Anda di halaman 1dari 19

‫ َم ْن َكانَ يُؤْ ِم ُن‬:‫سلَّ َم قَا َل‬ َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو‬

َ ِ‫س ْو َل هللا‬ ُ ‫ي هللاُ َع ْنهُ أ َ َّن َر‬َ ‫ض‬ ِ ‫َع ْن أَبِي ُه َري َْرة َ َر‬
‫اآلخ ِر فَ ْليُ ْك ِر ْم‬
ِ ‫ َو َم ْن َكانَ يُؤْ ِم ُن بِاهللِ َواْليَ ْو ِم‬،‫ت‬ ْ ‫ص ُم‬ْ َ‫اآلخ ِر فَ ْليَقُ ْل َخيْرا ً أ ً ْو ِلي‬
ِ ‫بِاهللِ َو ْاليَ ْو ِم‬
]‫ [رواه البخاري ومسلم‬.ُ‫ض ْيفَه‬ َ ‫اآلخ ِر فَ ْليُ ْك ِر ْم‬
ِ ‫ َو َم ْن َكانَ يُؤْ ِم ُن ِباهللِ َو ْاليَ ْو ِم‬،ُ‫اره‬ َ ‫َج‬
Dari Abu Hurairah radhiallahuanhu, sesungguhnya Rasulullah shallallahu`alaihi wa sallam
bersabda, "Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah dia berkata baik atau diam,
siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah dia menghormati tetangganya dan
barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia memuliakan tamunya"
(Riwayat Bukhari dan Muslim)

Dari Abu Hurairah r.a., bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan
Hari Kiamat hendaklah dia berkata yang baik atau diam. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan
Hari Kiamat hendaklah dia memuliakan tetangganya. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari
Kiamat hendaklah dia memuliakan tamunya”
(HR. Bukhari dan Muslim).

BAGIAN I

PENDAHULUAN

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas berbagai nikmat yang senantiasa dilimpahkan
kepada kita tiada henti dan tanpa perhitungan. Shalawat dan salam semoga tercurah bagi manusia
pilihan akhir jaman, pembimbing manusia menuju cahaya, dan pembebas manusia dari kegelapan
dan perbudakan sesama manusia, dialah Muhammad SAW.

Memperhatikan hadits ke 15 dari kitab hadits Arbain tersebut di atas akan kita dapatkan 3 (tiga) hal
yang behubungan erat dengan kehidupan setiap individu muslim. Ketiga hal tersebut adalah: (i)
bertutur kata dengan baik, (ii) bertetangga dengan baik, (iii) menerima tamu dengan baik. Ketiganya
dapat menumbuhkan perasaan kasih dan sayang antar sesama terutama sesama kaum muslim.
Menariknya ketiga hal tersebut masing-masing didahului dengan syarat mutlak yang harus dipenuhi
yaitu keimanan kepada Allah dan keimanan kepada Hari akhir/Kiamat.

Dalam bahasan tentang hadits ke-15 tersebut akan diuraikan tentang ketiga hal tersebut satu demi
satu kemudian dikaitkan korelasi antara ketiganya. Namun sebelum membahas ketiga hal tersebut
terlebih dahulu akan diuraikan tentang Keimanan kepada Allah dan Hari Akhir secara singkat sesuai
dengan kebutuhan dalam pembahasan makalah ini.

Iman kepada Allah dan hari akhir merupakan rukun iman yang paling agung. iman kepada keduanya
dan kepada rukun iman lainnya merupakan poros istiqomah. Oleh karena pentingnya kedua rukun
iman ini maka Allah SWT pada banyak ayat Al-Qur’an meggandengkan keduanya selain keimanan
kepada Rasul-Nya. (QS 2: 62; 9: 19, 45, 99; 65: 2; 24:2).
Bertutur kata dengan baik dan menjauhkan diri dari perkataan dan ataupun perbuatan yang tidak
berguna merupakan salah satu ciri seorang muslim sejati. Dia tidak ingin energinya terbuang dengan
percuma karena dia meyakini apa yang diucapkan dan dilakukan akan tercatat dalam catatan amal
dan berpengaruh dalam timbangan amal pada yaumil akhir kelak. Yang tentunya dia tidak ingin merugi
dengan tindakan yang dilakukannya itu. Untuk itu dalam bahasan mengenai hal ini akan diuraikan
tentang persoalan tutur kata, baik yang dipuji maupun dibenci (bahaya lisan).

Bertetangga dengan baik adalah konsekuensi sebagai makhluk sosial. Manusia tidak akan dapat hidup
tanpa bantuan orang lain. Dan manusia siapapun dia akan merasa tidak aman/ nyaman manakala ia
tidak baik dengan lingkungannya atau sebaliknya. Untuk itu dibutuhkan sikap yang baik dalam
melakukan hubungan sosial terutama dimana kita tinggal. Lingkungan dimana kita tinggal semestinya
“merasakan” kehadiran kita dengan berbuat baik kepada lingkungan (tetangga) disekitar kita. Al-
Qur’an (QS 4: 36) bahkan memerintahkan kita untuk berbuat baik yang salah satunya kepada tetangga
(yang dekat atau yang jauh). Berkaitan dengan hal itu dalam pembahasannya nanti akan dikemukakan
tentang apa dan siapa itu tetangga, sehingga kita dapat memahami dan berperan nyata dalam
lingkungan dimana kita tinggal.

Tamu merupakan orang yang mengunjungi rumah kita baik yang dengan sengaja kita undang atau
yang mempunyai keperluan dengan kita maupun tidak dan pantas untuk kita terima dengan sopan.
Berbuat baik dengan tamu bukan hanya dalam masalah penyambutan dan jamuan saja, namun juga
menyangkut perlindungan diri dari Tamu tersebut dari gangguan yang mungkin timbul. Memuliakan
tamu berarti telah menjalankan salah satu wasiyat Rasulullah SAW, seperti pada hadits di atas.

Kita berharap bahwa apa yang disampaikan ini dapat menyadarkan bahwa apa yang kita lakukan amat
bergantung pada keimanan kepada Allah dan berharap dan takut akan balasan yang akan diterima
pada hari penghisaban kelak. Untuk itu semoga Allah memberi kekuatan pada kita untuk senantiasa
berkata yang baik terutama dalam menerima tamu dan melakukan hubungan sosial dengan tetangga
disekitar kita.

Sesungguhnya Allah Mahaagung dan Mahakuasa untuk semua itu.

Muhamad Suharto

BAGIAN II

KEIMANAN KEPADA ALLAH DAN HARI (AKHIR) KIAMAT


Iman kepada Allah seringkali disandingkan dengan iman kepada hari akhir. Yang menunjukkan betapa
pentingnya keimanan kepada keduanya. Hal ini menandaskan pula bahwa barang siapa yang tidak
beriman kepada hari akhir tidak mungkin beriman kepada Allah, karena orang yang tidak beriman
kepada hari akhir tidak akan beramal. Seseorang tidak beramal, kecuali dengan landasan kemuliaan
yang diharapkannya di hari akhir dan hukuman serta azab yang ditakutkannya.

Dengan diulang-ulangnya keimanan kepada Allah dan hari akhir pada setiap bagian dari hadits di atas
menunjukkan bahwa keimanan kepada keduanya tidak mungkin dipisahkan dalam kehidupan sosial
kita. Kita menyadari bahwa tanpa keimanan kepada Allah maka amal kita tidak akan ada artinya, dan
tanpa keimanan kepada hari akhir tak mungkin kita akan melakukan kebaikan pada orang lain kecuali
berdasarkan untung rugi keduniaan bukan atas pertimbangan timbangan amal kebaikan.

2.1 Keimanan kepada Allah

Seorang muslim beriman kepada Allah dalam arti membenarkan eksistensi Allah, bahwa Allah pencipta
langit dan bumi, bahwa Allah mengetahui alam ghaib dan alam nyata, bahwa Allah Tuhan segala
sesuatu sekaligus pemilikNya, bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Dia, bahwa Allah
maha agung dan Maha Tinggi yang bersifatkan seluruh kesempurnaan, dan bersih dari semua
kekurangan,

Iman kepada Allah merupakan rukun iman yang pertama dan utama, karena seluruh aktifitas muslim
harus bermuara pada keimanan ini. Tanpa keimanan kepada Allah manusia akan jatuh kepada
kekufuran, kebinasaan dan kenestapaan karena manusia tidak memahami jalan/ petunjuk dalam
meniti kehidupan di dunia. Bagi seorang yang beriman, keimanan kepada Allah merupakan syarat
diterimanya amal yang dilakukannya. Jadi Sebaik/ sebagus/ sebanyak apapun amal yang dilakukannya
hanya akan menjadi fatamorgana manakala tidak mengimani Allah SWT. Hal ini tercermin dalam
firman Allah SWT: “Dan kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu kami jadikan amal itu
(bagaikan)debu yang berterbangan”. (QS Al-Furqon (25) : 23), juga firmanNya: “Dan orang-orang
kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh
orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apapun.
Dan didapatinya (ketetapan) Allah disisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal
dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya“(QS An-Nur (24): 23) jo QS 47: 8-9,
28,32; QS 2: 167; QS 3: 22; QS 5: 53.

Dari ayat-ayat tersebut mengindikasikan bahwa amal orang-orang kafir TIDAK akan diperhitungkan
sama sekali oleh Allah SWT, kecuali bagi mereka yang bertaubat, maka amal-amal mereka yang dalam
masa kekafiran akan dicatat dalam Islam sebagai ‘amal kebajikan. Hal ini sesuai dengan firman-Nya:
Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu: "Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya
Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu; dan jika mereka kembali
lagi sesungguhnya akan berlaku (kepada mereka) sunnah (Allah tenhadap) orang-orang dahulu." (QS
Al-Anfal (8): 38). Dengan demikian amal-amal yang dilakukan semasa kafir akan diberi pahala oleh
Allah SWT. Dalam hadits Nabi perihal tersebut juga digambarkan berdasarkan riwayat yang
menyebutkan bahwa Hakim bin Hizam pernah bertanya kepada Rasulullah SAW: ”Apa pendapat tuan
tentang hal-hal yang aku niatkan sebagai ibadah semasa Jahiliyah, apakah aku berhak mendapatkan
sesuatu (pahala) padanya? Kemudian Rasulullah SAW bersabda kepadanya: “Engkau masuk Islam
bersama dengan kebajikan yang dahulu engkau kerjakan”” (Muttafaq ‘alaih).

2.2 Keimanan kepada Hari Akhir (Qiyamah)

Seorang Muslim meyakini bahwa dunia ini mempunyai saat terakhir dimana ia berhenti padanya, dan
mempunyai hari lain yang penghabisan, kemudian datanglah kehidupan kedua, yaitu hari lain di negeri
akhirat. Hari akhir atau hari qiyamah, menunjukkan berakhirnya existensi dunia dan isinya, hari disaat
Allah SWT membangkitkan seluruh makhluk hidup untuk di hisab dan menerima balasan amal
perbuatannya selama di dunia. Orang-orang baik dibalas dengan kenikmatan abadi di syurga, dan
orang-orang jahat dibalas dengan siksa yang menghinakan di neraka. Secara detail Al-qur’an telah
menggambarkan proses kehancuran dunia sampai dibalasnya manusia berdasarkan amal-amal yang
telah mereka kerjakan. “Maka apabila sangkakala ditiup sekali tiup, dan diangkatlah bumi dan gunung-
gunung, lalu dibenturkan keduanya sekali bentur, Maka pada hari itu terjadilah hari kiamat, dan
terbelahlah langit, karena pada hari itu langit menjadi lemah. Dan malaikat-malaikat berada di
penjuru-penjuru langit. Dan pada hari itu delapan orang malaikat menjunjung 'Arsy Tuhanmu di atas
(kepala) mereka. Pada hari itu kamu dihadapkan (kepada Tuhanmu), tiada sesuatupun dari
keadaanmu yang tersembunyi (bagi Allah). Adapun orang-orang yang diberikan kepadanya kitabnya
dari sebelah kanannya, maka dia berkata: "Ambillah, bacalah kitabku (ini)." Sesungguhnya aku yakin,
bahwa sesungguhnya aku akan menemui hisab terhadap diriku. Maka orang itu berada dalam
kehidupan yang diridhai, dalam syurga yang tinggi, buah-buahannya dekat, (kepada mereka
dikatakan): "Makan dan minumlah dengan sedap disebabkan amal yang telah kamu kerjakan pada
hari-hari yang telah lalu." Adapun orang yang diberikan kepadanya kitabnya dari sebelah kirinya, maka
dia berkata: "Wahai alangkah baiknya kiranya tidak diberikan kepadaku kitabku (ini). Dan aku tidak
mengetahui apa hisab terhadap diriku. Wahai kiranya kematian itulah yang menyelesaikan segala
sesuatu. Hartaku sekali-kali tidak memberi manfaat kepadaku. Telah hilang kekuasaanku daripadaku."
(Allah berfirman): "Peganglah dia lalu belenggulah tangannya ke lehernya. Kemudian masukkanlah
dia ke dalam api neraka yang menyala-nyala. Kemudian belitlah dia dengan rantai yang panjangnya
tujuh puluh hasta. Sesungguhnya dia dahulu tidak beriman kepada Allah Yang Maha Besar. Dan juga
dia tidak mendorong (orang lain) untuk memberi makan orang miskin. Maka tiada seorang temanpun
baginya pada hari ini di sini. Dan tiada (pula) makanan sedikitpun (baginya) kecuali dari darah dan
nanah. Tidak ada yang memakannya kecuali orang-orang yang berdosa. (QS Al-Haaqoh (69): 13- 37)
BAGIAN III
BARANGSIAPA YANG BERIMAN KEPADA ALLAH DAN HARI KIAMAT

HENDAKLAH DIA BERKATA YANG BAIK ATAU DIAM

Pada hadits Arbain hadits ke-15 ini ada hal yang membutuhkan perhatian lebih lanjut, hadits di atas
seolah-olah berbicara begitu amat pentingnya menjaga lisan dan begitu utamanya mengeluarkan
ucapan yang baik sehingga penempatan “berkata yang baik atau diam” ditempatkan lebih dahulu dari
pada berbuat baik pada tetangga dan tamu. Hadits ini seolah-olah ingin menjelaskan bahwa apabila
bertutur kata yang baik dan tidak banyak bicara serta tahu kapan saatnya bicara sudah menjadi sikap
dan kebiasaan dalam keseharian kita maka secara otomatis penghormatan kepada yang lainnya akan
mudah dilakukan. Bukankah salah satu “keberhasilan” dalam hidup bertetangga amat ditentukan oleh
sejauhmana dapat memilah dan memilih kata-kata yang akan kita ucapkan?. Dan bukankah
permasalahan yang timbul dalam hubungan bertetangga lebih disebabkan oleh kata-kata yang kurang
bijak yang keluar dari mulut kita? Maka amat tepatlah bila “berkata yang baik atau diam” diletakkan
lebih dahulu dari yang lainnya. Dan dalam hal menerima atau bertamupun amat ditentukan oleh tutur
kata yang baik dan sopan?

Dalam bahasan tentang “Barang sipa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah dia berkata
yang baik atau diam” akan diuraikan tentang beberapa hal yang berkaitan dengan lisan, antara lain;
Mulut benteng terbesar manusia, pentingnya menjaga lisan, empat kriteria perkataan, contoh-contoh
perkataan yang baik dan buruk.

3.1 Mulut Benteng Terbesar Manusia

Mulut yang hanya berukuran tidak seberapa ternyata merupakan benteng manusia yang penting
dalam kehidupan, sehingga Syetan dan bala tentaranya berusaha untuk menguasainya. Ibnul
Qayim[1] bercerita tentang perintah Raja Syetan kepada para pengikutnya agar menerobos batas
wilayah mulut karena mulut adalah benteng terbesar manusia. Kemudian menyuruh pengikutnya agar
menyeret manusia untuk mengatakan yang berbahaya dan tidak bermanfaat bagi dirinya. Kemudian
memerintahkan agar melalaikan manusia dari berzikir, beristighfar, membaca Al-Qur’an, menasehati
dalam kebenaran, dan membicarakan ilmu yang bermanfaat. Kalau hal tersebut berhasil, maka akan
didapat keuntungan bagi Syetan, yaitu : (i) manusia akan senantiasa mengatakan yang bathil, dan
bila sudah seperti ini maka orang tersebut adalah saudara/ bala tentara/ pasukan syetan yang terkuat;
(ii) manusia akan diam dalam kebenaran, karena sesungguhnya orang yang diam dan tidak
menyampaikan kebenaran adalah SYETAN yang BISU. Dan tipe orang seperti inilah yang paling
bermanfaat bagi syetan. Syetan memerintahkan agar menghiasi manusia dalam membicarakan
kebatilan, dan menakut-nakuti dalam membicarakan kebenaran dengan segala cara.

Dari uraian tersebut dapatlah kita simpulkan bahwa mulut adalah tempat yang amat penting dalam
menentukan kebaikan atau keburukan siapapun. Perhatikan ketika Allah memerintahkan Iblis untuk
sujud pada Adam, namun dia menolak dan mengatakan aku (Iblis) lebih baik dari Adam, aku terbuat
dari api dan dia Adam dari tanah. Dan demikianlah manusia tergelincir masuk ke neraka jahannam
disebabkan oleh apa yang keluar dari mulutnya. Dan banyak orang yang masuk ke Jannatun naim
juga karena apa yang keluar dari mulutnya.

3.2 Pentingnya Menjaga Lisan

Firman Allah SWT:


(yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan
yang lain duduk di sebelah kiri. Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya
malaikat pengawas yang selalu hadir. (QS Qof (50): 17-18)

Ayat di atas mengisyaratkan kepada kita pentingnya menjaga dan memperhatikan perkataan yang
keluar dari lisan kita, sebab apa yang keluar dari lisan kita senantiasa dicatat oleh Malaikat yang bisa
saja dari perkataan yang kita ucapkan pada akhirnya nanti menjadi penyesalan bagi diri sendiri. Itulah
sebabnya mereka-mereka yang bijak begitu khawatir terhadap lidahnya sehingga sangat berhati-hati
sekali dalam mengeluarkan perkataan dari lisannya karena kekhawatiran akan menjerumuskannya ke
dalam neraka. Perhatikanlah beberapa ucapan mereka perihal lisan.
 Mas’ud berkata: “Aku peringatkan kalian dari kelebihan pembicaraan kalian, cukuplah seseorang
berbicara sebatas keperluannya”.
 Umar ra berkata, “Janganlah kamu menyinggung apa yang tidak bermanfaat bagimu, jauhilah
musuhmu, berhati-hatilah dengan temanmu dari suatu kaum kecuali dia orang yang bisa dipercaya,
tiada orang yang dapat dipercaya kecuali orang yang takut kepada Allah, janganlah berteman
dengan seseorang sehingga kamu akan belajar dari kekejiannya, janganlah membuka rahasiamu
terhadapnya, mintalah nasehat dalam urusanmu kepada orang-orang yang takut kepada Allah”
 Thawus berkata, “ Lisanku adalah laksana binatang buas, jika aku melepaskannya maka ia akan
memangsaku”.
 Muhammad bin Wasi berkata, “ Menjaga lisan lebih berat bagi manusia daripada menjaga uang
dinar dan dirham”.
 Ibnu Umar ra berkata, “ Sesungguhnya sesuatu yang paling berhak untuk disucikan adalah lisan”.
 Umar Bin Abdul Aziz berkata, “Sesungguhnya yang mencegahku dari banyak bicara adalah takut
merasa hebat”
Demikianlah kekhawatiran mereka, sehingga mereka begitu amat sangat berhati-hati dalam
mengeluarkan ucapan, baik yang bermanfaat maupun yang mengandung unsur-unsur yang subhat.

3.3 Apakah Setiap perkataan baik itu Baik?

Berkata yang baik saja tidak senantiasa disebut sebagai suatu kebaikan, apabila hal itu dilakukan
dengan amat berlebihan dan tidak ada aksi sama sekali. Berlebihan dalam berbicara merupakan sikap
yang tercela, yaitu yang meliputi pembicaraan yang tidak bermanfaat dan menambah pembicaraan
yang bermanfaat hingga melebihi keperluan. Karena orang yang berkepentingan terkadang cukup
dengan pembicaraan yang singkat dan terkadang perlu pengulangan. Jika maksudnya telah
tersampaikan dengan satu kalimat tetapi diungkapkan dengan dua kalimat maka kalimat kedua adalah
kelebihan – yakni melebihi keperluan. Hal ini juga tercela sekalipun tidak mengandung dosa dan
bahaya.

Sementara itu, perkataan yang baik yang dilakukan tanpa aksi sama sekali adalah sesuatu yang amat
dicela dan dibenci oleh Allah SWT. Yaitu orang-orang yang menganjurkan kebaikan kepada orang lain,
sementara dirinya justru menjauh dari apa yang dikatakannya itu[2]. Bahkan kepada orang yang
berimanpun Allah begitu benci apabila mengatakan sesuatu kebaikan padahal tidak
mengerjakannya[3].

Diantara kewajiban utama manusia dalam urusan lidah adalah menggunakannya dalam dakwah
kepada kebaikan, amar ma’ruf, nahi munkar, mendamaikan persengketaan, dan menyerukan
kebaikan dan taqwa bukan sebaliknya menggunakannya untuk hal-hal yang tidak berguna atau
berlebihan dalam berbicara bahkan bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam.

3.4 Empat kriteria Perkataan[4]

Apa yang keluar dari mulut kita berupa ucapan pada hekekatnya dapat dikelompokkan menjadi
beberapa bagian, yang pada intinya terdiri dari 4 (empat) hal berikut ini: Pertama, Ucapan yang
seluruhnya mengandung mudharat; kedua, Ucapan yang seluruhnya mengandung
manfaat; ketiga, ucapan yang mengandung manfaat maupun mudharat; keempat, Ucapan yang
tidak mengandung manfaat ataupun mudharat.

Terhadap ucapan yang seluruhnya mengandung mudharat, maka kita harus menjaga diri daripadanya,
demikian pula yang aspek mudharatnya lebih banyak dari aspek manfaatnya. Sedangkan ucapan yang
tidak mengandung manfaat dan tidak mengandung mudharat, maka menyibukkan diri terhadap hal
itu hanya membuang waktu semata. Tiga dari empat macam perkataan telah nyata kerugiannya,
sehingga tinggallah satu yang terakhir yang jelas-jelas manfaatnya, perkataan yang aspek manfaatnya
lebih besar dari aspek mudharatnya. Inilah jenis perkataan yang harus dibiasakan dan hendaknya
manusia menyibukkan diri dengannya. Sebab didalamnya terkandung tazkiyatun nafs (penyucian
jiwa), dan membersihkan diri dari riya’, serta yang lainnya.

3.5 Jenis-jenis Perkataan yang baik dan buruk

Mengetahui perkataan yang baik tidak lain dimaksudkan agar kita terbiasa dengan ucapan-ucapan
tersebut sehingga melalaikan kita dari ucapan-ucapan yang buruk, sementara mengetahui perkataan
yang buruk tidak lain agar kita terhindar dari keinginan mengucapkannya dan seperti kata orang bijak
yang menyatakan: “aku mengetahui keburukan bukan untuk keburukan, tetapi untuk menghindarinya.
Siapa yang tidak mengetahui keburukan pasti terjatuh kedalamnya”.

Perkataan yang baik


Pada bahasan perkataan yang baik hanya akan disebutkan secara ringkas contoh-contoh perkataan
yang baik yang menjadi kewajiban lidah[5] untuk senantiasa melaksanakannya,
sebagai berikut: Berkata jujur, amar ma’ruf, nahi munkar, berkata baik, mengecam orang-orang yang
menyesatkan, berkata tegas karena Allah, memohon perlindungan kepada Allah pada saat
menghadapi godaan syetan, menunaikan kalimat Allah, menunaikan kesaksian, mendamaikan
diantara manusia, mengajari orang yang bodoh, mengingatkan, membimbing orang yang sesat,
menyebutkan nikmat, zikir, tilawah al-qur’an, membaca shalawat atas Nabi saw, berdoa, perkataan
yang ma’ruf, istighfar, mendo’akan saudara disaat tidak ada dihadapannya, mengajak kepada jalan
Allah, adzan dan iqomah, membaca do’a qunut, membaca basmalah pada saat memulai makan,
menyebarkan salam, menjawab salam, mendo;akan orang yang sakit, mendo;akan kaum mu’minin,
menjawab adzan, memohon pertolongan, mengajari anak, memohon kesehatan, mengucapkan dua
kalimat shahadat, menghukum dengan adil, membenarkan orang yang harus dibenarkan,
memerintahkan para pemimpin dengan apa yang seharusnya mereka perintahkan kepada ummat,
mengajarkan ilmu-ilmu syariat, memuji Allah, membaca bacaan-bacaan shalat, membaca bacaan haji,
menyampaikan kabar gembira, menyampaikan ucapan selamat, bermusyawarah, berbicara jelas
terhadap orang yang diajak bicara, mengucapkan “saya dengar dan saya taati” kepada hakim atau
mufti yang memanggilnya, menunjukkan kebaikan, ekonomis dalam menyampaikan nasihat dan ilmu,
meminta maaf kepada orang yang hadiahnya harus ditolak sesuai dengan tuntutan syariat,
mendo’akan orang yang berbuat kebaikan, berlepas diri dari ahli bid’ah dan maksiat, memanggil
orang-orang yang memiliki keutamaan dengan penggilan yang mereka sukai, meminta izin untuk
membaca kitab-kitab “Rasa’il”, dzikir-dzikir disyariatkan dalam berbagai ibadah dan kebiasaan.

Perkataan yang buruk


Pada uraian tentang perkataan yang buruk akan disebutkan contoh-contohnya saja yang amat
banyak jenisnya, berikut ini akan dikemukakan secara ringkas perihal kata-kata yang buruk[6] beserta
maksud dari kata tersebut; antara lain: Bohong/ Dusta/ Kadzab . “tanda-tanda orang munafik itu
ada tiga, jika berkata dia berdusta, jika berjanji tidak menepati dan jika dipercaya mengkhianati” (HR
Bukhari); Ghibah : secara bahasa berarti tidak kelihatan (Ghaib), menurut terminology syariat,
Ghibah adalah, kamu menyebut saudaramu dengan sesuatu yang tidak
disenanginya; Namimah: Secara etimologi adalah memberitakan sesuatu. Adapun dalam
terminology syariat adalah menyebarkan fitnah kepada orang lain atau menyampaikan ucapan
sebagian orang kepada yang lain untuk mengadu domba atau untuk meretakan hubungan mereka
(Qs 68:10-11); Hamzun (Mengumpat) dan Lamzun (Mencela): Hamzun bermakna Ghibah,
sedangkan Lamzun adalah memfitnah dan menyebutkan aib, terkadang juga bermakna mengadu
domba. Imam Al Thabari berkata, “lamzun dilakukan dengan tangan, mata, lisan dan isyarat,
sedangkan hamzun dilakukan dengan lisan(QS 104: 1); Sukhriyah (Ejekan): Ejekan adalah
menertawakan dan menghina (QS 23: 109-110); Memberi Gelar Yang Jelek: Saling memanggil
dengan gelar yang tidak disukai bila didengarnya. (QS Al-Hujurat (49): 11); (Suudzhon - Prasangka
(Buruk)): QS 49: 12, Prasangka yang dimaksud dalam ayat ini adalah prasangka buruk/ su’udzhon.
Sabda Nabi “ Jauhilah oleh kalian prasangka, sesungguhnya prasangka adalah perkataan yang paling
bohong, janganlah mencari keburukan orang lain, janganlah mencari kesalahan orang lain, janganlah
saling iri dengki, janganlah saling membelakangi, dan janganlah saling benci membenci. Jadilah kalian
hamba-hamba Allah yang bersaudara”(HR Bukhari); Kasar Dan Buruk Dalam Bicara: QS 31:
19; Mencaci Zaman :Sabda Nabi “Allah Berfirman, ”Aku tersakiti oleh anak Adam, dia memaki zaman
dan akulah pemilik dan pencipta zaman. Kekuasaan ada pada tangan-Ku, aku membalikkan malam
dan siang”; Lihat QS An-Naml (6): 47; Bermuka Dua: Sabda Nabi “Kamu akan mendapati orang
yang paling jelek pada hari kiamat di sisi Allah yaitu orang yang mempunyai dua wajah, yaitu orang
yang mendatangi mereka dengan satu wajah dan mendatangi yang lainnya dengan satu wajah” (HR
Bukhari); Mira’ : Mira’ adalah perdebatan. Yang dimaksud adalah perdebatan kosong dan hampa
yang tidak membuahkan apa-apa. Sabda Nabi “ Aku adalah pemimpin rumah di pinggir surga bagi
orang yang meninggalkan perdebatan meskipun dia benar. Aku adalah pemimpin rumah di tengah-
tengah surga bagi orang yang meninggalkan dusta meskipun dia bergurau. Aku adalah pemimpin
rumah di tempat paling tinggi di surga bagi orang-orang yang baik akhlaknya” (HR Abu Dawud); Lihat
juga QS Al-Qoshosh (28): 55; Riya’ : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan
(pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti
orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah
dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah,
kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak
menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang yang kafir (QS Al Baqarah (2): 264); Sabda Nabi: “ Tidak masuk surga orang yang
menyebut-nyebut sedekahnya, orang yang durhaka dan orang pecandu Khamr) HR Nasai; Senang
Dengan Penderitaan Orang Lain: Senang dengan cobaan yang menimpa orang yang memusuhi
atau kita musuhi termasuk akhlak yang tercela Seorang mukmin adalah orang yang berhati jernih,
berdada lapang, tidak menyimpan iri dan dengki kepada orang lain. “ Janganlah memperlihatkan
kegembiraanmu atas musibah yang menimpa sudaramu, maka Allah akan mengasihinya dan
mengujimu” (HR Al-Tirmidzi); Menyebutkan Aib Orang Lain : Menyebutkan aib dan kejelekan
sesama saudara yang tidak tampak sangat dilarang dalam Islam. Karena pada dasarnya orang muslim
bila melihat aib sesame saudara muslim maka dia akan menutupinya. Sabda nabi SAW: “ barangsiapa
melapangkan seorang muslim dari kesusahan dunia, maka Allah akan melapangkan nya dari
kesusahan di hari kiamat. Dan barangsiapa yang memudahkan atas orang yang mengalami kesulitan,
maka Allah akan memudahkannya didunia dan akhirat. Dan barangsiapa yang menutupi aib seorang
muslim, maka Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat. Allah akan menolong hamba selama
hamba itu menolong saudaranya” (HR Muslim); Pembicaraan Yang Berlebihan: Pembicaraan yang
berlebihan dan tidak dibutuhkan (tidak berguna) amat dicela baik oleh Allah, Rasululloh dan orang-
orang yang beriman. Maka itu Islam mengajarkan ummatnya untuk menjauhi hal-hal yang tidak
berguna, seperti dalam Firman-Nya (QS Al-Mu’minun (23): 3) “dan orang-orang yang menjauhkan diri
dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna”; Kata-Kata Yang Dilarang Oleh Syariat: -
sumpah dengan Nama selain Allah, - sumpah dengan Nama Nabi, - Ucapan kalau bukan karena Allah
dan kamu, - dll

3.6 Perkataan penentu Syurga atau Neraka

Tanpa disadari ternyata apa yang diucapkan yang keluar dari mulut bisa menyebabkan kita terjerumus
ke dalam neraka atau menempati surga jannatun naim. Rasulullah SAW ditanya tentang sesuatu yang
paling banyak memasukkan orang ke dalam surga, lalu beliau bersabda: Taqwa kepada Allah dan
Akhlak yang baik”, dan beliau ditanya tentang sesuatu yang paling banyak memasukkan orang ke
dalam neraka, kemudian beliau bersabda: “dua hal yang kosong: Mulut dan kemaluan”.(HR Tirmidzi
dan Ibnu Majah). beliau juga bersabda: “Siapa yang menjamin untukku apa yang ada diantara dua
janggutnya dan dua kakinya maka aku menjamin untuknya surge” (HR Bukhari). Betapa pentingnya
lidah sehingga membuat takut orang-orang yang memiliki keimanan yang tinggi. Diriwayatkan bahwa
Umar bin Khatab ra melihat Abu Bakar ra sedang menarik lidahnya dengan tangannya, lalu Umar
bertanya: “Apa yang engkau perbuat wahai Khalifah Rasulullah Saw? Abu Bakar ra menjawab: “Inilah
yang menyeretku kedalam kehancuran, sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda: “Tidak satupun dari
jasad manusia kecuali pasti akan mengadukan lidah kepada Allah atas ketajamannya”[7]

Al-Qur’an banyak mewartakan kepada kita akibat dari perkataan-perkataan yang tidak benar kepada
Allah yaitu Allah akan memasukkannya ke dalam Neraka dan menjadikannya menyesal atas apa yang
diperbuatnya. Perhatikanlah salah satu firman Allah berikut ini: “Dan orang-orang kafir berkata: "Kami
sekali-kali tidak akan beriman kepada Al Quran ini dan tidak (pula) kepada kitab yang sebelumnya."
Dan (alangkah hebatnya) kalau kamu lihat ketika orang-orang yang zalim itu dihadapkan kepada
Tuhannya, sebahagian dari mereka menghadap kan perkataan kepada sebagian yang lain; orang-
orang yang dianggap lemah berkata kepada orang-orang yang menyombongkan diri: "Kalau tidaklah
karena kamu tentulah kami menjadi orang-orang yang beriman." (QS As-Saba (34) : 31).
Terkadang seseorang mengucapkan kata-kata tanpa difikirkan dan tanpa dipertimbangkan sebelumnya,
sehingga melahirkan kerugian dan penyesalan. Sabda Nabi SAW: “Sesungguhnya seorang hamba
benar-benar menngucapkan kata-kata tanpa difikirkan yang menyebabkan dia tergelincir ke dalam
neraka yang jaraknya lebih jauh antara Timur dan Barat” (Muttafaqun alaih). Bila ucapan bisa menjadi
penyebab lahirnya murka Allah SWT, maka ucapanpun bisa mengundang keridhoan-Nya. Nabi SAW
bersabda: “sesungguhnya seorang hamba mengucapkan kata-kata yang mengundang keridhoan Allah,
dan tidak diperhatikan orang maka Allah mengangkat derajatnya dengan ucapannya itu. Dan seorang
hamba mengucapkan kata-kata yang mengandung kemurkaan Allah, dan tidak diperhatikan orang
lalu dia terjerumus ke dalam neraka jahannam”.

Jadi jelaslah bahwa keselamatan seorang hamba tergantung pada pemeliharaan lidahnya dari
kejelekannya. Untuk itu perhatikanlah apa yang akan keluar dari mulut kita, seperti Nasehat dari
Hasan Al-Bashri: “Sesungguhnya lidah orang mukmin berada dibelakang hatinya; apabila ingin
berbicara tentang sesuatu maka ia merenungkannya dengan hatinya kemudian lidahnya
menunaikannya. Sedangkan lidah orang munafiq berada didepan hatinya; apabila menginginkan
sesuatu maka ia menunaikannya dengan lidah dan hatinya”

BAGIAN IV
BARANGSIAPA YANG BERIMAN KEPADA ALLAH DAN HARI KIAMAT

HENDAKLAH DIA MEMULIAKAN TETANGGANYA

Siapakah yang disebut tetangga itu? Tetangga menurut syariat adalah sesuai dengan pengertian adat,
artinya kapan secara adat dinilai sebagai tetangga maka dinilai sebagai tetangga juga oleh syariat.
Kaidah menyatakan semua istilah yang ada dalam syariat dan tidak ada batasannya secara syariat
dan bahasa maka pengertiannya dikembalikan kepada adat. Dalam salah satu riwayat[8] disebutkan
bahwa yang disebut tetangga adalah empat puluh rumah di depan, belakang, sisi kanan dan kiri
rumah kita.

4.1 Hak-hak Tetangga.

Orang muslim meyakini bahwa tetangga mempunyai hak-hak atas dirinya yang harus dijalankan
seseorang terhadap tetangganya dengan sempurna berdasarkan dalil-dalil Qur’an dan Sunnah; Firman
Allah:
Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat
baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga
yang dekat dan tetangga yang jauh[9], dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan
diri, (QS An-Nisa (4): 36)

Sabda Rasulullah SAW:

“Jibril tidak henti-hentinya berwasiat kepadaku agar berbuat baik pada tetangga, hingga aku
beranggapan bahwa ia akan mewarisi” (Muttafaq ‘alaih).

Dari ayat dan hadits di atas memberikan indikasi bahwa tetangga memiliki hak yang harus kita
tunaikan sebagai tindak lanjut perintah langsung baik dari Allah maupun Rasulullah Saw. Hak yang
paling utama yang harus didapatkan tetangga adalah tetangga mendapatkan kebaikan dari kita dalam
segala hal. Untuk lebih jelasnya hak-hak tetangga dapat dilihat pada masalah etika terhadap tetangga
dalam bahasan selanjutnya.

4.2 Etika terhadap Tetangga

Hidup bertetangga membutuhkan aturan-aturan atau etika untuk diri sendiri agar keharmonisan hidup
dengan lingkungan dimana kita tinggal dapat terus terjaga. Dalam kaitan dengan etika terhadap
tetangga, Abu Bakr Jabir Al-Jazairi[10] memberikan rincian sebagai berikut:
i. Tidak menyakitinya dengan ucapan, atau perbuatan. Rasulullah SAW bersabda: “Dari Abu Hurairah ra.
Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah akan masuk surga seseorang yang tetangganya tidak aman dari
bahayanya” (HR Muslim), juga sabdanya : “ Para shahabat menyebut kepada Rasulullah SAW seorang
wanita yang rajin shalat tetapi dia suka menyakiti tetangganya Rasulullah saw bersabda, “Ia di
Neraka””. (HR Ahmad)
ii. berbuat baik kepadanya dengan menolongnya jika ia meminta pertolongan, membantunya jika ia
meminta bantuan, menjenguknya jika ia sakit, mengucapkan selamat kepadanya jika bahagia,
menghiburnya jika ia mendapatkan musibah, membantunya jika ia membutuhkan, memulai ucapan
salam untuknya, berkata kepadanya dengan lemah lembut, santun ketika berbicara dengan ayah
tetangganya, membimbingnya kepada apa yang di dalamnya terdapat kebaikan agama dan dunianya,
melindungi area tanahnya, memaafkan kesalahannya, tidak mengintip auratnya, tidak
menyusahkannya dengan bangunan rumah atau jalannya, tidak menyakiti dengan air yang
mengenainya, atau kotoran yang dibuang di depan rumahnya[11].
iii. bersikap dermawan dengan memberikan kebaikan kepadanya, karena sabda-sabda Rasulullah Saw
berikut: (a) “Hai wanita-wanita muslimah, janganlah seorang tetanggameremehkan tetangganya yang
lain, kendati hanya dengan ujung kuku kambing” (HR Bukhori); (b). “Hai Abu Dzar, jika engkau
memasak kuah, maka perbanyaklah airnya kemudian berikan kepada tetanggamu” (HR Bukhori).
(c). Aisyah Ra bertanya kepada Rasulullah Saw, “aku mempunyai dua tetangga, maka yang manakah
yang berhak aku beri hadiah?” Rasulullah Saw bersabda, “Kepada orang yang pintu rumahnya lebih
dekat kepadamu” (Muttafaq Alaih).
iv. menghormati dan menghargainya dengan tidak melarangnya meletakkan kayu di temboknya, tidak
menjual atau menyewakan apa saja yang menyatu dengan temboknya, dan tidak mendekat ke
temboknya hingga ia bermusyawarah dengannya berdasarkan sabda-sabda Rasulullah Saw berikut:
(a). “Salah seorang dari kalian jangan sekali-kali melarang tetangganya meletakkan kayu di dinding
rumahnya” (Muttafaq Alaih), (b). “Barangsiapa mempunyai kebun bersama tetangga, atau mitra,
maka ia tidak boleh menjualnya, hingga ia bermusyawarah dengannya” (Muttafaq Alaih).

4.3 Manfaat Beretika dengan Tetangga

Apabila etika terhadap tetangga dapat kita laksanakan secara istiqomah, maka kita akan mendapatkan
manfaat yang luar biasa. Manfaat tersebut pada intinya adalah untuk mengetahui apakah kita
termasuk orang yang baik yang disukai oleh tetangga, serta bagaimana sikap kita nantinya terhadap
tetangga yang seringkali membuat keonaran. Manfaat tersebut adalah:
Pertama: seorang muslim akan mengenal dirinya tergantung penilaian tetangganya. Bila menurut tetangga bahwa
kita baik maka memang kita telah berbuat baik, dan jika menururtnya kita tidak baik maka memang
kita menjadi tetangga yang tidak baik.
Kedua : terhadap perlakuan tetangga yang kurang/ tidak baik kepada kita maka kita harus bershabar karenanya,
bukan malah membalasnya dengan ketidakbaikan. Bukankah Allah memerintahkan kepada kita agar
menolak keburukan dengan kebaikan?[12]

Dengan demikian kita dapat melakukan introspeksi diri dalam kaitannya dengan keberadaan di
tengah-tengah masyarakat (tetangga). Apakah termasuk orang yang diharapkan keberadaannya
dilingkungan dimana kita tinggal ataukah justru tidak diharapkan keberadaan kita ditengah-tengah
lingkungan kita.

BAGIAN V
BARANGSIAPA YANG BERIMAN KEPADA ALLAH DAN HARI KIAMAT

HENDAKLAH DIA MEMULIAKAN TAMUNYA

Dalam hal memuliakan tamu, Rasulullah saw adalah sosok teladan. Beliau merupakan seorang yang
paling baik terhadap orang yang belum beliau kenal, demikian juga terhadap para tamu yang
berkunjung ke kediaman beliau. Bahkan seorang utusan Nabi Palsu yang datang kehadapan beliau
diperlakukan dengan baik. Karena beliau memang dilarang untuk mencederai seorang utusan, hal ini
terus dilestarikan oleh shahabat-shahabat beliau. Lihatlah sikap penduduk Madinah (Anshar) ketika
menyambut orang-orang Muhajirin, betapa mereka (Anshar) lebih mengutamakan orang-orang
Muhajirin daripada dirinya sendiri. Atau tengoklah ketika beliau kedatangan seorang yang butuh
pertolongan, beliau pergi menuju rumah-rumah para istrinya, namun saying tidak ada makanan
dirumah para istri Nabi, maka Nabi meminta ada shahabatnya yang mau menerima dan menjamunya
untuk malam ini. Dan tahukah kita siapa yang menerima tamu itu? Dialah shahabat yang malam itu
terpaksa tidak makan karena lebih menutamakan tamunya daripada keluarganya. Dengan demikian
sangatlah wajar jika beliau juga memerintahkan ummatnya untuk menyambut dengan baik setiap
tamu yang datang ke rumah mereka, karena sikap ini sangat ampuh dalam menumbuhkan jembatan
hati serta mengusir rasa permusuhan dan kebencian.

Dalam uraian berikut akan dikemukakan tentang hal-hal yang berkenaan dengan penerimaan tamu
dengan pokok bahasan Qur’an Surat Adz Zariyat (51): 24 – 27,, sementara untuk adab bertamu tidak
dikemukakan karena dirasa kurang sesuai dengan tema hadits di atas.

Dari hadits di atas, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia memuliakan
tamunya” terdapat beberapa kandungan yang mulia[13], yaitu:

5.1 Memuliakan tamu merupakan bentuk kewajiban

Hadits di atas mengisyaratkan kepada kita bahwa menerima tamu (dengan baik) merupakan sunnah
Rasulullah Saw yang sudah sepantasnya setiap muslim yang mengaku cinta kepada Rasulullah Saw
untuk menjalankannya. Allah Swt berfirman: “dan segala apa yang diperintah Rasulullah, maka
kerjakanlah, dan segala yang dilarang darinya maka tinggalkanlah” (QS Al Hasyr (59): 7)

5.2 Memuliakan Tamu merupakan penyempurna iman

Berdasarkan hadits di atas mengisyaratkan kepada kita bahwa semakin baik menyambut tamu dan
menjamu semakin tinggi pula nilai keimanannya kepada Allah Swt. Dan sebaliknya, manakala ia
kurang perhatian (meremehkan) terhadap tamunya, maka menandakan kurang sempurnanya nilai
keimanan kepada Allah Swt.

5.3 Memuliakan tamu adalah millah Nabi Ibrahim as.

“Sudahkah sampai kepadamu (Muhammad) cerita tentang tamu Ibrahim (yaitu malaikat-malaikat)
yang dimuliakan? (Ingatlah) ketika mereka masuk ke tempatnya lalu mengucapkan: "Salaamun."
Ibrahim menjawab: "Salaamun (kamu) adalah orang-orang yang tidak dikenal." Maka dia pergi
dengan diam-diam menemui keluarganya, kemudian dibawanya daging anak sapi gemuk, Lalu
dihidangkannya kepada mereka. Ibrahim lalu berkata: "Silahkan anda makan." (Adz-Dzariay: 24 – 27)
Pada kisah Nabi Ibrahim as ketika beliau kedatangan tamunya maka beliau bersegera menyambutnya
dengan penuh suka cita serta menjamunya dengan memotong seekor anak sapi. Hal ini
mengisyaratkan bahwa kita selayaknya mengikuti kebiasaan Nabi Ibrahim tersebut, sebab Allah telah
memerintahkan Nabi-Nya untuk mengikuti millah Ibrahim. Firman Allah: “Kemudian Kami wahyukan
kepadamu (Muhammad): "Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif" dan bukanlah dia termasuk
orang-orang yang mempersekutukan Tuhan” (QS An-Nahl (16): 123)

5.4 Bersegera dalam menyambut dan menjamu tamu.

Dalam surat Adz Dzariyat (51): 24- 27) di atas, Nabi Ibrahim bersegara menyambut tamu dan
mendatangi keluarganya untuk mempersiapkan hidangan guna menjamu tamunya tersebut, tanpa
harus menawari tamunya terlebih dahulu.

5.5 Menjawab salam dengan yang terbaik

Firman Allah Swt: “Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah
penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan
yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungankan segala sesuatu. (QS An-Nisa (4): 86)

5.6 Menghidangkan kepada tamu dengan hidangan yang paling baik

Bila kita memiliki penganan yang terbaik menurut kita, maka hidangkanlah untuk tamu kita, jangan
sampai tamu kita kita hidangkan dengan hidangan yang kita sendiri tidak mau menyentuhnya.
Perhatikanlah kisah Nabi Ibrahim di atas, beliau menghidangkan Anak sapi yang gemuk yang
merupakan hidangan terbaik kala itu.

5.7 Meletakkan hidangan didekat tamu.

Tamu terkadang malu untuk mengambil hidangan yang disediakan karena letaknya jauh darinya.
Untuk itu hendaklah hidangan yang disediakan sebaiknya diletakkan dekat dengan posisi duduk tamu.
Dalam kisah Nabi Ibrahim, beliaupun mendekatkan hidangan tersebut ke posisi tamunya. Al-qur’an
menggunakan kata ±¸Ä«É ¹^z¤Ÿ (Kemudian Nabi Ibrahim as mendekatkan hidangan itu kepada
mereka)
5.8 Mengajak bicara dengan bahasa yang sopan dan baik.

Pemilihan kata-kata yang baik dan sopan dalam perbincangan dengan tamu menunjukkan ketinggian
kahlak sesorang. Dengan bahasa yang sopan akan membuat tamu nyaman berada di rumah kita.
Perhatikanlah kisah Ibrahim di atas, Ibrahim menggunakan kata-kata “alla ta’ kuluun” (Silakan
anda/kalian makan) dan tidak mengatakan “kuluu” (makanlah).

5.9 Menjaga keamanan tamu


Tamu yang datang ke rumah merupakan tanggungjawab kita untuk menjaga keselamatan dirinya.
Perhatikanlah tentang kisah Nabi Luth berkenaan dengan tamunya yang hendak disakiti oleh kaumnya.
(QS Hud (11): 77- 83).
5.10 Mengantarkan tamu ketika hendak pulang

Salah satu adab yang baik adalah mengantarkan tamu sampai depan pintu rumah kita sebagai
penghormatan terhadapnya. Hal inipun dilakukan dalam hubungan penerimaan tamu-tamu Negara,
dimana seorang Presiden sudah lazim mengantarkan tamunya yang hendak pulang sampai depan
pintu istana/ rumah.

BAGIAN VI

PENUTUP

Dari uraian di atas perihal hadits ke- 15 dari hadits arbain, yang berbunyi : Dari Abu Hurairah r.a.,
bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Kiamat hendaklah
dia berkata yang baik atau diam. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Kiamat hendaklah
dia memuliakan tetangganya. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Kiamat hendaklah dia
memuliakan tamunya” (HR. Bukhari dan Muslim). Dapatlah disimpulkan bahwa:
1. Keimanan kepada Allah merupakan hal yang amat fundamental sekali dalam ajaran Islam, sebab
semua amaliah harus disandarkan pada keimanan tersebut.
2. Keimanan kepada yaumil akhir semestinya menyadarkan kita bahwa perbuatan-perbuatan kita di dunia
ini akan diperlihatkan dan dipertanggungjawabkan kepada Allah SWT, sehingga memacu kita untuk
terus beramal dengan keikhlasan.
3. Seorang muslim seyogyanya memperhatikan apa yang akan diucapkannya. Hal ini berarti ia harus
memilah dan memilih perkataan yang baik dan berguna serta tidak menyakiti perasaan dari
saudaranya.
4. Perkataan yang baik namun diucapkan secara berlebihan akan membuat orang lain bosan dan antipati
terhadap pembicaraan kita karena merasa digurui.
5. Perkataan yang baik yang tidak diiringi dengan amal nyata dari apa yang dibicarakan adalah sesuatu
yang amat dibenci oleh Allah SWT.
6. Menghindari sejauh mungkin bermacam-macam dari bahaya lisan kita yang akan menjerumuskan kita
kepada kerugian di yaumil akhir kelak seperti, Ghibah, dusta, namimah, sumpah palsu dan lain
sebagainya.
7. Berfikirlah sebelum kita berbicara agar kita dapat memahami apa yang kita bicarakan, baik atau jelek.
8. Sebagai makhluk sosial selayaknyalah kita dalam pergaulan terutama dengan orang-orang disekitar
kita dapat memperlihatkan kesopanan dan adab yang tinggi sehingga orang-orang disekitar kita
menghargai dan mengarapkan kehadiran kita.
9. Selayaknyalah kita memperhatikan orang-orang yang ada disekitar kita (tetangga) agar kita dapat
membantunya apabila tetangga kita mendapat kesulitan.
10. Tetangga adalah orang yang jauh dari hal persaudaraan sedarah namun orang yang paling dekat dan
cepat untuk dimintai pertolongan. Oleh sebab itu berbuat baik pada tetangga adalah suatu keharusan.
11. Siapapun yang datang ke rumah kita pada hakekatnya adalah orang yang menghormati kita entah
karena memang membutuhkan pertolongan atau memberikan pertolongan kepada kita, untuk itu
menerima tamu dengan bahasa yang sopan serta sikap yang mulia cerminan dari adab seorang
muslim.
12. Jawablah salamnya dengan salam yang lebih baik dan perlihatkan rasa sukacita kita dalam
menerimanya.
13. Hendaklah tamu dijamu dengan jamuan yang terbaik namun tidak sampai harus merepotkan diri dan
mengada ada apa yang tidak ada.
14. Letakkan makanan dekat dengan posisi duduk tamu.
15. Perbincangan dengan tamu selayaknya menggunakan bahasa yang sopan agar tamu betah dan
senang berada di rumah kita.
16. Antarkanlah tamu sampai depan rumah jika mereka ingin pulang.

DAFTAR PUSTAKA

An-Nawawi, Imam, Arbain An-Nawawi, diterjemahkan oleh H. Anshori Umar SItanggal dan Ahmad Sahal dengan
judul Hadits Arbain An-Nawawiyah, Terjemahan perkata, Cet. Pertama, Jakarta: Hidayah Ilahi Publishing,
Mei 2009

At-Tuwaijiri, Syaikh Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah, Mukhtasharo al Fiqhu Al Islamiy diterjemahkan oleh Najib
Junaidi, Lc & Izzudin Karimi, Lc dengan judul Ensiklopedi Islam Kaffah, Cet Pertama, Surabaya: PT. eLBA
FITRAH MANDIRI SEJAHTERA, 2009

al-Utsaimin, Syaikh Muhammad bin Shalih, Syarh al-aqidah al-wastitiyah As Syaikh Ibnu Taymiyah diterjemahkan
oleh Izzudin Karimi dengan judul Buku Induk Agama Islam, Cet. Kelima, Jakarta: Pustaka Shahifa, 2011

Al-Jazairi,Abu Bakar Jabir, Minhajul Muslim, diterjemahkan oleh Fadhli Bahri Lc, dengan judul Ensiklopedi Muslim,
Cet keenambelas, Bekasi: PT darul Falah, Desember 2009.

Musthafa, Ahmad Anwar, Amsik ‘Alaika Lisanak, diterjemahkan oleh Muhammad Aniq Imam, MA dengan
judul Misteri Lisan, Cet. Pertama, Jakarta: Mirqat Tebar Ilmu, Nopember 2007
Hawwa, Said bin Muhammad Daib, Al-Mustakhlash fii Tazkiyatil Anfus, diterjemahkan oleh Aunur Rofiq Shaleh
Tahmid , Lc, dengan judul Mensucikan jiwa: Konsep Tazkiyatun nafs Terpadu, Cet. Kedua,Jakarta: Robbani
Press, Agustus 2009.

-----------, Al-Islam, diterjemahkan oleh Abu Ridha, Aunur Rofiq Shaleh Tahmid Lc, dengan judul Al-Islam (Seri 1-
4) jilid I, Cet. Pertama, Jakarta: Al-I’tisham Cahaya Umat, Juli 2001.

Riyadh, Sa’ad Dr., Ilmun Nafs fil Hadits asy-syariif, diterjemahkan oleh Abdul hayyie el Kattani/ Sutrisno Hadi/ Uqinu
Attaqi, dengan judul Jiwa dalam Bimbingan Rasulullah SAW, Cet. Pertama, Depok: Gema Insani Press,
Januari 2007.

al Jaujiyah, Ibnul Qoyim, Al-Jawabul Kafi Liman Saala’ Anid Dawaaaisy Syafi, diterjemahkan oleh Ahmad Tarmudzi
Lc, dengan judul Penawar hati yang sakit, Cet. Ketiga, Depok: Gema Insani Press,Mei 2005

Almath, Muhammad Faiz, 1100 Hadits Terpilih, Jakarta: Gema Insani Press, (1991)

Software Al-Qur’an Digital 2.0, (Muharam 1425 H/ Maret 2004)

Software Hadits Web 3.0

[1] Ibnul Qayim Al-Jauziyah: Penawar Hati yang sakit halaman 119-120. Dalam bukunya yang telah
diterjemahkan itu beliau menggunakan kalimat tidak langsung sehingga perintah Raja Syetan kepada anak
buahnya seperti sebuah cerita yang hidup.
[2] QS Al Baqoroh (2) ayat 44
[3] QS As Shaff (61) ayat 2 dan 3
[4] Lihat Buku Awas Bahaya Lidah karangan Abdullah bin Jaarullah pada bagian pengantar yang di nukil
dari kitab Ihya ulumuddin
[5] Lihat buku Mensucikan jiwa (Intisari Ihya ‘ulumuddin Al-Ghazali) karangan Sa’id Hawwa halaman 463,
beliau mengutip dari kitab Bada’I as Salik karangan Ibnu Al Azraq.
[6] Lihat Ahmad Anwar Musthafa, Amsik ‘Alaika Lisanak, diterjemahkan oleh Muhammad Aniq Imam, MA
dengan judul Misteri Lisan, Cet. Pertama, Jakarta: Mirqat Tebar Ilmu, Nopember 2007

[7] Diriwayatkan oleh Ibnu Abu Dunya. Daruquthni berkata: hadits ini diriwayatkan dari Qais bin Abu
Hazim dari Abu Bakar, dan tidak ada cacat baginya. (Lihat pada buku Mensucikan jiwa)
[8] HR Aththahawi dalam buku 1100 Hadits Terpilih Sinar Ajaran Muhammad oleh Muhammad Faiz al
Math, Jakarta: Gema Insani Press, (1991) bab 58 tentang Tetangga halaman 248. Yang berbunyi “Tiap
empat puluh rumah adalah tetangga-tetangga, yang di depan, dibelakang, disebelah kanan dan di sebelah
kiri (rumahnya)”. Buku ini tidak mencantumkan sanad hadits, namun dalam kata pengantarnya penerbit
menulis bahwa hadits-hadits dalam kitab ini diambil dari kitab-kitab shahih musnad dan sunan, dimana
penulis berupaya agar tidak tercantum hadits yang maudhu’

[9] Pada Qur’an Tafsir Depag disebutkan bahwa pengertian dekat dan jauh ada yang mengartikan dengan
tempat, hubungan kekeluargaan, dan ada pula antara yang muslim dan yang bukan Muslim.
[10] Lihat buku beliau yang telah diterjemahkan dengan judul Ensiklopedi Muslim penerbit Darul Falah,
Bekasi halaman 148 – 151 pada fasal Etika terhadap Tetangga.
[11] Lihat juga hadits yang dikeluarkan oleh Athabrani dalam buku 1100 hadits terpilih sinar ajaran
Muhammad karya Muhammad Faiz Al-Math halaman 249 bab 58 perihal Tetangga.
[12] Lihat QS Fushilat (41): 43: Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan
cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah
telah menjadi teman yang sangat setia.
[13] Bahasan tentang hal ini diambil dari redaksi bulletin Al-Ilmu Jember yang bersumber
dari www.assalafy.org dengan sedikit perubahan yang penulis lakukan untuk memudahkan pembuatan
makalah ini.

Anda mungkin juga menyukai