HEDONISME
Makalah Ini Di Buat Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Ilmu
OLEH :
PROGRAM PASCASARJANA
2019
KATA PENGANTAR
Adapun tujuan saya menulis makalah ini yaitu untuk memenuhi salah satu
tugas kuliah saya di dalam mata kuliah Filsafat Ilmu dan juga agar kita mengerti
definisi dan sejarah terlahirnya faham Hedonisme.
Novia Maulina
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Hedonisme adalah pandangan hidup yang menganggap bahwa kesenangan
dan kenikmatan materi adalah tujuan utama hidup. Bagi para penganut paham ini,
bersenang-senang, pesta-pora, dan pelesiran merupakan tujuan utama hidup, entah
itu menyenangkan bagi orang lain atau tidak. Mereka beranggapan hidup ini
hanya sekali, sehingga mereka merasa ingin menikmati hidup senikmat-
nikmatnya. Di dalam lingkungan penganut paham ini, hidup dijalanani dengan
sebebas-bebasnya demi memenuhi hawa nafsu yang tanpa batas. Saat orang sudah
terbiasa dengan gaya hidupnya yang mewah sulit untuk orang mengubah
hidupnya menjadi sederhana.
Hedonisme dikembangkan oleh dua orang filosof Yunani, Epicurus (341-
270 SM) dan Aristippus of Cyrine (435-366 SM).Mereka berdualah yang dikenal
sebagai perintis paham Hedonisme.Sebenarnya, dua filosof ini menganut aliran
yang berbeda. Bila Aristippus lebih menekankan kepada kesenangan badani atau
jasad seperti makan, minum, seksualitas, maka Epicurus lebih menekankan
kepada kesenangan rohani seperti bebas dari rasa takut, bahagia, tenang batin, dan
lain sebagainya. Namun, kedua-duanya berpendapat sama yaitu kesenangan yang
diraih adalah kesenangan yang bersifat privat atau pribadi.
1
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah sejarah terlahirnya faham Hedonisme?
2. Bagaimanakah Hedonisme menurut kaum Cyrenaic?
3. Bagaimanakah Hedonisme menurut kaum Epicurean?
4. Apakah yang dimaksud kenikmatan Sadistis?
5. Bagaimanakah tinjauan kritis terhadap Hedonisme?
C. Penyelesaian Masalah
1. Untuk mengetahui sejarah Hedonisme.
2. Untuk mengetahui Hedonisme menurut kaum Cyrenaic.
3. Untuk mengetahui Hedonisme menurut kaum Epicurean.
4. Untuk mengetagui apa yang dinamakan kenikmatan Sadistis.
5. Untuk memahami tinjauan kritis terhadap Hedonisme.
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Hedonisme
Hedonisme sudah mucul sejak awal sejarah filsafat, yang timbul atas
pertanyaan “apa yang menjadi hal terbaik bagi manusia”, kemudian para hedonis
menjawab: kesenangan (hedone dalam bahasa Yunani). Adalah baik apa yang
memuaskan keinginan kita, apa yang meingkatkan kuantitas kesenangan atau
kenikmatan dalam diri kita.
Akan tetapi, ada batas untuk mencari kesenangan. Aristippos pun perlunya
pengendalian diri, sebagaimana sudah diajarkan oleh gurunya, Sokrates. Dalam
pada itu mengakui pengendalian diri tidak sama dengan meninggalkan
3
kesenangan. Yang penting ialah mempergunakan kesenangan dengan baik dan
tidak membiarkan dir terbawa olehnya, sebagaimana menggunakan kuda atau
perahu tidak berarti meninggalkannya, tapi menguasainya menurut kehendak kita.
Biarpun pada dasarnya setiap kesenangan bisa dinilai baik, namun berarti
bahwa setiap kesenangan harus dimanfaatkan juga. Dalam hal ini pentinglah
pembedaan yang diajukan Epikuros antara tiga macam keinginan: keinginan
alamiah yang perlu (seperti makanan), keinginan alamiah yang tidak perlu (seperti
makanan yang enak), dan keinginan yang sia-sia (seperti kekayaan). Hanya
keinginan macam pertama harus di puaskan dan pemuasnya secara terbatas
menghasilkan kesenangan paling besar. Karena itu Epikuros menganjurkan
semacam “pola hidup sederhana”. Orang bijaksana akan berusaha sedapat
mungkin hidup terlepas dari keinginan. Dengan demikian manusia akan mencapai
ataraxia, ketenangan jiwa atau keadaan jiwa seimbang yang tidak membiarkan
diri terganggu oleh hal-hal yang lain. Ataraxia begitu penting bagi Epikuros,
sehingga ia menyebutnya juga tujuan kehidupan manusia (di samping
kesenangan). Ataraxia berperanan bagi jiwa, seperti kesehatan bagi badan. Orang
bijaksana yang memperoleh ketenangan jiwa itu akan berhasil mengusir segala
4
macam ketakutan (untuk kematian, dewa-dewa dan suratan nasib), menjauhkan
diri dari kehidupan politik dan menikmati pergaulan dengan sahabat-sahabat.
Dengan cara demikian, kepuasan dan rasa sakit sangat berbeda dari hal-hal
seperti kehormatan dan rasa malu. Perbedaan tersebut memiliki dua aspek. Yang
pertama, kehormatan tidak dianggap sebagai kebaikan universal sedangkan rasa
malu tidak dianggap sebagai keburukan universal. Dalam beberapa kebudayaan,
misalnya, orang-orang memiliki sentimen kuat terhadap kehormatan keluarga dan
menganggap segala hal yang dapat mencemari nama keluarga sebagai hal yang
menakutkan. Dalam kebudayaan lainnya, orang-orang tidak memiliki sentimen
semacam itu. Yang kedua, anggapan mengenai hal-hal yang penuh kehormatan
dan hal-hal yang memalukan adalah konsep yang berbeda menurut beragam
kebudayaan. Jika hal-hal yang menimbulkan rasa sakit berlaku dalam semua
budaya, hal-hal yang menyebabkan rasa malu dalam sebuah lingkungan bisa saja
tidak menyebabkan rasa malu dalam lingkungan yang lain. Sekedar contoh, di
beberapa tempat, hamil sebelum menikah di pandang sebagai hal yang
mengerikan. Namun di tempat lain, hal yang di anggap mengerikan adalah
5
meningkatnya gejala penyakit kanker. Penyebabnya barangkali adalah, tidak
seperti kepuasan dan rasa sakit, gagasan-gagasan yang melatari pencarian
kehormatan dan penghindaran rasa malu seringkali hancur di hadapan konsepsi
kehidupan yang sangat berbeda. Kita dapat menolak gagasan yang menyataakan
bahwa hamil di luar nikah adalah hal yang memalukan, namun kita tidak dapat
membantah fakta bahwa pertumbuhan kanker menyebabkan rasa sakit. Demikian
juga, kehormatan dan rasa malu adalah nilai yang sangat bergantung dengan adat
istiadat suatu daerah dan masa tertentu. Novel karya Nathaniel Hawthorne The
Scarlet Woman, yang berkisah tentang seorang ibu tidak menikah di lingkungan
New England yang puritan, menggambarkan dalam kehidupan Inggris
kontemporer di mana 40% kelahiran bayi terjadi di luar ikatan pernikahan.
Sebaliknya, kata nilai-nilai alamiah tetap memiliki arti seperti adanya.
Dua contoh tersebut di atas menunjukan bahwa rasa sakit dan kepuasan
berbeda dengan nilai-niai lain. Inilah yang menyebabkan keduanya di sebut
sebagai kebaikan dan keburukan “alamiah”, sebuah ciri yang seolah memosisikan
hedonisme di atas filsafat nilai lainnya. Atau demikianlah yang ada dalam benak
Cyrenaic dan kalangan lain. Inilah persoalan yang akan kembali kita kaji, namun
pertama-tama kita harus membahas persoalan lain terlebih dahulu. Jika kita
menerima bahwa kepuasan (kenikmatan) adalah satu-satunya kebaikan sehingga
pemahaman ini memberi kita pembenaran untuk terus mengejar kepuasan dan
menyingkirkan rasa sakit dan bahkan menjadikan hal ini sebagai tujuan utama
kehidupan kita, maka kita masih harus menjawab pertanyaan berikut: cara hidup
seperti apa yang bisa memberikan kepuasan paling tinggi? Menurut Cyrenaics,
yang menganut hedonisme popular, kehidupan terbaik adalah kehidupan yang bisa
memenuhi kepuasan jasmaniah-makan, minum, seks dan lainnya. Pandangan
semacam ini masih dianut hingga saat ini. Namun jika kita perhatikan secara
serius, kita akan mendapati bahwa meski kepuasan dan rasa sakit barangkali
berlawanan, namun kebaikan dan keburukan, biasanya saling menyertai. Oleh
karena itu, pengejaran kepuasan jasmani juga akan mengundang rasa sakit
jasmani.
6
Sekedar contoh, kepuasan akan makanan bergantung akan selera makan,
yang tidak lain adalah rasa lapar. Hanya dengan menderita (setidaknya sedikit)
perihnya rasa lapar, kita baru bisa merasakan kenikmatan makanan. Demikian
juga, banyak orang menemukan kepuasan dan kenikmatan saat mabuk berat,
namun mabuk biasanya juga disertai dengan rasa mual, pusing, dan rasa sakit saat
bangun pagi. Atau juga suntikan heroin dianggap sebagai cara untuk
membangkitkan sensasi jasmani dan mental yang tertekan. Namun penggunaan
heroin juga menyebabkan pengguna mati rasa sehingga orang yang berada dalam
pengaruh heroin sering kali melukai diri mereka sendiri dan menderita rasa sakit
sehingga pada akhirnya mereka tidak nyaman. Demikian juga dengan seks.
Sementara orang (seringkali juga kita semua) mendapati sesuatu yang di sebut
sebagai kenikmatan seks bebas. Namun ketika menjerumuskan diri kedalamnya
kita harus bersedia menerima resiko terkena VD, herpes, AIDS, dan penyakit lain
yang tidak jarang menyebabkan kematian. Bahkan bentuk gratifikasi seksual yang
relatif aman-pertunjukan porno dan film, misalnya-lazimnya memiliki efek buruk.
7
namun sekali lagi ekses dari tindakan tersebut bisa menyebabkan penyakit,
penyakit paru-paru dan jantung yang tidak bisa disembuhkan. Terkadang, orang
yang menderita penyakit berbahaya karena kecanduan rokok atau kebanyak
makan berpikir bahwa kenikmatan yang mereka kejar tidak akan menyebabkan
hal yang mematikan, namun ini tidak menyanggah kesimpulan bahwa kehidupan
yang hanya mengejar rasa puas dan penolakan rasa sakit mustahil diwujudkan.
Hedonisme versi Epicurean ini bisa kita temukan dalam perkataan sehari-
hari. Seorang “epicurean” adalah seseorang yang menikmati hal-hal baik dari
kehidupan-anggur yang baik, makanan yang baik, perusahaan yang baik, model
pakaian elegan dan lainnya-dan menggunakan kata ini merefleksikan pandangan
kaum Epicurean yang menyatakan bahwa jika kehidupan dipenuhi dengan
kenikmatan yang, lazimnya, tidak disertai rasa sakit. Dengan demikian,
kenikmatan-kenikmatan tersebut merupakan kenikmatan yang relatif lembut dan
halus-anggur yang baik namun tidak terlalu banyak, makanan lezat yang menarik
bagi para pencicip rasa masakan bukan para penggemar masakan, music dan
drama yang bagus namun yang tidak mengurangi emosi, dan sebagainya.
8
Faktanya, seperti diindikasikan oleh contoh-contoh tersebut, filsafat kenikmatan
dan hidup yang baik menurut Epicurean sangat berbeda dengan konsepsi umum
mengenai hedonisme karena filsafat ini tidak mengandung sifat yang berlebihan.
Alih-alih filsafat tersebut justru menuntut para penganutnya untuk menjauhi
banyak hal yang oleh banyak orang dianggap sebagai kenikmatan.
Tentu saja, hal itu karena filsafat tersebut menyatakan bahwa hanya
kenikmatan-kenikmatan lembut dan halus yang tidak disertai rasa sakit yang bisa
mengisi kehidupan. Namun, pada saat yang sama, muncul pertanyaan apakah bisa
disebut kenikmatan jika ternyata masih ada batasan. Secara alamiah, kita tidak
membatasi diri kita untuk meminum satu atau dua gelas anggur terbaik.
Sementara ada banyak orang yang justru mendapat kenikmatan saat
mendengarkan kegaduhan dan irama music rock dan Heavy Metal ketimbang
ketika mendengarkan harmoni memikat dari komposisi Minuet karya Boccherini.
Ini memunculkan pertanyaan penting. Jika Epicureanisme mengajukan
kenikmatan yang harus kita pelajari untuk mendapatkannya, dapatkah
Epicureanisme mengklaim seruan “alamiah” yang justru merupakan keunggulan
hedonisme dari filsafat lainnya? Dalam Epicurean, ekses-ekses hedonisme
Cyrenaic dikurangi. Namun, jika Epicureanisme meminta kita untuk melepaskan
kenikmatan dan rasa sakit “alamiah”, maka kenikmatan yang didapat lebih kecil
ketimbang kehilangan.
9
dan ketidakpuasan. Menerima hal ini berarti menerima hal itu, berlawanan dengan
apa yang dipikirkan Mill dan barangkali oleh banyak orang, Socrates memiliki
argumen untuk iri pada sang Babi karena Babi tersebut menjalani kehidupan yang
lebih baik. Fakta bahwa kita maupun Socrates, sesuai dengan kemampuan dan
minat kita, tidak akan menemukan kenikmatan dalam kehidupan yang di jalani
sang Babi menyebabkan kita berfikir secara salah bahwa kehidupan sang Babi
tersebut bukanlah kehidupan yang baik. Namun dari sudut pandang hedonis,
itulah kehidupan yang baik karena dipenuhi dengan kenikmatan dan kenikmatan
merupakan satu-satunya kesenangan alamiah. Tentu saja, kehidupan manusia
yang dipenuhi kenikmatan akan diisi dengan lebih banyak aktivitas dari pada
kehidupan yang dijalani sang babi, namun kehidupan tersebut tidak akan berisi
kenikmatan lagi sehingga tidak akan menjadi lebih baik. Dengan demikian,
hedonisme menolak kesulitan dalam konsep Mill mengenai kenikmatan tinggi dan
rendah dengan cara menolak pembedaan kebaikan dalam beragam jenis
kenikmatan.
Contoh tersebut adalah contoh yang saya buat sendiri, namun ketika
Socrates memberikan perbedaan kontras antara kenikmatan heroik dan vulgar di
hadapan Callicles, dia menerima bahwa dalam hal ini terdapat perbedaan yang
harus di jelaskan. Penerimaan inilah yang menyebabkan kekalahannya. Jika dia
10
tidak menerima pembedaan ini, perdebatan tersebut akan berbeda. Demikian juga,
jika seorang hedonis berkeras bahwa seorang penyiksa memndapatkan
kenikmatan yang sama banyaknya dengan seorang dokter, sang penyiksa dan
dokter sama-sama menjalani kehidupan yang baik, sehingga konsepsi yang
membedakan keduanya tidak dapat meruntuhkan tesis kaum hedonis. Seorang
hedonis yang konsisten tidak memiliki persoalan yang dimiliki Callicles.
11
kebijaksanaan konvensional dan tidak menyenangkan bagi nalar normal. Namun
sekedar fakta mengenai suatu pandangan atau pandangan lain yang tidak
konvensional atau tidak populer tidak lantas menunjukan bahwa hal itu salah.
Orang yang pertama kali menyatakan bahwa bumi tidak datar juga menolak
kebijakan konvensional. Untuk dapat menolak hedonisme sebagai filsafat nilai, di
butuhkan hal yang lebih daripada contoh-contoh intuitif seperti yang telah kita
sebutkan. Agar dapat menentukan pembenaran yang paling substansial, kita harus
mengkaji seorang filsuf Yunani lainnya, Aristotle.
Kritik lebih berat lagi adalah bahwa dalam argumentasi hedonisme terdapat
loncatan yang tidak dipertanggungjawabkan. Dari angggapan bahwa dalam kodrat
manusia adalah mencari kesenangan (yang menurut hemat kami dapat
dipertanyakan lagi), ia sampai pada menyetarafkan kesenangan dengan moralitas
yang baik. Secara logis hedonisme harus membatasi diri pada suatu etika
deskriptif saja (pada kenyataannya kebanyakan manusia membiarkan
tingkahlakunya dituntun oleh kesenangan), dan tidak boleh merumuskan suatu
etika normatif (yang baik secara moral adalah mencari kesenangan). Para hedonis
mempunyai konsepsi yang salah tentang kesenangan. Mereka berpikir bahwa
12
sesuatu adalah baik, karena disenangi. Akan tetapi, kesenangan tidak merupakan
suatu perasaan yang subyektif belaka tanpa acuan obyektif apapun. Sebenarnya
kesenangan adalah pantulan subyektif dari suatu yang obyektif. Sesuatu tidak
menjadi baik karena disenangi, tapi sebaliknya kita merasa senang karena
memperoleh atau memiliki sesuatu yang baik. Kita menilai sesuatu sebagai baik
karena kebaikannya yang intrinsic, bukan karena kita secara -subyektif belaka-
menganggap hal itu baik. Jadi, kebaikan dari apa yang menjadi obyek kesenangan
mendahului dan diandaikan oleh kesenangan itu.
13
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam dunia modern sekarang ini rupanya hedonisme masih hadir dalam
bentuk lain. Hedonisme merupakan “etika implisit” yang mungkin tanpa disadari
dianut oleh banyak individu dewasa ini. pada kenyataannya mereka berpegang
pada prinsip-prinsip hedonistis. Seandainya mereka berusaha merumuskan secara
eksplisit pandangan etis yang terkandung dalam tingkah laku spontan, mereka
akan sampai pada suatu hedonisme yang agak mirip dengan pendapat kedua filsuf
Yunani tadi. Dan bukan saja pada taraf individual hedonisme tersembunyi ini
dapat ditemukan, dalam masyarakat luas pun hedonisme tidak absen. Jika kita
menganalisis publisitas periklanan dalam masyarakat yang disebut konsumeristis
sekarang ini, rasanya tidak terlalu sulit untuk menunjukan dibelakangnya cita-cita
hedonisme.
14
DAFTAR PUSTAKA
15