Anda di halaman 1dari 15

BAB II

PEMBAHASAN

A. Problematika Pelaksanaan Bimbingan Dan Konseling

Istilah problematika berasal dari bahasa Inggris yaitu "problematic" yang


artinya persoalan atau masalah. Sedangkan dalam bahasa Indonesia, problema
berarti hal yang belum dapat dipecahkan; yang menimbulkan permasalahan.
Sedangkan ahli lain mengatakan menyatakan bahwa "definisi
problema/problematika adalah suatu kesenjangan antara harapan dan kenyataan
yang diharapkan dapat menyelesaikan atau dapat diperlukan atau dengan kata lain
dapat mengurangi kesenjangan itu." (Syukir, Dasar-dasarStrategi Dakwah Islami,
(Surabaya : Al-Ikhlas, 1983), hal. 65)

Adapun Bimbingan dan Konseling (BK) adalah proses bantuan atau


pertolongan yang diberikan oleh pembimbing (konselor) kepada individu
(konseli) melalui pertemuan tatap muka atau hubungan timbal balik antara
keduanya, agar konseli memiliki kemampuan atau kecakapan melihat dan
menemukan masalahnya serta mampu memecahkan masalahnya sendiri. Jadi,
problematika Bimbingan dan Konseling dapat diartikan sebagai masalah yang
dihadapi dalam proses bantuan atau pertolongan yang diberikan oleh pembimbing
kepada individu yang dibimbing

Rahdzi ( wordpress.com/2009), menjelaskan bahwa problematika


bimbingan dan konseling bukan disebabkan faktor eksternal, tetapi pada dasarnya,
bersumber dari faktor internal. Bimbingan dan konseling hingga saat ini masih
dipandang sebelah mata oleh masyarakat. Pandangan ini timbul karena kurangnya
profesionalitas dan dedikasi yang tinggi dan orang-orang menekuni bidang
bimbingan dan konseling.

1
Macam-macam problematika bimbingan dan konseling menurut Rahdzi
adalah sebagai berikut :

1. Problematika Eksternal ( Masyarakat )


Problematika dalam pelaksanaan BK di masyarakat pada dasarnya
disebabkan adanya pandangan yang keliru dari masyarakat. Pandangan tersebut
antara lain :
a) Layanan bimbingan dan konseling dapat dilakukan oleh siapa saja
Benarkah pekerjaan bimbingan dan koseling dapat dilakukan oleh siapa
saja? Jawabannya bisa “ benar “ dan bisa juga “ salah “. Jawaban “benar” jika
bimbingan dan konseling dianggap sebagai pekerjaan yang mudah dan dapat
dilakukan secara amatiran. Adapun jawaban “salah” jika bimbingan dan konseling
itu dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip keilmuan dan teknologi
(yaitu mengikuti filosofi, tujuan, metode-metode dan asas-asas tertentu). Dengan
kata lain, dilaksanakan secara profesional. Salah satu ciri keprofesionalan
bimbingan dan konseling adalah pelayanan harus dilakukan oleh orang-orang
yang ahli dalam bidang bimbingan dan konseling. Keahlian itu diperoleh melalui
pendidikan dan latihan yang cukup lama di perguruan tinggi serta pengalaman-
pengalaman. Tepatlah apa yang disebutkan dalam hadits, “ Apabila suatu urusan
itu tidak diserahkan kepada ahlinya, tunggulah kehancurannya.” ( Shahih
Bukhari, kitab Ar-Riqaq, bab Raf’il Amanah, II: 333 )
b) Bimbingan dan koseling hanya untuk orang yang bermasalah saja
Sebagian orang berpendapat bahwa BK itu ada karena ada masalah. Jika
tidak ada masalah, BK tidak diperlukan. BK hanya diperlukan untuk membantu
menyelesaikan masalah saja.
Memang, tidak dapat dipungkiri bahwa salah satu tugas utama bimbingan
dan konseling adalah membantu dalam menyelesaikan masalah. Akan tetapi,
penanan BK itu sendiri adalah melakukan tindakan prefentif agar masalah tidak
timbul dan melakukan antisipasi agar masalah yang sewaktu-waktu datang tidak
berkembang menjadi masalah yang besar. Kita pasti tahu semboyan, “ Mencegah
itu lebih baik daripada mengobati”.

2
c) Keberhasilan layanan BK bergantung pada sarana dan prasarana
Sering kita temukan pandangan bahwa keandalan dan kehebatan seorang
konselor disebabkan ketersediaan sarana dan prasarana yang lengkap dan
mutakhir. Seorang konselor yang kinerjanya kurang bagus seringkali berdalih
bahwa ia kurang didukung oleh sarana dan prasarana yang bagus. Sebaliknya,
pihak klien pun terkadang juga terjebak dalam asumsi bahwa konselor yang hebat
itu terlihat dari sarana dan prasarana yang dimiliki konselor,.
Pada hakikatnya, kehebatan konselor itu dinilai bukan dari faktor luarnya,
tetapi lebih kepada faktor kepribadian konselor itu sendiri, termasuk di dalamnya
pemahaman agama, tingkah laku sehari-hari, pergaulan dan gaya hidup.
d) Konselor harus aktif, sedangkan klien harus/boleh pasif

Sering ditemukan bahwa klien menyerahkan penyelesaian masalahnya


sepenuhnya kepada konselor. Mereka menganggap bahwa itu adalah kewajiban
konselor. Terlebih lagi, jika dalam pelayanan BK tersebut. Klien harus membayar.
Hal ini terjadi karena tak jarang konselor yang membuat klien menjadi sangat
bergantung kepadanya. Konselor seperti ini biasanya yang berorientasi kepada
ekonomi, bukan pengabdian. Tak jarang, ia enggan melepaskan kliennya sehingga
ia merekayasa untuk memperlambat proses penyelesaian masalah. Hal ini jika tiap
pertemuan, klien harus membayar, akan semakin banyak keuntungan yang
diperoleh konselor.

e) Menganggap hasil pekerjaan bimbingan dan konseling harus segera


terlihat
Sering klien (orangtua/keluarga klien) yang berekonomi tinggi
memaksakan kehendak kepada konselor untuk menyelesaikan masalahnya secepat
mungkin, tak peduli berapapun biaya yang harus dikeluarkan. Tidak jarang,
konselor pun secara tidak sadar atau sadar (karena ada faktor tertentu)
menyanggupi keinginan ini. Hal yang lebih parah, ada konselor yang
mempromosikan dirinya sebagai konselor yang mampu menyelesaikan masalah
secara tuntas dan cepat.

3
Pada dasarnya, orang yang mampu menganalisis besar/kecilnya masalah
dan cepat/lambanynya penanganan masalah adalah konselor karena ia memahami
landasan dan kerangka teoritis BK serta mempunyai pengalaman dalam
penanganan masalah yang sejenisnya.

2. Problematika Internal ( Konselor )


Masalah yang timbul diluar sebenarnya berasal dari konselor itu sendiri.
Pandangan para konselor yang salah tentang BK menyebabkan mereka salah
langkah dalam memberikan pelayanan BK. Pandangan-pandangan tersebut antara
lain :
a) Menyamakan pekerjaan bimbingan dan konseling dengan pekerjaan
dokter dan psikiater

Dalam hal-hal tertentu, memang terdapat persamaan antara pekerjaan


bimbingan dan konseling dengan pekerjaan dokter dan psikiater, yaitu sama-sama
menginginkan klien/pasien terbebas dari penderitaan yang dialaminya, melalui
berbagai teknik yang telah teruji sesuai dengan bidang pelayanannya, baik dalam
mengungkap masalah klien/pasien, mendiagnosis, melakukan prognosis, ataupu
penyembuhannya.

Kendati demikian, pekeraan bimbingan dan konseling tidaklah persis sama


dengan pekerjaan dokter / psikiater. Dokter dan psikiater bekerja dengan orang
sakit, sedangkan konselor bekerja dengan orang yang normal (sehat), namun
sedang mengalami masalah. Cara penyembuhan yang dilakukan dokter atau
psikiater bersifat reseptual dan pemberian obat, serta teknik medis lainnya,
sementara bimbingan dan konseling memberikan cara-cara pemecahan masalah
secara konseptual melalui pengubahan orientasi pribadi, penguatan mental/psikis,
dan modifikasi perilaku.

b) Menyamakan cara pemecahan masalah bagi semua klien

Walaupun masalah yang dihadapi klien sama atau sejenis, penyelesaiannya


tetap saja tidak bisa disamaratakan. Cara apapun yang akan dipakai untuk untuk

4
menyelesaikan mengatasi masalah harus disesuaikan dengan pribadi klien dan
berbagai hal yang terkait dengannya. Tidak ada suatu carapun yang ampuh untuk
semua klien dan semua masalah. Masalah yang tampaknya “sama” setelah dikaji
secara mendalam ternyata hakikatnya berbeda, sehingga diperlukan cara yang
berbeda untuk mengatasinya.

Harus dipahami bahwa setiap manusia itu berbeda dalam kepribadian dan
kemampuannya sehingga dalam penyelesaian masalah harus disesuaikan dengan
keadaan klien. Bahkan, jika seorang konselor ingin mengadopsi cara/teknik
penyelesaian dari konselor lain, ia juga harus menyesuaikan dengan kemampuan
konselor itu sendiri (yang mengadopsi).

c) Bimbingan dan konseling mampu bekerja sendiri


Pelayanan bimbingan dan konseling bukanlah proses yang terisolasi,
melainkan proses yang sarat dengan unsur-unsur budaya, sosial dan lingkungan.
Oleh karena itu, pelayanan bimbingan dan konseling tidak mungkin menyendiri.
Konselor harus bekerja sama dengan orang-orang yang diharapkan dapat
membantu penanggulangan masalah yang sedang dihadapi klien.
Namun demikian, konselor tidak boleh terlalu mengharapkan bantuan dari
ahli/petugas lain. Sebagai tenaga profesional, konselor harus terlebih dahulu
mampu bekerja sendiri, tanpa harus bergantung pada ahli/ petugas lain.
d) Bimbingan dan konseling dianggap sebagai proses pemberian nasihat
semata
Bimbingan dan konseling bukan hanya bantuan yang berupa pemberian
nasihat. Sebab, pemberian nasihat hanyalah sebagian kecil dari upaya-upaya
bimbingan dan konseling. Pelayanan bimbingan dan konseling menyangkut
seluruh kepentingan klien dalam rangka pengembangan pribadi klien secara
optimal. Misalkan, ketika menghadapi klien yang suka mabuk, pelayanan
bimbingan dan konseling tidak hanya berkutat pada penekanan/nasihat bahwa
mabuk itu tidak baik. Seharusnya, pelayanan yang diberikan adalah menggali
faktor-faktor luar yang menyebabkan klien tersebut suka mabuk.

5
3. Problematika dalam Dunia Pendidikan
Problematika utama dalam pelaksanaan BK di dunia pendidikan juga
disebabkan adanya kekeliruan pandangan. Berikut ini kekeliruan-kekeliruan
tersebut.
a) Bimbingan dan konseling hanya pelengkap kegiatan pendidikan
Ada sebagian orang yang berpendapat bahwa layanan bimbingan dan
konseling hanyalah pelengkap dalam pendidikan sehingga sekolah tidak perlu lagi
bersusah payah menyelenggarakan pelayanan bimbingan dan konseling,karena
dianggap sudah implisit dalam pendidikan itu sendiri. Cukup mantapkan saja
pengajaran sebagai pelaksanaan nyata dari pendidikan. Mereka sama sekali tidak
melihat arti penting bimbingan dan konseling di sekolah.
Kendati begitu, bukan berarti BK dan pendidikan harus dipisahkan. Pada
hakikatnya, dua unsur ini saling membutuhkan dan melengkapi. Bimbingan dan
konseling memiliki kedudukan derajat yang sama dengan pelayanan pendidikan,
yaitu mengantarkan para siswa untuk memperoleh perkembangan diri yang
optimal. Perbedaannya hanya terletak dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya,
yang masing-masing memiliki karakteristik tugas, dan fungsi yang khas dan
berbeda.
b) Guru bimbingan dan konseling di sekolah adalah “ polisi sekolah “

Hal ini disebabkan pihak sekolah sering menyerahkan sepenuhnya


masalah pelanggaran kedisiplinan dan peraturan sekolah lainnya kepada guru BK.
Bahkan, banyak guru BK yang diberi wewenang sebagai eksekutor bagi siswa
yang bermasalah. Dengan demikian, banyak sekali kita temukan di sekolah-
sekolah yang menganggap guru BK sebagai guru “ Killer (yang ditakuti). Guru
BK bukan untuk ditakuti, tetapi untuk disegani, dicintai, dan diteladani.

Jika kita menganalogikan dengan dunia hukum, konselor harus mampu


berperan sebagai pengacar, yang bertindak sebagai sahabat kepercayaan, tempat
mencurahkan isi hati dan pikiran. Konselor adalah kawan pengiring, penunjuk
jalan,pemberi informasi, pembangun kekuatan dan pembina perilaku-perilaku
positif yang dikehendaki sehingga siapapun yang berhubungan dengan BK akan

6
memperoleh suasana sejuk dan memberikan harapan. Kendati demikian, konselor
juga tidak bisa melindungi siswa yang memang bermasalah. Konselor hanya
menjadi jaminan untuk penangguhan hukuman/pemaafan baginya. Siswa yang
salah tetaplah salah. Hukuman boleh saja tidak diberikan, bergantung pada besar
kecilnya masalah.

c) Bimbingan dan konseling hanya untuk siswa tertentu saja.

Layanan bimbingan dan konseling tidak hanya diberikan kepada siswa


yang bermasalah atau siswa yang memiliki kelebihan tertentu saja, namun harus
melayani seluruh siswa (guidance and counseling for all). Setiap siswa berhak
dan mendapat kesempatan pelayanan yang sama, melalui berbagai bentuk
pelayanan bimbingan dan konseling yang tersedia.

4. Problematika Bimbingan dan Konseling di Tingkat Sekolah


a) Problematika Internal

Problematika Internal adalah masalah yang timbul dari dalam diri siswa
atau faktor-faktor internal yang ditimbulkan ketidak beresan siswa dalam belajar.
Faktor internal berasal dari dalam diri anak itu sendiri, seperti ;

 Kesehatan siswa terkait dan Rasa aman bagi dirinya


 Faktor kemampuan intelektualnya
 Faktor afektif seperti perasaan dan percaya diri
 Motivasi dan Kematangan untuk belajar
 Usia dan Kematangan untuk belajar
 Jenis kelamin dan Latar belakang social
 Kebiasaan belajar dan Kemampuan mengingat
 Dan kemampuan penginderaan yakni seperti : Melihat, Mendengar
atau Merasakan dengan baik.

7
Contoh dari masalah belajar internal dapat dilihat dari kasus berikut :

Arin gadis cilik berusia 9 tahun. Akhir-akhir ini prestasinya sangat


menurun. Hasil ulangannya selalu buruk kalau soal-soal ulangan ditulis di papan
tulis. Namun ketika ujian sumatif, hasil ulangan Arin tidak begitu buruk. Soal-soal
ulangan dicetak dan dibagikan kepada setiap murid. Namun demikian, peringkat
Arin di kelas turun drastis, dari peringkat 5 menjadi peringkat 20. Dari kasus di
atas dapat dilihat, masalah yang ditekankan adalah kemampuan indera untuk
menangkap rangsangan. Arin tampaknya mempunyai kesulitan dalam penglihatan.
Ini terbukti dari berbedanya hasil yang dicapai antara ulangan harian yang soalnya
ditulis di papan tulis dengan ulangan sumatif yang soalnya dicetak dan dibagikan
kepada setiap murid.

Dengan pemahaman di atas maka dapat dikemukakan bahwa masalah-


masalah belajar internal dapat bersifat : Biologis dan Psikologis. Masalah yang
bersifat biologis artinya menyangkut masalah yang bersifat kejasmanian, seperti
kesehatan, cacat badan, kurang makan dan sebagainya. Sementara hal yang
bersifat Psikologis adalah masalah yang bersifat psikis seperti perhatian, minat,
IQ, konstelasi psikis yang terwujud emosi dan gangguan psikis.

b) Problematika Eksternal

Problematika Eksternal adalah masalah-masalah yang timbul dari luar diri


siswa sendiri atau faktor-faktor eksternal yang menyebabkan ketidak beresan
siswa dalam belajar. Faktor eksternal adalah faktor yang datang dari luar diri
siswa, seperti :

 Kebersihan tempat sekitar dan Udara yang panas


 Ruang belajar yang tidak memenuhi syarat
 Alat-alat pelajaran yang tidak memadai
 Lingkungan sosial maupun lingkungan alamiah
 Kualitas proses belajar mengajar.

Contoh dari masalah belajar eksternal dapat dilihat dari kasus berikut

8
Talita seorang gadis cilik duduk di kelas III SD. Ia termasuk salah
seoprang dari sejulah anak di kelasnya yang belum dapat membaca dengan lancar.
Setiap pelajaran membaca, ia menjadi ketakutan karena setiap membuka mulut,

ia ditertawakan oleh teman-temannya. Gurunya hanya membiarkan saja dan


mengalihkan giliran kepada murid lain. Akibatnya, Talita selalu ketinggalan dari
teman-temannya. Di rumah, Talia selalu dimarahi karena dalam membaca ia
dikalahkan Doli adiknya yang duduk di kelas II. Pada kasus ini tampaknya lebih
banyak menekankan pada pengaruh lingkungan, ketinggalan Talita dalam
membaca tampaknya lebih banyak disebabkan oleh “rasa takut” dan tertekan yang
ditimbulkan oleh sikap lingkungan yang tidak mendorong Talita untuk belajar.

B. Alternatif Pemecahan Problematika Pelaksanaan BK di Sekolah


Masalah-masalah yang melingkupi pelaksanaan bimbingan dan konseling
di sekolah begitu beragam sehingga alternatif pemecahan masalah tersebut juga
harus disesuaikan dengan masalahnya. Nurul Mualliah dkk menguraikan
pandangannya dengan tema-tema masalah, diantaranya sebagai berikut :

1. Konselor di Sekolah Dianggap Sebagai Polisi Sekolah

Masih banyak anggapan bahwa peranan konselor disekolah adalah sebagai


polisi sekolah yang harus menjaga dan mepertahankan tata tertib,disiplin,dan
keamanan sekolah. Anggapan ini adalah,”barang siapa di anatara siswa-siswa
melanggar peraturan dan disiplin disekolah,ia harus berurusan dengan konseler.”
Tidak jarang pula,konseler sekolah diserahi tugas mengusut perkelahian ataupun
pencurian. Konseler ditugaskan mencari siswa-siswa yang bersalah itu. Konseler
didorong untuk mencari bukti-bukti atau berusaha agar siswa mengakui bahwa ia
telah berbuat susuatu yang tidak pada tempatnya atau merugikan. Misalnya
konselor ditugasi mengungkapkan agar siswa mengakui bahwa ia mengisap
ganda,dan sebagainya. Dalam hubungan ini,pengertian konseler sebagai mata-
mata yang mengintip gerak-gerik siswa.

Berdasarkan pandangan diatas,wajar bila siswa tidak mau datang kepada


konseler karena menggap bahwa kedatangannya ke konseler menunjukan

9
aib,bahwa ia telah berbuat salah,atau predikat-predikat negatif lainnya.
Padahal,sebalinya,dari segenap anggapan yang merugikan itu,konseler haruslah
menjadi teman dan kepercayaan siswa.

Di samping petugas-petugas lainnya di sekolah,konselor hendaknya


menjadi tempat pencurahan kepentingan siswa,apa yang terasa dihati dan terpikir
oleh siswa. Petugas bimbingan dan konseling bukanlah pengawas ataupun polisi
yang selalu mencurigai dan menangkap siapa saja yang bersalah. Petugas
bimbingan dan konseling adalah kawan pengiring pentunjuk jalan,pembangun
kekuatan,dan Pembina tingkah laku positif yang dikehendaki. Petugas bimbingan
dan konseling hendaknya bisa menjadi si tawar dingin bagi siapapun yang datang
kepadanya. Dengan pandangan,sikap,keterampilan,dan penampilan konseler,siswa
atau siapapun yang berhubungan dengan konseler,akan memperoleh suasana sejuk
dan memeroleh harapan.

2. Bimbingan dan Konseling Dianggap Semata-mata Sebagai Proses


Pemberian Nasihat

Pelayanan bimbingan dan konseling menyangkut seluruh kepentingan


klien dalam rangka pengembangan pribadi klien secara optimal. Disamping
memerlukan nasihat, pada umumnya klien, sesuai dengan problem yang
dialaminya, memerlukan pelayanan lain seperti pemberian informasi,penempatan
dan penyuluhan, konseling, bimbingan belajar, pengalih tanga kepada petugas
yang lebih ahli dan berwenang, layanan kepada orang tua siswa, masyarakat dan
sebagainya.

Konselor juga harus melakukan upaya-upaya tindak lanjut seta


menyingkronisasikan upaya yang satu dan upaya lainnya sehingg keseluruha
upaya itu menjadi rangkaian yang terpadu dan bersinambungan.

3. Bimbingan dan Konseling Dibatasi Pada Hanya Menangani Masalah


Yang Bersifat Insidental
Pada hakikatnya, pelayanan BK menjangkau dimensi waktu yang lebih
luas, yaitu masalalu, sekarang, dan masa yang akan datang.

10
Oleh karena itu, konselor seyoginya tidak hanya menunggu klien datang dan
mengungkapkan masalahnya.

Konselor harus terus memasyarakatkan dan membangun suasana


bimbingan dan konselin, serta mampu melihat hal-hal tertentu yang perlu diolah,
ditanggulangi, diarahkan,dibangkitkan, dan secara umum diperhatikan demi
perkembangan segenap individu.

4. Bimbingan dan konseling dibatasi hanya untuk klien-klien tertentu


saja

Bimbingan dan koneling tidak mengenal penggolongan siswa-siswa


sehingga golongan siswa tertentu memperoleh pelayanan yang lebih dari golongan
yang lainnya. Semua siswa mempunyai hak dn kesempatan yang sama untuk
mendapatkan pelayanan dan bimbingan konseling. Kapan, bagaimana, dan dimana
pelayanan itu diberikan, pertimbangannya semata-mata didasarkan atas sifat dan
jenis masalah yang dihadapi serta ciri-ciri pribadi siswa yang bersangkutan.
Konselor membuka pintu yang selebar-lebarnya bagi siapa saja yang ingin
mendapatkan atau memerlukan pelayanan bimbingan dan konseling.

Kalaupun ada, penggolongan tersebut didasarkan atas klasifikasi masalah


(seperti bimbingan konseling pendidikan, jabatan/pekerjaan,
keluarga/perkawinan) bukan atas dasar kondisi klien (misalnya jenis
kelamin,kelas sosial/ekonomi,agama, suku, dan sebaginya). Lebih jauh, klasifikasi
masalah itu ,mengarah pada spesialisasi keahlian konseling tertentu sesuai dengan
permasalahan yang ada.

5. Bimbingan dan Konseling Melayani “Orang Sakit” Dan/Atau


“Kurang Normal”

Ada asumsi bahwa bimbingan dan konseling hanya melayani orang-orang


normal yang mengalami masalah tertentu. Bukankah jika segenap fungsi yang ada
pada diri seseorang yang normal dapat berjalan dengan baik, apabila dia dapat
menjalin, kehidupannya secara normal pula?

11
Kehidupan yang normal ini pasti menuju kebaikan dan kewajaran. Sayangnya
bekerjanya fungsi-fungsi yang sebenarnya normal itu kadang-kadang terganggu
atau arahnya tidak tetap sehingga memerlukan bantuan konselor agar kegiatan
fungsi-fungsi tersebut lebih lancar dan lebih terarah.

Jika seseorang ternyata mengalami keabnormalan tertentu, apabila kalau


sudah bersifat sakit jiwa, orang tersebut sudah seyogianya menjadi kelien psikiate.
Masalahnya ialah masih banyak konselor yang terlalu cepat menggolongkan atau
setidak-tidaknya menyangka seseorangmengalami keabnormalan jiwa, sehingga
terlalu cepat pula menghentikan pelayanan-pelayanan bimbingan dan konseling
dan menyarankan klien agar menemui psikiater. Hal ini tentu saja keliru atau
bahkan berbahaya. Klien yang sebenarnya tidak sakit, tetapi oleh konselor dikirim
ke dokter atau psikiater, pertama-tama ia akan menganggap bahwa konselor
tersebut sebenarnya tidak ahli; atau keahliannya setidak-tidaknya diragukan.
Sebagai akibatnya, klien tidak lagi mempercayainya. Konselor-konselor seperti itu
akan memudarkan citra bimbingan dan konseling. Kedua, klien kemungkinan
akan mempersepsi masalah yang dialaminya secara salah. Mungkin pula, ia akan
memproses pengiriman yang salah alamat itu dan memberikan reaksi-reaksi lain
yang justru memperberat masalh-masalah yang dialaminya.

Konselor yang memiliki kemampuan yang tinggi akan mampu mendeteksi


dan mempertimbangkan lebih jauh tentang mantap atau kurang mantapnya fungsi-
fungsi yang ada pada klien sehingga ia dapat memutuskan apakah kliennya perlu
dikirim kepada dokter atau psikiater atau tidak. Penanganan masalah oleh ahlinya
secara tepat akan memberikan jasmani yang lebih kuat bagi keberhasilan
pelayanan.

6. Bimbingan dan Konseling Berpusat Pada Keluhan Pertama Saja

Pada umumnya usaha pemberian bantuan memang diawali dengan


meliihat gejala-gejala dan atau keluhan awal yang disampaikan oleh klien. Namun
demikian, jika masalah itu dilanjutkan,didalami, dan dikembangkan ternyata
masalah yang sebenarnya, jauh lebih luas dan lebih pelik dari apa yang sekedar

12
nampak atau yang disampaikan itu. Bakan, kadang-kadang masalah yang
sebenarnya berbeda dengan yang tampak atau dikemukakan.

Usaha pelayanan seharusnya dipusatkan pada masalah yang sebenarnya.


Konelor tidak boleh terpukau oleh keluahan atau masalah yang pertama
disampaikan oleh klien. Ia harus mampu menyelami masalah klien sedalam-
dalamnya masalah klien yang sebenarnya.

Demikian beberapa masalah dalam penyelenggaraan bimbingan dan


konselingdisekolah. Berikut pemikiran-pemikiran alternatif pemecahanya. Tema-
tema masalah tersebut hanya sebagai contoh saja. Pada intinya, masalah harus
segera diatasi karena kemungkinan setiap hal yang negatif akan berkembang pada
tingkat negatif yang lebih berat lagi. Lebih-lebih, masalah bimbingan dan
konseling yang melibatkan lembaga konseling, konselor, dan klien (siswa) ini,
tentu tidak lepas dari pengaruh dinamisasi ruang dan waktu kehidupan yang
senantiasa menawarkan perubahan.

Oleh karena itu, agar bimbingan dan konseling senantiasa efektif dan
berkembang lebih baik, ketiga unsur yang harus ada dalam konseling tersebut
harus senantiasa ditinjau ulang, baik secara teori maupun praktiknya.

Menurut penelitian Nurul Maullifah dkk, banyaknya problem yang terjadi


dalam konseling, problematika konselor, dan klien, kebanyakannya terlahir dari
ketidak pahaman yang mendalam tentang konseling. Oleh karena itu, image ketiga
unsur konseling harus benar-benar dibangun kembali menjadi lembaga yang
benar-benar nyaman untuk sharing yang solutif bagi berbagai masalah yang
dihadapi klien. Ketiga unsur diatas bukanlah hal yang berjalan sendiri, melaikan
saling terkait antara satu dengan yang lain. Semuanya harus dipahami secara utuh
agar pelaksanaannya bisa optimal.

13
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Problematika bimbingan dan konseling merupakan masalah yang dihadapi


dalam proses bantuan atau pertolongan yang diberikan oleh konselor kepada klien.
Ada beberapa problematika yang menghambat dalam pelaksanaan BK yang
dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu. Diantara problem itu ialah antara lain :

1. Problematika Eksternal (Masyarakat)


2. Problematika Internal ( Konselor)
3. Problematika dalam Dunia Pendidikan
4. Problematika BK di Tingkat Sekolah

Masalah-masalah yang meliputi pelaksanaan BK di sekolah begitu


beragam. Sehingga, alternatif pemecahan masalah tersebut juga harus di sesuaikan
dengan masalahnya. Diantaranya ialah meningkatkan kualitas bimbingan dari segi
peningkatan kualitas diri konselor, membangun komunikasi yang baik antara
konselor dan konseli, dll.

Demikian beberapa masalah dalam pelaksanaan BK di sekolah. Berikut


pemikiran-pemikiran alternatif pemecahannya. Tema-tema masalah tersebut
hanya sebagai contoh saa. Pada intinya, masalah harus segera diatasi karena
kemungkinan setiap hal yang negatif akan berkembang pada tingkat megatif yang
lebih berat lagi. Lebih-lebih, masalah bimbingan dan konseling yang melibatkan
lembaga konseling, konselor, dan klien (siswa) ini, tentu tidak lepas dari pengaruh
dinamisasi ruang dan waktu kehidupan yang senantiasa menawarkan perubahan.

14
DAFTAR PUSTAKA

Afifudin.2012. Bimbingan dan Penyuluhan. Bandung: CV Pustaka Setia

Salahudin, Anas. 2010. Bimbingan dan Konseling. Bandung: CV Pustak Setia

Tohiri.2007.Bimbingan dan Konseling di Sekolah dan Madrasah. Jakarta: PT.


Raja Grafindo

Blog Pendidikan Indonesia “Pengertian Problematika”.


http://www.sarjanaku.com/2013/04/pengertian-problematika-defisi-
menurut.html (diakses tanggal 19 Mei 2017 Pukul 08.00 WIB)

15

Anda mungkin juga menyukai