Dasar Pemikiran
Penilaian portofolio sebagai suatu penilaian model baru yang diterapkan di Indonesia
sejak kurikulum 2004 tentu mempunyai maksud dan tujuan tertentu, yaitu untuk
meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Hal ini memang wajar dan logis karena
selama ini system penilaian yang digunakan di sekolah cenderung hanya melihat hasil
belajar peserta didik dan mengabaikan proses belajarnya, sehingga nilai akhir yang
dilaporkan kepada orang tua dan pihak-pihak terkait hanya menyangkut domain kognitif.
Sikap, minat, motivasi dan keterampilan proses lainnya nyaris tidak pernah disentuh.
Portofolio sebagai salah satu bentuk penilaian berbasis kelas mempunyai fungsi dan
peran yang sangat strategis untuk menutupi kelemahan penilaian yang telah dilakukan
selama ini. Oleh karenua itu, penilaian portofolio harus dilakukan secara akurat dan
objektif serta mendasar pada bukti-bukti autentik yang dimiliki peserta didik.
Perhatikan ilustrasi berikut ini.
Orang tua peserta didik A datang ke suatu sekolah untuk menanyakan perkembangan
prestasi belajar anaknya. Dia langsung menemui kepala sekolah. Ketika orang tua
tersebut menanyakan tentang perkembangan prestasi belajar anaknya, ternyata kepala
sekolah tidak bisa memberikan jawaban yang jelas. Dia langsung memanggil wali kelas
dan salah seorang guru untuk menjelaskan secara terperinci tentanh hal tersebut.
Ternyata, wali kelas dan guru itu pun hanya memberikan jawaban yang bersifat umum,
seperti cukup baik, sedang-sedang saja dan sebagainya. Orang tua tersebut merasa tidak
puas dan kecewa. Dia berharap wali kelas dan guru dapat memberikan jawaban yang
konkret, akurat, dan factual. Dia pulang dengan membawa seribu pertanyaan. Mengaapa
kepala sekolah, wali kelas, dan guru tidak dapat menjelaskan perkembangan prestasi
belajar anaknya. Di sekolah lain, ada juga orang tua peserta didik yang menanyakan
prestasi belajar anaknya,. Dia dilayani langsung oleh setiap guru mata pelajaran di ruang
guru. Setelah orang tua tersebut menyebutkan identitas putranya, kemudian guru
langsung mencari file-nya. Betapa gembiranya orang tua tersebut ketika melihat bukti-
bukti autentik hasil pekerjaan anaknya. Ternyata, semua hal yang telah dilakukan oleh
anaknya didokumentasikan oleh guru dalam file khusus, baik itu hasil ulangan harian,
hasil kunjungan/observasi, hasil diskusi kelompok, hasil menggambar maupun kegiatan
keterampilan lainnya.
Dari ilustrasi pertama menunjukkan bahwa kemungkinan besar guru-guru di sekolah
tersebut masih menggunakan model penilaian konvensional. Hal ini dapat diketahui
karena guru tidak dapat memberikan gambaran tentang hasil belajar peserta didik decara
terperinci dan komprehensif, sehingga membuat orang tua peserta didik kecewa. Tidak
ada bukti-bukti fisik sebagai hasil belajar peserta didik yang dapat dilaporkan kepada
orang tua. Pada ilustrasi kedua, nampaknya guru sudah menggunakan penilaian
portofolio, sehingga dia dapat memberikan penjelasan tentang perkembangan prestasi
belajar kepada orang tua peserta didik secara gamblang dan menyeluruh. Hal lain yang
dapat kita pelajari dari ilustrasi kedua di atas adalah kapan saja orang tua peserta didik
atau peserta didik itu sendiri ingin mengetahui perkembangan prestasi belajarnya, maka
guru dapat dengan mudah dan cepat memberikan penjelasan berikut bukti-bukti
autentiknya.
Di banyak Negara maju, penggunaan tes sebagai salah satu alat penilaian setahap
demi setahap sudah mulai ditinggalkan, karena ternyata masih banyak guru yang kurang
memahami konsep dan strategi penilaian, baik dalam tahap perencanaan, pelaksanaan
maupun laporan hasil penilaian. Di samping itu, realitas juga menunjukkan banyak guru
yang tidak memiliki latar belakang pendidikan keguruan dan tentunya mereka tidak
pernah belajar tentang evaluasi pembelajaran dan penilaian proses dan hasil belajar.
Zainal Arifin (2006) dalam salah satu kesimpulan penelitiannya mengemukakan, “konsep
guru tentang evaluasi pada dasarnya merupakan manifestasi dari kebiasaan dan
pengalaman praktiknya selama ini, yaitu memberikan nilai (angka) dalam pelajaran…”
konsep yang dimaksud hanay menyentuh dimensi produk dari kegiatan evaluasi itu
sendiri, belum masuk ke dalam suatu dimensi proses yang sistematis dan kontinu serta
sebagai feed-back terhadap system pembelajaran. Di samping itu, guru masih
menganggap kegiatan penilaian identik dengan memberi angka. Dalam praktinya, guru-
guru juga banyak yang menggunakan tes buatan orang lain atau juga dari kumpulan soal
yang notabene belum diketahui derajat validitas dan reliabilitasnya. Tes tersebut
digunakan guru dari waktu ke waktu.
Fenomena di atas menunjukkan kepada kita bahwa itulah salah satu kelemahan tes
tertulis. Oleh sebab itu, tidak bisa ditawar lagi, guru harus mengubah sikap, kebiasaan
dan pandangannyatentang evaluasi atau penilaian. Sudah saatnya guru berkiblat dengan
pendekatan dan model penilaian yang lebih modern, seperti penilaian penampilan,
penilaian autentik,dan penilaian portofolio. Guru harus mencari strategi yang jitu untuk
menilai peserta didiks sesuai dengan kemampuannya yang sesungguhnya .