Anda di halaman 1dari 2

Utang Berdarah AS dan Strategi Merusak Masa Depan Kamboja

Perdana Menteri Kamboja, Hun Sen, terlihat berapi-api saat sedang memberikan sambutan di acara Asia-
Pasific Regional Early Childhood Development Conference di Provinsi Siem Reap, Kamboja, Rabu
(1/3/2017). Dalam kesempatan berskala internasional itu, ia sekali lagi membuka isu 'utang' di masa
perang Kamboja kepada Amerika Serikat. Namun, alih-alih berjanji akan melunasi, Sen justru membuka
koreng kebijakan luar negeri AS.

“AS menciptakan masalah di negaraku dan sekarang minta uang dariku. Mereka mereka menjatuhkan
bom-bom ke kepala kita dan meminta bayaran. Saat kita tak membayar, mereka akan mengadu ke IMF
(Dana Moneter Internasional) untuk tak meminjami kita uang!" tegas Sen sebagaimana dikutip
Cambodia Daily.

Delegasi dari 36 negara se-Asia-Pasifik terdiam. Namun, dalam hati mereka bisa memahami kemarahan
Sen, yang juga dirasakan oleh rakyat Kamboja lainnya. Utang yang dimaksud oleh Sen memiliki asal
muasal yang jauh ke belakang, yakni di awal 1970-an atau era di mana Kamboja sedang diseret untuk
ikut merasakan Perang Vietnam. Apa yang dikatakan Sen diyakini oleh para sejarawan bukan hanya
retorika, tapi berlandaskan fakta penting: dana yang kini senilai $500 juta tersebut tak pernah sampai ke
Kamboja.

Klaim ini tentu saja berbeda dengan keterangan resmi pihak AS. Dalam Congressional Hearing Service
(CHS) bertajuk “U.S.-Cambodia Relations: Issues for the 113th Congress" yang disusun oleh spesialis
urusan Asia Thomas Lum pada 24 Juli 2013. Di dalamnya, AS menegaskan kembali bahwasanya Kamboja
berutang pada pemerintah AS sebesar $450 juta di awal 1970-an.

Utang tersebut termasuk modal pokok sebesar $162 juta dan ditujukan untuk menambah pasokan
komoditas pertanian dan persediaan pangan Kamboja yang menipis akibat konflik berkepanjangan.
Dananya keluar dari kantong Kementerian Pertanian AS, dan diklaim telah dikirim langsung kepada
penguasa Kamboja kala itu, Lon Nol. Lon Nol adalah jenderal pro-AS yang sukses menggulingkan
Norodom Sihanouk, raja Kamboja yang berkuasa sejak 1955. Lon Nol memerintah Kamboja dengan
dukungan penuh dari AS, dan tentu saja anti-komunis.

Beberapa sumber mengatakan penggunaan dana tersebut memang masih simpang siur. Sen, yang
mengomandoi Kamboja sejak 1985, memiliki konsistensi yang terbilang luar biasa dalam menjalankan
sikap bahwa apa yang dituntut pemerintah AS bukan sesuatu yang sah. Sebagaimana Sen katakan dalam
forum Asia-Pasifik, Sen berkeyakinan bahwa uang tersebut justru digunakan militer AS untuk membiayai
perang melawan Vietkong dan kelompok berhaluan kiri radikal lain di sepanjang Indocina.

Perang AS di Vietnam sepanjang tahun 1957-1975 memang tak hanya melahirkan dampak yang fatal di
Vietnam sendiri, tapi juga menjalar hingga ke negara-negara tetangga (Kamboja dan Laos). Mengutip
Sen, AS adalah menjadi pelaku kejahatan perang bagi rakyat Kamboja, terutama perempuan dan anak-
anak. Utang yang sekarang ditagih, bagi Sen, adalah “uang bernoda darah" yang lucunya sedang diminta
lagi oleh AS.

“Kita perlu meningkatkan isu tentang negara yang telah menginvasi negara lain dan membunuh anak-
anak. Kita perlu menghitung berapa banyak nyawa anak-anak yang melayang tiap hari di Irak, Libya, dan
Suriah. Siapa pelakunya?" tanya Sen menyindir AS.

Sen sadar caranya yang keras tak akan membuahkan hasil yang realistis. Sejak pemerintahan Barack
Obama, sesungguhnya ia telah menegosiasikan utang tersebut. Obama kala itu berjanji untuk
menyediakan solusi yang bisa diterima kedua belah pihak. Saat kekuasaan berganti ke tangan Donald
Trump, Sen melobi pemerintahan AS untuk membatalkan utang tersebut. Sen bak memiliki dua wajah:
garang di depan publik Kamboja, tapi juga kompromistis di depan pembesar Paman Sam.

Tanggapan dubes AS di Kamboja, William Heidt, terbilang dingin. Pernyataannya kepada Cambodia Daily
awal Februari lalu lebih banyak memaparkan angka-angka utang Kamboja dan bagaimana di era 1990-an
AS menyetujui perjanjian pelunasan utang selama 40 tahun dan 16 tahun di antaranya tanpa bunga.
Heidt hanya menyayangkan bahwa dulu utangnya hanya bernilai $200 juta, namun karena tak kunjung
dibayar, kini nilainya sudah lebih dari dua kali lipat.

“Ini bukan saatnya Kamboja mengorek-ngorek masa lalu [invasi AS dan dampak-dampaknya], tapi
bagaimana cara untuk menyelesaikan masalah ini sebab penting bagi masa depan Kamboja sendiri,"
katanya

Anda mungkin juga menyukai