Anda di halaman 1dari 4

Legenda Putri Hijau

Menurut legenda, dahulu di Kesultanan Deli Lama, sekira 10 km dari


Medan, hidup seorang putri cantik bernama PutriHijau. Kecantikan sang
putri ini tersebar sampai telinga Sultan Aceh sampai ke ujung utara
Pulau Jawa. Sang pangeranjatuh hati dan ingin melamar sang putri.
Sayang, lamarannya ditolak oleh kedua saudara Putri Hijau, yakni
MambangYazid dan Mambang Khayali. Penolakan itu menimbulkan
kemarahan Sultan Aceh.Maka, lahirlah perang antara Kesultanan Aceh
dan Deli. Konon, saat perang itu seorang saudara Putri Hijau menjelma
menjadi ular naga dan seorang lagi menjadi sepucuk meriam yang terus
menembaki tentara Aceh. Sisa “pecahan” meriam itu hingga saat ini ada
di tiga tempat, yakni di Istana Maimoon, di Desa Sukanalu (Tanah Karo)
dan di Deli Tua (Deli Serdang).Pangeran yang seorang lagi yang telah
berubah menjadi seekor ular naga itu, mengundurkan diri melalui satu
saluran dan masuk ke dalam Sungai Deli disatu tempat yang berdekatan
dengan Jalan Putri Hijau sekarang. Arus sungai membawanya ke Selat
Malaka dari tempat ia meneruskan perjalanannya yang terakhir di ujung
Jambo Aye dekat Lhokseumawe, Aceh.
Putri Hijau ditawan dan dimasukkan dalam sebuah peti kaca yang
dimuat ke dalam kapal untuk seterusnya dibawa ke Aceh. Ketika kapal
sampai di ujung Jambo Aye, Putri Hijau mohon diadakan satu upacara
untuknya sebelum peti diturunkan dari kapal. Atas permintaannya, harus
diserahkan padanya sejumlah beras dan beribu-ribu telur. Permohonan
tuan Putri itu dikabulkan.Tetapi, baru saja upacara dimula, tiba-tiba
berhembus angin rebut yang maha dahsyat disusul oleh gelombang
gelombang yang sangat tinggi. Dari dalam laut muncul abangnya yang
telah menjelma menjadi ular naga itu dengan menggunakan rahangnya
yang besar itu, diambilnya peti tempat adiknya dikurung, lalu dibawanya
masuk ke dalam laut. Lagenda ini sampai sekarang masih terkenal
dikalangan orang-orang Deli dan malahan juga dalam masyarakat
Melayudi Malaysia Di Deli Tua masih terdapat reruntuhan benteng dari
Putri yang berasal dari zaman Putri Hijau, sedangkan sisa
meriam,penjelmaan abang Putri Hijau, dapat dilihat di halaman Istana
Maimoon, Medan hingga saat ini.
Dahulu abad 15 dan 16 adalah periode paling berdarah di zona dataran
rendah Aceh, Sumatera Timur, dan semenanjung Malaysia. Empat
kerajaan saling bantai, berkonspirasi, dan saling menaklukkan untuk
memperebutkan kekuasaan pada zona perdagangan internasional yang
kini dikenal dengan Selat Malaka. Di tengah kecamuk perebutan kue
ekonomi itu, pada tepian sungai Deli–tepatnya sekitar 9 km dari
Labuhan Deli–lahirlah sebuah legenda klasik bernama Puteri Hijau.
Legenda Sang Puteri yang selalu digambarkan dengan segala kosakata
kecantikan, bertahan hingga kini dalam dua versi. Versi pertama berasal
dari catatan sejarah yang mirip cerita lisan yang berkembang di
masyarakat Melayu Deli. Versi kedua adalah hikayat dari masyarakat
Karo. Keduanya bertentangan dan kelihatan sekali saling berlomba
menonjolkan identitas dan ego suku masing-masing.Dari versi lisan
Melayu,
Dahulu pernah lahir seorang puteri yang sangat cantik jelita di desa
Siberaya, dekat hulu sungai Petani (sungai Deli). Kecantikannya
memancarkan warna kehijauan yang berkilau dan menjadi kesohor ke
berbagai pelosok negeri, mulai dari Aceh, Malaka, hingga bagian utara
pulau Jawa. Ia kemudian dinamai Puteri Hijau. Dan Sang Puteri
memiliki dua saudara kembar yang dipercaya dapat menjelma menjadi
seekor naga bernama Ular Simangombus dan yang satunya dapat
menjelma menjadi sebuah meriam bernama Meriam Puntung. Si Ular
Simangombus memiliki selera makan yang luar biasa. Ia digambarkan
seakan tidak pernah kenyang. Rakyat Siberaya akhirnya tidak sanggup
lagi menyediakan makanan untuk naga ini, sehingga Sang Puteri
bersama kedua saudaranya memutuskan pindah ke hilir sungai dan
menetap di sebuah perkampungan baru yang sekarang dikenal dengan
nama Deli Tua. Di sini, para pengikutnya membangun benteng yang
kuat. Dengan demikian, negeri itu cepat makmur.Kecantikan Sang Puteri
yang menyebar seperti kabar burung ke segala penjuru, suatu ketika
mendarat di telinga Raja Aceh. Ia lantas tertarik dan mengirim bala
tentara untuk meminang Puteri Hijau. Utusan langsung dikirim. Pantun
bersahut-sahutan. Tapi pinangan ini ditolak dan membuat Raja Aceh
betul-betul dilanda murka. Ia merasa diri dan kerajaannya dihina
sehingga jatuhlah perintah untuk segera menyerang benteng Puteri
Hijau. Tapi karena bentengnya sangat kokoh, pasukan Aceh gagal
menembusnya. Menyadari jumlah pasukannya makin menyusut setelah
banyak yang terbunuh, panglima-panglima perang Aceh memakai siasat
baru. Mereka menyuruh prajuritnya menembakkan ribuan uang emas ke
arah prajurit benteng yang bertahan di balik pintu gerbang. Suasana
menjadi tidak terkendali karena para penjaga benteng itu berebutan uang
emas dan meninggalkan posnya. Ketika mereka tengah sibuk memunguti
uang logam, tentara Aceh menerobos masuk dan dengan mudah
menguasai benteng.Pertahanan terakhir yang dimiliki orang dalam
adalah salah seorang saudara Puteri Hijau, yaitu Meriam Puntung. Tapi
karena ditembakkan terus-menerus, meriam ini menjadi panas, meledak,
terlontar, dan terputus dua. Bagian moncongnya tercampak ke Desa
Sukanalu Simbelang, Kecamatan Barusjahe. Sedangkan bagian sisanya
terlontar ke Labuhan Deli, dan kini ada di halaman Istana Maimoon
Medan. Ia ditawan dan dimasukkan dalam sebuah peti kaca yang dimuat
ke dalam kapal untuk seterusnya dibawa ke Aceh. Ketika kapal sampai
di Ujung Jambo Aye, Putri Hijau memohon diadakan satu upacara
untuknya sebelum peti diturunkan dari kapal. Atas permintaannya, ia
diberikan berkarung-karung beras dan beribu-ribu telur. Tetapi baru saja
upacara dimulai, tiba-tiba berhembuslah angin ribut yang maha dahsyat,
disusul gelombang yang tinggi dan ganas. Dari perut laut muncul
jelmaan saudaranya, Ular Simangombus, yang dengan rahangnya
mengambil peti tempat adiknya dikurung. Lalu Puteri Hijau dilarikan ke
dalam laut dan mereka bersemayam di perairan pulau Berhala. Dan
hingga sekarang kedua kakak beradik ini dipercaya menghuni sebuah
negeri dasar laut di sekitar Pulau Berhala.

Melihat situasi yang tak menguntungkan, Ular Simangombus, saudara


Sang Puteri lainnya, menaikkan Puteri Hijau ke atas punggungnya dan
menyelamatkan diri melalui sebuah terusan (Jalan Puteri Hijau),
memasuki sungai Deli, dan langsung ke Selat Malaka. Dan hingga
sekarang kedua kakak beradik ini dipercaya menghuni sebuah negeri
dasar laut di sekitar Pulau Berhala.
Namun sebuah anak legenda menyebutkan bahwa Puteri Hijau
sebenarnya sempat tertangkap. Ia ditawan dan dimasukkan dalam sebuah
peti kaca yang dimuat ke dalam kapal untuk seterusnya dibawa ke Aceh.
Ketika kapal sampai di Ujung Jambo Aye, Putri Hijau memohon
diadakan satu upacara untuknya sebelum peti diturunkan dari kapal.
Atas permintaannya, ia diberikan berkarung-karung beras dan beribu-
ribu telur. Tetapi baru saja upacara dimulai, tiba-tiba berhembuslah
angin ribut yang maha dahsyat, disusul gelombang yang tinggi dan
ganas. Dari perut laut muncul jelmaan saudaranya, Ular Simangombus,
yang dengan rahangnya mengambil peti tempat adiknya dikurung. Lalu
Puteri Hijau dilarikan ke dalam laut dan mereka bersemayam di perairan
pulau Berhala. Menurut cerita ini, saudara-saudara Puteri Hijau adalah
manusia-manusia sakti yang masing-masing bisa menjelma menjadi
meriam dan naga. Memang, cerita lisan selalu mewariskan banyak versi
sesuai selera masing-masing penceritanya.Kabarnya, setelah di bawa
pergi oleh Saudaranya, Ulat Simangombus. Sang raja Aceh membawa
sebagian hartanya dan orang orang kepercayaannya. Namun, saat sang
Raja pulang. Sang Raja Aceh tidak membawa harta dan para prajurit
pilihannya.

Anda mungkin juga menyukai