Anda di halaman 1dari 74

PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PEMBENTUKAN JAKSA 2019

MODUL

INTEGRITAS

DISUSUN OLEH :

TIM PENYUSUN MODUL


BADAN DIKLAT KEJAKSAAN R.I.

BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN


KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA
JAKARTA
2019
DAFTAR ISI

HalamanJudul …………………………………………………………………… i
Tim PenyusunModul …………………………………………………………………… ii
Kata Pengantar …………………………………………………………………… iii
Daftar Isi …………………………………………………………………… iv

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang …………………………………………….. 1
B. Deskripsi Singkat ………………………………………….. 2
C. Tujuan Pembelajaran ……………………………................ 4
D. Indikator Keberhasilan ……………………………………. 4

BAB II INTEGRITAS
A Pengertian .................…………………………………….... 5
1. Integritas ............................................................... 5
2. ManifestasiIntegritasdalamKehidupanberprofesi …..... 10
B IntegritasJaksa Indonesia …………………………………. 16
1. Doktrin Tri KramaAdhyaksa ………………………… 16
2. Jaksa sebagai Aparatur Sipil Negara …………………. 22

BAB III ETIKA PROFESI JAKSA


A Etika Profesi Jaksa………………………………………..... 27
1. Pengertian dan Karakteristik Profesi…………………. 27
2. Sejarah dan Organisasi Profesi Jaksa……………….... 38
3. Tugas, Fungsi dan Wewenang Jaksa………………….. 42
4. Kode Perilaku Jaksa ………………......……………… 45

BABIV PENUTUP
DaftarPustaka ……………………………………………………………………
Lampiran ……………………………………………………………………
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Integritas telah menjadi syarat mutlak yang harus dimiliki setiap individu dalam
menjalankan tugas dan fungsinya baik dalam kehidupan pribadinya maupun dalam
kehidupan bermasyarakat. Integritas bukanlah sebuah hal konkret yang dapat dilihat
dalam sebuah ketentuan-ketentuan tertulis yang kemudian menjadi acuan bagi
setiap orang dalam berbuat. Namun demikian, integritas merupakan sebuah
keniscayaan bagi seorang manusia untuk dapat menjadi diri yang paripurna.
Integritas membawa seseorang untuk cenderung melakukan hal yang baik dan
menolak segala hal yang dianggap buruk. Walaupun kadang pandangan mengenai
hal yang baik dan buruk ini dianggap sesuatu yang relatif, namun sense seseorang
sebagai manusia tentu dapat merasakan mana hal baik yang dapat dilakukan dan
hal buruk yang harusnya dihindari. Dengan adanya integritas di dalam diri seseorang
tentu tak hanya mempengaruhi kualitas hidupnya pribadi, namun juga akan meliputi
lingkungan tempat ia beraktifitas atau bekerja. Inilah mengapa integritas menjadi hal
penting dalam menentukan keberhasilan seseorang maupun sebuah organisasi atau
institusi.
Organisasi menjadi wadah bagi para individu untuk mengaktualisasikan
integritas dirinya dalam hubungan kerja sama dengan individu lain untuk
mewujudkan tujuan tertentu dari sebuah organisasi. Sebuah organisasi dapat
terbentuk didasari oleh kesamaan pemikiran, kepentingan, orientasi, ideologi, bahkan
kesamaan ciri fisik tertentu. Begitupun untuk organisasi berupa institusi negara pun
tentu berdiri dengan semangat dan dasar ideologi yang jelas. Pancasila sebagai
dasar ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia harus tercermin dalam arah
kebijakan dan penyelenggaraan negara yang dilaksanakan oleh lembaga-lembaga
pemerintahan.
Kejaksaan RI sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan
negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang

1
tentu menjadi salah satu pilar penting dalam penegakan hukum di Indonesia. Tentu
sebuah lembaga pemerintahan seperti Kejaksaan RI ini berdiri dan berjalan dengan
acuan nilai dasar yang wajib dipatuhi dan diresapi oleh setiap individu yang menjadi
bagian dari institusi ini. Tri Krama Adhyaksa dipilih sebagai doktrin bagi para insan
Adhyaksa. Melalui Keputusan Jaksa Agung RI disusunlah Tri Krama Adhyaksa ini
menjadi sebuah kaidah hukum tertulis agar menjadi hukum yang mengikat seluruh
personil dalam institusi Kejaksaan RI. Satya, Adhi, dan Wicaksana menjadi nilai
fundamenal yang harus diketahui, dipelajari, dan diamalkan dalam kehidupan setiap
personil dalam menjalankan tugas, fungsi, dan wewenangnya sebagai bagian dari
institusi Kejaksaan RI.
Bagi seluruh pegawai di instansi Kejaksaan RI harus senantiasa memahami
dan meresapi nilai Tri Krama Adhyaksa tersebut dalam bekerja untuk menopang
berdirinya dan kemajuan institusi Kejaksaan RI ini. Nilai dasar dalam Tri Krama
Adhyaksa tersebut menjelma menjadi beberapa ketentuan konkret yang kemudian
memberikan acuan mengenai perbuatan-perbuatan, baik yang diwajibkan maupun
yang dilarang untuk dilakukan. Inilah yang kita kenal dengan Kode Etik Profesi. Kode
perilaku yang memuat nilai etika dan moral. Jaksa dituntut untuk profesional dan
menjunjung etika profesi. Profesionalisme tanpa etika menjadikannya tanpa kendali
dan tanpa pengarahan, sedangkan etika tanpa profesionalisme menjadikan tidak
maju bahkan tegak. Kode etik dapat di berlakukan melalui perundang-undangan dan
kewenangan pemberian sanksi disiplin pertama-tama diberikan kepada anggota
asosiasi profesi yang bersangkutan. Pelanggaran atas suatu kode etik profesi tidak
terbatas sebagai masalah Jaksa dan intenal lembaga penegak hukum, tetapi juga
merupakan masalah kemasyarakatan.

B. Deskripsi Singkat

Modul “Integritas” ini merupakan kompilasi bahan ajar untuk dipergunakan pada
Pendidikan dan Pelatihan Pembentukan Jaksa (PPPJ) pada Kejaksaan Republik
Indonesia, yang menguraikan definisi dan ruang lingkup serta relevansi 2 (dua)
bagian utama, yakni Integritas dan Etika Profesi Jaksa. Dua poin pokok tersebut
kemudian dijabarkan menjadi beberapa sub-bab sebagai berikut:

2
INTEGRITAS
A. Pengertian
1. Integritas
Menjelaskan mengenai definisi, ruang lingup beserta urgensi integritas bagi
setiap individu.
2. Manifestasi Integritas dalam Kehidupan Berprofesi
Dalam sub-bab ini menjelaskan mengenai bentuk-bentuk perwujudan nilai
integritas yang dapat diterapkan oleh setiap individu dalam menjalankan tugas
dan wewenangnya.
B. Integritas Jaksa Indonesia
1. Doktrin Tri Krama Adhyaksa
Memaparkan mengenai sejarah, uraian isi dan makna yang terkandung di
dalam Tri Krama Adhyaksa yang harus dihormati, diresapi, dan diamalkan oleh
setiap personil Kejaksaan RI dalam bertugas.
2. Jaksa sebagai Aparatur Sipil Negara
Menerangkan mengenai ketentuan-ketentuan hukum yang mengikat seluruh
pegawai yang berada di lingkungan instansi Kejaksaan RI sebagai Aparatur
Sipil Negara.

ETIKA PROFESI JAKSA


A. Etika Profesi Jaksa
1. Pengertian dan Karakteristik Profesi
Pada sub-bab ini menerangkan mengenai definisi profesi, perbedaan profesi
dan pekerjaan, serta krakterisitik suatu pekerjaan dapat dikatakan sebagai
profesi.
2. Sejarah dan Organisasi Profesi Jaksa
memaparkan mengenai organisasi profesi jaksa, baik dalam hal sejarah,
struktur, dan seputar rekam jejak kinerja organisasi profesi dalam mendukung
pelaksanaan tugas dan wewenang jaksa.
3. Tugas, Fungsi, dan Wewenang Jaksa
Selain memaparkan mengenai semua tugas, fungsi, dan wewenang jaksa yang
diatur di dalam undang-undang, pada bagian ini juga dapat menjadi serba-serbi

3
dalam diskusi mengenai peluang dan tantangan seorang jaksa dalam
menjalankan tugas dan karirnya di Kejaksaan RI.
4. Kode Perilaku Jaksa
Memaparkan Keputusan Jaksa Agung mengenai Kode Perilaku Jaksa.

C. Tujuan dan Manfaat Pembelajaran

1. Kompetensi Dasar :
a. Mengetahui makna, arti penting, dan perwujudan integritas dalam menjalankan
profesi sebagai seorang Jaksa.
b. Mengetahui dan memahami tentang Doktrin Tri Krama Adhyaksa, Etika dan
Perilaku Jaksa, Pedoman Perilaku Jaksa.
c. Mengetahui dan memahami tentang profesi yang meliputi: sejarah profesi
jaksa, tugas dan fungsi, dan standar minimum profesi Jaksa.
d. Mengetahui dan memahami profil Jaksa Ideal

2. Indikator Keberhasilan :
Setelah mempelajari modul ini peserta diklat diharapkan :
a. Mampu memahami dan mengaplikasikan doktrin Tri Krama Adhyaksa dalam
melaksanakan tugasnya sehari-hari.
b. Memahami, mendalami dan menghayati profesi dan Integritas Jaksa.
c. Mengoptimalisasi nilai-nilai kode etik jaksa dan kode perilaku jaksa dalam
melaksanakan tugasnya sehari-hari.
d. Terciptanya kesadaran untuk patuh dan disiplin pada segala macam bentuk
aturan bagi para siswa selama masa pembelajaran.

4
BAB II

INTEGRITAS

A. PENGERTIAN

Dewasa ini, kata integritas menjadi sesuatu yang sering sekali digunakan
terutama di lingkungan kerja instansi pemerintah yang sedang gencar-gencarnya
menggapai predikat Zona Integritas untuk mewujudkan Wilayah Bebas Korupsi dan
Wilayah Birokrasi Bersih Melayani (WBK/WBBM) melalui reformasi birokrasi,
khususnya dalam hal pencegahan korupsi dan peningkatan kualitas pelayanan
publik. Integritas menjadi cenderung abstrak untuk diuraikan sebagai sebuah definisi
yang sempurna juga terkait dengan terlalu banyaknya sesuatu sifat atau sikap yang
dapat dilabeli sebagai sebuah perwujudan integritas. Integritas dikaitkan dengan
karakteristik tertentu yang dimiliki sesuatu apa saja, seperti misalnya integritas
jembatan, integritas database, integritas jaringan listrik, integritas tubuh, integritas
orang, integritas kesenian, integritas perusahaan, integritas pasar, integritas
pemerintahan, integrits negara, dan bahkan integritas ekosistem. Meskipun ada
nuansa karakteristik “kompak” atau “utuh” pada setiap sesuatu yang berintegritas,
namun petunjuk tentang apa persisnya dan bagaimana mewujudkan kekompakan
atau keutuhan itu belum jelas.1

1. Integritas
Istilah Integritas kerap kita dengar saat berbicara mengenai kemampuan
pribadi seseorang dalam menjalankan perannya, baik dalam kehidupan sosial
maupun dalam pekerjaannya sehari-hari. Seseorang yang dianggap berintegritas
menjadikannya sebagai orang yang terpuji perilaku dan budi pekertinya. Secara
harfiah, integritas diartikan sebagai mutu, sifat, atau keadaan yang menunjukkan
kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang

1
Gunardi Endro, “Menyelisik Makna Integritas dan Pertentangannya dengan Korupsi”, dalam Jurnal Integritas
KPK, Edisi 03, Nomor 1, Maret 2017, hlm.131

5
memancarkan kewibawaan; kejujuran.2 Keberadaan integritas dalam diri
seseorang secara langsung berdampak kepada kehormatan atau terangkatnya
derajat seseorang tersebut di lingkungannya. Hal ini berarti apabila kita berbicara
mengenai integritas maka erat kaitannya dengan kejujuran. Namun, bagaimana
menjelaskan kejujuran dalam kaitannya dengan kekompakan/ keutuhan?
Meskipun benar bahwa orang tidak mungkin memiliki integritas tanpa
mempraktikkan kejujuran, tetapi bukan tidak mungkin seseorang yang selalu jujur
memiliki tingkat integritas yang rèndah (Carter 1996, 52). Kejujuran buta tanpa
pertimbangan kelayakan konteks malah bisa menunjukkan sifat narsistik dan
ketidakpedulian terhadap akibat buruk yang bakal menimpa orang lain (Martin
1996, 121), suatu sifat yang tampaknya bertentangan dengan integritas.3
Secara etimologis, kata integritas (integrity), integrasi (integration) dan
integral (integral) memiliki akar kata Latin yang sama, yaitu “integer” yang berarti
“seluruh” (“whole or entire”) atau “suatu bilangan bulat” (“a whole number”),
bilangan yang bukan bilangan pecahan (Skeat 1888, 297; Black 1825, 215-6).
Jadi, sesuatu yang berintegritas merupakan sesuatu yang utuh dalam
keseluruhannya, sesuatu yang tidak terbagi, dimana nuansa keutuhan atau
kebulatannya tidak dapat dihilangkan. Meskipun sesuatu yang berintegritas terdiri
dari banyak elemen, keutuhan atau kebulatannya selalu terjaga sebagai hasil dari
hubungan timbal balik yang kuat diantara elemen-elemennya.
Definisi lain dari integritas adalah suatu konsep yang menunjuk konsistensi
antara tindakan dengan nilai dan prinsip. Dalam etika, integritas diartikan sebagai
kejujuran dan kebenaran dari tindakan seseorang. Lawan dari integritas adalah
hipocrisy (hipokrit atau munafik). Seorang dikatakan “mempunyai integritas”
apabila tindakannya sesuai dengan nilai, keyakinan, dan prinsip yang
4
dipegangnya (Wikipedia). Mudahnya, ciri seorang yang berintegritas. Dengan
memiliki karakter ini dalam diri maka kita akan menjadi seorang yang dipercaya
karena menjunjung tinggi nilai nilai kebenaran, bertindak bukan karena pamrih

2
Kamus Besar Bahasa Indonesia Offline 1.5
3
Ibid.
4
Menerapkan Kejujuran Integritas dan Perbaikan berkesinambungan Dalam Diri Kita..
https://habibiezone.wordpress.com. /

6
tetapi tulus dan ikhlas demi menjunjung tinggi kebenaran. Dengan karakter ini kita
akan bertindak adil kepada siapa saja, karena menjunjung kebenaran bukan
memandang suatu masalah berdasarkan nafsu atau kekuasaan belaka.
Pengertian integritas adalah suatu kepribadian seseorang yang bertindak
secara konsisten dan utuh, baik dalam perkataan maupun perbuatan, sesuai
dengan nilai-nilai dan kode etik. Seseorang dianggap berintegritas ketika ia
memiliki kepribadian dan karakter berikut:5
 Jujur dan dapat dipercaya
 Memiliki komitmen
 Bertanggung jawab
 Menepati ucapannya
 Setia
 Menghargai waktu
 Memiliki prinsip dan nilai-nilai hidup
Integritas juga tidak dapat dipisahkan dari ketaatan seseorang kepada tuhan
yang maha esa. Integritas yang tinggi akan membawa pada keshalehan
seseorang, apapun agama yang dianutnya. Ataupun sebaliknya. keshalehan
seorang akan membentuk pribadi yang berintegritas. Dalam teologi Islam,
kesalehan mencakup hubungan baik dengan Allah (hablumminallah), hubungan
baik dengan sesama manusia (hablum minan nas), dan hubungan baik dengan
alam (hablum minal alam). Kesalehan tidak hanya dilihat dari ketaatan dan
kesungguhan seseorang dalam menjalankan ibadah ritual, karena ini sifatnya
hanya individual dan sebatas hubungan dengan Allah tetapi kesalehan juga dilihat
dari dampak kongkretnya dalam kehidupan bermasyarakat. Kesalehan sangat
tergantung pada tindakan nyata seseorang, dalam hubungannya dengan sesama
manusia dan juga sangat tergantung pada sikap serta prilakunya terhadap alam,
baik hewan, tumbuh-tumbuhan, dan sebagainya.
Dari penjelasan sebelumnya bahwa salah satu definisi dari integritas adalah
suatu konsep yang menunjuk konsistensi antara tindakan dengan nilai dan
prinsip. Kata Konsistensi disini merujuk kepada kedisiplinan seseorang. Disiplin

5
ibid

7
sendiri mepunyai arti pola perilaku yang diharapkan akan menghasiikan karakter
tertentu. khususnya menghasilkan peningkata moral dan mental yang lebih teratur.
dispilin adalah kontrol diperoleh dengan menegakkan kepatuhan atau perintah. 6
Jadi sulit rasanya mencapai integritas tanpa adanya kedisiplinan itu sendiri.
Ada beberapa hal yang membuat integritas penting yaitu:7
1) Integritas membina kepercayaan
dengan integritas yang ditemukan dalam diri seorang pemimpin yang bukan
hanya kata-kata belaka tetapi juga disertai tindakan akan menumbuhkan
kepercayaandalam diri pengikutnya (Maxwell.1995:41);
2) Integritas punya nilai pengaruh tinggi
integritas merupakan kualitas manusia yang diperlukan untuk sukses bisnis.
Dengan integritas yang dipunyai oleh seoran pemimpin akan memperbesar
pengaruhnya. karena pengikut melihat adanya sesuatu yang bisa dipercayai
dalam diri pemimpin (Maxwell.1995 :42).
3) Integritas memudahkan standar tinggi
Pemimpin harus hidup dengan standar yang lebih tinggi dari pada
pengikutnyaDengan adanya watak yang baik (integritas) memungkinkan
pemimpin untukmelaksanakan semua tanggung jawabnya, kalau watak
seorang pemimpin rendahMaxwell.1995:43).
4) Integritas menghasilkan reputasi yang kuat, bukan hanya citra.
Citra adalah apa yang dipikirkan orang lain tentang diri seseorang. Integritas
adalah apa diri seseorang yang sesungguhnya. Kadang-kadang kehidupan
menjepit seseorang pada saat-saat mengalami tekanan seperti itu, apa yang
ada di dalamnya akan ketahuan, dengan demikian akan menentukan
bagaimana reputasi seseorang (Maxwell.1995:44).
5) Integritas berarti menghayati diri sebelum memimpin orang lain.
Sebelum memimpin orang lain seorang pemimpin harus menghayati dirinya
sendiri, karena pemimpin tidak bisa memimpin siapa pun lainnya lebih jauh
dari pada tempat pemimpin sendiri berada. Oleh karena itu perlu dipastikan

6
Pengertian Disiplin Menurut Para Ahli. www.pengertianmenurutparaahli.com
7
Damanik. Meylina.”INTEGRITAS DAN DISIPLIN SDM”.www.meylina-damanik.blogspot.com.(diakses 20 Mei
2019)

8
apakah pemimpin sudah memiliki integritas terlebih dahulu sebelum
memimpin orang lain karena orang akan cenderung mengikuti pemimpin
(Maxwell.1995:45).
6) Integritas membantu seorang pemimpin dipercaya bukan hanya pintar.
Kepercayaan adalah keyakinan bahwa pemimpin sungguh-sungguh dengan
apa yang dikatakannya. Kepemimpinan yang efektif tidak hanya berdasarkan
sifat pintar, tetapi juga berdasarkan sikap konsisten (Maxwell.1995:46).
7) Integritas adalah prestasi yang dicapai dengan susah payah.
Integritas bukan sebuah faktor yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari. Ini
adalah hasil dari disiplin pribadi, kepercayaan batin, dan keputusan untuk jujur
sepenuhnya dalam segala situasi dalam kehidupan pemimpin. Untuk
memperoleh integritas diperlukan suatu proses yang terus berlangsung
(Maxwell.1995:47).
Secara garis besar, ada 3 fungsi dar iintegritas, antara lain :
1. Fungsi Kognitif
Dalam hal ini fungsi kognitif integritas mencakup kecerdasan moral dan
wawasan diri (self insight). Dan wawasan diri itu meliputi pengetahuan diri dan
refleksi diri. Dari penjelasan tersebut maka dapat dijelaskan bahwa fungsi
kognitif integritas adalah untuk memelihara moral seseorang dan mendorong
orang tersebut untuk memiliki pengetahuan yang lebih luas.
2. Fungsi Afektif
Fungsi afektif mencakup hati nurani dan harga diri. Sehingga fungsi afektif
integritas adalah untuk menjaga nurani manusia agar tetap memiliki „hati‟ dan
perasaan sebagai manusia.
Dari penjelasan sebelumnya disebutkan bahwa terdapat dua fungsi
integritas, yaitu fungsi kognitif dan afektif. Lalu, apa manfaat integritas bagi
seseorang?
1. Manfaat secara fisik, individu yang memiliki integritas cenderung merasakan
manfaat pada fisiknya. Misalnya merasa lebih sehat dan bugar dalam
melakukan kegiatannya.

9
2. Manfaat secara intelektual, individu yang berintegritas umumnya lebih mampu
mengoptimalkan kemampuannya ketimbang individu yang munafik.
3. Manfaat secara emosional, umumnya seseorang yang memiliki integritas juga
memiliki motivasi, sadar diri, solidaritas tinggi, empati, simpati, dan emosi yang
stabil.
4. Manfaat secara spiritual, integritas menjadikan seseorang lebih bijaksana
dalam memaknai segala pengalaman hidupnya.
5. Manfaat secara sosial, integritas dalam diri seseorang membuatnya lebih
mudah dalam menjalin hubungan baik dengan orang lain dan dalam
melakukan kerja sama di masyarakat.

2. Manifestasi Integritas dalam Profesi


Integritas hanya menjadi bermakna jika diwujudkan ke dalam sikap dan
perbuatan individu tersebut. Integritas bukan lagi sekedar ilmu pengetahuan yang
dipelajari di kelas tertentu. Ia harus menjadi acuan yang menuntun seseorang
dalam bertindak dan menentukan sikap atas keadaan yang dihadapinya dalam
kehidupan sehari-hari. Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, integritas
seseorang akan tercermin dalam beberapa perilaku konkret. Pada bagian ini kita
akan menguraikan bentuk-bentuk sikap dan perbuatan yang dapat kita
internalisasikan pada diri masing-masing untuk menjadi seorang individu yang
berintegritas.
Beberapa sikap yang dapat kita wujudkan dalam perilaku kehidupan kita
sehari-hari antara lain:

1. Ketaatan kepada Tuhan YME


Tidak ada satupun agama yang mengajarkan keburukan dan membawa
manusia kepada kehinaan. Keyakinan yang kuat atas ajaran yang telah
ditentukan oleh Tuhan akan membawa manusia kepada kemuliaan akan
senantiasa menggiring seseorang untuk bertindak sesuai dengan tuntunan
Tuhan. Batasan mengenai baik dan buruk diuraikan dengan lebih konkret
dalam ajaran agama. Ajaran mengenai berbuat baik dengan ganjaran pahala

10
dan kebaikan, di samping itu berbuat keburukan dengan ganjaran dosa dan
hukuman sebagai pembalasan bagi pelaku dosa jika ia tidak bertaubat atau
memohon ampunan kepada Tuhannya.
Kesadaran yang tinggi dalam menjalankan ajaran agama yang dianut
adalah sebuah perwujudan integritas yang akan membawa manusia menjadi
sosok individu yang paripurna. Keyakinan bahwa ia akan selalu diawasi oleh
Tuhan akan menjadikannya selalu berhati-hati dalam bertindak agar terjauh dari
keburukan atau dosa. Dalam ajaran Islam, dikenal istilah Ihsan yang bermakna
”...Hendaklah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatNya.
Kalaupun engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR.
Muslim, nomor 8). Kepercayaan dan ketaatan yang kuat mengenai satu poin ini
saja cukup kuat menjadikan seseorang untuk cenderung berbuat kebaikan
ketimbang memilih jalan keburukan. Tak hanya dalam ajaran Islam, umat
Kristiani pun meyakini bahwa “Barangsiapa percaya kepada Anak, ia beroleh
hidup yang kekal, tetapi barangsiapa tidak taat kepada Anak, ia tidak akan
melihat hidup, melainkan murka Allah tetap ada di atasnya." (Yohanes 3:36).
Keyakinan seseorang akan adanya hukuman atau pembalasan atas setiap
dosa yang dilakukannya akan menuntunnya untuk senantiasa berbuat baik dan
menghindari perbuatan buruk/dosa.
Inilah alasan penting mengapa ketaatan kepada Tuhan Yang Maha Esa
menjadi salah satu bentuk langkah nyata untuk melahirkan integritas di dalam
diri kita. Senantiasa belajar untuk meningkatkan pengetahuan agama dan
bergaul dengan lingkungan orang-orang yang taat dengan ajaran agama
menjadi salah satu langkah awal untuk membangun keaatan diri kepada ajaran
agama yang kita anut.

2. Kejujuran
Kejujuran mungkin menjadi hal yang hampir terlihat mustahil untuk ada
pada diri setiap orang belakangan ini. Pandangan ini juga tidak terlepas dari
fenomena ketidakjujuran tokoh-tokoh yang cukup terpandang di sekitar kita
yang kerap mempertontonkan perilaku curang, keji, dan berbohong secara

11
terbuka di hadapan kita semua. Ini semua setidaknya meruntuhkan pandangan
kita mengenai urgensi kejujuran dalam menjalani kehidupan ataupun profesi.
Bahkan lebih parahnya lagi, kita seolah menafikan kejujuran oleh siapapun
dengan cenderung berburuk sangka dengan kebaikan atau kejujuran yang
dilakukan oleh orang lain.
Jujur berarti lurus hati, tidak bohong, tidak curang, dan mengikuti aturan
yang berlaku. Kejujuran juga menjadi hal pokok dalam kehidupan seorang
individu sebagai makhluk sosial. Kejujuran dapat diukur ketika seorang individu
berinteraksi dengan individu lain, karena kejujuran yang paling sederhana
terwujud ketika seseorang memilih untuk bersikap lurus, tidak membohongi
orang lain, atau mencurangi orang lain yang berinteraksi dengannya. Di balik itu
semua, kejujuran yang paling utama ialah kejujuran pada diri sendiri. Pada
dasarnya setiap kali seseorang ingin melakukan perbuatan buruk, maka ia akan
menghadapi penolakan pada hati nuraninya. Keadaan ini kadang diabaikan
hingga mengubah cara pandangnya dalam memandang sesuatu yang pada
awalnya buruk, menjadi hal yang wajar untuk dilakukan. Inilah bentuk kejujuran
terhadap diri sendiri yang jauh lebih fundamental untuk dilatih secara terus
menerus yang akan membersihkan pandagan hati nurani, yang akan
menjadikan kita sebagai individu yang jujur sebagai wujud integritas diri.

3. Disiplin
Kata disiplin mengarahkan fikiran kita mengenai pola hidup yang teratur,
tertib, taat pada aturan. Disiplin menjadi cerminan utama jati diri yang
berintegritas. Displin juga dapat disebut sebagai wujud konkret dan hasil dari
sebuah ketaatan kepada Tuhan Yang Maha Esa, kejujuran, dan tanggung
jawab seseorang terhadap aturan yang ada dalam kehidupannya. Sebagai
sebuah contoh sederhana, seorang yang beragama terikat pada waktu-waktu
tertentu baik dalam hal ibadah maupun mengenai tata cara kehidupan. Seorang
muslim diperintahkan untuk melaksanakan ibadah shalat 5 (lima) kali dalam
sehari yang waktunya telah ditetapkan. Indikator ketaatan kepada Tuhan Yang
Maha Esa pada seseorang dalam hal ini dapat dilihat pada bagaimana

12
seseorang mampu disiplin melaksanakan ibadahnya sesuai waktu dan tata cara
yang telah ditetapkan tersebut.
Begitupun disiplin hadir sebagai konsekuensi logis dari adanya kejujuran
dan tanggung jawab dalam diri seseorang. Para pembohong bermula dengan
pilihan seseorang yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa
yang ia inginkan. Untuk memperoleh keinginannya tersebut ia akan cenderung
berbuat curang dan melanggar aturan/ketentuan yang berlaku. Perbuatan yang
seperti ini juga dilakukan karena seorang pembohong siap atau bermaksud
untuk menghindari tanggung jawab atas apa yang seharusnya ia lakukan,
sehingga ia memilih jalan curang untuk meraih keinginannya dan merugikan
kepentingan orang lain. Keadaan ini tentu sangat bertentangan dengan nilai
disiplin itu sendiri. Disiplin adalah cerminan nyata atas adanya nilai-nilai
kebaikan dalam diri seseorang. Inilah alasan mengapa displin menjadi salah
satu poin penting perwujudan nilai integritas.

4. Tanggung Jawab
Inilah sebuah sikap yang dalam pergaulan sehari-hari juga dikenal sebagai
sikap yang gentle. Tanggung jawab diartikan juga sebagai keadaan wajib
menanggung segala sesuatunya (kalau terjadi apa-apa boleh dituntut,
dipersalahkan, diperkarakan, dan sebagainya, atau fungsi menerima
8
pembebanan, sebagai akibat sikap pihak sendiri atau pihak lain. Sikap ini
menjadi penting sebagai sebuah wujud inegritas, karena adanya sikap
tanggung jawab pada diri seseorang akan menuntunnya untuk senantiasa
menghindari perbuatan buruk atau tercela yang akan menimbulkan dampak
buruk bagi dirinya.
Hilangnya rasa tanggung jawab pada diri seseorang akan menjadikannya
berani untuk berbuat sesukanya untuk kepentingan-kepentingan pribadinya
tanpa menghiraukan dampak yang akan terjadi. Atas dampak perbuatannya
tersebut, seseorang tanpa rasa tanggung jawab akan melanjutkan tindakan
buruknya untuk menghindari pembebanan atas dampak dari perbuatannya

8
Op.Cit., Kamus Besar Bahasa Indonesia Offline 1.5

13
tersebut. Keberanian untuk bertanggung jawab tentu muncul ketika seseorang
memiliki dan menjunjung tinggi harga dirinya di tengah kehidupan masyarakat.
Inilah sebab mengapa sikap yang bertanggung jawab menjadi syarat mutlak
bagi seorang pemimpin. Seseorang yang dipilih atau diangkat sebagai
pemimpin bagi sekelompok orang pada dasarnya ialah pendelegasian
tanggung jawab dari orang-orang yang dipimpin kepada pemimpinnya. Seorang
pemimipin artinya menerima dan mengambil alih beban dari orang-orang yang
dipimpinnya untuk kemudian dikelola demi mencapai tujuan bersama dari
kelompok yang dipimpinnya tersebut. Tentu jiwa kepemimpinan ini harus ada
pada setiap diri kita. Setiap kita pada dasarnya telah ditakdirkan sebagai
seorang pemimpin. Entah kemudian kita diberi kesempatan untuk memegang
jabatan tertentu dalam lingkugan pekerjaan atau organisasi kita, di luar itu
semua kita telah menjadi seorang pemimpin. Seorang kakak menjadi pemimpin
bagi adik-adiknya, seorang ibu menjadi pemimpin dan contoh bagi anak-
anaknya, seorang ayah atau suami menjadi pemimpin dalam keluarganya. Oleh
sebab itu, rasa tanggung jawab harus senantiasa ada dalam setiap diri untuk
menjadi seorang yang berintegritas.

5. Kesantunan
Santun diartikan dalam KBBI sebagai sebuah sikap yang halus dan baik,
sabar, tenang, dan sopan. Tentu tak ada yang mengingkari bahwa bersikap
santun adalah baik. Kecermatan menempatkan diri di tengah pergaulan sosial
maupun lingkungan keperjaan menjadi langkah awal untuk melahirkan sifat
santun. Dalam adat Minangkabau mengenal kato nan ampek (kata yang empat)
sebagai pedoman bagi seseorang dalam berinteraksi dengan orang lain di
lingkungan kehidupannya. Adapun kato nan ampek ini terdiri dari:
a. Kato mandaki
Kato mandaki atau kata mendaki adalah tata bicara seseorang kepada orang
yang lebih tua dari kita seperti berbicara kepada orang yang lebih tua. Tentu
kita harus memperhatikan setiap kata-kata yang kita gunakan, kita harus
tahu kapan saatnya kita bicara serius ataupun bercanda.

14
b. Kato manurun
Berbeda dengan kato mandaki, kato manurun atau kata menurun digunakan
saat kita berbicara kepada orang yang lebih muda daripada kita. Karena
lawan berbicara kita adalah orang yang lebih kecil dan belum sedewasa kita,
maka bahasa yang digunakan adalah bahasa lemah lembut dan kita boleh
bicara dengan keras saat menasihatinya.
c. Kato mandata
Kato mandata atau kata mendatar adalah tata bicara kita kepada teman
sebaya atau kepada orang yang seumuran dengan kita. Bahasa yang
digunakan adalah bahasa pergaulan yang baik. Tetap saling menghormati
walaupun dalam bercanda dengan cara-cara yang wajar dan dapat diterima
oleh lawan bicara tersebut.
d. Kato malereang
Kato malereang atau kata melereng adalah tata bicara kita terhadap orang
yang kita segani. Berbeda dengan kato mandaki, kato malereang digunakan
kepada orang yang kita segani seperti orang yang terikat karena hubungan
semenda yakni ipar atau keluarga dari suami/istri dan pembicaran antar
tokoh adat, agama dan pemimpin. Dalam kato malereang, bahasa yang
digunakan adalah bahasa sesuai dengan situasinya. Di Minangkabau jika
kita berbicara dengan pemuka adat, biasanya mereka menggunakan kata-
kata kiasan dan kata-kata yang penuh makna. Oleh sebab itu kata-kata yang
digunakan haruslah memikirkan dahulu apa yang dikatakan, jangan
mengatakan apa yang dipikirkan.
Dari hal tersebut di atas kita perlu belajar untuk menempatkan diri dengan
benar di tengah lingkungan kehidupan kita dengan menjaga sikap dan tutur
kata. Kesantunan akan menghasilkan ciri pribadi yang baik dan dapat diterima
oleh masyarakat. Ini menjadi salah satu bentuk perwujudan integritas diri
karena kesantunan akan memancarkan kebaikan dan kewibawaan dari diri
seseorang.

15
B. Integritas Jaksa Indonesia

Sebagai sebuah profesi, keberadaan para personil jaksa yang berintegritas


sudah menjadi sebuah keniscayaan. Kejaksaan RI sebagai institusi pemerintahan
yang menjadi tempat bernaung para jaksa di Indonesia ini pada dasarnya telah jauh
hari menyusun sebuah doktrin yang harus menjadi ruh semangat dan pedoman bagi
seluruh personil pada institusi ini dalam bekerja dan melaksanakan tugas serta
wewenangnya. Doktrin ini disebut dengan Tri Krama Adhyaksa yang merupakan 3
(tiga) nilai utama yang harus selalu ada pada setiap personil Kejaksaan RI. Pada
bagian ini, kita akan mempelajari dan mencoba senantiasa menghayati penerapan
nilai Tri Krama Adhyaksa ini dalam kehidupan sehari-hari.

1. Doktrin Tri Krama Adhyaksa


Kejaksaan Republik Indonesia sejatinya telah ada sejak kemerdekaan
Indonesia diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 silam. Dua hari setelahnya, yakni
tanggal 19 Agustus 1945, dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI) diputuskan kedudukan Kejaksaan dalam struktur Negara Republik Indonesia,
yakni dalam lingkungan Departemen Kehakiman. Namun, pada 22 Juli 1960, Kabinet
Kerja I memutuskan untuk mengubah status Kejaksaan, dari lembaga non
departemen yang berada di bawah Departemen Kehakiman menjadi lembaga yang
berdiri sendiri. Keputusan Kabinet Kerja I pada 22 Juli 1960 itu kemudian diperkuat
dengan Keputusan Presiden No 204 tahun 1960 tanggal 15 Agustus 1960 yang
berlaku surut mulai 22 Juli 1960. Selanjutnya pada 2 Januari 1961 Menteri/Jaksa
Agung Mr Gunawan dengan surat keputusan nomor Org/A.51/1 menetapkan 22 Juli
sebagai hari kejaksaan.
Hari Kejaksaan 22 Juli 1960 merupakan tonggak sejarah yang mempunyai
nilai penting bagi Kejaksaan, sebab tidak hanya secara formal dan material saja
Kejaksaan menjadi departemen tersendiri, tetapi lebih jauh juga memiliki dasar-
dasar nilai spiritual Kejaksaan bukan hanya departemen yang mengurusi dan
mengelola anggaran, personel dan administrasi sendiri tapi 22 Juli mengingatkan
setiap warga Kejaksaan akan senantiasa membina semangat korps yakni tegaknya

16
Kejaksaan sebagai korps yang ikut terjun dalam pengabdian terhadap nusa, bangsa
dan negara selaku penuntut umum.
Jaksa Agung Letjen Soegih Arto yang menjabat Jaksa Agung pada April 1966
memberikan pegangan mental para pegawai Kejaksaan dalam melaksanakan
tugasnya, yaitu jujur, ramah tamah dan bertanggung jawab. Ketiga pegangan mental
itu kemudian disempurnakan Jaksa Agung Ali Said SH menjadi Doktrin Kejaksaan
Tri Krama Adhyaksa yaitu Setya, Adi dan Wicaksana. Selain itu juga diciptakan
Panji Korps dan Doktrin Korps.9
Sebagai figur yang profesional, berintegritas dan berdisiplin, setiap pegawai
Kejaksaan RI harus berpedoman pada doktrin Tri Krama Adhyaksa yaitu: Satya,
Adhi dan Wicaksana, sebagaimana diatur dalam KEPJA Nomor: Kep-
030/JA/3/1988.
SATYA : Kesetiaan yang bersumber pada rasa jujur baik terhadap Tuhan
Yang Maha Esa, terhadap diri sendiri dan keluarga maupun
terhadap sesama manusia;
ADHI : Kesempurnaan dalam bertugas dan berunsur utama pemilikan
rasa tanggung jawab bertanggung jawab terhadap Tuhan Yang
Maha Esa, keluarga, dan terhadap sesama manusia;
WICAKSANA: Bijaksana dalam tutur kata dan tingkah laku khususnya dalam
pengetrapan kekuasaan dan kewenangannya.
Doktrin Tri Krama Adhyaksa merupakan landasan moral bagi Korps
Adhyaksa dalam menunaikan tugas dan fungsinya sebagai abdi negara penegak
hukum. Sebagai abdi negara penegak hukum, pada hakekatnya jaksa merupakan
abdi masyarakat yang berusaha turut berfungsi sebagai pencari kebenaran,
pendamba keadilan dan pewujud kepastian hukum dalam rangka memelihara dan
mewujudkan keamanan dan ketertiban menuju tercapainya kesejahteraan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia sesuai amanat Undang-Undang Dasar 1945.

9
www.jaksamenyapa.com. diakses tanggal 26 Mei 2019

17
Pengertian dan Pemahaman Unsur dalam Doktrin Tri Krama Adhyaksa
Jabatan penegak hukum bukan sekedar lahan pekerjaan (vocation) namun
juga merupakan profesi. Penegak hukum sebagai seorang profesional dituntut
untuk mempunyai tiga karakteristik, yaitu: keahlian (expertise), tanggung jawab
(responsibility)/pertanggungjawaban sosial (social responsibility), serta rasa
kesatuan dan keterikatan (corporateness) dalam menegakkan martabat
kompetensi profesinya. Samuel P. Huntington dalam bukunya berjudul ”Prajurit
dan Negara. Teori dan Politik Hubungan Militer-Sipil (The Soldier and The State)”
menegaskan: “The distinguishing characteristics of a profession as a special type
of vocation are its expertise, responsibility and corporateness” (Hal yang
membedakan karakteristik sebuah profesi sebagai suatu jenis pekerjaan yang
khusus adalah keahlian, tanggung jawab, dan kesatuannya).
Keahlian. Orang yang profesional adalah seorang ahli yang memiliki
pengetahuan dan ketrampilan khusus dalam suatu bidang yang penting, yang
merupakan kerja keras manusia. Keahliannya diperoleh hanya dari pendidikan
yang tinggi dan pengalaman. Ini menjadi dasar dari standar obyektif kemampuan
profesional yang membedakan profesi dengan orang awam dan mengukur
kemampuan relatif para anggota profesi tersebut. Standar-standar tersebut
bersifat universal. Melekat dalam pengetahuan dan ketrampilan serta dapat
diaplikasikan secara umum tanpa dibatasi oleh waktu dan tempat.....
Tanggung jawab. Orang yang profesional adalah seorang yang ahli dalam
praktek profesinya, bekerja dalam sebuah konteks sosial, dan melakukan suatu
pelayanan, ... yang sifatnya penting bagi fungsi masyarakat. ... Karakter inti dan
umum pelayanannya dan sifat monopoli terhadap ketrampilan yang dimilikinya
membebani para profesional dengan tanggung jawab untuk memberikan
pelayanan pada saat diperlukan oleh masyarakat. Tanggung jawab sosial ini
membedakan seorang profesional dengan para ahli lainnya yang hanya memiliki
ketrampilan intelektual.
Kesatuan. Para anggota dari suatu profesi saling berbagi rasa persatuan dan
kesadaran akan keberadaan mereka sebagai sebuah kelompok yang berbeda dari
orang awam. Rasa kebersamaan ini bersumber dari kedisiplinan dan pelatihan

18
kemampuan profesional, ikatan kerja bersama, dan saling berbagi suatu tanggung
jawab sosial yang unik. Rasa kesatuan terwujud dalam suatu organisasi
profesional yang membentuk dan menerapkan standar tanggung jawab
profesional....
Mengacu pada penegasan di muka, jabatan penegak hukum sebagai jabatan
profesi, di samping harus mempunyai tugas dan wewenang sesuai dengan
perkembangan zaman serta dinamika masyarakat; juga dituntut memiliki
kemampuan kognitif dan afektif dalam penegakan hukum dan keadilan.
Kemampuan kognitif berarti kemampuan yang berkaitan dengan pengenalan dan
penafsiran lingkungan oleh seseorang yang bercirikan keilmuan. Sedangkan
kemampuan afektif berkenaan dengan perasaan yang tercermin pada sikap
seseorang yang ditandai oleh tanggungjawab sosialnya. Contohnya, di kalangan
Kejaksaan yang merupakan salah satu dari institusi penegak hukum, sebagai
upaya untuk mewujudkan karakteristik profesi Jaksa yang memenuhi tuntutan
kognitif dan afektif sesuai misi dan tugas Kejaksaan, sejak lama Kejaksaan telah
memiliki Doktrin Tri Krama Adhyaksa yang mengandung 3 (tiga) ajaran
fundamental.
Dari berbagai nilai-nilai dasar yang harus dimiliki oleh seorang Jaksa sebagai
aparat penegak hukum dan pelayan publik, maka dalam sesi ini Peserta akan
mempelajari lima (5) prinsip dasar yang disaring antara lain dari Tri Krama
Adhyaksa yang kemudian diturunkan ke dalam Satya, Adhi, Wicaksana serta
berbagai prinsip internasional lainnya yaitu dari International Association of
Prosecutor (IAP) dalam Standards of Professional Responsibility and Statement of
the Essential Duties and Rights of Prosecutors10 (yang akan secara singkat
disebut Standar IAP) dan Pedoman Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yaitu

10
Guidelines on the Role of Prosecutors disetujui dalam United Nations Congress on the Prevention of Crime and
the Treatment of Offenders di Havana, Cuba. Perhatian atas profesionalisme Jaksa tercermin dalam salah satu butir
pertimbangan yang menyatakan:
“Whereas it is essential to ensure that prosecutors possess the profesional qualifications required for the
accomplishment of their functions, through improved methods of requirement and legal and professional training,
and through the provision of all necessary means for the proper performance of their role in combating
criminality, particularly in its new forms and dimensions.”

19
Guidelines on the Rule of Prosecutors11, maka ada 5 prinsip dasar yang akan
dipelajari dalam sesi ini :
1. Integritas
Nilai integritas itu sendiri merupakan suatu nilai dasar yang harus dimiliki
oleh seorang Jaksa, yaitu dimana seorang Jaksa dituntut untuk bersikap dan
bertindak secara konsisten sesuai dengan nilai-nilai dan kebijakan lembaga
serta kode etik profesi, walaupun dalam keadaan sulit untuk melakukan ini,
tidak mudah dipengaruhi oleh siapapun dengan cara apapun.

2. Profesional
Hal ini diatur secara spesifik juga dalam IAP yaitu:
a. Seorang Jaksa harus setiap saat menjaga kehormatan dan martabat
profesi mereka, selalu melaksanakan tugas secara profesional sesuai
dengan Undang-Undang dan peraturan serta etika profesi mereka.
Senantiasa melaksanakan tugasnya dengan integritas dan perhatian serta
ketelitian dengan standar tertinggi.
b. Dalam menjaga perilaku profesional, penting bagi Jaksa untuk mengikuti
perkembangan informasi dengan baik, termasuk didalamnya adalah
mengikuti perkembangan-perkembangan hukum yang relevan.
c. Jaksa harus berusaha dengan sebaik mungkin untuk menjadi, dilihat
sebagai orang yang konsisten, independen dan tidak memihak.
d. Sebagai seorang penuntut umum, Jaksa harus selalu melindungi hak-hak
terdakwa agar mendapatkan persidangan yang adil, dan secara khusus
memastikan bahwa barang-barang bukti yang dapat meringankan
terdakwa tersimpan dengan baik sesuai dengan Undang-Undang atau
persyaratan dari persidangan yang adil.

11
Standards of Profesional Responsibility and Statement of the Essential Duties and the Rights of Prosecutors,
ditetapkan oleh International Association of Prosecutors (IAP) pada tanggal 23 April 1999. IAP merupakan
Asosiasi Jaksa bertaraf Internasional yang didirikan pada bulan Juni 1995 di kantor PBB di Wina dan secara resmi
dilantik pada bulan September 1996 di Rapat Umum pertama di Budapest. IAP berkomitmen untuk menetapkan
dan meningkatkan standar perilaku profesional dan etika bagi Jaksa di seluruh dunia; mempromosikan supremasi
hukum, keadilan, ketidakberpihakan, dan menghormati hak asasi manusia dan meningkatkan kerjasama
internasional untuk memerangi kejahatan.

20
e. Selalu memberikan layanan dan melindungi kepentingan publik;
menghormati, melindungi dan menjunjung tinggi konsep martabat dan hak
asasi manusia secara universal.

3. Mandiri
Dalam doktrin Tri Krama Adhyaksa dimana salah satu unsurnya adalah
“adhi” yang diwujudkan dalam mandiri yang artinya memperluas wawasan.
Jaksa harus meningkatkan kompetensi dan kapasitas baik dalam bidang
pengetahuan maupun keterampilannya. Jaksa harus memiliki pandangan
yang terbuka dan bersifat global. Jaksa harus senantiasa memandang
dirinya sendiri dan menyesuaikan dengan dinamika lingkungan yang terjadi
disekitarnya. Cara yang paling utama untuk meningkatkan wawasan adalah
dengan senantiasa belajar baik dari ilmu pengetahuan maupun dari
pengalaman, secara mandiri maupun secara formal.
Sementara prinsip mandiri dalam IAP dalam hal ini lebih menitikberatkan
pada hak diskresi yaitu antara lain:
a. Penggunaan hak diskresi harus dilaksanakan secara independen/mandiri
dan bebas dari pengaruh politis.
b. Jika otoritas selain dari kalangan Kejaksaan memiliki hak khusus dalam
memberi instruksi kepada para Jaksa Penuntut umum, maka instruksi
tersebut harus:
I. transparan;
II. konsisten dengan kewenangan yang dimilikinya;
III. tunduk pada acuan yang telah ditentukan untuk menjaga/melindungi
aktualitas dan persepsi independensi penuntutan perkara.
c. Hak apapun yang dimiliki pihak di luar Kejaksaan untuk mengarahkan
institusi Kejaksaan mengenai prosedur dan penghentian sebuah proses
penuntutan yang telah diatur berdasarkan hukum haruslah diperlakukan
dengan cara yang sama.

21
4. Imparsialitas
Menurut IAP maka imparsialitas adalah:
a. Jaksa penuntut umum harus melaksanakan tugasnya tanpa rasa takut,
rasa keberpihakan ataupun prasangka.
b. Secara khusus mereka harus:
I. Melaksanakan fungsi mereka dengan tanpa memihak;
II. Tidak terpengaruh oleh kepentingan individu maupun kepentingan
segelintir orang lainnya serta tekanan publik maupun media; bertindak
dengan obyektifitas;
III. memperhatikan seluruh keadaan yang relevan, mengesampingkan
pandangan apakah keadaan-keadaan tersebut menguntungkan atau
tidak bagi tersangka;
IV. sesuai dengan Undang-Undang ataupun persyaratan setempat
mengenai sebuah persidangan yang adil, berusaha memastikan
bahwa seluruh pemeriksaan yang dilakukan wajar dan penting
dilakukan dan hasilnya disampaikan, tidak mempedulikan apakah hal
tersebut menunjukkan kesalahan atau justru ketidakbersalahan
tersangka;
V. selalu mencari kebenaran dan membantu persidangan untuk
mendapatkan kebenaran dan melaksanakan keadilan kepada
masyarakat, korban serta terdakwa sesuai dengan Undang-Undang
dan prinsip keadilan.
5. Disiplin
Disiplin adalah suatu unsur dimana seorang Jaksa dituntut untuk selalu
bertindak sesuai dengan aturan dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku baik secara internal Kejaksaan ataupun dalam lingkup nasional dan
internasional.

2. Jaksa sebagai Aparatur Sipil Negara


Pengaturan mengenai profesi jaksa utamanya diatur dalam Undang-undang
No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan (UU Kejaksaan) serta peraturan-peraturan

22
turunannya. Dalam Pasal 9 ayat (1) UU Kejaksaan disebutkan bahwa salah satu
syarat menjadi jaksa adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS). Pegawai Negeri Sipil
termasuk dalam lingkup Aparatur Sipil Negara (ASN) yang diatur dalam Undang-
undang No. 15 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN). Status jaksa
sebagai PNS sebagaimana diamanatkan dalam UU Kejaksaan, membuat profesi
jaksa harus tunduk pula kepada UU ASN. Hal- hal yang perlu menjadi perhatian oleh
jaksa sebagai ASN adalah mengenai Kewajiban dan Larangan sebagaimana diatur
dalam PP NO.53 Tahun 2010 Tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. mengenai
kewajiban tercantum di pasal 3 yaitu:
Setiap PNS wajib:
1. mengucapkan sumpah/janji PNS;
2. mengucapkan sumpah/janji jabatan;
3. setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan
Pemerintah; menaati segala ketentuan peraturan perundangundangan;
4. melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan kepada PNS dengan penuh
pengabdian, kesadaran, dan tanggung jawab;
5. menjunjung tinggi kehormatan negara, Pemerintah, dan martabat PNS;
mengutamakan kepentingan negara daripada kepentingan sendiri, seseorang,
dan/atau golongan;
6. memegang rahasia jabatan yang menurut sifatnya atau menurut perintah harus
dirahasiakan;
7. bekerja dengan jujur, tertib, cermat, dan bersemangat untuk kepentingan negara;
8. melaporkan dengan segera kepada atasannya apabila mengetahui ada hal yang
dapat membahayakan atau merugikan negara atau Pemerintah terutama di
bidang keamanan, keuangan, dan materiil;
9. masuk kerja dan menaati ketentuan jam kerja;
10. mencapai sasaran kerja pegawai yang ditetapkan;
11. menggunakan dan memelihara barang-barang milik negara dengan sebaik-
baiknya; memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat;
12. membimbing bawahan dalam melaksanakan tugas;

23
13. memberikan kesempatan kepada bawahan untuk mengembangkan karier; dan
14. menaati peraturan kedinasan yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang.

dan larangan terdapat dalam pasal 4, yang berbunyi:


Setiap PNS dilarang:
1. menyalahgunakan wewenang;
2. menjadi perantara untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan/atau orang lain
dengan menggunakan kewenangan orang lain;
3. tanpa izin Pemerintah menjadi pegawai atau bekerja untuk negara lain
dan/atau lembaga atau organisasi internasional;
4. bekerja pada perusahaan asing, konsultan asing, atau lembaga swadaya
masyarakat asing;
5. memiliki, menjual, membeli, menggadaikan, menyewakan, atau meminjamkan
barang-barang baik bergerak atau tidak bergerak, dokumen atau surat
berharga milik negara secara tidak sah;
6. melakukan kegiatan bersama dengan atasan, teman sejawat, bawahan, atau
orang lain di dalam maupun di luar lingkungan kerjanya dengan tujuan untuk
keuntungan pribadi, golongan, atau pihak lain, yang secara langsung atau
tidak langsung merugikan negara; memberi atau menyanggupi akan
7. memberi sesuatu kepada siapapun baik secara langsung atau tidak langsung
dan dengan dalih apapun untuk diangkat dalam jabatan;
8. menerima hadiah atau suatu pemberian apa saja dari siapapun juga yang
berhubungan dengan jabatan dan/atau pekerjaannya;
9. bertindak sewenang-wenang terhadap bawahannya;
10. melakukan suatu tindakan atau tidak melakukan suatu tindakan yang dapat
menghalangi atau mempersulit salah satu pihak yang dilayani sehingga
mengakibatkan kerugian bagi yang dilayani;
11. menghalangi berjalannya tugas kedinasan;

24
12. memberikan dukungan kepada calon Presiden/Wakil Presiden, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, atau Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah dengan cara:
a. ikut serta sebagai pelaksana kampanye;
b. menjadi peserta kampanye dengan menggunakan atribut partai atau
atribut PNS;
c. sebagai peserta kampanye dengan mengerahkan PNS lain; dan/atau
d. sebagai peserta kampanye dengan menggunakan fasilitas negara
13. memberikan dukunngan kepada calon presiden/wakil presiden dengan cara:
a. membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau
merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye; dan/atau
b. mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap
pasangan calon yang menjadi peserta pemilu sebelum, selama, dan
sesudah masa kampanye meliputi pertemuan, ajakan, himbauan, seruan,
atau pemberian barang kepada PNS dalam lingkungan unit kerjanya,
anggota keluarga, dan masyarakat;

14. memberikan dukungan kepada calon anggota Dewan Perwakilan Daerah atau
calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dengan cara memberikan surat
dukungan disertai foto kopi Kartu Tanda Penduduk atau Surat Keterangan
Tanda Penduduk sesuai peraturan perundangundangan; dan 015.
memberikan dukungan kepada calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah,
dengan cara:
a. terlibat dalam kegiatan kampanye untuk mendukung calon Kepala
Daerah/Wakil Kepala Daerah;
b. menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatan dalam kegiatan
kampanye;
c. membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau
merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye; dan/atau
d. mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap
pasangan calon yang menjadi peserta pemilu sebelum, selama, dan

25
sesudah masa kampanye meliputi pertemuan, ajakan, himbauan, seruan,
atau pemberian barang kepada PNS dalam lingkungan unit kerjanya,
anggota keluarga, dan masyarakat.

sanksi yang dikenakan dapat dilihat dalam pasal 7 yaitu:


1) Tingkat hukuman disiplin terdiri dari:
a. hukuman disiplin ringan;
b. hukuman disiplin sedang; dan
c. hukuman disiplin berat.
2) Jenis hukuman disiplin ringan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
terdiri dari:
a. teguran lisan;
b. teguran tertulis; dan
c. pernyataan tidak puas secara tertulis.
3) Jenis hukuman disiplin sedang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
terdiri dari:
a. penundaan kenaikan gaji berkala selama 1 (satu) tahun;
b. penundaan kenaikan pangkat selama 1 (satu) tahun; dan
c. penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama 1 (satu) tahun.
4) Jenis hukuman disiplin berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terdiri
dari:
a. penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama 3 (tiga) tahun;
b. pemindahan dalam rangka penurunan jabatan setingkat lebih rendah;
c. pembebasan dari jabatan;
d. pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai
PNS; dan
e. pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS.

26
BAB III

KODE PERILAKU JAKSA

Pengertian
Sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang
penuntutan serta tugas-tugas lain berdasarkan peraturan perundang-undangan,
Kejaksaan memerlukan adanya satu tata pikir, tata laku dan tata kerja Jaksa dengan
mengingat norma-norma agama, susila, kesopanan serta memperhatikan rasa keadilan
dan nilai-nilai kemanusiaan dalam masyarakat.
Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, diperlukan sosok Jaksa sebagai
abdi hukum yang profesional, memiliki integritas kepribadian, disiplin, etos kerja yang
tinggi dan penuh tanggungjawab, senantiasa mengaktualisasikan diri dengan
memahami perkembangan global, tanggap dan mampu menyesuaikan diri dalam
rangka memelihara citra profesi dan kinerja jaksa serta tidak bermental korup.
Jaksa sebagai pejabat publik senantiasa menunjukkan pengabdiannya melayani
publik dengan mengutamakan kepentingan umum, menaati sumpah jabatan,
menjunjung tinggi doktrin Tri Krama Adhyaksa, serta membina hubungan kerjasama
dengan pejabat publik lainnya. Jaksa sebagai anggota masyarakat selalu menunjukkan
keteladanan yang baik, bersikap dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai yang hidup
dan berkembang serta peraturan perundang-undangan.
Jaksa Agung selaku pimpinan dan penanggung jawab tertinggi kejaksaan yang
memimpin, mengendalikan pelaksanaan tugas, dan wewenang kejaksaan dalam
rangka menjaga kehormatan dan martabat profesi sebagaimana diamanatkan dalam
Undang-Undang Kejaksaan R.I. menetapkan PERJA No. PER-014/A/JA/11/2012
tentang Kode Perilaku Jaksa, yang pada Pasal 1 ayat (3) “Kode Perilaku Jaksa adalah
serangkaian norma penjabaran dari kode etik Jaksa, sebagai pedoman keutamaan
mengatur perilaku jaksa baik dalam menjalankan tugas profesinya, menjaga
kehormatan dan martabat profesinya, maupun dalam melakukan hubungan
kemasyarakatan diluar kedinasan”

27
Kewajiban-kewajiban Dalam Menjalankan Profesi Jaksa
Dalam PERJA No. PER-014/A/JA/11/2012 tentang Kode Perilaku Jaksa, pada
Pasal 3 tentang kewajiban jaksa terhadap negara diantaranya:
a. setia dan taat kepada Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
b. bertindak berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
mengindahkan norma agama, kesopanan, kesusilaan yang hidup dalam
masyarakat dan menjunjung tinggi hak asasi manusia; dan
c. melaporkan dengan segera kepada pimpinannya apabila mengetahui hal yang
dapat membahayakan atau merugikan negara.

Pasal 4
Kewajiban Jaksa kepada Institusi:
a. menerapkan Doktrin Tri Krama Adhyaksa dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya;
b. menjunjung tinggi sumpah dan/atau janji jabatan Jaksa;
c. menjalankan tugas sesuai dengan visi dan misi Kejaksaan Republik Indonesia;
d. melaksanakan tugas sesuai peraturan kedinasan dan jenjang kewenangan;
e. menampilkan sikap kepemimpinan melalui ketauladanan, keadilan, ketulusan dan
kewibawaan; dan
f. mengembangkan semangat kebersamaan dan soliditas serta saling memotivasi
untuk meningkatkan kinerja dengan menghormati hak dan kewajibannya

Pasal 5
Kewajiban Jaksa kepada Profesi Jaksa:
a. menjunjung tinggi kehormatan dan martabat profesi dalam melaksanakan tugas
dan kewenangannya dengan integritas, profesional, mandiri, jujur dan adil;
b. mengundurkan diri dari penanganan perkara apabila mempunyai kepentingan
pribadi atau keluarga;
c. mengikuti pendidikan dan pelatihan sesuai dengan peraturan kedinasan;

28
d. meningkatkan ilmu pengetahuan, keahlian, dan teknologi, serta mengikuti
perkembangan hukum yang relevan dalam lingkup nasional dan internasional;
e. menjaga ketidakberpihakan dan objektifitas saat memberikan petunjuk kepada
Penyidik;
f. menyimpan dan memegang rahasia profesi, terutama terhadap
tersangka/terdakwa yang masih anak-anak dan korban tindak pidana kesusilaan
kecuali penyampaian informasi kepada media, tersangka/keluarga,
korban/keluarga, dan penasihat hukum sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
g. memastikan terdakwa, saksi dan korban mendapatkan informasi dan jaminan
atas haknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan hak asasi
manusia; dan
h. memberikan bantuan hukum, pertimbangan hukum, pelayanan hukum,
penegakan hukum atau tindakan hukum lain secara profesional, adil, efektif,
efisien, konsisten, transparan dan menghindari terjadinya benturan kepentingan
dengan tugas bidang lain

Pasal 6
Kewajiban Jaksa kepada masyarakat:
a. memberikan pelayanan prima dengan menjunjung tinggi supremasi hukum dan
hak asasi manusia; dan
b. menerapkan pola hidup sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku dalam
masyarakat.

Larangan-larangan dalam Menjalankan Jabatan Profesi Jaksa.


Dalam PERJA No. PER-014/A/JA/11/2012 tentang Kode Perilaku Jaksa,
pada Pasal 7 tentang Larangan diatur sebagai berikut:
(1) Dalam melaksanakan tugas Profesi Jaksa dilarang:
a. memberikan atau menjanjikan sesuatu yang dapat memberikan
keuntungan pribadi secara langsung maupun tidak langsung bagi diri
sendiri maupun orang lain dengan menggunakan nama atau cara apapun;

29
b. meminta dan/atau menerima hadiah dan/atau keuntungan dalam bentuk
apapun dari siapapun yang memiliki kepentingan baik langsung maupun
tidak langsung;
c. menangani perkara yang mempunyai kepentingan pribadi atau keluarga,
atau finansial secara langsung maupun tidak langsung;
d. melakukan permufakatan secara melawan hukum dengan para pihak yang
terkait dalam penanganan perkara; e. memberikan perintah yang
bertentangan dengan norma hukum yang berlaku;
e. merekayasa fakta-fakta hukum dalam penanganan perkara;
f. menggunakan kewenangannya untuk melakukan penekanan secara fisik
dan/atau psikis; dan menggunakan barang bukti dan alat bukti yang patut
diduga telah direkayasa atau diubah atau dipercaya telah didapatkan
melalui cara-cara yang melanggar hukum;
(2) Jaksa wajib melarang keluarganya meminta dan/atau menerima hadiah atau
keuntungan dalam bentuk apapun dari siapapun yang memiliki kepentingan
baik langsung maupun tidak langsung dalam pelaksanaan tugas Profesi
Jaksa.
Doktrin Tri Krama Adhyaksa merupakan landasan moral bagi Korps Adhyaksa
dalam menunaikan tugas dan fungsinya sebagai abdi negara penegak hukum. Sebagai
abdi negara penegak hukum, pada hakekatnya jaksa merupakan abdi masyarakat yang
berusaha turut berfungsi sebagai pencari kebenaran, pendamba keadilan dan pewujud
kepastian hukum dalam rangka memelihara dan mewujudkan keamanan dan ketertiban
menuju tercapainya kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sesuai amanat
Undang-Undang Dasar 1945.
Oleh karena itu, seorang jaksa harus memiliki kemampuan profesional,
berintegritas, dan berdisiplin tinggi dalam mengemban bakti profesi kepada masyarakat,
bangsa dan negara yang tercermin dalam Tata Krama Adhyaksa, berisi 15 butir
pedoman perilaku, antara lain :
1. Jaksa adalah insan yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa yang tercermin dari kepribadian yang utuh dalam pemahaman,
penghayatan dan pengamalan pancasila;

30
2. Jaksa sebagai insan yang cinta tanah air dan bangsa senantiasa
mengamalkan dan melestarikan Pancasila serta secara aktif dan kreatif
menjadi pelaku pembangunan hukum dalam mewujudkan masyarakat adil
yang berkemakmuran dan makmur yang berkeadilan;
3. Jaksa mengutamakan kepentingan masyarakat, bangsa dan negara dari pada
kepentingan pribadi atau golongan;
4. Jaksa mengakui adanya persamaan derajat, persamaan hak dan kewajiban
antara sesama pencari keadilan serta menjunjung tinggi asas praduga tak
bersalah, disamping asas-asas hukum yang berlaku;
5. Jaksa dalam melaksanakan tugas dan kewajiban melindungi kepentingan
umum sesuai peraturan perundang-undangan dengan mengindahkan norma-
norma keagamaan, kesopanan dan kesusilaan serta menggali nilai
kemanusiaan, hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat;
6. Jaksa senantiasa berupaya meningkatkan kualitas pengabdiannya dengan
mengindahkan disiplin ilmu hukum, memantapkan pengetahuan dan keahlian
hukum serta memperluas wawasan dengan mengikuti perkembangan dan
kemajuan masyarakat;
7. Jaksa berlaku adil dalam memberikan pelayanan kepada pencari keadilan;
8. Jaksa dalam melaksanakan tugas dan kewajiban senantiasa memupuk serta
mengembangkan kemampuan profesional, integritas pribadi, dan disiplin yang
tinggi;
9. Jaksa menghormati adat kebiasaan setempat yang tercermin dari sikap dan
perilaku baik di dalam maupun di luar kedinasan;
10. Jaksa terbuka untuk menerima kebenaran, bersikap mawas diri,
berani bertanggungjawab dan dapat menjadi teladan di lingkungannya;
11. Jaksa mengindahkan norma-norma kesopanan dan kepatutan dalam
menyampaikan pandangandan menyalurkan aspirasi profesi, disamping
mematuhi hirarki dan aturan kedinasan;
12. Jaksa berbudi luhur serta berwatak mulia, setia, jujur, arif dan bijaksana dalam
tata pikir, tata tutur dan tata laku;
13. Jaksa memelihara rasa kekeluargaan, semangat kesetiakawanan dan

31
mendahulukan kepentingan korps dari pada kepentingan pribadi;
14. Jaksa menjunjung dan membela kehormatan korps serta menjaga harkat dan
martabat profesi;
15. Jaksa senantiasa membina dan mengembangkan kader Adhyaksa dengan
semangat ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri
handayani.

Doktrin Tri Krama Adhyaksa yang kemudian dijabarkan dalam Tata Krama
Adhyaksa sebagai kode etik Jaksa yang menjadi tuntutan, tata pikir, tata tutur dan tata
laku dalam mewujudkan jati diri Jaksa mandiri yang mumpuni. Dalam rangka
mewujudkan jabatan penegak hukum sebagai jabatan profesi yang mempunyai tiga
kualifikasi yaitu mempunyai keahlian (expertise), tanggung jawab (responsibility), dan
kesatuan (corporateness); dimulai sejak penentuan kualifikasi dan penerimaan calon
pegawai (penegak hukum). Penentuan kualifikasi atau sifat dan keadaan pekerjaan
serta kecakapan pegawai yang akan melakukan pekerjaan tersebut dapat dilakukan
melalui job analysis.

32
BAB IV

PENUTUP

Integritas menjadi tak bermakna ketika ia hanya menjadi sebuah mata


pelajaran yang dituangkan ke dalam kertas untuk sekedar dibaca.
Keberadaannya juga tidak dapat diukur dari hasil evaluasi pelajaran
melalui sebuah tes tertulis. Integritas bukan sekedar ilmu pengetahuan, ia
merupakan seni hidup yang menjanjikan kehidupan yang bahagia,
bersahaja, dan tenteram.
Penerapan nilai integritas dalam kehidupan sehari-hari adalah tujuan
utama dari mata diklat ini. Terkhusus bagi seluruh peserta Pendidikan dan
Pelatihan Pembentukan Jaksa Tahun 2019, kalian harus mampu menjadi
pionir dalam menerapkan pribadi yang berintegritas. Setiap individu harus
senantiasa memperbaiki pola kehidupan selama menjalani diklat. Inilah
momen yang tepat bagi kita semua untuk berubah.

33
Daftar Pustaka
A. BUKU

- A.Z. Abidin, Bunga Rampai Hukum Pidana;


- Dr. Marwan Effendi, SH, Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum;
- R. Wiryono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia;
- Andi Hamzah, Hukum Pidana Indonesia;
- Mr. Phimol Rattapat, The Role of Public Prosecution In Private and Administrative
Affairs;
- Dr. Marwan Effendy, SH, Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum.
- Kejaksaan Agung R.I., “Kumpulan Perja Pembaruan Kejaksaan 2007”. Jakarta:
Kejaksaan Agung RI, 2009;
- Effendy, Marwan, “Kejaksaan dan Penegakan Hukum” Jakarta: Timpani Publishing,
2010;
- Kejaksaan Agung RI. “Perkembangan Pelaksanaan Reformasi Birokrasi: Materi
Sosialisasi Reformasi Birokrasi Kejaksaan” Jakarta: Kejaksaan Agung RI, 2009;
- Huntington, Samuel P. “Prajurit dan Negara: Teori dan Politik Hubungan Militer-
Sipil” (Penerjemah: Deasy Sinaga), Jakarta: PT. Grasindo, 2003
- Kamus Besar Bahasa Indonesia

B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DAN SUMBER LAINNYA

- UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan;


- PP No 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil;
- KEPJA no. 030/J.A/3/1988 – Keputusan Jaksa Agung tentang Penyempurnaan
Doktrin Kejaksaan Tri Krama Adhyaksa;
- Dr. Marwan Effendy, SH, Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum.
- KEPJA No. Kep-030/3.A/8/1988 Tgl 23 Maret 1988 tentang Penyempurnaan
Doktrin Tri Krama Adhayaksa;
- Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia No.PER-014/A/JA/11/2012 tentang
Kode Perilaku Jaksa;
- Persatuan Jaksa Republik Indonesia (PERSAJA), “Kode Etik Jaksa, Tata Krama
Adhyaksa” , Jakarta,15 Agustus 1995;

C. JURNAL
Gunardi Endro, “Menyelisik Makna Integritas dan Pertentangannya dengan
Korupsi”, dalam Jurnal Integritas KPK, Edisi 03, Nomor 1, Maret 2017

D. INTERNET
- Menerapkan Kejujuran Integritas dan Perbaikan berkesinambungan Dalam Diri
Kita.. https://habibiezone.wordpress.com
- Pengertian Disiplin Menurut Para Ahli. www.pengertianmenurutparaahli.com
- Damanik. Meylina.”INTEGRITAS DAN DISIPLIN SDM”.www.meylina-
damanik.blogspot.com.(diakses

34
BERITA NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
No.1230, 2012 JAKSA AGUNG. Perilaku. Kode Etik. Jaksa.
Pencabutan.

PERATURAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA


NOMOR PER–014/A/JA/11/2012
TENTANG
KODE PERILAKU JAKSA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan Jaksa yang memiliki


integritas, bertanggung jawab dan mampu memberikan
pelayanan prima kepada masyarakat, serta
mewujudkan birokrasi yang bersih, efektif, efisien,
transparan dan akuntabel yang dilandasi doktrin Tri
Krama Adhyaksa;
b. bahwa Peraturan Jaksa Agung Nomor : PER-067/
A/JA/07/2007 dipandang tidak sesuai lagi dengan
perkembangan dan tuntutan profesi Jaksa;
c. berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
pada huruf a dan huruf b maka perlu membentuk
Peraturan Jaksa Agung Tentang Kode Perilaku Jaksa.
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang
Perubahan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974
tentang Pokok-pokok Kepegawaian (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 169, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3890);
2. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan Republik Indonesia (Lembaran Negara

www.djpp.depkumham.go.id
2012, No.1230 2

Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 67, Tambahan


Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4401);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 tentang
Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik Pegawai Negeri
Sipil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 142, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4450);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2008 tentang
Tata Cara Pemberhentian Dengan Hormat,
Pemberhentian Tidak Dengan Hormat, dan
Pemberhentian Sementara, serta Hak Jabatan
Fungsional Jaksa Yang Terkena Pemberhentian
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 41; Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4827);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang
Disiplin Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 74; Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5135);
6. Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2010 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik
Indonesia;
7. Keputusan Jaksa Agung Nomor KEP-030/JA/1988
tanggal 23 Maret 1988 Tentang “Tri Krama Adhayaksa”;
8. Peraturan Jaksa Agung Nomor PER-066/A/JA/07/2007
tentang Standar Minimum Profesi Jaksa;
9. Peraturan Jaksa Agung Nomor PER-022/A/JA/03/2011
tentang Penyelenggaraan Pengawasan Kejaksaan RI.
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN JAKSA AGUNG TENTANG KODE PERILAKU
JAKSA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Jaksa Agung ini, yang dimaksud dengan:
1. Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-
undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana

www.djpp.depkumham.go.id
3 2012, No.1230

putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap


serta wewenang lain berdasarkan undang-undang.
2. Profesi Jaksa adalah tugas dan wewenang yang bersifat keahlian teknis
dalam organisasi Kejaksaan di bidang pidana, perdata dan tata usaha
negara, di bidang ketertiban dan ketentraman umum dan tugas-tugas
lain berdasarkan undang-undang.
3. Kode Perilaku Jaksa adalah serangkaian norma penjabaran dari Kode
Etik Jaksa, sebagai pedoman keutamaan mengatur perilaku Jaksa
baik dalam menjalankan tugas profesinya, menjaga kehormatan dan
martabat profesinya, maupun dalam melakukan hubungan
kemasyarakatan di luar kedinasan.
4. Pelanggaran adalah setiap perbuatan Jaksa yang melanggar kewajiban
dan/atau larangan dalam ketentuan Kode Perilaku Jaksa, baik yang
dilakukan di dalam maupun di luar jam kerja.
5. Kewajiban adalah sesuatu hal yang harus dilakukan oleh Jaksa
sebagai pejabat fungsional dalam melaksanakan tugas profesinya baik
yang dilakukan di dalam maupun di luar jam kerja, dan apabila
dilanggar akan dikenakan tindakan administratif.
6. Larangan adalah sesuatu hal yang tidak boleh dilakukan oleh Jaksa
sebagai pejabat fungsional dalam melaksanakan tugas profesinya baik
yang dilakukan di dalam maupun di luar jam kerja, dan apabila
dilanggar akan dikenakan tindakan admnistratif.
7. Norma hukum adalah kaidah yang merupakan pelembagaan nilai-nilai
baik dan buruk yang daya lakunya dipaksakan dari luar diri manusia
untuk mewujudkan kepastian dan keadilan hukum meliputi peraturan
perundang-undangan, peraturan internal Kejaksaan dalam bentuk
Peraturan Jaksa Agung, Keputusan Jaksa Agung, Instruksi Jaksa
Agung, Surat Edaran Jaksa Agung, Petunjuk Pelaksanaan dan
Petunjuk Teknis dari Pimpinan Kejaksaan lainnya.
8. Perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan
kepada Jaksa oleh institusi Kejaksaan untuk tidak dipersalahkan atas
tindakannya dalam melaksanakan tugas Profesi Jaksa.
9. Pejabat yang berwenang menjatuhkan tindakan administratif adalah
Pejabat yang karena jabatannya mempunyai wewenang untuk
memeriksa dan menjatuhkan tindakan administratif terhadap Jaksa
yang melakukan pelanggaran.
10. Majelis Kode Perilaku yang selanjutnya disingkat MKP adalah wadah
yang dibentuk di lingkungan Kejaksaan oleh pejabat yang berwenang
untuk melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran Kode
Perilaku Jaksa.

www.djpp.depkumham.go.id
2012, No.1230 4

11. Persatuan Jaksa Indonesia yang selanjutnya disingkat PJI adalah


wadah organisasi profesi Jaksa yang menghimpun seluruh Jaksa di
Kejaksaan Republik Indonesia, terdiri dari PJI Pusat berkedudukan di
Kejaksaan Agung, PJI Daerah berkedudukan di Kejaksaan Tinggi, dan
PJI Cabang berkedudukan di Kejaksaan Negeri.
12. Lingkungan Kejaksaan adalah Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi,
Kejaksaan Negeri, Cabang Kejaksaan Negeri, dan Perwakilan
Kejaksaan di luar negeri
13. Tindakan administratif adalah tindakan yang dijatuhkan kepada Jaksa
yang melakukan pelanggaran Kode Perilaku Jaksa.
Pasal 2
Kode Perilaku Jaksa berlaku bagi Jaksa yang bertugas di dalam dan di
luar lingkungan Kejaksaan.
BAB II
PERILAKU JAKSA
Bagian Kesatu
Kewajiban Jaksa
Pasal 3
Kewajiban Jaksa kepada negara :
a. setia dan taat kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bertindak berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
mengindahkan norma agama, kesopanan, kesusilaan yang hidup
dalam masyarakat dan menjunjung tinggi hak asasi manusia; dan
c. melaporkan dengan segera kepada pimpinannya apabila mengetahui
hal yang dapat membahayakan atau merugikan negara.
Pasal 4
Kewajiban Jaksa kepada Institusi:
a. menerapkan Doktrin Tri Krama Adhyaksa dalam melaksanakan tugas
dan wewenangnya;
b. menjunjung tinggi sumpah dan/atau janji jabatan Jaksa;
c. menjalankan tugas sesuai dengan visi dan misi Kejaksaan Republik
Indonesia;
d. melaksanakan tugas sesuai peraturan kedinasan dan jenjang
kewenangan;
e. menampilkan sikap kepemimpinan melalui ketauladanan, keadilan,
ketulusan dan kewibawaan; dan

www.djpp.depkumham.go.id
5 2012, No.1230

f. mengembangkan semangat kebersamaan dan soliditas serta saling


memotivasi untuk meningkatkan kinerja dengan menghormati hak
dan kewajibannya.
Pasal 5
Kewajiban Jaksa kepada Profesi Jaksa:
a. menjunjung tinggi kehormatan dan martabat profesi dalam
melaksanakan tugas dan kewenangannya dengan integritas,
profesional, mandiri, jujur dan adil;
b. mengundurkan diri dari penanganan perkara apabila mempunyai
kepentingan pribadi atau keluarga;
c. mengikuti pendidikan dan pelatihan sesuai dengan peraturan
kedinasan;
d. meningkatkan ilmu pengetahuan, keahlian, dan teknologi, serta
mengikuti perkembangan hukum yang relevan dalam lingkup nasional
dan internasional;
e. menjaga ketidakberpihakan dan objektifitas saat memberikan
petunjuk kepada Penyidik;
f. menyimpan dan memegang rahasia profesi, terutama terhadap
tersangka/terdakwa yang masih anak-anak dan korban tindak pidana
kesusilaan kecuali penyampaian informasi kepada media,
tersangka/keluarga, korban/keluarga, dan penasihat hukum sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
g. memastikan terdakwa, saksi dan korban mendapatkan informasi dan
jaminan atas haknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan
dan hak asasi manusia; dan
h. memberikan bantuan hukum, pertimbangan hukum, pelayanan
hukum, penegakan hukum atau tindakan hukum lain secara
profesional, adil, efektif, efisien, konsisten, transparan dan
menghindari terjadinya benturan kepentingan dengan tugas bidang
lain.
Pasal 6
Kewajiban Jaksa kepada masyarakat:
a. memberikan pelayanan prima dengan menjunjung tinggi supremasi
hukum dan hak asasi manusia; dan
b. menerapkan pola hidup sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku dalam
masyarakat.

www.djpp.depkumham.go.id
2012, No.1230 6

Bagian Kedua
Integritas
Pasal 7
(1) Dalam melaksanakan tugas Profesi Jaksa dilarang:
a. memberikan atau menjanjikan sesuatu yang dapat memberikan
keuntungan pribadi secara langsung maupun tidak langsung bagi
diri sendiri maupun orang lain dengan menggunakan nama atau
cara apapun;
b. meminta dan/atau menerima hadiah dan/atau keuntungan dalam
bentuk apapun dari siapapun yang memiliki kepentingan baik
langsung maupun tidak langsung;
c. menangani perkara yang mempunyai kepentingan pribadi atau
keluarga, atau finansial secara langsung maupun tidak langsung;
d. melakukan permufakatan secara melawan hukum dengan para
pihak yang terkait dalam penanganan perkara;
e. memberikan perintah yang bertentangan dengan norma hukum
yang berlaku;
f. merekayasa fakta-fakta hukum dalam penanganan perkara;
g. menggunakan kewenangannya untuk melakukan penekanan
secara fisik dan/atau psikis; dan
h. menggunakan barang bukti dan alat bukti yang patut diduga
telah direkayasa atau diubah atau dipercaya telah didapatkan
melalui cara-cara yang melanggar hukum;
(2) Jaksa wajib melarang keluarganya meminta dan/atau menerima
hadiah atau keuntungan dalam bentuk apapun dari siapapun yang
memiliki kepentingan baik langsung maupun tidak langsung dalam
pelaksanaan tugas Profesi Jaksa.
Bagian Ketiga
Kemandirian
Pasal 8
(1) Jaksa melaksanakan tugas, fungsi, dan kewenangannya:
a. secara mandiri terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah
maupun pengaruh kekuasaan lainnya; dan
b. tidak terpengaruh oleh kepentingan individu maupun kepentingan
kelompok serta tekanan publik maupun media.
(2) Jaksa dibenarkan menolak perintah atasan yang melanggar norma
hukum dan kepadanya diberikan perlindungan hukum.

www.djpp.depkumham.go.id
7 2012, No.1230

(3) Penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan secara


tertulis kepada yang memberikan perintah dengan menyebutkan
alasan, dan ditembuskan kepada atasan pemberi perintah.
Bagian Keempat
Ketidakberpihakan
Pasal 9
Dalam melaksanakan tugas profesi Jaksa dilarang:
a. bertindak diskriminatif berdasarkan suku, agama, ras, jender,
golongan sosial dan politik dalam pelaksanaan tugas profesinya;
b. merangkap menjadi pengusaha, pengurus/karyawan Badan Usaha
Milik Negara/daerah, badan usaha swasta, pengurus/anggota partai
politik, advokat; dan/atau
c. memberikan dukungan kepada Calon Presiden/Wakil Presiden, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah, dan Calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam
kegiatan pemilihan.
Bagian Kelima
Perlindungan
Pasal 10
Jaksa mendapatkan perlindungan dari tindakan yang sewenang-wenang
dalam melaksanakan tugas Profesi Jaksa.
Pasal 11
Jaksa dalam melaksanakan tugas Profesi Jaksa berhak:
a. melaksanakan fungsi Jaksa tanpa intimidasi, gangguan dan
pelecehan;
b. mendapatkan perlindungan hukum untuk tidak dipersalahkan
sebagai akibat dari pelaksanaan tugas dan fungsi Jaksa yang
dilakukan sesuai dengan peraturan yang berlaku;
c. mendapatkan perlindungan secara fisik, termasuk keluarganya, oleh
pihak yang berwenang jika keamanan pribadi terancam sebagai akibat
dari pelaksanaan tugas dan fungsi Jaksa yang dilakukan sesuai
dengan peraturan yang berlaku;
d. mendapatkan pendidikan dan pelatihan baik teknis maupun
nonteknis;
e. mendapatkan sarana yang layak dalam menjalankan tugas,
remunerasi, gaji serta penghasilan lain sesuai dengan peraturan yang
berlaku;

www.djpp.depkumham.go.id
2012, No.1230 8

f. mendapatkan kenaikan pangkat, jabatan dan/atau promosi


berdasarkan parameter obyektif, kualifikasi profesional, kemampuan,
integritas, kinerja dan pengalaman, serta diputuskan sesuai dengan
prosedur yang adil dan tidak memihak;
g. memiliki kebebasan berpendapat dan berekspresi, kecuali dengan
tujuan membentuk opini publik yang dapat merugikan penegakan
hukum; dan
h. mendapatkan proses pemeriksaan yang cepat, adil dan evaluasi serta
keputusan yang obyektif berdasarkan peraturan yang berlaku dalam
hal Jaksa melakukan tindakan indisipliner.
BAB III
TINDAKAN ADMINISTRATIF
Pasal 12
(1) Jaksa wajib menghormati dan mematuhi Kode Perilaku Jaksa.
(2) Setiap pimpinan unit kerja wajib berupaya untuk memastikan agar
Jaksa di dalam lingkungannya mematuhi Kode Perilaku Jaksa.
(3) Jaksa yang terbukti melakukan pelanggaran dijatuhkan tindakan
administratif.
(4) Tindakan adminstratif tidak mengesampingkan ketentuan pidana dan
hukuman disiplin berdasarkan peraturan disiplin pegawai negeri sipil
apabila atas perbuatan tersebut terdapat ketentuan yang dilanggar.
Pasal 13
(1) Tindakan administratif terdiri dari:
a. pembebasan dari tugas-tugas Jaksa, paling singkat 3 (tiga) bulan
dan paling lama (1) satu tahun; dan/atau
b. pengalihtugasan pada satuan kerja yang lain, paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 2 (dua) tahun.
(2) Apabila selama menjalani tindakan administratif diterbitkan Surat
Keterangan Kepegawaian (Clearance Kepegawaian) maka dicantumkan
tindakan administratif tersebut.
(3) Setelah selesai menjalani tindakan administratif, Jaksa yang
bersangkutan dapat dialihtugaskan kembali ketempat semula atau
kesatuan kerja lain yang setingkat dengan satuan kerja sebelum
dialihtugaskan.
Pasal 14
Keputusan pembebasan dari tugas-tugas Jaksa dan Keputusan
pengalihtugasan pada satuan kerja lain terhadap Jaksa diterbitkan oleh
pejabat yang berwenang melakukan tindakan administratif.

www.djpp.depkumham.go.id
9 2012, No.1230

BAB IV
TATA CARA PEMERIKSAAN DAN PENJATUHAN
TINDAKAN ADMINISTRATIF
Bagian Kesatu
Majelis Kode Perilaku
Pasal 15
(1) Dugaan pelanggaran diperoleh dari laporan/pengaduan masyarakat,
temuan pengawasan melekat (Waskat) dan pengawasan fungsional
(Wasnal).
(2) Pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran ditindaklanjuti melalui
proses klarifikasi dan pemeriksaan yang dilaksanakan berdasarkan
Peraturan Jaksa Agung tentang Penyelenggaraan Pengawasan
Kejaksaan Republik Indonesia.
(3) Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dinyatakan sebagai pelanggaran Kode Perilaku Jaksa maka
hasil pemeriksaan diteruskan kepada pejabat yang berwenang untuk
membentuk Majelis Kode Perilaku.
Pasal 16
Pejabat yang berwenang untuk membentuk Majelis Kode Perilaku, sebagai
berikut :
a. Jaksa Agung bagi Jaksa yang menduduki jabatan struktural atau
jabatan lain yang wewenang pengangkatan dan pemberhentiannya oleh
Presiden;
b. Para Jaksa Agung Muda bagi Jaksa yang bertugas di lingkungannya
masing-masing pada Kejaksaan Agung;
c. Jaksa Agung Muda Pengawasan bagi Jaksa yang bertugas di luar
lingkungan Kejaksaan Agung, Kepala Kejaksaan Tinggi dan Wakil
Kepala Kejaksaan Tinggi; atau
d. Kepala Kejaksaan Tinggi bagi Jaksa yang bertugas di Kejaksaan Tinggi,
Kepala Kejaksaan Negeri dan Jaksa yang bertugas di Kejaksaan Negeri
dalam wilayah hukumnya.
Pasal 17
(1) Setelah menerima hasil pemeriksaan, Pejabat yang berwenang
membentuk Majelis Kode Perilaku menerbitkan Surat Keputusan
Pembentukan Majelis Kode Perilaku.

www.djpp.depkumham.go.id
2012, No.1230 10

(2) Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melaporkan akan


dimulainya pemeriksaan dan telah selesainya pemeriksaan kepada
atasannya secara berjenjang selambat-lambatnya dalam jangka waktu
7 (tujuh) hari kerja.
Pasal 18
(1) Majelis Kode Perilaku terdiri dari:
a. Ketua merangkap Anggota adalah pejabat yang berwenang
membentuk Majelis Kode Perilaku atau pejabat yang ditunjuk;
b. Sekretaris merangkap Anggota adalah 1 (satu) orang pejabat
struktural di lingkungan unit kerja yang bersangkutan, berstatus
Jaksa yang jenjang kepangkatannya tidak lebih rendah dari Jaksa
yang akan diperiksa; dan
c. Seorang Anggota dari unsur PJI yang jenjang kepangkatannya tidak
lebih rendah dari Jaksa yang akan diperiksa;
(2) Apabila dalam unit kerja yang bersangkutan, pejabat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dan c tidak ada, pejabat yang
berwenang untuk membentuk Majelis Kode Perilaku meminta bantuan
dari pimpinan unit kerja di atasnya untuk menunjuk pengganti yang
memenuhi syarat.
(3) Majelis Kode Perilaku dibantu oleh staf tata usaha yang ditunjuk oleh
pejabat yang berwenang.
Pasal 19
Susunan Majelis Kode Perilaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18
ayat (1) sebagai berikut :
a. Jaksa Agung atau pejabat yang ditunjuk, Pejabat Eselon I, dan unsur
PJI Pusat apabila Jaksa yang diduga melakukan pelanggaran adalah
pejabat struktural Eselon I;
b. Jaksa Agung Muda di tempat Jaksa yang bersangkutan bertugas atau
Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan, Pejabat Eselon II atau pejabat
yang ditunjuk pada masing-masing Jaksa Agung Muda serta unsur
PJI Pusat apabila Jaksa yang diduga melakukan pelanggaran adalah
Jaksa yang bertugas di lingkungan Kejaksaan Agung atau Badan
Pendidikan dan Pelatihan;
c. Jaksa Agung Muda Pengawasan, Pejabat Eselon II atau pejabat yang
ditunjuk pada Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan serta unsur PJI
Pusat apabila Jaksa yang diduga melakukan pelanggaran adalah
Kepala Kejaksaan Tinggi, Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi atau Jaksa
yang bertugas di luar lingkungan Kejaksaan;

www.djpp.depkumham.go.id
11 2012, No.1230

d. Kepala Kejaksaan Tinggi atau pejabat lain yang ditunjuk, Pejabat


Eselon III atau pejabat lain yang ditunjuk serta unsur PJI Daerah
apabila Jaksa yang diduga melakukan pelanggaran adalah Jaksa yang
bertugas di Kejaksaan Tinggi dan Kepala Kejaksaan Negeri dalam
wilayah hukumnya; atau
e. Kepala Kejaksaan Tinggi atau pejabat lain yang ditunjuk, Kepala
Kejaksaan Negeri atau pejabat lain yang ditunjuk serta unsur PJI
Daerah apabila Jaksa yang diduga melakukan pelanggaran kode
perilaku adalah Jaksa yang bertugas di Kejaksaan Negeri.
Bagian Kedua
Tata Cara Pemeriksaan
Pasal 20
(1) Majelis Kode Perilaku melakukan pemanggilan kepada Jaksa yang
akan dilakukan pemeriksaan beserta pihak-pihak lain yang terkait
untuk dilakukan pemeriksaan.
(2) Pemanggilan terhadap Jaksa yang diduga melakukan pelanggaran dan
pihak-pihak lain yang terkait dilakukan secara tertulis sekurang-
kurangnya 3 (tiga) hari kerja sebelum pemeriksaan dilakukan.
(3) Dalam hal Jaksa atau saksi yang akan diperiksa dan/atau pihak-pihak
lain yang terkait tidak memenuhi panggilan yang disampaikan maka
Majelis Kode Perilaku mengirimkan panggilan kedua.
(4) Apabila Jaksa atau saksi yang bersangkutan atau pihak-pihak lain
yang terkait tidak memenuhi panggilan selama dua kali tanpa alasan
yang sah, sidang pemeriksaan Kode Perilaku Jaksa akan dilaksanakan
tanpa hadirnya Jaksa atau saksi yang bersangkutan.
(5) Sidang pemeriksaan dilaksanakan di kantor satuan kerja di mana
Majelis Kode Perilaku bertugas dan pemeriksaannya dilakukan secara
tertutup.
Pasal 21
(1) Ketua Majelis Kode Perilaku memimpin sidang pemeriksaan dan
membacakan dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Jaksa.
(2) Dalam hal Jaksa atau Saksi yang dipanggil secara patut tidak hadir
maka Majelis Kode Perilaku mengambil keputusan berdasarkan alat
bukti tentang terbukti atau tidaknya pelanggaran Kode Perilaku Jaksa.
(3) Jaksa yang diduga melakukan pelanggaran berhak menyampaikan
pembelaan diri dihadapan Majelis Kode Perilaku.

www.djpp.depkumham.go.id
2012, No.1230 12

Pasal 22
(1) Majelis Kode Perilaku berwenang memeriksa alat bukti, data, fakta dan
keterangan untuk membuktikan benar tidaknya dugaan pelanggaran
tersebut yang dituangkan dalam Putusan Majelis Kode Perilaku.
(2) Dalam melakukan sidang pemeriksaan, Majelis Kode Perilaku dapat
mendengar atau meminta keterangan dari pihak lain apabila
dipandang perlu.
Bagian Ketiga
Penjatuhan Tindakan Administratif
Pasal 23
(1) Putusan Majelis Kode Perilaku diambil berdasarkan musyawarah dan
mufakat.
(2) Apabila putusan tidak dapat diambil berdasarkan musyawarah dan
mufakat, maka putusan diambil berdasarkan suara terbanyak.
(3) Putusan Majelis Kode Perilaku memuat pertimbangan, pendapat, dan
pernyataan terbukti atau tidak terbukti melakukan pelanggaran.
(4) Putusan dibacakan secara terbuka dengan atau tanpa kehadiran
Jaksa yang melakukan pelanggaran.
Pasal 24
(1) Dalam hal Majelis Kode Perilaku menyatakan Jaksa terperiksa terbukti
melakukan pelanggaran maka akan dijatuhkan tindakan administratif.
(2) Dalam hal Majelis Kode Perilaku menyatakan Jaksa terperiksa tidak
terbukti melakukan pelanggaran maka nama baiknya direhabilitasi
dan diumumkan.
Pasal 25
Pemeriksaan yang dilaksanakan oleh Majelis Kode Perilaku, diselesaikan
dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari.

Pasal 26
(1) Putusan Majelis Kode Perilaku bersifat mengikat yang dibuat dalam
bentuk Surat Keputusan Pejabat yang berwenang menjatuhkan
tindakan administratif.
(2) Putusan Majelis Kode Perilaku berlaku sejak tanggal ditetapkan, dan
dilaporkan secara berjenjang sesuai dengan peraturan kedinasan yang
berlaku.

www.djpp.depkumham.go.id
13 2012, No.1230

(3) Putusan Majelis Kode Perilaku harus sudah diterima oleh Jaksa yang
bersangkutan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah putusan
ditetapkan.
(4) Jaksa Agung Muda Pengawasan dapat melakukan peninjauan kembali
terhadap putusan Majelis Kode Perilaku di daerah jika terdapat
dugaan fakta yang terbukti tidak sebanding dengan tindakan
admnistratif yang dijatuhkan.
Pasal 27
(1) Jaksa yang melakukan beberapa pelanggaran secara berturut-turut
sebelum dilakukan pemeriksaan hanya dapat dijatuhi 1 (satu) jenis
tindakan administratif.
(2) Jaksa yang pernah terbukti melakukan pelanggaran, kemudian
melakukan pelanggaran yang sifatnya sama dijatuhi tindakan
administratif yang lebih berat dari yang pernah dijatuhkan kepadanya.
BAB V
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 28
(1) Pemeriksaan dan penindakan terhadap perilaku Jaksa baik dalam
melaksanakan tugas profesinya maupun dalam melakukan hubungan
kemasyarakatan di luar kedinasan menggunakan peraturan ini.
(2) Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana ayat (1)
ditemukan adanya pelanggaran ketentuan pidana dan/atau peraturan
disiplin maka pejabat yang berwenang harus menindaklanjuti sesuai
dengan peraturan yang berlaku.
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 29
Pada saat Peraturan Jaksa Agung ini mulai berlaku, Peraturan Jaksa
Agung Nomor : PER-67/A/JA/07/2007 tentang Kode Perilaku Jaksa
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 30
Petunjuk Pelaksanaan dan/atau Petunjuk Teknis Peraturan Jaksa Agung
ini dapat di bentuk oleh Jaksa Agung Muda Pengawasan.
Pasal 31
Peraturan Jaksa Agung ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

www.djpp.depkumham.go.id
2012, No.1230 14

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan


Peraturan Jaksa Agung ini dengan penempatannya dalam Berita Negara
Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 13 November 2012
JAKSA AGUNG
REPUBLIK INDONESIA,

BASRIEF ARIEF

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 10 Desember 2012
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

AMIR SYAMSUDIN

www.djpp.depkumham.go.id
Menyelisik Makna Integritas
dan Pertentangannya
dengan Korupsi
Gunardi Endro
Universitas Bakrie

gunardi.endro@bakrie.ac.id

ABSTRAK
Kata ‘integritas’ dipakai secara luas untuk menyatakan kompaknya
DWDX XWXKQ\D VHVXDWX WHULGHQWL¿NDVL GDUL UHDNVLQ\D WHUKDGDS
rangsangan dari lingkungannya. Penyelisikan makna hakiki integritas
pada akhirnya berujung pada pemahaman tentang pentingnya dua
proses yang berlangsung serentak, yaitu proses pengendalian internal
dan proses partisipasi eksternal. Pada kasus manusia atau institusi
yang dikendalikan manusia, proses pengendalian internal berkaitan
dengan persoalan bagaimana membangun dan mempertahankan
identitas diri, sedangkan proses partisipasi eksternal berkenaan
dengan persoalan bagaimana mewujudkan keputusan dan tindakan
yang baik berdasarkan identitas diri itu. Identitas diri seharusnya
tidak terlepas dari keputusan dan tindakan yang baik. Meskipun
kekuasaan dibangun dari kemampuan partikular, kekuasaan itu
seharusnya dipergunakan demi kebaikan bersama. Oleh karena itu,
integritas merupakan suatu keutamaan, suatu karakter baik manusia
atau budaya baik organisasi, yang menimbulkan daya dorong bagi
pemiliknya untuk mewujudkan keputusan dan tindakan bagi kebaikan

131
bersama. Karakter atau budaya ini jelas bertentangan dengan korupsi,
karena korupsi merupakan tindak penyalahgunaan kekuasaan dengan
memanipulasi kebaikan bersama demi kepentingan pribadi tertentu.
Jadi, karakter integritas dan budaya integritas secara langsung
bertentangan dengan korupsi. Pengembangan karakter integritas dan
budaya integritas mengandung keniscayaan logis menangkal korupsi.
Kata Kunci: Integritas, pengendalian internal, partisipasi
eksternal, kebaikan bersama, korupsi

ABSTRACT
The word “integrity” is widely used to state the compactness
RU WKH LQWDFWQHVV RI D WKLQJ LGHQWL¿HG IURP LWV UHDFWLRQV DJDLQVW
the surrounding stimuli. An investigation of the true meaning of
integrity ultimately leads to understanding the importance of two
simultaneous processes, namely the self-governance process and
the externally participation process. In the case of human being
or human-controlled institution, the self governanve process is
associated with the issue of how to build and maintain self-identity,
whereas the externally participation process is associated with how
to actualize good decisions and actions based on that self-identity.
The self-identity should be inseparable from the good decisions and
actions. Though any power is built from particular capabilities, it
should be used for the common good. Therefore, integrity is a virtue,
a good human character or a good organizational culture, that
disposes those who posses it to exercise decisions and actions for
the common good. This character or culture is clearly contrary to
corruption, because corruption is an abuse of power by manipulating
the common good for particular interests. Thus, character of integrity
and culture of integrity are in direct opposition to corruption.
Developing character of integrity and culture of integrity contains a
logical necessity of preventing corruption.
Keywords: integrity, self-governance, external participation,
common good, corruption

PENDAHULUAN
Integritas menjadi kata yang sering sekali disebutkan beberapa
dekade belakangan ini, namun pemaknaannya tidak jelas.

132 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Menyelisik Makna Integritas dan Pertentangannya dengan Korupsi
(Gunardi Endro)

Ketidakjelasan itu mungkin terkait dengan terlalu banyaknya sesuatu


yang dapat diberikan atribut integritas. Integritas dikaitkan dengan
karakteristik tertentu yang dimiliki sesuatu apa saja, seperti misalnya
integritas jembatan, integritas database, integritas jaringan listrik,
integritas tubuh, integritas orang, integritas kesenian, integritas
perusahaan, integritas pasar, integritas pemerintahan, integritas
negara, dan bahkan integritas ekosistem. Meskipun ada nuansa
karakteristik “kompak” atau “utuh” pada setiap sesuatu yang
berintegritas, namun petunjuk tentang apa persisnya dan bagaimana
mewujudkan kekompakan atau keutuhan itu belum jelas.
Dalam hal orang, misalnya, integritas umumnya dihubungkan
dengan suatu keutamaan/ kebajikan (virtue) atau karakter yang
baik (Audi & Murphy 2006). Pengembangannya seringkali dikaitkan
dengan upaya pencegahan korupsi, sehingga salah satu indikator
yang paling sering disebutkan sebagai representasi sifat orang yang
berintegritas adalah kejujuran. Namun, bagaimana menjelaskan
kejujuran dalam kaitannya dengan kekompakan/ keutuhan?
Meskipun benar bahwa orang tidak mungkin memiliki integritas
tanpa mempraktikkan kejujuran, tetapi bukan tidak mungkin
seseorang yang selalu jujur memiliki tingkat integritas yang rendah
(Carter 1996, 52). Kejujuran buta tanpa pertimbangan kelayakan
konteks malah bisa menunjukkan sifat narsistik dan ketidakpedulian
terhadap akibat buruk yang bakal menimpa orang lain (Martin 1996,
121), suatu sifat yang tampaknya bertentangan dengan integritas.
Kalaupun integritas dikaitkan dengan karakter orang yang penuh
pertimbangan, karakter yang menjamin apa yang dilakukannya
selalu tepat, namun kaitan itu bukanlah tanpa syarat. Seorang
yang berintegritas tidak selayaknya terlalu perhitungan hingga
mengabaikan ikatan afeksi pribadi, perasaan belas kasih, dan emosi
moral pada umumnya. Kalaupun integritas dikaitkan dengan karakter
orang yang teguh memegang komitmennya, kemungkinan perbaikan
komitmen pun tidak bisa diabaikan bagi orang yang berintegritas.
Seorang yang berintegritas memang tidak akan kompromistis
ketika dihadapkan pada kesulitan, tetapi bukan tidak mungkin dia
harus mengevaluasi dan memperbaiki komitmennya atas alasan
fundamental agar dia tidak melawan dirinya sendiri (Davion 1990).
Jadi belum ada satu patokan yang bisa dipakai sebagai rujukan
untuk penjelasan komprehensif tentang makna integritas. Semakin
terkenal kata integritas dalam berbagai penggunaannya, semakin

133
besar pengaruhnya dalam kehidupan sosial dan politik, justru
semakin kabur maknanya. Oleh karena itu, penting untuk menyelidiki
dan menemukan patokan penjelas makna integritas agar supaya bisa
menjadi petunjuk arah dalam setiap diskusi tentang integritas dan
terutama dalam setiap upaya pengembangan karakter dan budaya
integritas. Sebagai langkah awal, penyelisikan asal mula makna
integritas perlu dilakukan.

Menyelisik Asal Mula Makna Integritas


Secara etimologis, kata integritas (integrity), integrasi
(integration) dan integral (integral) memiliki akar kata Latin yang
sama, yaitu “integer” yang berarti “seluruh” (“whole or entire”)
atau “suatu bilangan bulat” (“a whole number”), bilangan yang
bukan bilangan pecahan (Skeat 1888, 297; Black 1825, 215-6). Jadi,
sesuatu yang berintegritas merupakan sesuatu yang utuh dalam
keseluruhannya, sesuatu yang tidak terbagi, dimana nuansa keutuhan
atau kebulatannya tidak dapat dihilangkan. Meskipun sesuatu yang
berintegritas terdiri dari banyak elemen, keutuhan atau kebulatannya
selalu terjaga sebagai hasil dari hubungan timbal balik yang kuat
diantara elemen-elemennya. Namun bersatunya elemen-elemen itu
lebih merupakan suatu persatuan (incorporation) daripada suatu
kesatuan (unity), karena identitas elemen tidak hilang. Identitas tiap
elemen dari sesuatu yang berintegritas masih bisa dikenali, meskipun
fungsinya sulit dipisahkan dari fungsi keseluruhan. Istilah sederhana
“kompak” dan “kekompakan” barangkali tepat untuk menggambarkan
bersatunya elemen-elemen sesuatu yang berintegritas sedemikian
sehingga konotasi keutuhan atau kebulatannya (wholeness) tetap
terjaga.
Menariknya, integritas bisa masuk dalam kategori peristilahan
evaluatif maupun non-evaluatif, tergantung pada apakah sesuatu
yang memiliki integritas itu melibatkan manusia di dalamnya
ataukah tidak. Jika sesuatu yang memiliki integritas adalah sesosok
manusia atau sesuatu yang meliputi manusia sebagai salah satu
pengendalinya, seperti misalnya perusahaan, pasar dan ekosistem,
maka integritas merupakan istilah evaluatif. Namun jika manusia
tidak ada di dalam sesuatu yang memiliki integritas, seperti
misalnya jembatan, database, jaringan listrik dan benda-benda
mati lainnya, maka integritas merupakan istilah non-evaluatif.
Sebagai istilah yang evaluatif, integritas diapresiasi sebagai patokan

134 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Menyelisik Makna Integritas dan Pertentangannya dengan Korupsi
(Gunardi Endro)

dalam mempertimbangkan baik-buruk suatu tindakan. Sedangkan


sebagai istilah yang non-evaluatif, integritas hanyalah dipakai untuk
menyatakan suatu fakta. Keduanya tetap mengandung makna
konotatif kekompakan (whole) yang menggambarkan kualitas
hubungan antar elemen-elemen sesuatu yang memilikinya.
Ketika integritas non-evaluatif menjadi atribut dari sesuatu yang
PHPLOLNLQ\D NHNRPSDNDQ KXEXQJDQ DQWDU HOHPHQ WHULGHQWL¿NDVL
dari fakta bahwa identitas sesuatu tersebut tetap bertahan meskipun
berada dalam tekanan lingkungan yang berubah-ubah. Jembatan
yang memiliki integritas, misalnya, akan tetap berfungsi baik
sebagai jembatan tanpa perubahan bentuk, meskipun jumlah dan
berat kendaraan yang melaluinya berubah-ubah. Sistem jaringan
tenaga listrik yang memiliki integritas akan tetap menjamin
pasokan tenaga listrik ke konsumen-konsumen, meskipun beberapa
bagiannya diistirahatkan untuk pemeliharaan. Di sini, integritas
menggambarkan kualitas daripada dua proses sekaligus, yaitu
proses pengendalian internal dan proses partisipasi eksternal.
Proses pengendalian internal adalah mekanisme yang terjadi di
dalam sesuatu yang memiliki integritas, bagaimana elemen-elemen
mengatur hubungan antara satu dengan yang lain ketika merespon
tekanan lingkungan sedemikian sehingga kekompakan identitasnya
tetap terjaga. Proses partisipasi eksternal adalah mekanisme yang
terjadi pada sesuatu yang memiliki integritas, bagaimana ketika
merespon tekanan lingkungan kekompakan diekspresikan secara
fungsional sesuai dengan identitasnya. Pada integritas non-evaluatif,
kedua proses itu tunduk pada hukum alam dan berlangsung
serentak, tak terpisahkan. Keduanya beroperasi secara natural untuk
menyatakan fakta ada-tidaknya identitas yang sudah tertetapkan
terlebih dahulu (predetermined). Jembatan yang memiliki integritas,
misalnya, akan tetap berfungsi sebagaimana identitas jembatan yang
sesungguhnya. Sedangkan jembatan yang tidak memiliki integritas
akan gagal berfungsi sebagaimana jembatan dan menjadi bukan
jembatan lagi.
Ketika integritas evaluatif menjadi atribut dari sesuatu yang
memilikinya, seperti misalnya sosok individu manusia atau sosok
individu organisasi yang dikendalikan manusia, kekompakan identitas
tetap bertahan meskipun sosok individu tersebut tertantang harus
merespon keadaan lingkungan yang berubah-ubah. Sosok individu
yang berintegritas tidak menyerahkan diri pada pengaruh luar atau

135
mengubah dirinya menjadi sosok lain tergantung konteks hidupnya,
melainkan tetap bertahan dengan perilaku yang menunjukkan
satu identitas dirinya yang asli dalam berbagai konteks hidupnya.
Persoalannya, karena manusia memiliki kebebasan kehendak, mau
tidak mau harus memilih: ingin menjadikan diri sosok seperti apa
dan ingin berbuat apa, maka identitas yang dipertahankannya tidak
tertetapkan terlebih dahulu (not predetermined). Demikian pula
perbuatan-perbuatan yang mau mengekspresikan identitas tersebut.
Baik identitas yang mau dipertahankan maupun perbuatan yang mau
dilakukan sebagai ekspresi identitasnya bergantung pada pilihan
manusia. Dengan kata lain, proses pengendalian internal dan proses
partisipasi eksternal tidak tunduk pada hukum alam dan tidak ada
hubungan natural kausalistik di antara keduanya. Integritas tidak
dicapai melalui pemenuhan hukum alam, melainkan diupayakan
secara aktif melalui pilihan identitas dan tindakan yang seharusnya
dilakukan karena ada nilai lebih yang akan diperoleh dengan pilihan
identitas dan tindakan itu. Di sini, integritas bukan menyatakan
fakta apa yang terjadi, melainkan menyatakan apa yang seharusnya
diupayakan.
Peran sentral manusia pada sesuatu yang memiliki integritas
evaluatif membuat integritas tak dapat dipisahkan dari aspek moral
(aspek baik-buruk manusia sebagai manusia). Berdasarkan hakekat
dirinya sebagai manusia, orang yang berintegritas atau organisasi
yang berintegritas diharapkan mengambil keputusan dan tindakan
yang bermoral. Dan keputusan dan tindakan yang bermoral itu harus
mengekspresikan identitas diri yang dibangunnya untuk menegaskan
bahwa makna kekompakan pada dirinya terwujud dan terekspresikan.
Jadi, ada dua aspek integritas bagi individu orang atau individu
organisasi yang berintegritas: pertama, integritas berkaitan dengan
bagaimana individu membangun dan mempertahankan identitas
dirinya (proses pengendalian internal); dan kedua, integritas
berkaitan dengan bagaimana individu melakukan perbuatan yang
bermoral (proses partisipasi eksternal). Makna integritas yang
benar seharusnya mencakup dua aspek tersebut bersama-sama.
Tetapi tampaknya tidak mudah menemukan satu kriteria yang dapat
merepresentasikan dua aspek tersebut sekaligus. Dalam sejarah
perkembangannya, makna integritas-evaluatif cenderung direduksi
dengan menekankan salah satu aspeknya saja. Memang reduksi
makna tidak terjadi pada integritas non-evaluatif, karena proses

136 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Menyelisik Makna Integritas dan Pertentangannya dengan Korupsi
(Gunardi Endro)

pengendalian internal dan proses partisipasi eksternal tunduk pada


hukum alam, keduanya memiliki hubungan kausalitas dan secara
natural terjadi bersamaan (serentak). Namun justru integritas dalam
makna evaluatif lah yang sering diperbincangkan di masyarakat.
Reduksi makna menjadi persoalan serius.

Pereduksian Makna Integritas


Reduksi makna integritas jenis pertama adalah dengan
menekankan proses pengendalian internal atau menekankan kriteria
bagaimana kekompakan terwujud pada diri (self) atau identitas diri
(self identity) individu yang memilikinya. Apa yang dianggap penting
pada reduksi jenis ini adalah keadaan atau adanya kekompakan
identitas diri, bagaimana individu membangun dan mempertahankan
kekompakan identitas dirinya. Taylor (1985), misalnya, memaknai
integritas dengan menekankan pada bagaimana individu secara
sadar memilih dan mengintegrasikan berbagai hasrat/keinginan
menjadi kehendak yang terpadu sedemikian sehingga terbangun diri
yang kompak. Williams (1973) memaknai integritas sebagai kesetiaan
pada beberapa proyek hidup mendasar yang paling membentuk
identitas diri individu yang memilikinya. Demikian pula Blustein
(1991) mengaitkan makna integritas dengan individu yang setia
pada komitmen-komitmen mendasar yang membentuk identitas diri
individu yang memilikinya. Calhoun (1995) menggambarkan pemilik
integritas sebagai individu pemikir yang memperjuangkan tegaknya
komitmen-komitmen yang dipegangnya dan memperlakukan
komitmen-komitmen itu sebagai sesuatu yang sangat bernilai. McFall
(1987) menegaskan pentingnya individu untuk memelihara integritas
dengan menolak segala macam kompromi terhadap komitmen-
komitmen pembentuk identitasnya.
Masalah yang muncul dari reduksi makna integritas jenis
pertama tersebut adalah tiadanya persyaratan normatif pada
kriteria pemberian atribut integritas. Sepanjang individu memenuhi
kriteria formal, yaitu mampu membangun, memelihara dan
mentransformasikan berbagai hasrat/keinginan, proyek hidup
mendasar, ataupun komitmen, menjadi identitas diri yang kompak
maka ia adalah individu yang berintegritas. Tidak ada persyaratan
apakah keputusan dan tindakan yang mengekspresikan hasrat/
keinginan, proyek hidup mendasar dan komitmen itu sesuai tuntutan
moral ataukah tidak. Moralitas ekspresi identitas diri tergantung pada

137
kebetulan apakah individu yang bersangkutan memiliki kesadaran
moral ataukah tidak. Oleh karena itu, individu yang jahat dan kejam
namun memiliki identitas diri yang kompak bisa dianggap sebagai
individu yang berintegritas. Integritas bukan lagi suatu keutamaan/
kebajikan (virtue) atau karakter yang baik. Kesimpulan seperti itu
pada umumnya sulit diterima. Pertanyaan tentang kandungan moral
di dalam makna integritas pun kemudian muncul.
Meskipun adanya kandungan moral di dalam makna integritas
sulit ditolak, hubungan antara integritas dan moralitas seringkali
diinterpretasikan secara berbeda-beda tergantung pada moralitas versi
mana yang dipakai sebagai patokan: apakah versi individu penerima
atribut integritas ataukah versi individu pemberi atribut integritas.
Halfon (1989) melihat bahwa moralitas versi penerima atribut
integritas lah yang seharusnya menjadi patokan. Menurut Halfon,
integritas dikaitkan dengan komitmen individu yang memberlakukan
pada dirinya pandangan moral yang secara konseptual jelas, secara
logika konsisten, dan memperhitungkan semua fakta empiris dan
pertimbangan moral. Calhoun (1995) mengemukakan pendapat yang
serupa dengan menegaskan bahwa individu yang berintegritas harus
tetap membela tegaknya pertimbangan terbaiknya sendiri meskipun
perlu menghormati pertimbangan terbaik individu lain. Masalahnya,
kedua pendapat itu tidak bisa memberikan batas demarkasi yang
jelas antara individu yang berintegritas dan individu yang fanatik.
Implikasi yang dapat ditarik dari kedua pendapat itu adalah bahwa
individu fanatik, seperti misalnya seorang teroris yang berpandangan
radikal, masih mungkin disebut sebagai individu yang berintegritas.
Kesimpulan ini secara intuitif juga sulit diterima.
Reduksi makna integritas jenis kedua adalah dengan menekankan
proses partisipasi eksternal atau menekankan moralitas tindakan
versi individu pemberi atribut integritas. Kriteria yang dipakai
sebagai patokan adalah bagaimana konsistensi tindakan moral
LQGLYLGX \DQJ PHQHULPD DWULEXW LQWHJULWDV WHULGHQWL¿NDVL ROHK
pemberi atribut integritas. Karena, tindakan moral merupakan
wujud ekspresi kekompakan diri individu dari segi kemanusiaannya.
Ashford (2000), misalnya, memaknai integritas dengan menekankan
segi objektivitas bagaimana individu harus patuh pada komitmennya
terhadap kewajiban-kewajiban moral. Bagi Ashford, konsepsi diri
individu dapat dikembangkan namun harus disesuaikan dengan
persyaratan-persyaratan moral nyata dari luar dirinya. Implikasi

138 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Menyelisik Makna Integritas dan Pertentangannya dengan Korupsi
(Gunardi Endro)

dari pemaknaan integritas objektif seperti itu adalah bahwa atribut


integritas hanya bisa diberikan kepada individu yang moralitasnya
bersesuaian dengan standar moralitas masyarakat pemberi atribut.
Masalahnya, pemberian atribut integritas umumnya tidak secara
ketat mensyaratkan persetujuan moral pemberi atribut. Sebagaimana
ditunjukkan Cox, La Caze dan Levine (2003), kita dapat tetap
menghormati seseorang sebagai orang yang berintegritas meskipun
kita tidak setuju dengan pandangannya tentang persoalan moral
tertentu. Memaksakan persetujuan moral pemberi atribut berarti
merendahkan individu itu sendiri sebagai subjek moralitas. Dengan
kata lain, reduksi makna jenis kedua ini mengabaikan aspek personal
individu, seperti misalnya hasrat/ keinginan, pertautan emosional
dan komitmen pribadi terhadap proyek hidup mendasar. Padahal
pengabaian pentingnya aspek personal individu sama saja berarti
pengabaian pentingnya individu itu sendiri sebagai sumber tindakan
moral. Individu tidak diapresiasi sepantasnya sebagai subjek
moralitas.
Jadi, reduksi makna integritas jenis pertama maupun jenis kedua
menimbulkan masalah serius. Penekanan pada proses pengendalian
internal memenuhi makna kekompakan dari aspek personal individu
tetapi mengabaikan aspek moralitas tindakannya, sehingga individu
yang jahat tidak dapat ditolak kemungkinannya menjadi individu
yang menerima atribut integritas. Sedangkan penekanan pada proses
partisipasi eksternal memenuhi makna kekompakan dari aspek
moralitas tindakan individu tetapi mengabaikan aspek personalnya,
sehingga individu lebih berperan sebagai objek moralitas daripada
berperan sebagai subjek moralitas. Tantangan selanjutnya adalah
menemukan konstruksi pemahaman yang dapat mengembalikan
makna dasar integritas dan memberikan kriteria tunggal untuk
pemberian atribut integritas dengan makna dasarnya itu.

Mengembalikan Makna Dasar Integritas


Tidak mudah mengembalikan makna dasar integritas
“kekompakan” dengan mengintegrasikan proses pengendalian
internal dan proses partisipasi eksternal. Proses pengendalian
internal yang berkaitan dengan bagaimana individu secara personal
membangun dan mempertahankan identitas diri (aspek personal)
mencerminkan partikularitas dan subjektivitas. Artinya, individu
sebagai subjek sepenuhnya sadar tentang keadaan partikular dirinya,
keadaan partikular yang diinginkannya, dan nilai-nilai yang harus

139
dirujuk dalam tindakannya pada konteks tertentu. Proses partisipasi
eksternal yang berkaitan dengan moralitas tindakan individu (aspek
moral) mencerminkan universalitas dan objektivitas. Artinya, tindakan
individu bisa dijelaskan secara objektif dari segi kewajarannya terkait
baik-buruknya bagi manusia, sehingga tindakan itu dapat diterima
secara universal. Makna kekompakan tercermin dari kedua aspeknya:
aspek personal dan aspek moral. Jika proses pengendalian internal
dan proses partisipasi eksternal terintegrasikan, maka identitas diri
akan sungguh-sungguh terekspresikan menjadi tindakan-tindakan
moral dan makna kekompakan akan sungguh-sungguh terwujud
dengan kedua aspeknya itu.
Berikut ini akan diajukan konstruksi pemahaman dengan
latar belakang etika keutamaan Aristoteles (Aristotle) untuk
mengembalikan makna dasar integritas. Konstruksi pemahaman
yang dimaksud di sini ditopang oleh dua pilar pemahaman, yaitu
pemahaman tentang hubungan dan tindakan moral dan pemahaman
tentang konsep diri. Pilar pemahaman pertama berkaitan dengan
proses partisipasi eksternal, sementara pilar pemahaman kedua
berkaitan dengan proses pengendalian internal.

1. Pemahaman tentang Hubungan dan Tindakan Moral


Hubungan baik antar manusia dipahami sebagai hubungan
yang ada di dalam suatu ‘ruang konsep’ komunitas ideal yang
mempersatukan mereka. Hubungan baik antara suami dan
istri, misalnya, dipahami sebagai hubungan yang ada dalam
perspektif konsep keluarga yang ideal. Hubungan moral tidak
dipahami secara sederhana sebagai hubungan diadik manusia-A
dan manusia-B, melainkan dipahami sebagai hubungan triadik
manusia-A, manusia-B dan komunitas ideal. Akibatnya, tindakan
moral tidak secara sederhana dipahami sebagai tindakan yang
langsung mempengaruhi kepentingan atau kebutuhan manusia
lain (other-regarding action), melainkan dipahami sebagai
tindakan berkeutamaan (virtuous action) yang mempengaruhi
kepentingan atau kebutuhan manusia lain melalui proses
perwujudan komunitas ideal. Contohnya, ketika ada banyak
pengemis meminta-minta, tindakan yang baik barangkali bukan
dengan mendermakan uang receh kita (karena ternyata aktivitas
SHQJHPLVLWXGLNRRUGLQLUROHKVHRUDQJPD¿D PHODLQNDQGHQJDQ
mendorong Dinas Sosial Pemerintah setempat untuk mengambil

140 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Menyelisik Makna Integritas dan Pertentangannya dengan Korupsi
(Gunardi Endro)

tindakan disiplin-berkeadilan guna mengatasi masalah sosial itu.


Melalui perwujudan komunitas yang ideal, pengemis-pengemis
itu akan dihantarkan untuk memenuhi kebutuhannya sebagai
manusia. Jadi, tindakan moral atau tindakan berkeutamaan
merupakan upaya partisipatif mewujudkan komunitas yang ideal.

2. Pemahaman tentang Konsep Diri


Konsep diri merupakan konsep yang lumer karena “diri”
tampaknya tidak dapat dianggap secara sederhana sebagai objek
untuk suatu penjelasan yang sifatnya deskriptif. Dengan adanya
aneka perjalanan dan pengalaman hidup, sulit menjelaskan
apakah diriku ini tetap sama selamanya ataukah ada perbedaan
antara diriku saat ini dan diriku sepuluh tahun yang lalu. Kalau
berbeda, lalu siapakah diriku ini? Sepertinya diri bukanlah sesuatu
yang sudah jadi, melainkan suatu hasil dari proses pembentukan
yang berlangsung terus-menerus (Hadi 2010, 133-4). Oleh karena
itu, diri lebih tepat dipahami secara evaluatif sebagai sesuatu
yang menjadi (becoming), “menjadi diri” dengan melakukan
perbuatan-perbuatan untuk mewujudkannya karena ada nilai
lebih yang akan diperoleh di dalamnya. Dalam hal ini, perbuatan
yang dilakukannya adalah tindakan moral atau tindakan
berkeutamaan, sedangkan diri yang mau diwujudkannya adalah
GLULGDULVRVRNLQGLYLGX\DQJPHQJLGHQWL¿NDVLNDQGLULQ\DGHQJDQ
komunitas ideal. Konsep diri yang dirujuk di sini disebut konsep
“diri yang diperluas” (the expanded self).
Konsep diri-yang-diperluas dapat ditemukan akarnya di dalam
etika keutamaan Aristoteles (Aristotle). Aristotle (2001) dalam
karyanya Ethica Nicomachea paragraf IX.9.1170b.5-7 menyatakan
“…if as the virtuous man is to himself, he is to his friend also (for his
friend is another self)…” Artinya, orang berkeutamaan (virtuous
man) akan menempatkan seorang teman sebagai “diri yang lain”
(another self) seakan-akan diri yang sesungguhnya lebih luas
daripada batas diri yang alami. Pertemanan yang baik (virtuous
friendship) mengatasi batas terpisahnya individu satu dengan
individu lain sedemikian rupa sehingga ada suatu persatuan antara
diri dan diri-yang-lain. Namun, berbeda dengan interpretasi
Stern-Gillet (1995) yang menganggapnya sebagai persatuan yang
sifatnya psikis, persatuan tersebut harus diinterpretasikan sebagai
persatuan yang sifatnya konseptual. Ada skema hubungan triadik

141
antara “orang berkeutamaan” (virtuous man), “diri sendiri” (self),
dan “temannya” (another sellf) sedemikian sehingga hanya jika diri
sendiri dan temannya memiliki atribut orang yang berkeutamaan
maka diri sendiri dan temannya akan saling menempatkan yang
lain sebagai diri-yang-lain (another self). Kalau kumpulan individu
dalam pertemanan yang baik (virtuous friendship) – dimana
masing-masing individu memiliki atribut orang berkeutamaan –
disebut komunitas ideal, maka skema hubungan triadik tersebut
merupakan skema hubungan antara komunitas ideal (ideal
community), diri-sendiri (self), dan temannya (another self).
Dengan begitu, seseorang yang mau mewujudkan dirinya dengan
tindakan berkeutamaan (mau menjadi orang yang berkeutamaan)
DNDQPHQJLGHQWL¿NDVLNDQGLULQ\DGHQJDQNRPXQLWDVLGHDONDUHQD
disitu temannya ditempatkannya sebagai diri-yang-lain. Diri di
sini adalah “diri-yang-menjadi”, diri yang dalam artian tertentu
diperluas dengan komunitas ideal (the expanded self), atau
diri yang hanya akan terwujud jikalau komunitas ideal secara
partisipatif diwujudkannya.

Dua pilar pemahaman tersebut menunjukkan adanya hubungan


‘kausalitas’ antara pilar pemahaman pertama dan pilar pemahaman
kedua, antara proses partisipasi eksternal dan proses pengendalian
internal. Keduanya secara konseptual harus terjadi bersamaan
(serentak). Diri atau identitas diri individu akan terwujud ketika
dia melakukan tindakan moral, yaitu melakukan upaya partisipatif
mewujudkan komunitas ideal. Sebaliknya, tindakan moral (tindakan
berkeutamaan) akan dilakukan ketika dia mengekspresikan dirinya
melalui upaya partisipatif mewujudkan komunitas ideal yang
merupakan bagian dari dirinya. Dengan demikian, makna dasar
LQWHJULWDV ³NHNRPSDNDQ´ GLNHPEDOLNDQ PHODOXL SHQJLGHQWL¿NDVLDQ
diri dengan komunitas ideal dan upaya partisipatif untuk
mewujudkannya. Sosok individu yang berintegritas adalah sosok
LQGLYLGX\DQJVHODOXPHQJLGHQWL¿NDVLNDQGLULQ\DGHQJDQNRPXQLWDV
ideal sehingga akan selalu melakukan upaya partisipatif untuk
mewujudkannya. Tidak ada persoalan motivasional disini.
Pertanyaan yang kemudian barangkali muncul, apakah ciri-ciri
komunitas ideal dan bagaimanakah jika ada banyak komunitas yang
harus diupayakan secara partisipatif oleh individu menjadi komunitas-
komunitas ideal? Sebagai makhluk sosial, setiap individu dapat

142 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Menyelisik Makna Integritas dan Pertentangannya dengan Korupsi
(Gunardi Endro)

dipastikan menjadi anggota dari banyak komunitas yang kesemuanya


KDUXVGLSHUMXDQJNDQPHQMDGLNRPXQLWDVLGHDO'H¿QLVLVLQJNDWGDUL
komunitas ideal adalah suatu komunitas yang seharusnya ada untuk
WXMXDQVHVXQJJXKQ\D\DLWXWXMXDQ\DQJVHFDUDKLHUDUNLVGLGH¿QLVLNDQ
dengan kehidupan yang baik (the good life) sebagai tujuan akhirnya.
Di bidang ekonomi, misalnya, seorang individu menjadi elemen
komunitas perusahaan, komunitas perusahaan menjadi elemen
komunitas pasar, dan komunitas pasar menjadi elemen komunitas
umat manusia. Di bidang kemasyarakatan, seorang individu menjadi
elemen keluarga, keluarga menjadi elemen komunitas kelurahan,
komunitas kelurahan menjadi elemen komunitas kabupaten,
komunitas kabupaten menjadi elemen komunitas Negara, dan
komunitas Negara menjadi elemen komunitas umat manusia. Di
bidang keprofesian, seorang profesional menjadi elemen komunitas
keprofesian, dan komunitas keprofesian menjadi elemen komunitas
XPDW PDQXVLD 7XMXDQ PDVLQJPDVLQJ NRPXQLWDV GLGH¿QLVLNDQ
berdasarkan tujuan komunitas yang lebih besar sedemikian sehingga
tujuan akhir komunitas paling besar (komunitas umat manusia) akan
selalu mendasari tujuan setiap komunitas. Adapun tujuan komunitas
paling besar (komunitas umat manusia) adalah kehidupan bersama
yang baik (the good life) atau kebahagiaan bersama di dalam
komunitas (eudaimonia).
Dengan demikian, setiap komunitas ideal harus mendasarkan
tujuannya demi kehidupan bersama yang baik (the good life) sebagai
tujuan akhir. Agar tujuan akhir tersebut bisa tercapai, tiga keutamaan/
kebajikan/ nilai sosial harus diupayakan keterwujudannya yaitu
kemandirian individual (autonomy), kepedulian (caring) dan
keadilan (justice). Kemandirian individual (autonomy) diperlukan
agar setiap elemen (anggota) mampu ikut serta mengalami kehidupan
bersama yang baik (the good life) dengan melakukan upaya partisipatif
mewujudkan komunitas ideal dan, dengan begitu, menjadi elemen
(anggota) yang berintegritas. Kepedulian (caring) diperlukan untuk
membawa setiap elemen (anggota) ke dalam kehidupan bersama
dengan elemen-elemen lainnya dan mewujudkan komunitas ideal.
Keadilan (justice) diperlukan agar setiap elemen (anggota) tetap bisa
mempertahankan identitasnya dalam artian bahwa ia mendapatkan
KDNQ\D XQWXN PHPEHULNDQ NRQWULEXVL VSHVL¿N VHEDJDL XSD\D
partisipatif mewujudkan komunitas ideal.
Selain kemandirian individual (autonomy), kepedulian (caring)

143
dan keadilan (justice), setiap komunitas ideal memiliki keutamaan/
NHEDMLNDQ QLODL VRVLDO ODLQ \DQJ SHU GH¿QLVL KDUXV MXJD GLXSD\DNDQ
keterwujudannya di dalam komunitas itu dan di elemen-elemen
komunitas itu. Komunitas pasar yang memiliki integritas, misalnya,
PHZXMXGNDQQLODLVRVLDOH¿VLHQVLDJDUWXMXDQVHVXQJJXKQ\DWHUFDSDL
Perusahaan (anggota komunitas pasar) yang berintegritas, selain
PHZXMXGNDQQLODLVRVLDOH¿VLHQVLMXJDKDUXVPHZXMXGNDQQLODL\DQJ
terkait dengan kualitas layanan agar tujuan sesungguhnya tercapai.
Karyawan (anggota komunitas perusahaan) yang berintegritas,
VHODLQ PHZXMXGNDQ QLODLVRVLDO H¿VLHQVL GDQ NXDOLWDV OD\DQDQ MXJD
harus mewujudkan tercapainya nilai tertentu sesuai dengan peran
VSHVL¿NQ\D GL SHUXVDKDDQ 'HQJDQ EHJLWX DQWDUD NRPXQLWDV \DQJ
memiliki integritas dan elemen-elemennya sangat erat hubungannya
(intimate) sedemikian sehingga seolah-olah identitas elemen sulit
dipisahkan dari identitas komunitas. Kesimpulan ini mematahkan
argumentasi Kasulis (2002) yang memisahkan intimasi (intimacy)
dari integritas (integrity), karena disini integritas justru mensyaratkan
intimasi antara komunitas dengan elemen-elemennya. Untuk
mewujudkan diri sebagai elemen yang memiliki integritas, elemen
itu harus melakukan upaya partisipatif untuk mentransformasikan
komunitas-komunitas yang lebih besar (dimana ia menjadi
anggotanya) menjadi komunitas-komunitas ideal.
Jadi, makna dasar integritas dikembalikan melalui perwujudan
skema hierarkis komunitas-komunitas ideal sebagaimana dijelaskan
di atas. Sosok individu yang berintegritas adalah sosok individu yang
VHODOX PHQJLGHQWL¿NDVLNDQ GLULQ\D GHQJDQ NRPXQLWDVNRPXQLWDV
ideal sehingga akan selalu melakukan upaya partisipatif untuk secara
hierarkis mewujudkan semuanya. Karyawan yang berintegritas
akan memperjuangkan perusahaan tempatnya bekerja menjadi
perusahaan yang beintegritas, dengan mana perjuangannya itu
sekaligus juga menghantarkan perusahaan melaksanakan upaya
partisipatif mewujudkan pasar yang berintegritas dan pasar
mewujudkan kehidupan bersama yang baik di masyarakat (komunitas
umat manusia). Agar hal itu terwujud, ketika karyawan tersebut
mempertimbangkan keputusan dan tindakan yang akan dilakukan,
nilai-nilai sosial dasar bagi kehidupan bersama yang baik (komunitas
umat manusia), yaitu kemandirian individual (autonomy),
kepedulian (caring) dan keadilan (justice) menjadi prioritas
pertama sebelum nilai-nilai sosial lain berturut-turut: H¿VLHQVL

144 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Menyelisik Makna Integritas dan Pertentangannya dengan Korupsi
(Gunardi Endro)

(komunitas pasar), kualitas layanan (komunitas perusahaan), dan


QLODLVRVLDO\DQJEHUNDLWDQGHQJDQSHUDQVSHVL¿NQ\DVHQGLULGLGDODP
perusahaan. Jadi jelas bahwa sosok individu yang berintegritas akan
selalu melakukan upaya partisipatif terbaik dengan ikut mengelola
berfungsinya semua partikularitas (pada contoh karyawan tersebut:
NHPDPSXDQ VSHVL¿NQ\D SHUXVDKDDQ WHPSDWQ\D EHNHUMD SDVDU
tempat perusahaannya beroperasi) demi kehidupan bersama yang
baik. Karakteristik seperti ini menjadi cikal-bakal pertentangannya
dengan korupsi.

Pertentangan Integritas dengan Korupsi


Secara etimologis, kata korupsi (corruption) memiliki padanan
kata Latin “corruptus” ataupun “corrumpere” yang berarti merusak,
menghancurkan, membusuk, dan hancur berkeping (Skeat 1888,
136; Klein 1971, 169). Makna ini bersesuaian dengan penjelasan
Aristotle (2001) dalam karyanya De Generatione et Corruptione
bahwa korupsi (corruption), sebagai lawan dari pembentukan/
pembangkitan (generation), mengacu pada sesuatu yang berhenti
menjadi, yang mengalami kemerosotan, atau yang binasa. Pada
seorang manusia, korupsi berarti kemerosotan pada kecenderungan
berperilaku dari apa yang seharusnya menjadi perilaku manusia.
Sedangkan pada konteks pemerintahan suatu Negara, korupsi berarti
kemerosotan yang sifatnya sistemik terhadap praktik-praktik dan
komitmen-komitmen yang membentuk sistem pemerintahan yang
sehat (Buchanan 2004). Makna korupsi seperti itu lebih menekankan
gambaran korupsi sebagai fenomena sistemik dari sudut pandang
sesuatu yang terkorupsi. Masalahnya, gambaran korupsi sebagai
fenomena sistemik cenderung melebih-lebihkan peran kebaikan
bersama (common good) dan cenderung mengabaikan adanya
kemungkinan bahwa tindakan tunggal (non-sistemik) yang koruptif
bisa sama destruktifnya dengan korupsi sistemik.
Alternatif pemaknaan lain terhadap korupsi adalah dari sudut
pandang seseorang atau sekelompok orang yang mengorupsi.
Gambaran korupsi yang disorot berupa tindakan tunggal yang
secara rasional bisa dikategorikan sebagai korupsi. Euben (1989)
menggambarkan korupsi sebagai tindakan tunggal seperti itu dengan
melandaskan pada asumsi bahwa setiap orang merupakan individu
egois yang hanya peduli pada kepentingannya sendiri. Asumsi Euben
merujuk pada kodrat manusia egoistik yang diilustrasikan Hobbes

145
(1651) dalam karyanya Leviathan bahwa manusia satu berbahaya
bagi manusia lainnya namun setiap manusia dapat mengamankan
keberadaan dan memenuhi kepentingan dirinya melalui kesepakatan
bersama yang terwujud dalam bentuk kekuasaan Negara. Jadi
menurut Euben (1989), pemegang kekuasaan publik (Negara) yang
mendapatkan legitimasi dari seluruh individu (hasil kesepakatan
bersama) diwajibkan menyelenggarakan kekuasaannya sesuai
dengan standar yang ditetapkan demi kepentingan seluruh
individu (kepentingan publik). Korupsi kemudian dimaknai sebagai
penyelenggaraan kekuasaan yang tidak sesuai dengan standar. Hal
LQLWHUFHUPLQSDGDGH¿QLVL\DQJGLWHWDSNDQROHK:RUOG%DQN  
bahwa korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan publik untuk
kepentingan yang sifatnya privat (the abuse of public power for
private gain). Masalah yang timbul dari gambaran korupsi sebagai
penyalahgunaan kekuasaan publik adalah pengabaian adanya fakta
bahwa penyalahgunaan kekuasaan yang sifatnya privat bisa lebih
destruktif dibandingkan dengan penyalahgunaan kekuasaan publik.
Sebagai contoh, misalnya, skandal korporasi yang melibatkan
penyalahgunaan kekuasaan privat oleh beberapa pemimpin bisnis
di bursa saham Amerika awal abad ke-21 menimbulkan dampak
krisis ekonomi yang terbukti lebih menyengsarakan masyarakat luas
daripada dampak skandal korupsi pejabat publik suatu Negara.
Oleh karena itu, jika korupsi mau dipahami secara lebih
NRPSUHKHQVLI GDULSDGD NRUXSVL \DQJ KDQ\D WHUGH¿QLVLNDQ VHFDUD
legal formal sebagai penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat
publik, maka korupsi harus dilihat secara paradigmatik sebagai
penyalahgunaan kekuasaan di semua bidang kehidupan. Seorang
petinju yang mau menerima uang suap untuk mengalah, dokter yang
menolak memberi kesaksian atas malpraktik koleganya, atlet yang
menggunakan doping agar menang dalam perlombaan olahraga,
dosen yang menjiplak tulisan orang lain, ataupun bahkan seseorang
yang membohongi teman hidupnya untuk kepuasan nafsunya sendiri,
kesemuanya itu merupakan kasus yang secara paradigmatik dapat
dimasukkan ke dalam kategori korupsi (Miller 2013). Pada kasus-
kasus tersebut, orang memiliki kekuasaan berdasarkan kepercayaan
komunitas terhadap kemampuan partikular yang dimilikinya untuk
menjalankan peran demi kebaikan bersama (common good). Ketika
kekuasaan itu disalahgunakan untuk kepentingan pribadi tertentu
(partikular) dengan memanipulasi seolah-olah kekuasaan itu masih
digunakan untuk kebaikan bersama, maka kasus korupsi secara

146 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Menyelisik Makna Integritas dan Pertentangannya dengan Korupsi
(Gunardi Endro)

paradigmatik telah terjadi. Jadi jelas, korupsi secara paradigmatik


memanipulasi kebaikan bersama (common good) untuk kepentingan
partikular.
Sementara itu, dari penjelasan tentang integritas sebelumnya dapat
disimpulkan bahwa integritas merupakan keutamaan/ kebajikan
yang mendorong individu yang memilikinya untuk melakukan upaya
partisipatif terbaik mewujudkan kehidupan bersama yang baik (the
good life) melalui pengelolaan berfungsinya semua partikularitas
yang individu tersebut miliki atau pengaruhi keterwujudannya.
Individu yang dimaksud di sini bisa berupa seorang manusia atau
suatu institusi/ organisasi yang secara fungsional dikendalikan
atau dipengaruhi sekelompok manusia di dalamnya. Pada seorang
manusia, integritas merupakan suatu karakter yang baik, sedangkan
pada suatu institusi/ organisasi, integritas merupakan suatu budaya
organisasi yang baik. Baik pada seorang manusia maupun pada suatu
institusi/ organisasi, integritas menimbulkan daya dorong untuk
mengarahkan berfungsinya partikularitas demi kebaikan umum yang
sebanyak mungkin manusia bisa ikut merasakan (common good).
Dengan demikian, ekspresi integritas secara langsung berlawanan
dengan korupsi. Sementara tindakan yang berintegritas mengarahkan
berfungsinya partikularitas demi kebaikan bersama, korupsi
mengarahkan apa yang seharusnya menjadi kebaikan bersama demi
kepentingan partikular. Sementara tindakan yang berintegritas
mempromosikan atau memperbesar kemungkinan terwujudnya
komunitas ideal, korupsi merusak atau memperkecil kemungkinan
terwujudnya komunitas ideal. Karena arahnya secara substansial
persis berlawanan, integritas tidak hanya secara empiris mencegah
korupsi melainkan secara logis niscaya menangkal korupsi. Dengan
kesimpulan ini tidak berarti bahwa individu yang memiliki integritas
cenderung mengabaikan pentingnya partikularitas. Terkait dengan
pentingnya partikularitas, tiga catatan berikut barangkali bisa
melengkapi gambaran tentang integritas dan individu yang memiliki
integritas.
Pertama, bagi individu yang berintegritas, vitalitas atau daya hidup
partikularitas sangat penting karena hanya dengan partikularitas
yang daya hidupnya kuat, kebaikan bersama dalam komunitas
ideal akan semakin bisa diwujudkan. Pada kasus tertentu, upaya
kreatif individu mempertahankan daya hidup partikularitas dengan
mengorbankan perwujudan kebaikan bersama untuk sementara

147
waktu bisa jadi merupakan bagian dari rencana tindakan yang paling
tepat, karena dengan melakukannya individu tersebut pada akhirnya
bisa memberikan kontribusi terbaik bagi terwujudnya kebaikan
bersama. Seorang eksekutif perusahaan, misalnya, terpaksa harus
mengorbankan nilai-nilai sosial tertentu untuk mempertahankan
keberadaan perusahaannya di komunitas pasar yang korup,
sementara dia memproyeksikan bagaimana pada akhirnya
SHUXVDKDDQQ\D GDSDW PHPEHULNDQ NRQWULEXVL \DQJ VLJQL¿NDQ EDJL
perbaikan moralitas komunitas pasar dan bagi perwujudan kebaikan
bersama dalam komunitas ideal umat manusia. Ada kesan “urgensi”
pada upaya mempertahankan daya hidup partikularitas, tetapi daya
hidup partikularitas yang dipertahankan itu tidak boleh menjadi
tujuan akhir. Setiap segmen proses menjadi bagian dari upaya besar
yang tujuan akhirnya adalah terwujudnya kebaikan bersama dalam
komunitas ideal umat manusia.
Kedua, berhubung setiap individu memiliki partikularitas yang
berbeda-beda sementara tujuan akhirnya satu yaitu terwujudnya
kebaikan bersama, rencana upaya partisipatif individu yang
berintegritas harus mempertimbangkan persaingannya dengan
rencana upaya partisipatif yang ditawarkan individu-individu lainnya
sedemikian sehingga upaya partisipatif terbaik yang diputuskan dan
dijalankannya dapat secara masuk akal dipertanggungjawabkan.
Upaya partisipatif terbaik yang diputuskannya, relatif terhadap
partikularitas yang dimilikinya, dapat diterima akal sehat individu
lain karena siapapun yang memiliki partikularitas yang sama
cenderung akan mengambil keputusan yang sama. Individu yang
berintegritas selalu siap mempertanggungjawabkan bahwa upaya
partisipatif yang dipilihnya akan memberikan kontribusi terbaik
bagi perwujudan kebaikan bersama, meskipun upaya partisipatif
yang dipilihnya itu justru dengan memberikan kesempatan individu
lain yang lebih ahli (memiliki partikularitas yang lebih baik) untuk
mengambil peran yang lebih besar. Individu yang berintegritas
tidak akan berlindung di balik minimnya partikularitas yang
dimilikinya untuk bermalas-malasan dari peluang mewujudkan
kebaikan bersama dan, sebaliknya, tidak akan menggunakan alasan
perwujudan kebaikan bersama untuk mengambil sebanyak mungkin
peran meskipun partikularitas yang dimilikinya tidak memadai.
Individu yang berintegritas selalu meningkatkan mutu partikularitas
yang dimilikinya, misalnya mengasah kompetensi dan kemampuan

148 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Menyelisik Makna Integritas dan Pertentangannya dengan Korupsi
(Gunardi Endro)

organisasi tempatnya berkiprah, demi peningkatan upaya partisipatif


mewujudkan kebaikan bersama.
Ketiga, organisasi (komunitas) yang berintegritas tidak hanya
melakukan upaya partisipatif mewujudkan kebaikan bersama tetapi
juga memastikan bahwa upaya itu merupakan hasil kerjasama dari
anggota-anggotanya dalam memberikan kontribusi terbaik bagi
terwujudnya kebaikan bersama. Hal ini merupakan konsekuensi
logis dari ketentuan bahwa individu yang berintegritas (manusia atau
organisasi dengan manusia di dalamnya) tidak akan memudarkan
identitas elemen-elemennya. Jika elemen-elemennya berupa agen
moral (manusia atau organisasi dengan manusia di dalamnya), maka
kemandirian individual (autonomy) dari agen-agen moral harus dijaga
sedemikian sehingga mereka masing-masing bisa mengekspresikan
identitas, partikularitas yang dimilikinya, bagi terwujudnya kebaikan
bersama. Integritas organisasi (komunitas) merupakan hasil upaya
anggota-anggota yang berintegritas, merupakan cerminan anggota-
anggota yang berintegritas. Organisasi yang berintegritas hanya akan
terwujud bersamaan dengan terwujudnya anggota-anggota yang
berintegritas (co-realization or co-actualization). Budaya integritas
organisasi mendorong terbentuknya karakter integritas anggota-
anggotanya. Semakin kuat karakter integritas anggota-anggotanya,
semakin kuat identitas anggota-anggotanya yang diekspresikan
demi kebaikan bersama, semakin kuat kualitas dan daya hidup
partikularitas anggota-anggotanya yang diekspresikan demi
kebaikan bersama, semakin kuat pula budaya integritas organisasi.
Dengan demikian, baik pentingnya kebaikan bersama (common
good) maupun pentingnya partikularitas individu, tidak saling
merendahkan dan direndahkan.
Jadi bagi individu yang berintegritas, urgensi daya-hidup
partikularitas yang dimilikinya perlu dipertahankan (catatan
pertama), kualitas partikularitas yang dimilikinya harus terus-
menerus ditingkatkan (catatan kedua), dan pentingnya partikularitas
yang dimilikinya tidak akan direndahkan atas dasar alasan kebaikan
bersama (catatan ketiga). Makna integritas tidak menekankan
polarisasi “partikularitas” versus “kebaikan bersama (common good)”
dengan memosisikan satu lebih penting daripada yang lain, melainkan
menekankan arah fungsional dari partikularitas ke kebaikan bersama
(common good). Penekanan pada arah fungsional ini menunjukkan
bahwa ekspresi integritas secara substansial berlawanan dengan

149
korupsi, karena korupsi mendorong apa yang seharusnya menjadi
kebaikan bersama (common good) ke arah kepentingan partikular.
Jelas sebagai karakter yang baik atau budaya organisasi yang baik,
integritas mengandung keniscayaan logis menangkal korupsi.

KESIMPULAN
Meskipun penggunaan kata integritas dalam retorika politik
di masyarakat saat ini berpengaruh besar dalam meningkatkan
keprihatinan moral terhadap korupsi, namun ketidakjelasan dalam
penyajian maknanya akan membuat pengaruh tersebut berhenti
di tataran politik saja dan tidak berlanjut ke dalam rancangan
keputusan dan tindakan riil yang secara sistematis bisa menangkal
korupsi. Penyelisikan makna integritas di sini dilakukan secara
¿ORVR¿VXQWXNPHQHPXNDQPDNQDGDVDUQ\DPHQMHODVNDQEDJDLPDQD
makna dasar itu kemudian direduksi hingga muncul berbagai
varietas makna yang beredar di masyarakat, dan mengupayakan
skema pengembalian makna dasar agar supaya mendapatkan
satu patokan makna integritas yang jelas. Integritas tampaknya
tidak cukup direpresentasikan oleh kejujuran, kecermatan dalam
berperilaku, keteguhan dalam berkomitmen, atau pun keutamaan/
kebajikan/ nilai-nilai lain seperti: kesederhanaan, kesabaran,
visioner, keberanian, kedisiplinan, kerja keras, kerjasama, tanggung
jawab, dan sebagainya. Keutamaan/ kebajikan/ nilai-nilai tersebut
lebih merupakan akibat dari terwujudnya individu yang berintegritas
daripada menjadi penyebab munculnya individu yang berintegritas.
Hasil penyelisikan menunjukkan bahwa integritas individu akan
WHUZXMXGNHWLNDLDVHODOXPHQJLGHQWL¿NDVLNDQGLULGHQJDQNRPXQLWDV
komunitas ideal sedemikian rupa sehingga ia akan selalu melakukan
upaya partisipatif untuk secara hierarkis mewujudkan komunitas-
komunitas ideal dalam rangka mewujudkan dirinya. Kebaikan
bersama (common good) terjamin dan terjaga keberadaannya di dalam
komunitas-komunitas ideal itu. Jadi, skema pengembalian makna
dasar integritas menyajikan kontrasnya perbedaan antara integritas
dan korupsi. Sementara korupsi merupakan perilaku penyalahgunaan
kekuasaan dengan memanipulasi apa yang seharusnya menjadi
kebaikan bersama demi kepentingan partikular (kepentingan pribadi
tertentu), integritas merupakan keutamaan/ kebajikan (virtue) yang
menimbulkan daya dorong untuk mengelola berfungsinya kekuasaan

150 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Menyelisik Makna Integritas dan Pertentangannya dengan Korupsi
(Gunardi Endro)

partikular (kekuasaan yang terkait dengan kompetensi, sumberdaya,


dan kemampuan individu maupun organisasi) demi kepentingan
kebaikan bersama. Arah fungsional integritas tepat berlawanan
dengan korupsi sehingga secara logis integritas niscaya bertentangan
dengan korupsi. Baik integritas maupun korupsi disini dipahami
secara paradigmatik. Maknanya tidak dibatasi oleh pengertian legal-
formal. Makna tunggal integritas yang disajikan secara paradigmatik
di sini direkomendasikan untuk dimanfaatkan sebagai landasan
teoretis bagi praktik pengembangan karakter integritas dan budaya
integritas dalam rangka upaya menangkal korupsi.

REFERENSI
Aristotle. 2001. “Ethica Nichomachea.” Dalam The Basic Works
of Aristotle, terj. W.D. Ross, ed. Richard McKeon. NY: Modern
Library.
____________. “Politica.” Dalam The Basic Works of Aristotle,
terj. Benjamin Jowett, ed. Richard McKeon. NY: Modern Library.
____________. “De Generatione et Corruptione.” Dalam The Basic
Works of Aristotle, terj. Harold H. Joachim, ed. Richard McKeon.
NY: Modern Library.
Ashford, Elizabeth. 2000. “Utilitarianism, Integrity, and Partiality.”
Journal of Philosophy XCVII:8 (August): 421-39.
Audi, Robert, dan Patrick Murphy. 2006. “The Many Faces of
Integrity.” Business Ethics Quarterly 16(1): 3-21.
Black, Harrison. 1825. An Etymological and Explanatory Dictionary
of Words Derived from the Latin. 2nd ed. London: Longman.
%OXVWHLQ-HɣUH\Care and Commitment: Taking the Personal
Point of View. New York: Oxford University Press.
Buchanan, Bruce. 2004. “The Moral Physics of the Body Politic:
Changing Contours of Corruption in Western Political Thought.”
Dalam Proceedings of the Australasian Political Studies
Association Conference. University of Adelaide (September -
October 2004). http://www.adelaide.edu.au/apsa/papers/.
Calhoun, Cheshire. 1995. “Standing for Something.” Journal of
Philosophy XCII(5): 235-60.
Carter, Stephen L. 1996. Integrity. New York: Basic Books.
Cox, Damian, Marguerite La Caze, dan Michael P. Levine. 2003.
Integrity and the Fragile Self. Aldershot-Hants: Ashgate.

151
Davion, Victoria M. 1990. “Integrity and radical change.” Dalam
Feminist Ethics, ed. Claudia Card. Kansas: Kansas University
Press.
Endro, Gunardi. 2007. Integrity in Economic Life: An Aristotelian
Perspective. Dissertation. National University of Singapore.
Euben, J. Peter. 1989. “Corruption.” Dalam Political Innovation and
Conceptual Change, ed. Terence Ball, James Farr dan Russell L.
Hanson. New York: Cambridge Univ. Press.
Hadi, Protasius Hardono. 2010. Potret Siapakah Aku. Yogyakarta:
Kanisius.
Halfon, Mark S. 1989. Integrity: A Philosophical Inquiry.
Philadelphia: Temple Univ. Press.
Hobbes, Thomas. 1651. Leviathan. London: Andrew Crooke at the
Green Dragon.
Kasulis, Thomas P. 2002. Intimacy or Integrity: Philosophy and
&XOWXUDO'LɣHUHQFH Honolulu: University of Hawai’i Press.
Klein, Ernest. 1971. A Comprehensive Etymological Dictionary of the
English Language. Amsterdam: Elsevier.
Martin, Mike W. 1996. /RYH¶V9LUWXH Lawrence: University Press of
Kansas.
McFall, Lynne. 1987. “Integrity.” International Journal of Ethics 98:1
(October): 5-20.
Miller, Seumas. 2013. “Integrity.” Stanford Encyclopedia of
Philosophy. plato.stanford.edu/entries/corruption/ (Fri Jan 25,
2013).
Skeat, Walter W. 1888. An Etymological Dictionary of the English
Language. 2nd ed. Oxford: Clarendon Press.
Stern-Gillet, Suzanne. 1995. $ULVWRWOH¶V 3KLORVRSK\ RI )ULHQGVKLS
Albany: State University of New York Press.
Taylor, Gabriel. 1985. Pride, Shame and Guilt: Emotions of Self-
Assessment. New York: Oxford University Press.
Williams, Bernard. 1973. “A Critique of Utilitarianism.” Dalam
Utilitarianism for and against, ed. J.J. Smart & Bernard Williams.
Cambridge: Cambridge University Press.
World Bank. 1997. World Development Report: The State in a
Changing Society. Washington D.C.: World Bank.

152 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

Anda mungkin juga menyukai