NIM : 1550205071111044
Pinjaman luar negeri, atau utang luar negeri adalah salah satu hantu bagi
pembangunan ekonomi negara pada sa’at ini. Beberapa referensi yang membahas
mengenai pembangunan di negara-negara berkembang mulai melihat persoalan
pinjaman luar negeri sebagai salah satu pusat penyebab penghambat majunya
negara-negara berkembang. Beberapa persoalan yang timbul dari utang luar
negeri adalah memperlebar kesejahteraan antara negara-negara miskin dan
negara-negara kaya; memiskinkan penduduk di negara-negara berkembang; dan
sering pula dilihat sebagai sebuah bentuk penjajahan baru. Menurut perhitungan
IMF, pada tahun 2006, utang luar negeri dari 146 negara selatan melampaui 2.207
milliar USD dan uang yang harus mereka bayarkan adalah 495.3 milliar USD.
Jumlah ini diakui sendiri oleh IMF bahwa angka ini melampaui kemampuan
negara-negara di atas untuk membayar, mengingat nilai di atas sama dengan 80%
dari seluruh export barang dan jasa dari negara-negara di atas.
Contoh lain dari jeleknya utang luar negeri adalah kawasan Sub-Sahara
Afrika. Menurut Noreena Hertz, penulis buku “The Debt Threat: How Debt is
Destroying the World,” setiap harinya rakyat di kawasan yang terkenal dengan
kemiskinan ini membayar 30 juta USD; pada saat yang bersamaan 26 juta
penduduknya terinfeksi penyakit HIV-AID, setiap 10 tahun, dan 40 juta anak
kehilangan orang tuanya karena HIV-AIDS.
Maka dari itu islam memiliki pandangan sendiri terhadap utang luar negri
pertama, hutang luar negeri tidak dapat dilepaskan dari bunga( riba). Padahal
Islam dengan tegas mengharamkan riba. Firman Allah SWT :
وأحل هللا البيع وحرم الربا
Dan Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba…” (Qs. al-
Baqarah [2]: 275).
Rasulullah Saw bersabda:
الربا ثلثة وسبعون بابا وأيسرها مثل أن يكح الرجل أمه
Riba itu mempunyai 73 macam dosa. Sedangkan (dosa) yang paling ringan (dari
macam-macam riba tersebut) adalah seperti seseorang yang menikahi (menzinai)
ibu kandungnya sendiri…” [HR. Ibnu Majah, hadits No.2275; dan al-Hakim, Jilid
II halaman 37; dari Ibnu Mas’ud, dengan sanad yang shahih].
Kedua, terdapat unsur Riba Qaradl, yaitu adanya pinjam meminjam uang
dari seseorang kepada seseorang dengan syarat ada kelebihan atau keuntungan
yang harus diberikan oleh peminjam kepada pemberi pinjaman. Riba semacam ini
dilarang di dalam Islam berdasarkan hadits-hadits berikut ini;
Imam Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Burdah bin Musa; ia berkata,
“Suatu ketika, aku mengunjungi Madinah. Lalu aku berjumpa dengan Abdullah
bin Salam. Lantas orang ini berkata kepadaku: ‘Sesungguhnya engkau berada di
suatu tempat yang di sana praktek riba telah merajalela. Apabila engkau
memberikan pinjaman kepada seseorang lalu ia memberikan hadiah kepadamu
berupa rumput ker¬ing, gandum atau makanan ternak, maka janganlah diterima.
Sebab, pemberian tersebut adalah riba”. [HR. Imam Bukhari]
Juga, Imam Bukhari dalam “Kitab Tarikh”nya, meriwayatkan sebuah Hadits dari
Anas ra bahwa Rasulullah SAW telah bersabda, “Bila ada yang memberikan
pinjaman (uang maupun barang), maka janganlah ia menerima hadiah (dari yang
meminjamkannya)”.[HR. Imam Bukhari]
Hadits di atas menunjukkan bahwa peminjam tidak boleh memberikan hadiah
kepada pemberi pinjaman dalam bentuk apapun, lebih-lebih lagi jika si peminjam
menetapkan adanya tambahan atas pinjamannya. Tentunya ini lebih dilarang lagi.
Daftar Pustaka