Anda di halaman 1dari 18

TUGAS FILSAFAT

HEDONISME
Makalah Ini Di Buat Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Ilmu

OLEH :

Novia Maulina (18205064)

Dosen Pembina : Dr. Ali Asmar, M.Pd

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS NEGERI PADANG

2019
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi Robbil ‘Alamin segala puji dan syukur saya panjatkan ke


hadirat Allah Subhanahu wa ta’ala, karena berkat rahmat dan karunia-Nya, saya
dapat menyelesaikan makalah saya yang berjudul “Hedonisme” ini dengan baik.

Adapun tujuan saya menulis makalah ini yaitu untuk memenuhi salah satu
tugas kuliah saya di dalam mata kuliah Filsafat Ilmu dan juga agar kita mengerti
definisi dan sejarah terlahirnya faham Hedonisme.

Saya menyadari masih terdapat banyak sekali kesalahan yang tanpa


sengaja saya buat, baik dari segi kata maupun tata bahasa di dalam makalah ini.
Untuk itu saya mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk
kesempurnaan makalah saya selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi
kita semua.

Padang, November 2019


Penulis,

Novia Maulina

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i


DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii
BAB I ...................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
A. Latar belakang .............................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 2
C. Penyelesaian Masalah .................................................................................. 2
BAB II .................................................................................................................... 3
PEMBAHASAN .................................................................................................... 3
A. Sejarah Hedonisme....................................................................................... 3
B. Hedonisme Menurut Kaum Cyrenaic .......................................................... 5
C. Hedonisme Menurut Kaum Epicurean ......................................................... 8
D. Pengertian Kenikmatan Sadistis ................................................................... 9
E. Tinjauan Kritis Terhadap Hedonisme ........................................................ 12
BAB III ................................................................................................................. 14
PENUTUP ............................................................................................................ 14
A. Kesimpulan ................................................................................................ 14
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 15

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Hedonisme adalah pandangan hidup yang menganggap bahwa kesenangan
dan kenikmatan materi adalah tujuan utama hidup. Bagi para penganut paham ini,
bersenang-senang, pesta-pora, dan pelesiran merupakan tujuan utama hidup, entah
itu menyenangkan bagi orang lain atau tidak. Mereka beranggapan hidup ini
hanya sekali, sehingga mereka merasa ingin menikmati hidup senikmat-
nikmatnya. Di dalam lingkungan penganut paham ini, hidup dijalanani dengan
sebebas-bebasnya demi memenuhi hawa nafsu yang tanpa batas. Saat orang sudah
terbiasa dengan gaya hidupnya yang mewah sulit untuk orang mengubah
hidupnya menjadi sederhana.
Hedonisme dikembangkan oleh dua orang filosof Yunani, Epicurus (341-
270 SM) dan Aristippus of Cyrine (435-366 SM).Mereka berdualah yang dikenal
sebagai perintis paham Hedonisme.Sebenarnya, dua filosof ini menganut aliran
yang berbeda. Bila Aristippus lebih menekankan kepada kesenangan badani atau
jasad seperti makan, minum, seksualitas, maka Epicurus lebih menekankan
kepada kesenangan rohani seperti bebas dari rasa takut, bahagia, tenang batin, dan
lain sebagainya. Namun, kedua-duanya berpendapat sama yaitu kesenangan yang
diraih adalah kesenangan yang bersifat privat atau pribadi.

1
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah sejarah terlahirnya faham Hedonisme?
2. Bagaimanakah Hedonisme menurut kaum Cyrenaic?
3. Bagaimanakah Hedonisme menurut kaum Epicurean?
4. Apakah yang dimaksud kenikmatan Sadistis?
5. Bagaimanakah tinjauan kritis terhadap Hedonisme?

C. Penyelesaian Masalah
1. Untuk mengetahui sejarah Hedonisme.
2. Untuk mengetahui Hedonisme menurut kaum Cyrenaic.
3. Untuk mengetahui Hedonisme menurut kaum Epicurean.
4. Untuk mengetagui apa yang dinamakan kenikmatan Sadistis.
5. Untuk memahami tinjauan kritis terhadap Hedonisme.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Hedonisme
Hedonisme sudah mucul sejak awal sejarah filsafat, yang timbul atas
pertanyaan “apa yang menjadi hal terbaik bagi manusia”, kemudian para hedonis
menjawab: kesenangan (hedone dalam bahasa Yunani). Adalah baik apa yang
memuaskan keinginan kita, apa yang meingkatkan kuantitas kesenangan atau
kenikmatan dalam diri kita.

Dalam filsafat Yunani hedonisme sudah di temukan pada Aristippos dari


Kyrene (sekitar 433-355 SM), seorang murid Sokrates. Sokrates telah bertanya
tentang tujuan terakhir bagi kehidupan manusia atau apa yang sungguh-sungguh
baik bagi manusia, tapi ia sendiri tidak memberkan jawaban yang jelas atas
pertanyaan itu dan hanya mengkritik jawaban-jawaban yang di kemukakan oleh
orang lain. Hal itu terbukti karena sudah sejak masa kecilnya manusia merasa
tertarik akan kesenangan dan bila telah tercapai ia tidak mencari sesuatu yang lain
lagi. Sebaliknya, ia selalu menjauhkan diri dari ketidaksenangan. Bagi Aristippos
kesenanggan itu bersifat badani belaka, karena hakikatnya tidak lain daripada
gerak dalam badan. Mengenai gerak itu ia membedakan tiga kemungkinan: gerak
yang kasar dan itulah ketidaksenangan, misalnya rasa sakit; gerak yang halus dan
itulah kesenangan; sedangkan tiadanya gerak merupakan suatu keadaan netral,
misalnya, jika kita tidur. Aristippos menekankan lagi bahwa kesenangan harus
dimengerti sebagai kesenangan aktual, bukan kesenangan dari masa lampau dan
kesenangan di masa mendatang. Yang baik dalam arti yang sebenarnya adalah
kenikmatan kini dan disini. Jika kita melihat pandangan Aristppos ini sebagai
keseluruhan, perlu kita simpulkan bahwa ia mengerti kesenangan sebagai badani,
aktual, dan individual.

Akan tetapi, ada batas untuk mencari kesenangan. Aristippos pun perlunya
pengendalian diri, sebagaimana sudah diajarkan oleh gurunya, Sokrates. Dalam
pada itu mengakui pengendalian diri tidak sama dengan meninggalkan

3
kesenangan. Yang penting ialah mempergunakan kesenangan dengan baik dan
tidak membiarkan dir terbawa olehnya, sebagaimana menggunakan kuda atau
perahu tidak berarti meninggalkannya, tapi menguasainya menurut kehendak kita.

Filsuf Yunani lain yang melanjutkan hedonism adalah Epikuros (341-270


SM), yang memimpin sebuah sekolah filsafat di Athena. Epikuros pun melihat
kesenangan (hedone) sebagai tujuan kehidupan manusia. Menurut kodratnya
setiap manusia mencari kesenangan, tapi pengertiannya tentang kesenangan lebih
luas daripada pandangan Aristippos. Walaipun tubuh manusia merupakan “asas
serta akar” segala kesenangan dan akibatnya kesenangan badani harus di anggap
paling hakiki, namun Epikuros mengakui adanya kesenangan melebihi tahap
badani. Dalam sepucuk surat ia menulis: “Bila kami mempertahankan bahwa
kesenangan adalah tujuannya, kami tidak maksudkan kesenangan indrawi, tapi
kebebasan dari nyeri dalam tubuh kita dan kebebasan dari keresahan dalam jiwa”
(Surat kepada Menoikeus). Dalam menilai kesenangan, menurut Epikuros kita
harus memandang kehidupan sebagai keseluruhan termasuk juga masa lampau
dan masa depan.

Biarpun pada dasarnya setiap kesenangan bisa dinilai baik, namun berarti
bahwa setiap kesenangan harus dimanfaatkan juga. Dalam hal ini pentinglah
pembedaan yang diajukan Epikuros antara tiga macam keinginan: keinginan
alamiah yang perlu (seperti makanan), keinginan alamiah yang tidak perlu (seperti
makanan yang enak), dan keinginan yang sia-sia (seperti kekayaan). Hanya
keinginan macam pertama harus di puaskan dan pemuasnya secara terbatas
menghasilkan kesenangan paling besar. Karena itu Epikuros menganjurkan
semacam “pola hidup sederhana”. Orang bijaksana akan berusaha sedapat
mungkin hidup terlepas dari keinginan. Dengan demikian manusia akan mencapai
ataraxia, ketenangan jiwa atau keadaan jiwa seimbang yang tidak membiarkan
diri terganggu oleh hal-hal yang lain. Ataraxia begitu penting bagi Epikuros,
sehingga ia menyebutnya juga tujuan kehidupan manusia (di samping
kesenangan). Ataraxia berperanan bagi jiwa, seperti kesehatan bagi badan. Orang
bijaksana yang memperoleh ketenangan jiwa itu akan berhasil mengusir segala

4
macam ketakutan (untuk kematian, dewa-dewa dan suratan nasib), menjauhkan
diri dari kehidupan politik dan menikmati pergaulan dengan sahabat-sahabat.

B. Hedonisme Menurut Kaum Cyrenaic


Mazhab yang pertama kali mengangkat filsafat hedonisme ialah kaum
Cyrenaic, dinamai dengan tempat lahir pendiri mazhab tersebut Aristppos dari
Cyrenaic, sebuah kota Yunani yang terletak di lokasi yang kini bernama Libya.
Kaum Cyrenaic meyakini bahwa kepuasan merupakan kebaikan alamiah. Dengan
demikian, kepuasan, dan hanya kepuasan, yang secara universal diakui oleh
seluruh umat manusia sebagai hal yang di hasratkan. Sebaliknya, rasa sakit adalah
keburukan alamiah, sesuatu yang secara luas dipahami sebagai hal yang tidak di
hasratkan. Dengan demikian pernyataan yang menyatakan bahwa kehidupan yang
baik adalah kehidupan yang mengandung sebanyak mungkin kepuasan dan
sesedikit mungkin rasa sakit, merupakan pernyataan yang tampaknya dapat
disepakati oleh manusia dari beragam masa dan budaya. Inilah kekuatan dari
pernyataan yang menyebutkan bahwa kepuasan adalah hal alamiah dan bukan
sebuah kebaikan konvensional, sedangkan rasa sakit adalah keburukan alamiah.

Dengan cara demikian, kepuasan dan rasa sakit sangat berbeda dari hal-hal
seperti kehormatan dan rasa malu. Perbedaan tersebut memiliki dua aspek. Yang
pertama, kehormatan tidak dianggap sebagai kebaikan universal sedangkan rasa
malu tidak dianggap sebagai keburukan universal. Dalam beberapa kebudayaan,
misalnya, orang-orang memiliki sentimen kuat terhadap kehormatan keluarga dan
menganggap segala hal yang dapat mencemari nama keluarga sebagai hal yang
menakutkan. Dalam kebudayaan lainnya, orang-orang tidak memiliki sentimen
semacam itu. Yang kedua, anggapan mengenai hal-hal yang penuh kehormatan
dan hal-hal yang memalukan adalah konsep yang berbeda menurut beragam
kebudayaan. Jika hal-hal yang menimbulkan rasa sakit berlaku dalam semua
budaya, hal-hal yang menyebabkan rasa malu dalam sebuah lingkungan bisa saja
tidak menyebabkan rasa malu dalam lingkungan yang lain. Sekedar contoh, di
beberapa tempat, hamil sebelum menikah di pandang sebagai hal yang
mengerikan. Namun di tempat lain, hal yang di anggap mengerikan adalah

5
meningkatnya gejala penyakit kanker. Penyebabnya barangkali adalah, tidak
seperti kepuasan dan rasa sakit, gagasan-gagasan yang melatari pencarian
kehormatan dan penghindaran rasa malu seringkali hancur di hadapan konsepsi
kehidupan yang sangat berbeda. Kita dapat menolak gagasan yang menyataakan
bahwa hamil di luar nikah adalah hal yang memalukan, namun kita tidak dapat
membantah fakta bahwa pertumbuhan kanker menyebabkan rasa sakit. Demikian
juga, kehormatan dan rasa malu adalah nilai yang sangat bergantung dengan adat
istiadat suatu daerah dan masa tertentu. Novel karya Nathaniel Hawthorne The
Scarlet Woman, yang berkisah tentang seorang ibu tidak menikah di lingkungan
New England yang puritan, menggambarkan dalam kehidupan Inggris
kontemporer di mana 40% kelahiran bayi terjadi di luar ikatan pernikahan.
Sebaliknya, kata nilai-nilai alamiah tetap memiliki arti seperti adanya.

Dua contoh tersebut di atas menunjukan bahwa rasa sakit dan kepuasan
berbeda dengan nilai-niai lain. Inilah yang menyebabkan keduanya di sebut
sebagai kebaikan dan keburukan “alamiah”, sebuah ciri yang seolah memosisikan
hedonisme di atas filsafat nilai lainnya. Atau demikianlah yang ada dalam benak
Cyrenaic dan kalangan lain. Inilah persoalan yang akan kembali kita kaji, namun
pertama-tama kita harus membahas persoalan lain terlebih dahulu. Jika kita
menerima bahwa kepuasan (kenikmatan) adalah satu-satunya kebaikan sehingga
pemahaman ini memberi kita pembenaran untuk terus mengejar kepuasan dan
menyingkirkan rasa sakit dan bahkan menjadikan hal ini sebagai tujuan utama
kehidupan kita, maka kita masih harus menjawab pertanyaan berikut: cara hidup
seperti apa yang bisa memberikan kepuasan paling tinggi? Menurut Cyrenaics,
yang menganut hedonisme popular, kehidupan terbaik adalah kehidupan yang bisa
memenuhi kepuasan jasmaniah-makan, minum, seks dan lainnya. Pandangan
semacam ini masih dianut hingga saat ini. Namun jika kita perhatikan secara
serius, kita akan mendapati bahwa meski kepuasan dan rasa sakit barangkali
berlawanan, namun kebaikan dan keburukan, biasanya saling menyertai. Oleh
karena itu, pengejaran kepuasan jasmani juga akan mengundang rasa sakit
jasmani.

6
Sekedar contoh, kepuasan akan makanan bergantung akan selera makan,
yang tidak lain adalah rasa lapar. Hanya dengan menderita (setidaknya sedikit)
perihnya rasa lapar, kita baru bisa merasakan kenikmatan makanan. Demikian
juga, banyak orang menemukan kepuasan dan kenikmatan saat mabuk berat,
namun mabuk biasanya juga disertai dengan rasa mual, pusing, dan rasa sakit saat
bangun pagi. Atau juga suntikan heroin dianggap sebagai cara untuk
membangkitkan sensasi jasmani dan mental yang tertekan. Namun penggunaan
heroin juga menyebabkan pengguna mati rasa sehingga orang yang berada dalam
pengaruh heroin sering kali melukai diri mereka sendiri dan menderita rasa sakit
sehingga pada akhirnya mereka tidak nyaman. Demikian juga dengan seks.
Sementara orang (seringkali juga kita semua) mendapati sesuatu yang di sebut
sebagai kenikmatan seks bebas. Namun ketika menjerumuskan diri kedalamnya
kita harus bersedia menerima resiko terkena VD, herpes, AIDS, dan penyakit lain
yang tidak jarang menyebabkan kematian. Bahkan bentuk gratifikasi seksual yang
relatif aman-pertunjukan porno dan film, misalnya-lazimnya memiliki efek buruk.

Dengan demikian, kehidupan ideal dalam versi Cyrenaics hanya menarik


secara teorits, tidak secara riil. Jika kita mempertimbangkan secara serius, kita
akan dapat melihat bahwa ideal semacam itu mustahil direalisasikan sehingga
tidak bisa dianggap sebagai hal ideal. Inilah hal penting yang perlu ditekankan.
Orang-orang yang bisa menerima dengan mudah perinah-perintah moral atau
merasa tidak nyaman “kebahagiaan” kesalehan religius, seringkali memiliki
kecurigaan bahwa perintah moral tersebut hanya mengekang kebebasan sehingga
kita semua lebih baik memilih kehidupan yang penuh kenikmatan. Namun, seperti
yang telah kita lihat, masih belum jelas apakah benar bahwa kehidupan penuh
kebebasan tersebut bisa di wujudkan, meski tidak ada konvensi dan kekangan
sosial. Terdapat banyak contoh untuk menjelaskan soal ini. Salah satunya adalah
ketamakan. Ketamakan tidak lagi dianggap sebagai dosa, namun seseorang yang
makan dengan rakus demi mengejar kenikmatan dia akan menderita obesitas dan
merupakan target empuk dari berbagai penyakit yang menyertainya. Contoh lain
adalah merokok. Banyak orang merokok karena merasakan kenikmatannya,

7
namun sekali lagi ekses dari tindakan tersebut bisa menyebabkan penyakit,
penyakit paru-paru dan jantung yang tidak bisa disembuhkan. Terkadang, orang
yang menderita penyakit berbahaya karena kecanduan rokok atau kebanyak
makan berpikir bahwa kenikmatan yang mereka kejar tidak akan menyebabkan
hal yang mematikan, namun ini tidak menyanggah kesimpulan bahwa kehidupan
yang hanya mengejar rasa puas dan penolakan rasa sakit mustahil diwujudkan.

C. Hedonisme Menurut Kaum Epicurean

Meski demikian kemustahilan tersebut bukanlah konsekuensilogis namun


hanya kontingen. Dalam hal ini tidak ada hubungan langsung antara mabuk dan
rasa sakit ketika bangun di pagi hari atau seks bebas dan AIDS. Kenikmatan-
kenikmatan tersebut menyebabkan rasa sakit hanya karena begitulah dunia
menganggapnya. Implikasi ini menunjukkan kelemahan konsepsi kehidupan yang
baik menurut kaum Cyrenaic yang tidak memberikan tempat terhormat pada
kenikmatan, namun karena mereka hanya memberikan tempat terhormat pada
jenis kenikmatan tertentu, yaitu kenikmatan jasmani, inilah yang diamati oleh
filusuf Yunani kuno bernama Epikuros yang namanya diabadikan sebagai nama
dari salah satu jenis hedonisme-Epicureanisme (kita tahu bahwa penamaan ini
agak keliru karena sebenarnya minat utamanya adalah ada persoalan filosofis
lain).

Hedonisme versi Epicurean ini bisa kita temukan dalam perkataan sehari-
hari. Seorang “epicurean” adalah seseorang yang menikmati hal-hal baik dari
kehidupan-anggur yang baik, makanan yang baik, perusahaan yang baik, model
pakaian elegan dan lainnya-dan menggunakan kata ini merefleksikan pandangan
kaum Epicurean yang menyatakan bahwa jika kehidupan dipenuhi dengan
kenikmatan yang, lazimnya, tidak disertai rasa sakit. Dengan demikian,
kenikmatan-kenikmatan tersebut merupakan kenikmatan yang relatif lembut dan
halus-anggur yang baik namun tidak terlalu banyak, makanan lezat yang menarik
bagi para pencicip rasa masakan bukan para penggemar masakan, music dan
drama yang bagus namun yang tidak mengurangi emosi, dan sebagainya.

8
Faktanya, seperti diindikasikan oleh contoh-contoh tersebut, filsafat kenikmatan
dan hidup yang baik menurut Epicurean sangat berbeda dengan konsepsi umum
mengenai hedonisme karena filsafat ini tidak mengandung sifat yang berlebihan.
Alih-alih filsafat tersebut justru menuntut para penganutnya untuk menjauhi
banyak hal yang oleh banyak orang dianggap sebagai kenikmatan.

Tentu saja, hal itu karena filsafat tersebut menyatakan bahwa hanya
kenikmatan-kenikmatan lembut dan halus yang tidak disertai rasa sakit yang bisa
mengisi kehidupan. Namun, pada saat yang sama, muncul pertanyaan apakah bisa
disebut kenikmatan jika ternyata masih ada batasan. Secara alamiah, kita tidak
membatasi diri kita untuk meminum satu atau dua gelas anggur terbaik.
Sementara ada banyak orang yang justru mendapat kenikmatan saat
mendengarkan kegaduhan dan irama music rock dan Heavy Metal ketimbang
ketika mendengarkan harmoni memikat dari komposisi Minuet karya Boccherini.
Ini memunculkan pertanyaan penting. Jika Epicureanisme mengajukan
kenikmatan yang harus kita pelajari untuk mendapatkannya, dapatkah
Epicureanisme mengklaim seruan “alamiah” yang justru merupakan keunggulan
hedonisme dari filsafat lainnya? Dalam Epicurean, ekses-ekses hedonisme
Cyrenaic dikurangi. Namun, jika Epicureanisme meminta kita untuk melepaskan
kenikmatan dan rasa sakit “alamiah”, maka kenikmatan yang didapat lebih kecil
ketimbang kehilangan.

D. Pengertian Kenikmatan Sadistis

Kaum hedonis akan mengatakan bahwa pembuktian tentang kekeliruan


filsafat mereka hanya akan berhasil jika kita menerima salah satu premis yang
merupakan argument Mill, yaitu ketidakpuasan hidup Socrates lebih baik
ketimbang kepuasan yang di dapat Babi. Namun barangkali kita tidak perlu
menerima hal ini. Alih-alih,seorang hedonis yang konsisten juga tidak harus
menerimanya. Jika kenikmatan merupakan satu-satunya kebaikan alamiah,
kehidupan seperti apa pun yang dipenuhi dengan kenikmatan akan sama baiknya
dengan kehidupan lainnya, dan lebih baik dari kehidupan yang dipenuhi rasa sakit

9
dan ketidakpuasan. Menerima hal ini berarti menerima hal itu, berlawanan dengan
apa yang dipikirkan Mill dan barangkali oleh banyak orang, Socrates memiliki
argumen untuk iri pada sang Babi karena Babi tersebut menjalani kehidupan yang
lebih baik. Fakta bahwa kita maupun Socrates, sesuai dengan kemampuan dan
minat kita, tidak akan menemukan kenikmatan dalam kehidupan yang di jalani
sang Babi menyebabkan kita berfikir secara salah bahwa kehidupan sang Babi
tersebut bukanlah kehidupan yang baik. Namun dari sudut pandang hedonis,
itulah kehidupan yang baik karena dipenuhi dengan kenikmatan dan kenikmatan
merupakan satu-satunya kesenangan alamiah. Tentu saja, kehidupan manusia
yang dipenuhi kenikmatan akan diisi dengan lebih banyak aktivitas dari pada
kehidupan yang dijalani sang babi, namun kehidupan tersebut tidak akan berisi
kenikmatan lagi sehingga tidak akan menjadi lebih baik. Dengan demikian,
hedonisme menolak kesulitan dalam konsep Mill mengenai kenikmatan tinggi dan
rendah dengan cara menolak pembedaan kebaikan dalam beragam jenis
kenikmatan.

Penolakan semacam itu membuat kita kembali pada perdebatan antara


Socrates dan Callicles pada fakta yang menunjukan bahwa, sejauh pemuasan
keinginan terus berjalan, tidak terdapat perbedaan antara orang-orang yang
berhasil dalam menuntut tugas yang mereka canangkan sendiri, dan orang-orang
yang berhasil dalam menjalani kehidupan yang vulgar dan malas yang memang
minat utama mereka. Dalam hal ini, fakta ini dapat dengan mudah dihubungkan
dengan kenikmatan. Jika kenikmatan adalah segala hal seperti itu, kita tidak dapat
menilai preferensi kenikmatan yang didapat oleh seorang ahli bedah ketika
berhasil menyelamatkan hidup seorang anak melalui operasi, atas kenikmatan
yang di dapat oleh seorang sadis ketika melihat kesakitan dari hewan yang ia
siksa. Namun, jelas bahwa terdapat perbedaan penting di antara keduanya.

Contoh tersebut adalah contoh yang saya buat sendiri, namun ketika
Socrates memberikan perbedaan kontras antara kenikmatan heroik dan vulgar di
hadapan Callicles, dia menerima bahwa dalam hal ini terdapat perbedaan yang
harus di jelaskan. Penerimaan inilah yang menyebabkan kekalahannya. Jika dia

10
tidak menerima pembedaan ini, perdebatan tersebut akan berbeda. Demikian juga,
jika seorang hedonis berkeras bahwa seorang penyiksa memndapatkan
kenikmatan yang sama banyaknya dengan seorang dokter, sang penyiksa dan
dokter sama-sama menjalani kehidupan yang baik, sehingga konsepsi yang
membedakan keduanya tidak dapat meruntuhkan tesis kaum hedonis. Seorang
hedonis yang konsisten tidak memiliki persoalan yang dimiliki Callicles.

Bagi sebagian orang, fakta ini menunjukan betapa rendahnya filsafat


hedonisme. Namun dalam terma kogensi filsafat, tidak ada pembuktian bagi hal
itu. Pertama, kita mencatat bahwa kaum hedonis tidak merekomendasikan
penyiksaan sebagai jalan hidup. Demikian juga hedonisme tidak egoistis, dalam
artian tidak hanya memperdulikan kenikmatan seseorang. Kaum hedonis
menyetujui bahwa hidup korban penyiksaan adalah kehidupan yang buruk.
Sebaliknya, sesuai dengan pandangan kaum hedonis bahwa rasa sakit adalah
keburukan alamiah, merka akan menegaskan hal ini. Mereka memandang bahwa
jika psikologi seseorang adalah abnormal, maka tidak diragukan lagi dia akan
menikmati penyiksaan seperti halnya sebagian besar dari kita menikmati aktivitas
favorit kita, sehingga kehidupannya sama nikmatnya dengan kehidupan kita.
Namun, bahkan seorang hedonis pun akan ragu untuk memberikan dukungan pada
kehidupan yang dijalani seorang penyiksa, karena kehidupan seorang penyiksa
menyebabkan banyak rasa sakit dan penderitaan. Namun sulit untuk melihat
bahwa kaum hedonis menyangkal fakta ini; bahwa sang penyiksa mendapat
banyak kenikmatan dari tindakannya.

Poin terakhir inilah yang menghilang di hadapan kebijaksanaan ketika kaum


hedonis menyatakan bahwa seorang sadis mendapatkan kenikmatan dari
aktivitasnya yang menyakitkan tidak berarti bahwa hal itu menggeser seluruh
keseimbangan dari negatif menjadi positif, mereka harus menganggap ini sebagai
poin dari sisi plus; akan menjadi lebih buruk jika tidak ada kenikmatan untuk
mengimbangi rasa sakit sang korban.sebaliknya, bagi sebagian besar orang, fakta
yang sama menjadikan aktivitas pelaku sadisme menjadi lebih buruk, bukan lebih
baik. Jika diaplikasikan pada kasus ini, hedonisme bertentangan dengan

11
kebijaksanaan konvensional dan tidak menyenangkan bagi nalar normal. Namun
sekedar fakta mengenai suatu pandangan atau pandangan lain yang tidak
konvensional atau tidak populer tidak lantas menunjukan bahwa hal itu salah.
Orang yang pertama kali menyatakan bahwa bumi tidak datar juga menolak
kebijakan konvensional. Untuk dapat menolak hedonisme sebagai filsafat nilai, di
butuhkan hal yang lebih daripada contoh-contoh intuitif seperti yang telah kita
sebutkan. Agar dapat menentukan pembenaran yang paling substansial, kita harus
mengkaji seorang filsuf Yunani lainnya, Aristotle.

E. Tinjauan Kritis Terhadap Hedonisme

Apakah manusia selalu mencari kesenangan? Apakah manusia (tapi


malaikat atau apa…), jika ia tidak mencari kesenangan? Apakah tidak mungkin
juga manusia yang membaktikan hidupnya demi kebaikan orang lain, dengan niat
murni dan tanpa pamrih? Tentu saja, para hedonis selalu bisa mengatakan bahwa
mereka pada akhirnya menderita, para hedonis bisa saja mengatakan bahwa
mereka pada akhirnya melakukan hal itu untuk mencari kesenangan, untuk dipuji
oleh khalayak ramai, untuk meraih Hadiah Nobel (dan ternyata berhasil) atau
sekurang-kurangnya untuk memperoleh kebahagiaan kekal di surga sebagai
pahala atas segala jerih payahnya di bumi ini. Atau para hedonis bisa menegaskan
bahwa membantu orang lain selalu juga menyenangkan, karena “lebih baik
memberi daripada menerima”.

Kritik lebih berat lagi adalah bahwa dalam argumentasi hedonisme terdapat
loncatan yang tidak dipertanggungjawabkan. Dari angggapan bahwa dalam kodrat
manusia adalah mencari kesenangan (yang menurut hemat kami dapat
dipertanyakan lagi), ia sampai pada menyetarafkan kesenangan dengan moralitas
yang baik. Secara logis hedonisme harus membatasi diri pada suatu etika
deskriptif saja (pada kenyataannya kebanyakan manusia membiarkan
tingkahlakunya dituntun oleh kesenangan), dan tidak boleh merumuskan suatu
etika normatif (yang baik secara moral adalah mencari kesenangan). Para hedonis
mempunyai konsepsi yang salah tentang kesenangan. Mereka berpikir bahwa

12
sesuatu adalah baik, karena disenangi. Akan tetapi, kesenangan tidak merupakan
suatu perasaan yang subyektif belaka tanpa acuan obyektif apapun. Sebenarnya
kesenangan adalah pantulan subyektif dari suatu yang obyektif. Sesuatu tidak
menjadi baik karena disenangi, tapi sebaliknya kita merasa senang karena
memperoleh atau memiliki sesuatu yang baik. Kita menilai sesuatu sebagai baik
karena kebaikannya yang intrinsic, bukan karena kita secara -subyektif belaka-
menganggap hal itu baik. Jadi, kebaikan dari apa yang menjadi obyek kesenangan
mendahului dan diandaikan oleh kesenangan itu.

13
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Hedonisme atau pandangan yang menyamakan “baik secara moral” dengan


“kesenangan” tidak saja merupakan suatu pandangan pada permulaan sejarah
filsafat, tetapi di kemudian hari seiring kembali dalam belbagai variasi. Tendensi
hedonistis terutama tampak dalam filsafat moral Inggris. Filsuf Inggris, John
Locke (1632-1704), misalnya, akan menandaskan: “kita sebut baik apa yang dapat
menyebabkan atau meningkatkan kesenangan, atau mengurangi ketidaksenangan
dalam diri kita; sebaliknya, kita namakan jahat apa yang dapat mengakibatkan
atau meningkatkan ketidaksenangan apa saja atau mengurangi kesenangan apa
saja dalam diri kita “. Hedonisme yang menjiwai pemikiran modern itu mengakui
dimensi sosial sebagai faktor tidak bisa disingkirkan.

Dalam dunia modern sekarang ini rupanya hedonisme masih hadir dalam
bentuk lain. Hedonisme merupakan “etika implisit” yang mungkin tanpa disadari
dianut oleh banyak individu dewasa ini. pada kenyataannya mereka berpegang
pada prinsip-prinsip hedonistis. Seandainya mereka berusaha merumuskan secara
eksplisit pandangan etis yang terkandung dalam tingkah laku spontan, mereka
akan sampai pada suatu hedonisme yang agak mirip dengan pendapat kedua filsuf
Yunani tadi. Dan bukan saja pada taraf individual hedonisme tersembunyi ini
dapat ditemukan, dalam masyarakat luas pun hedonisme tidak absen. Jika kita
menganalisis publisitas periklanan dalam masyarakat yang disebut konsumeristis
sekarang ini, rasanya tidak terlalu sulit untuk menunjukan dibelakangnya cita-cita
hedonisme.

14
DAFTAR PUSTAKA

Bertens, K. 2013. Etika. Yogyakarta: Penerbit Kanisius

Dimas Prayoga. 2017. Makalah_Hedonisme. Di akses 19 November 2019


https://www.academia.edu/35858889

Graham, Gordon. 2014. Teori-Teori Etika. Bandung: Penerbit Nusa Media

15

Anda mungkin juga menyukai