i
4.3 Penentuan Dissolved Oxygen dan KLa ............................................. 22
4.4 Pengaruh Kecepatan Alir Superfisial terhadap Gas Hold Up .......... 24
4.5 Penentuan Gas Disengagement ........................................................ 26
4.6 Penentuan Laju Penyerapan Oksigen (Oxygen Uptake Rate) oleh
Ragi .................................................................................................. 29
BAB V PENUTUP ................................................................................................ 31
5.1 Kesimpulan ...................................................................................... 31
5.2 Saran ................................................................................................ 32
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 33
LAMPIRAN .......................................................................................................... 36
ii
DAFTAR GAMBAR
iii
DAFTAR TABEL
iv
DAFTAR LAMPIRAN
v
RINGKASAN
vi
BAB I
PENDAHULUAN
1
menentukan kurva karakteristik nilai gas disengagement, dan menentukan laju
pengambilan O2 (oxygen uptake rate).
2
yaitu laju volumetrik gas, konsentrasi oksigen terlarut, laju penyerapan
oksigen, koefisien perpindahan massa (KLa), luas penampang kolom, gas
hold up, Ug (kecepatan superfisial), dan Ud (kecepatan disengagement).
Masing-masing pengujuan dilakukan sebanyak tiga kali pengulangan untuk
setiap sampel. Adapun asumsi yang digunakan pada percobaan ini yaitu:
1. Laju penyerapan medium diabaikan
2. Pencampuran pada setiap sampel merata
3. Pori-pori sparger berukuran sama
4. Luas kolom seragam
5. Kerangan tertutup penuh pada saat dilakukan penutupan secara tiba-
tibda dan pada saat sebelum dibuka
6. Air yang digunakan telah terdeoksigenasi secara sempurna
7. Ketinggian medium saat aerasi pada t yang lama konstan
8. Suhu media konstan
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Aerasi
Pemanfaatan mikroorganisme ataupun kultur sel menjadi mesin produksi
untuk menghasilkan senyawa metabolit dan biomassa telah menjadi fokus untuk
penelitian di bidang bioindustri (Berdy, 2005). Salah satu faktor yang
mempengaruhi produktivitas mikroorganisme ataupun kultur sel dalam
pertumbuhan dan produksi senyawa metabolitnya adalah kandungan nutrisi pada
medium, suhu, lama proses fermentasi, dan kadar oksigen terlarut (DO) (Potumarthi
et al., 2007). Aerasi adalah suatu unit proses dimana terjadi kontak dan sirkulasi
antara udara dan larutan pada medium tumbuh, proses ini terjadi dapat melalui dua
cara yaitu melalui pemaparan lapisan tipis larutan ke udara dan pemberian
gelembung udara kecil ke larutan pada medium tumbuh (Amand et al., 2013).
Aerasi berfungsi dalam mempertahankan kondisi aerobik selama proses
pertumbuhan pada kultur melalui penambahan oksigen atau udara kedalam medium
secara terus menerus (Zhou et al., 2018), menghilangkan gas buangan yang
terbentuk selama proses fermentasi (Mantzouridou et al., 2002), serta mengoksidasi
senyawa organik volatile (VOCs) dan ion logam yang terlarut (Amand et al., 2013).
Selain mempertahankan kondisi aerobik, aerasi juga dapat berperan dalam proses
pencampuran yang terjadi pada medium tumbuh (Kim et al., 2003). Konsentrasi
oksigen terlarut (DO) yang selalu terjaga, memberikan efek terhadap pertumbuhan
dan produksi senyawa metabolit (Borges et al., 2008) karena terjaganya proses
aerobik.
2.2 Reaktor Kolom Gelembung (Bubble Column Reactor)
Reaktor kolom gelembung adalah wadah silinder dengan distributor gas
dibagian bawah yang umum disebut dengan sparger. Sparger nantinya akan
memecah udara yang berasal dari pompa menjadi gelembung udara yang akan
dilepaskan menuju sistem baik sistem padat-cair maupun cair-cair. Reaktor ini
termasuk kedalam reaktor multifase yang terdiri dari tiga kategori utama yaitu
reaktor kolom gelembung, reaktor trickle bed, dan reaktor fluidized bed (Kantarci
4
et al., 2005). Reaktor kolom gelembung telah umum dimanfaatkan dalam industri
kimia, biokimia, dan metalurgi (Degaleesan et al., 2001), di dalam bioindustri
reaktor ini telah umum digunakan untuk proses pengolahan air limbah dan
fermentor. Pengaplikasian yang beragam ini disebabkan karena reaktor ini
mempunyai karakteristik transfer massa dan panas yang tinggi, biaya operasi yang
rendah, dan tidak memerlukan perlakuan yang khusus (Kantarci et al., 2005).
Gambar 2.1 menunjukkan rangkaian umum reaktor kolom gelembung.
5
secara umum yaitu rejim aliran homogen, rejim aliran heterogen dan rejim aliran
transisi (Rollbusch, 2016). Apabila dibandingkan terhadap kecepatan superfisial
gas dan nilai gas hold up, maka perubahan rejim aliran terhadap kecepatan gas
superfisial akan tergambarkan dalam Gambar 2.2 berikut.
6
gelembung yang sangat cepat di bagian tengah kolom dan gelembung yang
cenderung turun pada bagian dinding kolom (McLaughlin, 2003). Karena adanya
ketidakseragaman kecepatan gelembung antara dinding dan bagian tengah kolom,
maka nilai gas hold up cenderung tidak stabil dan menunjukkan hubungan yang
tidak linear terhadap kecepatan superfisial gas (Krishna & Sie, 2000).
𝑑𝐶𝑂2
= 𝐾𝐿 𝑎 (𝐶 ∗ − 𝐶𝑂2 ) − 𝑞𝑂2 𝐶𝑋 = 𝑂𝑇𝑅 − 𝑂𝑈𝑅 (2.1)
𝑑𝑡
7
Persamaan 2.1 digunakan dalam beberapa kondisi tertentu untuk dapat
memperoleh semua variabel yang dibutuhkan dalam perhitungan. Kondisi yang
dimaksud adalah kondisi tunak dan kondisi tidak adanya biomassa yang hidup
dalam medium. Setelah semua variabel yang diperlukan ditemukan, perhitungan
dapat dilakukan dan diperoleh sebuah konstanta yang mampu menggambarkan laju
kelarutan oksigen dalam larutan tersebut yaitu KLa (Chung et al., 1995).
𝐶𝐿2 1 𝑡
∫𝐶𝐿1 𝑑𝐶 = 𝐾𝐿 𝑎 ∫𝑡 2 𝑑𝑡 (2.3)
(𝐶 ∗ 𝐿 − 𝐶𝐿 ) 1
8
(𝐶 ∗ 𝐿 −𝐶𝐿1 )
ln (𝐶 = −𝐾𝐿 𝑎. 𝑡 (2.4)
𝐿1 −𝐶𝐿2 )
𝐻0
𝜀 = 1− (2.5)
𝐻𝑑
9
Waktu yang dibutuhkan oleh suatu fluida untuk melepaskan gas yang ditampung
pada saat proses aerasi disebut sebagai gas disengagement (Schumpe & Grund,
1986).
Pada sesaat setelah aliran udara ke dalam fluida ditutup fluida akan melepas
gas tersebut keatas dan kehilangan posisi gas hold up-nya secara berkala. Gas
disengagement ini dapat diukur melalui penurunan ketinggian fluida ketika aliran
udara dihentikan (Schumpe & Grund, 1986). Penurunan ketinggian ini kemudian
diplot dengan waktu yang dibutuhkan fluida untuk kembali ke ketinggian sebelum
proses aerasi dilakukan. Dari plot ini akan dihasilkan sebuah kurva perubahan
ketinggian terhadap waktu. Nilai slope dari kurva ini selanjutnya disebut sebagai
Ud. Kurva perubahan ketinggian sebagai fungsi dari waktu ditunjukkan pada
Gambar 2.1.
10
fermentasi pada suatu biorekator. Biasanya nilai qO 2 ditentukan melalui sebuah
eksperimen (Palomares, 1996). Nilai qO2 pada suatu bioreaktor bergantung pada
nilai koefisien mass transfer atau Kla dan tidak mudah untuk ditentukan secara
individu. Ketersediaan informasi nilai Kla pada suatu bioreaktor sangat ekstensif
oleh karena itu dibutuhkan metode pengukuran yang tepat untuk setiap kondisi yang
berbeda. Selain itu perlu diperhatikan pula sifat dinamika fluida dalam suatu
bioreaktor dalam penentuan nilai qO2, karena dinamika fluida pada suatu medium
mikroorganisme akan sangat mempengaruhi berapa kuantitas oksigen yang dapat
dikonsumsi suatu biomassa pada rentang waktu tertentu (Ochoa, 2010).
11
BAB III
METODOLOGI
Alat Bahan
Kolom gelembung (1 buah) Air terdeoksigenasi (350 mL)
Flowmeter (1 buah) Akuades (500 mL)
Bubble soap flowmeter (1 buah) Medium MS (2,5 g)
DO meter (1 buah) Fermipan (2,5 g)
Selang (1 buah) Sukrosa (gula dapur)
Penggaris (1 buah) Air sabun (100 mL)
Kompresor (1 buah) Aluminium foil (1 lembar)
Penyangga kolom (1 buah)
Kamera digital (1 buah)
Sparger (1 buah)
Gelas kimia 500 mL (1 buah)
Gelas kimia 100 mL (1 buah)
Timbangan analitik (1 buah)
Spatula (1 buah)
Penggaris busur (1 buah)
Stopwatch (1 buah)
Pipet tetes (1 buah)
Klem (1 buah)
Statif (1 buah)
12
Gambar 3.1 Rangkaian soap bubble flowmeter
13
bubble diisi dengan air sabun pada bagian pengumpul sabun (bulb). Sebelum
kompresor dinyalakan, titik awal dan titik akhir pada soap bubble ditentukan.
Setelah itu, kompresor dinyalakan dan klem pada selang dibuka. Kerangan
flowmeter dibuka pada sudut tertentu. Lalu, stopwatch dinyalakan ketika
gelembung telah mencapai titik awal dan dimatikan pada saat mencapai titik akhir.
Kemudian, waktu yang ditempuh gelembung untuk melewati titik awal sampai titik
akhir tersebut diukur.
3.2.2 Penentuan Bentuk dan Ukuran Gelombang
Alat disusun seperti pada Gambar 3.2. Kemudian, laju alir udara diatur
melalui bukaan kerangan flowmeter sehingga mendapatkan gelembung tunggal dan
jamak. Lalu, gelembung pada beberapa ketinggian kolom difoto dan setelah
mendapatkan foto gelembung, kompresor dimatikan. Hal yang sama dilakukan
pada medium air, sukrosa, medium MS dan sukrosa+fermipan.
3.2.3 Klaibrasi DO meter
Probe DO meter dipastikan telah terhubung dengan DO meter dan
dilindungi oleh penutup. Setelah itu, tombol on/off dinayalakan dan DO meter
dibiarkan menyala selama 15 menit. Lalu, pelindung probe dilepaskan dan sensor
DO meter dikeringkan. Kemudian, sensor DO meter dibiarkan di udara terbuka
hingga DO meter menunjukan pembacaan terendah. Setelah itu, sekrup 0% pada
DO meter diputar hingga pembacaan 0%. Lalu, sensor DO meter ditutup dengan
pelindung probe dan ditetesi dengan cairan kalibrasi, yaitu MA9071. DO meter
kemudian dibiarkan hingga pembacaan terendah dan yang terakhir, sekrup 100%
diputar hingga pembacaan 100% pada layar DO meter.
3.2.4 Penentuan Oksigen Terlarut (DO)
Batas ketinggian kolom dibuat berdasarkan data percobaan 3.2.2.
Kemudian, air diaerasi untuk mendapatan air teroksigenasi dan KLa ditentukan.
Setelah itu, DO pada masing-masing ketinggian dan laju alir tersebut diukur dan
dihitung. Lalu, hasil yang diperoleh dari setiap media dibandingkan.
3.2.5 Penentuan Gas Hold Up
Kolom diisi air setinggi H0 (±60% dari tinggi kolom). Lalu, kompresor
dinyalakan dan kerangan dibuka sedikit demi sedikit. Pada setiap bukaan, laju alir
14
pada flowmeter yang telah dikalibrasi diamati. Kemudian, tinggi cairan di dalam
kolom (Hd) saat terbentuk gelembung diukur. Proses aerasi ditunggu hingga tinggi
akhir fluida tetap dan gelembung difoto pada setiap menaikan laju alir gas.
3.2.6 Penentuan Kurva Karakteristik Disengagement
Alat perekam video disiapkan dan perekaman video dimulai ketika kolom
yang berisi cairan telah bergelembung. Kemudian, waktu pada rekaman tersebut
dicatat. Pada saat t=10 (atau ketinggian tertentu yang tetap), kerangan ditutup tiba-
tiba. Lalu, diamati perubahan ketinggian terhadap waktu sampai kembali lagi ke
H0.
15
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari data kalibrasi pada Tabel 4.1 didapatkan besar bukaan kerangan untuk
setiap kecepatan superfisial tertentu sebagai variasi yang akan digunakan.
Berdasarkan perhitungan pada lampiran A.1, besarnya derajat bukaan kerangan
untuk tiap variasi kecepatan superfisial terdapat pada Tabel 4.2 dibawah ini.
Tabel 4.2 Besar bukaan kerangan untuk tiap variasi kecepatan superfisial
Ug (cm/s) Sudut bukaan kerangan
0,2 13°
0,3 19°
0,4 25°
0,5 31°
0,6 37°
(Dilanjutkan)
16
(Lanjutan)
0,7 43°
0,8 49°
Dari data pada Tabel 4.2 dapat terlihat bahwa selisih bukaan kerangan
untuk tiap variasi kecepatan superfisial cukup kecil. Hal tersebut menandakan
bahwa flowmeter yang digunakan memiliki tingkat sensitivitas yang cukup besar
terhadap perubahan derajat bukaan kerangan. Pada dasarnya kalibrasi merupakan
metode untuk membandingkan nilai yang terhitung dari sebuah alat terhadap
kondisi standar yang dihasilkan (National Measurement System, 2004).
Kalibrasi pada sebuah pengukuran kecepatan fluida menggunakan
flowmeter dilakukan untuk menjamin bahwa hasil perhitungan yang diperoleh dapat
menunjukkan hasil kecepatan aliran fluida dengan galat yang sekecil-kecilnya.
Walaupun metode pengukuran kecepatan aliran dengan menggunakan flowmeter
dan kolom bubble soap telah lama dilakukan namun pada proses kalibrasinya harus
sangat diperhatikan bahwa metode ini memiliki tingkat galat yang cukup tinggi
(Levy, 1964).
Pada proses pengukuran aliran fluida menggunakan flowmeter, kuantitas
fluida yang mengalir dari aerator bisa jadi berbeda dengan kuantitas fluida yang
pada akhirnya mengalir pada kolom gelembung dikarenakan oleh adanya
perubahan volume atau bahkan massa dari fluida tersebut saat keluar dari aerator
dan saat mengalir di kolom gelembung. Perubahan tersebut bisa disebabkan oleh
beberapa faktor seperti temperatur, tekanan, viskositas dan ekspansi. Oleh karena
itu dibutuhkan sebuah proses kalibrasi untuk menentukan perbandingan nilai
terukur dan nilai standar agar dapat ditentukan nilai yang akurat untuk sebuah
kondisi aliran fluida (National Measurement System, 2004).
Pada proses kalibrasi flowmeter, terdapat beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi hasil kalibrasi. Dari segi alat flowmeter itu sendiri, hasil pengukuran
akan dipengaruhi oleh temperatur, viskositas, profil aliran, fluktuasi laju aliran, dan
dorongan yang diterima oleh alat akibat pergerakan fluida. Selain dari faktor faktor
tersebut, ada juga faktor teknis dari alat flowmeter itu sendiri seperti sensitivitas alat
17
terhadap perubahan kondisi aliran ataupun terhadap perubahan perlakuan pada alat.
Sementara dari segi kondisi eksternal, pengukuran akan dipengaruhi oleh
temperatur lingkungan, dan tekanan (National Measurement System, 2004).
Perlu diperhatikan pula bahwa tingkat keberhasilan dari sebuah proses
kalibrasi juga ditentukan oleh ketelitian seseorang dalam mengukur waktu, luas
penampang serta volume dari kolom bubble soap. Oleh karena itu faktor lainnya
yang menjadi faktor yang dapat mempengaruhi hasil kalibrasi adalah tingkat
akurasi dan ketelitian pengukuran seseorang dalam percobaan kalibrasi itu sendiri
(Levy, 1964).
Bentuk Gelembung
Ug (cm/s)
Air MS Sukrosa 1% sukrosa + ragi
0,2 Bubbly Flow Bubbly flow Bubbly flow Bubbly Flow
0,3 Bubbly Flow Bubbly flow Bubbly flow Bubbly Flow
Non uniform
0,4 Bubbly Flow Bubbly flow Bubbly Flow
bubbly flow
Non uniform
0,5 Bubbly Flow Bubbly flow Bubbly Flow
bubbly flow
Non uniform
0,6 Bubbly Flow Bubbly flow Bubbly Flow
bubbly flow
(Dilanjutkan)
18
(Lanjutan)
Non uniform
0,7 Bubbly Flow Bubbly flow Bubbly Flow
bubbly flow
Non uniform
0,8 Bubbly Flow Bubbly flow Bubbly Flow
bubbly flow
Dari data pengamatan nampak bahwa air, sukorsa 1%, dan sukrosa + ragi
membentuk rejim aliran yang sama yaitu bubbly flow, sedangkan pada medium
sukrosa untuk kecepatan superfisial 0,2 dan 0,3 cm/s rejim aliran yang terbentuk
bubbly flow dan untuk kecepatan superfisial 0,4 sampai 0,8 rejim aliran yang
terbentuk adalah non uniform bubbly flow. Seluruh medium menunjukkan
pembentukan rejim aliran yang homogen. Pada umumnya fluida yang diberikan
aerasi pada kecepatan rendah akan membentuk rejim aliran yang homogen hingga
pada kecepatan transisi (Urseanu, 2000). Kecepatan superfisial yang digunakan
pada percobaan ini ada pada rentang 0,2-0,8 cm/s dimana termasuk ke dalam
kecepatan rendah. Kecepatan ini belum cukup untuk membentuk rejim aliran
transisi sehingga gelembung yang terbentuk cenderung sama yaitu bergerak lurus
keatas dengan sedikit turbulen di bagian bawah tabung.
Pada medium MS, terdapat perbedaan rejim aliran dibandingkan dengan
aliran pada medium yang lain. Ketika memasuki kecepatan superfisial 0,4 cm/s
gelembung yang awalnya memiliki ukuran seragam mulai membentuk gelembung
yang berbeda ukuran. Jika diamati secara kualitatif nampak gelembung dengan
ukuran besar dikelilingi oleh gelembung kecil dengan jumlah yang lebih banyak.
Menurut Urseanu (2000) pola ini tepat disebut sebagai pola bubble swarm velocity
dimana mulai terbentuk gelembung berukuran besar dibagian tengah aliran. Namun
pada medium MS belum terjadi perubahan bentuk gelembung. Gelembung masih
berbentuk bulat sempurna namun hanya ukurannya yang lebih bervariasi. Hal ini
terjadi karena fluida mulai memasuki fase transisi namun tidak sepenuhnya berubah
karena gelembung masih homogen secara bentuk.
Karakter dari bentuk dan ukuran gelembung disajikan pada Tabel 4.4 dan
Gambar 4.1 dibawah.
19
Tabel 4.4 Data bentuk gelembung
Ug Bentuk Gelembung
(cm/s) Air MS Sukrosa 1% sukrosa + ragi
0,6
Diameter (cm)
0,5
0,4
0,3
0,2
0,1
0
0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9
Ug (cm/s)
Dari data bentuk gelembung nampak bahwa medium air, medium MS, dan
medium sukrosa+ragi pada awalnya memiliki ukuran gelembung yang sama
kemudian pada kecepatan tertentu memiliki ukuran gelembung yang tidak seragam.
20
Pada medium sukrosa ukuran gelembung konsisten dengan ukuran yang kecil.
Secara pengamatan nampak bahwa perubahan ukuran terjadi pada medium MS, air,
dan sukrosa + ragi, namun pada medium MS perbedaan yang terbentuk paling
besar.
Pada medium MS, air, dan sukrosa+ragi bentuk gelembung seperti ini
terjadi karena kecepatan superfisial dinaikkan dan fluida menampung lebih banyak
gas. Bentuk gelembung pun menyesuaikan dengan membesar sebagian. Hal ini
didukung juga dengan medium yang memiliki viskositas rendah dibanding dengan
sukrosa. Pada sukrosa gelembung yang terbentuk stabil kecil akibat viskositas yang
lebih besar. Terbentuknya gelembung berkaitan dengan fasa padat yang terlarut
didalamnya karena dapat membentuk pola aliran non Newtonian (Jin & Lant, 2004).
Pola aliran non Newtonian terbentuk dari viskositas yang besar.
Pengukuran diameter gelembung menunjukkan trend kenaikan diameter
gelembung seiring bertambahnya kecepatan superfisial udara pada seluruh medium.
Persebaran diameter gelembung pada medium air sebesar 0,17-0,5 cm pada
medium MS 0,09-0,24 cm pada medium sukrosa 0,07-0,24 cm pada medium
sukrosa + ragi 0,13-0,28 cm. Data yang diperoleh cukup berbeda dibanding data
literatur dimana ukuran gelembung pada air sebesar 0,57-0,7 cm pada medium MS
0,77 cm pada medium sukrosa 0,3-0,5 cm pada medium sukrosa + ragi 0,25-0,32
(Zahedi, et al., 2014). Data yang berbeda dari literatur ini dapat terjadi karena
perbedaan kecepatan superfisial yang berbeda antara percobaan dengan literatur.
Pada data literatur tidak diketahui berapa kecepatan superfisial yang digunakan.
Apabila data diurutkan dari ukuran terkecil hingga terbesar maka
urutannya adalah sukrosa, medium MS, sukrosa+ragi, dan air. Medium sukrosa
memiliki ukuran gelembung paling kecil karena fluida ini mengandung padatan
yang tidak larut sempurna dalam air dan membuat viskositas fluida tinggi sehingga
gelembung lebih sulit terbentuk dalam ukuran besar. Pada air viskositas lebih
rendah dibanding medium lain sehingga gelembung yang terbentuk cenderung lebih
besar dibanding medium lain karena gas tidak kesulitan membentuk gelembung
berukuran besar.
21
4.3 Penentuan Dissolved Oxygen dan KLa
Kadar oksigen terlarut yang diukur menggunakan DO meter memiliki nilai
yang berbeda-beda pada setiap sampel. Pada kecepatan superfisial 0,2 cm/s, air,
medium MS, sukrosa dan sukrosa+fermipan menunjukan hasil DO berturut-turut
sebesar 8; 8,2; 8,1; dan 7,7 mg/L. Data selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran
Tabel B.2. Namun, tiap-tiap sampel tersebut menunjukan kenaikan kadar oksigen
terlarut seiring dengan meningkatnya kecepatan superfisial (U g). Hal itu sejalan
dengan hasil penelitian Jin et al. (2001) yang menyatakan bahwa meningkatnya
kecepatan superfisial akan meningkatkan laju penyerapan oksigen, sehingga
oksigen yang terkandung dalam suatu media akan semakin banyak. Gambar 4.2
menggambarkan kadar oksigen terlarut pada medium sampel.
8,8
Kadar Oksigen Terlarut (mg/L)
8,6
8,4
Air
8,2
Medium MS
8 Sukrosa 1%
7,8 Sukrosa+Fermipan
7,6
0 0,2 0,4 0,6 0,8 1
Ug (m/s)
22
gelombang yang tepat, yang menyebabkan pewarna pada lapisan penginderaan
bercahaya merah. Oksigen terlarut dalam sampel yang sedang diuji terus-menerus
melewati lapisan difusi ke lapisan pewarna, mempengaruhi intensitas pewarna
(Instrument, 2009). Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi pembacaan kadar
oksigen terlarut menggunakan DO meter yaitu temperatur, tekanan barometrik dan
salinitas (salinitas air meningkat, kemampuannya untuk melarutkan oksigen
menurun) (Instrument, 2009).
Koefisien perpindahan massa (KLa) merupakan suatu parameter yang
penting untuk merancang bioreaktor aerob. Nilai K La dipengaruhi oleh beberapa
faktor, di antaranya yaitu desain mekanik, geometri distributor udara dan
kompresor, kondisi perlakuan, seperti kecepatan agitasi atau kecepatan aerasi.
Koefisien perpindahan massa volumetrik (KLa) terjadi dalam gas-liquid
berdasarkan dissosiasi dari koefisien perpindahan massa liquid (KL) dan luas kontak
permukaan (a) (Painmanakul et al., 2009). Nilai KLa yang diperoleh pada percobaan
ini yaitu sebesar 0,05 min-1. Nilai tersebut diperoleh dengan memplot nilai terhadap
(𝐶 ∗ −𝐶 )
waktu, kemudian mencari kemiringannya dengan regresi linear. Karena ln (𝐶 ∗ 𝐿−𝐶𝐿1 )
𝐿 𝐿2
= -KLa.t dan diperoleh kemiringan atau slope negatif, maka nilai KLa akan bernilai
positif. KLa pada pembacaan kadar oksigen terlarut sampel air terdeoksigenasi
ditunjukan oleh Gambar 4.3.
0,0000000
ln ((C*-CL1)/(CL1-CL2))
-0,5000000 0 10 20 30 40 50
23
Nilai KLa tersebut dapat membantu pengoptimalan biaya dan keefektifan
dari suatu proses instalasi. Nilai KLa pada kontak gas-liquid telah banyak ditentukan
oleh absorpsi oksigen atau teknik desorpsi (metode klasik). Namun, sistem aerasi
dalam skala besar yang sebenarnya, penerapan metode yang ada untuk penentuan
KLa dapat dibatasi oleh berbagai faktor seperti tingkat penyerapan oksigen dari
udara, kondisi operasi yang rumit, kualitas dan biaya peralatan pengukur dan juga
keterampilan operator. Selain itu, nilai KLa yang diperoleh sering bersifat global
(galat 25%) dan tidak cukup untuk memahami perpindahan massa oksigen yang
secara langsung mempengaruhi kinerja transfer oksigen (Painmanakul et al., 2009).
Nilai KLa untuk sampel selain air terdeoksigenasi dianggap sama dengan
nilai KLa pada air terdeoksigenasi. Hal tersebut dikarenakan kondisi perlakuan dan
karakteristik fisik yang sama pada setiap sampel medium, sehingga sampel dapat
dinyatakan mendekati sistem air bersih dengan tanpa kontaminasi (Jin et al., 2001).
0,07
0,06
0,05
0,04
ε
0,03
0,02
0,01
0
0 0,2 0,4 0,6 0,8 1
Ug(cm/s)
Gambar 4.4 Hubungan gas hold up dengan kecepatan alir superfisial di setiap
media
24
Secara umum hubungan gas hold up dengan kecepatan alir superfisial
dapat ditampilkan seperti pada Gambar 4.5 berikut.
25
rejim seperti yang ditunjukkan Gambar 4.5. Berdasarkan analisis yang sama maka
media lainnya yaitu sukrosa 1%, air, dan sukrosa+fermipan belum menunjukkan
perubahan pola aliran rejim hingga Ug 0,8 cm s-1.
Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya, dimana medium MS
masih menunjukkan peningkatan gas hold up secara linear pada Ug yang rendah ( 0
– 0,14 cm s-1) kemudian meningkat secara eksponensial setelahnya (Sajc et al.,
1995), sedangkan untuk media lain yaitu sukrosa+fermipan, air dan sukrosa 1%
pada rentang Ug sebesar 0,2 – 0,8 cm s-1 , masih teramati peningkatan gas hold up
yang bersifat linear (Karimi et al., 2008; Sajc et al., 1995 & Besagni et al., 2018).
Salah satu faktor yang membedakan nilai gas hold up pada masing masing media
adalah viskositas media tersebut, karena semakin tinggi nilai viskositas media
tersebut maka nilai gas hold up-nya akan semakin rendah diakibatkan berkurangnya
fase padat (dense phase) yang umumnya diisi oleh gelembung gelembung kecil
(Urseanu, 2000). Dalam perhitungannya nilai gas hold up pada media berbeda
dengan nilai pada referensi karena terdapat banyak metode untuk perhitungan gas
hold up (Al-Ezzi & Najmuldeen, 2014) namun kecenderungan yang dihasilkan
tetap sama.
26
8
Air
6
Waktu (s)
4 MS
2
Sukrosa 1%
0
0 0,5 1 sukrosa +
Kecepatan Superfisial Gas (cm/s) fermipan
23,8
23,7
23,6
0.2
23,5
0.3
H (cm)
23,4
0.4
23,3
0.5
23,2
0.6
23,1
0.7
23 0.8
22,9
0 1 2 3 4 5
Waktu (s)
27
Gambar 4.8 Gas disengagement pada media secara umum di reaktor kolom
gelembung
28
pada Ug 0,8 cm s-1 yang memiliki nilai 7 detik , dan sukrosa yang pada Ug 0,8 cm s-
1
memiliki nilai 10 detik (Lee et al., 1991), dimana perbedaan nilai ini disebabkan
perbedaan dimensi alat seperti sparger dan kolom yang digunakan, serta suhu
lingkungan pada saat perlakuan yang dapat mempengaruhi kemampuan gas hold up
dari media dengan cara mempengaruhi kemampuan transfer massa dan energi ke
media (Urseanu, 2000).
4.6 Penentuan Laju Penyerapan Oksigen (Oxygen Uptake Rate) oleh Ragi
Dari percobaan didapatkanlah data pada Tabel 4.5 sebagai berikut.
0,2 0,2267
0,4 0,056
0,6 -0,044
0,8 -0,11
Dari hasil perhitungan pada data percobaan didapatkan nilai oxygen uptake
rate atau qO2 ragi pada kecepatan superfisial 0,2 m/s adalah sebesar 0,22 mg O2/ml
detik Menurut percobaan yang dilakukan oleh Peddie, nilai qO2 pada kultur ragi
adalah berkisar antara 0,18 mg O2 / ml detik (Peddie, 1991). Dibandingkan dengan
hasil literatur, nilai qO2 yang didapatkan pada percobaan ini memiliki galat error
sebesar 22%. Error pada percobaan ini dapat disebabkan oleh beberapa hal, seperti
pengukuran oksigen terlarut yang kurang akurat karena kesalahan memegang alat,
kondisi air terdeoksigenasi yang diasumsikan 100% terdeoksigenasi pada
kenyataanya tidak 100% terdeoksigenasi sehingga mempengaruhi nilai faktor
koreksi, dan keadaan yang diasumsikan steady state namun pada kenyataanya
belum tentu steady state. Selain itu, didapatkan pula hasi negatif pada kecepatan
superfisial 0,6 dan 0,8. Nilai yang negatif tersebut disebabkan oleh kesalahan
29
kalibrasi pada DO meter dan juga kesalahan pada cara pengukuran, sehingga nilai
konsterasi O2 yang seharusnya terbaca sebagai hasil pengukuran dari dua anoda dan
katoda pada probe menjadi tidak akurat.
Menurut Peddie, ketika suatu percobaan pengukuran qO2 dilakukan pada
sistem aerasi yang berkelanjutan, maka penentuan nilai qO 2 tidak bisa dilakukan
dalam sekali perhitungan. Diperlukan perhitungan konsentrasi O 2 yang
berkelanjutan hingga didapatkan nilai qO2 yang akan konstan pada suatu nilai
tertentu. Selain itu, apabila proses aerasi dilakukan pada sistem yang terbuka, maka
akan memungkinkan terjadinya kontak medium ragi dengan udara luar. Kontak
medium ragi dengan udara luar akan menyebabkan oksigen pada medium mudah
masuk dan keluar. Apabila diinginkan keakuratan yang tinggi pada perhitungan qO2
ragi, maka direkomendasikan untuk melakukan percobaan pada sistem yang
tertutup (Peddie, 1991).
30
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang diperoleh berdasarkan hasil percobaan yang
dilakukan adalah sebagai berikut.
1. Pada Ug 0,2-0,3 cm/s gelembung udara yang dihasilkan memiliki
karakteristik bubbly flow pada tiap medium, dan pada medium MS mulai
menunjukkan karatristik gelembung non uniform bubbly flow dimulai pada
Ug 0,4 cm/s sedangkan pada medium lain tetap bubbly flow. Pada medium
air gelembung memiliki ukuran 0,17-0,5 cm, pada medium MS berukuran
0,09-0,24 cm, pada medium sukrosa 0,07-0,24 cm, dan pada medium
sukrosa+ragi memiliki ukuran 0,13-0,28 cm
2. Nilai KLA untuk reaktor kolom gelembung adalah sebesar 0,05
3. Nilai kadar oksigen terlarut (DO) yang diperoleh pada medium kecepatan
superfisial 0,2 cm/s, air, medium MS, sukrosa dan sukrosa+fermipan
menunjukan hasil DO berturut-turut sebesar 8; 8,2; 8,1; dan 7,7 mg/L
4. Nilai gas holdup akan meningkat secara linear pada nilai U g yang kecil dan
meningkat secara eksponen pada nilai Ug yang besar yang menunjukkan
terjadinya perubahan rejim aliran, pada medium MS perubahan rejim aliran
terjadi pada selang Ug 0,4-0,6 cm/s sedangkan tidak terjadi perubahan rejim
pada media yang lain
5. Nilai gas disengegament akan menurun dengan pertambahan waktu sampai
pada titik dimana nilai gas disengegament akan bernilai tetap, waktu yang
tercepat terjadi pada media air dengan Ug 0,2 cm/s dengan waktu 2,45 detik
sedangkan waktu terlama terdapat pada media sukrosa pada U g 0,8 cm/s
dengan waktu 6,8 detik
6. Laju pengambilan oksigen oleh ragi pada media sukrosa+fermipan adalah
sebesar 0,22 mg O2/ml detik pada kecepatan superfisial 0,2 m/s
31
5.2 Saran
Adapun saran yang dapat diberikan untuk proses pengerjaan praktikum
kedepannya adalah sebagai berikut:
1. Penggunaan alat yang lebih teliti.
2. Mengetahui spesifikasi dan kapasitas alat yang digunakan dengan baik.
3. Segera menanyakan kepada kelompok lain seandainya alat yang bisa
digunakan tidak sesuai dengan rencana awal karena kesalahan teknis.
32
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ezzi, A., & Najmuldeen, G. (2014). Gas Hold-Up, Mixing Time and Circulation
Time in Internal Loop Airlift Bubble Column. Int. Journal of Engineering
Research and Application 1(2), 286-294.
Deshpande, N., Dinkar, M., & Joshi, J. (1995). Disengagement of the gas phase in
bubble column. International Journal of Multiphase Flow, 21(6), 1191 -
1201.
Jin, B., & Lant, P. (2004). Flow Regime, Hydrodynamics, Floc Size Distribution
and Sludge Properties. Chemical Engineering Science, 59(12), 2379 – 2388.
Jin, B., Yu, Q., Yan, X., & Leeweun, J. (2001). Characterization and Improvement
of Oxygen Transfer in Pilot Plant External Air-lift Bioreactor for Mycelial
Biomass Production. Word Journal of Microbiology & Biotechnology, 17,
265-272.
Krishna, R., & Sie, S. T. (2000). Design and scale-up of the Fischer-Tropsch bubble
column slurry reactor. Fuel Processing(64), 73-105.
Levy, A. (1964). The accuracy of the bubble meter method for gas flow
measurements. Journal Science Instrumentation, 41, 449-453.
33
Mohan, S., Rohit, M., Subhash, G., & Chandra, R. (2019). Algal Oils as Biodiesel.
Biofuels from Algae, 287-323.
Palomares, L. A. (1996). The effect of dissolved oxygen tension and the utility of
oxygen uptake rate in cell culture. Cytotechnology, 225-237.
34
Schumpe, A., & Grund, G. (1986). The Gas Disengagement Technique for Studying
Gas. The Canadian Journal of Chemical Engineering, 64(6), 891-896.
Zahedi, P., Saleh, R., Moreno-Atanasio, R., & Yousefi, K. (2014). Influence of
Fluid Properties on Bubble Formation, Detachment, Rising and Collapse;.
Korean Journal of Chemical Engineering, 31(8), 1349-1361.
35
LAMPIRAN
36
Lampiran A Cara Pengolahan Data
Dari data tersebut dihitung laju volumetrik dengan cara sebagai berikut
𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑡𝑒𝑚𝑝𝑢ℎ
𝐿𝑎𝑗𝑢 𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒𝑡𝑟𝑖𝑘 = (A.1)
𝑤𝑎𝑘𝑡𝑢
10
𝐿𝑎𝑗𝑢 𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒𝑡𝑟𝑖𝑘 = = 1,07 𝑐𝑚3 /𝑠
9,33
Perhitungan yang sama dilakukan untuk semua data sehingga didapatkanlah
data pada Tabel A.2 berikut.
37
105 2,44
120 2,46
135 2,66
150 3,45
Dari data laju volumetrik, dapat ditentukan laju superfisial (Ug) dengan cara
membagi laju volumetrik dengan luas penampang kolom bubble soap. Luas
penampang kolom bubble soap adalah sebesar 1,306 cm2, maka didapatkanlah
perhitungan sebagai berikut.
𝐿𝑎𝑗𝑢 𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒𝑡𝑟𝑖𝑘
𝑈𝑔 = (A.2)
𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑝𝑒𝑛𝑎𝑚𝑝𝑎𝑛𝑔
1,07 𝑐𝑚3 /𝑠
𝑈𝑔 =
1,306 𝑐𝑚2
𝑈𝑔 = 0,82 𝑐𝑚/𝑠
Perhitungan yang sama dilakukan untuk semua data sehingga didapatkanlah
data pada Tabel A.3 berikut.
38
kecepatan superfisial yang dihasilkan terhadap sudut bukaan kerangan didapatkan
hasil pada Gambar A.1 berikut.
3,00
2,50 y = 0,0165x - 0,0116
2,00 R² = 0,9491
1,50
1,00
0,50
0,00
0 50 100 150 200
Sudut bukaan kerangan (˚)
Dari grafik yang telah dibuat, dapat ditentukan besarnya bukaan kerangan
yang dibutuhkan untuk setiap variasi kecepatan superfisial yang diinginkan dengan
cara menggunakan persamaan regresi linear dari grafik. Dengan menggunakan
kecepatan superfisial sebagai y, dapat ditentukan besarnya bukaan kerangan
sebagai x dengan cara sebagai berikut.
𝑦 = 0,0165𝑥 − 0,0116 (A.3)
𝑦 + 0,0116
𝑥=
0,0165
0,2 + 0,0116
𝑥=
0,0165
𝑥 = 13,1
Dengan melakukan perhitungan yang sama untuk seluruh data maka
didapatkanlah data sebagai berikut
39
0,3 19
0,4 25
0,5 31
0,6 37
0,7 43
0,8 49
(𝐶 ∗ 𝐿 −𝐶𝐿1 )
ln (𝐶 = −𝐾𝐿 𝑎. 𝑡 (A.4)
𝐿1 −𝐶𝐿2 )
Dimana 𝐶 ∗ 𝐿 = 8,3686, diperoleh dari data pada Tabel A.6 di bawah ini.
40
T (℃) 𝐶 ∗𝐿
23 8,68
24 8,53
25 8,38
26 8,22
27 8,07
28 7,92
29 7,77
30 7,63
(8,3686−7)
ln (7−2,4)
= −1,2122680
Melalui cara yang sama, maka diperoleh data sebagaimana Tabel A.7 berikut.
(𝐶 ∗ 𝐿 − 𝐶𝐿1 )
t (s) ln
(𝐶𝐿1 − 𝐶𝐿2 )
5 -1,2122680
10 -1,7701131
15 -2,2509770
20 -2,4627538
25 -2,7208098
30 -2,7208098
35 -3,0549982
40 -3,0549982
41
Langkah selanjutnya yaitu melakukan regresi linear pada Tabel A.7
(𝐶 ∗ 𝐿 −𝐶𝐿1 )
dengan sumbu y adalah ln (𝐶 dan sumbu x adalah t. Maka, didapatkan
𝐿1 −𝐶𝐿2 )
T(oC) Cl*
23 8.68
24 8.53
25 8.38
26 8.22
27 8.07
28 7.92
29 7.77
30 7.63
42
hingga 300 mL maka kosentrasi biomassa ragi di akhir adalah 0,15mg/mL. Data
kandungan oksigen terlarut pada larutan sukrosa+fermipan ditampilkan pada Tabel
A.9.
Ug (cm/s) Cl
0.2 7.7
0.4 8.2
0.6 8.5
0.8 8.7
Tabel A.10 menampilkan penggunaan oksigen oleh ragi pada setiap variasi
Ug.
0.2 0.2267
0.4 0.056
0.6 -0.044
0.8 -0.11067
43
A.4 Perhitungan Nilai Gas Hold Up
Data perubahan tinggi media setelah diberikan perlakuan aerasi dengan
variasi kecepatan alir superfisial adalah sebagai berikut.
Tabel A.11 Perubahan ketinggian
UG H0
Media HD (cm)
(cm/s) (cm)
0.2 23.71666667
0.3 23.81666667
0.4 23.98333333
Ms 0.5 23.45 24.33333333
0.6 24.36666667
0.7 24.58333333
0.8 25.11666667
0.2 22
0.3 22
0.4 22.04833333
Sukrosa 0.5 21.85 22.045
0.6 22.08
0.7 22.13333333
0.8 22.23666667
0.2 21.8
0.3 21.95
Sukrosa 0.4 22.15
+ 0.5 21.6 22.3
Fermipan 0.6 22.4
0.7 22.475
0.8 22.65
0.2 23.205
0.3 23.25
0.4 23.39
Air 0.5 21.05 23.45
0.6 23.525
0.7 23.65
0.8 23.775
44
Kemudian digunakan rumus A.7 untuk menentukan nilai gas holdup pada
medium yang digunakan.
𝐻
𝜀 = 1 − 𝐻0 (A.7)
𝐷
Media UG (cm/s) Ε
0.011243851
0.2
0.015395381
0.3
0.022237665
0.4
0.03630137
Ms 0.5
0.037619699
0.6
0.046101695
0.7
0.066357001
0.8
0.006818182
0.2
0.006818182
0.3
0.008995389
0.4
0.008845543
Sukrosa 0.5
0.010416667
0.6
0.012801205
0.7
0.017388697
0.8
Sukrosa + 0.009174312
0.2
Fermipan
45
0.01594533
0.3
0.0248307
0.4
0.031390135
0.5
0.035714286
0.6
0.038932147
0.7
0.046357616
0.8
0.006679595
0.2
0.008602151
0.3
0.014536127
0.4
0.017057569
Air 0.5
0.020191286
0.6
0.025369979
0.7
0.030494217
0.8
46
3.48 3.01 3.33 4 7.25 4 4 3.69
3.81 3.01 3.18 4 7.5 4 5.11 3.73
0.4 3.97 3.29 3.21 4 7.48 4 5.29 3.82
4 3.34 3.09 4 7.56 4 5.29 3.41
4.79 3.85 3.21 4 7.52 4 5.87 3.65
0.5 4.65 3.73 3.22 4 7.6 4 5.99 3.81
4.83 3.29 3.36 4 7.67 4 5.51 3.92
5.36 4.47 3.41 4 7.58 4 6.3 3.93
0,.6 5.28 4.13 3.5 4 7.72 4 6.5 3.76
5.24 4.21 3.55 4 7.69 4 6.23 3.84
5.7 3.83 3.25 4 8.39 4 6.8 4.12
0.7 5.94 4.12 3.6 4 8.22 4 6.5 4.63
5.83 4.26 3.56 4 8.34 4 6.4 4.37
6.17 4.03 3.48 4 9.82 4 6.57 5.02
0.8 5.96 4.28 3.72 4 9.52 4 7.03 4.89
6.57 4.05 3.67 4 9.47 4 6.84 4.93
Berdasarkan data yang diperoleh dicari waktu rata rata, untuk tiap medium
pada setiap variasi kecepatan aliran gas superfisial, yang ditampilkan pada tabel
A.14.
Sukrosa +
Ug (cm/s) Air Sukrosa Medium MS
Fermipan
0.2 2.441666667 3.618333333 5.386666667 2.465
0.3 3.256666667 3.673333333 5.641666667 3.673333333
0.4 3.57 3.58 5.756666667 4.441666667
0.5 4.19 3.631666667 5.798333333 4.791666667
0.6 4.781666667 3.743333333 5.831666667 5.093333333
0.7 4.946666667 3.735 6.158333333 5.47
0.8 5.176666667 3.811666667 6.801666667 5.88
47
Lampiran B Data Mentah
B.1 Data Mentah
Adapun data-data yang diperoleh selama proses percobaan ini ditampilkan
pada Tabel B.1
Tabel B.1 Data mentah ukuran gelembung
Diameter (cm)
Ug (cm/s) sukrosa +
Air MS Sukrosa 1%
fermipan
0,2 0.1695±0.1352 0.0851±0.0361 0.0681±0.0255 0.1328±0.08
48
0,4 0.2932±0.1689 0.1711±0.025 0.124±0.0443 0.1662±0.078
0,2 -1.3 -1.3 -1.3 -1.3 -1.3 -1.3 -1.3 3.7 -1.3 -1.3 -1.3 -1.2 -1.2 -1.2
0,6 -1.3 -1.3 -1.3 -1.3 -1.3 -1.3 12.4 9.8 8.7 8.4 -1.3 -1.3 -1.3 -1.3
49
Lampiran C Dokumentasi
50
Gambar C.3 MS 0,4 cm/s
51
Gambar C.7 MS 0,8 cm/s
52
Gambar C.10 Sukrosa 0,4 cm/s
53
Gambar C.13 Sukrosa 0,7 cm/s
54