Jbptppolban GDL Abdullahkh 7215 3 Bab2 1
Jbptppolban GDL Abdullahkh 7215 3 Bab2 1
BAB II
DASAR TEORI
Studi Literatur
Studi literatur atau studi pustaka merupakan proses mengumpulkan
berbagai buku, catatan atau literatur sebagai referensi dan hasil dari penelitian
sebelumnya yang sejenis guna mendapatkan landasan teori masalah yang
diteliti (Sarwono, 2006). Dalam penyusunan tugas akhir ini, terdapat beberapa
hasil penelitian yang dijadikan referensi tugas akhir dapat dilihat pada Tabel
II.1.
Tabel II.1. Studi Literatur Pembuatan Tugas Akhir
Hasil Analisis Studi Literatur
Nama Berto Nozif (2015) Hanifan Ihsani Ahmad Aliya Theresia Dwiriani Muhammad Nauval Araka
(2016) Adinagara (2016) Romauli (2016) Aris, Gerson Simbolan,
Bagus Hario Setiadji (2015)
Judul “Perancangan “Perancangan dan “Perancangan “Analisis Perhitungan “Analisis Perbandingan
Peningkatan Analisis Strategi ifrastruktur Jalan Tebal Lapis Tambahan Perencanaan Tebal
Perkerasan Jalan Pemeliharaan yang Berwawasan (Overlay) Pada Perkerasan Jalan Lentur
Ruas Jalan Perkerasan Jalan Lingkungan pada Perkerasan Lentur Menggunakan Beberapa
Palimanan – Kramat Akses PLTA Upper Ruas Jalan Daeng Dengan Menggunakan Metoda Bina Marga Studi
Sta. 5 + 675 – Sta. 6 Cisokan, Kabupaten Mohammad Manual Desain Kasus : (Ruas Jalan
+ 466” Bandung Barat” Ardiwinata Sta. Perkerasan Jalan 2013 Piringsurat – Batas Kedu
0+000 s.d Sta. (Studi Kasus : Ruas Jalan Timur)
2+250 di Kota Kairagi – Mapanget)
Cimahi”
Persamaan
Ruang - Perancangan - Perancangan - Perancangan - Perancangan - Perancangan Tebal
Lingkup perkerasan perkerasan ruas Perkerasan perkerasan jalan Lapis Tambah
ruas jalan jalan Jalan, menggunakan perkerasan lentur
Bangunan metoda/manual Manual Desain
Pelengkap desain perkerasan Perkerasan 2013
Jalan, dan jalan 2013
Kelengkapan
Jalan
Tabel II.1. Studi Literatur Pembuatan Tugas Akhir (Lanjutan)
Hasil Analisis Studi Literatur
Nama Berto Nozif (2015) Hanifan Ihsani Ahmad Aliya Theresia Dwiriani Muhammad Nauval Araka
(2016) Adinagara (2016) Romauli (2016) Aris, Gerson Simbolan,
Bagus Hario Setiadji (2015)
Perbedaan
Ruang - Perancangan - Menggunakan - Perancancangan - Membandingkan hasil - Membandingkan 4
Lingkup perkerasan metoda TOPSIS infrastruktur ruas analisis tebal overlay Metoda Bina Marga
ruas jalan untuk pemilihan jalan dengan dengan Pd T-05-2005- 2002, 2005, 2010, dan
dengan perkerasan jalan berwawasan B dan No. 2013. Serta mendesain
menggunakan baru. lingkungan. 002/P/BM/2011. ulang perkerasan.
2 metoda Melakukan
berbeda analisis prediksi
lalu lintas dari
awal konstruksi
hingga umur
rencana dengan
pemodelan
trasportasi.
- Merencanakan
strategi
pemilihan
perkerasan
jalan.
Metoda - AASHTO 93 - AASHTO 93 - AASHTO 93 - MDP Bina Marga - Pd T-01-2002-B, Pd
- Pd. T-14-2003 2013 T-05-2005-B, BM no.
- Pd T-05-2005-B 001/BT/2010, dan BM
- Bina Marga 2011 02/M/BM/2013
No.002/P/BM/2011
Lokasi Ruas Jalan Access Road PLTA Ruas Jalan Daeng Ruas Jalan Kairagi – Ruas Jalan Piringsurat –
Tinjauan Palimanan – Kramat Upper Cisokokan Mohammad Sta. Mapanget Batas Kedu Timur
Sta. 5 + 675 – Sta. 6 Desa SArinagen 0+000 s.d Sta.
+ 466. Kecamatan 2+250.
Cipongkor
Kabupaten Bandung
Barat.
Sumber : Hasil analisis Tugas Akhir
Perkerasan Jalan
Perkerasan merupakan bagian dari badan jalan yang berfungsi menerima
beban lalu lintas dan menyebarkan ke bawahnya sampai ke tanah dasar.
Terdapat 3 jenis perkerasan yaitu:
a. Perkerasan lentur (flexible pavement)
Perkerasan lentur merupakan jenis perkerasan yang bagian permukaannya
menggunakan material atau bahan campuran aspal dan pada lapisan
dibawahnya dengan menggunakan material berbutir. Lapisan perkerasan
lentur terdiri dari tanah dasar (subgrade), lapis pondasi bawah (sub base
course), lapis pondasi (base course) dan lapis permukaan (surface course).
c. Perkerasan kaku/beton (rigid pavement)
Perkerasan kaku (Rigid Pavement) merupakan jenis perkerasan yang
bagian permukaanya menggunakan bahan campuran beton. Pada
perkerasan kaku digunakan Cement Portland sebagai baha pengikat. Pada
perkerasan ini beton berfungsi sebagai lapis pondasi (base course)
sekaligus sebagai lapis permukaan (surface course). Perkerasan gabungan
(composite pavement).
d. Perkerasan Gabungan (composite pavement)
Perkerasan gabungan (composite pavement) merupakan jenis
perkerasan yang menggabungkan perkerasan kaku dan perkerasan lentur.
Perkerasan lentur berada di atas perkerasan kaku. kedua jenis perkerasan
ini bersama – sama dala memikul beban kendaraan/lalu lintas.
Metode Penilaian Kondisi Perkerasan Menggunakan PCI
Penilaian kondisi perkerasan jalan pertama dikembangkan oleh U.S Army
Corp of Engineer (Shanin, 1994) dan dinyatakan dalam Indeks Kondisi
Perkerasan (Pavement Condition Index, PCI). PCI merupakan tingkatan
kondisi perkerasan yang ditinjau dari fungsi pada kondisi dan kerusakan
perkerasan jalan. Nilai PCI berkisar dari 0 sampai 100 dengan menunjukan
nilai 0 yaitu kondisi permukaan perkerasan sangat rusak dan nilai 100 yaitu
kondisi permukaan perkerasan yang sempurna. Nilai kondisi permukaan
perkerasan didapatkan dari hasil survei secara visual sehingga didapatkan
kondisi permukaan perkerasan jalan tersebut. Untuk mendapatkan nilai
Pavement Condition Index dilakukan secara bertahap seperti sebagai berikut :
Pembagian Segmen
Berdasarkan buku Pavement Management For Airports, Roads, and
Parking Lots Second Edition (Shahin,1994) untuk jalan dengan perkerasan
lentur atau aspal dan jalan tanpa perkerasan dalam pembagian segmen atau
sampel dibagi dengan luasan sekitar 762 ± 305 (2500 ± 1000 sq.ft).
dilalui beban lalu lintas. Untuk tingkat kerusakan pada jenis kerusakan
retak blok terdiri dari high, medium, dan low seperti pada Gambar II.3.
1994). Tingkat kerusakan terbagi menjadi high, medium, dan low seperti
pada Gambar II.4.
kerusakan corrugation terbagi menjadi high, medium, dan low seperti
pada Gambar II.5.
lengkungan. Jenis kerusakan ini diakibatkan oleh beban lalu lintas yang
berlebih. Tingkat kerusakan pada jenis kerusakan depression terbagi
menjadi high, medium, dan low seperti pada Tabel II.2. dan Gambar
II.6.
Tabel II.2. Tingkat Kerusakan Amblas
Tingkat Kerusakan Identifikasi Kerusakan
L Kedalaman alur rata-rata ¼ - ½ in (6 – 13 mm)
7) Edge Cracking
Edge cracking atau retak pinggir merukan jenis kerusakan pada
perkerasan lentur berupa retak memanjang dengan atau tanpa cabang
yang mengarah ke bahu jalan atau terletak pada bahu jalan. Tingkat
kerusakan pada jenis kerusakan ini terbagi menjadi high, medium, dan
low seperti pada Gambar II.7.
8) Joint Reflection
Joint reflection atau retak refleksi merupakan jenis kerusakan pada
perkerasan lentur yang berbentuk retak memanjang, melintang, diagonal
atau membentuk kotak dengan menggambarkan pola retakan
dibawahnya. Hal ini dapat terjadi apabila keretakan pada perkerasan lama
atau perkerasan dibawahnya tidak diperbaiki. Tingkat kerusakan pada
jenis kerusakan joint reflection terbagi menjadi high, medium, dan low
seperti pada Gambar II.8.
bahu jalan. Tingkat kerusakan pada jenis kerusakan lane/shoulder drop
off terbagi menjadi high, medium, dan low seperti pada Gambar II.9.
(longitudinal cracking) dan tegak lurus sumbu jalan (tranverse
cracking). Tingkat kerusakan pada jenis perkerasan ini terbagi menjadi
high, medium, dan low seperti pada Gambar II.10.
11) Patching
Jenis kerusakan tambalan atau patching merupakan kerusakan berupa
tambalan yang dilakukan untuk memperbaiki kerusakan seperti retak
buaya dan lubang. Tingkat kerusakan tambalan terbagi menjadi high,
medium, dan low seperti pada Gambar II.11.
Gambar II.12. Tingkat Kerusakan Pengausan
Sumber ; Shahin.M.Y, 1994
13) Potholes
Jenis kerusakan lubang atau potholes merupakan jenis kerusakan
berbentuk lubang berupa mangkok dengan ukuran yang bervariasi.
Lubang ini dapat menampung air serta meresapkan air ke dalam lapis
permukaan. Lubang dapat terjadi akibat beberapa hal seperti campuran
material yang kurang baik, system drainase jalan yang kurang baik
sehingga air mengumpul pada lapis perkerasan jalan, dan kerusakan retak
yang tidak ditangani dengan cepat sehingga air masuk ke lapis
permukaan melalui celah – celah retak. Tingkat kerusakan lubang terdiri
dari high, medium, dan low berdasarkan kedalaman dan diameter lubang
seperti pada Tabel II.3. dan Gambar II.13.
Tabel II.3. Tingkat Kerusakan Lubang
Average Diameter. In (mm)
Maximum Depth
4 to 8 in. (102 – 8 To 18 In (203 18 to 30 In.
to Pothole
203 mm) – 457 mm) (457 – 762 mm)
0,5 to 1 In. (12,7 to
L L M
25,4 mm)
>1 to 2 In. (25,4 to
L M H
50,8 mm)
>2 In. (50,8 mm) M M H
Sumber ; Shahin.M.Y, 1994
Tabel II.4. Tingkat Kerusakan Alur
Mean Rut Dept Severity Level
¼ to ½ In. L
>1/2 to 1 In M
>1 In H
Sumber ; Shahin.M.Y, 1994
Tingkat kerusakan pada jenis kerusakan shoving terbagi menjadi high,
medium, dan low seperti pada Gambar II.16.
Setelah melakukan survei dilapangan, hitung kerapatan kerusakan
(density). Kerapatan merupakan persentase luas dari jenis kerusakan
yang ada pada setiap segmen terhadap luas total segmen. Untuk
mendapatkan nilai kerapatan kerusakan (density) digunakan persamaan :
𝐿𝑢𝑎𝑠 𝐾𝑒𝑟𝑢𝑠𝑎𝑘𝑎𝑛
𝐷𝑒𝑛𝑠𝑖𝑡𝑦 = 𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑆𝑒𝑔𝑚𝑒𝑛 x 100 ….. (1)
2) Bleeding
Grafik nilai deduct value untuk jenis kerusakan bleeding dapat dilihat
pada Gambar II.21.
Grafik nilai deduct value untuk jenis kerusakan bumps and sags dapat
dilihat pada Gambar II.23.
deduct value untuk mendapatkan nilai koreksi deduct value dengan
persamaan :
m = 1+(9/98) x (100 – HDV) ….. (2)
Keterangan :
m = koreksi deduct value
HDV = nilai deduct value terbesar
Jika deduct value – m < m (digunakan nilai deduct value) atau deduct value
– m > m (digunakan nilai deduct value – m)
Menentukan Nilai Corrected Deduct Value (CDV)
Nilai Corrected deduct value (CDV) didapatkan melalui grafik
hubungan antara nilai total deduct value (TDV) dengan nilai corrected
deduct value (CDV). Untuk mendapatkan nilai corrected deduct value
untuk setiap iterasi digunakan grafik yang dapat dilihat pada Gambar II.39.
Dari hasil perhitungan menggunakan persamaan diatas maka dapat
ditentukan kondisi perkerasan seperti pada Gambar II.40.
dengan roda kendaraan atau beban roda pesawat. Pelat diletakan pada
permukaan yang akan diuji dan dijatuhkan sehingga timbul beban impuls pada
struktur perkerasan. Beban tersebut menimbulkan lendutan atau deflection
yang ditangkap oleh 7 – 9 buah sensor dengan jarak tertentu. (Ferdian dan
Prasasya, 2008). Alat Dynatest 8000 FWD Test System terdiri dari Dynatest
8002E FWD Trailer, Dynatest 900 System Processor, dan computer yang
dilengkapi printer dan dapat dilihat pada Gambar II.41.
Untuk menentukan penanganan dan jenis nilai pemicu digunakan nilai
lendutan FWD rata – rata pada sumbu y dan nilai kumulatif beban sumbu
standar ekivalen selama umur rencana pada sumbu x. Dari perpotongan
kedua nilai tersebut akan didapatkan jenis penanganan yang digunakan pada
perkerasan jalan.
Desain Ketebalan Lapis Tambah
Prosedur penanganan perkerasan untuk mendapatkan ketebalan
overlay baik struktural atau non struktural bermaksud untuk memperbaiki
fungsi jalan seperti permukaan, kenyamanan, dan kepentingan lainnya
pada permukaan jalan. Ada beberapa cara untuk menentukan tebal lapis
tambah yaitu :
a. Lendutan Maksimum
Jika tidak terjadi kegagalan tanah dasar, dapat ditentukan berdasarkan
lengkungan lendutan karena sudah cukup memadai seperti pada
Gambar II.43.
MAPT lapangan
fT = Temperatur Perkerasan Saat Pengukuran Lendutan ….. (4)
b. Kurva Lendutan atau Lengkungan Karakteristik
Dengan menggunakan lengkungan karakteristik digunakan pada
lalu lintas dalam rentang 1 - 30 juta ESA5. Lengkungan karakteristik
pada segmen perkerasan dilakukan pada segmen perkerasan yang
seragam sama dengan nilai lengkungan rata-rata yang dihitung dari
Tabel II.5. Koefisien Disribusi Kendaraan (C)
Kendaraan Ringan (Mobil Kendaraan Berat (Truk dan
Jumlah
Penumpang) Bus)
Lajur
1 Arah 2 Arah 1 Arah 2 Arah
1 1,00 1,00 1,00 1,00
2 0,60 0,50 0,70 0,50
3 0,40 0,40 0,50 0,475
4 - 0,30 - 0,45
5 - 0,35 - 0,425
6 - 0,20 - 0,40
Sumber ; Pd T-05-2005-B
Berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 14 Tahun 2007
(Bab 2 pasal 8) berat maksimum yang diizinkan berdasarkan kekuatan
sumbu yaitu sebagai berikut :
Sumbu Tunggal Roda Tunggal (STRT) = 6 ton
Sumbu Tunggal Roda Ganda (STRG) = 10 ton
Sumbu Double Roda Ganda (SDRG) = 18 ton
Sumbu Triple Roda Ganda (STrRG) = 21 ton
c. Faktor Umur Rencana dan Perkembangan Lalu Lintas
Faktor hubungan umur rencana dan perkembangan lalu lintas dapat
ditentukan dengan menggunakan Tabel II.7.
Tabel II.7. Faktor Hubungan Antara Umur Rencana Dengan Perkembangan Lalu
Lintas
n r (%)
(tahun) 2 4 5 6 8 10
1 1,01 1,02 1,03 1,03 1,04 1,05
2 2,04 2,08 2,10 2,12 2,16 2,21
3 3,09 3,18 3,23 3,28 3,38 3,48
4 4,16 4,33 4,42 4,51 4,69 4,87
5 5,26 5,52 5,66 5,81 6,10 6,41
6 6,37 6,77 6,97 7,18 7,63 8,10
7 7,51 8,06 8,35 8,65 9,28 9,96
8 8,67 9,40 9,79 10,19 11,06 12,01
9 9,85 10,79 11,30 11,84 12,99 14,26
10 11,06 12,25 12,89 13,58 15,07 16,73
11 12,29 13,76 14,56 15,42 17,31 19,46
12 13,55 15,33 16,32 17,38 19,74 22,45
13 14,83 16,96 18,16 19,45 22,36 25,75
14 16,13 18,66 20,09 21,65 25,18 29,37
15 17,47 20,42 22,12 23,97 28,24 33,36
20 24,54 30,37 33,89 37,89 47,59 60,14
25 32,35 42,48 48,92 56,51 76,03 103,26
30 40,97 57,21 68,10 61,43 117,81 172,72
Sumber ; Pd T-05-2005-B
m = Jumlah masing – masing jenis kendaraan
365 = jumlah hari dalam setahun
E = Ekivalen beban sumbu standar
C = Koefisien distribusi kendaraan
N = Faktor hubungan umur rencana yang sudah disesuaikan
dengan perkembangan lalu lintas
Lendutan Terkoreksi
Setelah didapatkan nilai lendutan FWD atau falling weight
deflectometer yang dilakukan pada tahun yang sama dengan data LHRT
maka nilai lendutan harus dihitung kembali untuk mendapatkan nilai
lendutan terkoreksi, sebagai berikut :
a. Faktor Penyesuaian Lendutan Terhadap Temperatur 35oC
Untuk mendapatkan nilai Ft untuk setiap titik pengujian FWD atau
falling weight deflectometer dengan menggunakan persamaan :
𝐹𝑡 = 4,184 𝑥 𝑇𝐿−0,4025 untuk HL < 10 cm ….. (10)
𝐹𝑡 = 14,785 𝑥 𝑇𝐿−0,7573 untuk HL ≥ 10 cm ….. (11)
Keterangan :
HL = Tebal lapis beraspal (cm)
b. Faktor Pengaruh Muka Air Tanah
Untuk menentukan nilai faktor pengaruh muka air tanah atau faktor
musim, digunakan nilai 1,2 bila pemerikasaan pengujian falling weight
deflectometer dilakukan pada musim kemarau atau muka air tanah
rendah dan digunakan nilai 0,9 bila pemeriksaan pengujian falling
weight deflectometer dilakukan pada musim hujan atau muka air tanah
tinggi.
c. Faktor Koreksi Beban Uji Falling Weight Deflectometer
Untuk menentukan nilai faktor koreksi beban uji falling weight
deflectometer digunakan persamaan :
𝐹𝐾𝑏 − 𝑓𝑤𝑑 = 4,08 𝑥 𝐵𝑒𝑏𝑎𝑛 𝑈𝑗𝑖 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑡𝑜𝑛−1 ….. (12)
Untuk mendapatkan nilai lendutan terkoreksi dilakukan per titik
pengujian falling weight deflectometer dengan menggunakan
persamaan :
𝑑𝐿 = 𝑑𝑓1 𝑥 𝐹𝑡 𝑥 𝐶𝑎 𝑥 𝐹𝐾𝑏 − 𝑓𝑤𝑑 ….. (13)
Keseragaman Lendutan
Untuk menentukan tebal lapis tambah dapat dilakukan pertitik
pengujian atau berdasarkan panjang segmen. Jika berdasarkan panjang
segmen maka dipertimbangkan keseragaman lendutan dengan
menggunakan persamaan :
𝑛 (∑ 𝑑2 )−( ∑ 𝑑)2
s=√ ….. (14)
𝑛(𝑛−1)
𝑠
FK = 𝑑𝑅 𝑥 100% < 𝐹𝐾 𝑖𝑗𝑖𝑛 ….. (15)
Keterangan :
FK = Faktor keseragaman
s = Deviasi standar
dR = Lendutan rata – rata
FK ijin = 0% - 10% keseragaman sangat baik
11% - 20% keseragaman baik
21% - 30% keseragaman cukup baik
Lendutan Wakil
Untuk menentukan nilai lendutan wakil (dwakil) suatu sub ruas
digunakan persamaan :
dwakil = dR + 2s (jalan arteri/tol tingkat kepercayaan 98%)
dwakil = dR + 1,64s (jalan kolektor tingkat kepercayaan 95%)
dwakil = dR + 1,28s (jalan local tingkat kepercayaan 90%)
Lendutan Rencana
Untuk menentukan nilai lendutan rencana (drencana) pada perkerasan
lentur digunakan persamaan :
drencana = 17,004 x CESA-0,2307 ….. (16)
Faktor Koreksi Tebal Lapis Tambah
Setelah didapatkan nilai tebal lapis tambah berdasarkan temperatur
standar 35oC diperlukan koreksi karena setiap daerah memiliki temperatur
perkerasan rata –rata tahunan (TPRT) yang berbeda. Untuk mendapatkan
faktor koreksi tebal lapis tambah digunakan persamaan :
Fo = 0,5032 x EXP(0,0194 x TPRT) ….. (17)
Tebal Lapis Tambah (Ho)
Untuk menentukan nilai lapis tambah pada perkerasan lentur digunakan
persamaan :
Ho = (Ln(1,0364) + Ln(dwakil) – Ln(drencana))/0,0597 ….. (18)
Tebal Lapis Tambah Terkoreksi
Tebal lapis tambah didapatkan berdasarakan temperatur standar yaitu
35oC sehingga diperlukan nilai koreksi karena setiap daerah memiliki
temperatur perkerasan rata – rata tahunan (TPRT) yang berbeda. Untuk
menentukan nilai koreksi tebal lapis tambah digunakan persamaan :
Fo = 0,5032 x EXP(0,0194 x TPRT) ….. (19)
Setelah didapatkan nilai koreksi untuk lapis tambah, ditentukan tebal lapis
tambah perkerasan terkoreksi (Ht) dengan menggunakan persamaan :
Ht = Ho x Fo ….. (20)
Lalu Lintas
Menurut Undang – Undang Nomor 22 tahun 2009 (Bab 1 pasal 1) lalu
lintas adalah gerak kendaraan dan orang di ruang lalu lintas jalan. Sedangkan
ruang lalu lintas yaitu prasarana yang dibangun untuk gerak pindah
kendaraan, orang atau barang berupa jalan dan fasilitas pendukung. Selain
menentukan volume lalu lintas, diperlukan faktor pertumbuhan lalu lintas.
Menurut Manual Desain Perkerasan Jalan 02/M/BM/2013 bahwa faktor
pertumbuhan lalu lintas didasarkan oleh data pertumbuhan historis dengan
faktor pertumbuhan yang lain valid, jika tidak dapat menggunakan Tabel II.8.
Tabel II.8. Faktor Pertumbuhan Lalu Lintas (i)
No. Klasifikasi Jalan 2011 – 2020 >2021 - 2030
1 Arteri dan Perkotaan (%) 5 4
2 Kolektor Rural (%) 3,5 2,5
3 Jalan Desa (%) 1 1
Sumber : Manual Desai Perkerasan 02/M/BM/2013
Sedangkan untuk menghitung pertumbuhan lalu lintas selama umur rencana
dapat menggunakan persamaan :
(1+0.01𝑖)𝑈𝑅 −1
𝑅= ….. (21)
0.01𝑖
Keterangan :
R = faktor pengali pertumbuhan lalu lintas
i = tingkat pertumbuhan tahunan (%)
UR = Umur rencana (tahun)
Beban Sumbu Standar Kumulatif
Berdasarkan Manual Desain Perkerasan Jalan 02/M/BM/2013 (Bab 4.10)
bahwa beban sumbu standar kumulatif adalah jumlah kumulatif beban sumbu
lalu lintas desain pada lajur desain selama umur rencana dan ditentukan
menggunakan persamaan sebagai berikut:
ESA = (∑jenis kendaraan LHRT x VDF x Faktor Distribusi) ….. (22)
CESA = ESA x 365 x R ….. (23)
Keterangan
ESA : Lintasan sumbu standar ekivalen untuk 1 hari
LHRT : Lintasan harian rata – rata tahun jenis kendaraan tertentu
CESA :Kumulatif beban sumbu standar ekivalen selama umur rencana
R : Faktor pengali pertumbuhan lalu lintas
Sedangkan untuk nilai VDF dan nilai faktor distribusi setiap golongan
kendaraan berdasarkan Manual Desain Perkerasan 02/M/BM/2013 dapat
dilihat pada Tabel II.9.
Tabel II.9. Klasifikasi Kendaraan dan Nilai VDF Standar
Umur Rencana
Umur rencana merupakan jangka waktu yang diperlukan selama masa
layan oleh perkerasan jalan dimulai dari jalan tersebut dibuka. Umur rencana
pada perkerasan berbeda – beda tergantung jenis perkerasan dan elemen
perkerasan yang digunakan. Untuk umur rencana peningkatan perkerasan
jalan berdasarkan Manual Desain Perkerasan 02/M/BM/2013 dapat
ditentukan melalui tabel umur rencana dan pemicu penanganannya seperti
pada Tabel II.10.
Tabel II.10. Umur Rencana, Hubungan Nilai Pemicu dan Jenis Pelapisan Perkerasan
keamanan konstruksi jalan yang terdiri dari jembatan, terowongan, ponton,
lintas atas (fly over, elevated road), lintas bawah (underpass), tempat parkir,
gorong – gorong, tembok penahan, dan salurn tepi jalan dibangun sesuai
dengan persyaratan teknis. Bangunan pelengkap jalan yang ditinjau dalam
Keterangan :
P = Volume Pejalan Kaki (orang/menit/meter)
W = Lebar Jalur Pejalan Kaki
Drainase
Menurut Pedoman Perencanaan Sistem Drainase Jalan Pd. T-02-2006-
B drainase jalan merupakan bagian dari bangunan pelengkap jalan yang
berfungsi untuk memutuskan dan mengalirkan air permukaan atau air
bawah tanah dengan bantuan gaya gravitasi terdiri atas saluran samping dan
gorong – gorong ke badan air penerima atau tempat resapan buatan.
Terdapat 2 sistem perencanaan system drainase jalan berdasarkan
keberadaan air yaitu sebagai berikut:
a. Drainase permukaan (surface drainage)
Menurut Pedoman Perencanaan Sistem Drainase Jalan Pd. T-02-2006-
B drainase permukaan adalah prasarana yang bersifat alami atau buatan
dan berfungsi memutuskan dan menyalurkan air permukaan, biasanya
dibantu gaya gravitasi.
b. Drainase bawah permukaan (sub surface drainage)
Menurut Pedoman Perencanaan Sistem Drainase Jalan Pd. T-02-2006-
B drainase bawah permukaan adalah sarana untuk mengalirkan air dan
berada di bawah permukaan dari suatu tempat ke tempat lain. Hal
tersebut berfungsi untuk melindungi bangunan yang berada di atasnya.
Namun berdasarkan konstruksinya jenis drainase yaitu sebagai berikut:
c. Drainase terbuka
Saluran terbuka merupakan saluran air yang biasanya berada pada
daerah yang cukup luas dan air yang disalurkan tidak berbahaya.
d. Drainase tertutup
Saluran tertutup biasanya digunakan untuk mengalirkan air
kotor/limbah dengan menggunakan pipa. Saluran tertutup juga biasanya
terletak di daerah kota/pemukiman atau pada daerah yang sempit. Untuk
daerah kota saluran tertutup berada dibawah trotoar sehingga lebih
efisien dan tidak memakan banyak lahan.
Lampu Penerangan Jalan
Berdasarkan SNI 7391 tahun 2008 (Bab 3.8) lampu penerangan jalan
merupakan bagian dari bangunan pelengkap jalan yang diletakan di
kiri/kanan jalan atau di tengah (bagian median) yang berfungsi menerangi
jalan maupun lingkungan sekitar. Terdapat beberapa jenis lampu
penerangan dapat dilihat pada Tabel II.11.
Tabel II.11. Jenis Lampu Penerangan Jalan Secara Umum Menurut Karakteristik dan
Penggunanya
Umur Pengaruh
Efisiensi
Rencana Daya Terhadap
Jenis Lampu Rata – Rata Keterangan
Rata – Rata (watt) Warna
(lumen/watt)
(jam) Obyek
- Untuk jalan kolektor dan lokal
Lampu tabung 18 – - Efisiensi cukup tinggi,
8000 –
fluorescent 60 – 70 20; 36 Sedang berumur pendek
10000
tekanan rendah – 40 - Digunakan untuk hal terbatas
- Untuk jalan kolektor, lokal,
Tabel II.12. Kualitas Pencahayaan Normal
Kuat Pencahayaan
Lminansi Batasan Silau
(iluminansi)
Jenis/ Klasifikasi Jalan E rata – Kemerataan L rata – Kemerataan
rata (Uniformity) rata (uniformity) G TJ (%)
(lux) g1 (cd/m2) VD VI
Trotoar 1–4 0,1 0,1 0,4 0,5 4 20
Primer 2–5 0,1 0,5 0,4 0,5 4 20
Jalan Lokal
Sekunder 2–5 0,1 0,5 0,4 0,5 4 20
4–
Primer 3–7 0,14 1 0,4 0,5 20
Jalan 5
Kolektor 4–
Sekunder 3–7 0,14 1 0,4 0,5 20
5
0,5 – 5–
Primer 11 – 20 0,14 – 0,20 1,5 0,4 10 – 20
0,7 6
Jalan Arteri
0,50 – 5–
Sekunder 11 – 20 0,14 – 0,20 1,5 0,4 10 – 20
0,70 6
Jalan arteri dengan akses
0,5 – 5–
control, jalan bebas 15 – 20 0,14 – 0,20 1,5 0,40 10 – 20
0,7 6
hambatan
Jalan laying, simpang
20 – 25 0,2 2 0,4 0,7 6 10
susun, terowongan
Sumber : SNI 7391 Tahun 2008
Keterangan :
g1 : E min.E maks
VD : L min/L maks
VI : L min/L rata-rata
G : Silau (glare)
TJ : Batas ambang kesilauan
b. Penempatan Lampu Keterangan
Berdasarkan SNI 7391 tahun 2008 penempatan lampu penerangan jalan
harus direncakan sedemikian rupa sehingga memberikan :
1) Kemerataan Pencahayaan yang sesuai.
2) Keselamatan dan keamanan bagi pengguna jalan.
3) Pencahayaan yang lebih tinggi di area tikungan atau persimpangan,
dibandingkan pada bagian jalan yang lurus.
4) Arah dan petunjuk (guide) yang jelas bagi pengguna jalan dan
pejalan kaki.
Sistem penempatan lampu parsial, lampu penerangan jalan harus
memberikan adaptasi yang baik bagi penglihatan pengendara sehingga
efek kesilauan dan ketidaknyamanan penglihatan dapat dikurangi.
Sistem penerangan jalan yang disarankan serta jarak antara tiap lampu
Tabel II.13. dapat dilihat pada Tabel II.14.
Tabel II.13. Sistem Penempatan Lampu Penerangan Jalan
Sistem Penempatan Lampu Yang
Jenis Jalan/Jembatan
Digunakan
Jalan Arteri Sistem menerus dan parsial
Jalan kolektor Sistem menerus dan parsial
Jalan lokal System menerus dan parsial
Persimpangan,
System menerus
simpang susu, ramp
Jembatan System menerus
System menerus bergradasi pada ujung
Terowongan
– ujung terowongan
Sumber : SNI 7391 Tahun 2008
Tabel II.14. Jarak Antar Lampu Rumah Lampu Tipe B
Tinggi Lebar Jalan (m)
Tingkat
Jenis Lampu Lampu
4 5 6 7 8 9 10 11 Pencahayan
(m)
50W SON atau 4 31 30 29 28 26 - - -
80W MBF/FU 5 33 32 32 31 30 29 28 27
3,5 LUX
70W SON atau
6 48 47 46 44 43 41 39 37
125W MBF/U
70W SON atau
6 34 33 32 31 30 28 26 24
125W MBF/U 6,0 LUX
100W SON 6 48 47 45 42 40 38 36 34
150W SON
atau 250 8 - - 48 47 45 43 41 39
MBF/U
100W SON 6 - - 28 26 23 - - - 10,0 LUX
250W SON
atau 400W 10 - - - - 55 53 50 47
MBF/U
250W SON
atau 400W 10 - - 36 35 33 32 30 28 20 LUX
MBF/U
400W SON 12 - - - - 39 38 37 36 30LUX
Sumber : SNI 7391 Tahun 2008
untuk drainase. Berikut adalah beberapa data yang dibutuhkan dalam
perencanaan drainase :
Panjang Segmen Saluran (L)
Panjang segmen saluran biasanya menyesuaikan panjang rute jalan serta
disarankan kemiringan dari saluran sama dengan kemiringan rute jalan.
pengaliran ini akan mempengaruhi debit yang mengalir, sehingga dapat
diprediksi daya tampung dari saluran. Untuk mendapatkan harga koefisien
rata – rata dapat ditentukan melalui persamaan :
𝐶1.𝐴1+𝐶2.𝐴2+𝐶3.𝐴3.𝑓𝑘
𝐶= ….. (27)
𝐴1+𝐴2+𝐴3
Faktor Limpasan (fk)
Menurut Pd. T-02-2006-B faktor limpasan (fk) adalah factor atau angka
yang dikalikan dengan koefisien runoff biasa memiliki tujuan agar kinerja
dari saluran tidak melebihi kapasitasnya akibat daerah pengaliran yang
terlalu luas. Factor limpasan ini dipengaruhi oleh kondisi permukaan tanah.
untuk nilai koefisien pengaliran dan factor limpasan dapat dilihat pada
Tabel II.15.
Tabel II.15. Harga Koefisien Pengaliran (C) dan Harga Faktor Limpasan (fk)
Koefisien Faktor Limpasan
No. Kondisi Permukaan Tanah
Pengaliran (C) (fk)
Bahan
1 Jalan Beton dan Jalan Aspal 0,70 – 0,95 -
2 Jalan Kerikil dan Jalan Tanah 0,40 – 0,70 -
Bahu Jalan :
Tanah berbutir Halus 0,40 – 0,65 -
3 Tanah Berbutir Kasar 0,10 – 0,20 -
Batuan Masif Keras 0,70 – 0,85 -
Batuan Masif Lunak 0,60 – 0,75 -
Tata Guna Lahan
1 Daerah Perkotaan 0,70 – 0,95 2,0
2 Daerah Pinggir Kota 0,60 – 0,70 1,5
3 Daerah Industri 0,60 – 0,90 1,2
4 Pemukiman Padat 0,40 – 0,60 2,0
5 Pemukiman Tidak Padat 0,40 – 0,60 1,5
6 Taman dan Kebun 0,20 -0,40 0,2
7 Persawahan 0,45 – 0,60 0,5
8 Perbukitan 0,70 – 0,80 0,4
9 Pegunungan 0,75 – 0,90 0,3
Sumber : Pd. T-02-2006-B
2 𝑛𝑑 0,167
𝑡1 = (3 𝑥 3,28 𝑥 𝐼𝑜 𝑥 ) ….. (29)
√𝐼𝑠
𝐿
𝑡2 = 60 𝑥 𝑉 ….. (30)
Keterangan :
Tc = Waktu konsentrasi (menit)
t1 = Waktu untuk mencapai awal saluran dan titik terjauh (menit)
t2 = Waktu aliran dalam saluran sepanjang L dari ujung saluran (menit)
Io = Jarak titik terjauh ke fasilitas drainase (m)
L = Panjang saluran (m)
nd = Koefisien hambatan
Is = Kemiringan saluran memanjang
V = kecepatan air rata – rata pada saluran drainase (m/detik)
Analisa Hidrologi
Analisa hidrologi yang digunakan dalam perencanaan drainase untuk
jalan yaitu mengubah data curah hujan harian maksimum dalam setahun
menjadi data intensitas curah hujan dalam kurun waktu tertentu. Ada
beberapa macam metode untuk melakukan analisis hidrologi khususnya
untuk menentukan nilai intensitas hujan. Berikut adalah metode yang
digunakan dalam analisis hidrologi :
a. Metode Van Breen
Metode Van Breen merupakan sebuah metode yang berdasarkan dari
penelitian Ir. Van Breen di Indonesia dan khususnya berada di pulau
Jawa. Menurut Ir. Van Breen curah hujan terkonsentrasi selama 4 jam
dengan jumlah curah hujan sebesar 90% dari humlah curah hujan 24 jam
(Anonim dalam Melinda, 2007). Untuk mendapatkan nilai intensitas
curah hujan pada suatu periode ulang dengan metode Van Breen
menggunakan persamaan berikut :
90% 𝑥 𝑅 24
𝐼=( )….. (31)
4
Keterangan :
I = Intensitas curah hujan pada suatu periode ulang (T tahun)
R24 = Tinggi curah hujan pada periode ulang T tahun (mm/hari)
Dalam menentukan durasi intensitas digunakan juga tabel lengkung
Intensitas Duration Frequency (IDF) Jakarta yang digunakan sebagai
asumsi di Indonesia seperti pada Tabel II.16.
Tabel II.16. Nilai Lengkung IDF Jakarta
Intensitas Hujan (mm/jam) Untuk PUH (tahun)
Durasi
2 5 10 25 50
5 126 148 154 180 191
10 114 126 138 156 168
20 102 114 123 135 144
40 76 87 96 105 144
60 61 73 81 91 100
120 36 45 51 58 63
240 21 27 30 35 40
Sumber : BUDP. Drainage For Bandung
Keterangan :
Xt = X yang terjadi dalam kala ulang t tahun
X = Rata – rata dari data Xi
Xi = Seri data maksimum tiap tahun
Sx = Standar deviasi
n = Jumlah data
k = Konstanta dapat dilihat pada tabel
Yt = Reduksi sebagai fungsi probabilitas
t = jumlah tahun kala ulang
Sn = Standar deviasi tereduksi
Tabel II.17. Faktor Frekuensi Untuk Nilai Ekstrim (k)
Tabel II.20. Nilai Hubungan Antara Kala Ulang dengan Faktor Reduksi (Yt)
No. Kala Ulang (tahun) Faktor Reduksi (Yt)
1 2 0,3665
2 5 1,4999
3 10 2,2502
4 25 3,1985
5 50 3,9019
6 100 4,6001
Sumber : Standar SK SNI M-18-1989-F
c. Metode Talbot
Metode Talbot ini digunakan untuk menentukan besarnya debit rencana
yang ditentukan oleh intensitas hujan melalui persamaan berikut :
𝑎
𝐼= ….. (36)
𝑡𝑐+𝑏
(∑ 𝐼.𝑡)(∑ 𝐼 2 )−(∑ 𝐼 2 .𝑡)(∑ 𝐼)
𝑎= 2 ….. (37)
𝑁𝑑(∑ 𝐼 2 )− (∑ 𝐼)
Keterangan :
I = Intensitas curah hujan (mm/jam)
Tc = Waktu konsentrasi (menit)
a,b = Konstanta
Debit Aliran Air (Q)
Untuk menghitung debit aliran air pada perencanaan drainase
menggunakan persamaan :
1
𝑄 = 3,6 𝑥𝐶𝑥𝐼𝑥𝐴 ….. (39)
Keterangan :
Q = Debit aliran air (m3/detik)
C = Koefisien pengaliran rata – rata
I = Intensitas curah hujan (mm/jam)
A = Luas daerah layanan (km2)
Menentukan Bahan Bangunan, Kemiringan, dan Dimensi Drainase
Berdasarkan Pd T-02-2006-B, dalam menentukan bahan bangunan
drainase atau saluran ditentukan oleh besarnya kecepatan rencana aliran air
yang mengalir seperti dapat dilihat pada Tabel II.21.
Tabel II.21. Kecepatan Aliran Air yang Diijinkan Berdasarkan Material
Kecepatan Aliran Air yang
No. Jenis Bahan
Diijinkan (m/detik)
1 Pasir Halus 0,45
2 Lempung Kepasiran 0,50
3 Lanau Aluvial 0,60
Jika kecepatan aliran pada drainase melebihi kecepatan aliran air yang
diijinkan maka digunakan pematah arus yang berfungsi untuk mengurangi
kecepatan aliran pada saluran yang panjang dan memiliki kemiringan yang
cukup besar. Pemasangan pematah arus harus sesuai seperti pada Tabel
II.23. dan Gambar II.45.
Tabel II.23. Hubungan Kemiringan Saluran dan Jarak Pematah Arus (Ip)
No. Kemiringan Saluran (%) Jarak Pematah Arus (Ip m)
1 6 16
2 7 10
3 8 8
4 9 7
5 10 6
Sumber : Pd T-02-2006-B
Kecepatan 1
V= 𝑥𝑅2/3 𝑥𝑖1/2 ( ) Rumus no ( )
(V) 𝑛
Tabel II.25. Komponen Penampang Segitiga dan Lingkaran/Gorong-gorong
Saluran
Jenis Penampang
Komponen
Segitiga Lingkaran/Gorong-gorong
Dimensi
Lebar Atas
2xz 2x(h-0,5D)tanØ
(b)
Tinggi Muka
H H
Air (h)
Faktor 1:1 z=h
ℎ−0,5𝐷
Kemiringan 1:1,5 z=1,5h 0 = 𝑐𝑜𝑠 −1 ( )()
0,5𝐷
(z) 1:2 z=2h
Penampang Basah
𝜋𝐷2 𝜃
Luas (F) zxh ( ) (1 − ) + (ℎ − 0,5𝐷)2 𝑡𝑎𝑛𝜃 ( )
4 180
𝜃
Keliling (P) 2𝑥ℎ√(1 + 𝑧 2 ) ( ) 𝜋𝐷(1 − )()
180
𝜃
Jari-jari 𝑧 (𝜋𝐷2 (1 − ) + 4(ℎ − 0,5𝐷)2 𝑡𝑎𝑛𝜃
() 180
Hidrolis (R) 2√(1+𝑧 2 ) 𝜃
atau (4𝜋𝐷(1 − )()
180
Kecepatan
Rumus no ( ) Rumus no ( )
(V)
Debit (Qs) Rumus no ( ) Rumus no ( )
Sumber : Pd T-02-2006-B
Sedangkan untuk nilai angka kekasaran atau manning (n) untuk saluran
berdasarkan bahan materialnya dapat dilihat pada Tabel II.26.
Tabel II.26. Angka Kekasaran Manning (n)
Baik
No. Tipe Saluran Baik Sedang Jelek
Sekali
Saluran Buatan
1 Saluran tanah, lurus teratur 0,017 0,020 0,023 0,025
Saluran Tanah yang dibuat
2 0,023 0,028 0,030 0,040
Excavator
Saluran pada dinding batuan, lurus
3 0,020 0,030 0,033 0,035
dan teratur
Saluran pada dinding batuan, tidak
4 0,035 0,040 0,045 0,045
lurus, tida teratur
Saluran batuan yang diledakan, ada
5 0,025 0,030 0,035 0,040
tumbuh-tumbuhan
Dasar saluran dari tanah, sisi
6 0,028 0,030 0,033 0,035
saluran berbatu
Saluran lengkung, dengan
7 0,020 0,025 0,028 0,030
kecepatan aliran rendah
Saluran Alam
Bersih, lurus, tidak berpasir dan
8 0,025 0,028 0,030 0,033
tidak berlubang
Seperti no. 8 tapi ada timbunan atau
9 0,030 0,033 0,035 0,040
kerikil
Melengkung, bersih, berlubang dan
10 0,030 0,035 0,040 0,045
berdinding pasir
Tabel II.26. Angka Kekasaran Manning (n) (Lanjutan)
Baik
No. Tipe Saluran Baik Sedang Jelek
Sekali
Saluran Alam
Seperti no. 10, dangkal, tidak
11 0,040 0,045 0,050 0,055
teratur
Seperti no. 10, berbatu dan ada
12 0,035 0,040 0,045 0,050
tumbuh-tumbuhan
13 Seperti no. 11, sebagian berbatu 0,045 0,050 0,055 0,060
Aliran pelan, banyak tumbuh –
14 0,050 0,060 0,070 0,080
tumbuhan dan berlubang
15 Banyak tumbuh - tumbuhan 0,075 0,100 0,125 0,150
Saluran Buatan, Beton atau Batu Kali
Saluran pasangan batu, tanpa
16 0,025 0,030 0,033 0,035
penyelesaian
Seperti no. 16 tapi dengan
17
penyelesaian
0,017 0,020 0,025 0,030
keselamatan, keamanan, ketertiban, kelancaran, pengamanan asset jalan, dan
informasi bagi pengguna jalan. Perlengkapan jalan yang ditinjau dalam tugas
akhir ini yaitu :
Rambu
Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 tahun
1993 tentang Prasarana dan Lalu Lintas Jalan (bab 4 pasal 17) rambu terdiri
dari 4 golongan yaitu sebagai berikut:
1) Rambu peringatan
Rambu peringatan digunakan untuk menyatakan peringatan bahaya atau
tempat berbahaya pada jalan. Rambu ini terletak sebelum lokasi/tempat
yang dianggap berbahaya.
2) Rambu larangan
Rambu larangan digunakan untuk menyatakan perbuatan yang dilarang
oleh pengguna jalan.
3) Rambu perintah
Rambu perintah digunakan untuk menyatakan perintah dan wajib
dilakukan oleh pengguna jalan.
4) Rambu petunjuk
Rambu petunjuk digunakan untuk menyatakan petunjuk mengenai
jurusan, jalan, situasi, kota, tempat, pengaturan, fasilitas dan lainya
untuk pengguna jalan.
Marka
Menurut Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor 34 Tahun
2014 tenang marka jalan (Bab 1), marka jalan adalah tanda yang berada di
permukaan atau diatas jalan meliputi peralatan atau tanda dan berfungsi
untuk mengarahkan arus lalu lintas dan membatasi daerah kepentingan lalu
lintas. Terdapat beberapa jenis marka jalan, berikut adalah marka jalan
berupa tanda berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
43 tahun 1993:
1) Marka membujur
Marka membujur yaitu marka jalan yang sejajar dengan sumbu jalan.
Marka membujur meliputi :
(a) Garis utuh merupakan garis utuh berfungsi sebagai larangan bagi
pengguna jalan atau kendaraan melintasi/melewati garis tersebut.
(b) Garis putus – putus merupakan garis putus – putus berfungsi sebagai
pembatas lajur dan mengarahkan arah lalu lintas.
(c) Garis ganda yang terdiri dari garis utuh dan garis putus – putus
berfungsi mengarahkan kendaraan yang berada disisi digaris utuh
dilarang melintasi garis tersebut dan kendaraan yang berada disisi
garis putus – putus diperbolehkan melintasi garis ganda.
(d) Garis ganda utuh berfungsi melarang kendaraan melintasi garis
ganda tersebut.
2) Marka melintang
Garis melintang merupakan marka jalan yang tegak lurus terhadap
sumbu jalan. Marka melintang meliputi:
(a) Marka melintang garis utuh berfungsi sebagai batas berhenti
kendaraan yang diwajibkan kendaraan tersebut berhenti baik oleh
pemberi isyarat lalu lintas ataupun rambu stop.
(b) Marka melintang garis putus – putus berfungsi sebagai batas yang
tidak dapat dilampaui kendaraan ketika memberi kesempatan
kepada yang mendapat hak utama pada persimpangan.
3) Marka serong
(a) Marka serong dengan garis utuh berfungsi untuk menuatakan daerah
yang tidak boleh dimasuki kendaraan.
(b) Marka serong dibatasi dengan rangka garis putus – putus berfungsi
untuk menyatakan kendaraan tidak boleh memasuki daerah sampai
mendapat kepastian selamat.
(c) Marka lambing
Marka lambang berfungsi sebagai pemberitahuan kepada pengguna
jalan yang tidak dapat dinyatakan dengan rambu. Contoh marka
lambang yaitu berupa panah, segitiga, atau tulisan.
4) Marka kotak kuning
Marka kotak kuning berfungsi melarang kendaraan berhenti di suatu
area.
5) Marka lainnya
(a) Garis utuh baik membujur, melintang ataupun serong berfungsi
sebagai batas tempat parkir.
(b) Garis – garis utuh yang membujur tersusun melintang jalan
berfungsi sebagai tempat penyebrangan jalan (Zebra Cross).
(c) Garis utuh yang saling berhubungan merupakan kombinasi garis
melintang dan garis serong yang membentuk garis berbiku – biku
berfungsi sebagai bentuk larangan parkir.
1) Paku jalan
Paku jalan berfungsi sebagai reflector marka jalan dalam keadaan gelap
atau malam hari.
2) Alat pengarah lalu lintas
Alat pengarah lalu lintas berupa kerucut lalu lintas yang tebuat dari
plastic atau karet dan berwarna oranye.
3) Pembagi lajur atau jalur
Pembagi lajur atau jalur berfungsi untuk mengatur lalu lintas dalam
jangka waktu sementara dan untuk melindungi pengguna jalan pada
daerah yang berpotensi kecelakaan.