MODUL
INTEGRITAS
DISUSUN OLEH :
HalamanJudul …………………………………………………………………… i
Tim PenyusunModul …………………………………………………………………… ii
Kata Pengantar …………………………………………………………………… iii
Daftar Isi …………………………………………………………………… iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang …………………………………………….. 1
B. Deskripsi Singkat ………………………………………….. 2
C. Tujuan Pembelajaran ……………………………................ 4
D. Indikator Keberhasilan ……………………………………. 4
BAB II INTEGRITAS
A Pengertian .................…………………………………….... 5
1. Integritas ............................................................... 5
2. ManifestasiIntegritasdalamKehidupanberprofesi …..... 10
B IntegritasJaksa Indonesia …………………………………. 16
1. Doktrin Tri KramaAdhyaksa ………………………… 16
2. Jaksa sebagai Aparatur Sipil Negara …………………. 22
BABIV PENUTUP
DaftarPustaka ……………………………………………………………………
Lampiran ……………………………………………………………………
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Integritas telah menjadi syarat mutlak yang harus dimiliki setiap individu dalam
menjalankan tugas dan fungsinya baik dalam kehidupan pribadinya maupun dalam
kehidupan bermasyarakat. Integritas bukanlah sebuah hal konkret yang dapat dilihat
dalam sebuah ketentuan-ketentuan tertulis yang kemudian menjadi acuan bagi
setiap orang dalam berbuat. Namun demikian, integritas merupakan sebuah
keniscayaan bagi seorang manusia untuk dapat menjadi diri yang paripurna.
Integritas membawa seseorang untuk cenderung melakukan hal yang baik dan
menolak segala hal yang dianggap buruk. Walaupun kadang pandangan mengenai
hal yang baik dan buruk ini dianggap sesuatu yang relatif, namun sense seseorang
sebagai manusia tentu dapat merasakan mana hal baik yang dapat dilakukan dan
hal buruk yang harusnya dihindari. Dengan adanya integritas di dalam diri seseorang
tentu tak hanya mempengaruhi kualitas hidupnya pribadi, namun juga akan meliputi
lingkungan tempat ia beraktifitas atau bekerja. Inilah mengapa integritas menjadi hal
penting dalam menentukan keberhasilan seseorang maupun sebuah organisasi atau
institusi.
Organisasi menjadi wadah bagi para individu untuk mengaktualisasikan
integritas dirinya dalam hubungan kerja sama dengan individu lain untuk
mewujudkan tujuan tertentu dari sebuah organisasi. Sebuah organisasi dapat
terbentuk didasari oleh kesamaan pemikiran, kepentingan, orientasi, ideologi, bahkan
kesamaan ciri fisik tertentu. Begitupun untuk organisasi berupa institusi negara pun
tentu berdiri dengan semangat dan dasar ideologi yang jelas. Pancasila sebagai
dasar ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia harus tercermin dalam arah
kebijakan dan penyelenggaraan negara yang dilaksanakan oleh lembaga-lembaga
pemerintahan.
Kejaksaan RI sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan
negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang
1
tentu menjadi salah satu pilar penting dalam penegakan hukum di Indonesia. Tentu
sebuah lembaga pemerintahan seperti Kejaksaan RI ini berdiri dan berjalan dengan
acuan nilai dasar yang wajib dipatuhi dan diresapi oleh setiap individu yang menjadi
bagian dari institusi ini. Tri Krama Adhyaksa dipilih sebagai doktrin bagi para insan
Adhyaksa. Melalui Keputusan Jaksa Agung RI disusunlah Tri Krama Adhyaksa ini
menjadi sebuah kaidah hukum tertulis agar menjadi hukum yang mengikat seluruh
personil dalam institusi Kejaksaan RI. Satya, Adhi, dan Wicaksana menjadi nilai
fundamenal yang harus diketahui, dipelajari, dan diamalkan dalam kehidupan setiap
personil dalam menjalankan tugas, fungsi, dan wewenangnya sebagai bagian dari
institusi Kejaksaan RI.
Bagi seluruh pegawai di instansi Kejaksaan RI harus senantiasa memahami
dan meresapi nilai Tri Krama Adhyaksa tersebut dalam bekerja untuk menopang
berdirinya dan kemajuan institusi Kejaksaan RI ini. Nilai dasar dalam Tri Krama
Adhyaksa tersebut menjelma menjadi beberapa ketentuan konkret yang kemudian
memberikan acuan mengenai perbuatan-perbuatan, baik yang diwajibkan maupun
yang dilarang untuk dilakukan. Inilah yang kita kenal dengan Kode Etik Profesi. Kode
perilaku yang memuat nilai etika dan moral. Jaksa dituntut untuk profesional dan
menjunjung etika profesi. Profesionalisme tanpa etika menjadikannya tanpa kendali
dan tanpa pengarahan, sedangkan etika tanpa profesionalisme menjadikan tidak
maju bahkan tegak. Kode etik dapat di berlakukan melalui perundang-undangan dan
kewenangan pemberian sanksi disiplin pertama-tama diberikan kepada anggota
asosiasi profesi yang bersangkutan. Pelanggaran atas suatu kode etik profesi tidak
terbatas sebagai masalah Jaksa dan intenal lembaga penegak hukum, tetapi juga
merupakan masalah kemasyarakatan.
B. Deskripsi Singkat
Modul “Integritas” ini merupakan kompilasi bahan ajar untuk dipergunakan pada
Pendidikan dan Pelatihan Pembentukan Jaksa (PPPJ) pada Kejaksaan Republik
Indonesia, yang menguraikan definisi dan ruang lingkup serta relevansi 2 (dua)
bagian utama, yakni Integritas dan Etika Profesi Jaksa. Dua poin pokok tersebut
kemudian dijabarkan menjadi beberapa sub-bab sebagai berikut:
2
INTEGRITAS
A. Pengertian
1. Integritas
Menjelaskan mengenai definisi, ruang lingup beserta urgensi integritas bagi
setiap individu.
2. Manifestasi Integritas dalam Kehidupan Berprofesi
Dalam sub-bab ini menjelaskan mengenai bentuk-bentuk perwujudan nilai
integritas yang dapat diterapkan oleh setiap individu dalam menjalankan tugas
dan wewenangnya.
B. Integritas Jaksa Indonesia
1. Doktrin Tri Krama Adhyaksa
Memaparkan mengenai sejarah, uraian isi dan makna yang terkandung di
dalam Tri Krama Adhyaksa yang harus dihormati, diresapi, dan diamalkan oleh
setiap personil Kejaksaan RI dalam bertugas.
2. Jaksa sebagai Aparatur Sipil Negara
Menerangkan mengenai ketentuan-ketentuan hukum yang mengikat seluruh
pegawai yang berada di lingkungan instansi Kejaksaan RI sebagai Aparatur
Sipil Negara.
3
dalam diskusi mengenai peluang dan tantangan seorang jaksa dalam
menjalankan tugas dan karirnya di Kejaksaan RI.
4. Kode Perilaku Jaksa
Memaparkan Keputusan Jaksa Agung mengenai Kode Perilaku Jaksa.
1. Kompetensi Dasar :
a. Mengetahui makna, arti penting, dan perwujudan integritas dalam menjalankan
profesi sebagai seorang Jaksa.
b. Mengetahui dan memahami tentang Doktrin Tri Krama Adhyaksa, Etika dan
Perilaku Jaksa, Pedoman Perilaku Jaksa.
c. Mengetahui dan memahami tentang profesi yang meliputi: sejarah profesi
jaksa, tugas dan fungsi, dan standar minimum profesi Jaksa.
d. Mengetahui dan memahami profil Jaksa Ideal
2. Indikator Keberhasilan :
Setelah mempelajari modul ini peserta diklat diharapkan :
a. Mampu memahami dan mengaplikasikan doktrin Tri Krama Adhyaksa dalam
melaksanakan tugasnya sehari-hari.
b. Memahami, mendalami dan menghayati profesi dan Integritas Jaksa.
c. Mengoptimalisasi nilai-nilai kode etik jaksa dan kode perilaku jaksa dalam
melaksanakan tugasnya sehari-hari.
d. Terciptanya kesadaran untuk patuh dan disiplin pada segala macam bentuk
aturan bagi para siswa selama masa pembelajaran.
4
BAB II
INTEGRITAS
A. PENGERTIAN
Dewasa ini, kata integritas menjadi sesuatu yang sering sekali digunakan
terutama di lingkungan kerja instansi pemerintah yang sedang gencar-gencarnya
menggapai predikat Zona Integritas untuk mewujudkan Wilayah Bebas Korupsi dan
Wilayah Birokrasi Bersih Melayani (WBK/WBBM) melalui reformasi birokrasi,
khususnya dalam hal pencegahan korupsi dan peningkatan kualitas pelayanan
publik. Integritas menjadi cenderung abstrak untuk diuraikan sebagai sebuah definisi
yang sempurna juga terkait dengan terlalu banyaknya sesuatu sifat atau sikap yang
dapat dilabeli sebagai sebuah perwujudan integritas. Integritas dikaitkan dengan
karakteristik tertentu yang dimiliki sesuatu apa saja, seperti misalnya integritas
jembatan, integritas database, integritas jaringan listrik, integritas tubuh, integritas
orang, integritas kesenian, integritas perusahaan, integritas pasar, integritas
pemerintahan, integrits negara, dan bahkan integritas ekosistem. Meskipun ada
nuansa karakteristik “kompak” atau “utuh” pada setiap sesuatu yang berintegritas,
namun petunjuk tentang apa persisnya dan bagaimana mewujudkan kekompakan
atau keutuhan itu belum jelas.1
1. Integritas
Istilah Integritas kerap kita dengar saat berbicara mengenai kemampuan
pribadi seseorang dalam menjalankan perannya, baik dalam kehidupan sosial
maupun dalam pekerjaannya sehari-hari. Seseorang yang dianggap berintegritas
menjadikannya sebagai orang yang terpuji perilaku dan budi pekertinya. Secara
harfiah, integritas diartikan sebagai mutu, sifat, atau keadaan yang menunjukkan
kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang
1
Gunardi Endro, “Menyelisik Makna Integritas dan Pertentangannya dengan Korupsi”, dalam Jurnal Integritas
KPK, Edisi 03, Nomor 1, Maret 2017, hlm.131
5
memancarkan kewibawaan; kejujuran.2 Keberadaan integritas dalam diri
seseorang secara langsung berdampak kepada kehormatan atau terangkatnya
derajat seseorang tersebut di lingkungannya. Hal ini berarti apabila kita berbicara
mengenai integritas maka erat kaitannya dengan kejujuran. Namun, bagaimana
menjelaskan kejujuran dalam kaitannya dengan kekompakan/ keutuhan?
Meskipun benar bahwa orang tidak mungkin memiliki integritas tanpa
mempraktikkan kejujuran, tetapi bukan tidak mungkin seseorang yang selalu jujur
memiliki tingkat integritas yang rèndah (Carter 1996, 52). Kejujuran buta tanpa
pertimbangan kelayakan konteks malah bisa menunjukkan sifat narsistik dan
ketidakpedulian terhadap akibat buruk yang bakal menimpa orang lain (Martin
1996, 121), suatu sifat yang tampaknya bertentangan dengan integritas.3
Secara etimologis, kata integritas (integrity), integrasi (integration) dan
integral (integral) memiliki akar kata Latin yang sama, yaitu “integer” yang berarti
“seluruh” (“whole or entire”) atau “suatu bilangan bulat” (“a whole number”),
bilangan yang bukan bilangan pecahan (Skeat 1888, 297; Black 1825, 215-6).
Jadi, sesuatu yang berintegritas merupakan sesuatu yang utuh dalam
keseluruhannya, sesuatu yang tidak terbagi, dimana nuansa keutuhan atau
kebulatannya tidak dapat dihilangkan. Meskipun sesuatu yang berintegritas terdiri
dari banyak elemen, keutuhan atau kebulatannya selalu terjaga sebagai hasil dari
hubungan timbal balik yang kuat diantara elemen-elemennya.
Definisi lain dari integritas adalah suatu konsep yang menunjuk konsistensi
antara tindakan dengan nilai dan prinsip. Dalam etika, integritas diartikan sebagai
kejujuran dan kebenaran dari tindakan seseorang. Lawan dari integritas adalah
hipocrisy (hipokrit atau munafik). Seorang dikatakan “mempunyai integritas”
apabila tindakannya sesuai dengan nilai, keyakinan, dan prinsip yang
4
dipegangnya (Wikipedia). Mudahnya, ciri seorang yang berintegritas. Dengan
memiliki karakter ini dalam diri maka kita akan menjadi seorang yang dipercaya
karena menjunjung tinggi nilai nilai kebenaran, bertindak bukan karena pamrih
2
Kamus Besar Bahasa Indonesia Offline 1.5
3
Ibid.
4
Menerapkan Kejujuran Integritas dan Perbaikan berkesinambungan Dalam Diri Kita..
https://habibiezone.wordpress.com. /
6
tetapi tulus dan ikhlas demi menjunjung tinggi kebenaran. Dengan karakter ini kita
akan bertindak adil kepada siapa saja, karena menjunjung kebenaran bukan
memandang suatu masalah berdasarkan nafsu atau kekuasaan belaka.
Pengertian integritas adalah suatu kepribadian seseorang yang bertindak
secara konsisten dan utuh, baik dalam perkataan maupun perbuatan, sesuai
dengan nilai-nilai dan kode etik. Seseorang dianggap berintegritas ketika ia
memiliki kepribadian dan karakter berikut:5
Jujur dan dapat dipercaya
Memiliki komitmen
Bertanggung jawab
Menepati ucapannya
Setia
Menghargai waktu
Memiliki prinsip dan nilai-nilai hidup
Integritas juga tidak dapat dipisahkan dari ketaatan seseorang kepada tuhan
yang maha esa. Integritas yang tinggi akan membawa pada keshalehan
seseorang, apapun agama yang dianutnya. Ataupun sebaliknya. keshalehan
seorang akan membentuk pribadi yang berintegritas. Dalam teologi Islam,
kesalehan mencakup hubungan baik dengan Allah (hablumminallah), hubungan
baik dengan sesama manusia (hablum minan nas), dan hubungan baik dengan
alam (hablum minal alam). Kesalehan tidak hanya dilihat dari ketaatan dan
kesungguhan seseorang dalam menjalankan ibadah ritual, karena ini sifatnya
hanya individual dan sebatas hubungan dengan Allah tetapi kesalehan juga dilihat
dari dampak kongkretnya dalam kehidupan bermasyarakat. Kesalehan sangat
tergantung pada tindakan nyata seseorang, dalam hubungannya dengan sesama
manusia dan juga sangat tergantung pada sikap serta prilakunya terhadap alam,
baik hewan, tumbuh-tumbuhan, dan sebagainya.
Dari penjelasan sebelumnya bahwa salah satu definisi dari integritas adalah
suatu konsep yang menunjuk konsistensi antara tindakan dengan nilai dan
prinsip. Kata Konsistensi disini merujuk kepada kedisiplinan seseorang. Disiplin
5
ibid
7
sendiri mepunyai arti pola perilaku yang diharapkan akan menghasiikan karakter
tertentu. khususnya menghasilkan peningkata moral dan mental yang lebih teratur.
dispilin adalah kontrol diperoleh dengan menegakkan kepatuhan atau perintah. 6
Jadi sulit rasanya mencapai integritas tanpa adanya kedisiplinan itu sendiri.
Ada beberapa hal yang membuat integritas penting yaitu:7
1) Integritas membina kepercayaan
dengan integritas yang ditemukan dalam diri seorang pemimpin yang bukan
hanya kata-kata belaka tetapi juga disertai tindakan akan menumbuhkan
kepercayaandalam diri pengikutnya (Maxwell.1995:41);
2) Integritas punya nilai pengaruh tinggi
integritas merupakan kualitas manusia yang diperlukan untuk sukses bisnis.
Dengan integritas yang dipunyai oleh seoran pemimpin akan memperbesar
pengaruhnya. karena pengikut melihat adanya sesuatu yang bisa dipercayai
dalam diri pemimpin (Maxwell.1995 :42).
3) Integritas memudahkan standar tinggi
Pemimpin harus hidup dengan standar yang lebih tinggi dari pada
pengikutnyaDengan adanya watak yang baik (integritas) memungkinkan
pemimpin untukmelaksanakan semua tanggung jawabnya, kalau watak
seorang pemimpin rendahMaxwell.1995:43).
4) Integritas menghasilkan reputasi yang kuat, bukan hanya citra.
Citra adalah apa yang dipikirkan orang lain tentang diri seseorang. Integritas
adalah apa diri seseorang yang sesungguhnya. Kadang-kadang kehidupan
menjepit seseorang pada saat-saat mengalami tekanan seperti itu, apa yang
ada di dalamnya akan ketahuan, dengan demikian akan menentukan
bagaimana reputasi seseorang (Maxwell.1995:44).
5) Integritas berarti menghayati diri sebelum memimpin orang lain.
Sebelum memimpin orang lain seorang pemimpin harus menghayati dirinya
sendiri, karena pemimpin tidak bisa memimpin siapa pun lainnya lebih jauh
dari pada tempat pemimpin sendiri berada. Oleh karena itu perlu dipastikan
6
Pengertian Disiplin Menurut Para Ahli. www.pengertianmenurutparaahli.com
7
Damanik. Meylina.”INTEGRITAS DAN DISIPLIN SDM”.www.meylina-damanik.blogspot.com.(diakses 20 Mei
2019)
8
apakah pemimpin sudah memiliki integritas terlebih dahulu sebelum
memimpin orang lain karena orang akan cenderung mengikuti pemimpin
(Maxwell.1995:45).
6) Integritas membantu seorang pemimpin dipercaya bukan hanya pintar.
Kepercayaan adalah keyakinan bahwa pemimpin sungguh-sungguh dengan
apa yang dikatakannya. Kepemimpinan yang efektif tidak hanya berdasarkan
sifat pintar, tetapi juga berdasarkan sikap konsisten (Maxwell.1995:46).
7) Integritas adalah prestasi yang dicapai dengan susah payah.
Integritas bukan sebuah faktor yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari. Ini
adalah hasil dari disiplin pribadi, kepercayaan batin, dan keputusan untuk jujur
sepenuhnya dalam segala situasi dalam kehidupan pemimpin. Untuk
memperoleh integritas diperlukan suatu proses yang terus berlangsung
(Maxwell.1995:47).
Secara garis besar, ada 3 fungsi dar iintegritas, antara lain :
1. Fungsi Kognitif
Dalam hal ini fungsi kognitif integritas mencakup kecerdasan moral dan
wawasan diri (self insight). Dan wawasan diri itu meliputi pengetahuan diri dan
refleksi diri. Dari penjelasan tersebut maka dapat dijelaskan bahwa fungsi
kognitif integritas adalah untuk memelihara moral seseorang dan mendorong
orang tersebut untuk memiliki pengetahuan yang lebih luas.
2. Fungsi Afektif
Fungsi afektif mencakup hati nurani dan harga diri. Sehingga fungsi afektif
integritas adalah untuk menjaga nurani manusia agar tetap memiliki „hati‟ dan
perasaan sebagai manusia.
Dari penjelasan sebelumnya disebutkan bahwa terdapat dua fungsi
integritas, yaitu fungsi kognitif dan afektif. Lalu, apa manfaat integritas bagi
seseorang?
1. Manfaat secara fisik, individu yang memiliki integritas cenderung merasakan
manfaat pada fisiknya. Misalnya merasa lebih sehat dan bugar dalam
melakukan kegiatannya.
9
2. Manfaat secara intelektual, individu yang berintegritas umumnya lebih mampu
mengoptimalkan kemampuannya ketimbang individu yang munafik.
3. Manfaat secara emosional, umumnya seseorang yang memiliki integritas juga
memiliki motivasi, sadar diri, solidaritas tinggi, empati, simpati, dan emosi yang
stabil.
4. Manfaat secara spiritual, integritas menjadikan seseorang lebih bijaksana
dalam memaknai segala pengalaman hidupnya.
5. Manfaat secara sosial, integritas dalam diri seseorang membuatnya lebih
mudah dalam menjalin hubungan baik dengan orang lain dan dalam
melakukan kerja sama di masyarakat.
10
dan kebaikan, di samping itu berbuat keburukan dengan ganjaran dosa dan
hukuman sebagai pembalasan bagi pelaku dosa jika ia tidak bertaubat atau
memohon ampunan kepada Tuhannya.
Kesadaran yang tinggi dalam menjalankan ajaran agama yang dianut
adalah sebuah perwujudan integritas yang akan membawa manusia menjadi
sosok individu yang paripurna. Keyakinan bahwa ia akan selalu diawasi oleh
Tuhan akan menjadikannya selalu berhati-hati dalam bertindak agar terjauh dari
keburukan atau dosa. Dalam ajaran Islam, dikenal istilah Ihsan yang bermakna
”...Hendaklah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatNya.
Kalaupun engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR.
Muslim, nomor 8). Kepercayaan dan ketaatan yang kuat mengenai satu poin ini
saja cukup kuat menjadikan seseorang untuk cenderung berbuat kebaikan
ketimbang memilih jalan keburukan. Tak hanya dalam ajaran Islam, umat
Kristiani pun meyakini bahwa “Barangsiapa percaya kepada Anak, ia beroleh
hidup yang kekal, tetapi barangsiapa tidak taat kepada Anak, ia tidak akan
melihat hidup, melainkan murka Allah tetap ada di atasnya." (Yohanes 3:36).
Keyakinan seseorang akan adanya hukuman atau pembalasan atas setiap
dosa yang dilakukannya akan menuntunnya untuk senantiasa berbuat baik dan
menghindari perbuatan buruk/dosa.
Inilah alasan penting mengapa ketaatan kepada Tuhan Yang Maha Esa
menjadi salah satu bentuk langkah nyata untuk melahirkan integritas di dalam
diri kita. Senantiasa belajar untuk meningkatkan pengetahuan agama dan
bergaul dengan lingkungan orang-orang yang taat dengan ajaran agama
menjadi salah satu langkah awal untuk membangun keaatan diri kepada ajaran
agama yang kita anut.
2. Kejujuran
Kejujuran mungkin menjadi hal yang hampir terlihat mustahil untuk ada
pada diri setiap orang belakangan ini. Pandangan ini juga tidak terlepas dari
fenomena ketidakjujuran tokoh-tokoh yang cukup terpandang di sekitar kita
yang kerap mempertontonkan perilaku curang, keji, dan berbohong secara
11
terbuka di hadapan kita semua. Ini semua setidaknya meruntuhkan pandangan
kita mengenai urgensi kejujuran dalam menjalani kehidupan ataupun profesi.
Bahkan lebih parahnya lagi, kita seolah menafikan kejujuran oleh siapapun
dengan cenderung berburuk sangka dengan kebaikan atau kejujuran yang
dilakukan oleh orang lain.
Jujur berarti lurus hati, tidak bohong, tidak curang, dan mengikuti aturan
yang berlaku. Kejujuran juga menjadi hal pokok dalam kehidupan seorang
individu sebagai makhluk sosial. Kejujuran dapat diukur ketika seorang individu
berinteraksi dengan individu lain, karena kejujuran yang paling sederhana
terwujud ketika seseorang memilih untuk bersikap lurus, tidak membohongi
orang lain, atau mencurangi orang lain yang berinteraksi dengannya. Di balik itu
semua, kejujuran yang paling utama ialah kejujuran pada diri sendiri. Pada
dasarnya setiap kali seseorang ingin melakukan perbuatan buruk, maka ia akan
menghadapi penolakan pada hati nuraninya. Keadaan ini kadang diabaikan
hingga mengubah cara pandangnya dalam memandang sesuatu yang pada
awalnya buruk, menjadi hal yang wajar untuk dilakukan. Inilah bentuk kejujuran
terhadap diri sendiri yang jauh lebih fundamental untuk dilatih secara terus
menerus yang akan membersihkan pandagan hati nurani, yang akan
menjadikan kita sebagai individu yang jujur sebagai wujud integritas diri.
3. Disiplin
Kata disiplin mengarahkan fikiran kita mengenai pola hidup yang teratur,
tertib, taat pada aturan. Disiplin menjadi cerminan utama jati diri yang
berintegritas. Displin juga dapat disebut sebagai wujud konkret dan hasil dari
sebuah ketaatan kepada Tuhan Yang Maha Esa, kejujuran, dan tanggung
jawab seseorang terhadap aturan yang ada dalam kehidupannya. Sebagai
sebuah contoh sederhana, seorang yang beragama terikat pada waktu-waktu
tertentu baik dalam hal ibadah maupun mengenai tata cara kehidupan. Seorang
muslim diperintahkan untuk melaksanakan ibadah shalat 5 (lima) kali dalam
sehari yang waktunya telah ditetapkan. Indikator ketaatan kepada Tuhan Yang
Maha Esa pada seseorang dalam hal ini dapat dilihat pada bagaimana
12
seseorang mampu disiplin melaksanakan ibadahnya sesuai waktu dan tata cara
yang telah ditetapkan tersebut.
Begitupun disiplin hadir sebagai konsekuensi logis dari adanya kejujuran
dan tanggung jawab dalam diri seseorang. Para pembohong bermula dengan
pilihan seseorang yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa
yang ia inginkan. Untuk memperoleh keinginannya tersebut ia akan cenderung
berbuat curang dan melanggar aturan/ketentuan yang berlaku. Perbuatan yang
seperti ini juga dilakukan karena seorang pembohong siap atau bermaksud
untuk menghindari tanggung jawab atas apa yang seharusnya ia lakukan,
sehingga ia memilih jalan curang untuk meraih keinginannya dan merugikan
kepentingan orang lain. Keadaan ini tentu sangat bertentangan dengan nilai
disiplin itu sendiri. Disiplin adalah cerminan nyata atas adanya nilai-nilai
kebaikan dalam diri seseorang. Inilah alasan mengapa displin menjadi salah
satu poin penting perwujudan nilai integritas.
4. Tanggung Jawab
Inilah sebuah sikap yang dalam pergaulan sehari-hari juga dikenal sebagai
sikap yang gentle. Tanggung jawab diartikan juga sebagai keadaan wajib
menanggung segala sesuatunya (kalau terjadi apa-apa boleh dituntut,
dipersalahkan, diperkarakan, dan sebagainya, atau fungsi menerima
8
pembebanan, sebagai akibat sikap pihak sendiri atau pihak lain. Sikap ini
menjadi penting sebagai sebuah wujud inegritas, karena adanya sikap
tanggung jawab pada diri seseorang akan menuntunnya untuk senantiasa
menghindari perbuatan buruk atau tercela yang akan menimbulkan dampak
buruk bagi dirinya.
Hilangnya rasa tanggung jawab pada diri seseorang akan menjadikannya
berani untuk berbuat sesukanya untuk kepentingan-kepentingan pribadinya
tanpa menghiraukan dampak yang akan terjadi. Atas dampak perbuatannya
tersebut, seseorang tanpa rasa tanggung jawab akan melanjutkan tindakan
buruknya untuk menghindari pembebanan atas dampak dari perbuatannya
8
Op.Cit., Kamus Besar Bahasa Indonesia Offline 1.5
13
tersebut. Keberanian untuk bertanggung jawab tentu muncul ketika seseorang
memiliki dan menjunjung tinggi harga dirinya di tengah kehidupan masyarakat.
Inilah sebab mengapa sikap yang bertanggung jawab menjadi syarat mutlak
bagi seorang pemimpin. Seseorang yang dipilih atau diangkat sebagai
pemimpin bagi sekelompok orang pada dasarnya ialah pendelegasian
tanggung jawab dari orang-orang yang dipimpin kepada pemimpinnya. Seorang
pemimipin artinya menerima dan mengambil alih beban dari orang-orang yang
dipimpinnya untuk kemudian dikelola demi mencapai tujuan bersama dari
kelompok yang dipimpinnya tersebut. Tentu jiwa kepemimpinan ini harus ada
pada setiap diri kita. Setiap kita pada dasarnya telah ditakdirkan sebagai
seorang pemimpin. Entah kemudian kita diberi kesempatan untuk memegang
jabatan tertentu dalam lingkugan pekerjaan atau organisasi kita, di luar itu
semua kita telah menjadi seorang pemimpin. Seorang kakak menjadi pemimpin
bagi adik-adiknya, seorang ibu menjadi pemimpin dan contoh bagi anak-
anaknya, seorang ayah atau suami menjadi pemimpin dalam keluarganya. Oleh
sebab itu, rasa tanggung jawab harus senantiasa ada dalam setiap diri untuk
menjadi seorang yang berintegritas.
5. Kesantunan
Santun diartikan dalam KBBI sebagai sebuah sikap yang halus dan baik,
sabar, tenang, dan sopan. Tentu tak ada yang mengingkari bahwa bersikap
santun adalah baik. Kecermatan menempatkan diri di tengah pergaulan sosial
maupun lingkungan keperjaan menjadi langkah awal untuk melahirkan sifat
santun. Dalam adat Minangkabau mengenal kato nan ampek (kata yang empat)
sebagai pedoman bagi seseorang dalam berinteraksi dengan orang lain di
lingkungan kehidupannya. Adapun kato nan ampek ini terdiri dari:
a. Kato mandaki
Kato mandaki atau kata mendaki adalah tata bicara seseorang kepada orang
yang lebih tua dari kita seperti berbicara kepada orang yang lebih tua. Tentu
kita harus memperhatikan setiap kata-kata yang kita gunakan, kita harus
tahu kapan saatnya kita bicara serius ataupun bercanda.
14
b. Kato manurun
Berbeda dengan kato mandaki, kato manurun atau kata menurun digunakan
saat kita berbicara kepada orang yang lebih muda daripada kita. Karena
lawan berbicara kita adalah orang yang lebih kecil dan belum sedewasa kita,
maka bahasa yang digunakan adalah bahasa lemah lembut dan kita boleh
bicara dengan keras saat menasihatinya.
c. Kato mandata
Kato mandata atau kata mendatar adalah tata bicara kita kepada teman
sebaya atau kepada orang yang seumuran dengan kita. Bahasa yang
digunakan adalah bahasa pergaulan yang baik. Tetap saling menghormati
walaupun dalam bercanda dengan cara-cara yang wajar dan dapat diterima
oleh lawan bicara tersebut.
d. Kato malereang
Kato malereang atau kata melereng adalah tata bicara kita terhadap orang
yang kita segani. Berbeda dengan kato mandaki, kato malereang digunakan
kepada orang yang kita segani seperti orang yang terikat karena hubungan
semenda yakni ipar atau keluarga dari suami/istri dan pembicaran antar
tokoh adat, agama dan pemimpin. Dalam kato malereang, bahasa yang
digunakan adalah bahasa sesuai dengan situasinya. Di Minangkabau jika
kita berbicara dengan pemuka adat, biasanya mereka menggunakan kata-
kata kiasan dan kata-kata yang penuh makna. Oleh sebab itu kata-kata yang
digunakan haruslah memikirkan dahulu apa yang dikatakan, jangan
mengatakan apa yang dipikirkan.
Dari hal tersebut di atas kita perlu belajar untuk menempatkan diri dengan
benar di tengah lingkungan kehidupan kita dengan menjaga sikap dan tutur
kata. Kesantunan akan menghasilkan ciri pribadi yang baik dan dapat diterima
oleh masyarakat. Ini menjadi salah satu bentuk perwujudan integritas diri
karena kesantunan akan memancarkan kebaikan dan kewibawaan dari diri
seseorang.
15
B. Integritas Jaksa Indonesia
16
Kejaksaan sebagai korps yang ikut terjun dalam pengabdian terhadap nusa, bangsa
dan negara selaku penuntut umum.
Jaksa Agung Letjen Soegih Arto yang menjabat Jaksa Agung pada April 1966
memberikan pegangan mental para pegawai Kejaksaan dalam melaksanakan
tugasnya, yaitu jujur, ramah tamah dan bertanggung jawab. Ketiga pegangan mental
itu kemudian disempurnakan Jaksa Agung Ali Said SH menjadi Doktrin Kejaksaan
Tri Krama Adhyaksa yaitu Setya, Adi dan Wicaksana. Selain itu juga diciptakan
Panji Korps dan Doktrin Korps.9
Sebagai figur yang profesional, berintegritas dan berdisiplin, setiap pegawai
Kejaksaan RI harus berpedoman pada doktrin Tri Krama Adhyaksa yaitu: Satya,
Adhi dan Wicaksana, sebagaimana diatur dalam KEPJA Nomor: Kep-
030/JA/3/1988.
SATYA : Kesetiaan yang bersumber pada rasa jujur baik terhadap Tuhan
Yang Maha Esa, terhadap diri sendiri dan keluarga maupun
terhadap sesama manusia;
ADHI : Kesempurnaan dalam bertugas dan berunsur utama pemilikan
rasa tanggung jawab bertanggung jawab terhadap Tuhan Yang
Maha Esa, keluarga, dan terhadap sesama manusia;
WICAKSANA: Bijaksana dalam tutur kata dan tingkah laku khususnya dalam
pengetrapan kekuasaan dan kewenangannya.
Doktrin Tri Krama Adhyaksa merupakan landasan moral bagi Korps
Adhyaksa dalam menunaikan tugas dan fungsinya sebagai abdi negara penegak
hukum. Sebagai abdi negara penegak hukum, pada hakekatnya jaksa merupakan
abdi masyarakat yang berusaha turut berfungsi sebagai pencari kebenaran,
pendamba keadilan dan pewujud kepastian hukum dalam rangka memelihara dan
mewujudkan keamanan dan ketertiban menuju tercapainya kesejahteraan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia sesuai amanat Undang-Undang Dasar 1945.
9
www.jaksamenyapa.com. diakses tanggal 26 Mei 2019
17
Pengertian dan Pemahaman Unsur dalam Doktrin Tri Krama Adhyaksa
Jabatan penegak hukum bukan sekedar lahan pekerjaan (vocation) namun
juga merupakan profesi. Penegak hukum sebagai seorang profesional dituntut
untuk mempunyai tiga karakteristik, yaitu: keahlian (expertise), tanggung jawab
(responsibility)/pertanggungjawaban sosial (social responsibility), serta rasa
kesatuan dan keterikatan (corporateness) dalam menegakkan martabat
kompetensi profesinya. Samuel P. Huntington dalam bukunya berjudul ”Prajurit
dan Negara. Teori dan Politik Hubungan Militer-Sipil (The Soldier and The State)”
menegaskan: “The distinguishing characteristics of a profession as a special type
of vocation are its expertise, responsibility and corporateness” (Hal yang
membedakan karakteristik sebuah profesi sebagai suatu jenis pekerjaan yang
khusus adalah keahlian, tanggung jawab, dan kesatuannya).
Keahlian. Orang yang profesional adalah seorang ahli yang memiliki
pengetahuan dan ketrampilan khusus dalam suatu bidang yang penting, yang
merupakan kerja keras manusia. Keahliannya diperoleh hanya dari pendidikan
yang tinggi dan pengalaman. Ini menjadi dasar dari standar obyektif kemampuan
profesional yang membedakan profesi dengan orang awam dan mengukur
kemampuan relatif para anggota profesi tersebut. Standar-standar tersebut
bersifat universal. Melekat dalam pengetahuan dan ketrampilan serta dapat
diaplikasikan secara umum tanpa dibatasi oleh waktu dan tempat.....
Tanggung jawab. Orang yang profesional adalah seorang yang ahli dalam
praktek profesinya, bekerja dalam sebuah konteks sosial, dan melakukan suatu
pelayanan, ... yang sifatnya penting bagi fungsi masyarakat. ... Karakter inti dan
umum pelayanannya dan sifat monopoli terhadap ketrampilan yang dimilikinya
membebani para profesional dengan tanggung jawab untuk memberikan
pelayanan pada saat diperlukan oleh masyarakat. Tanggung jawab sosial ini
membedakan seorang profesional dengan para ahli lainnya yang hanya memiliki
ketrampilan intelektual.
Kesatuan. Para anggota dari suatu profesi saling berbagi rasa persatuan dan
kesadaran akan keberadaan mereka sebagai sebuah kelompok yang berbeda dari
orang awam. Rasa kebersamaan ini bersumber dari kedisiplinan dan pelatihan
18
kemampuan profesional, ikatan kerja bersama, dan saling berbagi suatu tanggung
jawab sosial yang unik. Rasa kesatuan terwujud dalam suatu organisasi
profesional yang membentuk dan menerapkan standar tanggung jawab
profesional....
Mengacu pada penegasan di muka, jabatan penegak hukum sebagai jabatan
profesi, di samping harus mempunyai tugas dan wewenang sesuai dengan
perkembangan zaman serta dinamika masyarakat; juga dituntut memiliki
kemampuan kognitif dan afektif dalam penegakan hukum dan keadilan.
Kemampuan kognitif berarti kemampuan yang berkaitan dengan pengenalan dan
penafsiran lingkungan oleh seseorang yang bercirikan keilmuan. Sedangkan
kemampuan afektif berkenaan dengan perasaan yang tercermin pada sikap
seseorang yang ditandai oleh tanggungjawab sosialnya. Contohnya, di kalangan
Kejaksaan yang merupakan salah satu dari institusi penegak hukum, sebagai
upaya untuk mewujudkan karakteristik profesi Jaksa yang memenuhi tuntutan
kognitif dan afektif sesuai misi dan tugas Kejaksaan, sejak lama Kejaksaan telah
memiliki Doktrin Tri Krama Adhyaksa yang mengandung 3 (tiga) ajaran
fundamental.
Dari berbagai nilai-nilai dasar yang harus dimiliki oleh seorang Jaksa sebagai
aparat penegak hukum dan pelayan publik, maka dalam sesi ini Peserta akan
mempelajari lima (5) prinsip dasar yang disaring antara lain dari Tri Krama
Adhyaksa yang kemudian diturunkan ke dalam Satya, Adhi, Wicaksana serta
berbagai prinsip internasional lainnya yaitu dari International Association of
Prosecutor (IAP) dalam Standards of Professional Responsibility and Statement of
the Essential Duties and Rights of Prosecutors10 (yang akan secara singkat
disebut Standar IAP) dan Pedoman Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yaitu
10
Guidelines on the Role of Prosecutors disetujui dalam United Nations Congress on the Prevention of Crime and
the Treatment of Offenders di Havana, Cuba. Perhatian atas profesionalisme Jaksa tercermin dalam salah satu butir
pertimbangan yang menyatakan:
“Whereas it is essential to ensure that prosecutors possess the profesional qualifications required for the
accomplishment of their functions, through improved methods of requirement and legal and professional training,
and through the provision of all necessary means for the proper performance of their role in combating
criminality, particularly in its new forms and dimensions.”
19
Guidelines on the Rule of Prosecutors11, maka ada 5 prinsip dasar yang akan
dipelajari dalam sesi ini :
1. Integritas
Nilai integritas itu sendiri merupakan suatu nilai dasar yang harus dimiliki
oleh seorang Jaksa, yaitu dimana seorang Jaksa dituntut untuk bersikap dan
bertindak secara konsisten sesuai dengan nilai-nilai dan kebijakan lembaga
serta kode etik profesi, walaupun dalam keadaan sulit untuk melakukan ini,
tidak mudah dipengaruhi oleh siapapun dengan cara apapun.
2. Profesional
Hal ini diatur secara spesifik juga dalam IAP yaitu:
a. Seorang Jaksa harus setiap saat menjaga kehormatan dan martabat
profesi mereka, selalu melaksanakan tugas secara profesional sesuai
dengan Undang-Undang dan peraturan serta etika profesi mereka.
Senantiasa melaksanakan tugasnya dengan integritas dan perhatian serta
ketelitian dengan standar tertinggi.
b. Dalam menjaga perilaku profesional, penting bagi Jaksa untuk mengikuti
perkembangan informasi dengan baik, termasuk didalamnya adalah
mengikuti perkembangan-perkembangan hukum yang relevan.
c. Jaksa harus berusaha dengan sebaik mungkin untuk menjadi, dilihat
sebagai orang yang konsisten, independen dan tidak memihak.
d. Sebagai seorang penuntut umum, Jaksa harus selalu melindungi hak-hak
terdakwa agar mendapatkan persidangan yang adil, dan secara khusus
memastikan bahwa barang-barang bukti yang dapat meringankan
terdakwa tersimpan dengan baik sesuai dengan Undang-Undang atau
persyaratan dari persidangan yang adil.
11
Standards of Profesional Responsibility and Statement of the Essential Duties and the Rights of Prosecutors,
ditetapkan oleh International Association of Prosecutors (IAP) pada tanggal 23 April 1999. IAP merupakan
Asosiasi Jaksa bertaraf Internasional yang didirikan pada bulan Juni 1995 di kantor PBB di Wina dan secara resmi
dilantik pada bulan September 1996 di Rapat Umum pertama di Budapest. IAP berkomitmen untuk menetapkan
dan meningkatkan standar perilaku profesional dan etika bagi Jaksa di seluruh dunia; mempromosikan supremasi
hukum, keadilan, ketidakberpihakan, dan menghormati hak asasi manusia dan meningkatkan kerjasama
internasional untuk memerangi kejahatan.
20
e. Selalu memberikan layanan dan melindungi kepentingan publik;
menghormati, melindungi dan menjunjung tinggi konsep martabat dan hak
asasi manusia secara universal.
3. Mandiri
Dalam doktrin Tri Krama Adhyaksa dimana salah satu unsurnya adalah
“adhi” yang diwujudkan dalam mandiri yang artinya memperluas wawasan.
Jaksa harus meningkatkan kompetensi dan kapasitas baik dalam bidang
pengetahuan maupun keterampilannya. Jaksa harus memiliki pandangan
yang terbuka dan bersifat global. Jaksa harus senantiasa memandang
dirinya sendiri dan menyesuaikan dengan dinamika lingkungan yang terjadi
disekitarnya. Cara yang paling utama untuk meningkatkan wawasan adalah
dengan senantiasa belajar baik dari ilmu pengetahuan maupun dari
pengalaman, secara mandiri maupun secara formal.
Sementara prinsip mandiri dalam IAP dalam hal ini lebih menitikberatkan
pada hak diskresi yaitu antara lain:
a. Penggunaan hak diskresi harus dilaksanakan secara independen/mandiri
dan bebas dari pengaruh politis.
b. Jika otoritas selain dari kalangan Kejaksaan memiliki hak khusus dalam
memberi instruksi kepada para Jaksa Penuntut umum, maka instruksi
tersebut harus:
I. transparan;
II. konsisten dengan kewenangan yang dimilikinya;
III. tunduk pada acuan yang telah ditentukan untuk menjaga/melindungi
aktualitas dan persepsi independensi penuntutan perkara.
c. Hak apapun yang dimiliki pihak di luar Kejaksaan untuk mengarahkan
institusi Kejaksaan mengenai prosedur dan penghentian sebuah proses
penuntutan yang telah diatur berdasarkan hukum haruslah diperlakukan
dengan cara yang sama.
21
4. Imparsialitas
Menurut IAP maka imparsialitas adalah:
a. Jaksa penuntut umum harus melaksanakan tugasnya tanpa rasa takut,
rasa keberpihakan ataupun prasangka.
b. Secara khusus mereka harus:
I. Melaksanakan fungsi mereka dengan tanpa memihak;
II. Tidak terpengaruh oleh kepentingan individu maupun kepentingan
segelintir orang lainnya serta tekanan publik maupun media; bertindak
dengan obyektifitas;
III. memperhatikan seluruh keadaan yang relevan, mengesampingkan
pandangan apakah keadaan-keadaan tersebut menguntungkan atau
tidak bagi tersangka;
IV. sesuai dengan Undang-Undang ataupun persyaratan setempat
mengenai sebuah persidangan yang adil, berusaha memastikan
bahwa seluruh pemeriksaan yang dilakukan wajar dan penting
dilakukan dan hasilnya disampaikan, tidak mempedulikan apakah hal
tersebut menunjukkan kesalahan atau justru ketidakbersalahan
tersangka;
V. selalu mencari kebenaran dan membantu persidangan untuk
mendapatkan kebenaran dan melaksanakan keadilan kepada
masyarakat, korban serta terdakwa sesuai dengan Undang-Undang
dan prinsip keadilan.
5. Disiplin
Disiplin adalah suatu unsur dimana seorang Jaksa dituntut untuk selalu
bertindak sesuai dengan aturan dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku baik secara internal Kejaksaan ataupun dalam lingkup nasional dan
internasional.
22
turunannya. Dalam Pasal 9 ayat (1) UU Kejaksaan disebutkan bahwa salah satu
syarat menjadi jaksa adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS). Pegawai Negeri Sipil
termasuk dalam lingkup Aparatur Sipil Negara (ASN) yang diatur dalam Undang-
undang No. 15 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN). Status jaksa
sebagai PNS sebagaimana diamanatkan dalam UU Kejaksaan, membuat profesi
jaksa harus tunduk pula kepada UU ASN. Hal- hal yang perlu menjadi perhatian oleh
jaksa sebagai ASN adalah mengenai Kewajiban dan Larangan sebagaimana diatur
dalam PP NO.53 Tahun 2010 Tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. mengenai
kewajiban tercantum di pasal 3 yaitu:
Setiap PNS wajib:
1. mengucapkan sumpah/janji PNS;
2. mengucapkan sumpah/janji jabatan;
3. setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan
Pemerintah; menaati segala ketentuan peraturan perundangundangan;
4. melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan kepada PNS dengan penuh
pengabdian, kesadaran, dan tanggung jawab;
5. menjunjung tinggi kehormatan negara, Pemerintah, dan martabat PNS;
mengutamakan kepentingan negara daripada kepentingan sendiri, seseorang,
dan/atau golongan;
6. memegang rahasia jabatan yang menurut sifatnya atau menurut perintah harus
dirahasiakan;
7. bekerja dengan jujur, tertib, cermat, dan bersemangat untuk kepentingan negara;
8. melaporkan dengan segera kepada atasannya apabila mengetahui ada hal yang
dapat membahayakan atau merugikan negara atau Pemerintah terutama di
bidang keamanan, keuangan, dan materiil;
9. masuk kerja dan menaati ketentuan jam kerja;
10. mencapai sasaran kerja pegawai yang ditetapkan;
11. menggunakan dan memelihara barang-barang milik negara dengan sebaik-
baiknya; memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat;
12. membimbing bawahan dalam melaksanakan tugas;
23
13. memberikan kesempatan kepada bawahan untuk mengembangkan karier; dan
14. menaati peraturan kedinasan yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang.
24
12. memberikan dukungan kepada calon Presiden/Wakil Presiden, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, atau Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah dengan cara:
a. ikut serta sebagai pelaksana kampanye;
b. menjadi peserta kampanye dengan menggunakan atribut partai atau
atribut PNS;
c. sebagai peserta kampanye dengan mengerahkan PNS lain; dan/atau
d. sebagai peserta kampanye dengan menggunakan fasilitas negara
13. memberikan dukunngan kepada calon presiden/wakil presiden dengan cara:
a. membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau
merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye; dan/atau
b. mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap
pasangan calon yang menjadi peserta pemilu sebelum, selama, dan
sesudah masa kampanye meliputi pertemuan, ajakan, himbauan, seruan,
atau pemberian barang kepada PNS dalam lingkungan unit kerjanya,
anggota keluarga, dan masyarakat;
14. memberikan dukungan kepada calon anggota Dewan Perwakilan Daerah atau
calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dengan cara memberikan surat
dukungan disertai foto kopi Kartu Tanda Penduduk atau Surat Keterangan
Tanda Penduduk sesuai peraturan perundangundangan; dan 015.
memberikan dukungan kepada calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah,
dengan cara:
a. terlibat dalam kegiatan kampanye untuk mendukung calon Kepala
Daerah/Wakil Kepala Daerah;
b. menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatan dalam kegiatan
kampanye;
c. membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau
merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye; dan/atau
d. mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap
pasangan calon yang menjadi peserta pemilu sebelum, selama, dan
25
sesudah masa kampanye meliputi pertemuan, ajakan, himbauan, seruan,
atau pemberian barang kepada PNS dalam lingkungan unit kerjanya,
anggota keluarga, dan masyarakat.
26
BAB III
Pengertian
Sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang
penuntutan serta tugas-tugas lain berdasarkan peraturan perundang-undangan,
Kejaksaan memerlukan adanya satu tata pikir, tata laku dan tata kerja Jaksa dengan
mengingat norma-norma agama, susila, kesopanan serta memperhatikan rasa keadilan
dan nilai-nilai kemanusiaan dalam masyarakat.
Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, diperlukan sosok Jaksa sebagai
abdi hukum yang profesional, memiliki integritas kepribadian, disiplin, etos kerja yang
tinggi dan penuh tanggungjawab, senantiasa mengaktualisasikan diri dengan
memahami perkembangan global, tanggap dan mampu menyesuaikan diri dalam
rangka memelihara citra profesi dan kinerja jaksa serta tidak bermental korup.
Jaksa sebagai pejabat publik senantiasa menunjukkan pengabdiannya melayani
publik dengan mengutamakan kepentingan umum, menaati sumpah jabatan,
menjunjung tinggi doktrin Tri Krama Adhyaksa, serta membina hubungan kerjasama
dengan pejabat publik lainnya. Jaksa sebagai anggota masyarakat selalu menunjukkan
keteladanan yang baik, bersikap dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai yang hidup
dan berkembang serta peraturan perundang-undangan.
Jaksa Agung selaku pimpinan dan penanggung jawab tertinggi kejaksaan yang
memimpin, mengendalikan pelaksanaan tugas, dan wewenang kejaksaan dalam
rangka menjaga kehormatan dan martabat profesi sebagaimana diamanatkan dalam
Undang-Undang Kejaksaan R.I. menetapkan PERJA No. PER-014/A/JA/11/2012
tentang Kode Perilaku Jaksa, yang pada Pasal 1 ayat (3) “Kode Perilaku Jaksa adalah
serangkaian norma penjabaran dari kode etik Jaksa, sebagai pedoman keutamaan
mengatur perilaku jaksa baik dalam menjalankan tugas profesinya, menjaga
kehormatan dan martabat profesinya, maupun dalam melakukan hubungan
kemasyarakatan diluar kedinasan”
27
Kewajiban-kewajiban Dalam Menjalankan Profesi Jaksa
Dalam PERJA No. PER-014/A/JA/11/2012 tentang Kode Perilaku Jaksa, pada
Pasal 3 tentang kewajiban jaksa terhadap negara diantaranya:
a. setia dan taat kepada Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
b. bertindak berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
mengindahkan norma agama, kesopanan, kesusilaan yang hidup dalam
masyarakat dan menjunjung tinggi hak asasi manusia; dan
c. melaporkan dengan segera kepada pimpinannya apabila mengetahui hal yang
dapat membahayakan atau merugikan negara.
Pasal 4
Kewajiban Jaksa kepada Institusi:
a. menerapkan Doktrin Tri Krama Adhyaksa dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya;
b. menjunjung tinggi sumpah dan/atau janji jabatan Jaksa;
c. menjalankan tugas sesuai dengan visi dan misi Kejaksaan Republik Indonesia;
d. melaksanakan tugas sesuai peraturan kedinasan dan jenjang kewenangan;
e. menampilkan sikap kepemimpinan melalui ketauladanan, keadilan, ketulusan dan
kewibawaan; dan
f. mengembangkan semangat kebersamaan dan soliditas serta saling memotivasi
untuk meningkatkan kinerja dengan menghormati hak dan kewajibannya
Pasal 5
Kewajiban Jaksa kepada Profesi Jaksa:
a. menjunjung tinggi kehormatan dan martabat profesi dalam melaksanakan tugas
dan kewenangannya dengan integritas, profesional, mandiri, jujur dan adil;
b. mengundurkan diri dari penanganan perkara apabila mempunyai kepentingan
pribadi atau keluarga;
c. mengikuti pendidikan dan pelatihan sesuai dengan peraturan kedinasan;
28
d. meningkatkan ilmu pengetahuan, keahlian, dan teknologi, serta mengikuti
perkembangan hukum yang relevan dalam lingkup nasional dan internasional;
e. menjaga ketidakberpihakan dan objektifitas saat memberikan petunjuk kepada
Penyidik;
f. menyimpan dan memegang rahasia profesi, terutama terhadap
tersangka/terdakwa yang masih anak-anak dan korban tindak pidana kesusilaan
kecuali penyampaian informasi kepada media, tersangka/keluarga,
korban/keluarga, dan penasihat hukum sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
g. memastikan terdakwa, saksi dan korban mendapatkan informasi dan jaminan
atas haknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan hak asasi
manusia; dan
h. memberikan bantuan hukum, pertimbangan hukum, pelayanan hukum,
penegakan hukum atau tindakan hukum lain secara profesional, adil, efektif,
efisien, konsisten, transparan dan menghindari terjadinya benturan kepentingan
dengan tugas bidang lain
Pasal 6
Kewajiban Jaksa kepada masyarakat:
a. memberikan pelayanan prima dengan menjunjung tinggi supremasi hukum dan
hak asasi manusia; dan
b. menerapkan pola hidup sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku dalam
masyarakat.
29
b. meminta dan/atau menerima hadiah dan/atau keuntungan dalam bentuk
apapun dari siapapun yang memiliki kepentingan baik langsung maupun
tidak langsung;
c. menangani perkara yang mempunyai kepentingan pribadi atau keluarga,
atau finansial secara langsung maupun tidak langsung;
d. melakukan permufakatan secara melawan hukum dengan para pihak yang
terkait dalam penanganan perkara; e. memberikan perintah yang
bertentangan dengan norma hukum yang berlaku;
e. merekayasa fakta-fakta hukum dalam penanganan perkara;
f. menggunakan kewenangannya untuk melakukan penekanan secara fisik
dan/atau psikis; dan menggunakan barang bukti dan alat bukti yang patut
diduga telah direkayasa atau diubah atau dipercaya telah didapatkan
melalui cara-cara yang melanggar hukum;
(2) Jaksa wajib melarang keluarganya meminta dan/atau menerima hadiah atau
keuntungan dalam bentuk apapun dari siapapun yang memiliki kepentingan
baik langsung maupun tidak langsung dalam pelaksanaan tugas Profesi
Jaksa.
Doktrin Tri Krama Adhyaksa merupakan landasan moral bagi Korps Adhyaksa
dalam menunaikan tugas dan fungsinya sebagai abdi negara penegak hukum. Sebagai
abdi negara penegak hukum, pada hakekatnya jaksa merupakan abdi masyarakat yang
berusaha turut berfungsi sebagai pencari kebenaran, pendamba keadilan dan pewujud
kepastian hukum dalam rangka memelihara dan mewujudkan keamanan dan ketertiban
menuju tercapainya kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sesuai amanat
Undang-Undang Dasar 1945.
Oleh karena itu, seorang jaksa harus memiliki kemampuan profesional,
berintegritas, dan berdisiplin tinggi dalam mengemban bakti profesi kepada masyarakat,
bangsa dan negara yang tercermin dalam Tata Krama Adhyaksa, berisi 15 butir
pedoman perilaku, antara lain :
1. Jaksa adalah insan yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa yang tercermin dari kepribadian yang utuh dalam pemahaman,
penghayatan dan pengamalan pancasila;
30
2. Jaksa sebagai insan yang cinta tanah air dan bangsa senantiasa
mengamalkan dan melestarikan Pancasila serta secara aktif dan kreatif
menjadi pelaku pembangunan hukum dalam mewujudkan masyarakat adil
yang berkemakmuran dan makmur yang berkeadilan;
3. Jaksa mengutamakan kepentingan masyarakat, bangsa dan negara dari pada
kepentingan pribadi atau golongan;
4. Jaksa mengakui adanya persamaan derajat, persamaan hak dan kewajiban
antara sesama pencari keadilan serta menjunjung tinggi asas praduga tak
bersalah, disamping asas-asas hukum yang berlaku;
5. Jaksa dalam melaksanakan tugas dan kewajiban melindungi kepentingan
umum sesuai peraturan perundang-undangan dengan mengindahkan norma-
norma keagamaan, kesopanan dan kesusilaan serta menggali nilai
kemanusiaan, hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat;
6. Jaksa senantiasa berupaya meningkatkan kualitas pengabdiannya dengan
mengindahkan disiplin ilmu hukum, memantapkan pengetahuan dan keahlian
hukum serta memperluas wawasan dengan mengikuti perkembangan dan
kemajuan masyarakat;
7. Jaksa berlaku adil dalam memberikan pelayanan kepada pencari keadilan;
8. Jaksa dalam melaksanakan tugas dan kewajiban senantiasa memupuk serta
mengembangkan kemampuan profesional, integritas pribadi, dan disiplin yang
tinggi;
9. Jaksa menghormati adat kebiasaan setempat yang tercermin dari sikap dan
perilaku baik di dalam maupun di luar kedinasan;
10. Jaksa terbuka untuk menerima kebenaran, bersikap mawas diri,
berani bertanggungjawab dan dapat menjadi teladan di lingkungannya;
11. Jaksa mengindahkan norma-norma kesopanan dan kepatutan dalam
menyampaikan pandangandan menyalurkan aspirasi profesi, disamping
mematuhi hirarki dan aturan kedinasan;
12. Jaksa berbudi luhur serta berwatak mulia, setia, jujur, arif dan bijaksana dalam
tata pikir, tata tutur dan tata laku;
13. Jaksa memelihara rasa kekeluargaan, semangat kesetiakawanan dan
31
mendahulukan kepentingan korps dari pada kepentingan pribadi;
14. Jaksa menjunjung dan membela kehormatan korps serta menjaga harkat dan
martabat profesi;
15. Jaksa senantiasa membina dan mengembangkan kader Adhyaksa dengan
semangat ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri
handayani.
Doktrin Tri Krama Adhyaksa yang kemudian dijabarkan dalam Tata Krama
Adhyaksa sebagai kode etik Jaksa yang menjadi tuntutan, tata pikir, tata tutur dan tata
laku dalam mewujudkan jati diri Jaksa mandiri yang mumpuni. Dalam rangka
mewujudkan jabatan penegak hukum sebagai jabatan profesi yang mempunyai tiga
kualifikasi yaitu mempunyai keahlian (expertise), tanggung jawab (responsibility), dan
kesatuan (corporateness); dimulai sejak penentuan kualifikasi dan penerimaan calon
pegawai (penegak hukum). Penentuan kualifikasi atau sifat dan keadaan pekerjaan
serta kecakapan pegawai yang akan melakukan pekerjaan tersebut dapat dilakukan
melalui job analysis.
32
BAB IV
PENUTUP
33
Daftar Pustaka
A. BUKU
C. JURNAL
Gunardi Endro, “Menyelisik Makna Integritas dan Pertentangannya dengan
Korupsi”, dalam Jurnal Integritas KPK, Edisi 03, Nomor 1, Maret 2017
D. INTERNET
- Menerapkan Kejujuran Integritas dan Perbaikan berkesinambungan Dalam Diri
Kita.. https://habibiezone.wordpress.com
- Pengertian Disiplin Menurut Para Ahli. www.pengertianmenurutparaahli.com
- Damanik. Meylina.”INTEGRITAS DAN DISIPLIN SDM”.www.meylina-
damanik.blogspot.com.(diakses
34
BERITA NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
No.1230, 2012 JAKSA AGUNG. Perilaku. Kode Etik. Jaksa.
Pencabutan.
www.djpp.depkumham.go.id
2012, No.1230 2
www.djpp.depkumham.go.id
3 2012, No.1230
www.djpp.depkumham.go.id
2012, No.1230 4
www.djpp.depkumham.go.id
5 2012, No.1230
www.djpp.depkumham.go.id
2012, No.1230 6
Bagian Kedua
Integritas
Pasal 7
(1) Dalam melaksanakan tugas Profesi Jaksa dilarang:
a. memberikan atau menjanjikan sesuatu yang dapat memberikan
keuntungan pribadi secara langsung maupun tidak langsung bagi
diri sendiri maupun orang lain dengan menggunakan nama atau
cara apapun;
b. meminta dan/atau menerima hadiah dan/atau keuntungan dalam
bentuk apapun dari siapapun yang memiliki kepentingan baik
langsung maupun tidak langsung;
c. menangani perkara yang mempunyai kepentingan pribadi atau
keluarga, atau finansial secara langsung maupun tidak langsung;
d. melakukan permufakatan secara melawan hukum dengan para
pihak yang terkait dalam penanganan perkara;
e. memberikan perintah yang bertentangan dengan norma hukum
yang berlaku;
f. merekayasa fakta-fakta hukum dalam penanganan perkara;
g. menggunakan kewenangannya untuk melakukan penekanan
secara fisik dan/atau psikis; dan
h. menggunakan barang bukti dan alat bukti yang patut diduga
telah direkayasa atau diubah atau dipercaya telah didapatkan
melalui cara-cara yang melanggar hukum;
(2) Jaksa wajib melarang keluarganya meminta dan/atau menerima
hadiah atau keuntungan dalam bentuk apapun dari siapapun yang
memiliki kepentingan baik langsung maupun tidak langsung dalam
pelaksanaan tugas Profesi Jaksa.
Bagian Ketiga
Kemandirian
Pasal 8
(1) Jaksa melaksanakan tugas, fungsi, dan kewenangannya:
a. secara mandiri terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah
maupun pengaruh kekuasaan lainnya; dan
b. tidak terpengaruh oleh kepentingan individu maupun kepentingan
kelompok serta tekanan publik maupun media.
(2) Jaksa dibenarkan menolak perintah atasan yang melanggar norma
hukum dan kepadanya diberikan perlindungan hukum.
www.djpp.depkumham.go.id
7 2012, No.1230
www.djpp.depkumham.go.id
2012, No.1230 8
www.djpp.depkumham.go.id
9 2012, No.1230
BAB IV
TATA CARA PEMERIKSAAN DAN PENJATUHAN
TINDAKAN ADMINISTRATIF
Bagian Kesatu
Majelis Kode Perilaku
Pasal 15
(1) Dugaan pelanggaran diperoleh dari laporan/pengaduan masyarakat,
temuan pengawasan melekat (Waskat) dan pengawasan fungsional
(Wasnal).
(2) Pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran ditindaklanjuti melalui
proses klarifikasi dan pemeriksaan yang dilaksanakan berdasarkan
Peraturan Jaksa Agung tentang Penyelenggaraan Pengawasan
Kejaksaan Republik Indonesia.
(3) Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dinyatakan sebagai pelanggaran Kode Perilaku Jaksa maka
hasil pemeriksaan diteruskan kepada pejabat yang berwenang untuk
membentuk Majelis Kode Perilaku.
Pasal 16
Pejabat yang berwenang untuk membentuk Majelis Kode Perilaku, sebagai
berikut :
a. Jaksa Agung bagi Jaksa yang menduduki jabatan struktural atau
jabatan lain yang wewenang pengangkatan dan pemberhentiannya oleh
Presiden;
b. Para Jaksa Agung Muda bagi Jaksa yang bertugas di lingkungannya
masing-masing pada Kejaksaan Agung;
c. Jaksa Agung Muda Pengawasan bagi Jaksa yang bertugas di luar
lingkungan Kejaksaan Agung, Kepala Kejaksaan Tinggi dan Wakil
Kepala Kejaksaan Tinggi; atau
d. Kepala Kejaksaan Tinggi bagi Jaksa yang bertugas di Kejaksaan Tinggi,
Kepala Kejaksaan Negeri dan Jaksa yang bertugas di Kejaksaan Negeri
dalam wilayah hukumnya.
Pasal 17
(1) Setelah menerima hasil pemeriksaan, Pejabat yang berwenang
membentuk Majelis Kode Perilaku menerbitkan Surat Keputusan
Pembentukan Majelis Kode Perilaku.
www.djpp.depkumham.go.id
2012, No.1230 10
www.djpp.depkumham.go.id
11 2012, No.1230
www.djpp.depkumham.go.id
2012, No.1230 12
Pasal 22
(1) Majelis Kode Perilaku berwenang memeriksa alat bukti, data, fakta dan
keterangan untuk membuktikan benar tidaknya dugaan pelanggaran
tersebut yang dituangkan dalam Putusan Majelis Kode Perilaku.
(2) Dalam melakukan sidang pemeriksaan, Majelis Kode Perilaku dapat
mendengar atau meminta keterangan dari pihak lain apabila
dipandang perlu.
Bagian Ketiga
Penjatuhan Tindakan Administratif
Pasal 23
(1) Putusan Majelis Kode Perilaku diambil berdasarkan musyawarah dan
mufakat.
(2) Apabila putusan tidak dapat diambil berdasarkan musyawarah dan
mufakat, maka putusan diambil berdasarkan suara terbanyak.
(3) Putusan Majelis Kode Perilaku memuat pertimbangan, pendapat, dan
pernyataan terbukti atau tidak terbukti melakukan pelanggaran.
(4) Putusan dibacakan secara terbuka dengan atau tanpa kehadiran
Jaksa yang melakukan pelanggaran.
Pasal 24
(1) Dalam hal Majelis Kode Perilaku menyatakan Jaksa terperiksa terbukti
melakukan pelanggaran maka akan dijatuhkan tindakan administratif.
(2) Dalam hal Majelis Kode Perilaku menyatakan Jaksa terperiksa tidak
terbukti melakukan pelanggaran maka nama baiknya direhabilitasi
dan diumumkan.
Pasal 25
Pemeriksaan yang dilaksanakan oleh Majelis Kode Perilaku, diselesaikan
dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari.
Pasal 26
(1) Putusan Majelis Kode Perilaku bersifat mengikat yang dibuat dalam
bentuk Surat Keputusan Pejabat yang berwenang menjatuhkan
tindakan administratif.
(2) Putusan Majelis Kode Perilaku berlaku sejak tanggal ditetapkan, dan
dilaporkan secara berjenjang sesuai dengan peraturan kedinasan yang
berlaku.
www.djpp.depkumham.go.id
13 2012, No.1230
(3) Putusan Majelis Kode Perilaku harus sudah diterima oleh Jaksa yang
bersangkutan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah putusan
ditetapkan.
(4) Jaksa Agung Muda Pengawasan dapat melakukan peninjauan kembali
terhadap putusan Majelis Kode Perilaku di daerah jika terdapat
dugaan fakta yang terbukti tidak sebanding dengan tindakan
admnistratif yang dijatuhkan.
Pasal 27
(1) Jaksa yang melakukan beberapa pelanggaran secara berturut-turut
sebelum dilakukan pemeriksaan hanya dapat dijatuhi 1 (satu) jenis
tindakan administratif.
(2) Jaksa yang pernah terbukti melakukan pelanggaran, kemudian
melakukan pelanggaran yang sifatnya sama dijatuhi tindakan
administratif yang lebih berat dari yang pernah dijatuhkan kepadanya.
BAB V
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 28
(1) Pemeriksaan dan penindakan terhadap perilaku Jaksa baik dalam
melaksanakan tugas profesinya maupun dalam melakukan hubungan
kemasyarakatan di luar kedinasan menggunakan peraturan ini.
(2) Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana ayat (1)
ditemukan adanya pelanggaran ketentuan pidana dan/atau peraturan
disiplin maka pejabat yang berwenang harus menindaklanjuti sesuai
dengan peraturan yang berlaku.
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 29
Pada saat Peraturan Jaksa Agung ini mulai berlaku, Peraturan Jaksa
Agung Nomor : PER-67/A/JA/07/2007 tentang Kode Perilaku Jaksa
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 30
Petunjuk Pelaksanaan dan/atau Petunjuk Teknis Peraturan Jaksa Agung
ini dapat di bentuk oleh Jaksa Agung Muda Pengawasan.
Pasal 31
Peraturan Jaksa Agung ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
www.djpp.depkumham.go.id
2012, No.1230 14
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 13 November 2012
JAKSA AGUNG
REPUBLIK INDONESIA,
BASRIEF ARIEF
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 10 Desember 2012
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
AMIR SYAMSUDIN
www.djpp.depkumham.go.id
Menyelisik Makna Integritas
dan Pertentangannya
dengan Korupsi
Gunardi Endro
Universitas Bakrie
gunardi.endro@bakrie.ac.id
ABSTRAK
Kata ‘integritas’ dipakai secara luas untuk menyatakan kompaknya
DWDX XWXKQ\D VHVXDWX WHULGHQWL¿NDVL GDUL UHDNVLQ\D WHUKDGDS
rangsangan dari lingkungannya. Penyelisikan makna hakiki integritas
pada akhirnya berujung pada pemahaman tentang pentingnya dua
proses yang berlangsung serentak, yaitu proses pengendalian internal
dan proses partisipasi eksternal. Pada kasus manusia atau institusi
yang dikendalikan manusia, proses pengendalian internal berkaitan
dengan persoalan bagaimana membangun dan mempertahankan
identitas diri, sedangkan proses partisipasi eksternal berkenaan
dengan persoalan bagaimana mewujudkan keputusan dan tindakan
yang baik berdasarkan identitas diri itu. Identitas diri seharusnya
tidak terlepas dari keputusan dan tindakan yang baik. Meskipun
kekuasaan dibangun dari kemampuan partikular, kekuasaan itu
seharusnya dipergunakan demi kebaikan bersama. Oleh karena itu,
integritas merupakan suatu keutamaan, suatu karakter baik manusia
atau budaya baik organisasi, yang menimbulkan daya dorong bagi
pemiliknya untuk mewujudkan keputusan dan tindakan bagi kebaikan
131
bersama. Karakter atau budaya ini jelas bertentangan dengan korupsi,
karena korupsi merupakan tindak penyalahgunaan kekuasaan dengan
memanipulasi kebaikan bersama demi kepentingan pribadi tertentu.
Jadi, karakter integritas dan budaya integritas secara langsung
bertentangan dengan korupsi. Pengembangan karakter integritas dan
budaya integritas mengandung keniscayaan logis menangkal korupsi.
Kata Kunci: Integritas, pengendalian internal, partisipasi
eksternal, kebaikan bersama, korupsi
ABSTRACT
The word “integrity” is widely used to state the compactness
RU WKH LQWDFWQHVV RI D WKLQJ LGHQWL¿HG IURP LWV UHDFWLRQV DJDLQVW
the surrounding stimuli. An investigation of the true meaning of
integrity ultimately leads to understanding the importance of two
simultaneous processes, namely the self-governance process and
the externally participation process. In the case of human being
or human-controlled institution, the self governanve process is
associated with the issue of how to build and maintain self-identity,
whereas the externally participation process is associated with how
to actualize good decisions and actions based on that self-identity.
The self-identity should be inseparable from the good decisions and
actions. Though any power is built from particular capabilities, it
should be used for the common good. Therefore, integrity is a virtue,
a good human character or a good organizational culture, that
disposes those who posses it to exercise decisions and actions for
the common good. This character or culture is clearly contrary to
corruption, because corruption is an abuse of power by manipulating
the common good for particular interests. Thus, character of integrity
and culture of integrity are in direct opposition to corruption.
Developing character of integrity and culture of integrity contains a
logical necessity of preventing corruption.
Keywords: integrity, self-governance, external participation,
common good, corruption
PENDAHULUAN
Integritas menjadi kata yang sering sekali disebutkan beberapa
dekade belakangan ini, namun pemaknaannya tidak jelas.
133
besar pengaruhnya dalam kehidupan sosial dan politik, justru
semakin kabur maknanya. Oleh karena itu, penting untuk menyelidiki
dan menemukan patokan penjelas makna integritas agar supaya bisa
menjadi petunjuk arah dalam setiap diskusi tentang integritas dan
terutama dalam setiap upaya pengembangan karakter dan budaya
integritas. Sebagai langkah awal, penyelisikan asal mula makna
integritas perlu dilakukan.
135
mengubah dirinya menjadi sosok lain tergantung konteks hidupnya,
melainkan tetap bertahan dengan perilaku yang menunjukkan
satu identitas dirinya yang asli dalam berbagai konteks hidupnya.
Persoalannya, karena manusia memiliki kebebasan kehendak, mau
tidak mau harus memilih: ingin menjadikan diri sosok seperti apa
dan ingin berbuat apa, maka identitas yang dipertahankannya tidak
tertetapkan terlebih dahulu (not predetermined). Demikian pula
perbuatan-perbuatan yang mau mengekspresikan identitas tersebut.
Baik identitas yang mau dipertahankan maupun perbuatan yang mau
dilakukan sebagai ekspresi identitasnya bergantung pada pilihan
manusia. Dengan kata lain, proses pengendalian internal dan proses
partisipasi eksternal tidak tunduk pada hukum alam dan tidak ada
hubungan natural kausalistik di antara keduanya. Integritas tidak
dicapai melalui pemenuhan hukum alam, melainkan diupayakan
secara aktif melalui pilihan identitas dan tindakan yang seharusnya
dilakukan karena ada nilai lebih yang akan diperoleh dengan pilihan
identitas dan tindakan itu. Di sini, integritas bukan menyatakan
fakta apa yang terjadi, melainkan menyatakan apa yang seharusnya
diupayakan.
Peran sentral manusia pada sesuatu yang memiliki integritas
evaluatif membuat integritas tak dapat dipisahkan dari aspek moral
(aspek baik-buruk manusia sebagai manusia). Berdasarkan hakekat
dirinya sebagai manusia, orang yang berintegritas atau organisasi
yang berintegritas diharapkan mengambil keputusan dan tindakan
yang bermoral. Dan keputusan dan tindakan yang bermoral itu harus
mengekspresikan identitas diri yang dibangunnya untuk menegaskan
bahwa makna kekompakan pada dirinya terwujud dan terekspresikan.
Jadi, ada dua aspek integritas bagi individu orang atau individu
organisasi yang berintegritas: pertama, integritas berkaitan dengan
bagaimana individu membangun dan mempertahankan identitas
dirinya (proses pengendalian internal); dan kedua, integritas
berkaitan dengan bagaimana individu melakukan perbuatan yang
bermoral (proses partisipasi eksternal). Makna integritas yang
benar seharusnya mencakup dua aspek tersebut bersama-sama.
Tetapi tampaknya tidak mudah menemukan satu kriteria yang dapat
merepresentasikan dua aspek tersebut sekaligus. Dalam sejarah
perkembangannya, makna integritas-evaluatif cenderung direduksi
dengan menekankan salah satu aspeknya saja. Memang reduksi
makna tidak terjadi pada integritas non-evaluatif, karena proses
137
kebetulan apakah individu yang bersangkutan memiliki kesadaran
moral ataukah tidak. Oleh karena itu, individu yang jahat dan kejam
namun memiliki identitas diri yang kompak bisa dianggap sebagai
individu yang berintegritas. Integritas bukan lagi suatu keutamaan/
kebajikan (virtue) atau karakter yang baik. Kesimpulan seperti itu
pada umumnya sulit diterima. Pertanyaan tentang kandungan moral
di dalam makna integritas pun kemudian muncul.
Meskipun adanya kandungan moral di dalam makna integritas
sulit ditolak, hubungan antara integritas dan moralitas seringkali
diinterpretasikan secara berbeda-beda tergantung pada moralitas versi
mana yang dipakai sebagai patokan: apakah versi individu penerima
atribut integritas ataukah versi individu pemberi atribut integritas.
Halfon (1989) melihat bahwa moralitas versi penerima atribut
integritas lah yang seharusnya menjadi patokan. Menurut Halfon,
integritas dikaitkan dengan komitmen individu yang memberlakukan
pada dirinya pandangan moral yang secara konseptual jelas, secara
logika konsisten, dan memperhitungkan semua fakta empiris dan
pertimbangan moral. Calhoun (1995) mengemukakan pendapat yang
serupa dengan menegaskan bahwa individu yang berintegritas harus
tetap membela tegaknya pertimbangan terbaiknya sendiri meskipun
perlu menghormati pertimbangan terbaik individu lain. Masalahnya,
kedua pendapat itu tidak bisa memberikan batas demarkasi yang
jelas antara individu yang berintegritas dan individu yang fanatik.
Implikasi yang dapat ditarik dari kedua pendapat itu adalah bahwa
individu fanatik, seperti misalnya seorang teroris yang berpandangan
radikal, masih mungkin disebut sebagai individu yang berintegritas.
Kesimpulan ini secara intuitif juga sulit diterima.
Reduksi makna integritas jenis kedua adalah dengan menekankan
proses partisipasi eksternal atau menekankan moralitas tindakan
versi individu pemberi atribut integritas. Kriteria yang dipakai
sebagai patokan adalah bagaimana konsistensi tindakan moral
LQGLYLGX \DQJ PHQHULPD DWULEXW LQWHJULWDV WHULGHQWL¿NDVL ROHK
pemberi atribut integritas. Karena, tindakan moral merupakan
wujud ekspresi kekompakan diri individu dari segi kemanusiaannya.
Ashford (2000), misalnya, memaknai integritas dengan menekankan
segi objektivitas bagaimana individu harus patuh pada komitmennya
terhadap kewajiban-kewajiban moral. Bagi Ashford, konsepsi diri
individu dapat dikembangkan namun harus disesuaikan dengan
persyaratan-persyaratan moral nyata dari luar dirinya. Implikasi
139
dirujuk dalam tindakannya pada konteks tertentu. Proses partisipasi
eksternal yang berkaitan dengan moralitas tindakan individu (aspek
moral) mencerminkan universalitas dan objektivitas. Artinya, tindakan
individu bisa dijelaskan secara objektif dari segi kewajarannya terkait
baik-buruknya bagi manusia, sehingga tindakan itu dapat diterima
secara universal. Makna kekompakan tercermin dari kedua aspeknya:
aspek personal dan aspek moral. Jika proses pengendalian internal
dan proses partisipasi eksternal terintegrasikan, maka identitas diri
akan sungguh-sungguh terekspresikan menjadi tindakan-tindakan
moral dan makna kekompakan akan sungguh-sungguh terwujud
dengan kedua aspeknya itu.
Berikut ini akan diajukan konstruksi pemahaman dengan
latar belakang etika keutamaan Aristoteles (Aristotle) untuk
mengembalikan makna dasar integritas. Konstruksi pemahaman
yang dimaksud di sini ditopang oleh dua pilar pemahaman, yaitu
pemahaman tentang hubungan dan tindakan moral dan pemahaman
tentang konsep diri. Pilar pemahaman pertama berkaitan dengan
proses partisipasi eksternal, sementara pilar pemahaman kedua
berkaitan dengan proses pengendalian internal.
141
antara “orang berkeutamaan” (virtuous man), “diri sendiri” (self),
dan “temannya” (another sellf) sedemikian sehingga hanya jika diri
sendiri dan temannya memiliki atribut orang yang berkeutamaan
maka diri sendiri dan temannya akan saling menempatkan yang
lain sebagai diri-yang-lain (another self). Kalau kumpulan individu
dalam pertemanan yang baik (virtuous friendship) – dimana
masing-masing individu memiliki atribut orang berkeutamaan –
disebut komunitas ideal, maka skema hubungan triadik tersebut
merupakan skema hubungan antara komunitas ideal (ideal
community), diri-sendiri (self), dan temannya (another self).
Dengan begitu, seseorang yang mau mewujudkan dirinya dengan
tindakan berkeutamaan (mau menjadi orang yang berkeutamaan)
DNDQPHQJLGHQWL¿NDVLNDQGLULQ\DGHQJDQNRPXQLWDVLGHDONDUHQD
disitu temannya ditempatkannya sebagai diri-yang-lain. Diri di
sini adalah “diri-yang-menjadi”, diri yang dalam artian tertentu
diperluas dengan komunitas ideal (the expanded self), atau
diri yang hanya akan terwujud jikalau komunitas ideal secara
partisipatif diwujudkannya.
143
dan keadilan (justice), setiap komunitas ideal memiliki keutamaan/
NHEDMLNDQ QLODL VRVLDO ODLQ \DQJ SHU GH¿QLVL KDUXV MXJD GLXSD\DNDQ
keterwujudannya di dalam komunitas itu dan di elemen-elemen
komunitas itu. Komunitas pasar yang memiliki integritas, misalnya,
PHZXMXGNDQQLODLVRVLDOH¿VLHQVLDJDUWXMXDQVHVXQJJXKQ\DWHUFDSDL
Perusahaan (anggota komunitas pasar) yang berintegritas, selain
PHZXMXGNDQQLODLVRVLDOH¿VLHQVLMXJDKDUXVPHZXMXGNDQQLODL\DQJ
terkait dengan kualitas layanan agar tujuan sesungguhnya tercapai.
Karyawan (anggota komunitas perusahaan) yang berintegritas,
VHODLQ PHZXMXGNDQ QLODLVRVLDO H¿VLHQVL GDQ NXDOLWDV OD\DQDQ MXJD
harus mewujudkan tercapainya nilai tertentu sesuai dengan peran
VSHVL¿NQ\D GL SHUXVDKDDQ 'HQJDQ EHJLWX DQWDUD NRPXQLWDV \DQJ
memiliki integritas dan elemen-elemennya sangat erat hubungannya
(intimate) sedemikian sehingga seolah-olah identitas elemen sulit
dipisahkan dari identitas komunitas. Kesimpulan ini mematahkan
argumentasi Kasulis (2002) yang memisahkan intimasi (intimacy)
dari integritas (integrity), karena disini integritas justru mensyaratkan
intimasi antara komunitas dengan elemen-elemennya. Untuk
mewujudkan diri sebagai elemen yang memiliki integritas, elemen
itu harus melakukan upaya partisipatif untuk mentransformasikan
komunitas-komunitas yang lebih besar (dimana ia menjadi
anggotanya) menjadi komunitas-komunitas ideal.
Jadi, makna dasar integritas dikembalikan melalui perwujudan
skema hierarkis komunitas-komunitas ideal sebagaimana dijelaskan
di atas. Sosok individu yang berintegritas adalah sosok individu yang
VHODOX PHQJLGHQWL¿NDVLNDQ GLULQ\D GHQJDQ NRPXQLWDVNRPXQLWDV
ideal sehingga akan selalu melakukan upaya partisipatif untuk secara
hierarkis mewujudkan semuanya. Karyawan yang berintegritas
akan memperjuangkan perusahaan tempatnya bekerja menjadi
perusahaan yang beintegritas, dengan mana perjuangannya itu
sekaligus juga menghantarkan perusahaan melaksanakan upaya
partisipatif mewujudkan pasar yang berintegritas dan pasar
mewujudkan kehidupan bersama yang baik di masyarakat (komunitas
umat manusia). Agar hal itu terwujud, ketika karyawan tersebut
mempertimbangkan keputusan dan tindakan yang akan dilakukan,
nilai-nilai sosial dasar bagi kehidupan bersama yang baik (komunitas
umat manusia), yaitu kemandirian individual (autonomy),
kepedulian (caring) dan keadilan (justice) menjadi prioritas
pertama sebelum nilai-nilai sosial lain berturut-turut: H¿VLHQVL
145
(1651) dalam karyanya Leviathan bahwa manusia satu berbahaya
bagi manusia lainnya namun setiap manusia dapat mengamankan
keberadaan dan memenuhi kepentingan dirinya melalui kesepakatan
bersama yang terwujud dalam bentuk kekuasaan Negara. Jadi
menurut Euben (1989), pemegang kekuasaan publik (Negara) yang
mendapatkan legitimasi dari seluruh individu (hasil kesepakatan
bersama) diwajibkan menyelenggarakan kekuasaannya sesuai
dengan standar yang ditetapkan demi kepentingan seluruh
individu (kepentingan publik). Korupsi kemudian dimaknai sebagai
penyelenggaraan kekuasaan yang tidak sesuai dengan standar. Hal
LQLWHUFHUPLQSDGDGH¿QLVL\DQJGLWHWDSNDQROHK:RUOG%DQN
bahwa korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan publik untuk
kepentingan yang sifatnya privat (the abuse of public power for
private gain). Masalah yang timbul dari gambaran korupsi sebagai
penyalahgunaan kekuasaan publik adalah pengabaian adanya fakta
bahwa penyalahgunaan kekuasaan yang sifatnya privat bisa lebih
destruktif dibandingkan dengan penyalahgunaan kekuasaan publik.
Sebagai contoh, misalnya, skandal korporasi yang melibatkan
penyalahgunaan kekuasaan privat oleh beberapa pemimpin bisnis
di bursa saham Amerika awal abad ke-21 menimbulkan dampak
krisis ekonomi yang terbukti lebih menyengsarakan masyarakat luas
daripada dampak skandal korupsi pejabat publik suatu Negara.
Oleh karena itu, jika korupsi mau dipahami secara lebih
NRPSUHKHQVLI GDULSDGD NRUXSVL \DQJ KDQ\D WHUGH¿QLVLNDQ VHFDUD
legal formal sebagai penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat
publik, maka korupsi harus dilihat secara paradigmatik sebagai
penyalahgunaan kekuasaan di semua bidang kehidupan. Seorang
petinju yang mau menerima uang suap untuk mengalah, dokter yang
menolak memberi kesaksian atas malpraktik koleganya, atlet yang
menggunakan doping agar menang dalam perlombaan olahraga,
dosen yang menjiplak tulisan orang lain, ataupun bahkan seseorang
yang membohongi teman hidupnya untuk kepuasan nafsunya sendiri,
kesemuanya itu merupakan kasus yang secara paradigmatik dapat
dimasukkan ke dalam kategori korupsi (Miller 2013). Pada kasus-
kasus tersebut, orang memiliki kekuasaan berdasarkan kepercayaan
komunitas terhadap kemampuan partikular yang dimilikinya untuk
menjalankan peran demi kebaikan bersama (common good). Ketika
kekuasaan itu disalahgunakan untuk kepentingan pribadi tertentu
(partikular) dengan memanipulasi seolah-olah kekuasaan itu masih
digunakan untuk kebaikan bersama, maka kasus korupsi secara
147
waktu bisa jadi merupakan bagian dari rencana tindakan yang paling
tepat, karena dengan melakukannya individu tersebut pada akhirnya
bisa memberikan kontribusi terbaik bagi terwujudnya kebaikan
bersama. Seorang eksekutif perusahaan, misalnya, terpaksa harus
mengorbankan nilai-nilai sosial tertentu untuk mempertahankan
keberadaan perusahaannya di komunitas pasar yang korup,
sementara dia memproyeksikan bagaimana pada akhirnya
SHUXVDKDDQQ\D GDSDW PHPEHULNDQ NRQWULEXVL \DQJ VLJQL¿NDQ EDJL
perbaikan moralitas komunitas pasar dan bagi perwujudan kebaikan
bersama dalam komunitas ideal umat manusia. Ada kesan “urgensi”
pada upaya mempertahankan daya hidup partikularitas, tetapi daya
hidup partikularitas yang dipertahankan itu tidak boleh menjadi
tujuan akhir. Setiap segmen proses menjadi bagian dari upaya besar
yang tujuan akhirnya adalah terwujudnya kebaikan bersama dalam
komunitas ideal umat manusia.
Kedua, berhubung setiap individu memiliki partikularitas yang
berbeda-beda sementara tujuan akhirnya satu yaitu terwujudnya
kebaikan bersama, rencana upaya partisipatif individu yang
berintegritas harus mempertimbangkan persaingannya dengan
rencana upaya partisipatif yang ditawarkan individu-individu lainnya
sedemikian sehingga upaya partisipatif terbaik yang diputuskan dan
dijalankannya dapat secara masuk akal dipertanggungjawabkan.
Upaya partisipatif terbaik yang diputuskannya, relatif terhadap
partikularitas yang dimilikinya, dapat diterima akal sehat individu
lain karena siapapun yang memiliki partikularitas yang sama
cenderung akan mengambil keputusan yang sama. Individu yang
berintegritas selalu siap mempertanggungjawabkan bahwa upaya
partisipatif yang dipilihnya akan memberikan kontribusi terbaik
bagi perwujudan kebaikan bersama, meskipun upaya partisipatif
yang dipilihnya itu justru dengan memberikan kesempatan individu
lain yang lebih ahli (memiliki partikularitas yang lebih baik) untuk
mengambil peran yang lebih besar. Individu yang berintegritas
tidak akan berlindung di balik minimnya partikularitas yang
dimilikinya untuk bermalas-malasan dari peluang mewujudkan
kebaikan bersama dan, sebaliknya, tidak akan menggunakan alasan
perwujudan kebaikan bersama untuk mengambil sebanyak mungkin
peran meskipun partikularitas yang dimilikinya tidak memadai.
Individu yang berintegritas selalu meningkatkan mutu partikularitas
yang dimilikinya, misalnya mengasah kompetensi dan kemampuan
149
korupsi, karena korupsi mendorong apa yang seharusnya menjadi
kebaikan bersama (common good) ke arah kepentingan partikular.
Jelas sebagai karakter yang baik atau budaya organisasi yang baik,
integritas mengandung keniscayaan logis menangkal korupsi.
KESIMPULAN
Meskipun penggunaan kata integritas dalam retorika politik
di masyarakat saat ini berpengaruh besar dalam meningkatkan
keprihatinan moral terhadap korupsi, namun ketidakjelasan dalam
penyajian maknanya akan membuat pengaruh tersebut berhenti
di tataran politik saja dan tidak berlanjut ke dalam rancangan
keputusan dan tindakan riil yang secara sistematis bisa menangkal
korupsi. Penyelisikan makna integritas di sini dilakukan secara
¿ORVR¿VXQWXNPHQHPXNDQPDNQDGDVDUQ\DPHQMHODVNDQEDJDLPDQD
makna dasar itu kemudian direduksi hingga muncul berbagai
varietas makna yang beredar di masyarakat, dan mengupayakan
skema pengembalian makna dasar agar supaya mendapatkan
satu patokan makna integritas yang jelas. Integritas tampaknya
tidak cukup direpresentasikan oleh kejujuran, kecermatan dalam
berperilaku, keteguhan dalam berkomitmen, atau pun keutamaan/
kebajikan/ nilai-nilai lain seperti: kesederhanaan, kesabaran,
visioner, keberanian, kedisiplinan, kerja keras, kerjasama, tanggung
jawab, dan sebagainya. Keutamaan/ kebajikan/ nilai-nilai tersebut
lebih merupakan akibat dari terwujudnya individu yang berintegritas
daripada menjadi penyebab munculnya individu yang berintegritas.
Hasil penyelisikan menunjukkan bahwa integritas individu akan
WHUZXMXGNHWLNDLDVHODOXPHQJLGHQWL¿NDVLNDQGLULGHQJDQNRPXQLWDV
komunitas ideal sedemikian rupa sehingga ia akan selalu melakukan
upaya partisipatif untuk secara hierarkis mewujudkan komunitas-
komunitas ideal dalam rangka mewujudkan dirinya. Kebaikan
bersama (common good) terjamin dan terjaga keberadaannya di dalam
komunitas-komunitas ideal itu. Jadi, skema pengembalian makna
dasar integritas menyajikan kontrasnya perbedaan antara integritas
dan korupsi. Sementara korupsi merupakan perilaku penyalahgunaan
kekuasaan dengan memanipulasi apa yang seharusnya menjadi
kebaikan bersama demi kepentingan partikular (kepentingan pribadi
tertentu), integritas merupakan keutamaan/ kebajikan (virtue) yang
menimbulkan daya dorong untuk mengelola berfungsinya kekuasaan
REFERENSI
Aristotle. 2001. “Ethica Nichomachea.” Dalam The Basic Works
of Aristotle, terj. W.D. Ross, ed. Richard McKeon. NY: Modern
Library.
____________. “Politica.” Dalam The Basic Works of Aristotle,
terj. Benjamin Jowett, ed. Richard McKeon. NY: Modern Library.
____________. “De Generatione et Corruptione.” Dalam The Basic
Works of Aristotle, terj. Harold H. Joachim, ed. Richard McKeon.
NY: Modern Library.
Ashford, Elizabeth. 2000. “Utilitarianism, Integrity, and Partiality.”
Journal of Philosophy XCVII:8 (August): 421-39.
Audi, Robert, dan Patrick Murphy. 2006. “The Many Faces of
Integrity.” Business Ethics Quarterly 16(1): 3-21.
Black, Harrison. 1825. An Etymological and Explanatory Dictionary
of Words Derived from the Latin. 2nd ed. London: Longman.
%OXVWHLQ-HɣUH\Care and Commitment: Taking the Personal
Point of View. New York: Oxford University Press.
Buchanan, Bruce. 2004. “The Moral Physics of the Body Politic:
Changing Contours of Corruption in Western Political Thought.”
Dalam Proceedings of the Australasian Political Studies
Association Conference. University of Adelaide (September -
October 2004). http://www.adelaide.edu.au/apsa/papers/.
Calhoun, Cheshire. 1995. “Standing for Something.” Journal of
Philosophy XCII(5): 235-60.
Carter, Stephen L. 1996. Integrity. New York: Basic Books.
Cox, Damian, Marguerite La Caze, dan Michael P. Levine. 2003.
Integrity and the Fragile Self. Aldershot-Hants: Ashgate.
151
Davion, Victoria M. 1990. “Integrity and radical change.” Dalam
Feminist Ethics, ed. Claudia Card. Kansas: Kansas University
Press.
Endro, Gunardi. 2007. Integrity in Economic Life: An Aristotelian
Perspective. Dissertation. National University of Singapore.
Euben, J. Peter. 1989. “Corruption.” Dalam Political Innovation and
Conceptual Change, ed. Terence Ball, James Farr dan Russell L.
Hanson. New York: Cambridge Univ. Press.
Hadi, Protasius Hardono. 2010. Potret Siapakah Aku. Yogyakarta:
Kanisius.
Halfon, Mark S. 1989. Integrity: A Philosophical Inquiry.
Philadelphia: Temple Univ. Press.
Hobbes, Thomas. 1651. Leviathan. London: Andrew Crooke at the
Green Dragon.
Kasulis, Thomas P. 2002. Intimacy or Integrity: Philosophy and
&XOWXUDO'LɣHUHQFH Honolulu: University of Hawai’i Press.
Klein, Ernest. 1971. A Comprehensive Etymological Dictionary of the
English Language. Amsterdam: Elsevier.
Martin, Mike W. 1996. /RYH¶V9LUWXH Lawrence: University Press of
Kansas.
McFall, Lynne. 1987. “Integrity.” International Journal of Ethics 98:1
(October): 5-20.
Miller, Seumas. 2013. “Integrity.” Stanford Encyclopedia of
Philosophy. plato.stanford.edu/entries/corruption/ (Fri Jan 25,
2013).
Skeat, Walter W. 1888. An Etymological Dictionary of the English
Language. 2nd ed. Oxford: Clarendon Press.
Stern-Gillet, Suzanne. 1995. $ULVWRWOH¶V 3KLORVRSK\ RI )ULHQGVKLS
Albany: State University of New York Press.
Taylor, Gabriel. 1985. Pride, Shame and Guilt: Emotions of Self-
Assessment. New York: Oxford University Press.
Williams, Bernard. 1973. “A Critique of Utilitarianism.” Dalam
Utilitarianism for and against, ed. J.J. Smart & Bernard Williams.
Cambridge: Cambridge University Press.
World Bank. 1997. World Development Report: The State in a
Changing Society. Washington D.C.: World Bank.