 30,37 33,89 37,89 47,59 60,14
25 32,35 42,48 48,92 56,51 76,03 103,26
30 40,97 57,21 68,10 61,43 117,81 172,72
Sumber ; Pd T-05-2005-B

d. Akumulasi Ekivalen Beban Sumbu Standar (CESA)


Untuk menentukan nilai akumulasi beban sumbu lalu lintas (CESA)
selama umur rencana berdasarkan Pd T-05-2005-B digunakan
persamaan :
CESA = ∑mx365xExCxN ….. (9)
Keterangan :
CESA = Akumulasi ekivalen beban sumbu standar

ABDULLAH KHOIR MUHAMADDAN (131134001) 45


JURUSAN TEKNIK SIPIL – POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
 
 
TUGAS AKHIR DIV-TEKNIK PERANCANGAN JALAN DAN JEMBATAN

 
m = Jumlah masing – masing jenis kendaraan
 
365 = jumlah hari dalam setahun
 
E = Ekivalen beban sumbu standar
  C = Koefisien distribusi kendaraan
  N = Faktor hubungan umur rencana yang sudah disesuaikan
dengan perkembangan lalu lintas
 
Lendutan Terkoreksi
 
Setelah didapatkan nilai lendutan FWD atau falling weight
  deflectometer yang dilakukan pada tahun yang sama dengan data LHRT
  maka nilai lendutan harus dihitung kembali untuk mendapatkan nilai
lendutan terkoreksi, sebagai berikut :
a. Faktor Penyesuaian Lendutan Terhadap Temperatur 35oC
Untuk mendapatkan nilai Ft untuk setiap titik pengujian FWD atau
falling weight deflectometer dengan menggunakan persamaan :
𝐹𝑡 = 4,184 𝑥 𝑇𝐿−0,4025 untuk HL < 10 cm ….. (10)
𝐹𝑡 = 14,785 𝑥 𝑇𝐿−0,7573 untuk HL ≥ 10 cm ….. (11)
Keterangan :
HL = Tebal lapis beraspal (cm)
b. Faktor Pengaruh Muka Air Tanah
Untuk menentukan nilai faktor pengaruh muka air tanah atau faktor
musim, digunakan nilai 1,2 bila pemerikasaan pengujian falling weight
deflectometer dilakukan pada musim kemarau atau muka air tanah
rendah dan digunakan nilai 0,9 bila pemeriksaan pengujian falling
weight deflectometer dilakukan pada musim hujan atau muka air tanah
tinggi.
c. Faktor Koreksi Beban Uji Falling Weight Deflectometer
Untuk menentukan nilai faktor koreksi beban uji falling weight
deflectometer digunakan persamaan :
𝐹𝐾𝑏 − 𝑓𝑤𝑑 = 4,08 𝑥 𝐵𝑒𝑏𝑎𝑛 𝑈𝑗𝑖 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑡𝑜𝑛−1 ….. (12)

ABDULLAH KHOIR MUHAMADDAN (131134001) 46


JURUSAN TEKNIK SIPIL – POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
 
 
TUGAS AKHIR DIV-TEKNIK PERANCANGAN JALAN DAN JEMBATAN

 
Untuk mendapatkan nilai lendutan terkoreksi dilakukan per titik
 
pengujian falling weight deflectometer dengan menggunakan
 
persamaan :
  𝑑𝐿 = 𝑑𝑓1 𝑥 𝐹𝑡 𝑥 𝐶𝑎 𝑥 𝐹𝐾𝑏 − 𝑓𝑤𝑑 ….. (13)
 
Keseragaman Lendutan
  Untuk menentukan tebal lapis tambah dapat dilakukan pertitik
  pengujian atau berdasarkan panjang segmen. Jika berdasarkan panjang
segmen maka dipertimbangkan keseragaman lendutan dengan
 
menggunakan persamaan :
 
𝑛 (∑ 𝑑2 )−( ∑ 𝑑)2
s=√ ….. (14)
𝑛(𝑛−1)
𝑠
FK = 𝑑𝑅 𝑥 100% < 𝐹𝐾 𝑖𝑗𝑖𝑛 ….. (15)

Keterangan :
FK = Faktor keseragaman
s = Deviasi standar
dR = Lendutan rata – rata
FK ijin = 0% - 10% keseragaman sangat baik
11% - 20% keseragaman baik
21% - 30% keseragaman cukup baik
Lendutan Wakil
Untuk menentukan nilai lendutan wakil (dwakil) suatu sub ruas
digunakan persamaan :
dwakil = dR + 2s (jalan arteri/tol tingkat kepercayaan 98%)
dwakil = dR + 1,64s (jalan kolektor tingkat kepercayaan 95%)
dwakil = dR + 1,28s (jalan local tingkat kepercayaan 90%)
Lendutan Rencana
Untuk menentukan nilai lendutan rencana (drencana) pada perkerasan
lentur digunakan persamaan :
drencana = 17,004 x CESA-0,2307 ….. (16)
Faktor Koreksi Tebal Lapis Tambah

ABDULLAH KHOIR MUHAMADDAN (131134001) 47


JURUSAN TEKNIK SIPIL – POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
 
 
TUGAS AKHIR DIV-TEKNIK PERANCANGAN JALAN DAN JEMBATAN

 
Setelah didapatkan nilai tebal lapis tambah berdasarkan temperatur
 
standar 35oC diperlukan koreksi karena setiap daerah memiliki temperatur
 
perkerasan rata –rata tahunan (TPRT) yang berbeda. Untuk mendapatkan
  faktor koreksi tebal lapis tambah digunakan persamaan :
  Fo = 0,5032 x EXP(0,0194 x TPRT) ….. (17)
Tebal Lapis Tambah (Ho)
 
Untuk menentukan nilai lapis tambah pada perkerasan lentur digunakan
 
persamaan :
 
Ho = (Ln(1,0364) + Ln(dwakil) – Ln(drencana))/0,0597 ….. (18)
  Tebal Lapis Tambah Terkoreksi
Tebal lapis tambah didapatkan berdasarakan temperatur standar yaitu
35oC sehingga diperlukan nilai koreksi karena setiap daerah memiliki
temperatur perkerasan rata – rata tahunan (TPRT) yang berbeda. Untuk
menentukan nilai koreksi tebal lapis tambah digunakan persamaan :
Fo = 0,5032 x EXP(0,0194 x TPRT) ….. (19)
Setelah didapatkan nilai koreksi untuk lapis tambah, ditentukan tebal lapis
tambah perkerasan terkoreksi (Ht) dengan menggunakan persamaan :
Ht = Ho x Fo ….. (20)
Lalu Lintas
Menurut Undang – Undang Nomor 22 tahun 2009 (Bab 1 pasal 1) lalu
lintas adalah gerak kendaraan dan orang di ruang lalu lintas jalan. Sedangkan
ruang lalu lintas yaitu prasarana yang dibangun untuk gerak pindah
kendaraan, orang atau barang berupa jalan dan fasilitas pendukung. Selain
menentukan volume lalu lintas, diperlukan faktor pertumbuhan lalu lintas.
Menurut Manual Desain Perkerasan Jalan 02/M/BM/2013 bahwa faktor
pertumbuhan lalu lintas didasarkan oleh data pertumbuhan historis dengan
faktor pertumbuhan yang lain valid, jika tidak dapat menggunakan Tabel II.8.
Tabel II.8. Faktor Pertumbuhan Lalu Lintas (i)
No. Klasifikasi Jalan 2011 – 2020 >2021 - 2030
1 Arteri dan Perkotaan (%) 5 4
2 Kolektor Rural (%) 3,5 2,5
3 Jalan Desa (%) 1 1
Sumber : Manual Desai Perkerasan 02/M/BM/2013

ABDULLAH KHOIR MUHAMADDAN (131134001) 48


JURUSAN TEKNIK SIPIL – POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
 
 
TUGAS AKHIR DIV-TEKNIK PERANCANGAN JALAN DAN JEMBATAN

ABDULLAH KHOIR MUHAMADDAN (131134001) 49


JURUSAN TEKNIK SIPIL – POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
 
 
TUGAS AKHIR DIV-TEKNIK PERANCANGAN JALAN DAN JEMBATAN

 
Sedangkan untuk menghitung pertumbuhan lalu lintas selama umur rencana
 
dapat menggunakan persamaan :
  (1+0.01𝑖)𝑈𝑅 −1
𝑅= ….. (21)
0.01𝑖
 
Keterangan :
 
R = faktor pengali pertumbuhan lalu lintas
  i = tingkat pertumbuhan tahunan (%)
  UR = Umur rencana (tahun)
Beban Sumbu Standar Kumulatif
 
Berdasarkan Manual Desain Perkerasan Jalan 02/M/BM/2013 (Bab 4.10)
 
bahwa beban sumbu standar kumulatif adalah jumlah kumulatif beban sumbu
lalu lintas desain pada lajur desain selama umur rencana dan ditentukan
menggunakan persamaan sebagai berikut:
ESA = (∑jenis kendaraan LHRT x VDF x Faktor Distribusi) ….. (22)
CESA = ESA x 365 x R ….. (23)
Keterangan
ESA : Lintasan sumbu standar ekivalen untuk 1 hari
LHRT : Lintasan harian rata – rata tahun jenis kendaraan tertentu
CESA :Kumulatif beban sumbu standar ekivalen selama umur rencana
R : Faktor pengali pertumbuhan lalu lintas
Sedangkan untuk nilai VDF dan nilai faktor distribusi setiap golongan
kendaraan berdasarkan Manual Desain Perkerasan 02/M/BM/2013 dapat
dilihat pada Tabel II.9.

ABDULLAH KHOIR MUHAMADDAN (131134001) 49


JURUSAN TEKNIK SIPIL – POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
 
 
TUGAS AKHIR DIV-TEKNIK PERANCANGAN JALAN DAN JEMBATAN

 
Tabel II.9. Klasifikasi Kendaraan dan Nilai VDF Standar
 

Sumber ; Manual Desain Perkerasan 02/M/BM/2013

Umur Rencana
Umur rencana merupakan jangka waktu yang diperlukan selama masa
layan oleh perkerasan jalan dimulai dari jalan tersebut dibuka. Umur rencana
pada perkerasan berbeda – beda tergantung jenis perkerasan dan elemen
perkerasan yang digunakan. Untuk umur rencana peningkatan perkerasan
jalan berdasarkan Manual Desain Perkerasan 02/M/BM/2013 dapat
ditentukan melalui tabel umur rencana dan pemicu penanganannya seperti
pada Tabel II.10.
Tabel II.10. Umur Rencana, Hubungan Nilai Pemicu dan Jenis Pelapisan Perkerasan

Sumber : Manual Desain Perkerasan 02/M/BM/2013

Bangunan Pelengkap Jalan


Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 13/PRT/M/2011
bangunan pelengkap jalan yaitu bangunan yang mendukung fasilitas dan

ABDULLAH KHOIR MUHAMADDAN (131134001) 50


JURUSAN TEKNIK SIPIL – POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
 
 
TUGAS AKHIR DIV-TEKNIK PERANCANGAN JALAN DAN JEMBATAN

 
keamanan konstruksi jalan yang terdiri dari jembatan, terowongan, ponton,
 
lintas atas (fly over, elevated road), lintas bawah (underpass), tempat parkir,
 
gorong – gorong, tembok penahan, dan salurn tepi jalan dibangun sesuai
  dengan persyaratan teknis. Bangunan pelengkap jalan yang ditinjau dalam

  tugas akhir ini yaitu :


Trotoar
 
Trotoar merupakan bagian dari bangunan pelengkap jalan. Menurut UU
 
No. 22 Tahun 2009 (bagian 6 pasal 45) Tentang Lalu Lintas dan Angkutan
 
Jalan bahwa trotoar merupakan salah satu fasilitas pendukung
  penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan. Maka dari itu trotoar
berfungsi untuk memfasilitasi pejalan kaki sehingga memberikan pelayanan
yang aman bagi keselamatan pejalan kaki dan nyaman untuk dilalui. Trotoar
sendiri sebagai jalur pejalan kaki yang berada pada Daerah Milik Jalan yang
diberi lapisan permukaan dengan elevasi yang lebih tinggi dari badan jalan
dan sejajar dengan jalur lalu lintas. untuk mendapatkan lebar minimum jalur
pejalan kaki, digunakan persamaan :
𝑃
𝑊 = 35 +1,5 ….. (24)

Keterangan :
P = Volume Pejalan Kaki (orang/menit/meter)
W = Lebar Jalur Pejalan Kaki
Drainase
Menurut Pedoman Perencanaan Sistem Drainase Jalan Pd. T-02-2006-
B drainase jalan merupakan bagian dari bangunan pelengkap jalan yang
berfungsi untuk memutuskan dan mengalirkan air permukaan atau air
bawah tanah dengan bantuan gaya gravitasi terdiri atas saluran samping dan
gorong – gorong ke badan air penerima atau tempat resapan buatan.
Terdapat 2 sistem perencanaan system drainase jalan berdasarkan
keberadaan air yaitu sebagai berikut:
a. Drainase permukaan (surface drainage)

ABDULLAH KHOIR MUHAMADDAN (131134001) 51


JURUSAN TEKNIK SIPIL – POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
 
 
TUGAS AKHIR DIV-TEKNIK PERANCANGAN JALAN DAN JEMBATAN

 
Menurut Pedoman Perencanaan Sistem Drainase Jalan Pd. T-02-2006-
 
B drainase permukaan adalah prasarana yang bersifat alami atau buatan
 
dan berfungsi memutuskan dan menyalurkan air permukaan, biasanya
  dibantu gaya gravitasi.
  b. Drainase bawah permukaan (sub surface drainage)
Menurut Pedoman Perencanaan Sistem Drainase Jalan Pd. T-02-2006-
 
B drainase bawah permukaan adalah sarana untuk mengalirkan air dan
 
berada di bawah permukaan dari suatu tempat ke tempat lain. Hal
  tersebut berfungsi untuk melindungi bangunan yang berada di atasnya.
  Namun berdasarkan konstruksinya jenis drainase yaitu sebagai berikut:
c. Drainase terbuka
Saluran terbuka merupakan saluran air yang biasanya berada pada
daerah yang cukup luas dan air yang disalurkan tidak berbahaya.
d. Drainase tertutup
Saluran tertutup biasanya digunakan untuk mengalirkan air
kotor/limbah dengan menggunakan pipa. Saluran tertutup juga biasanya
terletak di daerah kota/pemukiman atau pada daerah yang sempit. Untuk
daerah kota saluran tertutup berada dibawah trotoar sehingga lebih
efisien dan tidak memakan banyak lahan.
Lampu Penerangan Jalan
Berdasarkan SNI 7391 tahun 2008 (Bab 3.8) lampu penerangan jalan
merupakan bagian dari bangunan pelengkap jalan yang diletakan di
kiri/kanan jalan atau di tengah (bagian median) yang berfungsi menerangi
jalan maupun lingkungan sekitar. Terdapat beberapa jenis lampu
penerangan dapat dilihat pada Tabel II.11.

ABDULLAH KHOIR MUHAMADDAN (131134001) 52


JURUSAN TEKNIK SIPIL – POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
 
 
TUGAS AKHIR DIV-TEKNIK PERANCANGAN JALAN DAN JEMBATAN

 
Tabel II.11. Jenis Lampu Penerangan Jalan Secara Umum Menurut Karakteristik dan
  Penggunanya
Umur Pengaruh
Efisiensi
  Rencana Daya Terhadap
Jenis Lampu Rata – Rata Keterangan
Rata – Rata (watt) Warna
(lumen/watt)
  (jam) Obyek
- Untuk jalan kolektor dan lokal
  Lampu tabung 18 – - Efisiensi cukup tinggi,
8000 –
fluorescent 60 – 70 20; 36 Sedang berumur pendek
  10000
tekanan rendah – 40 - Digunakan untuk hal terbatas

 
- Untuk jalan kolektor, lokal,

  Lampu gas 125;25 dan persimpangan


16000 –
merkuri tekanan 50 – 55 0;400; Sedang - Efisiensi rendah, umur
24000
  tinggi (MBF/U) 700 panjang, ukuran lampu kecil
- Digunakan secara terbatas
- Untuk jalan kolektor, lokal,
persimpangan, penyebrangan,
terowongan, tempat istirahatan
Lampu gas sodium - Efisiensi sangat tinggi, umur
8000 – Sangat
bertekanan rendah 100 – 200 90;180 cukup panjang, ukuran lampu
10000 Buruk
(SOX) besar, cahaya lampu sangat
buruk karena warna kuning.
- Dianjurkan digunakan karena
factor efisiensi yang tinggi
- Untuk jalan tol, arteri,
kolektor, pesimpangan
besar/luas dan interchange
Lampu gas sodium
12000 – 150;25 - Efisiensi tinggi, umur sangat
tekanan tinggi 110 Buruk
20000 0;400 panjang, ukuran lampu kecil,
(SON)
mudah pengontrolan cahaya.
- Sangat baik dan sangat
dianjurkan digunakan.
Sumber : SNI 7391 tahun 2008

a. Pencahayaan Pada Ruas Jalan


Berdasarkan SNI 7391 tahun 2008 (bab 4.4.11) kualitas pencahayaan
normal menurut jenis/klasifikasi fungsi jalan ditentukan seperti pada
Tabel II.12.

ABDULLAH KHOIR MUHAMADDAN (131134001) 53


JURUSAN TEKNIK SIPIL – POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
 
 
TUGAS AKHIR DIV-TEKNIK PERANCANGAN JALAN DAN JEMBATAN

 
Tabel II.12. Kualitas Pencahayaan Normal
  Kuat Pencahayaan
Lminansi Batasan Silau
(iluminansi)
  Jenis/ Klasifikasi Jalan E rata – Kemerataan L rata – Kemerataan
rata (Uniformity) rata (uniformity) G TJ (%)
  (lux) g1 (cd/m2) VD VI
Trotoar 1–4 0,1 0,1 0,4 0,5 4 20
 
Primer 2–5 0,1 0,5 0,4 0,5 4 20
Jalan Lokal
  Sekunder 2–5 0,1 0,5 0,4 0,5 4 20
4–
Primer 3–7 0,14 1 0,4 0,5 20
  Jalan 5
Kolektor 4–
Sekunder 3–7 0,14 1 0,4 0,5 20
  5
0,5 – 5–
  Primer 11 – 20 0,14 – 0,20 1,5 0,4 10 – 20
0,7 6
Jalan Arteri
0,50 – 5–
Sekunder 11 – 20 0,14 – 0,20 1,5 0,4 10 – 20
0,70 6
Jalan arteri dengan akses
0,5 – 5–
control, jalan bebas 15 – 20 0,14 – 0,20 1,5 0,40 10 – 20
0,7 6
hambatan
Jalan laying, simpang
20 – 25 0,2 2 0,4 0,7 6 10
susun, terowongan
Sumber : SNI 7391 Tahun 2008

Keterangan :
g1 : E min.E maks
VD : L min/L maks
VI : L min/L rata-rata
G : Silau (glare)
TJ : Batas ambang kesilauan
b. Penempatan Lampu Keterangan
Berdasarkan SNI 7391 tahun 2008 penempatan lampu penerangan jalan
harus direncakan sedemikian rupa sehingga memberikan :
1) Kemerataan Pencahayaan yang sesuai.
2) Keselamatan dan keamanan bagi pengguna jalan.
3) Pencahayaan yang lebih tinggi di area tikungan atau persimpangan,
dibandingkan pada bagian jalan yang lurus.
4) Arah dan petunjuk (guide) yang jelas bagi pengguna jalan dan
pejalan kaki.

ABDULLAH KHOIR MUHAMADDAN (131134001) 54


JURUSAN TEKNIK SIPIL – POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
 
 
TUGAS AKHIR DIV-TEKNIK PERANCANGAN JALAN DAN JEMBATAN

 
Sistem penempatan lampu parsial, lampu penerangan jalan harus
 
memberikan adaptasi yang baik bagi penglihatan pengendara sehingga
 
efek kesilauan dan ketidaknyamanan penglihatan dapat dikurangi.
  Sistem penerangan jalan yang disarankan serta jarak antara tiap lampu
  Tabel II.13. dapat dilihat pada Tabel II.14.
Tabel II.13. Sistem Penempatan Lampu Penerangan Jalan
  Sistem Penempatan Lampu Yang
Jenis Jalan/Jembatan
Digunakan
 
Jalan Arteri Sistem menerus dan parsial
  Jalan kolektor Sistem menerus dan parsial
Jalan lokal System menerus dan parsial
  Persimpangan,
System menerus
simpang susu, ramp
Jembatan System menerus
System menerus bergradasi pada ujung
Terowongan
– ujung terowongan
Sumber : SNI 7391 Tahun 2008
Tabel II.14. Jarak Antar Lampu Rumah Lampu Tipe B
Tinggi Lebar Jalan (m)
Tingkat
Jenis Lampu Lampu
4 5 6 7 8 9 10 11 Pencahayan
(m)
50W SON atau 4 31 30 29 28 26 - - -
80W MBF/FU 5 33 32 32 31 30 29 28 27
3,5 LUX
70W SON atau
6 48 47 46 44 43 41 39 37
125W MBF/U
70W SON atau
6 34 33 32 31 30 28 26 24
125W MBF/U 6,0 LUX
100W SON 6 48 47 45 42 40 38 36 34
150W SON
atau 250 8 - - 48 47 45 43 41 39
MBF/U
100W SON 6 - - 28 26 23 - - - 10,0 LUX
250W SON
atau 400W 10 - - - - 55 53 50 47
MBF/U
250W SON
atau 400W 10 - - 36 35 33 32 30 28 20 LUX
MBF/U
400W SON 12 - - - - 39 38 37 36 30LUX
Sumber : SNI 7391 Tahun 2008

Perancangan Drainase Metode Pd T-02-2006-B


Dalam perencanaan drainase jalan dibutuhkan beberapa data untuk
menunjang perencanaan baik debit air maupun dimensi yang akan digunakan

ABDULLAH KHOIR MUHAMADDAN (131134001) 55


JURUSAN TEKNIK SIPIL – POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
 
 
TUGAS AKHIR DIV-TEKNIK PERANCANGAN JALAN DAN JEMBATAN

 
untuk drainase. Berikut adalah beberapa data yang dibutuhkan dalam
 
perencanaan drainase :
 
Panjang Segmen Saluran (L)
  Panjang segmen saluran biasanya menyesuaikan panjang rute jalan serta
  disarankan kemiringan dari saluran sama dengan kemiringan rute jalan.

  Kemiringan Lahan Eksisting


Untuk menentukan kemiringan lahan eksisting didapatkan melalui data
 
survei di lapangan dan menggunakan persamaan berikut :
  𝑒𝑙𝑒𝑣 1−𝑒𝑙𝑒𝑣 2
i= 𝑥 100% ….. (25)
𝐿
 
Keterangan :
i = Kemiringan lahan eksisting (%)
elev1 = Ketinggian lahan tertinggi (m)
elev2 = Ketinggian lahan terendah (m)
L = Panjang saluran atau lahan (m)
Luas Daerah Layanan (A)
Untuk menentukan luas daerah layanan berdasarkan panjang jalan yang
akan ditinjau. Menentukan luas daerah layanan ini berfungsi untuk
memprediksi daya tampung akibat curah hujan atau volume limpasan
permukaan jalan yang akan disalurkan ke samping jalan. Luas daerah
layanan terbagi menjadi 3 bagian yaitu daerah layanan setengah badan
jalan (A1), luas bahu jalan (A2), dan luas daerah sekitar (A3) dengan
menggunakan persamaan :
A = I x L ….. (26)
Keterangan :
I = Lebar luas daerah layanan sampai ke drainase (m)
L = Panjang drainase (m)

Koefisien Pengaliran (C)


Menurut Pd. T-02-2006-B bahwa koefisien pengaliran dipengaruhi oleh
permukaan tanah atau tata guna lahan di daerah layanan. Nilai dari koefisien

ABDULLAH KHOIR MUHAMADDAN (131134001) 56


JURUSAN TEKNIK SIPIL – POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
 
 
TUGAS AKHIR DIV-TEKNIK PERANCANGAN JALAN DAN JEMBATAN

 
pengaliran ini akan mempengaruhi debit yang mengalir, sehingga dapat
 
diprediksi daya tampung dari saluran. Untuk mendapatkan harga koefisien
 
rata – rata dapat ditentukan melalui persamaan :
  𝐶1.𝐴1+𝐶2.𝐴2+𝐶3.𝐴3.𝑓𝑘
𝐶= ….. (27)
𝐴1+𝐴2+𝐴3
  Faktor Limpasan (fk)
  Menurut Pd. T-02-2006-B faktor limpasan (fk) adalah factor atau angka
  yang dikalikan dengan koefisien runoff biasa memiliki tujuan agar kinerja
dari saluran tidak melebihi kapasitasnya akibat daerah pengaliran yang
 
terlalu luas. Factor limpasan ini dipengaruhi oleh kondisi permukaan tanah.
 
untuk nilai koefisien pengaliran dan factor limpasan dapat dilihat pada
Tabel II.15.
Tabel II.15. Harga Koefisien Pengaliran (C) dan Harga Faktor Limpasan (fk)
Koefisien Faktor Limpasan
No. Kondisi Permukaan Tanah
Pengaliran (C) (fk)
Bahan
1 Jalan Beton dan Jalan Aspal 0,70 – 0,95 -
2 Jalan Kerikil dan Jalan Tanah 0,40 – 0,70 -
Bahu Jalan :
Tanah berbutir Halus 0,40 – 0,65 -
3 Tanah Berbutir Kasar 0,10 – 0,20 -
Batuan Masif Keras 0,70 – 0,85 -
Batuan Masif Lunak 0,60 – 0,75 -
Tata Guna Lahan
1 Daerah Perkotaan 0,70 – 0,95 2,0
2 Daerah Pinggir Kota 0,60 – 0,70 1,5
3 Daerah Industri 0,60 – 0,90 1,2
4 Pemukiman Padat 0,40 – 0,60 2,0
5 Pemukiman Tidak Padat 0,40 – 0,60 1,5
6 Taman dan Kebun 0,20 -0,40 0,2
7 Persawahan 0,45 – 0,60 0,5
8 Perbukitan 0,70 – 0,80 0,4
9 Pegunungan 0,75 – 0,90 0,3
Sumber : Pd. T-02-2006-B

Waktu Konsentrasi (Tc)


Menurut Pd.T-02-2006-B bahwa waktu konsentrasi adalah waktu
terpanjang yang dibutuhkan oleh seluruh daerah layanan (A) untuk
menyalurkan aliran air secara simultan (runoff) setelah melewati titik
tertentu. Untuk menentukan waktu konsentrasi menggunakan persamaan :
𝑡𝑐 = t1 + t2 ….. (28)

ABDULLAH KHOIR MUHAMADDAN (131134001) 57


JURUSAN TEKNIK SIPIL – POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
 
 
TUGAS AKHIR DIV-TEKNIK PERANCANGAN JALAN DAN JEMBATAN

 
2 𝑛𝑑 0,167
 
𝑡1 = (3 𝑥 3,28 𝑥 𝐼𝑜 𝑥 ) ….. (29)
√𝐼𝑠
𝐿
  𝑡2 = 60 𝑥 𝑉 ….. (30)

  Keterangan :
Tc = Waktu konsentrasi (menit)
 
t1 = Waktu untuk mencapai awal saluran dan titik terjauh (menit)
 
t2 = Waktu aliran dalam saluran sepanjang L dari ujung saluran (menit)
  Io = Jarak titik terjauh ke fasilitas drainase (m)
  L = Panjang saluran (m)
nd = Koefisien hambatan
 
Is = Kemiringan saluran memanjang
V = kecepatan air rata – rata pada saluran drainase (m/detik)
Analisa Hidrologi
Analisa hidrologi yang digunakan dalam perencanaan drainase untuk
jalan yaitu mengubah data curah hujan harian maksimum dalam setahun
menjadi data intensitas curah hujan dalam kurun waktu tertentu. Ada
beberapa macam metode untuk melakukan analisis hidrologi khususnya
untuk menentukan nilai intensitas hujan. Berikut adalah metode yang
digunakan dalam analisis hidrologi :
a. Metode Van Breen
Metode Van Breen merupakan sebuah metode yang berdasarkan dari
penelitian Ir. Van Breen di Indonesia dan khususnya berada di pulau
Jawa. Menurut Ir. Van Breen curah hujan terkonsentrasi selama 4 jam
dengan jumlah curah hujan sebesar 90% dari humlah curah hujan 24 jam
(Anonim dalam Melinda, 2007). Untuk mendapatkan nilai intensitas
curah hujan pada suatu periode ulang dengan metode Van Breen
menggunakan persamaan berikut :
90% 𝑥 𝑅 24
𝐼=( )….. (31)
4

Keterangan :
I = Intensitas curah hujan pada suatu periode ulang (T tahun)
R24 = Tinggi curah hujan pada periode ulang T tahun (mm/hari)

ABDULLAH KHOIR MUHAMADDAN (131134001) 58


JURUSAN TEKNIK SIPIL – POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
 
 
TUGAS AKHIR DIV-TEKNIK PERANCANGAN JALAN DAN JEMBATAN

 
Dalam menentukan durasi intensitas digunakan juga tabel lengkung
 
Intensitas Duration Frequency (IDF) Jakarta yang digunakan sebagai
 
asumsi di Indonesia seperti pada Tabel II.16.
  Tabel II.16. Nilai Lengkung IDF Jakarta
Intensitas Hujan (mm/jam) Untuk PUH (tahun)
Durasi
  2 5 10 25 50
5 126 148 154 180 191
  10 114 126 138 156 168
20 102 114 123 135 144
  40 76 87 96 105 144
60 61 73 81 91 100
 
120 36 45 51 58 63
  240 21 27 30 35 40
Sumber : BUDP. Drainage For Bandung

Setelah didapatkan nilai intensitas di lokasi maka tentukan nilai


selisih dari intensitas lokasi yang ditinjau dengan nilai Intensitas
Duration Frequency (IDF) Jakarta dengan menggunakan persamaan :
IDF selisih = I 240 lokasi - IDF 240 Jakarta ….. (32)
b. Frekuensi Curah Hujan Metode Gumbel
Dalam melakukan analisis frekuensi terhadap curah hujan dengan
menggunakan metode Gumbel ini untuk kala ulang 2, 5, 10, dan 20
tahun. Untuk menentukan frekuensi terhadap curah hujan menggunakan
persamaan berikut :
𝑋𝑡 = 𝑋 + (𝑘 𝑥 𝑆𝑥) ….. (33)
∑𝑛
𝑖=1(𝑋𝑖−𝑋)
2
𝑆𝑥 = √ ….. (34)
𝑛−1
𝑌𝑡−𝑌𝑛
𝑘= ….. (35)
𝑆𝑛

Keterangan :
Xt = X yang terjadi dalam kala ulang t tahun
X = Rata – rata dari data Xi
Xi = Seri data maksimum tiap tahun
Sx = Standar deviasi
n = Jumlah data
k = Konstanta dapat dilihat pada tabel
Yt = Reduksi sebagai fungsi probabilitas

ABDULLAH KHOIR MUHAMADDAN (131134001) 59


JURUSAN TEKNIK SIPIL – POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
 
 
TUGAS AKHIR DIV-TEKNIK PERANCANGAN JALAN DAN JEMBATAN

 
t = jumlah tahun kala ulang
 
Sn = Standar deviasi tereduksi
  Tabel II.17. Faktor Frekuensi Untuk Nilai Ekstrim (k)

  Intensitas Hujan (mm/jam) Untuk PUH (tahun)


n
10 20 25 50 75 100 1000
  15 1,703 2,410 2,632 3,321 3,721 4,005 6,265
20 1,625 2,302 2,517 3,179 3,563 3,836 6,006
 
25 1,575 2,235 2,444 3,088 3,463 3,729 5,843
  30 1,541 2,188 2,393 3,026 3,393 3,653 5,727
40 1,495 2,126 2,326 2,943 3,301 3,554 5,467
  50 1,466 2,086 2,283 2,889 3,241 3,491 5,478
60 1,466 2,059 2,253 2,852 3,200 3,446
  70 1,430 2,038 2,230 2,824 3,169 3,413 5,359
75 1,423 2,029 2,220 2,812 3,155 3,400
100 1,401 1,998 2,187 2,770 3,109 3,349 5,261
Sumber : Standar SK SNI M-18-1989-F
Tabel II.18. Standar Deviasi Terkoreksi
n 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
10 0,94 0,96 0,98 0,99 1,00 1,02 1,03 1,04 1,04 1,05
20 1,06 1,06 1,07 1,08 1,08 1,09 1,09 1,10 1,10 1,10
30 1,11 1,11 1,11 1,12 1,12 1,12 1,13 1,13 1,13 1,13
40 1,14 1,14 1,14 1,14 1,14 1,15 1,15 1,15 1,15 1,15
50 1,16 1,16 1,16 1,16 1,16 1,16 1,16 1,16 1,16 1,16
60 1,17 1,17 1,17 1,17 1,17 1,17 1,17 1,17 1,17 1,17
70 1,18 1,18 1,18 1,18 1,18 1,18 1,18 1,18 1,18 1,18
80 1,19 1,19 1,19 1,19 1,19 1,19 1,19 1,19 1,19 1,19
90 1,20 1,20 1,20 1,20 1,20 1,20 1,20 1,20 1,20 1,20
100 1,20
Sumber : Standar SK SNI M-18-1989-F
Tabel II.19. Nilai Yn Rata – Rata Terkoreksi
n 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
10 0,495 0,499 0,503 0,507 0,510 0,512 0,515 0,518 0,520 0,522
20 0,523 0,525 0,526 0,528 0,529 0,530 0,532 0,533 0,534 0,535
30 0,536 0,537 0,538 0,538 0,539 0,540 0,541 0,541 0,542 0,543
40 0,543 0,544 0,544 0,545 0,545 0,546 0,546 0,547 0,547 0,548
50 0,548 0,549 0,549 0,549 0,550 0,550 0,550 0,551 0,551 0,551
60 0,552 0,552 0,552 0,553 0,553 0,553 0,553 0,554 0,554 0,554
70 0,554 0,555 0,555 0,555 0,555 0,555 0,555 0,556 0,556 0,556
80 0,556 0,557 0,557 0,557 0,557 0,558 0,558 0,558 0,558 0,558
90 0,558 0,558 0,558 0,559 0,559 0,559 0,559 0,559 0,559 0,559
100 0,560
Sumber : Standar SK SNI M-18-1989-F

ABDULLAH KHOIR MUHAMADDAN (131134001) 60


JURUSAN TEKNIK SIPIL – POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
 
 
TUGAS AKHIR DIV-TEKNIK PERANCANGAN JALAN DAN JEMBATAN

  Tabel II.20. Nilai Hubungan Antara Kala Ulang dengan Faktor Reduksi (Yt)
No. Kala Ulang (tahun) Faktor Reduksi (Yt)
 
1 2 0,3665
  2 5 1,4999
3 10 2,2502
 
4 25 3,1985
  5 50 3,9019
6 100 4,6001
  Sumber : Standar SK SNI M-18-1989-F

c. Metode Talbot
 
Metode Talbot ini digunakan untuk menentukan besarnya debit rencana
 
yang ditentukan oleh intensitas hujan melalui persamaan berikut :
𝑎
𝐼= ….. (36)
𝑡𝑐+𝑏
(∑ 𝐼.𝑡)(∑ 𝐼 2 )−(∑ 𝐼 2 .𝑡)(∑ 𝐼)
𝑎= 2 ….. (37)
𝑁𝑑(∑ 𝐼 2 )− (∑ 𝐼)

(∑ 𝐼.𝑡)(∑ 𝐼)−(∑ 𝐼 2 .𝑡)


𝑏= 2 ….. (38)
𝑁𝑑(∑ 𝐼 2 )− (∑ 𝐼)

Keterangan :
I = Intensitas curah hujan (mm/jam)
Tc = Waktu konsentrasi (menit)
a,b = Konstanta
Debit Aliran Air (Q)
Untuk menghitung debit aliran air pada perencanaan drainase
menggunakan persamaan :
1
𝑄 = 3,6 𝑥𝐶𝑥𝐼𝑥𝐴 ….. (39)

Keterangan :
Q = Debit aliran air (m3/detik)
C = Koefisien pengaliran rata – rata
I = Intensitas curah hujan (mm/jam)
A = Luas daerah layanan (km2)

ABDULLAH KHOIR MUHAMADDAN (131134001) 61


JURUSAN TEKNIK SIPIL – POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
 
 
TUGAS AKHIR DIV-TEKNIK PERANCANGAN JALAN DAN JEMBATAN

 
Menentukan Bahan Bangunan, Kemiringan, dan Dimensi Drainase
 
Berdasarkan Pd T-02-2006-B, dalam menentukan bahan bangunan
 
drainase atau saluran ditentukan oleh besarnya kecepatan rencana aliran air
  yang mengalir seperti dapat dilihat pada Tabel II.21.
  Tabel II.21. Kecepatan Aliran Air yang Diijinkan Berdasarkan Material
Kecepatan Aliran Air yang
No. Jenis Bahan
  Diijinkan (m/detik)
1 Pasir Halus 0,45
 
2 Lempung Kepasiran 0,50
  3 Lanau Aluvial 0,60

  4 Kerikil Halus 0,75


5 Lempung Kokoh 0,75
6 Lempung Padat 1,10
7 Kerikil Kasar 1,20
8 Batu – Batu Besar 1,50
9 Pasangan Batu 1,50
10 Beton 1,50
11 Beton Bertulang 1,50
Sumber : Pd T-02-2006-B

Sedangkan untuk kemiringan saluran memanjang yang ditentukan dari


bahan material yang digunakan yaitu dapat dilihat pada Tabel II.22.
Tabel II.22. Kemiringan Saluran Memanjang Berdasarkan Material
No. Jenis Material Kemiringan Saluran (Is %)
1 Tanah Asli 0–5
2 Kerikil 5 – 7,5
3 Pasangan 7,5
Sumber : Pd T-02-2006-B

Jika kecepatan aliran pada drainase melebihi kecepatan aliran air yang
diijinkan maka digunakan pematah arus yang berfungsi untuk mengurangi
kecepatan aliran pada saluran yang panjang dan memiliki kemiringan yang
cukup besar. Pemasangan pematah arus harus sesuai seperti pada Tabel
II.23. dan Gambar II.45.

ABDULLAH KHOIR MUHAMADDAN (131134001) 62


JURUSAN TEKNIK SIPIL – POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
 
 
TUGAS AKHIR DIV-TEKNIK PERANCANGAN JALAN DAN JEMBATAN

 
Tabel II.23. Hubungan Kemiringan Saluran dan Jarak Pematah Arus (Ip)
 
No. Kemiringan Saluran (%) Jarak Pematah Arus (Ip m)
1 6 16
  2 7 10
3 8 8
  4 9 7
5 10 6
  Sumber : Pd T-02-2006-B

Gambar II.45. Pematah Arus Pada Saluran Drainase


Sumber : Pd T-02-2006-B
Dalam menentukan penampang saluran debit aliran air (Q) harus lebih
kecil dari debit saluran (Qs). Sehingga untuk menentukan penampang
dibutuhkan pertimbangan nilai debit aliran air. Perhitungan penampang
saluran dapat dilihat pada Tabel II.24.
Tabel II.24. Komponen Penampang Trapesium dan Segi Empat Saluran
Jenis Penampang
Komponen
Trapesium Segi Empat
Dimensi
Lebar Atas
b + 2xZ ( ) B
(b)
Tinggi Muka
H H
Air (h)
Faktor 1:1 z=h
-
Kemiringan 1:1,5 z=1,5h
(z) 1:2 z=2h
Penampang Basah
Luas (F) (b+z)xh ( ) Bxh ( )
Keliling (P) 𝐵 + 2𝑥ℎ√(1 + 𝑧2 ) () B+2xh ( )
Jari-jari (𝑏+𝑧)𝑥ℎ 𝑏𝑥ℎ
() ()
Hidrolis (R) 𝑏+2ℎ√(1+𝑧 2 ) 𝑏+2ℎ

Kecepatan 1
V= 𝑥𝑅2/3 𝑥𝑖1/2 ( ) Rumus no ( )
(V) 𝑛

Debit (Qs) FxV Rumus no ( )


Sumber : Pd T-02-2006-B

ABDULLAH KHOIR MUHAMADDAN (131134001) 63


JURUSAN TEKNIK SIPIL – POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
 
 
TUGAS AKHIR DIV-TEKNIK PERANCANGAN JALAN DAN JEMBATAN

 
Tabel II.25. Komponen Penampang Segitiga dan Lingkaran/Gorong-gorong
  Saluran
Jenis Penampang
Komponen
  Segitiga Lingkaran/Gorong-gorong
Dimensi
  Lebar Atas
2xz 2x(h-0,5D)tanØ
(b)
  Tinggi Muka
H H
Air (h)
  Faktor 1:1 z=h
ℎ−0,5𝐷
Kemiringan 1:1,5 z=1,5h 0 = 𝑐𝑜𝑠 −1 ( )()
0,5𝐷
(z) 1:2 z=2h
 
Penampang Basah
𝜋𝐷2 𝜃
  Luas (F) zxh ( ) (1 − ) + (ℎ − 0,5𝐷)2 𝑡𝑎𝑛𝜃 ( )
4 180
𝜃
Keliling (P) 2𝑥ℎ√(1 + 𝑧 2 ) ( ) 𝜋𝐷(1 − )()
180
  𝜃
Jari-jari 𝑧 (𝜋𝐷2 (1 − ) + 4(ℎ − 0,5𝐷)2 𝑡𝑎𝑛𝜃
() 180
Hidrolis (R) 2√(1+𝑧 2 ) 𝜃
atau (4𝜋𝐷(1 − )()
180
Kecepatan
Rumus no ( ) Rumus no ( )
(V)
Debit (Qs) Rumus no ( ) Rumus no ( )
Sumber : Pd T-02-2006-B

Sedangkan untuk nilai angka kekasaran atau manning (n) untuk saluran
berdasarkan bahan materialnya dapat dilihat pada Tabel II.26.
Tabel II.26. Angka Kekasaran Manning (n)
Baik
No. Tipe Saluran Baik Sedang Jelek
Sekali
Saluran Buatan
1 Saluran tanah, lurus teratur 0,017 0,020 0,023 0,025
Saluran Tanah yang dibuat
2 0,023 0,028 0,030 0,040
Excavator
Saluran pada dinding batuan, lurus
3 0,020 0,030 0,033 0,035
dan teratur
Saluran pada dinding batuan, tidak
4 0,035 0,040 0,045 0,045
lurus, tida teratur
Saluran batuan yang diledakan, ada
5 0,025 0,030 0,035 0,040
tumbuh-tumbuhan
Dasar saluran dari tanah, sisi
6 0,028 0,030 0,033 0,035
saluran berbatu
Saluran lengkung, dengan
7 0,020 0,025 0,028 0,030
kecepatan aliran rendah
Saluran Alam
Bersih, lurus, tidak berpasir dan
8 0,025 0,028 0,030 0,033
tidak berlubang
Seperti no. 8 tapi ada timbunan atau
9 0,030 0,033 0,035 0,040
kerikil
Melengkung, bersih, berlubang dan
10 0,030 0,035 0,040 0,045
berdinding pasir

ABDULLAH KHOIR MUHAMADDAN (131134001) 64


JURUSAN TEKNIK SIPIL – POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
 
 
TUGAS AKHIR DIV-TEKNIK PERANCANGAN JALAN DAN JEMBATAN

 
Tabel II.26. Angka Kekasaran Manning (n) (Lanjutan)
  Baik
No. Tipe Saluran Baik Sedang Jelek
Sekali
  Saluran Alam
Seperti no. 10, dangkal, tidak
11 0,040 0,045 0,050 0,055
  teratur
Seperti no. 10, berbatu dan ada
12 0,035 0,040 0,045 0,050
  tumbuh-tumbuhan
13 Seperti no. 11, sebagian berbatu 0,045 0,050 0,055 0,060
  Aliran pelan, banyak tumbuh –
14 0,050 0,060 0,070 0,080
tumbuhan dan berlubang
15 Banyak tumbuh - tumbuhan 0,075 0,100 0,125 0,150
 
Saluran Buatan, Beton atau Batu Kali
Saluran pasangan batu, tanpa
  16 0,025 0,030 0,033 0,035
penyelesaian
Seperti no. 16 tapi dengan
  17
penyelesaian
0,017 0,020 0,025 0,030

18 Saluran beton 0,014 0,016 0,019 0,021


19 Saluran beton halus dan rata 0,010 0,011 0,012 0,013
Saluran beton pracetak dengan
20 0,013 0,014 0,014 0,015
acuan baja
Saluran beton pracetak dengan
21 0,015 0,016 0,016 0,018
acuan kayu
Sumber : Pd T-02-2006-B

Tinggi Jagaan Penampang


Tinggi jagaan (W) pada perancangan drainase menurut Pd T-02-2006-
B untuk saluran drainase berbentuk trapesium dan segi empat
menggunakan persamaan :
𝑊 = √0,5 𝑥 ℎ ….. (40)
Sedangkan tinggi jagaan (W) untuk saluran drainase berbentuk
lingkaran/gorong – gorong menggunakan persamaan :
𝑊 = 0,2 𝑥 𝑑 ….. (41)
Keterangan :
W = Tinggi jagaan (m)
h = kedalaman air yang tergenang dalam saluran (m)
d = 0,8 x h
Perlengkapan Jalan
Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 13/PRT/M/2011
(Bab 1 pasal 1) perlengkapan jalan terdiri dari berkaitan langsung dengan
pengguna dan tidak berkaitan langsung dengan pengguna dimaksudkan untuk

ABDULLAH KHOIR MUHAMADDAN (131134001) 65


JURUSAN TEKNIK SIPIL – POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
 
 
TUGAS AKHIR DIV-TEKNIK PERANCANGAN JALAN DAN JEMBATAN

 
keselamatan, keamanan, ketertiban, kelancaran, pengamanan asset jalan, dan
 
informasi bagi pengguna jalan. Perlengkapan jalan yang ditinjau dalam tugas
 
akhir ini yaitu :
  Rambu
  Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 tahun

  1993 tentang Prasarana dan Lalu Lintas Jalan (bab 4 pasal 17) rambu terdiri
dari 4 golongan yaitu sebagai berikut:
 
1) Rambu peringatan
 
Rambu peringatan digunakan untuk menyatakan peringatan bahaya atau
  tempat berbahaya pada jalan. Rambu ini terletak sebelum lokasi/tempat
yang dianggap berbahaya.
2) Rambu larangan
Rambu larangan digunakan untuk menyatakan perbuatan yang dilarang
oleh pengguna jalan.
3) Rambu perintah
Rambu perintah digunakan untuk menyatakan perintah dan wajib
dilakukan oleh pengguna jalan.
4) Rambu petunjuk
Rambu petunjuk digunakan untuk menyatakan petunjuk mengenai
jurusan, jalan, situasi, kota, tempat, pengaturan, fasilitas dan lainya
untuk pengguna jalan.
Marka
Menurut Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor 34 Tahun
2014 tenang marka jalan (Bab 1), marka jalan adalah tanda yang berada di
permukaan atau diatas jalan meliputi peralatan atau tanda dan berfungsi
untuk mengarahkan arus lalu lintas dan membatasi daerah kepentingan lalu
lintas. Terdapat beberapa jenis marka jalan, berikut adalah marka jalan
berupa tanda berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
43 tahun 1993:
1) Marka membujur

ABDULLAH KHOIR MUHAMADDAN (131134001) 66


JURUSAN TEKNIK SIPIL – POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
 
 
TUGAS AKHIR DIV-TEKNIK PERANCANGAN JALAN DAN JEMBATAN

 
Marka membujur yaitu marka jalan yang sejajar dengan sumbu jalan.
 
Marka membujur meliputi :
 
(a) Garis utuh merupakan garis utuh berfungsi sebagai larangan bagi
  pengguna jalan atau kendaraan melintasi/melewati garis tersebut.
  (b) Garis putus – putus merupakan garis putus – putus berfungsi sebagai
pembatas lajur dan mengarahkan arah lalu lintas.
 
(c) Garis ganda yang terdiri dari garis utuh dan garis putus – putus
 
berfungsi mengarahkan kendaraan yang berada disisi digaris utuh
  dilarang melintasi garis tersebut dan kendaraan yang berada disisi
  garis putus – putus diperbolehkan melintasi garis ganda.
(d) Garis ganda utuh berfungsi melarang kendaraan melintasi garis
ganda tersebut.
2) Marka melintang
Garis melintang merupakan marka jalan yang tegak lurus terhadap
sumbu jalan. Marka melintang meliputi:
(a) Marka melintang garis utuh berfungsi sebagai batas berhenti
kendaraan yang diwajibkan kendaraan tersebut berhenti baik oleh
pemberi isyarat lalu lintas ataupun rambu stop.
(b) Marka melintang garis putus – putus berfungsi sebagai batas yang
tidak dapat dilampaui kendaraan ketika memberi kesempatan
kepada yang mendapat hak utama pada persimpangan.
3) Marka serong
(a) Marka serong dengan garis utuh berfungsi untuk menuatakan daerah
yang tidak boleh dimasuki kendaraan.
(b) Marka serong dibatasi dengan rangka garis putus – putus berfungsi
untuk menyatakan kendaraan tidak boleh memasuki daerah sampai
mendapat kepastian selamat.
(c) Marka lambing
Marka lambang berfungsi sebagai pemberitahuan kepada pengguna
jalan yang tidak dapat dinyatakan dengan rambu. Contoh marka
lambang yaitu berupa panah, segitiga, atau tulisan.

ABDULLAH KHOIR MUHAMADDAN (131134001) 67


JURUSAN TEKNIK SIPIL – POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
 
 
TUGAS AKHIR DIV-TEKNIK PERANCANGAN JALAN DAN JEMBATAN

 
4) Marka kotak kuning
 
Marka kotak kuning berfungsi melarang kendaraan berhenti di suatu
 
area.
  5) Marka lainnya
  (a) Garis utuh baik membujur, melintang ataupun serong berfungsi
sebagai batas tempat parkir.
 
(b) Garis – garis utuh yang membujur tersusun melintang jalan
 
berfungsi sebagai tempat penyebrangan jalan (Zebra Cross).
  (c) Garis utuh yang saling berhubungan merupakan kombinasi garis
  melintang dan garis serong yang membentuk garis berbiku – biku
berfungsi sebagai bentuk larangan parkir.

Selain itu berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia


Nomor 34 tahun 2014 tentang marka jalan terdapat marka berupa peralatan,
yaitu sebagai berikut :

1) Paku jalan
Paku jalan berfungsi sebagai reflector marka jalan dalam keadaan gelap
atau malam hari.
2) Alat pengarah lalu lintas
Alat pengarah lalu lintas berupa kerucut lalu lintas yang tebuat dari
plastic atau karet dan berwarna oranye.
3) Pembagi lajur atau jalur
Pembagi lajur atau jalur berfungsi untuk mengatur lalu lintas dalam
jangka waktu sementara dan untuk melindungi pengguna jalan pada
daerah yang berpotensi kecelakaan.

ABDULLAH KHOIR MUHAMADDAN (131134001) 68


JURUSAN TEKNIK SIPIL – POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
 

Anda mungkin juga menyukai