Pendahuluan.
Pada ekosistem lalu selalu terjadi interaksi antara organisme laut sebagai komponen
biotik dengan lingkungan laut sebagai komponen abiotik.Mikroorganisme merupakan salah
satu komponen biotik yang sangat penting dalam ekosistem laut. Peranan penting
mikroorganisme laut secara umum adalah dalam proses-proses biogeokimia, untuk
bioteknologi, pencemaran dan penyakit.
Definisi mikrobiologi laut adalah suatu ilmu yang mempelajari jasad kecil yang tidak
dapat dilihat dengan mata telanjang yang ada dilaut. Yakni bisa berupa bakteri, fungi, ragi,
protozoa, amoeba, alga, diatom, plankton, copepoda. Dll.
Peranan bakteri gram negatif heterotrof dari ocean dan laut terdiri dari 90% bakteri
gram negatif (Bouman, 1981) yang mempunyai morfologi dan komposisi kimia sama dengan
sel bakteri lainnya. Sama dengan jaringan metabolisme ditulis pada spesies tertentu tidak ada
keistimewaan (Bertrand et al, 1976)
Pertanyaan besar yang menarik untuk dijawab adalah “Apakah peran yang dimainkan oleh mikrobia
(khususnya bakteri heterotrofik) dalam laut?” Para ahli mikrobiologi kelautan modern umumnya
sepakat untuk menjawab pertanyaan tersebut dengan pendekatan autekologi ala kotak hitam (black
box) pada pesawat. Segala “informasi” yang keluar dan masuk ke dalam kotak hitam (baca: bakteri
heterotrof dan mikrobia lainnya) telah dapat dipahami dengan baik. Namun, justru dinamika internal
yang ada dalam tiap individu atau jenis bakteri heterotrof belum banyak diketahui. Hal ini terjadi
karena kurangnya dasar pengetahuan dan pelatihan di bidang mikroorganisme kelautan. Di samping
itu, sebagian besar peneliti daur biogeokimiawi laut tidak mempunyai latar belakang dan
pengalaman di bidang mikrobiologi.
Menjawab pertanyaan Hobbie dan Williams (1984) tentang kemajuan 20 tahun terakhir
di bidang mikrobiologi kelautan, yang menyampaikan empat (4) hal, yaitu: 1) kelimpahan
bakteri heterotrof, dalam ukuran biomassa, sesungguhnya dapat disejajarkan dengan
biomassa fitoplankton laut. Temuan ini mendukung hipotesis Pomeroy (1974) tentang
pentingnya peran bakteri heterotrof dalam jejaring makanan laut. Di samping itu, keragaman
bakteri laut memperlihatkan pentingnya pemanfaatan metode molekuler untuk identifikasi
dan taksonomi kecepatan proses heterotrofisme yang meliputi pertumbuhan, respirasi, dan
mineralisasi (khususnya N & P) telah mengarah kepada pemahaman akan efisiensi
pertumbuhan (dengan metode timidin) mikrobia ini, meskipun masih terbatas di kawasan
pantai. Bahkan, hal ini dapat memperlihatkan peran lebih lanjut dari bakteri heterotrof
sebagai tujuan-akhir (sink) daur C dan sumber (source) dari amonium dan Fe, 3) Proses
heterotrofisme tersebut ternyata dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti pemangsaan
(grazing) oleh protista dan juga membahas berbagai metodologi pemangsaan terhadap bakteri
heterotrof), lisis oleh virus, ketersediaan nutrien, dan faktor abiotik lainnya antara lain suhu
dan sinar ultra violet (uv). Faktor-faktor di atas dapat mengatur jumlah bakteri agar tetap
konstan, tapi dapat pula menguranginya. Dengan kata lain, faktor-faktor tersebut sangat
berperan dalam berlangsungnya proses heterotrofisme oleh bakteri laut, dan 4) peran penting
bakteri heterotrof laut sesungguhnya meliputi modifikasi/mineralisasi senyawa organik atau
dikenal juga sebagai proses humifikasi serta daur N (nitrifikasi-denitrifikasi, termasuk
pengikatan gas N oleh sianobakteri laut; Selain itu struktur komunitas bakteri ini juga sangat
menentukan fungsi (peran) mereka dalam ekosistem laut termasuk pergantian fungsi
heterotrof dan autotrof .
Keempat hal pokok di atas sebenarnya telah dapat menunjukkan bahwa selama 20 tahun
terakhir ini sudah banyak kemajuan yang dicapai oleh bidang mikrobiologi kelautan. Namun
demikian, bahwa masih diperlukan banyak buku sejenis (baca: buku- teks Ekologi
Mikroorganisme Laut) untuk dapat memberikan dasar pemahaman dan pengetahuan seluk-
beluk mahluk renik laut ini secara lebih mendalam. Hal ini sangat beralasan, mengingat
masih banyaknya peran ekologis dari mikroorganisme laut, yang tentunya tidak terbatas pada
bakteri hetrotrof saja, yang belum disingkap oleh buku ini. Selain itu, berbagai penelitian
mutakhir di bidang mikrobiologi kelautan seperti peran bakteri laut dalam pembentukan
toksin oleh alga beracun-berbahaya (harmful algae), pemanfaatan metabolit sekunder bakteri
laut untuk industri farmasi dan kesehatan, dan peran bakteri laut dalam
proses biodeteriorasi serta bioremediasi lingkungan laut tidak diulas dalam buku ini.
Dalam kerja laboratorium bakteri ini amat mudah diisolasi dan ditumbuhkan, dan juga
tidak menyebabkan penyakit sehingga dapat bekerja dengan aman dan leluasa serta tidak
membutuhkan ruangan dan peralatan khusus. Selain itu, bakteri ini dapat tumbuh dengan
subur pada ruangan bertemperatur 20-250C dan tidak membutuhkan banyak nutrisi serta
hanya membutuhkan waktu 18-20 jam untuk membutuhkan sel mikrobiologi dalam media
pertumbuhan.
Reaksi yang terjadi pada bakteri yang tergolong luminesens sehingga dapat
memancarkan sinar dikatalisis oleh enzim lusiferase. Enzim lusiferase ini terdiri atas dua
subunit, yaitu subunit ? dan _ . Kedua subunit ini dikode oleh gen luxA dan luxB. Substrat-
substrat lusiferase memiliki rantai aldehid yang panjang dan FMNH2. Reaksi awal untuk
mengoksidasi FMNH2 menjadi FMN dan oksidasi aldehid menjadi asam-asam lemak
organik. Asam-asam lemak yang dihasilkan ini dikatalisis oleh enzim lusiferase kemudian
direduksi menjadi aldehid oleh suatu reduktase spesifik. Pada reaksi yang sama, NADPH +
H+ diubah menjadi NADP+ dan ATP terhidrolisis menjadi ADP. FMNH2 sangat diperlukan
dalam reaksi luminesens yang dihasilkan dari FMN melalui NAD(P)H-FMN
oksidoreduktase.
Selain bakteri Photobacterium phosphoreum, ada beberapa contoh bakteri yang hidup
di laut yang dapat memancarkan sinar adalah Vibrio fischeri dan Vibrio harveyi. Berbeda
dengan Photobacterium phosphoreum yang hidup dalam tubuh cumi, V. fischeri merupakan
suatu bakteri yang hidup bersimbiosis dalam tubuh ikan dari family
Monocentridae, sedangkan V. harveyi adalah suatu jenis bakteri yang hidup bebas, yang
kadang-kadang terdapat pada permukaan tubuh hewan-hewan laut dan juga ada yang terdapat
dalam usus hewan laut tersebut.
Regulasi genetik dari gen-gen bakteri bioluminesens, seperti yang ada pada V.
fischeri dan V. harveyi, gen-gennya terorganisasi dalam suatu operon bersama dengan gen-
gen yang terlibat dalam reaksi bioluminesens. Pada V. fischeri operon ini terdiri dari gen-gen
luxI, luxC, luxD, luxA, luxB, luxE, dan luxG. Sementara itu, pada V. harveyi, lux operon
terorganisasi dengan urutan yang sama dengan V. fischeri, tetapi luxI tidak ada dan luxG
setelah gen luxH. LuxC, luxD, dan luxE mengkode protein-protein dalam suatu bentuk
kompleks dari asam lemak reduktase. Produk gen luxG dan luxH merupakan gen yang
bertanggung jawab untuk mensintesis flavin tereduksi.
Sistem regulasi lux pada V. harveyi tampaknya lebih sulit dipahami daripada V.
fischeri. Terpisah dari operon luxCDABEGH, V. harveyi memiliki beberapa gen tambahan
yang terlibat dalam regulasi bioluminesens. Gen-gen regulasi tersebut adalah luxR, luxO, dan
luxU, gen-gen pengkode untuk 2 autoinducer sintetase (luxL, dan luxM untuk mengkode
sintetase dari suatu autoinducer yang disebut AI-1, luxS, untuk mengkode sintetase
dari autoinducer AI-2), dan gen-gen untuk mengkode sensor-sensor autoinducer luxN
(sensor AI-1), dan luxP dan luxQ (sensor AI-2). Produk gen luxR adalah suatu aktivator dari
operon luxCDABEGH (protein ini menunjukkan tidak homology dengan luxR dari V.
fischeri). Yang bertindak sebagai regulator negatif dari operon ini adalah protein luxO.
Sebuah studi yang dilakukan oleh Czyz dan koleganya tahun 2000, memberi
penjelasan mengenai misteri fungsi biologi dari bakteri luminesen. Tahap permulaan dari
studi ini dilakukan mutagenesis acak dari V. harveyi dan isolasi beberapa mutan yang sensitif
UV. Ternyata sangat mengejutkan, secara umum mutan-mutan tersebut kehilangan
kemampuan untuk memancarkan sinar.
Penelitian yang dilakukan Nealson dan koleganya yang dimuat pada jurnal ilmiah
prestisius Microbial Review mengungkapkan bahwa aktivitas bioluminesens merupakan suatu
reaksi yang mengeluarkan energi. Pada kenyataannya untuk suatu bakteri memancarkan
cahaya bisa menggunakan lebih dari 20% energinya dari keseluruhan energi seluler.
Fenomena pemancaran cahaya yang dilakukan bakteri ini amat menarik untuk diteliti karena
pemancaran cahaya merupakan suatu proses fisika yang berkaitan erat dengan elektron yang
dalam keadaan tereksitasi kembali ke tingkat dasarnya.
Spektrum radiasi yang diamati dalam bioluminesens adalah sangat lebar dan berada
pada daerah warna violet menjadi merah, dan biru/biru hijau juga sangat umum. Dasar
pendeteksian dan penentuan warna dalam bioluminesens sangat bergantung pada struktur dari
lusiferin itu sendiri.
Pemanfaatan bakteri yang memiliki sensitivitas yang tinggi ini dapat dipakai dalam
aplikasi bioteknologi. Penggunaan bakteri luminesens dalam mendeteksi bahan-bahan kimia
beracun yang dijadikan acuan dalam penentuan kualitas air telah dilakukan dalam 20 tahun
terakhir ini.
Dalam penelitian ini, sifat toksisitas dari bahan-bahan kimia beracun yang berbeda
ditentukan melalui metode yang relatif sederhana. Metode tersebut didasarkan pada
penurunan bioluminesens (cahaya yang terpancar dari organisme) pada penambahan
senyawa-senyawa toksik (beracun) tersebut.
Penemuan fungsi biologi pada gen-gen dari organisme luminesens membawa manfaat
signifikan bagi kita untuk memahami dengan pasti tahap-tahap awal pada saat evolusi
organisme bioluminesens dalam proses ini, yang merupakan salah satu problem yang belum
terjawab dalam teori Darwin. Akhirnya, terlepas dari model-model penelitian dalam riset-
riset dasar, bakteri-bakteri laut yang dapat menunjukkan aktivitas luminesens memiliki
potensi dalam aplikasi-aplikasi bioteknologi, terutama dalam mendeteksi senyawa-senyawa
kimia yang bersifat beracun dan bisa membuat mutasi (mutagen) pada lingkungan perairan.
DAFTAR PUSTAKA
Alexander, M. 1977. Introduction to soil microbiology. John Willey & Sons, New York.
Baumann, P. & Baumann, L. 1981. The marine gram negatif Eubacteria: Genera
Gourgaud M.L. 1992. Biotechnologies Principes et methodes. Doin editeurs. Paris. 668.
Ichikawa, K. 1973. Water pollution and waste water treatment in Japan. Proc.