Anda di halaman 1dari 10

Problematik Bimbingan dan Konseling

Resume Materi Minggu - 7

Nama : Taufik Kurrohman

NIM : 19410041

Kelas : Bimbingan dan Konseling (F)

A. Hambatan-Hambatan Bimbingan dan Konseling


Secara umum hambatan bagi bidang bimbingan dan keeling dapat
dikelompokkan dalam dua hal, yaitu hambatan internal dan hambatan
eksternal.

1. Hambatan internal
Hambatan internal berbicara terkait dengan kompetensi konselor.
Kompetensi konselor yakni meliputi kompetensi akademik dan kompetensi
profesional. Kompetensi akademik yang dimaksud adalah lulusan perguruan
tinggi pada jurusan bidang S1 bimbingan dan konseling atau S2 bimbingan
dan konseling, dan yang kemudian melanjutkan pendidikan profesi selama 1
tahun. Adapaun kenyataan di lapangan membuktikan bahwa masih banyak
ditemukan diberbagai tingkat pendidikan dasar dan menengah adanya guru
Bimbingan dan Konseling (BK) dalam artian konselor sekolah yang mereka
tidak pernah menempuh pendidikan BK, namun kemudian di angkat oleh
kepala sekolah untuk menjadi guru Bimbingan dan konseling (BK). Mereka
ini di angkat dengan alasan anggapan bahwa mereka bisa. Meskipun secara
keilmuan mereka tidak mendalami teori-teori bimbingan konseling.
Seyogyanya kompetensi profesional tebentuk melalui latihan, seminar,
workshop. Untuk menjadi konselor profesional memerlukan proses dan
waktu yang Panjang. Ditambah lagi pengalaman jam terbang (praktek) yang
cukup matang.
Disisi lain, kerap sekali ditemukan di lapangan bahwa adanya
manajemen bimbingan dan konseling yang masih amburadul. Suherman, U
(2008) Dalam tulisannya menjelaskan lebih lanjut mengenai manajemen
bimbingan dan konseling, yang mana layanan bimbingan dan konseling ini
perlu diurus, diatur, dikemudikan, dikendalikan, dan dipimpin oleh orang
yang memiliki keahlian, keterampilan, serta wawasan dan pemahaman
tentang arah, tujuan, fungsi, kegiatan, strategi dan indikator
keberhasilannya.

2. Hambatan Eksternal
a. Layanan Bimbingan dan Konseling dapat dilakukan oleh siapa saja
Bimbingan dan konseling sepatutnya dilaksanakan berdasarkan
prinsip-prinsip keilmuan dan teknologi (mengikuti filosopi, tujuan,
metode, dan asas-asas tertentu), dengan kata lain dilaksanakan secara
profesional. Salah satu ciri keprofesionalan bimbingan dan konseling
adalah bahwa pelayanan itu harus dilakukan oleh orang-orang yang ahli
dalam bidang bimbingan dan konseling. Keahliannya itu diperoleh
melalui pendidikan dan latihan yang cukup lama dan serius di Perguruan
Tinggi, serta dibekali dengan pengalaman-pengalaman.

b. Bimbingan dan Konseling hanya untuk orang yang bermasalah saja


Sebagian orang berpandangan bahwa Bimbingin dan Konseling
(BK) itu ada karena adanya masalah, jika tidak ada maka BK tidak
diperlukan, kemudian BK itu diperlukan untuk membantu menyelesaikan
masalah saja. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa salah satu tugas
utama bimbingan dan konseling adalah untuk membantu dalam
menyelesaikan masalah. Tetapi sebenarnya peranan BK itu sendiri
sangat luas dan salah satunya adalah melakukan tindakan preventif
(pencegahan) agar masalah tidak timbul dan mengantisipasi agar ketika
masalah yang sewaktu-waktu datang tidak berkembang menjadi
masalah yang besar.

c. Keberhasilan layanan bimbingan dan konseling tergantung kepada


sarana dan prasarana
Kehandalan dan kehebatan seorang konselor itu disebabkan dari
ketersediaan sarana dan prasarana yang lengkap dan mutakhir.
Seorang konselor yang dinilai kurang bagus kinerjanya, seringkali
berdalih dengan alasan bahwa ia kurang didukung oleh sarana dan
prasarana yang bagus. Sebaliknya pihak konseli pun terkadang juga
terjebak dalam asumsi bahwa konselor yang professional terlihat dari
sarana dan prasarana yang dimiliki konselor. Namun pada hakikatnya
profesionalitas konselor itu dinilai bukan dari faktor luarnya, tetapi
lebih kepada faktor kecakapannya dalam memberikan layanan
konseling, kemudian dari kepribadian konselor itu sendiri, termasuk
didalamnya pemahaman agama, tingkah laku sehari-hari, pergaulan dan
gaya hidup.

d. Konselor harus aktif, sedangkan konseli harus pasif/ boleh pasif


Sering kita temukan bahwa konseli sering menyerahkan
sepenuhnya penyelesaian masalahnya kepada konselor, mereka
menganggap bahwa memang itulah kewajiban konselor, terlebih lagi jika
dalam pelayanan BK tersebut konseli harus membayar. Hal ini terjadi
disebabkan karena seringnya konselor yang membuat konseli itu
menjadi sangat berketergantungan dengan konselor. Konselor
terkadang mencitrakan dirinya sebagai pemecah masalah yang handal
dan dapat dipercaya. Konselor seperti ini biasanya berorientasi pada
ekonomi bukan pengabdian. Tidak jarang juga konselor yang enggan
melepaskan konselinya, sehingga dia merekayasa untuk memperlambat
proses penyelesaian masalah, karena tentunya jika tiap pertemuan
konseli harus membayar maka akan semakin banyak keuntungan yang
diperoleh konselor.

e. Menganggap hasil pekerjaan Bimbingan dan Konseling harus segera


terlihat
Konseli atau orangtua/keluarga konseli yang berekonomi tinggi
sering sekali memaksakan kehendak kepada konselor untuk dapat
menyelesaikan masalahnya secepat mungkin dan tak peduli berapapun
biaya yang harus dikeluarkan. Tidak jarang juga konselor sendiri
secara tidak sadar atau dengan sadar(karena ada faktor tertentu)
menyanggupi permintaan konseli yang demikian, biasanya konselor
seperti ini meminta kompensasi dengan bayaran yang tinggi. 
Kemudian ditambah dengan dalih pengakuan bahwa dirinya
sebagai konselor yang mampu menyelesaikan masalah secara tuntas dan
cepat. Namun faktnya yang sebenarnya mampu menganalisa besar/kecil
nya masalah dan cepat/lambat nya penanganan masalah adalah konselor
itu sendiri, karena konselor tentunya memahami landasan dan kerangka
teoritik BK serta mempunyai pengalaman dalam penanganan masalah
yang sejenisnya.
Hendaknya para konseli tidak perlu memaksakan hadirnya solusi
atau solusi pemecahan masalah dengan tergesa, karena untuk
melakukan hal demikian diperlu analisa mendalam serta ketelitian dari
para konselor, kemudian perlu adanya kerja sama aktif antara konselor
dengan konseli agar hasil yang di diperoleh tepat, dan selanjutnya
dapat diterapkan dengan bijaksana oleh konseli.

f. Guru Bimbingan dan Konseling di sekolah adalah “polisi sekolah”


Masih banyak anggapan bahwa bimbingan dan konseling adalah
“polisi sekolah”. Hal ini disebabkan karena seringkali pihak sekolah
menyerahkan sepenuhnya masalah pelanggaran kedisiplinan dan
peraturan sekolah lainnya kepada guru BK. Bahkan banyak pula guru BK
yang diber iwewenang sebagai eksekutor bagi siswa yang bermasalah.
Sehingga banyak sekali kita temukan siswa di sekolah-sekolah yang
menganggap guru BK sebagai guru yang ditakuti. Padahal sebenarnya
Guru (BK) itu bukan untuk ditakuti tetapi untuk disegani, dicintai dan
diteladani.
Jika kita menganalogikan dengan dunia hukum, konselor harus
mampu berperan sebagai pengacara, yang bertindak sebagai sahabat
kepercayaan, tempat mencurahkan isi hati dan pikiran. Konselor adalah
kawan pengiring, penunjuk jalan, pemberi informasi, pembangun
kekuatan, dan pembina perilaku-perilaku positif yang dikehendaki
sehingga siapa pun yang berhubungan dengan bimbingan konseling akan
memperoleh suasana sejuk dan memberi harapan. Kendati demikian,
konselor juga tidak bisa membela/melindungi siswa yang memang jelas
bermasalah, tetapi konselor boleh menjadi jaminan untuk penangguhan
hukuman dengan kata lain memberikan pemaafan bagi konselinya. Yang
salah tetaplah salah tetapi hukuman boleh saja tidak diberikan,
bergantung kepada besar kecilnya masalah itu sendiri. Disinilah peran
kebijaksanaan seorang guru BK diperlukan/diterapkan.

B. Pemahaman yang salah mengenai bimbingan dan konseling


Suatu perjalanan Panjang bimbingan dan konseling menuju sebuah
profesi yang handal hingga saat ini tampaknya masih harus dilalui secara
tertatih-tatih, sehingga seringkali dipersepsi dan dipahami keliru oleh
sebagian orang. Dalam hal ini, Prayitno (2003) telah mengidentifikasi 15
kekeliruan pemahaman orang dalam memandang bimbingan dan konseling, baik
dalam segi konsep maupun praktiknya yang tentunya sangat mengganggu
terhadap pencitraan dan laju pengembangan profesi ini. Kekeliruan
pemahaman ini tidak hanya terjadi di kalangan orang-orang yang berada di
luar bidang Bimbingan dan Konseling, tetapi juga banyak ditemukan di
kalangan orang-orang yang terlibat langsung dengan bimbingan dan konseling.
Adapun 15 kekeliruan pemahaman yang dimaksud adalah sebagai berikut,
melanjutkan dari beberapa poin yang telah disampaikan/ dituliskan pada
bagian A di atas.

1. Bimbingan dan Konseling disamakan atau dipisahkan sama sekali dari


pendidikan
Pada sebagian orang yang sering berpendapat bahwa bimbingan
dan konseling adalah identik dengan pendidikan sehingga sekolah tidak
perlu lagi bersusah payah menyelenggarakan pelayanan bimbingan dan
konseling, karena dianggap sudah implisit (tergabung) dalam pendidikan
itu sendiri. Cukup memaksimalkan/memantapkan saja pengajaran
sebagai pelaksanaan nyata dari pendidikan. Mereka sama sekali tidak
melihat arti penting bimbingan dan konseling di sekolah.
Sementara ada juga yang berpendapat pelayanan bimbingan dan
konseling harus benar-benar terpisah dari pendidikan dan pelayanan
bimbingan dan konseling harus secara nyata dibedakan dari praktik
pendidikan sehari-hari.

2. Menyamakan pekerjaan Bimbingan dan Konseling dengan pekerjaan


dokter dan psikiater
Dalam hal-hal tertentu memang terdapat persamaan antara
pekerjaan bimbingan dan konseling dengan pekerjaan dokter dan
psikiater, yaitu sama-sama menginginkan konseli/pasien terbebas dari
penderitaan yang dialaminya (pemberian pertolongan), melalui berbagai
teknik yang telah teruji sesuai dengan masing-masing bidang
pelayanannya, baik dalam mengungkap masalah konseli/pasien,
mendiagnosis, melakukan prognosis atau pun penyembuhannya.
Meskipun adanya persamaan yang demikian, pekerjaan bimbingan
dan konseling tidaklah persis sama dengan pekerjaan seorang dokter
atau psikiater. Dokter dan psikiater bekerja dengan orang sakit
sedangkan konselor bekerja dengan orang yang normal (sehat) namun
sedang mengalami masalah. Kemudian cara penyembuhan yang dilakukan
dokter atau psikiater bersifat reseptual dan pemberian obat, serta
teknis medis lainnya, sementara bimbingan dan konseling memberikan
cara-cara pemecahan masalah secara konseptual melalui pengubahan
orientasi pribadi, penguatan mental/psikis, modifikasi perilaku,
pengubahan lingkungan, upaya-upaya perbaikan dengan teknik-teknik
khas bimbingan dan konseling.

3. Bimbingan dan Konseling dibatasi pada hanya menangani masalah-


masalah yang bersifat insidental
Tidak dipungkiri bahwa pekerjaan bimbingan dan konseling salah
satunya bertitik tolak dari masalah yang dirasakan siswa/konseli,
khususnya dalam rangka pelayanan responsif, tetapi hal ini bukan
berarti bimbingan dan konseling dikerjakan secara spontan dan hanya
bersifat reaktif atas masalah-masalah yang muncul pada saat itu.
Lebih dari itu pekerjaan layanan bimbingan dan konseling
dilakukan berdasarkan program yang disusun secara sistematis dan
terencana, yang di dalamnya mengggambarkan sejumlah pekerjaan
bimbingan dan konseling yang bersifat proaktif dan antisipatif, baik
untuk kepentingan pencegahan, pengembangan maupun penyembuhan
(pengentasan).

4. Bimbingan dan Konseling dibatasi hanya untuk siswa tertentu saja


Bimbingan dan Konseling tidak hanya diperuntukkan bagi siswa
yang bermasalah atau siswa yang memiliki kelebihan tertentu saja,
namun bimbingan dan konseling harus dapat melayani seluruh siswa
(Guidance and Counseling for All). Setiap siswa berhak dan mendapat
kesempatan pelayanan yang sama, melalui berbagai bentuk pelayanan
bimbingan dan konseling yang tersedia.

5. Bimbingan dan Konseling melayani ‘orang sakit’ dan/atau ‘kurang/tidak


normal
Sasaran Bimbingan dan Konseling adalah hanya orang-orang
normal yang mengalami masalah. Melalui bantuan psikologis yang
diberikan konselor diharapkan orang tersebut dapat terbebaskan dari
masalah yang menghinggapinya. Jika seseorang mengalami
keabnormalan yang akut tentunya menjadi wewenang psikiater atau
dokter untuk penyembuhannya. Masalahnya, tidak sedikit petugas
bimbingan dan konseling yang tergesa-gesa dan kurang hati-hati dalam
mengambil kesimpulan untuk menyatakan seseorang tidak normal.
Pelayanan bantuan pun langsung dihentikan dan dialihtangankan
(referal).
Disisi lain peran bimbingan yang menjadi wewenang BK yakni
bertugas membantu orang-orang normal dan sehat untuk meningkatkan
kemampuan dan prestasinya, demi terwujudnya kelancara bagi siswa
dalam menentukan karirnya. Langkah yang diambil akan sangat beragam
sesuai dengan kebutuhan peserta didik, seperti mengarahkan siswa
untuk mengikuti bimbingan belajar, pelatihan, dan sebagainya.
6. Pelayanan Bimbingan dan Konseling berpusat pada keluhan pertama
(gejala) saja
Pada umumnya usaha pemberian bantuan memang diawali dari
gejala yang ditemukan atau keluhan awal disampaikan konseli. Namun
seringkali justru konselor mengejar dan mendalami gejala yang ada
bukan inti masalah dari gejala yang muncul. Misalkan, menemukan siswa
dengan gejala sering tidak masuk kelas, pelayanan dan pembicaraan
bimbingan dan konseling malah berkutat pada persoalan tidak masuk
kelas, bukan menggali sesuatu yang lebih dalam dibalik tidak masuk
kelasnya.

7. Bimbingan dan Konseling menangani masalah yang ringan


Ukuran berat-ringannya suatu masalah memang menjadi relatif,
seringkali masalah seseorang dianggap sepele, namun setelah diselami
lebih dalam ternyata masalah itu sangat kompleks dan berat. Begitu
pula sebaliknya, suatu masalah dianggap berat namun setelah dipelajari
lebih jauh ternyata hanya masalah ringan saja. Terlepas berat-
ringannya yang paling penting bagi konselor adalah berusaha untuk
mengatasinya secara cermat dan tuntas. Jika segenap kemampuan
konselor sudah dikerahkan namun belum juga menunjukan perbaikan
maka konselor seyogyanya mengalihtangankan masalah (referal) kepada
pihak yang lebih kompeten.

8. Bimbingan dan Konseling dianggap semata-mata sebagai proses


pemberian nasihat
Bimbingan dan konseling bukan hanya bantuan yang berupa
pemberian nasihat. Pemberian nasihat hanyalah merupakan sebagian
kecil dari upaya-upaya bimbingan dan konseling. Pelayanan bimbingan
dan konseling menyangkut seluruh kepentingan klien dalam rangka
pengembangan pribadi klien secara optimal.
C. Strategi mengatasi Hambatan Bimbingan dan Konseling
Terdapat beberapa upaya untuk meminimalisir hambatan dalam proses
pelaksanaan konseling agar berjalan lebih efektif, adalah sebagai berikut:

1. Dalam kegiatan konseling diharapkan konselor dan konseli harus


membina hubungan (kerjasama) yang baik dalam diri masing-masing
agar tercipta suasana yang nyaman sehingga ada perasaan bebas,
terutama bagi konseli, untuk mengungkapkan persoalan yang sedang
dihadapinya.

2. Dari pihak konselor, diharapkan teknik-teknik dalam konseling (verbal


dan non verbal) harus dikuasai dengan baik, sehingga masalah yang
sedang dihadapi konseli dapat terungkap dengan baik dan jelas.

3. Buatlah program bimbingan dan konseling sesuai dengan kubutuhan dan


situasi kondisi sekolah.

4. Laksanakan program sesuai dengan kemampuan guru bimbingan dan


konseling dan sekolah.

5. Laksanakan sosialisasi tentang tugas guru bimbingan dan konseling


disekolah agar para siswa, guru mata pelajaran lain, dan kepala sekolah
turut memahami tentang tugas-tugas guru bimbingan dan konseling
disekolah. 

6. Jangan terlalu menuntut kepada sekolah untuk melengkapi sarana dan


prasarana bimbingan dan konseling jika sekolah memang tidak mampu
menyediakannya. Namun membuat usulan adalah hal yang bijak untuk
dilaksanakan.

7. Kuasai konsep bimbingan dan konseling dan jangan malu bertanya jika
guru bimbingan dan konseling memang tidak menguasai layanan
bimbingan dan konseling di sekolah, bertanya lebih baik daripada salah
dalam melaksanakan layanan bimbingan dan konseling.

8. Jalin kerja sama yang solid antar guru bimbingan dan konseling melalui
komunikasi intensif dalam forum MGBK, ABKIN dan forum-forum lain
yang dapat meningkatkan kinerja bimbingan dan konseling.

9. Jangan memaksakan diri untuk menangani kasus yang bukan menjadi


tanggung jawab seorang guru bimbingan dan konseling sepeti narkotika,
kasus-kasus kriminal, atau kasus-kasus kelainan jiwa. Ingat bahwa BK
bertanggung jawab sebatas siswa yang normal dan yang memiliki
masalah. Dan jika hal ‘diluar tanggung jawab’ ini terjadi disekolah, maka
segera koordinasikan dengan pihak terkait untuk segera di “Referal”
atau alih tangan kasuskan.

10. Tumbuhkan niat dan mantapkan hati bahwa “Saya akan menjadi guru
bimbingan dan konseling yang professional mulai hari ini”.

Daftar Pustaka

Munthe, M. (2019). Hambatan-hambatan pelaksanaan bimbingan dan konseling di


sekolah. Nias: DIDAKTIK IKIP Gunungsitoli. Volume 13, (2310-2324)

Indonesia, K. P. (2016). Pedoman Bimbingan dan Konseling Pada Pendidikan Dasar


dan Menengah. Jakarta

Amti, Erman dan Prayitno. (2008) . Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling . Jakarta:
PT Rineka Cipta

Djoko, B.S. (2009). Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling. Malang: Universitas


Negeri Malang

Anda mungkin juga menyukai