Anda di halaman 1dari 38

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sagu (Metroxylon sago Rottb.) merupakan tanaman asli Indonesia dan


diyakini berasal dari Danau Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua dan tersebar di
kepulauan Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi (Lokakarya Sagu, 2007). Luas
perkebunan sagu diperkirakan 1,2 juta ha dan di Riau berkisar antara 69.916 ha
(Azaly, 2008). Sagu memiliki beberapa potensi, yakni sebagai sumber pangan dan
bahan industri (Lokakarya Sagu, 2007). Sebagai sumber pangan sagu dapat diolah
menjadi berbagai macam makanan yang dapat dikonsumsi oleh masyarakat.
Sedangkan sebagai sumber bahan industri sagu dapat diolah menjadi tepung. Dari
tepung sagu dapat dibuat bahan perekat dan plastik karena mudah terurai secara alami
(biodegradable).

Peningkatan jumlah produksi sagu berbanding lurus dengan peningkatan


jumlah limbah yang dihasilkan. Limbah yang berasal dari pengolahan sagu terbagi
menjadi limbah padat, cair, dan gas. Limbah berbentuk padat dan cair belum diolah
secara maksimal dan masih menggunakan sistem sederhana yang langsung dialirkan
ke dalam sungai yang mengalir di sekitar kawasan kilang sagu. Hal ini dapat
menyebabkan pencemaran disekitar sungai tersebut bahkan mengakibatkan
kedangkalan sungai. Limbah yang berbentuk gas berasal dari cerobong asap yang
sangat berpotensi menyebabkan pencemaran udara, karena mengandung gas CO, NOx
,CO2 dan lainnya.

Dewasa ini penanganan limbah padat berupa ampas sagu belum dimanfaatkan
secara optimal. Ampas sagu diyakini masih memiliki komposisi senyawa kimia
karbon berupa senyawa selulosa (Flach, 1997). Sehingga sangat mungkin untuk
dijadikan keperluan lain yang lebih bermanfaat. Salah satu upaya yang dilakukan
adalah pengomposan ampas sagu tersebut menjadi pupuk organik.

1
Pupuk organik adalah pupuk yang terbuat dari bahan-bahan organik seperti
sisa tumbuhan (ampas sagu) dan hewan yang dibuat melalui proses fermentasi.
Kualitas dari pupuk juga ditentukan dari variasi bahan dan ketersediaan unsur hara
yang diperlukan bagi tanah dan tanaman. Tapi kendala yang dihadapi pada proses
pengomposan yakni lama pengomposan atau waktu yang diperlukan untuk
pengomposan. .

Sistem pengomposan alami memerlukan waktu relatif lebih lama. Tiga bulan
kadang lebih merupakan waktu yang biasanya diperlukan untuk pengomposan bahan-
bahan organik tersebut. Untuk itu perlu dilakukan upaya untuk mempercepat proses
pengomposan tersebut. Upaya yang dapat dilakukan adalah dengan memanfaatkan
mikroorganisme seperti penggunaan teknologi EM (Effective Microorganism) yang
ditemukan seorang ahli mikrobiologi bernama Prof. Teruo Higa di Jepang tahun
1980-an. Mikroorganisme efektif adalah suatu kultur campuran berbagai
mikroorganisme yang bermanfaat (terutama bakteri asam laktat,bakteri fotosintesis,
actinomycetes, dan jamur peragian) yang dapat digunakan untuk merubah senyawa
kompleks menjadi bentuk yang lebih sederhana (Myint, 2003) sehingga dapat
mempertinggi kualitas tanah, peningkatan unsur hara dan pertumbuhan serta
peningkatan hasil tanaman pangan dalam sistem pertanian (Higa, 1994). Dengan
bantuan teknologi EM ini, pengomposan akan berjalan lebih cepat.
Kultur EM yang dipasarkan di Indonesia adalah EM-4 dengan komposisi
mikroba berdasarkan kondisi iklim, yang mendapatkan sinar matahari 12 jam perhari
sepanjang tahun. Sedangkan EM-5 adalah turunan dari larutan EM-4 yang digunakan
untuk biokontrol tanaman (Kato dkk, 2004).
Karmiani (2007) dari kelompok Bokashi UR juga telah membuktikan bahwa
ketersedian unsur-unsur hara (N, P, K dan rasio C/N) pada pupuk organik yang
difermentasikan dengan teknologi EM memberikan hasil yang tinggi dan mendekati
rasio C/N tanah. Hal ini menandakan bahwa penggunaan teknologi EM untuk
pengomposan bahan-bahan organik dapat mencukupi unsur hara bagi peremajaan
tanah dan tanaman.

2
Pada penelitian ini akan diuji pengaruh penambahan EM-4 (efektif
mikroorganisme) pada pembuatan kompos dari ampas sagu yang dikombinasikan
dengan bahan-bahan organik lain melalui tersedianya unsur-unsur hara N, P, K serta
menguraikan senyawa organik, melalui analisis C/N.

1.2 Perumusan Masalah


Penanganan limbah padat sagu dewasa ini belum dimanfaatkan secara optimal
dan masih dalam skala sederhana. Biasanya limbah dialirkan ke dalam sungai yang
berakibat pada pencemaran dan kedangkalan sungai yang berada di sekitar kilang.
Dilihat dari komposisi kimianya, ampas sagu yang merupakan limbah padat masih
mengandung senyawa karbon asam fenolik dan selulosa yang sangat mungkin
dijadikan sumber karbon untuk pembuatan kompos, sehingga dapat meningkatkan
nilai ekonomis dari limbah tersebut.

Pada penelitian limbah ampas sagu akan diolah menjadi kompos yang
dicampur dengan kotoran ayam serta serbuk kayu yang difermentasikan dengan
EM-4 dan EM-5 sebagai starternya. Kualitas dari kompos akan di uji mulai hari 0, 5,
10, 15, dan 20 hari hasil fermentasi terhadap parameter N, P, K dan rasio C/N.
Pengukuran kadar Nitrogen (N), Fosfor (P), dan Rasio C/N dilakukan dengan
menggunakan spektrofotometer sedangkan Kalium (K) dengan flame fotometer.

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah:

1. Menentukan kandungan unsur N, P, K dan rasio C/N pada pupuk organik


yang berasal dari pengomposan limbah ampas sagu dengan bahan-bahan
organik.
2. Menentukan waktu optimal fermentasi terhadap kualitas pupuk yang
dihasilkan.

3
1.4 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksankan dengan pembuatan kompos di saung (area
perkebunan Komppos UR), dan analisis ketersediaan unsur hara di Laboratorium
Analitik dan Laboratorium Biokimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam Universitas Riau. Penelitian ini dilakukan lebih kurang 6 bulan.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sagu

Sagu sebagai bahan makanan sudah lama dikenal oleh sebagian besar
masayrakat Indonesia, Semula penduduk Maluku mengkonsumsi sagu sebagai
makanan pokok. Pada tahun 1978 hanya sekitar 59% penduduk Maluku yang
makanan pokoknya sagu (Haryanto dan Pangloli,1991). Selain Maluku penduduk
Indonesia yang makanan pokoknya sagu adalah Sulawesi Tenggara, Sulawesi
Selatan, Mentawai, Kepulauan Riau dan penduduk dipulau kecil.

Sagu (Metroxylon spp) yang sebagian besar tumbuh secara alami memiliki
multifungsi bagi kehidupan manusia. Pati yang dikandung dalam batang sagu dapat
digunakan sebagai bahan pangan yang potensial dan dapat juga dimanfaatkan untuk
bahan baku agroindustri. Selain itu tumbuhan sagu dapat berperan sebagai pengaman
lingkungan karena dapat mengabsorbsi emisi gas CO2 yang ditransmisikan dari lahan
rawa dan gambut ke udara. Emisi gas CO2 dan NH4 yang ditransmisikan ke udara
bervariasi dari 25-200mg /m2/jam. (Boss dan Plassche,2003). Adanya tegakan hutan
sagu gas yang ditransmisikan ke udara akan sangat berkurang karena gas CO 2
digunakan untuk fotosintesis.

Sagu (metroxylon spp) merupakan salah satu tanaman penghasil karbohidrat


yang paling potensial di Indonesia yang dapat digunakan untuk penganekaragaman
pangan sesuai INPRES No. 20 tahun 1979 (Haryanto dan Pangloli, 1992). Sagu
merupakan alternatif pada saat krisis pangan dan dapat didayagunakan bagi
pengelolaan, pengendalian, dan pelestarian lingkungan (Bintoro, 1999). Pati sagu
mengandung 84,7% karbohidrat yang terdiri atas 73% amilopektin dan 27% amilosa
(Wiyono dan Silitonga,1989). Menurut (Flach, 1997) manfaat sagu adalah daun dapat
dijadikan atap rumah sedangkan batang untuk diambil patinya dan pakan ternak dan
agroindustri lainnya.

5
2.2 Limbah Pabrik Sagu
Proses pengolahan sagu menjadi bahan baku siap pakai menghasilkan produk
sampingan berupa limbah cair, padat dan gas yang berasal dari unit pengolahan,
sterilisasi, dan klarifikasi. Limbah cair dari sagu ini berwarna putih kekuningan yang
dihasilkan langsung dari proses pemisahan pati dan kulit ampas yang dialiri ke dalam
wadah tampungan. Lalu dari wadah tampungan langsung difilter dan terbuang ke
sungai. Walaupun sudah disaring dalam beberapa kali, limbah cairan membuat air
sungai tercemar. Berdasarkan pantauan pada tahun 2010 lalu, air sungai sudah
menjadi berwarna lebih gelap daripada biasanya.

Limbah padat terbagi atas dua yakni limbah yang tertinggal di perkebunan dan
limbah hasil produksi yang berada di pabrik sagu. Limbah yang tertinggal di
perkebunan terdiri dari daun-daun sisa dan tunggul. Daun-daun sisa tebangan itu
tidak menjadi masalah karena biasanya jauh dari pemukiman penduduk dan seiring
dengan waktu akan mengalami penguraian. Namun yang menjadi limbah yang
berbahaya yang dapat mencemari sungai adalah ampas sagu yang berasal dari
pengolahan sagu. Ampas sagu ini biasanya langsung dibuang ke sungai tanpa ada
penyaringan lebih lanjut. Dan untuk mengurangi limbah yang terbuang ke sungai
perlu adanya penelitian tentang ampas sagu ini..

Limbah gas berasal dari pembakaran yang berasal dari pabrik sagu. Limbah
ini langsung menyatu dengan udara. Contoh limbah gas yang berasal dari pengolahan
sagu ini adalah gas karbon monoksida (CO) dan karbon dioksida (CO2). Gas ini akan
membuat kita merasa sesak napas ataupun batuk ketika berada di dekat pabrik sagu.
Dampak dari limbah gas yang terlalu lama akan membuat udara sekitar lingkungan
pabrik akan tercemar. Namun dewasa ini pencemaran akibat limbah gas masih bisa
teratasi karena adanya tanaman sagu yang terus ditanam warga atau meregenerisasi
kebun mereka.

6
2.3 Ampas Sagu
Ampas sagu adalah limbah padat yang berasal dari pengolahan sagu. Ampas
sagu ini biasanya dibuang ke dalam sungai tanpa mengalami proses lebih lanjut.
Ampas ini berasal dari sagu yang telah diambil ekstraknya. Penanganan limbah
ampas sagu ini pada kilang Sagu Harapan belum cukup efektif. Mereka hanya
menjemur untuk makanan ternak dan belum ada penelitian tentang ampas sagu ini
dilingkungan kilang tersebut.

Ampas sagu yang tentunya masih mengandung pati dimanfaatkan sebagai


pakan ternak (Horigome et al. 1990). Dan juga dapat meningkatkan bobot daun
tanaman bayam pada saat panen (Bintoro, 1996). Di samping itu juga pati yang masih
tertinggal bersama ampas juga dapat dimanfaatkan dan dijadikan alternatif
penggunaan pupuk kandang khususnya kotoran kambing untuk tanaman palawija dan
perkebunan yakni bibit cengkeh dan kelapa sawit. (Bintoro dan Sudarman ,1996).

Tabel 1. Pengaruh Berbagai Media terhadap Pertumbuhan Bibit Cengkeh Umur 8


Bulan (Bintoro dan Sudirma, 1996)

Jenis Media
Variabel
M0 M1 M2 M3
Tinggi (cm) 31.8 a 53.1 b 51.8 b 53.9 b
Jumlah daun 23.5 a 50.9 b 52.8 b 51.9 b
Luas daun(cm2) 14.0 a 18.2 b 18.0 b 17.6 b
Bobot kering tajuk
4.0 a 8.9 b 9.6 b 9.6 b
(g)
Bobot kering akar
0.9 a 2.3 b 2.5 b 2.5 b
(g)
Keterangan: Angka pada kolom yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama tidak
berbeda nyata menurut uji BNJ 5%:M0 : 100% tanah, M1 : tanah : ampas
sagu= 2:1, M2 : tanah : kotoran kambing = 2:1M3 : tanah : ampas sagu :
kotoran ayam = 4:1:1 (sumber Bintoro1996)

7
Dari tabel dapat dilihat bahwa bibit cengkeh yang ditanam di media yang
diberi ampas sagu, kotoran kambing maupun campuran kotoran kambing dengan
ampas sagu akan memberikan hasil yang lebih baik daripada bibit cengkeh yang
ditanam pada media tanah saja. Hal ini diperkuat bahwa kandungan organik bahan –
bahan yang dikombinasikan dengan ampas sagu memberikan unsur hara yang sangat
baik bagi tanaman (Bintoro dan Sudirman, 1996). Bibit cengkeh yang tumbuh di
media yang diberi perlakuan yang tersebut diatas perbedaanya tidak nyata pada
(p<0.05).

Bintoro dan Sudirman 1996 juga melihat waktu dekomposisi ampas sagu yang
dilakukan dengan penambahan kotoran sapi dapat menambah diameter batang.

Tabel 2. Interaksi Waktu Dekomposisi dengan Penambahan Kotoran Sapi terhadap


Diameter Batang Kelapa Sawit pada Minggu ke 12 (Bintoro dan
Sudarman,1996)

Dosis kotoran sapi Waktu dekomposis


0 4 6
……………………….cm………………………..
0% 7.8 ab 10.9 ab 10.9 ab
15 % 11.1 ab 10.7 ab 11.9 ab
20 % 10.0 ab 9.6 ab 13.8 b
25 % 11.9 ab 8.3 a 9.8 ab
Keterangan : Angka pada kolom yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama
tidak berbeda nyata menurut uji BNI 5%

8
Tabel 3. Pengaruh waktu Dekomposisi (Bintoro dan Sudarman ,1996)

Waktu
Bobot tajuk Bobot akar Jumlah daun
dekomposisi
ampas sagu Segar Kering Segar Kering Saat 4 bulan

(minggu) ………g.……… ………...g……….. …helai……


0 10.5 2.7 3.2 1.0 6.5
4 11.4 2.9 4.2 1.1 6.2
6 14.2 3.8 5.1 1.4 6.7

Ampas sagu yang di dekomposisi 6 minggu tampaknya sudah dapat


digunakan untuk memupuk bibit kelapa sawit. Semakin lama waktu dekomposisi
akan lebih baik bagi bibit kelapa sawit. Hal ini terlihat pada diameter batang, bobot
tajuk dan akar serta jumlah daun. Namun demikian perlu penelitian lebih jauh karena
waktu dekomposisi ampas sagu sangat dipengaruhi oleh mikroorganisme yang
tumbuh di dalamnya.

2.4. Efektif Mikroorganisme (EM)


Efektif Mikroorganisme (EM-4) merupakan suatu kultur campuran berbagai
mikroorganisme yang bermanfaat dan dapat hidup secara sinergis-mutualisme dalam
suatu kultur campuran dan secara biologis dapat menyatu dengan baik. Bila kultur ini
dimasukkan ke dalam lingkungan alami, maka pengaruh dari masing-masing akan
lebih berlipat ganda secara sinergik. EM-4 tidak mengandung mikroorganisme yang
secara genetik telah dimodifikasi, melainkan terbuat dari kultur campuran berbagai
spesies mikroba yang telah diisolasi dari alam (Kato dkk., 2004). Efektif
mikroorganisme (EM-4) dapat menigkatkan fermentasi limbah sampah organik dan
meningkatkan ketersediaan unsur hara tanaman. Selain itu, EM-4 dapat menekan
aktivitas serangga, hama dan mikroorganisme patogen lainnya (Djuarnani, 2005).

9
Mikroorganisme yang terdapat dalam EM terdiri dari 5 golongan besar yaitu:

1. Bakteri fotosintetik (bakteri fototrofik)


Bakteri fotosintetik merupakan mikroorganisme yang mandiri dan swasembada,
Bakteri fotosintetik dapat mengubah CO2 dari udara dan hidrogen sulfida (H2S)
menjadi zat-zat seperti asam-asam amino, asam nukleat, dan gula dengan
menggunakan sinar matahari sebagai sumber energi. Hasil metabolisme dari bakteri
fotosintetik tersebut dapat diserap secara langsung oleh tanaman dan sekaligus
berfungsi sebagai substrat bagi bakteri atau mikroorganisme lainnya (Apnan, 2003).
Persamaan reaksi umum fotosintesis:
CO2 + H2O Sinarmatah
 
ari
 O2 + (CH2O)n
Persamaan reaksi oleh fotosintetik bakteria
CO2 + H2S Sinarmatah
 
ari
 O2 + (CH2O)n + S

2. Bakteri asam laktat

Bakteri asam laktat menghasilkan asam laktat dan glukosa, selain itu bakteri
asam laktat mempunyai kemampuan untuk menekan pertumbuhan fusarium yang
merupakan mikroorganisme yang dapat menyebabkan penyakit dan mematikan
tanaman. Dengan meningkatnya serangan penyakit oleh fusarium mengakibatkan
bertambah banyaknya jumlah cacing yang merugikan secara tiba-tiba. Cacing
tersebut akan hilang secara berangsur-angsur dengan kehadiran asam laktat (Apnan,
1997). Contoh bakteri asam laktat adalah Laktobasillus bulgaricus dan Streptococcus
lactis (Apnan, 2003).
Reaksi perubahan dari glukosa menjadi asam laktat oleh bakteri asam laktat
C6H12O6 bakteriasa
  2C 3H6O3
mlaktat

3. Ragi
Ragi dapat menghasilkan zat anti bakteri dan bermanfaat bagi pertumbuhan
tanaman. Ragi yang terdapat dalam EM-4 terdiri dari Aspergillus, Saccharomyces,
Candida, dan Hansenula yang berperan menyederhanakan amilum dan menguraikan
glukosa menjadi alkohol serta bermacam-macam zat organik lainnya. Selain itu
bakteri Acetobacter yang berperan mengubah alkohol menjadi asam cuka. Zat-zat

10
bioaktif seperti hormon dan enzim yang dihasilkan oleh ragi dapat meningkatkan
jumlah sel aktif dan perkembangan akar (Apnan, 2003).
Reaksi perubahan dari glukosa menjadi etanol
C6H12O6 ragi
 C2H5OH + CO2
4. Bakteri Actinomycetes
Bakteri Actinomycetes merupakan mikroba heterotropik yang mampu
mendekomposisi bahan organik didalam tanah maupun didalam bahan kompos.
Actinomycetes mampu menembuskan tanah untuk mencari jaringan tanaman yang
telah terdekomposisi. Selain itu, Actinomycetes berperan penting karena mampu
mengurai beberapa jenis senyawa yang tahan terhadap dekomposisi bakteri, seperti
selulosa, hemiselulosa, keratin, kitin, dan asam oksalat (Semangun, 2007).
5. Jamur fermentasi (peragian)
Jamur fermentasi seperti Aspergillus dan Penicillium dapat menguraikan bahan-
bahan organik untuk menghasilkan alkohol, ester, dan zat-zat antimikroba. Zat-zat
inilah yang berfungsi untuk menghilangkan bau dan mencegah serbuan serangga serta
ulat tanah maupun daun yang sifatnya merugikan (Apnan, 1997).
Beberapa pengaruh efektif mikroorganisme yang menguntungkan antara lain:
a. Memperbaiki perkecambahan bunga, buah, dan kematangan hasil tanaman.
b. Memperbaiki lingkungan fisik, kimia, dan biologis tanah serta menekan
pertumbuhan hama dan penyakit tanah.
c. Meningkatkan kapasitas fotosintesis tanaman.
d. Mempercepat perkecambahan dan pertumbuhan tanaman.
e. Mempercepat dekomposisi atau penguraian bahan organik menjadi pupuk.

2.5 Efektif Mikroorganisme-5 (EM-5)


Efektif mikroorganisme (EM-5) merupakan penangkal serangga yang sifatnya
non-kimia dan tidak beracun. EM-5 mampu menggantikan 50-70% dosis pupuk
dalam menghasilkan panjang dan berat segar tongkol jagung (Simanihuruk, 2002).
EM-5 terdiri dari alkohol, asam asetat, gula merah, dan EM-4. Untuk membuat EM-5
yang efektif terhadap hama dan penyakit yang terus menerus ada, maka perlu

11
ditambahkan lebih banyak bahan organik yang mengandung obat-obatan, misalnya
bahan organik yang mengandung antioksidan seperti bawang putih, sebelum
digunakan bahan tersebut terlebih dahulu diblender (Hasibuan, 2007). Perawatan
tanaman dengan menggunakan pupuk bokashi dan EM-5 sebagai biokontrol
memperlihatkan kadar fenolik (92,69%) dan flavonoid (85,71%) pada tanaman
bangun-bangun (Suryanti, 2010).

2.6 Nitrogen (N), Fosfor (P), Kalium(K), Karbon(C), dan Rasio C/N
2.6.1 Nitrogen
Nitrogen (N) merupakan unsur hara makro utama yang sangat penting untuk
pertumbuhan tanaman. Nitrogen diserap dalam bentuk ion NO3- atau NH4+ dari tanah.
Kadar nitrogen rata-rata dalam jaringan tanaman berkisar 2-4 % berat kering. Dalam
tanah kadar nitrogen sangat bervariasi tergantung pada keadaan lingkungan seperti
iklim, variasi vegetasi,topografi dan pengolahan tanah (Rosmarkan,2002). Nitrogen
dalam tanah sebagian besar ditemukan dalam bentuk organik. Sedangkan bentuk yang
tersedia bagi tanaman seperti ammonium dan nitrat relative kecil. Unsur Nitrogen
mudah hilang dari tanah yang disebabkan oleh penyerapan tanaman,erosi dan hilang
dalam proses denitrifikasi.

Sumber utama nitrogen berasal dari gas N2 di atmosfir. Kadar gas nitrogen di
atmosfir bumi sekitar 79%. Walaupun jumlahnya sangat besar tetapi nitrogen belum
dapat dimanfaatkan oleh tumbuhan tingkat tinggi secara langsung, kecuali dalam
bentuk yang tersedia seperti ammonium dan nitrat (Foth,1994). Nitrogen diikat oleh
tanaman dengan berbagai cara seperti yang ditunjukkan oleh gambar:

12
Gambar 1. Siklus nitrogen di udara (sumber: chemistry.org)

Fikasasi nitrogen dari udara dapat dilakukan oleh mikroorganisme prokariotik


seperti Acetobacter dan Rhizobium atau dengan bantuan kilat yang terjadi di
atmosfer. Di dalam tanah persenyawaan nitrogen akan mengalami beberapa proses
kimia diantaranya (Wiliams,2001) :

1. Aminisasi
Pada proses ini protein akan mengalami perubahan melalui proses enzimatik
yang dilkukan oleh mikroorganisme menjadi senyawa yang lebih sederhana
seperti asam amino.
mikroorgnisme
Protein asam amino + CO2 + energy

2. Amonifikasi
Pada proses ini asam-asam amino akan dimanfaatkan oleh bakteri
heterotrop dan dirubah menjadi ammonium

R – NH2 + H2O hidrogenase


R-OH + NH2 + energi

13
3. Nitrifikasi

Nitrifikasi merupakan proses oksidasi ammonium yang dilakukan oleh


bakteri tertentu dalam dua tahap reaksi. Tahap pertama terjadi pembentukan
nitrit dan pada tahap kedua terjadi oksidasi nitrit menjadi nitrat.

Nitrosomonas
NH3 + O2 NO2 + H2O + H+

nitrobacter
NO2 + O2 NO

4. Denitrifikasi

Jika dalam tanah kaya senyawa nitrat namun lingkungan miskin


dengan oksigen akan hidup dan berkembang bakteri anaerob. Bakteri ini akan
mereduksi nitrat menjadi gas nitrogen yang dibebaskan ke atmosfer:

NO3 + (CH2O)n + H+ thlobacillusdenirtrificans


N2 + CO2 + H2O

Nitrogen dibutuhkan oleh tanaman untuk mensintesis asam amino yang


selanjutnya akan membentuk protein. Apabila tanaman kekurangan unsur nitrogen
akan gejala sebagai berikut : (Poerwowidodo,1992):

 Warna daun menjadi hijau muda,apabila keadaan ini terus berlanjut


maka warna daun akan menjadi kuning dan akhirnya layu.
 Tanaman menjadi kerdil dan perkembangan perkaranya terbatas
 Pematangan buah tidak sempurna (buah masak sebelum waktunya)
2.6.2 Fosfor (P)
Fosfor merupakan unsur yang diperlukan dalam jumlah yang cukup besar oleh
tanaman. Jumlah fosfor dalam tanaman lebih kecil dibandingkan dengan nitrogen dan
kalium. Tetapi fosfor dianggap sebagai kunci kehidupan (Key of life). Tanaman
menyerap fosfor dalm bentuk ion ortofosfat (H2PO4-HPO2-.PO4). Jumlah masing-
masing bentuk tergantung pada pH tanah, jika pH rendah (asam) akan hanya akan
ditemukan ion H2PO4-, tetapi jika pH dinaikkan maka bentuk HPO4 yang dominan.

14
Apabila pH dinaikkan lebih tinggi lagi maka bentuk PO2= yang akan dominan dalam
tanah (Rosmarkan,2002).

Siklus fosfor di alam ditunjukkan pada gambar 2. Fosfor dalam tanah dapat
digolongkan menjadi P organik dan P anorganik. P organik berasal dari humus atau
bahan organik lain yang mengalami dekomposisi dan melepaskan P ke tanah.
Sedangkan P anorganik terdapat dalam berbagai ikatan dengan Al, Fe, Ca, dan Mn.
Pada umumnya konsentrasi P anorganik lebih tinggi dari pada P organik.
Ketersediaan P tanah untuk tanaman dipengaruhi oleh sifat dan ciri tanah itu sendiri.
P menjadi tidak tersedia dan tidak larut disebabkan adanya fiksasi dari mineral-
mineral liat dan ion Al, Fe, Mg, ataupun Ca yang banyak larut, membentuk kompleks
yang tidak larut (Lingga,2003).

Beberapa faktor yang mempengaruhi ketersediaan P dalam tanah


(Nyakpa,1998) adalah :

 Tekstur tanah
 pH tanah
 Waktu reaksi
 Suhu
 Kandungan bahan organik
Tanaman membutuhkan fosfor untuk:

 Penyusunan inti sel, pembelahan sel serta perkembangan jaringan


meristem.
 Penyimpanan dan pemindahan energi
 Transportasi electron
 Pengangkutan ion hara

15
Gambar 2. Siklus fosfor di alam (Wiliams,2001)

2.6.3 Kalium (K)


Kalium (K) diserap tumbuhan dalam bentuk ion K+. Kalium tergolong unsur
yang mobil dalam tanaman baik dalam sel dan dalam jaringan xylem dan floem.
Kalium banyak terdapat sitoplasma yang berperan untuk pengaturan tekanan osmosis
dalam sel. Dalam sitoplasma kisaran konsentrasi K relative besar 100-200 mM dan
dalam kloroplas 20-200 mM.

Kalium dalam tanah tidak selalu dalam keadaan tersedia, tapi berubah dari
bentuk yang lambat tersedia menjadi K yang relatif tidak tersedia dan kemudian
menjadi K yang tersedia. (Gambar 3).

K relative tidak tersedia


(feldspat,mika) 90% – 98%

K Lambat tersedia (K tidak K mudah tersedia (dapat K


dapat tertukar (difraksi) 1-10% tertukar dan K dalam larutan
tanah )1-2%

Gambar 3. Bagan Pertukaran Bentuk K dalam tanah


(Nyakpa,1998)

16
Hal ini disebabkan K tersedia mengadakan keseimbangan dengan bentuk-
bentuk lainnya dalam tanah. Keseimbangan K dan unsure lain dalam tanah
mempengaruhi kesuburan tanah, karena sifat fisiologis tanaman sering memerlukan K
yang seimbang dengan unsur lain. Misalnya, tekanan turgor tanaman dipengaruhi
oleh kalium dan kalsium (Ca). Disamping itu K sering memiliki sifat berlawanan
dengan unsur lain. Ketidakseimbangan K dengan unsur lain pada tanaman dapat
menyebabkan kekurangan salah satu unsure lain dalam tanaman. (Rosmarkam,2002).

Peranan kalium pada tanaman antara lain:

 Membentuk dan mengangkut karbohidrat


 Katalisator dalam pembentukan protein
 Menaikkan pertumbuhan jaringan meristem
 Mengatur pergerakan stomata
 Meningkatkan kualitas buah karena bentuk dan wrna yang lebihmenarik
 Mengatur tekanan turgor tanaman.
2.6.4 Karbon (C)
Tanaman memerlukan karbon, oksigen dan hidrogen yang didapat dari udara
berupa CO2 dan O2 serta dari tanah yang mengandung H2O dan unsur-unsur lainnya
untuk pembentukan protein dan fungsi fisiologis tanaman itu sendiri
(Dwidjoseputro,1980).

Unsur karbon di tanah sebagian besar berupa karbon organic yang berasal dari
sisa-sisa makhluk hidup baik tanaman dan hewan yang telah mati. Sisa dari bagian
makhluk hidup itu akan mengalami proses dekomposisi oleh berbagai
mikroorganisme tanah sehinggs menghasilkan senyawa anorganik atau mineral
seperti gas karbondioksida, air dan berbagai macam garam yang dapat diserap oleh
tanaman (Sutedjo 1991).

Fotosintesis yang dilakukan oleh tanaman merupakan proses penyerapan


karbondioksida (CO2) dari udara secara difusi melalui permukaan mulut daun

17
(stomata) yang berfungsi membentuk glukosa dan oksigen yang diperlukan oleh
makhluk hidup.

2.6.5 Ratio C/N


Pencampuran bahan-bahan organik yang mempunyai perbandingan C/N
rendah dan tinggi dianjurkan dalam pembuatan fermentasi kali ini. Untuk
peningkatan keragaman mikroba sangat dianjurkan untuk menggunakan 3 macam
bahan organik. Bahan-bahan tersebut merupakan tempat tumbuh dan berkembang
bagi mikroorganisme efektif yang akan memperbaiki ketersediaan unsur hara dan
senyawa-senyawa bioaktif bagi tanaman (Anonimous,2002)

Apabila perbandingan C/N tinggi maka perombakan mikroba berjalan lambat


sedangkan perbandingan C/N rendah, perombakan mikroba akan berjalan cepat
karena unsur nitrogen tinggi dimana nitrogen adalah penguraian senyawa-senyawa
organik yang lebih sederhana yang merupakan suatu keharusan bagi biosintesis asam
amino yang merupakan unit pembangun protein dan asam nuklet bernitrogen.

Unsur hara ini berasal dari penguraian senyawa organic didalam tanah yang
dapat diserap oleh tanaman. Perubahan bahan organik selama proses pengomposan
mengakibatkan kadar karbohidarat akan berkurang bahkan hilang, sedangkan unsur N
yang terlarut (amonia) meningkat, oleh karena itu perbandingan C/N akan semakin
semakin rendah dan relatif stabil mendekati C/N tanah (Prihmantoro,2002).

2.7 Teori Analisis

2.7.1 Nitrogen (N)


Pada penelitian ini nitrogen tersedia dianalisis dalam bentuk nitrat, Nitrat
diekstraksi dengan air suling karena nitrat sangat mudah larut dalam air, kemudian
penentuan nitrat dengan mereaksiakan dengan asam fenol disulfonat menghasilkan
kompleks berwarna kuning gelap dari senyawa 6 nitro 1,2,4-phenoldisulfonat
(Elfiyenty,2002). Senyawa kompleks yang berwarna kuning gelap ditentukan dengan
spektrofotometer yang diukur pada panjang gelombang 405 nm.

18
2.7.2 Fosfor (P)

Fosfor tersedia dalam bentuk ortofosfat. Ortofosfat diekstraksi dengan metode


Olsen dimana zat pengekstraknya adalah NaHCO3 0,5 N pH 8,5. Fosfat dalam
suasana netral atau sedikit asam terikat dengan Al-FePO4 . Pengekstrak natrium
bikarbonat akan mengendapkan bereaksi dengan Al dan Fe menjadi Al-Fe hidroksida
sehingga ion ortofosfat dibebaskan dalam larutan . Selanjutnya ortofosfat ditentukan
dengan metode asam askorbat. Amonium molibdat dan kalium antimronil tartarat
bereaksi dalam suasana asam dengan ortofosfat hingga membentuk asam
fofsfomolibdat. Asam fosfomolibdat tersebut kemudian direduksi oleh asam askorbat
menjadi molybdenum biru (Asnawati,1994).

Reaksi lengkap:

2H3PO4 + 24 (NH4)2 MoO4 + 6K(SbO)C4H4O6.1/2H2O +21 H2SO4


Fosfat Ammonium Molibdat Kalium Antimonil tartarat

2(K)3PO4 12MnO3 + 3NH3(SbO)C4H4O6.1/2H2O + 21(NH4)2SO4 + 24 H2O +


Kalium fosfomolibdat

(K)3PO412MoO3 + 12C6H8O6 (K)3PO4.12MoO2 +12 H2O + 12 C6H6O6


Askorbat
Konsentrasi ortofosfat ditentukan dengan alat spektrofotometer yang diukur
pada panjang gelombang 695 nm.

2.7.3 Kalium (K)


Kalium tersedia dalam bentuk K+. Kalium diekstrak dengan menggunakan
ekstraksi Olsen dengan pelarut NaHCO3 (0,5 N pada pH 8,5 dimana ion Na+ dan H+
akan bertukar dengan ion K+ yang berada dalam kompleks koloid dari tanah sehingga
ion K+ terlepas dari kompleks koloid. Pengukuran kadar kalium yang diekstrak
menggunakan alat flame fotometer nyala berdasarkan banyaknya emisi yang
dipancarkan oleh sampel pupuk yang diekstrak yang dihubungkan dengan kurva
larutan standar K (Sudjadi,1971).

19
2.7.4 Karbon ( C )
Kadar karbon ditentukan dalam bentuk karbon organik yang digunakan untuk
menentukan nilai ratio C/N pada pupuk organik dari ampas sagu tersebut. Peranan
karbon organik pada penelitian ini ditentukan berdasarkan metode spektrofotometer
sinar tampak, metode spektrofotometer sinar tampak inilah didasarkan pada
penyerapan energi radiasi oleh zat tersebut. Jumlah foton yang diserap sebanding
dengan konsentrasi atau jumlah atom, ion atau molekul dan tebal larutan yang
menyerap (hukum Lambert-Beer).

Pada penentuan kadar karbon sebelum melakukan pengukuran, terlebih


dahulu diseleksi panjang gelombang optimumnya. Kadar karbon yang ditentukan
dalam pupuk ini adalah untuk menetukan nilai rasio C/N nya.

Sampel dioksidasi menggunakan kalium bikromat 1 N dengan katalis asam


sulfat pekat yang selanjutnya direaksikan dengan barium klorida 0,5 % reaksi ini akan
menghasilkan Cr3+ dari CrCl3 yang berwarna hijau. Jumlah kalium bikarbonat yang
tereduksi diukur berdasarkan serapan energi sinar oleh Cr+3 menggunakan
spektrofotometer. Jumlah kalium bikromat yang tereduksi sebanding dengan jumlah
karbon organik yang teroksidasi dalam sampel. Dengan demikian kadar karbon energi
dapat ditentukan dengan menggunakan kurva kalibrasi standard karbon :

Corganik + 2K2Cr2O7 + 8H2SO4 2Cr2(SO4)3 + 2K2SO4 + 8H2O+ 3CO2

Cr2(SO4)3 + BaCl2 2CrCl3 + 3BeSO4

2.7.5 Nitrogen total dengan metode Kjedahl


Prinsip penetuan nitrogen dengan metode Kjedahl adalah merubah senyawa
yang mengandung nitrogen menjadi amoniak dengan cara mendetruksi sampel
dengan asam sulfat pekat. Amoniak yang dibebaskan dirubah menjadi ammonium
sulfat dengan penambahan asam berlebih. Penambahan natrium hidroksida pada
larutan sampel akan merubah ammonium sulfat menjadi natrium sulfat, amoniak ,dan
air. Amoniak dipisahkan dari larutan dengan cara mendestilasi sampel. Destilat

20
ditampung dengan erlenmeyer yang berisi asam borat sehingga akan terbentuk
ammonium borat. Ammonium borat dengan penambahan indikator campuran metilen
red-bromocresol green dititrasi dengan asam sulfat yang terpakai (Menon,1979).
Secara kimia:

Sampel 2(NH3) + H2SO4 (NH4)2SO4

(NH4)SO4 + 2 NaOH Na2SO4 + 2NH3 + 2H2O

3NH3 + H3BO3 (NH4)3BO3

2(NH4)3BO3 + 3H2SO4 3(NH4)2SO4 + 2H3BO3

2.8 Analisis Spektrofotometer Sinar Tampak

2.8.1 Teori dan Prinsip dasar


Spektrofotometer sinar tampak merupakan suatu cara analisis kimia kualitatif
dan kuantitatif yang berdasarkan penyerapan energy radiasi sinar oleh larutan
berwarna. Dengan mengukur intensitas warna yang diserap sampel dan
membandingkannya dengan absorbansi larutan standar maka konsentrasi sampel
dapat ditentukan (Day dan Underwood,1990).

Hubungan antara energy yang diserap dan panjang gelombang sesuai dengan
persamaan berikut:

E = h µ = hc / λ

Keterangan :

E = Energi foton (erg)\


h = Konstanta Plank
µ = Frekuensi (detik-1 atau Hz)
c = Kecepatan Cahaya (3x1010 cm/det)
λ = Panjang gelombang (nm)

21
Senyawa yang diukur akan menyerap sinar pada panjang gelombang tertentu/
Banyaknya sinar yang diserao sebanding dengan konsentrasi larutan yang dilalui. Hal
ini merupakan hokum Lambert-Beer yang dapat dilihat pada gambar berikut. :

Po b P

Gambar 4. Pengurangan kekuatan sinar oleh larutan pengadsorbsi

Gambar diatas memperlihatkan intensitas sinar sebelum (Po) dan sesudah (P)
melewati larutan dengan ketebalan b cm dan konsentrasi zat penyerap (pengabsorbsi)
yaitu kurangnya intensitas sinar dari Po ke P. Transmitan (T) merupakan bagian dari
sinar yang diteruskan melalui larutan sehingga didapat hubungan :

T= P/P0

Transmitan sering dinyatakan sebagai persentase (%T), sehingga hubungan antara


Absorbansi (A) dengan Trasmitan (T) suatu larutan dinyatakan dengan persamaan:

A= -log T = log P0/P

Absorbansi larutan bertambah dengan pengurangan intensitas sinar yang


diserap oleh detektor. Jika ketebalan benda atau konsentrasi materi yang dilewati
cahaya bertambah maka cahaya akan lebih banyak diserap (Tim Kimia
Analitik,2004). Jadi absrobansi A berbanding lurus dengan ketebalan b dan
konsentrasi c , persamaannya adalah:

A = a.b.c = c.b a
Dimana : A = Absorbansi
a = Absorpsivitas jika c =g/L
b = Ketebalan atau panjang jalan sinar dalam posisi atom (cm)
c = konsentrasi atom-atom (mol.L)
ε = Absorpsitas molar jika c= mol/L

22
2.8.2 Sistem Instrumen Spektrofotometer
Diagram peralatan spektrofotometer dapat digambarkan sebagai berikut;

Sumber Monokromator Kuvet Detektor


radiasi

Amplifier

Pembacaan

Gambar 5. Diagram spektrofotometer

Sumber radiasi

Sumber radiasi yang baik untuk mengukur serapan adalah sumber yang
memancarkan sinar dan menghasilkan spektrum yang kontinyu dengan intensitas
tinggi dan merata pada daerah panjang gelombang optimum. Sumber radiasi untuk
daerah sinar tampak yang digunakan adalah lampu tungsten atau wolfram. Kelebihan
lampu wolfram ini adalah energi radiasi yang dibebaskan tidak bervariasi pada
berbagai panjang gelombang. Untuk memperoleh tegangan yang stabil dapat
digunakan stabilizer. Jika tegangan tidak stabil maka akan didapatkan energi yang
bervariasi. Untuk mengkompensasikan hal ini maka dilakukan pengukuran transmitan
larutan sampel yang disertai dengan larutan standar (Sastrohamidjojdo, 2001).

Monokromator
Monokromator berfungsi untuk menguraikan radiasi polikromatik menjadi
monokromatik. Alat yang biasa digunakan dapat berupa prisma atau grating. Untuk
mengarahkan sinar monokromatik yang diinginkan dari hasil pengukuran ini dapat
digunakan celah atau dapat dilakukan dengan cara memutar prisma dan grating
sehingga sinar yang diteruskan hanya pada warna dan panjang gelombang tertentu.

23
Kuvet
Kuvet merupakan tempat sampel yang akan dianalisa. Pada spektrofotometer
UV biasanya digunakan kuvet yang terbuat kuarsa, sedangkan untuk
spektrofotometer sinar tampak digunakan sel gelas, silika atau plastik. Sel absorbsi
(kuvet) yang digunakan biasanya berukuran 1 cm dengan bentuk persegi atau silinder.
Sel yang baik adalah kuarsa yang seragam.
Detektor
Peranan detektor adalah dapat memberikan respon terhadap sinar pada
berbagai panjang gelombang tertentu, dengan mengubah energi sinar menajadi isyarat
listrik.
Syarat-syarat detektor yang baik adalah:
• Detektor harus memiliki sensitifitas tinggi
• Waktu respon pendek
• Stabilitas dalam jangka waktu yang panjang untuk menjamin respon secara
kuantitatif
• Sinyal elektronik yang dihasilkan mudah diperkuat pada amplifier.
Detektor yang digunakan pada spektrofotometer UV dan sinar tampak disebut
detektor fotolistrik (Sastrohamidjojdo, 2001). Namun untuk mendapatkan sensitifitas
yang lebih tinggi dapat digunakan detektor tabung pengganda foton (photomultiplier
tube). Detektor ini memiliki sederetan elektroda-elektroda yang potensial positifnya
semakin meningkat. Prinsip kerja detektor ini yaitu dengan adanya penembakan
elektron pada suatu elektroda maka akan membebaskan elektron yang selanjutnya
dipercepat untuk melakukan penembakan pada elektroda kedua. Dengan demikian
pada elektroda kedua ini akan dilepaskan elektron lebih banyak dari pada elektroda
pertama. Kejadian ini terus berlanjut sampai pada elektroda terakhir, sehingga
didapatkan sinyal yang cukup besar untuk selanjutnya diteruskan ke unit penguat
(Day dan Underwood, 1990).
Amplifier

Sinyal listrik yang dihasilkan pada detektor harus diperkuat dengan amplifier
agar dapat memudahkan pembacaan. Agar dihasilkan sinyal yang kuat biasanya

24
sebuah voltmeter dipasang paralel dengan sebuah resistor yang memiliki resistansi
besar. Dengan demikian hambatan menjadi kecil, dan arus yang dialirkan juga
meningkat. Adanya peningkatan arus ini maka dapat menggerakkan jarum pada
sistem analog atau menampilkan angka pada sistem digital (Day dan Underwood,
1990).
Pembacaan
Sinyal yang telah diperkuat oleh amplifier untuk memudahkan pembacaan
masuk kedalam rekorder sehingga mampu menggerakkan jarum pada sistem analog
atau digital Liquid Crystal Display (LCD), sehingga nilai absorbansi dapat di baca.

2.8.3 Spektroskopi Emisi (Fotometri nyala )


Fotometri nyala merupakan suatu metoda analisis untuk menentukan beberapa
logam alkali dan alkali tanah seperti natrium, kalium, litium, dan kalsium. Apabila
suatu larutan mengandung logam alkali atau logam alkali tanah dan dikenai dengan
nyala maka akan tcreksitasi dan kembali lagi kekeadaan dasar (groundstate) sambil
mengelurkan energi radiasi. Spektrofotometri emisi mempunyai beberapa proses
yaitu proses pengkabutan, proses atomisasi, dan proses eksitasi (Day dan Underwood,
1990).

Proses pengkabutan terjadi sewaktu aliran gas memasuki suatu ruangan


pembauran, karena adanya tekanan yang mendorong gas-gas dalam ruangan
pembauran, maka sampel akan terhisap ke dalam ruangan ini melalui sebuah kapiler.
Sebagian sampel akan berbentuk kabut didalam ruangan tersebut dan bercampur
dengan campuran gas pembakar dan oksida. Campuran gas ini dengan larutan contoh
akan terbawa ke nyala api sehingga zat yang berada di dalam larutan contoh akan
teratomisasi dan kemudian tereksitasi. Keadaan eksitasi ini tidak stabil dan atom akan
kembali ketingkat energi dasar dengan memancarkan radiasi dengan panjang
gelombang tertentu yang sebanding dengan konsentrasi zat yang berada dalam nyala.

Panjang gelombang sinar yang dipancarkan dapat dipisahkan dari nyala yang
lainnya dengan suatu filter optik yang intensitasnya dideteksi dengan fotodetektor.

25
Intensitas yang dipancarkan sebanding lurus dengan konsentrasi larutan sehingga
didapat persamaan :
I = kc
Dimana k adalah konstanta, c adalah konsentrasi dan I adalah intensitas ;uhaya
yang dipancarkan.
Komponen-komponen utama yang terpenting dalam fotometer nyala adalah:
• Nebulizer
• Ruang Pembakar
• Filter
• Fotodetektor
• Penguat (Amplifier)
• Read Out

Pengatur Tekanan (Oksidan)


Nyala ditimbulkan oleh pembakaran campuran gas bahan bakar dan dari udara
(oksigen). Untuk memperoleh sifat nyala yang diperlukan, kedua gas tersebut harus
dicampurkan dalam perbandingan yang tetap, juga harus diatur agar gas mengalir
pada kecepatan tertentu dan konstan. Pengaturan ini dilakukan dengan bantuan alat
pengatur tekanan.
Bahan Bakar
Pada fotometer nyala bahan bakar yang biasa digunakan adalah Liquified
Petroleum Gas (LPG). Gas ini biasanya dicampur dengan oksigen yang diserap dari
udara untuk menghasilkan nyala dengan temperatur 1800 °C. Karena keterbatasan
temperatur nyala tersebut maka penggunaan alat ini hanya terbatas untuk unsur-unsur
yang mudah tereksitasi seperti dari golongan alkali dan alkali tanah.

Ruang Pengkabutan
Proses pengkabutan terjadi sewaktu aliran gas elpiji, udara dan sampel memasuki
ruangan pengkabutan, karena adanya tekanan yang mendorong gas-gas ke dalam
ruangan ini melalui suatu kapiler. Pada bagian ini larutan sampel diubah menjadi
aerosol yang tercampur dengan gas dan terbawa ke nyala.

26
Nyala
Sampel dalam bentuk aerosol yang terbawa gas ke nyala akan menyerap
energi sehingga elektron terluar dari atom tersebut akan mengalami eksitasi ke
tingkat energi lebih tinggi. Keadaan ini merupakan keadaan tidak stabil, sehingga
untuk mencapai kestabilan maka elektron tersebut harus kembali ke keadaan dasar
(ground state) dengan cara memancarkan energi dalam bentuk radiasi sinar yang
dihasilkan akan menuju filter.
Filter Optik
Radiasi (emisi) sinar yang dipancarkan oleh setiap atom memilki panjang λ
tertentu. Maka untuk memisahkan radiasi sinar antara suatu atom dan yang lainnya
digunakan filter khusus untuk atom tertentu. Dengan adanya filter tersebut maka
radiasi sinar yang diteruskan ke detektor hanya radiasi sinar yang dihasilkan dari satu
jenis atom tertentu saja.
Fotodetektor
Detektor yang dapat dignnakan adalah vakum photo tube. Detektor berfungsi
merubah sinyal elektromagnetik menjadi sinyal listrik. Pada fotometer nyala biasanya
digunakan foto detektor. Namun untuk memperoleh sensitifitas yang lebih tinggi
dapat digunakan detektor pengganda ion (photomultiplier tube).
Penguat (Ampilifier)
Sinyal listrik yang dihasilkan dari detektor diperkuat pada amplifier untuk
memudahkan pembacaan. Dengan adanya peningkatan intensitas sinyal tersebut maka
dapat menggerakkan jarum pada sistem analog atau menampilkan angka pada sistem
digital atau digital Liquid Crystal Display (LCD).

Recorder (Read-Out)
Sinyal yang telah diperkuat oleh amplifier diteruskan kedalam rekorder
sehingga mampu menggerakkan jarum pada sistem analog atau digital Liquid Display
(LCD), sehingga nilai emisi dari pancaran radiasi sinar suatu atom dapat dibaca.

27
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Alat dan Bahan


3.1.1 Alat yang Digunakan
Alat-alat yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah : Spektrofotometer
20 D (Militon dan Roy Co, England), Flame Fotometer Courning 400, Neraca
Analitik (Mettler tipe AE200), Oven Gallenkamp, Furnace (Gallenkamp muffle
furnace), pH meter Orion 210 A, seperangkat alat destilasi, penangas air dan
peralatan gelas lainnya (Pyrex Company) yang biasa digunakan di laboratorium
Kimia Analitik dan Laboratorium Biokima.

3.1.2 Bahan yang Digunakan


Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ampas sagu (limbah
padat Kilang Harapan, Desa Tanjung Kepulauan Meranti), gula merah, air suling,
serbuk gergaji, dedak padi, kotoran ayam, EM 4 (produk PT Songgo Langit, Jakarta),
asam sulfat pekat (H2SO4), asam sulfat berasap (furning H2SO4), natrium hidroksida
(NaOH), kalium nitrat (KNO3), ammonium hidroksida (NH4OH), asam askorbat,
ammonia pekat, ammonium molibdat (NH4)6Mo7O24.4H2O), kalium sulfat (K2SO4),
selenium (Se), asam boraks (HBO3), natrium boraks (Na2B4O7), asam nitrat (HNO3),
indikator campuran metilen red-bromocresol green, kalium klorida (KCl), natrium
bikarbonat (NaHCO3), kalium dihidrogen fosfat (KH2PO4), kalium bikromat
(K2Cr2O7), sukrosa (C12H22O11), barium klorida (BaCl2), kalium antimoni tartarat
(KSbOC4H4O6. 1/2H2O), dan kristal fenol.

28
3.2 Rancangan Tahapan Kerja

3.2.1 Persiapan Bahan Dasar Pupuk


Sampel ampas sagu yang telah kering kemudian dipersiapkan dengan bahan-
bahan organik seperti dedak padi, kotoran ayam dan serbuk gergaji yang diambil di
areal lahan percontohan dari kelompok mahasiswa penelitian dan pengembangan
Bokashi-EM (KOMPPOS - EM).

3.2.2 Peremajaan EM-4 Aktif


Larutan gula merah (20 mL), larutan EM-4 (20 mL), dan air sebanyak
(2000mL) disiapkan. Air dituangkan ke dalam botol yang bersih lebih kurang
1000mL. Setelah itu, larutan gula merah (20 mL) ditambahkan ke dalam air yang ada
di botol tadi. Dan terakhir larutan EM-4 (20 mL) juga ditambahkan ke dalam botol
yang telah berisi campuran air dan gula merah tadi. Lalu cukupkan air hingga
mencapai 2000ml. Botol ditutup dengan rapat dan dihindarkan dari sinar cahaya
matahari selama proses fermentasi. Selama proses fermentasi berlangsung, gas yang
terbentuk dikeluarkan secara berkala selama lebih kurang 1-2 minggu dan digunakan
apabila gasnya sudah tidak ada dan memberikan aroma yang khas.

3.2.3 Pembuatan EM-5


Larutan gula merah (100 mL), larutan asam cuka 5% (100 mL), larutan
alkohol 35% (100 mL), larutan EM-4 (100 mL), dan air sebanyak 600 mL
dipersiakan. Campuran larutan tersebut dituangkan satu persatu ke dalam botol
plastik dan dihindarkan dari cahaya matahari selama fermentasi. Selama proses
fermentasi berlangsung gas yang terbentuk dikeluarkan secara berkala selama lebih
kurang 1-2 minggu dan siap digunakan apabila gasnya sudah tidak ada dan
memberikan aroma yang khas.

3.2.4 Perlakuan Bahan Dasar Pupuk pada Pengomposan


Ampas sagu yang telah kering dan semua bahan organik (kotoran ayam,
serbuk gergaji, dan dedak) yang telah di persiapkan dibagi 3 bagian perlakuan.

29
Perlakuan 1, bahan dasar difermentasi dengan EM 4. Perlakuan 2, bahan dasar
difermentasi dengan EM 5 dan perlakuan 3 adalah kontrol yang menggunakan air.

3.2.5 Proses Pengomposan


Proses pengomposan dilakukan di kebun KOMPPOS UR dan dibuat dengan
perbandingan 1:1:2 antara ampas sagu, serbuk gergaji, dan kotoran ayam. Ampas
sagu 9 kg, serbuk gergaji 9 kg dan pupuk kandang 18 kg. Bahan-bahan organik dan
kotoran ternak diaduk menjadi satu adonan.
Adonan yang telah diaduk rata dipisahkan ke dalam 3 tempat di atas terpal
berukuran sedang. Adonan 1 ditambahkan dengan EM-4 lalu diaduk rata, adonan 2
ditambahkan dengan EM-5 lalu diaduk rata, dan adonan 3 ditambahkan air sebagai
kontrol. Adonan yang telah ditambahkan dalam 3 perlakuan kemudian dilihat kadar
airnya. Jika sudah mencapai 30-40%, diangsur untuk melakukan penambahan dedak.
Lalu diaduk rata dan kemudian dimasukkan ke dalam 3 polybag berukuran 4 kilo
untuk masing-masing perlakuan. Pada saat proses pengomposan, kondisi adonan
harus dalam kondisi anaerob dan hindari dari cahaya matahari langsung.
Pengomposan berlangsung ditandai dengan naiknya suhu, dan usahakan suhu
dipertahankan sekitar 40-450C. Pengomposan dilakukan pada 0, 5, 10, 15, dan 20
hari.

3.2.6 Pengambilan Sampel


Sampel diambil pada fermentasi pada hari 0, 5, 10, 15, dan 20 hari untuk
dilakukan uji kandungan unsur N, P, K dan rasio C/N. Masing-masing sampel
diambil (300 gram), dimasukkan ke dalam wadah plastik ukuran 250 gram, diikat
dengan karet gelang dan diberi label. Sampel dibawa ke laboratorium kimia analitik,
laboratorium biokimia untuk dianalisis. Gambar lengkapnya dapat dilihat pada
rancangan penelitian dibawah ini:

30
PERSIAPAN BAHAN DASAR PUPUK dengan
PERBANDINGAN 1 :1 : 2

AS + KA + SG + EM 4 AS + KA +SG + AIR AS + KA + SG + EM 5
SUMUR

4 Kg 4 Kg 4 Kg 4 Kg 4 Kg 4 Kg 4 Kg 4 Kg 4 Kg

FERMENTASI PADA 0, 5, 10, 15, 20 hari

ANALISIS SAMPEL

PENGUKURAN KADAR N,P,K dan RASIO C/N

Gambar 6. Rancangan penelitian

Keterangan :
AS = Ampas Sagu
KA= Kotoran ayam
SG = Serbuk Gergaji

3.3 Analisis Sampel

3.3.1 Analisis pH (Menon,1979)


Sampel kering (10 gram) dimasukkan kedalam gelas piala ukuran 250 ml.
Sampel tersebut dituangkan 100 ml akuades. Campuran tersebut diaduk selama 30
menit dan diinkubasi semalam. Larutan dalam gelas piala diambil dan diukur nilai pH
dengan menggunakan pH meter yang sudah dikalibrasi.

31
3.3.2 Analsis Kandungan Air (Sudarmadji,1976)
Cawan penguap atau crussible dimasukkan kedalam oven pada temperatur ±
110°C selama 2 jam, setelah itu didinginkan dalam desikator selama 45 menit. Cawan
tersebut ditimbang menggunakan timbangan analitis dengan kepekaan 0,1 mg hingga
konstan dan catat berat cawan kosong (A gram).
Cawan yang sudah diketahui beratnya diisi dengan 10 gram sampel dan
ditempatkan kedalam oven pada temperatur ± 110°C selama 2 jam, setelah
dipanaskan selama 2 jam, cawan didinginkan di dalam desikator selama 45 menit,
dan ditimbang dengan menggunakan timbangan analitis dengan .kepekaan 0,1 mg,
hingga konstan dan catat berat cawan berisi sampel (B gram). rumus yang dicari:
% kandungan air = ((B-A)/10)) x 100%

3.3.3 Penentuan Nitrogen –Nitrat (Sudjadi,1971)

3.3.3.1 Ekstraksi Sampel


Sampel kering (50 gram) ditimbang dan dimasukkan ke dalam gelas piala
500ml lalu dituangkan 250 ml akuades dan diaduk selama 15 menit. Jika dalam gelas
terlihat keruh, ditambahkan karbon aktif secukupnya dan diaduk lagi. Ketika larutan
tampak jernih, larutan disaring dan hasil saringan digunakan untuk analisis sampel
nitrat.

3.3.3.2 Penentuan Panjang Gelombang Optimum


Larutan standar N-nitrat 2 ppm dimasukkan kedalam cawan, lalu diuap dan
dikeringkan pada suhu tidak lebih dari 70 °C. Setelah volume berkurang setengah,
ditambahkan 0,5 mL asam fenol disulfonat sambil digoyang supaya merata. Setelah
itu ditambahkan 5 mL akuades, 1,75 mL NH4OH 25 % lalu dilakukan pengenceran
sebanyak 25 mL dalam labu ukur. Larutan standar N-nitrat 2 ppm hasil pengenceran
dimasukkan kedalam kuvet dan diukur absorbansinya pada gelombang antara 390 -
430 nm dengan alat spektronik 20 D. Absorbansi maksimum yang didapat dianggap
sebagai panjang gelombang optimum.

32
3.3.3.3 Penentuan Kestabilan Warna
Larutan standar N-nitrat (5 mL)dengan konsentrasi 10 ppm diambil untuk
dijadikan larutan standar 2 ppm. Larutan yang telah diencerkan di letakkan pada
cawan sambil diuapkan pada suhu yang tidak lebih dari 70 C. Setelah volume pada
cawan berkurang, dicampurkan 0,5 mL asam fenol disulfonat dan dituangkan
akuades (5 mL), NH4OH 25% (1,75 mL) dan diencerkan dengan akuades sampai
25 mL dalam labu ukur. Larutan standar N-nitrat 2 ppm dituang dalam kuvet dan
dianalisa dengan spektronik pada panjang gelombang 405 nm setiap interval 5 menit
selama 1 jam. Interval kestabilan warna diperoleh berdasarkan nilai absorbansi stabil
yang dihasilkan.

3.3.3.4 Pembuatan Kurva Standar


Larutan standar N-nitrat 10 ppm dipipet sebanyak 0.25 mL, 1.25 mL, 5 mL,
10 mL dan 15ml lalu dimasukkan kedalam cawan, dan diuap keringkan pada suhu
tidak lebih dari 70oC, setelah volumenya tinggal setengah ditambahkan 0,5 ml asam
fenol disulfonat dan digoyang supaya merata, ditambahkan sebanyak 5 ml aquades ,
1,75 ml NH4OH 25 %, lalu diencerkan dengan akuades sampai 25 ml dalam labu dan
dibiarkan selama 15 menit. Setelah itu larutan diukur nilai absorbansinya pada
panjang gelombang 405 nm dengan spektronik 20 D, dan dibuat kurva kalibrasi
standar antara konsentrasi dengan serapannya.

3.3.3.5 Pengukuran Larutan Sampel


Sampel yang telah diekstrak dipipet sebanyak 5 ml dan dimasukkan kedalam
cawan porselen, sampel diuap keringkan pada suhu tidak lebih dari 70°C, setelah
volumenya tinggal setengah ditambahkan asam fenol disulfonat sebanyak 15 ml dan
digoyang supaya merata. NH4OH 25 % ditambahkan sebanyak 1,75 ml lalu diencerkan
dengan akuades sampai 25 ml dalam labu ukur, untuk blanko digunakan akuades,
nilai absorbansi diukur pada panjang gelombang 405 nm menggunakan spektronik
20D dan dilakukan pengukuran tiga kali.

33
3.3.4 Penentuan P-ortofosfat (Sudjadi,1971)

3.3.4.1 Ekstraksi Sampel


Sampel kering (2,5 gram) dimasukkan kedalam gelas piala berukuran 250 ml,
ditambahkan larutan NaHC03 0,5 N pH 8,5 ditambahkan sebanyak 50 ml, diaduk
selama 30 menit. Sampel lalu disaring dengan kertas saring, ditampung dalam
erlemeyer 100 ml. Apabila larutan berwarna maka perlu ditambahkan karbon aktif
dan setelah itu disaring lagi hingga jernih, dan pengerjaan ekstraksi sampel dilakukan
pengulangan tiga kali.

3.3.4.2 Penentuan Waktu Kestabilan Warna


Larutan standar fosfat 10 ppm dipipet sebanyak 12,5 mL untuk memperoleh
standar 5 ppm dimasukkan ke labu ukur 25 ml. Reagen pereaksi campuran fosfat
ditambahkan sebanyak 5 ml, diencerkan hingga tanda batas, diaduk, hal yang sama
dilakukan untnk blanko, kemudian larutan standar fosfat 5ppm dimasukkan kedalam
kuvet, nilai absorbansi diukur pada panjang gelombang 695 nm setiap interval waktu
5 menit selama satu jam, interval kestabilan warna ditentukan berdasarkan absorbansi
paling stabil.

3.3.4.3 Penentuan Panjang Gelombang Optimum


Penentuan panjang gelombang optimum dilakukan dengan cara memipet
12,5 ml larutan standar fosfat 10 ppm untuk memperoleh larutan standar 5 ppm dan
dimasukkan ke dalam labu ukur 25 ml. Reagen pereaksi campuran fosfat
ditambahkan sebanyak 5 ml, diencerkan dengan air suling hingga tanda batas, diaduk,
dan dibiarkan proses reaksi berlangsung selama 35 menit. Dilakukan hal yang sama
untuk blanko, nilai absorbansi diukur pada panjang gelombang antara 665 – 710 nm
dengan menggunakan spektronik 20D, dengan absorbansi maksimum dianggap
sebagai panjang gelombang optimum.

3.3.4.4 Pembuatan Kurva Standar


Pembuatan kurva kalibrasi standar dilakukan dengan cara memipet 1,25ml,
2,5 ml, 5 ml,7,5ml; 10ml; dan 12,5 ml larutan standar fosfat 10 ppm dan dimasukkan

34
dalam labu ukur 25 ml. Reagen pereaksi campuran fosfat ditambahkan sebanyak
5 ml, larutan standar tersebut diencerkan dengan air suling sampai tanda batas, diaduk
dan dibiarkan proses reaksi berlangsung selama 35 menit, hal yang sama dilakukan
untuk blanko, nilai absorbansi diukur pada panjang gelombang 695 nm, dan dibuat
kurva kalibrasi standar antara konscntrasi dengan absorbansi yang diperoleh.

3.3.4.5 Pengukuran serapan larutan sampel


Sampel vang telah diekstraksi dipipet sebanyak 5 ml dan dimasukkan kedalam
labu ukur 25 ml, reagen pereaksi campuran fosfat ditambahkan sebanyak 5 ml,
sampel diencerkan dengan air suling sampai tanda batas, diaduk dan dibiarkan proses
reaksi berlangsung selama 35 menit, nilai absorbansi diukur pada panjang gelombang
695 nm. Kadar fosfat ditentukan pada larutan sampel tersebut, dan masing- masing
sampel dianalisis dengan tiga kali pengulangan.

3.3.5 Penentuan Kandungan Kalium

3.3.5.1 Ekstraksi Sampel


Sampel ditimbang sebanyak 2,5 gram, dimasukkan kedalam gelas piala
berukuran 250 ml, larutan NaHCO3 0,5 N pH 8,5 ditambahkan sebanyak 50 ml
diaduk selama 30 menit, sampel disaring dengan kertas saring, ditampung dalam
Erlenmeyer 100 ml, apabila berwarna ditambahkan karbon aktif dan setelah itu
disaring lagi hingga jernih. Pengerjaan ekstraksi sampel dilakukan pengulangan tiga
kali.

3.3.5.2 Pembuatan Kurva Standar Kalium


Larutan standar kalium dibuat dengan cara melarutkan 1,9067 gram KCl
dilarutkan dengan NaHC03 0,1 N pH 8,5 kemudian diencerkan hingga 1 liter pada
labu takar (1000 ppm). Kurva kalibrasi standar dibuat dengan cara mengukur emisi
masing-masing larutan standar yang sudah di encerkan secara tepat pada konsentrasi
2,4,6, 8 dan 10 ppm dengan flame fotometer yang menggunakan filter K.

35
3.3.5.3 Pengukuran Emisi Larutan Sampel
5 ml ekstrak sampel dipipet, dimasukkan kedalam labu ukur 10 ml lalu
ditambahkan 5 ml akuades dan dikocok, nilai emisinya diukur dengan flame
fotometer, kadar kalium dihitung melalui hasil kurva kalibrasi standar, dan dilakukan
pengulangan tiga kali terhadap masing - masing sampel.

3.3.6 Penetuan Kadar Karbon organik

3.3.6.1 Pengukuran Panjang Gelombang Optimum


Penentuan panjang gelombang optimum dilakukan dengan cara memipet
15 ml larutan standar karbon (sukrosa 50 mg/ml), lalu diencerkan hingga tanda batas
labu takar 100 ml dengan akuades (konsentrasi 7,5 mg/ml). Larutan standar karbon
7,5 ml/mg dipipet 2 ml dan masukkan ke erlenmeyer 250 ml dan untuk blanko
digunakan akuades. ditambahkan 10 ml K2Cr2O7 1 N dan 20 ml H2SO4 pekat dengan
hati-hati. Selanjutnya larutan tersebut dikocok dan dibiarkan selama 30 menit.
Larutan BaCl 0,5 % ditambahkan 100 ml untuk mendapatkan larutan yang jernih dan
diinkubasi semalam. Pengukuran serapan dilakukan pada panjang gelombang 520-
580 nm dengan interval 5 menit.

3.3.6.2 Pengukuran Absorbansi Larutan Standar Karbon


Pembuatan kurva kalibrasi standar dilakukan dengan cara memipet 5, 10, 15,
20 dan 25 ml larutan standar karbon 50 mg/ml, lalu diencerkan hingga tanda batas
pada labu takar 100 ml dengan akuades (konsentrasi 2,5; 5,0; 7,5; 10 dan 12,5
mg/ml). Larutan standar karbon masing-masing dipipet 2 ml dan dimasukkan ke
erlenmeyer 250 ml, ditambahkan 10 ml K2Cr207 1 N dan 20 ml H2S04 pekat dengan
hati-hati. Selanjutnya larutan tersebut dikocok dan biarkan selama 30 menit. Larutan
BaCl2 0,5 % ditambahkan 100 ml untuk mendapatkan larutan yang jernih dan
diinkubasi semalam. Pengukuran serapan dilakukan pada panjang gelombang
optimum dan kadar karbon dihitung dengan membandingkan serapan sampel dan
standar menggunakan kurva kalibrasi standar.

36
3.3.6.3 Pengukuran Absorbansi Larutan sampel
Pengukuran serapan larutan sampel dilakukan dengan cara mengoksidasi 0,5
gram sampel yang ditempatkan pada erlenmeyer. Larutan K2Cr207 1N ditambahkan
10 ml dan 20 ml H2SO4 pekat dengan hati-hati. Selanjutnya larutan tersebut tersebut
dikocok dan biarkan selama 30 menit. Larutan BaCl2 0,5 % ditambahkan 100ml
untuk mendapatkan larutan yang jernih dan biarkan semalam. Pengukuran serapan
dilakukan pada panjang gelombang optimum dan kadar karbon dihitung dengan
membandingkan serapan sampel dan standar menggunakan kurva kalibrasi standar.

3.3.7 Penentuan Kadar Nitrogen (N) total


3.3.7.1 Destruksi
Masing-masing sampel yang telah dihaluskan dan kering air diambil 1 gram
dan dimasukkan kedalam labu Kjedahl, untuk mempermudah destruksi sampel maka
ditambahkan 1 gram katalis campuran (campuran serbuk CuSO4, K2SO4 ditambahkan 1
gram katalis campuran (campuran serbuk CuSO4.K2SO4 dan Se) dan 10 ml H2SO4
pekat sambil diaduk perlahan agar larutan homogeny. Kemudian larutan tersebut
dipanaskan dengan pemanasan rendah, dan dilanjutkan dengan panas yang lebih
tinggi hingga warna larutan kebiru-biruan atau jernih.

3.3.7.2 Destilasi
Larutan hasil destruksi yang telah dingin diencerkan dengan 50 ml akuades
dan dipindahkan kelabu destilasi. Untuk mempermudah pemisahan amoniak dari
larutan sampel maka ditambahkan NaOH 40 % hingga larutan bersifat basa.
Penambahan beberapa batu didih dilakukan untuk menghindari terjadinya bumping
pada saat destilasi berlangsung. Destilat ditampung dengan Erlenmeyer yang berisi
5 ml larutan asam borat 4 % dan beberapa tetes indikator campuran (campuran
bromocresol green dan methyl red). Destilat diakhiri jika volume destilat mencapai
50 ml.

3.3.7.3 Titrasi
Destilat selanjutnya dititrasi dengan H2SO4 0,05 N dan dihentikan jika terjadi
perubahan warna dari biru menjadi merah muda, kemudian ditentukan volume H2SO4

37
yang terpakai, sedangkan untuk blanko digunakan akuades. Kadar nitrogen total
dalam sampel ditentukan dengan menggunakan persamaan berikut :
%= (ml H2SO4 sampel – ml H2SO4 blanko) x NH2SO4 x 0,014 x 100%
Berat Sampel

3.4 Analisis Data


Dari data yang diperoleh dari hasil pengukuran akan dianalisis dengan metode
statistik berupa tabel dan grafik dan dilanjutkan uji ANOVA dengan test Duncan.
Analisia statistik ini berguna untuk mengetahui ada atau tidak adanya perbedaan
secara signifikan ke empat perlakuan pada kompos setelah fermentasi 0,15,30,45,60
hari.

38

Anda mungkin juga menyukai